AKU AKAN MEMBANGUNKAN BAGIMU SUATU KELUARGA YANG TEGUH
Victor Hall Keith Tucker Lachlan Perrin
April 2013
Ayat-ayat Kitab Suci dikutip dari NASB, NKJV, KJV dan LITV. Di mana ada penekanan huruf
miring yang digunakan dalam ayat-ayat referensi Kitab Suci, itu telah ditambahkan dan tidak
muncul dalam terjemahan asli.
ISBN: 978-1-958705-0-9
Diterbitkan oleh visionone
© Vision One Inc. 2014
10 Old Goombungee Road
Toowoomba QLD 4350
Tlp: 1300 885 048
Email: info @ visionone.org.au
Untuk katalog musik dan terbitan Kristen kami, silakan kunjungi:
i
Daftar Isi
BAB 1 Perjanjian kerajaan 3
Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya 4
Hukum mengenai rumah 5
Mezbah yang menguduskan 5
BAB 2 Perjanjian pernikahan 7
Memahami kekepalaan 8
Kepala dari setiap laki-laki adalah Kristus 9
Laki-laki adalah kepala dari istrinya 10
Sama seperti Kristus terhadap gereja (jemaat) 11
Betapa hebat kuasa-Nya 11
Dibangkitkan dari kematian karena dosa 12
Bapa memberikan Kristus untuk menjadi Kepala 14
Bertemu dengan Kristus seorang diri di taman Getsemani 15
Supaya Dia dapat menguduskannya 16
Supaya mereka menjadi satu 17
Kidung Agung 17
‘Yang tertinggal’ dari Roh 19
Melahirkan keturunan (benih) ilahi 20
Perjanjian pernikahan adalah rahasia 21
BAB 3 Perjanjian rumah 24
Anak-anak adalah suatu karunia dari Tuhan 25
Mengatur rumah kita dengan benar 25
Mandat dari kebapaan dan keibuan yang ilahi 27
Pengertian alkitabiah tentang keibuan 29
Keibuan yang membanding-bandingkan 31
Ibu-ibu rohani 32
Perjanjian-perjanjian yang dikompromikan 33
Keluarga besar 34
ii
Pengudusan sebuah rumah 35
Pengudusan bagi seorang laki-laki 36
Pengudusan bagi seorang perempuan 38
Pekerjaan Roh Kudus 40
Janji dari Roh 41
BAB 4 Penderitaan dalam keluarga 43
Roh yang lemah lembut dan tenteram 44
Siapakah ibu-Ku? Dan siapakah saudara-saudara-Ku? 45
Sifat dari penderitaan dalam kelurga 47
Kasih keluarga 49
Hendaklah kamu memberkati 50
3
BAB 1
Perjanjian kerajaan
Kitab Suci merujuk kepada kehidupan dan hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus sebelum
waktu dan penciptaan sebagai ‘Perjanjian-Ku’.1 Ini merupakan tujuan perjanjian Mereka, yang
berada di dalam suatu dimensi rohaniah, di luar waktu. Rasul Paulus menyebut Perjanjian
Yahweh, ‘rahasia Allah’.2 Kitab Suci juga merujuk kepada ‘rencana Tuhan’.3 Ini adalah dialog
dan persetujuan akan kerinduan Bapa, Anak dan Roh Kudus dari persekutuan Mereka
‘sebelum’. Kita menyadari bahwa Yahweh hidup di luar dari jagat raya yang diciptakan dan
melampaui alam waktu. Mereka tidak terikat oleh kekekalan dengan cara yang sama seperti
halnya manusia. Sesuatu yang kekal memiliki suatu titik awal tetapi tidak memiliki akhir.
Dialog mereka tidak dapat diketahui menurut hukum alam atau ditemukan oleh keinginan-
keinginan daging. Oleh karena itu, kita dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut:
‘Bagaimana kita dapat mempelajari rencana Tuhan? Bagaimana kita dapat mempelajari
budaya dari kehidupan Mereka bersama? Dan yang paling penting, bagaimana budaya
Mereka dapat menjadi budaya kita, sehingga keyakinan, sikap dan tingkah laku kita berkenan
kepada Allah?’
Alkitab dengan jelas menjawab pertanyaan kita yang pertama. Rencana Tuhan adalah
kerinduan Mereka untuk melahirkan banyak anak kepada kemuliaan hidup kekal.4 Berita
utama dari injil tentang anak adalah kerinduan Bapa agar anak-anak manusia menjadi anak-
anak Allah. Ini adalah ‘kesaksian Yahweh’ yang diproklamirkan sebagai firman Allah. Ketika
1 Kej 6:18. Kej 17:2. Yeh 16:62 2 Ef 3:9
3 Mzm 33:11 4 Ef 2:10
4
para utusan Tuhan memberitakan firman Allah, mereka menyatakan rencana Tuhan ke dalam
hati manusia. Kita ingat bahwa rasul Paulus memberi kesaksian tentang mandatnya untuk
memberitakan kesaksian Tuhan.5
Segala yang kita ketahui tentang kehidupan dan budaya Allah telah ditetapkan ‘sebelum’.
Tuhan memberikan kita jalan masuk kepada rahasia ini ketika Dia menegakkan Perjanjian-Nya
sebagai suatu Perjanjian Kekal dengan Abraham. Dia berkata kepada Abraham, ‘Aku akan
mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi
perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu’.6 Kita sedang
memperhatikan implikasi-implikasi dari perjanjian kekal sebagaimana perjanjian ini
dinyatakan dalam pernikahan dan rumah kita. Kita akan membahas secara terpisah aplikasi-
aplikasi dari tujuan perjanjian Allah ini, sebagai tiga ‘perjanjian’ yang unik. Perjanjian kerajaan
merujuk kepada budaya dari partisipasi kita di dalam tubuh Kristus yang korporat. Perjanjian
pernikahan merujuk kepada Allah yang menerima dan menghormati nazar pernikahan kita
sebagai bagian dari perjanjian-Nya yang menyeluruh dengan Abraham. Dan perjanjian rumah
merujuk kepada mandat dari kebapaan dan keibuan ilahi yang dianugerahkan atas seorang
laki-laki dan seorang perempuan ketika mereka memiliki anak-anak. Kitab Suci memberi
kesaksian bahwa anak-anak adalah suatu karunia dari Tuhan.7
Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya
Pada saat kita membahas perjanjian kerajaan, kita bukan sedang berusaha mendefinisikan
sesuatu yang di luar atau terpisah dari Perjanjian Kekal. Perjanjian Kekal adalah tujuan dan
kehendak Allah yang sempurna, tetap teguh selamanya di sorga.8 Tetapi, kita sedang
membedakan realita budaya dari menjadi, dan hidup sebagai seorang anggota dari kerajaan
Allah. ‘Kerajaan Allah’ bukanlah suatu filosofi rohani yang abstrak. ‘Kerajaan Allah’ merupakan
komunitas orang percaya yang tinggal bersama dalam iman dan keselamatan yang sama.
Pemazmur menggambarkan hubungan antara rencana Tuhan dengan budaya kita ketika ia
menulis, ‘Peraturan-Mu (Kesaksian-Mu) sangat teguh; bait-Mu layak kudus, ya TUHAN, untuk
sepanjang masa’.9 Firman Tuhan menetapkan baik nama maupun pekerjaan dari setiap anak
Allah, bersama dengan harapan-harapan budaya bagi kehidupan yang kudus.
Kata ‘kudus’ lebih baik diterjemahkan sebagai ‘pengudusan’. Pengudusan adalah hidup kita
yang sepenuhnya dipisahkan kepada status anak kita. Hal ini melibatkan suatu proses
pembasuhan dan penyucian yang terus-menerus dari noda dan cela duniawi, oleh air firman.
Kekudusan menggambarkan kehidupan kita yang sepenuhnya dipersembahkan kepada
Tuhan dalam cara yang berkenan. Dengan segera, kita menyadari bahwa realita menjalani
suatu kehidupan yang ‘dikuduskan’ diawali dengan budaya kita.
Perintah Yesus untuk ‘carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya’ menyoroti
perbedaan antara Perjanjian Kekal dengan perjanjian kerajaan.10 Kita dapat menghubungkan
‘mencari dahulu kerajaan Allah’ dengan keselamatan pada tingkat yang paling dasar. Ini
5 2Tim 1:8 6 Kej 17:7
7 Mzm 127:3 8 Mzm 119:89
9 Mzm 93:5 10 Mat 6:33
5
merupakan komitmen kita untuk mati dengan Kristus dan ditebus dari dosa kita. Setelah
menerima sebuah hati yang baru, kita kemudian dapat memenuhi penentuan kita sebagai
seorang anak Allah.11 Berikutnya, kita dapat menghubungkan ‘mencari dahulu kebenaran-
Nya’ dengan tingkah laku dan perilaku yang setara dengan kehidupan sebagai seorang anak
Allah dalam pengudusan. Ini merupakan karakteristik dan budaya yang menentukan dari
suatu keimamatan yang rajani.12 Nabi Yesaya berbicara tentang mengangkat ‘panji-panji’ atau
standar kekudusan bagi umat Allah.13 Hal ini mengatur ukuran kekudusan bagi orang Kristen.
Ketika kita mengatur jalan-jalan kita sesuai dengan ‘panji-panji’ ini, tidak akan ada jurang
pemisah antara budaya kehidupan, pernikahan dan rumah kita, dengan budaya dari rumah
Tuhan.
Hukum mengenai rumah
Banyak orang Kristen tidak memperhatikan implikasi-implikasi dari mengukur kehidupan
mereka kepada suatu ‘standar’ kekudusan. Bagi beberapa orang percaya, berita yang
diproklamirkan pada hari Minggu memiliki sedikit dampak pada budaya mereka di hari Senin
sampai Sabtu. Semua kegiatan hari demi hari, dari kehidupan kita harus diukur kepada budaya
dan perjanjian kerajaan. Secara praktis, hal ini akan mencakup praktek-praktek dan sikap-
sikap di dalam rumah kita, pengejaran kesenangan kita, dan pengaruh-pengaruh sensoris
(panca indera) yang kita buka bagi diri kita dan anak-anak kita, seperti televisi.
Nabi Yehezkiel memproklamirkan, ‘Inilah ketentuan mengenai Bait Suci (hukum mengenai
rumah) itu: seluruh daerah yang di puncak gunung itu haruslah maha kudus. Sungguh, inilah
ketentuan mengenai Bait Suci (hukum mengenai rumah) itu.’14 ‘Maha kudus’ dalam hal ini
berarti ‘pengudusan’. ‘Daerah yang di puncak gunung’ berhubungan dengan perkataan
Yesaya dan Mikha ketika mereka bernubuat tentang ‘gunung tempat rumah TUHAN’.15 Kita
sedang mengamati bahwa ada suatu budaya yang menentukan di dalam rumah Tuhan. Nabi
Yoel berbicara tentang gunung rumah Tuhan, demikian, ‘orang-orang luar tidak akan
melintasinya lagi’.16 Kata ‘orang-orang luar’ artinya ‘pezinah-pezinah’. Orang-orang ini adalah
mereka yang mengkhianati perjanjian kerajaan. Mereka telah menyangkal budaya rumah
Tuhan, dan sebaliknya, memilih suatu budaya alternatif, yang tidak dikuduskan. Nabi Yesaya
menggambarkan jalan dari kehidupan yang dikuduskan sebagai ‘jalan kudus’.17 Ini merupakan
jalan yang ditetapkan melalui budaya ilahi, dilalui oleh anak-anak Allah. Sebagaimana mereka
berpartisipasi dalam pemulihan progresif dari sebuah gereja kaki dian, mereka sedang
bergerak maju dan berkemenangan. Sebaliknya, Yesaya bernubuat, ‘Orang yang tidak tahir
tidak akan melintasinya’.18
Mezbah yang menguduskan
Sekarang kita akan memperhatikan bagaimana kita menerima ‘ketentuan mengenai Bait Suci
(hukum mengenai rumah)’. Yesus menanyakan pertanyaan ini, ‘Apakah yang lebih penting,
11 Yeh 36:26 12 1Ptr 2:9 13 Yes 62:10
14 Yeh 43:12 15 Yes 2:2. Mi 4:1 16 Yl 3:17
17 Yes 35:8 18 Yes 35:8
6
persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu?’19 Mezbah adalah tempat
dari orang-orang kudus. Ini merupakan tempat dari iman yang sama, keselamatan yang sama,
kasih yang sama, dan pengharapan yang sama. Ini merupakan tempat di mana persembahan-
persembahan dibawa, dan orang-orang percaya bersatu dengan persekutuan memberi dan
menerima untuk memasok anggota-anggota lain dari tubuh Kristus. Poin yang Yesus sedang
sampaikan adalah kehidupan dari orang-orang yang berperan di mezbah tidak menentukan
budaya dari jemaat lokal mereka. Tetapi, mezbah diberikan kepada orang-orang kudus.
Rasul Paulus memuji gereja (jemaat) Korintus, katanya, ‘Aku harus memuji kamu, sebab
dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran
(tradisi) yang kuteruskan kepadamu’.20 Yudas menuliskan, ‘Sementara aku bersungguh-
sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa
terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasehati kamu, supaya kamu tetap berjuang
untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus’.21 Definisi
dari budaya ilahi, yang diatur oleh pekerjaan pengudusan dari mezbah, ‘disampaikan’ atau
‘diteruskan’ kepada kita. Perjanjian kerajaan dan pengudusan yang sejati di dalam rumah
Allah, diproklamirkan kepada kita melalui firman. Mezbah tidak pernah sama dengan
serangkaian tingkah laku yang diperbolehkan, yang diterima melalui kesepakatan dari orang-
orang yang hidup bersama. Hal itu akan menjadi hasil dari ‘setiap orang berbuat segala
sesuatu yang dipandangnya benar’.22 Hal ini akan menjadi korupsi yang sangat serius.
Yudas meneruskan dengan berkata, ‘Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk
menyelusup di tengah-tengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk
dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah
kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa
dan Tuhan kita, Yesus Kristus’.23 ‘Pelampiasan hawa nafsu (Inggris: Licentiousness) artinya
‘mengambil izin untuk sesuatu (Inggris: taking a license)'. Orang-orang fasik ini adalah orang-
orang yang berlawanan dengan hukum mengenai rumah. Sebaliknya, mereka mengambil
suatu izin untuk pengecualian budaya yang menyangkal perjanjian kerajaan.
Jika ada suatu kesenjangan atau ‘jurang pemisah’ antara budaya dari rumah kita dengan
hukum mengenai rumah, kita sedang melanggar perjanjian kerajaan. Lebih lanjut dari ini,
proklamasi firman dan penginsafan Roh Kudus, hanya akan mempertajam disfungsi yang
terjadi dalam kehidupan, pernikahan atau rumah kita. Hal ini dikarenakan kita berlawanan
secara budaya dengan hukum mengenai rumah.
19 Mat 23:19 20 1Kor 11:2
21 Yud 1:3 22 Ul 12:8
23 Yud 1:4
7
BAB 2
Perjanjian pernikahan
Dalam perjanjian kerajaan, seorang laki-laki dan perempuan Kristen berhubungan bersama-
sama sebagai seorang saudara dan saudari dalam Kristus. Jika mereka memutuskan untuk
menikah, hubungan ini akan berlanjut, dan menjadi dasar dari perjanjian pernikahan. Namun,
sebagai seorang laki-laki dan perempuan yang bersatu dengan persembahan Kristus sebagai
dasar dari perjanjian pernikahan mereka, sesuatu yang benar-benar baru sedang dilahirkan.
Laki-laki menerima kasih karunia dari Kristus untuk menjadi kepala dari istrinya, dan
perempuan menerima kasih karunia dari Kristus untuk menjadi seorang penolong yang
sepadan bagi suaminya. Bersama-sama, sebagai suami dan istri, mereka menjadi ‘teman
pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan’.1
Perjanjian pernikahan adalah perjanjian yang menghubungkan seorang suami dan istri
kepada order (aturan) kekepalaan yang tersedia di dalam Kristus. Kekepalaan adalah order
(aturan) berhubungan yang olehnya hidup dan kuasa Allah mengalir kepada setiap rumah dan
kepada gereja. Merupakan inisiatif Allah untuk menegakkan order (aturan) otoritas yang
diperlukan untuk mengatasi dan mengalahkan kefasikan. Inilah cara menyatukan rumah-
rumah kepada persekutuan hidup ciptaan baru. Kasih karunia diperlukan untuk melahirkan
benih ilahi dan memelihara perjanjian rumah.
1 1Ptr 3:7
8
Dalam banyak tulisan-tulisan kami yang lain, kami telah memperhatikan bagaimana seorang
perempuan dibentuk dan dibuat untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi
suaminya. Hal ini tidak akan menjadi fokus di sini. Tetapi, perhatian utama kita adalah
bagaimana kekepalaan dibentuk dalam seorang laki-laki.
Memahami kekepalaan
Rasul Paulus menulis kepada jemaat Korintus, ‘Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal
ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan
Kepala dari Kristus ialah Allah.’2 Kami akan membuat suatu pengamatan yang menarik
sementara kita memulai pembelajaran ini. Sering kali ketika seorang perempuan Kristen
merenungkan masalah kekepalaan, dia segera memikirkan hubungan dengan suaminya. Hal
ini adalah benar dan tepat serta sesuai dengan perkataan Paulus. Namun, ketika seorang laki-
laki merenungkan masalah kekepalaan, sering kali dia segera memikirkan hubungan dengan
istrinya! Sebagaimana seorang perempuan tunduk kepada kekepalaan suaminya, seorang
laki-laki tunduk kepada kekepalaan Kristus. Pada tingkat awal, kekepalaan seorang laki-laki
tidak ada hubungan dengan istrinya! Tetapi, seorang laki-laki harus melihat kepada Kristus
untuk mengetahui kekepalaan Tuhan terhadap dirinya. Seorang laki-laki tidak mempunyai hak
untuk mengharapkan respon jenis apapun dari istrinya yang ia sendiri tidak mau lakukan
kepada Kristus.
Mari kita membuatnya jelas dari awal. Seorang laki-laki tidak memiliki kekepalaan hanya
karena dia adalah seorang percaya yang menikah. Kekepalaan bukanlah sesuatu yang melekat
di dalam kita. Seorang laki-laki yang menikah tidak memiliki suatu otoritas bawaan untuk
memerintah dan mengarahkan istri dan keluarganya. Dia juga tidak memiliki intuisi bawaan
apapun untuk mampu menentukan segala sesuatu bagi rumah tangganya. Atas nama
kekepalaan, seorang laki-laki mungkin mencoba untuk memaksakan jenis otoritas atau intuisi
bawaan ini terhadap istrinya. Hal ini dapat membuat perempuan merasa menjadi korban,
dirampas dari inisiatifnya dan bahkan identitasnya. Kekepalaan bukanlah ‘kekuasaan laki-laki’
dimana seorang laki-laki mengontrol segala sesuatu. Kekepalaan bukanlah seorang laki-laki
yang membuat istrinya menjadi suatu perpanjangan dari dirinya sendiri supaya istrinya
melayani agendanya. Kekepalaan bukanlah suatu hubungan yang dirundingkan dengan
istrinya ketika keduanya memiliki pendapat dan kemudian laki-laki yang memberikan suatu
arahan. Kekepalaan juga bukanlah suatu cara berhubungan (antara suami-istri) yang diterima
di depan umum, namun bekerja secara berbeda saat berada di rumah.
Lebih lanjut dari ini, seorang laki-laki tidak seharusnya membatasi pengertiannya mengenai
kekepalaan kepada penyediaan bagi, dan perlindungan akan, istri dan keluarganya.
Kekepalaan tidaklah sama dengan seorang laki-laki yang melakukan segala sesuatu yang
dapat dia lakukan untuk menyediakan apapun yang diinginkan istri dan anak-anaknya. Namun
beberapa laki-laki mendapatkan semacam penghargaan dan harga diri dari kerja keras ini dan
bahkan menyebut hal tersebut ‘menyerahkan hidupnya’ bagi keluarganya. Seorang laki-laki
2 1Kor 11:3
9
bisa menggunakan semua istilah yang tepat, tapi hal ini tidak membuat cara alamiahnya
menjadi ekspresi kekepalaan.
Kepala dari setiap laki-laki adalah Kristus
Satu-satunya ukuran yang dimiliki seorang laki-laki sehubungan dengan kekepalaannya
adalah Yesus Kristus. Dia tidak tunduk kepada Kristus jika dia mengakui Kristus sebagai Tuhan
tetapi tidak mempraktekkannya. Jika seorang laki-laki memiliki suatu hubungan dengan
Tuhan yang telah dia tetapkan berdasarkan istilahnya sendiri, ‘penundukan’-nya hanya ada
dalam imajinasinya. Menjadi terlalu defensif atau terlalu was-was sehubungan dengan istri
dan rumah tangganya, dapat menjadi indikator bahwa seorang laki-laki sedang merujuk
kekepalaannya dalam agendanya sendiri.
Bagaimana seorang laki-laki menunjukkan bahwa kekepalaannya sesungguhnya adalah
dengan Kristus? Dia memberikan dirinya kepada suatu hubungan dengan Kristus yang
ditemukan di antara saudara-saudaranya. Yesus berkata, ‘Di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.’3 Melalui persembahan
dari seorang laki-laki, dia dapat ‘dikenal di pintu gerbang, ketika ia duduk bersama-sama para
tua-tua negeri’.4 Seorang laki-laki tunduk kepada Kristus sebagai Kepala ketika dia
mendengar, menghargai dan taat kepada firman yang diteguhkan oleh mulut dua atau tiga
orang.
Ini merupakan suatu jenis hubungan yang cukup unik di antara laki-laki yang memperhatikan
keluarga mereka. Kapasitas untuk terbuka mengenai kehidupan kita sementara
mendengarkan suara Kristus di antara saudara-saudaranya, memberikan penghargaan
kepada setiap laki-laki dalam tanggung jawabnya sendiri terhadap keluarganya. Jenis
hubungan ini dapat menjadi sulit bagi beberapa laki-laki. Ini merupakan kapasitas untuk
terbuka dan berbagi hidup tanpa menjadi terancam oleh perasaan tidak sanggup. Jika seorang
laki-laki dapat dengan bebas mendengarkan suara Kristus, ‘para tua-tua negeri’ akan
menyediakan pemahaman (pengertian) ke dalam kekepalaannya sebagai seorang laki-laki
yang tunduk kepada kekepalaan Kristus.
Penting untuk seorang laki-laki mengetahui kecenderungan dan cita-citanya. Kitab Amsal
mengingatkan kita, ‘Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang
terlaksana.’5 Seorang laki-laki harus tahu bagaimana memperhatikan suara Kristus tanpa
hanya memperhatikan masukan yang menguatkan agendanya sendiri. Seorang laki-laki harus
mendengarkan Kristus dan mendengarkan firman-Nya di antara saudara-saudara. Tetapi pada
akhirnya, dia sendiri yang bertanggung jawab untuk rumah tangganya sendiri. Tidak
seorangpun dapat mengambil keputusan baginya. Hal itu akan menjadi suatu pelanggaran
terhadap perjanjian rumah orang lain. Seorang laki-laki seharusnya tidak ‘mendapatkan
persetujuan’ di antara saudara-saudara. Dia menemukan persekutuan, bukan kewajiban.
3 Mat 18:20 4 Ams 31:23 5 Ams 19:21
10
Tanpa mendefinisikannya secara berlebihan, profil-profil berikut bisa diaplikasikan kepada
seorang laki-laki dan hubungannya dengan saudara-saudara yang lain.
Laki-laki feminis akan gagal pada sisi gejolak dan pertahanan ketika ia harus membawa
hidupnya dan rumah tangganya ke dalam persekutuan dua atau tiga orang. Fokusnya
terhadap detil-detil kecil dari rencananya akan membuatnya tidak sabar ketika jalan di
depannya dibahas secara konseptual.
Laki-laki superior akan mencari nasehat, tapi gagal pada sisi kemarahan terhadap dinamika
persekutuan. Dia cenderung untuk mau mendengarkan ketika pembicaraan ‘berjalan sesuai
caranya’ karena dia relatif teguh mengenai cara yang ia inginkan.
Laki-laki yang merasa tidak aman akan gagal karena terlalu bergantung pada persekutuan
dari dua atau tiga orang untuk memperkuat tekadnya dan membuat keputusannya.
Laki-laki yang inferior akan gagal pada sisi memerlukan persekutuan yang terus-menerus dari
dua atau tiga orang untuk meneguhkan validitas pribadinya. Hal ini dapat menjadi suatu
gangguan dan membuat dia mengabaikan atau salah memahami permasalahan yang sedang
terjadi dalam rumahnya. Laki-laki yang inferior juga bergumul untuk ‘mendengar dari yang
paling kecil’.6
Laki-laki adalah kepala dari istrinya
Beberapa laki-laki beranggapan bahwa kekepalaan adalah suatu kapasitas maskulin terhadap
perempuan secara umum. Hal ini tidaklah demikian. Tidak ada kekepalaan kolektif dari laki-
laki terhadap perempuan. Paulus mengatakan bahwa ‘kepala dari (seorang) perempuan ialah
laki-laki’; dia tidak mengatakan, ‘semua perempuan’. Kekepalaan adalah dari satu laki-laki
terhadap istrinya sendiri saja. Paulus juga menjelaskan masalah ini dalam suratnya kepada
jemaat Efesus dimana dia mengatakan, ‘Karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus
adalah kepala jemaat’. Ini merupakan hubungan suami dan istri. Paulus melanjutkan
pembahasan ini dengan mengatakan, ‘Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama
seperti tubuhnya sendiri’. Seorang laki-laki hanya menjalankan kekepalaan atas istri dan
rumahnya sendiri. Jika dia menggunakan suatu kekuasaan atau otoritas atas perempuan lain
dalam nama kekepalaan, dia sedang tersesat. Hal ini melanggar garis pengudusan.
Penting untuk disadari bahwa hanya ada satu order (aturan) kekepalaan, jadi cara dari
kekepalaan seharusnya identik dalam setiap pernikahan. Dengan kata lain, arti menjadi
kepala dan penolong adalah sama dalam satu pernikahan dengan pernikahan yang lain, tapi
ekspresi dari setiap pernikahan akan menjadi unik. Oleh karena itu, kekepalaan seorang laki-
laki terhadap keluarganya tidak akan kelihatan sama seperti kekepalaan laki-laki yang lain.
Identitas-identitas spesifik dalam sebuah rumah tangga, bersama dengan keadaan-keadaan
mereka, memerlukan suatu penyediaan kasih karunia yang unik. Sebagai contoh, ekspresi
kekepalaan seorang laki-laki dalam rumah yang melayani akan berbeda dari ekspresi
kekepalaan seorang laki-laki dalam rumah doa. Namun, cara dari setiap kekepalaan laki-laki
6 1Kor 6:4
11
akan sama seperti kekepalaan Kristus terhadap gereja, dan setiap laki-laki akan tunduk
kepada Kristus sebagai Kepalanya.
Merupakan hal penting bahwa seorang laki-laki tidak menggunakan gagasan ‘kekepalaan
yang unik’ sebagai suatu alasan untuk melebih-lebihkan atau meremehkan tindakan-tindakan
yang diminta dari dirinya. Dia bertanggung jawab untuk memenuhi mandatnya sebagai
kepala. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang tidak suka konfrontasi tidak dapat
menggunakan alasan bahwa dia ‘unik’ sebagai cara dari membenarkan kegagalannya untuk
berbicara kepada istrinya atau mendisiplin anak-anaknya.
Sama seperti Kristus terhadap gereja (jemaat)
Dalam suratnya kepada jemaat Efesus, rasul Paulus menjelaskan bahwa cara dari kekepalaan
setiap laki-laki terhadap istrinya perlu menjadi sama seperti kekepalaan Kristus terhadap
gereja. Ini merupakan teladan kita untuk kekepalaan. Paulus menuliskan, ‘Hai istri, tunduklah
kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus
adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat
tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami,
kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-
Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya
dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya
dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus
dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya
sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang
membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus
terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.’7
Paulus mendeklarasikan dalam bagian ini, tidak kurang dari tiga kali, bahwa hubungan antara
Kristus dan jemaat-Nya merupakan contoh bagi setiap hubungan laki-laki dengan istrinya. Dia
mengatakan bahwa seorang laki-laki adalah kepala dari istrinya ‘sama seperti Kristus adalah
Kepala jemaat’. Ini merupakan hal penting sementara kita mempertimbangkan arti
kekepalaan. Paulus juga menjelaskan bahwa kasih, perhatian dan sikap laki-laki terhadap
istrinya haruslah sama seperti kasih dan perhatian Kristus terhadap gereja.
Betapa hebat kuasa-Nya
Dalam surat yang sebelumnya kepada jemaat Efesus, Paulus menjelaskan bagaimana Yesus
Kristus menjadi Kepala dari gereja. Penting bagi kita untuk memahami proses ini, supaya kita
mengerti bagaimana seorang laki-laki menjadi kepala dari istrinya. Mari kita katakan sekali
lagi bahwa kekepalaan tidak melekat di dalam setiap laki-laki. Kekepalaan harus diberikan
kepada laki-laki ketika dia menundukkan dirinya kepada Kristus yang merupakan Kepalanya.
Kekepalaan hanya ditegakkan di dalam seorang laki-laki sementara dia bersatu dengan
persembahan dan sunat Kristus oleh kuasa Allah.
7 Ef 5:22‑30
12
Paulus menuliskan, ‘Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti …
betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang
dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati … dan Dia
telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada.’8
Ada tiga unsur dalam bagian ini yang mengidentifikasi bagaimana Kristus ditegakkan sebagai
Kepala dari gereja dan juga, bagaimana seorang laki-laki ditegakkan sebagai kepala dari
istrinya. Setiap laki-laki perlu diiluminasi oleh firman mengenai unsur-unsur ini. Kemudian, dia
dapat ‘percaya’ untuk menerima kekepalaan yang sejati dari Kristus ketika dia bersatu dengan
persekutuan persembahan-Nya dan sunat-Nya. Unsur pertama adalah kehebatan kuasa-Nya
yang ada bagi Kristus dan sekarang ada bagi setiap laki-laki yang ‘percaya’ akan kekepalaan.
Kuasa Allah adalah kapasitas dari ketujuh kali lipat Roh Allah. Kuasa ini merupakan kapasitas
penuh dari Bapa, Anak dan Roh Kudus yang diberikan kepada kita melalui Roh Kudus.
Unsur kedua adalah Yesus Kristus dibangkitkan dari kematian karena dosa oleh kuasa Allah.
Oleh sebab itu, kita akan dibangkitkan dari kematian karena dosa, di dalam Dia. Kuasa Allah-
lah yang memampukan seorang laki-laki untuk bersatu dengan persembahan dan sunat
Kristus, sehingga hidup dimultiplikasi dan dosa dibereskan.
Unsur ketiga adalah Yesus Kristus diberikan untuk menjadi Kepala dari gereja oleh Bapa.
Dengan cara yang sama, setiap laki-laki harus diberikan oleh Kristus untuk menjadi kepala dari
istrinya.
Dibangkitkan dari kematian karena dosa
Ketika seorang laki-laki bertemu dengan Yesus Kristus secara pribadi di taman Getsemani, dia
disatukan kepada proses yang telah ditegakkan dalam tubuh-Nya. Proses ini efektif untuk
penghapusan dosa seutuhnya. Kita diingatkan bahwa Bapa membuat Kristus ‘yang tidak
mengenal dosa, menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah’.9
Yesus Kristus menjadi Perintis keselamatan kita karena Dia menundukkan diri-Nya kepada
kehendak Bapa. Dia menerima kapasitas dari ketujuh kali lipat Roh Allah untuk berjalan dalam
ketaatan yang sepenuhnya kepada kehendak Bapa. Ketaatan ini adalah persembahan-Nya
yang murni dan tidak bercela kepada Bapa, dari taman Getsemani dan di sepanjang jalan,
sampai kepada seruan, ‘Sudah selesai’. Karena Dia mati dalam kematian karena dosa, Dia mati
bagi dosa ketika Dia dengan rela menyerahkan hidup-Nya. Dengan setiap tetes darah-Nya
yang berharga, Dia kembali dari kematian karena dosa. Dia dihidupkan bagi Allah.
Ini adalah proses yang telah ditegakkan bagi kita untuk mengalahkan dosa. Rasul Petrus
mendeklarasikan bahwa Dia menanggung dosa-dosa kita dalam tubuh-Nya di atas kayu salib,
supaya kita dapat mati bagi dosa dan hidup bagi kebenaran, karena oleh bilur-bilur-Nya kita
disembuhkan.10 Seorang laki-laki memulai proses penyembuhan ini dengan mencari Tuhan
sehubungan dengan disfungsi apapun dalam kehidupannya sendiri, dalam pernikahannya,
dan dalam rumahnya. Disfungsi (tidak berfungsi/berperan dengan benar) adalah akibat dari
8 Ef 1:18‑23 9 2Kor 5:21 10 1Ptr 2:24
13
dosa. Dosa, dalam hal ini, sama dengan ‘jurang’ yang ada dalam perjanjian pernikahan. Hal ini
terjadi ketika seorang laki-laki dan istrinya tidak sehati. Setiap masalah kejatuhan dalam hati
laki-laki itu sendiri harus dikalahkan melalui partisipasi dalam penderitaan dan kemenangan
Kristus. Area-area dosa ini akan memberikan tekanan pada budaya rumahnya.
Setelah memberikan dirinya kepada sebuah persekutuan dalam sunat Kristus, seorang laki-
laki menemukan iman untuk mengalahkan setiap area budaya fasik yang spesifik. Dalam hal
ini, dia telah mempercayakan dirinya kepada Allah. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa
setiap masalah tidak akan terselesaikan dalam satu pengalaman. Seorang laki-laki akan terus
menyatukan dirinya kepada sunat Kristus ‘masalah demi masalah’ dan ‘waktu demi waktu’,
sementara dia menguduskan dirinya demi istri dan keluarganya. Dengan cara ini, dia akan
terus bersatu dengan penderitaan Kristus. Rasul Petrus menuliskan, ‘Karena itu baiklah juga
mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu
berbuat baik, kepada Pencipta yang setia.’11
Ketika seorang laki-laki melakukan hal ini, dia mempelajari rahasia tentang ‘mati’ terhadap
masalah-masalah yang memberikan tekanan atas rumahnya. Dia akan mengenal suatu roh
yang tenteram dan tidak akan ditarik ke dalam pertengkaran karena ketidakcocokan budaya.
Sama seperti Kristus, dia tidak akan bereaksi sama sekali.12 Pada titik ini, dia sedang berbagi
dalam penderitaan Kristus. Buah dari proses ini adalah dia dapat menguduskan istri dan anak-
anaknya. Dia dapat memanggil istri dan anak-anaknya keluar dari budaya fasik dan masuk ke
dalam jalan dari hidup ciptaan baru.
Kita akan secara singkat memperhatikan sebuah contoh. Istri dari seorang laki-laki mungkin
dibesarkan dalam suatu budaya dimana orang-orang terus direndahkan serta rasa percaya
diri dan identitas mereka dirampas. Laki-laki ini dapat meresponi dengan sejumlah cara. Dia
dapat berusaha menerima untuk bersatu dengan budaya negatif ini. Dia dapat bereaksi
terhadap budaya negatif ini dengan menghakimi budaya tersebut. Atau dia dapat mati
terhadap budaya itu dalam dirinya sendiri dan tidak ada interaksi dengan budaya itu sama
sekali. Laki-laki ini dapat menawan segala pikiran kepada ketaatan Kristus dalam masalah
ini.13 Kemudian dia dapat memanggil istrinya keluar dari budaya tersebut, kepada suatu
budaya penghormatan dan penghargaan. Ini adalah contoh kecil tetapi merupakan hal yang
penting. Setiap contoh akan kembali pada satu pertanyaan ini. Akankah kita melayani Tuhan
dalam hal ini atau tidak?14 Laki-laki bertanggung jawab untuk menegakkan pengudusan
rumahnya dalam penundukan kepada ke-Tuhanan Yesus Kristus.
Seorang laki-laki muda yang berusaha untuk mempelajari kekepalaan, harus sangat berhati-
hati dalam masalah ini. Ketika masalah budaya keluarga diidentifikasi, dia tidak boleh bereaksi
terhadap masalah tersebut. Tindakan apapun yang dimotivasi oleh reaksi tidak akan menjadi
ekspresi yang memunculkan kekepalaan. Dia harus berusaha menghormati baik orang tuanya
sendiri maupun orang tua istrinya. Pada saat yang sama, dia akan menyatukan dirinya kepada
11 1Ptr 4:19 12 Yes 53:7
13 2Kor 10:5 14 Yos 24:15
14
sunat Kristus untuk membawa pembebasan bagi istrinya, dan menegakkan suatu rumah
tangga yang baru. Ada kesempatan yang besar di sini untuk menyelesaikan dinamika
hubungan yang fasik dalam keluarga besar. Hal ini akan terjadi jika ada persekutuan yang baik
antara orang tua dengan pasangan baru tersebut. Terlepas apakah persekutuan ini terjalin
atau tidak, tetap merupakan tanggung jawab dari seorang laki-laki untuk melihat rumah
tangganya sendiri ditegakkan dalam budaya ilahi.
Bapa memberikan Kristus untuk menjadi Kepala
Kembali kepada perkataan Paulus dalam suratnya kepada jemaat Efesus, kita membaca
bahwa Bapa membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di
sebelah kanan-Nya di tempat sorgawi. Dia membangkitkan-Nya jauh lebih tinggi dari segala
pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan. Dia menganugerahkan atas-Nya
nama di atas segala nama. Dan yang paling penting, sehubungan dengan pembelajaran kita
saat ini, segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-
Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada.15 Prinsip yang kita amati adalah
kekepalaan ‘dibentuk’ dan kemudian ‘diberikan’.
Allah Bapa memberikan Kristus sebagai Kepala bagi gereja. Jelas, Kristus tidak beranggapan
untuk mengambil otoritas terhadap gereja. Dia diberikan kepada gereja sebagai Kepala, oleh
Bapa. Dengan cara yang sama, setiap laki-laki harus diberikan oleh Kristus sebagai kepala bagi
istrinya. Kita dapat menjadi yakin bahwa ketika seorang laki-laki memberikan dirinya kepada
Kristus supaya kekepalaan dibentuk di dalam dia, maka Kristus akan memberikan dia sebagai
kepala bagi istrinya.
Ketika seorang laki-laki diberikan dalam kekepalaan bagi istrinya, dia memiliki baik otoritas
maupun kapasitas untuk kekepalaan. Dia memiliki kapasitas untuk menyatukan keluarganya
kepada persekutuan Perjanjian Baru. Dia tidak beranggapan bahwa otoritas ini berasal dari
dalam dirinya sendiri. Dia telah menerimanya sebagai suatu karunia. Kekepalaan ini milik
Kristus dan dia menjalankannya mewakili Kristus. Dan dia hanya menjalankan kekepalaan
tersebut mewakili Kristus melalui persembahan dan penyerahan hidupnya bagi istrinya.
Dalam semua hal ini, kita mengamati prinsip persembahan dan interaksi dari memberi. Kita
tahu bahwa Kristus adalah persembahan Bapa. Yesus berkata di taman Getsemani, ‘Ya Bapa-
Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah yang terjadi’.16 Paulus mendeklarasikan, ‘Ia, yang tidak
menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua’.17 Ketika
Bapa memberikan Anak-Nya dalam persembahan, hal ini bukanlah suatu inisiatif dari Bapa
yang mendominasi atau mengontrol. Kristus juga memberikan diri-Nya karena kasih-Nya bagi
Bapa dan bagi gereja. Paulus menginstruksikan semua suami untuk ‘mengasihi istrimu
sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya’.18
15 Ef 1:20‑22 16 Luk 22:42
17 Rm 8:32 18 Ef 5:25
15
Kita menyimpulkan bahwa supaya seorang laki-laki menemukan kekepalaan terhadap
istrinya, maka penting bagi dia untuk memberikan dirinya dalam persembahan demi istrinya.
Yesus Kristus memberikan seorang laki-laki untuk menjadi kepala dari istrinya, tetapi seorang
laki-laki juga harus menyerahkan dirinya dalam kekepalaan. Dengan cara ini, ada suatu
interaksi dari ‘memberi’. Sama seperti Kristus memberikan seorang laki-laki sebagai kepala
bagi istrinya, demikian juga laki-laki itu memberikan dirinya kepada tanggung jawab
kekepalaan. Kekepalaannya adalah suatu karunia bagi istrinya. Mungkin ada saat-saat dimana
dia menegaskan otoritasnya, tetapi bahkan jika demikan halnya, dia memberikan dirinya
melalui persembahan.
Bertemu dengan Kristus seorang diri di taman Getsemani
Pada masa-masa ini, kita sedang memperhatikan bahwa hati yang baru tidak diterima
sebelum kita bersatu dengan Yesus Kristus di taman Getsemani. Demikian juga, seorang laki-
laki tidak memiliki kapasitas untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja,
sebelum dia bertemu dengan Kristus di taman Getsemani secara pribadi. Hanya ketika dia
bertemu dengan Kristus dengan cara ini maka kehebatan kuasa Allah, yang adalah kuasa
kasih, beroperasi terhadapnya.
Ketika seorang laki-laki hendak memasuki pernikahan, dia mungkin terlibat dalam banyak
pembahasan tentang arti kekepalaan. Demikian juga, seorang laki-laki yang telah menikah
akan menikmati persekutuan dengan saudara-saudaranya tentang hal ini. Namun, motivasi
dan kapasitas untuk kekepalaan tidak ditemukan sampai Roh Kudus memimpin setiap laki-
laki ke taman Getsemani untuk bertemu dengan Yesus Kristus seorang diri.
Secara praktis, hal ini akan melibatkan seorang laki-laki menundukkan dirinya dalam doa
kepada ke-Tuhanan Yesus Kristus dan kehendak Bapa. Seorang laki-laki harus berdoa,
‘Bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi’, sehubungan dengan
pernikahannya. Kristus menundukkan diri-Nya kepada Bapa dan menemukan kapasitas untuk
taat. Dengan cara ini, setiap laki-laki harus menundukkan dirinya kepada Kristus dan bersatu
dengan ketaatan-Nya oleh kuasa Allah. Ini adalah suatu pengalaman pribadi yang mendalam.
Kita diingatkan bahwa Yesus memisahkan diri-Nya dari murid-murid-Nya ketika Dia
menguduskan diri-Nya kepada kehendak Allah. Dia bersaksi, ‘Aku menguduskan diri-Ku bagi
mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran.’19 Ketika Kristus dipisahkan kepada
pekerjaan yang Bapa berikan kepada-Nya di taman Getsemani, Dia tidak bersama dengan
murid-murid-Nya. Dia seorang diri menghadapi proses untuk menang dan dibangkitkan dalam
kekepalaan sebagai seorang Anak yang taat. Hal ini juga berlaku bagi seorang laki-laki
sehubungan dengan istrinya. Ini bukan berarti bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan
istrinya. Namun, ini artinya bahwa dia akan memisahkan dirinya dari semua agenda istrinya
dan memberikan dirinya kepada Tuhan. Pada titik inilah dia akan memilih antara menujukan
hatinya kepada istrinya, atau memisahkan dirinya kepada Tuhan.
19 Yoh 17:19
16
Jika dia menujukan hatinya kepada istrinya, semua harapan dari pengudusan akan hilang.
Keinginan istrinya adalah suaminya menyediakan baginya suatu gaya hidup yang-ditentukan-
sendiri.20 Istrinya dapat menggunakan ‘kecantikan dan kemolekan’ dan ‘jerat dan jala’ untuk
menunjukkan betapa ’baik’ keinginan gaya hidup tersebut nantinya bagi mereka berdua.21
Ketika seorang laki-laki menguduskan dirinya bagi Tuhan, kepalanya tidak bertudung, dan dia
dapat melihat dengan jelas hal-hal yang dari Kristus. Di sinilah dimana dia masuk ke dalam
hubungan dengan Kristus dan saudara-saudara yang lain.22 Dari tempat pengudusan ini, dia
dapat menyediakan suatu jalan bagi istrinya untuk dikuduskan juga bagi Tuhan. Hal ini
membuka jalan bagi kehidupan Allah untuk datang ke dalam rumah tangga mereka.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, ‘Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti
Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.’23 Murid-murid tidak dapat
menguduskan diri mereka sendiri untuk menemukan kasih karunia kehidupan. Mereka juga
tidak dapat menentukan bagaimana hidup ciptaan baru akan dilahirkan.24 Demikian juga,
seorang istri tidak dapat berunding dengan suaminya tentang bagaimana suaminya dapat
dipisahkan kepada Tuhan dan menegakkan suatu jalan kehidupan bagi dia. Ketika seorang
laki-laki memberikan dirinya kepada jalan pengudusan bagi Tuhan ini, istrinya tidak dapat
pergi bersamanya. Namun, istrinya dapat dan harus pergi bersama dengan dia kelak, ketika
suaminya telah menegakkan jalan ini bagi dirinya.
Supaya Dia dapat menguduskannya
Paulus memproklamirkan bahwa Yesus ‘menyerahkan diri-Nya’ bagi gereja ‘untuk
menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan
firman’.25 Simbolisme dari ‘memandikannya dengan air’ segera menarik perhatian kita kepada
cara Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Kita membaca dalam Injil Yohanes bahwa Yesus
‘menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu
menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.’26
Dalam suatu pernikahan, laki-laki harus mengambil peran yang sama ini terhadap istrinya. Dia
bukanlah penyelamat istrinya, tapi dia menemukan kapasitas untuk bersatu dengan Kristus
dalam menguduskan istrinya dengan ‘memandikannya dengan air dan firman’. Sikap suami
akan menjadi seperti orang yang merendahkan dirinya untuk tugas yang penting ini. Dia akan
mengambil firman masa kini, dan dalam persekutuan dengan istrinya mengaplikasikan firman
ini pada kehidupan mereka bersama dan pada hidup istrinya. Ketika istri mengizinkan suami
untuk melakukan hal ini, maka istri juga dikuduskan. Aplikasi yang efektif dari air firman dalam
suatu pernikahan sering kali merupakan percakapan yang normal, santai dan rendah hati.
Firman diaplikasikan pada gaya hidup keluarga, hubungan-hubungan di dalam rumah dan
dalam aktivitas masing-masing (istri dan suami) di dunia. Semua ini dilakukan dalam konteks
kasih dan demonstrasi dari penundukan laki-laki itu sendiri kepada Kepalanya, Kristus.
20 Kej 3:16 21 Pkh 7:26 22 2Kor 3:16
23 Yoh 13:36 24 Mat 16:21‑23 25 Ef 5:26
26 Yoh 13:5
17
Seorang laki-laki yang tidak tunduk kepada pengudusannya sendiri tidak akan memiliki
kapasitas untuk menguduskan istrinya. Ketika dosa ada di depan mata seorang laki-laki, dia
telah mencemarkan jubah dan tidak memiliki otoritas kekepalaan. Seorang laki-laki tidak
dapat memanggil keluarganya ke luar dari dasar kemunafikan ini. Kita ingat perkataan Yesus,
‘Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: "Saudara, biarlah aku
mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu" padahal balok yang di dalam matamu
tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau
akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.’27
Supaya mereka menjadi satu
Sungguh menakjubkan untuk memperhatikan bahwa tujuan Yesus menguduskan diri-Nya
adalah supaya Dia dan gereja dapat menjadi satu, sama seperti Dia dengan Bapa adalah
Satu.28 Dengan cara yang sama, seorang laki-laki harus mencari kekepalaan dan menguduskan
dirinya bagi Tuhan, supaya dia dan istrinya dapat menjadi satu. Tidak ada yang lebih luar biasa
daripada suatu pernikahan dimana dua menjadi satu, namun, pada saat yang sama, masing-
masing terpelihara dalam identitas mereka sendiri. Sesungguhnya, ini adalah pekerjaan dari
persekutuan dan persembahan ke-Allahan. Ke-Allahan adalah Satu, tapi identitas unik dari
Bapa, Anak dan Roh Kudus selalu terpelihara. Dalam pembahasan kita di sini, kita menyentuh
tingginya rahasia Allah dan arti sesungguhnya dari kasih dan persekutuan.
Persekutuan suami dan istri dalam suatu pernikahan yang ditegakkan dalam jalan ini
merupakan suatu persembahan. Kasih, perhatian dan kasih sayang dari seorang laki-laki
untuk istrinya, serta penyediaannya akan kekepalaan, semuanya adalah oleh karunia, dan
merupakan persembahannya untuk istrinya. Demikian juga, ini merupakan inisiatif istrinya
dalam memberikan dirinya untuk menjadi seorang penolong yang sepadan bagi dia. Kerelaan
istri untuk mendengar, menghormati dan mengenal suaminya sebagai tuannya adalah
karunia penundukannya. Di sini kita memiliki suatu persekutuan persembahan yang
dimampukan oleh Roh Allah. Persekutuan persembahan ini terus dibangun, dimurnikan,
dimampukan dan dihidupkan. Ketika pasangan yang menikah, atau pasangan yang hendak
menikah, memperhatikan masalah-masalah ini, mereka akan menemukan bahwa mereka
bersama sedang menjadi ‘satu roh’ secara murni.
Kidung Agung
Proses dari seorang suami menguduskan dirinya demi istrinya digambarkan secara puitis
dalam kitab ‘Kidung Agung’. Konteks dari kitab ini adalah pernikahan yang akan segera
dilaksanakan antara Salomo dengan tunangannya, perempuan Sulam. Perempuan Sulam ini
mengatakan, ‘Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba
di tengah-tengah bunga bakung. Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang
menghilang, kembalilah, kekasihku, berlakulah seperti kijang, atau seperti anak rusa di atas
gunung-gunung tanaman rempah-rempah (gunung-gunung Bether)!’29 Sekilas, kita dapat
27 Luk 6:42 28 Yoh 17:21‑23 29 Kid 2:16-17
18
kehilangan instruksi yang sangat praktis yang diberikan ayat-ayat ini karena kayanya bahasa
puitis di sini. Kata ‘Bether’ artinya ‘pemotongan’ atau ‘pemisahan’. Ini adalah tempat dimana
seorang laki-laki menemukan penetapan sehubungan dengan pengudusannya. Supaya
pernikahan mereka yang akan segera dilaksanakan menjadi ilahi, Salomo harus ‘berpaling’
dari tunangannya dan pergi seorang diri untuk mencari Tuhan di tempat pengudusan.
Menariknya, kita perhatikan bahwa perempuan ini telah meminta Salomo untuk pergi. Dia
adalah seorang perempuan yang bijak dan teguh (kuat, berani). Dia meletakkan pengudusan
ilahi di atas ide-ide romantis apapun yang mungkin ia miliki. Dia mendesak supaya
tunangannya belajar hal-hal yang harus dipelajari, untuk menjadi seorang kepala yang efektif.
Dia bahkan menginstruksikan tunangannya untuk ‘berlaku seperti kijang di atas gunung-
gunung’ yang merupakan simbolis dari seorang laki-laki yang nyaman dan cakap, menjalani
proses pengudusan. Kerinduannya adalah akan seorang suami dan seorang kepala yang sejati,
yang telah belajar bagaimana mendapatkan pertolongan pada waktunya. Laki-laki ini dapat
menemukan kemampuan yang diperlukan untuk mengatasi segala kesulitan yang mungkin
dihadapi pernikahan mereka. Buah dari menegakkan dan kemudian memelihara suatu
pernikahan dalam budaya ini, adalah ‘bayang-bayang yang menghilang’30 Bayang-bayang ini
merujuk kepada dosa yang tersembunyi, keinginan-keinginan dan cita-cita yang salah arah,
agenda-agenda duniawi, budaya-budaya fasik, berhala-berhala di dalam rumah dan
kebenaran-kebenaran diri yang agamawi. Perempuan ini percaya bahwa kekepalaan yang
sejati dalam pernikahannya akan mengatasi kejatuhan dan pengejaran-pengejaran yang sia-
sia ini, serta mengerjakan suatu persekutuan yang dinamis dalam firman yang hidup.31
Kita membaca dalam Kidung Agung pasal selanjutnya, ‘Apakah itu yang membubung dari
padang gurun seperti gumpalan-gumpalan asap tersaput dengan harum mur dan kemenyan
dan bau segala macam serbuk wangi dari pedagang? Lihat, itulah joli Salomo, dikelilingi oleh
enam puluh pahlawan dari antara pahlawan-pahlawan Israel. Semua membawa pedang,
terlatih dalam perang, masing-masing dengan pedang pada pinggang karena kedahsyatan
malam.’32 Ayat-ayat ini menggambarkan Salomo yang kembali dari gunung-gunung Bether.
Dia telah menang, dan membawa bersamanya rampasan dan rempah-rempah kemenangan.
Dia memiliki otoritas dan kapasitas dari Allah untuk menjadi kepala bagi tunangannya. Dia
dikenal di antara orang-orang perkasa yang menggunakan pedang firman.33 Mereka adalah
ahli-ahli (terlatih) perang karena mereka memahami firman Kristus. Mereka mengenali dan
berdiri teguh terhadap Mesias-mesias dan nabi-nabi palsu.34 Simbolisme dari pedang yang
diikatkan pada pinggang mereka, menunjukkan bahwa mereka dapat dengan tepat
menggunakan firman kebenaran ‘baik ataupun tidak baik waktunya’ (setiap saat).35 Firman
kebenaran masa kini sesungguhnya ada dalam mulut mereka dan dalam hati mereka.36
Mereka siap untuk berperang terhadap kefasikan apapun yang akan menyerang dan merusak
pengudusan rumah mereka.
30 Kid 2:17 31 Flp 2:16 32 Kid 3:6‑8
33 Ams 31:23. Ibr 4:12 34 Mat 24:24 35 2Tim 2:15. 2Tim 4:2
36 Rm 10:8
19
‘Yang tertinggal’ dari Roh
Seorang laki-laki harus memberi dirinya dalam persembahan kepada Tuhan demi istrinya.
Ketika dia melakukan hal ini, Tuhan memberikan dia suatu bagian dari Roh-Nya. Bagian dari
Roh-Nya ini memampukan laki-laki dan perempuan tersebut untuk bersama-sama menjadi
satu roh. Sepasang suami-istri tidak akan pernah menemukan atau menyentuh dimensi
pernikahan ilahi ini dengan inisiatif-inisiatif daging. Raja Salomo menuliskan, ‘Berdua lebih
baik daripada seorang diri ... Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.’37 Dia sedang
menggambarkan bahwa sangat penting Roh Allah menyatukan dan menguduskan seorang
laki-laki dan perempuan kepada satu sama lain. Tuhan adalah unsur ‘ketiga’ dalam hubungan
mereka. Oleh karena itu, rasul Paulus menuliskan, ‘Siapa yang mengikatkan dirinya pada
Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia’.38 Seorang suami dan istri pertama-tama harus
menyatukan diri mereka dengan Tuhan dalam pengudusan. Dengan melakukan hal ini,
mereka dapat menemukan kesatuan roh dalam pernikahan mereka. Ketika seorang suami
dan istri berlanjut dalam komitmen iman ini, pernikahan mereka memiliki suatu kesatuan hati
dan suatu kesatuan persekutuan. Pernikahan mereka akan terus diberkati oleh Roh, yang juga
bekerja untuk menguduskan dinamika persembahan dalam pernikahan mereka.
Nabi Maleakhi memproklamirkan bahwa pasangan-pasangan yang telah menerima 'yang
tertinggal' dari Roh mengalami pernikahan ilahi yang sejati. Dia menuliskan, ‘Dan inilah yang
kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan
dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan
menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN
telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak
setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa
menjadikan mereka daging dan roh? (Tapi tidak seorangpun yang melakukannya memiliki
‘yang tertinggal’ dari Roh).’39 Banyak pasangan telah menerima mandat Kekristenan yang
mendasar untuk membuat persembahan. Kehidupan individu mereka sepenuhnya diberikan
kepada Tuhan tanpa dipertanyakan. Mereka hidup dengan suatu komitmen budaya untuk
mempersembahkan tubuh mereka menjadi korban yang hidup bagi Allah.40 Tapi bagaimana
jika mereka tidak menemukan berkat dengan pasangan mereka? Bagaimana jika kasih karunia
dan penyediaan Allah tidak melimpah dalam rumah mereka?
Perkataan Maleakhi mengajarkan kita bahwa suatu pelanggaran dalam perjanjian pernikahan
membuat persembahan dari pasangan suami-istri tidak berkenan kepada Allah. Tuhan, ‘tidak
lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu’.41 Allah
tidak akan menerima persembahan mereka jika mereka memiliki pelanggaran dalam
perjanjian pernikahan mereka. Mereka ‘telah tidak setia’ terhadap pasangan mereka karena
mereka bersama tidak lagi ‘satu roh’. Harus ditekankan disini bahwa pernikahan perlu
dikerjakan. Seorang suami dan istri akan berhenti untuk maju bersama dalam Tuhan jika
37 Pkh 4:9, 12 38 1Kor 6:17
39 Mal 2:13‑15 40 Rm 12:1
41 Mal 2:13
20
firman kebenaran masa kini tidak diaplikasikan pada area-area pernikahan mereka
sebagaimana yang disampaikan oleh Roh Kudus.
Biasanya, pasangan ini pada akhirnya menghidupi kehidupan yang paralel. Mereka dapat
terlihat bahagia bersama, menjadi nyaman dalam kondisi-kondisi persekutuan yang lebih
luas, dan tampaknya memiliki rutinitas yang bisa diterapkan dalam kehidupan mereka
bersama. Namun di balik semua hal ini, mereka tidak melihat ‘mata dengan mata’.42 Jurang
dalam perjanjian pernikahan mereka mengizinkan kenajisan masuk ke dalam budaya
pernikahan dan rumah mereka. Tidak seorangpun dapat berdiri di hadapan Tuhan dalam
keadaan mereka yang najis. Tuhan Sendiri berkata, ‘Sebab itu, jika engkau
mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang
ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah
itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan
persembahanmu itu.’43 Merupakan kewajiban dari seorang suami dan istri untuk tetap
bersatu dengan Tuhan dalam satu roh. Dengan cara ini, area-area apapun dari kenajisan
duniawi yang mencemarkan jubah keimamatan mereka dapat mereka ketahui. Hal ini terjadi
melalui penginsafan dari Roh. Mereka dapat mencari Tuhan untuk firman dan kasih karunia-
Nya bagi penyucian dalam area-area kehidupan individu mereka ini, sebelum budaya mereka
bersama menjadi bertentangan dengan perjanjian kerajaan.
Dalam suratan Petrus yang pertama, dia menggambarkan ‘yang tertinggal' dari Roh sebagai
‘kasih karunia kehidupan’. Dia menuliskan, ‘Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah
bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai
teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.’44
Dengan cara yang sama, persembahan dari pasangan suami-istri dapat berhenti
mendapatkan perkenanan dengan Allah. Doa mereka akan terhalang jika mereka
mengabaikan pekerjaan yang terus-menerus dari Roh untuk menyatukan mereka menjadi
satu. Istri tidaklah ‘lebih lemah’ di hadapan Tuhan menurut nama, identitas, pekerjaan, atau
ekspresi kasih karunianya. Istri lebih lemah karena dia telah mengalami suatu proses
orientasi-kembali melalui salib untuk menjadi seorang penolong yang sepadan dengan
suaminya. Ketika seorang suami dan istrinya merupakan teman pewaris kasih karunia
kehidupan, mereka akan menumbuhkan suatu budaya yang bebas dan terbuka bagi firman
Allah dalam rumah mereka. Mereka dapat dengan yakin membawa persembahan mereka,
percaya bahwa Allah akan menemui mereka dan memberikan kasih karunia dengan
berlimpah bagi mereka. Anak-anak mereka dapat dibesarkan dengan aman sebagai anak laki-
laki dan anak perempuan Allah.
Melahirkan keturunan (benih) ilahi
Tuhan menjadikan seorang laki-laki dan perempuan satu roh dalam perjanjian pernikahan
mereka karena Dia mencari keturunan (benih) ilahi. Tanggung jawab untuk melahirkan
‘keturunan ilahi’ adalah lebih dari sekedar membesarkan anak-anak yang percaya kepada
42 Yes 52:8 43 Mat 5:23-24 44 1Ptr 3:7
21
Allah dan hadir di gereja. Keturunan (benih) ilahi merujuk kepada benih kodrat ilahi, hidup
zoe ciptaan baru. Ketika seorang anak dikandung, mereka menerima identitas dan roh kekal.
Pemazmur menuliskan, ‘Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku (batinku) [jiwa
dan roh], menenun aku dalam kandungan [substansi biologis] ibuku ... mata-Mu melihat
selagi aku bakal anak (substansiku yang belum terbentuk), dan dalam kitab-Mu semuanya
tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.’45 Orang tua
bertanggung jawab untuk memelihara baik substansi jasmani maupun rohani anak-anak
mereka.
Rasul Paulus menulis, ‘Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama
sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.’46 Perkataan ini menggambarkan
kepemilikan kita akan status anak yang kekal di sini dan saat ini. Orang tua Kristen
mengajarkan anak-anak mereka untuk berjalan dalam pekerjaan baik yang telah dipersiapkan
sebelumnya bagi mereka.47 Meskipun anak-anak kita belum bertumbuh sampai usia
pemuridan, mereka dapat berpartisipasi sebagai anggota-anggota tubuh Kristus dalam cara-
cara yang luar biasa. Mereka dapat dipimpin oleh Roh dan berfungsi dalam Roh ketika kita
bertemu bersama dalam perjamuan kudus. Mereka dapat memperoleh kesaksian berkaitan
dengan hidup ciptaan baru mereka sendiri. Realita ini dapat menjadi menggembirakan
sekaligus menakutkan bagi orang tua, karena mereka menolong supaya hati dari anak-anak
mereka ditegakkan dengan kasih karunia.48 Sangatlah penting untuk seorang ibu dan ayah
terhubung dengan sebagaimana mestinya kepada order (aturan) kekepalaan Kristus. Hanya
di sinilah mereka akan menerima hikmat dan kasih karunia untuk memelihara keturunan ilahi
yang telah diberikan kepada mereka. Terlepas apakah orang tua tersebut Kristen atau tidak,
anak-anak mereka pertama-tama adalah milik Allah, dan yang kedua adalah milik mereka. Hal
ini dapat menjadi suatu kebenaran yang menimbulkan pertentangan. Sebagai orang tua, kita
diberikan hak istimewa untuk turut menciptakan, melalui kelahiran, orang-orang yang dikenal
dan dikasihi oleh Allah jauh sebelum mereka dikandung. Menjadi ‘satu roh’ sebagai suami dan
istri adalah yang terpenting, karena ini menggambarkan kemampuan seorang ayah dan ibu
untuk disatukan dalam pernikahan Kristen yang sejati. Perjanjian pernikahan menjadi dasar
dari perjanjian rumah.
Perjanjian pernikahan adalah rahasia
Orang bijak menuliskan, ‘Ada tiga hal yang mengherankan aku, bahkan, ada empat hal yang
tidak kumengerti: jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah
laut, dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis’.49 Ayat-ayat ini mengajarkan bahwa
suami-suami dan istri-istri harus sangat berhati-hati dalam cara mereka mendiskusikan
rahasia keintiman hubungan mereka. Mereka menghargai dan menghormati satu dengan
yang lain ketika mereka tidak ‘meyingkapkan’ yang lain. Sebaliknya, ayat-ayat ini menyiratkan
bahwa kepada kita tidak diberikan pemahaman akan rahasia dan keunikan dari perjanjian
45 Mzm 139:13, 16 46 2Kor 5:17
47 Ef 2:10 48 Ibr 13:9
49 Ams 30:18-19
22
pernikahan yang lain. Kita harus memperhatikan sikap dari percakapan kita serta menghargai
setiap perjanjian pernikahan. Rahasia dari suatu pernikahan bukanlah alasan untuk gosip.
Tidaklah mengherankan bahwa Kitab Suci menekankan bahwa kita bertemu dari rumah
dengan rumah.50 Kita tidak bertemu pernikahan dengan pernikahan! Mungkin anda punya
pengalaman yang tidak nyaman dalam menyambut tamu ke rumah anda, atau menjadi tamu
di rumah orang lain, karena kejadian tersebut menyediakan kesempatan untuk mereka
membahas masalah-masalah pernikahan mereka. Terlepas apakah secara pasif atau terang-
terangan, hal ini tidaklah menghargai. Ini merupakan suatu pengkhianatan terhadap
perjanjian pernikahan. Kita tahu bahwa hal ini akan menjadi benar dan tepat pada saat-saat
tertentu bagi pasangan untuk menerima perhatian pastoral sehubungan dengan pernikahan
mereka. Pertemuan-pertemuan ini bukanlah pertama-tama ‘rumah dengan rumah’, karena
kasih karunia spesifik yang dipersilakan untuk ‘memberi makan’ pasangan itu akan menjadi
jelas dalam orang-orang yang memberikan nasehat.51
Suatu perjanjian pernikahan seharusnya tidak pernah menjadi milik umum atau menjadi
suatu ‘forum terbuka’. Istri-istri dan suami-suami tidak setia (melakukan pengkhianatan) satu
dengan yang lain jika mereka saling menyingkapkan satu dengan yang lain dalam interaksi
sosial. Mereka menyangkal perjanjian pernikahan mereka. Sebagai contoh, hal ini terjadi jika
seorang suami atau istri secara terbuka mengeluh tentang pasangan mereka karena tidak
memenuhi harapan-harapan mereka atau melayani agenda mereka. Kurangnya damai
sejahtera dalam pernikahan dan keluarga adalah nyata jika ada alasan untuk mengeluh
tentang pasangannya. Dalam situasi ini, ada jurang-jurang atau rintangan-rintangan, yang
membatasi pasangan untuk menjadi satu roh. Garis pengudusan menjadi kabur dan budaya
yang mereka hasilkan akan menjadi tidak jelas.
Allah tidak pernah ‘bersama dengan kita’ dalam fitnah (saling menggigit, pengkhianat).52
Rasul Paulus memperingatkan, ‘Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan,
awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan’.53 Pada kenyataannya, jika seorang
pasangan menyingkapkan pasangannya dengan cara ini, mereka memutuskan koneksi
dengan order (aturan) kekepalaan Allah. Hal ini membuat hubungan mereka menjadi tanpa
kasih karunia yang sangat diperlukan untuk mengubah masalah-masalah yang menyebabkan
kekecewaan tersebut. Ada suatu jalan yang tepat untuk melihat perubahan terjadi dalam
pernikahan Kristen. Hal ini akan melibatkan doa untuk mendapatkan kejelasan sehubungan
dengan jurang-jurang yang menyebabkan disfungsi dalam pernikahan, keyakinan yang tulus
bahwa pertobatan diperlukan, kerelaan untuk mendengar dan menaati firman, iman untuk
bersatu dengan Kristus dalam penderitaan-Nya dari Getsemani sampai Kalvari, dan
kerendahan hati untuk berpartisipasi dalam persembahan Kristus.
Sara memberikan contoh suatu jenis kebijaksanaan yang ‘tidak biasa’ dalam pernikahannya
dengan Abraham. Kitab Kejadian mencatat bahwa 'Abraham berkata kepadanya ketika
50 Kis 2:46. Kis 5:42. Kis 20:20 51 Yoh 21:15‑17
52 2Kor 12:20. Ams 25:23 53 Gal 5:15
23
mereka mendekati Mesir, "Memang aku tahu, bahwa engkau adalah seorang perempuan
yang cantik parasnya. Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: 'Itu istrinya'.
Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup. Katakanlah, bahwa engkau
adikku, supaya aku diperlakukan mereka dengan baik karena engkau, dan aku dibiarkan hidup
oleh sebab engkau."'54 Kemudian dalam kitab Kejadian, kita membaca tentang situasi yang
sama melibatkan Ishak dengan istrinya Ribka.55 Cerita-cerita yang menarik ini menyoroti
kepentingan yang Allah tempatkan atas perjanjian pernikahan. Dengan menjaga perjanjian
pernikahan mereka, perempuan-perempuan ini tidak menyingkapkan suami mereka. Karena
kebijaksanaan mereka, suami mereka dibiarkan hidup, dan perjanjian pernikahan mereka
tetap dikuduskan. Perkataan Raja Salomo adalah benar, ‘Kebijaksanaan akan memelihara
(menjaga) engkau, kepandaian (pengertian) akan menjaga (mengawasi) engkau’.56
Kita telah membahas mengenai penekanan yang Kitab Suci tempatkan atas pertemuan rumah
dengan rumah. Tidak ada alasan untuk menyingkapkan rahasia pernikahan kita ketika kita
bertemu dengan cara ini. Namun, kadang kala hal ini diperlukan bagi dinamika perjanjian
rumah kita untuk diekspresikan. Sebagai contoh, kita mungkin perlu mendisiplin anak-anak
kita sementara kita mengunjungi rumah yang lain. Hal ini akan menyediakan sebuah ‘jendela’
ke dalam budaya dan perjanjian rumah kita. Hal ini tidak boleh melewati batas dan
menyingkapkan liku-liku pernikahan kita. Selanjutnya, kita akan memperhatikan perjanjian
rumah. Di sini faktor yang menentukan adalah anak-anak. Ekspresi dari sebuah rumah dengan
anak-anak akan menjadi kombinasi yang unik dari identitas-identitas dan kasih karunia orang
tua, identitas-identitas dan kasih karunia anak-anak yang berkembang, pemahaman budaya
dan batasan-batasan dari rumah, sifat pendisiplinan, dan prioritas-prioritas hidup.
54 Kej 12:11‑12 55 Kej 26:7 56 Ams 2:11
24
BAB 3
Perjanjian rumah
Perjanjian rumah dibangun di atas dasar perjanjian pernikahan yang sehat. Perjanjian rumah
ini ditegakkan pada saat sepasang suami istri mengandung anak pertama mereka. Pada titik
ini, Allah menganugerahkan mandat kebapaan dan keibuan ilahi atas seorang suami dan istri.
Ini merupakan unsur-unsur yang menetapkan perjanjian rumah. Sebelum sepasang suami istri
memiliki anak-anak, perjanjian rumah tersembunyi di dalam penyatuan pernikahan.
Meskipun demikian, ketika kita bertemu dan berhubungan dengan sepasang suami istri yang
baru menikah, atau pasangan yang tidak memiliki anak-anak, kita tidak mengunjungi rahasia
pernikahan mereka. Tetapi, rangkuman ekspresi dari rumah mereka terlihat dalam cara
mereka berhubungan dan berinteraksi dengan komunitas mereka sebagai sepasang suami
istri.
Dengan penambahan anak-anak, budaya dari sebuah rumah menjadi lebih besar daripada
budaya pernikahan. Hal ini dikarenakan dua alasan. Pertama, anak-anak menambah identitas-
identitas unik mereka kepada rangkuman ekspresi dari rumah tangga tersebut. Kita dapat
membayangkan keragaman seluruh keluarga tergantung pada demografis mereka. Sebagai
contoh, sebuah rumah dengan empat anak laki-laki akan berbeda dari rumah dengan satu
anak perempuan. Identitas-identitas dari empat anak laki-laki tersebut akan membuat rumah
terasa berbeda dari rumah dengan satu anak perempuan. Namun, rumah yang satu dengan
empat anak laki-laki akan memiliki ekspresi yang sangat berbeda ketika dibandingkan pada
rumah yang lain dengan empat anak laki-laki juga. Hal ini disebabkan oleh kepribadian yang
25
unik di dalam sebuah keluarga. Kedua, penyerahan kebapaan dan keibuan ilahi kepada
seorang suami dan istri akan membuat pasangan itu memasuki suatu musim yang baru dalam
kehidupan bersama. Aktivitas-aktivitas, alokasi waktu, dan prioritas dari tanggung jawab bagi
seorang suami dan istri akan berubah ketika mereka memiliki anak-anak. Singkatnya, ketika
anak-anak ditambahkan kepada sebuah rumah, perjanjian rumah tidak lagi tersembunyi di
dalam perjanjian pernikahan. Sebaliknya, perjanjian pernikahan sekarang berada di dalam
perjanjian rumah.
Anak-anak adalah suatu karunia dari Tuhan
Sebelumnya, kita telah memperhatikan tujuan Allah bagi pernikahan. Dia mencari benih
(keturunan) ilahi. Ketika sepasang laki-laki dan perempuan membuat perjanjian di hadapan
Tuhan melalui nazar pernikahan mereka, Allah segera bertanya, ‘Rumah apakah yang akan
kamu dirikan bagi-Ku?’1 Ayah-ayah dan ibu-ibu telah diberikan kehormatan dan hak istimewa
untuk berpartisipasi dalam membangun rumah Allah. Anak-anak diberikan (atau
dipercayakan) kepada kita oleh Allah. Hal ini untuk mengekspresikan tujuan dari
pemeliharaan substansi jasmani dan rohani mereka supaya mereka ditegakkan dalam budaya
rumah Allah. Pemazmur menasehatkan kita, ‘Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah,
sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-
sialah pengawal berjaga-jaga’.2 Jika kita menuntut anak-anak kita untuk setia kepada suatu
budaya yang di luar dari hukum rumah Allah, kita sedang menyangkal perjanjian rumah dan
berada di luar dari order (aturan) kekepalaan Kristus.
Menjalankan kekepalaan tidak akan pernah melebihi atau menentang Kristus sendiri. Seperti
apakah hal ini berjalan? Mungkin seorang anak sedang mempelajari sebuah alat musik. Dalam
suatu persekutuan dari dua atau tiga saudara, ada suatu firman yang menyebutkan dan
menyerahkan anak itu untuk menjadi seorang pemain musik di dalam rumah Tuhan. Apa yang
terjadi ketika anak itu menjadi seorang remaja dan tidak lagi berkeinginan untuk memainkan
alat musik? Mungkin ada argumen-argumen, penolakan, dan orang tua merasa jengkel.
Bukanlah merupakan suatu kekepalaan jika sang ayah mengatakan, ‘Demi damai sejahtera
dalam rumah saya dan supaya kami dapat terus hadir dalam gereja tanpa perdebatan, anak
saya akan berhenti memainkan alat musik itu’. Hal ini berlawanan dengan firman kasih
karunia yang sesuai dengan identitas mereka. Hal ini melanggar order (aturan) kekepalaan
Kristus. Kasih karunia tersedia bagi situasi-situasi seperti ini, oleh sebab itu penting untuk kita
tetap teguh dan tidak tawar hati. Komitmen kita sebagai orang tua adalah memberi contoh
tentang apa artinya mengejar gaya hidup mezbah, di atas gaya hidup yang lain yang berkaitan
dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, musik, atau kelompok-kelompok komunitas.
Mengatur rumah kita dengan benar
Sebuah rumah Kristen tidak terjadi secara kebetulan. Bukanlah secara kebetulan atau dengan
maksud baik maka budaya rumah Tuhan menetapkan budaya rumah kita sendiri. Raja Daud
1 Yes 66:1 2 Mzm 127:1
26
memberi kesaksian tentang rumahnya demikian, ‘Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan
Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan
terjamin. Sebab segala keselamatanku dan segala kesukaanku bukankah Dia yang
menumbuhkannya?’3 Kata ‘teratur’ artinya ‘tersusun, disusun sesuai aturan’ atau ‘menarik
(menyusun) garis pertempuran anda’. Definisi-definisi ini menggambarkan perlunya untuk
proaktif. Di tempat lain dalam kitab Mazmur, kita membaca, ‘Siapa yang jujur jalannya (yang
mengatur jalannya), keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya’.4 Untuk
mengatur rumah kita dengan benar, akan memerlukan pemeriksaan yang teratur mengenai
budaya kita. Apabila diperlukan, penyesuaian perlu dibuat sehubungan dengan firman
kebenaran masa kini. Firman menetapkan bagaimana kita seharusnya mengatur jalan dan
rumah kita. Sebuah rumah yang ‘teratur dalam segala-galanya’ akan ditetapkan oleh budaya
dan gaya hidup yang setara dengan memelihara Perjanjian Kekal tentang status anak. Raja
Daud memberi kesaksian bahwa dengan memelihara perjanjian dengan Allah melalui
ketaatan terhadap firman, kita dapat mengetahui rasa aman, damai sejahtera dan
keselamatan bagi anggota-anggota rumah kita. Kita dapat dengan sungguh-sungguh percaya
untuk keinginan-keinginan hati kita.
Dalam kitab Raja-raja kita membaca tentang Raja Salomo yang ‘tidak dengan sepenuh hati
berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya’.5 Salomo mengejar istri-istri dari
bangsa-bangsa yang Tuhan katakan, ‘Janganlah kamu bergaul dengan mereka … sebab
sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka’.6 Kitab Suci
mencatat bahwa ‘Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, dan ia tidak dengan
sepenuh hati mengikuti TUHAN’.7 ‘Sebab itu TUHAN menunjukkan murka-Nya kepada
Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada TUHAN, Allah Israel, yang telah dua kali
menampakkan diri kepadanya.’8 Ayat-ayat ini menunjukkan beberapa peringatan yang serius.
Pertama-tama, terlepas dari partisipasi kita dalam program gereja, masih ada kemungkinan
untuk tidak mengikuti Tuhan ‘sepenuh hati’. Kata ‘sepenuh hati’ dapat diterjemahkan sama
dengan ‘dikuduskan’ atau ‘ditahbiskan’. Kata Ibrani yang sama ini digunakan dalam kitab
Keluaran untuk menggambarkan pentahbisan atau ‘dipisahkannya’ Harun dan anak-anaknya
untuk melayani Tuhan sebagai para imam. Jika budaya rumah kita tidak diatur dengan benar,
pakaian keimamatan kita akan dinodai oleh kekotoran dunia. Hal ini membuat kita tidak
memiliki otoritas untuk datang di hadapan Tuhan dan menjadi imam atas persembahan kita.
Kedua, terlepas dari Tuhan menampakkan diri dua kali kepada Salomo, namun dia ‘mengikuti
Asytoret, dewi orang Sidon, dan Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon’.9 Setelah
mengenal Allah dengan nyata, Salomo menyimpang karena dia tidak proaktif dan terus
berada dalam komitmennya untuk menguduskan rumahnya.
Kita dapat sepatutnya bertanya, ‘Bagaimana kita tahu jika kita mengikuti Tuhan dengan
sepenuhnya?’ Kitab Suci merujuk kepada rumah yang ‘dipapani dengan baik’. Ini adalah
3 2Sam 23:5 4 Mzm 50:23 5 1Raj 11:4
6 1Raj 11:2 7 1Raj 11:6 8 1Raj 11:9
9 1Raj 11:5
27
sebuah rumah yang terpisah dari budaya dan mandat yang menetapkan dalam rumah Tuhan.
Nabi Hagai menegor umat Tuhan karena mengembangkan budaya-budaya lain, yang berbeda
dalam rumah-rumah mereka yang dipapani dengan baik. Dia memproklamirkan, ‘Apakah
sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan
baik, sedang rumah ini [rumah Allah] tetap menjadi reruntuhan? Oleh sebab itu, beginilah
firman TUHAN semesta alam: "Perhatikanlah keadaanmu (jalan-jalanmu)!"' Umat Tuhan
perlu untuk mengatur kembali jalan-jalan mereka dan rumah-rumah mereka menurut
pekerjaan pengudusan dari mezbah. Pada akhirnya, sebuah rumah yang dipapani dengan baik
adalah suatu keadaan dimana kita merasionalisasikan dan mengizinkan budaya dan perilaku
kita yang fasik, serta kita sungguh-sungguh percaya bahwa kita sedang mengikuti Tuhan
dengan sepenuh hati. Firman yang ditegakkan dalam persekutuan dari dua atau tiga orang
adalah satu-satunya acuan yang akan mengiluminasi area-area budaya kita yang ‘dipapani
dengan baik’.10 Mungkin ada perilaku lampau, yang begitu melekat dalam budaya rumah kita
sehingga kita dibutakan kepada ketidaksesuaian budaya-budaya itu dengan perjanjian
kerajaan.
Jika kita rindu untuk mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati, kita tidak boleh memberikan diri
kita hak istimewa bagi suatu komitmen rumah yang dipapani dengan baik terhadap
Kekristenan. Dalam ayat-ayat kunci kita dari kitab Raja-raja, kita membaca lebih lanjut tentang
Yerobeam, penerus dari Raja Salomo. Berlawanan dengan Salomo, Tuhan mendeklarasikan
kepada Yerobeam, ‘Dan jika engkau mendengarkan segala yang Kuperintahkan kepadamu
dan hidup menurut jalan yang Kutunjukkan dan melakukan apa yang benar di mata-Ku dengan
tetap mengikuti segala ketetapan dan perintah-Ku seperti yang telah dilakukan oleh hamba-
Ku Daud, maka Aku akan menyertai engkau dan Aku akan membangunkan bagimu suatu
keluarga yang teguh seperti yang Kubangunkan bagi Daud’.11 Ini merupakan suatu janji yang
mulia yang memenuhi kita dengan keyakinan dan pengharapan. Oleh kasih karunia-Nya,
Tuhan memampukan kita untuk menjalankan ketaatan kepada firman-Nya. Kemudian, ketika
kita mengatur kembali rumah kita dengan benar, Allah menjumpai dan memperlengkapi kita
dengan kuasa dan kemampuan-Nya untuk membangun sebuah rumah yang setia.
Mandat dari kebapaan dan keibuan yang ilahi
Kitab Suci mengajarkan bahwa ada suatu mandat yang jelas dan berbeda yang diberikan
kepada baik ayah-ayah maupun ibu-ibu. Kita membaca dalam kitab Amsal, ‘Hai anakku,
dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu’.12 ‘Hai anakku,
peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu.’13 Kitab Suci
memberikan kehormatan yang luar biasa terhadap peran keibuan. Seorang suami dan kepala
yang bijaksana akan membebaskan istrinya untuk berdiri dalam identitas dan tanggung jawab
dalam peran keibuan ini. Istri adalah pusat, pembangun, pembimbing dan pengajar dalam
rumahnya.14 Tanggung jawab untuk memproklamirkan perjanjian rumah pertama-tama
10 Mat 18:16 11 1Raj 11:38
12 Ams 1:8 13 Ams 6:20
14 Ams 14:1. Ams 6:22
28
diberikan kepada perempuan. Perempuanlah yang mengekspresikan dan mengartikulasikan
perjanjian rumah. Ketika seorang perempuan menerima tanggung jawab ini, anak-anaknya
diberkati oleh keibuannya.
Seorang ibu memultiplikasi budaya dan perjanjian rumahnya sehubungan dengan kekepalaan
suaminya. Terlepas apakah orang Kristen atau bukan, seorang ibu memultiplikasi suatu
budaya tertentu di dalam rumahnya. Yang satu akan memimpin kepada hidup, dan yang lain
kepada kematian. Pengasuhan dari keibuan merupakan bagian dari 'perjanjian' tentang
keselamatan seorang anak. Keibuan yang ilahi tidak pernah dilakukan di luar order (aturan)
kekepalaan. Tetapi, hasil dari keibuan yang ilahi adalah pengajarannya merupakan suatu
perpanjangan dari otoritas Kristus. Seorang perempuan yang tidak memiliki suami tetap
dapat sepenuhnya menjalankan mandatnya di bawah kekepalaan Kristus. Namun, seorang
perempuan yang telah menolak kekepalaan suaminya tidak dapat menjalankan mandatnya.
Seorang ibu memiliki kesempatan di dalam tangannya untuk menyebabkan kasih karunia
berlimpah di dalam keluarganya.
Keibuan yang ilahi adalah unik. Keibuan yang ilahi merupakan ekspresi keibuan yang secara
spesifik berkaitan dengan penentuan akan anak-anaknya. Sehubungan dengan perjanjian
rumah, Tuhan sering kali berbicara terutama dengan perempuan seorang diri. Ada banyak
catatan dalam Alkitab dimana Tuhan berbicara secara langsung kepada ibu-ibu sehubungan
dengan penentuan dari anak di dalam kandungan mereka. Contoh-contohnya adalah istri
Manoah, Ribka dan Hagar.15 Dalam kitab Kisah Para Rasul, kita membaca, ‘Paulus datang juga
ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama Timotius; ibunya adalah seorang
Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.’16 Seorang suami yang
terhubung kepada Kristus dengan sebagaimana mestinya, sebagai Kepalanya sendiri, tidak
akan terancam dengan realita ini.
Bagaimana seorang perempuan menanamkan dan memultiplikasi suatu budaya ilahi? Kita
membaca dalam kitab Amsal, ‘Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh
tiangnya’.17 Inilah ‘perempuan bijak’ yang ‘mendirikan rumahnya’.18 Dia telah menerima
mandatnya untuk memultiplikasi perjanjian rumahnya. Dia melahirkan anak-anak dengan
tujuan untuk menegakkan mereka dalam budaya rumah Allah. ‘Ketujuh tiang’ merujuk
kepada ketujuh Roh Allah. Dengan demikian, seorang ibu yang saleh adalah seorang
perempuan rohani yang telah menerima kapasitas dari ketujuh Roh, melalui Roh Kudus, untuk
pekerjaan keibuannya. Kita perhatikan bahwa ini merupakan satu unsur dari Perjanjian Baru.
Ayat selanjutnya dari pasal yang sama dalam kitab Amsal melanjutkan, ‘Dia memotong ternak
sembelihannya (menyiapkan makanannya), mencampur anggurnya, dan menyediakan
hidangannya’.19 Inisiatif seorang ibu adalah mengatur ‘makanan’ dan ‘anggur’ Perjanjian Baru
di pusat rumahnya. Ini adalah tubuh dan darah dari firman perjamuan, diproklamirkan oleh
administrasi utusan. Dalam dialog dengan suaminya, dia membuat firman perjamuan menjadi
15 Hak 13:2. Kej 25:22. Kej 21:17
16 Kis 16:1 17 Ams 9:1
18 Ams 14:1 19 Ams 9:2
29
substansi (nyata) dalam rumahnya sebagai sumber hidup. Jika firman itu disaring melalui
hukumnya sendiri, atau melalui suaminya, dia tidak akan dapat membimbing dan ‘memberi
makan’ anak-anaknya tanpa menyangkal perjanjian kerajaan. Jika dia mendengar dan
menghormati firman, dia dapat menginstruksikan anak-anaknya dalam jalan pengertian.
Anak-anaknya tidak akan menjadi acuh mengenai budaya yang sesuai untuk rumah yang
saleh, mereka juga tidak akan terjerat oleh budaya Babel.20
Kami akan membuat suatu komentar praktis yang penting di sini. Keibuan yang ilahi
bergantung pada seorang perempuan yang tetap terhubung dan mengikuti firman kebenaran
masa kini. Bagi banyak ibu dari anak-anak yang masih kecil, dapat menjadi sulit untuk
menegakkan rutinitas yang memungkinkan bagi perenungan firman, doa dan waktu untuk
mempelajari firman. Namun, kita seharusnya mengakui bahwa ada potensi hambatan
(kesulitan) bagi setiap orang dalam setiap tahap kehidupan. Bagi setiap orang Kristen, ‘dengan
segala yang kau peroleh’, mereka diinstruksikan untuk ‘perolehlah pengertian’.21 Hikmat
adalah hal yang mendasar. Tidak ada solusi tunggal bagi ibu-ibu dengan anak-anak kecil.
Status pekerjaannya, kebutuhan anak-anaknya, pekerjaan suaminya, interaksi dengan
keluarga besar dan seterusnya, akan berbeda dari satu rumah dengan rumah lainnya. Namun,
tanggung jawab untuk ‘menyiapkan makanannya dan mencampur anggurnya’ tetap ada.
Praktek dari hal ini bisa menjadi suatu titik persekutuan dengan suaminya dan dengan ibu-ibu
rohani yang lebih tua di dalam iman.
Pengertian alkitabiah tentang keibuan
Kitab Suci memberikan penjelasan untuk menolong kita memahami mandat dari keibuan
ilahi. Bagi seorang laki-laki, mandatnya sebagai seorang ayah merupakan suatu unsur
pemberian dari penundukannya kepada Kristus sebagai Kepalanya. Demikian juga, bagi
seorang perempuan, keibuan bukanlah di luar dari penundukannya kepada suaminya sebagai
kepalanya. Namun, keibuan merupakan perpanjangan mandatnya melampaui perannya
sebagai seorang penolong dalam pekerjaan suaminya. Sekarang dia memiliki tanggung jawab
di hadapan Allah, dimana Tuhan akan berbicara ke dalam hatinya secara langsung. Allah
berbicara ke dalam hati para ibu sehubungan dengan perjanjian rumah mereka dan
penentuan anak-anak mereka.
Perlu diperhatikan bahwa pasangan suami istri, pada umumnya, tidak menerima konseling
persiapan ketika mereka mendekati peran kebapaan dan keibuan. Sebagai perbandingan, kita
dapat memperhatikan sejumlah besar isi dan waktu konseling yang panjang yang pasangan
tersebut terima ketika mereka meminta bantuan persiapan untuk pernikahan. Program
konseling ini memperlengkapi pasangan dengan pengetahuan dan pengertian sehubungan
dengan sesuatu yang benar-benar baru. Laki-laki yang akan menikah belum pernah menjadi
kepala dari seorang perempuan, dan perempuan yang akan menikah belum pernah menjadi
penolong bagi seorang laki-laki. Perempuan ini mungkin bertumbuh dalam penundukan
kepada kekepalaan ayahnya, tapi dia belum pernah dibentuk oleh Allah sebagai seorang
20 Ams 9:3‑6 21 Ams 4:7
30
‘penolong yang sepadan’ bagi ayahnya dan pekerjaan ayahnya.22 Kami sedang menjelaskan
bahwa kebanyakan pasangan memiliki anak pertama mereka tanpa pengertian alkitabiah
apapun mengenai kebapaan dan keibuan. Lebih lanjut dari ini, kerendahan hati dan kerelaan
dari pasangan untuk mendengar dan menerima nasehat selama persiapan pernikahan
seringkali menjadi tidak ada ketika mereka hendak menjadi orang tua.
Titik awal kita untuk memahami keibuan adalah mandat bagi keibuan yang ilahi diterima dari
Allah. Kitab Suci, firman yang diproklamirkan dari minggu ke minggu, dan pelayanan
kebenaran masa kini melalui pelayanan tubuh, menyediakan sebuah jawaban bagi setiap
kesulitan budaya dan gaya hidup yang akan kita temui. Kitab Amsal merangkumkan, ‘Bila tidak
ada wahyu, menjadi liarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum’.23
Dengan cara yang sama ‘hukum (peraturan) dalam rumah’ menetapkan budaya perjanjian
dari kerajaan Allah, ada suatu firman yang menetapkan keibuan ilahi yang sejati. Prinsip ini
dapat terlihat dalam banyak area dari persekutuan kita bersama. Sebagai contoh, jika kita
gagal untuk memahami apa artinya menyembah dalam roh dan kebenaran, mendengarkan
suara Allah yang lembut, kita mungkin mengkompensasi program penyembahan kita dengan
pendekatan konser, penampilan atau pertunjukan rock. Kita dapat menyalahartikan
panggilan untuk membuat persembahan dan melayani, dengan cara pikir seorang
sukarelawan atau dermawan. Kita dapat menyalahartikan pendisiplinan dari Allah dengan
berusaha keras menolak pembatasan-Nya. Yakobus merangkumkan kesenjangan ini, dengan
berkata, ‘Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah
datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?’24
Rasul Paulus mendefinisikan sumber dari peperangan dalam anggota-anggota tubuh kita
sebagai ‘hukum yang lain’.25 Hukum yang lain merupakan kecenderungan untuk mencapai
kehendak Allah, dengan menggunakan kekuatan daging kita. Ketika kita beranggapan untuk
memiliki hikmat yang berdasarkan pada suatu kebenaran kita sendiri, kita sedang beroperasi
secara daging. Jika kita tidak dipimpin oleh Roh dan diajarkan oleh firman, pola pengasuhan
kita akan jatuh ke dalam cara demikian. Meskipun setiap laki-laki dan perempuan dapat
menjadi seorang ayah dan ibu, kebapaan dan keibuan yang ilahi diberikan kepada kita melalui
firman. Jika kita memperhatikan apa yang Kitab Suci ajarkan tentang keibuan, buahnya adalah
keyakinan dan roh yang tenteram dalam segala area yang berkaitan dengan keibuan. Suami
dan istri seharusnya saling berdiskusi mengenai masalah-masalah kecil dalam rumah mereka.
Kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri, ‘Seberapa sering kita duduk bersama sebagai
suami dan istri, hanya untuk merefleksikan pola pengasuhan kita?’ Kita harus terus-menerus
mengorientasikan diri kita sendiri kepada mandat dari membesarkan anak-anak kita dalam
‘takut dan nasehat akan Tuhan’.26
Seorang ibu tidak mempelajari keibuan dengan mengetahui atau menerima prinsip-prinsip
tertentu. Yang kami maksud dengan ‘menerima’ adalah dasar pemikiran yang seorang ibu
gunakan untuk memutuskan apakah dia menerima atau tidak dan melaksanakan nasehat
22 Kej 2:21‑23 23 Ams 29:18
24 Yak 4:1 25 Rm 7:23
26 Ef 6:4
31
tentang menjadi orang tua. Jika mengetahui atau menerima merupakan pendekatan seorang
ibu, bagaimana dia akan mengatasi rentetan nasehat ibu-ibu duniawi atau bahkan agamawi?
Tetapi, ada suatu mandat ‘yang sama (umum)’ bagi keibuan. Hal ini dipelajari melalui respon
seorang perempuan dalam tubuh Kristus sementara dia berjalan melalui keadaan-keadaan
dalam kehidupannya. Inilah bagaimana seorang perempuan akan memperoleh kesaksian
(dalam istilah Kristen yang paling luas).
Kitab Amsal menggambarkan ibu yang saleh dan berperan sebagai pusat dari rumahnya
demikian, ‘Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya, karena seluruh isi rumahnya
berpakaian rangkap (Inggris ‘scarlet: kirmizi')’.27 'Kirmizi’ di sini, merujuk kepada ‘rangkap’.
Dengan kata lain, ini merupakan ukuran persiapan yang dibutuhkan bagi perlindungan selama
musim salju. Terhadap serangan penyakit, stres, program hidup yang sangat sibuk, menjadi
orang tua yang bekerja, menderita demi kebenaran dan sebagainya, seorang ibu yang saleh
seharusnya tidak memiliki alasan untuk takut atau mengosongkan mandatnya. Dia belajar dan
percaya bahwa ada penyediaan dalam Kristus untuk setiap musim dan situasi dalam hidupnya
sendiri dan hidup anak-anaknya.
Roh Kudus akan membakar dalam hati seorang perempuan ketika damai sejahtera tidak ada
di dalam rumahnya. Hal ini lebih dari sekedar frustrasi sebagai orang tua umumnya pada hari
tertentu! Tidak adanya damai sejahtera akan menjadi semacam perasaan tidak tenang dan
tidak tenteram di dalam suatu musim, terlepas dari naik turunnya hal-hal yang terjadi hari
demi hari. Tidak adanya damai sejahtera mengindikasikan bahwa pertobatan dan perubahan
diperlukan. Jika seorang perempuan berbalik kepada Tuhan, menemukan kejelasan tentang
sifat dari pertobatannya dan titik-titik yang diperlukan untuk berubah, kasih karunia dapat
mengalir dan damai sejahtera dapat terwujud. Pengudusan adalah hasilnya, dan sebuah
kesaksian keibuan diperoleh.
Penting bagi seorang ibu untuk tidak menempatkan perjanjian pernikahannya di atas
perjanjian rumahnya. Ketika terjadi demikian, budaya rumahnya akan ‘dipapani dengan baik’.
Dia akan menjadi sibuk sendiri dan cemas dengan tidak semestinya tentang keibuannya. Hal
ini mungkin diekspresikan dengan sikap dari seorang ibu yang mengatakan, ‘Saya hanya akan
mendengarkan suami saya’. Jenis pendekatan ini akan merampas seorang perempuan dari
martabatnya sebagai seorang saudari di atas dasar persaudaraan. Hal ini akan membuat dia
terkunci pada disfungsi dalam rumahnya karena dia tidak mau mengakui adanya area-area
budaya yang memerlukan perubahan.
Keibuan yang membanding-bandingkan
Seorang ibu atau ayah tidak memperoleh otoritas atau suatu posisi superior atas orang tua
yang lain oleh karena perkembangan secara bertahap dari anak-anak mereka. Hal ini biasanya
terjadi dengan perempuan yang baru pertama kali menjadi ibu atau seorang ibu dari anak-
anak kecil. Kepercayaan seperti, ‘Anak saya suka berbagi ketika mereka bermain dengan anak-
27 Ams 31:21
32
anak lain, oleh karena itu saya pasti adalah seorang ibu yang baik’ merupakan suatu tipu daya.
Ibu-ibu yang merasa ‘memenuhi syarat’ karena keberhasilan anaknya akan memberikan
kebebasan pada diri mereka sendiri untuk mengomentari ibu-ibu yang lain, validitas dari ibu-
ibu rohani yang lebih tua di dalam iman, dan bahkan struktur program gereja. Dalam situasi-
situasi ini, budaya ke-Kristenan tidak lagi menjadi dasarnya. Sebaliknya, hal-hal itu merupakan
salah satu dari pemberdayaan (perasaan memiliki kuasa) yang berdasarkan pada
perbandingan, dan akan menjadi sulit untuk bertemu rumah dengan rumah.
Kita mengamati dinamika ini dalam hubungan Sara dengan hambanya, Hagar.28 Sara tidak
mengandung anak bagi Abraham, dan berusaha untuk memperoleh anak melalui Hagar.
Ketika Hagar mengandung, dia mulai memperlakukan Sara dengan penghinaan. Sara
‘dipandang rendah’.29 Hagar menggunakan ‘keberhasilannya’ untuk mengandung sebagai
dasar untuk merebut kuasa nyonyanya. Dengan melakukan hal ini, dia melampaui mandatnya
sebagai hamba Sara dan melanggar garis pengudusannya. Bukannya menyesuaikan
bagiannya di dalam Tuhan dengan iman, Hagar mengambil kekuasaan dan kontrol yang salah
dari anaknya yang belum lahir.
Ibu-ibu rohani
Kita menyadari bahwa seorang suami tidak akan menjadi sumber nasehat untuk banyak area
dalam hal keibuan. Sebagai contoh, para ayah yang hadir selama pertemuan-pertemuan
dengan dokter kandungan atau bidan setelah kelahiran sang anak, akan segera menyadari
bahwa sang dokter ataupun bidan lebih tertarik untuk berbicara dengan sang ibu. Mereka
membahas hal-hal praktis tentang keibuan dan perjanjian rumah! Paulus menyoroti peran
dan kontribusi penting dari perempuan rohani yang lebih tua. Dia mencatat bahwa
perempuan rohani yang lebih tua dapat menolong perempuan yang lebih muda mempelajari
bagaimana menjaga rumah mereka.
Paulus menulis kepada Titus, ‘Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah
mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba
anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik
(mendorong) perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup
bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya,
agar firman Allah jangan dihujat orang.’30 Pertama-tama kita perhatikan bahwa nasehat
terhadap keibuan yang ilahi ini adalah untuk menghormati firman Allah. Menariknya, kita
perhatikan bahwa Paulus menginstruksikan perempuan-perempuan rohani yang lebih tua
untuk ‘mendidik (mendorong) perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-
anaknya’. Hampir tidak ada seorang ibu yang percaya bahwa mereka memerlukan
pertolongan untuk mengasihi anak-anak mereka, namun ini merupakan instruksi Paulus.
Terlepas dari seorang perempuan secara naluri mempercayai bahwa keibuan datang dengan
sendirinya, menerima masukan adalah caranya. Kebanyakan perempuan akan mengakui
bahwa mereka tidak memiliki ‘semua jawaban’, tetapi seberapa siap mereka menerima
28 Kej 16:1‑9 29 Kej 16:4 30 Tit 2:3‑4
33
instruksi mengenai hal menjadi ibu dapat menjadi suatu hal yang sangat berbeda. Seberapa
proaktif mereka mencari instruksi adalah suatu pertanyaan yang lebih jauh lagi.
Perempuan rohani yang lebih tua harus menunjukkan hikmat dalam cara mereka
mengajarkan ibu-ibu yang lebih muda untuk memenuhi peran mereka sebagai pusat di dalam
rumah. Perhatian ini harus dilakukan tanpa melangkahi tuntunan alkitabiah yang sehat.
Tidaklah tepat untuk mulai memberikan arahan mutlak ke dalam dinamika rumah orang lain.
Hal ini akan menjadi suatu gangguan atas perjanjian rumah orang lain. Penting juga untuk
menyadari bahwa setiap anak berbeda dan membutuhkan suatu pengertian yang unik dan
pendekatan yang praktis.
Perjanjian-perjanjian yang dikompromikan
Apakah yang menjadi dilema ketika budaya pernikahan atau rumah kita tidak diatur sesuai
dengan perjanjian kerajaan? Yesus Sendiri mengajarkan, ‘Kalau suatu kerajaan terpecah-
pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, dan jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah
tangga itu tidak dapat bertahan.’31 Jalan dan hikmat dunia memberikan suatu hentakan
budaya-budaya lain yang terus-menerus bagi keluarga-keluarga Kristen. Tidak terhitung
banyaknya pilihan buku-buku tentang pola asuh, cara memperbaiki pernikahan dan gaya
hidup yang populer disodorkan kepada kita. Rasul Paulus memperingatkan bahwa kita yang
rohani harus berjaga-jaga karena pencobaan yang semacam ini.32 Dia menuliskan kepada
jemaat Korintus, ‘Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya
ia jangan jatuh!’33
Titik utama pencobaan timbul pada transisi antara perjanjian pernikahan dan munculnya
perjanjian rumah. Iblis menjadikan rumah kita sebagai sasaran, dengan menggunakan daya
tarik dari hikmat duniawi untuk menipu dan mengambil kontrol atas budaya kita. Kita ingat
bahwa inilah yang terjadi dengan Hawa. Dalam usahanya untuk memenuhi mandatnya
menjadi ibu dari umat manusia, dia berbalik kepada kekuatan dagingnya. Dia ingin mencapai
tujuan Allah, tetapi berusaha melakukannya melalui budaya lain. Buah dari pohon
pengetahuan yang baik dan yang jahat menawarkan pilihan yang lebih menarik untuk
‘mendirikan rumahnya’, daripada ketaatan kepada firman Allah. Dia ditarik dan diperdaya
oleh hikmat duniawi karena Iblis memanfaatkan kerinduannya untuk multiplikasi. Dia rapuh
pada ‘titik’ antara perjanjian pernikahannya dengan perjanjian rumahnya.
Kita memiliki roh yang tenteram pada masa yang penting ini ketika kita menghargai
pentingnya nazar pernikahan kita. Perjanjian pernikahan adalah meninggalkan semua
perjanjian yang lain. Kitab Suci mengajarkan, ‘Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging’.34
Jika seorang suami atau istri tidak menegosiasikan pemisahan dari kewajiban-kewajiban
keluarga bagi pengudusan, maka tekanan dan masalah akan dihasilkan dalam rumah mereka.
Hal ini bisa dalam bentuk menempatkan prioritas yang lebih tinggi pada perkembangan karir
31 Mrk 3:24-25 32 Gal 6:1
33 1Kor 10:12 34 Kej 2:24
34
dan cita-cita daripada mandat untuk membangun ‘rumah bagi-Ku’, suatu kesibukan dengan
status sosial, suatu ketidakmampuan untuk menemukan kasih karunia pada masa-masa sakit,
kemiskinan, penyesuaian budaya atau kesulitan keuangan, dan kurangnya kejelasan tentang
peran dari keluarga besar.
Keluarga besar
Kitab Suci mengajarkan bahwa keluarga besar termasuk di dalam perjanjian rumah. Mereka
disebut sebagai ‘setiap suku’ dan ‘setiap kaum keluarga’.35 Pemazmur menulis, ‘Kiranya
TUHAN memberkati engkau dari Sion, supaya engkau melihat kebahagiaan Yerusalem seumur
hidupmu, dan melihat anak-anak dari anak-anakmu! Damai sejahtera atas Israel!’36 Di tempat
lain dalam kitab Amsal, kita membaca, ‘Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu.’37 Kita
dapat menyimpulkan dengan cara ini. Para cucu adalah bagian dari rumah kakek nenek
mereka, tapi kakek nenek bukanlah ayah atau ibu dari cucu-cucu mereka. Kekepalaan
memberikan suatu dimensi bagi keluarga inti yang menetapkan penyelarasan hubungan
‘rumah dengan rumah’-nya dengan keluarga besar.
Berkat dapat dihasilkan bagi keluarga-keluarga besar yang memahami garis pengudusan.
Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius, yang adalah seorang percaya dari iman ibunya,
Paulus mengatakan, ‘Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang
pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin
hidup juga di dalam dirimu.’38 Berkat bagi keluarga adalah bahwa anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuannya menjadi anak-anak Allah. Keluarga besar
akan bertahan hanya ketika pengudusan dari perjanjian pernikahan dipelihara. Artinya, jika
kakek dan nenek mengunjungi rumah anak-anak mereka, mereka tidak mengunjungi
pernikahan mereka. Masukan yang mengganggu atau melampaui batas dari kakek dan nenek
akan membingungkan garis hubungan yang merupakan milik keluarga inti. Yang sedang
disoroti adalah kebingungan (kesalahpahaman) dalam perjanjian pernikahan.
Ketika perjanjian pernikahan dilanggar, seluruh keluarga dapat terkurung di bawah struktur
patriarki (pengaturan keluarga besar di bawah otoritas laki-laki) atau matriarki (pengaturan
keluarga besar di bawah otoritas perempuan). Maksud kami di sini adalah kekepalaan seorang
laki-laki diteruskan sebagaimana instruksi dan perintahnya diberikan kepada anak-anaknya
yang telah dewasa dan cucu-cucunya. Hal ini dapat juga diaplikasikan kepada keibuan jika
seorang nenek mempertahankan dirinya sebagai pemegang kuasa, mendikte budaya keluarga
besarnya. Kitab Suci menunjukkannya dengan sangat jelas. Melalui pernikahan, pasangan
suami istri meninggalkan rumah ayah dan ibu mereka untuk menjadi satu daging. Pada
akhirnya, harapannya adalah kejelasan sehubungan dengan ‘meninggalkan rumah ayah dan
ibu mereka’ ini berguna untuk suatu kebebasan dan kemudahan ketika bertemu rumah
dengan rumah. Dalam suatu persekutuan yang santai antara pasangan suami istri dengan
35 Why 5:9. Za 12:12‑14 36 Mzm 128:5-6
37 Ams 17:6 38 2Tim 1:5
35
orang tua atau mertua mereka, diskusi dapat mencakup budaya rumah mereka masing-
masing.
Pengudusan sebuah rumah
Dalam bagian ini, kita akan memperhatikan ukuran-ukuran praktis yang diperlukan untuk
memelihara suatu budaya yang dikuduskan dalam rumah-rumah kita. Dalam sebuah ayat
yang menarik kepada jemaat Ibrani, penulis mengingatkan kita, ‘Sebab setiap rumah
dibangun oleh seorang ahli bangunan, tetapi ahli bangunan segala sesuatu ialah Allah.’39 Allah
memberikan kita tanggung jawab bagi pengudusan rumah-rumah kita. Hal ini karena tidak
ada rumah yang dibangun oleh dirinya sendiri! Budaya rumah kita seharusnya merefleksikan
perjanjian dalam rumah yang Allah adakan dengan setiap keluarga. Untuk memahami
pekerjaan pengudusan dari Bapa, kita akan memperhatikan ‘sunat Kristus’ secara singkat.
Pekerjaan mendasar dari Bapa adalah menyatakan setiap anak Allah dalam kemuliaan nama
mereka yang telah ditentukan. Bapa melakukan hal ini melalui ‘sunat’. Sementara Yesus
menderita dari Getsemani sampai Kalvari, di situlah Dia sedang mengalami pekerjaan sunat
dari Bapa. Ini merupakan sunat akan hati yang baru. Ketika kita dilahirkan kembali, hati kita
yang keras (hati bebatuan) disingkirkan dan kita menerima sebuah ‘hati yang taat (hati
daging)’ yang baru.40 Yesus menggambarkan hati yang baru ini sebagai ‘tanah yang baik’,
karena tanah yang baik ini dapat menerima dan memelihara benih kodrat ilahi.41 Paulus
berbicara tentang ‘sunat hati’ dalam suratnya kepada jemaat Roma. Semua orang yang telah
menerima hati yang baru dapat berpartisipasi dalam sunat Kristus. Paulus menuliskan kepada
jemaat Kolose, demikian, ‘Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan
oleh manusia’.42 Ketika kita bersatu dengan sunat Kristus, kita bersatu dengan proses
penderitaan dan pendisiplinan yang mengubahkan kita kepada status anak kita. Bapa
menyelaraskan kita kepada nama kita di dalam Kristus, dan kita memperoleh kesaksian. Kita
sedang menerima warisan penuh kita sebagai seorang anak. Dengan kata lain, Dia sedang
menguduskan kita sementara kita menjadi ‘anggota tertentu’ dalam tubuh Kristus. Hal ini
membuat kita menjadi seorang anak dalam rumah-Nya dan rumah Bapa. Pada saat yang
sama, kita sedang diselaraskan dan dikuduskan kepada gambaran yang Allah telah
rencanakan bagi pernikahan kita dan bagi rumah kita sebagai anak-anak Allah.
Nabi Maleakhi, dan Yesus Sendiri, menghubungkan pengudusan hati kita dengan perjanjian
pernikahan dan perjanjian rumah. Maleakhi memproklamirkan kepada umat Allah bahwa
mereka telah tidak setia dengan istri mereka dalam hal perceraian.43 Kemudian Dia
memproklamirkan, ‘Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh?
(Terjemahan bahasa Inggris: Tapi tidak seorangpun yang melakukannya memiliki ‘yang
tertinggal’ dari Roh)’.44 Ketika hati kita dikuduskan, kita dapat tetap menjadi satu roh di
39 Ibr 3:4 40 Yeh 11:19
41 Luk 8:15 42 Kol 2:11
43 Mal 2:14 44 Mal 2:15
36
hadapan Tuhan. Yesus menyatakan bahwa kekerasan hati umat Israel memaksa Musa untuk
mengizinkan perceraian. Namun Dia katakan, ‘Tetapi sejak semula tidaklah demikian’.45
Seorang laki-laki dan perempuan hanya dapat dikuduskan kepada nama dan pekerjaan
mereka yang telah ditentukan. Hal ini telah diproklamirkan dalam perjanjian ‘sebelum’.
Memisahkan diri kita kepada penetapan (penentuan) apapun yang lain sama dengan menjadi
cemar, najis dan akhirnya, melanggar kekudusan. Bagian ini relevan dengan suatu pernikahan
karena seorang perempuan seharusnya tidak pernah menjadi seorang budak dalam
pernikahan. Hal ini akan menghalangi pengudusannya. Jika seorang suami berusaha
membentuk istrinya sesuai dengan agendanya sendiri yang berpusat pada diri sendiri, dia
berperang menentang tanggung jawab istrinya untuk memenuhi mandatnya dan
menentangnya untuk mengekspresikan identitasnya. Tetapi, pernikahan seharusnya menjadi
konteks bagi pengekspresian yang sepenuhnya bebas dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, seorang suami dan istri, serta ayah dan ibu. Hidup oleh pengudusan yang
diproklamirkan di dalam firman akan mengizinkan identitas-identitas untuk diekspresikan dan
dihargai.
Pengudusan merupakan dasar bagi romantisme (percintaan) yang sesungguhnya.
Romantisme dapat didefinisikan sebagai seorang laki-laki dan perempuan yang bertemu dan
menghargai satu dengan yang lain di atas dasar identitas mereka. Mereka tidak memiliki
motivasi untuk menaklukkan yang lain. Hal ini sangat berbeda dengan romantisme duniawi
yang egois, dimana kasih sayang diberikan sebagai balasan karena beberapa keinginan yang
terwujud. Romantisme duniawi hampir selalu terkunci dalam suatu mekanisme dagang.
Ketika pasangan suami istri memahami dan menghormati pribadi yang Allah telah tentukan
bagi orang lain untuk jadi, mereka mendorong satu dengan yang lain untuk menjadi pribadi
tersebut. Karakteristik-karakteristik tertentu merupakan indikator-indikator bahwa sebuah
pernikahan atau rumah tangga sedang berada di bawah ikatan dan, dengan demikian, tidak
dikuduskan. Karakteristik-karakteristik ini bisa termasuk rasa takut, cemburu, paranoid,
kontrol, tawar-menawar atau rayuan.
Pengudusan bagi seorang laki-laki
Seorang laki-laki dapat menguduskan dirinya dan keluarganya jika dia memahami
‘kekepalaan’. Kita akan mendefinisikan kekepalaan demikian. Kekepalaan merupakan order
(aturan) berhubungan, dimana melalui order ini hidup dan kuasa Allah mengalir kepada setiap
rumah dan kepada gereja. Merupakan inisiatif Allah untuk menegakkan suatu order (aturan)
otoritas yang diperlukan untuk mengatasi dan menaklukkan kefasikan. Inilah caranya
menyatukan keluarga kita dengan persekutuan hidup ciptaan baru. Seorang laki-laki hanya
dapat menjadi efektif dalam kekepalaannya, baik sebagai seorang suami maupun ayah, jika
dia dapat memisahkan dirinya dari agenda-agenda apapun yang dimiliki istrinya atau rumah
tangganya.46 Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sibuk menyenangkan istrinya atau
meredakan kemarahan anak-anaknya akan berkompromi dalam kapasitasnya sebagai
45 Mat 19:8 46 1Kor 11:4
37
seorang kepala. Dia harus memberi dirinya kepada Tuhan dan menemukan sumber satu-
satunya dalam Kepalanya, Yesus Kristus. Kami tidak mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak
boleh bersekutu dengan istrinya dan mendiskusikan perjalanan mereka ke depan bersama-
sama. Tidak bersekutu dan berdiskusi dengan istrinya akan menjadi kebodohan dan berarti
laki-laki akan menyangkal pengertian (hikmat) mengenai perempuan dan keibuan yang sejati.
Sesungguhnya, hikmat ilahi yang sejati diperlukan. Oleh karena itu, kekepalaan
menggambarkan tanggung jawab seorang laki-laki di hadapan Kristus agar kasih karunia
mengalir bagi keluarganya.
Yesus memisahkan diri-Nya dari murid-murid-Nya agar Ia dapat merintis suatu jalan bagi
mereka untuk dikuduskan. Dia berkata kepada mereka, ‘Ke tempat Aku pergi, engkau tidak
dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.’47 Untuk
mempersiapkan suatu jalan pengudusan bagi murid-murid-Nya, Yesus pertama-tama harus
memberi diri-Nya kepada pekerjaan sunat dari Bapa. Dia memberi kesaksian, ‘Aku
menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran.’48 Sama
seperti yang Kristus lakukan, seorang suami dan ayah harus memberi diri-Nya kepada Kristus
sebagai Kepalanya, menundukkan dirinya di bawah tangan Kristus, dan dengan demikian
menemukan pengudusannya sendiri. Ketika dia menyerahkan dirinya dengan cara ini, dia
dapat menegakkan suatu jalan ke depan menuju keilahian (kesalehan) bagi rumah tangganya.
Mari kita perhatikan bagaimana seorang laki-laki melakukan hal ini dengan langkah-langkah
berikut:
1. Seorang laki-laki memisahkan dirinya kepada firman dan kehendak Kristus. Bebannya
adalah untuk dikuduskan kepada nama dan pekerjaannya sendiri. Imannya adalah
untuk mengalahkan setiap area dosa dalam kehidupannya. Keyakinannya adalah
bahwa dia dapat memiliki hati yang bersih di hadapan Allah. Hal ini merupakan
pelaksanaan dari pengangkatan kepalanya ‘supaya masuk Raja Kemuliaan!’49 Pada
titik ini, dia ‘tidak perlu menudungi kepalanya’.50
2. Setelah berbalik kepada Tuhan ‘selubung itu diambil dari padanya’.51 Laki-laki ini dapat
melihat dengan jelas masalah-masalah hidup yang berasal dari Kristus. Dia mengerti
dengan jelas tentang area-area yang Roh Kudus sedang sampaikan dan insafkan.
Semua masalah mengenai kekuatiran, rasa tidak aman, persaingan, atau
ketidakpercayaan disingkirkan.
3. Laki-laki ini sekarang memiliki ketenangan dan damai sejahtera dalam dirinya.
Sekarang dia harus berdiri dalam hubungan dengan Kristus dan saudara-saudara
seiman, dan tidak lumpuh karena penghukuman (tuduhan). Hatinya yang mencari
saudara-saudaranya sama seperti orang yang ‘dikenal di pintu gerbang, ketika ia
duduk bersama-sama para tua-tua negeri’.52 Dia berbagi hidupnya dan dikenal dalam
persekutuan. Dia memiliki kesiapan untuk mendengar, menghormati, menerima dan
47 Yoh 13:36 48 Yoh 17:19
49 Mzm 24:7, 9 50 1Kor 11:7
51 2Kor 3:16 52 Ams 31:23
38
menaati firman Kristus ketika firman itu ditegakkan dalam mulut dua atau tiga orang
saksi.53
4. Di dalam persekutuan, laki-laki ini menerima kejelasan tentang jalan ke depan yang
diperlukan untuk menguduskan dirinya, istrinya, dan rumahnya. Dia memahami dasar
ke mana dia memanggil istrinya. Kepada istrinya, dia dapat dengan yakin berkata,
‘Turunlah kepadaku …, pengantinku’.54 Kepada anak-anaknya, dia dapat dengan yakin
berkata, ‘Biarlah hatimu memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-
petunjukku, maka engkau akan hidup’.55
5. Setelah mempersiapkan jalan pengudusan bagi pernikahan dan rumahnya, hidup dan
kasih karunia Allah sekarang dapat mengalir kepada rumah tangganya. Tidak ada yang
najis yang tersisa, yang dapat menghalangi order (aturan) kekepalaan ilahi.
Pengudusan bagi seorang perempuan
Seorang perempuan dapat menjadi efektif dalam mandatnya hanya ketika dia menyadari
bahwa dia adalah seorang saudari di atas dasar hubungan persaudaraan. Hubungan ini harus
ditegakkan sebelum dia menjadi seorang istri dan ibu. Jauh sebelum dia menjadi seorang
penolong bagi suaminya dan seorang ibu bagi anak-anaknya, dia adalah seorang saudari. Ini
merupakan suatu hal yang penting dalam pembelajaran kita, karena hal ini menyoroti sumber
kebingungan (kesalahpahaman) antara budaya kerajaan dengan budaya lain apapun yang
dapat berada di dalam rumah kita. Kebanyakan dari kecemasan yang dialami oleh seorang
perempuan dan keluarganya dapat dikaitkan dengan penempatan prioritas perjanjian
pernikahan dan perjanjian rumah yang lebih tinggi daripada perjanjian kerajaan. Hal ini
memimpin kepada budaya-budaya dan agenda-agenda lain yang diakomodasi di dalam
rumah. Hal-hal ini kemudian dibebankan kepada persekutuan gereja. Ini merupakan
persembahan dalam kenajisan yang mencemarkan rumah Tuhan.56 Hal ini menyangkal
mezbah yang menguduskan persembahan kita.57 Kemudian ketika utusan berusaha untuk
membersihkan hal-hal yang korup ini, mereka sering menjumpai kedegilan, kebencian, atau
kemarahan.
Sebagai contoh, etika kita untuk berpakaian dalam acara-acara di gereja seharusnya
menunjukkan penghormatan kita terhadap acara tersebut. Ketika kita bertemu, kita bertemu
sebagai orang-orang yang ‘dikuasai oleh Roh pada Hari Tuhan’.58 Jika seorang perempuan
kemudian mengenakan pakaian yang terbuka dan pertanyaan muncul sehubungan dengan
pakaiannya yang tidak pantas, hal ini bukanlah pertama-tama merupakan suatu masalah yang
berhubungan dengan budaya kerajaan. Pertanyaannya seharusnya demikian, kelonggaran
dan penyesuaian apa yang sedang dilakukan dalam perjanjian rumah dimana ia tinggal, yang
mengizinkannya untuk berpakaian yang menyangkal perjanjian kerajaan? Masalahnya
terletak pada perjanjian pernikahannya dan perjanjian rumahnya. Iluminasi dan penginsafan
53 Mat 18:16 54 Kid 4:8
55 Ams 4:1‑4 56 Bil 19
57 Mat 23:19 58 Why 1:10
39
diperlukan sehubungan dengan jurang antara budaya pernikahannya dan/atau rumahnya,
dengan budaya rumah Tuhan. Harapannya adalah supaya dia melihat nilai (harga) dari
kesopanan (kesederhanaan). Dia menyadari bahwa Tuhan menginginkan dia untuk menjaga
pengudusannya dan mengejar kecantikan batiniah dari roh yang lemah lembut dan tenteram.
Melalui iluminasi mengenai budaya kerajaan, perjanjian rumahnya akan diperbaiki. Hal ini
akan menutup jurang yang mengizinkan kesenjangan. Melalui ilustrasi ini, kita mulai melihat
bagaimana semua area budaya kita harus dikuduskan oleh mezbah.
Memang benar bahwa Allah berbicara kepada ibu di dalam rumah dan ayah di dalam rumah.
Harus ada kejelasan dan penghormatan untuk garis pengudusan di dalam sebuah rumah
tangga. Sebagai contoh:
• Ibu bukanlah ayah di dalam rumah
• Istri bukanlah ibu dari suaminya
• Ibu bukanlah istri bagi anak-anaknya (‘inses’ merujuk kepada setiap pelanggaran
dalam garis pengudusan antara anak-anak Allah. Sebagai contoh, seorang ayah
membingungkan anak perempuannya dengan menjadikannya sebagai seorang
penolong paraclete dalam pekerjaannya.)
• Suami bukanlah ibu di dalam rumah
• Suami bukanlah ayah dari istrinya
• Ayah bukanlah suami bagi anak-anaknya
Teladan bagi seorang suami dengan istrinya, adalah Kristus dengan mempelai-Nya, gereja.
‘Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk
menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan
firman.’59 Seorang perempuan dapat dikuduskan kepada identitas dan keibuannya melalui
pembasuhan air dengan firman. Hal ini terwujud di dalam rumah ketika seorang suami dan
istri bersekutu bersama dalam segala situasi. Dalam diskusi seperti ini, laki-laki dapat
menguduskan istrinya kepada nama istrinya, sesuai dengan firman. Seorang suami
menguduskan istrinya dengan memanggil dia kepada firman tentang nama dan pekerjaannya.
Hal ini mencakup persaudaraannya sebagai saudari dan keibuannya.
Dalam istilah praktis, aktivitas dan keadaan hidup hari demi hari menyediakan suatu
kesempatan yang santai, sederhana untuk mengaplikasikan firman kebenaran masa kini
kepada budaya dan dinamika dari suatu rumah tangga.
Menarik untuk diperhatikan bahwa mata Hawa tidak terbuka untuk melihat ketelanjangannya
ketika dia memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Kitab Suci
mencatat, ‘Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada
59 Ef 5:25-26
40
suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya. Maka terbukalah
mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang.’60 Kami sedang menyoroti
bahwa Adam masih memiliki sebuah pilihan. Jika Adam memilih untuk menaati firman Allah
bagi dia, ia bisa menguduskan Hawa dengan memanggil dia kembali kepada mandatnya.
Sekalipun Hawa telah jatuh, jika Adam menaati Allah, anak-anak mereka dapat dilahirkan
sebagai anak-anak Allah. Baik suami maupun istri harus menerima firman yang diberitakan
secara langsung kepada hati mereka. Inilah firman yang kepadanya seorang suami memanggil
istrinya.
Seorang perempuan dapat menguduskan rumahnya ketika dia berdiri dalam peran dan
tempatnya sebagai seorang saudari, istri dan ibu. Ini merupakan suatu realita yang mutlak,
terlepas apakah suaminya ada atau tidak, suaminya orang Kristen atau bukan. Rasul Paulus
mengajarkan, ‘Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-
laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena
suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu
dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak
cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.’61 Rumah kita dapat menjadi suatu
tempat damai sejahtera. Melalui keibuan yang setia (beriman), anak-anak dapat menjadi
tenteram, terpelihara dalam jalan Tuhan, dan dibebaskan kepada dasar hubungan
persaudaraan dalam pengudusan dan penghormatan.
Pekerjaan Roh Kudus
Kita akan tahu jika ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam pernikahan
atau rumah kita. Roh Kudus ‘membakar’ hati kita dan menginsafkan kita sehubungan dengan
tidak adanya damai sejahtera. Hal ini merupakan tindakan pertama dari Roh Kudus berkaitan
dengan pengudusan. Ini adalah kemurahan dan kasih karunia Allah bagi kita. Tindakan kedua
dari Roh Kudus adalah menggerakkan kita untuk mencari persekutuan dengan firman dari
utusan. Sekalipun kita menyadari tidak adanya damai sejahtera dalam pernikahan atau rumah
kita, kita tidak selalu memiliki kejelasan tentang masalah-masalah yang berperang melawan
damai sejahtera. Ketika kita menerima dan menaati firman, damai sejahtera memerintah
dalam hati kita karena kita memahami keadaan-keadaan tertentu dalam kehidupan. Akan ada
sebuah jawaban bagi semua pertanyaan dan diskusi kita. Yesus telah menjanjikan kita, ‘Tetapi
apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh
kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal
yang akan datang.’62
Ketika seseorang menerima sebuah hati yang baru, Roh Kudus mencurahkan kasih Allah ke
dalam hatinya yang jujur dan baik itu.63 Dipenuhi dengan kasih Allah adalah digerakkan oleh
kasih yang sama seperti Allah mengasihi. Seorang Kristen dapat terhubung dengan firman
60 Kej 3:6-7 61 1Kor 7:13-14
62 Yoh 16:13 63 Luk 8:15
41
kebenaran masa kini melalui iman. Mereka akan menerima firman dengan sukacita dan
menghasilkan buah kehidupan melalui ketaatan mereka. Damai sejahtera ditemukan dalam
menaati firman. Berlawanan dengan ini, seseorang dengan hati yang keras mengejar firman
dengan cara yang sama sekali berbeda. Mereka akan mencari firman sebagai suatu sumber
untuk menguatkan agenda yang telah mereka miliki. Mereka akan sering meminta banyak
waktu untuk konseling sementara mereka bermaksud untuk mengurangi adanya penginsafan
dari Roh Kudus. Bukannya menerima bahwa mereka memerlukan pertobatan dan perubahan,
namun mereka mencari firman yang dapat mereka tafsirkan sebagai persetujuan untuk
meneruskan ketidaktaatan mereka. Mereka ingin utusan ‘setuju’ dengan berhala mereka.64
Janji dari Roh
Nabi Yesaya berbicara tentang penghakiman Allah atas orang-orang yang hidup ‘nyaman’ dan,
dengan demikian, hidup ‘berpuas diri’.65 Kita akan mengamati bagaimana nubuatan ini
diaplikasikan kepada para perempuan dan para ibu yang merasa keinginan-keinginan mereka
telah dipuaskan. Mereka percaya bahwa mereka memiliki kontrol atas kehidupan dan rumah
mereka. Yesaya memanggil mereka untuk ‘bangun’, katanya, ‘Kamu akan gemetar, hai orang-
orang yang hidup tenteram (hai anak-anak perempuan yang berpuas diri), sebab panen buah
anggur sudah habis binasa, dan panen buah-buah lain juga tidak ada … tanah bangsaku yang
ditumbuhi semak duri dan puteri malu … Sebab purimu sudah ditinggalkan dan keramaian
kotamu sudah berubah menjadi kesepian. Bukit dan menara sudah menjadi tanah rata untuk
selama-lamanya, menjadi tempat kegirangan bagi keledai hutan dan tempat makan rumput
bagi kawanan binatang’.66 Allah sedang memanggil para perempuan ini untuk mendengar.
Hal ini dikarenakan, seiring waktu, keengganan mereka untuk memperhatikan firman akan
menghasilkan buah yang tidak berguna.
Rumah mereka, yang seharusnya menjadi warisan mereka, menghasilkan semak duri dan
putri malu. Yesus menggambarkan semak duri yang menghimpit buah dari firman sebagai
kekuatiran dunia ini.67 Semak duri dan putri malu menggambarkan anak-anak mereka yang
reaktif dan ‘sulit/menyusahkan’. Ismael, anak laki-laki Hagar, digambarkan secara nubuatan
sebagai ‘seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu;
tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia.’ Sama
halnya, kita melihat anak-anak ini digambarkan seperti ‘keledai liar’.68 Saat ini, jika
perempuan hidup nyaman dalam jalan-jalan mereka, anak-anak mereka akan bertumbuh
keras kepala, tanpa disiplin, dan sulit diatur. Firman ini memanggil setiap perempuan untuk
bertobat dan meratap karena kenyamanan mereka dan buah yang dinyatakan dalam anak-
anak mereka.
Yesaya melanjutkan, 'Sampai dicurahkan kepada kita Roh dari atas: Maka padang gurun akan
menjadi kebun buah-buahan, dan kebun buah-buahan itu akan dianggap hutan. Di padang
gurun selalu akan berlaku keadilan dan di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran. Di
64 Yeh 14:4, 9‑10 65 Yes 32:9
66 Yes 32:10‑14 67 Mrk 4:19
68 Kej 16:12
42
mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah
ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya. Bangsaku akan diam di tempat yang
damai, di tempat tinggal yang tenteram di tempat peristirahatan yang aman.69 Janji dari Roh
adalah bahwa rumah-rumah kita dapat menghasilkan buah kepada kebenaran. Firman yang
diproklamirkan kepada kita oleh administrasi utusan adalah Roh dan hidup.70 Ketika para
perempuan berjalan sesuai dengan mandat keibuan yang ilahi, rumah dan anak-anak mereka
hidup dalam damai sejahtera Allah. Anak-anak ini akan bertumbuh dengan kapasitas dan
keyakinan untuk memenuhi pekerjaan kebenaran. Ketika para perempuan dipimpin oleh Roh,
mereka dapat mengalahkan ketakutan dan ancaman (kengerian) dalam rumah mereka.
Rumah-rumah, ibu-ibu dan anak-anak akan menjadi aman dan selamat.
69 Yes 32:15-18 70 Yoh 6:63
43
BAB 4
Penderitaan dalam keluarga
Rasul Petrus menjelaskan dengan panjang lebar dalam mempersiapkan murid-murid Kristen
untuk mengalami penderitaan. Dia mengajarkan bahwa penderitaan merupakan suatu
konteks penting untuk mempelajari keuntungan dari iman. Seorang percaya harus
mempersenjatai diri mereka dengan iman ketika mereka diperhadapkan dengan penderitaan.
Iman mereka adalah bahwa pencobaan, kesesakan dan keadaan-keadaan sulit yang
menyentuh kehidupan mereka ada di dalam kedaulatan Allah. Hanya oleh iman maka kuasa
Allah menjadi aktif. Kemudian Allah memenuhi kita dengan kasih karunia-Nya, yang cukup
untuk bertekun dan menang atas penderitaan.1 Petrus mendorong semua orang percaya,
demikian, ‘Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus
berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan [penderitaan-penderitaan yang dialami ketika
kita tergoda untuk berjalan menurut daging]. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan
kemurnian imanmu, yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji
kemurniannya dengan api, sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan
kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.’2 Kemudian dalam suratannya yang
pertama, Petrus menulis, ‘Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun
harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian (dengan tujuan yang
sama)’.3 ‘Tujuan yang sama’ ini adalah kita menderita untuk melihat kehendak Allah terjadi
dalam kehidupan kita.4
1 Ef 2:8. 2Kor 12:9 2 1Ptr 1:7
3 1Ptr 4:1 4 Mat 26:39
44
Salah satu konteks yang spesifik dimana penderitaan dialami oleh orang-orang Kristen adalah
di dalam keluarga. Petrus bukanlah pertama-tama berbicara tentang rumah tangga Kristen.
Tetapi, dia menggambarkan hubungan-hubungan keluarga dari seorang percaya dengan yang
tidak percaya. Kemungkinan besar setiap anak Allah akan mengalami rasa sakit dan tekanan
dalam menegosiasikan hubungan-hubungan dengan anggota-anggota keluarga yang memilih
untuk tidak taat kepada Yesus Kristus. Hal ini merupakan suatu pembahasan yang sensitif.
Penolakan dari anggota-anggota keluarga merupakan hasil yang diperoleh oleh banyak orang
yang ‘berdiri’ dalam nama Yesus. Mereka mengalami penderitaan ketika mereka menolak
tekanan untuk menundukkan diri mereka, prioritas-prioritas dan budaya mereka, untuk
mengikuti hawa nafsu dari ketidaktaatan. Penderitaan yang akan dialami adalah rasa sakit,
penghinaan, penipuan, dan rencana yang jahat atau pengkhianatan, yang ditujukan kepada
orang-orang yang memutuskan untuk mencari terlebih dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-
Nya.5
Rasul Petrus mengajarkan bahwa orang-orang percaya yang menanggung penderitaan di
dalam konteks keluarga mereka itu diberkati. Lebih lanjut dari ini, mereka akan menjadi
berkat bagi anggota-anggota keluaga mereka yang tidak percaya. Ini adalah upah dan
kebajikan yang seorang Kristen terima karena membuktikan iman mereka. Petrus menuliskan,
‘Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara,
penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci
maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah
kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.’6 Berkat yang kita terima untuk diberikan
kepada anggota-anggota keluarga yang tidak percaya adalah supaya mereka memperhatikan
injil. Dan pada akhirnya, supaya mereka sendiri menjadi anak-anak Allah.
Roh yang lemah lembut dan tenteram
Petrus mendeklarasikan bahwa kita menerima suatu karakteristik yang kekal dan tidak akan
binasa dalam status anak kita, ketika kita menderita di tengah-tengah keluarga-keluarga kita.
Ini adalah kualitas dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang berharga di mata Allah.7
Seorang Kristen harus menderita dalam sikap yang sama seperti Yesus. Yesus tidak membuka
mulut untuk membela masalah-Nya atau mencoba untuk berdebat dengan mereka yang
menyiksa Dia. Dia juga tidak membela keyakinan dan keputusan-Nya.8 Dia menderita tanpa
membuka mulut, dan mengalahkan maut karena tidak ada dosa ditemukan di dalam Dia.9
Sama halnya, ketika seorang Kristen menanggung penderitaan di dalam keluarga mereka
tanpa membalas kejahatan dengan kejahatan, mereka mendemonstrasikan roh yang lemah
lembut dan tenteram. Hal ini terlepas dari frustrasi, sakit hati, diremehkan, hinaan, ejekan,
direndahkan, provokasi yang memancing perkelahian, dan tuntutan akan jawaban-jawaban.
Seorang Kristen dapat menunjukkan kerendahan hati dan keteguhan roh. Kualitas ini mengalir
kepada setiap keadaan dari hidup dan perjalanan seorang Kristen bersama dengan Tuhan.
5 Mat 6:33 6 1Ptr 3:8-9
7 1Ptr 3:4 8 Yes 53:7
9 1Ptr 2:22. 1Yoh 3:5
45
Tuhan menguatkan kita ketika kita memilih kelemahlembutan dan ketenangan. Ini adalah
pengerjaan dan keteguhan iman kita. Pemazmur menuliskan, ‘Ia membimbing orang-orang
yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang
rendah hati’.10 Kata ‘lemah lembut’ yang Petrus gunakan sama dengan kata Yunani yang
digunakan untuk menggambarkan Yesus ketika Ia masuk ke Yerusalem dengan ‘lemah lembut
dan mengendarai seekor keledai’.11 Hal ini merujuk kepada kerendahan hati dan keyakinan
seorang Kristen yang diberikan ketika mereka mengukur budaya dan respon mereka kepada
nama mereka. Yesus mengingatkan kita, ‘Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena
mereka akan memiliki bumi’.12 Kata ‘tenang’ diambil dari kata Yunani yang artinya ‘menjaga
kursi (tempat duduk) seseorang’. Seseorang dengan roh yang tenteram (tenang) tidak
terganggu dan merasakan damai di tengah-tengah penderitaan. Hal ini cukup menantang.
Ketika seorang Kristen mengalami penganiayaan dalam konteks keluarga mereka, emosi-
emosi dari dosa dan respon yang reaktif dari daging dapat muncul. Kita diingatkan dengan
perkataan Raja Salomo, ‘Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai
dirinya melebihi orang yang merebut kota’.13 Ini adalah penjelasan untuk perkataan yang
menarik dari pemazmur, ‘Ia tidak suka kepada kegagahan kuda, Ia tidak senang kepada kaki
laki-laki; TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang
berharap akan kasih setia-Nya’.14
Siapakah ibu-Ku? Dan siapakah saudara-saudara-Ku?
Kitab Suci memberikan beberapa pernyataan pasti berkaitan dengan komitmen kita kepada
kerajaan Allah dan komitmen kita kepada keluarga-keluarga kita secara jasmani. Pada
umumnya orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh yang ada di seluruh dunia
mempercayai bahwa ‘keluarga lebih diutamakan daripada gereja’. Pandangan dan komitmen
mereka terhadap Kristus adalah bahwa ‘gereja-gereja datang dan pergi, pendeta-pendeta
datang dan pergi, tetapi keluarga ada untuk selamanya’. Kepercayaan demikian tidak
didukung oleh Alkitab. Dalam istilah sehari-hari, Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa
‘darah tidak lebih kental daripada air firman Allah’.
Tiga rangkaian ayat yang akan kita perhatikan dalam bagian ini, dapat ditemukan dalam Injil
Matius. Beberapa dari perkataan Yesus ini dicatat dalam Injil-Injil lain, tapi hanya Matius yang
memasukkan ketiga-tiganya. Kita ingat bahwa Matius sebelumnya adalah seorang pemungut
cukai yang bernama ‘Lewi’. Hal ini menyatakan bahwa mungkin dia adalah seseorang yang
berpendidikan tingkat kelas menengah. Kita dapat berpendapat bahwa orang tuanya
menopang pendidikan dan pencapaiannya dalam posisi pemungut cukai ini. Lukas mencatat
cerita Matius yang bertobat ketika dia menuliskan, ‘Dan Lewi mengadakan suatu perjamuan
besar untuk Dia di rumahnya dan sejumlah besar pemungut cukai dan orang-orang lain turut
makan bersama-sama dengan Dia. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut
10 Mzm 25:9 11 Mat 21:5
12 Mat 5:5 13 Ams 16:32
14 Mzm 147:10-11
46
kepada murid-murid Yesus, katanya: "Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama
dengan pemungut cukai dan orang berdosa?"’15
Kemungkinan besar beberapa dari keluarga Matius adalah bagian dari ‘orang-orang lain’ yang
turut makan bersama-sama. Kita hanya dapat membayangkan kebingungan mereka ketika
tukang kayu dari Nazaret ini duduk di hadapan mereka. Matius memproklamirkan
kepercayaannya bahwa Yesus adalah Mesias! Lebih lanjut lagi, dia berhenti dari profesinya,
meninggalkan cara-cara dia sebelumnya yang penuh dosa, dan pergi bersama dengan Dia.
Kita bisa berspekulasi betapa ribut jadinya percakapan itu. Mungkin keluarganya marah dan
tidak dapat mengerti atau menerima apa yang Matius lakukan. Mungkin mereka dipenuhi
dengan rasa sakit dan merasa dikhianati sehingga mereka dengan putus asa mencoba
meyakinkan dia untuk mengubah keputusannya. Terlepas dari detil-detil yang terjadi malam
itu, kita dapat mengetahui dari Injil Matius bahwa dia jelas memiliki kasih dan pengharapan
untuk kedatangan kerajaan Allah. Mungkin, malam saat ia mengakui pertobatannya ada tetap
di dalam ingatannya ketika dia dengan sungguh-sungguh menuliskan tentang Mesias, Yesus
Kristus yang telah datang. Kami menduga tentang keadaan di sekitar pertobatan Matius
karena ini merupakan kesaksian dari banyak orang percaya saat ini.
Rangkaian ayat-ayat pertama kita berasal dari Injil Matius pasal sepuluh. Dia mencatat
perkataan Yesus, ‘Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di
atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang
untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan
dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barangsiapa
mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa
mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.’16
Ayat-ayat ini adalah penting dalam implikasi-implikasinya.
‘Pedang’ yang Yesus bawakan adalah pedang firman-Nya.17 Dia mengatakan bahwa firman
memotong setiap individu, membebaskan setiap individu dari kewajiban-kewajiban dan
pengharapan-pengharapan keluarga mereka. Hal ini akan memampukan mereka untuk
dengan bertanggung jawab meresponi panggilan injil atas kehidupan mereka. Ketika
beberapa anggota keluarga meresponi dengan ketaatan kepada Kristus, firman Tuhan telah
‘membuat mereka melawan’ anggota-anggota keluarga yang tidak taat kepada Kristus. Kita
ingat perkataan Yesus, ‘Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku’.18 Salah satu kebenaran
yang tersulit untuk diterima seorang Kristen adalah bahwa tidak ada jalan tengah bagi
anggota-anggota keluarga yang tidak percaya. Yesus melanjutkan dengan mengatakan bahwa
orang-orang yang mengasihi orang tua mereka lebih daripada Dia, tidak akan berjalan dengan
Dia dalam pakaian putih.19 Demikian juga, orang tua yang mengasihi anak-anak mereka lebih
daripada Kristus akan menegakkan suatu budaya dimana anak-anak mereka akan
meninggalkan Dia. Mereka melakukan hal ini jika mereka mengatur kehidupan mereka
15 Luk 5:29-30 16 Mat 10:34‑37
17 Ibr 4:12 18 Mat 12:30
19 Why 3:4
47
sedemikian rupa sehingga kebahagiaan anak-anak mereka diutamakan sebelum komitmen
mereka kepada Yesus.
Matius juga mencatat cerita tentang ibu Yesus dan saudara-saudara-Nya yang berdiri di luar
suatu tempat pertemuan dan berusaha untuk berbicara dengan Dia. Matius menuliskan,
‘Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: "Siapa ibu-Ku?
Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya:
"Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di
sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku."’20 Yesus
telah mendefinisikan persaudaraan sebagai saudara dan saudari dalam Kristus sebagai orang-
orang percaya yang berbagi iman dan pengharapan yang sama. Dia mengajarkan para
pengikut-Nya bahwa komitmen mereka terhadap pemuridan harus mendahului komitmen
mereka terhadap keluarga-keluarga jasmani mereka.
Ayat ketiga dan terakhir berasal dari Injil Matius pasal sembilan belas. Dia mencatat perkataan
Yesus, ‘Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki
atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima
kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal’.21 Seorang murid ‘menjual
seluruh miliknya’ untuk mengikuti Kristus.22 Hal ini mencakup kewajiban-kewajiban keluarga
yang turun-temurun. Kita dapat memperoleh semangat yang besar dari janji Yesus bahwa
seseorang yang mengikuti Kristus dengan cara ini akan menerima kembali seratus kali lipat
(berlipat ganda). Perkataan-perkataan tersebut memiliki suatu aplikasi di sepanjang hidup ini.
Kita telah memperhatikan nilai atau upah yang seorang Kristen terima sebagai bagian dari
iman mereka ketika mereka menderita dalam konteks keluarga mereka. Jika mereka bertekun
dalam iman dan kesabaran, mereka belajar untuk memberkati dan menjadi berkat bagi
anggota-anggota keluarga mereka yang belum percaya. Kerinduan Allah adalah mencurahkan
berkat status anak atas anggota-anggota keluarga yang demikian.
Sifat dari penderitaan dalam kelurga
Banyak orang Kristen mengejar resolusi dengan anggota-anggota keluarga mereka yang tidak
percaya. Namun, inisiatif ini akan membuktikan bahwa sangat sulit untuk mencapainya tanpa
sekali lagi terlibat dalam kecemaran-kecemaran dunia.23 Sementara kita berharap dan berdoa
bagi keselamatan anggota-anggota keluarga kita yang tidak percaya, kita harus menemukan
damai sejahtera, mempercayai bahwa keselamatan ini terletak dalam kedaulatan Allah.
Seorang Kristen tidak perlu mencoba untuk menjembatani jurang pemisah antara komitmen
ke-Kristenan mereka dengan anggota-anggota keluarga mereka yang tidak percaya. Tetapi,
mereka harus fokus pada pengudusan mereka sendiri. Kita ingat perkataan nabi Amos,
‘Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?’24 Rasul Petrus
menasehati kita, ‘Milikilah cara hidup (Jagalah tingkah laku) yang baik di tengah-tengah
bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang
20 Mat 12:48‑50 21 Mat 19:29
22 Mat 13:46 23 2Ptr 2:20
24 Am 3:3
48
durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan
Allah pada hari Ia melawat mereka.’25 Memiliki cara hidup (menjaga tingkah laku) yang baik
adalah buah dari roh yang lemah lembut dan tenteram. Jika kita memberikan contoh
kebajikan dari mengikuti Tuhan tanpa mendua hati demi mendapatkan penerimaan, anggota-
anggota keluarga kita dapat diberkati. Berkat ini adalah suatu penginsafan yang murni bagi
injil.
Untuk membantu kita memahami penderitaan yang mungkin dialami oleh orang Kristen
dalam keluarga-keluarga mereka, kita dapat memperhatikan beberapa alasan sebab-akibat
berikut ini:
1. ‘Rasa dikhianati’. Ini adalah rasa sakit yang dirasakan oleh anggota-anggota keluarga besar
baik secara sadar maupun tidak sadar. Mereka merasa bahwa anggota-anggota keluarga
mereka yang Kristen tidak dapat memberikan mereka komitmen yang sama seperti yang
mereka miliki bagi Yesus Kristus. Hal ini bisa diekspresikan dengan pernyataan-pernyataan
seperti:
‘Kamu tidak memiliki waktu lagi untuk kami’;
‘Kamu pikir sekarang kamu lebih baik dari kami’;
‘Kamu meremehkan kami’;
‘Apa yang salah dengan cara hidup kami’;
‘Kamu seharusnya berada di sini dengan kami’’
‘Kamu seharusnya menjadi salah satu dari kami’.
2. Fenomena yang muncul ketika seorang anggota keluarga memilih komitmen sebagai
orang Kristen dan mengabaikan perilaku duniawi dari anggota-anggota keluarga mereka
yang lain. Hal ini dapat mendorong anggota-anggota keluarga yang belum percaya ke
dalam suatu dilema mengenai kejujuran moral mereka sendiri. Sepertinya tidak mungkin
mereka akan mengakui atau membenarkan bahwa inilah yang sedang terjadi. Karena jika
mereka mengakui atau membenarkan hal tersebut, ini berarti mereka mengakui bahwa
mereka seharusnya menjadi orang Kristen. Namun, keabsahan dari integritas moral
mereka ditantang oleh komitmen anggota-anggota keluarga mereka yang Kristen
terhadap perjanjian budaya kerajaan.
3. Frustrasi atas ‘kebenaran diri sendiri yang sudah tertanam’. Ini merupakan suatu
penyebab jangka panjang adanya kegelisahan di dalam keluarga-keluarga yang memiliki
kepercayaan-kepercayaan yang berbeda. Keadaan ini menggambarkan kepercayaan
orang pada umumnya yang berkata, ‘Kamu bodoh karena menjadi Kristen’. Ini merupakan
keengganan yang tidak tergoyahkan untuk menerima bagaimana seseorang dapat
25 1Ptr 2:12
49
memilih ke-Kristenan. Ketika situasi keluarga mencapai puncak ini, evaluasi-evaluasi yang
serius dan nyata harus dilakukan berkaitan dengan motif-motif dan aturan-aturan saat
pertemuan keluarga. Orang Kristen harus menjaga hati mereka sehubungan dengan
situasi ini karena frustrasi dapat terjadi pada kedua pihak. Paulus menuliskan kepada
jemaat Roma, ‘Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan
dengan kebaikan’.26
4. Pengujian komitmen keluarga kita melalui acara-acara keluarga besar. Situasi ini
menggambarkan acara-acara keluarga besar yang bertabrakan dengan program gereja.
Bisa terjadi penderitaan dan perselisihan, karena seorang Kristen memilih untuk
menghadiri pertemuan gereja, bukannya acara keluarga.
5. Harapan supaya ‘peran-peran’ yang turun-temurun dalam keluarga dihormati. Banyak
keluarga-keluarga besar mengembangkan ‘peran-peran’ atau ‘posisi-posisi’ yang cocok
bagi masing-masing anggota. Hal ini mendefinisikan bagaimana anggota-anggota keluarga
berhubungan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, mungkin sepupu tertua di dalam
suatu generasi menjadi seorang Kristen. Sebelumnya, harapan atas sepupu tertua itu
adalah bertindak sebagai teladan bagi sepupu-sepupu yang lain. Kita dapat
membayangkan kerumitan yang muncul ketika sepupu tertua itu meninggalkan ‘peran’
keluarga mereka dan, sebaliknya, mencari kerajaan Allah terlebih dahulu. Hal ini terjadi
ketika seorang Kristen meminta penghormatan dan kebebasan untuk membuat
keputusan-keputusan mereka sendiri sebagai orang dewasa, dan selanjutnya, hidup
dengan kensekuensi-konsekuensi dari keputusan-keputusan tersebut.
Kasih keluarga
Dalam buku klasiknya, ‘Empat Kasih’, penulis Kristen yang mempertahankan pendapatnya, C.
S. Lewis, membahas kasih yang muncul secara alamiah yang kita rasakan bagi anggota-
anggota keluarga kita. Dia menyebutnya sebagai kasih ‘storge’ [kata Yunani yang dilafalkan
‘store-gae’]. Dia menggunakan ikatan yang dialami antara orang tua dengan anak-anak
mereka untuk mengilustrasikan jenis kasih sayang ini. Kasih keluarga ini adalah kasih sayang
yang diperoleh melalui keakraban (kebiasaan bersama-sama). Kita memperhatikan ‘jenis’
kasih ini dalam pembelajaran kita karena hal tersebut menjelaskan banyak gejolak yang orang
Kristen jumpai dengan anggota-anggota keluarga mereka yang tidak percaya. C. S. Lewis
menggambarkan kasih ini sebagai ‘alamiah’ karena kasih ini muncul tanpa paksaan. Kasih ini
‘dibangun ke dalam diri kita’. Dia juga menggambarkan kasih storge sebagai ‘emosi’ karena
dihasilkan dari kebersamaan melalui kesempatan, bukan evaluasi objektif dari karakteristik
akan kasih yang layak. Dasar emosi ini tidak membedakan melalui penggunaan faktor-faktor
seperti ketertarikan atau minat-minat yang sama. Ini merupakan ikatan yang ditemukan
karena meluangkan waktu bersama.
26 Rm 12:21
50
Memahami kasih keluarga dalam cara ini, membantu kita untuk menjelaskan mengapa
banyak orang Kristen entahkah mereka bertahan (tidak bereaksi) ataukah menjadi bereaksi
untuk menentang anggota-anggota keluarga mereka yang bukan Kristen. Dengan kasih
keluarga sebagai dasarnya, tidak mengherankan bahwa emosi-emosi dari banyak orang
Kristen lebih terlihat dengan jelas dalam perilaku mereka dengan keluarga-keluarga mereka.
Pada saat ini, orang percaya yang saleh dapat dengan segera dan dengan mudah membuat
respon-respon emosional. Respon-respon ini dapat termasuk ketidaksabaran, tidak peduli,
kasar (tidak sopan), kecemburuan, perasaan yang bertentangan atau kemarahan. Banyak
orang Kristen yang setia dan sungguh-sungguh menjadi terkejut ketika respon-respon mereka
berubah menjadi demikian. Diperlengkapi dengan pengetahuan ini, anak-anak Allah harus
ingat bahwa anggota-anggota keluarga yang tidak taat kepada injil dapat ‘dimenangkan tanpa
perkataan’, hanya melalui ‘murni dan salehnya hidup’.27
Hendaklah kamu memberkati
Sementara kita menyimpulkan pembelajaran kita mengenai penderitaan dalam keluarga, kita
akan kembali kepada perkataan rasul Petrus yang memberikan semangat, ‘Dan siapakah yang
akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?’28 Penulis kitab Ibrani juga
menuntun kita untuk ‘berusaha hidup damai dengan semua orang dan mengejar kekudusan,
sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan’.29 Tema menyeluruh kita di
sepanjang buku ini adalah pengudusan. Pada akhirnya, jika seorang Kristen meletakkan dasar
dan mulai berdagang ‘kejahatan dengan kejahatan’ dan ‘hinaan dengan hinaan’ dengan
anggota-anggota keluarga mereka yang belum percaya, mereka akan mencemarkan
pengudusan mereka sendiri.30 Murid-murid harus memberi contoh apa artinya ‘hendaklah
kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil’.31 Tantangan bagi setiap orang Kristen
yang mengalami penderitaan dalam konteks keluarga mereka, adalah terus melakukan apa
yang benar dan apa yang baik.32 Dengan cara ini, perkataan dari Raja Salomo akan
menghasilkan buah, ‘Jikalau TUHAN berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang
itupun didamaikan-Nya dengan dia’.33
Perkataan terakhir yang Musa sampaikan sebelum kematiannya adalah suatu berkat atas
anak-anak Israel. Dalam kitab Ulangan, kita membaca, ‘Tentang Lewi ia berkata: "Biarlah
Tumim dan Urim-Mu menjadi kepunyaan orang yang Kaukasihi, yang telah Kaucoba di Masa,
dengan siapa Engkau berbantah dekat mata air Meriba; yang berkata tentang ayahnya dan
tentang ibunya: aku tidak mengindahkan mereka; ia yang tidak mau kenal saudara-
saudaranya dan acuh tak acuh terhadap anak-anaknya. Sebab orang-orang Lewi itu
berpegang pada firman-Mu dan menjaga perjanjian-Mu."’34 Perkataan ini memperkuat
pertanyaan tentang menjadi berkat di dalam keluarga-keluarga kita. Musa memuji kaum Lewi
karena ‘tidak mengindahkan ayah dan ibunya’, karena ‘tidak mau kenal saudara-saudaranya’,
dan karena ‘acuh tak acuh terhadap anak-anaknya’. Sebaliknya, Lewi telah berpegang teguh
27 1Ptr 3:1-2 28 1Ptr 3:13 29 Ibr 12:14
30 Yer 7:19 31 1Ptr 3:9. Mat 5:9 32 1Ptr 3:11
33 Ams 16:7 34 Ul 33:8-9
51
kepada firman Allah. Musa menggambarkan pada cerita sejarah untuk mengilustrasikan
berkatnya.
Kita ingat bahwa orang Lewi diberikan tanggung jawab dalam tabernakel Musa.35 Mereka
harus tetap tidak tercemar dalam pelayanan mereka di rumah Tuhan. Bagian pertama dari
perkataan Musa merujuk kepada kitab Imamat. Ada tertulis bahwa para imam seharusnya
jangan ‘dekat kepada semua mayat, bahkan janganlah ia menajiskan diri dengan mayat
ayahnya atau ibunya’.36 Bagian kedua dari berkat Musa atas Lewi datang dari kitab Keluaran.
Ini adalah cerita tentang Musa yang kembali dari interaksinya dengan Allah di Gunung Sinai
dan mendapati umat Israel menyembah lembu emas.37 Kitab Suci mencatat, ‘Maka berdirilah
Musa di pintu gerbang perkemahan itu serta berkata: "Siapa yang memihak kepada TUHAN
datanglah kepadaku!" Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi. Berkatalah ia kepada
mereka: "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Baiklah kamu masing-masing mengikatkan
pedangnya pada pinggangnya dan berjalanlah kian ke mari melalui perkemahan itu dari pintu
gerbang ke pintu gerbang, dan biarlah masing-masing membunuh saudaranya dan temannya
dan tetangganya." Bani Lewi melakukan seperti yang dikatakan Musa dan pada hari itu
tewaslah kira-kira tiga ribu orang dari bangsa itu. Kemudian berkatalah Musa: "Baktikanlah
dirimu mulai hari ini kepada TUHAN, masing-masing dengan membayarkan jiwa anaknya laki-
laki dan saudaranya – yakni supaya kamu diberi berkat pada hari ini."’38 Kita mengamati
dalam cerita ini bahwa suku Lewi tidak goyah dalam ketaatan mereka terhadap firman bahkan
ketika saudara-saudara mereka mati. Mereka diberkati karena hal ini.
Aspek yang ketiga dan terakhir dari perkataan Musa, mengenai ‘acuh tak acuh terhadap anak-
anaknya’, ditarik dari cerita tentang Nadab dan Abihu. Orang-orang ini adalah anak-anak
Harun yang mempersembahkan ‘api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada
mereka.39 Maka keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga
mati di hadapan TUHAN’.40 Kitab Suci mencatat bahwa Harun tetap berdiam diri di hadapan
Allah karena Tuhan berkata, ‘Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku,
dan di muka seluruh bangsa itu akan Kuperlihatkan kemuliaan-Ku’.41 Harun tidak
mencemarkan pengudusannya dengan menunjukkan ‘acuh tak acuh terhadap anak-anaknya’.
Dalam setiap situasi ini, respon-respon emosional dapat menguasai kita. Namun, dalam setiap
kasus, orang-orang tersebut memberikan contoh kesetiaan mereka kepada Tuhan. Komitmen
mereka kepada kerajaan Allah didahulukan sebelum komitmen mereka kepada ayah dan ibu
mereka, saudara-saudara mereka dan anak-anak mereka. Kita dapat membaca cerita ini dan
mungkin heran dengan respon-respon mereka yang kelihatannya tidak berperasaan. Namun,
mereka memahami rahasia untuk menerima berkat Allah. Petrus merangkumkan, ‘Siapa yang
mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap
35 Bil 1:53 36 Im 21:11 37 Kel 32:4
38 Kel 32:26‑29 39 Im 10:1 40 Im 10:2
41 Im 10:3
Top Related