Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
0
Makalah Akhir
Mata Kuliah Australia dan Pasifik Barat Daya
Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian
Kerja Sama dengan Malaysia Terkait
Permasalahan Asylum Seeker
Disusun oleh:
Diky Avianto (0906636674)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
© 2011
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
1
Lembar Orisinalitas
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Diky Avianto
NPM : 0906636674
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Menyatakan bahwa makalah yang saya buat berjudul “Analisis Alasan Australia
Melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum
Seeker” untuk mata kuliah Australia dan Pasifik Barat Daya ini adalah benar-benar karya
saya sendiri dan belum pernah diberikan untuk mata kuliah manapun. Segala kutipan dan
acuan telah dicantumkan sebagaimana peraturan yang berlaku.
Depok, 6 Januari 2012
Diky Avianto
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pada BAB I ini, pertama akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan
makalah ini yang isinya mengenai mengapa kasus ini menarik untuk dibahas dan juga
permasalahan yang sebenarnya sehingga itu akan dirumuskan dalam rumusan permasalahan
yang harus dijawab dalam makalah ini. Kemudian setalah itu akan dipaparkan kerangka
konseptual yang dipakai untuk menganalisis kasus ini yaitu Two-Level Game Theory dan
konsep Asylum Seeker itu sendiri.
I.1 Latar Belakang Permasalahan
Isu mengenai para pencari suaka (asylum seekers) dan pengungi (refugees) merupakan
isu yang cukup menjadi isu yang menjadi permasalahan di Dunia. Akan tetapi isu
pengungsian mulai marak semenjak pasca Perang Dunia II dimana penduduk negara-negara
yang negaranya hancur akibat perang mulai mencari pertolongan dengan pindah ke negara
yang tidak terkena dampak perang. Karena semakin banyaknya jumlah pengungsi dan pencari
suaka, maka pada tahun 1951 dibuatlah suatu konvensi yang bernama Convention Relating to
the Status of Refugees. Konvensi tersebut berisikan mengenai definisi siapa itu pengungsi,
aturan terhadap hak-hak tiap individual yang sudah diberikan suaka, dan kewajiban dari
negara (state-party) terhadap pemberian suaka serta pengungsi.
Semenjak konvensi itu dibuat pada tahun 1951 sampai dengan tahun 2011, setidaknya
ada 144 negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut.1 Dalam
prinsip umum hukum internasional, perjanjian yang berlaku yang mengikat para pihak untuk
itu dan harus dilakukan dengan itikad baik. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi
Pengungsi ini berkewajiban untuk melindungi pengungsi yang ada di wilayah mereka, sesuai
dengan ketentuan-ketentuannya. Ada sejumlah ketentuan bahwa negara yang pihak dari
Konvensi Pengungsi dan Protokol 1967 harus mematuhi. Diantaranya adalah: bekerja sama
Dengan UNHCR, dan selalu memastikan negaranya mematuhi konvensi yang sudah dibuat.
Dari ke-145 negara yang menjadi state-party dalam konvensi tersebut, Australia
merupakan salah satunya. Dalam makalah ini yang menjadi fokus penelitian penulis adalah
1 UNHCR, “States Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol”,
diunduh dari http://www.unhcr.org/3b73b0d63.html
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
3
Australia. Hal ini didasari oleh temuan penulis dimana Australia menganggap masalah
pencari suaka merupakan suatu permasalahan di negaranya. Padahal jumlah pencari suaka
dan pengungsi yang berada di Australia tidaklah sebanyak negara-negara lainnya. Hal ini
dibuktikan dengan data berikut:
Tabel 1. Data Refugees dan Asylum Seekers2
Dengan data jumlah pengungsi di seluruh dunia (2010) adalah 9.952.414 dan jumlah
pencari suaka (2010) adalah 837.478. Jumlah pengungsi yang ada di Australia sesuai table
diatas adalah 21.808 orang dan untuk pencari suaka 3.760, maka dengan demikian, presentase
pengungsi dan pencari suaka di Australia adalah sebesar 0,22% dan 0,45%. Presentase ini
tentunya sangat kecil jika dibandingkan negara lain seperti Italia dan Pakistan.3
Walaupun Australia telah menandatangani konvensi ini dan cukup menjalankannya
dengan baik, namun ada intense dari Pemerintah Australia untuk memindahkan dan tidak lagi
menerima para pencari suak. Hal ini dimulai pada tahun 2000 Australia mengadakan sebuah
kebijakan bernama Pasific Solution dengan Nauru dan Papua New Guinea.
Pacific Solution adalah nama yang diberikan kepada kebijakan pemerintah Australia
(2001-2007) memindahkan pencari suaka ke pusat penahanan di negara-negara pulau kecil di
Samudra Pasifik, daripada membiarkan mereka untuk mendarat di daratan Australia. Hal itu
2 UNHCR, “Global Trend in 2011”, diakses dari http://www.unhcr.org/4dfa11499.html pada 21 Desember 2011 3 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
4
dukungan bipartisan dari kedua pemerintah Liberal-Nasional dan oposisi Buruh pada saat itu.
Kebijakan ini dikembangkan oleh pemerintahan Howard dalam menanggapi dan
dilaksanakan oleh Menteri Imigrasi Australia, Philip Ruddock. Pencari suaka dicegat di laut
saat berlayar dari Indonesia dan pindah menggunakan kapal angkatan laut Australia. Pusat
penahanan didirikan di Pulau Christmas, Pulau Manus di Papua Nugini, dan di negara pulau
kecil Nauru.
Berkaitan dengan itu, Pemerintah Australia juga membuat suatu aturan pada tahun
2002 dimana seluruh pencari suaka yang datang ke Australia tanpa ada visa dan dokumen
yang jelas akan dimasukan ke dalam detention camp. Mereka berada disana sampai dengan
mendapatkan izin dan status „pengungsi‟ dari Pemerintah Australia.
Usaha Australia tidak sampai disitu, ia pun mencoba melakukan perundingan dengan
Timor Leste dan Indonesia untuk membuat perjanjian dengannya mengenai permasalahan
pengungsi dan pencari suaka. Akan tetapi langkah tersebut tidak berhasil. Puncaknya,
Australia berhasil bernegosiasi dengan Malaysia dan akhirnya mereka menandatangani
persetujuan “Arrangement Between The Government Of Australia And The Government Of
Malaysia On Transfer And Resettlement” pada tanggal 25 Juli 2011.
Isi dari perjanjian tersebut terdapat beberapa hal penting yaitu (1) 800 irregular
maritime arrivals yang datang ke Australia akan langsung digiring ke Malaysia untuk
menunggu dan memproses status pengungsi. (2) Sebagai gantinya, dalam 4 tahun secara
bertahap, Australia akan menerima 4000 orang yang sudah diberi status pengungsi. (3)
Australia akan membiayai penuh program ini sebesar US$ 292 milyar.4
Australia yang menandatangani konvensi tentang pengungsian seharusnya tidak perlu
melakukan semua itu karena Australia harusnya menerima para pencari suaka dan pengungsi
tersebut. Hal ini menjadi menarik karena sepertinya Australia tampak mulai memproteksi diri
terhadap para pencari suaka. Dengan demikian, makalah ini akan mencoba mencari tahu
alasan Australia dibalik adanya perjanjian antara Australia dan Malaysia tersebut.
I.2 Rumusan Permasalahan
Makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan permasalahan “Mengapa Australia
mengadakan perjanjian (Arrangement Between The Government Of Australia And The
Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement) terkait dengan permasalah Asylum
Seeker?”
4 _______, “Asylum Deal” diakses dari www.abc.net.au/btn/story/s3220085.htm pada 21 Desember 2011
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
5
I.3 Kerangka Konseptual
Dalam menganalisis dan menjawab pertanyaan permasalahan, penulis menggunakan
Two-Level Game Theory untuk menganalisis sikap dan kebijakan yang diambil oleh Australia
terkait perjanjian mengenai Asylum Seeker tersebut. Kemudian konsep Asylum Seeker dan
Refugee juga ada untuk memperjelas definisi dan mengetahui seperti apa pencari suaka dan
pengungsi itu.
I.3.1 Two-Level Game Theory
Two-Level Game Theory merupakan suatu teori yang digagas oleh Robert Putnam
yang pada dasarnya menghubungkan antara level domestik dan level internasional dalam
melihat sebuah proses menuju persetujuan atau perjanjian baik itu bilateral maupun
multilateral. Seperti yang dikatakan oleh Putnam “Domestic politics and international
relations are often somehow entangled”5
Secara khusus, Two-Level Game Theory Robert Putnam (1988) menyediakan
kerangka kerja untuk memahami interaksi determinan domestik dan internasional dari
kebijakan luar negeri. Menurut metafora nya, pihak ke negosiasi internasional yang
diwakili oleh kepala negosiator tunggal yang memainkan dua permainan secara
bersamaan. Di satu sisi, negosiator berusaha untuk mencapai kesamaan ketika
bernegosiasi dengan mitra luar negerinya. Di sisi lain, ia berusaha untuk memperoleh
persetujuan domestik dari kesepakatan dinegosiasikan. Akibatnya, dalam usahanya untuk
memuaskan tekanan internasional dan domestik, negosiator ini terjebak dalam dilema
strategis. Karena bergerak pada satu tingkat mempengaruhi bermain di sisi lain, pilihan
kebijakan yang dibingkai oleh kendala dan peluang pada kedua tingkat.
“At the national level, domestic groups pursue their interests by
pressuring the government to adopt favourable policies, and
politicians seek power by constructing coalitions among
those groups. At the international level, national governments seek to
maximize their own ability
to satisfy domestic pressures, while minimizing the adverse consequences
of foreign developments”6
5 Robert D. Putnam. "Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games", dalam International
Organization. 42 (Summer 1988) hal. 427 6 Ibid., hal.434
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
6
Inti dari interaksi antara dua tingkat ditangkap oleh konsep kunci 'win-set', yang
didefinisikan sebagai himpunan semua kemungkinan perjanjian internasional yang akan
diterima di tingkat domestik. "win-set" didefinisikan sebagai "the set of all possible Level
I (international) agreements that would „win‟ that is, gain the necessary majority among
the constituents"7 Menurut Putnam, ukuran dari set menang-tergantung pada banyak
variabel, termasuk prosedur ratifikasi, preferensi aktor domestik dan framing isu
strategis. Perjanjian internasional hanya mungkin jika ada win-set pada semua pihak
tumpang tindih.
Two-Level Game Theory yang dikembangkan oleh Putnam menekankan proses
interaktif yang terjadi ketika seorang pemimpin nasional menemukan dirinya negosiasi
perjanjian internasional bersamaan: negosiasi internasional (level 1), dimana pemimpin
mencoba untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin lainnya; dan negosiasi
dalam negeri (tingkat 2), dimana pemimpin mencoba untuk mendapatkan kesepakatan
diterima oleh undang-undang dan masyarakatnya.8 Dua jenis tekanan pada dasarnya
berbeda, dan kendala yang dikenakan tidak akan ditemui di tempat pertama jika
negosiasi diadakan dalam permainan nasional atau internasional murni.
Berikut adalah dua level yang dijelaskan oleh Putnam:
I.2.1 The International Level: Pressure and Compromise
Tingkat internasional terdiri dari negara-negara berdaulat berusaha untuk
menegosiasikan sebuah perjanjian yang terbaik memaksimalkan kemampuan mereka
sendiri untuk memenuhi tekanan domestik, sambil meminimalkan konsekuensi negatif
dari perkembangan asing. Ini berpendapat bahwa logika negara bernegosiasi dan
menandatangani perjanjian di tingkat internasional yang dapat berpengaruh bagi politik
dalam negeri.
I.2.2 The Domestic Level: Actors and Influences
Tingkat domestik terdiri dari sejumlah aktor, proses dan pengaruh yang memiliki
dampak yang kuat pada perjanjian internasional. Bagian dasar pemahaman sifat bagi
politik dalam negeri berkisar mengidentifikasi jenis pelaku yang terlibat dalam
permainan politik dalam negeri. Ia membedakan empat jenis aktor yang membentuk
bagaimana permainan ini dimainkan dalam negeri: militer, publik massa, media massa
dan oposisi politik.
7 Ibid., hal. 439 8 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
7
I.3.2 Refugee dan Asylum Seeker
Pengungsi atau Refugee secara harfiah menurut Kamus Oxford adalah orang yang
berada di luar negara asal mereka atau tempat tinggal kebiasaan karena mereka telah
menderita penganiayaan terkait ras, kebangsaan agama, pendapat politik, atau karena mereka
adalah anggota dari sebuah 'kelompok sosial' yang dianiaya. Orang seperti itu dapat disebut
sebagai 'pencari suaka' (Asylum Seeker) sampai diakui oleh negara mana dia membuatnya
klaim.9 Di bawah Konvensi PBB berkaitan dengan Status Pengungsi tahun 1951 (United
Nations Convention Relating to the Status of Refugees of 1951), pengungsi yang lebih sempit
didefinisikan (dalam Pasal 1A) sebagai orang yang "karena ketakutan yang beralasan akan
dikejar-kejar atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu,
atau opini politik, berada di luar negara kebangsaannya, dan tidak dapat atau , karena
ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan diri dari perlindungan negara itu ".10
Selain iru konsep pengungsi diperluas oleh Protokol 1967 Konvensi dan oleh konvensi-
konvensi regional di Afrika dan Amerika Latin untuk memasukkan orang-orang yang
melarikan diri perang atau lainnya kekerasan di negara asal mereka. Pengungsi perempuan
dan anak-anak suatu ayat tambahan pengungsi yang perlu perhatian khusus. Untuk sistem
pengungsi untuk bekerja dengan sukses, negara harus siap untuk memungkinkan perbatasan
Terbuka untuk orang yang melarikan diri konflik, khususnya bagi negara yang paling dekat
dengan konflik.
9 UNHCR, “Refugee”, diakses dari http://www.unhcr.org/pages/49c3646c125.html pada 22 Desember 2011 10 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
8
BAB II
PEMBAHASAN
Pada BAB II ini, penulis akan memulai analisis dari data-data yang telah didapatkan
guna menjawab pertanyaan permasalahan penelitian ini. Pertama, akan dijelaskan terlebih
dahulu bagaimana keadaan Asylum Seeker di Australia serta aturan yang berlaku di sana.
Kemudian pada bagian berikutnya akan dibagi sesuai teori yang penulis pakai yaitu Two-
Level Game Theory yang menganalisis pengaruh sektor domestik dan internasional. Dengan
demikian pada sub-bab kedua akan dijelaskan bagaimana sektor domestik Australia
berpengaruh dan pada sub-bab ketiga akan dijelaskan bagaimana sektor luar negeri
(internasional) juga ikut berpengaruh terhadap keputusan Australia mengadakan
“Arrangement Between The Government Of Australia And The Government Of Malaysia On
Transfer And Resettlement” terkait permasalahan Asylum Seeker.
II.1 Keadaan Asylum Seekeer dan Detention Policy di Australia
Pada dasarnya, pengungsi mulai banyak datang ke Australia setelah Perang Dunia
Kedua. Kebanyakan berasal dari negara-negara seperti Jerman, Polandia dan Ukraina. Pada
tahun 1950 kami melihat pengungsi yang berasal dari Hungaria dan di tahun 1960 banyak
yang datang dari Cekoslowakia. Pada 1970-an pengungsi mulai datang dari Indochina
(Vietnam) dan Amerika Latin (Chile dan El Salvador), dan kelompok-kelompok ini terus
datang sampai tahun 1980an.11
Tahun 1990-an didominasi oleh Perang Balkan, dengan
jumlah besar datang dari Bosnia dan Kroasia. Ada juga sejumlah besar pengungsi yang
datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan selama dekade ini. Banyak dari orang-orang ini
minoritas etnis dan agama atau penentang rezim Taliban di Afghanistan atau rezim Saddam
Hussein di Irak. Pada tahun 2000-an mayoritas pendatang datang di bawah Pengungsi dan
Program Kemanusiaan Khusus datang dari Afrika, khususnya di Sudan. Pengungsi juga terus
datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam 60 tahun terakhir, Australia telah
menawarkan tempat tinggal permanen menjadi sekitar 700.000 pengungsi dan orang lain
yang membutuhkan perlindungan kemanusiaan.12
11 _______, “Background and Information about Refugees and Asylum Seekers” diunduh dari
http://www.refugeecouncil.org.au/docs/news&events/RW_Background_Information.pdf 12 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
9
Akan tetapi, pada perkembangannya, Pemerintah Australia mulai melakukan
pembatasan-pembatasan dalam menerima pendatang melalui laut yang ingin mencari suaka.
Hal ini diklaim untuk meningkatkan kawasan keamanan perbatasan dan juga keimigrasian
untuk mencegak penyelundupan manusia secara illegal. Mandatory detention legislation
pertama kali diperkenalkan di Australia pada Mei 1992. Undang-undang ini memastikan
bahwa pencari suaka tiba di Australia tanpa izin sebelumnya bisa ditahan untuk waktu yang
tidak ditentukan. Sebelum 1992, orang-orang perahu ditahan di bawah Undang-Undang
Migrasi 1958. Penahanan wajib bagi pendatang gelap diperkenalkan di bawah Undang-
undang Amandemen Migrasi tahun 1992, sebagai bagian dari kodifikasi kebijakan migrasi.
Pada tanggal 18 Oktober 2010, Julia Gillard mengumumkan bahwa perubahan akan
dilakukan untuk kebijakan penahanan wajib Australia, dan bahwa lebih banyak anak dan
keluarga akan dipindahkan keluar dari pusat penahanan imigrasi ke akomodasi berbasis
masyarakat, seperti pusat dijalankan oleh gereja dan yayasan sosial.13
Menurut statistik yang didapatkan, per tanggal 31 Juli 2011, ada 5.780 orang di
penahanan imigrasi di Australia - 5015 di Australia daratan dan 765 di Pulau Christmas. Dari
5780 orang, 4782 ditahan di fasilitas penahanan imigrasi dan 998 berada dalam penahanan
masyarakat.14
Sebagian besar dari mereka adalah pendatang asing dari laut yang ingin
mencari suaka. Mereka didominasi dari Timur Tengah seperti Iran dan Afghanistan. Pusat
penahanan imigrasi (IDCs) per September 2011 ada IDCs di lokasi berikut:
1. Maribyrnong IDC di Melbourne
2. Villawood IDC di Sydney
3. Perth IDC
4. Northern IDC di Darwin
5. Curtin IDC di Western Australia
6. Scherger IDC di Queensland
7. Christmas Island IDC and Phosphate Hill IDC di Christmas Island
8. Pontville IDC di Tasmania
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak kerusuhan yang terjadi pada tempat-tempat
tersebut. Hal ini diakibatkan ketidakjelasan kapan mereka bisa keluardan diproses sehingga
membuat mereka frustasi. Ini menjadi perhatian publik dan juga permasalahan bagi
Pemerintah. Seperti kejadian sekitar 100 orang pencari suaka membakar sembilan buah
13 Departmen of Imigration and Citizenship Australia, “Fact Sheet 82 - Immigration Detention”, diakses dari
http://www.immi.gov.au/media/fact-sheets/82detention.htm pada 22 Desember 2011 14Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
10
bangunan dalam sebuah kerusuhan di pusat penampungan pengungsi Villawood, Sydney.15
Ini akibat jumlah pencari suaka yang terus bertambah maka sebagian dari mereka terpaksa
ditampung di daratan Australia, seperti penampungan Villawood di Sydney yang dihuni 400
orang. Kerusuhan juga terjadi di pusat penampungan Pulau Christmas. Saat ini, Australia
menampung para pencari suaka di Pulau Christmas yang sudah melebihi kapasitas. Selain itu,
para pencari suaka sudah ditampung selama berbulan-bulan tanpa kepastian.16
Kelebihan kapasitas ini akibat dari kenaikan jumlah kapal illegal yang masuk ke
Australia yang berisi orang-orang untuk mencari suaka. Sebenarnya pada tahun 2000 terjadi
juga lonjakan yang sangat tinggi, akan tetapi program Pacific Solution yang dilakukan oleh
pemerintahan Howard pada saat itu efektif mengurangi jumlah pencari suaka yang masuk
karena mereka langsung dikirim ke pusat penahanan di Nauru. Selama tahun 2001-2008,
jumlah pencari suaka illegal yang masuk ke Australia sangat sedikit. Baru pada akhir 2008
mulai melonjak lagi seiring berakhirnya Pacific Solution. Hal tersebut dapat tergambarkan
dengan jelas pada grafik dibawah ini:
Grafik 1. Jumlah Kedatangan dengan Kapal ke Australia17
Dengan demikian, ini juga menjadi suatu konsiderasi bagi Pemerintahan Gillard untuk
mencari tempat lain menampung Asylum Seeker tersebut. Selain itu, akibat dari banyaknya
15 _______, “Pencari suaka di Australia kembali rusuh” diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110420_australianriot.shtml pada 22 Desember 2011 16 _______, ” Australia kirim pencari suaka ke Malaysia”, diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110721_aussieasylum.shtml pada 22 Desember 2011 17 Parllament of Australia, “Boat arrivals in Australia since 1976”, dalam Parliamentary Library, diaunduh dari
http://www.aph.gov.au/library/pubs/bn/sp/BoatArrivals.pdf
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
11
kerusuhan serta kenaikan jumlah kapal yang datang, tekanan domestik membuat
Pemerintahannya harus mencari suatu solusi baru. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada
sub-bab selanjutnya. Usaha untuk bernegosiasi dengan negara tetangga untuk melakukan
kerjasama seperti Indonesia dan Timor Leste mengalami kegagalan. Akan tetapi Seperti yang
sudah dijelaskan pada latar belakang dan juga menjadi fokus penelitian ini, Malaysia setuju
melakukan kerjasama dengan Australia dengan menukar 800 orang pencari suaka.
II.2 Pengaruh Faktor Domestik Australia
Setelah dijelaskan mengenai keadaan pencari suaka (Asylum Seeker) di Australia pada
sub-bab sebelumnya. Pembahasan akan masuk kedalam analisis pengaruh domestik Australia
terhadap adanya kerja sama persetujuan “Arrangement Between The Government Of
Australia And The Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement” terkait
permasalahan Asylum Seeker. Pengaruh domestik merupakan level 2 dalam Two-Level Game
Theory yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian atau kerja sama internasional pasti memilki
keterkaitan dengan keputusan domestik. Jadi sebenarnya sebelum perjanjian itu ada, harus
ada negosiasi dengan aktor-aktor domestik. Bagian dasar pemahaman sifat bagi politik dalam
negeri berkisar mengidentifikasi jenis pelaku yang terlibat dalam permainan politik dalam
negeri. Terdapat empat jenis aktor yang membentuk bagaimana ini dimainkan dalam negeri:
militer, publik massa, media massa dan oposisi politik. Pada pembahasan makalah ini penulis
hanya akan mengambil 2 aktor yaitu oposisi politik dan masyarakat.
II.2.1 Oposisi Politik
Aktor oposisi politik tentunya berpengaruh dalam sebuah negosiasi pembentukan
suatu kebijakan termasuk juga ketika membuat suatu persetujuan kerja sama dengan
negara lain. Secara umum terdapat beberapa partai politik di Australia, akan tetapi terdapat
dua partai besar yaitu partai buruh dan partai liberal. Secara ideologi, kedua partai ini
berbeda. Partai buruh lebih ke sosial demokrat dimana dudukung oleh kalangan pekerja
dan menengah. Sedangkan partai liberal mengutamakan kepentingan bisnis para
pengusaha.
Jika dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan mengenai aturan imigrasi para
pencari suaka. Maka pada pemerintahan John Howard dari Partai Liberal-lah yang
memiliki intensi untuk membuat aturan lebih ketat dan mulai mengirimkan pencari suaka
ke negara lain. Hal ini dibuktikan dengan semakin ketatnya aturan imigrasi yang mana
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
12
semua pencari suaka diwajibkan menjalani detention camp pada awal 2000-an serta
adanya program Pacific Solution pada tahun 2001-2008.
Kemudian Howard digantikan oleh Kevin Rudd pada tahun 2007 yang mana ia
merupakan seorang dari partai buruh. Partai Buruh merupakan oposisi dari partai liberal
dimana mereka banyak menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap adanya Pacific
Solution. Pada masa pemerintahan Rudd, ia setidaknya telah sedikit memberikan
keringanan bagi para pencari suaka khususnya wanita dan anak-anak yang tidak harus
dikirim ke detention center. Program Pacific Solution pun selesai pada masa
pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Gillard yang dimulai pada tahun 2010, lonjakan
kedatangan para pencari suaka dengan kapal melonjak tajam. Australia terpaksa harus
menerima mereka dan tentunya diproses di detention center sesuai dengan aturan yang
berlaku. Lonjakan ini membuat sebagian besar tempat tersebut kelebihan kapasitas yang
telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya dan menimbulkan berbagai kerusuhan. Tekanan
oposisi yang tergabung dari partai koalisi yaitu partai liberal dan partai nasional pun mulai
meningkat. Mereka menakan pemerintahan Gillard untuk melakukan suatu tindakan
mengatasi lonjakan kedatangan pencari suaka ke Australia.
Perubahan pun terjadi pada Partai Buruh. Gillard yang tadinya termasuk salah satu
penentang adanya Pacific Solution dimana harus mengirimkan para pencari suaka itu ke
luar Australia, sekarang ia mencari negara lain untuk bernegosiasi mengenai kerja sama
penanganan asylum seeker. Model yang dicari Gillard hampir mirip dengan Pacifik
Solution yaitu mengirimkan kapal-kapal para pencari suaka ke negara lain. Ia pun
memulainya dengan bernegosiasi dengan Timor Leste akan tetapi ditolak. Indonesia pun
menjadi target Australia dalam mencari kerja sama tersebut yang pada akhirnya juga
ditolak oleh Indonesia. Pada akhirnya pada Juli 2011, Australia berhasil bekerja sama
dengan Malaysia. Perubahan kebijakan Partai Buruh yang harusnya cukup bisa menerima
para pengungsi dan pencari suaka tersebut tentunya akibat dari tekanan. Tekanan tersebut
datang dari pihak oposisi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan juga masyarakat.
Masyarakat Australia tampaknya senang dan setuju dengan kebijakan ketat yang
diterapkan oleh Howard (Partai Liberal) Dalam penelitian yang saya dapatkan, dijelaskan
bahwa pada bulan September 2001, 77 persen warga Australia mendukung keputusan
Pemerintah Howard untuk menolak masuk para pencari suaka dari insiden kapal Tampa
dan 71 persen percaya kedatangan kapal harus ditahan selama pemrosesan permohonan
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
13
suaka mereka.18
Maka ketika pada tahun 2010 terjadi lonjakan kedatangan kapal, kembali
terjadi perdebatan dimana Pemerintahan saat itu yaitu Partai Buruh kurang tegas
mengelola perbatasan dan kedatangan para pencari suaka.
Grafik 2. Presentasi Opini Publik Australia Mengenai Partai Buruh dalam
Menangani Masalah Asylum Seeker19
Dari data diatas bisa terlihat bahwa 78% masyarakat Australia memandang bahwa
penanganan masalah asylum seeker oleh Partai Buruh itu buruk. Angka ini bahkan naik
25% dari tahun 2009. Ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan publik kepada
Pemerintahan Gillard untuk membenahi permasalahan lonjakan kedatangan asylum
seeker.
Kemudian jika Partai Buruh dan Partai Koalisi (Partai Liberal + Partai Nasional)
dibandingkan dalam siapa yang paling bagus menangani masalah asylum seeker, maka
Partai Koalisi dimana terdapat Partai Liberal didalamnya lah yang masih unggul. Ini
mengindikasikan bahwa masyarakat setuju dengan kebijakan ketat yang pernah diterapkan
pada pemerintahan Howard.
18 Paul Maley, “Tony Abbott refloats offshore solution as Newspoll slams home public opinion” diakses dari
http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/tony-abbott-refloats-offshore-solution-as-newspoll-slams-
home-public-opinion/story-fn59niix-1226129321089 pada 4 Januari 2012 19 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
14
Dengan demikian, maka faktor tekanan dari oposisi politik merupakan salah satu
alasan mengapa Australia mengadakan persetujuan kerja sama dengan Malaysia terkait
permasalahan asylum seeker ini.
II.2.2 Aktor Masyarakat
Masyarakat juga memiliki peranan penting dalam komponen pertimbangan dalam
proses negosiasi pembuatan kebijakan termasuk juga perjanjian internasional yang akan
dibuat. Dalam hubungannya dengan permasalahan alasan Australia bekerja sama dengan
Malaysia tersebut, ada baiknya kita melihat dulu bagaimana masyarakat Australia
memandang permasalahan asylum seeker.
Grafik 3. Perhatian Masyarakat Australia terhadap Permasalahan Asylum Seeker20
Dari grafik diatas, terlihat bahwa sebenarnya masyarakat Australia itu perhatian
mengenai masalah kedatangan asylum seeker ke Australia. Lebih dari setengahnya bahkan
sangat perhatian terhadap masalah tersebut. Dengan demikian, setiap ada kebijakan
mengenai permasalahan tersebut, masyarakat Australia pasti langsung menyorotinya
termasuk ketika ada masalah baru yang timbul juga. Selain itu ini mengindikasikan bahwa
sebenarnya ada permasalahan dalam masyarakat Australia menyangkut para pencari suaka
tersebut yang menyebabkan mereka sangat perhatian terhadap kasus ini.
20 Fergus Hanson, “Australia and The World: Public Opinion and Foreign Policy”, dalam Lowi Institue For
International Policy, diunduh dari http://www.lowyinstitute.org/PublicationGet.asp
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
15
Grafik 4. Detail Opini Publik Terhadap Permasalahan Asylum Seeker di Australia21
Dari grafik yang merinci opini publik masyarakat Australia mengenai permasalahan
asylum seeker tersebut, sangat jelas bahwa sebagian besar masyarakat menaganggap
masalah asylum seeker ini akan membawa dampak kepada keamanan nasional. Dengan
demikian tidak mengherankan bahwa sebagian besar dari mereka juga setuju dengan
adanya detention camp bagi setiap asylum seeker yang datang ke Australia. Kemudian
lebih dari setengah masyarakat Australia bahkan menolak pernyataan bahwa Australia
seharusnya mempunyai kewajiban atas penanganan asylum seeker yang baik karena telah
menandatangani konvensi tentang pengungsi. Bisa disimpulkan bahwa kesemua itu
menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat Australia menolak kehadiran asylum seeker
dinegaranya.
Hal ini tentunya mendorong opini publik dan menekan pemerintahan untuk
melakukan suatu tindakan tegas termasuk menolak dan memindahkan asylum seeker ke
negara lain. Tekanan publik ini juga telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
21 Ibid.,
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
16
Dengan demikian pemerintah juga memasukan opini public ini sebagai salah satu input
dalam proses pembuatan kebijakannya.
Penolakan sebagian besar masyarakat Australia terhadap asylum seeker ini tentunya
memiliki alasan terutama dalam permasalahan sosial. Asylum seeker yang jika diterima
permohonannya maka akan menjadi status pengungsi dimana mereka boleh bergabung
dengan masyarakat Australia dan beraktivitas layaknya warga negara. Banyaknya
pengungsi yang ada di Australia ini tentunya menimbulkan permasalahan sosial yang
melekat pada masyarakat. Beberapa permasalahan sosial tersebut akan dipaparkan disini.
Pertama permasalahan Bahasa - Ini adalah masalah besar dengan implikasi yang
signifikan untuk komunikasi migran 'tertulis dan lisan, terutama ketika para migran dan
pengungsi berasal dari negara yang bahasa ibunya tidak sama dengan bahasa Inggris
seperti bahasa-bahasa Eropa Timur Asia, Afrika.
Kedua adalah hambatan budaya - Menjadi seorang migran usia dewasa atau
pengungsi, hambatan budaya menjadi ancaman sangat serius terhadap kemungkinan
mencari pekerjaan. Yang berbeda keyakinan agama, cara berpikir yang berbeda dan
berperilaku dan memiliki sikap yang berbeda membuat hidup mereka, pada waktu, sangat
traumatis. Prosedur seleksi pekerjaan untuk mencari pekerjaan dan birokrasi yang terlibat
dalam memulai bisnis baru dalam masyarakat ini pengalaman baru bagi para pendatang
baru ini usia matang. Banyak yang akan mengalami kesulitan membiasakan diri dengan
aturan-aturan hukum, akuntansi dan industri dan peraturan.
Ketiga adalah kurangnya pengalaman kerja - Masyarakat Australia biasanya
mencari staf baru dengan beberapa pengalaman kerja dalam masyarakat ini. Dengan cara
ini, pendatang baru, meskipun mereka mungkin memiliki pengalaman yang relevan di luar
negeri, akan dirugikan dalam hal ini langkah penting untuk menemukan pekerjaan. Tidak
memiliki pengalaman kerja berarti thatthese baru, pekerja berusia matang akan kehilangan
pekerjaan potensi dan kesempatan pelatihan.
Keempat adalah rasisme - Ini adalah satu lagi hambatan utama yang dihadapi oleh
migran dalam mencari pekerjaan atau memulai bisnis baru. Dalam banyak kasus rasisme
menghilangkan migran kesempatan pelatihan dan pendidikan. Diskriminasi dalam
mengakses pekerjaan tentu ada atas dasar etnis, agama dan budaya
Hal-hal tersebut pada akhirnya menyebabkan para pengungsi yang statusnya
menjadi migrant tersebut tidak daapat bekerja atau banyak yang menjadi pengangguran.
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
17
Tentunya ini menyebabkan permasalahan sosial di kalangan masyarakat Australia yang
tampaknya terganggu dengan kehadiran oaring-orang itu.
Dengan demikian, Pemerintah Australia sepertinya juga mempertimbangkan faktor
opini publik masyarakat Australia yang terbentuk akibat adanya permasalahan sosial
dalam mengambil kebijakan membuat perjanjian kerjasama dengan Malaysia terkait
asylum seeker.
II. 3 Pengaruh Faktor Luar Negeri (Internasional) Australia
Setelah dijelaskan mengenai pengaruh faktor domestik pencari suaka (Asylum Seeker)
di Australia pada sub-bab sebelumnya. Pembahasan akan masuk kedalam analisis pengaruh
luar negeri Australia terhadap adanya kerja sama persetujuan “Arrangement Between The
Government Of Australia And The Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement”
terkait permasalahan Asylum Seeker. Pengaruh luar negeri atau internasional merupakan level
2 dalam Two-Level Game Theory yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian atau kerja sama
internasional pasti memilki keterkaitan dengan faktor ini.
Australia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi United Nations
Convention and Protocol relating to the Status of Refugee pada tahun 1954. Dengan
demikian Australia yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi ini berkewajiban untuk
melindungi pengungsi yang ada di wilayah mereka, sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
Ada sejumlah ketentuan bahwa negara yang pihak dari Konvensi Pengungsi dan Protokol
1967 harus mematuhi. Diantaranya adalah: bekerja sama Dengan UNHCR, dan selalu
memastikan negaranya mematuhi konvensi yang sudah dibuat. Ini menjadi landasan utama
segala kebijakan Australia terkait dengan masalah pengungsian dan pencari suaka
Selain itu terdapat juga suatu forum ad-hoc regional tingkat menteri antar Australia dan
ASEAN dalam membahas mengenai illegal migration. Pertemuan itu dinamakan Bali Process
on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime yang terakhir
dilaksanakan pada Maret 2011. Pada kesempatan itu, dihasilkan suatu framework untuk
melakukan kerja sama antar Negara-negara anggota terkait permasalahan migrasi yang
illegal. Kevin Rudd, Menteri Luar Negeri Australia, memuji hasil tersebut sebagai "tonggak
sejarah" dan " signifikan bagi diplomasi Australia".22
Hal ini dikarenakan itu merupakan
momentum Australia untuk mengajak negara-negara tersebut bekerja sama dengannya dalam
permasalahan asylum seeker.
22 Banyan, “Dead in the water”, diakses dari
http://www.economist.com/banyan/2011/04/australias_processing_centre pada 5 Januari 2012
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
18
Dengan adanya framework regional tersebut, Australia dan Malaysia bisa melakukan
kerja sama melakukan pengiriman asylum seeker dan refugee dengan memakai alasan bahwa
mereka ingin meningkatkan kerja sama bilateral dalam mencegah migrasi illegal yang bisa
menimbulkan permasalahan baik di negara mereka maupun di kawasan.
BAB III
KESIMPULAN
Pada akhirnya, makalah ini menjawab pertanyaan permasalahan“Mengapa Australia
mengadakan perjanjian (Arrangement Between The Government Of Australia And The
Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement) terkait dengan permasalah Asylum
Seeker?” yaitu disebabkan oleh 2 faktor seperti yang dijelaskan dalam Two-Level Game
Theory. Faktor-faktor tersebut adalah faktor domestik dan faktor internasional. Kedua faktor
tersebut mendasari pemerintah Australia mengadakan perjanjian dengan Malaysia Tersebut.
Faktor domestik dipengaruhi oleh tekanan oposisi politik yaitu Partai Liberal yang menekan
pemerintahan Gillard (Partai Buruh) untuk lebih tegas dan ketat dalam menangani
permasalahan lonjakan kedatangan asylum seeker ke Australia yang menggunakan kapal.
Selain itu tekanan opini publik juga turut memberikan input. Opini public masyarakat
Australia yang sebagian besar menolak kedatangan para pencari suaka tersebut didasari oleh
adanya permasalahan sosial yang melekat pada masyarakat Australia terkait dengan para
migrant yang ada di Australia. Kemudian Faktor Internasional dipengaruhi oleh adanya
Framework Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related
Transnational Crime dimana menjadi momentum bagi Australia untuk mencari negara yang
bias diajak kerja sama dalam menangani masalah asylum seeker.
Dengan adanya Arrangement Between The Government Of Australia And The
Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement serta kebijakan imigrasi lainnya, ini
menandakan bahwa Pemerintah Australia secara tidak langsung memperingatkan kepada para
pencari suaka bahwa mencari suaka di Australia tidaklah mudah. Ini dilakukan untuk
memperkecil jumlah kapal-kapal migrant yang datang ke Australia. Selain itu dengan adanya
perjanjian tersebut, sepertinya Australia memperkecil jumlah asylum seeker yang menjejakan
kakinya ke tanah Australia agar Australia tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan
resettlement.
Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya
19
Daftar Pustaka
Artikel dari Jurnal Publikasi
Putnam, Robert D. 1988. "Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games", dalam
International Organization. 42
Hanson, Fergus,2011. “Australia and The World: Public Opinion and Foreign Policy”, dalam Lowi
Institue For International Policy
Website Paul Maley, “Tony Abbott refloats offshore solution as Newspoll slams home public opinion” diakses
dari http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/tony-abbott-refloats-offshore-solution-as-
newspoll-slams-home-public-opinion/story-fn59niix-1226129321089 pada 4 Januari 2012
UNHCR, “States Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol”, diunduh dari http://www.unhcr.org/3b73b0d63.html
UNHCR, “Global Trend in 2011”, diakses dari http://www.unhcr.org/4dfa11499.html pada 21
Desember 2011 _______, “Asylum Deal” diakses dari www.abc.net.au/btn/story/s3220085.htm pada 21 Desember
2011
UNHCR, “Refugee”, diakses dari http://www.unhcr.org/pages/49c3646c125.html pada 22 Desember
2011 _______, “Background and Information about Refugees and Asylum Seekers” diunduh dari
http://www.refugeecouncil.org.au/docs/news&events/RW_Background_Information.pdf
Departmen of Imigration and Citizenship Australia, “Fact Sheet 82 - Immigration Detention”, diakses dari http://www.immi.gov.au/media/fact-sheets/82detention.htm pada 22 Desember 2011
“Pencari suaka di Australia kembali rusuh” diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110420_australianriot.shtml pada 22 Desember 2011
” Australia kirim pencari suaka ke Malaysia”, diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110721_aussieasylum.shtml pada 22 Desember 2011
Parllament of Australia, “Boat arrivals in Australia since 1976”, dalam Parliamentary Library, diaunduh dari http://www.aph.gov.au/library/pubs/bn/sp/BoatArrivals.pdf
Banyan, “Dead in the water”, diakses dari
http://www.economist.com/banyan/2011/04/australias_processing_centre pada 5 Januari 2012
Top Related