8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
1/29
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
2/29
8
(substansia spongiosa) (Stevenson dan Marsh 1992; Carola et al. 1990).
Proporsi substansia kompakta dan spongiosa masing-masing sekitar 80 % dan
20 % (Goldberg 2004), namun ditemukan banyak variasi sesuai dengan jenis
tulang dan dipengaruhi oleh daya tekan dan tarik yang dialami tulang tersebut
(Stevenson dan Marsh 1992; Leeson et al. 1996). Dengan struktur seperti ini,
tulang mempunyai kekuatan yang optimum dengan bobot yang minimal sehingga
dapat menahan bobot badan maupun beban kerja (Parfitt 1984;
Carola et al. 1990).
Tulang kompakta terdiri atas jaringan kolagen dan hidroksiapatit yang
membentuk 3 lapisan, yaitu lapisan periosteum, intrakompakta, dan endosteum
(Rachman 1999). Periosteum adalah selubung fibrosa yang membungkus
tulang, kecuali pada permukaan sendi (Leeson et al. 1996). Periosteum pada
hewan dewasa terdiri atas dua lapisan, tanpa batasan yang jelas. Lapisan luar
terdiri atas jaringan ikat padat fibrosa yang mengandung anyaman pembuluh
darah. Lapisan dalam terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar, mempunyai
sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey
(Carola et al. 1990), mengandung banyak sel jaringan ikat berbentuk gelondong
yang disebut lapisan kambium, lapisan ini mengandung sel-sel osteoprogenitor
dan disebut periosteum. Sel-sel osteoprogenitor adalah sel-sel yang berfungsi
untuk membentuk jaringan tulang. Pada tulang yang sedang tumbuh, lapisan
kambium aktif membentuk tulang sehingga dinding tulang menjadi tebal. Dalam
keadaan normal, periosteum lebih tipis, kurang vaskularisasi dan berada dalam
keadaan istirahat, tetapi masih berpotensi osteogenik. Jika tulang mengalami
fraktura (retak), maka lapisan kambium dari periosteum akan aktif kembali dalam
usahanya mengadakan regenerasi tulang (Leeson et al. 1996).
Bagian intrakompakta merupakan bagian utama dari tulang kompakta
yang dibentuk oleh sistem Haver, membentuk bangun berupa tabung dengan
panjang 2 mm dan diameter 22 m yang terdiri atas lapisan konsentrik dengan
osteosit yang berada di antaranya. Pada bagian tengah tulang kompakta
terdapat saluran Volkmann berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf
yang berperan mengangkut nutrisi dan sebagai alat sensoris (Carola et al. 1990).
Dari periosteum dan endosteum akan masuk saluran Volkman atau saluran
nutrien secara tegak lurus ke dalam tulang dan berhubungan dengan saluran
Haver. Dengan demikian, di dalam tulang terdapat suatu sistem yang kompleks
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
3/29
9
Gambar 1. Struktur tulang panjang(dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973).
dan saling berhubungan antara pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf
untuk tulang (Carola et al. 1990; Leeson et al. 1996). Setiap saluran Haver
memiliki sejumlah lamel konsentris (5 sampai 20 lamel). Lamel matriks tulang,
sel-sel dan saluran pusatnya membentuk sistem Haver. Kanalikuli pada sistem
Haver akan berhubungan langsung dengan saluran Haver sehingga semua
lakuna akan berhubungan langsung dengan saluran Haver. Kanalikuli pada tepisistem Haver biasanya tidak berhubungan dengan kanalikuli yang berasal dari
sistem sebelahnya, melainkan membentuk lengkungan dan kembali ke
lakunanya sendiri. Sistem Haver terutama tersusun menurut sumbu panjang
tulang, sehingga pada potongan melintang terlihat sebagai lubang bulat yang
dikelilingi oleh lamel-lamel yang melingkar (Gambar 2), sedangkan pada
potongan memanjang sistem Haver terlihat sebagai celah memanjang yang
dibatasi kolom-kolom lamel (Leeson et al. 1996).
Bagian trabekula mengandung lempeng-lempeng yang saling
berhubungan dengan pola tertentu yang membentuk garis trayektori spesifik
menurut fungsi mekanis tulang tersebut. Tulang trabekula terdiri atas lamel-
lamel, di dalamnya terdapat lakuna yang mengandung osteosit dan sistem
kanalikuli yang saling berhubungan. Pada masa prenatal, pada tulang spongiosa
belum terlihat jelas adanya lamel-lamel karena serat-serat kolagen tulang
terdapat dalam anyaman tidak beraturan. Hal ini terlihat khas untuk tulang yang
berkembang dengan cepat dan disebut sebagai tulang teranyam (woven bone)
(Leesonet al. 1996).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
4/29
10
Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa(trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang(dimodifikasi dari Leeson et al. 1996)
Endosteum adalah lapisan halus yang membatasi rongga sumsum dan
meluas sebagai pelapis sistem saluran tulang kompakta. Endosteum terdiri atas
jaringan retikular padat yang memiliki kemampuan osteogenik dan hemopoetik
(Carola et al. 1990). Endosteum merupakan permukaan dalam dari tulang yang
terdiri atas sel osteoprogenitor dan hanya sebagian kecil jaringan ikat yang
melapisi permukaan trabekula dan permukaan medulla tulang kortikal serta kanal
Harvesian. Endosteum menyediakan sel osteoprogenitor atau sel osteoblas
secara kontinyu untuk perbaikan dan pertumbuhan tulang yang berfungsi untuk
remodelingtulang (Einhorn 1996; Leeson et al. 1996).
2.1.1 Komposisi Tulang
Tulang terbentuk dari unsur mineral kira-kira 65 %, matriks organik
ekstraseluler 30 %, sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air (sekitar 5 %).
Sebagian besar (95 %) dari mineral tulang merupakan kristal hidroksiapatit dan
5 % sisanya terdiri atas bahan organik (Favus 1993; Guyton 1996; Ott 2002).
Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran
utamanya kristal kalsium fosfat atau kristal kalsium hidroksiapatit
[3Ca3(P04)2Ca(OH)2]. Kalsium hidroksiapatit berbentuk piringan kristal tajam
seperti jarum di dalam dan di antara serat kolagen dengan panjang 20-80 nm
dan tebal 2-5 nm (Puzas 1993; Leeson et al. 1996). Selain komponen tersebut,
kalsium hidroksiapatit juga mengandung komponen lain seperti karbonat, sitrat,
magnesium, natrium, fluor, dan strontium yang terdapat pada kisi dari kristal atau
terserap ke dalam sampai ke permukaan kristal (Rachman 1999).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
5/29
11
Bahan organik dari mineral tulang terdiri atas 98 % jaringan kolagen dan
2 % sisanya terdiri atas beberapa protein nonkolagen. Kolagen adalah protein
dengan daya larut yang sangat rendah, terdiri atas 3 rantai polipeptida
(triple helix) yang pada setiap rantai terdapat seribu (1000) asam amino
(Shenk et al. 1993).
Protein nonkolagen tulang terdiri atas osteonektin, osteokalsin,
osteopentin, dan sialoprotein (Favus 1993). Osteonektin adalah protein besar
dengan bobot molekul 320 KDa yang disintesis oleh osteoblas. Protein ini
berfungsi untuk mengikat kolagen hidroksiapatit. Osteokalsin adalah protein kecil
dengan bobot molekul 5.8 KDa dan berjumlah sekitar 10-12 % dari total protein
nonkolagen, protein ini berhubungan erat dengan fase mineralisasi tulang
(Rachman 1999). Beberapa protein tulang yang lain seperti trombopontin, asam
glikoprotein, dan fibronektin merupakan protein yang mengandung asam arginin-
glisin aspartat yang bersifat asam dan berafinitas besar terhadap kalsium.
Protein-protein ini mempunyai kemampuan untuk diikat oleh reseptor integrin.
Growth factor dan sitokin seperti transforming growth factor beta(TGF), insulin
growth factor (IGF), interleukin (IL), bone morphogenic protein (BMP) terdapat
dalam jumlah kecil di matriks tulang (Shenk et al. 1993). Protein-protein tadi
mengikat mineral tulang dan matriks dan dilepaskan saat terjadi proses resorbsi
tulang oleh osteoklas (Favus 1993).
2.1.2 Metabolisme Tulang
Metabolisme tulang diatur oleh osteoblas, osteosit, dan osteoklas
terhadap respons dari berbagai rangsangan di sekelilingnya termasuk
rangsangan kimia dan mekanik (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Rangsangan
spesifik diatur oleh reseptor sel yang ditemukan pada membran sel atau di dalamsel. Reseptor yang berada di membran sel menerima rangsangan dari luar dan
mengirimkan informasi tersebut ke inti menyeberangi sitoplasma sel melalui
mekanisme transduksi. Sementara itu reseptor dalam sel (di sitoplasma atau
di inti) mengikat rangsangan (biasanya hormon steroid) yang melewati membran
sel dan masuk ke dalam sel untuk memindahkan efektor ke nukleus yang di
dalamnya terdapat reseptor steroid kompleks yang terikat pada asam
deoksiribonukleat (DNA) spesifik dari rangkaian gen (Rachman 1999).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
6/29
12
Pada tulang dapat dibedakan tiga jenis sel tulang, yaitu osteoblas,
osteosit, dan osteoklas (Rachman 1999) (Gambar 3). Osteoblas merupakan sel
yang berhubungan dengan pembentukan tulang dan ditemukan pada permukaan
tulang, yaitu periosteum dan endosteum. Osteoblas dibentuk dari sel stroma
dari mesoderm (totipotent mesenchymal stem cell) (Smith 1993; Ott 2002).
Pembentukan osteoblas dimulai dari prekusor sel stroma menjadi preosteoblas
yang kemudian berkembang menjadi osteoblas yang dapat diaktifkan sehingga
akhirnya dapat membentuk osteosit (Erickson et al. 1992; Puzas 1993).
Osteoblas merupakan sel berinti tunggal yang terdapat di permukaan luar
(periosteum) dan di dalam tulang (endosteum). Sitoplasmanya bersifat basofil
karena mengandung nukleoprotein. Apabila sel ini berada dalam keadaan aktif
berbentuk kuboid, sedangkan dalam keadaan tidak aktif, osteoblas berbentuk
pipih (Einhorn 1996). Dalam proses perbaikan kondisi tulang setelah adanya
perombakan tulang oleh osteoklas, biasanya ditemukan adanya osteoblas aktif di
tempat itu untuk mensintesis matriks tulang baru yang diawali dengan proses
mineralisasi dan kolagenasi matriks tulang (Price 1995; Lian dan Stein 1996).
Osteoblas berfungsi menghasilkan kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein untuk
pembuatan dan pertumbuhan tulang baru pada daerah permukaan tulang dan
juga untuk pembentukan tulang pada kartilago (Telford dan Bridgman 1995).
Proses perkembangan dan pembentukan tulang oleh osteoblas
dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lokal maupun sistemik. Faktor lokal yang
berpengaruh dalam meningkatkan pembentukan tulang adalah BMP (bone
morphogenic protein), TGF-, IGF (insulin-like growth factor-1), estrogen,
triiodotironin (T3), tetraiodotironin (T4), kalsitriol [1,25-(OH)2D3
Saat menjalankan fungsinya, osteoblas juga memproduksi enzim alkalin
fosfatase. Enzim ini mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan alkalin
fosfatase yang dihasilkan oleh jaringan lainnya. Fungsi alkalin fosfatase ini
bekerja dengan cara membebaskan protein nonkolagen osteokalsin dalam
proses pembentukan tulang. Aktivitas osteoblas dapat dipantau secara biokimia
], dan
prostaglandin E2 (PGE2). Faktor sistemik yang meningkatkan pembentukan
tulang adalah fluorida, PTH (hormon paratiroid) nutrisi, vitamin D, sitokin, kortisol,
dan aktivitas individu (Gambar 4). Faktor sistemik lainnya yang bekerja dengan
menghambat formasi tulang adalah hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh
korteks adrenal (Smith 1993; Ott 2002).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
7/29
13
Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas(dimodifikasi dari Leeson et al. 1996).
dengan menilai kadar enzim alkalin fosfatase tulang dan kadar osteokalsin dalam
serum (Price 1995). Dalam perkembangan penelitian selanjutnya telah
ditemukan reseptor estrogen dan reseptor kalsitriol di osteoblas (Gallaher 1986;
Reid 1996).
Tipe sel tulang yang kedua adalah osteosit, yaitu osteoblas yang sudah
menetap dalam lakuna pada saat pembentukan lapisan permukaan tulang
berlangsung. Osteosit merupakan sel peralihan dari sel-sel osteoblas yang
berhenti membentuk matriks tulang dan terperangkap di dalam tulang. Sel ini
memiliki peran dalam memelihara matriks tulang sehingga tersimpan di dalam
tulang (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Sel tersebut berhubungan satu
dengan yang lainnya melalui penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli dan
berperan dalam membantu koordinasi respons tulang terhadap stres atau
deformasi (Stevenson dan Marsh 1992). Tidak semua osteoblas berkembang
menjadi osteosit (hanya 10-12 %), hal ini disebabkan oleh kegagalan difusi
nutrisi. Pembuluh darah masuk melalui kanal kecil yang dikenal sebagai
kanalikuli. Kanalikuli adalah satu-satunya saluran untuk nutrisi dan pertukaran
gas yang akan digunakan oleh osteosit. Bentuk kanalikuli beraturan seperti
tubulus penghubung (Lian dan Stein 1996). Osteosit juga diduga memiliki
kemampuan merespons mekanisme rangsangan gaya mekanik dan neuroelektrik
yang berhubungan dengan aktivitas individu. Gaya fisioelektrik ini diduga
merangsang pengeluaran IGF-1 untuk mengaktifkan osteoblas dan juga
merangsang proses pembentukan osteoblas yang baru (Erickson et al. 1992;
Hosking 1994).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
8/29
14
Sel ketiga pada tulang adalah osteoklas yang bertanggung jawab
terhadap resorbsi kalsium tulang dan kartilago (Ott 2002). Osteoklas memiliki
progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel
mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid, yaitu monosit atau makrofag pada
sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas ini bersifat mirip dengan sel
fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas
merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus
(10-20 nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang
trabekular (Marcus et al. 1996). Di dalam menjalankan tugasnya, osteoklas
mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam laktat, serta asam
sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini memecah atau
melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan melarutkan garam-
garam tulang. Osteoklas mempunyai ruffled border yaitu daerah spesifik dari
membran sel berbentuk jari-jari atau gelambir-gelambir, yang biasanya
berhadapan dengan permukaan tulang. Sekresi enzim-enzim, asam laktat, dan
asam sitrat dilepaskan keluar sel melalui ruffled border. Di area ruffled border
ini terjadi proses resorbsi tulang sehingga mengakibatkan terbentuknya
Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas
(dimodifikasi dari Smith 1993)
Osteoblas
Kortisol
Osteosit
Pre-osteoblas Osteoblas pasif
Sintesis kolagenprotein non-kolagen
proteoglikan
Sitokin
Sel pengendaliosteoklas
Mineralisasi
PTH 1,25(OH)2D3
Jarak auh
Estrogen
Nutrisional Mekanik
Endokrin
Jarak endek
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
9/29
15
cekungan sebagai akibat hilangnya matriks di daerah itu, dan cekungan yang
terbentuk ini dinamakan lakuna Howship (Telford dan Bridgman 1995;
Leeson et al. 1996).
Interaksi antara osteoklas dan osteoblas (Gambar 5) secara normal selalu
terjadi pada proses remodeling tulang. Osteoblas diduga mengambil bone
morphogenetic protein (BMP) sebelum osteoklas merusak tulang. Resorbsi
tulang akan membebaskan protein tulang yang berpengaruh timbal balik yaitu
dapat menstimulasi aktivitas osteoblas. Proses remodeling ini masih belum
diketahui dengan pasti (Smith 1993). Sel-sel osteoklas menangkap partikel-
partikel matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya melarutkan
benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton 1996;
Smith 1993). Proses ini selalu dalam keadaan seimbang dalam mengatur
formasi dan resorbsi tulang sehingga dikenal dengan istilah berpasangan atau
coupling (Suda et al. 1992; Smith 1993). Dalam proses peningkatan aktivitas
osteoklas, osteoblas menghasilkan beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor
beta(TNF ), IL-1, dan IL- 6,sehingga dapat dikatakan terdapat poros osteoblas-
osteoklas dalam pengendalian densitas tulang. Sebaliknya, aktivitas osteoklas
dihambat oleh estrogen, kalsitonin, TGF , interferon gamma (IFN- ), dan
prostaglandin (PGE2) (Suda et al. 1992).
Gambar 5. Diagram interaksi osteoblas dan osteoklas dalam prosesremodelingpada permukaan tulang (Smith 2003).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
10/29
16
Bone morphogenetic protein merupakan pemicu osteoblastogenesis
dengan merangsang osteoblastic specific factor-2 (OSF-2) atau core binding
factor A1 (Cbf A1) yang berfungsi mengaktifkan gen spesifik osteoblas, seperti
osteokalsin, osteopontin, sialoprotein, dan kolagen tipe I. Selain hormon sistemikdan sinyal mekanis, perkembangan dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas
diatur juga oleh growth factor (GF) dan sitokin (Manolagas 2000).
2.1.3 Model ingdan Remodel ingTulang
Carola et al. 1990 menyatakan bahwa tulang merupakan suatu organ
yang mengalami metabolisme aktif berupa proses penyerapan dan pembentukan
tulang. Proses ini berlangsung secara simultan dan menyangkut semua
perubahan yaitu modelingdan remodeling.
Modeling adalah perubahan struktur atau bentuk pada jaringan tulang
akibat formasi dan resorbsi matriks tulang dalam proses pertumbuhan (contoh:
perubahan bentuk tulang kepala dari bayi sampai tua). Pada manusia,
memasuki usia 20 sampai 30 tahun (Gambar 6) terjadi peningkatan
pembentukan massa tulang dengan tercapainya massa tulang puncak
(Goldberg 2004). Proses modelingterjadi pada bagian growth plate (lempengan
tulang rawan yang aktif berproliferasi atau disebut juga sasaran epifise) atau
pada lokasi perubahan tulang rawan menjadi tulang termineralisasi(Eriksen et al.1994). Selama proses pertumbuhan terjadi pemisahan badan
tulang (corpus) dengan area ujung tulang (epifisis) oleh sasaran epifise.
Gambar 6. Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia
(dimodifikasi dari Goldberg 2004)
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
11/29
17
Pertumbuhan memanjang terjadi karena sasaran epifise tersebut terisi oleh
tulang baru pada ujung badan tulang. Lebar sasaran epifise sebanding dengan
kecepatan pertumbuhan tubuh dan dipengaruhi oleh sejumlah hormon terutama
hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh hipofisa dan insulin growth factor-1
(IGF-1) (Ganong 1995). Sementara itu Goldberg (2004) menyatakan bahwa
modeling dimulai sejak di dalam kandungan sampai mencapai puncak massa
tulang yang dipengaruh oleh faktor-faktor fisiologis dan mekanis. Pembentukan
tulang terjadi melalui mekanisme pengerasan tulang endokondrial. Hal itu
termasuk perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas
selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar
dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler,
berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas (yang
menurunkan kalsifikasi tulang rawan) dan prekursor osteoblas. Proses kalsifikasi
tulang rawan menghasilkan theprimary spongiosum, sedangkan tulang yang
terbentuk di antara jaringan disebut the secondary spongiosum yang nantinya
dikenal sebagai tulang woven(Leesonet al. 1996).
Remodelingadalah proses yang berlangsung terus-menerus secara aktif
dengan membangun dan memperbaiki pembentukan tulang yang dilakukan oleh
osteoklas (resorbsi tulang) dan osteoblas (formasi tulang). Proses remodeling
pada kondisi normal adalah massa tulang yang diresorbsi seimbang dengan
jumlah massa tulang yang diformasi, terutama pada individu berusia sekitar 30-
40 tahun (Goldberg 2004). Remodeling juga berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan biokimia tulang, memelihara dan memperbaiki kerusakan tulang
(Rachman 1999). Keseimbangan ini mulai terganggu melewati usia 40 tahun.
Pada usia tersebut proses remodeling tulang mulai tidak seimbang yaitu,
kecepatan formasi tulang tidak sama dengan resorbsi tulang dan lebih cenderung
ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause. Pada saat initerjadi proses uncoupling, yaitu awal proses penuaan (Goldberg 2004). Menurut
Leeson et al. (1996) dan Rodan (1996) tahapan proses remodeling tulang
normal meliputi enam tahap, yaitu quiescence (istirahat), aktivasi, resorbsi,
proses balik (reversal), formasi, dan berakhir pada tahap istirahat.
Remodeling tulang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti hormon
paratiroid (PTH), kalsitonin, sitokin, kalsitriol dan faktor-faktor lokal nutrisi, faktor
pertumbuhan, TGF, fibroblast growth factor (FGF), IL, prostaglandin, dan
aktivitas individu. Beberapa tahun setelah puncak massa tulang terjadi, proses
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
12/29
18
remodeling tulang masih berjalan normal dengan jumlah massa tulang yang
masih stabil. Memasuki usia 40 tahun atau tepatnya memasuki usia menopause,
proses remodelingmulai berjalan tidak seimbang (Rachman 1999).
Secara fisiologis, pada wanita pascamenopause karena kadar estrogen
yang mulai menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel
osteoklas dan osteoblas (Mizuno et al. 1995). Kekurangan estrogen akan
menyebabkan menurunnya kadar kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar
paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk
merangsang pembentukan sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi
osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang (Potu et al. 2009).
Secara mikroskopis, proses remodeling tulang dimulai dengan sekresi
kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan oleh osteoblas. Kolagen mengalami
polimerisasi membentuk serabut kolagen atau semacam tulang rawan yang
belum mengalami proses mineralisasi yang disebut osteoid. Osteoblas yang
terperangkap di dalam osteoid akan menjadi osteosit dan berperan dalam
regulasi mineral tulang (Favus 1993). Penumpukan mineral terjadi beberapa hari
setelah terbentuknya osteoid dengan susunan berselang seling dengan serabut
kolagen menjadi kristal hidroksiapatit. Pada remodeling proses pembentukan
mineral diikuti juga oleh proses penyerapan mineral dan berlangsung dalam
keseimbangan yang dinamis di dalam tulang (Leesonet al. 1996).
2.2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada
tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang
(Sabri 2000; Anderson et al. 2008), sehingga kepadatan tulang berkurang atau
tulang menjadi keropos. Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadisebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang
(Palmer 1993; Shin et al. 2007).
Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis
ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan,
hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum
alkohol, serta warna kulit (Lane, 2001
Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa
tulang berubah seiring dengan bertambahnya usia dan jaringan tulang yang
; Rizer 2006).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
13/29
19
hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk. Pada usia remaja,
pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya
produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama
masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya
osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya (Karlson et al. 1995). Setelah
usia antara 35-40 tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang
sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 % per tahun. Wanita
pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai
2% per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang (Endris dan Rude 1994).
Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi
trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula. Kedua proses
tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling
(Eriksen et al. 1994). Selanjutnya Croucher et al. (1994) menegaskan bahwa
struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya
perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang.
Pada penelitian lain, Kalu et al. (1993) menyatakan bahwa penentuan dasar
proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada
perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang
trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional.
Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah
parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium
tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet
(Sabri 2000). Tingginya konsumsi fosfat mengakibatkan terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengganggu homeostasis kalsium
terutama pada manula (Anderson 1996). Calvo dan Park (1996) juga
menyebutkan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh faktor
defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya
adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor.
Manifestasi klinis osteoporosis adalah rasa nyeri, yang baru timbul
setelah ada komplikasi seperti fraktur dan deformitas. Akibat lanjut
permasalahan osteoporosis pada wanita pascamenopause terdiri atas 75 %
patah tulang lumbal (fraktur vertebrae) dan 25 % patah tulang paha (Gambar 7).
Fraktur tulang lumbal, sering terjadi tanpa gejala, bila terdapat nyeri maka nyeri
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
14/29
20
Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis (dimodifikasi dariWark 1993)
yang dialami bersifat akut, terlokalisasi pada tulang belakang, rasa nyeri akan
berkurang setelah 2-6 minggu. Keadaan kifosis oleh karena fraktur akan muncul
secara bertahap sehingga makin lama makin tampak nyata. Fraktur tulang paha
biasanya oleh karena adanya trauma atau jatuh. Fraktur ini ditandai dengan
adanya rasa nyeri terlokalisasi pada daerah fraktur dan hilangnya fungsi tulang
sebagai penyangga tubuh. Keadaan tersebut merupakan gejala khas
osteoporosis (Rachman et al. 1996).
Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja.
Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini
melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama
pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995;
Goldberg 2004). Menurut Jubb et al. (1993), diagnosis osteoporosis stadium
awal banyak mengalami kesulitan, apalagi jika hanya menggunakan metode
diagnostik yang sederhana. Oleh karena itu, osteoporosis biasanya baru dapat
terdiagnosa apabila penyakit sudah melanjut. Gambaran radiologi tulang
penderita osteoporosis terlihat radiolucent, kepadatan tulangnya menurun, tetapi
gambaran ini umumnya hanya akan terlihat pada kasus osteoporosis yang sudah
melanjut.
Tulang rapuh
Mudah kenatrauma
Penyakit danfaktor sporadis
Kehilangan massatulang meningkat
Menopause
Puncak massa tulangtidak optimal
- Asupan makanan- Genetis
Penuaan
Densitas tulangrendah
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
15/29
21
2.2.1. Kalsium.
Kalsium sangat berperan dalam berbagai proses biologik seperti
koagulasi darah, aktivitas enzim, kontraksi otot, eksitabilitas saraf, pembebasan
hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang
(Nieves 2005). Aktivitas tersebut di atas dapat berlangsung normal apabila
kadar kalsium dalam darah berada dalam kisaran normal (Winarno 1998). Untuk
mempertahankan dalam keadaan normal kalsium dipengaruhi oleh PTH,
vitamin D, dan kalsitonin (Zhang et.al. 2006).
Penyerapan kalsium sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum
bagian proksimal karena keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian usus
yang lainnya. Penyerapan kalsium di usus halus berlangsung melalui dua
mekanisme, yaitu dengan transpor aktif dan transpor pasif. Mekanisme transpor
aktif diatur oleh 1,25 - Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2
Kadar kalsium plasma normal berkisar antara 9,2-10,4 mg/dl (2,4 mEq/L),
dari jumlah tersebut sekitar 6 % berikatan dengan sitrat, fosfat dan anion lain,
sedangkan sisanya 94 % terbagi dua, yaitu bentuk yang terikat protein plasma
dan bentuk terionisasi atau tidak terikat. Bentuk terikat protein plasma terutama
dengan albumin (47 %) dan bentuk yang terionisasi atau yang tak terikat (47 %),
dapat berdifusi melalui membran sel semipermeabel (Murray et al. 2003).
D], suatu bentuk
vitamin D paling aktif yang diproduksi dalam ginjal (Baylink 2000; Parfitt 2005).
Transpor aktif diatur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh
yang meningkat, misalnya pada periode pertumbuhan, kehamilan, laktasi, atau
pada saat diet rendah kalsium. Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2D]
menyebabkan terbentuknya protein pengikat kalsium di sel-sel epitel usus.
Protein tersebut berfungsi untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel,
selanjutnya kalsium bergerak melewati membran basolateral dengan cara difusi
terfasilitasi (Guyton 1996). Protein pengikat kalsium tetap di dalam sel plasma
beberapa minggu sesudah [1,25-(OH)2D] dikeluarkan dari tubuh sehingga
memperpanjang waktu absorbsi kalsium. Absorbsi kalsium dalam saluran
pencernaan biasanya berkisar antara 30-80 % dari total asupan kalsium. Tubuh
manusia menyerap sekitar 20 % hingga 40 % kalsium dari makanan yang
dikonsumsi, namun pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
Penyerapan kalsium meningkat apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah.
Sebaliknya penyerapan kalsium menurun apabila kadar kalsium darah tinggi
(Murray et al. 2003).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
16/29
22
Kalsium dalam bentuk ion diperlukan untuk mengatur sejumlah proses fisiologik
dan biokimia penting termasuk eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah,
proses-proses yang sifatnya sekresi, integritas membran serta pengangkutan
membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon serta neurotransmiter, dan
kerja intrasel sejumlah hormon (Bringhurst 1995; Ganong 1995). Aktivitas
biologik seperti tersebut di atas dapat berjalan normal apabila kadar kalsium
berada dalam kisaran normal. Kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme
homeostasis (Guyton 1996). Adanya perubahan 1-5 % dari kalsium darah
menyebabkan mekanisme homeostasis mulai berperan untuk mengembalikan
kadar kalsium pada kadar yang normal (Cunningham, 1992). Kalsium plasma
berada dalam keseimbangan dengan kadar kalsium tulang yang siap melakukan
pertukaran. Jumlah kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh PTH, kalsitriol,
dan kalsitonin yaitu dengan cara memengaruhi transpor kalsium melalui
membran yang memisahkan cairan ekstrasel dengan cairan periosteum
(Ganong 1995).
Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan
kerangka tubuh. Kalsium harus tersedia dengan cukup pada makanan untuk
mempertahankan kadar normalnya dalam serum. Nutrisi rendah kalsium
menyebabkan individu akan memasuki kehidupan dewasa dengan massa tulang
yang kurang padat. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia
dan osteoporosis (Ott 2002). Mulai usia sekitar 50-an pada pria dan saat
menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan terjadi
kehilangan massa tulang pada seluruh bagian dari kerangka. Kehilangan
kalsium ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang,
khususnya pada wanita (Eastwood 2003). Apabila kekurangan kalsium pada
usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun
(Nguyen et al. 1995).
Kekurangan asupan kalsium atau gangguan penyerapan kalsium dari
usus memberikan pengaruh berbeda pada berbagai tingkat usia. Apabila kondisi
ini terjadi pada masa anak-anak maka akan menimbulkan penyakit rhakhitis atau
osteomalasia pada orang dewasa (Parfitt 2005; Anderson et al. 2008).
Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, 98-99 % dari jumlah kalsium
yang difiltrasi akan diserap kembali (Cunningham, 1992). Penyerapan kembali
dari kalsium 65 % terjadi di tubulus proksimal, sedangkan sisanya sebagian
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
17/29
23
besar diserap kembali melalui tubulus distal dan sebagian kecil melalui bagian
asendens jerat Henle. Penyerapan kembali di tubulus distal merupakan proses
transpor aktif yang diatur oleh hormon paratiroid (Ganong 1995; Parfitt 2005).
Sebagian besar kalsium diekskresikan lewat tinja dan hanya sebagian kecil lewat
urin. Ekskresi kalsium lewat urin maupun tinja menurun apabila terjadi
hipokalsemia (Parfitt 2005)
2.2.2. Fosfor
Sebagai suatu bahan anorganik, kadar fosfor yang terkandung
dalam tubuh manusia menempati jumlah kedua terbanyak setelah kalsium,
dan kira-kira 85-90 % fosfor ini terikat dalam kerangka (Ganong 1995).Fosfor plasma total sekitar 12 mg/dl, dua per tiga dari jumlah
tersebut berupa senyawa organik dan sisanya merupakan fosfor anorganik.
Fosfor anorganik dalam plasma terdapat dalam dua bentuk yaitu HPO 4-
serta H2PO 4-. Konsentrasi HPO4
- adalah sekitar 1,05 mmol/L, sedangkan
konsentrasi H2PO 4-sekitar 0,26 mmol/L. Apabila jumlah total fosfor dalam
cairan ekstraselular meningkat, kedua bentuk ion fosfor tersebut juga akan
meningkat. Secara kimiawi sangat sulit untuk menentukan jumlah yang
tepat dari HPO4-
dan H2PO 4-
Fosfor berfungsi antara lain sebagai unsur pembentuk tulang, energi
metabolik, memelihara integritas membran, metabolisme asam nukleat,
dan sebagai bufer (Linder 1985). Di dalam tubuh fosfor secara normal
mempertahankan suatu keseimbangan dengan kadar kalsium yang serasi.
Kadar fosfor dalam darah cenderung berbanding terbalik dengan kadar
kalsium dalam darah. Naiknya salah satu dari ke dua unsur tersebut akan
diikuti oleh turunnya unsur yang satunya (Cunningham 1992)
, hal ini karena jumlah total fosfor biasanya
dinyatakan dengan miligram fosfor per desiliter (100 ml) darah. Jumlah
rata-rata fosfor anorganik dalam plasma pada orang dewasa sekitar
4 mg/dl, yang bervariasi antara batas normal sebesar 3 sampai 4 mg/dl
dan 4 sampai 5 mg/dl pada anak-anak (Guyton 1996).
Peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan
meningkatkan konsentrasi fosfor serum, sementara kalsium yang
terionisasi dalam serum akan mengakibatkan peningkatan sekresi hormon
paratiroid yang potensial dalam menyerap tulang. Jumlah normal fosfor
yang masuk ke dalam tulang sekitar 3-4 mg/kg/hari, jumlah yang sama
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
18/29
24
meningggalkan tulang melalui proses penyerapan kembali. Fosfor dalam
plasma disaring pada glomerulus melalui proses transpor aktif, 80-90 %
dari jumlah fosfor yang disaring, sebagian besar diserap kembali melalui
tubulus proksimal dan sebagian kecil diserap kembali malalui tubulus
distal, sedangkan sisanya sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal
(Cunningham 1992). Proses transpor aktif ini sangat dihambat oleh
hormon paratiroid. Hambatan proses penyerapan kembali fosfor dalam
tubulus proksimal dan distal akan mendorong terjadinya fosfaturia
(Guyton 1996; Murray et al. 2003).
2.2.3. Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan merupakan
turunan dari senyawa sterol serta mempunyai beberapa bentuk senyawa dengan
fungsi yang sama. Sebagian besar vitamin D terdapat dalam bentuk vitamin D2
(ergokalsiferol) dan vitamin D3
Vitamin D
(kolekalsiferol). Kedua vitamin tersebut
mempunyai aktivitas biologik dan aktivitas nutrisional yang sama. Vitamin ini
secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh
untuk kelangsungan proses metabolisme sel normal, pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin D merupakan salah satu vitamin
yang terkait dengan pembentukan jaringan tulang (Keith 1994). Fungsi
utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan
fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus
halus untuk menyerap mineral dari makanan (Muhilal dan Sulaeman 2004).
2dibentuk melalui irradiasi sinar ultraviolet dari suatu sterol atau
ergosterol yang disintesis di dalam tanaman (Palmer 1993). Vitamin D3dibentuk
di dalam kelenjar sebaseus kulit 7-dehidrokolesterol yang diubah oleh sinar
ultraviolet menjadi previtamin D3(Murray et al. 2003). Vitamin D3yang disintesis
dalam kulit diangkut oleh -1-globulin atau -2-globulin (Palmer 1993) yang
terkandung di dalam serum untuk selanjutnya dibawa ke hati (Guyton 1996),
demikian halnya dengan vitamin D 2 atau vitamin D3 suplemen yang berasal
dari makanan, setelah diserap di dalam usus (jejenum dan ileum)
selanjutnya dibawa ke hati (Palmer 1993). Vitamin tersebut dapat berfungsi
setelah diaktifkan melalui beberapa tahapan. Pengaktifan tahap pertama melalui
hidroksilasi kolekalsiferol pada posisi C-25 dilakukan oleh enzim 25-hidroksilase,
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
19/29
25
sehingga terbentuk 25-hidroksikolekalsiferol (25-HCC). Proses ini terjadi di
dalam sitoplasma sel hati (Guyton 1996). Perubahan vitamin D3 menjadi 25-
HCC diperlukan ion magnesium, NADPH, oksigen molekuler, protein sitoplasmik,
dan sitokrom P450 untuk mengaktivasi enzim 25- hidroksilase (Ganong 1995;
Guyton 1996). Aktivitas enzim 25-hidroksilase untuk mengubah kolekalsiferol
menjadi 25-HCC juga diatur oleh suatu mekanisme umpan balik, oleh karena itu
jumlah 25-HCC yang dihasilkan relatif tetap meskipun diberikan vitamin D3dosis
tinggi (Bank 1993; Guyton 1996). Kolekalsiferol yang tidak mengalami
hidroksilasi disimpan di dalam hati sebagai cadangan (Bank 1993) dengan
demikian toksisitas akibat tingginya vitamin D3
Setelah terjadi proses hidroksilasi, senyawa 25-HCC berikatan
dengan protein pembawa yang terdapat di dalam plasma secara cepat
meninggalkan hati menuju ginjal (Bank 1993; Freskanich et al. 2003).
Pengaktifan tahap ke dua, proses metabolik mengalami hidroksilasi di
dalam mitokondria sel tubulus proksimal ginjal menjadi metabolik aktif yaitu
1,25-dehidrokolekalsiferol (1,25-DHCC) yang bertanggung jawab terhadap
fungsi biologis utama vitamin D untuk mempertahankan serum kalsium
dalam kondisi fisiologis normal melalui perannya pada usus, ginjal, dan
tulang (Dawson-Hughes et al. 1997; Murray et al. 2003). Reaksi
pembentukan senyawa 1,25-DHCC di dalam ginjal dirangsang oleh rendahnya
kadar kalsitriol dalam plasma, kalsium, fosfor dan hormon paratiroid.
Penurunan konsentrasi kalsium darah akan merangsang kelenjar hipofise
untuk meningkatkan sintesis dan sekresi PTH (Guyton 1996).
dapat dicegah
(Ganong 1995).
Metabolisme kalsium tulang tidak lepas dari peran vitamin D3(kalsitriol)
pada saluran pencernaan dan sintesis vitamin D3 endogen. Apabila terjadi
kekurangan vitamin D, absorbsi kalsium dan fosfor berkurang sehingga
menyebabkan hipokalsemia (Passeri et.al. 2008). Kondisi ini menstimulasi
kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH dalam jumlah tinggi, yakni dengan
menstimulasi secara tidak langsung aktivitas osteoklas untuk meningkatkan
proses resorbsi tulang sehingga kalsium dan fosfor masuk ke dalam darah.
Hormon paratiroid juga merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kalsium pada
tubuli dan meningkatkan ekskresi fosfat, serta mengubah
25-hidroksikolekalsiferol (25-OHD) menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
20/29
26
[1,25-(OH)2D3] yang merupakan metabolit aktif vitamin D, yaitu vitamin D3.
Selanjutnya vitamin D3 ini
Vitamin D berpengaruh pada kemampuan osteoblas dalam memelihara
kesehatan tulang. Pengaruh ini ditentukan oleh kemampuan vitamin D
mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler yang cukup, agar dapat
dideposisi ke dalam matriks tulang. Matriks tulang merupakan hasil sintesis
osteoblas (Hollick 1996) dan vitamin D memengaruhi osteoblas melalui lintasan
genomik maupun nongenomik. Lintasan genomik memengaruhi osteoblas
melalui stimulasi biosintesis matriks yaitu meningkatkan produksi osteopontin
(OPN) dan osteoklasin (OCN) (Khoury et al. 1995).
menstimuli usus halus untuk menyerap lebih banyak
kalsium dan fosfor (Favus 1993).
Vitamin D memengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor pada organ
target, yaitu usus halus, tulang, dan ginjal. Metabolit aktif vitamin D3
(kalsitriol) mempermudah penyerapan kalsium secara aktif di dalam usus
halus dengan merangsang sintesis kalsium yang terikat dengan protein
(Ilich-Ernst dan Kerstetter 2000). Vitamin D3 mempermudah masuknya
kalsium ke dalam sel melalui protein pengikat kalsium kalmodulin
(Guyton 1996).
2.2.4. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon utama yang bertanggung
jawab memelihara konsentrasi kalsium setiap saat. Pengaruh biologis
yang sangat penting dari PTH meliputi: 1). meningkatkan kalsium plasma
yang bersamaan dengan penurunan fosfat plasma, 2). meningkatkan
ekskresi fosfat urin (fosfaturia), 3). meningkatkan resorbsi kalsium urin,
4). meningkatkan kecepatan remodelingtulang, 5). meningkatkan osteolisis
osteosit, 6). membantu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D 3
Sebagai respons terhadap keadaan hipokalsemia, PTH disekresikan oleh
kelenjar paratiroid. Hormon ini mengikat reseptor khusus pada tulang dan sel
tubulus ginjal. Pada ginjal, PTH merangsang produksi vitamin D yang disebut
dengan 1,25-(OH)
dengan
memengaruhi sistem 1-hidrolase, dan 7). meningkatkan absorbsi kalsium
dan fosfat dari usus halus oleh pengaruh langsung pada pembentukan
1,25-dihidroksikolekalsiferol (Banks 1993).
2D3. Metabolit ini bekerja pada usus halus untuk merangsang
penyerapan kalsium makanan dan bersama dengan PTH mendukung mobilisasi
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
21/29
27
kalsium dari tulang. Pada saat yang sama 1,25-(OH)2D3
Pelepasan hormon paratiroid menyebabkan meningkatnya kalsium
plasma. Pengaruhnya pada kerangka menyebabkan pelepasan 1,66 mol
kalsium untuk setiap mol fosfor (Calvo et al. 1988; Banks 1993).
Meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat meningkatkan absorbsi
garam-garam kalsium dari tulang sehingga menimbulkan hiperkalsemia,
sebaliknya hipofungsi kelenjar tiroid (menghasilkan kalsitonin) dapat
menimbulkan hipokalsemia (Guyton 1996).
dan PTH menyebabkan
ginjal meresorbsi lebih banyak ion kalsium, sehingga pada plasma dan kalsium
ekstraseluler akan meningkat ke level normal (normokalsemia), dan akan
menghambat sekresi PTH melalui puncak umpan balik yang negatif
(Murray et al.2003) (Gambar 8).
Pengaruh kalsitonin pada sel osteoklas dan osteosit bersifat
antagonis terhadap aksi hormon paratiroid. Pengaruh kalsitonin pada
ginjal mengimbangi aksi hormon paratiroid. Kalsitonin juga menunjukkan
suatu pengaruh penghambatan penyerapan kalsium dan fosfor pada usus
kecil. Pengaruh kalsitonin dalam sistem homeostasis di antaranya adalah:
1). mereduksi kalsium dan fosfor, 2). menghambat rangsangan hormon
Gambar 8. Peranan kelenjar paratioid dan kelenjar tiroid dalam
homeostasis kadar kalsium darah.
Hormon mengaktifkanstimulasi osteoklas
Reabsorpsi tulangmelepaskan Ca
ke darah
Mengaktifkanstimulasi osteoblas
Deposit Capada tulang
Sensor kel tiroidterhadapCa darah
Sensor kel paratiroidterhadap [Ca]
darah
Sekresi hormonparatiroid
[Ca] darah
naik kenormal
Sekresi kalsitoni
[Ca] darah
turun kenormal
[Ca] darah tinggi[Ca] darah rendah
Keadaan normal
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
22/29
28
paratiroid terhadap osteoklas dan osteolisis osteosit, 3). secara tidak
langsung menghambat penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus, dan
4). melakukan perangsangan jangka pendek pada aktivitas osteoblas.
Pengaruh kalsitonin pada lambung diduga terjadi secara tidak langsung,
yaitu menghambat sintesis 1,25-dihidroksikolekasiferol. Peranan langsung
kalsitonin pada ginjal belum diketahui dengan jelas. Pengaturan ganda
kalsium oleh hormon paratiroid dan kalsitonin lebih jelas dibandingkan
dengan kemungkinan yang dilakukan oleh satu hormon secara tunggal
(Banks 1993).
2.2.5. Estrogen
Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid, yang dihasilkan
oleh sel teka interna folikel ovarium, korpus luteum, plasenta dan sedikit
dihasilkan oleh korteks adrenal (Ganong 1995). Oleh karena itu wanita tetap
memiliki estrogen dalam kadar rendah walaupun telah terjadi menopause karena
masih ada estrogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Carola et al. 1990).
Tiga jenis estrogen dapat ditemukan pada tubuh wanita, yakni estradiol, estron,
dan estriol (Rachman 1999). Kekurangan hormon estrogen akan menyebabkan
meningkatnya kadar PTH, sehingga akan meningkatkan resorbsi tulang,sehingga terjadi penurunan massa tulang (Lindsay 1991; Gruber et al. 2002).
Tulang merupakan target hormon estrogen, yang memiliki reseptor dan
(Pollard 1999). Secara seluler, mekanisme kerja hormon estrogen pada tulang
dimulai dari interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon
yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang timbul merupakan hasil
interaksi keduanya (Albert et al. 1998).
Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di tulang yang potensial
karena keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan produksikalsitonin serta menurunkan sekresi hormon paratiroid. Estrogen juga dapat
meningkatkan kadar 1,25 dihidroksikalsiferol sehingga akan meningkatkan
penyerapan kalsium di dalam usus. Penurunan produksi estrogen juga
menggagalkan osteoblas mendeposit jaringan matriks (osteoid) (Stevenson dan
Marsh 1992). Estrogen bertanggung jawab pada fase pertumbuhan dan
menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang masa pubertas (Greenspan
dan Strewler 1993). Defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang.
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
23/29
29
Akibat defisiensi estrogen ini akan terjadi peningkatan produksi dari IL-1, IL-6,
dan TNF lebih lanjut. Estrogen juga merangsang ekspresi dari osteoprotegerin
(OPG) dan transforming growth factor- (TGF-) oleh sel osteoblas dan sel
stroma, sehingga estrogen berfungsi menghambat penyerapan tulang dengan
cara mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas (Oursler 2003).
Pada wanita pascamenopause, kadar estrogen mulai menurun. Akibat
dari penurunan hormon estrogen ini, maka proses resorbsi tulang terganggu
(Mizuno et al. 1995; Fitzpatrick 2003; Rachman 2004). Estrogen memengaruhi
kehilangan tulang baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada tulang
dan secara tidak langsung dengan memengaruhi hormon pengatur kalsium (PTH
dan Vitamin D) dan sitokin interleukin (IL-1 , IL-6 dan TNF) (Potu et al, 2009).
Kadar estradiol pada masa premenopause sebesar 100-1000 pmol/l,
sedangkan pada masa menopause menurun secara drastis hingga 20-50 pmoI/l.
Kadar estron masa premenopause juga menurun, namun tidak sebanyak
penurunan estradiol. Pada masa pascamenopause tidak dijumpai sama sekali
adanya folikel ovarium sehingga terjadi penurunan kadar estradiol ke tingkat
yang sangat rendah dan disertai dengan penurunan kadar progesteron. Rasio
kadar estron dan estradiol pada wanita pascamenopause sangat besar yaitu
930:70 pg/ml.
2.2.6.
Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon
sudah banyak dikembangkan saat ini. Salah satunya adalah fitoestrogen.
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas
biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006).
Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada
dua gugus OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksilyang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan
reseptor estrogen di tulang (Adlercreutz et al. 2002; Dewell et al. 2002).
Fitoestrogen
Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan
fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan
estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement
therapy/HRT). Pada tanaman dikenal beberapa senyawa fitoestrogen yang
diketahui antara lain isoflavon, flavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan
asiklik (Rachman et al.1996; Adlercreutz et al. 2002).
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
24/29
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
25/29
31
2.3. Ovariektomi
Ovariektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau teknik laparatomi
untuk pengambilan ovarium bilateral. Secara luas pada bidang biomedis, tikus
ovariektomi merupakan model juvenile osteopenia (Yamazaki dan
Yamaguchi 1989; Cesnjaj et al. 1991), dan dapat menjadi model wanita
pascamenopause (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008).
Arjmandi et al. (1996) membuktikan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus
percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena
ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas. Ovariektomi menyebabkan
kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang
kortikal. Selain itu, tindakan ovariektomi dapat segera menimbulkan gejala
menopause tanpa menimbulkan gejala lain.
Pada tikus yang dilakukan ovariektomi, ditemukan peningkatan aktivitas
resorbsi tulang, hal ini sesuai dengan peranan estrogen terhadap tulang.
Hilangnya fungsi ovarium dalam memproduksi hormon seks steroid, seperti
estradiol akan menimbulkan kondisi hipoestrogenis yang merupakan faktor
utama kehilangan massa tulang (Miller et al. 1986). Histerektomi dengan
ovariektomi bilateral banyak dihubungkan dengan tingginya risiko osteoporosis
(Lee dan Kanis 1994). Kalu et al. (1993) dan Dempster et al.(1995) menyatakan
bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume
tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim serum
alkalin fosfatase.
2.4. Aplikasi Pengobatan Osteoporosis
Secara medis ada beberapa obat yang dipakai untuk mengobati
osteoporosis, yaitu meminum susu berkalsium tinggi, memakai jenis obat yang
mengandung kalsium/fosfat dosis tinggi, dan pemberian beberapa jenis preparat
hormon estrogen sintetis tetapi hal ini harus diberikan seumur hidup (Gass dan
Neff 1995). Selain itu, pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan,
misalnya meningkatkan risiko kanker payudara, karsinoma endometrium,
perdarahan per vagina, tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995;
Genant et al. 1998).
Kejadian osteoporosis merupakan proses yang sangat kompleks, maka
tidak semua kasus osteoporosis dapat disembuhkan secara sempurna. Adanya
kemungkinan terjadinya risiko terapi preparat hormonal sintetis jangka panjang,
menyebabkan fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis masa kini
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
26/29
32
diarahkan kepada pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap
tubuh seperti perubahan asupan mineral, khususnya imbangan kalsium fosfat
makanan, vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan
penggunaan tumbuhan bahan alam yang telah digunakan secara tradisional oleh
masyarakat untuk mengobati penyakit (Tiangburanatham 1996).
Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk
mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit. Pencegahan osteoporosis
yang baik adalah dengan menjaga keseimbangan kalsium dalam tulang. Hal ini
dapat dilakukan dengan menghindari hilangnya kalsium yang berlebihan melalui
ginjal dan gangguan penyerapan kalsium oleh usus (Preisinger et al. 1995).
2.5. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb)Sipatah-patah (Cissus quadrangulaSalisb) ditemukan di Aceh. Tanaman
ini umumnya ditemukan di kawasan hutan dan dapat tumbuh dengan cepat jika
dipindahkan ke tempat lain. Herbarium Bogoriensis menyatakan bahwa spesies
ini adalah Cissus quadrangula Salisb. Taksonomi tanaman tersebut adalah
sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Class : Magnoliophyita
Ordo : Sapindales
Family : Vitaceae
Genus : Cissus
Spesies : Cissus quadrangula Salisb
Penampang melintang batangnya berbentuk segi empat sehingga
tanaman ini dinamakan quadrangula. Pada setiap sudutnya terdapat tonjolan
yang tipis ke samping, dan di antara masing-masing tonjolan terletak terpisah.
Bentuk batang berbuku-buku dan setiap satu meter batang terdapat 4-5 buku,
batang berwarna hijau kemerahan. Buku pada batang terus bertambah, baik ke
atas maupun ke samping. Di antara buku-buku yang telah ada muncul 1-2 daun
penumpu, dan di bagian bawah daun penumpu ini muncul calon batang baru.
Pada bagian ujung batang muncul 1-2 daun penumpu, dan di antara daun
penumpu ini muncul batang baru ke atas. Menurut Versteegh-Kloppenburgh
(2006) batangnya bertekuk dan daunnya jarang. Daun sipatah-patah berbentuk
runcing, panjang daun sekitar 4-5 cm dan terdapat pada pertemuan diantara
buku-buku serta cepat rontok.
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
27/29
33
Tanaman sipatah-patah di Aceh sering dipergunakan untuk pengobatan
beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang. Pengobatan
rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tumbuhan tersebut, yang
ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara itu untuk mengobati
patah tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu
menempelkan pada tempat yang patah. Penulis melakukan wawancara dengan
bapak Rustam, salah seorang ahli pengobatan tradisional yang ada di Desa
Lamgugob Kecamatan Syiah Kuala kotamadya Banda Aceh, beliau menyatakan
bahwa tanaman ini juga sangat manjur untuk mengobati wanita lanjut usia yang
menderita sakit sendi dan patah tulang. Tanaman sipatah-patah sejauh ini belum
pernah diteliti baik dalam bentuk penggunaannya maupun analisis kandungan
kimiawinya.
Cissus quadrangularis Linn, merupakan salah satu tanaman yang
ditemukan di Afrika Barat, India, Sri Lanka, Malaya, dan Jawa (Jainu et al. 2006).
Tanaman ini tumbuh baik pada tempat terbuka dan terkena cahaya matahari
langsung. Spesies ini ditemukan di daerah panas dan dataran rendah sampai
600 m di atas permukaan laut (Shirwaikar et al. 2003). Swamy et al. (2006)
menyatakan bahwa ada tanaman Cissus quadrangularis Linn. yang dipakai
dalam pengobatan tradisional di India. Tanaman ini berbeda dengan sipatah-
patah yang ada di Aceh yaitu mempunyai daun berbentuk bulat. Perbedaan
morfologi antara sipatah-patah Aceh dengan Cissus quadrangularis Linn. dari
India (Gambar 10).
Penelitian fitomedisin yang dilakukan oleh Nadkarni (1954) dan
Warrier et al. (1994) menunjukkan bahwa bagian batang dari tanaman Cissus
quadrangularis Linn. secara luas digunakan untuk pengobatan fraktur tulang,
tumor, wasir, sariawan, dan tukak lambung. Tanaman ini juga mempunyai sifat
antiosteoporotik (Shirwaikar 2003), analgesik, hipotensi, antibakterial, antifungal
(Austin dan Jagdeesan 2004), obat anti kanker (Taylor 2002) dan peradangan
(Dalimartha 2003). Di Afrika dan Asia ekstrak daun, batang, dan akar tanaman
ini digunakan dalam penanganan berbagai penyakit (Murthy et al. 2003;
Oben et al. 2008). Ekstrak batang dan akar dari tanaman ini diketahui juga
memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba.
Getah batang tanaman Cissus quadrangularis Linn. digunakan untuk
pengobatan patah tulang, penyakit telinga dan mata, sariawan, asma, menstruasi
tidak teratur, wasir, tumor, danluka (Kritikar dan Basu 2000). Tanaman bagian
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
28/29
34
Cissus quadrangulaSalisb
Cissus quadrangularisLinn.
Gambar 10. Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangulaSalisb)dari Aceh dan Cissus quadrangularisLinn. (Shirwaikar et al. 2003)dari India, terlihat jelas adanya perbedaan warna batang dan bentukdaun.
akar, batang, dan daun digunakan khusus untuk patah tulang (Kumbhojkkar et al.
1991). Menurut Nadkarni (1954) akar Cissus quadrangularis Linn. sangat
berguna untuk pengobatan fraktur tulang baik diminum maupun digunakansebagai plester eksternal. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman
ini mempunyai sifat analgesik, antioksidan, dan penyembuhan fraktur pada
tulang (Deka et al. 1994).
Cissus quadrangularis Linn. bersifat asam, mengandung senyawa
euforbin, taraksasterol, -laktucerol, eufol, glikosida, sapogenin, dan asam
elagat. Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti
kuersetin dan vitamin C, resveratrol, piceatannol, palidol, ketosteroid, dan
karoten (Swamy et al. 2006), senyawa fitoestrogen yaitu isoflavon, lignin,
8/13/2019 2011msa_Tinjauan Pustaka (Bab II)
29/29
coumestan, triterpen, glicosides, dan asiklik (Jainu dan Devi 2006). Di samping
itu tanaman Cissus quadrangularis Linn. mengandung vitamin C, -karoten,
fitosterol, dan kalsium (Tiangburanatham 1996; Patarapanich et al. 2004).
Attawish et al. (2002) menyatakan bahwa batang Cissus quadrangularis
Linn. mengandung triterpen seperti - dan -amirin, -sitosterol, ketosteroid, -
karoten dan vitamin C. Mehta et al. (2001) menyatakan adanya senyawa -
amirin, -amiron. Senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik
yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui
memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model
(Nevarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002). Dari hasil-hasil pernyataan para
peneliti tersebut di atas, menunjukkan bahwa kandungan fitokimia tanaman ini
sangat beragam.
Sanyal et al. (2005) menemukan kristal kalsit pada Cissusquadrangularis
Linn. Kristal kalsit ekstrak tanaman ini kaya akan sumber ion kalsium, dan
apabila direaksikan dengan CO2
Batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpenoid dan
polifenol yang diketahui menekan pembentukan sitokin (Jainu dan Devi et al.
2006). Sedang Leiro et al. 2004 dan Thuong et al. 2005 menyatakan bahwa
triterpenoid dan polifenol menurunkan pembentukan TNFdan IL1-.
memicu terbentuknya kristal kalsit dengan
morfologi yang tidak beraturan. Hal ini mengindikasikan adanya molekul bio-
organik. Ekstrak segar batang Cissus quadrangularisLinn. mengandung kalsium
4 % dan fosfor.