ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE HEMORAGIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gaya hidup manusia dewasa ini semakin mengarah kepada gaya hidup yang pragmatis.
Semuanya memenuhi kebutuhan hidup secara instan dan praktis, dan mengabaikan segala hal
yang ada di balik pragmatisme dalam hidup tersebut. Hal ini tentu akan membawa berbagai
konsekuensi, dan konsekuensi yang paling rentan adalah masalah kesehatan. Pola hidup yang
instan seperti makan makanan junk food, merokok dan minum kopi yang berlebihan untuk
mengusir rasa kantuk akibat lelah kerja, tidak pernah melakukan olah raga karena harus
mengejar karier serta gaya hidup yang selalu identik dengan narkoba, rokok dan alkohol maka
segala penyakit akan datang menyerang. Bermula dari kelebihan kolesterol, kelelahan karena
kurang istirahat, tingkat stres yang tinggi dan hipertensi maka timbullah berbagai penyakit
seperti jantung dan stroke.
Menurut Batticaca(2008) stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi
penyebab kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak
10% penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga
menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya
kasus stroke ini salah satunya dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi
berbagai faktor resiko yang dapat menimbulakan stroke. Penyebab stroke adalah pecahnya
(ruptur) pembuluh darah di otak dan atau terjadinya trombosis dan emboli. Gumpalan darah akan
masuk ke aliran darah sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang
cedera dan menutup atau menyumbat arteri otak. Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai
penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan dengan
gejala lemas, lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.
Menurut ctella93 (2008), di Indonesia stroke merupakan penyakit nomor tiga yang
mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan
pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000
penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga
lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami
gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.
Data pencatatan dari rekam medik di Ruang Bougenville Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung diketahui bahwa sejak bulan Januari – Juni
2011 terdapat sebanyak 663 orang yang terdiri dari berbagai penyakit diantaranya: cidera kepala
260 orang (39%), stroke non hemoragik 172 orang (26%), stroke hemoragik 95 orang (14%), dan
lain-lain seperti: cephalgia, meningitis, dan sol 140 orang (21%).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit stroke sebagai
makalah ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana proses keperawatan yang dilakukan
pada klien dengan penyakit stroke. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan penulis
mengambil judul makalah: Asuhan Keperawatan Pada Tn. U dengan gangguan system
persyarafan: Stroke Non Hemoragik di ruang Bougenvile RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang
meliputi aspek biopsikososiospritual pada klien dengan stroke non hemoragik dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Penulis mampu menggambarkan:
a. Konsep teori penyakit stroke non hemoragik.
b. Pengkajian status kesehatan pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik
secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan.
c. Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. U dengan masalah stroke non
hemoragik.
d. Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada Tn. U
dengan stroke non hemoragik.
e. Pelaksanaan implementasi keperawatan terhadap Tn. U dengan stroke non
hemoragik.
f. Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.
g. Pendokumentasian asuhan keperawatan yang benar pada Tn. U dengan stroke non
hemoragik.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup laporan study kasus ini mengacu pada masalah keperawatan pada system
persyarafan: Stroke Non Hemoragik pada Tn. U diruang Buogenvile RSUD Dr. Hi. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung yang dilaksanakan pada tanggal 09 s/d 11 Juni 2011 dengan
menggunakan proses keperawatan.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan laporan ini menggunakan metode deskriptif yang berbentuk study
kasus. Tekhnik pengambilan data pada kasus dengan pengamatan atau observasi langsung ke
klien, wawancara, pemeriksaan fisik, dokumentasi atau catatan perawatan, partisipasi aktif dan
studi kepustakaan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang diuraikan dalam laporan kasus ini dibagi menjadi 5 Bab,
yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORI
Landasan teori meliputi konsep dasar penyakit, berisi definisi, etiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, diagnostik, penatalaksanaan medik dan keperawatan, konsep
dasar asuhan keperawatan, berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi dan evaluasi.
BAB III : TINJAUAN KASUS
Meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan, pelaksanaan keperawatan, evaluasi dan catatan perkembangan.
BAB IV : PEMBAHASAN
BAB V : PENUTUP
Meliputi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi
gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan terhentinya suplai darah
kebagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Ginsberg (2008), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/gejala
hilangnya fungsi system syaraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik
atau menit).
Sedangkan menurut Muttaqin (2008), stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala
gangguan fungsi otak secara fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih tanpa penyebab lain
kecuali gangguan pembuluh darah otak.
2. Klasifikasi Stroke
a. Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke berdasarkan keadaan patologis dari
serangan stroke meliputi:
1) Stroke hemoragik
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan
aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya
menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a) Perdarahan Intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke
dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema
otak.
b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry, aneurisma yang berasal dari
pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya. Dapat menimbulkan nyeri kepala hebat,
sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsang selaput otak lainnya, dapat pula
terjadi penurunan kesadaran.
c) Sub Dural Hemoragic (SDH)
Biasanya terjadi robeknya jembatan vena sehingga periode pembentukan hematoma
lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.
d) Epidural Hemoragic (EDH)
Adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus
diatasi dalam beberapa jam untuk mempertahankan hidup.
2) Stroke Non Hemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, umumnya terjadi saat setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur pada dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi
iskemia yang menimbulkan hipoksia, kesadaran umumnya baik.
b. Menurut Batticaca (2008), klasifikasi stroke dibagi menjadi:
1) Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada usia
50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a) Trombosis pada pembuluh darah otak (trombosis of cerebral vessels).
b) Emboli pada pembuluh darah (embolism of cerebral vessels)
2) Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahundan
biasanya timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).
a) Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage)
Gejalanya:
(1) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
(2) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah.
(3) Mual atau muntah pada permulaan serangan.
(4) Hemiparasis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
(5) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari ½
jam-2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 19 hari).
b) Perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage)
Gejalanya:
(1) Nyeri kepala hebat dan mendadak.
(2) Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
(3) Ada gejala atau tanda meningeal.
(4) Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma
pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
3. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare(2002), keadaaan yang dapat menyebabkan stroke:
a. Trombosis Serebri
Trombosis (penyakit trombo-okulsif) merupakan penyebab stroke yang paling sering
dikaitkan dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
menyebabkan trombosis otak:
1) Aterosklerosis
Ateroskleroris adalah pengerasan pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan dan
elastisitas pembuluh darah.
2) Hiperkoagulasi pada polisitemia
Darah bertambah kental, penambahan viskositas atau hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebri.
3) Arteritis
Radang pada arteri.
b. Embolisme Serebral
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah,
lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas yang
merupakan perwujutan penyakit jantung.
c. Hemoragik
1) Hemoragi ekstradural atau epidural
Hemoragi ekstradural merupakan kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan
segera dan biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri
meningen lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam cidera untuk mempertahankan hidup.
2) Hemoragi subdural
Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa
hematom lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.
3) Hemoragi subarakhnoid
Hemoragi subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab
paling sering adalah kebocoran aneurisme pada sirkulus willisi dan malformasi arteri vena
kongenital pada otak.
4) Hemoragi intra serebral
Perdarahan di subtansi dalam otak paling umum pada pasien dengan hipertensi
aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif yang ruptur pembuluh darah.
d. Hipoksia umum
Pada keadaan hipertensi yang parah jantung dapat mengalami pembengkakan dan
gangguan dalam irama, sehingga dapat menurunkan curah jantung, selain itu pula keelastisitasan
pembuluh darah berkurang dan pembuluh darah dapat mengalami arterosklerosis. Pada keadaan
tersebut suplai darah ke jaringan tubuh dapat terganggu, apabila gangguan tersebut mengenai
jaringan otak maka suplai oksigendan nutrisi bagi otak akan berkurang, bila keadaan itu terus
berlanjut maka dapat mengalami iskemi dan hipoksia dan berakibat kematian jaringan otak.
e. Hipoksia lokal
Spasme arteri serebri ataupun vasokontriksi arteri otak dapat menghambat aliran darah
ke otak sehingga otak mengalami iskemi.
4. Faktor Resiko Stroke
Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor resiko terjadinya stroke sebagai berikut:
a. Hipertensi
Pengendalian hipertensi adalah kunci untuk mencegah stroke.
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Kolesterol tinggi
d. Obesitas
e. Diabetes
f. Merokok
5. Patofisiologi
Skema 2.1. Patofisiologi
Patofisiologi Stroke menurut Muttaqin (2008).
Penyebab (Trombosis, emboli dan perdarahan)
Oklusi
Penurunan perfusi jaringan serebral
Iskemia
Metabolisme anaerob Aktivitas elektrolit terhenti
Penimbunan asam laktat Pompa Na dan K gagal
Edema serebral
Perfusi otak menurun
Nekrosis jaringan otak
Keterangan Skema:
Trombosis, emboli dan perdarahan serebral merupakan faktor penyebab yang dapat
mengakibatkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah otak, sehingga akan terjadi penurunan
perfusi jaringan serebral, karena suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga akan terjadi
iskemia kemudian terjadi metabolisme anaerob dan menimbulkan penimbunan asam laktat, dari
iskemia juga dapat menghentikan aktivitas elektrolit sehingga pompa Na dan K gagal,
mengakibatkan edema serebral sehingga perfusi jaringan otak menurun dan terjadi nekrosis
jaringan serebral atau stroke.
6. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002), stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis
bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah
kolateral (sekunder atau aksesori).
a. Kehilangan motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerak motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol volunter pada
salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah
1) Hemiplegia, yaitu paralisis pada salah satu sisi.
2) Hemiparesis, yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
b. Kehilangan komunikasi
Fungsi otak yang dipengaruhi stroke adalah bahasa dan komunikasi.
1) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti
yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
2) Disfasia atau Afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.
3) Apraksia (ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir
rambutnya.
c. Gangguan persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan menginterprestasikan sensasi.
1) Disfungsi persepsi visual
Kehilangan setengah lapang pandang (hemianopsia), sisi visual yang terkena berkaitan
dengan sisi tubuh yang paralisis.
2) Kehilangan sensori
Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerak bagian tubuh serta kesulitan dalam
menginterpretasikan strimulasi visual, taktil dan auditorius.
d. Gangguan fungsi koknitif dan efek psikologis
Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
e. Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke, pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena
konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan menggunakan
urinal karena kerusakan kontrol motorik postural.
Berdasarkan bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
a. Stroke hemisfer kanan
Hemiparesis atau hemiplegia pada sisi kiri tubuh, defek lapang penglihatan kiri, defisit
persepsi, prilaku implusif dan penilaian buruk, kurang kesadaran terhadap defisit.
b. Stroke hemisfer kiri
Hemiparesis atau hemiplegia kanan, defek lapang pandang kanan, afasia (ekspresif,
reseptif atau global), prilaku lambat dan kewaspadaan.
7. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002), setelah mengalami stroke klien mungkin akan
mengalami komplikasi yang dapat dikelompokan berdasarkan:
a. Hipoksia serebral
b. Hipertensi atau hipotansi
c. Embolisme serebral
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan laboratorium pada stroke sebagai berikut:
1) Darah rutin.
2) Pemeriksaan kimia darah: Gula darah.
3) Cairan serebrospinal.
4) Pemeriksaan darah lengkap.
b. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), pemeriksaan diagnostik pada stroke
sebagai berikut:
1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hiperdens (perdarahan), iskemia dan
adanya infark.
2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri.
3. Pungsi Lumbal
a) Menunjukan adanya tekanan normal.
b) Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya
perdarahan.
4. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
5. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
9. Penatalaksanaan umum
a. Medik
Penatalaksaan Medik menurut Muttaqin (2008), adalah:
1) Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan saluran napas
yaitu : oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator
untuk meningkatkan aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis lainnya
2) Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue plasminogen)
3) Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta,
kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
4) Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.
5) Pemberian Osmotis Diuretika seperti manitol, lasix atau furosemide untuk
menurunkan edema serebral.
6) Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis dan
embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler (Smeltzer & Bare, 2000).
b. Keperawatan
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), tindakan yang dilakukan pada pasien
stroke:
1) Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat.
2) Mencegah atau meminimalkan komplikasi dan ketidakmampuan yang bersifat
permanen.
3) Membantu pasien untuk menemukan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
4) Memberikan dukungan terhadap proses koping dan mengintegrasikan perubahan
dalam konsep diri pasien.
5) Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosisnya dan kebutuhan
tindakan atau rehabilitasi.
B Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), secara teoritis data yang perlu dikaji
dari pasien stroke adalah sebagai berikut:
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralisis (hemiplegia).
Tanda: gangguan tonus otot, paralitik dan kelemahan umum, gangguan penglihatan, dan
gangguan tingkat kesadaran.
b. Sirkulasi
Gejala: adanya penykit jantung ( penyakit jantung vaskular, endokarditis), polisitemia,
dan riwayat hipotensi postural.
Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi
vaskular. Frekuensi nadi dapat bervariasi karena ketidaksetabilan fungsi jantung, obat-obatan dan
efek stroke pada pusat vasomotor.
c. Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, dan putus asa.
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira, dan kesulitan
untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih seperti inkontinensia, anuria, distensi abdomen, dan
bising usus negatif.
e. Makanan/cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual dan muntah selama fase akut (peningkatan TIK).
Kehilangan sensasi rasa kecap pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia. Adanya riwayat
diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal), dan obesitas
(faktor resiko).
f. Neurosensori
Gejala: sinkop atau pusing, sakit kepala, akan sangat berat dengan adanya PIS atau
PSA, kelemahan, kesemutan, atau kebas. Penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian,
penglihatan ganda. Sentuhan, hilangnya rangsang sensorik kolateral pada ekstermitas dan
kadang-kadang ipsilateral pada wajah. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental atau tingkat kesadaran menurun, gangguan tingkah laku (letargi,
apatis, menyerang), gangguan fungsi kognitif atau penurunan memori, kelemahan atau paralisis
pada ekstermitas, reflek tendon melemah. Afasia, kehilanagan kemempuan menggunakan
motorik (afraksia), ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dan kejang.
g. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intesitas yang berbeda-beda.
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, dan ketegangan pada otot (fasia).
h. Pernafasan
Gejala: merokok
Tanda: ketidak mampuan menelan, batuk, hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan
sulit, tidak teratur, dan suara nafas terdengar ronchi.
i. Interaksi sosial
Tanda: masalah bicara, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
j. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral,
dan kecanduan alkohol.
2. Diagnosa Keperawatan (DX. Kep)
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada klien dengan stroke antara lain:
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi
aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:
hemiparese atau hemiplegia.
c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:
kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial.
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi saraf
sensori.
e. Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Sedangkan menurut Batticaca (2008), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien
dengan stroke antara lain:
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisi, hemiparase, quadriplegi.
f. Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah upaya yang dilakukan perawat untuk mencapai hasil
yang diharapkan yaitu kesembuhan pasien dan kemampuan pasien melakukan atau memenuhi
kebutuhan hidupnya kembali dan tujuan pemulangan pasien. Menurut Doenges, Moorhouse &
Geissler (2000), rencana tindakan pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut:
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi
aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil yang
ingin dicapai yaitu: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, atau kejang. GCS:
15 (E:4 M:6 V:5), tanda-tanda vital dalam batas normal, tingkat kesadaran membaik, dan tidak
ada penurunan fungsi neurologis.
Intervensi:
1) Kaji faktor penyebab dan beri penjelasan kepada keluarga tentang sebab-sabab
peningkatan TIK dan akibatnya.
Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda dan
gejala neurologis atau kegagalan mempebaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan
pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan keruang perawatan kritis (ICU) untuk
melakukan pemantauan TIK.
2) Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan normalnya.
Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
3) Monitor tanda-tanda vital seperti: (tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi
pernafasan).
Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah
sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler
serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
4) Tinggikan posisi kepala 30-450 dan dalam posisi anatomis (netral).
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan
sirkulasi atau perfusi serebral.
5) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang,
dan batasi pengunjung.
Rasional: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
6) Anjurkan klien untuk tidak menekuk lutut, batuk, bersin atau mengejan
berlebihan.
Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
7) Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.
Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan
tekanan meningkat atau terbentuknya edema.
8) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: antikoagulan heparin, antifibrolitik
asam aminocaproid, antihipertensi, steroid, diuretik,
Rasional: dapat digunakan untuk memperbaiki aliran darah serebral, untuk mencegah
lisis bekuan yang terbentuk dan perdarahan berulang.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
hemiparese atau hemiplegi.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya
dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi tubuh secara optimal
seperti tidak adanya kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau meningkatkan fungsi tubuh
yang terkena, klien dapat ikut serta dalam program latihan, mendemonstrasikan tekhnik
melakukan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL terpenuhi, dan tonus otot
meningkat.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara
yang teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.
Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan.
3) Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan keluarga dalam
melakukan tindakan.
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur.
4) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.
Rasional: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
5) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
Rasional: mempertahankan posisi fungsional.
6) Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan bantal.
Rasional: mencegah rotasi eksternal pada pinggul.
7) Inspeksi kulit terutama pada daerah yang tertekan dan menonjol secara teratur,
lakukan massage pada daerah tertekan, sanggah tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah.
Rasional: titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling berisiko untuk terjadinya
penurunan perfusi atau iskemia.
8) Kolaborasi dengan ahli fisiotrapiuntuk latihan fisik klien.
Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisiotherapis.
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular:
kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat dengan kriteria hasil yang
ingin dicapai yaitu: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien terpenuhi, klien
mampu berespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat, membuat metode
komunikasi, mampu mengekspresikan diri dan memahami orang lain.
Intervensi:
1) Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata
atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.
Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan
klien sebagian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata.
2) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti ”tutup matamu” dan
”lihat kepintu”.
Rasional: untuk menguji afasia reseptif.
3) Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis,
menggambar, gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.
Rasional: memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
4) Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.
Rasional: membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi.
5) Mintalah pasien mengucapkan suara sederhana seperti ”Sh” atau
”Pus”.
Rasional: mengidentifikasi disatria komponen bicara (lidah, gerakan bibir).
6) Anjurkan klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu
anjurkan klien untuk membaca kalimat pendek.
Rasional: menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca.
7) Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat, berikan
waktu klien untuk berespon.
Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan klien marah dan
tidak menyebabkan rasa frustasi.
d. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu:
asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, tidak terjadi penurunan
berat badan, tidak terpasang sonde.
Intervensi:
1) Lakukan oral higiene.
Rasional: kebersihan mulut merangsang nafsu makan.
2) Observasi intake dan output nutrisi.
Rasional: mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
3) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
Rasional: untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
4) Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
Rasional: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.
5) Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup mulut secara manual dengan
menekan ringan diatas bibir atau dibawah dagu jika diperlukan.
Rasional: membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan kembali
kontrolmuskular.
6) Berikan makan perlahan dengan lingkungan yang tenang.
Rasional: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi
atau gangguan dari luar.
7) Mulailah untuk memberi makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien
dapat menelan air.
Rasional: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam
mulut, dan menurunkan terjadinya aspirasi.
8) Anjurkan klien menggunakan sedotan minuman cairan.
Rasional: menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko
terjadinya tersedak.
9) Kolaborasi dalam pemberian nutrisi melalui parenteral dan makanan melalui
selang.
Rasional: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga
makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
DAFTAR PUSTAKA
Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem
Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993
Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan
Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996
Top Related