BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
selanjutnya disingkat UUD NRI 1945 merupakan salah satu bentuk konstitusi
tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar tertinggi dan landasan utama
bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya serta kehidupan bangsa dan
negara (Djahiri, 1971; Riyanto, 2000). Budiardjo (1981:105) menyatakan bahwa
undang-undang dasar adalah hukum tertinggi (supreme law) yang harus ditaati,
baik oleh rakyat maupun alat perlengkapan negara. Konsekuensi logis dari hal
tersebut adalah UUD NRI 1945 harus dijadikan landasan serta diimplementasikan
dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara, baik oleh
pemerintah maupun warga negara Indonesia (Asshiddiqie, 2007:13). Namun
demikian, implementasi UUD NRI 1945 tersebut dewasa ini masih dihadapkan
pada berbagai tantangan, diantaranya mengenai pelanggaran hak asasi manusia,
pengrusakan lingkungan alam Indonesia, munculnya gerakan separatisme, aksi
unjuk rasa yang diwarnai oleh tindakan anarkis,serta berbagai pelanggaran lainnya
dalam berbagai sektor kehidupan.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut pada umumnya terjadi di setiap daerah
dan dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat, termasuk warga negara muda di
Kota Tasikmalaya. Berdasarkan data di bagian Reserse Polres Kota Tasikmalaya,
selama tahun 2008 tercatat lebih kurang 10 % pelaku tindak pidana adalah
2
pemuda dan remaja yang masih duduk di bangku persekolahan. Tindak pidana
yang mereka lakukan diantaranya tindak pidana asusila, penganiayaan, pencurian
dan penyalahgunaan narkoba. Tindak pidana tersebut dilakukan secara individual
maupun secara berkelompok.
Kemudian angka partisipasi warga negara muda dalam bidang pendidikan
mengalami penurunan. Berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA, pada
umumnya APM (angka partisipasi murni) terus mengalami penurunan. Artinya
banyak warga negara muda di Kota Tasikmalaya yang mengikuti pendidikan
sekolah dasar untuk kemudian berhenti atau tidak melanjutkan sekolah pada
jenjang yang lebih tinggi. APM jenjang SD/sederajat pada tahun 2008 sebesar
94,21%. Artinya dari seluruh warga negara muda usia 7-12 tahun di Kota
Tasikmalaya, sekitar 94,21% di antara mereka bersekolah, namun sekitar 5,79%
tidak bersekolah. Warga negara muda yang tidak bersekolah ini potensial untuk
tidak menerima pendidikan yang lebih baik bahkan sangat mungkin menjadi buta
huruf. APM SMP/sederajat lebih rendah lagi, yaitu sekitar 80,17%, sedangkan
jenjang SMA/'sederajat hanya 70,29%. Artinya terdapat 19,83 % warga negara
muda di Kota Tasikmalaya yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP, serta 29,71 %
tidak melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat (Dinas Pendidikan Kota
Tasikmalaya, 2008).
Hal-hal di atas menunjukkan rendahnya kompetensi warga negara untuk
memahami dan melaksanakan ketentuan UUD NRI 1945 sebagai salah satu
bentuk konstitusi negara. Kondisi tersebut selaras dengan hasil penelitian
Winataputra (2001) yang menunjukkan bahwa salah satu kompetensi yang harus
3
dikuasai oleh warga negara adalah memahami kedudukan dan pentingnya
konstitusi (tertulis dan tidak tertulis) dalam kehidupan berwarga negara,
berbangsa, dan bernegara. Dalam kenyataannya, kompetensi warga negara dalam
aspek ini masih rendah, padahal kompetensi tersebut merupakan kompetensi
paling ideal yang harus dimiliki warga negara. Kenyataan ini dikarenakan
terbatasnya informasi bagi warga negara tentang konstitusi, yang dalam banyak
hal dianggap sebagai sesuatu yang bukan urusannya. Sikap tersebut didorong oleh
anggapan bahwa konstitusi tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Sekaitan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya
penyadaran agar UUD NRI 1945 dapat diimplementasikan dalam setiap
kehidupan warga negara, sehingga UUD NRI 1945 menjadi Konstitusi yang hidup
dalam kehidupan warga negara Indonesia atau Living Constitution (Hasibuan,
1996; Riyanto, 2000; Asshiddiqie, 2008). Kondisi tersebut dapat diwujudkan
apabila penerimaan segenap warga negara Indonesia terhadap UUD NRI 1945
benar-benar murni dan konsekuen, serta ditaati dan dijunjung tinggi tanpa adanya
penyelewengan. Dengan kata lain, warga negara telah memiliki kesadaran
berkonstitusi yang tinggi. Dalam pandangan Loewenstein (Riyanto, 2000:311-
312), apabila kondisi tersebut telah terwujud, maka UUD NRI 1945 sudah
merupakan suatu Konstitusi yang bernilai normatif (normative constitution), yaitu
Konstitusi yang dilaksanakan sepenuhnya, bukan saja berlaku dalam arti hukum.
Kesadaran berkonstitusi merupakan kesadaran warga negara akan hak
konstitusionalnya sebagai warga negara, baik sebagai perorangan maupun
kelompok (Asshiddiqie, 2008:11). Lebih lanjut Asshiddiqie (2008:12)
4
menyatakan bahwa dalam kesadaran berkonstitusi juga terkandung maksud
ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Winataputra (2007:39)
mengemukakan bahwa kesadaran berkonstitusi menunjukkan kualitas pribadi
seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku yang bermuatan cita-
cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kesadaran berkonstitusi merupakan kesadaran
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi secara murni dan konsekuen.
Kesadaran berkonstitusi warga negara tidak lahir dengan sendirinya, tetapi
harus dibina dan ditumbuhkan. Dalam perspektif hukum, untuk menumbuhkan
kesadaran berkonstitusi warga negara dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu; 1)
identifying constitutional norms and specifying their meaning; dan 2), crafting
doctrine or developing standards of review (Fallon, 2001:37-38). Hal tersebut
menunjukkan bahwa untuk menumbuhkan kesadaran berkonstitusi diperlukan
pemahaman warga negara terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang
menjadi materi muatan Konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi warga
negara untuk dapat selalu menjadikan Konstitusi sebagai rujukan dalam
kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara.
Apabila warga negara telah memahami norma-norma dasar dalam
Konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
dengan sendirinya ia dapat mengetahui dan mempertahankan hak-hak
konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD NRI 1945. Selain itu, warga negara
dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD NRI 1945, baik
5
melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi
dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan
kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi
tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun
penyalahgunaan konstitusi (Asshiddiqie, 2008:11). Jika hal itu dapat diwujudkan,
berarti telah terbentuk warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi yang
tinggi.
Persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan
pemahaman warga negara terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi
muatan dalam UUD NRI 1945 sebagai dampak dari dilakukannya perubahan
konstitusi sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002). Sebelum
perubahan, UUD NRI 1945 berisi 71 butir ketentuan. Setelah perubahan, UUD
NRI 1945 berisi 199 butir ketentuan atau bertambah sekitar 141%. Dari 199 butir
ketentuan tersebut, naskah UUD NRI 1945 yang masih asli tidak mengalami
perubahan hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%), sedangkan selebihnya
sebanyak 174 butir ketentuan (88%) merupakan materi baru. Hal tersebut
menyebabkan paradigma pemikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal
UUD NRI 1945 juga berbeda dari paradigma yang terkandung dalam naskah asli,
ketika UUD NRI 1945 pertama kali disahkan 18 Agustus 1945. Seandainya semua
warga negara Indonesia sudah mengetahui seluruh isi UUD NRI 1945 sebelum
perubahan, sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir
ketentuan (12%) dari UUD NRI 1945, sedangkan 174 butir ketentuan (88%)
masih banyak belum dimengerti (Budimansyah dan Suryadi, 2008:83). Itulah
6
sebabnya perlu upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan kesadaran
berkonstitusi.
Sekaitan dengan hal di atas, pendidikan kesadaran berkonstitusi
merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga
negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Hal tersebut pada hakekatnya
secara instrumental sudah digariskan melalui tujuan pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, diantaranya:
1. Dalam usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “Pendidikan dan pengajaran
harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa
tanggung jawab” yang kemudian oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan (PPK) dirumuskan dalam tujuan pendidikan: ”…untuk mendidik
warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara dan warga negara” (Winataputra, 2007:8)
2. Dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dalam Bab II Pasal 3 dirumuskan
tujuan pendidikan nasional yang lebih eksplisit menjadi “…membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan warga negara dan tanah air”
(Djojonegoro,1996:76).
3. Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang dilengkapi dengan Keputusan
7
Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 rumusan tujuan pendidikan diubah
menjadi : “…melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya warga negara Sosialis Indonesia, adil, dan makmur, baik
spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila” (Djojonegoro,1996:76).
4. Dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 4, dirumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah:
“…mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya,…”, yang ciri-cirinya dirinci menjadi “…beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab Kewarganegaraan dan
kebangsaan”.
5. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3 digariskan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah untuk ”...berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab”.
Dalam tatanan instrumentasi kurikuler, secara historis dalam kurikulum
sekolah terdapat mata pelajaran yang secara khusus mengemban misi pendidikan
kesadaran berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (Kurikulum 1957/1962);
Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan
Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewargaan Negara yang
8
merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics (Kurikulum
1968/1969); Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum (1973);
Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (Kurikulum 1975 dan 1984); dan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn (Kurikulum 1994).
Sedangkan di perguruan tinggi pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK,
Pancasila dan UUD NRI 1945, (1960-an), kemudian Filsafat Pancasila (1970-
1980-an, dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam mata pelajaran/mata
kuliah tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang
pendidikan kesadaran berkonstitusi (Sumantri, 2001; Winataputra, 2007;
Winataputra dan Budimansyah, 2007; Budimansyah dan Suryadi, 2008).
Sementara itu, dalam kehidupan warga negara terdapat berbagai paket
Penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P-4), yang juga
mengandung tujuan dan materi pendidikan kesadaran berkonstitusi. Kini, dalam
Pasal 37 ayat (1) hurup b Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian dalam Pasal
37 ayat (2) undang-undang tersebut ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu menunjukkan bahwa
pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan wajib
diberikan di semua jenjang pendidikan.
Sekaitan dengan hal di atas, Riyanto (2008:23) menyatakan bahwa
notifikasi (penyebarluasan pemahaman) hukum konstitusi dapat dilakukan melalui
Pendidikan Kewarganegaraan. Hal tersebut dikarenakan, dalam Pendidikan
9
Kewarganegaraan mengandung bahan atau materi tentang Konstitusi sebagai
hukum dasar, hukum derajat tinggi, dan hukum tertinggi dalam suatu negara.
Pernyataan tersebut tentunya semakin memperkuat kedudukan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan kesadaran berkonstitusi.
Sebagai wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, Pendidikan
Kewarganegaraan berperan penting dalam mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk melaksanakan UUD
NRI 1945 secara murni dan konsekuen. Hal tersebut dikarenakan secara normatif
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa :
Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Senada dengan hal tersebut, Winataputra (2001:ii) menyatakan bahwa:
Secara paradigmatik, sistem Pendidikan Kewarganeraan memiliki tiga komponen yang interaktif, yakni kajian ilmiah Kewarganegaraan, program kurikuler Kewarganegaraan, dan kegiatan sosial-kultural Kewarganegaraan. Ketiga komponen tersebut secara koheren berlandaskan pada pengembangan kecerdasan warga negara, yakni demokratis, taat hukum, religius, dan berkeadaban dalam konteks demokrasi konstitusional Indonesia yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa.
Hasil penelitian Yunan (2003) menunjukkan bahwa dalam
mengembangkan materi pembelajaran demokrasi melalui Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) yang bersumber pada UUD NRI 1945, semangat
pasal-pasal UUD NRI 1945 senantiasa dijabarkan dalam pokok-pokok bahasan
demokrasi. Hal tersebut pada dasarnya mendorong Pendidikan Kewarganegaraan
10
harus berakar pada nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam Pembukaan
dan pasal-pasal UUD NRI 1945. Dengan demikian, secara langsung akan
mengoptimalkan peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam membentuk karakter
warga negara untuk menjadi warga negara yang memiliki kesadaran berkonsitusi
yaitu warga negara yang memiliki: 1) pengetahuan tentang Konstitusi; 2)
pemahaman tentang Konstitusi; 3) kemampuan bersikap terhadap ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam Konstitusi; dan 4) perilaku yang selalu
berlandaskan pada Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka secara umum yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga
negara muda? Untuk lebih menfokuskan penelitian yang dilakukan, maka penulis
merumuskan beberapa sub-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap
pengembangan kompetensi kewarganegaraan warga negara muda?
2. Bagaimana pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap
tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda?
3. Bagaimana pengaruh kompetensi kewarganegaraan terhadap tingkat
kesadaran berkonstitusi warga negara muda?
11
4. Bagaimana pengaruh antara pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan
kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama terhadap tingkat kesadaran
berkonstitusi warga negara muda?
Agar penelitian ini mampu memberikan jawaban yang akurat dan sesuai
dengan tujuan penelitian, maka masalah-masalah penelitian dapat dispesifikasikan
sebagai berikut:
1. Pendidikan Kewarganegaraan meliputi:
a. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang difokuskan pada aspek:
1) Pengorganisasian materi pembelajaran
2) Penggunaan metode pembelajaran
3) Pengguanaan media pembelajaran
4) Ketersediaan sumber belajar
5) Pola evaluasi pembelajaran
b. Kompetensi kewarganegaraan yang terdiri atas:
1) Pengetahuan kewarganegaraan (civic konowledge)
2) Kemampuan/kecakapan kewarganegaraan (civic skill)
3) Disposisi kewarganegaraan (civic disposition)
2. Kesadaran berkonstitusi warga negara muda meliputi:
a. Pengetahuan Konstitusional
b. Pemahaman Konstitusional
c. Sikap Konstitusional
d. Perilaku Konstitusional
12
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis secara mendalam pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan terhadap
tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pengembangan kompetensi
kewarganegaraan warga negara muda.
2. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga
negara muda.
3. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam pengaruh kompetensi
Kewarganegaraan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara
muda.
4. mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam hubungan pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan secara
bersama-sama terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara
keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoretik, penelitian
ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan kajian
dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga pada
13
akhirnya akan memperkuat landasan dimensi Pendidikan Kewarganegaraan yang
terdiri atas civic knowledge, civic skill, dan civic disposition.
Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut:
1. Bagi peneliti
a. Mampu menelaah secara kritis tentang kesadaran berkonstitusi warga
negara muda sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia
dalam membangun tatanan demokrasi konstitusional.
b. Memberikan kontribusi positif terhadap berbagai pihak mengenai
pentingnya memahami dan mengarahkan perubahan pola pikir warga
negara terhadap konstitusi negara, sehingga tingkat kesadaran
berkonstitusi warga negara berkembang secara dinamis.
2. Bagi pihak-pihak lain
a. Institusi Pemerintahan: Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
mempertegas bahwa penanaman kesadaran berkonstitusi dalam kehidupan
berwarga negara, berbangsa ,dan bernegara adalah mutlak dilakukan.
b. Warga negara pada umumnya: Penelitian ini dapat dijadikan referensi
untuk menambah wawasan keilmuwan sekaligus sebagai stimulus untuk
menggugah kesadaran kolektif dalam melaksanakan nilai-nilai dan
substansi konstitusi negara.
c. Institusi Pendididikan: Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pengkajian yang lebih komprehensif mengenai urgensi kesadaran
berkonstitusi dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa dan bernegara.
14
E. Variabel Penelitian dan Definisi Variabel
1. Variabel Penelitian
Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah Pendidikan
Kewarganegaraan. Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (X1) dan kompetensi Kewarganegaraan (X2).
Adapun yang menjadi variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesadaran
berkonstitusi warga negara muda.
Sesuai dengan rumusan masalah dan sub-permasalahan penelitian, maka
pola hubungan antar variabel penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Bagan 1.1. Hubungan Antarvariabel Penelitian
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Setiap terminologi memiliki makna yang berbeda dalam konteks dan
dalam lapangan studi yang berbeda. Oleh sebab itu, untuk memperjelas konsep
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (X1)
Kompetensi Kewarganegaraan (X2)
Tingkat Kesadaran
Berkonstitusi Warga Negara
Muda (Y)
15
dari variabel yang diteliti, sehingga tidak mengundang tafsir yang berbeda, maka
dirumuskan definisi operasional atas variabel penelitian berikut ini.
a. Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam penelitian ini, istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya
digunakan dalam pengertian sebagai civic education, yaitu Pendidikan
Kewarganegaraan yang berkedudukan sebagai salah satu mata pelajaran di
sekolah. Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam
penelitian ini adalah pengaruh proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
beserta kompetensi kewarganegaraan yang dimiliki siswa terhadap tingkat
kesadaran berkonstitusi siswa selaku warga negara muda.
Adapun indikator Pendidikan Kewarganegaraan yang diukur dalam
penelitian ini adalah pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi
Kewarganegaraan, dengan definisi operasional sebagai berikut:
1) Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (X1) adalah proses
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang melibatkan guru sebagai
pengajar dan siswa sebagai peserta didik yang di dalamnya
dioperasionalisasikan berbagai komponen pembelajaran yang meliputi materi,
metode, media, sumber dan evaluasi pembelajaran. Adapun komponen-
komponen yang akan diukur dari variabel ini seperti yang tercantum dalam
tabel berikut:
16
Tabel 1.1. Komponen Variabel Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (X1)
VARIABEL KOMPONEN
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (variabel X1)
1. Materi Pembelajaran PKn a. Kesesuaian materi pembelajaran
dengan kurikulum b. Kesesuaian materi pembelajaran
dengan tingkat kemampuan berpikir siswa
c. Materi pembelajaran diangkat dari realitas kehidupan siswa
d. Materi pembelajaran diorganisasikan dari hal konkrit menuju abstrak
e. Materi pembelajaran diorganisasikan dari pengalaman praktis menuju teori
f. Materi pembelajaran diorganisasikan dari lingkungan terdekat siswa, lokal, nasional dan internasional
g. Materi pembelajaran akurat jika ditinjau dari segi keilmuan
h. Materi pembelajaran bersifat aktual dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. Metode Pembelajaran PKn
a. Kesesuaian metode dengan materi pembelajaran
b. Variasi metode yang digunakan c. Metode yang digunakan menuntut
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
d. Metode yang digunakan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa
3. Media Pembelajaran PKn a. Menggunakan jenis media visual,
audio dan audio visual b. Kesesuaian media dengan tujuan dan
materi pembelajaran c. Keberfungsian media
4. Sumber Pembelajaran Pkn a. Bentuk sumber pembelajaran:
1) Materi bacaan 2) Materi bukan bacaan, masyarakat,
dan lingkungan b. Jenis sumber pembelajaraan: 1) Sengaja direncanakan
17
2) Sengaja dimanfaatkan 5. Evaluasi Pembelajaran PKn
a. Penilaian proses belajar dan hasil belajar
b. Penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor
c. Penilaian oleh guru, siswa sendiri (self evaluation), dan siswa lain.
d. Bentuk penilaian tertulis (pencil and paper test) dan berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan (project), produk (product), atau portofolio.
e. Tindak lanjut hasil penilaian
2) Kompetensi Kewarganegaraan adalah pengetahuan, keterampilan, dan
disposisisi Kewarganegaraan yang harus dikuasai siswa SMA selaku warga
negara muda, sehingga dapat berperan serta dalam kehidupan demokrasi di
berbagai lingkungan kehidupan yang terdiri atas:
a) Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge), yaitu pemahaman
mendasar yang dimiliki oleh siswa tentang hal-hal yang berkaitan dengan
Kewarganegaraan, yang meliputi demokrasi dan struktur pemerintahan
Indonesia, serta Kewarganegaraan Indonesia.
b) Kecakapan Kewarganegaraan (civic skill), yaitu seperangkat keterampilan
mendasar yang dimiliki siswa berkaitan dengan Kewarganegaraan yang
terdiri atas kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan
intelektual berupa: (1) kemampuan membaca dan memahami informasi
tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media; (2) kemampuan
membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks; dan (3)
kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak. Kecakapan partisipatoris
18
berupa : (1) kemampuan partisipasi umum; (2) kemampuan
berkomunikasi; dan (3) partisipasi melalui kemampuan menganalisis isu-
isu publik, kepemimpinan, kelompok mobilisasi, dan komunikasi.
c) Disposisi Kewarganegaraan (Civic Disposition), yakni memiliki karakter
dan komitmen yang penting bagi kehidupan kewarganegaraan. Disposisi
dalam penelitian ini meliputi karakter privat dan karakter publik. Karakter
privat dalam penelitian ini meliputi tanggung jawab moral, kejujuran,
kecintaan, keyakinan, disiplin diri serta penghargaan terhadap harkat dan
martabat manusia, sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai
warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main serta kemauan untuk
mendengar, bernegosiasi dan berkompromi.
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini diuraikan indikator-indikator
variabel kompetensi Kewarganegaraan (X2) seperti yang tercantum dalam
tabel di bawah ini.
Tabel 1.2. Komponen Variabel Kompetensi Kewarganegaraan (X2)
VARIABEL KOMPONEN Kompetensi Kewarganegaraan (variabel X2)
1. Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) a. Sistem pemerintahan Indonesia b. Dasar-dasar sistem politik Indonesia c. Perwujudan tujuan, nilai, dan prinsip
demokrasi oleh pemerintahan yang dibentuk konstitusi
d. Hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia
e. Peran warga negara dalam kehidupan demokrasi di Indonesia
2. Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills) a. Kecakapan intelektual
1) Kemampuan membaca dan
19
memahami informasi tentang pemerintahan dan isu yang ditemukan di media
2) Kemampuan membedakan antara fakta dan opini dalam tulisan teks
3) Kemampuan mengartikulasikan konsep abstrak
b. Kecakapan partisipatoris
1) Kemampuan partisipasi umum 2) Kemampuan berkomunikasi 3) Partisipasi melalui kemampuan
menganalisis isu-isu publik, kepemimpinan, kelompok, mobilisasi dan komunikasi
3. Disposisi Kewarganegaraan (Civic disposition) a. Karakter privat
1) Tanggung jawab moral 2) Kejujuran 3) Kecintaan 4) Disiplin diri 5) Penghargaan terhadap harkat dan
martabat manusia
b. Karakter Publik 1) Kesopanan 2) Kepedulian sebagai warga negara 3) Mengindahkan aturan 4) Kemampuan untuk mendengarkan,
bernegosiasi dan berkompromi
b. Kesadaran Berkonstitusi adalah kesadaran warga negara muda akan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara, baik
sebagai perseorangan maupun kelompok yang tercermin dalam pengetahuan,
pemahaman, sikap, dan perilakunya.
20
1) Pengetahuan konstitusional warga negara muda adalah kemampuan warga
negara muda untuk mengetahui pengertian hak dan kewajiban
konstitusional warga negara, macam-macam hak konstitusional warga
negara, macam-macam kewajiban konstitusional warga negara dan tujuan
dicantumkannya hak dan kewajiban warga negara dalam UUD NRI 1945.
2) Pemahaman konstitusional warga negara muda adalah kemampuan warga
negara muda untuk memahami pentingnya jaminan hak warga negara
dalam UUD NRI 1945, manfaat penegakan hak konstitusional warga
negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 dan akibat
pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
3) Sikap konstitusional warga negara muda adalah kecenderungan yang
diperlihatkan warga negara muda terhadap jaminan hak konstitusional
(hak asasi) warga negara dalam UUD NRI 1945 serta terhadap hak dan
kewajiban warga negara lainnya yang diatur dalam UUD NRI 1945.
4) Perilaku konstitusional warga negara muda adalah perilaku warga negara
muda dalam melaksanakan hak dan kewajiban konstitusionalnya di
lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, komponen-komponen variabel kesadaran
berkonstitusi warga negara muda (Y) ini penulis sajikan dalam tabel berikut:
Tabel 1.3.Komponen Variabel Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara Muda (Y)
VARIABEL KOMPONEN Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara Muda (Variabel Y)
1. Pengetahuan warga negara muda tentang: a. Pengertian hak dan kewajiban
konstitusional warga negara b. Macam-macam hak konstitusional
21
warga negara c. Macam-macam kewajiban
konstutusional warga negara d. Tujuan dicantumkannya hak dan
kewajiban warga negara dalam UUD NRI 1945
2. Pemahaman warga negara muda
tentang: a. Pemahaman terhadap pentingnya
jaminan hak warga negara dalam UUD RI
b. Manfaat penegakkan hak konstitusional warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945
c. Pemahaman tentang akibat pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara
3. Sikap warga negara muda yang meliputi: a. Sikap terhadap jaminan hak
konstitusional (hak asasi) warga negara dalam UUD NRI 1945
b. Sikap terhadap hak dan kewajiban warga negara lainnya yang diatur dalam UUD NRI 1945
4. Perilaku konstitusional warga negara muda: a. Pelaksanaan hak dan kewajiban
konstitusional warga negara di sekolah
b. Pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusional warga negara di lingkungan keluarga
c. Pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusional warga negara di lingkungan masyarakat
c. Warga negara muda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah warga
negara Indonesia yang secara akdemik tengah menempuh pendidikan di
22
jenjang Sekolah Menengah Atas dan secara yuridis telah diperbolehkan untuk
melaksanakan hak pilihnya dalam kegiatan Pemilihan Umum.
F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan atas dasar asumsi bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan dapat membentuk warga negara yang memiliki tingkat
kesadaran berkonstitusi yang tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman warga negara terhadap konstitusi
serta dapat membentuk sikap dan perilaku siswa yang mencerminkan
implementasi aturan Konstitusi.
Bertolak dari asumsi tersebut dan mengacu kepada rumusan masalah,
maka dapat dikemukakan rumusan hipotesis mayor sebagai berikut: Kesadaran
berkonstitusi warga negara muda dipengaruhi secara positif oleh Pendidikan
Kewarganegaraan.
Untuk lebih spesifik dan jelasnya, hipotesis mayor tersebut dapat
dikembangkan menjadi beberapa hipotesis minor berikut ini:
1. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap pengembangan kompetensi kewarganegaraan warga
negara muda.
2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
3. Kompetensi Kewarganegaraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
tingkat kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
23
4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan
secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat
kesadaran berkonstitusi warga negara muda.
G. Metode Penelitian
Menurut jenis pendekatan, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, yaitu
penelitian yang datanya berupa angka-angka. Adapun metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan teknik survey. Hal
ini dikarenakan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini merupakan
permasalahan yang ada pada masa sekarang (Nazir, 1988:63; Surahmad,
1990:140). Metode deskriptif-analitis dalam penelitian dioperasionalisasikan
dengan menggunakan statistik inferensial yaitu untuk menganalisis data sampel
dan hasilnya digeneralisasikan (diinferensikan) untuk populasi dimana sampel
diambil. (Sugiyono, 2001: 14).
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah teknik angket, wawancara serta studi dokumentasi.
J. Lokasi dan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian adalah SMA-SMA se-Kota Tasikmalaya. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa SMA kelas XI di kota Tasikmalaya. Sampel
penelitian adalah 150 siswa SMA kelas XI di 3 SMA Negeri dan 6 SMA Swasta
yang berada di Kota Tasikmalaya yang ditentukan melalui cluster sampling dan
proportinal random sampling.
24
Top Related