ANASTESI SPINAL PADA OPERASI SECTIO SECAREA DENGAN
RIWAYAT PREEKLAMPSI BERAT
(Case Report OK)
Oleh:
Tetra Arya Saputra
Ahmad Farizan R.
Lovensia
Rinavi Adrin
Pembimbing:
dr. Hartawan, Sp.An
dr. Yusnita Debora, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD AHMAD YANI
2014
1
I. STATUS ANESTESI PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Ny. J
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bangun Rejo
Diagnosa : G4P2A1
Operasi : Sectio Caesaria + MOW
Operator : dr. Wahdi, Sp.OG
Ahlianestesi : dr. YusnitaDebora,Sp.An
No. RM : 237199
Anamnesis : autoanamnesa
A. Anamnesis:
Keluhan Utama: mau melahirkan dengan hipertensi dan glaukoma
Riwayat:
Pasien datang ke RSAY Metro dengan keluhan mau melahirkan dengan
hipertensi dan glaukoma.Keluhan disertai dengan pusing, kaki bengkak.
Pasein hamil 35 minggu. Pasien sebelumnya periksa ke RS permata Hati,
kemudian dokter menyarankan untuk di rawat. Akhirnya pasien dibawa ke
RSAY Metro. Setelah dirawat dokter menyarankan untuk terminasi
kehamilan dengan SC. Kemudian pasien diminta untuk puasa.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat Alergi tidak ada
2
Riwayat Operasi sebelumnya ada, operasi glaukoma 9 tahun yang lalu
Riwayat asma tidak ada
Riwayat DM tidak ada
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat hipertensi ada
Riwayat Asma tidak ada
Riwayat Alergi tidak ada
B. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 190/110 mmhg
Nadi : 90 x/menit
RR : 25x/menit
Suhu : 36,50C
Berat Badan : 50kg
Tinggi badan : 150 cm
Kepala
Mata : Konjungtiva ananemis
Sclera : Ikterik (-)
Mallampati score : 4
Tiromental distance : 6 cm
Leher
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
KGB : Pembesaran (-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Kesan redup
3
Auskultasi : BJ1-BJ2 reguler, gallop (-). Murmur (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan kedua hemithorax simetris
Palpasi : Fremitus normal
Perkusi : Sonor/sonor
Auskulasi : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : cembung, simetris
Palpasi : hepar dan lien tidak bisa dinilai
Perkusi : tidak dilakukan
Auskulasi : BU (+)
Ekstremitas
Atas : Hangat +/+, edem -/-
Bawah : Hangat +/+, edem -/-, deformitas-/-
Status obstetri
TFU 21cm
Memanjang, puka
G4P2A1 (35 minggu)
C. Pemeriksaan Penunjang:
1. Hematologi
Darah Rutin Hasil Normal
Haemoglobin 10,9 g/dl 12 – 16 g/dl
Hematokrit 29,4 % 35 – 47%
Leukosit 11.600/μl 3.800 – 10.600 /μl
Trombosit 150.000/μl 150.000- 450.000 /μl
Eritrosit 3,9juta/μl 3,6- 5,8 juta/μl
MasaPerdarahan 2’ 1’-6’
MasaPembekuan 12’ 9’-15’
Kimia Darah Hasil Normal
4
AST (SGOT) 15 <25 U/L
ALT (SGPT) 16 < 30 U/L
Ureum 23 mg/dl 15-50 mg/dl
Kreatinin 0,88 mg/dl 0,8 - 1,3 mg/dl
2. Urine lengkap
Urine lengkap Hasil Normal
Warna Kuning jernih
pH 6,5 5 – 8
Protein Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
D. Diagnosa
G4P2A1 hamil 35 minggu belum inpartu JTH preskep + PEB + glaukoma
(ASA II)
E. Informed Consent
Tindakan anestesi dan operasi telah diterangkan dan dimengerti, disetujui,
kemudian ditandatangani oleh keluarga pasien.
F. ProsedurAnestesi
Status Fisik : ASA II
Kesadaran : Compos mentis
Airway : bernafas spontan
Tekanan Darah : 190/110 mmhg
Nadi : 90 x/menit
RR : 25x/menit
Suhu : 36,50C
SpO2 : 99%
Premedikasi : nifedipin 10 mg
Tindakan Operasi : sectio caesaria + MOW
5
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Teknik Anestesi : spinal
pasien dalam posisi duduk tegak dan kepala menunduk
Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu regio vertebra lumbal
4-5
Dilakukan subarachnoid blok dengan jarm spinal no 27 pada regio lumbal
4-5
Approach median
Barbotage (+)
LCS keluar jernih
Respirasi spontan
Medikasi
Anestesi spinal : Bupivacain 20 mg (1 ampul)
Posisi : telentang
Durante operasi : O2 2 liter
Cairan
Total Asupan Cairan
1. Kristaloid : RL 2 colf
2. Produk Darah : -
Cairan yang Keluar
1. Perdarahan : 400 ml
2. Urin : 100 ml
G. Monitoring
Monitoring selama operasi ( 1 jam )
Nadi
Saat mulai anastesi : 95 x/ menit
Saat operasi : Nadi tertinggi : 100 x/menit
Nadi terendah : 80 x/menit
6
Saturasi oksigen : 98-100 %
H. Instruksi Post Operasi
Posisi pasien bedrest, jaga jalan nafas
Infus RL 30 tetes / menit mikro
Monitoring jalan nafas
Analgetik ketoprofen sup 3 dd 2
Taximax 2dd1g
Amlodipin 1x10 mg
Puasa4 jam
Awasi perdarahan
I. Keadaan Pasca Bedah
Pasien masuk ICU dengan keadaan
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanandarah : 179/99 mmHg
Nadi : 83x / menit, bernapas spontan
Respirasi : 18 x / menit
Suhu ; 36,5 celcius
J. Resume ProsedurAnestesi
Ny J, usia 40 tahun dengan diagnosis G4P2A1 hamil 35 minggu dengan
PEB dan glaukoma status ASA II. Pada pasien ini dilakukan tindakan
operasi SC + MOW, dilakukan premedikasi dengan nifedipin 10 mg,
kemudian pembiusan spinal anestesi dengan bupivacaine 20 mg. Nadi saat
mulai anastesi 95x/menit, saat operasi nadi tertinggi 100x/menit dan nadi
terendah 80x/menit, dengan saturasi oksigen 98-100%. Pada saat operasi
berlangsung total cairan yang masuk (RL) 1000cc dan total cairan yang
keluar (darah dan urin) 500cc
B. TINJAUAN PUSTAKA
7
Anestesi
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi
lokal. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan
atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar
pembedahan.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi lokal yaitu teknik
untuk menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu.
Persiapan pra anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan
pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada
bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada
bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:
- Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
- Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
- Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American
Society of Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA IIPasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian / live style terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA VPasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa
operasi. Angka mortalitas 98%.
8
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.1
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik,
dan muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
9
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional.
Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal pethidin
e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
10
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi
sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap
jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil
g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
Dalam kondisi ibu dan fetus normal, dapat dilakukan 2 pilihan teknik
anestesi yaitu General Anestesia dan Regional Anestesia. GA dan RA yang
dilakukan dengan terampil, hampir sama pengaruhnya terhadap bayi baru lahir.
Namun demikian, karena risiko untuk ibu dan kaitannya dengan Apgar skor yang
lebih rendah dengan GA, maka RA untuk bedah Cesar lebih disukai. RA akan
memberikan hasil neonatal terpapar lebih sedikit obat anestesi (terutama saat
digunakan teknik spinal), memungkinkan ibu dan pasangannya juga dapat
mengikuti proses kelahiran bayi mereka.
Penggolongan anestesi lokal:
11
Anestesi Lokal
Struktur Kimia obat
Cara Pemberian
Potensi Obat
Ester
Amide
Blok Saraf Sentral
Blok Saraf Tepi
Short Acting
Medium Acting
Kokain , Klorprokain, Benzokain, Prokain, Tetrakain
Lidokain, Prilokain, Etidokain, Bupivakain, Mepivakain, Ropivakain
Long acting
Topical
infiltrasi
Blok nerv
Regional iv
ganglion
pleksus
spinal
epidural
servikal
torakal
lumbal
Sacral/
kaudal
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan
tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas
bawah. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan larutan anestesi lokal kedalam
ruang subarakhnoid paralisis temporer saraf
12
Lokasi : L2 – S1
Keuntunganteknikanestesispinal :
• Biaya relatif murah
• Perdarahan lebih berkurang
• Mengurangi respon terhadap stress (perubahan fisiologis tubuh terhadap
kerusakan jaringan)
• Kontrol nyeri yang lebihsempurna
• Menurunkan mortalitas pasca operasi
Indikasi
a. bedah abdomen bagian bawah, misal: op hernia, apendiksitis
b. bedah urologi
c. bedah anggota gerak bagian bawah
13
d. bedah obstetri ginekologi
e. bedahanorectal& perianal, misal: ophemoroid
Kontraindikasi
Absolut
1. Kelainan pembekuan darah (koagulopati)
2. Infeksi daerah insersi
3. Hipovolemia berat
4. Penyakit neurologis aktif
5. Pasien menolak
Relative
1. R. pembedahanutamatulangbelakang
2. nyeripunggung
3. aspirin sebelumoperasi
4. Heparin preoperasi
5. Pasien tidak kooperatif atau emosi tidak stabil
Komplikasi
Akut
1. hipotensidikarenakandilatasipembuluh darahmax
2. bradikardi dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA
14
3. Hipoventilasi berikan O2
4. Mual muntah dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan
epedril
5. total spinal obat anestesi naik ke atas, berikan GA
Pasca tindakan
1. nyeritempatsuntikan
2. nyeripunggung
3. nyerikepala
4. retensi urin dikarenakan sakral terblok pasang
kateter
Prosedur
a. Persiapan
1. Persiapanpasien
- Informed consent
- Pasangmonitorukurtanda vital
- Pre load RL/NS 15 ml/kgBB
2. Alatdanobat
- Spinal nedle G 25-29
- Spuit 3 cc/5cc/10cc
- Lidokain 5% hiperbarik, Bupivacaine
- Efedrin, SA
- Petidin, katapres, adrenalin
15
- Obat emergency
b. Posisi pasien
- Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah
lagi,karena perubahan posisi berlebihan dalam waktu 30 menit pertama
akan menyebabkan penyebaran obat. Jika posisi duduk, pasien disuruh
memeluk bantal, agar posisi tulang belakang stabil, dan pasien
membungkuk agar prosesus spinosus mudah teraba. Jika posisi dekubitus
lateral, maka beri bantal kepala, agar pasien merasa enak dan
menstabilkan tulang belakang.
- Tentukan tempat tususkan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk
Tusukan pada L1-2 atau diaatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
- Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol
- Beri anestetik lokal pada tempat tusukan.
- Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal kearah
cranial. Jarum lumbal akan menembus kulit-subkutis-lig.supraspinosum-
16
lig. interspinosum-lig. flavum-ruang epidural-duramater-ruang sub
arakhnoid. Kira-kira jarak kulit-lig.flavumdewasa ±6cm.
- Cabut stilet maka cairan serebro spinal akan menetes keluar.
- Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarumt etap baik.
Posisiduduk
Keuntungan: lebih nyata, processus spinosum lebih mudah diraba, garis
tengah lebih teridentifikasi (gemuk)
BUPIVACAINE
- Farmakodinamik :
Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di
dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini
memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Absorpsi
sistemik anestetik ini dapat mengakibatkan perangsangan dan atau penekanan
sistem saraf pusat. Rangsangan pusat biasanya berupa gelisah, tremor dan
menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya terjadi henti napas. Fase
depresi dapat terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.
- Farmakokinetik :
Kecepatan absorpsi anestetik ini tergantung dari dosis total dan konsentrasi
obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat pemberian, serta
ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Bupivacaine mempunyai awitan
lambat (sampai dengan 30 menit) tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat
panjang,sampai dengan 8 jam bila digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja
bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa
digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya
sensasi.
17
- Efek samping :
Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan
dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis,
injeksi intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi metabolik yang
lambat.
Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan
kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti jantung.
SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur
atau tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat
diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain yang
mungkin timbul adalah mual, muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.
Kardiovaskuler : Depresi miokardium, penurunan curah jantung,
hambatan jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi
takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung.
Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema
laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid (meliputi
hipotensiberat).
Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan
dan bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal, retensi
urin,inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal dan fungsi
seksual;anestesia persisten, parestesia, kelemahan, paralisis ekstremitas
bawah dan hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala, sakit punggung,
meningitis septik, meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian
persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf
pada kehilangan cairan serebrospinal.
18
Preeklampsia Berat (PEB)
Pengertian
Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala
eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam
kebidanan.
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi
(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam
urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi
dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua
kehamilan. Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang
bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat
bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan
atau koma. Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3%
sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-eklampsia
berat dan eklampsia
Etiologi
Apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum
diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab
penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang
memuaskan.
Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab pre-eklampsia adalah ischemia
placenta. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang bertalian
dengan penyakit ini. Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat
peningkatan angiotesin, renin dal aldosteron sebagai kompensasi sehingga
peredaran darah dan metabolisme dapat berlangsung. Pada preeklampsia dan
eklampsia terjadi penurunan angiotesin, renin, dan aldosteron, tetapi juga
dijumpai edema, hipertensi dan proteinurin. Berdasarkan teori ischemia implantasi
placenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi yang dapat
meningkatkan sensitifitas terhadap angiotesin II, renin dan aldosteron, spasme
19
pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air. Teori ischemia daerah
implantasi plasenta didukung kenyataan sebagai berikut:
a. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil
ganda dan molahidatiosa
b. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan
c. Gejala penyakit berkurang bila terjadi kematian janin
Patofisiologi
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme
dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.
Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis
ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.
Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan
peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi
penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan
tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan
anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.
Faktor Risiko
Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila mempunyai
faktor-faktor predisposi sebagai berikut:
1. Nulipara
2. Kehamilan ganda
3. Usia < 20 atau > 35 th
4. Riwayat preeklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya
20
5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita preeklampsia
6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum
kehamilan
Klasifikasi
a. Preeklamsi Ringan, bila disertai keadaan
berikut:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring
terlentang atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole 30
mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
2) Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat
badan 1 kg atau lebih per minggu. Penambahan berat badan ini disebabkan
oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema nampak, edema
ini tidak hilang dengan istirahat.
3) 3) Proteinurina pada pemeriksaan urin midstream atau kateter menunjukan
+1 atau +2 atau 1 gr/liter.
b. Preeklamsi Berat
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih pada posisi tirah baring
2) Protein uria ≥5 gr dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada pemeriksaan
diagnostik setidaknya pada dua kali pemeriksaan yang berjarak setidaknya
4 jam.
3) Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 400 cc per 24 jam.
4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.
5) Terdapat oedem paru dan sianosis.
c. Eklampsi
Pada umumnya kejangan didahului oleh memburuknya preeklampsia.
Serangan Eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat:
1) Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula
tangannya.
21
2) Kemudian timbul tingkatan kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih
30 detik. Dalam tingkatan ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya
kelihatan kaku tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam.
Pernafasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3) Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang
berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut
membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol.
Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongestian
sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.
4) Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu
sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadai sadar lagi, akan tetapi
dapat terjadi pula bahwa sebelum timbul serangan baru dan yang berulang,
sehingga ia tetap dalam koma.
Sectio Caesaria
Pengertian
Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui
irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim, dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Menurut Wiknjosastro (2002), terdapat beberapa
jenis sectio caesaria yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Sectio caesaria transperitonealis profunda
2. Sectio caesaria klasik/corporal
3. Sectio caesaria ekstraperitoneal
4. Sectio caesaria dengan teknik histerektomi
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesarea
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan
teknik ini antara lain perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak,
bahaya peritonitis tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat
sehingga bahaya rupture uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam
masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat
seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh sempurna.
22
Indikasi Sectio Caesaria
a. Indikasi ibu
1) Disproporsi janin dan panggul
2) Stenosis serviks uteri
3) Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
4) Preeklamsi/hipertensi
5) Bakat rupture uteri
6) Panggul sempit
7) Perdarahan ante partum
b. Indikasi janin
1) Kelainan letak
Letak lintang, letak sungsang, letak dahi dan letak muka dengan
dagu dibelakang, dan presentasi ganda.
2) Gawat janin
c. Indikasi waktu/profilaksis
1) Partus lama
2) Partus macet/tidak maju
Kontraindikasi
a. Infeksi intra uterin
b. Janin mati
c. Syok/anemik berat yang belum diatasi
d. Kelainan kongenital berat
Komplikasi sectio caesaria
Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara
lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan
pembedahan, dan lama persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat
timbul antara lain sebagai berikut:
a. Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa
23
bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca
operatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala
infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi
terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotka, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria
uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
c. Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari
Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya rupture uteri pada masa
kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya perut
pada dinding uterus.
d. Komplikasi pada anak
Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra
natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4%
dan 7%
24
C. ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan terhadap Ny. J, 40 tahun, didapatkan bahwa pasien dengan G4P2A1
hamil 35 minggu dengan PEB dan glaukoma riwayat asma (-), riwayat alergi (-),
riwayat operasi glaukoma 9 tahun yang lalu, riwayat hipertensi (-),riwayat DM (-).
Dalam hal ini, kami menganalisis penentuan ASA, pemedikasi. Pemilihan jenis
anestesi, pemberian terapi cairan durante operasi, manajemen pasca operatif.
1. Penentuan ASA
Pada pasien ini, penentuan ASA sudah tepat, yaitu ASA 2, karena pasien
menderita penyakit sistemik yang ringan yaitu riwayat hipertensi. Hal ini
sesuai dengan landasan teori sebagai berikut :
Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu
klasifikasi status fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk
menilai kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of
Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status enam kategori
fisik;
Kelas Status Fisik
ASA IPasien tidak memiliki kelainan organik maupun
sistemik selain penyakit yang akan dioperasi
ASA IISeorang pasien dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang.
ASA IIISeorang pasien dengan penyakit sistemik berat
yang belum mengancam jiwa.
ASA IVSeorang pasien dengan penyakit sistemik berat
yang mengancam jiwa.
ASA V Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan
dalam waktu 24 jam dengan atau tanpa
pembedahan, kategori ini meliputi penderita yang
25
sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang
tidak terkontrol, begitu juga penderita usia
lanjut dengan penyakit terminal.
ASA VI
Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk
kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan
Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency).
2. Visit pre operasi dan premedikasi
Pada pasien ini, sebelum operasi, telah dilakukan visit terlebih dahulu, visit
pre operasi bertujuan mengetahui kondisi pasien meliputi airway, breathing,
circulasi, dissability, membina sambung rasa pada keluargapasien,
danmenentukan teknik anestesi yang akan dilakukan. Hal-hal tersebut sudah
dilakukan dengan baik pada Ny. J
Pada pasien ini dilakukan premedikasi dengan nifedipin 10 mg bertujuan
untuk menurunkan tekanan darah karena pada pasien ini tekanan darahnya
tergolong tinggi. Pemberian nifedipin aman terhadap ibu hamil, selain untuk
menurunkan tekanan darah juga berfungsi sebagai tokolitik. Nifedipine ini
tidak memiliki efek teratogenik.
3. Pemilihan Jenis Anestesi
Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional
sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa
pasien akan menjalani operasi section secarea sehingga pasien memerlukan
blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam
melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan
mudah digunakan. Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dimana
onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10
menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
26
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Kecepatan absorpsi anestetik ini tergantung
dari dosis total dan konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, dan
vaskularisasi tempat pemberian, serta ada tidaknya epinefrin dalam larutan
anestetik. Selain itu terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya
sensasi.
4. Manajemen Cairan Durante Operatif
Pertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk pasien durante operasi.
Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah
biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu
dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan
diberikan maka akan menyebabkan edema paru.
Perhitungan Rencana Pemberian Cairan
BB : 50 kg
Puasa : 6 jam
Lama operasi : 1 jam
Perdarahan : 400 cc
Cairan yang diberikan : RL 1000cc
a. Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan
9 kg
2cc x 50kg = 100cc/jam
b. Pengganti Puasa
Lama puasa x maintenance = 6 jam x 100 cc = 600 cc
c. Jumlah cairan selama operasi berat (stress operasi)
6cc x 50 = 300 cc/ jam
Jam I : M+SO+1/2PP= 100+300+300= 700 cc
Jam II : M+SO+1/4PP= 100+300+150= 550 cc
27
Jam III : M+SO+1/4PP= 100+300+150= 550 cc
Cairan yang diberikan pada pasien ini selama operasi :
Jam I : RL 1000 cc
Perdarahan selama operasi
Darah yang disuccion = 550 cc
Cuci NaCl = 3 00 cc –
250 cc
Kassa kecil 15 kassa x 10cc = 150 cc
Jumlah perdarahan = 400 cc
Perdarahan = 400 cc
EBV (70 x BB) = 70 x 50 = 3500 cc
Grade Perdarahan
400 x 100% = 11,4%
3500
Jika perdarahan 10% : diganti dengan larutan fisiologis (RL) 3 kali lipat
Jika perdarahan 15-20% : diganti dengan koloid sejumlah perdarahan
Jika perdarahan >20% : diganti dengan wb sejumlah perdarahan
Pada pasien ini terjadi perdarahan sebanyak 11,4% atau 400 cc, sehingga
diberikan pemberian larutan fisiologis (RL) 3 kali lipat.
5. Manajemen Pasca Operatif
Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang ICU. Indikasi pasien
masuk ICU adalah kegagalan atau krisis pada sistem pernafasan, sistem
hemodinamik, sistem saraf usat, sistem endokrin dan metabolik, sistem
pembekuan darah, overdosis obat, reaksi obat dan keracunan, infeksi berat
atau sepsis, dan pasien post operasi besar yang memerlukan pemantauan
28
intensif untuk mencegah komplikasi berat. Pada pasien ini indikasi masuk
ICU adalah post operasi sedang dengan glaukoma yang memerlukan
pemantauan intensif untuk pain management.
Pasien berbaring dengan tetap menjaga dan memantau jalan nafas agar tidak
tersumbat, dengan pemberian oksigen menggunakan nasal canul sebanyak 3
Liter/menit, monitoring pedarahan dan dipuasakan hingga bising usus positif.
29
D. KESIMPULAN
Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis
tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi.
Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan
obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri, sehingga anestesi dalam persalinan
perlu mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Pemeriksaan pra anestesi yang
baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan
masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat
menentukan teknik anestesi yang akan dipakai.
Anestesi spinal memungkinkan ibu untuk tetap sadar pada saat
kelahiran dan mendengar suara tangisan dari bayinya, sehingga teknik
anestesi tersebut menjadi pilihan para ibu hamil dan dokter.
Pada makalah ini disajikan kasus anestesi spinal pada operasi sectio
caesarea pada wanita, usia 40 tahun, status fisik ASA II dengan diagnosis
preeklamsia berat gravida hamil preterm.
Prosedur anestesi spinal pada sectio casarea dalam kasus ini tidak mengalami
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, Edward Jr, dkk. Clinical Anesthesiology. 2005.Lange. Mc Graw
Hill
2. Longnecker E David, dkk. Anesthesiology. 2008. Mc Graw Hill
3. Stoelting K Robert, dkk. Anesthesia and Co-Existing Disease. 2002.
Churchill Livingstone
4. Latief A Said, dkk. Anestesiologi. 2010. Bagian Anestesiologi dan Terapi
intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. William, dkk. Obstetric. Edisi 23. 2010. Cuninghan FG, dkk
6. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia.The Mountsinai Journal
of Medicine.Jan-Mar 2002.
7. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia.J
Bone Joint Surg Am.2010; 62:1219-1222.
31