Bell’s Palsy
Felix Winata / D4 / 102012156
0
Bab I
Pendahuluan
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus
fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821)
adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu
semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak
faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
1
Bab II
Pembahasan
2.1 Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan adalah:
- Identitas pasien.
- Keluhan utama : pada skenario, pasien datang dengan keluhan mata sebelah kiri
tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan.
- Keluhan tambahan :
- Riwayat penyakit sekarang :
o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung.
o Rasa nyeri.
o Gangguan atau kehilangan pengecapan.
o Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari
diruangan terbuka atau di luar ruangan.
o Sifat dan beratnya serangan (masih dapat ditahan atau tidak).
o Lokasi dan penyebarannya (dapat menyebutkan tempat sakit atau menyebar).
o Hubungan dengan waktu (kapan saja terjadinya).
o Hubungannya dengan aktivitas (keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas
apa saja).
o Keluhan-keluhan yang menyertai serangan
o Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.
o Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang
memperberat atau meringankan serangan.
o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang
sama.
o Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa
o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang
telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan
dengan penyakit yang saat ini diderita.
o Riwayat penyakit dahulu : bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-
kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
2
penyakit sekarang. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita
seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
- Riwayat kesehatan keluarga.
- Riwayat penyakit menahun keluarga. 1-3
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital
1. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dandapat dibuktikan
dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.
Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang
sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat.
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelopak mata
tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata
ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat
dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal
sebagai Lagoftalmus.
Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat
dikembungkan.
Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya ataudisuruh
meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga
sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.
b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa
pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa
pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan
lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks.
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy adalah
pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada
3
paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata
yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat
diperiksa refleks nasopalpebra pada orang
sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada kedua sisi, sedangkan pada paresis
facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularisoculi
(pemejaman mata pada sisi sakit).2,3
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.
Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.4
2.4 Working Diagnosis
Bell’s palsy
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan
perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.
2.5 Differential Diagnosis
Stroke
4
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya
sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.
WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang
diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu: stroke iskemik maupun stroke hemorragik.
Stroke iskemik
yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau
keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3
jenis, yaitu :
1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena
adanya gangguan denyut jantung.
Transient Ischemic Attacks
Serangan iskemik sepintas merupakan gejala neurologis fokal, timbul mendadakm
berlangsung beberapa menit, pulih kembali dalam 24 jam, kebanyakan TIA kurang dari 5
mnit. Ini merupakan factor resiko terpenting terjadinya stroke iskemik, kebanyakan
disebabkan oleh emboli dan gelajanya sama dengan stroke. Amaurosis fugax (transient
mononuclear blindness) kurang dari 5 menit pada oklusi arteri oftalmika. Karena TIA
merupakan resiko tinggi terjadinya stroke, maka pasien perlu di evaluasi cepat dan di rawat.4
2.6 Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,
5
stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik
dan faktor genetic.
2) Kongenital
a) anomali kongenital (sindroma Moebius)
b) trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3) Didapat
a) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
d) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e) Sindroma paralisis n. fasialis familial.5,6
2.7 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus
per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan
tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.5
2.8 Perjalanan Nervus Facialis
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
6
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah dengan inti pada
nukleus fasialis
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis dengan inti pada nukleus salivatorius.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah dengan inti pada nukleus solitarius.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus
dengan inti pada nukleus sensoris trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-
otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga
menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan
dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa
hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius
atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum,
pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian
depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya
di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari
saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar
di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara
nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII
memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus
intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan
kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui
foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
7
Gambar 1. Perjalanan nervus fasialis
2.9 Patofisiologi
Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal,
atau di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis
keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong
yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentuk kanalis tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang
terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis
bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
8
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.6
Gambar 2. Bell’s palsy
2.10 Gejala Klinik
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu
sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat
gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih
rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya
semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menhgilang sehingga lipatan nasilabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum
atau berkumur air menetes darisudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga
fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang.
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpu
h akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang memper syarafi m.orbikularis
okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna.
Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka
sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam
bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan
ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena
kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh
tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi
9
sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain
yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy.
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan
lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang menuju
ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa
dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan
produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan
terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.
Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian belakang
telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun pada
25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy. Beberapa
pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga
ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot
stapedius.5,6
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :
a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada disebelah
dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat
sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada
posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan
matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak
bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa
angin, debudan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi
karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata
pada waktu makan.
b. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.
Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua
pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius.
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.
d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.
Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut
dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes
10
Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus f
asilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bell’s yangdisertai herpes Zoster pada
ganglion geniculatum, lesi – lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis
auditorium eksterna, dan pada pinna.
e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bell’s Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.
f. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus
fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah
tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectuslateralis atau gerakan
melirik kearah lesi.5,6
2.11 Komplikasi
Crocodile Tear Phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar
ganglion genikulatum.
Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya
adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.
Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan
juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang
timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.7
2.12 Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
11
Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,elektroterapi menggunakan arus
listrik.
Perawatan mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata
dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata
tetap lembab saat bekerja.
Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas
Istirahat
Pembedahan
Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy.
Medika mentosa
Antivirus
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-
obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan
genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis
sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg
selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan
langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat
memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.
12
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah
dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
Kortikosteroid.
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi.
Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian
steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/
kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.8
2.13 Preventif
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin
mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah
langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-
langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat
pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain
tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata.
Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi
menyebabkan serangan Bell’s Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.
Tutupi wajah dengan kain atau penutup.7
2.14 Prognosis
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
13
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu
4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, dan kadang
spasme hemifasial.
14
Bab III
Kesimpulan
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy Adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan
inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan
menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang
sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obat anantiviral dan
kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s
palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis.
Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.
2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17.
Jakarta:EGC;2007.hal. 267-83.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan
riwayat kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.
4. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2009.
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,
5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2006. 159-163.
6. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. Hal.966-71.
7. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis
diagnosis dan tatalaksana penyakit araf. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC; 2007. Hal 140.
8. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
16