18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KEPAILITAN, DAN
PENAFSIRAN
2.1. Perjanjian
2.1.1. Istilah dan pengertian perjanjian
Istilah perjanjian merupakan istilah yang mengandung pengertian yang
luas. Dewasa ini, umumnya dalam dunia bisnis istilah yang lebih sering
digunakan untuk menyebutkan istilah perjanjian tertulis adalah kontrak. Istilah
tersebut diambil dari bahasa Inggris contract, yang dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah overeenkomst (Perjanjian), sedangkan dalam KUH Perdata,
pengertian istilah perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang bunyinya
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Pengertian yang termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidaklah
jelas karena disana hanya mendefinisikan perjanjian sebagai “suatu perbuatan”.
Hal ini tentu berarti suatu perbuatan yang dimaksud tersebut tidak hanya berupa
perbuatan hukum melainkan dapat juga berupa bukan perbuatan hukum. Dilihat
dari sudut pandang doktrin teori lama yang disebut perjanjin adalah “Perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Jika
kemudian diuraikan, maka unsur-unsur perjanjian menurut teori lama yaitu:
1. adanya perbuatan hukum;
2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
19
3. persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan/dinyatakan;
4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih;
5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain;
6. kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
7. akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik;
8. persesuaian kehendak harus dengan meningat peraturan perundang-
undangan.
Kemudian, seorang ahli hukum bernama Van Dunne mengemukakan
sebuah teori yang disebut teori baru. Menurut teori ini, yang diartikan sebagai
perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Teori ini tidak
hanya mengkaji pengertian dari perjanjian atau kontrak melainkan juga
menentukan unsur-unsur apa saja yang harus ada sehingga suatu perbuatan
kemudian dapat disebut dengan kontrak. Ada tiga unsur kontrak yaitu sebagai
berikut.
1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta
antara dua belah pihak).
2. The agreement as written (persetujuan dibuat secara tertulis).
20
3. The set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang
berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2)
persetujuan tertulis).1
Dari definisi-definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat ditarik pengertian mengenai perjanjian yaitu suatu hubungan hukum
antara satu atau beberapa orang dengan satu atau beberapa orang lainnya yang
dilandasi dengan kesepakatan mengenai suatu hal.
2.1.2 Asas-asas dalam perjanjian
Di dalam KUH Perdata Buku ke III dikenal adanya lima macam asas
hukum yang menjiwai ketentuan-ketentuan di dalamnya. Kelima asas tersebut,
yaitu asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, asas konsualisme, asas pacta
sunt servanda (asas kepastian hukum), dan asas kepribadian. Asas-asas tersebut
merupakan asas umum dalam perjanjian, sebagaimana dijabarkan dibawah ini.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Jika dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata maka
disanalah dapat dilihat ketentuan yang berdasarkan asas kebebasan
berkontrak ini. Pasal 1338 menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Rumusan tersebut dipertegas lagi oleh ayat (2) Pasal yang
sama, yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut
tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan yang ditentukan undang-undang. Secara umum para
1Salim H.S. I, op.cit, h. 16.
21
ahli hukum seringkali menghubungkan dan memperlakukan ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH
Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak.
Ahmad Miru mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak
memberikan jaminan kepada setiap orang mengenai beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian yaitu: (1) bebas menentukan apakah ia akan
melakukan perjanjian atau tidak; (2) bebas menentukan dengan siapa ia
akan melakukan perjanjian; (3) bebas menentukan isi atau klausul
perkankian; (4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan (5) kebebasan-
kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan merupakan suatu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak.
Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya
merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat
menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal
tertentu yang sifatnya memaksa.2
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Selain bernama asas Pacta Sunt Servanda, asas ini juga dikenal dengan
sebutan asas kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan akibat dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dimana asas ini tersimpul pada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
2Ahmad Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, h. 4.
22
membuatnya.” Ini berarti baik hakim maupun pihak ketiga tidak dapat
melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tersebut.
3. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari bahasa latin “consensus” yang berarti
sepakat. Asas konsensualisme sendiri bermakna bahwa pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kata sepakat. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas
kebebasan berkontrak dan tercermin juga dari Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUH Perdata. Berdasarkan asas konsensualisme ini, perjanjian itu sudah
sah apabila sudah disepakati mengenai hal-hal yang pokok, dan tidaklah
memerlukan suatu formalitas.
4. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik tercermin dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Menurut Subekti, pengertian iktikad baik dapat ditemui dalam hukum
benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) (pengertian obyektif).3
5. Asas Personalia
Asas Personalia (Asas Kepribadian) tercermin dalam Pasal 1315 KUH
Perdata dan dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata.
Dari kedua pasal tersebut, pada intinya mengatur bahwa perjanjian pada
3Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 42
23
dasarnya hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya, seorang tidak dapat
mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian pihak ketiga,
kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal
demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk
perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam
hal yang demikian, perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian
penanggungan). Ini berarti perjanjian dibuat oleh para pihak tersebut, demi
hukum hanya mengikat para pihak yang membuatnya.4
Itulah kelima asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian
(kontrak).
2.1.3 Syarat sah-nya perjanjian
Selanjutnya sebuah perjanjian atau kotrak baru untuk dapat dikatakana sah
maka harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kesepakatan
Kesepakatan atau consensus dari masing-masing pihak merupakan syarat
paling esensial dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Agar kontrak
menjadi sah, para pihak harus sepakat terhadap hal yang terdapat di dalam
perjanjian.5 Kesepakatan diartikan sebagai persesuaian pernyataan
4Kaligis O.C., 2013, Kontrak Bisnis Teori dan Praktik, PT Alumni Bandung, h. 6.
5 Ibid
24
kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ada lima
cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Hal ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seeorang yang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya;
4. Bahasa isyrat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan
5. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak
lawan.
Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian sepakat sebagai
kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-
pihak. Pernyatan dari pihak yang menawarkan disebut tawaran (offerte),
dan pernyataan dari pihak yang menerima penawaran disebut akseptasi
(acceptatie) menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus
dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte)
menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut.6
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat yang diberikan menjadi
tidak sah, apabila kemudian kata sepakat tersebut diberikan karena salah
pengertian (khilaf), paksaan, atau penipuan. Hal tersebut dikarenakan
persetujuan diberikan dengan cacat kehendak, sehingga menjadi tidak sah.
6 Subekti, 2004, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 28.
25
Perjanjian yang demikian dapat dimohonkan pembatalannya kepada
pengadilan. Hal tersebut harus mengenai intisari pokok persetujuan. Ada
dua jenis salah pengertian atau kekeliruan yaitu “kekeliruan mengenai
hakikat benda atau barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian (error
in substantia)” dan “kekeliruan mengenai orangnya (error in persona)”.
Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujuan
dibatalkan.7
b. Kecakapan bertindak
Dalam KUH Perdata kecakapan dikaitkan dengan batasan usia dewasa
yaitu 21 tahun atau sudah kawin sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Pasal 330 KUH Perdata. Jadi jika seseorang belum mencapai usia 21 tahun
namun telah menikah, maka ia dianggap sudah cakap. Sedangkan dalam
hal perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menetapkan ukuran kedewasaan yang berbeda dari KUH Perdata, yaitu 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Sedangkan Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan, “Tidak cakap untuk
membuat suatu persetujuan-persetujuan adalah:
1. orang-orang yang belum dewasa
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
7 Kaligis O.C., op.cit, h. 8.
26
Namun dalam perkembangannya, seorang perempuan yang telah kawin
(istri) dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
31 UU No. 1 Tahun 1974 jo SEMA No. 3 Tahun 1963.
a. Suatu hal tertentu
Perjanjian haruslah tentang suatu hal tertentu yang telah di sepakati oleh
kedua belah pihak. Suatu hal tertentu tersebut merupakan hak dan
kewajiban, atau yang kerap disebut prestasi. Prestasi dapat berupa
perbuatan positif maupun perbuatan negatif. Dalam Pasal 1234
dinyatakan, “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat
dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya, di dalam mengadakan
perjanjian, isi perjanjian harus dipasikan, dalam arti dapat ditentukan
secara cukup.8
b. Suatu Sebab yang Hahal
Dalam suatu perjanjian yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal atau
orzaak (kausa yang halal) adalah berkaitan dengan isi dari perjanjian
tersebut. Pasal 1320 KUH Perdata tidak memberikan penjelasan mengenai
apa itu orzaak, namun di dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan apa
saja yang dianggap kausa terlarang. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan:
8 Salim H.S., Abdullah H., dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h. 10.
27
“suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang
atau apabila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum.”
Jadi agar suatu perjanjian menjadi sah maka, perjanjian tersebut harus
memenuhi 4 syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti
yang telah dijabarkan di atas. Syarat nomor 1 dan 2 disebut syarat
subyektif, karena berkaitan degan orang-orang atau subyek yang
mengadakan perjanjian, sedangak syarat nomor 3 dan 4 disebut syarat
obyektif, karena berkaita dengan obyek dari suatu perjanjian. Jika
kemudian syarat 1 dan 2 tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalah
perjanjian tersebut ke pengadilan. Sedangkan jika syarat 3 dan 4 yang
tidak terpenuhi maka secara otomatis perjanjian tersebut batal demi
hukum.
2.2 Kepailitan
2.2.1 Pengertian pailit dan kepailitan
Pengertian dari pailit tidak dapat kita temukan di dalam UUKPKPU
karena pembuat undang-undang tidak merumuskan pengertian pailit di dalamnya.
Oleh karena itu, pengertian pailit dapat kita kutip dari literatur-literatur maupun
pendapat ahli. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu
untuk elakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
28
kreditornya.9 Tidak jauh berbeda dari pengertian tersebut, Subekti dan R.
Tjitrosoedibio memberikan pengertian sebagai berikut.
"Pailit adalah keadaan di mana seorang debitor telah berhenti membayar
utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para
kreditornya atau atas permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit,
maka harta kekayaannya dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan selaku
curatrice (pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan
bagi semua kreditor."10
Pengertian dari pailit dan kepailitan tidaklah sama, namun keduanya
memiliki hubungan yang erat karena kepailitan berasal dari kata pailit itu sendiri.
Jika pailit merupakan keadaan dari si debitor yang tidak mampu membayar utang-
utang kepada kreditornya, maka kepailitan adalah suatu mekanisme atau proses
sita umum terhadap harta kekayaan debitor pailit untuk membayar utang-utangnya
tersebut. Peter J.M mengungkapkan sebagai berikut.
“A bankruptcy petition has to state facts and circumstances that constitute
prima facie evidence that the debtor has ceased to pay its debts. This isi
considered to be the case if there are at least two creditors, one of who,
has a claim whis is due and payable and which the debtor cannot pay,
refuses to pay, or simply does not pay.”11
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan memberikan definisi
kepailitan sebagai berikut.
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
9 M. Hadi Subhan, Op.cit, h.1
10Syamsudin M. Sinaga, op.cit, h. 4, dikutip dari Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1978,
Kamus Hukum, Pradya Pramita, Jakarta, h. 89.
11
M. Hadi Subhan, Op.cit h. 4, dikutip dari Peter J.M. Declercq, 2002, Netherlands
Insolvency Law, The Netherlands Bankruptcy Act and The Mose Important Legagl Concept,
T.M.C. Asser Press, The Haque.
29
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini.”
Dari pengertian yang diberikan oleh UUKPKPU tersebut tentu jelas bahwa
kepailitan ini adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu keadaan pailit dari
seorang debitor sehingga kreditornya mampu mendapatkan pelunasan atas
piutangnya.
2.2.2 Syarat permohonan kepailitan
Dalam mengajukan pernohonan kepailitan tentu pemohon harus
memperhatikan syarat yang ditelah ditentukan oleh UUKPKPU. Syarat
mengajukan permohonan kepailitan tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU yaitu:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.”
Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat kita ketahui syarat-
syarat kepailitan adalah sebagai berikut.
1. Adanya utang yang tidak di bayar lunas
Utang merupakan hal yang paling mendasar dalam perkara kepailitan,
karena tanpa adanya utang maka tidak ada kepailitan. Utang dalam
UUKPKPU di definisikan dalam Pasal 1 angka 6 sebagai berikut.
30
“utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang – undang dan yang
wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”
Selain memastikan bahwa telah ada utang, maka juga harus dipastikan
bahwa utang tersebut belum di bayarkan hingga lunas. Dalam hal ini
mungkin saja debitur telah melakukan pembayaran secara berkala, namun
jika belum seluruhnya utang tersebut dibayarkan, maka satu syarat
permohonan pailit ini terpenuhi.
2. Adanya minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
“utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,
karena percepatan penagihan sebagaimana diperjanjikan, karena
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
Selanjutnya M. Hadi Subhan dalam bukunya juga menjelaskan bahwa
suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut timbul bukan dari perikatan
alami (natuurlijke verbintenis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat
dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami
31
(natuurlijke verbintenis) tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
mengajukan permohonan pailit.12
3. Adanya dua atau lebih kreditor
Syarat ini berarti bahwa debitor haruslah memiliki minimal dua kreditor.
Dimana dalam bagian penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dijelaskan,
yang dimaksud dengan “Kreditor” adalah baik Kreditor konkuren,
Kreditor separatis, maupun Kreditor preferen.
Keseluruh syarat dalam Pasal 2 ayat (1) ini adalah bersifat kum ulatif,
sehingga tidak dapat dikurangi. Jadi permohonan pailit baru dapat diterima
ketika semua syarat tersebut terpenuhi.
2.2.3 Pihak yang dapat memohonkan pailit
Pengajuan permohonan pailit tidaklah dapat dilakukan oleh semua orang,
melainkan terbatas hanya pada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh pembuat
undang-undang. Hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 2 UUKPKPU, yang dimana
pada pkoknya menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan pailit adalah
Debitor sendiri, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar
Modal, dan Menteri Keuangan.
Mengenai dalam hal apa kemudian pihak-pihak tersebut dapat bertindak
sebagai pemohon pailit adalah sebagai berikut.
1. Debitor
Bila debitor merasa dirinya tidak mampu lagi untuk membayar utang-
utangnya pada kreditor maka debitor dapat melakukan permohonan pailit.
12
Op.cit, h. 91.
32
2. Kreditor
Kreditor memiliki hak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap
debitornya. Kreditor yang dimaksud disini adalah baik itu Kreditor
Sparatis, Kreditor konkuren, maupun Kreditor preferen. Bagi kreditor
separatis dan juga Kreditor preferen kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta kekayaan debitor. Walaupun
ada kekhususan tersebut namun hak untuk mengajukan bai ketiga
golongan kreditor ini adalah sama.
3. Kejaksaan
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepaiitan dalam hal demi
kepentingan umum. Berkaitan dengan hal tersebut dalam Penjelasan Pasal
2 Ayat (2) diberikan batasan yang dimaksud dengan “kepentingan umum”
oleh pembuat undang-undang, yaitu adalah kepentingan bangsa dan negara
dan/ atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
a. debitor melarikan diri;
b. debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat;
d. debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
e. debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.”
33
4. Bank Indonesia
Dalam hal Debitor adalah Bank, maka Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa
yang boleh mengajukan permohonan pernyataan pailitnya hanya Bank
Indonesia. Bagian penjelasan pasal ini menerangkan bahwa pengajuan
permohonan pailit oleh Bank Indonesia selalu dilakukan semata-mata
dengan didasarkan atas penilaian kondisi keuangan bank tersebut dan
kondisi perbankan secara keseluruhan.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Jika debitor merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan
pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam). Hal ini dikarenakan Debitor menjalankan usaha yang
menghimpun dana besar dari masyarakat luas sehingga pengajuan
permohonan pailitnya tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang.
6. Menteri Keuangan
Jika Debitor merupakan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan public, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
2.2.4 Pihak yang dapat dimohonkan pailit
Mengenai siapa pihak yang dapat dimohonkan pailit tentunya adalah
debitor, maka kita harus melihat ketentuan pada Pasal 1 angka 3 yang
mendefinisikan sebagai “Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
34
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka
pengadilan.”
Dari definisi tersebut maka kita mengetahui bahwa debitor adalah “orang”
yaitu adalah “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 menyatakan sebagai
berikut.
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk
korporasi yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
dalam likuidasi.”
Di sini jelas bahwa tidak hanya orang perorangan ataupun badan hukum
yang bisa dimohonkan pailit, melainkan juga korporasi yang bukan badan hukum.
2.3 Penafsiran
2.3.1 Pengertian penafsiran
Setiap ketentuan dari undang–undang adalah berbentuk tertulis sehingga
bersifat statis serta sulit diubah serta kaku. Sering kali maksna suatu kata dalam
undang-undang tersebut tidaklah selalu jelas, sehingga hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan dalam rangka memberikan putusan yang seadil-adilnya,
diberikan kewenangan melakukan penafsiran-penafsiran hukum (Interpretasi).
Penafsiran (Interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah menentukan
arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya.13
Sedangkan
13
Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Rajagafindo
Persada, h. 156.
35
menurut R. Soeroso yang dimaksud dengan penafsiran (interpretasi) adalah me
ncari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-
undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang.
2.3.2 Jenis-jenis penafsiran
Dalam melakukan penafsiran, hakim dapat menggunakan beberapa jenis
cara penafsiran, yaitu sebagai berikut.
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran undang-undnag secara tata bahasa (gramatikal), yaitu suatu cara
penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat
dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan
dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai
dalam undang-undang.14
Tidak jarang penafsiran gramatikal kemudian
membawa hakim untuk juga memakai penafsiran historis maupun
sistematis.
2. Penafsiran Sistematis
Penafsiran ini menitikberatkan pada pandangan bahwa antara satu undang-
undang dengan perundang-undangan lainnya memiliki hubungan yang
tidak terlepas, dan akan selalu berhubungan satu sama lain. Cara
penafsiran ini dilakukan yaitu dengan melihat hubungan perkataan yang
ingin ditafsirkan secara luas, yaitu dengan melihat juga kalimat
14
Arrasjid Chainur, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet.V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 88.
36
keseluruhan pasal tersebut, atau bahkan melihat juga pasal lainnya yang
memiliki sangkut paut.
3. Penafsiran Historis
Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan yang lahir pasti memiliki
sejarah pembentukannya sendiri. Penafsiran secara historis adalah
menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya
undang-undang tersebut. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu
sebagai berikut.
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretative).
Penafsiran menurut serah hukum merupakan suatu cara penafsiran
hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah
perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum
seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang
meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan.15
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan
(wetshistorische interpretative).
Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan
merupakan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki
perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud
ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat diketahui dengan
jalan melihat siding Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat
15
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.
37
antara menteri-menteri yang bersangkutan dan komisi DPR yang
bersangkutan (kenbron) dan sebagainya.16
4. Penafsiran Sosiologis (Teleologis)
Penafsiran sosiologis adalah salah satu cara penafsiran dengan jalan
mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam
masyarakat. Pada dasarnya ketika hakim melakukan penafsiran gramatikal
maka harus selalu diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Hal tersebut
karena hakim juga perlu meninjau kenyataan hukum yang ada
dimasyarakat saat itu.
5. Penafsiran Autentik
Panafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang telah ditentukan oleh
pembuat undang-undang di dalam undang-udang itu sendiri.
6. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran ekstensif artinya penafsiran dengan cara memperluas arti kata-
kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga suatu
peristiwa dapat dimasukkan kedalam arti kata yang bersangkutan.
7. Penafsiran Restriktif
Penafsiran udang-undnag secara restriktif adalah suatu penafsiran undang-
undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti
kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.17
8. Penafsiran Analogis
16
Ibid, h. 91 17
Ibid, h. 93.
38
Penafsiran analogis dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat
terhadap kata-kata yang terdapat dalam suatu undang-undang sesuai
dengan asas hukumnya.
9. Penafsiran A Contrario
Penafsiran a contrario adalah salah satu penafsiran yang dilakukan dengan
memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang
dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan begitu
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu berada
diluar ketentuan perundang-undangan.
Top Related