Demokrasi
Tujuan Instruksional Khusus
: Setelah selesai mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan pengertian demokrasi, baik pada zaman Yunani klasik,
maupun pada zaman sekarang2. Menjelaskan sejumlah persoalan yang dihadapi rezim demokrasi
kontemporer3. Menjelaskan konsep demokrasi Pancasila dan implikasinya bagi
hidup berwarganegara4. Menjelaskan prediksi masa depan demokrasi berdasarkan
pengamatan atas pola-pola masa lalu dan kini
Deskripsi Mata Kuliah
: Mata kuliah ini meliputi bahasan-bahasan tentang:1. Pengertian demokrasi2. Persoalan-persoalan demokrasi
Gambar: 8.1. “We want democracy”;
Sumber: http://pmiisoshum.files.wordpress.com/2011/04/iran-protest-we-want-democracy1a.jpg]
1
Latar Belakang
Lewat pengamatan terhadap fenomena dan peristiwa sehari-hari, kita bisa
menyaksikan di mana-mana orang menulis, berpolemik, berdiskusi dan berdebat tentang
demokrasi, baik soal hakikat, kegunaan, maupun faktor-faktor yang mendorong kemajuan
maupun menghambat perkembangannya. Sebagian melihatnya dengan pandangan yang
optimis, sebagian yang lain melihatnya dengan pesimis, bahkan apatis. Demokrasi dianggap
oleh sebagian besar orang sebagai jalan politik yang relatif stabil dan aman menuju
kebebasan (individu), kesetaraan (antar individu sebagai warganegara), dan kesejahteraan.
Karena miskinnya alternatif yang tahan uji, demokrasi liberal, misalnya, dipandang oleh
beberapa pengamat politik sebagai the only feasible form of democracy1. Di saat yang
bersamaan, ada klaim yang mengatakan bahwa demokrasi sekarang mengalami perlemahan2.
Demokrasi dianggap tidak mampu menyelesaikan sejumlah besar persoalan bersama yang
muncul dan mendapatkan legitimasi yang justru persis dibutuhkannya, sehingga berujung
pada krisis ekonomi, merosotnya legitimasi negara di hadapan desakan pasar dan logika
kapitalisme global3, dan juga di bawah tuntutan gerakan fundamentalisme relijius, baik di
1 Lih. Bohman, James. 2010. "Introducing Democracy across Borders: from dêmos to dêmoi." Dalam jurnal Ethics & Global Politics Vol. 3, No. 1, 2010, hlm. 1-11.2 Berdasarkan peringkat (rating) yang dirilis Freedom House yang berjudul Freedom in the World 2011: The Authoritarian Challenge to Democracy. Freedom House sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba atau lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Amerika Serikat yang mengerjakan riset dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politis dan hak asasi manusia. Didirikan pada Oktober 1941, beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Dunia II, Wendell Willkie dan Eleanor Roosevelt mendapat kehormatan untuk mengepalainya (honorary chairpersons). Menyebut diri sebagai “suara jernih bagi demokrasi dan kebabasan di seluruh dunia” organisasi ini mendapat dukungan finansial dari berbagai sumber Laporan tahunan organisasi ini, yang lebih dikenal dengan nama Freedom in the World report, menilai tingkat kebebasan politis dan kebebasan sipil di setiap negara yang ada di dunia (tercatat 195 negara). Berdasarkan laporan tahunan Freedom in the World 2011, kebebasan di seluruh dunia, yang diamati selama tahun 2010, kembali mengalami penurunan, dalam periode lima tahun berturut-turut. Negara yang mengalami penurunan tingkat kebebasan terhitung ada 25 negara, sementara hanya ada 11 yang mengalami peningkatan. Penurunan yang paling mencolok ditemukan di negara-negara yang masuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara yang tadinya termasuk kategori “free” berkurang dua buah, dari 89 di tahun sebelumnya, menjadi 87. Jumlah negara yang mempraktikkan demokrasi elektoral merosot dari 123 di tahun 2005 menjadi 115. Rezim otoriter, seperti di Cina, Mesir, Iran, Rusia, dan Venezuela, sebaliknya, malah mengalami “masa kejayaan,” tanpa ada tentangan yang berarti dari sebagian besar masyarakat dunia yang demokratis. Posisi Indonesia sendiri dalam Freedom in the World report 2011, relatif stabil berada di rating 2.5 (masih termasuk “free country” namun sudah di ambang “partly free country”) bersama negara Botswana, El Salvador, Guyana, India, Jamaica, Mali, Montenegro, dan Peru3 Lih. Dahl, 1998, hlm. 173. Dahl mengatakan, Democracy and market-capitalism are locked in a persistent conflict in which each modifies and limits the other. Lih.juga Dieter Plehwe, Bernhard Walpen and Gisela Neunhöffer. Tim editor. 2006. Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London dan New York: Routledge. Bdk. Antonio, Robert J. "The Cultural Construction of Neoliberal Globalization." dalam Ritzer, George. Editor. The Blackwell Companion to Globalization. Malden (MA - USA), Oxford (UK), Victoria (Australia): Blackwell Publishing, hlm. 67 - 83. Bdk. juga, Sandel, Michael J. 2012. What Money Can't Buy: The Moral Limits of Markets. New York: Farrar, Straus dan Giroux; Lih. Klein, 2007 dan Knezevic, 2003.
2
negara maju seperti Amerika Serikat4, maupun di negara-negara berkembang seperti
Indonesia5.
Namun benarkah demikian? Benarkah demokrasi jenis pemerintahan yang diinginkan
oleh mayoritas orang di dunia ini? Jika benar, pesona macam apa yang masih bisa ditebarkan
oleh demokrasi? Apa sajakah keunggulan-keunggulannya dibandingkan jenis pemerintahan
yang lain (otoriter, misalnya)? Bagaimana dengan kelemahan-kelemahan dan persoalan-
persoalan yang dihadapinya hingga sekarang? Seberapa jauh kelemahan dan persoalan
tersebut dapat diantisipasi dan dicari jalan keluarnya? Bagaimana masa depan demokrasi
pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya?
Demikian sederet pertanyaan yang akan mengawali dan memandu pembahasan kita
tentang demokrasi, terutama dalam bingkai besar pembahasan tentang Etika Politik dan
Kewarganegaraan. Pembahasan ini, meskipun disadari terbatas dalam cakupan dan
kedalaman, namun diharapkan dapat berfungsi sebagai pengantar dan katalisator diskusi
menyangkut tema demokrasi.
Asal-usul pengertian dan hakikat demokrasi
Secara umum orang memahami demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat.” Secara etimologis (asal-usul kata), demokrasi berasal dari
khazanah bahasa, pengetahuan dan praksis politis Yunani kuno, δημοκρατία, yang berasal
dari dua kata yang lebih dasar, yaitu δῆμος / demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan).
Dengan demikian, demokrasi secara harafiah berarti “rakyat yang memegang
kekuasaan” (the people hold power).
Rakyat dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan Yunani kuno---termasuk mereka
yang berada di kelas akar rumput, seperti tukang, petani, penjaga---memiliki kesamaan politis
dan kontrol terhadap kekuasaan dan pemerintahan, dengan tetap memperhatikan dan
menghormati kaidah hukum dan lembaga-lembaga yang ada6. Demokrasi yang
dipraktikkan di Yunani kuno adalah demokrasi yang berbasis polis atau city-states
4 Lih. Giroux, Henry A. 2005. “The Passion of the Right: Religious Fundamentalism and the Crisis of Democracy." Dalam jurnal Cultural Studies <=> Critical Methodologies 2005; 5; hlm. 309 - 317. DOI: 10.1177/1532708604274305.5 Lih. Herry-Priyono, B. “Three challenges facing presidential aspirants”. Dalam The Jakarta Post, Kamis, 22 Desember 2011 (Edisi Khusus, hlm. 11). Bdk. Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos. Tim editor. 2010. The Faces of ISLAM ‘Defenders’: Religion Radicalism and Its Implications on Assurance of Religious/Beliefs Freedom in Jabodetabek and West Java. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.6 Lih. Morris, Ian, Kurt A. Raaflaub, David Castriota. 1998. Democracy 2500? questions and challenges. Kendall/Hunt Pub. Co. Bdk. Hansen, Mogens Herman. 1991. The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes: Structure, Principles, and Ideology. University of Oklahoma Press.
3
(terutama di kota Athena)7 dan bukan demokrasi berbasis negara atau state-
democracy8. Selain itu, mengingat jumlah penduduk yang belum terlalu besar, jenis
demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi langsung (direct democracy), dan
bukan demokrasi representatif seperti yang sekarang dipraktekkan di negara-negara
besar, misalnya Amerika Serikat dan Indonesia. Yang dimaksud dengan demokrasi
langsung adalah jenis pemerintahan di mana rakyatnya secara aktual memerintah diri
mereka sendiri, artinya mereka semua memiliki hak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Sementara, dalam demokrasi tidak langsung (misalnya
demokrasi representatif), partisipasi rakyat “hanya” sampai pada memilih para
pengambil keputusan (misalnya, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih
anggota legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah).
Dalam sejarahnya, setelah era demokrasi polis Athena berakhir9, demokrasi langsung
masih dipraktekkan di beberapa kota di Eropa selama Abad Pertengahan, seperti di Swiss,
Jerman, Perancis, Italia, dan juga di Mexico di bawah Toltecs dan Chichimecans (1000 -
1300), di Afrika sebelah selatan Sahara dan di timur Niger, ada tujuh city-states bernama
Hausa (1450 - 1804)10. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk secara
signifikan yang membuat pengaturan dan pengelolaannya lebih problematis, jenis demokrasi
representatif seperti yang diusulkan Rousseau, Kant, Sieyes, Paine dan Condorcet lah yang
dijadikan pilihan yang lebih masuk akal dan mungkin dilakukan11.
Menurut filsuf sosial dan pendidikan Amerika, John Dewey dalam bukunya
Democracy and Education, untuk membentuk suatu entitas politis yang demokratis, haruslah
ada “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan.” Ada dua kriteria penting yang perlu
7 Seperti dicatat Hansen, 1991, hlm. 55, “Classical Greece was divided into some 750 poleis or 'city-states' .. Most of them were tiny, with an average territory of less than 100 square km and a citizen population of fewer than 1000 adult males; not more than a couple of hundred were larger than that, and even a powerful city-state such as Corinth only covered 900 square km, with a population in the classical period of about 10,000 - 15,000 adult male citizens. Athens was in population the largest of all the poleis in Greece itself, and in territory the second largest next to Lakedaimon. The size of the population as a whole is unknown, but it can be deduced from the evidence that there were some 60,000 male citizens when Perikles was the leader of Athens in the fifth century and about 30,000 when Demosthenes was its leader against Philip of Macedon a hundred years later.”8 Pembedaan antara polis dengan (modern) state merupakan kajian yang menarik dan membutuhkan ruang tersendiri. Mengikuti Hansen, 1991, hlm. 58, negara modern harus memuat tiga unsur pokok berikut, yaitu: 1) adanya wilayah, 2) adanya orang atau rakyat yang diperintah atau dipimpin, dan 3) adanya badan pemerintahan yang melaksanakan (exercise) kedaulatan territorial dalam wilayah tertentu dan memiliki otoritas terhadap para individu yang menyusun ‘rakyat.’ Jadi, pengertian negara dalam terminology Hansen adalah “a government with the sole right to exercise a given legal order within a given area over a given population.”9 Karena diserang dan diduduki orang-orang Makedonia pada tahun 322 / 321 SM (Lih. Hansen, 1991, hlm. 3)10 Lih. Hansen, 1991, hlm. 57.11 Lih. Urbinati, Nadia. Representative Democracy: Principles and Genealogy. Chicago: University of Chicago Press, 2006, dalam Henning, 2007. Urbinati berargumen bahwa demokrasi representatif bukanlah demokrasi yang bersifat aristokratis atau pengganti yang defektif untuk demokrasi langsung, namun justru sebuah cara bagi demokrasi untuk terus menerus membaharui diri dan berkembang.
4
diperhatikan dan dipenuhi agar entitas politis demokratis tersebut dapat terwujud12. Pertama,
selain mengakui adanya kepentingan bersama yang dibagikan (shared common interest),
kepentingan bersama tersebut haruslah bersifat saling menguntungkan (mutualistis).
Kepentingan bersama yang saling dibagikan dan saling menguntungkan ini akan menjadi
faktor kunci dalam kontrol sosial masyarakat. Kedua, interaksi yang bebas antar kelompok-
kelompok sosial sekaligus perubahan kebiasaan (habit) sosial---perubahan yang terjadi
berkat situasi-situasi baru yang dihasilkan lewat variasi perjumpaan-perjumpaan antar
kelompok. Dewey menegaskan bahwa dua karakter inilah yang paling tepat menggambarkan
masyarakat yang terbentuk secara demokratis (democratically constituted society).
Bagaimana agar ‘kepentingan bersama yang dibagikan dan saling menguntungkan’ tersebut
semakin lama menjadi semakin luas cakupannya dan semakin dalam diterima serta dihayati
lintas kelompok dalam masyarakat? Dewey menyarankan agar setiap anggota dalam
kelompok harus memiliki kesempatan yang sama (equable opportunity) untuk menerima dan
mengambil nilai-nilai yang berharga dari anggota kelompok yang lain. Ringkasnya, harus
terjadi variasi pengalaman dan kerja bersama dalam jumlah yang cukup besar.
Jika Dewey menyoroti “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan” sebagai
prasyarat metafisis dari perwujudan ideal masyarakat yang demokratis, maka Joseph
Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy justru menegaskan hal
yang sebaliknya. Menurutnya, titik berangkat pendefinisian demokrasi haruslah dimulai dari
pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah metode politik. Maksudnya, sebuah tipe
pengaturan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politis (baik yang sifatnya
legislatif maupun administratif). Demokrasi yang dipahami sebagai sebuah metode politik
tidak bisa menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan tidak tergantung pada pelbagai keputusan
yang dihasilkannya dalam kondisi-kondisi historis tertentu.
Metode (yang berasal dari kata Yunani klasik, μέθοδος) berarti jalan atau cara untuk
memperoleh suatu pengetahuan atau untuk mencapai kebenaran tertentu. Karenanya, jika
demokrasi dipahami sebagai metode politik, maka sifatnya tidaklah mutlak dan permanen.
Demokrasi yang pernah dipahami dan dipraktekkan pada zaman Yunani kuno ribuan tahun
yang lalu, tentu berbeda secara kualitatif dengan praktek demokrasi pada zaman revolusi
Perancis (1789 - 1799) atau pada saat Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), atau
pada saat Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Bung Hatta pasca
proklamasi kemerdekaan. Perbedaan yang lahir dari pelbagai penafsiran demokrasi sebagai 12 Untuk detil argumentasi dan kekayaan wawasan Dewey tentang pokok ini, lih. bab VII “The Democratic Conception in Education” dari buku yang sama, yang bisa diakses di http://www.ilt.columbia.edu/publications/Projects/digitexts/dewey/d_e/chapter07.html
5
metode politik sudah barang tentu akan “disesuaikan” dengan atau diadaptasi seturut konteks
zaman, ruang, kebutuhan, interaksi antar individu dan kelompok, kerangka nilai dan tradisi,
serta para pelaku sejarah (historical agency) yang terlibat. Hal ini justru memperkaya wajah
demokrasi, bukan?
Sampailah kita sekarang pada beberapa karakteristik demokrasi sebagaimana dicatat
oleh beberapa pengamat dan pemikir tentang demokrasi. Di antaranya adalah Robert A. Dahl
(Profesor ilmu politik dari Yale University, USA), yang menggariskan tujuh syarat yang
secara niscaya dan memadai harus ada dalam sebuah demokrasi yang ideal, yaitu13:
1. kontrol atas kekuasaan ada pada pemimpin yang dipilih rakyat secara teliti dan jujur,
2. pemimpin pilihan rakyat ini tidak boleh melakukan pemaksaan,
3. semua orang dewasa berhak memilih pejabat,
4. semua orang dewasa berhak dipilih,
5. rakyat mempunyai hak bebas untuk menyampaikan pandangan kritis tanpa ancaman
dan hukuman,
6. rakyat mempunyai hak memperoleh informasi yang dilindungi hukum,
7. rakyat bebas membentuk lembaga dan partai politik.
Terkait dengan poin kelima dan keenam di atas, dinilai perlu untuk menghadirkan dan
melegitimasi keberadaan sebuah lembaga yang mengemban amanah untuk menyampaikan
pandangan kritis (terhadap kekuasaan) tanpa ancaman dan hukuman sekaligus menjadi wadah
serta wahana bagi rakyat untuk memperoleh informasi yang dilindungi hukum. Dari sinilah
13 Dahl, Robert A. 1983. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. Yale (USA): Yale University Press, sebagaimana dibaca oleh Andi Faisal Bakti, “Demokrasi, Tata Kelola Pemerintahan, dan Masyarakat Madani di Indonesia” dalam Bakti, Andi Faisal, dkk. Tim Editor. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Tangerang Selatan: Churia Press, hlm. 4. Membaca dan memahami karya Robert A. Dahl tentang demokrasi, tentu saja tidak terlepas dari paradigma demokrasi liberal, bukan demokrasi dalam pengertian sosialis. Namun hubungan yang erat antara kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan isu tentang kesamaan substantif vs. kesamaan kesempatan. Untuk lengkapnya, lihat tulisan Manley, John F. "Neo-Pluralism: A Class Analysis of Pluralism I and Pluralism II" dalam Dahl, Robert A., Ian Shapiro, dan José Antonio Cheibub. Tim Editor. 2003. The Democracy Sourcebook. Cambridge, Massachusetts (USA) dan London (UK): The MIT Press, hlm. 381 - 392.
6
muncul lembaga pers14, yang didaulat sebagai pilar keempat demokrasi15 atau sering juga
disebut the Fourth Estate16 (setelah eksekutif, legislatifdan yudikatif).
Gambar: 8.2. Six Estates of Society
Sumber: http://dhowell.com/images/estates.jpg
Sementara itu, ciri-ciri atau kriteria sebuah rezim kekuasaan yang menjalankan proses
pemerintahan yang demokratis menurut Robert A. Dahl17 adalah sebagai berikut:
1. Partisipasi yang efektif.
Sebelum suatu kebijakan diadopsi oleh sebuah perkumpulan (dalam hal ini, misalnya,
negara), semua anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk
menyampaikan pandangan-pandangan mereka kepada anggota lain tentang yang seharusnya
ada dalam kebijakan tersebut.
2. Kesamaan dalam hak memilih (Voting equality).
14 Lih. O'Mahony. T. P. 1974. “The Press and Democracy”. Dalam Studies: An Irish Quarterly Review, Vol. 63, No. 249 (Spring, 1974), hlm. 47-58.15 Untuk analisis yang menarik dan mencerahkan mengenai paradoks media (dalam hal ini: pers) sebagai pilar keempat demokrasi, khususnya dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, dalam tarikan pelbagai kepentingan; di satu sisi pers menyampaikan "kepentingan publik" sehingga seyogianya harus objektif dan bebas dari bias-bias wartawan maupun pemilik pers tersebut; namun di sisi lain pers juga juga dipengaruhi logika kepentingan bisnis institusi media yang mendanai eksistensinya. Lihat Nyarwi. 2008. "Paradoks Media Sebagai Pilar Keempat Demokrasi" dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Volume 12, No 2, Nov. 2008, hlm. 151 - 173.16 Pengertian The Fourth Estate (atau fourth estate) menurut Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_Estate; diakses pada 4 September 2012 pukul 21:58 WIB ) adalah “a societal or political force or institution whose influence is not consistently or officially recognized. "Fourth Estate" most commonly refers to the news media; especially print journalism or "The Press."17 Lih. Dahl, 1998, hlm. 37. Bandingkan dengan pembacaan Daniel Hutagalung atas karya Dahl, Democracy and Its Critics (1989) dalam "Batas dan Kemungkinan Demokrasi: Gagasan Poliarkhi Robert Dahl" yang bisa diakses di http://dhutag.wordpress.com/2010/07/10/batas-dan-kemungkinan-demokrasi-gagasan-poliarkhi-robert-dahl/
7
Ketika momen pengambilan keputusan menyangkut kebijakan tiba, setiap anggota harus
memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suaranya (vote), dan semua
suara yang masuk harus dianggap sama.
3. Pemahaman yang tercerahkan (enlightened understanding).
Dalam batasan waktu yang masuk akal, setiap anggota harus memiliki kesempatan yang sama
dan efektif untuk mempelajari sejumlah kebijakan alternatif yang relevan dan juga dampak-
dampaknya yang mungkin.
4. Kontrol terhadap jalannya perencanaan serta pelaksanaan kekuasaan (Control of the
agenda).
Para anggota harus memiliki kesempatan yang eksklusif untuk menentukan bagaimana dan
materi apa yang dimasukkan ke dalam agenda. Proses demokratis yang disyaratkan oleh
kriteria yang disebutkan di atas tidak pernah ditentukan sebelumnya. Kebijakan yang diambil
oleh perkumpulan selalu bersifat terbuka untuk diubah oleh para anggotanya, jika memang
mereka memilih demikian18.
5. Penyertaan orang dewasa (Inclusion of adults).
Semua, atau sebagian besar, warga tetap yang sudah dewasa seharusnya memiliki hak penuh
sebagai warga negara yang sudah termaktub dalam empat kriteria pertama tadi. Sebelum
paruh pertama abad ke-20 berakhir, kriteria kelima ini tidak dapat diterima di semua negara
yang mengklaim sudah menganut prinsip demokrasi. Contoh: orang kulit hitam di Amerika
Serikat belum boleh ikut memilih dalam Pemilu, sebelum tahun 1960. Perempuan di New
Zealand baru mendapatkan hak memilihnya atau suffrage pada 1893, Australia pada 1902,
Finlandia pada 1906, Norwegia pada 1913, Denmark dan Islandia pada 1915, Amerika
Serikat serta Inggris baru sekitar tahun 1920-an. Untuk negara-negara di Amerika Latin, 1929
di Ekuador, 1932 di Brazil, 1939 di El Salvador, 1942 di Republik Dominika, 1945 di
Guatemala, dan 1946 di Argentina. Di kawasan Asia Pasifik, Filipina pada 1937, Jepang
1945, Cina 1947, dan di Indonesia pada 195519.
Pertanyaan berikutnya, apakah demokrasi hanya berwujud satu wajah saja, atau,
dalam bahasa yang lebih populer, one size fits all?20 Adakah tahapan-tahapan perkembangan 18 Control of the agenda sebagaimana dimaksud Dahl di atas bisa juga dibahasakan dengan istilah “deliberasi.” Dalam proses demokratis, yang dimaksud dengan prinsip deliberasi adalah momen di mana para warga negara berpartisipasi dan berkomunikasi secara bebas dalam menentukan keputusan-keputusan politis mereka. Dengan kata lain, proses demokratis mensyaratkan berbagai ikhtiar untuk menjaga dan merawat komunikasi yang partisipatoris antar berbagai kelompok masyarakat lewat pelbagai kesempatan dan ruang-ruang yang berbeda, mulai dari town meetings sampai ke works councils. (lih. Janoski, Thomas dan Brian Gran. 2002. "Political Citizenship: Foundations of Rights". Dalam Isin dan Turner, 2002. hlm. 20)19 Lih. http://teacher.scholastic.com/activities/suffrage/history.htm 20 Lih. Tonkin, Alan. 2005. Different Values: Different Democracy: Differing Values Systems Require Differing Types of Democracy (bisa dilihat di http://www.humanemergencemiddleeast.org/different-values-different-
8
jenis demokrasi dari versi yang lebih sederhana dan sesuai untuk pengaturan serta
pengelolaan masyarakat yang juga relatif lebih sederhana, menuju ke jenis demokrasi yang
makin berkembang kompleksitasnya untuk mengatur sekaligus mengelola masyarakat yang
lebih kompleks dan berlapis? Ternyata ada. Berikut adalah gambaran demokrasi yang
terstratifikasi, artinya tersusun dari lapisan-lapisan serta tahapan-tahapan, yang dimulai dari
versi demokrasi versi yang lebih sederhana dan mendasar (basic), hingga versi demokrasi
yang lebih canggih dan kompleks. Merujuk pada penjelasan yang disampaikan Alan Tonkin
tentang gambar berikut ini, ketika para pemimpin dunia Barat yang sudah maju berbicara
tentang demokrasi, mereka cenderung merujuk pada demokrasi konstitusional yang
didasarkan pada sistem multi-partai, derajat keterwakilan yang fair, terutama di Dewan
Legislatif, serta pemilihan umum yang terawasi dengan jujur-adil-transparan. Negara-negara
yang mempraktekkan demokrasi semacam ini biasanya berada di kerangka nilai berwarna
Biru/Oranye/Hijau/Kuning Tua. Akan tetapi, di sejumlah negara berkembang, tata laksana
konstitusional bisa amat bervariasi, dengan kerangka nilai yang tersebar dari
Ungu/Merah/Biru/Oranye/Hijau. Dalam kasus-kasus semacam ini, demokrasi bisa berarti lain
dari yang sudah dipraktikkan di negara-negara maju (Dunia Pertama), sehingga untuk negara-
negara yang masih tergolong dalam kategori warna Ungu/Merah/Biru (Dunia Ketiga)
diperlukan sejumlah modifikasi sistem dan tata laksana konstitusional agar pelaksanaan
prinsip-prinsip demokrasi menjadi lebih efektif di negara tersebut.
democracy-alan-tonkin.php.) Bdk. dengan grafik stratified democracy yang dibuat Don Beck dalam http://www.integratedsociopsychology.net/Democracy/DonBeck%27s%27StratifiedDemocracy%27.html. Problematika yang diajukan Tonkin dan Beck dimulai dari keyakinan yang cukup sederhana, yaitu "democracy is not a one fits all solution to the problems of the world." Keyakinan ini tentu saja bukan tanpa dasar pengalaman dan pengamatan empiris. Sekurang-kurangnya ada 3 kasus besar berskala internasional yang mendasari keyakinan Tonkin dan Beck, yaitu (1) Kasus intervensi militer yang dipelopori Amerika Serikat dalam perang antara Irak dan Kuwait yang dikenal sebagai Gulf War (awal Agustus 1990), (2) invasi tentara NATO yang dipimpin Amerika Serikat ke negara Afghanistan (dikenal dengan nama Operation Enduring Freedom, dimulai pada 7 Oktober 2001) sebagai reaksi terhadap tindakan teroris 11 September 2001 atau yang lebih dikenal dengan istilah 9/11 atau September 11 attacks, dan 3) invasi Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris, Australia dan Polandia) ke Irak pada tahun 2003 (19 Maret s/d – 1 Mei 2003) yang lebih dikenal dengan istilah Perang Irak atau Operation Iraqi Freedom, untuk menggulingkan rezim pemerintahan Saddam Hussein yang dianggap membahayakan keamanan internasional dengan menyimpan dan merencanakan peluncuran senjata pemusnah massal (nuklir, kimiawi dan biologis), yang belakangan terbukti tidak beralasan [lih. http://en.wikipedia.org/wiki/2003_invasion_of_Iraq#cite_note-msnbc1-23]. 3 peristiwa besar dan kontroversial ini, yang menuai gelombang protes dari seluruh penjuru dunia, menjadi prototype dari muncul dan semakin terartikulasikannya keyakinan Tonkin dan Beck akan perlunya membuat sebuah distingsi demokrasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan diaplikasikan secara global, tanpa terkondisikan hanya pada satu jenis demokrasi saja, misalnya: demokrasi liberal - konstitusional.
9
Gambar: 8.3. “stratified democracy”
sumber: http://www.humanemergencemiddleeast.org/images/Stratified-Democracy.gif]
Berdasarkan uraian di atas, kita sudah mendapatkan gambaran yang memadai untuk
memahami pengertian demokrasi dalam pentas perpolitikan dan kewarganegaraan dunia
sejak zaman klasik Yunani kuno, hingga zaman sekarang, dilengkapi dengan sejumlah unsur
dan kriteria proses demokratis menurut Robert A. Dahl dan juga jenis-jenis serta tahapan
demokrasi yang mengakomodasi kerangka nilai yang berbeda-beda.
Persoalan-persoalan yang Dihadapi Rezim Demokrasi
a.Tirani mayoritas terhadap minoritas
Dalam kerangka teori filsafat politik klasik, dikenal pandangan mayoritarianisme.
Pandangan ini merujuk pada keberadaan sekelompok mayoritas dalam sebuah populasi yang
‘diutamakan’ (primacy) dalam masyarakat, tentu saja ‘diutamakan’ dalam batas-batas
tertentu. Kelompok mayoritas ini biasanya digolongkan dalam kategori agama, bahasa, klas
sosial ataupun sejumlah faktor pembeda lain yang disepakati. Selain itu, kelompok mayoritas
ini juga memiliki hak untuk membuat keputusan, aturan, kebijakan, yang memengaruhi
seluruh masyarakat. Dalam versi peyoratifnya, mayoritarianisme sering disebut sebagai
oklokrasi (diambil dari bahasa Yunani οχλοκρατία atau okhlokratía; dicetuskan pertama kali
10
oleh sejarawan Yunani kuno, Polybius [200 – 118 SM] dalam traktat sejarahnya, Histories)
atau pemerintahan oleh kawanan atau massa. Oklokrasi merupakan “versi tercemar dari
demokrasi”, di mana unsur pencemarnya adalah (1) demagogi (strategi untuk memperoleh
kekuasaan politik dengan melibatkan dan memainkan prasangka, emosi, ketakutan,
kesenangan dan harapan orang banyak dengan cara retorika dan propaganda yang didasarkan
pada tema nasionalis, religius maupun populis), (2) tirani mayoritas, dan (3) pemerintahan
yang didasarkan pada perasaan alih-alih akal budi.
Pada zaman Yunani kuno, oklokrasi dianggap sebagai salah satu dari tiga bentuk
pemerintahan yang “buruk” (tirani, oligarki dan oklokrasi), yang dilawankan dengan tiga
bentuk pemerintahan yang “baik” (monarki, aristokrasi dan demokrasi). Kata “buruk” dan
“baik” di sini diterapkan pada jenis pemerintahan yang bertindak demi kepentingan seluruh
komunitas atau rakyatnya (disebut “baik”) atau demi kepentingan eksklusif segelintir orang
atau suatu kelompok tertentu dengan mengabaikan pertimbangan keadilan (disebut “buruk”).
Gambar: 8.4.: Kartun ilustrasi tirani mayoritas dalam rezim demokrasi;
Sumber: http://filipspagnoli.files.wordpress.com/2009/12/tyranny-of-the-majority-cartoon.jpg
Dalam versi yang lebih modern, oklokrasi lebih sering disebut dengan istilah
mobokrasi (mobocracy) atau pemerintahan oleh gerombolan. Ancaman mobokrasi dalam
sebuah rezim demokrasi biasanya ditangkal dengan penegakan hukum yang berpihak pada
serta melindungi kaum minoritas maupun individu terhadap demagogi maupun kekacauan
moral. Meskipun pada dasarnya hukum serta aturan dalam sebuah rezim demokrasi dibuat
atau dibatalkan oleh mayoritas suara (dalam parlemen atau lembaga legislatif), dengan
menggunakan sistem pemungutan suara (voting), namun aturan hukum perlindungan terhadap
kaum minoritas bukanlah hal yang sepele.
Sementara itu, dalam kaitan dengan “tirani mayoritas”, pada pertengahan abad ke-19,
seorang filsuf politik dari Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873) pernah memperingatkan
pemerintahnya soal embrio yang dapat merongrong tegak dan kredibelnya sistem
11
pemerintahan demokrasi. Hal ini terungkap dalam eseinya yang didaulat sebagai buku
pegangan kaum pro-kebebasan individu (libertarian). Judul esei tersebut, On Liberty. Mill
menulis sebagai berikut, “Seperti jenis tirani lainnya, tirani mayoritas merupakan hal yang
ditakuti karena bekerja lewat tindakan otoritas publik. Namun seorang yang berakal sehat
akan melihat bahwa ketika masyarakat itu sendiri menjadi tiran – masyarakat secara kolektif
terlepas dari para individu yang menyusunnya --- maka cara-cara tiran tersebut tidak lagi
terbatas hanya pada tindakan mereka yang menjadi fungsionaris politiknya. Masyarakat
memang dapat dan harus melaksanakan amanah atau mandatnya sendiri; dan jika masyarakat
mengeluarkan amanah yang keliru, atau amanah yang tidak dapat diganggu gugat, maka
masyarakat tersebut sebenarnya sedang mempraktekkan sejenis tirani sosial yang lebih
mengerikan daripada banyak jenis penindasan politis.
Mengapa “lebih mengerikan”? Meskipun tirani sosial biasanya luput dari ganjaran
hukuman yang ekstrem namun ia menutup cukup banyak jalan untuk melarikan diri; [tirani
sosial] merangsek masuk lebih jauh ke dalam hidup setiap orang, bahkan memperbudak jiwa
itu sendiri. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya melindungi diri dari tirani sosial tersebut;
perlu juga adanya suatu perlindungan terhadap tirani pendapat dan perasaan yang dominan,
terhadap kecenderungan masyarakat untuk memaksakan ide-ide dan praktik-praktiknya
sebagai aturan tingkah laku bagi mereka yang berbeda pendapat dan perasaan dengannya,
selain lewat hukuman sipil belaka; [perlindungan terhadap upaya-upaya masyarakat] untuk
menghalang-halangi perkembangan dan pembentukan individualitas yang tidak selaras
dengan cara-cara [yang dianut masyarakat] dan mengarahkan secara paksa semua jenis
karakter menjadi persis seperti model yang diinginkannya. Perlu ada batasan menyangkut
campur-tangan opini kolektif [masyarakat] terhadap kebebasan individu; menemukan batasan
tersebut, serta mempertahankannya terhadap penyabotan, adalah hal yang tak tergantikan
untuk menjamin syarat suatu kehidupan manusia yang baik sebagai bentuk proteksi terhadap
despotisme politis.”
Menyambung kritik terhadap ide “tirani mayoritas” versi Mills, pantas dikutip
kembali di sini pemikiran Herbert Marcuse (1898 – 1979), seorang pemikir kritis dari
Mazhab Frankfurt, Jerman. Lahir, tumbuh dan survive melewati periode dua perang dunia
dan perang dingin Amerika vs. Soviet, Marcuse mengambil posisi kritis terhadap status quo
pada zamannya. Dalam eseinya Repressive Tolerance, Marcuse meratapi hilangnya substansi
toleransi dalam dunia politik kontemporer, khususnya di negara-negara maju. Yang dimaksud
Marcuse dengan substansi toleransi dalam rezim demokrasi adalah perlindungan terhadap
12
perbedaan dan ketidaksetujuan (dissent)21. Dikatakan olehnya bahwa musuh terbesar dari
“toleransi terhadap ketidaksetujuan” adalah kaum mayoritas yang lahir bukan dari ‘rahim’
berpikir dan berpendapat secara bebas melainkan dari administrasi opini publik yang
monopolistik dan oligopolistik. Apa maksudnya? Mayoritas tipe ini adalah mayoritas yang
melestarikan dirinya sendiri dengan cara mengamankan kepentingan-kepentingan sempit
yang membuatnya menjadi mayoritas. Inilah mayoritas yang berstruktur tertutup yang
membenci perubahan selain perubahan dalam sistem yang sudah dibuatnya sendiri (untuk
melanggengkan dirinya), yang tidak bisa dipercaya sebagai “penjaga kepentingan bersama.”
Jenis toleransi yang dikembangkan oleh mayoritas seperti ini adalah toleransi semu atau pura-
pura.
Gambar: 8.5. Intoleransi yang tidak bisa ditoleransi
Sumber: http://www.peacewithpurpose.org/uploads/8/2/1/6/8216786/5062640_orig.jpg
b. Kurangnya simpati dan rasa solidaritas pemimpin terhadap warga negara
Negeri kita, Indonesia, adalah negeri yang sarat bencana, baik itu bencana alam,
maupun bencana sosial kemanusiaan. Masih segar dalam ingatan kita selama dua dekade
terakhir ini, bertubi-tubi bencana alam menghantam negeri kita, seperti gempa bumi, yang
diiringi tsunami, banjir besar, longsor, gunung meletus, dan itu terjadi semua terjadi hamper
merata, baik di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, maupun Papua. Belum terhitung bencana
kemanusiaan seperti bencana kelaparan (di Yahukimo, Papua, 2005), tragedi bom, kerusuhan
sosial berbasis etnis maupun agama, tawuran dan perang antar warga atau kelompok warga,
21 Dalam versi demokrasi yang lebih kontemporer, jenis demokrasi yang mendukung perlindungan terhadap disensus (dissent) adalah demokrasi disensus (lih. Rancière, Jacques. 2010. Dissensus: On Politics and Aesthetics. London: Continuum. Bdk. Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.; bdk. Robet, Robertus. 2010. “Disensus, Politik dan Etika Kesetaraan Jacques Rancière” Makalah yang dibawakan dalam Seri Kuliah Umum Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, November 2010, yang bisa diakses di http://cdn.salihara.org/media/documents/2010/11/27/f/i/file.pdf. Untuk versi yang lebih ringkas, bisa dibaca artikel Robet, "Disensus Politik Demokrasi." Dalam KOMPAS, Rabu, 15 Desember 2010, hlm. 6. Robet menegaskan, “Disensus inilah kiranya yang mesti kita jadikan agenda pokok politik demokrasi kontemporer untuk Indonesia. Di dalam disensus kita mendorong dan membuka selebar-lebarnya pintu serta peluang yang disediakan oleh demokrasi justru bagi mereka yang sebenarnya paling membutuhkan.”
13
dan masih banyak lagi. Sudah ratusan ribu korban jiwa melayang dan lebih banyak lagi yang
terluka maupun trauma. Banjir darah, tangis dan kesedihan seolah enggan menjauh dari tanah
air Indonesia. Berhadapan dengan fakta sosial kemanusiaan semacam ini, orang tidak bisa
berpaling dan menganggap sepi, apalagi kalau orang tersebut pemimpin, mulai dari level
formal pemerintahan terendah seperti kepala desa atau lurah sampai dengan Presiden.
Seorang pemimpin yang baik dan pantas diteladani, seyogianya memimpin dengan ketegasan,
agar nampak berwibawa, dan juga perlu peka (concerned), empati, memiliki rasa kasihan
(pity) sekaligus bela-rasa (compassion) terhadap nasib dan penderitaan orang lain, terutama,
namun tidak dibatasi pada, warga yang berada di wilayah otoritasnya.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana pendasaran teoretis (filsafat politik) yang dapat
membenarkan bahwa pemimpin yang baik, yang bisa dijadikan teladan, adalah pemimpin
yang memiliki kualitas peka dan empati? Pertanyaan ini dapat dijawab jika kita mau belajar
dari sosok dan pemikiran Adam Smith (1723 –1790), seorang filsuf moral dan sosial
sekaligus perintis disiplin ilmu ekonomi modern yang berasal dari Skotlandia. Sebagai
seorang pemikir yang serius dan berpengaruh besar terhadap arus pemikiran berikutnya ia
menulis sejumlah buku. Di antaranya ialah Teori Rerasa Moral (The Theory of Moral
Sentiments, 1759; selanjutnya disingkat TMS), dan Pertanyaan tentang Kodrat dan Sebab-
musabab Kekayaan Bangsa-bangsa (An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, 1776).
TMS bisa disebut sebagai sebuah traktat etika karena pelbagai perasaan dan disposisi
psikologis yang terkait dengan moralitas, atau disebut rerasa moral (moral sentiments), yang
dianalisis dalam buku ini diberikan pendasaran filosofis yang kuat. Rerasa moral yang
dibahas dalam TMS juga dikaitkan dengan penilaian dan putusan moral, sehingga kita bisa
mengatakan bahwa suatu tindakan itu salah atau benar karena memang ada pendasaran
rasionalnya di balik putusan atau penilaian tersebut. Itulah yang dimaksud dengan etika di
sini.
Di bagian awal TMS, Smith mengatakan bahwa betapapun nampak mementingkan
diri sendiri (selfish), seorang manusia pada dasarnya tertarik untuk melihat orang lain
beruntung dan berbahagia. Hanya dari melihat orang lain bahagia dan beruntung ini saja
manusia sudah memperoleh kenikmatan. Selain itu, ia juga merasakan sejenis emosi yang
bernama belas kasihan (pity / compassion) ketika melihat penderitaan (misery) orang lain,
baik melihat dengan mata kepala sendiri atau ketika mengetahuinya lewat cara penyampaian
yang begitu hidup. Tentang hal ini, semua manusia tanpa terkecuali, termasuk mereka yang
dikenal sebagai orang yang paling kejam dan pembangkang (yang oleh Smith disebut sebagai
14
the greatest ruffian, the most heardened violator of the laws of society). Inilah rerasa moral
yang oleh Smith disebut dengan “simpati.”
Bagian awal TMS persis menjadi anti-tesis dari hal yang diyakini pemikir besar
Inggris lainnya, yang hidup satu abad sebelumnya, yaitu Thomas Hobbes (1588 – 1679)
dalam bukunya, Leviathan (1651). Hobbes berkeyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya
egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri (selfish). Hidup antar manusia yang seperti ini
diwarnai rasa saling curiga dan terancam, sehingga tidak mengherankan bahwa sering terjadi
perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) dan konsekuensinya, kualitas
hidup manusia bersifat “sendirian, miskin, kotor, brutal; dan pendek.” Pemerintahan dan
kepemimpinan yang menonjol dalam kondisi antar-manusia seperti yang dibayangkan
Hobbes ini adalah pemimpin yang tegas, cenderung keras dan kejam, serta otoriter, yang
olehnya disebut sebagai Leviathan.
Smith menambahkan bahwa belas kasihan (pity) dan bela rasa (compassion)
merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan rasa duka kita terhadap penderitaan
orang lain. Sementara, simpati adalah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan rasa kita
terhadap orang lain (fellow-feeling) yang dipicu oleh pelbagai jenis perasaan lainnya, apapun
(any passion whatever). Jadi, simpati adalah nama umum untuk perasaan kita terhadap orang
lain, entah itu yang bernuansa kegembiraan maupun kesedihan. Terbitnya simpati ini tidak
bisa dilepaskan dari posisi kita sebagai subjek yang menyaksikan (spectator) kesedihan atau
kegembiraan tersebut, misalnya, ketika melihat seseorang tersenyum kita merasa ikut
bahagia, dan ketika melihat orang menangis dengan wajah menahan derita, kita ikut merasa
sedih.
Selanjutnya, Smith juga mengatakan bagaimana caranya simpati ini bekerja, yaitu
lewat imajinasi. Karena kita tidak pernah memiliki pengalaman langsung dari apa yang
dirasakan orang lain (menyangkut penderitaan dan musibah yang mereka alami, misalnya),
maka kita juga tidak bisa merasakan seberapa intens pengalaman tersebut memengaruhi
(affected) jiwa mereka. Namun dengan membayangkan (berimajinasi), apa jadinya jika kita
yang berada dalam situasi seperti itu, dirasakan amat membantu untuk melahirkan simpati.
Ringkasnya, lewat imajinasi kita menempatkan diri kita dalam situasinya. Untuk menilai
apakah perasaan kita (terhadap suatu kondisi penderitaan manusia tertentu yang melahirkan
rasa simpati kita) itu tidak melulu subjektif, Smith menganjurkan agar kita “mengundang”
seorang pengamat yang netral untuk menyaksikan hal yang sama seperti yang kita lihat. Lalu
kita lihat reaksinya bagaimana. Ia menyebut pengamat yang netral ini sebagai impartial
specatator. Ia adalah seorang yang berwawasan tentang situasi tersebut namun tidak memiliki
15
relasi khusus (misalnya sebagai teman atau musuh) dari setiap orang yang ada dalam situasi
tersebut. Pertanyaannya, mampukah impartial spectator bersimpati dengan perasaan yang
lalu mendorong tindakan saya (misalnya, menolong orang menderita yang ada dalam situasi
tersebut)? Jika ya, maka saya dapat menyetujui dan meneruskan tindakan tersebut, jika tidak,
maka dihentikan.
Pada gilirannya, simpati ini bukan hanya perasaan kita terhadap orang lain dalam
konteks relasi antara dua orang saja (misalnya ibu dengan anaknya, atau suami dengan
istrinya), namun lebih luas dari itu. Simpati dapat membimbing orang untuk menjaga dan
mempertahankan relasi yang baik dengan sesamanya. Bahkan simpati juga bisa menjadi dasar
bagi tindakan-tindakan baik yang khusus lainnya maupun tatanan sosial secara umum.
Dalam hal ini, jika demokrasi dipahami sebagai sebuah bentuk tatanan sosial yang
dipandu prinsip-prinsip rasionalitas, baik pada level individu sebagai warganegaranya
maupun di level kolektif lewat pengaturan legal dan manajerial, maka TMS karya Adam
Smith ikut berjasa meletakkan pondasi rasional bagi manusia sebagai makhluk yang memiliki
rerasa moral dengan tujuan mematuhi hukum-hukum alam dan menjaga tatanan sosial.
Manusia tidak lagi dilihat secara berat sebelah seperti dalam Leviathan Hobbes (yaitu selfish
creature), namun juga sebagai makhluk moral yang dapat diandalkan dan dapat memerintah
dirinya sendiri (self-interested, self-reliance and self-commanded creature). Dengan
demikian, dua prinsip metafisis manusia sebagai binatang yang rasional dan berbahasa (ζῷον
λόγον ἔχον zoon logon echon) dan juga makhluk politis (ζῷον πολιτικόν), yang digagas
Aristoteles ribuan tahun lalu, perlu dilengkapi dengan pengertian manusia sebagai makhluk
yang memiliki rerasa moral (sentient and moral being). Hanya dengan memahami manusia
dalam kelengkapan dan kedalaman dimensi metafisisnya inilah, demokrasi diharapkan dapat
mencapai tujuan-tujuan idealnya.
c. Merosotnya (kualitas) Warga Negara Menjadi Massa (mass) dan
Perkumpulan Menjadi Kerumunan (crowd)
16
Gambar 8.6. Kerumunan Massa di Jalan;
Sumber: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/00796/crowded-britain_796405c.jpg ;
Gambar: 8.7. Upacara Pengibaran Bendera NKRI di Istana
Sumber: http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20120817_Pengibaran_Bendera_Merah_Putih_3999.jpg
Demokrasi yang tergelincir menjadi mobokrasi seperti sudah diuraikan di atas
mengandaikan perubahan identitas warga negara dari makhluk rasional yang sadar diri dan
mawas politik, yang dalam versi kolektifnya disebut sebagai “rakyat” (people), menjadi
gerombolan atau massa. Dalam praktik demokrasi dengan basis massa mengambang, sudah
mulai dipraktekkan sejak rezim Suharto di akhir 1980-an22, yang cukup sering menjadi
persoalan baik di tataran empiris maupun teoretis dewasa ini adalah bahwa dengan mudahnya
“rakyat” diidentikkan dengan “gerombolan” atau dalam bahasa populernya, “massa.” 22 Lih. Lane, Max. 2007. Indonesia's Democratic Movement Under Attack. Dalam Solidarity (http://www.solidarity-us.org/node/535). Menurut Lane, di akhir era 1980-an, muncul sebuah upaya baru untuk membangun dan mengerahkan gerakan massa melawan kediktatoran Suharto. Para mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang cukup berperan dalam ikhtiar ini. Mereka keluar dari belitan ideologis yang dipaksakan selama lebih dari 20 tahun era kepemimpinan Suharto yang dibeking militer dan hampir mendekati totaliter. Mereka menggalang solidaritas politis dengan para petani, para pekerja pabrik atau buruh, dan mulai mengadakan aksi-aksi demonstrasi di jalanan. Selama periode inilah, rezim Suharto mempraktikkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan istilah massa mengambang atau the floating mass — menggantikan demokrasi massa politis. Diawali dengan pembunahan massal ratusan ribu aktivis, petani, buruh, mahasiswa dan kaum intelektual dengan gaya teroris, dilanjutkan dengan pemenjaraan ribuan lainnya, kebijakan ini terbukti efektif mencegah mobilisasi massa dan perekrutan anggota partai politik di tingkat desa. Partai berhaluan kiri (seperti PRD), serikat buruh dan penerbitan yang berhaluan kritis terhadap rezim yang berkuasa juga dilarang (dibredel). Bahkan, partai berhaluan konservatif dengan basis massa yang nyata (dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan) juga de facto diambil alih oleh pemerintah.
17
Padahal, sebagaimana akan dibahas berikut, sudah jelas bahwa “rakyat” tidak sama dengan
“massa”.
Di akhir abad ke-19 lalu, Gustave Le Bon (1841 – 1931), seorang sosiolog dan
psikolog sosial terkemuka yang meneliti fenomena massa, mengatakan dalam bukunya The
Crowd: A Study of Popular Mind (1896) bahwa yang disebut sebagai kerumunan massa
(crowd) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) digerakkan oleh dorongan impulsi (bukan
pertimbangan akal budi), sangat aktif bergerak (mobile) dan memiliki kekuasaan yang
mendadak hebat tak bisa ditolak (irresistible) karena kekuatan jumlah yang besar, (2) amat
mudah dipengaruhi (suggestibility) dan percaya pada sesuatu (credulity), (3) memiliki nalar
yang sederhana (bahkan mirip dengan manusia primitif) dan sekaligus ekstrem
(exaggerated), (4) tidak toleran terhadap perbedaan, cenderung diktator dan konservatif
(bergerak dari pendulum “begitu patuh” sampai “anarki”), (5) standar moralitas yang amat
rendah: cenderung destruktif.
Setengah abad kemudian, tilikan Le Bon di atas diperkuat oleh temuan etnografis
Elias Canetti (1905 – 1994), seorang pemikir dan penulis asal Bulgaria sekaligus pemenang
Nobel Sastra 1981. Canetti menganalisis tentang karakteristik massa dalam bukunya Crowds
and Power (1960). Menurutnya, beberapa atribut yang melekat pada kerumunan (crowd)
adalah: (1) selalu ingin bertambah jumlahnya, (2) ada kesamaan yang absolut di dalamnya
(tidak ada pembedaan gelar, status, jabatan, dsb, pada tiap individu yang tergabung dalam
kerumunan), (3) kerumunan menyukai kepadatan (densitas), dan (4) membutuhkan arahan /
tujuan untuk menguatkan rasa kesamaan dalam kerumunan tersebut. Selain empat atribut ini,
Canetti juga membedakan jenis-jenis kerumunan berdasarkan ciri khas emosi yang digumuli
dalam kerumunan tersebut, yaitu (1) kerumunan umpan (baiting crowds) yang bertujuan
membunuh target sasarannya yang relatif jelas, dekat dan gampang diidentifikasi, (2)
kerumunan hengkang (flight crowds) yang terbentuk karena adanya suatu ancaman, (3)
kerumunan larangan (prohibition crowds) yang terbentuk karena adanya penolakan terhadap
suatu larangan atau aturan, (4) kerumunan berbalik (reversal crowds) di mana mayoritas yang
selama ini tertindas berbalik dan melindas segelintir orang yang selama ini menindas; contoh:
revolusi yang dilancarkan kaum budak melawan majikannya, tentara melawan komandannya,
orang kulit hitam melawan orang kulit putih yang bermukim di tempatnya, dan (5)
kerumunan pesta (festive crowds) yang ditandai oleh melimpahnya keriangan dan
kesenangan.
Francisco Budi Hardiman, filsuf sosial, dosen dan peneliti, dalam bukunya
Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) menelusuri
18
lebih jauh konsep massa dan keterkaitannya dengan tindak kekerasan massal. Menurutnya,
manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya karena dia merasa tidak melakukannya
terhadap sesamanya, melainkan terhadap musuh yang harus dihancurkannya, musuh yang
mengancam survivalnya dan menimbulkan panik. Selain itu, kondisi struktural masyarakat
membuatnya merasa terisolasi sebagai indvidu, tercerabut dari komunitasnya dan
termarginalisasi secara ekonomis. Para pelaku kekerasan massa adalah manusia-manusia
yang dikolektifkan dari dua sisi: oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh
kelemahan komunitasnya.
Selain tiga persoalan yang dihadapi rezim demokrasi yang sudah diuraikan secara
cukup terperinci di atas, masih ada beberapa persoalan laten yang merongrong tegaknya
rezim demokrasi di Indonesia, yaitu:
a) Pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang memilih pemimpin yang lemah,
tidak cakap dan tidak berwibawa.
b) Lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada semakin merajalelanya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN)
c) Paham fundamentalisme dan gerakan kaum fundamentalis (terutama fundamentalisme
yang berbasis ikatan-ikatan primordial seperti suku, kekerabatan, dan agama)
d) Tegangan antara sosialisasi dan penguatan “identitas nasional” di satu sisi, dengan
tuntutan akan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman dan perbedaan
(multikulturalisme)
e) Akumulasi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan warga negara terhadap pemerintahnya
yang dapat berdampak pada pembangkangan sipil (civil disobedience), tindak
diskriminasi antar warga, anarkisme, dan bahkan tindak terorisme. Pada gilirannya,
semua tindak perlawanan warga ini, termasuk di dalamnya kategori group grievance
antara lain adanya diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap etnis, akan
melemahkan tata pemerintahan, menurunkan daya saing ekonomi bangsa, dan secara
ekstrem dapat berdampak pada mewujudnya negara gagal (failed state)23.23 Untuk kontroversi seputar naik turunnya posisi Indonesia dalam daftar Indeks Negara Gagal yang dikeluarkan oleh Foreign Policy bekerjasama dengan Fund for Peace (situs resminya bisa diakses di http://www.foreignpolicy.com/failed_states_index_2012_interactive), lihat beberapa liputan dan opini dari surat kabar berikut ini: Raz, Arisyi Fariza. 2012. "Statistics, the Failed States Index and Indonesia’s democracy." dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/07/17/statistics-failed-states-index-and-indonesia-s-democracy.html; Manihuruk, Marthin Fransisco. 2012. “Menyoal Peringkat Indonesia dari Publikasi Failed States Index 2012” dalam http://www.analisadaily.com/news/read/2012/06/29/59716/menyoal_peringkat_indonesia_dari_publikasi_failed_states_index_2012/#.UEOhUluP3PY; Saragih, Bagus BT. 2012. "Minister insists Indonesia not a failed state" dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/21/minister-insists-indonesia-not-a-failed-state.html ; Herry-Priyono, B. 2012. "Insight: The 2012 Failed States Index tells of a foregone conclusion" dalam
19
Masa depan demokrasi di Indonesia, bagaimana?
Bagaimanakah masa depan demokrasi (khususnya demokrasi di Indonesia) ketika
dihadapkan pada pelbagai persoalan baik yang sifatnya internal maupun eksternal, jangka
pendek maupun jangka panjang, seperti sudah diuraikan di bagian sebelumnya dari tulisan
ini? Apakah demokrasi dapat bertahan (survive) atau malahan meredup (demise)? Beberapa
penelitian yang dirujuk dalam tulisan ini cenderung mengafirmasi kemungkinan yang lebih
tinggi bahwa demokrasi masih dapat bertahan dan bahkan akan semakin luas diadopsi oleh
banyak negara yang sebelumnya mempraktekkan sistem pemerintahan yang non-demokratis
(kerajaan, monarki, ataupun otoriter).
Untuk memprediksi masa depan demokrasi di Indonesia, sebaiknya kita tidak
melupakan sejarah demokrasi yang pernah dialami dan dipraktekkan bangsa dan negara
Indonesia sejak zaman penjajahan kolonial, hingga proklamasi kemerdekaan menjadi negara
merdeka dan berdaulat, sampai sekarang. Pandangan sekilas tentang masa lalu dan masa kini
Indonesia diperlukan untuk mendapatkan prediksi yang lebih akurat tentang demokrasi di
masa depan.
Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, dalam kurun waktu yang cukup panjang,
lebih dari 350 tahun, cikal bakal demokrasi sudah ditunjukkan insan bumi nusantara lewat:
1) munculnya kesadaran akan pentingnya perjuangan mencapai kemerdekaan dan
penentuan diri, yang dicapai lewat aneka perlawanan terhadap penjajahan dan kesewenang-
wenangan penjajah Belanda selama kurun waktu lebih dari 300 tahun. Sifat kesadaran ini
masih partikular, kedaerahan, condong pada perlawanan fisik dan kemahiran strategi perang,
serta cenderung terbatas dalam cakupan wilayah maupun dampak.
2) munculnya kesadaran untuk menciptakan identitas nasional, yang dipelopori oleh
para pemuda terdidik Indonesia yang belajar di negeri Belanda, diprakarsai Soetan
Kasajangan Soripada dan R.M. Noto Soeroto, berikutnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan
Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Manifestasi dari kesadaran akan identitas
http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/26/insight-the-2012-failed-states-index-tells-a-foregone-conclusion.html; lihat jugahttp://www.antaranews.com/en/news/83088/indonesia-not-a-failed-state-minister http://en.republika.co.id/berita/en/jakarta-region-others/12/06/20/m5x3kp-govt-questions-indonesians-position-at-failed-state-index http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/06/20/153519/Indonesia-Masuk-dalam-Indeks-Negara-Gagal/6 http://nasional.kompas.com/read/2012/06/25/15364461/Menteri.PPN.Indikator.Ekonomi.dalam.Indeks.Negara.Gagal.Membaik http://nasional.news.viva.co.id/news/read/327474-indeks-negara-gagal--posisi-indonesia-turun http://www.tempo.co/read/news/2012/06/26/092412910/Survei-Negara-Gagal-Pemerintah-Akui-Buruk-2-Indikator
20
nasional ini adalah terbentuknya Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia, sebagai
sebuah wadah organisasi bagi pelajar dan mahasiswa Hindia di negeri Belanda (tahun 1908).
Sementara itu, di wilayah Hindia Belanda sendiri, muncul pula gerakan terorganisir sejenis
dari para pemuda intelek calon dokter di School tot Opleiding van Indische Artsen atau
STOVIA (seperti Dr. Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Goenawan Mangoenkoesoemo dan
Soeraji). Mereka memiliki perhatian dan kepedulian pada dimensi sosial, ekonomi,
kebudayaan, dan, terutama, pendidikan golongan priyayi Jawa. Akhirnya terlahirlah Budi
Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Sifat kesadaran ini pun masih partikular, kedaerahan,
namun sudah lebih rasional, terorganisir, dan tidak lagi mengandalkan bentrok fisik serta adu
strategi perang. Cakupan pengaruh dari berdirinya dua organisasi ini lebih luas daripada
perlawanan fisik di berbagai belahan nusantara abad XVI sampai XIX.
3) munculnya kesadaran untuk melampaui partikularitas, rasa fanatisme kedaerahan,
serta egoisme kesukuan yang terwujud dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Lima faktor yang diuraikan Moehammad Yamin dalam pidatonya di depan
Kongres Pemuda Indonesia kedua (27 – 28 Oktober 1928), yaitu sejarah, bahasa, hukum adat,
pendidikan, dan kemauan, merupakan pendasaran etis bagi menguatnya persatuan Indonesia
berkat keberanian kaum muda mempelopori dan melakukan terobosan. Seperti tercatat dalam
dokumen sejarah24, para peserta Kongres Pemuda II berasal dari berbagai wakil organisasi
pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak,
Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi,
dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu
Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie. Sementara Kwee Thiam Hiong
hadir sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond.
4) manifestasi eksplisit dari akumulasi kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk
menentukan diri sendiri dan hasrat untuk merdeka (bebas dari penjajahan) dalam peristiwa
monumental Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Empat momentum historis, mulai dari munculnya kesadaran akan kebersamaan dalam
wadah bangsa-negara serta kesamaan politis sebagai warga yang independen, hingga
manifestasi dan proklamasinya menjadi negara yang berdaulat dan dipimpin oleh “hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” inilah yang menjadi kekhasan ciri
genealogis demokrasi di Indonesia.
24 dicuplikkan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda (diakses pada Rabu, 5 September 2012, 00:38 WIB)
21
Setelah empat momentum historis ini berlalu dalam arus sejarah mengisi
kemerdekaan dan tetap menjadi tonggak ingatan kolektif bangsa, demokrasi di Indonesia
mulai mencari bentuk yang sepadan dengan letupan-letupan roh atau semangatnya. Mulai
dari demokrasi parlementer, demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, rezim otoriter
berbajukan demokrasi Pancasila, demokrasi liberal dan neo-liberal, semuanya sudah pernah
ditempuh NKRI25.
Satu sumbangan penelitian yang dilakukan oleh David Beetham26 menunjukkan
bahwa beberapa ciri khas rezim demokrasi yang kita kenal, seperti kontrol rakyat terhadap
jalannya pemerintahan dengan syarat kesamaan politis (political equality), menjunjung tinggi
kebebasan berekspresi dan berkumpul, pelaksanaan pemilihan umum yang jurdil, prosedur-
prosedur berbasis mayoritas (seperti pengambilan keputusan lewat voting), haruslah
diperluas. Respek terhadap perbedaan dan kemauan untuk mengelola keragaman dengan
dasar pemahaman yang tepat akan syarat-syarat kesamaan politis adalah dua butir usulan
Beetham. Jika dua butir usulan ini diakomodasi oleh siapapun yang memiliki wewenang dan
kekuasaan untuk menerapkan dan melaksanakan amanah demokrasi, maka tidak diragukan
lagi demokrasi akan mampu menghadapi pelbagai krisis yang menerpanya, pelbagai
rongrongan yang menyerangnya, dan pelbagai ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya.
Secara lebih elegan, Beetham mengatakan “Demokrasi mampu menyelesaikan perpecahan
sosial yang kronis dan mendalam yang dihadapinya hanya jika demokrasi berpegang teguh
pada prinsip intinya, yaitu kesamaan politis dan pengakuan bahwa pandangan dan sikap yang
berbasis mayoritas harus dibatasi ketika prinsip kesamaan politis mulai dicederai; selain itu
demokrasi juga perlu membuka ruang untuk berlangsungnya dialog yang inklusif di antara
pihak-pihak yang bertikai, untuk sampai pada penyelesaian yang konstitusional yang
diarahkan pada konsensus yang memadai sehingga pada gilirannya (penyelesaian tersebut)
dapat diterima oleh khalayak luas.”
Prediksi kedua bisa kita peroleh dari hasil penelitian Nahla Shahrouri27 yang
mengafirmasi bahwa semakin demokratis suatu negara mempraktekkan prinsip-prinsip
25 Lihat catatan di http://cat22net.blogspot.com/2009/03/indonesia-pada-masa-demokrasi.html 26 Lih. Beetham. 2009. “Democracy: universality and diversity." Dalam jurnal Ethics & Global Politics, suppl. Special issue: One World, Many Worlds? Vol. 2, no. 4. 2009.27 Lengkapnya, lih. Shahrouri, 2010: . "Does a Link Exist between Democracy and Terrorism?" Dalam jurnal International Journal on World Peace, Vol. XXVII, No. 4, Desember 2010, hlm. 41 - 77. “This study finds that there is a negativerelationship between democracy and terrorism. In other words, more democracy results in less terrorism, because 1) a more democratic country leads to a less disgruntled society that is less apt to take up arms, 2) more democracy means more individual freedoms, therefore, less discontent…Although my findings resulted in a negative correlation between democracy and terrorism, it is necessary to point out that democratization is another concern in itself. It is simple to say that democracy is a key element to reduce or eliminate terrorism and yet we are now faced with another question. How do we implement the solution?”
22
demokrasi, semakin kecil kemungkinan terjadinya tindak terorisme dalam negara tersebut.
Artinya, ada korelasi negatif antara demokrasi dan terorisme dan bahwa demokrasi adalah
unsur kunci untuk mengurangi atau menghilangkan terorisme. Namun bagaimana solusi ini
diterapkan? Itulah problem yang masih terbuka untuk diperdebatkan sampai sekarang. Model
demokrasi yang ditawarkan (baca: dipaksakan!) Amerika Serikat selama ini lebih sering
menuai gelombang protes dan perlawanan sipil. Dalam kasus demokratisasi negara-negara di
Timur Tengah beberapa tahun terakhir ini (Palestina dan Israel, Bahrain, Mesir, Lebanon,
Siria, Yaman, Oman), terjadi perlawanan dari kaum ekstremis pasca pemilihan umum (salah
satu indikator besar keberhasilan demokratisasi). Iraq dan Afghanistan merupakan contoh
lain dari kegagalan mendemokratisasikan negara yang memang belum siap dengan mentalitas
demokrasi. Pemaksaan demokratisasi di suatu negara yang resisten terhadap ide-ide
demokrasi dapat membahayakan masa depan kemanusiaan. Inilah PR untuk kita pikirkan
bersama.
Prediksi ketiga bisa kita asalkan pada analisis Victor Silaen dalam bukunya Prospek
Demokrasi di Negera Pancasila, khususnya bab XII, “Prospek Demokrasi Indonesia.”28 Silaen
mengatakan bahwa dalam masa transisi demokrasi Indonesia pasca Reformasi 1998, ketika
demokratisasi tidak diikuti dengan pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan, maka orang mulai mempertanyakan bahkan menggugat premis dasar
demokrasi yang (katanya) menjanjikan “sistem (baru penataan) kehidupan demi kebaikan.”
Sederhananya, buat apa susah-susah memikirkan, mendiskusikan, menerapkan demokrasi
jika hari ini saya tidak bisa makan kenyang dan besok saya tidak tahu apa yang harus
dimakan? Pertanyaan sesederhana ini akan menjadi lebih akut jika subjek “saya” di atas
didaku oleh 29,13 juta orang miskin di Indonesia (data rilisan Badan Pusat Statistik per Maret
2012)29. Kegamangan demokrasi di Indonesia berada di bibir jurang ketidakpercayaan rakyat
terhadap para pemimpinnya yang gemar meneriakkan jargon-jargon demokrasi, penegakan
HAM dan supremasi hukum, namun yang tidak membuat lapangan pekerjaan semakin bisa
luas diakses, yang tidak membuat biaya pendidikan menjadi lebih murah dan terjangkau,
yang tidak berdaya apa-apa ketika harga sembako dan Bahan Bakar Minyak naik turun tanpa
kendali, yang cenderung membiarkan berbagai kasus kekerasan berlatar belakang agama
makin marak terjadi dua tiga tahun terakhir ini dan tidak menindak tegas para pelakunya yang
sering berlindung di balik dalih saleh ‘penegakan syariah’, dan yang tidak gigih membela
harga diri bangsa dan negara ketika pulau dan kekayaan budayanya dicaplok negara tetangga. 28 Lih. Silaen, 2012, hlm. 173 – 191.29 Lihat beritanya di http://www.setkab.go.id/berita-4894-satu-tahun-penduduk-miskin-indonesia-kurang-089-juta.html
23
Amatlah gegabah jika transisi demokrasi “hanya” diserahkan ke tangan elit politik, wakil
rakyat yang serakah mengejar kenikmatan, dan mafia hukum. Di pundak kitalah, orang muda
dan kaum terpelajar bangsa ini, diletakkan tanggungjawab moral untuk bersama-sama
mengawal dan mengawasi jalannya demokratisasi, agar tidak semakin jauh melenceng dari
rel ideal normatifnya sehingga democracy tidak terpeleset menjadi opera sabun democrazy
dan gelontoran demonstrasi miskin arti.
Studi Kasus:
Belajar dari pemutaran film dokumenter This is what Democracy Looks Like (2000)30.
Sumber gambar: http://blog.lib.umn.edu/ipid/ipid/democracy-dvdcover.jpg
Resensi film: Film ini bercerita tentang gelombang protes ribuan orang terhadap pelaksanaan
Konferensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Seattle, Washington, Amerika Serikat,
pada bulan November 1999. Didorong oleh amarah dan hasrat untuk menghentikan
kekuasaan super WTO yang lebih mendahulukan kepentingan para pemodal dan keserakahan
korporasi trans-nasional, serta memangkas kedaulatan negara dalam hal penentuan kebijakan
(di antaranya) lingkungan, sosial, ketenagakerjaan, para aktivis politik dari berbagai negara
30 Lihat situs resmi dari film dokumenter ini yang bisa diakses di http://www.thisisdemocracy.org/
24
berkumpul dan sepakat untuk mengkampanyekan agenda perjuangan mereka “demi keadilan
dan masa depan kemanusiaan yang lebih baik” dengan cara menghentikan perhelatan
konferensi tersebut. Berhadapan dengan para aktivis adalah segerombolan polisi tanpa
kompromi sebagai antek negara, media massa yang bias dan parsial dalam liputannya, serta
para cukong pemodal yang diuntungkan oleh konferensi tersebut. Berjuang dengan harapan
yang tipis untuk bisa didengarkan dan menang, para pemrotes dengan berani menghadapi
perlawanan yang gigih dari para elit politik dan korporasi guna merebut kembali kekuasaan
demokratis konstitusional yang selama ini dibungkam, disangkal dan diabaikan.
Pertanyaan untuk diskusi kelompok:
1. Apa kesan Anda tentang film ini (jalan ceritanya, adegan-adegannya, kebenaran isinya, dll)
2. Wajah demokrasi seperti apakah yang coba ditampilkan film ini? Bagaimana pendapat Anda
sendiri tentang “wajah demokrasi” seperti itu? Dapatkah diterapkan di Indonesia?
Daftar Pustaka
Archibugi, Daniele. 2004. “Cosmopolitan Democracy and its Critics: A review”. Dalam
European Journal of International Relations 10. 3 (Sep 2004): 437. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/211986183/138882D61E56143561F/102?
accountid=17242
Arya-Kresna, Aryaning, dkk. 2010. Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara sebagai Mata
Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Baghi, Felix. Editor. 2012. Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere: Penerbit Ledalero.
Bakti, Andi Faisal, dkk. Tim Editor. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi.
Tangerang Selatan: Churia Press.
Beetham, David. 2009. “Democracy: universality and diversity." Dalam jurnal Ethics & Global
Politics, suppl. Special issue: One World, Many Worlds? Vol. 2, no. 4, 2009. Bisa
diakses di http://search.proquest.com/docview/860897777?accountid=17242
Bellamy, Richard. 2008. Citizenship: A Very Short Introduction. New York: Oxford University
Press Inc.
Boyd, Ross. 2003. "Book Review: Governing for the Environment: Global Problems, Ethics and
Democracy." Dalam Journal of Sociology 2003, Volume 39(1), hlm. 99–112. DOI:
10.1177/0004869003039001325.
Burnell, Peter. 2010. "Promoting Democracy and Promoting Autocracy: Towards A Comparative
Evaluation." Dalam Journal of Politics and Law, Vol. 3, No. 2; September 2010, hlm. 3
- 14. (versi daring bisa diakses di www.ccsenet.org/jpl)
25
Canetti, Elias. [1960] 1984. Crowds and Power. Terjemahan dari versi Jerman, Masse und Macht,
oleh Carol Stewart. New York: Farrar, Straus dan Giroux.
Cam, Philip. 2009. "Educating for Democracy." Dalam jurnal Diogenes 2009 56: 37. DOI:
10.1177/0392192109355528
Christian W. Haerpfer, Patrick Bernhagen, Ronald F. Inglehart, dan Christian Welzel. 2009.
Democratization. New York: Oxford University Press.
Dahl, Robert. A. 1998. On Democracy. Yale (USA): Yale University Press.
---, Ian Shapiro, and José Antonio Cheibub. Tim Editor. 2003. The Democracy Sourcebook.
Cambridge, Massachusetts (USA) dan London (UK): The MIT Press.
Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Dewey, John. [1916] 1944. Democracy and Education. Copyright © 1916 The Macmillan
Company. HTML markup copyright 1994 ILT Digital Classics. Bisa diakses di
http://www.ilt.columbia.edu/publications/dewey.html
Edelsky, Carole. 2004. "Democracy in the Balance." Dalam jurnal Language Arts; September
2004; Vol. 82(1), hlm. 8 – 15, ProQuest Research Library.
Elstein, D. 2010. “Why early confucianism cannot generate democracy.” Dalam Dao : A Journal
of Comparative Philosophy, 9(4), 427-443. doi: 10.1007/s11712-010-9187-9
Fearnley-Sander, Mary dan Yulaelawati, Ella. 2008. “Citizenship Discourse in the Context of
Decentralisation: The Case of Indonesia.” Dalam David L. Grossman, Wing On Lee, dan
Kerry J. Kennedy (tim editor). Citizenship Curriculum in Asia and the Pacific. Hong
Kong: Comparative Education Research Centre, Faculty of Education, The University of
Hong Kong, China, hlm. 111 – 126.
Fletcher, F. J. 1994. “Media, elections and democracy.” Dalam Canadian Journal of
Communication, 19(2), 131-150. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/219527308?accountid=17242
Freedom in the World report 2011, dipublikasikan oleh Freedom House. Penjelasan umum
beserta daftar negara dengan peringkat kebebasannya bisa diakses di
http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/freedom-world-2011 dan
http://www.freedomhouse.org/sites/default/files/inline_images/CombinedAverageRatings
%28IndependentCountries%29FIW2011.pdf
Giroux, Henry A. 2005. “The Passion of the Right: Religious Fundamentalism and the Crisis of
Democracy." Dalam jurnal Cultural Studies <=> Critical Methodologies 2005; 5; hlm.
309 - 317. DOI: 10.1177/1532708604274305
---. 2009. “Democracy’s Nemesis: The Rise of the Corporate University”. Dalam jurnal Cultural
Studies <=> Critical Methodologies 2009; 9; 669. DOI: 10.1177/1532708609341169.
26
Goh, Irving. 2006. "Democracy to Come." Dalam jurnal Theory Culture Society 2006; Vol. 23(1),
hlm. 517 - 519. DOI: 10.1177/026327640602300293
Goode, Luke. 2005. Jürgen Habermas: Democracy and the Public Sphere. London dan Ann
Arbor, MI: Pluto Press.
Hansen, Mogens Herman. 1991. The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes: Structure,
Principles, and Ideology. University of Oklahoma Press.
Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Held, David. 1995. Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan
Governance. Cambridge: Polity.
Henning, Brian G. 2007. "Representative Democracy: Principles and Genealogy." Dalam jurnal
The Review of Metaphysics 61. 1, Sep 2007: 164-166.
Hier, Sean P. 2008. “Transformative democracy in the age of second modernity:
cosmopolitanization, communicative agency and the reflexive subject”. Dalam jurnal
New Media Society 2008; 10; 27. DOI: 10.1177/1461444807085320
Isin, Engin F. dan Turner, Bryan S. Tim Editor. 2002. Handbook of Citizenship Studies. London •
Thousand Oaks • New Delhi: SAGE Publications.
Klein, Naomi. 2007. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. New York:
Metropolitan Books, Henry Holt and Company.
Knezevic, Ivanka. 2003. "Book Review: The Spiral of Capitalism and Socialism: Toward Global
Democracy, by Terry Boswell and Christopher Chase-Dunn. Boulder, CO: Lynne
Rienner Publishers, 2000." Dalam jurnal Critical Sociology 2003; Vol. 29(1), hlm. 101 -
105. DOI: 10.1177/08969205030290010904.
Le Bon, Gustave. [1895] 2002. The Crowd: A Study of the Popular Mind. Terjemahan dari versi
asli berbahasa Perancis, La Psychologie des foules. Mineola, New York: Dover
Publications Inc.
Lewis, D. C. 2008. Majority rule: Direct democracy and minority rights. Michigan State
University). ProQuest Dissertations and Theses, n/a. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/304580894?accountid=17242
Lima, María Herrera. 2005. "Who judges? Democracy and the dilemmas of multiculturalism.
Commentary to The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era, by
Seyla Benhabib." Dalam jurnal Philosophy & Social Criticism 2005; Vol. 31, No. 7;
hlm. 727 - 737. DOI: 10.1177/0191453705057298
Manan, M. 2010. “Constitutional democracy for divided societies: The Indonesian case.” Dalam
Journal of Politics and Law, 3(1), 125-132. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/840384361?accountid=17242
27
Marga, A. 2009. “Democracy as form of life.” Dalam jurnal Eurolimes, 8, 141-153,181. Diakses
dari http://search.proquest.com/docview/504751164?accountid=17242
Mietzner, Marcus. "Indonesia in 2008: Democratic Consolidation in Soeharto’s Shadow." Dalam
jurnal Southeast Asian Affairs 2009, hlm. 105-123.
Morris, Ian, Kurt A. Raaflaub, David Castriota. 1998. Democracy 2500? questions and
challenges. Kendall/Hunt Pub. Co.
Patomäki, Heikki . 2006. "Global Democracy." Dalam jurnal Theory Culture Society 2006; Vol.
23(1), hlm. 519 - 521.
Ramage, Douglas E. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance. London dan New York: Routledge.
Rowley, C. K., & Smith, N. 2009. “Islam's democracy paradox: Muslims claim to like
democracy, so why do they have so little?” Dalam jurnal Public Choice, 139(3-4), 273-
299. doi: 10.1007/s11127-008-9393-8
Schumpeter, Joseph A. [1943] 2003. Capitalism, Socialism, and Democracy. London dan New
York: Routledge.
Sen, Amartya. 1999a. "Democracy as a Universal Value." Dalam Journal of Democracy 10.3
(1999), hlm. 3-17 (bisa diakses di
http://www.unicef.org/socialpolicy/files/Democracy_as_a_Universal_Value.pdf)
---. 1999b. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
Shahrouri, Nahla. 2010. "Does a Link Exist between Democracy and Terrorism?" Dalam jurnal
International Journal on World Peace, Vol. XXVII, No. 4, Desember 2010, hlm. 41 -
77.
Silaen, Victor. 2012. Prospek Demokrasi di Negara Pancasila. Jakarta: Permata Aksara.
Silalahi, Johan O. 2012. Mengurai Masalah Bangsa dan Negara: Refleksi Pemikiran
Kepemimpinan dan Kenegarawanan Menuju Indonesia Baru. Jakarta: Penerbit
JohansFoundation.
Sørensen, Georg. 2007. Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a
Changing World, Third Edition. Colorado: Westview Press.
Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Syarwi, Pangi. Titik Balik Demokrasi: Petunjuk bagi Para Pejuang Demokrasi. Jakarta: Penerbit
Pustaka Inteligensia.
Tabak, M. 2000. “A Marxian Theory of Democracy.” Dalam jurnal Socialism and Democracy,
14(2), 87-113. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/207638740?
accountid=17242
Tanuredjo, Budiman. Editor. 2007. Jakarta Memilih: Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
28
Torfason, Magnus Thor; Ingram, Paul. 2010. “The Global Rise of Democracy: A Network
Account.” American Sociological Review75. 3 (June 2010): 355-377. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/725650750?accountid=17242
29