15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komitmen Kerja
1. Pengertian Komitmen Kerja
Komitmen kerja, merupakan istilah lain dari komitmen organisasional,
merupakan dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan
pegawai. Komitmen kerja adalah suatu keadaan seorang karyawan yang memihak
organisasi tertentu, serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi (Robbins dan Judge, 2008). Mowday (dalam
Sopiah, 2008) mengungkapkan bahwa komitmen kerja adalah identifikasi dan
keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi.
Komitmen kerja memiliki dua komponen penting, yaitu sikap dan kehendak
untuk bertingkah laku terhadap suatu perkara. Sikap berkaitan dengan identifikasi,
keterlibatan dan kesetiaan, sedangkan kehendak bergantung pada keadaan untuk
bertingkah laku dalam kesediaan menampilkan usaha (Yusof, 2007). Komitmen kerja
merupakan karakteristik personal yaitu dapat diandalkan dan dapat di percaya
(Byron, 2010).
Cohen dalam Kusumaputri (2015) mendefinisikan bahwa komitmen kerja
adalah kekuatan yang mengikat individu untuk melakukan suatu aksi menuju satu
atau beberapa tujuan organisasi. Sedangkan Best (dalam Kusumaputri, 2015)
mengatakan bahwa individu-individu yang berkomitmen untuk melakukan aksi-aksi
16
atau perilaku khusus yang dilandasi oleh keyakinan moral dari pada keuntungan
pribadi.
Blau dan Boal dalam Sopiah (2008) menyebutkan bahwa komitmen kerja
sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan
organisasi. Sedangkan Robbins dalam Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen kerja
sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan
terhadap organisasi. Miller dan Lee (dalam Kusumaputri, 2015) mendefinisikan
komitmen kerja adalah suatu keadaan dari anggota organisasi yang terikat aktivitas
dan keyakinannya, adapun fungsinya untuk mempertahankan aktivitas dan
keterlibatannya dalam organisasi. Lincoln (dalam Sopiah, 2008), menyatakan bahwa
komitmen kerja mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota dan kemauan
anggota pada organisasi.
Baron dan Armstrong (2010), mengatakan bahwa komitmen kerja adalah
tentang mengenal pasti tujuan dan nilai organisasi, keinginan menjadi milik
organisasi dan kesanggupan untuk berusaha menjadi milik organisasi. Baron dan
Armstrong juga menjelaskan bahwa komitmen dapat memastikan organisasi itu
dilihat sebagai “tempat yang hebat untuk bekerja”, lalu menjadikannya “pemimpin
pilihan”. Hal serupa juga diungkapkan Steers dan Poeter (1983) yang mengatakan
bahwa komitmen kerja mencangkup kesamaan nilai dan tujuan antara individu dan
perusahaan, keterlibatan anggota dan juga loyalitas dari anggota.
Berdasarkan serangkaian pengertian tentang komitmen kerja di atas, dapat
disimpulkan bahwa komitmen kerja merupakan sikap atau perilaku karyawan yang
17
berkaitan dengan keinginan kuat seorang anggota organisasi/ karyawan untuk
mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi, serta mendukung dan
menjalankan tujuan organisasi atau perusahaan secara penuh suka rela, serta
komitmen kerja lebih dari sekedar kesetiaan, namun lebih kepada keintiman atau
ikatan batin anggota terhadap organisasinya.
2. Aspek - Aspek Komitmen Kerja
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2008), mengungkapkan bahwa
terdapat tiga aspek yang mencirikan komitmen kerja, antara lain:
a. Komitmen afektif (affective commitment)
Aspek ini, merupakan perasaan emosional dan keyakinan-keyakinan dari
anggota/ karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan dari perusahaan, rasa ikut sebagai
bagian dari organisasi, dan rasa keterlibatan dalam organisasi. Komitmen afektif
tercermin dalam perilaku anggota terhadap organisasinya, seperti kesamaan nilai dan
tujuan pribadi dengan nilai dan tujuan organisasi, penerimaan terhadap kebijakan
organisasi, serta anggota memiliki kebanggaan menjadi bagian dari suatu organisasi.
Menurut Allen dan Mayer (1990) pada aspek komitmen afektif dapat menimbulkan
rasa keintiman sebagai keluarga terhadap sebuah organisasi, dan keterlibatan
karyawan pada pekerjaan lebih mendalam dan konsisten.
Kesamaan tujuan atau nilai-nilai dari seorang karyawan dengan perusahaan
akan menumbuhkan kerelaan karyawan dengan mengalokasikan suatu hal demi
tercapainya tujuan perusahaan. Karyawan yang memiliki komitmen afektif
mempunyai anggapan bahwa organisasi akan memberikan keamanan dan
18
kenyamanan, karena karyawan memiliki ikatan yang kuat dengan perusahaan atau
organisasi. Hal tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Srimulyani
(2009), mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen afektif akan merasa
lebih dekat dengan organisasi tempat karyawan itu berada, sehingga karyawan akan
termotivasi dan memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan.
b. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment),
Aspek ini, berkaitan dengan nilai ekonomis yang didapat seorang karyawan,
yang berarti bahwa seseorang memilih bertahan pada suatu perusahaan karena
mendapat keuntungan-keuntungan tertentu, dibandingkan karyawan tersebut keluar
atau berpindah ke perusahaan lain. Pada aspek ini, terbentuk karena imbalan yang
diberikan oleh perusahaan yang dirasa cukup. Pada aspek ini alasan seorang
karyawan bertahan karena karyawan tersebut merasa membutuhkan imbalan dari
perusahaan.
Karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi akan memilih untuk
tetap tinggal, dan mempertahankan hubungannya dengan perusahaan/ organisasi. Hal
tersebut terjadi karena karyawan memiliki kebutuhan secara ekonomis. Karyawan
dengan komitmen berkelanjutan yang rendah dapat berdampak pada kurangnya
kinerja, kondisi tersebut dapat terjadi bila karyawan merasa hasil yang diterima
kurang sesuai dengan dirinya (Srimulyani, 2009). Komitmen berkelanjutan
merupakan keadaan karyawan yang memerlukan (need) untuk melakukan sesuatu
pada perusahaan (Allen dan Mayer,1990).
19
c. Komitmen normatif (normative commitment),
Aspek ini, berkaitan dengan keinginan untuk bertahan dengan organisasi
untuk alasan-alasan moral atau etis. Pada aspek ini, komitmen terbentuk dari
perasaan karyawan yang merasa berkewajiban atau keharusan karyawan untuk tetap
bertahan lebih dari orang lain (Greenberg dalam Kurniawan, 2015).
Karyawan yang berada pada aspek ini, akan mempertahankan hubungannya
dengan organisasi dan memberikan usaha-usaha secara maksimal guna kemajuan
dan tercapainya tujuan perusahaan. Hal tersebut terjadi karena karyawan yang
memiliki komitmen normatif merasa lebih bertanggung jawab untuk melakukan hal
tersebut dibandingkan orang lain. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh
Srimulyani (2009) yang mengungkapkan bahwa karyawan dengan komitmen
normatif yang tinggi memiliki rasa tanggung jawab pada pekerjaannya, rekan
kerjanya, ataupun pada manajemennya, hal tersebut terjadi karena karyawan
memiliki rasa kewajiban untuk membalas apa yang telah organisasi berikan kepada
dirinya, sehingga memberikan loyalitas yang tinggi pada perusahaan atau organisasi.
Selain aspek-aspek yang diungkapkan di atas terdapat pendapat yang senada,
Allen dan Mayer (2003) juga mengungkapkan 3 aspek komitmen kerja, antara lain:
a. Affective comitment
Pada aspek ini, merupakan aspek dasar dari komitmen kerja seorang individu,
karyawan/anggota ingin tetap bertahan atau tetap menjadi anggota, karena memiliki
ikatan emosional dan kesamaan tujuan dengan perusahaan. Pada aspek ini karyawan
20
sangat bergantung dengan kesesuaian nilai-nilai dan tujuan perusahaan dengan
prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh karyawan tersebut, apabila terjadi perubahan
terhadap tujuan-tujuan perusahaan akan berdampak langsung terhadap karyawan
tersebut. Hal itu dikarenakan karyawan akan kembali mencari kesesuaian antara
nilai-nilai perusahaan dengan prinsip-prinsip yang dianut olehnya, jika dalam hal ini
terdapat kesesuaian maka keinginan untuk tetap bertahan akan terjaga. Namun bila
dalam hal ini tidak terdapat kesesuaian, maka karyawan akan berpikir untuk mencari
alternatif pekerjaan lain. Komitmen afektif merupakan suatu kecenderungan untuk
terlibat dalam aktivitas organisasi yang dilakukan secara konsisten, dan merasa
investasi yang dikumpulkan akan hilang bila kegiatan atau aktivitas dalam
perusahaan dihentikan (Becker dalam Allen dan Meyer, 1990).
b. Continuance comitment
Aspek ini, muncul karena masalah ekonomis, hal tersebut dapat dilihat bila
seorang karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi untuk mendapatkan gaji atau
untuk memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya, dan karyawan tidak dapat
menemukan alternatif pekerjaan lain. Tingkat continuance comitment dalam
perkembangannya sangat berhubungan dengan ketersediaan pilihan pekerjaan, yang
akan berpengaruh terhadap keinginan karyawan untuk meninggalkan perusahaan, hal
tersebut menandakan bahwa rendahnya tingkat Continuance comitment (Mayer, dan
Allen, 2003).
21
c. Normative comitment
Aspek ini, muncul karena kesadaran diri dari seorang karyawan, bahwa
pilihan untuk bertahan dan tetap menjadi anggota organisasi memang merupakan
suatu kewajiban yang harus dilakukan, bila karyawan tersebut memilih
meninggalkan perusahaan, maka pilihannya bertentangan dengan yang seharusnya
dan pendapat umum. Komitmen normatif dapat berkembang dari tekanan-tekanan
yang dirasakan oleh seorang karyawan, pada proses adaptasi dan sosialisasi ketika
karyawan tersebut dalam posisi sebagai karyawan baru (Wiener dalam Meyer dan
Allen, 1990).
Dari kedua paparan tentang aspek komitmen kerja di atas, terlihat adanya
kesamaan makna antar aspek dari masing-masing tokoh, dan saling terkait antara
aspek satu dengan aspek yang lainya. Pada kesimpulannya aspek dari komitmen
menurut kedua tokoh tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen normatif dan
komitmen berkelanjutan.
Pada penelitian ini, agar lebih spesifik peneliti akan mengambil aspek–aspek
komitmen kerja dari Robbins dan Judge (2008), yaitu; Komitmen afektif (affective
commitment), Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) Komitmen
normatif (normative commitment). Alasan peneliti mengambil aspek tersebut sebagai
aspek penelitian karena aspek –aspek yang diungkapkan Robbins dan Judge
merupakan aspek yang lebih baru dan merupakan pengembangan dari aspek aspek
sebelumnya.
22
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Kerja
Kusumaputri (2015) mengungkapkan tujuh faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen kerja karyawan, yaitu:
a. Faktor-faktor terkait pekerjaan (job related factors)
Merupakan hasil keluaran yang terkait faktor-faktor pekerjaan yang cukup
penting ditingkat individu, peran dalam pekerjaan, hal lain yang kurang jelas pun
akan mempengaruhi komitmen organisasi, seperti kesempatan promosi dan lain-lain.
Faktor yang berdampak pada komitmen adalah tanggung jawab dan tugas yang
diberikan pada anggota.
b. Kesempatan para anggota (employee oportunities)
Kesempatan anggota akan berpengaruh pada komitmen organisasi, karyawan
yang masih memiliki peluang tinggi bekerja di tempat lain, akan mengurangi
komitmen kerja karyawan, begitu pun sebaliknya. Hal ini sangat bergantung pada
loyalitas karyawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, karyawan akan selalu
memperhitungkan keinginan untuk keluar atau tetap bertahan.
c. Karakteristik individu
Karakteristik individu yang berpengaruh seperti usia, masa kerja, tingkat
pendidikan, kepribadian, dan hal-hal yang menyangkut individu tersebut (karakter).
Dijelaskan pula, bahwa semakin lama masa kerja maka makin tinggi juga komitmen
kerja yang dimilikinya. Selain itu peran gender juga dapat berpengaruh pada
komitmen organisasinya, namun peran gender ini tidak semata-mata hanya
perbedaan gender saja namun juga dengan jenis pekerjaan yang diberikan dan
23
keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya, Bandura (1997) mengatakan
bahwa karakteristik individu dapat dipengaruhi oleh kekuatan self-efficacy masing-
masing individu. Karakteristik individu sendiri sangat bergantung pada self-efficacy.
Hal tersebut senada dengan pendapat Yusril, dkk (2014) yang mengatakan bahwa
self-efficacy merupakan indikasi dalam mengoptimalkan kemampuan dan faktor
personal yang ada pada individu dalam meningkatkan komitmen kerja individu
tersebut. Self-efficacy yang kuat dari seorang karyawan akan membentuk
kepercayaan diri seorang karyawan dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan
kepadanya.
d. Lingkungan kerja.
Lingkungan kerja dapat mempengaruhi komitmen kerja, satu dari kondisi
lingkungan kerja yang berdampak positif bagi komitmen organisasi adalah rasa
memiliki organisasi. Hal ini dimaksudkan bahwa karyawan yang memiliki rasa
keterlibatan menganggap dirinya dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor lain dalam
lingkungan kerja yang berpengaruh adalah sistem seleksi, penilaian, serta promosi,
gaya manajemen, dll.
e. Hubungan positif
Hubungan positif memiliki arti hubungan antar anggota baik hubungan
dengan atasan, rekan kerja, maupun bawahan, dan rasa saling menghargai, akan
menimbulkan komitmen kerja yang tinggi.
24
f. Struktur organisasi.
Struktur organisasi yang fleksibel lebih mungkin berkontribusi pada
peningkatan komitmen anggotanya, manajemen dapat meningkatkan komitmen
anggotanya dengan memberikan anggota arahan dan pengaruh yang lebih baik.
Sedangkan sistem birokratis akan cenderung berdampak negatif bagi organisasi.
g. Gaya manajemen
Gaya manajemen yang tidak sesuai dengan konteks aspirasi anggota
anggotanya akan menurunkan tingkat komitmen organisasi. Sedangkan gaya
manajemen yang membangkitkan keterlibatan hasrat anggota untuk pemberdayaan
dan tuntutan komitmen untuk tujuan-tujuan organisasi akan meningkatkan komitmen
kerja. Semakin fleksibel organisasi yang menekankan pada partisipasi angota dapat
meningkatkan komitmen organisasi secara positif serta cukup kuat.
Dari faktor yang telah diungkapkan Kusumaputri tersebut, karakteristik
individu menjadi faktor yang tidak kalah penting dengan faktor-faktor yang lainnya,
karakter individu sendiri merupakan hal yang melekat dalam individu. Karakteristik
individu dapat berkembang dengan baik bila individu tersebut memiliki self-efficacy.
Self-efficacy akan menumbuhkan rasa keyakinan diri atas kemampuan dirinya dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya (Bandura, 1997).
Karyawan yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri atas kemampuannya
(self-efficacy) dalam dirinya akan mampu bertanggung jawab dalam menjalankan
tugas dan menjadikan dirinya berdaya (Mulyadi, 2007). Pendapat sama juga
25
diungkapkan oleh Locke (dalam Suseno, 2009) yang mengatakan bahwa self-efficacy
yang tinggi akan menumbuhkan rasa percaya diri pada kemampuan dirinya dalam
melaksanakan tugas. Individu dengan self-efficacy yang tinggi memiliki dampak
seperti semakin besarnya usaha individu tersebut memperoleh keberhasilan di tempat
kerja, serta mampu mengatasi berbagai kesulitan dan tekanan di tempat kerja dan hal
tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap terbentuknya komitmen kerja
(Agarwal dan Mishra, 2016).
B. Self-Efficacy
1. Pengertian Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya
dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu
(Bandura, 1997). Selain itu Bandura (1997) memaparkan bahwa self-efficacy pada
dasarnya adalah hasil proses kognitif yang berupa keputusan, keyakinan, atau
penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya
dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu, yang diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Sedangkan Luthans (2006) mendefinisikan self-efficacy
sebagai penilaian yang berkaitan dengan keyakinan diri, tentang seberapa baik
individu dapat melakukan tindakan yang diperlukan yang berhubungan dengan
situasi yang prospektif.
Baron dan Byrne (1991), mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi
seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu
26
tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Pendapat yang sama juga
diungkapkan Gist dan Mitchell, dalam Gufron dan Risnawati (2014), yang
mengatakan bahwa self-efficacy dapat membawa pada perilaku yang berbeda
diantara individu dengan kemampuan yang sama, karena self-efficacy mepengaruhi
pilihan, tujuan, penyelesaian masalah, dan kegigihan dalam berusaha. Self-efficacy
adalah sebagai indikator positif dari core self-evaluation untuk melakukan evaluasi
diri, yang berguna untuk memahami diri (Judge dan Bono, 2001).
Luthans (dalam Suseno, 2009) menyatakan self-efficacy berkaitan dengan
bagaimana individu merasa mampu untuk melakukan pekerjaan. Sementara
Locke (dalam Suseno, 2009) mengatakan bahwa self-efficacy yang tinggi, akan
menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan dirinya dalam melaksanakan
tugas.
Self-efficacy merupakan penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan
yang baik atau buruk, benar atau salah, dapat atau tidak mengerjakan sesuai dengan
hal yang dipersyaratkan (Alwisol, 2004). Self-efficacy dapat mempengaruhi individu
dalam melakukan kegiatannya. Individu akan lebih cenderung melakukan aktivitas
yang menurut individu tersebut merasa mampu untuk melakukannya dengan baik,
dari pada melakukan aktivitas yang berada di luar kemampuannya (Kristina, 2012).
Dari beberapa pendapat ahli tentang self-efficacy dapat disimpulkan bahwa
self-efficacy merupakan kemampuan individu untuk menilai diri, evaluasi diri, serta
kemampuan membuat keputusan. Self-efficacy erat kaitannya dengan berbagai hal
tentang penilain diri terhadap kemampuanya dan merupakan hasil dari proses
27
kognitif masing-masing individu, yang berguna untuk mengatasi masalah-masalah
yang terjadi pada diri individu tersebut.
2. Dimensi Self-Efficacy
Menurut Bandura (1997) self-efficacy pada diri tiap individu akan berbeda
antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut adalah
tiga dimensi tersebut:
a. Dimensi Tingkat/Level (magnitude).
Dimensi ini, berkaitan dengan tingkat atau jenis tugas yang diterima oleh
seorang individu, tingkat kesulitan dari tugas yang dihadapi oleh individu. Pada
komponen ini individu membuat persepsi terhadap kemampuannya menghadapi
tugas, apakah sesuai dengan kemampuannya atau di luar kemampuannya. Apabila
individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya,
maka self-efficacy individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, dan
sedang atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan
pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan
tingkah laku, untuk menyelesaikan tugas yang dirasa mampu diselesaikannya, dan
menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya.
Dimensi ini berkaitan dengan penerimaan tugas berdasarkan tingkat kesulitanya,
tingkat penyelesaian tugas, dan optimis dalam menghadapi kesulitan (Kaseger,
2013).
28
b. Dimensi Kekuatan (strenght).
Dimensi ini, berkaitan dengan seberapa besar kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya, bila individu sangat merasa yakin
dapat melakukan atau menyelesaikannya, maka individu tersebut akan menjadi gigih
walaupun individu tersebut tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Pengharapan
yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap
bertahan dalam usahanya, meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu
makin tinggi level atau taraf kesulitan tugas. Dimensi ini berkaitan dengan usaha
untuk menyelesaikan tugas/pekerjaan, seperti kegigihan dalam belajar, gigih dalam
menyelesaikan tugas, dan konsistensi dalam mencapai tujuan (Kaseger, 2013).
c. Dimensi Generalisasi (generality).
Dimensi ini, berkaitan dengan luas bidang tingkah laku, yang ditunjukan
individu berdasarkan keyakinan pada kemampuanya. Keyakinan individu terhadap
dirinya bergantung pada pemahaman individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya, apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada
serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi. Keyakinan yang lemah pada
individu akan mudah dipatahkan dengan pengalaman yang menggelisahkan,
sementara pengalaman yang kuat akan mendorong usaha individu untuk
melakukannya, walau pada tugas dengan kesulitan yang tidak terbatas. Dimensi ini
29
berkaitan dengan penguasaan terhadap bidang pekerjaan serta keyakinan terhadap
kemampuanya pada situasi yang bervariasi (Kaseger, 2013).
Selain dimensi yang diungkapkan oleh Bandura, terdapat aspek lain yang
mencirikan self-efficacy, aspek tersebut diungkapkan oleh Corsini (1994), yang
mengungkapkan bahwa self-efficacy terdiri dari empat aspek, yaitu:
a. Aspek Kognitif
Merupakan cara yang dilakukan individu dalam memikirkan strategi dan
cara-cara untuk menyelesaikan tugas yang sedang atau akan dihadapinya. Pada aspek
ini kegiatan hanya sebatas rencana-rencana yang disusun oleh individu, aspek ini
erat kaitannya dengan pencocokan kemampuannya pada tingkat kesulitannya.
b. Aspek Motivasi
Merupakan aspek dari self-efficacy yang masih erat dengan proses berpikir,
namun pada aspek ini kemampuan yang diterapkan adalah kemampuan memotivasi
diri dan mencari dorongan-dorongan. Aspek ini membentuk suatu tindakan yang
berguna untuk menjalankan rencana yang telah disusun, hingga individu memperoleh
keyakinan untuk mengaktualisasikan rencananya.
c. Aspek Afeksi
Merupakan kemampuan mengatasi perasaan emosi yang timbul pada diri
sendiri, pada aspek ini perasaan-perasaan muncul setelah mendapatkan dorongan-
dorongan. Individu akan merasa mampu mengatasi perasaan yang tidak
menyenangkan dan membuat dirinya berdaya, untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
30
d. Aspek Seleksi
Aspek ini, merupakan aspek aktualisasi, individu memilih cara-cara atau
tindakan-tindakan yang sesuai dengan waktu, kondisi dan tempat di mana individu
tersebut akan mengaktualisasikan keyakinannya.
Dari dimensi/aspek self-efficacy yang diungkapkan oleh kedua tokoh
tersebut, yaitu Bandura dan Corsini terdapat benang merah atau saling berkaitan,
karena aspek yang diungkapkan oleh Corsini merupakan aspek penegasan dari apa
yang telah diungkapkan oleh Bandura sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa dari
kedua pendapat tentang self-efficacy merupakan aspek yang memaparkan bagaimana
individu memikirkan, meyakinkan diri, dan melakukan tugas tugas yang akan atau
sedang dihadapinya.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan aspek yang diungkapkan oleh
Bandura, karena bandura merupakan tokoh pertama yang mengungkapkan teori self-
efficacy. Selain itu aspek – aspek yang diungkapkan Bandura ini cangkupan
maknanya lebih luas, dan lebih terpusat, dalam penilaian terhadap variabel self-
efficacy.
C. Dinamika Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Komitmen Kerja
Karyawan Outsourcing
Keyakinan atas kemampuan (self-efficacy), sebelumnya telah dipaparkan
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen kerja karyawan, baik secara
langsung, maupun tidak langsung terhadap komitmen kerja karyawan (khususnya
31
outsourcing). Namun pada kenyatannya hasil wawancara menunjukkan bahwa
karyawan outsourcing lebih sering memiliki self-efficacy yang rendah, karena
kekhawatiran terhadap ketidakjelasan status, ketidakjelasan jenjang profesi dan
kekhawatiran dikeluarkan sewaktu-waktu. Karyawan outsourcing sering kehilangan
motivasi untuk bekerja secara penuh, mudah menyerah bila pekerjaan yang
dihadapinya berat, dan merasa tidak punya pengharapan mengenai jenjang statusnya.
Hal tersebut terjadi karena statusnya yang bukan pegawai tetap, dan tidak
mempunyai ikatan langsung dengan perusahaan. Sementara karyawan yang memiliki
Self-efficacy yang tinggi dapat mecapai tujuan dan kinerja lebih baik karena menurut
Bandura (dalam Wijayanti, 2013) Self-efficacy dapat memunculkan motivasi, tujuan
yang lebih jelas, menstabilkan emosi, dan membentuk kemampuan yang memberikan
kinerja atas aktifitas-aktifitas dan perilaku dengan sukses.
Self-efficacy dapat mempengaruhi komitmen kerja, menurut Bandura (1997)
self-efficacy dapat membentuk keyakinan-keyakinan individu terhadap kemampuan
yang dimilikinya dalam menghadapi berbagai macam situasi yang menyebabkan
tekanan. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi berdampak pada munculnya
komitmen kerja, guna memecahkan masalah dan tidak akan mudah menyerah ketika
strateginya gagal (Reivich dan Shatté, dalam Qomariah, 2014). Self-efficacy, terbukti
memiliki pengaruh pada aspek-aspek yang ada dalam komitmen kerja.
Pada aspek komitmen afektif yang terdapat dalam komitmen kerja juga
dipengaruhi oleh self-efficacy yang dimiliki oleh individu. Menurut Robbins dan
Judge (2008), mengatakan bahwa komitmen afektif dapat tercermin melalui
32
kesamaan nilai, dan tujuan pribadi terhadap nilai dan tujuan organisasi. Hal tersebut
menyebabkan individu merasa ingin bertahan karena terdapat ikatan emosional yang
kuat dari individu terhadap perusahaan, rasa ikut sebagai bagian dari organisasi, dan
rasa keterlibatan dalam organisasi. Kesamaan tujuan organisasi dan penerimaan diri
terhadap kebijakan perusahaan secara sukarela dapat dilihat pada prestasi kerja
karyawan yang bersangkutan (Ashforth & Mael dalam Riyanti, dkk, 2008).
Pendapat tersebut sama dengan pernyataan Lee dan Bobko (1994), yang mengatakan
bahwa individu yang memiliki self-efficacy ketika menentukan tujuannya akan
mencurahkan semua perhatian, dan berusaha menghadapi halangan, dan hambatan
serta berusaha secara maksimal guna mencapai tujuan tersebut. Pada dasarnya self-
efficacy akan membantu karyawan lebih bersemangat dan mencari cara untuk
mengatasi hambatan dalam pekerjaanya. Hal tersebut sama dengan pendapat
Cervone dan Peake (1986), mengatakan bahwa self-efficacy yang dikontrol dengan
baik mengakibatkan adanya perubahan, maka akan ada pengaruh terhadap motivasi
berprestasi dari seorang karyawan.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa self-efficacy mempengaruhi
aspek komitmen afektif. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Alam (2016) dalam penelitiannya yang mengatakan bahwa Self-efficacy memiliki
hubungan positif dan signifikan terhadap komitmen afektif, yang berarti bahwa
semakin tinggi Self- efficacy dari karyawan maka semakin tinggi pula komitmen
afektifnya. Sebaliknya semakin rendah Self-efficacy maka semakin rendah pula
komitmen afektifnya.
33
Pada aspek kedua yaitu komitmen berkelanjutan, yang merupakan nilai
ekonomis yang didapat seorang karyawan. Karyawan memilih bertahan pada suatu
perusahaan karena mendapat keuntungan-keuntungan tertentu bila dibandingkan
karyawan tersebut keluar atau berpindah ke perusahaan lain (Robbins dan Judge,
2008). Komitmen berkelanjutan merupakan sebuah persepsi dari karyawan, yang
berkembang berdasarkan kepuasan dan kecukupan imbalan yang diperoleh seorang
karyawan. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Stevens, dkk dalam Agarwal dan
Mirshra (2016), yang mengatakan bahwa komitmen berkelanjutan secara umum
berkembang melalui rasional ekonomi.
Pada aspek ini belum ada teori yang secara relevan menjelaskan hubungan
langsung antara self-efficacy terhadap komitmen berkelanjutan, maupun hal-hal yang
terkait dengan nilai ekonomi yang didapat oleh seorang karyawan. Selanjutnya
melalui penelitian Agarwal dan Mirshra (2016) yang meneliti tentang hubungan
antara self-efficacy dengan komitmen kerja dan aspek-aspek komitmen kerja, dengan
metode statistic diperoleh hasil secara positif dan signifikan terdapat hubungan
antara self-efficacy dengan komitmen berkelanjutan, dan terdapat hubungan yang
positif dan signifikan pula self-efficacy terhadap komitmen afektif maupun komitmen
normatif. Lebih jelas Bidokhti dalam Agarwal dan Mirshra (2016) mengatakan
bahwa ketika seseorang percaya akan kemampuannya dan yakin melakukan sesuatu
hal berdasarkan rasional, maka akan timbul kekuatan yang akan meningkatkan
prestasi kerja yang maksimal. Prestasi kerja yang baik, akan menghasilkan
34
kompensasi yang sesuai berbentuk upah atau gaji yang sesuai terhadap hasil kerjanya
( Malik, 2010).
Aspek selanjutnya adalah komitmen normatif, yang merupakan rasa tanggung
jawab secara moral untuk tetap bertahan dalam perusahaan, komitmen normatif
merupakan pemikiran, dan keyakinan karyawan tentang apa yang benar (Allen dan
Mayer, 1990). Sementara self-efficacy membantu seorang individu mencapai
kematangan emosional dan mendapatkan ketenangan dalam berpikir sehingga
meminimalkan kesalahan dalam memilih tindakan (Saremi dan Rezeghi, 2015).
Aspek ini, merupakan aspek yang penting, karena komitmen normatif
berdampak pada kehadiran kerja, kualitas kerja, serta keinginan untuk
mengembangkan kemampuannya (Don, 2007). Untuk itu sangat diperlukan
karyawan yang memiliki self-efficacy yang tinggi, karena karyawan dengan self-
efficacy yang tinggi akan memunculkan rasa berdaya terhadap tugas yang
dihadapkan kepadanya, dan akan membantu individu memperbaiki situasi-situasi
yang tidak sesuai dengan harapannya (Susilowati, 2007). Rendahnya self-efficacy
juga dapat mempengaruhi keinginan untuk keluar atau berpindah, dan mengabaikan
kewajibannya, dikarenakan terdapat kesalahan berpikir, menurut Bandura (1997)
individu dengan self-efficacy yang lemah memiliki pengharapan yang kurang dan
akan mudah digoyahkan pendiriannya, serta timbulnya kesalahan kognitif yang
menyebabkan munculnya kecerobohan dalam mengambil keputusan.
Dari beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, menunjukkan bahwa
self-efficacy berpengaruh pada komitmen kerja karyawan. Self-efficacy menjadi
35
fondasi pada kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan dan memperoleh kestabilan
produktivitas. Hal tersebut sama dengan pendapat Bandura (dalam Wijayanti, 2013)
mengatakan bahwa self-efficacy dapat membentuk perilaku yang pada akhirnya dapat
menggerakkan keputusan, motivasi dan sumber daya yang dibutuhkan pada kondisi
situasional untuk mencapai tujuan.
Pengaruh self-efficacy secara langsung terhadap komitmen kerja diungkapkan
oleh Lukmadana (2012), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi self- efficacy
karyawan maka semakin tinggi pula komitmen kerjanya. Penelitian lain tentang
pengaruh Self-efficacy terhadap komitmen kerja juga diungkapkan oleh Asih dan
Dewi (2017) dalam penelitiannya, yang mengatakan bahwa self-efficacy memiliki
pengaruh positif terhadap komitmen kerja karyawan. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Subagyo (2014) yang menyimpulkan, bahwa semakin tinggi
tingkat self-efficacy karyawan maka semakin tinggi pula komitmen kerjanya, hal itu
dikarenakan karyawan dengan tingkat self-efficacy tinggi akan mempunyai motivasi
positif menyelesaikan tugasnya, dan tidak memiliki motivasi untuk meninggalkan
pekerjaannya.
36
D. Kerangka Berfikir
KARYAWAN OUTSOURCING
Ketidakjelasan status
Dan jenjang profesi
Kekawatiran diberhentikan
sewaktu-waktu
RENDAHNYA SELF-EFFICACY
• Kurangnya motivasi
• Tidak ada tujuan yang jelas
• Emosi tidak stabil
• Mudah menyerah
Komitmen afektif
(affective commitment)
• Hilangnya ikatan
emosional
• Kurangnya
keterlibatan kerja
• Kurangnya
keterlibatan kerja
Komitmen berkelanjutan
(continuance commitment)
• Ketidak puasan
terhadap imbalan
Komitmen normatif
(normative commitment)
• Kesalahan mengambil
keputusan
• Kurangnya tanggung
jawab
KOMITMEN KERJA RENDAH
• Ketidakpuasan kerja
• Tidak maksimalnya kinerja
• Keinginan untuk berpindah atau
keluar
37
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat
hubungan yang positif antara self-efficacy dengan komitmen kerja pada karyawan
outsourcing. Artinya semakin tinggi self-efficacy karyawan outsourcing, maka
semakin tinggi pula komitmen kerjanya begitu juga sebaliknya, semakin rendah
self-efficacy karyawan outsourcing maka semakin rendah pula komitmen kerja
yang dimilikinya.
Top Related