BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom
klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya
dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat.
Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar
kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea
darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh
oliguria (keluaran urin <400 ml/hari). Kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi
berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang Amerika mengandung
sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urin maksimum
sekitar 1200 mOsm/Lair, maka kehilangan air obligat dalam urin adalah 500
ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun hingga kurang dari 400 ml/hari
pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin
meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF.
Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh
kasus ARF, keluaran urin melebihi 400 ml/hari dan dapat mencapai hingga 2
L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau non-oligurik. ARF
menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada
gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi,
ekskresi dan endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia
bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitannya
akut.
Sangat perlu bagi kita mhasiswa keperawatan untuk mempelajari materi.
Oleh karena itu, makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat
berupa pengetahuan serta wawasan untuk kita semua.
1
B. Tujuan
Tujuan Umum
- Agar Mahasiswa mengetahui konsep medis dan konsep keperawatan
Acute Kidney Failure
Tujuan Khusus
- Agar Mahasiswa mengetahui definisi
- Agar Mahasiswa mengetahui anatomi Fisiologi
- Agar Mahasiswa mengetahui klasifikasi
- Agar Mahasiswa mengetahui etiologi
- Agar Mahasiswa mengetahui patofisiologi
- Agar Mahasiswa mengetahui manifestasi klinik
- Agar Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang
- Agar Mahasiswa mengetahui komplikasi
- Agar Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan
- Agar Mahasiswa mengetahui pencegahan
- Agar Mahasiswa mengetahui diagnosa keperawatan
- Agar Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan nanda nic noc
2
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom
klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya
dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat.
Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar
kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea
darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh
oliguria (keluaran urin <400 ml/hari). Kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi
berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang Amerika mengandung
sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urin maksimum
sekitar 1200 mOsm/Lair, maka kehilangan air obligat dalam urin adalah 500
ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun hingga kurang dari 400 ml/hari
pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin
meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF.
Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh
kasus ARF, keluaran urin melebihi 400 ml/hari dan dapat mencapai hingga 2
L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau non-oligurik. ARF
menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada
gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi,
ekskresi dan endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia
bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitannya
akut.
ARF merupakan sindrom klinis yang sangat lazim, terjadi pada sekitar 5%
pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif. Beragamjenis komplikasi yang berkaitan dengan penyakit,
obat,kehamilan, trauma, dan tindakan bedah dapat menyebabkan ARF.
Berlawanan dengan gagal ginjal kronik, sebagian besar pasien ARF biasanya
3
memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal, dan keadaan ini umumnya
dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas akibat ARF sangat tinggi
(sekitar 50%), bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis, mungkin
menunjukkan penyakit kritis yang biasanya turut terkait.
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam
sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen
(urea-kreatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.
Tergantung dan keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa
metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti
asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbahan cairan serta dampak
terhadap berbagai organ tubuh lainnya.
Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila
terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5mg% pada pasien
dengan kadar kreatinin awal <2,5 mg% atau meningkatkan >20% bila kreatinin
awal >2,5 mg%. Dengan demikian gagal ginjal akut pada gagal ginjal kronis
(acute on chronic renal disease) telah termasuk dalam definisi ini. The Acute
Dialysis Quality Inititions group membuat RIFLE system yang
mengklasifikasikan GGA ke dalam tiga kategori menurut beratnya (Risk Injury
Failure) serta dua kategori akibat klinik (Loss dan End-stage renal Disease).
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Karena ginjal memiliki peran
vital dalam mempertahankan homeostasis, gagal ginjal menyebabkan efek
sistemik multipel. Semua upaya untuk mencegah gagal ginjal amat penting.
Dengan demikian, gagal ginjal harus diobati secara agresif.
The U.S. National Kidney Foundation’s kidney Disease Outcomes Quality
Initiative telah mengalami revisi dan menjelaskan stadium penyakit
ginjalkronis. Stadium dibuat berdasarkan ada tidaknya gejala dan progresivitas
penurunan GFR, yang dikoreksi perukuran tubuh (per 1,73 m3). GFR normal
pada dewasa sehat kira-kira 120 sampai 130 ml per menit. Stadium penyakit
ginjal adalah sebagai berikut:
4
1. Stadium 1: Kerusakan ginjal (kelainan atau gejala dari patologi kerusakan,
mencakup kelainan dalam pemeriksaan darah atau urine atau dalam
pemeriksaan pencitraan) dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) normal atau
hampir normal, tepat atau di atas 90 ml per menit (≥ 75% dari nilai
normal).
2. Stadium 2: Laju filtrasi glomerulus antara 60 dan 89 ml per menit (kira-kira
50% dari nilai normal), dengan tanda-tanda kerusakan ginjal. Stadium ini
dianggap sebagai salah satu tanda penurunan cadangan ginjal. Nefron yang
tersisa dengan sendirinya sangat rentan mengalami kegagalan fungsi saat
terjadi kelebihan beban. Gangguan ginjal lainnya mempercepat penurunan
ginjal.
3. Stadium 3: Laju filtrasi glomerulus antara 30 dan 59 ml per menit (25%
sampai 50 % dari nilai normal). Insufisiensi ginjal dianggap terjadi pada
stadium ini. Nefron terus-menerus mengalami kematian.
4. Stadium 4: laju filtrasi glomerulus antara 15 dan 29 ml per menit (12%
sampai 24% dari nilai normal) dengan hanya sedikit nefron yang tersisa.
5. Stadium 5: Gagal ginjal stadium lanjut; laju filtrasi glomerulus kurang dari
15 ml per menit (<12% dari nilai normal). Nefron yang masih berfungsi
tinggal beberapa. Terbentuk jaringan parut dan atrofi tubulus ginjal.
B. Anatomi Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan
zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal
gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4
minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus diikuti dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air
diekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpul urin. Bab ini
akan membahas anatomi makroskopik dan mikroskopik ginjal serta membahas
mengenai fisiologi ginjal.
5
Saluran Kemih
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menerus menghasilkan urine,
dan berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urin
keluar tubuh.
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua
sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal
kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga
kedua belas. Sedangkan kutub atau ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12
inci (25 hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi
satu-satunya adalah menyalurkan urin ke vesika urinaria.
Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis,
terletak di belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara: dua
dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi vesika urinaria adalah: (1)
sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh dan (2)
berfungsi mendorong urin keluar tubuh (dibantu uretra)
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai ke luar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inci (4 cm)
dan pada laki-laki sekitar 8 inci (20 cm). Muara uretrakeluar tubuh disebut
meatus urinarius.
Hubungan Anatomis Ginjal
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,
di depan dua iga terakhir dan tiga otot besar—tranversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh
bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenalterletak di atas kutub masing-
masing ginjal.
Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung—di sebelah posterior
dilindungi oleh iga, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang
tebal. Bilaa ginjal mengalami cedera, maka hampir selalu terjadi akibat
kekuatan yang mengenai iga kedua belas, yang berputar ke dalam dan menjepit
6
ginjal di antara iga itu sendiri dengan korpus vertebra lumbalis. Perlindungan
yang sempurna terhadap cedera langsung ini menyebabkan ginjal dengan
sendirinya sukar untuk diraba dan juga sulit dicapai sewaktu pembedahan.
Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak teraba pada waktu
pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup
oleh limpa. Namun, kutub bawah ginjal kanan yang berukuran normal, dapat
diraba secara bimanual. Kedua ginjual yang membesar secara mencolok atau
tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi, walaupun hal ini lebih
mudah dilakukan di sebelah kanan.
Struktur Makroskopik Ginjal
Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 am (4,7
hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya
sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.
Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan
pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk
merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit
ginjal adalah perubahan struktur.
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui
hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat yang berikatan
longgar dengan jaringan yang ada di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan
mudah dari permukaan ginjal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda –
korteks di bagian luar dan medula bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi
baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh
bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tresebut
tersebut tampak bercorak karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan
duktus pengumpul nefron. Papila (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus
7
papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak
duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan
ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor (L.
Calix, cawan). Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang
selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama
sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika
urinaria.
Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami
pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut
selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus
pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ka dalam duktus
papilaris Bellini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya
meninggalkan ginjal melalui ureter menuju vesika urinaria. Dinding kaliks,
pelvis, dan ureter mengandung otot polos yang dapat berkontraksi secara
berirama dan membantu mendorong urine melalui saluran kemih saluran kemih
dengan gerakan peristaltik.
Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal
Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis
kanan lebih panjang dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam
vena kava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya
vena renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan.
Gambaran anatomis ini menyebabkan ahli bedah transplantasi biasanya lebih
suka memilih ginjal kiri donor yang kemudian diputar dan ditempatkan pada
pelvis kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria renalis pendek dan
beranastomosis dengan arteria iliaka intrena (hipogastrika). Namun, vena
renalis harus lebih panjang, karena ditanmakan langsung ke dalam iliaka
eksterna.
8
Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang
menjadi arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya
membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-
piramid tersebut.
Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interlobularis yang
tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya
membentuk arteriola aferen.
Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai
kapiler yang disebut glomerulus (jam., gromeruli). Kapiler glomeruli bersatu
membentuk arteriol eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk
sistem jarinagn portal yang mengelilingi tubulus dankadang-kadang disebut
kapiler peritubular. Sirkulasi ginjal tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua
bantalan kapiler yang terpisah, tapi bantalan glomerulus dan bantalan kapiler
peritubular terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua darah ginjal melewati
keduanya. Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi
filtrasi) adalah lebih tinggi (40 hingga 59 mg Hg), sedangkan tekanan dalam
kapiler peritubular (tempat reabsorbsi tubular kembali ke sirkualsi) adalah
rendah (5 hingga 10 mm Hg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam
tubuh. Darah yang melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena
interlobular, arkuata, interlobar, dan vena ginjal untuk mencapai vena kava
inferior.
Gambaran Khusus Aliran darah Ginjal
Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah per menit – suatu volume yang
sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan
ini memang sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua
ginjal kurang dari 1% dari berat seluruh tubuh.
Lebih dari dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks,
sedangkan sisanya didistribusikan ke medula (arti fisiologis hal ini terhadap
urine akan dibahas kemudian).
9
Sifat khusus aliran darah ginjal yang lain adalah autoregulasi aliran darah
melalui ginjal. Arteriol afern mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat
mengubah resistensunya sebgai respons terhadap perubahan tekanan darah
arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan. Fungsi ini efektif pada tekanan arteria antara 80
sampai 180 mm Hg. Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar
dalam eksresi zat terlarut dan air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu
autoregulasi ini dapat ditaklukkan, meskipun tekanan arteria masih dalam batas
autoregulasi. Saraf-saraf renal dapat menyebabkan vasokonstriksi pada
keadaan darurat dan mengalihkan darah dari ginjal ke jantung, otak, atau otot
rangka dengan mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi
aliran darah intraranal mungkin penting dalam patogenesis gagal ginjaloliguria
akut.
Variasi Suplai Vaskular Ginjal
Ginjal mendapatkan banyak darah dari arteria atau vena. Anomali arteria
renalis jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya,
sekitar 25% dari populasi atau lebih memilki lebih dari satu arteria renalis yang
menyuplai ginjal. Arteria-arteria tambahan ini biasanya berasal dari
percabangan kecil-kecil dari aorta dan menyuplai kutub-kutub ginjal.
Arteriogram suplai darah ginjal penting dilakukan pada donor sebelum
pelaksanaan transplantasi ginjal, karena variasi seperti ini secara teknis dapat
menyulitkan ahli bedah.
STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL
Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar satu juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai
jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri
10
dari kapsula Bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus,
kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang
mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yan normal masih dapat
bertahan (walaupun dengan susah payah) dengan jumlah nefron kurang dari
200.000 atau 1% dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin
untuk transplantasi tanpa membahayakan kehidupan.
Korpuskulus Ginjal
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan
korpuskulus ginjal,walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan
rumbai kapiler.
Kapsula Bowman merupakan suatu inavigasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula
Bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang
Bowman atau ruang kapsular.
Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis
berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar kapsula; sel epitel viseralis
jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi
bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau
kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana
basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas
dari kontak antar sel epitel. Daerah - daerah yang terdapat di antara podosit
biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400Å (satuan Angstrom).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di
antara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain.
Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yan g menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis tidak tampak
adanya pori-pori, kendati pun bersifat seakan-akan memilki pori-pori yang
berdiameter sekitar 70 sampai 100Å.
11
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.
Nemun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama
fenestrasi) yang berdiameter sekitar 600Å. Sel-sel endotel berlanjut dengan
endotel yang membatasi arteriola aferen dan eferen.
Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan
tiga lapisan yang membentuk filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus
memungkinkan ultra filtrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan
molekul-molekul protein besar ldari bagian plasma lainnya, dan mengalirkan
bagian plasa tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari kapsula
Bowman. Sifat diskriminatif ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan
struktur yang unik dan komposisi kimia dari sawar ultrafiltrasi. Membran
basalis glomerulus tampaknya merupakan struktur yang membatasi lewatnya
zat terlarut ke dalam ruangan urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Di
samping itu, sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh
kumpulan makromolekul kaya anion pada membrana basalis dan melapisi
batas epitel dan endotel. Muatan negatif inilah yang menjadi alasan mengapa
secara normal albumin anionik (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada
ukuran pori yang terkecil) tidak mampu masuk ke ruang urine. Molekul-
molekul protein yang besar serta sel-sel darah dalam keadaan normal tidak
ditemukan dalam filtrat maupun urine.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium yang
terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk
jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga
berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong. Sel mesangial bukan
merupakan bagian dari membran filtrasi namun menyekresi matriks mesangial.
Sel masangial memiliki aktivitas fagostik dan menyekresi prostaglandin. Sel
mesangial mungkin berperan dalam memengaruhi kecepatan filtrasi
glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial
memilki kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan
kapiler glomerulus. Sel mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular
12
dekat dengan kutub vaskular glomerus (antara arteriola aferen dan eferen)
disebut sel lacis.
Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus
yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing-masing glomerulus yang
berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume
cairan ekstraseluler (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel:
1) Jukstaglomerulus (JG) atau sel granular (yang memproduksi dan
menyimpan renin) pada dinding arteriol aferen.
2) Makula densa tubulus distal.
3) Mesangial akstraglomerrlar atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai
dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel
lacis dan sel JG yang menyekresi renin.
Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan
intrarenal.dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG
dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding aferiol aferen atau
penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan
merangsang sel JG untuk melepaskan renin dalam granula tempat renin
tersebut disimpan sel. Sel JG, yang mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan miniatur, yaitu
merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif
(ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal,
yang dirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian
melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan
mekanisme renin-angiostensin-aldosteron.
Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula
densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida
yang tedapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit
natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang
13
doabsorbsi dalam tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel makula
densa ke sel JG menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal
klorida yang diartikan menjadi sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti.
Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan
perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki
efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF
– yaitu menekan sekresi renin.
Faktor lain yang memengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal,
yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta-adregenik dalam JGA
dan angiostensin yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi
lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium
dan natrium)dan berbagai hormon yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin,
hormon antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit
oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endotelium
[EDRF]), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat
integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari
semua faktor.
FISIOLOGI DASAR GINJAL
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
ECF dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan cairan ekstrasel
ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus .
Ultrafiltrasi Glomerulus
Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma.
Aliran darah ginjal (RBF) setara sengan dekitar 25% curah jantung atau 1.200
ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal
(RPF) sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari
plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman.
Ini dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada
glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer
14
mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah
dan molekul-molekul protein yang besar atau protein bermuatan negatif
(seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan
yang merupakan ciri khas dari sawar memban filtrasi glomerular, sedangkan
molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif
(seperti air dan kristaloid) sudah langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan
bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui glomerulus dalam waktu sehari –
suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang beban totalnya hanya sekitar
10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil
berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang
dieksresi sebagai urine.
Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus
yang cepat ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi
metabolikdalam proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan
tekanan yang terapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan
hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan
ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta
tekanan onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula Bowman pada
hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada
protein. Walaupun pada manusia tidak pernah diukur, tekanan kapiler
glomerulus seperti yang diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50
mmHg, dan tekanan intrakapsular sekitar 10 mmHg. Perkiraan ini didasarkan
pada pengukuran yang dilakukan pada tikus. Tekanan onkotik darah besar-
besaran sekitar 30 mmHg. Dengan demikian, tekanan filtrasi bersih dari
glomerulus besarnya sekitar 10 mmHg . filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas
membran membran filtrasi (Kf). Kf adalah hasil dari permeabilitas intrinsik
kapiler glomerular dan daerah permukaan glomerulus untuk filtrasi. Laju
filtrasi lebih tinggi dalam kapiler glomerulus dari pada kapiler lainnya, karena
Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-kira 2 L/hari).
15
Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan
mengguanakan suatu zat seperti inulin, yang diflitrasi secara bebas pada
glomerulus dan tidak disekresi maupun direabsorbsi oleh tubulus. Bersihan
suatu zat adalah besarnya volume plasma dari zat yang dibersihkan secra total
oleh ginjal per satuan waktu. Laju bersihan inulin sama dengan GFR, yang
diukur dengan pemberian inulin dengan kecepatan tetesan intravena (IV) yang
konstan untuk menjamin tingkat konsentrasi plasma yang konstan. Hasil
pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam mg/dl, dalam urine
(Uin) dalam mg/dl, serta volume urine (V) dalam ml/menit, memungkinkan
penghitungan bersihan inulin (Cin) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi
terhadap luas permukaan tubuh – diperkirakan dengan menggunakan
nomogram yang menghubungkan tinggi dan berat badan terhadap luas
permukaan tubuh. Misalnya bila seseorang mengeluarkan urine dengan
kecepatan 4,2 ml/menit, spesimen Uin sebesar 600 mg/dl. Dan Pin sebesar 25
mg/100 ml, maka:
GFR = Cin= (Uin) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit
(Pin) 25 mg/dl= 100 ml/menit
GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan
mengoreksinya terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73
m2. Koreksi ini memungkinkan kita membandingkan fungsi pada orang-orang
yang berbeda keadaan fisiknya. GFR laki-laki muda normal berkisar 125 ± 15
ml/menit/ 1,73 m2, sedangkan GFR perempuan muda normal adalah 110 ± 15
ml/menit/ 1,73 m2.
Autoregulasi Aliran Plasma Ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus
GFR tidak sepenuhnya bergantung pada kekuatan fifk yang bekerja di
membran glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan
GRF dan RPD pada tingkat yang relatif konstan walaupun terdapat fluktuasi
harian normal dalam tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal.
Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan
16
mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit adalah untuk mencegah
fluktuasi yang tidak sesuai bagi natrium dan sekresi air. Autoregulasi lebih
efektif bila kisaran tekanan darah arteri sekitar 80 sampai 180 mm Hg namun
dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran tersebut berada dalam keadaan
patologis tertentu.
Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi RPF dan GFR
adalah:
1) Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vaskular arterior aferen.
2) Timbal balik tubuloglomerular (TGF).
Selain itu, norepinefrin, angiostensin II, dan hormon lain juga dapat
memengaruhi autoregulasi. Kapiler gromerular berbeda dari bantalan kapiler
lain dalam menempatkan diri di antara dua arteriol (aferen dan eferen). Sebagai
akibatnya, tekanan hidrostatik intrakapiler (Pgc) ditentukan oleh tiga faktor:
1) Tekanan darah sistemik.
2) Resistensi pada arteriol aferen.
3) Resistensi pada arteriol eferen.
Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi
dalam arteriol aferen dan eferen. Sebagai contoh , kenaikan tekanan darah
sistemik dan tekanan perfusi ginjal dapat diharapkan untuk meningkatkan Pgc
dan kemudian meningkatkan laju RPF dan GFR. Namun peningkatan tekanan
perfusi ginjal akan dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arteriol
aferen yang mengakibatkan konstraksi dalam arteriol aferen. Tapi, arteriol
aferen tidak merespon secara langsung perubahan dalam regangan sehingga
tidak memperbesar respon miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen
tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR, sehinggamengimbangi
peningkatan yang besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan
meningkatkan tekanan perfusi ginjal.
Di lain pihak, jika terdapat hipotesis sistemik, sistem renin-angiostensin
diaktifkan dengan pembentukan angiostensin II. Angiostensin II menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen dan vasokonstriksi arteriol eferen namun pada
derajat yan lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi tekanan perfusi ginjal serta
17
RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan Pgc
(karena peningkatan resistensi arteriol eferen). Akibat yang menguntungkan
adalah bahwa angiostensin II meniadakan regulasi GFR : penurunan RPF
cenderung meningkatkan GFR. Norepinefrin (dilepaskan dari saraf simpatik
ginjal atau dari korteks adrenal) meningkatkan efek vasokonstriksi dari
angiostensin II. Angiostensin II juga merangsang pelepasan prostaglansin
vasodilator (misalnya PGI2, PGE2) dari glomerulus, yang meminimalkan
kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik.
Mekanisme kedua yang bertanggung jawab terhadap autoregulasi GFR
(yaitu TGF) mengacu kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh
perubahan kecepatan aliran di tubulus distal. TGF diperantarai oleh sel makula
densa dalam tubulus distal (bersebelahan dengan kutub glomerulus), yang
sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi
dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen sehingga
mengurangi GFR dalam nefron tersebut.
Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu sendiri benar-benar suatu lengkung
timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan peningkatan hantaran NaCl ke
nefron distal dan oleh sebab itu akan meningkatkan pemindahan natrium
melewati sel makula densa. Kemudian akan diikuti oleh reduksi GFR.
Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia untuk
berpindah melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR
meningkat.
Reabsorbsi dan Sekresi Tubulus
Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit,
dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium
(K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-),
dan fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa,asam amino,
dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein:
urea, asam urat, dan kreatinin.
18
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah
reabsorbsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang
difiltrasi direabsorbsi melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus
sehingga akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus
yang mengelilingi tubulus. Di samping itu, beberapa zat disekresi pula dari
pembuluh darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.
Proses reabsorbsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme
transpor aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut aktif bila zat berpindah
melawan perbedaan elektrokimia (yaitu melawan perbedaan potensial listrik,
potensial kimia, atau keduanya). Kerja langsung ditujukan pada zat yang
direabsorbsi atau disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini
dikeluarkan dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (misalnya 3Na+ / 2K+
ATPase). Mekanisme transpor disebut pasif bila zat direabsorbsi atau disekresi
bergerak mengikuti perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses
perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi.
Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya di sepanjang tubulus
proksimal melalui transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorbsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal.
Sedikitnya dua pertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi
secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorbsi natrium berlanjut
dalam lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1%
beban yang difiltrasi dieksresikan dalam urine. Sebagian besar Ca2+ dan
HPO4= direabsorbsi dalam tubulus proksimal dengan cara transpor aktif. Air,
klorida, dan urea direabsorbsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif.
Dengan berpindahnya ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen
tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk
mencapai kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan
nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami
pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar tubulus dan masuk ke
darah peritubular. Urea kemudain berdifusi secara pasif mengikuti perbedaan
konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorbsi air. Ion hidrogen (H+), asam organi
19
seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa
organik) semuanya secara aktif dideekresi ke salam tubulus proksimal. Sekitar
90% dari bikarbonat direabsorbsi secara tak langsung dari tubulus proksimal
melalui pertukaran Na+ - H+. H+ yang disekresi ke dalam luen tubulus
(sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam
filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan
berdisosiasi menjadi air dan karbon dioksida (CO2). CO2 maupun H2O akan
berdifusi keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus
tersebut, aekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2 dengan H2O
untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3
dan H+. H+ disekresi kembali menjadi HCO3- akan masuk ke dalam darah
peritubular bersama dengan Na+.
Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian
asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi
secara masuk bagian lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan
urine dan akan dibahas kemudain.
Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus dan
duktus pengumpul. Dua fungs penting tubulus adalah pengaturan tahap akhir
dari keseimbangan air dan asam basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF
harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45.
Sejumlah mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH
dalam batas normal. Dapar darah yang paling utama adalah sistem asam
bikarbonat-karbonat yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
Karbonikanhidrase
CO2 + H2O ----------H2CO3 H+ + HCO3-
pH darah dinyatakan dalam persamaan Handerson-Hasselbach:
[HCO3-](ginjal)pH = pK + log [H2CO3](paru]
20
pK adalah konstanta disosiasi H2CO3-. Paru membuang CO2 yang
terbentuk bila H+ didapat oleh HCO3- (reaksi di atas bergeser ke kiri), dan
dengan demikian berperan penting dalam menstabilkan pH. Peran ginjal dalam
mempertahankan keseimbangan asam basa adalah reabsorpsi sebagian besar
HCO3- yang difiltrasi. Dalam mempertimbangkan gangguan asam-basa,
seringkali perlu diingat bahwa pH serum sesungguhnya banyak bergantung
pada rasio HCO3- / H2CO3, dan faktor pembilang terutama diatur oleh
mekanisme ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur penyebut (melalui
maknisme pembuangan CO2). Perubahan faktor pembilang atau penyebut akan
diikuti oleh perubahan faktor lainnya ke arah yang sama. Perubahan ini dikenal
sebagai kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan pH.
Selain reabsorpsi danpenyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga
membuang H+ yang berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80
mEq asam yang bukan H2CO3. Asam-asam ini tidak dapat dibuang melalui
paru sehingga disebut asam tetap. Asam-asam ini dibuang melalui cairan
tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH sampai serendah 4,5 (perbedaan ion
hidrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan ion hidrogen dalam plasma).
Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus. H+
disekresikan dalam bentuk kombinasi dengan HPO4= berbasa dua yang
terfiltrasi atau dengan amonia (NH3). Dengan demikian H+ dieksresi sebagai
garam asam berbasa satu yang dapat dititrasi (NaH2PO4+) atau sebagai ion
amonium (NH4+). NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus,
tetapi bila telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH4 yang
bermuatan; tidak lagi dapat berdifusi kembali ke dalam sel tubulus. Karena pH
urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5 maka jumlah H+ bebas yang dapat
dieksresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme amonium (dan
mekanisme fosfat) berperan penting dalam dalam pembuangan beban asam,
karena NH4+ tidak memengaruhi pH urine. Pendaparan H+ oleh NH3 atau
HPO4= juga berefek pada penambahan HCO3- baru ke dalamplasma untuk
setiap ion H+ yang dieksresi ke dalam urine. H+ yang disekresi berasal dari
H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga meninggalkan HCO3- dalam
21
sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya, bilamana HCO3-
direabsorpsi dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka HCO3- sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+
akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap plasma yang disekresi ke
dalam cairan tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu sintesis
denovo) melalui mekanisme dapat sangat penting dalam mencegah asidosis.
Asam urat dan kalium disekresi ke dalam tubulus distal seperti telah
disebutkan sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% darikalium yang
terfiltrasi diekskresikan ke dalam urine. Reabsorpsi air juga diselesaikan dalam
tubulus distal dan duktus pengumpul.
Beberapa hormon mengatur proses reabsorpsi dan sekresi terlarut dan air.
Reabsorpsi air bergantung pada adanya hormon antidiuretik (ADH).
Aldosteron memengaruhi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan
aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan peningkatan sekresi
K+. Penurunan aldosteron mempunyai pengaruh sebaliknya. Peptida natriuretik
atrium (ANP), yaitu satu hormon yang dihasilkan dan disimpan dalam miosit
atrium jantung, memiliki efek berlawanan dengan reabsorpsi Na+ terhadap
aldosteron. ANP dilepaskan jika atrium teregang (yaitu ekspansi dari volume
sirkulasi efektif [ECV]) dan meningkatkan sekresi Na+ dan air dalam duktus
pengumpul. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorpsi Ca++ dan HPO4=
di sepanjang tubulus. Penigkatan PTH menyebabkan peningkatan reabsorpsi
Ca++ dan ekskresi HPO4=. Penurunan PTH mempunyai penagruh sebaliknya.
Proses reabsorpsi selektif dan sekresi di sepanjang tubulus memungkinkan
ginjal mengatur lingkungan dalam tubuh dengan cara yang tepat.
Pengaturan Keseimbangan Air
Konsentrasi total zat terlarut dalam cairan tubuh seorang normal sangat
konstan meskipun fluktuasi asupan dan ekresi air dan zat terlarut cukup besar.
Kadar plasma cairan tubuh dapat dipertahankan dalam batas-batas yang sempit
melalui pembentukan urine yang jauh lebih pekat atau lebih encer
dibandingkan plasma dari urine yang dibentuk. Cairan yang banyak diminum
22
menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Urine menjadi encer dan kelebihan
air akan dieksresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan
air arau asupan zat terlarut berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi
pekat, maka urine akan sangat pekatt sehingga banyak zat terlarut yang
terbuang dalam kelebihan air. Air yang dipertahankan cenderung
mengembalikan cairan tubuh kembali pada konsentrasi zat terlarut normal.
Sebelum dapat mamahami proses-proses yang ikut berperan dalam dalam
pengaturan keseimbangan cairan tubuh, maka perlu dipahami lebih dahulu
konsep osmolalitas, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan konsentrasi
cairan tubuh.
Konsentrasi Osmotik
Konsentrasi osmotik (osmolalitas) menyatakan jumlah zat partikel yang
larut dalam dalam suatu larutan. Jika zat terlarut ditambahkan ke dalam air,
maka konsentrasi efektif (aktivitas) dari air relatif menurun dibandingkan
dengan air murni. Aktivitas osmotik hanya dipengaruhi oleh jumlah relatif dari
partkel-partikel zat terlarut dan pelarut, dan dalam keadaan ideal tidak
bergantung pada sifat zat terlarut. Partiekl-partikel zat terlarut yang berbeda
alam massa, bentuk dan muatan, tetap mempunyai efek yang sama terhadap
aktivitas osmotik pelarut asalkan jumlahnya sama. Dengan demikian, enam ion
natrium dan klorida yang berdisosiasi sempurna mempunyai pengaruh yang
sama terhadap terhadap aktivitas osmotik seperti halnya enam enam molekul
glukosa dalam 1 kg air, meskipun sangat berbeda, baik dalam massa, bentuk,
maupun muatannya.
Sifat Koligatif Larutan
Penambahan partikel zat terlarut ke dalam suatu pelarut akan menrunkan
tekanan uap dan titik beku larutan serta meningkatkan titik didih serta
osmotiknya. Fenomena ini dikenal sebagai sifat koligatif larutan. Seluruh sifat
ini bergantung pada konsentrasi osmotik.
23
Dua sifat koligatif yang pertama adalah penurunan tekanan uap dan
penigkatan titik didih. Bila air dububuhi partikel-partikel , maka lebih sulit bagi
air untuk lolos dari permukaan karena konsentrasi efektif air berkurang.
Akibatnya air murni akan mendidih pada suhu 100 oC sedangkan larutan
glukosa dalam air baru akan mendidih pada suhu di atas 100 oC.
Jika air dibubuhi partikel-partikel zat terlarut tekanan osmotik akan
meningkat, dan ini merupakan sifat koligatif ketiga dari larutan. Sebagai
contoh, dua molekul glukosa dan enam molekul glukosa lainnya berada pada
dua ruangan terpisah yang dibatasi membran semi-permeabel. Pori-pori
membran terlalu kecil untuk memungkinkan difusi glukosa dengan mudah. Air
yang lebih kacil molekulnya dapat berdifusi dengan mudah dari bagian yang
memiliki konsentrasi osmotik rendah menuju bagian dengan kosentrasi
osmotik lebih tinggi. Proses ini disebut osmosis. Sesungguhnya air bergerak
dari daerah yang memilki konsentrasi air lebih tinggi ke daerah dengan
konsentrasi lebih rendah. Jadi proses osmosis hanya merupakan suatu proses
difsi khusus.
Difusi akan terus berlangsung samapai tercapai keseimbanagn osmotik.
Kekuatan pengendali air yang bergerak melalui membran semipermeabel
disebut tekanan osmotik. Prinsip osmosis merupakan dasar dari pergerakan air
antara ruang-ruang dalam tubuh. Prinsip ini juga berlaku pada dialisis dengan
menempatkan glukoda berkonsentrasi tinggi dalam bak dialisis untuk
mempermudah pembuangan cairan yang berlebihan dari tubuh yang tertimbun
apabila ginjal tidak berfungsi secara memadai.
Sifat koligatif larutan yang keempat adalah penurunan titik beku. Air yang
dibubuhi partikel-partikel yang menyebabkan larutan membeku pada suhu
yang lebih rendah daripada air murni yang membeku pada 0 oC.
Pengukuran Konsentrasi Osmotik
Terdapat dua jenis cara pengukuran konsentrasi osmotik cairan tubuh
yang lazim dipakai. Pengukuran penurunan titik beku dengan alat osmometer
merupakan pengukuran konsentrasi osmotik yang sesungguhnya, tetapi caranya
24
rumit dan harus dilakukan dalam laboratorium. Pengukuran ini berdasarkan
prinsip bahwa titik beku larutan yang mengandung 1 gram berat molekul (mole
atau mol) dari zat yang tidak berdisosisasi dalam 1 kg air adalah -1,86 oC.
Larutan seperti itu disebut larutan osmolal, mengandung 1 osmol-gram partikel
zat terlarut (yaitu jumlah partikel yang diperlukan untuk menurunkan titik beku
air sebanyak 1,86 oC). Perubahan suhu ini disebut konstanta titik beku (Kf) dan
setara dengan satu osmol.
Bila tidak ada disosiasi, maka setiap molekul zat terlarut bertindak
sebagai partikel tunggal. Ukuran molekul tidak mempengaruhi sifat koligatif
sehingga pengaruh 1 gram-mol albumin (berat molekul 70.000) terhadap titik
beku air sama dengan pengaruh 1 gram-mol glukosa (berat molekul 180). Bila
terjadi disosisasi, misalnya NaCl, maka akan terbentuk dua ion, dan setiap
molekul mempunyai pengaruh dari dua partikel. Dalam hal ini, 1 osmol sama
dengan setengah berat molekul.
Pada orang sehat, konsentrasi plasma adala 285 ± 10 mOsm / kg H2O.
Metode kedua untuk memperkirakan konsentrasi caian tubuh ialah dengan
mengukur berat jenis munggunakan urinometer. Berat jenis bukan pengukuran
konsentrasi yang sebenarnya, tetapi karena sederhana cara ini sering digunakan
di unit klinis. Apa yang sesungguhnya diukur adalah densitas (yang bergantung
pada berat partikel zat terlarut) dan bukan konsentrasi (yang bergantung pada
jumlah partikel zar terlarut). Namun memperkirakan konsentrasi urine dengan
mengukur berat jenis cukup teliti asalkan urine tersebut terdiri dari unsu-unsur
yang normal.
Osmolalitas versus Osmolaritas
Dalam literatur dan praktik, istilah osmolaritas seringkali dipakai sebagai
ganti atau dapat dipertukarkan dengan istilah osmolalitas dalam pembahasan
mengenai konsentrasi larutan IV atau cairan tubuh. Pertukaran ini seringkali
membingungkan. Osmolalitas merupakan pernyataan konsentrasi dalam
hitungan 1000 gram air. Oleh karena itu suhu maupun ruang yang ditempati
oleh benda padat dalam larutan tidak memengaruhi nilai osmolalitas dan dapat
25
dilakukan perbandingan langsung dengan berbagai jenis cairan tubuh dengan
kandungan air atau benda padat yang berbeda. Sebaliknya, perbandingan
seperti ini tidak mungkin dilakukan jika konsentrasi dinyatakan per 1 L larutan,
yaitu osmolaritas. Jumlah air dalam 1 L larutan merupakan fungsi suhu
maupun ruang yang ditempati oleh benda padat yang tredapat dalam larutan.
Sifat koligatif hanya ditentukan oleh rasio partikel zat terlarut dan partikel zat
pelarut sehingga osmolaritas berbagai cairan tubuh tidak dapat dibandingkan
secara langsung. Untuk membentuk larutan 1 osmol, maka 1 gram-mol partikel
zat terlarut ditambahkan ke dalam suatu cawan yang tepat berisi 1000 g air.
Dengan demikian volume larutan lebih besar dari satu liter. Larutan 1 osmolar
dibuat dengan mula-mula menambhakan 1 gram-mol partikel zat trelarut ke
dalam cawan, kemudian ditambahkan air hingga mencapai batas volume 1 L.
Dengan demikian, volume zat terlarut sudak termasuk dalam larutan itu. Sudah
jelas bahwa konsentrasi kedua larutan itu tidak sama. Perbedaan antara
osmolalitas dan osmolaritas dapat diabaikan dalam rentang konsentrasi dan
suhu cairan tubuh. Namun, perlu menggunakan unit konsentrasi osmolal pada
saat menyiapkan larutan IV yang tepat.
Fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan konsentrasi cairan-cairan
tubuh konstan pada 285 mOsm. Bagaimana keadaan ini dicapai akan digali
lebih lanjut pada bagian-bagian berikut.
Reabsorpsi Isoosmotik dalam Tubulus Proksimal
Ketika pertama kali masuk ke dalam tubulus proksimal, konsentrasi
filtrat glomerulus sama dengan konsentrasi plasma yaitu 285 mOsm. Oleh
karena itu disebut isoomatik. Di sepanjang tubulus proksimal, terdapat 6% -
80% filtrat direabsorpsi ke dalam kapiler peritubulus. Reabsorpsi ini bersifat
isoosmotik karena baik air maupun zat terlarut direabsorpsi dalam proporsi
yang sama seperti keadaannya dalam filtrat. Sehingga pada bagian akhir
tubulus proksimal konsentrasi filtrat tetap 285 mOsm dan filtrat masih tersisa
sekitar 20%. Meskipun aliran telah banyak berkurang (dari 125 menjadi 25
ml/menit), tetapi ekskresi urine yang langsung keluar dari tubulus proksimal
26
kira-kira 1.500 ml/jam. Pada kecepatan ekskresi demikian kematian akan
timbul dalam beberapa jam akibat dehidrasi, karena kehilangan 12% sampai
14% dari berat tubuh dalam bentuk air adalah fatal. Langkah berikutnya dalam
proses pembentukan urine adalah mengurangi volume filtrat dalam jumlah
yang besar sebelum dikeluarkan sebagai urine.
Mekanisme Aliran Balik
Dalam ginjal terdapat dua jenis nefron; kortikal dan jukstamedularis.
(letaknay dekat dengan medula). Nefron jukstamedularis mempunyai lengkung
Henle yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan nefron kortikal, dan suplai
darah peritubularnya dalam bentuk lengkung sperti peniti, yang turun jauh ke
bawah di samping lengkung Henle. Pembuluh darah ini disebut vasa rekta.
Gambaran anatomis nefron jukstamedularis sangat berperan dalam penentuan
konsentrasi urine. Kenyataannya, makin panjang lengkung, makin besar
kemampuan memekatkan urine pada binatang. Tikus kanguru memilki
lengkung yang panjang sekali dan dapat mengeluarkan urin berosmolalitas
sekitas 6.000 mOsm. Pada manusia, sekitar satu dari tujuh nefron merupakan
nefron jukstamedularis, denhan lengkung yang pamjang dan konsentrasi
maksimum urine adalah sekitar 1.400 mOsm.
Mekanisme aliranbalik yang bertanggung jawab utnuk konservasi air oleh
ginjal sesungguhnya mencakup dua proses dasar : 1) aliran balik lengkung
Henle dan 2) penukar aliran balik dalam vasa rekta yang berbentuk lengkung
seperti peniti. Lengkung Henle membentuk cairan interstisial dalam medula
hiperosmotik, dan membuat cairan tubular yang keluar dari lengkung Henle
dan masuk ke dalam tubulus distal menjadi hipoosmotik; perubahan ini
memungkinkan kosentrasi urine tahap terakhir berubah-ubah dalam batas yang
cukup luas. Pembuluh darah vasa rekta mencegah hilangnya perbedaan
osmotik dalam cairan interstisial medula yang telah diciptakan oleh lengkung
Henle. Sepanjang nefron, proses fundamental yang terlibat dalam pembentukan
urine yang pekat atau encer adalah proses reabsorpsi aktif klorida di bagian
27
asenden lengkung Henle dan berbagai permeabilitas terhadap difusi pasir air
dan urea selama terdapat perbedaan konsentrasi.
Pertama-tama, teliti dulu keseluruhan hubungan yang terjadi selama
pembentukan urine yang pekat. Pada glomerulus tempat filtrasi dimulai, filtrat
bersifat isoosmotik denganplasma pada angka 285 mOsm. Pada akhir tubulus
proksimal, 80% filtrat telah direabsorpsi meskipun konsentrasinya masih tetap
sebesar 285 mOsm. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian
desendenlengkung Henle, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung
lengkung. Kemudian waktu filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden,
konsentrasinya makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi
hipoosmotik pada bagian ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak di
sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya
bersifat isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul, sekali
lagi menjadi semakin pekat. Pada bagian akhir duktus pengumpul, sekitar 99%
air sudah direabsorpsi atau sekitar 1%filtrat yang diekskresi sebagai urine.
Perhatikan bahwa terdapat juga perbedaan konentrasi cairan intersistial
yang semakin meningkat mulai dari korteks sampai ke medula. Vasa rekta
yang berjalan ke bawah di sebelah lengkung Henle juga mempunyai perbedaan
konsentrasi yang semakin meningkat pada bagian desenden dan berkurang
pada bagian asenden, walaupun pengurangannya jauh lebih kecil daripada
pengurangan yang terjadi pada bagian asenden lengkung Henle.perhatikan pula
bahwa pada bagian lengkung Henle membentuk kolom-kolomparalel dan filtrat
mengalir ke arah yang berlawanan. Inilah yang disebut aliran balik dan dengan
demikian lengkung Henleberfungsi sebagai pengali aliran balik yang
menciptakan perbedaan konsentrasi dalam interstisisal.
Kerja pengali aliran balik pada lengkung Henle dimulai dengan proses
transpor aktif klorida keluar dari bagian asenden. Proses ini mengakibatkan
mengalirnya natrium secara pasif mengikuti perbedaan potensial yang
ditimbulkan transfer aktif klorida. Namun karena bagian asenden tidak bersifat
permeabel terhadap air, maka air tidak dapat secara pasif mengikuti transpor
NaCl. Dengan demikian semakin mendekat ujung bagian asenden, filtrat
28
menjadi hipoosmotik. Cairan intersistial makin pekat, sehingga terbentuk
perbedaan osmotik cairan intersistial dan bagian desenden lengkung Henle. Air
keluar dari bagian desenden sedangkan natrium klorida masuk secara pasif
sehingga filtrat menjadi semakin pekat. Dengan berlanjutnya proses ini tercipta
perbedaan konsentrasi yang makin meningkat dari korteks ke medula pada
bagian desenden lengkung Henle dan intersistial hingga mencapai keadaan
seimbang.
Vasa rekta melengkung ke bawah di samping lengkung Henle bertidak
sebagai penukar aliran balik melalui difusi pasif (transpor aktif tidak ikut
berperan). Darah dalam vasa rekta berada dalam keseimbangan osmotik
dengancairan intersisitial. Ketika darah mengalir melalui bagian desenden vasa
rekta, NaCl secara pasif bergerak masuk dan air keluar, sehingga darah makin
pekat saat mencapai ujung lengkung. Pada bagian asenden vasa rekta terjadi
peristiwa sebaliknya. Natrium secara pasif berdifusi keluar, masuk ke
intersistial sedangkan air direabsorpsi ke pembuluh darah dan dikembalikan ke
sirkulasi umum. Fakta bahwa aliran darah melalui vasa rekta lambat
memungkinkan vasa rekta bertindak sebagai penukar yang efisien. Jika
alirandarah sangat cepat, maka NaCl yang masuk ke dalam bagian desenden
akan terbuang. Dengan demikian, vasa rekta bertindak sebagai penukar aliran
listrik, mencegah hilangnya perbedaan konsentrasi dalam intersistial yang
diciptakan oleh lengkung Henle sebagai pemekat aliran balik.
Di sepanjang tubulus distal, Na+(Cl-) direabsorpsi secara aktif. Dalam
keadaan antidiuresis, filtrat hipoosmotik pada permulaan tubulus distal menjai
isoosmotik saat mencpai ujung duktus pengumpul. Pemekatan akhir urine
berlangsung pada tubulus distal dan duktus pengumpul di bawah kontrol
hormon antidiuretik (ADH). Tubulus distal dan duktus pengumpul bersifat
permeabel terhadap air bila terdapat ADH. Air berdifusi ke arah luar ke dalam
intersisitial sebagai respon terhadap gradien osmotik dalam medula. Air
kemudian masuk ke dalam bagian asenden vasa rekta dan dikembalikan ke
sirkulasi umum. Urine akhir yang terbentuk memiliki volume kecil namun
tinggi konsentrasi osmotiknya.
29
Sebaliknya dalam keadaan diuresis dan tanpa adanya ADH, tubulus distal
dan duktus pengumpul sesungguhnya tidak bersifat permeabel terhadap air.
Na+(Cl-) secara aktif direabsorpsi dari tubulus distal dan duktus pengumpul,
tetapi air tidak berdifusi keluar untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.
Na+ mengalami reabsorpsi dan air tertinggal sehingga urine yang dihasilkan
bervolume besar dan encer.
Urine juga berdifusi keluar dari duktus pengumpul, masuk ke cairan
interstisial tempat urea memegang peranan dalam pembentukan konsentrasi
osmotik yang yang tinggidalam medula. Sebagian urea juga masuk ke dalam
bagian desenden lengkung Henledan vasa rekta dan bersirkulasi kembali.
Pengaruhnya dalah untuk menahan urea dalam interstisial medula. Seseorang
yang dietnya rendah protein tidak dapat memekatkan urine, demikian pula
seseorang yang dietnya mengandung protein normal atau tinggi, karena urea
merupakan hasil akhir dari metabolisme protein.
Mekanisme ADH dalam Mengatur Osmolalitas Plasma.
Mekanisme ADH membantu mempertahankan volume dan osmolalitas
ECF pada tingkat konstan dengan mengatur volume dan osmolalitas urine.
Perubahan volume ECF atau osmolalitas dari niali normal mengontrol
pengeluaran ADH. ADH dibentuk dalam nukleus supraoptik hipotalamus dan
berjalan ke bawah di sepanjang serabut saraf menuju hipofisis posterior tempat
ADH disimpan untuk dilepaskan kemudian. Pengeluaran ADH dikontrol oleh
mekanisme umpan balik melalui dua jaras.
Pengeluaran ADH dirangsang oleh osmolalitas ECF (dari nilai ideal 285
mOsm) atatu penurunan volume plasma. Sebagai contoh, peningkatan
osmolalitas atau penurunan volume ECF dapat disebabkan oleh faktor-faktor
seperti kekurangan air, kehilangan cairan karena muntah, luka bakar, diare,
atau berkeringat; atau pergeseran cairan seperti pada asites. Perasaan haus
subjektif juga dirangsang oleh penurunan volume ECF atau peningkatan
osmolalitas ECF. Sebagai contoh, peningkatan rasa haus adalah gejala yang
sering terjadi pada ornag yang mengalami perdarahan (penurunan volume
30
ECF) atau pada orang yang baru saja memakan gula-gula (peningkatan volume
ECF akibat peningkatan glukosa dalam darah).
Sel osmoreseptor terletak dalam hipotalamus dekat dengan nukleus
supraoptik yang merasakan sedikitnya 1% hinga 2% perubahan osmolalitas
darah karena sirkulasi karotis interna. Sinyal neuronal dari osmoreseptor akan
merangsang pelepasan ADH dari kelenjar hipofisis dan secara terus menerus
merangsang rasa haus. Pusat yang menjadi perantara rasa haus terletak di
dalam hipotalamus. Kerja ADH dalam ginjal meningkatkan proses utama yang
terjadi dalam lengkung Henle melalui dua mekanisme yang berhubungan satu
sama lain: 1) aliran darah melalui vasa rekta di medula berkurang bile terdapat
ADH, sehingga memperkecil pengurangan zat dalam interstisium; dan 2) ADH
meningkatkan permeabilitas duktus pengumpul dan tubulus distal sehingga
makin banyak air yang berdifusi keluar untuk membentuk keseimbangan
dengan cairan interstisial yang hiperosmotik. Efek akhir kedua mekanisme ini
meningkatka reabsorpsi dan ekskresi sedikit volume dari urine yang pekat. Air
minum dan air yang disimpan oleh ginjal keduanya membantu memulishkan
osmolalitas ECF menjadi normal.
Bila volume ECF menurun sekitar 10%, pengisian air diaktifkan sebagai
cara memulihkan volume ECF tanpa menghiraukan osmolalitas ECF. Pada
kasus ini baroreseptor pada sirkulasi arterial dan vena mernagsang pelepasan
ADH melalui jalur neuron. Perangsangan ADH nonosmotik ini timbul tanpa
bergantung pada fungsi osmoreseptor. Rasa haus juga sirangsang namun
mungkin diperantarai oleh angiostensin II. Volume ECF yang merangsang
pelepasan ADK dapat menolak rangsangan osmotik., sehingga penurunan
volume ECF yang bermakna adalah penyebab utama hiponatremia.
Sebaliknya, osmolalitas ECF yang rendah ataupeningkatan volume akibat
peningkatan asupan air mengaktifkan mekanisme yang mengatur kembali
perlindungan air. Rasa haus tertekan, dan pelepasan ADH dirangsang. PGE2,
yaitu prostaglandinyang dihasilkan dalam ginjal, menghambat aksi ADH pada
duktus pengumpul. Efek akhir proses ini menurunkan asupan air dan
meningkatkan ekskresi volume pengenceran urine.
31
Bahkan pada kasus-kasus ekstrim dengan banyak sekali volume cairan
yang diminum atau asupan sangat terbatas, manusis normal mempunyai
fleksibilitas yang mengagumkan dalam mempertahankan osmolalitas cairan
ekstraseluler pada tingkatan 285 mOsm yang konstan. Untuk mencapai ini kita
dapat mengekskresi urine hingga seencer 40 mOsm sampai 1.400 mOsm.
Seperti yang akan diperlihatkan kemudian, pasien insufisiensi ginjal
kehilangan flesibilitas yang besar ini.
PENGATURAN KADAR NATRIUM TUBUH
Sistem Renin-Angiostensin-Aldosteron
Pengaturan volume sirkulasi efektif (ECV) atau volume ECF secara primer
dicapai melalui modifikasi ekskresi Na+ urine, berlawanan dengan pengaturan
osmolalitas ECF yang dicapai melalui keseimbangan air. Pemeliharaan Na+
tidak langsung terlibat dalam osmoregulasi kecuali bila terdapat perubahan
volume yang terjadi cecara bersamaan. Osmolalitas ditentukan olek rasio zat
terlarut (terutama garam Na+ dan K+) terhadap air, sedangkan vlume ECF
ditentukan oleh jumlah pasti Na+ dan air yang ada. Mekanisme renin-
angiostensin-aldosteron berperan penting dalam pengaturan kadar Na+ dalam
tubuh.
Renin adalah enzim pertama dalam kaskade biokimia sistem renin-
angiostensin-aldosteron. Fungsi sistem ini adalah mempertahankan volume
ECF dan tekanan perfusi jaringan dengan mengubah resistensi pembuluh darah
dan ekskresi Na+ dan air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh
hipotensi dan penurunan volume, serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah
perangasang utama sekresi renin. Asupan dari JGA nefron, yang dijalankan
sebagai baroreseptor intrarenal dan penghantar kemoreseptor tubulus distal
telah dijelaskan sebelumnya. Asupan ke sistem saraf pusat (CNS) diberikan
oleh baroreseptor yang terletak di pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal,
yang terletak dalam atrium jantung pembuluh darah paru bertekanan rendah
terutama merespon volume atau isi dari cabang pembuluh darah. Peningkatan
volume intravaskular memperbesar atrium jantung dan menyebabkan
32
penurunan aktivitas simpatik ginjal dan pelepasan peptida netriuretik atrium,
keduanya meningkatkan ekskresi Na+ ginjal. Penurunan volume intravaskular
memilki efek yang bertolak belakang. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta
dan sinus karotis bertekanan tinggi yang tertama berespon terhadap tekanan
arteri darah. Penurunan tekanan darah menghasilkan peningkatan aktivitas
simpatis ginjal, menyababkan retensi Na+ dan air. Peningkatan tekanan
intravaskular memilki efek yang bertolak belakang.
Pelepasan renin dari sel JG ke dalam sirkulasi mengawali rangkaian
kejadian yang dimulai dengan pecahnya angiostensinogen substrat
(glikopreotein serum yang dihasilkan hati) menjadi angiostensin I.
Angiostensin I kemudian diubah menjdai agiostensin II oleh enzim pengubah
angiostensin (ACE) yang ada di paru dalam konsentrasi tinggi tetapi ACE juga
terdapat di tempat lain, termasuk ginjal. Begitu terbentuk, angiostensin II
memiliki dua efek sistemik utama: vasokonstriksi arteriol serta meningkatkan
reabsorpsi Na+ dan air ginjal oleh tubulus distal dan duktus pengumppul. Efek
kedua diperantarai peningkatan sekresi aldosteron leh korteks adrenal, yang
dirangsang oleh anhiostensin II. Kedua aksi ini cenderung akan mengoreksi
hipovolemia atau hipotensi (sehingga memulihkan perfusi jaringan) yang
biasanya bertanggung jawab untuk merangsang sekresi renin.
Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan antuk mengontrol ekskresi
Na+ ginjal dan volume ECF yang berlawanan mengatur mekanisme renin-
angiostensin-aldosteron. Atrium jantung menyintesis suatu hormon yang
disebut peptida natriuretik atrial (ANP), yang kemudain disimpan dalam
granula. ANP dilepaskan dari granula atrium sebagai respon terhadap regangan
(yaitu peningkatan volume ECF). ANP meningkatkan ekskresi Na+ dan air
oleh ginjal. Efek diuretik diperantarai oleh sifat vaodilatasinya, mengakibatkan
peningkatan aliran darah ginjal (RBF) dan tindakan supresifnya pada sekresi
ADH dan aldosteron.
33
C. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi GGA Menurut The Acute Dialysis Quality Initiative Group
Kriteria Laju Filtrasi
Glomerulus
Kriteria Jumlah Urin
Risk
Trauma
Gagal
Loss
ESRD
Peningkatan serum kreatinin
1,5 kali
Peningkatan serum kreatinin 2
kali
Peningkatan serum kreatinin 3
kali atau kreatinin 355 πmol/l
Gagal ginjal akut persisten,
kerusakan total fungsi ginjal
selama lebih dari 4 minggu
Gagal ginjal terminal lebih dari
3 bulan
<0,5 ml/kg/ja selama
6 jam
<0,5 ml/kg/jam
selama 12 jam
<0,5 ml/kg/jam
selama 24 jam atau
anuria selama 12 jam
D. Etiologi
Penyebab ARF umumnya dipertimbangkan dalam tiga kategori diagnostik:
azotemia prarenal, azotemia pascarenal, dan ARF intrinsik. Klasifikasi ini
menenkankan bahwa hanya pada kategori ketiga (renal) terjadi kerusakan
parenkim ginjal yang cukup berat untuk menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.
Jika faktor-faktor prarenal dan pascarenal lama kemungkinan menyebabkan
kegagaln fungsi ginjal. Jika faktor-faktor prarenal dan pascarenal lama
kemungkinan menyebabkan gagal ginjal intrinsik tetapi dengan diagnosis yang
tepat, akan cepat pulih kembali. Penyakit ginjal intrinsik tersering yang
menyebabkanARF adalah nekrosis tubular akut (ATN), yang menjelaskan lesi
ginjal sebagai respons terhadap iskemia yang lama atau pemajanan terhadap
nefrotoksin. Diagnosis ATN ditegakkan berdasarkan pada pengecualian
penyebab azotemia prarenal dan pascarenal yang diikuti dengan pengecualian
penyebab azotemia prarenal dan pascarenal yang diikuti dengan pengecualian
34
penyebab lain dari gagal ginjal intrinsik (penyakit ginjal tubulointerstisial,
glomerular, vaskular).
Azotemia prarenal merupakan satu-satunya penyebab tersering azotemia
akut (>50% kasus), yang dapat menyebabkan terjadinya ARF tipe ATN.
Petunjuk lazim penyebab prarenal ARF adalah iskemia ginjal yang lama akibat
penurunan perfusi ginjal. Hipoperfusi ginjal dengan berbagai keadaan yang
menyebabkan deplesi volume intravaskuler, menurunnya volume sirkulasi
arteri yang efektif, atau terkadang, obstruksi vaskular ginjal. Beberapa keadaan
prarenal yang paling sering dengan peningkatan risiko ARF adalah
pembedahan aorta abdominalis, operasi jantung-terbuka, syok kardiogenik,
luka bakar berat, dan syok septik. Sebagian besar keadaan ini berkaitan dengan
hipotensi sistemik dengan aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatik dan
sistem renin-angiotensin-aldosteron. Angiotensin menyebabkan vasokontriksi
ginjal, kulit, dan jaringan vaskular splanknikus, dan aldosteron menyebabkan
retensi air dan garam. Respons ini didesain untuk mempertahankan tekanan
arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ yang penting. Pada waktu
yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan untuk mempertahankan
tekanan arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ yang penting. Pada
waktu yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan untuk
mempertahankan GFR dan melindungi ginjal terhadap adanya iskemia.
Angiotensin II menyebabkan terjadinya kontriksi arteriol glomerulus (sehingga
meningkatkan tekanan intra glomerulus dan GFR) dan pada waktu yang sama
merangsang produksi prostaglandin ginjal vasodilator. Efek protektif
prostagandin pada ginjal dapat dinetralkan dengan pemberian obat-obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), seperti aspirin, yang menghambat produksi
hormon-hormon ini. Oleh karena itu, pemberian NSAID pada keadaan
hipoperfusi ginjal dengan penyebab pra renal telah lebih dikenali sebagai
pencetus kerusakan ginjal akibat iskemia pada ARF. Obat-obatan penghambat
enzim pengonversi angiostensin (ACE), yang menghambat angiotensin II, juga
dapat mencetuskan ARF dalam keadaan hipoperfusi ginjal atau obstruksi
35
vaskular ginjal sehingga harus digunakan dengan hati-hati. Pengobatan awal
azotemia prarenal dapat mencegah perkembangannya menjadi ARF.
Penyebab pascarenal azotemia yang dapat menyebabkan ARF lebih jarang
terjadi (5%) daripada penyebab prarenal dan mengarah pada obstruksi aliran
urin di setiap tempat pada saluran kemih. Pembesaran prostat 9akibat hipertrofi
jinak atau kanker) merupakan penyebab tersering obstruksi aliran keluar
kandung kemih. Kanker serviks juga dapat menyebabkan obstruksi saluran
kemih. Obstruksi di atas kandung kemih (biasanya disebabkan oleh batu) harus
terjadi bilateral untuk dapat menyebabkan obstruksi aliran keluar urin, kecuali
bila hanya terdapat satu ginjal yang berfungsi. Penting disadari bahwa
obstruksi aliran keluar urin dalam waktu lama akan menyebabkan
hidronefrosis, kerusakan berat parenkim ginjal, dan ARF. Oleh karena itu,
identifikasi awal dan koreksi obstruksi saluran kemih sangat penting dilakukan.
Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan lesi ginjal yang paling sering
menyebabkan ARF (75%). ATN terjadi akibat iskemia ginjal yang terjadi
dalam waktu lama (akibat kondisi prarenal yang telah disebutkan) atau akibat
pemajanan terhadap nefrotoksin. Sayangnya, penggunaan istilah ATN dan
ARF dapat saling bertukar di klins, walaupun hal ini tidak benar. ATN
mengarah pada jenis lesi yang lazim tetapi tidak selalu berkaitan dengan ARF.
ARF dapat timbul tanpa disertai ATN. Penyebab ARF tanpa nekrosis tubular
yang berasal dari intrinsik ginjallainnya adalah penyakit vaskular atau
glomerular ginjal primer seperti glomerulonefritis pascastreptokokus akut atau
hipertensi maligna (secara berurutan). Serangan akut pada gagal ginjal kronik
juga dapat disebabkan oleh stres seperti infeksi atau kehilangan cairan akibat
muntah dan diare pada pasien gagal ginjal kronik dan cadangan ginjal yang
sedikit. Nefritis tubulointerstisial akut yang disebabkan oleh reaksi alergi
menyebabkan ARF. Penyebab ARF dari non-ATN lain ini harus disingkirkan
sebelum menegakkan diagnosis ATN.
Penyebab nefrotoksik pada ATN adalah nefrotoksin eksogen maupun
endogen yang biasanya menyebabkan ARF tipe non-oligurik. Nefrotoksin
36
eksogen dikelompokkan menjadi empat kelompok utama: antobiotik, bahan
kontras, logam berat, dan pelarut.
Terapi antibiotika minoglikosida dipersulit oleh ARF pada sekitar 10%
perjalanan klinisnya (misalnya, gentamisin, kanamisin, tobramisin).
Berbagai logam berat merupakan nefrotoksin yang kuat dan menyebabkan
terjadinya ARF dengan ATN. Sisplatin (garam platinum), suatu obat yang
digunakan untuk mengobati neoplasma padat tertentu, merupakan agen yang
paling sering digunakan dalam kategori ini. ATN akibat merkuri, arsen,
kromium, atau uranium biasanya disebabkan oelh pemajanan okupasional, atau
zat tersebut diingesti dalam usaha bunuh diri.
Siklosporin (untuk mengobati penolakan transplantasi) dan bahan kontras
dapat berperan dalam menyebabkan ARF dengan menyebabkan terjadinya
vasokontriksi intrarenal. Pasien diabetes terutama rentan terhadap nefropati
akibat pemakaian bahan kontras. Faktor risikotambahn untuk nefropati bahan
kontras mencakup insufisiensi ginjal yang telah ada sebelumnya, usia yang
lebih tua, deplesi volume, mieloma multiple, dan pemajanan multiple terhadap
bahan kontras dalam waktu pendek.
Cedera tubular nefrotoksik dapat terjadi akibat ingesti pelarut seperti
etilene glikol (antibeku) atau metanol (alkohol kayu). Inhalasi uap dari karbon
tetraklorida (CCl4) yaitu bahan yang lazim digunakan dalam larutan
penghilang noda atau pembersih lainnya, disertai oleh ingesti etil alkohol
(CH3CH2OH) sangat berbahaya karena rekasi kimia antara kedua senyawa ini
membentuk suatu nefrotoksin yang kuat. Keadaan ini (misal, ingesti alkohol
saat pesta dan menghilangkan noda pakaian dengan penghilang noda)
menyebabkan ARF pada sejumlah orang yang tidak diduga. Oleh karena alasan
yang sama, orang yang memiliki kegemaran menggunakan lem dan pelarut
organik harus bekerja dalam ruang yang berventilasi baik dan menahan diri
untuk tidak minum alkohol pada waktu yang bersamaan.
Nefrotoksin endogen mencakup hemoglobin, mioglobin, dan protein
Bence Jones 9imunoglobulin abnormal yang dihasilkan dalam mieloma
multipel). Hemolisis eritrosit dengan lepasnya hemoglobin ke dalam serum
37
darah biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan transfusi darah. Sejumlah
besar mioglobin terkandung di dalam otot dan dapat dilepaskan setelah cedera
remuk berat (rabdomiolisis). Bila hemoglobin, mioglobin, atau protein Bence
Jones diekskresikan ke dalam urin, terjadi efek toksik langsung pada sel
tubular ginjal dan menyebabkan ARF. Yang terakhir, pengendapan kristal
asam urat dalam tubulus ginjal yang menyebabkan obstruksi dan ARF. Yang
terakhir, pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal yang
menyebabkan obstruksi dan ARF dapat mempersulit keganasan tertentu
dengan “pergantian sel yang cepat” (misal, leukimia) atau kemoterapi yang
lebih sering dilakukan dengan agen sitotoksik. Pada kedua situasi ini, lisis sel
masif menyebabkan lepasnya sejumlah besar prekursor asam urat purin. Asam
urat lebih mudah mengkristal dalam lingkungan asam sehingga pengendapan
dapat dicegah dengan memberikan alopurinol (menghambat sintesis asam urat)
sebelum kemoterapi atau dengan memberikan natrium bikarbonat supaya urin
menjadi alkali dan mendorong cairan.
E. Patofisiologi
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal dan
oliguria yang biasa menyertai . Sebagian besar konsep modern mengenai
faktor-faktor penyebab yang mungkin didasarkan pada penyelidikan
menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut
nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil nitrat, atau kromat,
sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan dengan menyuntikkan gliserol atau
menjepit arteri renalis. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan
penurunan aliran darah ginjal, dan GFR baik pada percobaan dengan manusia
maupun hewan, yaitu (1) obstruksi tubulus, (2) kebocoran cairan tubulus, (3)
penurunan permeabilitas glomerulus, (4) disfungsi vasomotor, dan (5) umpan
balik tubuloglomerulus. Tidak satupun dari mekanisme di atas yang dapat
menjelaskan semua aspek ARF tipe ATN yang bervariasi itu (schrier, 1986).
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan
deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian
38
membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan
seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya oobstruksi dan
memperberat iskemia. Tekanan intra tubulus meningkat, sehingga tekanan
filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting
pada ARF yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia
berkepanjangan.
Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus
berlangsung normal tetapi cairan tubulus “bocor” keluar dari lumen melalui
sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan
membran basalis dapat terlihat pada ATN yang berat, yang merupakan dasar
anatomik mekanisme ini.
Meskipun sindrom ATN menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal,
bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel
endotel kapiler glomerulus dan/atau sel-sel membran basalis mengalami
perubahan mengakibatkan menurunya permeabilitas luas permukaan filtrasi.
Hal ini mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi glomerulus.
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30 % dari normal
pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR yang cukup besar.
Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau
lebih rendah daripada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau
berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan menunjukkan bahwa RBF harus
kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal ( Merrill, 1971).
Dengan demikian, hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR
dari lesi-lesi tubulus yang terjadi pada ARF. Meskipun demikian terdapat bukti
perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ( letak
glomeruli) dan 10% menuju ke medula, denagan demikian, ginjal dapat
memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pada ARF,
perbandingan antara distribusi korteks dan medula ginjal menjadi terbalik,
sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi arteriol aferen
merupakan dasar vaskular dari penurunan nyata GFR. Iskemia ginjal akan
mengaktivasi sistem renin-angitensin dan memperberat iskemia korteks setelah
39
hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tinggi ditemukan pada korteks luar
ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF
pada hewan maupun manusia. Beberapa penulis mengajukan teori mengenai
prostatglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF. Dalam keadaan normal,
hipoksia ginjal merangsang sintesis prostatgalandin E dan prostatglandin A
(PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal
diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut
yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostatgalandin
ginjal tersebut. Pengahambat prostatglandin seperti aspirin diketahui dapat
menyebabkan ATN.
Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke
nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang
terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkatan aliran filtrat
tubulus ke arah distal tidak mencukupi, kapasitas reabsorpsi tubulus distal dan
duktus koligentes dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume
cairan ekstra sel. Oleh karena itu, TGF merupakan mekanisme protektif. Pada
ATN, kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorpsi
tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR pada
keadaan ATN dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontraksi
mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurunkan permeabilitas dan
tekanan tekanan intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF
dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada ATN.
Gambar 49-1 melukiskan skema kombinasi berbagai faktor yang terlibat
dalam patogenesis ARF. Kejadian awal umumnya adalah gangguan iskemia
atau nefrotoksin yang merusak tubulus atau glomeruli, atau menurunkan aliran
darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui beberapa mekanisme
yang dapat terjadi atau tidak, dan merupakan akibat cedera awal. Setiap
mekanisme berbeda kepentingannya dalam patogenesis, sesuai dengan teori-
teori yang telah dikemukakan di atas. Agaknya kepentingan dari mekanisme-
mekanisme ini bervariasi sesuai keadaan dan bergantung pada evolusi proses
penyakit, dan derajat kerusakan patologik. Banyak hal yang belum diketahui
40
mengenai patofisiologi ARF dan masih harus diteliti lebih jauh untuk
mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Perjalanan Klinis Gagal Ginjal Akut. Perjalanan klinis gagal ginjal akut
biasanya dibagi menjadi tiga stadium: oliguria, diuresis, dan pemulihan.
Pembagian ini dipakai pada penjelasan dibawah ini, tetepi harus diingat bahwa
gagal ginjal akut dan azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urin lebih dari
400 ml/24 jam. Perjalanan klinis ginjal akut pada tipe oliguria sama dengan
tipe non-oliguria. Akan tetapi, kelainan kimia darah pada gagal ginjal akut non
oliguria biasanya lebih ringan dan prognosis lebih baik.
Stadium oliguria. Gambaran klinis seringkali didominasi oleh riwayat
komplikasi pembedahan, medis maupun obstetrik yang dapat menyebabkan
gagal ginjal akut. Oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam
sesudah trauma, meskipun gejala biasanya tidak timbul sampai beberapa hari
sesudah kontak dengan bahan kimia yang nefrotoksik. Oliguria biasanya
disertai azotemia.
penting sekali untuk mengetahui awitan oliguria, menentukan penyebab
gagal ginjal, dan mulai mengobati setiap penyebab yang reversibel. ARF tipe
ATN harus dibedakan dari kegagalan prarenal (hipoperfusi) dan pascarenal
( obstruksi saluran kemih) dan kelainan intrarenal lainnya (contohnya,
glomerulonefritis pascatreptokokus akut, pielonefritis akut, serangan akut pada
gagal ginjal kronik). Diagnosis gagal ginjal akut ditegakkan setelah penyebab
lainnya disingkirkan.
Oliguria kerena serangan akut gagal ginjal kronik biasanya jelas diketahui
dari riwayat penyakit. Pasien gagal ginjal kronik biasanya mempunyai
kemampuan yang terbatas untuk m,enyesuaikan diri terhadap keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga mereka mudah sekali jatuh ke dalam gagal ginjal
akut hanya karena hal-hal sepele. Contohnya adalah pasien glomerulonefritis
kronik dengan gangguan saluran cerna yang disertai muntah atau diare,atau
penderita pielonefritis kronik yang ditungangi infeksi ginjal akut. Kadang-
kadang, seorang pasien insufisiensi ginjal kronik yang tak terdiagnosis, dapat
datng dengan manifestasi gagal ginjal akut. Riwayat nokturia yang lama,
41
hipertensi, penyakit sistemik (seperti lupu eritematosus sistemik atau diabetes
melitus), radiografi yang memperlihatkan ginjal yang mengisut, dan tanda-
tanda penyakit ginjal yang lama seperti osteodistrofi ginjal kronik. Pasien
biasanya dapat pulih kembali jika infeksi diobati, ketidakseimabangan cairan
dan elektrolit diperbaiki, jika perlu dilakukan dialisis peritoneal.
Obstruksi pascarenal harus disingkirkan, terutama jika penyebab gagal
ginjal tidak jelas. Adanya anuria atau periode anuria yang diselingi periode
berkemih dalam jumlah normal mengarah pada kemungkinan obstruksi.
Obstriksi pada uretra dan kandung kelih dapat diketahui dengan melakukan
keteterisasi dan mengukur urine sisa dalam kandung kemih setelah usaha
dalam pengeluaran urin sepenuhnya. Jika obstruksi pada muara telah
disingkirkan, tetapi dicurigai adanya obstruksi proksimal bilateral terhadap
kandung kemih, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau scan ginjal
dengan radioisotop dan pielografi retrograd.
USG dapat mengungkapkan ukuran ginjal dan dapat menunjukkan adanya
obstruksi batu pada pelvis ginjal atau ureter. Scan radioisotop dapat dipakai
untuk menilai keadaan pembuluh darah utama ginjal dan berguna jika dicurigai
terdapat oklusi arteri atau vena oleh embolus atau trombus. Pielografi retrograd
dapat dipakai untuk kasus-kasus uropati obstriktif tertentu dan mungkin dapat
dipakai untuk pengobatan maupun diagnostik.
Oliguria Prarenal Versus ATN. Oliguria prarenal dan azotemia
merupakan keadaan fisiologis dan sebenarnya reversibel. Keadaan ini
disebabkan oleh syok, penurunan volume plasma dengan konsekuensi
penurunan aliran darah ginjal dan GFR. Oliguria prarenal gagal ginjal akut
seperti yang telah dibahas sebelumnya. Bila tidak diatasi, oliguria prarenal
dapat berkembang menjadi ATN. Pengukuran keluaran urin, kadar BUN,
kreatinin, dan elektrolit secara serial harus dilakukan setelah menjalani operasi
besar, trauma, infeksi yang serius, atau komplikasi obstetrik.
Beberapa pemeriksaan sederhana pada sedimen dan senyawa kimia dari
urin dapat membantu membedakan oliguria prarenal atau azotemia dari gagal
ginjal akut sejati tipe ATN.
42
Pada oliguria prarenal, bila belum terjadi kerusakan parenkim ginjal,
respon ginjal terhadap menurunnya perfusi ginjal adalah dengan menahan
garam dan air. Sebaliknya, kerusakan tubulus ginjal intrinsik menyebabakan
gangguan kemampuan ginjal untuk menahan natrium. Akibatnya, kadar
natrium urine pada oliguria prarenal rendah ( <10 mEq/L) tetapi tinggi pada
ATN ( >20 mEq/L).
Reabsorpsi air oleh ginjal dinilai dari kadar zat terlarut yang tidak dapat
direabsorpsi, seperti kreatinin, dan biasanya dinyatakan sebagai rasio kadar
kreatinin, dan biasanya dinyatakan sebagai rasio kadar kreatinin urine terhadap
plasma (kreatinin U/P). Rasio kreatinin U/P sebesar 100 menunjukkan bahwa
1% dari air yang difiltrasi direabsorpsi. Dengan demikian, rasio kreatinin U/P
tinggi pada azotemia prarenal (>40) tetapi rasionya rendah pada penyakit ginjal
tubular intrinsik (< 20). Rasio urea U/P adalah lebih dari 8 pada oliguria
prarenal dan kurang dari 3 pada ATN. Rasio urea U/P agak lebih rendah
daripada rasio kreatinin, karena ada sedikit difusi kembali dari urea tetapi tidak
keratinin. Dengan demikian, rasio kreatinin U/P lebih tepat dalam
mencerminkan reabsorpsi air pada nefron.
Rasio normal nitrogen urea darah terhadap kreatinin adalh 10:1. Pada
azotemia prarenal rasio ini lebih dari 10:1 dan dapat mencapai 20:1 atau lebih.
Rasio BUN /kreatinin serum yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan
yang tidak seimbang dari kadar urea darah. Kadar urea darah lebih cepat
meningkat daripada kreatinin karena saat perfusi ginjal menurun, reabsorpsi
kembali dari urea lebih banyak daripada kreatinin karena saat perfusi ginjal
menurun, reabsorpsi kembali dari urea lebih banyak daripada kreatinin
( molekulnya lebih kecil daripada kreatinin). Produksi urea juga dapat
meningkat nyata dan menyebabkan peningkatan seringkali terjadi pada
penyakit akut dan trauma yang menyertai perkembangan azotemia prarenal.
Pemeriksaan sedimen urin juga dapat berguna dalam diagnosis banding
ARF. Pada azotemia prarenal, sedimen urin dalam keadaan normal dengan
sedikit silinder hialin; sedangkan silinder coklat, granular, dan banyak sel-sel
epitel seringkali didapatkan pada ATN. Azotemia prarenal lebih mudah
43
disingkirkan jika melihat keadaan klinis dan kimia urin. Tetapi, kimia urin
mungkin tidak dapat membantu membedakan obstruksi pascarenal dari ATN,
dan harus dipergunakan kriteria lain.
Pencegahan ATN pada pasien yang beresiko tinggi atau menderita
azotemia prarenal atau oliguria, merupakan hal yang penting untuk
dipertimbangkan dalam pengobatan. Perbaikan dari insufisiensi sirkulasi dari
hipoperfusi ginjal penting untuk mencegah perkembangan oliguria prarenal
menuju ATN. Transfusi darah pengganti dan hidrasi dengan cairan intravena
dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam memulihkan sirkulasi dan
meningkatkan pengeluaran urine. Manitol dan furosemid terkadang berhasil
dalam memulai diuresis dan mengurangi risiko ATN oligurik.
Harter dan Martin (1982) menyarankan cara-cara berikut. Setelah
melakukan penilaian yang teliti dari volume cairan ekstraseluler (ECF) dan
fungsi jantung ( untuk menyingkirkan kelebihan volume ECF), berikan 500 ml
larutan garam normal intravena secara cepat untuk mengatasi oliguria prarenal.
Jika keluaran urine tidak berubah , berikan 25 g manitol IV secara perlahan,
diikuti dengan furosemid 80-320 mg IV. Jika terjadi diuresis (keluaran urin >
40 ml/jam), maka kemungkinan telah terjadi ATN.
Pada ATN, peride oliguria dapat berlangsung kurang dari 1 hari atau dapat
selama 6 minggu, rata-rata 7 sampai 10 hari. Selama fase oliguria, biasanya
peningkatan kadar BUN sekitar 25 sampai 30 mg/dl setiap hari. Retensi cairan,
elektrolit, dan substansi nitrogen menyebabkan timbulnya gejala-gejala uremik
dengan cepat.
Stadium Diuresis. Stadium diuresis gagal ginjal akut dimulai bila
keluaran urine meningkat sampai lebih dari 400 ml/hari. Stadium ini biasanya
berlangsung 2 sampai 3 minggu. Pengeluaran urine harian jarang melebihi $
liter, asalkan pasien itu tidak mengalami hidrasi yang berlebihan. Volume urine
yang tinggi pada stadium diuresis ini agaknya karena diuresis osmotik akibat
tingginya kadar urea darah, dan mungkin juga disebabkan masih belum
pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam masa penyembuhan untuk
mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium diuresis, pasien
44
mungkin menderita kekurangan kalium, natrium, dan air. Jika urin hilang tidak
diganti, maka diuresis ini akan menimbulkan kematian. Selama stadium dini
diuresis, kadar BUN mungkin terus meningkat, terutama karena bersihan urea
tak dapat mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya
diuresis, azotemia sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien mengalami
kemajuan klinis yang besar.
Stadium Penyembuhan. Stadium penyembuhan gagal ginjal akut
berlangsung sampai 1 tahun, dan selama masa itu, anemia dan kemampuan
pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Tetapi, beberapa pasien tetap
menderita panurunan GFR yang permanen. Sekitar 5% pasien tidak mengalami
pemulihan fungsi ginjal dan membutuhkan dialisis untuk waktu yang lama atau
transplantasi ginjal; sebanyak 5% pasien yang lain mungkin mengalami
penurunan fungsi ginjal uang progresif.
Meskipun kerusakan epitel tubulus secara teoretis reversibel, ATN
merupakan keadaan berbahaya dengan prognosis yang serius. Angka kematian
masih sekitar 50% (sudah menurun dibandingkan angka kematian sekitar 90%
tiga puluh tahun yang lalu) meskipun penanganan keseimbangan cairan dan
elektrolit dilakukan dengan cermat dengan bantuan dialisis. Sekitar 2/3 pasien
ATN meninggal selama stadium oliguria, dan sekitar 1/3 pada stadium diuresis.
Angka kematian ini berkaitan dengan latar belakang penyebab penyakit yang
menyebabkan keadaan akut tersebut. Mortalitas adalah sekitar 60% pada kasus
yang mengalami pembedahan, cedera remuk, trauma berat lainnya, dan sekitar
25% pada kasus-kasus obstetrik. Angka mortalitas lebih tinggi pada pasien
yang lemah atau mengalami kegagalan organ multipel. Umumnya, pasien ARF
non-oliguria mempunyai prognosis yang lebih baik daripada pasien ARF
oliguria: hanya sekitar 25% pasien ARF non-oliguria yang meninggal.
F. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis Gagal Ginjal Akut (GGA) dapat dibagi menjadi 3 bagian
besar yaitu:
45
GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal.
Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume
sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih
terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat
dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan
timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemia.
Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit dapat kita
lihat pada tabel klasifikasi dan penyebab utama GGA. Pada kondisi ini
fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi,
melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah
ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut
otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume
efektif intravaskuler seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan
oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti pada pemakaian anti inflamasi
non-steroid, obat yang menghambat angiotensi dan pada sindrom hepatorenal.
Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan
mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktivasi
sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan
vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah dan merupakan mekanisme tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada
keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen
yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokontriksi arteriol efferen yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II (A-II) dan ET-I. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat
(tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu
lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol
afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan
reabsorbsi Na- dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional,
46
dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap
penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi
normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti
ACEI/ARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun
dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal.
Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan
diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia
lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre-renal
seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit
ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal.
GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskular seperti
vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstisial akut
akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat
disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma
(crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin, lingkungan,dan zat-zat
nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35-50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh
sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada 20-25%, hal ini
disebabkan adanya telah adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit
jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut,
jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasi jantung. Dari
golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio
kontras, obat-obatan seperti anti bakteria, anti jamur, anti virus, dan anti
neoplastik. Meluasnya pemakaian NARKOBA juga meningkatkan
kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskular dan
tubuler, misalnya:
Kelainan Vaskular. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca2+ sitosolik
pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitivitas
terhadap substansi-substansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi, (2)
Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel
vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan Et-1 serta
47
penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial
NO syntase (eNOS); (3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor (TNF-) dan interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya akan meningkatkan
ekspresi dari intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan P-selectin dari
sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari selsel radang,
terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal
bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama-
sama menyebabkan vasokonstriksi intra-renal yang akan menyebabkan
penurunan LFG.
Kelainan Tubuler. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca2+ intrasel,
yang menyebabkan peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A, serta
kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan cytoskeleton.
Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+ /K+-
ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di
tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke
makula densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan balik
tubuloglomeruler, (2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO
cynthase (iNOS), caspases dan mtalloproteinase, serta defisiensi hear
shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel, (3) Obstruksi
tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler
akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam hal
ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang
disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah
menjadi bentuk polimer yang akan membentuk materi beruba gel dengan
adanya Na+ yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel
polimerik THP bersama sel epitel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat,
nekrotik maupun apoptotik, mikrovili dan matrix ekstraseluler seperti
fibronektin akan membentuk silinder-silinder (cast) yang menyebabkan
obstruksi tubulus ginjal; (4) Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran
kembali (backleak) dan cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi
peritubuler. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama-sama
48
akan menyebabkan penurunan LFG. Diduga juga proses iskemia dan paparan
bahan/obat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA
terdapat kerusakan glomerulus dan jugatubulus. Kerusakan tubulus dikenal
juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahap-tahap nekrosis tubular
akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan
tahap penyembuhan. Dari tahap inisiasi ke tahap kerusakan yang berlanjut
terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler
(corticomedulary function). Proses inflamasi memegang peranan penting pada
patofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosist, dan
Sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion
injury).
GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA.
GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra-renal.
Obstruksi intra-renal terjadi karena deposisi kristal (urat,oxalat,sulfonamid)
dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada
pelvis-ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitonial, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra
(striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli-
buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal
satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut,
terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal,
dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E. Pada fase kedua, setelah 1,5-2
jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah normal, akibat pengaruh
thromboxane-A2 (TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat,
tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ketiga atau fase kronik, ditandai oleh
aliran darah ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal
tetap meningkat, tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ketiga atau fase
kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun dan penurunan
tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal
setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari
49
normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-
faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan fibrosis interstisiel ginjal.
Gambaran klinis menurut Elizabeth Corwin, 2009 adalah:
1. Dapat terjadi oliguria, terutama apabila kegagalan disebabkan oleh
iskemia atau obstruksi. Oliguria terjadi karena penurunan GFR.
2. Nekrosis tubulus toksik dapat berupa non oliguria (haluaran urin
banyak) dan terkait dengan dihasilkannya volume urin encer yang
adekuat.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan harus mencakup elektrolit serum,
BUN, kreatinin serum, kalsium, posfor, asam urat. Urinalisis yang cermat
yang dikerjakan oleh dokter harus mencakup pemeriksaan mikoroskopik
dan pewarnaan Hansel atau Wright untuk eosinofil. Elektrolit urin ( natrium,
kalium, klorida, dan kreatinin) dan osmolalitas urin harus diperiksa sebelum
terapi dimulai.
2. Radiografi
a. Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dilakukan untuk menentukan ukuran
ginjal dan untuk mengenali batu dan hidronefrosis. Ginjal yang kecil
bilateral menunjukkan gagal ginjal kronis, bukan akut. Hidronefrosis
menunjukkan adanya sumbatan. Ultrasonografi dapat negative bila
fibrosis atau tumor retroperitoneal membungkus pelvis ginjal.
b. Urografi intravena dihindari pada semua pasien dengan gagal ginjal
akut kerena meningkatnya resiko kerusakan ginjal oleh satu warna
radiografik yang Bnefrotoksik.
c. Sistoskopi dan pielografi retrograde dilakuakan untuk menlokalisasi
tempat sumbatan, terutama bila ultrasonografi negative dan dicurigai
adanya penyakit atau tumor retroperitoneal. Stant ureter dapat
ditempatkan pada saat yang sama kalau secara medis di indikasikan.
d. Tomografi computer digunakan untuk mengevaluasikan fibrosis dan
tumor retroperitoneal dan massa di dalam perut dan ginjal.
50
e. Nefrostomi perkutan dan pielografi antegrad dikerjakan kalau lubang
ureter tak dapat dikanulasi selama sistoskopi. Pemasukan zat kontras
kedalam pelvis ginjal akan menghasilkan sesuatu pielogram antegrad
untuk melokalisasi dan meringankan sumbatan.
f. Gallium scan dlakuakan untuk mendiagnosis nefritis intertisial akut.
g. Arteriografi dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita embolisasi
arteri ginjal, cedera ginjal, dan poliearteritis nodosa.
3. Biopsi ginjal
Biopsy ginjal di indikasikan sebelum terapi akut diberikan pada pasien
GGA yang etiologinya tidak diketahui dan pada pasien dengan GGA yang
disertai dengan glomerulonefritis, sindrom nefrotik, vaskulitis, atau penyakit
sistemik misalnya lupus eritematosus sistemik dan granulomatosis Wegener.
H. Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal akut (Elizabeth Corwin, ) adalah:
1. Retensi cairan akibat kegagalan fungsi ginjaldapat menyebabkan edema,
gagal jantung kongestif, atau intoksikasi air.
2. Gangguan elektrolit dan pH dapat menimbulkan ensefalopati.
3. Apabila hiperkalemianya parah (≥6,5 miliekuivalen perliter), dapat terjadi
disritmia dan kelemahan otot.
4. Infeksi sepsis adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan GGA,
luka pembedahan, kateter vena perifer, dan sentral, dan kateter kandung
kemih yang menetap adalah tempat yang sering terinfeksi. Infus intravena
dan intraarteri serta kateter kandung kemih harus sering diganti, dilepaskan
secepat mungkin. Pneumonia juga sering terjadi.
5. Efek gastrointestinal, anoreksia, mual dan muntah untuk sementara
dikendalikan dengan penotiazin. Masalah ini akan membaik setelah dialysis
dimulai. Pendarahan gastrointestinal terjadi pada 10-30% pasien,
6. Efek kardiovaskular. Edema paru-paru dan gagal jantung kongestif
disebabkan oleh kelebihan volume. Aritmia terjadi akibat hiperkalemia dan
51
kelainan elektrolit yang lain. Hipoksia terjadi akibat edema paru-paru dan
meurunnya bersihan ginjal karena obat-obat jantung.
7. Efekneurologis. Gejalanya antara lain adalah kedutan, tremor, agitasi,
keadaan bingung, kejang, somnolensi dan koma.
8. Dosis obat. Karena pada pasien dengan ARV bersihan ginjal berkurang,
dosis obat harus sering disesuaikan.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal akut menurut Elizabeth Corwin, adalah:
Hal terpenting adalah pencegahan gagal ginjal akut. Individu yang
mengalami syok harus cepat diterapi dengan penggantian cairan untuk
memulihkan tekanan darah. Individu yang berisiko mengalami gagal ginjal
akut, misalnya akan menjalani pembedahan jantung, dapat diberi diuretik
osmotik sebelum pembedahan untuk meningkatkan fungsi ginjal. Selain itu,
hidrasi yang adekuat sebelum pemberian obat-obat nefrotoksik dapat mencegah
timbulnya gagal ginjal akut. Bagi pasien yang berisiko mengalami gagal ginjal,
pemakaian obat-obat nefrotoksik dan pewarna radioaktif intravena harus
terbukti lebih bermanfaat sebelum diberikan dan pemakaiannya mungkin
dikontraindikasikan pada beberapa kasus.
Apabila tetap timbul gagal ginjal, maka hasil penelitian mengisyaratkan
dilakukan tindakan pencegahan fase oligurik untuk menghasilkan prognosis
yang lebih baik. Tindakan pencegahan tersebut antara lain adalah:
- Ekspansi volume plasma secara agresif.
- Pemberian diuretik untuk meningkatkan pembentukan urin.
- Vasodilator, terutama dopamin, diberikan untuk meningkatkan aliran darah
ginjal.
- Pembatasan asupan protein dan kalium dari makanan sering diterapkan
pada gagal ginjal akut. Asupan tinggi karbohidrat mencegah metabolisme
protein dan mengurangi pembentukan produk sisa bernitrogen.
- Mungkin diperlukan terapi antibiotik untuk mencegah atau mengobati
infeksi karena tingginya angka sepsis pada gagal ginjal akut.
52
- Sering dilakukan dialisis selama stadium oligurik gagal ginjal akut untuk
memberi waktu pada ginjal untuk memulihkan diri. Dialisis juga mencegah
penimbunan produk sisa bernitrogen, dapat menstabilkan elektrolit, dan
mengurangi beban cairan.
1. Umum.
Keadaan prarenal harus dikoreksi dengan penggantian volume,
memperbaiki status jantung, meringankan sumbatan pascarenal, memberi
terapi pada penyakit yang mendasari, dan dengan membuang semua obat
yang menyebabkannya.
2. Status volume.
Status volume pasien harus ditentukan dan di optimalkan dengan
pemantauan terhadap berat badan pasien serta asupan dan keluaran cairan
setiap hari. Tekanan darah dan nadi pada saat berdiri juga harus dipantau,
dan harus dilakukan pemeriksaan fisik secara cermat untuk menentukan
keseimbangan cairan yang optimal. Bila keseimbangan cairan optimal telah
dicapai, asupan cairan harian hrus sesuai dengan keluaran cairan harian
ditambah kehilangan cairan dapat dipertahankan dengan kelebihan volume,
keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan menggunakan diuretika,
furosemid, sampai 400 mg/hari, dapat mengubah gagal ginjal oligurik
menjadi nonoligurik pada sejumlah kecil pasien. Natrium dalam diet
dibatasi sebanyak 2 g/hari kalau pasien memakan makanan padat.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk pementauan pasien.
Elektrolit serum, terutama natrium, kalium, dan bikarbonat, harus dipantau
setiap hari. Makanan atau obat mengandung kalium, terutama penggantian
garam, harus dihindari. Hipokalsemia jarang disertai dengan gejala dan
dapat diterapi dengan kalsium karbonat atau kalsium asetat oral, atau
kalsium glukonat intravena. Tetapi hipokalsemia pada rabdomiolisis harus
dihindari karena adanya resiko terjadinya hiperkalsemia. Hiperfosfatemia
dapat dikendalikan dengan zat pengikat fosfat oral misalnya aluminium
hidroksida atau kalsium asetat.
4. Terapi obat
53
Dosis obat harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal pada lampiran
tercantum petunjuk untuk penyesuaian dosis. Kadar obat dalam serum
harus dipantau dengan teliti. Obat-obat yang mengandung magnesium
(laksatif dan antasida) harus dihentikan.
5. Gizi
Untuk dukungan gizi yang optimal pada GGA, protein dan kalori harus
diberikan secukupnya untuk meminimalkan keseimbangan nitrogen yang
negative sambil menghindari kelebihan volume. Makanan lewat usus harus
mengandung protein 0,8-2 g/kg/perhari. Hiperalimentasi parenteral harus
mengandung asam amino esensial 10-20 g/hari pada pasien nondialisis,
plus tambahan asam amino nonesensial 10-20 g/hari pada pasien dialysis.
Kebutuhan kalori ini lebih tinggi pada pasien hiperkatabolik dengan sepsis,
pembedahan, cedera , atau luka bakar, dan sekitar 30-50 kkal/kg/hari.
Diberikan sebagai dekstrosa dan lemak. Kalori nonprotein tidak boleh
mengandung lebih dari 60% lemak. Asupan natrium, kalium, dan fosfor
harus diperiksa setiap hari. Kadar magnisuim, amonia, trigliserida, dan gas
darah arteri harus diperiksa dua kali seminggu.
6. Dialisis
Dialisis diindikasikan pada GGA untuk mengobati gejala uremiakelebihan
volume, asidemia, hiperkalemia, perikarditis uremia, dan hiponatremia.
Dianalisis biasanya dimuli secara empiris untuk mempertahankan BUN
kurang dari 100 mg/dl, karena ini dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas, gejala uremia yang sering ditemukan antara lain adalah
manifestasi neurologis misalnya ensefalopati, kejang, dan koma ; dan
gejala gastrointenstinal misalnya mual, muntah-muntah , dan perdarahan
gastrointestinal. Perikarditis uremik harus dengan segera diterapi dengan
dialisis. Terdapat empat pilihan cara dialisis : hemodialisis, dialisis
peritoneum, hemofiltrasi arteriovenous secara terus menerus, dan
hemodiafiltrasi arteriovenous secara terus menerus.
a. Hemodialisis (HD)
54
Hemodialisis adalah cara terpilih pada pasien yang mempunyai laju
katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil. Tindakan ini juga
diindikasikan bila diperliukan koreksi cairan dan status elektrolit secara
cepat .
b. Dialisis peritoneum (PD), dipilih untuk pasien yang peningkatan laju
katabolismenya minimal yang secara hemodinamik tak stabil dan
membutuhkan koreksi cairan elektrolit secara lambat. Tindakan ini juga
digunakan bila akses pembuluh darah buruk, tetapi PD dihindari pada
pasien dengan gangguan pernapasan, operasi perut, atau perlekatan
yang mungkin tidak dapat mentoleransi pemasukan 2L dialisad
kedalam rongga peritoneum.
c. Hemofiltrasi arteriovenous secara terus menerus ( CAVH). Ini adalah
suatu alternative untuk HD dan digunakan pada pasien dengan laju
katabolisme yang cukup tinggi yang secara hemodinamik tak stabil dn
membutuhkan koreksi status cairan secara cepat dan terus menerus,
efesiensinya kia-kira 20% dibandingkan hemodialisis per terapi; tetapi,
tindaan ini dilakukan terus menerus sehingga ideal bagi pasien yang
harus menerima volume cairan yang besar atau hiperalimentasi
parenteral. Tekanan arteri pada pasien ini merupakan gaya penggerak
untuk filtrasi.
d. Hemodiafiltrasi arteriovenous secara terus menerus (CAVHD). Ini
adalah kombinasi CAVH dan HD dan tiga kali lebih efisien
dibandingkan dengan CAVH cara ini digunakan pada pasien yang
secara hemodinamik tak stabil dengan laju katabolisme yang tinggi.
Keuntungan utama dari CAVHD dibandingkan dengan CAVH adalah
bahwa kecepatan ultrafiltrasi (volume yang terbuang) dapat amat
rendah.
J. Pencegahan
Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi
55
metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal
ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan
mengidentifikasi pasien berisiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi
penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis; mempertahankan
euvolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi
metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status
nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi status nutrisi,
kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat
kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati
akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-Acetyl
cysteine serta pemakaian furosemid. Pada penyakit tropik perlu diwaspadai
kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah.
Tabel Prioritas Tatalaksana Pasien dengan GGA
- Cari dan perbaikifaktor pre dan pasca renal
- Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
- Optimalkancurahjantung dan aliran darah ke ginjal
- Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin
- Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap
hari
- Cari, dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia,
asidosis, hiperfosfatemia, edema paru)
- Asupan nutrisi adekuat sejak dini
- Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
- Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis)
- Segera memulai terapi dialysis sebelum timbul komplikasi
- Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal.
56
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tingi
sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya
pencegahan GGA.
57
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Diagnosa Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas. Faktor berhubungan: Peningkatan kebutuhan energy
(misalnya, demam, inflamasi), penurunan produksi energy, nutrisi tidak
adekuat, anemia.
2. Ansietas. Faktor yang berhubungan: prognosis yang tidak diketahui,
keparahan penyakit.
3. Curah jantung, penurunan Faktor yang berhubungan: Peningkatan beban
kerja ventrikel sekunder akibat kelebihan cairan.
4. Konfusi
5. Interpretasi lingkungan, gangguan
6. Ketakutan Faktor yang berhubungan: Stresor lingkungan atau
hospitalisasi, Ketidakberdayaan, ancaman terhadap kesejahteraan diri
sendiri, ancaman terhadap kesejahteraan anak, keparahan penyakit, efek
multisystem.
7. Kelebihan volume cairan Faktor yang berhubungan: Perubahan pada
suplai pembuluh darah ginjal yang mengakibatkan iskemia, nekrosis
tubular, penurunan laju filtrasi glomerulus.
8. Infeksi, risiko Faktor risiko: Prosedur invasive, proses penyakit,
penurunan resistensi, dan malnutrisi.
9. Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakseimbangan Faktor yang
berhubungan: Anoreksia, Mual dan Muntah, pembatasan diet, perubahan
dalam rasa, kehilangan kemampuan menghidu, stomatitis, peningkatan
kebutuhan metabolic.
10. Membran mukosa oral, Kerusakan. Faktor yang berhubungan: Deplesi
cairan ekstraseluler, Diare.
11. Proses piker, gangguan. Faktor yang berhubungan: Penurunan perfusi
serebral, akumulasi sisa racun.
58
B. Asuhan Keperawatan Nanda NIC NOC
1. Intoleransi aktivitas
a. Batasan karakterisitik
Subyektif
Ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas
Melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal
Obyektif
Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respons
terhadap aktivitas
Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia
b. Faktor yang berhubungan
Tirah baring dan imobilitas
Kelemahan umum
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Gaya hidurp kurang gerak
c. Saran penggunaan
Jangan menggunakan pernyataan diagnosis ini, kecuali ada
kemungkinan untuk meningkatkan ketahanan pasien. Gunakan
Intoleransi aktivitas hanya jika pasien mengeluh keletihan atau
kelemahan sebagai respon terhadap aktivitas. Kondisi medis (misalnya,
penyakit jantung atau penyakit arteri perifer) sering menyebabkan
Intoleransi aktivitas. Perawat tidak dapat secara mandiri menangani
kondisi medis sehingga pernyataan diagnosis, seperti “intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan penyakit arteri koroner” tidak
berlaku.
Sebutkan Intoleransi aktivitas menurut tingkat ketahanan, sebagai
berikut:
Tingkat I: Berjalan dalam kecepatan yang teratur pada bidang
datar, tetapi pernapasan menjadi lebih pendek dari normal ketika
memanjat satu atau lebih anak tangga.
59
Tingkat II: Berjalan satu blok kotak mendatar 15 meter atau
memanjat satu anak tangga dengan perlahan tanpa henti.
Tingkat III: Berjalan mendatar tidaklebih dari 15 meter tanpa
berhenti dan tidak mampu memanjat satu anak tangga tanpa berhenti.
Tingkat IV: Dispnea dan keletihan ketika istirahat
d. Alternatif diagnosis yang disarankan
Keletihan (Intoleransi aktivitas dapat dikurangi dengan istirahat,
sedangkan keletihan tidak demikian).
Defisit perawatan diri
e. Hasil noc
Toleransi aktivitas : Respons fisiologis terhadap gerakan yang
memakan energi dalam aktivitas sehari-hari
Ketahanan: kapasitas untuk menyelesaikan aktivitas
Penghematan energi: Tindakan individu dalam mengelola energi
untuk memulai dan menyelesaikan aktivitas
Kebugaran fisik: Pelaksanaan aktivitas fisik yang penuh vitalitas
Energi psikomotorik: dorongan dan energi individu untuk
mempertahankan aktivitas hidup sehari-hari, nutrisi, dan keamanan
personal.
Perawatan diri: Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKSI):
kemampuan untuk melakukan tugas-tugas fisik yang paling dasar dan
aktivitas perawatan pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.
Perawatan diri: Aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental
(AKSI): Kemampuan untuk melakukan aktivitas yang dibutuhkan
dalam melakukan fungsi di rumah atau komunitas secara mandiri
dengan atau tanpa alat bantu.
f. Tujuan/ kriteria evaluasi
- Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh
Toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran
60
fisik, energi psikomotorik, dan perawatan diri:Aktivitas Kehidupan
Sehari-hari (dan AKSI)
- Menunjukkan Toleransi Aktivitas, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem berat, sedang,
ringan atau tidak mengalami gangguan):
Saturasi oksigen saat beraktivitas
Frekuensi pernapasan saat beraktivitas
Kemampuan untuk berbicara saat beraktivitas fisik
- Mendemonstrasikan Penghematan Energi, yang dibuktikan oleh
indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5:tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering atau selalu ditampilkan)
Menyadari keterbatasan energi
Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
Mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energi
Contoh Lain
Pasien akan:
- Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan
kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleransi aktivitas
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan
peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal.
- Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas (uraikan
tingkat yang diharapkan dari daftar pada Saran Penggunaan)
- Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan
oksigen obat, dan/atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi
terhadap aktivitas.
- Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan
beberapa bantuan (misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi
untuk ke kamar mandi )
61
- Menampilkan manajemen pemeliharaan rumah dengan beberapa
bantuan (misalnya, membutuhkan bantuan untuk kebersihan setiap
minggu)
g. Intervensi NIC
Terapi Aktivitas: Memberi anjuran tentang dan bantuan dalam
aktivitas fisik, kognitif, sosial dan spiritual yang spesifik untuk
meningkatkan tentang frekuensi, atau durasi aktivitas individu (atau
kelompok).
Manajemen energi: Mengatur penggunaan energi untuk mengatasi
atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi.
Manajemen lingkungan: Memanipulasi lingkungan sekitar pasien
untuk memperoleh manfaat terapeutik, stimulasi sensorik, dan
kesejahteraan psikologis.
Terapi latihan Fisik: Pengendalian otot: Menggunakan aktivitasatau
protokol latihan spesifik untuk meningkatkan atau memulihkan gerakan
tubuh yang terkontrol.
Promosi Latihan Fisik: Latihan Kekuatan:Memfasilitasi latihan otot
resistif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan otot.
Bantuan Pemeliharaan Rumah: Membantu pasien dan keluarga untuk
menjaga rumah sebagai tempat tinggal yang bersih, aman, dan
menyenangkan.
Manajemen Alam Perasaan: Memberi rasa keamanan, stabilisasi,
pemulihan dan pemeliharaan pasien yang mengalami disfungsi alam
perasaan baik depresi maupun peningkatan alam perasaan.
Bantuan Perawatan-Diri:Membantu individu untuk melakukan AKS
Bantuan Perawatan-Diri: AKSI: Membantu dan mengarahkan
individu untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental
(AKSI) yang diperlukan untuk berfungsi di rumah atau di komunitas.
62
h. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
- Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,
berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI.
- Kaji responemosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.
- Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan
aktivitas
- Manajemen Energi (NIC):
Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri dan
pengobatan)
Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (misalnya,
takikardia, disritmia lain, dispnea, diaforesis, pucat, tekanan
hemodinamik, dan frekuensi pernapasan.
Pantau respon oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama
jantung dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas
perawatan diri atau aktivitas keperawatan
Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi
yang adekuat.
Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya
waktu tidur dalam jam.
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam:
- Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu.
- Mengenali tanda dan gejala Intoleransi Aktivitas, termasuk kondisi
yang perlu dilaporkan kepada dokter.
- Pentingnya nutrisi yang baik.
- Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas.
- Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi)
selama aktivitas
- Dampak Intoleransi Aktivitas terhadap tanggungjawab peran dalam
keluarga dan tempat.
63
- Tindakan untuk menghemat energi, sebagai contoh: Menyimpan
alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah
dijangkau.
- Manajemen energi (NIC):
Ajarkan kepada pasien dan orang terdekat tentang teknik
perawatan-diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen
(misalnya, pemantauan mandiri dan teknik langkah untuk
melakukan AKS)
Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen
waktu untuk mencegah kelelahan.
Aktivitas kolaboratif
- Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri
merupakan salah satu faktor penyebab.
- Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (misalnya, untuk
latihan ketahanan), atau rekreasi untuk merencanakan dan
memantau program aktivitas, jika perlu.
- Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke layanan
kesehatan jiwa di rumah.
- Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan
pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu
- Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna
meningkatkan asupan makanan yang kaya energi.
- Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan
berhubungan dengan penyakit jantung.
Aktivitas lain
- Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama
periode istirahat.
- Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar,
duduk, berdiri, dan ambulasi, sesuai toleransi.
64
- Pantau tanda-tanda vital sebelum, selama dan setelah aktivitas,
hentikan aktivitas jika tanda-tanda vital tidak dalam rentang
normalbagi pasien atau jika ada tanda-tanda bahwa aktivitas tidak
dapat ditoleransi (mis., nyeri dada, pucat, vertigo, dispnea).
- Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang
meningkatkan kemandirian dan ketahanan sebagai contoh:
- Manajemen energi (NIC):
Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
Rencanakan aktivitas pada periode saat pasien memiliki energi
paling banyak
Bantu dengan aktivitas fisik teratur (mislanya, ambulasi,
berpindah, mengubah posisi, dan perawatan personal), jika
perlu
Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan)
untuk memfasilitasi relaksasi.
Bantu pasien untuk melakukan pemantauan mandiri dengan
membuat dan menggunakan dokumentasi tertulis yang
mencatat asupan kalori dan energi, jika perlu
2. Ansietas
a. Batasan Karakteristik
Perilaku
Penurunan produksivitas
Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa
hidup
Gerakan yang tidak relevan (misalnya, mengeret kaki, gerakan lengan)
Gelisah
Memandang sekilas
Insomnia
Kontak mata buruk
Resah Menyelidik dan tidak waspada
65
Afektif
Gelisah
Kesedihan yang mendalam
Distres
Ketakutan
Perasaan yang tidak adekuat
Fokus pada diri sendiri
Peningkatan kekhawatiran
Iritabilitas
Gugup
Gembira berlebihan
Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten
Marah
Menyesal
Perasaan takut
Ketidakpastian
Khawatir
Fisiologis
Wajah tegang
Insomnia (non-NANDA)
Peningkatan keringat
Peningkatan ketegangan
Terguncang
Gemetar atau tremor di tangan
Suara bergetar
Parasimpatis
Nyeri abdomen
Penurunan tekanan darah
Penurunan nadi
Diare
66
Pingsan
Keletihan
Mual
Gangguan tidur
Kesemutan pada ekstremitas
Sering berkemih
Berkemih tidak lampias
Urgensi berkemih
Simpatis
Anoreksia
Eksitasi kardiovaskuler
Diare
Mulut kering
Wajah kemerahan
Jantung berdebar-debar
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan nadi
Peningkatan refleks
Peningkatan pernapasan
Dilatasi pupil
Kesulitan bernapas
Vasokontriksi superfisial
Kedutan otot
Kelemahan
Kognitif
Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
Keterbatasan kemampuan untuk belajar
Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa
hidup (non-NANDA)
Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik
Fokus pada diri sendiri (non-NANDA)
67
Mudah lupa
Gangguan perhatian
Tenggelam dalam dunia sendiri
Melamun
Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain
b. Faktor yang Berhubungan
Terpajan toksin
Hubungan keluarga/ hereditas
Transmisi dan penularan interpersonal
Krisis situasi dan maturasi
Stres
Penyalahgunaan zat
Ancaman kematian
Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan,
status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi
Ancaman terhadap konsep diri
Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang
esensial
Kebutuhan yang tidak terpenuhi
c. Saran Penggunaan
Ansietas Ketakutan
Manifestasi
Fisiologis
Jenis Ancaman
Stimulasi sistem saraf
parasimpatis dengan
peningkatan aktivitas
gastrointestinal
Biasanya psikologis
(misalnya terhadap
citra diri); tidak
Hanya respon simpati;
penurunan aktivitas
gastrointestinal
Seringkali fisik
(misalnya, terhadap
keamanan); spesifik,
68
Perasaan
Sumber perasaan
spesifik
Tidak jelas, perasaan
tidak menentu
Tidak diketahui oleh
individu; tidak sadar
dapat diidentifikasi
Perasaan ketakutan,
kekhawatiran
Diketahui oleh
individu
Tingkat Ansietas mempengaruhi aktivitas keperawatan sehingga
perlu disebutkan dalam pernyataan diagnosis:
- Ansietas ringan: terjadi dalam kehidupan sehari-hari; meningkatkan
kewaspadaan dan lapang persepsi; memotivasi untuk belajar dan
pertumbuhan
- Ansietas sedang: Penyempitan lapang persepsi; berfokus pada
perhatian segera, dengan tidak memerhatikan komunikasi
dandetailyang lain.
- Ansietas Berat: Fokus sangat sempit, hanya pada detail yang
spesifik, semua perilaku ditujukan untuk memperoleh peredaan
- Panik: Individu kehilangan kontrol dan merasakan peningkatan
aktivitas fisik, distorsi persepsi dan hubungan, serta kehilangan cara
berpikir yang rasional.
d. Alternatif Diagnosis yang Disarankan
Konflik pengambilan keputusan
Ansietas kematian
Ketakutan
Koping, ketidakefektifan
69
e. Hasil NOC
Tingkat Ansietas: Keparahan manifestasi kekhawatiran, ketegangan,
atau perasaan tidak tenang yang muncul dari sumber yang tidak dapat
diidentifikasi
Pengenalan-Diri Terhadap Ansietas: Tindakan personal untuk
menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir, tegang, atau
perasaan tidak tenang akibat sumber yang tidak dapat diidentifikasi
Konsentrasi : Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu
Koping: Tindakan personal untuk mengatasi stresor yang membebani
sumber-sumber individu.
f. Tujuan/ Kriteria Evaluasi
- Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti Tingkat Ansietas hanya
ringan sampai sedang, dan selalu menunjukkan Pengendalian-Diri
terhadap Ansietas, Konsentrasi, dan Koping.
- Menunjukkan Pengendalian-Diri Terhadap Ansietas, yang
dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu)
Merencanakan strategi koping untuk situasi penuh tekanan
Mempertahankan performa peran
Memantau distrosi persepsi sensori
Memantau manifestasi perilaku ansietas
Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas
Contoh lain:
Pasien akan
- Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami
kecemasan
- Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan
keterampilan yang baru
- Mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas pasien
sendiri
70
- Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal.
g. Intervensi NIC
Bimbingan antisipasi: Mempersiapkan pasien menghadapi
kemungkinan krisis perkembangan dan/atau situasional)
Penurunan Ansietas: Meminimalkan kekhawatiran, ketakutan,
prasangka, atau perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan
sumber bahaya yang diantisipasi dan tidak jelas.
Teknik Menenangkan Diri: Meredakan kecemasan pada pasien yang
mengalami distres akut
Peningkatan Koping: Membantu pasien untuk beradaptasi dengan
persepsi stresor, perubahan atau ancaman yang menghambat
pemenuhan tuntutan dan peran hidup.
Dukungan Emosi: Memberikan penenangan, penerimaan, dan
bantuan/ dukungan selama masa stres.
h. Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
- Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk
reaksi fisik
- Kaji untuk faktor budaya (misalnya, konflik nilai) yang menjadi
penyebab ansietas
- Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas di masa lalu.
- Reduksi Ansietas (NIC): Menentukan kemampuan pengambilan
keputusan pasien.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
- Buat rencana penyuluhan dengan tujuan yang realistis, termasuk
kebutuhan untuk pengulangan, dukungan, dan pujian terhadap
tugas-tugas yang telah dipelajari.
71
- Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia,
seperti teman, tetangga, kelompok swabantu, tempat ibadah,
lembaga sukarelawan dan pusat rekreasi.
- Informasikan tentang gejala ansietas.
- Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan
panik dan gejala penyakit fisik
- Penurunan Ansietas (NIC):
Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi,
dan prognosis.
Instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi
Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya
dialami selama prosedur.
Aktivitas Kolaboratif
- Penurunan Ansietas (NIC): Berikan obat untuk menurunkan
ansietas, jika perlu.
Aktivitas Lain
- Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan
berikan ketenangan serta rasa nyaman.
- Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
- Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara
untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk
mengurangi ansietas.
- Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan, serta terapi
okupasi untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
- Coba teknik, seperti imajinasi bimbing dan relaksasi progresif
- Berikan penguatan posistif ketika pasien mampu meneruskan
aktivitas seharihari dan aktivitas lainnya meskipun mengalami
ansietas.
72
- Yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik
secara verbal dan nonverbal secara bergantian.
- Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta
izinkan pasien untuk menangis.
- Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan
lingkungan yang tenang, kontakyang terbatas dengan orang lain jika
dibutuhkan, serta pembatasan penggunaan kafein dan stimulan lain.
- Sarankan terapi alternatif untuk mengurangi ansietas yang dapat
diterima oleh pasien.
- Singkirkan sumber-sumber ansietas jika memungkinkan
- Penurunan Ansietas (NIC):
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
Nyatakan dengan jelas tentang harapan terhadap perilaku
pasien
Dampingi pasien [misalnya, selama prosedur]untuk
meningkatkan keamanan dan mengurangi rasa takut.
Berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika perlu
Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang
mencetuskan ansietas
3. Curah Jantung, Penurunan
a. Batasan Karakteristik
Gangguan Frekuensi dan Irama Jantung
Aritmia (takikardia, bradikardia)
Perubahan pola EKG
palpitasi
Gangguan Preload
Edema
Keletihan
73
Peningkatan atau penurunan tekanan vena sentral (CVP)
Peningkatan atau penurunan tekanan baji arteri pulmonal (PAWP,
pulmonary artery wedge pressure)
Distensi vena jugularis
Murmur
Kenaikan berat badan
Gangguan afterload
Kulit dingin dan berkeringat
Denyut perifer menurun
Dispnea
Peningkatan atau penurunan tahanan vascular pulmonal (PVR)
Peningkatan atau penurunan tahanan vascular sistemik (SVR)
Oliguria
Pengisian ulang kapiler memanjang
Perubahan warna kulit
Variasi pada hasil pemeriksaan tekanan darah
Gangguan Kontraktilitas
Bunyi crakle
Batuk
Ortopnea atau dispnea nocturnal paroksimal
Penurunan curah jantung
Penurunan fraksi ejeksi, indeks volume sekuncup (SVI, stroke volume
index), indeks kerja ventrikel kiri.
Bunyi jantung S3 atau S4
Perilaku/Emosi
Ansietas
Gelisah
74
b. Faktor yang berhubungan
Gangguan frekuensi atau irama jantung
Gangguan volume sekuncup
Gangguan preload
Gangguan kontraktilitas
Faktor yang berhubungan (non-Nanda International)
Kelainan jantung (uraikan)
Toksisitas obat
Disfungsi konduksi listrik
Hipovolemia
Peningkatan kerja ventrikel
Kerusakan ventrikel
Iskemia ventrikel
Keterbatasan ventrikel
c. Saran Penggunaan
Diagnosis ini tidak menyarankan tindakan keperawatan mandiri. Kami
menyertakan diagnosis ini karena termasuk ke dalam taksonomi Nanda,
dari banyak perawat yang menggunakannya. Akan tetapi, perawat juga
tidak dapat menggunakan diagnosis ini secara konklusif maupun
mengobati masalah ini dengan pasti. Untuk pasien yang mengalami
penurunan curah jantung fisiologis, Anda dapat menemukan bahwa
lebih bermanfaat menggunakan diagnosis yang mewakili
resonsmanusia terhadap patofisiologi ini (seperti intoleransi aktivitas
yang berhubungan dengan penurunan curah jantung). Apabila pasien
berisiko mengalami komplikasi, kami lebih memilih untuk menulisnya
sebagai masalah kolaboratif (misalnya, Potensial Komplikasi Infark
Miokard: syok Kardiogenik).
75
d. Alternatif Diagnosis yang disarankan
Intoleransi aktivitas
Defisit perawatan diri
e. Hasil NOC
Tingkat keparahan Kehilangan Darah: Tingkat keparahan
perdarahan/hemoragi internal atau eksternal.
Efektivitas Pompa Jantung: Keadekuatan volume darah yang
diejeksikan dari ventrikel kiri untuk mendukung tekanan perfusi
sistemik
Status Sirkulasi: tingkat pengaliran darah yang tidak terhambat, satu
arah, dan pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar
aliran sistemik dan pulmonal.
Perfusi Jaringan: Organ Abdomen: Keadekuatan aliran darah
melewati pembuluh darah kecil visera abdomen untuk mempertahankan
fungsi organ.
Perfusi Jaringan: Jantung: Keadekuatan aliran darah yang melewati
vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak.
Perfusi jaringan: serebral: Keadekuatan aliran darah yang melewati
vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak
Perfusi Jaringan: Perifer: Keadekuatan aliran darah yang melalui
pembuluh darah kecil ekstremitas untuk mempertahankan fungsi
jaringan.
Perfusi Jaringan: Pulmonal: Keadekuatan aliran darah yang melewati
vasculature pulmonal untuk memperfusi unit alveoli/ kapiler.
Status tanda vital: Tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah
dalam rentang normal.
f. Tujuan/ Kriteria Evaluasi
CATATAN: Tujuan Penurunan Curah Jantung tidak sensitive terhadap
isu keperawatan. Oleh sebab itu, perawat sebaiknya tidak bertindak
76
secara mandiri untuk melakukannya; upaya kolaboratif perlu dan
penting dilakukan.
Contoh Menggunakan Bahasa NOC
- Menunjukkancurah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh
Efektivitas Pompa jantung, Status Sirkulasi, Perfusi jaringan (Organ
abdomen, Jantung, Serebral, Perifer, dan Pulmonal), dan Perfusi
Jaringan (Perifer), dan Status Tanda Vital.
- Menunjukkan Status Sirkulasi, dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau
tidak mengalami gangguan).
- Menunjukkan Status Sirkulasi, dibuktikan oleh indicator gangguan
sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang,
ringan, atau tidak mengalami gangguan).
Contoh Lain
Pasien akan:
- Mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi ddalam batas normal
- Mempunyai haluaran urin, berat jenis urin, blood urea nitrogen
(BUN) dan kreatinin plasma dalam batas normal.
- Mempunyai warna kulit yang normal.
- Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik (mis.,
tidak mengalami dispnea, nyeri dada, atau sinkope)
- Mengambarkan diet, obat, aktivitas, dan batasan yang diperlukan
(mis., untuk penyakit jantung).
- Mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat
dilaporkan.
g. Intervensi NIC
Reduksi Perdarahan: Membatasi kehilangan volume darah selama
episode perdarahan.
77
Perawatan Jantung: Membatasi komplikasi akibat ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard pada pasien yang
mengalami gejala kerusakan fungsi jantung.
Perawatan Jantung, Akut: Membatasi komplikasi untuk pasien yang
sedang mengalami episode ketidakseimbangan antara suplaidan
kebutuhan oksigen miokard yang mengakibatkan kerusakan fungsi
jantung.
Promosi Perfusi Serebral: Meningkatkan perfusi yang adekuat dan
membatasi komplikasi untuk pasien yang mengalami atau berisiko
mengalami ketidakadekuatan perfusi serebral.
Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi arteri: Meningkatkan sirkulasi arteri
Perawatan Sirkulasi: Alat Bantu Mekanis: Memberi dukungan temporer
sirkulasi melalui penggunaan alat atau pompa mekanis.
Perawatan sirkulasi: Insufisiensi Vena: Meningkatkan sirkulasi vena
Perawatan Embolus: Perifer: Membatasi komplikasi untuk pasien
mengalami, atau berisiko mengalami sumbatan sirkulasi paru.
Regulasi Hemodinamik: Mengoptimalkan frekuensi jantung, preload,
afterload, dan kontraktilitas.
Pengendalian hemoragi: Menurunkan atau meniadakan kehilangan
darah yang cepat dan dalam jumlah banyak.
Terapi Intravena (IV): Memberi dan memantau cairan dan obat
intravena (IV)
Pemantauan Neurologis: Mengumpulkan dan menganalisis data pasien
untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis.
Manajemen Syok: Volume: Meningkatkan keadekuatan perfusi jaringan
untuk pasien yang mengalami gangguan volume intravascular berat.
Pemantauan Tanda Vital: Mengumpulkan dan menganalisis data
kardiovaskular,pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan dan
mencegah komplikasi
78
h. Aktivitas Keperawatan
Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus
pada pemantauan tanda-tanda vital dan gejala penurunan curah jantung,
pengkajian penyebab yang mendasari (mis., hipovolemia, disritmia),
pelaksanaan protocol atau program dokter untuk mengatasi penurunan
curah jantung dan pelaksanaan tindakan dukugnan, seperti perubahan
posisi dan hidrasi.
Pengkajian
- Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis , status
pernapasan dan status mental.
- Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen,
kenaikan berat badan).
- Kaji toleran aktivitas pasien dengan memerhatikan adanya awitan
napas pendek, nyeri, palpitasi, atau limbung.
- Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.
- Kaji kerusakan kognitif (NIC):
Pantau fungsi pacemaker, jika perlu
Pantau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu serta warna
ekstremitas
Pantau asupan dan haluaran, haluaran urin, dan berat badan pasien,
jika perlu.
Pantau resistensi vaskularsistemik dan paru, jika perlu
Auskultasi suara paru terhadap bunyi crakle atau suara napas
tambahan lainnya.
Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama dan nadi.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
- Jelaskan tujuan pemberian oksigen per kanula nasal atau sungkup
79
- Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan
haluaran
- Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat.
- Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi
dan nyeri, durasi, factor pencetus, daerah, kualitas, dan intensitas.
- Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencanaan untuk
perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktivitas, pembatasan
diet, dan penggunaan alat terapeutik.
- Berikan informasi tentang teknik penurunan stress, seperti
biofeedback, relaksasi otot progresif, meditasi, dan latihan fisik.
- Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari.
Aktivitas Kolaboratif
- Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian
atau penghentian obat tekanan darah.
- Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin, dan
vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan
afterload sesuai dengan program medis atau protocol.
- Berikan antikoagulasi untuk mencegah pembentukan thrombus
perifer, sesuai dengan program atau protocol.
- Tingkatkan penurunan afterload (misalnya, dengan pompa balon
intra aorta) sesuai dengan program medis atau protocol.
- Lakukan perujukan ke perawat praktisi lanjutan untuk ketidak-
lanjut, jika diperlukan.
- Pertimbangan perujukan ke petugas sosial, manajer kasus, atau
layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan di rumah.
- Lakukan perujukan ke petugas sosial untuk mengevaluasi
kemampuan membayar obat yang diresepkan .
- Lakukan perujukan ke pusat rehabilitasi jantung jika diperlukan.
Aktivitas Lain
80
- Ubah posisi ke pasien ke posisi datar atau Trendelenburg ketika
tekanan darah pasien berada pada rentang lebih rendah
dibandingkan dengan yang biasanya.
- Untuk hipotensi yang tiba-tiba, berat atau lama, pasang akses
intravena untuk pemberian cairan intravena atau obat untuk
meningkatkan tekanan darah.
- Hubungkan efek nilai laboratorium, oksigen, obat, aktivitas,
ansietas, dan/ atau nyeri pada disritmia.
- Jangan mengukur suhu dari rectum
- Ubah posisi pasien setiap dua jam atau pertahankan aktivitas lain
yang sesuai atau dibutuhkan untuk menurunkan stasis sirkulasi
perifer.
- Regulasi Hemodinamik (NIC):
Minimalkan atau hilangkan stressor lingkungan
Pasang kateter urin, jika diperlukan
Perawatan di rumah
- Kaji dalam mendapatkan layanan perawatan kesehatan di rumah
untuk aktivitas harian, penyiapan makanan, pemeliharaan rumah,
transportasi untuk kunjungan dokter, dan lain sebagainya.
- Kaji adanya hambatan untuk mematuhi regimen terapi yang
diprogramkan (mis., efek samping obat).
- Bantu klien dan keluarga untuk membuat perencanaan dalam
kondisi darurat, seperti listrik padam (jika menggunakan alat bantu
pernapasan atau kebutuhan terhadap terhadap tindakan resusitasi
jantung-paru.
- Pastikan klien memiliki alat timbangan untuk mengukur berat badan
harian.
Untuk Lansia
81
- Waspadai bahwa pasien lansia sering mengalami nyeri rahang—
atau bahkan tiddak merasakan nyeri sama sekali—disertai infark
miokard.
- Waspadai bahwa pasien lansia mungkin mengalami penurunan
fungsi hati dan ginjal; pastikan untuk mengkaji efek samping abat-
obat jantung.
- Amati tanda dan gejala aritmia (mis., limbung kelemahan, sinkope,
palpitasi).
- Kaji tanda-tanda depresi dan isolasi sosial; buat perujukan ke
layanan kesehatan mental jika diperlukan.
- Kaji pemahaman mengenai dan kepatuhan terhadap obat dan terapi
lain (mis., diet, aktivitas). Pasien lansia mungkin perlu pengulangan
informasi dan penguatan penyuluhan.
- Pasien lansia yang lemah mungkin memerlukan manajemen kasus
untuk melanjutkan hidup secara mandiri.
82
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam
sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen
(urea-kreatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.
Tergantung dan keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa
metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti
asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbahan cairan serta dampak
terhadap berbagai organ tubuh lainnya.
B. Penutup
Dalam pembuatan makalah sebaiknya mahasiswa menggunakan beberapa
rujukan untuk membandingkan pengetahuan satu dengan yang lain
83
DAFTAR PUSTAKA
1. Sylvia, Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
2. Stein, Jay H. 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
3. J. Corwin, Elizabeth. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
4. Wilkinson, Judith M. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9,
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.
84
Top Related