LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK
DEFINISI
Leukemia granulositik kronik (LGK) atau disebut juga leukemia mielositik kronik
adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah
satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten
dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL. Penyakit
mieloproliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan
diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.1,2,3
EPIDEMIOLOGI
Leukemia granulositik kronis merupakan 15 % dari seluruh kasus leukemia dan
merupakan leukemia kronis yang paling sering dijumpai di Indonesia. Sedangkan di
negara barat leukemia kronis lebih banyak dijumpai dalam bentuk leukemia
limfositik kronis. Insiden LGK di Negara barat: 1- 1,4/100.000/ tahun. Umumnya
LGK mengenai usia pertengahan dengan puncak umur 40- 45 tahun.1,2
ETIOLOGI
Menurut Markman (2009), leukemia mielositik kronik adalah salah satu kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus.
Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi
respirokal dari gen BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9,
menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang dijuluki kromosom Philadelphia.
Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut, meningkatkan proliferasi dan
menurunkan apoptosis dari sel ganas.3,5
1
KLASIFIKASI
Leukemia granulositik kronis terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :4,6
1. Leukemia myeloid kronis, Ph positif.
2. Leukemia myeloid kronis, Ph negatif.
3. Juvenile chronic myeloid leukemia
4. Chronic netrofilik leukemia.
5. Eosinophilic leukemia
6. Chronic myelomonocytic leukemia.
PATOGENESIS
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari
kromosom 22, yaitu kromosom Philadelphia (Ph). Kromosom ini dihasilkan dari
translokasi t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari
protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian
kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5’ BCR berfusi
dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu protein fusi
berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk
ABL 145 kDa yang normal. Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molekular,
didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9
(9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak
di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis
sebagai BCR-ABL.3,5,6
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada
sistem hematopoiesis. Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis
sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal.
Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang mendesak sistem
hematopoiesis.3,4,5
2
TANDA DAN GEJALA KLINIK
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
kroik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti
diremas diperut kanan atas akibat peregangan kapsul limpa. Keluhan lain sering tidak
spesifik, misalnya rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi,
keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama.
Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi
sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh
pasien, maka seperti terlihat pada Tabel 1.1,2,3,4
Tabel 1. Urutan Keluhan dan Gejala Pasien Berdasarkan Frekuensi
Keluhan dan Gejala Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
Penurunan berat badan 80
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut 30
Demam 10
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau
mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis,
3
maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase
akselerasi adalah leukositosis yang sulit di kontrol oleh obat-obat mielosupresif,
mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan
trombosit<100.000/mm3. Secara klinis , fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya
sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat,
timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.3,5,6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara
20-60.000/mm3. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah
trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mm3, tetapi dalam beberapa kasus
dapat normal atau menurun.2,3
2. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan
adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan
diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.3
3. Apus Sum-sum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga
meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sum-sum tulang
mengalami fibrosis.2,3
4. Kariotipik
4
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa
aberasi kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara
lain : +8, +9, +19, +21, i(17).1,2,3
PENGOBATAN
Terapi LGK tergantung dari fase penyakit, yaitu :3,4
1. Fase kronis :
a. Busulfan
b. Hydroxyurea
c. Interferon alfa
2. Fase akselerasi : sama dengan leukemia akut, tetapi respon sangat rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang.
4. Terapi memakai prinsip biologi molekuler dengan menggunakan obat baru
Imatinib mesylate.
A. Hydroxyurea (Hydrea)
Hydroxyurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim
ribonukleotida reduktase sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida
trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA. Obat ini diberikan per oral dan
menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%. Merupakan terapi terpilih untuk
induksi remisi pada leukemia mielositik kronik.1,3,5
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai
maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mm3 atau
trombosit <100.000/mm.1,4,5
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit
kepala, letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus.
B. Busulfan
5
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik.
Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada
dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan.6,8,9
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya
sebanyak 2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini
diberikan sampai hitung leukosit mencapai <10.000/mm3, kemudian pemberian obat
dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mm3.7,9
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah
asthenia, hipotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Selain itu juga dapat
menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat
menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal.6
C. Imatinib mesylate
Imatinib mesylate merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein
BCR-ABL dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan
untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang
ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang
menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi
dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme
oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses.5,6
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi
penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi
maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi
800mg.5,6
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat
ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3
6
bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb
menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah
trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mm3) atau
trombositopeni (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk
fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari.1,4
D. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat
ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome.
Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah
12 bulan terapi. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, dosis yang
dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari.3,6
E. Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa
remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok
sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif.3
Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3- 5 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya obat- obat baru, median
kelangsungan pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Faktor-faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain :
Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam.
Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.2,6
7
SINDROMA EVANS
PENDAHULUAN
Sindroma Evans didefinisikan sebagai gabungan antara Anemia Hemolitik Autoimun
(AIHA) dan Imun Trombositopenia Purpura (ITP) dengan tidak ada penyakit
dasarnya. Sindrom Evans pertama kali ditemukan pada tahun 1951 oleh Roberts
Evans yang menunjukan bukti adanya hubungan antara anemia hemolitik akut dan
trombositopeni purpura primer dengan patogenesis yang sama.Anemia hemolitik akut
terbukti adanya autoantibodi pada eritrosit sedangkan pada imun trombositpenia
purpura disebabkan adnya autoantibodi pada trombosit yang didukung adanya faktor
aglutinasi trombosit dalam serum.10,11
Sindroma Evans adalah penyakit autoimun yang jarang dimana tubuh
membuat antibodi yang dapat menghancurkan eritrosit dan trombosit.Sindroma
Evans ditandai dengan trombositopeni dan anemia hemolitik dengan Coombs tes
positif dan tidak ada penyakit dasar dengan adanya tanda hemolisis berupa bilirubin
indirek serum meningkat, gambaran darah tepi menunjukkan anemia dan
trombositopenia tetapi tidak sferositosis dengan imunosupresi dapat dicapai dengan
steroid.10,11
ETIOLOGI
Penyebab pasti sindroma Evans tidak diketahui sampai sekarang. Penyebab sindoma
Evans berkaitan langsung dengan rendahnya kadar eritrosit dan trombosit dalam
darah akibat antibodi mengikat sel darah yang kemudian menghancurkan sel darah
tersebut. Antibodi dalam kondisi normal terhadap zat asing pada tubuh sangat
berguna dalam mencegah infeksi. Dalam kondisi yang disebut sebagai autoimmune
dimana tubuh membuat antibodi terhadap dirinya sendiri. Pada sindroma Evans untuk
saat ini tidak diketahui apa yang memicu terjadinya reaksi ini. 11,13
GAMBARAN KLINIS
8
Gambaran klinis sindroma evans meliputi hemolitik autoimun berupa warna kulit
pucat, kelelahan, mata kuning, sesak nafas, takikardi dan urin berwarna gelap,
sedangkan imun trombositopenia purpura berupa petekie ,memar dan perdaharan
mukosa. Pada pemeriksaan fisik ditemukan limfadenopati dan organomegali
intermiten dapat terlihat pada eksaserbasi akut 10,11
DIAGNOSIS
Kriteria untuk diagnosis sindroma Evans adalah (1) anemia hemolitik autoimun
dengan tes Coombs direk positif (2) imun trombositopenia purpura terjadi secara
bersamaan atau simultan,dan (3) tidak ada penyebab penyakit dasarnya. Anemia
hemolitik autoimun adalah kelainan autoimun yang disebabkan oleh pembentukan
autoantibodi terhadap sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek yang dapat
menimbulkan hemolisis ekstravaskuler atau intravaskular. Diagnosis anemia
hemolitik autoimun didapatkan dua kriteria yaitu adanya serologis antibodi eritrosit
dan adanya laboratorium atau klinis hemolisis. Imun trombosipenia purpura adalah
gangguan autoimun ditandai dengan jumlah trombosit darah perifer kurang dari
150.000/uL akibat autoantibodi sehingga mengakibatkan penghancuran trombosit
terutama di limpa 10,11
Pada sindrom Evans dimana anemia hemolitik autoimun dan imun
trombositopenia purpura ditemukan sekaligus termasuk sekunder dari penyakit
dasarnya yang paling sering ditemukan adalah leukemia, penyakit limpoproliferatif,
SLE, skleroderma, penyakit jaringan ikat campuran, tiroiditis hashimoto, sindrom
uremik hemolitik, trombotik thrombositopenia purpura, sirosis hati, sarkoidosis dan
amiloidosis. Pada orang dewasa penyebab yang mendasari ada sekitar 70% dari kasus
sindrom ini. 10,12
Pemeriksaan hapusan darah tepi memberikan gambaran anemia pada AIHA
yang dapat ditemukan polikromasi dan sferosit yang berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti keganasan, anemia hemolitik mikroangiopati, hemolitik
kongenital dan trombositopenia. Tanda–tanda hemolisis adalah meningkatnya jumlah
retikulosit, bilirubin tidak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Tes direk
9
Antiglobulin selalu positif walaupun tidak ada anemia hemolitik sedangkan IgG,
komplement (C3) dan tes indirek antiglobulin juga positif. 11,12
Pada sindroma Evans dapat ditemukan tes Coombs direk positif dengan IgG
dan komplemen juga positif dan beberapa pasien tes indirek antiglobulin juga positif.
Tes direk antigobulin negatif dapat terjadi pada pasien anemia hemolitik autoimun
dengan adanya hemolisis dan elusi antibodi eritrosit adalah pemeriksaan yang dapat
mengetahui adanya autoantibodi pada pasien dengan tes direk antiglobulin negatif.
Beberapa mekanisme dapat dijelaskan adanya sensitisasi pada IgG yang dapat
dideteksi dan antibodi IgA dan IgM tidak terdeteksi oleh reagen antiglobulin dan
sangat sensitif dengan menggunakan tekhnik gel. 12
Tes autoantibodi trombosit dan granulosit positif pada sindrom Evans
sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis dan sebagai tes rutin untuk
diagnosis tidak banyak membantu. 12
Pemeriksaan sumsun tulang dapat digunakan sebagai evaluasi sindroma Evans
yang berguna untuk menyingkirkan penyakit infiltrasi pada pasien yang datang
dengan pansitopenia. Pada sumsum tulang dapat ditemukan hiperplasia eritrosit
kadang – kadang hipoplasia apabila anemia hemolitik autoimun lebih dominan atau
pada stadium terminal. Megakariosit yang normal atau meningkat memastikan
trombositopenia disebabkan oleh penghancuran trombosit berlebihan dalam darah.
Pasien dengan sindrom Evans mengalami penurunan T4 (T-helper), peningkatan T8
(T-suppresor), penurunan rasio sel T4 : T8 dan penurunan kadar IgG, IgM, IgA dalam
serum.11,13
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan sindroma Evans melibatkan pemantauan jumlah hemoglobin dan
trombosit. Untuk meningkatkan jumlah trombosit dan eritrosit dalam darah, pasien
dapat diberi kortikosteroid seperti prednison. Prednison dapat mengurangi
penghancuran trombosit dan eritrosit. Dosis tertentu prednison perlu selama hidup
untuk mencegah rendahnya trombosit dan eritrosit. Terapi lebih lanjut diperlukan
obat immunosupresi untuk menghambat produksi antibodi. Pada kasus lebih berat
yang tidak direspon dengan pengobatan perlu dilakukan splenektomi.13,14
10
PROGNOSIS
Berdasarkan gambaran klinis penyakit ini berhubungan langsung dengan kelainan
laboratorium dengan prognosis tergantung respon pasien terhadap pengobatan.
Remisi spontan dapat terjadi berdasarkan keadaan individu masing – masing.
Pengobatan tetap dibutuhkan pada jangka panjang dengan hasil laboratorium terus
dimonitor untuk mendeteksi adanya perubahan sehingga pengobatan dapat
disesuaikan. Sindrom Evans merupakan penyakit yang jarang yang memiliki angka
kematian di bawah 18%.13
Sindroma Evans ditandai adanya episode berulang, relap dan remisi dari ITP
dan AIHA. Pada beberapa pasien penyembuhan jangka panjang dapat dicapai dengan
transplantasi stem sel. Pada follow up jangka panjang relap lebih sering pada ITP
dibanding AIHA.13
11
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 29 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP dr.
M. Djamil Padang sejak tanggal 19 Oktober 2013 dengan :
Keluhan Utama:
Perut sebelah kiri terasa semakin membengkak sejak 1 minggu yang lalu.Riwayat Penyakit Sekarang :
Perut sebelah kiri terasa semakin membengkak sejak 1 minggu yang lalu. Bengkak
tersebut sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, membesar sedikit demi sedikit,
teraba keras dan dirasakan menyesak ke atas sehingga terkadang pasien merasakan
sesak.
Berat badan menurun dalam 1 tahun ini tapi pasien tidak tahu pasti berapa turunnya.
Badan terasa letih dan lesu sejak 1 tahun yang lalu.
Pucat disadari pasien sejak 6 bulan yang lalu.
Perut cepat penuh terutama setelah makan dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Demam sejak 2 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak tinggi, tidak menggigil.
Keluhan ini sebenarnya sudah dirasakan sejak 1 tahun ini.
Nafsu makan biasa. Riwayat memar-memar di kulit tidak ada.
Riwayat perdarahan tidak ada.
Buang air kecil dan buang air besar biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Tidak pernah menderita sakit kuning sebelumnya.
Tidak ada riwayat transfusi darah sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
12
Tak ada anggota keluarga yang menderita sakit kanker.
Tak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini.Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan
Pasien adalah seorang tukang bangunan.
Riwayat radiasi tidak ada.
Riwayat pemakaian obat-obat atau bahan kimia tidak ada.
Riwayat tato tidak ada. Riwayat sex bebas disangkal.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88x/ menit, reguler, pengisian cukup
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,5 °C
Keadaan umum : sedang
Keadaan gizi : sedang
Berat badan : 53 Kg
Tinggi badan : 162 cm
BMI : 20,7 (normoweight)
Edema : (-)
Ikterus : (-)
Anemis : (+)
Sianosis : (-)
Kulit : sawo matang, turgor baik, hangat
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
13
Gigi dan mulut : caries (-)
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O
Dada :
Paru Depan
Inspeksi : Simetris kiri = kanan, statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler normal, ronchi -/- , wheezing -/-
Paru Belakang
Inspeksi : Simetris kiri = kanan, statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler normal, ronchi -/- , wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis Dextra, kiri 1
jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama reguler, M1 > M2, P2 =A2,bising(-)
Abdomen :
Inspeksi : tampak membuncit
Palpasi : hepar tidak teraba ,Lien teraba S7.
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan (-), nyeri ketok sudut CVA (-)
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anus : tidak ada kelainan
Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-, edema -/-
Hasil Laboratorium:
14
Darah :
Hemoglobin : 7,6 gr/dl
Hematokrit : 27 %
Trombosit : 244.000/mm3
Leukosit : 393.800/mm3
Hitung jenis : 0/10/19/21/1/0
LED : 25 mm/jam
Sel blast : 3 %
Promielosit : 11 %
Mielosit : 32 %
Metamielosit : 3 %
Gambaran darah tepi: normokrom anisositosis, polikromasi (+), eritrosit berinti 3/100
leukosit, leukositosis dengan blast 3%, promielosit 11%, mielosit 32%, metamielosit
7%, trombosit kesan jumlah cukup.
Urinalisis :
Leukosit : 1-2 /LPB Eritrosit : 0-1/LPB
Epitel : (+) gepeng Silinder/kristal : (-)
Protein : (-) Urobilinogen : (+)
Bilirubin : (-) Glukosa : (-)
Feses :
Makroskopik : warna kuning, konsistensi keras, darah (-), lendir (-)
Mikroskopik : eritrosit 0-1/LPB, leukosit 1-2/LPB , amuba (-), cacing (-)
Daftar Masalah :
Leukemia granulositik kronik
Anemia sedang normositik normokrom
Diagnosis Kerja:
Leukemia granulositik kronik fase kronik
Anemia sedang normositik normokrom ec susp hemolitik ec autoimun
15
Diagnosis Banding:
Leukemia granulositik kronik fase akselerasi
Leukemia granulositik kronik fase krisis blast
Leukemia limfositik kronik
Anemia sedang normositik normokrom ec hemolitik ec non autoimun
Terapi:
Istirahat / Diet TKTP 1900 kkal
(karbohidrat 250 gr/ protein 50 gr/ lemak 75 gr)
NTR 3 x 1 tablet
Pemeriksaan Anjuran:
Darah perifer lengkap : jumlah eritrosit, MCV, MCH, MCHC, retikulosit
Albumin, globulin, SGOT, SGPT
Coomb’ test
Bone Marrow Puncture (BMP)
Follow Up
21 Juni 2013
S/ Perut membengkak (+), rasa menyesak ke atas dan cepat penuh saat makan (+),
demam (-), batuk (-)
O/ KU : sedang Kesadaran: CMC TD: 110/70mmHg
HR : 82x/ menit Napas: 20 x/menit Suhu: 37,3oC
Laboratorium :
- Albumin : 4,1 g/dL
- Globulin : 3 g/dL
- SGOT : 25 u/l
- SGPT : 12 u/l
- Eritrosit : 2,39 juta/uL
- MCV : 91,2 fL
- MCH : 30,1 pg
- MCHC : 33 %
16
- Retikulosit : 2,69%
Kesan : Anemia sedang normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
DD/Anemia sedang normositik normokrom ec hemolitik ec non autoimun
Rencana : Coomb’ test
24 Oktober 2013
S/ Perut membengkak (+), demam (-), perdarahan (-)
O/ KU: sedang Kesadaran: CMC TD: 110/70 mmHg
HR: 78 x/i reguler Napas : 20 x/menit Suhu : 36,5oC
Hasil Laboratorium :
Coomb’ test : (+); DCT (+), ICT (-)
Kesan : Anemia hemolitik autoimun
Rencana : Screening antibodi
Sikap : metilprednisolon tablet 16 mg – 16 mg – 16 mg
28 Oktober 2013
S/ Perut membengkak (+), perdarahan (-)
O/ KU: sedang Kesadaran: CMC TD: 110/70 mmHg
HR: 84 x/i reguler Napas : 22 x/menit Suhu : 36,8oC
Asam urat darah: 9,7 mg/dl
LDH : 2231 u/L
Ca darah : 9,6 mg/dl
Kesan : hiperurisemia
Th/ : allupurinol 2x200mg
Therapi lain lanjut
P/ BMP hari ini
17
01 November 2013
Hasil BMP: Partikel ditemukan, hiperseluler, megakariosit ditemukan dengan
pancaran trombosit cukup. Aktivitas mielopoeitik meningkat, ditemukan semua tahap
maturasi dengan dominasi sel matang (mieloblast 9%). Aktivitas eritropoeitik
tertekan. M : E = 45 : 1.
Kesan : Gambaran sumsum tulang sesuai dengan LGK fase kronik.
Rencana : Cek kromosom Philadelpia dan Gen BCR-ABL
Sikap : - Hydroxyurea 1 x 1.500 mg
- Allopurinol 1 x 1 tab
12 Juli 2013
S/ Perut membengkak (+) namun sudah tidak terlalu menyesak ke atas. Makan sudah
habis. Perdarahan (-)
O/ KU: sedang Kesadaran: CMC TD: 110/70 mmHg
HR: 86 x/i reguler Napas : 21 x/menit Suhu : 36,7oC
Laboratorium:
Hemoglobin : 9,4 gr/dl
Hematokrit : 29,9 %
Trombosit : 156.000/mm3
Leukosit : 252.000/mm3
Kesan : Perbaikan kadar hemoglobin dan trombosit.
Keluar Hasil Screening Antibodi :
Kesan : AIHA tipe dingin
18
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, berumur 27 tahun di Bangsal Penyakit
Dalam RSUP dr.M.Djamil Padang dengan diagnosa akhir : Leukemia granulositik kronik fase kronik
Evans Syndrome
Diagnosa leukemia granulositik kronik pada pasien ini ditegakkan
berdasarkan adanya keluhan perut sebelah kiri yang semakin membengkak,
penurunan berat badan, badan letih lesu, perut cepat penuh dan ditemukannya
hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis dengan
2% sel blas dan hasil BMP gambaran hiperseluler dengan perbandingan mieloid dan
eritroid meningkat (M : E = 96 : 1) dengan kesan leukemia granulositik kronik.
Pemeriksaan kromosom Philadelphia pada pasien ini bertujuan untuk
mengetahui terapi dan prognosis, dimana Fadjari, 2006 mengatakan bahwa pasien
LGK dengan kromosom Philadelphia (+) pada fase kronik dapat diberikan Imatinib
mesylate dengan dosis 400mg/hari, sedangkan pada fase krisis blas dapat langsung
diberikan dosis 800mg/hari.
Evans Syndrome ditegakkan berdasarkan adanya Anemia Hemolitik
Autoimun dan Immune Trombocytopenia Purpura. Pada pasien LGK fase kronik,
kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun dan trombosit biasanya meningkat.
Namun pada pasien ini didapatkan anemia dengan kadar Hb 6,6 g/dL dan trombosit
93.000/mm3. Sehingga dipikirkan adanya suatu kejadian yang terpisah dari akibat
penyakit LGK itu sendiri.
Anemia hemolitik autoimun pada pasien ini ditegakkan berdasarkan adanya
keluhan badan letih-letih, pucat dan ditemukannya konjungtiva anemis dengan
hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai hemoglobin 6,6
g/dL, terdapatnya polikromasi, retikulositosis dan Coomb’ test Direct serta Indirect
yang positif.
19
Pemeriksaan screening antibodi pada pasien ini adalah cold antibodi yang
menunjukkan anemia hemolitik autoimun tipe dingin. Penatalaksanaan AIHA pada
pasien ini adalah dengan menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.
Setelah diberikan metil prednisolon dengan dosis 0,8 – 1 mg/Kg/BB/hari, terlihat
respon perbaikan yaitu peningkatan Hb serta trombosit.
Pada jurnal-jurnal epidemiologi disebutkan bahwa AIHA biasanya sebagai
prediktor untuk terjadinya Leukemia Granulositik Kronik. Namun hubungan secara
langsung antara AIHA dengan LGK sampai saat ini masih belum bisa dijelaskan.
Askling (2005) dan Zheng (1993) menyebutkan bahwa penyakit-penyakit autoimun
berhubungan dengan peningkatan resiko keganasan mieloid termasuk leukemia
mielositik akut & leukemia mielositik kronik. Laporan terakhir oleh Anderson (2009)
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan resiko LGK pada pasien dengan penyakit-
penyakit autoimun seperti pada AIHA (OR 5,23 ), coeliac disease (OR 4,19),
dermatomyositis/polymyositis ( OR 3,97 ), dan polymyalgia rheumatika (OR 1,7).8,9
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Fadjari H. Leukemia granulositik kronis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Editor. Sudoyo A.W dkk. Ed 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006;698-7001.
2. Bakta IM. Leukemia dan penyakit mieloproliperatif. Dalam: Hematologi
ringkas. Editor. Khastifah dan Purba DL. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2007; 137-44.
3. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Leukemia myeloid chronic dan
mielodisplasia. Dalam : Kapita selekta hematologi, ed 4. Penerbit buku
kedokteran EGC, 2002 .p.167- 76Anderson L.A,Pfeiffer R.M, Landgren
O.G.S, Engels E.A. Risk of myeloid malignancies in patients with
autoimmune conditions. Br J Cancer. 2009; 100(5):822-8.
4. Ramadan S.M, Fauad T.M, Summa V, Hasan, S.KH. Acute myeloid leukemia
developing in patients with autoimmune disease. Haematologica 2012 ; 97 (6)
: 805-817.
5. Robinowitz I, Larson RS. Chronic myeloid leukemia in Wintrobe Clinical
Haematology. Ed. Greer JP et al, 7 th edition. Lippincontt Williams and
Wilkins, Philadelpia. 2004.p.2235-53
6. Price S.A, Wilson L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.2006.
7. Vardiman J.W, 2009. Chronic myelogenous leukemia, BCR-ABL1+,
American Journal Clinical Pathology, 132, 248-9.
8. Lichtman M.A, Liesveld JL. Chronic myelogenous leukemia and related
disorder.In : Wiliams Hematology. Ed. Lichtman MA et all, 7 th edition. Mc
Graw- hill medical publishing division. New York.p.1237- 68.
9. Markman, M. Chronic myeloid leukemia and BCR-ABL, Emedicine.2009.
21
10. Norton,A and Roberts, I. Management of Evans syndrome. British Journal of
Haematology 2006, 132,125-137.
11. Michael,M. The spectrum of Evans syndrome in adults : new insight into the
disease based on the analisys of 68 cases.Blod 2009:3167-3172.
12. Kabir. Evans syndrome. Journal Medicine 2010, 11,78-82.
13. Teachey DT, et al. Unmasking Evans syndrom: T-cell phenotype and
apoptotic response reveal autoimune lymphoroliferative syndrome (ALPS).
Blood 2005, 105, 2443 -2448.
14. Barentsen,S. Rituximb for the treatment of autoimmune cytopenias.The
hematology Journal 2007;92(12) 1589-1596.
22