69
BAB III
RIWAYAT HIDUP HAMKA DAN AN-NABHANI
A. Riwayat Hidup dan Karya Hamka
1. Riwayat Hidup Hamka
HAMKA (1908-1981), adalah akronim dari Haji Abdul
Malik bin Abdul Karim Amarullah. Ia adalah seorang ulama terkenal,
penulis produktif dan mubalig besar yang berpengaruh di Asia
Tenggara.1 Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 16
Februari 1908M./13 Muharam 1326 H. di Sungai Batang, Maninjau,
Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu) dari kalangan keluarga
yang taat beragama.2 Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin
Amarullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor
kebangkitan Kaum Mudo3 dan tokoh Muhammadiyah di
Minangkabau.4 Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung
binti Haji Zakaria (w. 1934).5 Dari geneologis ini dapat diketahui
1Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 2, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2008), h. 75. 2Hamka, Kenang-kenangan Hidup, jil. 1, (Selangor: Pustaka Dini, 2009),
h. 9. 3Hamka, Ayahku, (Selangor: PTS Publications, 2015), h. 79. 4Ibid., h. 192. 5Hamka, Kenang-kenangan Hidup, jil. 1, h. 71.
70
bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki
hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada
akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur
masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh
karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung,
sebagaimana suku ibunya.
Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca al-Quran
langsung dari ayahnya. Ketika usia enam tahun, ia dibawa ayahnya
ke Padangpanjang. Pada usia tujuh tahun, ia dimasukkan ke sekolah
desa hanya sempat dienyam sekitar tiga tahun, dan malam harinya ia
belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam.
Tatkala ia berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai.
Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang
dialaminya.
Pendidikan formal yang dialami sangat sederhana. Mulai
tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan
Diniyah School di Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di
Padangpanjang dan di Parabek.
71
Menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya Hamka adalah
seorang otodidak; ia tidak pernah tamat sekolah rakyat dan juga tidak
selesai di surau. Kenyataan ini berkaitan dengan krisis dalam
keluarganya; ia kelihatannya lebih senang mencari ilmu dengan
jalannya sendiri daripada mengikuti keinginan ayahnya yang
terobsesi untuk menjadikannya sebagai ulama.6
Hamka belajar otodidiak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik,
baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di
Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad,
Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,
beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman
seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold
Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga
rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh
terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden
6Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, ed: Idris Thaha,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 267.
72
Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus
Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang
ahli pidato yang handal.
2. Organisasi dan Karir Hamka
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun
1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama diPadang
Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen
di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu,
beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun
1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri
Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno
menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat
dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi
Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai
tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan
sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
73
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun
kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan
Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun
kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31
di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan
Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia,
Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis
Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada
tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika
beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,
beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam
hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua
74
Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan
Raya Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966,
Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-
Malaysia. Semasa dipenjara, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar
yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah
Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka
merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak
tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam.
75
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya
kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah
Tafsir al-Azhar.Di antara novel-novelnya mendapat perhatian umum
dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura,seperti
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah
dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat
nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor
Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan
Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun
jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam
memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai seorang
tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya
di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut
dihargai.
76
3. Karya Hamka
Hasil penelusuran Samsul Nizar,7 di antara karya-karya
Hamka berupa fiksi (novel dan roman) adalah Si Sabariah, Laila
Majnun, Salahnya Sendiri, Toean Direktoer, Keadilan Ilahi,
Angkatan Baroe, Cahaya Baroe, Menoenggoe Bedoek
Berboenji,Teroesir, Di Dalam Lembah Kehidoepan, Di Bawah
Lindoengan Ka’bah, Dijempoet Mamaknja, Cermin Kehidoepan, dan
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Karyanya yang berupa autobiografi adalah Kenang-kenangan
hidup, 4 jilid. Sedangkan karya yang berupa biografi adalah Ayahku:
Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya.
Karya Hamka dalam bidang filsafat dan keagamaan adalah
Khatib al-Ummah, 3 jilid, Islam dan Adat, Kepentingan Melakoekan
Tabligh, Bohong di Doenia, Agama dan Perempuan, Pedoman
Moebaligh Islam, Hikmat Isra’ Mi’raj, Negara Islam, Islam dan
Demokrasi, Revolusi Pikiran, Dibandingkan Ombak Masjarakat,
Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman, Revolusi Agama, Sesoedah
7 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 251-257.
77
Naskah Renville, “Paham Soekarno”, dalam A. Muchlis (ed.),
Tindjaoean Islam Ir. Soekarno, Falsafah Hidup, Falsafah Ideologi
Islam, Oerat Toenggang Pantjasila, Pelajaran Agama Islam, K.H.A.
Dahlan, Perkembangan Tasawoef dari Abad ke Abad, Pribadi,
Pandangan Hidup Muslim, Lembaga Hidup, 1001 Tanya Jawab
tentang Islam, Cemburu, Angkatan Baru, Exspansi Ideologi,
Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Sayyid Jamaluddin al-
Afghani, Lembaga Hikmat, Dari Lembah Cita-Cita, Hak-hak Azasi
Manusia Dipandang dari Segi Islam, Gerakan Pembaruan Agama di
Minangkabau, Hubungan antara Agama dengan Negara Menurut
Islam, Islam, Alim-Ulama dan Pembangunan, Islam dan Kebatinan,
Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Beberapa Tantangan
terhadap Umat Islam di Masa Kini, Kedudukan Perempuan dalam
Islam, Muhammadiyah di Minangkabau, Tanya Jawab Islam, 2 jilid,
Studi Islam, Aqidah, Syariah, Ibadah, Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Ghirah dan
Tantangan Terhadap Islam, Kebudayaan Islam di Indonesia,
Lembaga Budi, Tasawuf Modern, Doktrin Islam yang Menimbulkan
Kemerdekaan dan Keberanian, Islam: Revolusi Ideologi dan
78
Keadilan Sosial, Iman dan Amal Shaleh, Renungan Tasawuf, Filsafat
Ketuhanan, Keadilan Sosial dalam Islam, Tafsir Al-Azhar, Juz I –
XXX, Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, dan
Tuntunan Puasa, Tarawih dan Idul Fitri.
Adapun karyanya yang membahas tentang adat dan
kemasyarakatan adalah Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi,
dan Islam dan Adat Minangkabau. Karya Hamka tentang kisah
perjalanan adalah Mengembara di Lembah Nil, Di Tepi Sungai
Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika, 2
jilid, dan Merantau ke Deli.
Karya Hamka dalam bidang sejarah Islam di antaranya
Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Ringkasan
Tarikh Ummat Islam, Sedjarah Islam di Soematra, Dari
Perbendaharaan Lama, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, dan
Sejarah Umat Islam, 4 jilid.
Karya Hamka berupa terjemahan adalah Sullam al-Wushul;
Pengantar Ushul Fiqh, terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim
Amrullah, danMargaretta Gauthier, terjemahan karya Alexander
Dumas Jr.
79
Beberapa di antara karya Hamka, di samping dicetak dan
dipublikasikan di dalam negeri, juga ada di antara karya-karyanya
yang dicetak dan dipublikasikan di luar negeri, yaitu Malaysia dan
Singapura. Di antara karya-karyanya adalah:Karena Fitnah,
Pelajaran Agama Islam, “Pengaruh Islam dalam Sastera Melayu”,
dalam Islam dan Kebudayaan Melayu, Dari Perbendaharaan Lama,
Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, dan Tafsir Al-Azhar, Jilid
I-X.
B. Riwayat Hidup dan Karya An-Nabhani
1. Riwayat Hidup An-Nabhani
Taqiyuddin an-Nabhani yang dikenal dengan an-Nabhani,
nama lengkapnya adalah Abu Ibrahim Taqiyuddin Muhammad bin
Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin
Muhammad bin Nasiruddin an-Nabhani. Ia dinisbahkan kepada
kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang
80
sahara di Palestina. Mereka bermukim di desa Ijzim,bagian selatan
kota Haifa di Palestina Utara.8
An-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909.
Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau
sendiri, Syaikh Ibrahim an-Nabhani seorang syaikh yang faqih fi ad-
din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian
Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu
syariah.9
Kakek an-Nabhani adalah Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin
Hasan bin Muhammad An Nabhani al-Syafi’i atau dikenal dengan
Syaikh Yusuf an-Nabhani. Julukannya Abu al-Mahasin. Dia adalah
seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang kadi10 yang
terkemuka. Dia menangani peradilan di Qusbah Janin, yang termasuk
wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel
(Istanbul) dan diangkat sebagai kadi untuk menangani peradilan di
8Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam
Mendirikan Negara Khilafah, terj. Muhammad Bajuri & Romli Abu Wafa, (Bogor:
Al-Azhar Press, 2012), h. 57-58. 9Rodhi, Tsaqofah ..., h. 58. 10Kadi adalah hakim, terutama yang mengadili perkara yang bersangkut
paut dengan agama Islam. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 614.
81
Sinjiq yang termasuk wilayah Mosul. Dia kemudian menjabat
sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, kemudian di al-
Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di
Beirut. Dia menulis banyak kitab dalam bidang tasawuf, sastra, hadis,
sejarah dan tafsir.11
Pertumbuhan an-Nabhani dalam suasana keagamaan yang
kental seperti itu, ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam
pembentukan kepribadian dan pandangan hidup beliau. Beliau telah
hafal al-Qur’an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di
bawah usia 13 tahun. Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakek
beliau, Syaikh Yusuf an-Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang
luas. An-Nabhani juga sudah mulai mengerti masalah-masalah
politik yang penting, di mana kakek beliau mengalami langsung
peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat dengan
para penguasa Daulah Usmaniyah saat itu. Beliau banyak menarik
pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang
diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf an-Nabhani.12
11Ihsan Samarah, Biografi Singkat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, terj.
Muhammad Shiddiq Al Jawi, (Bogor: Al-Azhar Press, 2002), h. 4. 12Rodhi, Tsaqofah ..., h. 59.
82
Kecerdasan dan kecerdikan an-Nabhani yang nampak saat
mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian
kakeknya. Oleh karenanya, kakek beliau begitu memperhatikan an-
Nabhani dan berusaha meyakinkan ayah beliau –Syaikh Ibrahim bin
Mustafa– mengenai perlunya mengirim an-Nabhani ke al-Azhar
untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syari’ah.
An-Nabhani menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syari’ah
dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan al-
Qur’an sehingga beliau hafal al-Qur’an seluruhnya sebelum balig. Di
samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikan di Sekolah Dasar
daerah Ijzim.
Kemudian beliau berpindah ke sekolah di Akka untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang menengah. Sebelum beliau
menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo
untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar, guna mewujudkan
dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani.
An-Nabhani kemudian meneruskan pendidikannya di
Tsanawiyah Al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama
beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau
83
melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu
merupakan cabang Al-Azhar. Di samping itu beliau banyak
menghadiri halaqah-halaqah ilmiyah di Al-Azhar yang diikuti oleh
syaikh-syaikh Al-Azhar, semisal Syaikh Muhammad al-Hidir Husain
–rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau.
Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al-Azhar
membolehkannya.
Meskipun an-Nabhani menghimpun sistem Al-Azhar lama
dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan
keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan
belajar. An-Nabhani telah menarik perhatian kawan-kawan dan
dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya
pendapat seta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-
perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran, yang diselenggarakan
oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-
negeri Islam lainnya.
An-Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada
tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula
kuliahnya di al-Azhar al-Syarif menurut sistem lama, para
84
mahasiswa dapat memilih beberapa syaikh al-Azhar dan menghadiri
halqah-halqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu
syari’ah seperti fiqih, usul fiqih, hadis, tafsir, tauhid (ilmu kalam),
dan yang sejenisnya.
Dalam forum-forum halqah ilmiyah tersebut, an-Nabhani
dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari
kalangan al-Azhar, sebagai sosok dengan pemikiran yang genial,
pendapat yang kokoh, pemahaman dan pemikiran yang mendalam,
serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam
perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah. Demikian juga
beliau sangat bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam
memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.
2. Organisasi dan Karir An-Nabhani
Setelah menyelesaikan pendidikannya, an-Nabhani kembali
ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan
Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas
negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah
Madrasah Islamiyah di Haifa.
85
Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan
sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau
mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah.
Beliau ternyata lebih mengutamakan bekerja di bidang peradilan
karena beliau menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang
pendidikan, yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan,
terutama peradilan syar’iy. Dalam kaitan ini beliau berkata:
“Terhadap kelompok intelektual, penjajah Barat
memasukkan sekolah-sekolah misionaris, sebelum pada
akhirnya menduduki dan memasuki semua sekolah. Hal ini
ditempuh dengan cara menciptakanmetode-metode
pengajaran dan tsaqafah berlandaskan falsafah peradaban,
dan pemahaman Barat. Proses ini terus berlangsung hingga
kepribadian Barat dijadikan sebagai asas kehidupan Islam.
Pada gilirannya akan mencabut tsaqafah Islam yang selama
ini kita pakai. Barat juga menjadikan sejarah, ruh
kebangkitan, dan lingkungannya sebagai sumber pokok nilai-
nilai yang menjejali akal kita. Tidak cukup dengan itu saja,
Barat juga memasukkan ruh ini ke dalam berbagai metode
secara rinci, hingga tidak satu pun tsaqafah Islam mampu
keluar dari landasan pemikiran umum yang menjadi falfasah
dan peradabannya. Proses ini merata ke seluruh aspek
tsaqafah Islam, hingga merasuk ke dalam pelajaran agama
dan sejarah Islam.”13
13Taqi al-Din al-Nabhani, al-Daulah al-Islāmiyyah, (Beirut: Dar al-Umah,
2002), h. 200; Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, Terj. Umar Faruq, dkk.,
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2012), h. 271-272.
86
Oleh karenanya, an-Nabhani lalu menjauhi bidang
pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari
pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih
sedikit. Beliau tak mendapatkan pekerjaan yang lebih utama selain
pekerjaan di Mahkamah Syar’iyah yang dipandangnya merupakan
lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini
beliau berkata:
“Adapun al-niẓam al-Ijtimā’iy, yang mengatur hubungan pria
dan wanita, dan segala hal yang merupakan konsekuensinya
(yakni al-aḥwal al-syakhṣiyyah), tetap menerapkan syari’at
Islam sampai sekarang, meskipun telah berlangsung
penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak
diterapkan sama sekali selain Syari’at Islam di bidang itu
sampai saat ini…”14
Maka dari itu, an-Nabhani sangat berkeinginan untuk bekerja
di Mahkamah Syar’iyah. Dan ternyata banyak kawan beliau –yang
pernah sama-sama belajar di al-Azhar– bekerja di sana. Dengan
bantuan mereka, an-Nabhani akhirnya dapat diangkat sebagai
sekretaris di Mahkamah Syar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Tabriya.
14Taqi al-Dīn Al-Nabhani, Niẓām al-Islām, (ttp: Hizb at-Tahrir, 2001), h.
46.
87
Namun demikian, karena beliau mempunyai cita-cita dan
pengetahuan dalam masalah peradilan, maka beliau terdorong untuk
mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islamy al-A’la, agar
mengabulkan permohonannya untuk mendapatkan hak menangani
peradilan. Dalam hal ini beliau menganggap bahwa dirinya
mempunyai kecakapan untuk menangani masalah peradilan.
Setelah para pejabat peradilan menerima permohonannya,
mereka lalu menempatkan beliau ke Haifa dengan mengangkat beliau
sebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib) di Mahkamah Syar’iyah
Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat
sebagai musyawir (asisten kadi) hingga tahun 1945, yakni saat beliau
dipindah ke Ramallah menjadi kadi di Mahkamah Ramallah sampai
tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam
sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Anwar al-Khatib
mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar
kembali ke Palestina untuk diamanahi sebagai kadi di Mahkamah
Syar’iyah al-Quds. An-Nabhani mengabulkan permintaan itu dan
88
kemudian beliau diangkat sebagai kadi di Mahkamah Syar’iyah al-
Quds pada tahun 1948.
Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala
Mahkamah Isti’naf saat itu –yakni Abdul Hamid al-Sa’ih– beliau
diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf sampai tahun 1950.
Beliau mengajukan permohonan mengundurkan diri karena
mencalonan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis
Perwakilan).
Pada tahun 1951, an-Nabhani mendatangi kota Amman untuk
menyampaikan ceramah kepada para pelajar sekolah menengah di
Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal
tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang
telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953.
Sejak remaja an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya
karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang pernah
terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang menurut Syaikh
Yusuf an-Nabhani sudah terpengaruh peradaban Barat – seperti
Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan, tokoh-tokoh
89
Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan
membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik an-Nabhani dan aktivitas
geraknya di antara para mahasiswa di Al-Azhar dan Kulliyah Darul
Ulum, telah menyingkapkan kepeduliannya akan masalah-masalah
politik. Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya
yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang
mampu memimpin situasi Al-Azhar saat itu. Di samping itu, beliau
juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al-Azhar
mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk
membangkitkan umat Islam.
Ketika an-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika
beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina,
beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian,
yakni memberikan kesadaran kepada para siswa yang diajarnya dan
orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu.
Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap
penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui
semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau
90
menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog,
dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik
yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau
pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang beliau kenal
dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide
untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk
membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan
kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota
ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah
daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik
dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di
Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktivitas beliau
tersebut.
Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai
seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di
Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan
91
mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak
berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam
(Jam’iyat Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak
nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah
mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka.
Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah
politik dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-
acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di masjid al-Aqsha,
masjid al-Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan lain-lain.
Kiprahnya dalam dunia politik yang paling menonjol adalah
ketika ia mendirikan partai politik berasas Islam, Hizbut Tahrir, yang
telah dirintisnya antara tahun 1949 hingga 1953. Hizbut Tahrir secara
resmi dideklarasikan pada tahun 1953 di Al-Quds (Yerusalem).
Keberadaan Hizbut Tahrir dimaksudkan untuk
membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat
parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan,
dan hukum-hukum kufur. Selain itu, juga untuk membebaskan
mereka dari cengkraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir.
Berlandaskan tujuan ini, Hizbut Tahrir bermaksud membangun
92
kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum
yang diturunkan Allah swt. dapat diberlakukan kembali.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol
dalam kehidupan an-Nabhani. Bahkan sampai-sampai ada yang
berpendapat bahwa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, karena
kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik,
sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang
dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Beliau juga banyak menelaah
peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat,
disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan
ide-ide politik yang ada.
Maka, mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik
yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, juga kitab-kitab mengenai
politik yang ditulis oleh an-Nabhani, serta garis-garis besar langkah
politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab
Hizbut Tahrir, akan dapat menyimpulkan bahwa an-Nabhani
memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam
masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan
politikus terulung pada abad XX.
93
3. Karya An-Nabhani
An-Nabhani wafat tahun 1398 H/ 1977 M dan dikuburkan di
Pekuburan al-Auza’i di Beirut. Beliau telah meninggalkan kitab-
kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang
tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa an-
Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran brilian dan
analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan
pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-
hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi,
politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian
peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyyuddin
an-Nabhani.
Kebanyakan karya an-Nabhani berupa kitab-
kitab tanẓiriyah (penetapan pemahaman/pandangan)
dan tanẓimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab yang
dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin untuk melanjutkan
kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah.
Oleh karena itu, kitab-kitab an-Nabhani terlihat istimewa
karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan
94
problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek
kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial, dan ekonomi
tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut
Tahrir, di mana an-Nabhani menjadi motornya.
Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab
yang ditulis oleh an-Nabhani, maka tak aneh bila karya-karya beliau
mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-
memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan
problematika-problematika politik. Belum lagi banyak selebaran-
selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah
pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya an-Nabhani, baik yang berkenaan dengan politik
maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan,
dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat
menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan
komprehensif yang di-istinbaṭ dari dalil-dalil syar’i yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikatakan
sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang
pemikir muslim pada era moderen ini di dalam jenisnya.
95
Karya-karya an-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat
pemikiran dan ijtihad beliau antara lain: Niẓām al-Islām, al-Takattul
al-Ḥizbī, Mafāhīm Ḥizb al-Taḥrīr, al-Niẓām al-Iqtiṣādī fi al-Islām,
al-Niẓām al-Ijtimā’ī fi al-Islām, Niẓām al-Ḥukm fi al-Islām, al-
Dustūr, Muqaddimah al-Dustūr, al-Daulah al-Islāmiyyah, al-
Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah (3 jilid), Mafāhīm Siyāsiyyah li Ḥizb al-
Taḥrīr, Naẓarāt Siyāsiyyah li Ḥizb al-Taḥrīr, Nidā Hār, al-Khilāfah,
al-Tafkīr, al-Dūsiyah, Sur’ah al-Badihah, Nuqṭah al-Inṭilāq, Dukhūl
al-Mujtama’, Inqāżu Filisṭin, Risālah al-‘Arab, Tasalluh Miṣr, al-
Ittifāqiyyah al-Ṡanā’iyyah al-Miṣriyyah al-Sūriyyah wa al-
Yamāniyyah, Ḥallu Qāḍiyah Filisṭin ala al-Ṭarīqah al-Amrīkiyyah
wa al-Inkiliziyyah, dan Naẓariyyah al-Firāgh al-Siyāsī Ḥaula
Masyrū’ Aizanhawār.
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran
(nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa
kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan
maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah
adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya
an-Nabhani. Di antara kitab itu adalah al-Siyāsah al-Iqthiṣādiyyah
96
al-Muṡlā, Naqḍ al-Isytirākiyyah al-Maraksiyyah, Kaifa Hudimat al-
Khilāfah, Ahkām al-Bayyināt, Niẓām al-‘Uqubāt, Aḥkām al-Ṣalāh
dan al-Fikr al-Islāmi.
Top Related