15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUHT,
yaitu: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Adrian Sutedi membedakan jaminan menjadi dua yaitu jaminan
yang lahir dari undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang
lahir karena perjanjian.8 Jaminan umum adalah jaminan yang adanya telah
ditentukan Undang-Undang, Contohnya adalah pada Pasal 1311
KUHPerdata, Pasal 1232 KUHPerdata, dan Pasal 1311 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa kekayaan Debitur, baik berupa benda bergerak dan
tidak bergerak, yang telah ada dan yang akan datang dikemudian hari
walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, maka akan secara hukum
menjadi jaminan seluruh utang Debitur. Sedangkan jaminan khusus adalah
jaminan yang timbul karena adanya perjanjian terlebih dahulu, yaitu
perjanjian yang ada antara Debitur dengan pihak perbankan atau pihak
ketiga yang menanggung utang Debitur. 9
8 Adrian Sutedi. 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21. 9 Ibid. Hlm. 27.
16
Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perseorangan
dan jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan memberikan
hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat yang
melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan, sedangkan jaminan
perseorangan bersifat tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda
tertentu tetapi hanya terbataspada harta kekayaan seseorang lewat orang
yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan. 10
Menurut sifatnya perjanjian dibagi dua yaitu pokok dan perjanjian
accesoir. Perjanjian pokok adalah perjanjian utama yang dilakukan oleh
Debitur dengan lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non bank
yang diperuntukkan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga
keuangan. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Sedangkan
perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang dibuat disamping
perjanjian pokok yang bertujuan untuk memberikan kekuatan tambahan
bagi perjanjian pokoknya. Perjanjian accesoir bersifat melekat dengan
perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian pokoknya telah usai
maka secara otomatis perjanjian accesoir juga telah berakhir, begitu juga
apabila perjanjian pokoknya berpindah maka perjanjian accesoir-nya ikut
pula berpindah. Contoh dari perjanjian accesoir adalah perjanjian
pembebanan jaminan seperti perjanjian gadai, hak tanggungan, fidusia.11
Sri Soedewi dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan di
Indonesia menyatakan bahwa dalam praktek perbankan perjanjian 10 Salim, HS. 2007, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 7. 11 Ibid. Hlm. 23.
17
pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka
kredit oleh bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa
pembebanan hak tanggungan pada suatu objek benda tertentu yang
mempunyai tujuan sebagai penjaminan kekuatan dari perjanjian
pokoknya.12 Selain hak tanggungan, adapula fidusia, gadai, Borgtocht, dan
lain-lain. Perjanjian penjaminan sendiri mempunyai kedudukan sebagai
perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir yang dikaitkan dengan
perjanjian pokok tersebut. kedudukan perjanjian penjaminan yang
dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir itu memberikan kuatnya
lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditur.
2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan
Pasal 9 UUHT, yaitu menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT “Pemberi Hak
Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.” Pada Pasal 9 UUHT menyebutkan
bahwa: “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.” Sehingga
dapat disimpulkan bahwa subjek hak tanggungan merupakan pemberi dan
pemegang hak tanggungan yaitu para pihak yang mempunyai kepentingan
berkaitan dengan perjanjian utang piutang yang dijamin pelunasanya.
Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yaitu
12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.1980, Hukum Jaminan di Indonesia, pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, C.V Bina Usaha, Yogyakarta. Hlm. 37.
18
hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya
dapat dipindah tangankan. Selain hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal
4 ayat (2) yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut hak pakai
atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan
menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat
juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil
karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang dan
peringkatnya masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan sesuai
dengan tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Dalam hal apabila
didaftarkan dengan tanggal yang sama maka melihat pada Akta
Pembebanan Hak Tanggungan, dan apabila suatu objek hak tanggungan
dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan sehingga terdapat pemegang
hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dan peringkat
seterusnya.13
13 M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 28.
19
3. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Tahap pembebanan Hak tanggungan didahului dengan janji akan
memberikan hak Tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang
Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian-perjanjian piutang.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu
sebagai berikut:14
a. Tahap Pembebanan Hak Tanggungan
Menurut pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan,
“pemberian hak tanggungan dilakukan denga Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas
tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan ha katas tanah, sebagai
bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam
daerah kerjanya masing-masing.
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan,
“pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan”. Pasal 13 ayat (2) menyatakan selambat-lambatnya tujuh
(7) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib
mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang
14 Sutardja Sudrajat. 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbit Sertifikatnya, Mandar Maju, Bandung. Hlm. 54.
20
diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud
meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak
tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk
didalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan
mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal
tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut
akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jabatan PPAT.15
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan
dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam
buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak aatas tanah yang
bersangkutan. Menurut ketentuan pasal 14 ayat (1) Undang-undang Hak
Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan,
Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak tanggungan. Hal ini berarti
sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh
karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu
yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang
menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya
dalam buku tanah hak tanggungan.16
4. Eksekusi Hak Tanggungan
Sebelum membahas mengenai Eksekusi Hak Tanggungan, maka 15 Ibid. 16 Boedi Harsono dan Sudarianto. 1996, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Makalah Seminar Nasional, Bandung. Hlm. 17.
21
perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari eksekusi itu
sendiri. Pengertian lebih lanjut mengenai eksekusi menurut beberapa ahli
hukum, akan penulis kemukakan pada sub-sub selanjutnya. Namun untuk
memberikan pemahaman tentang perngertian eksekusi ini penulis
mengambil pendapat Subekti17 dan Salim18 yang memberikan pengertian
eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Objek dari eksekusi adalah salinan putusan dan
grosse akta (salinan pertama dari akta otentik). Grosse akta dapat
disamakan kekuatannya dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Sudikno Mertokusumo juga mengartikan eksekusi sebagai
pelaksanaan putusan. Menurut beliau terdapat beberapa jenis pelaksanaan
putusan (eksekusi) yaitu sebagai berikut19:
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah
membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196
HIR (Pasal 208 RBg);
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR (pasal 259 RBg).
Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang
berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat
17 Subekti. 1977, Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta. Hlm.128. 18 H. Salim HS. 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta. Hlm. 188. 19 Sudikno Mertokusumo. 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Hlm. 240.
22
minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya
dinilai dengan uang.
c. Eksekusi riil. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung.
Jadi eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan yang menuju
kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara
sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka
yang berhaklah yang menerima prestasi. Prestasi yang terhutang
seperti yang telah kita ketahui misalnya pembayaran sejumlah
uang, malakukan suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat,
menyerahkan benda. Dengan demikian maka eksekusi mengenai
ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil. Eksekusi
riil ini tidak diatur dalam HIR tetapi diatur dalam 1033 RV. Yang
dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh pasal 1033 RV adalah
pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan
benda tetap tidakmau memenuhi surat perintah hakim, maka hakim
akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita supaya dengan
bantuan alat kekuasaan Negara, agar barang tetap itu dikosongkan
oleh orang yang dihukum besrta keluarganya. HIR hanya mengenal
eksekusi riil dalam penjualan lelang sebagaimana diatur dalam
pasal 200 ayat 11 HIR, Pasal 218 ayat 2 RBg.
d. Eksekusi Langsung. Disamping ketiga jenis eksekusi diatas, masih
dikenal apa yang dinamakan “parate executie” atau eksekusi
23
langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual
barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel
eksekutorial (Pasal 1155, 1175 ayat 2 KUHPerdata).
Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20 Undang-undang
Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1) :
“Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungandijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalamperaturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungandengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
Pasal 20 Ayat (2) :
“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semua pihak.
Pasal 20 Ayat (3) :
“Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak Tangunggan
tersebut Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara,
yaitu :
24
1. Pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 Undang0undang Hak Tanggungan.
2. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Irah –irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak
Tanggungan memuat kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dimaksudkan untuk menegaskan
asanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga
apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie
sesuai dengan Hukum Acara perdata, atau
3. Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang
dilakukan oleh Pemberi hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan
dengan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh
herga yang tertinggi.
B. Tinjauan Umum Tentang Lelang Sebagai Eksekusi Objek Hak
Tanggungan
1. Pengertian Lelang
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Hak Tanggungan dikatakan mempunyai kekuatan Eksekutorial
25
ketika dapat dijadikan pembayaran hutang dengan cara melalui pelelangan
umum. Pelelangan dilakukan menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan.
Pengertian lelang (penjualan dimuka umum) diatur dalam Pasal 1
Vendu Reglement S.1908 No.189, bahwa lelang adalah penjualan barang-
barang yang dilakukan di depan umum dengan harga penawaran yang
meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul
tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya
diberitahukan mengenai lelang atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut
serta, dan diberikan kesempatan untuk menawar harga dalam sampul
tertutup20. Pengertian lelang secara umum adalah penjualan di muka
umum yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan penawaran harga secara
terbuka atau lisan, tertutup atau secara tertulis. Lelang dilakukan dengan
pengumuman lelang serta dilakukan pada saat dan tempat yanng telah
ditentukan (Departemen Keuangan, 1995:1).
Dasar hukum pelaksanaan lelang dilihat dari sejarah hukumnya
diatur dalam Peraturan Lelang (Vendu Reglament) staatsblad 1908
(Stb.1908) nomor 189 yang kemudian dirubah dengan Stb.1940 nomor 56
yang merujuk pada Pasal 200 ayat (1) HIR. (Harahap, 1991:114). Pasal
200 ayat (1) HIR berisi ketentuan:
Penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor
20 Salbiah, 2004, Materi Pokok Pengetahuan Lelang, Pusat Pendidikan dan Palatihan Perpajakan, Jakarta. Hlm. 2-3.
26
lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua,
oleh orang yang melaksanakan penyitaan itu atau orang lain yang
cakap dan dapat dipercaya,yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan
berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di
dekat tempat itu.
Sehingga dalam menjalankan lelang tidak hanya mendasarkan
kepada Pasal 200 ayat 1 (HIR) saja namun terdapat peraturan yang
mengatur secara spesifik lelang sebagaimana dalam Stb 1908 dan Stb
1949.
Di samping dasar hukum yang merupakan hukum yang bersifat
khusus Lelang tersebut ternyata mempunyai tugas atau peran tersendiri
dalam sistem hukum nasional, terbukti dengan adanya atau digunakannya
cara pelelangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan Secara khusus ketentuan Bab V Pasal 20 UUHT mengatur
tentang eksekusi hak Tanggungan.
Eksekusi dalam bahasa Belanda disebut Executie atau Uitvoering,
dalam kamus hukum diartikan sebagai Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna
mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum,
memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan21.
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan yang tetap, sedangkan obyek eksekusi adalah grosee akte karena
memuat titel Eksekutorial.
Lebih lanjut dikemukakannya bahwa Pengertian Eksekusi atau 21 Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung. Hlm. 128.
27
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus
dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kekuatan
hukum ini dimaksudkan pada polisi, kalau perlu polisi militer22. Eksekusi
adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara
lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, Eksekusi tiada
lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari seluruh proses hukum
acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR/Rbg.23
Pengertian Eksekusi adalah sebagai pelaksanaan putusan, dan
terdapat beberapa pelaksanaan jenis putusan yaitu eksekusi langsung
dikenal dengan nama “Parate Executie” atau eksekusi
langsung. 24 Pengertian Lelang Eksekusi dalam Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan MenteriKeuangan Nomor 93/PMK.06/2010,
adalah lelang untuk melaksanakan Putusan atau Penetapan Pengadilan,
dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan atau
melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pada
prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan
umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang
paling tinggi untuk obyek hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil
22 Ibid. hlm. 130. 23 Yahya Harahap, 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta. Hlm. 1. 24 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Hlm. 240.
28
pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak
Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang
tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai Tanggungan, sisanya
menjadi hak pemberi hak Tanggungan. Ketentuan tentang lelang eksekusi
hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT merupakan
perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para
kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam hal harus dilakukan
eksekusi.(Penjelasan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUHT).
Praktiknya pada Lelang eksekusi tidak jarang terjadi benturan
pemahaman oleh hakim. Hakim yang berani meletakan sita eksekusi atas
Hak Tanggungan yang dipegang oleh sebuah bank negara, bahkan
difdaftarkan dan sita eksekusi atas barang yang sudah diletakkan sita oleh
PUPN (Pejabat Urusan Piutang Negara). PUPN dan kantor lelang juga
kurang paham dengan asas-asas yang berlaku pada penyitaan, maka
Executoriale Verkoop atas barang Hak Tanggungan tersebut dihentikan,
karena takut berbenturan dengan tindakan penyitaan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri.25
Peraturan lelang secara resmi masuk di dalam perundang –
undangan di Indonesia sejak tahun 1908. Peraturan lelang yang pertama
kali dipergunakan adalah Vendu Reglement berarti Peraturan lelang.
Vendu Reglement (Peraturan lelang stb Tahun 1908 Nomor 189) yang saat
ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang –Undang
25 Yahya Harahap, Loc.cit
29
Dasar 1945. Lembaga lelang diadakan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat melakukan penjualan secara lelang. Di dalam
penegakan hukum juga diperlukan lembaga lelang dalam menyelesaikan
sengketa di Pengadilan.
Lelang yang diatur dalam Vendu Reglement Stb 1908 Nomor 189
merupakan warisan kolonial yang sampai saat ini masih berlaku.
Perubahan telah terjadi dalam peraturan lelang khususnya mengenai
peraturan pelaksana lelang. Meskipun sudah ada perubahan dalam
peraturan lelang dasar pelaksanaan lelang masih mengacu kepada Vendu
Reglement.
Lelang pada dasarnya merupakan salah satu cara untuk melakukan
jual beli. Menurut ketentuan Pasal 1457 BW yaitu, jual beli adalah
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga
yang dijanjikan. Lelang pada prinsipnya mengandung unsur- unsur yang
tercantum di dalam pengertian jual beli. Jual beli memberikan syarat
adanya subyek hukum berupa penjual dan pembeli. Syarat tersebut juga
terdapat dalam proses lelang.
Pengertian lelang menurut Vendu Reglement Stb Tahun 1908
Nomor 189 yang diubah dengan Stb 1940 Nomor 56 adalah;
Penjualan umum adalah pelelangan atau penjualan benda-benda yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup,atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu,atau diizinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar
30
harga,menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.
Pengertian lelang menurut pendapat polderman sebagaimana
dikutip oleh Rohmat Soemitro (1987:154) penjualan umum adalah alat
untuk mengadakan perjanjian menguntungkan si penjual dengan cara
menghimpun para peminat. Menurut Purnama Tioria Sianturi (2013:53)
mengutip pendapat Tim Penyusun Rancangan Undang –Undang Lelang
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Biro Hukum- Sekretariat
Jenderal Dapartemen Keuangan, lelang adalah cara penjualan barang yang
terbuka untuk umum dengan penawaran secara kompetisi yang didahului
dengan pengumuman lelang atau upaya mengumpulkan peminat.
2. Pengertian Lelang Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Lelang eksekusi juga tidak dapat dipisahkan dengan penjualan
karena lelang eksekusi sebenarnya adalah bentuk penjualan yang
dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan hak diutamakan menurut
undang-undang.26 Lelang eksekusi menurut jenisnya terdapat dua jenis
lelang eksekusi yaitu lelang eksekusi Pengadilan Negeri dan Lelang
Eksekusi Hak Tanggungan. Menurut Sianturi (2013:72), lelang eksekusi
Pengadilan Negeri adalah lelang yang dimintakan oleh panitera Pengadilan
Negeri untuk melaksanakan putusan hakim pengadilan yang telah
berkekuatan tetap Sedangkan Lelang eksekusi hak Tanggungan
merupakan implementasi Pasal 6 UUHT, pelaksanaannya tidak
memerlukan penetapan pengadilan, tetapi dengan penjualan secara lelang
26 Soemitro Rochmat, 1987, Peraturan dan Instruksi Lelang, Eresco, Bandung. Hlm 154.
31
melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.
Pengertian Lelang Eksekusi dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang
petunjuk pelaksanaan lelang yaitu:
lelang untuk melaksanakan Putusan atau Penetapan Pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya setiap eksekusi hak Tanggungan harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek hak Tanggungan.
Hasil penjualan lelang eksekusi obyek hak Tanggungan
diharapkan memberikan keuntungan bagi para pihak baik pemohon lelang
eksekusi maupun termohon lelang eksekusi. Penjualan terhadap obyek hak
Tanggungan melalui lelang eksekusi dapat diperoleh nilai yang maksimal
sehingga termohon lelang atau debitor kredit masih mendapatkan sisa
penjualan.
Pelaksanaan lelang eksekusi sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka
4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang merupakan implementasi Ketentuan tentang
lelang eksekusi hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf
b UUHT yang menentukan bahwa :
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
32
Lelang sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf b
UUHT pada prinsipnya termasuk perjanjian jual beli. Dalam proses lelang
eksekusi obyek hak Tanggungan, terdapat pembeli dan penjual yang
dalam hal ini penjual telah diwakilkan kepada Kantor Lelang. Ketentuan
Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang mempergunakan pelelangan umum
dengan istilah lelang eksekusi.
Lelang eksekusi merupakan pelaksanaan penjualan lelang secara
umum terhadap hak Tanggungan ketika debitor telah ingkar janji. Lelang
eksekusi terhadap Obyek hak Tanggungan didasarkan pada sertifikat hak
Tanggungan yang memuat irah -irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kekuatannya sama dengan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Di dalam eksekusi dikenal istilah “Parate Executie” atau eksekusi
langsung tanpa fiat eksekusi pengadilan. Lelang eksekusi yang dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT termasuk ke dalam parate eksekusi,
karena debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka eksekusi melalui
lelang tanpa pengadilan. Eksekusi langsung biasanya terkait dengan hak
istimewa yang diperjanjikan terlebih dahulu dan mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Pelaksanaan lelang eksekusi obyek hak Tanggungan secara
langsung tanpa melalui pengadilan. Tanpa adanya “irah-irah” titel
eksekutorial maka sertifikat hak Tanggungan maka eksekusi langsung
33
tidak dapat dijalankan. Lelang eksekusi obyek hak Tanggungan tetap
harus mempertimbangkan ketentuan Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya
perjanjian. Hal ini sesuai dengan pendapat Polderman yang mensyaratkan
3 hal dalam lelang yaitu: (Soemitro, 1987: 154).
a. Dokumen Penjualan harus selengkap mungkin.
b. Ada kehendak penjual dan pembeli
c. Bahwa pihak lainnya (Pembeli) yang akan ikut dalam atau
melakukan perjanjian lelang tidak dapat ditunjuk sebelumnya
3. Asas-asas Dalam Lelang
Menurut FC Ngadijarno dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang
lelang dapat ditemukan adanya asas lelang yaitu :
a. Asas Keterbukaan asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara (vide Penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 Tahun
1999). Asas ini dipenuhi oleh ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan lelang yang menentukan bahwa setiap
pelaksanaan lelang harus didahului dengan PENGUMUMAN
LELANG. Pengumuman lelang berperan sebagai sumber bagi
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang pelaksanaan lelang.
b. Asas Keadilan Mengenai tujuan hukum pada umumnya,
34
Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya yang berjudul
Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya
keadilan. Tujuan Undang-Undang Lelang adalah membuat adanya
keadilan dalam pelaksanaan lelang. Dalam proses pelaksanaan
lelang harus memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi
setiap pihak yang berkepentingan dan diberlakukan sama kepada
masyarakat pengguna jasa lelang. Asas ini menghendaki para pihak
memenuhi dan melaksanakan isi lelang yang tercantum dalam
Risalah Lelang, yang mempunyai kekuatan untuk menuntut
prestasi secara adil dari para pihak dan memikul kewajiban untuk
melaksanakan isi Risalah Lelang itu dengan itikad baik (good
faith). Black’s Law Dictionary memberikan pengertian itikad baik
adalah “in or with good faith; honestly, openly, and sincerely;
without deceit or fraud. Truly; actually; without simulation or
pretense”. Bukan hanya ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Risalah Lelang yang wajib ditaati oleh para pihak,
melainkan juga itikad baik sebagai ketentuan-ketentuan yang tidak
tertulis, yaitu kepatutan, kejujuran, tanpa tipu muslihat, dan tidak
menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat
menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pihak-pihak lain.
c. Asas kepastian hukum: adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
35
negara (vide: Penjelasan Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999).
Dalam setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh
Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik peralihan hak (acta
van transport) atas barang sekaligus sebagai alas hak penyerahan
barang. Tanpa Risalah Lelang, pelaksanaan lelang yang dilakukan
oleh Pejabat Lelang tidak sah (invalid). Pelaksanaan lelang yang
demikian tidak memberi kepastian hukum tentang hal-hal yang
terjadi, karena apa yang terjadi tidak tercatat secara jelas sehingga
dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu, Risalah
Lelang sebagai figur hukum yang mengandung kepastian hukum
harus diaktualisasikan dengan tegas dalam undang-undang yang
mengatur tentang lelang.
d. Asas efisiensi dalam lelang akan memberikan jaminan pelayanan
penjualan dengan cepat dan mudah karena dilakukan pada
waktu dan tempat yang telah ditentukan, pengesahan sebagai
Pembeli dilakukan pada saat itu juga, dan penyelesaian
pembayaran dilakukan secara tunai serta biaya yang relatif murah.
Asas efisiensi ini juga akan menjamin pelaksanaan lelang menjadi
media terbaik dalam proses jual beli sebab potensi harga terbaik
akan lebih mudah dicapai dikarenakan secara teknis dan psikologis
suasana kompetitif tercipta dengan sendirinya. Dengan demikian
akan terbentuk iklim pelaksanaan lelang yang adil, kondusif, dan
berdaya saing.
36
e. Asas akuntabilitas: adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal
3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999).Dengan demikian, asas ini
menghendaki agar lelang yang dilaksanakan dapat
dipertanggungjawabkan oleh Pejabat Lelang, Penjual dan
Pembeli kepada semua pihak yang berkepentingan dan
masyarakat. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang: administrasi
lelang dan pengelolaan uang lelang. Pertanggungjawaban Penjual:
dalam rangka penghapusan, pelaksanaan eksekusi, atau
kepentingan lainnya. Pertanggungjawaban Pembeli: kewajiban
dalam pelunasan pembayaran harga pokok lelang, pembayaran Bea
Lelang, dan pembayaran pajak-pajak yang dikenakan atas
pelaksanaan lelang.
4. Akibat adanya Wanprestasi
ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
a. Perikatan tetap ada.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243
KUH Perdata).
c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu
timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada
37
kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh
karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra
prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan
kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur
yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu:
a. Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita
oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata).
b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-
kerugian (pasal 1267 KUH Perdata).
c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya
wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata).
d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim
(pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak
memenuhi kewajibannya swbagaimana mestinya dan tidak
dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure salah padanya, maka
seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang atas
tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
38
Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam
hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur
berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-
ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan,
bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi
tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu
berupa perjanjian timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266
sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian,
dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.
C. Tinjauan Umum Tentang Akta Risalah Lelang dalam Kedudukannya Sebagai Akta Otentik 1. Perbandingan Akta Otentik dan Akta Risalah Lelang
Menurut hukum, bahwa Risalah Lelang termasuk kategori akta
authentik. Syarat-syarat sebagai Akta adalah:
a. Surat harus ditanda tangani
b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atas
suatu perikatan.
c. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.27
Risalah Lelang jika dihubungkan dengan definisi akta sebagaimana
telah disebutkan diatas yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa setiap Risalah Lelang harus ditandatangani oleh para pihak
baik Pejabat Lelang, Penjual maupun Pembeli (vide Pasal 38 Vendu
Reglement):
27 Ibid. Hlm. 259.
39
b. Isi Risalah Lelang adalah Berita Acara dari peristiwa atau apa yang
terjadi dan dialami para pihak yaitu jual beli dimuka umum/lelang.
Sehingga isi Risalah Lelang tersebut merupakan rangkaian peristiwa
yang menjadi dasar sesuatu hak atas suatu perikatan.
c. Risalah Lelang dari semula dibuat oleh pejabat lelang memang
dimaksudkan sebagai bukti yang sah sesuai pengertian dari Risalah
Lelang itu sendiri.28
Berdasarkan Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
tersebut di dapat dijelaskan bahwa terdapat dua macam akta yaitu Akta
Authentik (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Akta
dibawah tangan (Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pasal
1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“Suatu Akta Authentik memberikan di antara para pihak beserta ahli
waris-ahli warisnya atau orang- orang yang mendapat hak dari mereka,
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”
Akta authentik merupakan bukti yang sempurna yaitu perjanjian yang
dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak,
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak dan
persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2. Pembuktian Akta Risalah Lelang sebagai Akta Otentik
Seperti yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata, Akta Risalah Lelang menjadi Akta Authentik yaitu apabila:
28 Ibid. Hlm. 260.
40
a. Dibuat oleh Pejabat Umum yang diangkat oleh Pemerintah.
b. Bentuk aktanya telah ditentukan dalam Undang-undang.
c. Setiap Pejabat Lelang mempunyai wilayah kerja tertentu.29
Sesuai penjelasan di atas mengenai macam-macam akta khususnya
akta authentik serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut,
kaitannya dengan Risalah Lelang maka akan timbul pertanyaan apakah
Risalah Lelang merupakan akta authentik atau bukan.
Dalam hal ini akan dijelaskan Risalah Lelang yang merupakan produk
hukum Pejabat Lelang, statusnya sama dengan akta authentik karena
memenuhi syarat-syarat sebagai suatu akta authentik. Namun sebelumnya
kita perlu memahami proses dalam pelaksanaan lelang sehingga pada
akhir pelaksanaan lelang akan dibuatkan sebuah berita acara yaitu Akta
Risalah Lelang.
Prosedur jual beli lelang meliputi kegiatan persiapan lelang,
pelaksanaan lelang, dan purna lelang yang meliputi sebagaiberikut:
1) Persiapan Lelang, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan yaitu:
a. Permohonan Lelang, diajukan secara tertuliskepada Kepala
KPKNL
b. Waktu dan Tempat Lelang
c. Pelaksanaan Lelang di Luar Hari dan Jam Kerja
d. Lelang di Luar Wilayah Kerja KPKNL 29 Ibid. Hlm 262-263.
41
e. Syarat-syarat umum pada prinsipnya dalam setiap pelaksanaan
lelang
f. Permintaan Surat Keterangan Tanah (SKT)
g. Tata Cara Pengumuman Lelang
h. Uang Jaminan
i. Harga Limit
j. cara penawaran
2) Pelaksanaan Lelang, terdiri dari:
a. Siapapun yang berminat untuk melakukan penjualan barang secara
lelang harus mengajukan permohonan lelang kepada
KPKNL/pejabat Lelang Kelas I setempat. Setiap permohonan
lelang harus dilengkapi dengan dokumen yang berkaitan dengan
barang yang akan dilelang, serta bukti- bukti kewenangan (sudah
diperjanjikan oleh debitor dan kreditor dalam APHT untuk obyek
hak tanggungan) menjual dari pemohon lelang, dan harus sudah
diserahkan ke KPKNL paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan lelang.
b. Pemohon lelang dapat menentukan syarat-syarat lelang asalkan
persyaratan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan lelang
yang berlaku dan harus diserahkan selambat-lambatnya 3 (tiga)
hari sebelum pelaksanaan lelang.
c. Setelah KPKNL meneliti permohonan lelang beserta kelengkapan
dokumen dan memperoleh keyakinan atas legalisasi subyek dan
42
obyek lelang, maka waktu dan tempat pelelangan ditetapkan oleh
KPKNL/Pejabat Lelang Kelas II dengan memperhatikan keinginan
Pemohon Lelang/Penjual. Pemohon Lelang wajib mengumumkan
lelang barang- barang yang akan dilelang di surat kabar harian dan
atau media cetak/elektronik lainnya. Pemohon Lelang berhak
untuk membatalkan lelang dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari
sebelum waktu pelaksanaan lelang, namun dikenakan Bea Lelang
Pembatalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2003 tanggal 31 Juli 2003 tentang Pemungutan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebesar Rp.50.000,-.
3) Pasca/Purna Lelang terdiri dari:
a. Pembayaran dan penyetoran uang hasil lelang.
b. Pembukuan dan Laporan.
c. Lelang Tidak ada Penawaran dan Lelang Ditahan.
d. Penundaan dan Pembatalan Lelang.
e. Keberatan/Sanggahan/Gugatan/Intervensi Pihak Ketiga.
Melihat pengertian dan ciri-ciri akta authentik serta wewenang pejabat
umum dalam membuat sebuah akta authentik serat proses lelang secara
berurutan, dalam penerapannya juga dilakukan dalam Akta Risalah
Lelang, maka dari itu dalam hal ini terdapat ciri-ciri tersendiri dalam
sebuah Akta Risalah Lelang yaitu:
a. Setiap Risalah Lelang harus ditandatangani Pejabat Lelang dan para
43
pihak.
b. Isi Risalah Lelang merupakan suatu perikatan atau peristiwa penjualan
di muka umum.
c. Risalah lelang dibuat sebagai alat bukti. Pasal 165 HIR/ Pasal 285
RBG.
Dalam pembuatan Akta Risalah Lelang pasti juga melibatkan seorang
pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini yaitu Pejabat Lelang yang
membuat akta Risalah Lelang. Mengenai Pejabat Lelang tersebut harus
berwenang:
a. Sepanjang Akta yang dibuat adalah Akta Risalah Lelang;
b. Sepanjang Akta Risalah Lelang dibuat dalam wilayah kerjanya;
c. Sepanjang pejabat lelang menjabat sebagai pejabat lelang;
d. Pejabat Lelang hanya berwenang membuat Akta Risalah Lelang bagi
pengguna jasa lelang.
Oleh karena pembuatan akta authentik termasuk pembuatan Risalah
Lelang, kemudian dibacakan dan diberikan kesempatan kepada para pihak
untuk menanyakan apa-apa yang belum jelas sebelum akta tersebut
ditandatangani. Dalam hal ini Akta Risalah Lelang pada dasarnya
dikatakan sebagai akta authentik apabila dalam penjualan lelang terjadi
transaksi jual beli karena barang laku terjual. Apabila tidak laku, maka
Akta Risalah Lelang merupakan berita acara lelang sesuai dengan pasal 35
Vendu Reglement yaitu berita acara tanpa ada penawaran.
44
3. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Dalam Akta Risalah Lelang
Berdasarkan Pasal 164 HIR yang disebut bukti adalah: surat,
keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.Selain itu yang
termasuk alat bukti berdasarkan Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, terhadap Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah. Akan tetapi bukti yang terutama adalah bukti
tertulis, yaitu akta sebagai bukti tertulis diatur dalam Pasal 1867 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang bunyinya sebagai berikut:
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan authentik maupun
dengan tulisan dibawah tangan”.
Unsur-unsur dalam Pasal 1868 Kitab Undang- undang Hukum
Perdataapabila diterapkan dalam Risalah Lelang maka terdapatpembuktian
bahwa risalah Lelang merupakan Akta Authentik, yaitu: Risalah Lelang
dibuatdalam bentuk yang ditentukan undang-undang (Pasal 37, 38, 39,
Vendu Reglement/Peraturan Lelang);
1) Pembuatan Risalah Lelang dilakukan dihadapan atau oleh Pejabat
Lelang;
2) Pejabat Lelang yang membuat Akta Risalah Lelang memiliki
wewenang:
a. Membuat Akta yang dibuatnya (Pejabat Lelang kelas II
berwenang membuat Risalah Lelang dan jenis Lelang
Sukarela)
45
b. Saat akta itu dibuat (masih aktif sebagai Pejabat Lelang atau
tidak)
c. Dimana akta itu dibuat (terkait dengan wilayah jabatan) Untuk
siapa akta itu dibuat (untuk kepentingan pengguna jasa lelang).
Tentang ketentuan dari akta authentik sebagai alat pembuktian
terdapat pada hukum pembuktian (bewijsrecht) yang diatur dalam buku
IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa alat bukti tertulis
khususnya akta authentik dan apa syarat-syaratnya melihat pada Pasal
1869 dan 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1869 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan:
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai
dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat
diperlakukan sebagai akta authentik akan tetapi mempunyai kekuatan
sebagai akta dibawah tangan jika akta itu ditandatangani para pihak”.
Berdasarkan Pasal 1869 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
diatas, ketika suatu akta authentik yang dibuat oleh pejabat umum yang
tidak berwenang untuk itu maka akta tersebut tidak lagi mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta authentik yaitu kekuatan pembuktian
sempurna melainkan hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah
tangan. Pejabat umum yang tidak berwenang dalam hal ini yaitu selain
yang disebutkan dalam PMK No.93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, PMK No.174/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang
46
Kelas I, dan PMK No.175/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang Kelas
II. Demikian pula jika terdapat cacat bentuk dari akta authentik itu,
misalnya bentuknya menyimpang dengan yang telah ditentukan oleh
undang-undang yang bersangkutan maka kekuatan pembuktian yang
sempurna dari akta authentik itu menjadi turun derajatnya menjadi akta
dibawah tangan. Akta authentik itu memberikan kepada para pihak suatu
pembuktian yang mutlak mengenai peristiwa-peristiwa yang disebut
dalam akta itu, dalam pembuktian bahwa apa yang tersebut dalam akta
authentik itu pada pokoknya harus dianggap benar. Ketentuan tersebut
bila dihubungkan dengan Staatblad 1908 No.189 atau Peraturan Lelang
(Vendu Reglement) bisa dilihat dalam pasal-pasal yang mengatur
mengenai Akta Risalah Lelang yaitu Pasal 37, 38, dan 39.
Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa ”Suatu akta authentik memberikan diantara para pihak beserta ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”. Sebagai contoh,
bila akta tersebut merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang
sepakat membuat perjanjian itu, bila terjadi sengketa hukum di kemudian
hari, maka yang tersebut dalam akta otentik itu merupakan bukti yang
sempurna, tidak perlu dibuktikan dengan alat-alat bukti yang lain.
Disinilah arti penting suatu akta otentik dalam sengketa hukum
memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum seperti yang
dimaksud pasal 165 HIR dan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum
47
Perdata.30
Hukum pembuktian adalah bagian dari hukum acara. perdata.
Hukum Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
diatur dalam buku keempat di dalamnya mengandung segala aturan-
aturan pokok pembuktian dalam bidang hubungan keperdataan.31
Pembuktian merupakan suatu proses bagaimana alat- alat bukti
tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan sesuai hukum
acara yang berlaku.32 Lebih lanjut menurut Martiman Prodjohamidjojo
sebagaimana yang dikutip oleh Hari Sasangka dan Lily Rosita
berpendapat bahwa mengemukakan ”membuktikan" mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa
sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.33
Pembuktian didalam persidangan, akta authentik dianggap tidak
dapat disangkal, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini dikarenakan
Pejabat umum dalam membuat akta authentik sesuai dengan apa yang
dilihat, didengar olehnya. Lain halnya dengan akta dibawah tangan yang
mempunyai kekuatan pembuktian jika tanda tangannya diakui atau
dianggap diakui kebenarannya, kemudian didalam Pasal 165 HIR tertulis
bahwa “Akta authentik merupakan bukti yang cukup, yang berarti 30 Ibid. 31 Irawan Soerodjo. 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah, Arloka, Yogyakarta. Hlm.130. 32 Bambang Waluyo. 1996, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 3. 33 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Sinar Wijaya, Surabaya. Hlm. 7.
48
perjanjian yang dinyatakan didalamnya dianggap terbukti nyata, maka
hakim harus mengakui akta authentik.”
Bukti sebaliknya sebagai contoh antara lain memang benar telah
mengadakan perjanjian yang dimuat dalam akta itu, tetapi tidak dengan
sukarela melainkan karena disesatkan, karena dipaksa atau ditipu, bahwa
kewajibannya sudah dipenuhi yang berarti perjanjian itu sudah mati, atau
telah diadakan perjanjian lain yang meniadakan perjanjian itu. Hal-hal
seperti yang dimaksud Pasal 138, 163 HIR, atau Pasal 1865 Kitab
Undang-Undang HukumPerdata, ia harus membuktikan.
Pada Kekuatan pembuktian akta authentik berlaku asas acta
publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya
tampak sebagai akta authentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta
authentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tandatangan
pejabat dianggap sebagai aslinya sampai ada pembuktian sebaliknya.
Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan tentang
authentiknya akta tersebut. Kekuatan pembuktian lahir ini berlaku bagi
kepentingan atau keuntungan setiap orang, dan sebagai alat bukti maka
akta authentik baik akta pejabat maupun akta para pihak
keistimewaannya terletak pada kekuatan pembuktian lahir.
4. Akta Otentik Sebagai Bukti yang Sempurna
Akta authentik mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan
49
sempurna. Mengikat artinya bahwa apa yang dicantumkan dalam akta
tersebut harus dipercaya oleh hakim yaitu dianggap sebagai sesuatu yang
benar, selama ketidak benarannya tidak dibuktikan. Sedangkan yang
dimaksud dengan sempurna artinya bahwa dengan bukti akta authentik itu,
sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu
penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain. Akta authentik
sebagai alat bukti yang sempurna mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian yaitu:
1) Kekuatan pembuktian luar atau kekuatan pembuatan lahir (uit
wedige bewijs kracht) yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan
agar suatu akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.suatu
akta yang lahirnya tampak sebagi akta otentik serta memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau
dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.34
Dalam Akta Risalah Lelang ditunjukkan dengan Pejabat Lelang
melakukan verifikasi mengenai syarat-syarat yang sama dengan
sebagaimana dikatakan dalam akta authentik.
2) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) ialah
kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-
pihak yang menghadap. Akta authentik membuktikan kebenaran
dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini
34 Soegondo Notodiseordjo. 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 55.
50
adalah pembuktian tentang kebenaran daripada keterangan pejabat
sepanjang mengenai apa yang dilakukan dan dilihatnya. Dalam
Akta Risalah Lelang hal pembuktian tersebut dapat dilihat pada
keaslian tanda tangan, nama, dan NIP pejabat lelang yang tertera
pada pojok kanan atas pada tiap lembar Akta Risalah Lelang.
Keaslian tanda tangan pembeli dan penjual lelang. Selain itu juga
terdapat nomor dan tahun Akta Risalah Lelang serta Tanggal dan
tempat Akta Risalah Lelang itu dibuat.
3) Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum kecuali
ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).35 Pada umumnya akta
pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil, karena akta pejabat
tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran apa yang dilihat
dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai
kekuatan pembuktian materil adalah akta yang dilakukan atau
dikeluarkan kantor pencatatan sipil.
Dalam Akta Risalah Lelang terdapat klausul-klausul yang dalam
hukum sering disebut sebagai klausul/perjanjian standar. Pada garis
besarnya sebagai berikut:
1) Klausul kepastian adanya objek lelang serta legalitasnya. Barang
35 Ibid.
51
yang dilelang apa adanya berupa... dan sesuai dengan Surat
Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan... Nomor...
tanggal...yang menerangkan...
2) Klausul uang jaminan lelang Peserta lelang dapat mengajukan
penawaran dalam lelang ini setelah menyetorkan uang jaminan
penawaran lelang sebesar Rp....(...) dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. ......
b. ......
c. ......
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.93/PMK.06/2010
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang besarnya uang jaminan penawaran
lelang ditentukanoleh Penjual/Pemilik Barang paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit.
1. Klausul resiko lelang Penawar / pembeli dianggap sungguh-sungguh
telah mengetahui apa yang telah ditawar olehnya. Apabila terdapat
kekurangan / kerusakan baik yang terlihat ataupun yang tidak terlihat,
maka penawar / pembeli tidak berhak untuk menolak atau menarik diri
kembali setelah pembelian disahkan dan dilepaskan segala hak untuk
meminta kerugian atas suatu apapun juga. Barang yang telah terjual
pada lelang ini menjadi hak dan tanggungan pembeli dan harus dengan
segera mengurus barang tersebut.
2. Klausul kewajiban pembayaran lelang Pembeli tidak diperkenankan
52
mengambil atau menguasai barang yang penawar atau pembeli
melanggar ketentuan ini, maka dianggap telah melakukan suatu tindak
kejahatan yang dapat dituntut oleh pihak yang berwajib.
3. Klausul cara pembayaran lelang Dalam klausul ini terdapat pengaturan
yaitu:
a. Peserta lelang yang telah disahkan sebagai pembeli
bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelunasan kewajiban
pembayaran lelang dan biaya-biaya resmi lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan pada lelang ini, walaupun
dalam penawarannya itu ia bertindak selaku kuasa dari
seseorang, perusahaan atau badan hukum.
b. Harga penawaran yang diajukan oleh peserta lelang sudah
termasuk bea lelang dan uang miskin yang dikenakan kepada
pembeli.
c. Harga penawaran yang diajukan oleh peserta lelang belum
termasuk bea lelang dan uang miskin yang dikenakan kepada
pembeli.
4. Klausul substitusi Jika pembeli tidak mendapatkan izin dari instansi
pemberi izin untuk membeli barang...(bergerak/tetap) tersebutsehingga
jual beli ini menjadi batal, maka ia dengan ini oleh penjual diberi
kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali dengan hak untuk
memindahkan kuasa itu untuk mengalihkan barang...(bergerak/tetap)
itu kepada pihak lain atas nama penjual dengan dibebaskan dari
53
pertanggungjawaban sebagai kuasa dan jika ada menerima uang ganti
kerugian yang menjad hak sepenuhnya dari pembeli. Adapun uang
pembelian yang sudah diberikan kepada penjual tersebut di atas tidak
dapat ditarik kembali oleh pembeli.
5. Klausul pembatalan pembayaran harga lelang Pembeli yang tidak
melunasi kewajiban pembayaran lelang sesuai ketentuan (pembeli
wanprestasi) maka pada hari kerja berikutnya pengesahannya sebagai
pembeli dibatalkan secara tertulis oleh pejabat lelang tanpa
mengindahkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 1266 dan
1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat dituntut ganti
rugi oleh penjual.
6. Klausul pungutan dan pajak yang harus dibayar Bealelang dalam
pelaksanaan lelang ini dipungut sebesar.... Menurut ketentuan dalam...
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 Tentang tarif atas jenis
penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen
Keuangan danuang miskin dipungut sebesar...menurut... Peraturan
Menteri Keuangan Nomor... tanggal...Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang bea lelang
dikenakan sebesar 1% sedangkan uang miskin sebesar 0%.
7. Klausul tempat kedudukan umum yang dipilih pembeli lelang. Untuk
segala hal yang berhubungan dengan atau diakibatkan oleh pembelian
dalam lelang ini, para pembeli dianggap telah memilih tempat
54
kedudukan umum yang tetap dan tidak dapat diubah pada Kantor
Pejabat Lelang Kelas II.
8. Klausul pemohon lelang “Pelaksanaan lelang ini dilakukan atas
permintaan saudara.....berkedudukan di.... Sesuai Surat Permohonan
Lelang Nomor ... tanggal...yang dalam hal ini bertindak dalam
jabatannya untuk dan atas nama PT... guna memenuhi dan
melaksanakan penjualan secara lelang berdasarkan Surat Kuasa dari...
”
9. Klausul pengumuman lelang “Pelelangan ini telah diumumkan oleh
penjual melalui....tanggal....” Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang penjualan secara lelang wajib didahului dengan pengumuman
lelang. Pengumuman ini dilaksanakan melalui surat kabar harian,
media elektronik dan selebaran. Pengumuman ini umumnya dilakukan
sebanyak dua kali. Yang pertama melalui selebaran dan yang kedua
harus melalui surat kabar.
10. Klausul harga limit “Barang tersebut akan ditawarkan, dijual, atau
ditahan oleh saya Pejabat Lelang berdasarkan harga limit yang
ditetapkan oleh penjual” Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang setiap
pelaksanaan lelang diisyaratkan adanya nilai limit. Penentuan harga
limit ditentukan oleh penjual.
11. Klausul cara penawaran lelang Dalam cara penawaran terdiri dari:
55
a. Penawaran lelang dilakukan secara lisan dengan harga semakin
meningkat
b. Penawaran lelang dilakukan secara lisan dengan hargasemakin
menurun
c. Penawaran lelang dilakukan secara tertulis dengan
menggunakan formulir surat penawaran yang telah disediakan.
Mengenai klausul-klausul dalam Akta Risalah Lelang, Pejabat
Lelang tidak dapat mencantumkan klausul- klausul sekehendaknya
melainkan harus mengikuti ketentuan-ketentuan tentang penjualan lelang.
Jika terdapat penyimpangan , maka sesuai pasal 40 Vendu Reglement
menyatakan bahwa “PejabatLelang harus bertanggung jawab atas
kerugian-kerugian yang timbul karena tidak ditaatinya pasal-pasal 37, 38
dan 39 Vendu Reglement.”
Kerugian-kerugian yang dimaksud yaitu dalam bentuk pemalsuan
data-data ataupun nominal-nominal yang ada pada risalah lelang selain apa
yang telah disepakati dalam pelaksanaan lelang, adanya klausul yang tidak
sesuai dengan aturan lelang sehingga melanggar undang-undang,
menimbulkan kerugian materil bagi pembeli maupun penjual lelang, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, resiko suatu risalah lelang yang dibuat
tidak sesuai dengan ketentuan- ketentuan bentuk dari risalah lelang maka
risalah lelang itu tidak menjadi Authentik lagi, sehingga hanya sebagai
akta dibawah tangan. Bila menimbulkan sengketa hukum dan
56
menimbulkan kerugian menjadi tanggung jawab Pejabat Lelang yang
membuatnya.36
5. Syarat Pembatalan Risalah Lelang
Menurut Pasal 35 Vendu Reglement mengatakan “Tiap penjualan di muka
umum oleh juru lelang atau kuasanya dibuat berita acara tersendiri yang
bentuknya ditetapkan seperti dimaksud dalam Pasal 37, 38 dan 39 VR”. Dan
menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK/06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pasal 1 angka 32 : “Risalah Lelang adalah berita
acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan
akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.” Maka
berdasarkan pengertian tersebut, risalah lelang merupakan suatu akta otentik.
Akta authentik mempunyai kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna.
Mengikat artinya bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus
dipercaya oleh hakim yaitu dianggap sebagai sesuatu yang benar, selama
ketidak benarannya tidak dibuktikan. Sedangkan yang dimaksud dengan
sempurna artinya bahwa dengan bukti akta authentik itu, sudah cukup untuk
membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian
dengan alat-alat bukti lain. Dengan kata lain bahwa risalah lelang tidak dapat
dibatalkan.
Mengenai pesyaratan pembtalan Risalah lelang Putusan Mahkamah Agung
RI No. 1068K/Pdt/2008, tertanggal 21 Januari 2009 tersebut diputuskan oleh
hakim agung, menjelaskan bahwa :
36 ibid. Hlm. 244-246
57
a. Pembatalan suatu lelang yang telah dilakukan berdasarkan adanya
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat dibatalkan;
b. Pembeli lelang terhadap obyek sengketa berdasarkan Berita Acara
Lelang dan Risalah lelang yang didasarkan atas putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap adalah pembeli lelang yang beritikad baik
oleh karena itu harus silindungu;
c. Apabila dikemudian hari ada putusan yang bertentangan dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan putusan yang
berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mengikat, maka putusan itu
tidak bisa dipalai sebagau alas am untuk membatalkan lelang, yang
dilakukan adalah menuntut ganti rugi atas obyek sengketa dari
pemohon lelang.
Makhamah Agung menegaskan (Judex Facti), perlu adanya perlindungan
hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik. Bila dikemudian hari
terjadi pelanggaran hak pemegang alas hak yang sah, pada prinsipnya telah
ada mekanisme perlawanan eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 HIR/206
RBg pada saat eksekusi dilakukan. Namun, apabila hal itu diketahui
belakangan, yaitu ketika proses eksekusi telah dilaksanakan dengan sempurna,
maka menurut Mahkamah Agung alat pemulihan haknya adalah mekanisme
gugatan ganti rugi terhadap pemohon lelang (Bank/ kreditur), bukan terhadap
pembeli lelang tersebut.
58
Top Related