Download - Ekonomi Makro, Globalisasi, Industrialisasi, dan Kawasan Ekonomi

Transcript

Kumpulan Makalah Tentang :

Ekonomi Makro

Globalisasi

Industrialisasi

Kawasan Ekonomi

Industrialisasi: "Apa dan Bagaimana Indonesia" ........................................... 3

Akumulasi Teknologi dan Pertumbuhan Industri : Perbandingan Negara Maju dan Berkembang ....................................................................... 13

Mempersiapkan Kawasan-Kawasan Industri Dengan Berbagai Insentif Dan Dukungan Infrastruktur Pelabuhan dan Jaringan Transportasi Yang Kompetitif Untuk Menarik Investor Asing Menanamkan Modalnya di Indonesia ...................................................................................... 40

Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran ..................................... 54

Negara dan Kebijakan Industri ............................................................. 63

Strategi Industrialisasi dan Proteksionisme ............................................... 71

Khilafah dan Strategi Industrialisasi Dunia Islam ........................................ 78

Industrialisasi dan Wiraswasta: Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’................. 88

Kawasan Ekonomi Khusus ................................................................... 92

Prospek Kawasan Ekonomi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi ........................ 94

Business Environment Analysis : Pemikiran dan Konsep .............................. 114

Sektor Manufaktur Unggulan Indonesia ke Depan ...................................... 133

Modal Asing dengan Kawasan Ekonomi Khusus ......................................... 136

Jangan Kuper, Berpikirlah Cara ASEAN .................................................. 139

Kita Harus Berbenah ....................................................................... 143

10 Dampak Negatif Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) .................................. 146

FTZ: Istilah dan Pengertiannya ........................................................... 158

Tujuh Paradoks SEZ ? ...................................................................... 161

- 2 -

Bukan KEK tapi Industrialisasi Nasional ................................................. 166

KEK: Sebuah Pelajaran Dari Batam ...................................................... 170

Nilai Strategis Batam-Bintan Sebagai Proyek Percontohan Penerapan Zona Ekonomi Khusus di Indonesia ............................................................. 173

KEK, Negara dan Ancaman terhadap Buruh dan Masyarakat Indonesia ............. 180

Menjadi Bangsa Mandiri "Mungkinkah ?" ................................................. 186

Industrialisasi: "Apa dan Bagaimana Indonesia"1

Indonesia telah menuju deindustria-lisasi sebelum dapat mencapai indus-trialisasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami dein-dustrialisasi negatif.

Demikian disampaikan Prof. Dr. Ine Minara Ruky, Guru Besar Fakultas Eko-nomi Universitas Indonesia (UI) dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Forum Keadilan Ekonomi (FKE) yang diselenggarakan Institute for Global Justice-IGJ, beberapa saat lalu (10/12/2008). Diskusi yang bertema-kan “Masalah Industrialisasi, Investasi dan Tenaga Kerja di Indonesia: Sebuah Upaya Mencari Jalan Alternatif”, me-rupakan bagian dari rangkaian pene-litian yang dilakukan IGJ tentang eko-nomi heterodoks.

Secara panjang lebar Prof. Ine Minara menjelaskan industrialisasi mulai dari dasar teori hingga prakteknya di Indo-nesia. Menurutnya, banyak penafsiran yang salah kaprah dalam mendefinisi-kan industrialisasi. Industrialisasi se-ring diartikan dengan membangun in-dustri. Padahal konsep industrialisasi adalah perubahan sosial dan ekono-mi, di mana masyarakat ditransfor-masikan dari tahap atau keadaan pra industri ketika akumulasi modal per-kapita itu rendah, ke tahap indus-trialisasi. Jadi, industrialisasi bukan

1 http://www.globaljust.org/index.php? option=com_content&task=view&id=178&Itemid=136

sekedar transformasi ekonomi melain-kan sebuah transformasi sosial. Peru-bahan sosial dan ekonomi itu sendiri terkait dengan penemuan teknologi, khususnya pembangunan produksi energi skala besar dan metalurgi (besi dan baja). Kemajuan industrialisasi suatu negara bisa diukur dari bagai-mana kontribusi industri besi baja terhadap total industrinya. Struktur industri yang semakin kuat, ditandai dengan tingkat kontribusi industri besi baja yang semakin besar dari kontri-busi industri lainnya terhadap total industrinya.

Industrialisasi di Indonesia

Dalam ilmu ekonomi dijelaskan bahwa industrialisasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menjadi lebih pentingnya sektor industri dalam perekonomian. Cara melihatnya ada-lah dengan memperhatikan struktur produksi di dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang berisikan sumbangan sektor-sektor ekonomi dalam pereko-nomian, termasuk di dalamnya sum-bangan sektor industri.

Jika diamati kondisi ekonomi Indone-sia, dapat dilihat bahwa sumbangan sektor industri terhadap PDB cukup besar dan menunjukkan peningkatan dalam 27 tahun terakhir. Kondisi ter-sebut menjelaskan adanya perubahan struktur ekonomi di mana sumbangan sektor industri semakin besar dalam pembentukan PDB sementara sum-bangan sektor pertanian semakin kecil. Jika dilihat dari satu aspek itu saja maka dapat disimpulkan bahwa

- 4 -

Indonesia tengah mengalami indus-trialisasi. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup, lebih jauh lagi harus diamati bagaimana sesungguhnya keadaan sektor industri dan keadaan sektor lainnya, terutama pertanian.

Dalam suatu negara industrialisasi dapat dikatakan berhasil jika di da-lam masyarakat terjadi transformasi dari masyarakat pertanian ke masya-

rakat industri. Selama proses indus-trialisasi, pendapatan perkapita ma-syarakat naik dan produktivitas me-ningkat, sehingga, untuk mengamati proses industrialisasi kita tidak bisa melihat dari kontribusi sektor perta-nian terhadap perekonomian saja, akan tetapi juga pendapatan perka-pita dan produktivitas yang ada, apa-kah mengalami pertambahan atau tidak.

Selain itu, ciri lain proses industrialisasi adalah : adanya perpindahan penduduk dari

pedesaan ke perkotaan, adanya pergeseran aktivitas dari

produksi rumah tangga ke pabrik dan

meningkatnya penggunaan alat-alat bermesin dalam pertanian yang me-nyebabkan aktivitas pertanian me-ningkat dan

ketersediaan pangan bagi masyara-kat perkotaan.

Industrialisasi yang berhasil tidak da-pat dilihat dari sektor ekonomi saja, atau kontribusi sektor pertanian ter-hadap PDB atau dari pendapatan per-kapita atau dari produktivitas semata. Akan tetapi juga bahwa di dalam

masyarakat terjadi perubahan filosof atau perubahan sikap yang berbeda dalam transaksi. Dalam suatu negara, norma-norma tradisional yang masih kuat dapat menghalangi transaksi yang efsien. Misalnya kalau masyarakat ma-sih membatasi kemampuan perempuan untuk bekerja di pabrik, atau bentuk-bentuk diskriminasi lain terhadap ke-lompok tertentu, maka laju industria-lisasi akan melambat.

Mengutip pendapat dari tiga peneliti Universitas Berkeley, Edward Miguel, Paul Gertler, David I. Levine, June 2002. Industrialisasi di Indonesia dimulai dari Repelita I (pertama) sampai dengan Repelita V (lima). Ekonomi Indonesia dirancang dibangun melalui industrialisasi. Sampai dengan

- 5 -

tahun 1990-an bahwa Indonesia men-jalankan suatu proses industrialisasi itu diakui oleh dunia internasional. Ketiga peneliti dari Berkeley menyim-pulkan bahwa industrialisasi di Indone-sia dirancang dengan ‘setting’ ideologi bahwa ‘pemerintah adalah pendorong kelompok-kelompok masyarakat’ dan ‘gotong royong’.

Akan tetapi, menurut ketiga peneliti tersebut, tindakan kolektif atau go-tong royong, tidak mendorong pertum-buhan industri. Dalam prosesnya jus-tru tindakan individulah yang lebih dominan. Sementara industrialisasi di daerah menjurus kepada pengurang-an modal sosial. Sifat kelompok yang saling menolong, rasa kasih sayang di dalam masyarakat, yang merupakan modal sosial di dalam suatu negara, justru tergerus. Mereka juga menun-jukkan bahwa industrialisasi tersebut bersifat merusak kepada masyarakat, terutama terhadap masyarakat pede-saan. Sementara industrialisasi di dae-rah menjurus ke pengurangan dalam modal sosial.

Statement tersebut menambah kredi-bilitas atas pendapat bahwa indus-trialisasi kadang-kadang dapat ber-sifat merusak bagi masyarakat (so-cially destructive), dan ada kemung-kinan bahwa akibat samping dari in-dustrialisasi ini di masyarakat pede-saan telah meratakan jalan menuju ke kerusuhan sosial/masyarakat (so-cial unrest) di Indonesia. Pengikisan kekuatan-kekuatan yang mempersa-tukan (co-hesive forces), seperti

gotong royong, yang sebelumnya ber-hasil “mempersatukan penduduk de-sa”, telah mengakibatkan kejahatan, kekerasan, dan kerusuhan di antara pekerja-pekerja yang dipecat (di-PHK-kan), yang kembali ke desa-desa me-reka di pedalaman Pulau Jawa selama dan sesudah Krisis Keuangan Asia ta-hun 1998 dan bagaimanapun hal ini menyebabkan instabilitas sosial di Indonesia (Breman, 2001).

Ine Minara mengingatkan bahwa in-dustrialisasi yang berjalan dengan baik dapat memberi stimulasi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kalau ki-ta lihat kondisi sekarang, meningkat-nya peran sektor industri dan sektor lain dalam PDB diikuti dengan menu-runnya peran, kualitas maupun pro-duktivitas sektor pertanian. Maka industrialisasi tidak dapat dikatakan berhasil ketika kegagalan justru ter-gantung akan menyebabkan pasokan pangan bagi penduduk kota terjadi karena hal tersebut. Jika produktivi-tas pangan rendah dan kebutuhan pangan sendiri tidak dapat terpenuhi, dan pada impor, jelas hal ini pertum-buhan rendah atau pertumbuhan tidak berkualitas. Apabila suatu negara mengimpor kebutuhan pangannya dalam memenuhi kebutuhan masya-rakat, maka pendapatan perkapita yang meningkat di negara tersebut akibat dari industrialisasi, maka akan terjadi multiplier effect di luar, bu-kan di wilayah perekonomian negara tersebut, sehingga peningkatan pen-dapatan dan produktivitas justru digu-nakan untuk membiayai impor perta-

- 6 -

nian.

Industrialisasi yang berhasil mensya-ratkan adanya kenaikan yang signifi-kan dari produktivitas pertanian. Sa-tu kesalahan besar dari proses indus-trialisasi di Indonesia adalah bahwa sektor pertanian ditinggalkan yang menyebabkan produktivitas sektor pertanian rendah. Secara konsep me-mang disebutkan bahwa pembangun-an industri ditopang oleh pemba-ngunan pertanian. Meskipun pernah mencapai swasembada beras akan tetapi ekses dari kebijakan dalam rangka mencapai swasembada beras tersebut mengorbankan banyak hal dan sektor pertanian tumbuh tidak ko-koh dan produksi pertanian tidak cu-kup untuk memasok kebutuhan pa-ngan. Selain itu, hasil pertanian lain di luar beras yang dibutuhkan oleh sektor industri masih diimpor, seper-ti kedelai, jagung dan lain sebagainya. Di sisi lain hasil pertanian Indonesia dalam bentuk komoditas, seperti CPO, kakau, masih diekspor dalam bentuk yang mentah atau tidak diolah. Dalam sisi industrialisasi hal tersebut adalah kemunduran, sebab industrialisasi yang maju mensyaratkan ekspor pangan olahan.

Keadaan yang dialami Indonesia saat ini mirip dengan keadaan yang dialami pada masa VOC. Perusahaan besar Belanda tersebut sangat kaya dengan menjual komoditas rempah-rempah dan hasil pertanian lainnya. Kenaikan harga komoditas sebelum krisis global menyebabkan muncul kesimpulan

bahwa sektor pertanian meningkat, terutama ekspor sektor pertanian. Akan tetapi dari sisi industrialisasi hal ini adalah sebuah kemunduran.

Prasyarat di dalam industrialisasi adalah : produktivitas di sektor pertanian

tinggi, pasar yang berfungsi dan pemerintahan yang stabil.

Hal ini dikarenakan industrialisasi ada-lah pembangunan ekonomi yang dite-kankan pada pembangunan industri yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dan disertai dengan adanya kebijakan yang konsisten di setiap tahapannya, untuk mencapai tujuan yang lebih besar di dalam jangka panjang.

Kalau akhirnya industrialisasi berha-sil maka suatu negara akan memiliki ketahanan yang kuat. Jika hal ini dapat dicapai maka suatu negara dapat masuk ke dalam tahapan lepas landas. Meskipun banyak negara, seperti Inggris, tahapan industrialisasi tidak melewati tahapan lepas landas, akan tetapi di sana ada kemajuan di dalam industrialisasi yang mapan dan berjalan secara terus menerus. Ketika industrinya sudah mapan ia dapat beralih ke sektor lain. Ketika sektor lain bertumbuh dan dalam PDB peran sektor industri menurun sementara peran sektor lain meningkat, dapat dikatakan terjadi deindustrialsasi. Akan tetapi dalam pengertian deindustrialisasi positif.

Dapat disimpulkan bahwa industria-

- 7 -

lisasi adalah sebuah proses jangka panjang. Proses tersebut tidak bisa dilakukan secara melompat. Suatu kesalahan besar dalam industrialisasi adalah ketika suatu pemerintahan over optimisme, yang melompat jauh membangun industri yang sebenar-nya ia tidak dapat mendukung indus-tri tersebut secara ekonomi dan so-sial, seperti pendidikan, keterampil-an, nilai-nilai yang berkembang, filo-sof, dsb. Kalau industri semacam itu dipaksa dibangun dia harus terus-menerus dilindungi dan tidak bisa menjadi kuat. Contohnya ketika Indonesia dalam menjalankan tahapan Repelita ada masa di mana Indonesia melompat dengan membangun indus-tri kapal terbang misalnya. Padahal saat itu kita tidak cukup kuat untuk mendukungnya.

Industrialisasi adalah sebuah proses panjang dan bertahap dan di tahap awalnya, tahap utamanya adalah ti-dak boleh meninggalkan sektor per-tanian. “Suatu kesalahan besar da-lam industrialisasi adalah ketika sua-tu pemerintahan over optimisme, yang melompat jauh membangun in-dustri yang sebenarnya ia tidak da-pat mendukung industri tersebut se-cara ekonomi dan sosial, seperti pendidikan, keterampilan, nilai-nilai yang berkembang, filosofi dan lain sebagainya.”

Kalau ini dilakukan maka akan terjadi proses industrialisasi yang semu. Kalau ini dilakukan maka hasilnya adalah tidak akan menghasilkan perekono-

mian yang kokoh, stabilitas pemerin-tahan yang tidak kuat dan lingkungan ekonomi makro yang tidak mendukung strategi jangka panjang.

Indonesia Keluar dari Track

Salah satu pendekatan teoritik menya-takan industrialisasi dapat dilakukan melalui pertumbuhan catch-up. Ber-dasarkan teori ini, negara yang mela-kukan industrialisasi belakangan, se-perti Negara-negara Asia Timur, Asean, dapat meniru industrialisasi yang terjadi di negara maju, seperti Indonesia dengan meniru teknologi di negara-negara industri maju, me-mungkinkan negara ini melakukan pembangunan ekonomi dan mengejar ketertinggalannya dengan negara maju.

Tetapi mengapa negara-negara yang belakangan melakukan industrialisasi ada yang mengalami kegagalan, seperti Indonesia ? Seorang peneliti Rusia Alexander Gerschenkron menyatakan bahwa ada ciri-ciri negara yang melakukan industrialisasi belakangan, 1. Pertumbuhan pesat dan hebat

(ingat, Indonesia pernah mencapai angka pertumbuhan 40 persen!),

2. Tekanannya pada barang-barang antara bukan barang-barang konsumsi,

3. Adanya penekanan pada pabrik-pabrik skala besar,

4. Menggantungkan pada teknologi pinjaman dan mungkin bantuan keuangan dari luar negeri,

- 8 -

5. Pentingnya pemerintah sebagai promotor pembangunan industri,

6. Belum ada ideologi yang dapat mendukung industrialisasi dan

7. Peranan yang pasif dari sektor pertanian.

Korea ketika dia melakukan proses industrialisasi dan mulai meninggalkan sektor pertanian sadar dan balik me-ngelola sektor pertanian dan kembali pada process track yaitu proses indus-trialisasi dengan tetap memperkuat sektor pertanian. Taiwan sangat ber-hasil dari awal. Ia tidak mengalami kesulitan dan proses transformasi dan pengembangan sektor pertanian ter-kait land reform sebagai prasyarat.

Di negara-negara yang melakukan industrialisasi belakangan dan keluar dari rel, seperti Indonesia sejak tahun 1990-an, tekanannya lebih pada libe-ralisasi perdagangan dan kebijakan industri yang berorientasi pada kebi-jakan perdagangan bukan kebijakan industri. Hal ini dikarenakan prasyarat kondisi sosialnya tidak terpenuhi. Pa-dahal syarat untuk mengejar keter-tinggalan tersebut membutuhkan ke-mampuan sosial yang cukup, di mana masyarakatnya harus cukup maju un-tuk menyesuaikan teknologi dari nega-ra-negara maju. Selain itu potensi yang ada di dalam masyarakatnya ti-dak dapat dimanfaatkan. Dengan de-mikian di dalam industrialiasi, inves-tasi di dalam SDM merupakan bagian yang sangat penting, apalagi dapat menciptakan link antara pendidikan dan industri serta ada perubahan

filosof serta persepsi yang mendukung pembangunan.

Prasyarat industrialisasi yang belum cukup menyebabkan kekuatan catching-up di negara-negara terbe-lakang, seperti Indonesia tidak tumbuh dan berjalan. Bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya, yaitu suatu gejala de-industrialisasi. De-industrialisasi yang terjadi tidak hanya ditandai dengan tutupnya be-berapa perusahaan atau PHK yang sporadis. De-industrialisasi ditandai dengan semakin kurang pentingnya industri dalam ekonomi, di mana kontribusi sektor industri dalam ekonomi dalam jangka panjang menurun dan adanya sifat-sifat yang menetap dalam jangka panjang. Misalnya di dalam beberapa tahun secara terus-menerus terjadi penurunan kontribusi industri terhadap PDB.

Di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut mulai dari tahun 2004 sampai 2006, keadaan ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6,7 persen, akan tetapi per-tumbuhan industri cenderung menurun dan bersifat kontinu di bawah 6 per-sen. Dan pada saat krisis kontraksi sektor industri sangat tinggi 10,32 persen. Sementara tahun 2002-2003 meningkat dan kembali menurun pada tahun berikutnya. Selain itu terjadi penyerapan tenaga kerja yang menu-run. Selama tahun 1980 – 2007 propor-si tenaga kerja hanya pada tahun tertentu saja dapat mengkontribusikan

- 9 -

di bawah 13 persen terhadap total pe-nyerapan tenaga kerja dan dari tahun ke tahun tidak terjadi peningkatan ke-mampuan dari sektor industri di selu-ruh sub-sektornya terhadap penyerap-an tenaga kerja. Sangat terlihat bah-wa industri yang ada hanyalah indus-tri padat modal dengan kemampuan menyerap tenaga kerja yang relatif kecil.

Selain itu, elastisitas PDB terhadap pe-nyerapan tenaga kerja menunjukkan adanya pertumbuhan yang tidak ber-kualitas. Elastisitas menghitung sebe-rapa besar peningkatan persentase da-lam PDB terhadap peningkatan penye-rapan tenaga kerja.

Sebelum krisis melanda Indonesia, setiap 1 persen pertumbuhan PDB menyebabkan perubahan 0,43 persen dalam penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi setelah krisis ekonomi, setiap 1 persen peningkatan PDB hanya meng-hasilkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,2 persen. Ini berarti bahwa elastisitas PDB terhadap tenaga kerja semakin kecil yang mengindikasikan bahwa tehnologi yang digunakan da-lam proses produksi industri menying-kirkan tenaga kerja, sehingga kita ha-rus berhati-hati terhadap statement bahwa untuk menciptakan tenaga ker-ja yang lebih banyak dalam mengatasi pengangguran dapat dilakukan dengan cara memacu pertumbuhan ekonomi. Karena kenyataan menunjukkan bah-wa penyerapan tenaga kerja di Indo-nesia semakin tidak terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi.

Adanya pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis menyebabkan peng-angguran menurun. Jika teknologi produksi dalam industri tidak berubah maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat diharapkan dapat menyerap pengangguran yang besar.

De-Industrialisasi di Indonesia

Saat ini, secara umum Indonesia ti-dak menunjukkan tanda-tanda mela-kukan industrialiasi. Sektor industri terbilang gagal dalam mendorong per-tumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya hasil pembangunan ekonomi dan sosial. Ketika reformasi terjadi, Indonesia keluar dari rel industrialisasi dan proses industrialisasi berhenti. Dapat disimpulkan bahwa industrialisiasi di Indonesia belum berhasil sementara pada saat yang sama Indonesia telah mengalami de-industrialisasi. Dan deindustrialisasi di Indonesia adalah de-industrialisasi yang negatif. Di mana penurunan dari kontribusi sektor industri dan pengangguran yang tinggi.

Deindustrialisasi bisa merupakan deindustrialisasi yang positif dan bisa juga merupakan deindustrialisasi yang negatif. Deindustrialisasi dapat merupakan proses dari industrialisasi.

Jika kontribusi industri manufaktur kepada total ’employment’ dan ‘output’ dalam keadaan menurun, tetapi tidak disertai dengan : jatuhnya tingkat ‘employment’

atau ‘ouput’ dari manufacturing yang

- 10 -

dikorelasikan dengan produktivitas yang tinggi,

pertumbuhan, dan tidak terjadi pengangguran, maka disebut deindustrialisasi yang positif.

Sementara deindustrialisasi negatif dapat juga ditandai dengan terjadinya : perpindahan tenaga kerja seba-

gian atau absolut keluar dari ma-nufacturing dan masuk ke perta-nian,

pergeseran dari tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal.

Mengutip pendapat Lewis, mestinya ketika kita mau melakukan industria-lisasi harus maka harus ada : peningkatan produksi industriali-

sasi atas pekerja dalam sektor pangan,

memperbaiki tingkat upah dan pendapatan dan

memperluas pasar untuk industri dan

memperluas jalan untuk industria-lisasi.

Karena industrialisasi tidak boleh meninggalkan sektor pertanian. Selain itu industri yang di dalam negeri dapat memiliki pasar di dalam negeri sebagai akibat dari adanya pendapatan yang semakin tinggi dari pekerja sektor pertanian.

Gejala deindustrialisasi di Indonesia ditandai dengan :

1. Jumlah penyerapan tenaga kerja. Sektor industri paling sedikit

menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor-sektor lain. Antara tahun 1980 hingga 2007, tenaga kerja Indonesia berusia di atas 10 tahun yang terserap oleh sektor ini, tidak lebih dari 13 juta orang,

2. Laju pertumbuhan yang naik turun tidak berpola sejak 1980. Pencapaian tertinggi terjadi di tahun 2004 sebesar 6,38 persen, tapi tiga tahun berturut-turut se-telah itu, angka pertumbuhannya terus merosot,

3. Sejak 2005, nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Analisis data sektoral di empat Tabel Input-Output Indone-sia yang dilakukan Hayashi (2005), menunjukkan bahwa proporsi output industri pengolahan hasil pertanian (termasuk perikanan dan hasil hutan) dalam total output di antara tahun 1995-2000, semakin kecil,

4. Komposisi ekspor non-migas Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 juga menunjukkan kemunduran sektor industri. Jumlah ekspor hasil industri pengolahan yang berorientasi ekspor, semakin kecil. “Indonesia justru menunjukkan ciri-ciri negara sedang dalam proses deindustrialisasi negatif sebelum berhasil mencapai industrialisasi”.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin menurun, disertai tingkat pengangguran yang tinggi memper-

- 11 -

kuat kesimpulan ini. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Timur, menurut Hayashi (2005), Industrialisa-si Indonesia terlihat bergerak mun-dur.

Selain itu, ukuran keberhasilan industrialisasi lainnya yaitu ukuran sosial ekonomi, menunjukkan laju pertumbuhan PDB tidak mengukur kualitas hidup yang seharusnya menjadi lebih baik jika proses indus-trialisasi berhasil. Indeks yang lebih baik untuk melihat hasil pembangunan dan kesejahteraan suatu bangsa ada-lah Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) atau Human Develop-ment Index (HDI). Jika dilihat dari HDI, Indonesia juga belum masuk kategori negara yang berhasil, dan secara rata-rata masih berada di bawah negara anggota ASEAN.

Re-industrialisasi oleh Negara Sebagai Solusi

Memperhatikan keadaan Indonesia saat ini. Prof. Ine Minara menyatakan bahwa re-industrialisasi adalah solu-si, untuk keluar dari low equlibrium trap atau tingkat keseimbangan da-lam tingkat pertumbuhan yang ren-dah. Pembangunan industri adalah solusi bagi masalah ekonomi dan so-sial. Pembangunan industri sebagai agen pembangunan. Sebagai agen pembangunan proses industrialisasi akan diiringi perubahan dan peru-bahan tersebut memberi manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ditekankan bahwa investasi dalam

industrialisasi bukan hanya memba-ngun pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik dan sektor-sektor yang dibangun harus saling memperkuat. Tahapan pemba-ngunannya jelas dan terukur, serta harus disertai kebijakan yang konsis-ten. Selain itu, keputusan terkait de-ngan : cara apa diproduksi, di mana lokasinya, dan bagaimana distribusi hasilnya, tidak sepenuhnya diserahkan ke pasar, namun, tidak juga berarti semua investasi menjadi di bawah kendali pemerintah. Ini bukan pilihan satu atau yang lain.

Re-industrialisasi, menurut Ine Minara, harus dikoordinasikan melalui peran negara dan memerlukan adanya kendali dari pemerintah pusat, sehingga dalam konteks desentralisasi, yang diperlukan adalah mengembangkan saluran komunikasi di area regional, di tingkat propinsi, kota, dan kabupaten. Yang dibutuhkan bukan koordinasi terpusat di level pemerintahan, tetapi kolaborasi yang strategis antara pemerintah di semua tingkatan dan semua sektor.

Peran negara adalah sesuatu yang ber-beda dengan menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar. Pasar akan menjadi jebakan bagi industrialisasi jika tidak ada pengaturan. Hal ini di-sebabkan pasar tidak dapat meregulasi dirinya sendiri, sehingga intervensi pe-merintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Dihilangkannya nega-

- 12 -

ra sebagai aktor yang eksplisit adalah kesalahan yang fundamental dalam argumen ahli teori pembangunan.

* Disarikan oleh Salamuddin Daeng, Program Officer Institute for Global Justice - IGJ

Akumulasi Teknologi dan Pertumbuhan Industri :

Perbandingan Negara Maju dan Berkembang

Pendahuluan

Beberapa bidang analisis ekonomi pa-da tahun 80-an kembali memberikan perhatian akan pentingnya pembela-jaran teknologi dan perubahan teknik dalam jangka panjang. Bahkan isu ini menjadi ciri utama teori baru tentang perdagangan dan pertumbuhan. Pem-belajaran teknologi dan perubahan teknik telah menjadi salah satu faktor utama yang menjelaskan perbedaan pertumbuhan dan kinerja perdagangan diantara negara maju serta menjadi sandaran setiap analisis yang mempe-lajari mengapa negara yang kondisi awal pendapatannya berbeda seiring dengan waktu menjadi menyatu dan menyebar.

Tulisan ini akan mendiskusikan ten-tang aktivitas akumulasi kemampuan teknologi di negara maju sebagai pan-duan untuk memahami situasi kontem-porer di negara berkembang. Karena proses dasar yang terjadi dalam pem-belajaran teknologi dan perubahan teknik berbeda secara fundamental antara sektor pertanian dan industri, maka bab ini akan terfokus pada sek-tor industri. Di sektor inilah yang mungkin paling banyak terjadi kekece-waan terhadap hasil yang didapat da-lam rangka mengejar ketertinggalan, paling tidak relatif terhadap harapan yang telah ada sebelumnya.

Bahkan pada awal periode tersebut, telah ada pemahaman akan kesulitan yang dihadapi dalam mentransfer teknologi pertanian dari negara maju ke negara berkembang. Namun demikian karena karakteristik sektor industri yang tidak terlalu spesifik terhadap lokasi maka diasumsikan negara berkembang lebih mempunyai kesempatan di sektor ini dengan mengambil keuntungan dari difusi teknologi tinggi yang produktif yang telah tersedia dari negara maju. Model yang mendasari argumentasi ini mengambil posisi yang jelas dalam membedakan antara inovasi dan difusi dan diyakini negara berkembang dapat memanfaatkan kesempatan difusi ini tanpa harus mengeluarkan biaya kegiatan inovasi. Akibatnya, ada harapan negara berkembang mencapai pertumbuhan yang tinggi dalam hal produktivitas tenaga kerja dan mungkin pula faktor produktivitas total apabila investasi dalam modal fisik dilakukan secara memadai.

Bell dan Pavitt berpendapat bahwa harapan awal yang optimis akan ber-hasilnya difusi teknologi ke negara berkembang ini merupakan kekeliruan dan semakin nampak seiring dengan berubahnya karakteristik teknologi di industri. Di negara yang perekonomi-annya tergantung dari meminjam tek-nologi dari luar, akumulasi teknologi disalahartikan dengan mengakumulasi teknologi yang terkandung dalam ba-rang modal. Bahkan proses perubahan teknik di industri yang dinamis di ne-gara berkembang tidaklah sama de-

- 14 -

ngan proses mengadopsi teknologi yang digambarkan dalam model ino-vasi dan difusi yang konvensional. Konsekuensinya, mereka berdua ber-pendapat kebijakan teknologi yang didasarkan pada persepsi tersebut akan lebih banyak menghambat daripada meningkatkan kemampuan teknologi negara berkembang dalam mengejar ketertinggalannya.

Dalam menggambarkan realitas proses ini, kita perlu melihat permasalahan-nya secara mendasar di tingkat mikro dan mengambil pengalaman empiris yang telah ada. Sementara itu karak-teristik proses ini telah membawa be-berapa akademisi untuk mengem-bangkan teori evolusi yang menekan-kan pentingnya dinamika persaingan melalui aktivitas imitasi dan inovasi yang terus-menerus, yang penuh de-ngan ketidaksetimbangan, ketidakpas-tian, pembelajaran, disertai perbeda-an kemampuan dan perilaku yang ada antarperusahaan dan negara (Nelson & Winter, 1982). Dengan mengumpulkan bukti empiris tentang proses yang terjadi di negara maju, berkembang serta negara sosialis, karakteristik umum dan yang berbeda dalam proses akumulasi kemampuan teknologi dan perubahan teknik dapat diketahui.

Kerangka Analisis

Proses perubahan teknik di industri secara konvensional dipahami meli-batkan dua aktivitas. Pertama, mela-kukan pengembangan dan komersiali-sasi untuk pertama kali. Kedua, menyebarkan aplikasinya di seluruh

sektor ekonomi yang disebut sebagai difusi. Aktivitas yang pertama diasum-sikan terjadi sebagian besar di negara maju dan terjadi di negara berkem-bang ketika kemampuan mereka mulai berada di tingkat teknologi maju, seperti Korea dan Taiwan yang ditun-jukkan oleh data paten yang tercatat di negara maju. Sebelum tahap terse-but dicapai, negara berkembang dia-sumsikan berada pada aktivitas difusi teknologi dan karena aktivitas terse-but dipandang hanya berkaitan dengan pemilihan dan adopsi teknologi, maka inovasi yang kreatif dianggap tidak relevan. Dari perspektif ini maka aku-mulasi teknologi di negara berkem-bang dipandang hanya melibatkan tek-nologi yang terkandung dalam barang modal yang digunakan untuk mengha-silkan produk tertentu dengan teknik tertentu pada fungsi produksi yang efisien.

Sejatinya, difusi melibatkan lebih dari sekadar akuisisi barang modal dan desain produk dan asimilasi pengeta-huan cara pengoperasiannya. Difusi sebenarnya melibatkan perubahan teknik yang bertahap dan terus-menerus di mana teknologi yang ber-sumber dari proses inovasi, diadapta-sikan dengan kondisi penggunaan yang berbeda dari spesifikasi awal serta ditingkatkan untuk mencapai standar kinerja yang lebih tinggi dari sebelum-nya. Fakta ini pada dasarnya telah di-catat dalam observasi yang dilakukan oleh Rosenberg (1972, 1976) dan Metcalf (1988).

- 15 -

Yang kurang mendapat perhatian adalah bahwa aktivitas inovasi yang kreatif ini sebenarnya melibatkan dua fase dalam proses aplikasi difusi teknologi. Pertama, karakteristik dasar teknologi awal dapat ditingkatkan dan diadaptasi yang disesuaikan dengan kondisi sistem produksi yang baru. Proses yang sebenarnya kompleks dan kreatif ini tidak tertangkap dalam istilah yang sederhana, seperti adopsi dan pilihan teknologi. Pentingnya proses ini telah ditekankan oleh Voss (1988) yang mengambil kasus adopsi teknologi manufaktur di negara maju dan Amsalem (1983) dalam adopsi teknologi tekstil dan kertas di negara berkembang. Kedua, setelah teknologi baru diaplikasikan pada sistem produksi, perubahan teknik terjadi sepanjang seluruh waktu operasi fasilitas produksi tersebut. Proses ini meliputi adaptasi dan modifikasi yang meningkatkan kinerja penggunaan teknologi dan mengantisipasi perubahan dalam input dan pasar. Analisis tentang kurva pembelajaran telah menunjukkan keuntungan ekonomi yang signifikan dari aktivitas inovasi yang kreatif tersebut, namun kurang menonjolkan proses internal yang sebenranya terjadi, yang sejatinya dihasilkan oleh perubahan teknik yang kreatif, seperti yang digambarkan oleh penurunan biaya di Pabrik Du Pont setelah mengakuisisi teknologi dari Eropa (Hollander, 1965) dan kasus peningkatan yang terus-menerus di perusahaan Jepang (Imai,

1986). Sementara untuk kasus di negara berkembang, dapat dilihat pada kasus yang dibahas oleh Dahlman dan Fonseca (1987) untuk industri baja di Brazil serta Enos dan Park (1988) untuk industri petrokimia di Korea. Sementara dari dimensi pentingnya sisi organisasi dalam proses perubahan teknik dapat dilihat pada Hoffman (1989), Meyer-Stamer dkk (1991) dan Mody (1992).

Dalam proses di atas, sangat penting untuk ditekankan bahwa pengguna dan pengadopsi teknologi memegang peran yang signifikan dalam dua fase peru-bahan teknik tersebut. Mengadaptasi teknologi yang diimpor terhadap kon-disi lokal mengharuskan adanya sum-ber input dari pihak pemasok namun melibatkan peran yang aktif dari sisi pengguna baik secara independen maupun interaksi antara kedua belah pihak. Pihak pengguna dapat ikut me-nentukan spesifikasi dan desain dari barang modal yang mereka butuhkan, sehingga dalam perusahaan yang dina-mika teknologinya tinggi, pengguna biasanya mempunyai peran yang aktif yang menyebabkan mereka pada dasarnya adalah inovator yang kreatif.

Di negara maju, perusahaan biasanya, meskipun dengan tingkat yang berbe-da-beda, telah memiliki kemampuan menggunakan teknologi secara kreatif dan aktif. Sementara di negara ber-kembang, kemampuan ini baru ada setelah adanya akuisisi pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang lebih dari sekedar mengoperasikan tekno-

- 16 -

logi impor tersebut. Mereka harus mengakuisisi pengetahuan yang lebih mendalam, sehingga mampu mengelo-la proses perubahan teknik, seperti mengaplikasikan teknologi baru dalam sistem produksi yang telah ada, mela-kukan investasi baru dalam aplikasi yang lain, memodifikasi input dan output produksi untuk memenuhi permintaan pasar yang berubah. Mereka juga dapat mengakuisisi teknologi dengan mengakuisisi perusahaan lain yang memungkinkan mereka memperkenalkan perubahan teknik yang lebih substansial dan radikal. Ketika perusahaan sudah demikian maju dari sisi kemampuan teknologi, maka ia dapat melakukan perubahan teknik yang sering kita sebut sebagai inovasi, sehingga meskipun negara berkembang menggantungkan diri pada teknologi yang berasal dari luar, terdapat berbagai tingkat manfaat dan keuntungan yang didapat dari mengoperasikan teknologi tersebut. Secara khusus intensitas mereka dalam mengakumulasi kemampuan dalam mengelola perubahan teknik akan menjadi variabel yang menentukan kinerja. Variabel lainnya yang juga penting adalah efi-siensi investasi kapasitas produksi, laju pertumbuhan produktivitas faktor total dalam perusahaan dan industri serta tingkat daya saing spesifikasi dan desain produknya. Dalam jangka panjang, intensitas usaha tersebut di atas akan mem-pengaruhi variabel yang lain, seperti kekuatan hubungan

ke belakang dan ke depan dengan pemasok dan pelanggan, kemudahan perubahan struktural ke produksi yang intensitas teknologinya lebih tinggi dan kemampuan untuk masuk ke pasar produk yang baru.

Dari penjelasan di atas, maka konsep konvensional yang menyatakan aktivitas inovasi mendahului aktivitas difusi menjadi tidak berguna dalam menjelaskan dinamika industrialisasi di negara berkembang. Berbagai alternatif definisi telah diusulkan, seperti penguasaan teknologi, kemampuan teknologi, kapasitas teknologi, usaha teknologi, dan pembelajaran teknologi (Teitel, 1982; Katz, 1984; Bell dkk, 1984; Dahlman dkk, 1987; Enos, 1991; Zahlan, 1991; Lall, 1987, 1990).

Pendekatan Bell dan Pavitt perlu mendapat perhatian di sini. Mereka membedakan antara dua stok sumber daya yaitu kapasitas produksi dan kemampuan teknologi. Yang pertama berkaitan dengan sumber daya yang diperlukan untuk memproduksi produk pada tingkat efisiensi tertentu dan inputi tertentu, seperti tenaga kerja, barang modal, spesifikasi produk dan input dan sistem organisasi yang digu-nakan. Sementara yang kedua berhu-bungan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan dan mengelola perubahan teknik, seperti keahlian, pengetahuan dan pengalaman serta struktur dan hubungan kelembagaan. Bell dan Pavitt mene-kankan untuk membedakan keduanya dalam rangka

- 17 -

untuk memahami dinamika industrialisasi dan sumber daya yang diperlukan untuk membangkitkan dan mengelola dinamika tersebut.

Dalam Gambar 1 Bell dan Pavitt juga mengidentifikasi dua proses yaitu perubahan teknik dan pembelajaran atau akumulasi teknologi. Yang pertama berkaitan dengan proses di mana teknologi baru diadopsikan pada kapasitas produksi perusahaan, se-mentara yang kedua berkaitan dengan proses di mana sumber daya dan ke-mampuan mengelola perubahan teknik ditingkatkan dan diperkuat. Proses akumulasi dan pembelajaran inilah yang harus menjadi perhatian. Peru-bahan teknik yang terjadi di perusa-haan dapat mengambil dua bentuk yaitu adopsi teknologi baru pada investasi baru atau ekspansi yang substansial dari kapasitas produksi yang sudah ada dan yang kedua, mengadopsi secara inkremental inovasi kreatif dari teknologi yang digunakan tersebut.

Ada dua alasan mendasar mengapa perhatian harus terfokus terhadap kemampuan teknologi baik secara analitis maupun kebijakan. Pertama, sumber daya tak nampak yang diperlukan dalam menghasilkan dan mengelola perubahan teknik tidak lagi dapat dipandang marjinal dalam konteks sumber daya yang urgen bagi peru-sahaan. Sumber daya ini menjadi signifikan secara kuantitatif yang termanifestasi dalam sistem produksi yang intensitas pengetahuan dan

perubahan teknologi yang semakin meningkat. Di negara maju, banyak perusahaan yang nilai investasinya dalam penelitian dan pengembangan lebih besar dari nilai investasi dalam barang modal. Pada saat yang sama, perusahaan juga meningkatkan investasinya dalam pengembangan sumber daya manusia dari aspek keahlian dan pengetahuan serta mekanisme kelembagaan dalam perusahaan untuk mendorongnya. Kedua, adanya pergeseran kualitatif dalam sumber daya pengetahuan yang digunakan oleh peru-sahaan industri dengan munculnya pembedaan antara keahlian dan pengetahuan yang digunakan untuk mengoperasikan sistem produksi dan untuk melakukan peru-bahan teknik terhadapnya. Kesenjangan antara keduanya menyebabkan sumber daya untuk perubahan teknik tidak dapat diperoleh hanya dengan mengandalkan pengalaman yang didapat dari mengoperasikan sistem produksi yang telah ada. Konsekuensinya investasi yang secara eksplisit ditujukan untuk mengakumulasi kemampuan teknologi yang diperlukan dalam mengelola perubahan teknik menjadi basis yang esensial dalam rangka membangun sumber daya manusia dalam perusahaan. Meskipun investasi dalam mengakuisisi keahlian dan pengetahuan operasional adalah kondisi dasar yang dibutuhkan, investasi dalam keahlian dan pengetahuan untuk mengelola perubahan teknik bersifat tambahan

- 18 -

dan pilihan. Dan terdapat banyak alasan untuk mengasumsikan perusahaan kurang berinvestasi dalam bidang ini. Oleh karenanya diperlukan peran intervensi kebijakan yang bentuknya berbeda dari yang selama ini direkomendasikan.

Pengalaman Akumulasi Teknologi di Negara Maju

1. Karakteristik Kunci Akumulasi Teknologi

a. Input-input Sumber Daya

Sumber daya yang dibutuhkan untuk mengakumulasi kemampuan teknologi lebih bervariasi dari yang disarankan oleh model proses inovasi yang seder-hana. Riset formal hampir tidak per-nah menjadi aktivitasnya yang utama dalam mengelola perubahan teknik. Hal ini karena sifat mendasar yang di-miliki oleh teknologi adalah komplek-sitas yang diwakili oleh banyak indi-kator kinerja serta berbagai keterba-tasan yang dimilikinya, yang tidak mungkin secara akurat diprediksi oleh teori dan model yang sederhana atau bahkan terspesifikasi dalam cetak biru dan petunjuk operasionalnya. Oleh karenanya usaha yang bersifat uji coba dan pengalaman yang diperoleh men-jadi bagian penting usaha meningkat-kan kemampuan teknologi, sehingga pengeluaran untuk mendesain, mem-bangun dan penguji coba produk pro-totipe di perusahaan menjadi lebih besar ketimbang pengeluaran untuk penelitiannya sendiri. Implementasi perubahan teknik seringkali membu-tuhkan biaya yang besar dalam hal de-

sain dan rekayasa proses dan produk yang juga menjadi tempat berlang-sungnya akumulasi pengetahuan baru dan menjadi wahana mengubah pe-ngetahuan tersebut menjadi aktivitas perubahan teknik yang sebenarnya., seperti yang terjadi di perusahaan Jepang, keahlian dan pengetahuan ini dapat mendorong peningkatan yang terus-menerus yang menjadi sumber daya saing dalam menghadapi pasar internasional (Imai, 1986).

b. Pengetahuan yang Tacit dan Spesifik

Proses akumulasi teknologi lebih ba-nyak melibatkan pengetahuan yang tacit. Hal ini karena kompleksitas tek-nologi tidak dapat direduksi menjadi resep praktek yang sederhana dan mudah dimengerti tetapi melibatkan rule of thumb yang hanya dapat diper-oleh melalui pengalaman sendiri. Se-hingga transfer teknologi agar tingkat penggunaannya efisien tidaklah ber-langsung cepat dan tanpa biaya karena ia membutuhkan akusisi pengalaman. Lebih dari itu, komponen pengetahuan yang diperlukan dalam perubahan teknik yang bersifat tacit jauh lebih besar dan proses transfernya lebih mahal dan lama dibanding pengeta-huan untuk mengoperasikan. Tidaklah mengherankan apabila ahli sejarah ekonomi memberikan penekanan yang penting pada mobilitas tenaga kerja sebagai mekanisme kunci yang utama di dalam penyebaran difusi teknologi selama periode industrialisasi di Ame-rika, Perancis dan Jerman.

Baik tacit maupun tidak, keahlian dan pengetahuan sangatlah bersifat spesi-fik terhadap setiap kategori produk dan proses. Seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin kompleks, kekhususan pengetahuan dan keahlian ini menjadi se-makin meningkat. Peru-sahaan yang ingin mengakuisisi tekno-logi yang baru seringkali harus mem-bentuk aliansi strategis dengan pihak lain untuk mendapatkannya.

c. Pentingnya Perusahaan

Karena karakteristiknya yang spesifik, kumulatif dan sebagian tacit, maka kemampuan teknologi terlokalisasi di perusahaan yang identik dengan pem-belajaran dari pengalaman yang spe-sifik dalam mengoperasikan dan me-ngembangkan sistem produksi. Sehing-ga karakteristik akumulasi teknologi di perusahaan bervariasi menurut kelom-pok produk, ukuran perusahaan dan tingkat pengembangannya. Ukuran

investasi penelitian dan pengembang-an hanyalah merupakan ‘puncak gu-nung es’ karena ia merupakan salah satu dari jenis akumulasi dari peru-sahaan besar yang berbasis teknologi. Di perusahaan yang lebih kecil, akti-vitasnya seringkali bersifat paruh waktu dan tersembunyi dalam istilah desain dan rekayasa produk. Studi-studi menunjukkan bahwa fungsi lit-bang, desain dan rekayasa muncul dari fungsi yang terspesialisasi dalam perusahaan yang berasal dari aktivitas pengendalian kualitas dan manajemen produksi (Mowery & Rosenberg, 1989).

Dalam literatur penelitian manaje-men, terdapat tradisi yang produktif dalam megidentifikasi kondisi yang sesuai untuk mengelola perubahan teknik di perusahaan yang telah mengakumulasi kemampuan teknologi secara memadai. Dinyatakan keberha-silan pada tingkat proyek tergantung

- 20 -

pada efektivitas integrasi antara spe-sialisasi, hubungan yang efektif de-ngan pihak luar serta kebutuhan yang sesungguhnya dari pelanggan. Namun faktor-faktor yang menentukan pilihan strategis perusahaan terhadap pilihan teknologi dan diversifikasinya sebelum itu belumlah dipahami secara menda-lam.

Kegagalan dalam memahami karak-teristik akumulasi inilah yang menjadi titik lemah kebijakan teknologi di Uni Soviet dan negara sekutunya, di mana fungsi litbang dan desain dipisahkan dari unit produksi baik secara geogra-fis maupun organisasi. Bahkan kebijak-an sejenis juga diikuti oleh negara berkembang di mana laboratorium dan lembaga milik pemerintah dibangun dengan mengharapkan hasil yang baik tanpa menyeimbangkan dengan kemampuan teknologi yang ada di perusahaannya.

d. Hubungan dan Jaringan Antarperusahaan

Meskipun peran perusahaan secara individu adalah penting, perusahaan tidaklah dapat diasumsikan mengakumulasi sendiri teknologinya dalam keterasingan. Perubahan teknik dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dengan berbagai perusahaan lain. Beberapa melibatkan hubungan berantai antara para pemasok dan para pelanggan. Sebagian yang lain melibatkan kerjasama horizontal diantara para pesaing dan perusahaan penunjang lainnya serta lembaga penelitian milik publik. Dalam sektor

industri yang dinamis, hubungan pengguna dan produser menjadi sangat erat. Bahkan dalam sistem ekonomi yang sentralistik pun, terdapat struktur hubungan yang erat antara pemasok dan perusahaan penggunanya, sehingga dalam konteks ini, proses akumulasi kemampuan teknologi haruslah melibatkan usaha membangun berbagai macam struktur kelembagaan yang memungkinkan perusahaan berinteraksi dalam menciptakan dan meningkatkan efisiensi teknologi yang digunakan.

e. Sifat Kumulatif

Pembelajaran yang dilakukan oleh perusahaan, meskipun diperkuat oleh hubungan dengan perusahaan yang lain adalah bersifat kumulatif. Karena adanya sifat teknologi yang tacit dan spesifik, perusahaan pada dasarnya tidak dapat belajar secara serempak berbagai jenis teknologi dan sistem organisasinya atau mereka dapat begi-tu saja masuk ke bidang atau jenis teknologi yang sama sekali baru. Bah-kan perusahaan sebenarnya menem-puh sebuah trajektori tertentu di mana aktivitas pembelajaran sebelumnya memberikan arah pada perubahan teknik dan pengalaman sebelumnya menambah dan memperkuat stok sumber daya pengetahuan dan keahlian yang telah ada.

Sifat kumulatif teknologi mempunyai tiga implikasi penting. Pertama, perbedaan tingkat efisiensi teknik antar negara terjadi tidak saja karena

- 21 -

perbedaan sumber daya yang tersedia atau hambatan masuk tetapi juga oleh perbedaan kemampuan teknologi yang diakumulasinya. Kedua, kemampuan teknologi di tingkat nasional tidak dapat dibangun secara cepat. Dan ketiga, laju dan komposisi akumulasi teknologi sebuah negara tidak hanya berpengaruh pada efisiensi pada jangka pendek tetapi juga pada pengembangan fondasi baru untuk daya saing di masa yang akan datang.

f. Ketidaksinambungan Dalam Perubahan Teknik

Karakteristik yang kumulatif tidaklah berarti perubahan teknik terus bersifat inkremental. Pada bagian tertentu terdapat ketidaksinambungan yang signifikan di mana melibatkan perubahan yang radikal dalam teknologi utama produk dan proses atau perubahan radikal dalam sistem arsitektur yang membutuhkan basis pengetahuan yang sama sekali baru untuk menciptakan daya saing. Namun demikian proses akumulasi teknologi yang selama ini dibangun seringkali mampu mengatasi hambatan ini, dengan melakukan antisipasi sebelumnya atau dengan berkolaborasi dengan pihak lain. Namun seringkali pula perusahaan tidak mampu lagi bertahan, dan trajektori teknologi kemudian diteruskan oleh perusahaan baru. Meskipun demikian, perusahaan baru tersebut tidaklah melakukan lompatan yang panjang dalam basis pengetahuannya, tetapi mengikuti trajektorinya sendiri menuju bidang

pengetahuan yang baru.

g. Perusahaan Industri Sebagai Penghasil Sumber daya Manusia

Beberapa pandangan terhadap peran sumber daya manusia memberikan penekanan pada pendidikan dan pelatihan formal pada lembaga di luar perusahaan. Seringkali perusahaan juga dilihat sebagai pengguna sumber daya tersebut yang tergambar dalam istilah on the job training. Pandangan tersebut kurang menekankan pentingnya peran perusahaan dalam menghasilkan sumber daya manusia di dalam proses akumulasi kemampuan teknologi, seperti pengalaman negara Jepang dan Jerman yang secara efektif mendapatkan keuntungan dari dinamika akumulasi kemampuan teknologi.

Pandangan lain menekankan pada learning by doing sebagai mekanisme yang penting dan pentingnya pengetahuan yang tacit menekankan pada aspek doing sebagai mekanisme pembelajaran. Namun demikian ada dua penjelasan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan learning by doing ini. Pertama, melakukan sesuatu tidaklah mencukupi untuk belajar sesuatu yang lain, sehingga pengetahuan dan keahlian dalam melakukan aktivitas rutin tidaklah sama dengan yang diperlukan untuk melakukan perubahan teknik. Kedua, berbagai jenis aktivitas doing dalam akumulasi teknologi tidaklah secara sederhana

- 22 -

merupakan proses yang didapat melalui kegiatan lain yang tujuannya jelas-jelas berbeda. Usaha akumulasi teknologi ini harus dilihat sebagai sebuah upaya yang berbeda yang sering bersifat spesifik, memerlukan biaya dan disengaja.

, sehingga dalam konteks ini, kontribusi perusahaan terhadap kemampuan sumber daya manusia tidaklah ber-beda jauh dengan lembaga yang akti-vitasnya khusus berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan, meskipun keduanya tidak dapat saling meng-gantikan. Ada keahlian dan pengeta-huan yang hanya didapat melalui pembelajaran di internal perusahaan. Karena manfaat penuh tidak dapat diperoleh dari usaha tersebut, maka disinyalir adanya investasi yang kurang dari sisi perspektif sosial dan juga individu perusahaan, sehingga intervensi kebijakan menjadi penting untuk mendorong usaha tersebut.

h. Komplementaritas antara Teknologi yang Diimpor dengan Usaha Akumulasi Teknologi Lokal

Teknologi yang diimpor dari negara lain merupakan elemen yang esensial bagi perkembangan industri di negara maju. Hal ini penting baik untuk mereka yang ingin mengejar menuju garis depan teknologi atau yang berada di dekatnya, sehingga terdapat proporsi perdagangan teknologi internasional yang lebih besar antara sesama negara maju dibanding antara

negara maju dan berkembang. Dukungan yang kuat akan hal ini juga mencul dari data inovasi di negara maju banyak yang bersifat imitatif dan digunakan untuk memonitor, memodifikasi dan mengasimilasi teknologi yang ditemukan di negara lain. Fenomena ini memunculkan dua isu penting yaitu pertama, tidak ada perbedaan yang jelas antara aktivitas dan sumber daya yang diperlukan untuk kegiatan inovasi dan imitasi. Yang kedua, argumentasi bahwa mengimpor teknologi dan menciptakannya secara lokal sebagai alternatif untuk menghasilkan perubahan teknik tidak menggambarkan pengalaman di negara maju di mana impor teknologi dan usaha lokal bersifat komplementer.

2. Pasar, Pemerintah dan Institusi

a. Struktur Pasar dan Tekanan Persaingan

Studi-studi tentang pengaruh struktur pasar terhadap kinerja teknologi di negara maju tidaklah memberikan informasi yang memadai. Hal ini karena studi terakhir menunjukkan bahwa struktur industri bersifat endogen yang dipengaruhi oleh kesempatan teknologi dan tingkat manfaat yang didapat. Ketika keduanya tinggi, maka konsentrasi menjadi tinggi dan jenis perusahaan yang melakukan inovasi adalah yang besar sementara kalau kesempatannya tinggi dengan appropriabilitas yang rendah maka perusahaan yang berinovasi adalah perusahaan yang

- 23 -

kecil. Namun demikian pentingnya tekanan persaingan sebagai insentif untuk melakukan akumulasi teknologi muncul dari studi daya saing yang dilakukan oleh Porter (1990) serta studi statistik aktivitas teknologi perusahaan besar dunia oleh Patel dan Pavitt (1992). Kurangnya persaingan ini pulalah yang menyebabkan perusahaan di negara komunis tidak mempunyai insentif untuk mengadopsi teknik produksi yang lebih efisien.

Pada masa industrialisasi di negara yang baru maju, pemerintahnya melakukan proteksi terhadap industri baru terhadap persaingan dengan negara lain yang telah lebih maju. Tingkat dan lamanya proteksi bervariasi namun hubungan antara proteksi dan pembelajaran masih belum banyak diketahui. Ada yang pendek dan ada yang panjang, namun, seperti yang ditunjukkan dalam kasus industri otomotif di Jepang, lamanya proteksi menjadi penting dalam membangun kemampuan penguasaan teknologi.

b. Pemerintah dan Kegagalan Pasar : Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian

Hampir semua pemerintah di negara yang berorientasi pasar bebas mempunyai kebijakan dasar yang mirip yang dimaksudkan secara eksplisit untuk mempengaruhi arah dan laju perubahan teknik yang dijustifikasi oleh adanya kegagalan pasar. Kebijakan tersebut meliputi memberlakukan berbagai standar

teknis, penciptaan pengetahuan melalui penelitian serta difusi pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan. Terdapat eksternalitas yang signifikan dalam aktivitas tersebut dalam pengertian manfaat yang penuh tidak dapat diambil semuanya oleh perusahaan yang melakukan investasi, sehingga diperlukan peran pemerintah untuk mendorongnya. Diantara yang dilakukan adalah memberlakukan hak kekayaan intelektual dan memberikan dukungan finansial terhadap aktivitas litbang. Kontribusi pemerintah sangatlah besar dalam bidang pendidikan dan pelatihan. Namun demikian terdapat perbedaan dalam hal kinerja diantara negara maju, yang semakin kentara dalam tingkat pendidikan dan pelatihan dua pertiga populasi yang tidak mendapat kesempatan pendidikan tinggi.

c. Manfaat Ekonomi Penelitian Akademis

Teori konvensional banyak mengabaikan analisis tentang kontribusi ekonomi penelitian akademis. Pertama, banyak ekonom yang menggunakan model proses inovasi linier yang sederhana mengasumsikan manfaat dari penelitian akademis berupa informasi dalam bentuk publikasi yang menjadi input bagi aplikasi tek-nologi di industri. Kedua, para sosiolog banyak yang terfokus pada publikasi ilmiah sebagai hasil utama, kalau bukan satu-satunya, dari penelitian akademis. Kedua pandangan ini salah karena

- 24 -

banyak studi yang menyatakan bahwa manfaat utama dari kegiatan penelitian bukanlah informasi dalam publikasi ilmiah melainkan pasokan sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan dan keahlian akan metodologi riset dan instrumentasi serta hubungan dengan jaringan profesional dan akademisi, sehingga kebijakan yang bermaksud mengembangkan kapasitas pene-litian akademis telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap akumulasi kemampuan teknologi meskipun secara tidak langsung dapat memberikan input yang dapat dilacak bagi aktivitas inovasi.

d. Intervensi Kebijakan dan Ketidaksinambungan Teknologi

Biaya dan resiko perubahan teknik dan pembelajaran teknologi bervariasi sesuai dengan jarak lompatan yang diinginkan dengan kompetensi teknologi yang sudah dimiliki. Hal ini menyebabkan pemerintah di negara maju mendukung penuh upaya untuk melakukan lompatan yang jauh dalam garis depan tingkat teknologi. Meskipun didominasi oleh kegiatan inovasi yang bersifat imitatif, negara industri yang baru majupun menghadapi risiko yang tinggi ketika mereka melakukan lompatan yang jauh menuju garis depan teknologi. Resiko ini dapat bersifat teknis maupun yang berhubungan dengan kinerja pasar. Berdasarkan studi perusahaan Jepang, tingkat resiko

teknis tergantung pada ekspektasi tujuan pembelajaran, makin tinggi tujuannya, makin beresiko dan dapat mencapai lompatan pembelajaran yang tinggi (Nakaoka, 1987). Pemerintah Jepang dalam hal ini mendukung upaya pembelajaran yang beresiko ini dengan menyediakan bantuan keuangan untuk mengurangi resiko, memberikan dana pelatihan untuk keahlian tertentu dan memberikan akses pasar selama masa pembelajaran.

e. Komplementaritas Antara Infrastruktur Kelembagaan dan Perusahaan

Untuk mendorong proses difusi pengetahuan serta mendukung peran regulator pemerintah, seluruh negara maju membangun lembaga di luar perusahaan untuk menghasilkan pengetahuan dan informasi baru yang dibutuhkan oleh sektor industri. Lembaga ini meliputi yang bersifat publik dan semi publik, seperti universitas, lembaga litbang pemerintah dan pusat penelitian yang disubsidi serta juga bersifat komersial, seperti organisasi yang melakukan kontrak riset dan pusat penelitian yang didanai oleh perusahaan. Hasil dari lembaga ini menjadi input bagi perusahaan industri. Namun yang lebih penting adalah komplementaritas aktivitas inovasi di kedua jenis organisasi tersebut.

Sangatlah jarang infrastruktur kelembagaan ini menghasilkan inovasi yang langsung dapat diaplikasikan oleh

- 25 -

perusahaan. Yang sering terjadi adalah mereka menghasilkan hanya sebagian dari perangkat pengetahuan dan keahlian yang diperlukan oleh perusahaan untuk melakukan perubahan teknik. Meskipun karakteristik hubungan perusahaan dan infrastruktur ini belum banyak diketahui, beberapa studi menunjukkan bahwa perusahaan yang bekerja sama dengan mereka adalah perusahaan yang intensitasnya litbangnya tinggi yang ingin mencari input yang spesifik untuk melengkapi usaha inovasi internal yang selama ini dilakukan.

f. Lembaga Finansial dan Manajemen

Adanya perbedaan yang menetap dalam hal akumulasi teknologi diantara negara maju dapat dijelaskan sebagian oleh perbedaan kondisi ekonomi makro. Pandangan yang lain mengemukakan adanya perbedaan karakteristik kelembagaan yang berhubungan dengan masalah finansial dan manajemen, sehingga saat ini telah muncul pandangan yang menyatakan bahwa sistem keuangan yang berlaku di Jepang dan Jerman lebih efektif daripada sistem Anglo-Saxon dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti akumulasi kemampuan teknologi. Demikian pula manajemen korporasi yang berorientasi keuntungan jangka pendek dan tingkat hirarkinya tinggi mendapat kritik yang tajam.

Inti sebenarnya dari diskusi di atas

adalah bagaimana mendesain sistem kelem-bagaan yang mendukung mekanisme pasar dalam mengevaluasi dan mendorong proses akumulasi teknologi. Tambahan pula, karena konsekuensi dari ketidaksem-purnaan dalam appropriabilitas, maka proses spesialisasi dan profesionalisasi akan mengakibatkan investasi yang lebih rendah dari yang diinginkan dalam hal pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yaitu pertama, potensi manfaat dari pembelajaran tidaklah lagi dapat cepat dirasakan dan bersifat kasat mata tetapi lebih bersifat jangka panjang dan tidak pasti. Yang kedua, pengetahuan yang diperlukan untuk mengevaluasi secara akurat manfaat pembelajaran menjadi semakin kompleks dan tidak seorangpun yang mengetahuinya.

Dalam konteks ini teknik penilaian proyek yang digunakan oleh para manajer dan pembuat kebijakan menjadi tidak memadai lagi karena sepenuhnya mengabaikan pilihan manfaat yang ditawarkan pembelajaran teknologi yang bersifat path dependent. Dari sisi lembaga finansial, haruslah banyak sarjana teknik yang dapat mengimbangi ‘rabun jauh’ yang diidap oleh para akuntan dan lulusan sekolah bisnis dalam memahami investasi teknologi.

Perbedaan Sektoral dan Trajektori di Negara Maju

1. Perbandingan Antarsektor

Penjelasan di atas banyak berhubungan dengan pengalaman

- 26 -

negara maju di sektor industri secara umum. Padahal terdapat perbedaan trajektori untuk setiap jenis industri yang terkait akumulasi teknologi dan perubahan teknik. Konsekuensinya adalah adanya perbedaan dalam hal cara mempertahankan daya saing dan perbe-daan dalam proses evolusi antarsektor yang mengubah fondasi daya saing yang memberikan implikasi kebijakan yang berbeda. Jenis trajektori tersebut ada lima yaitu :

a. Perusahaan yang Supplier-dominated

Perubahan teknik yang terjadi di kelompok ini hampir semuanya bersumber dari pemasok permesinan dan input lainnya. Contoh yang paling mudah adalah industri tekstil di mana inovasi bersumber dari pemasok mesin dan bahan baku kimia. Pilih-an teknologi mencerminkan biaya relatif faktor produksi dan kesempatan teknologi terfokus pada peningkatan dan modifikasi metode produksi dan bahan bakunya serta desain produk. Sebagian besar teknologi ditransfer melalui pembelian barang modal dan bahan baku. Jenis trajektori ini mempunyai kedekatan dengan model konvensional fungsi produksi.

b. Perusahaan yang Scale-intensive

Akumulasi yang terjadi di kelompok ini dihasilkan oleh proses desain, pengem-bangan dan operasional sistem produksi atau produk yang kompleks. Contohnya adalah industri proses dan ekstraksi, seperti material,

otomotif dan barang konsu-men tertentu. Resiko kegagalan yang terjadi sangatlah tinggi karena komplek-sitasnya dan besarnya manfaat ekonomi yang didapat dari skala ekonomi yang besar.

Akumulasi teknologi dalam kelompok ini kemudian muncul dari proses dan pengalaman operasional sebelumnya dan peningkatan dalam hal komponen, permesinan dan subsistem. Sumber utama teknologi adalah desain dan rekayasa produk, pengalaman operasional serta pemasok peralatan dan komponen. Transfer teknologi yang terjadi adalah selain dengan pembelian barang modal, juga melalui lisensi teknologi produksi dan desainnya serta pelatihannya. Perubahan teknik, seperti ini mendekati model yang diusulkan oleh Schmookler dalam inovasi yang didorong oleh investasi.

c. Perusahaan yang Information-intensive

Kemajuan teknologi informasi selama lebih dari 40 tahun dalam kapasitas menyimpan, memproses serta men-transfer informasi memberikan pe-luang munculnya kelompok perusaha-an yang dapat mengakumulasi kemam-puan teknologi melalui upaya pening-katan inkremental yang didapat mela-lui pengalaman operasional yang ter-diri dari aktivitas mendesain, memba-ngun sistem yang komplek dalam mengolah informasi. Fungsi organisasi dengan nama Divisi Sistem di perusa-haan besar pengguna menjadi tempat

- 27 -

berlangsung akumulasi teknologi ini serta pemasok sistem dan aplikasi pe-rangkat lunak. Meskipun data masih minim, survei menunjukkan bahwa perusahaan jasa, seperti perbankan dan ritel menjadi pusat akumulasi teknologi informasi ini.

d. Perusahaan yang Science-based

Akumulasi teknologi di kelompok ini bermula dari divisi litbang dan laboratorium di perusahaan besar dan sangat tergantung pada keahlian dan pengetahuan yang didapat melalui penelitian akademis. Contohnya adalah industri elektronik dan kimia. Penemuan tentang elektromagnet, gelombang radio, efek transistor, bahan sintetik dan biologi molekular membuka peluang adanya pasar produk baru. Arah akumulasi teknologi adalah pencarian horizontal terhadap pasar baru dengan produk yang teknologinya berhubungan. Transfer teknologi dalam kelompok tidak cukup hanya dengan membeli bahan baku input dan lisensi sistem produksinya tetapi juga melibatkan kemampuan rekayasa ulang yang merupakan juga aktivitas litbang dan desain yang melibatkan pula para insinyur dan akademisi yang dikontrak dari luar. Model perubahan teknik ini adalah, seperti yang digambarkan oleh Schumpeter (1943).

e. Perusahaan yang Specialized-supplier

Akumulasi teknologi diperoleh melalui desain, pengembangan dan pengguna-

an operasional input dan bahan baku yang digunakan oleh sistem produksi yang kompleks dalam bentuk perme-sinan, komponen, peralatan serta pe-rangkat lunak. Kelompok perusahaan ini mengambil manfaat dari industri pengguna dalam bentuk informasi, keahlian, serta kemungkinan modifi-kasi dan peningkatan. Perusahaan pe-masok mengakumulasi kemampuan teknologinya dengan menyesuaikan desain-nya dengan permintaan pe-langgan. Transfer teknologi melibat-kan aktivitas pembelian perusahaan besar yang menjadi pengguna tekno-logi.

Pembagian kelima kategori di atas berlaku di negara maju dan sebuah perusahaan dapat saja masuk ke lebih dari satu kategori. Kategori ini memungkinkan terli-hatnya pola yang berbeda dalam spesialisasi teknologi dan juga dapat menjelaskan mekanisme di mana fondasi daya saing negara berubah seiring dengan waktu.

2. Dinamika Daya Saing dan Perubahan Struktural

Pola sektoral di atas dapat membantu menjelaskan hubungan antara proses akumulasi teknologi dan ciri penting yang berkaitan dengan pola pemba-ngunan industri yaitu perubahan fon-dasi daya saing dalam pasar dunia dan yang kedua perubahan komposisi da-lam output.

Dalam pasar ekspor dapat diidentifi-kasi dua kondisi ekonomi yang eks-trim. Di satu sisi, di sektor yang supplier-dominated, asumsi

- 28 -

Heckscher-Ohlin tentang keunggulan komparatif berlaku dengan baik yaitu teknologi dalam bentuk barang modal dan baku tersedia dengan mudah dan pilihan teknologi tergantung pada sumber daya yang tersedia. Negara dengan upah buruh yang murah dapat memanfaatkan keunggulan kompara-tifnya dalam sektor ini dengan menge-fektifkan proses akuisisi teknologi. Sementara disisi lain yang ekstrim, keunggulan komparatif negara yang upahnya tinggi didominasi oleh kema-juan kemampuan teknologi dalam sektor science-based, scale-intensive dan specialized-supplier. Diantara dua ekstrem terdapat negara industri baru yang secara progresif melakukan peng-geseran basis daya saing kompetitif dari satu sektor ke sektor lainnya. Ber-hubungan dengan pergeseran tersebut adalah perubahan outputi dan ekspor yang bergeser dari sek-tor yang sum-ber daya yang banyak tersedia (teks-til, pertambangan, dan makanan) ke sektor yang lebih maju, seperti perme-sinan, transportasi dan bahan kimia.

Pada saat yang sama, pengalaman sejarah negara maju menunjukkan bahwa pola pengembangan teknologi nasional berlangsung kumulatif dan dipengaruhi oleh pengalaman sebe-lumnya dan dalam tradisi yang berbe-da. Dalam pengertian yang umum, akumulasi teknologi melibatkan akui-sisi yang progresif modal tak nyata da-lam bentuk keahlian personal, organi-sasi dan kelembagaan yang memung-kinkan negara mengadopsi dan me-

ngembangkan teknologi produk dan proses dengan kompleksitas yang se-makin meningkat. Pergeseran fondasi daya saing internasional berevolusi menurut dan sebagai akibat dari trajektori teknologi ini.

, sehingga setiap dari lima kategori trajektori di atas mempunyai implikasi tempat terpusatnya pembelajaran teknologi yaitu di : Operasional dan produksi di

perusahaan yang supplier-dominated

Peningkatan proses dan produk di perusahaan yang scale-intensive

Pengembangan komponen dan peralatan di perusahaan yang specialized-supplier

Eksploitasi penelitian dasar produk dan pengembangan proses yang berhubungan dengannya di perusahaan yang science-based

Seiring dengan waktu, proses pembelajaran dalam sektor tersebut meletakkan dasar pengetahuan dan keahlian untuk produksi lokal di sektor lain, seperti misalnya disintegrasi vertikal aktivitas produksi yang pada awalnya dibangun dalam salah satu kategori, mentransfer pengetahuan yang telah terakumulasi untuk memperkuat daya saing perusahaan di sektor lain, perpindahan tenaga ahli dari satu perusahaan ke perusahaan dalam kategori yang berbeda, atau secara lebih umum meningkatkan kesadaran akan pengembangan pengetahuan dan keahlian baru diantara perusahaan lokal dan

- 29 -

lembaga teknologi.

Pada beberapa kasus, perubahan akibat pembelajaran dalam struktur produksi menyebabkan perubahan pada karakteristik industri tersebut. Sebagai contoh, akumulasi teknologi menyebabkan industri otomotif berubah dari sektor yang supplier-dominated dan berskala kecil menjadi industri yang bervolume besar dan scale-intensive. Bahkan yang lebih umum lagi, perubahan struktural akibat pembelajaran melibatkan munculnya sektor yang berbeda dan teknologinya kompleks yang dida-sarkan pada akumulasi teknologi sebelumnya di sektor yang teknologinya sederhana, seperti : Munculnya industri permesinan

tekstil di Amerika sebagai sektor yang specialized-supplier berda-sarkan akumulasi teknologi sebagai perusahaan tekstil (yang sekarang menjadi supplier-dominated)

Munculnya specialized-supplier dalam peralatan produksi berda-sarkan akumulasi teknologi di sek-tor yang scale-intensive (seperti otomotif dan industri proses)

Munculnya industri yang science-based berdasarkan akumulasi tek-nologi sebelumnya di sektor yang lain (seperti industri elektronik yang berdasarkan sektor specia-lized-supplier dan industri kimia berdasarkan sektor yang kurang kandungan science-based-nya)

Trajektori di atas tidaklah dapat ditentukan dan direncanakan

sebelumnya baik dari sisi arah maupun lajunya. Namun dalam banyak kasus tiga mekanisme nam-paknya sangat berpengaruh yaitu ketersediaan sumber daya, arah investasi yang tetap terutama yang kuat intensitas hubungan multisektoralnya dan penguasaan kumulatif teknologi inti dan basis pengetahuan yang mendasarinya. Signifikansi relatif dari tiga mekanisme ini berubah selama proses industrialisasi. Pada fase awal, arah perubahan teknik di sebuah negara sangatlah kuat dipengaruhi oleh mekanisme yang didorong oleh pasar lokal yang berhubungan dengan ketersediaan faktor produksi dan kesempatan investasi. Pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi akumulasi lokal dari keahlian teknologi yang spesifik menjadi pemberi arah pada perubahan teknik.

Ketersediaan faktor. Mekanisme pen-dorong lokal yang paling kasat mata adalah pencarian untuk memecahkan masalah ketiadaan sumber daya. Data sejarah mencatat pentingnya pengem-bangan teknik yang hemat tenaga kerja di Amerika Utara. Perubahan teknik juga terjadi dalam merespon perbedaan harga bahan bakar yang menentukan arah industri mobil dan permesinan di Amerika, Eropa dan Asia Timur. Di Jepang pascaperang du-nia kedua, pencarian teknologi yang hemat tempat memberi arah bagi pe-ningkatan metode produksi masal. Di masa datang, pencarian teknologi yang ramah lingkungan sebagai meka-nisme pendorong akan menjadi sema-

- 30 -

kin penting.

Investasi sebagai pendorong dan hubungan antarsektor., seperangkat mekanisme yang kedua ini tergambar dalam dalam tradisi analitis yang lain yang menekankan pada pentingnya investasi sebagai pendorong proses perubahan teknik (Schmoo-kler, 1966), serta hubungan teknik dan ketidakseimbangan hubungan antar per-usahaan (Carlsson & Henriksson, 1991). Salah satu variannya adalah eksploitasi sumber daya alam yang melimpah, dengan menciptakan perubahan teknik lokal, serta akumulasi teknologi dan daya saing proses dan ekstraksi., seperti misalnya Kanada, Amerika Serikat dan Negara Skandinavia yang mengembangkan teknologi yang menggunakan kayu telah memberikan kontribusi terhadap daya saing industri permesinan yang mengolah kayu. Hubungan antarsektor terjadi di sektor otomotif yang investasinya mendorong sektor barang modal yang berhubungan dengannya. Juga program investasi Pemerintah Jepang pada awal modernisasinya yang mem-berikan dampak pada sektor perkapalan, rel kereta api dan peralatan komunikasi (Nakaoka, 1987).

Penguasaan teknologi inti. Biaya dan investasi sebagai mekanisme pendo-rong perubahan teknik tidak dapat menjelaskan munculnya semua bidang daya saing yang berbasis teknologi. Sebagai contoh, daya saing Swiss da-lam mesin diesel kapal tidaklah berhu-bungan dengan ketersediaan sumber

daya maritim tetapi lebih berhubung-an dengan kemampuan teknologi yang terakumulasi dalam sektor industri tekstil. Pada tingkat yang lebih tinggi, akumulasi teknologi di negara maju saat ini lebih dipengaruhi oleh penguasaan kumulatif selama ini dan eksploitasi teknologi inti pasar dunia dengan potensi aplikasi yang sangat bervariasi. Ketika teknologi intinya adalah science-based dan hubungan yang terjadi bersifat horizontal maka trajektori tidak akan terjadi karena dorongan pengguna terhadap produsen barang modal tetapi melalui diversi-fikasi ke pasar produk baru dari basis aktivitas litbang, sehingga daya saing Swiss dalam industri farmasi bermula dari bahan pewarna, seperti halnya Jerman tetap mempertahankan daya saingnya melalui serangkaian aktivitas inovasi dalam bahan kimia. Pola Swedia lebih kompleks, bermula dari industri pertambangan dan berakhir di industri robot yang teknologi intinya adalah permesinan dan aneka logam.

Dua karakteristik yang umum di nega-ra yang mengikuti trajektori berdasar-kan penguasaan teknologi. Pertama, mereka cenderung melakukan pemi-lihan teknologi tidak secara sederhana berdasarkan pada imbalan finansial yang akan didapat te-tapi berdasarkan nilai yang akan didapat pembelajaran untuk mengeksploitasi ke-sempatan yang terbuka oleh teknologi tersebut. Kedua, di sektor science-based dan scale-intensive mekanisme pendorong yang spesifik dan keuntungan teknologi tercermin pada aktivitas

- 31 -

teknologi di perusahaan besar yang berbasis di dalam negeri.

Pengalaman Akumulasi Teknologi di Negara Berkembang

Selama lebih dari 50 tahun, negara-negara berkembang secara cepat mengakumulasi dan mendiversifikasi kapasitas produksi nasionalnya. Proporsinya dalam output manufaktur dan ekspor telah meningkat dan ber-geser dari produk yang berada di sek-tor supplier-dominated yang teknolo-ginya terkandung dalam barang modal (seperti tekstil) dan bahan baku menu-ju sektor yang scale-intensive dan spe-cialized-supplier (seperti bahan lo-gam, barang modal, bahan kimia dan produk konsumen) dan bahkan ke sek-tor yang science-based (seperti semi-konduktor dan peralatan komunikasi).

Meskipun demikian, pola ekspansi dan diversifikasi ini berhubungan dengan perbe-daan antarnegara dalam hal, pertama, efisiensi dinamis pertum-buhan industri dan kedua, laju akumu-lasi teknologi di industri. Perbedaan dalam kedua hal di atas dalam proses generalisasinya, akan merupakan hipo-tesis yang semakin bersifat tentatif, seiring dengan berkurangnya bukti-bukti empiris.

1. Efisiensi Dinamis Pertumbuhan Industri

Bukti-bukti semakin banyak ditemukan yang menunjukkan adanya variasi di antara negara berkembang dalam ting-kat efisiensi kapasitas produksi indus-tri selama lebih dari empat dekade.

Tingkat efisiensi statis yang rendah di banyak sektor industri nampak pada studi-studi yang menelaah biaya sumber daya domestik, tingkat efektif proteksi dan studi mikro yang lebih mendetail dalam penggunaan teknologi impor (Pack, 1987). Namun dalam tulisan ini, kita akan terfokus pada efisiensi dinamis.

Studi yang menelaah laju pertumbuh-an produktivitas industri di negara berkembang menunjukkan bahwa opti-misme awal tahun 50-an dan 60-an, ternyata hanya terealisasi di beberapa kasus saja, seperti Korea di mana per-tumbuhan produktivitas tenaga kerja pertahun lebih besar dari 10% sejak tahun 60-an serta produktivitas faktor produksi total di sektor manufaktur lebih tinggi dibanding negara maju lainnya. Di banyak negara berkembang lainnya justru kebalikannyalah yang terjadi.

Dalam studi yang lebih mikro di tingkat perusahaan, terdapat variasi dalam intensitas peningkatan efisiensi penggunaan teknologi, seperti yang ditunjukkan oleh Dahlman dan Fonseca (1984) di perusahaan Amerika Latin. Perubahan teknik lebih banyak ditujukan untuk mengadaptasi dengan kebutuhan lokal daripada mengembangkan dan meningkatkan penggunaan teknologinya. Lall (1987) juga menemukan hal yang serupa di industri India. Meyer-Stamer (1991) mencatat adanya usaha yang terbatas dalam mengeksploitasi potensi teknologi informasi dan otomatisasi

- 32 -

dan inovasi organisasi. Sebaliknya perusahaan Korea sukses besar menuju ke teknologi produk dan proses setelah investasi awal (Enos & Park, 1988; Hobday, 1993). Studi lainnya juga menunjukkan bahwa perusahaan di negara lain lebih terbatas lagi uasaha pembelajaran teknologinya dibanding perusahaan di negara Amerika Latin dan India (Bell dkk, 1984; Mytelka, 1992).

Dalam hal menumbuhkan fondasi baru bagi keunggulan komparatif dalam industri yang lebih tinggi intensitas teknologinya, setiap negara juga menunjukkan perbedaan. Yang jelas terlihat adalah melambatnya pertumbuhan sektor industri baru, meskipun sebelumnya telah terjadi pertumbuhan yang signifikan. Poznanski (1984) mencatat kinerja buruk perusahaan-perusahaan di sektor scale-intensive dan specialized-supplieri di negara-negara komunis. Diantara negara industri baru, negara Amerika Latin tercatat paling lambat. Brazil yang pada tahun 50-an telah memulai industri barang modal, tetap tidak beranjak menuju ke sektor yang yang lebih kompleks dan technology-intensive (Felix, 1978). Industri mobil di Argentina yang tumbuh baik di tahun 50-an, pada tahun 90-an hanya bisa pada posisi bertahan hidup saja (Katz & Bercovich, 1993).

Kebalikannya, negara industri baru di Asia Timur malah dengan cara yang berbeda berhasil mengubah struktur industri mereka secara cepat. Korea

misalnya, bergerak cepat dari sektor supplier-dominated (tekstil) menjadi scale-intensive (otomotif, baja dan bahan kimia) dan specialized-supplier. Di sektor elektronik, terjadi pening-katan dari perakitan sederhana ke produksi yang lebih technology inten-sive meskipun belum sampai ke garis depan teknologi (science-based). Singapura dengan melewati industri berat, malah menuju ke sektor yang padat teknologi rekayasa dan infor-masi. Sementara negara, seperti Malay-sia, Thailand dan Indonesia berada di-antara Asia Timur dan Amerika Latin. Waktulah yang akan membuktikan apakah mereka akan bergerak cepat ke sektor yang lebih technology intensive atau terperangkap pada sektor yang nilai tambahnya rendah. Tentu saja banyak faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan di atas, namun yang mulai muncul adalah adanya korelasi dengan pola-pola perubahan teknik dan akumulasi teknologi yang mendasarinya.

2. Akumulasi Teknologi yang Tidak Merata

Ada tiga variabel yang nampak pada aktivitas akumulasi kemampuan tek-nologi yaitu kedalaman dan intensitas akumulasi di perusahaan, struktur aku-mulasi dalam hal kapabilitas internal dan infrastruktur serta interaksinya diantara keduanya serta komplemen-taritas antara impor teknologi dan akumulasi teknologi lokal.

- 33 -

a. Akumulasi di Perusahaan

Kedalaman dan intensitas akumulasi teknologi di beberapa perusahaan sangatlah substansial di beberapa negara yang polanya mengikuti negara yang industriali-sasinya sukses sebelumnya. Secara khusus, Korea dan Taiwan telah mampu mengakumulasi teknologi melalui proses peningkatan inkremental secara terus-menerus terhadap teknologi yang diimpornya, proses sintesis elemen teknologi yang membentuk sistem yang lebih kompleks, proses replikasi teknologi yang ditentukan di negara lain serta proses pengembangan inovasi yang lebih original. Prestasi ini pada awalnya ditentukan oleh usaha membangun kemampuan rekayasa (Enos & Park, 1988).

Perubahan struktur industri ini juga ditunjang oleh mobilitas sumber daya manusia termasuk upaya repatriasi yang dilakukan Pemerintah Korea ter-hadap ilmuwannya yang ada di luar negeri. Pengalaman dan keahlian me-reka yang didapat sebelumnya akhir-nya memperkuat struktur kemampuan teknologi Korea secara umum. Di ne-gara lain, seperti India dan Brazil, upa-ya akumulasi teknologi di perusahaan lebih terbatas pada sektor tertentu saja, seperti pesawat terbang, pera-latan komunikasi dan pertahanan.

b. Infrastruktur Kelembagaan

Meskipun semua negara berkembang berusaha membangun dan mengem-bangkan sistem pendidikan dan pela-

tihannya, namun terdapat perbedaan dari segi skala dan orientasi. Korea dan Taiwan tercatat sebagai negara yang tingkat pendidikan dasar dan menengahnya paling tinggi diantara negara berkembang lainnya. Setiap negara berkembang juga membangun struktur lembaga penelitian, meskipun lagi-lagi Korea dan Taiwanlah yang pa-ling intensif dalam hal ini yang dimulai sejak tahun 70-an. Dua ciri penting dari lembaga ini adalah bahwa seba-gian besar inisiatif masih dari peme-rintah yang dananya mencapai 80% dan hasil penelitian yang didapat sangat sedikit kontribusinya terhadap perubahan teknik yang terjadi di perusahaan.

Dua hal yang patut dicatat dari penga-laman Korea dalam hal ini. Pertama, lembaga litbang di sana berkonsen-trasi pada dua hal yaitu inovasi dan pembelajaran (Cohen & Levinthal, 1989). Dari aspek pembelajaran ini, mereka mempelajari teknologi yang telah ada di samping melakukan ino-vasi yang original, yang hal ini tidak nam-pak di negara berkembang lain-nya. Hal ini terlihat jelas di sektor industri elektronika. Di Taiwan, ERSO (Electronic Research and Service Organization) yang berada di bawah ITRI (Industrial Technology Research Institute) lebih banyak ber-fungsi sebagai fasilitator masuknya teknologi dari luar, memberikan pelatihan dan mengasimilasikannya ke sektor indus-tri dalam negeri daripada sebagai penghasil inovasi baru. Kalaupun mereka melakukan R&D, sifatnya lebih

- 34 -

merupakan replikasi dari apa yang su-dah dikerjakan orang lain dalam rang-ka memonitor teknologi baru yang muncul.

Kedua, meskipun infrastruktur pendi-dikan dan pelatihan memainkan peran yang sangat penting, ia hanya membe-rikan sebagian kontribusi terhadap akumulasi teknologi. Sebagian besar justru disumbangkan oleh perusahaan sendiri. Meskipun sedikit informasi tentang peran ini di sektor supplier-dominated, namun diyakini akan se-makin menonjol ketika perusahaan masuk ke sektor yang scale dan know-ledge-intensive. Pelatihan yang diberikan kepada para manajer dalam hal manajemen proyek, rekayasa produk dan proses memperjelas hal ini (Amsden, 1989). Dengan kata lain, perusahaan telah berperan pula seba-gai pembangun sumber daya manusia, bukan hanya pengguna saja. Lebih jauh, beberapa perusahaan bahkan mendirikan universitas sendiri, seperti Tatung di Taiwan dan Samsung di Korea.

c. Impor Teknologi dan Akumulasi Teknologi Lokal

Pengalaman Korea dan Taiwan juga menunjukkan mereka termasuk yang paling banyak mengimpor teknologi dari luar. Bahkan telah menjadi pro-gram pemerintahnya untuk memfasili-tasi hal ini dengan mencanangkan pertumbuhan sektor industri tertentu yang menjadi prioritas nasional. Na-mun hal ini diikuti oleh upaya yang substansial dalam mengakuisisi ke-

mampuan teknologi lokal dalam satu paket yang dibutuhkan dalam proses investasi pabrik baru dan peluncuran produk baru. Komplementaritas antara aktivitas impor teknologi dan akumu-lasi teknologi lokal dalam melakukan perubahan teknik diimbangi dengan upaya intensif untuk meningkatkan dan mengembangkan teknologi yang sebelumnya telah diakuisisi tersebut. Dengan kata lain mereka tidak memi-lih salah satu tetapi kedua-duanya. Hal ini disebabkan oleh sifat komple-mentaritas yang ada dalam dua ke-giatan tersebut, yaitu kontribusi trans-fer teknologi terhadap kemampuan teknologi lokal. Bentuk-bentuk yang terjadi adalah perjanjian alih tekno-logi tidak hanya melibatkan pengeta-huan operasional dan pemeliharaan saja tetapi juga mencakup desain, rekayasa dan keahlian manajemen proyek. Pendidikan lanjutan yang di-ambil negara maju yang dilengkapi dengan pengalaman magang di perusa-haan terbukti tidak hanya memberikan kemampuan memecahkan persoalan saja namun juga menyediakan akses terhadap jaringan profesional dan aka-demis yang penting untuk sektor science-based. Perusahaan elektronik Korea, seperti Samsung juga mengam-bil langkah aktif dengan mendirikan pusat litbang di negara maju untuk memonitor penemuan inovasi baru yang potensial untuk diadaptasikan ke sistem produksi perusahaan. Semen-tara di negara berkembang yang lain, aktivitas transfer teknologi sangat lemah kaitannya dengan akumulasi

- 35 -

kemampuan teknologi lokal. Ia lebih banyak berperan dalam membangun kapasitas produksi yang statis dari-pada kemampuan teknologi yang di-namis. Dengan kata lain tidak terjadi komple-mentaritas di negara-negara tersebut.

Semua penjelasan di atas, tidak dimaksudkan bahwa selain di negara Asia Timur, tidak ada akumulasi kemampuan teknologi sama sekali. Namun harus diakui pertumbuhannya secara umum sangatlah lambat (sedikit di atas nol) kecuali di beberapa perusahaan di beberapa negara. Bahkan di sebagian negara-negara di Afrika, pertumbuhannya menunjukkan angka yang negatif yang berarti mereka malah mundur ke belakang.

3. Konstrain dalam Akumulasi Teknologi

Kita dapat saja membuat daftar pe-nyebab mengapa sebagian besar per-usahaan di sebagian besar negara ber-kembang mengalami pertumbuhan yang lambat dalam akumulasi kemam-puan teknologi. Mungkin saja dalam daftar tersebut tercantum penyebab antara lain perbedaan kebijakan per-dagangan yang berarti membagi men-jadi negara yang liberal, yang bero-rientasi ke luar dan sukses dibanding-kan dengan negara yang proteksionis, berorientasi ke dalam dan tidak ter-lalu sukses. Sejatinya adalah penga-laman negara-negara Asia Timur me-nunjukkan mereka menerapkan kebi-jakan perdagangan yang berbeda-

beda. Bahkan pengalaman Jepang se-belumnya, mereka memulai industria-lisasi dengan proteksi yang ketat dan berorientasi ke dalam negeri, sehingga meskipun terdapat bukti bahwa insen-tif tertentu dapat mendorong akumu-lasi teknologi di perusahaan, tidak terdapat bukti bahwa suatu kebijakan perdagangan tertentu dapat mendo-rong semua sektor industri pada setiap tahap industrialisasi. Pack (1988) bah-kan menyatakan tidak ada hubungan yang jelas antara kebijakan perda-gangan dengan pertumbuhan produk-tivitas faktor produksi total.

Nakaoka (1987) menemukan adanya hubungan antara asimilasi teknologi yang di-impor dengan tahapan siklus hidup teknologi. Kesuksesan Korea dibanding Jepang dalam akusisi tekno-logi otomotif pada masing-masing awal industrialisasi bersumber dari tingkat kedewasaan teknologi terse-but. Pada saat Korea mengakuisisi, teknologi otomotif telah mencapai masa kedewasaan di mana teknologi sudah lebih standar, terkodifikasi se-hingga lebih mudah diakusisi. Namun Nakaoka juga ber-pendapat karena itu pulalah Korea lebih sedikit mengaku-mulasi kemampuan teknologi pem-buatan barang modal di industri terse-but dibanding Jepang. Faktor inilah yang mungkin menjadi konstrain bagi negara berkembang yang akan meng-akumulasi kemampuan teknologi.

Namun trade-off Nakaoka di atas mempunyai kelemahan dan tidak dapat mem-bantu menjelaskan

- 36 -

perbedaan yang dialami oleh sebagian besar negara berkem-bang. Pertama, aktivitas praktek (doing) bukanlah satu-satunya sarana pembela-jaran, sehingga investasi yang khusus ditujukan untuk pembelajaran dapat menga-tasi masalah kedewasaan teknlogi. Kedua, industri otomotif Korea menunjukkan kemampuan teknologi yang tinggi dalam hal rekayasa produk dan peralatan yang menyertainya. Ketiga, adanya hambatan akibat kedewasaan teknologi tidak menjelaskan perbedaan yang terjadiantara negara-negara yang sama-sama masuk ke sektor industri yang telah dewasa.

Pandangan lain lebih terfokus pada pembagian kategori dalam tulisan di atas. Kemajuan teknologi sekarang ini paling cepat berada di perusahaan be-sar di sektor yang scale-intensive dan science-based dengan aktivitas tekno-logi yang terspesialisasi dan profesio-nal di lembaga semacam litbang dan laboratorium. Hal ini membuat proses akumulasi teknologi menjadi terbatasi dan lebih rumit. Tambahan pula, per-usahaan besar yang menguasai sektor ini tidak mau memberikan aksesnya dengan mudah kepada perusahaan lain. Mereka mengembangkan tekno-logi di negeri asalnya atau di negara maju lainnya. Dan kalaupun mereka memproduksi di negara berkembang, mereka menggunakan mekanisme lisensi. Di sisi lain, teknologi barang modal, seperti mesin, proses dan pera-latan dapat diakses dengan mudah oleh negara berkembang.

Namun akses terhadap teknologi yang mendasarinya tidaklah semudah dengan membeli barang modal tersebut.

Nakaoka (1987) dan Kim (1985) ber-pen-dapat bahwa karakteristik tekno-logi saat yang lebih kompleks dan ber-gerak lebih cepat dibanding ketika Ko-rea dan Jepang mengakuisisinya dulu, sehingga negara berkembang saat ini lebih mengalami kesulitan dalam membangun kemampuan teknologi. Namun demikian peningkatan akses terhadap pendidikan dan pelatihan teknologi tinggi di negara maju akan sedikit banyak mengatasi masalah ini. Bell dan Pavitt mengajukan dua faktor yang akan menghambat negara ber-kembang dalam proses akumulasi ke-mampuan teknologi. Pertama, me-ningkatnya spesialisasi dan diferensiasi telah menyebabkan perbedaan yang tajam antara kapasitas produksi dan kemampuan teknologi. Kedua, skala produksi yang meningkat secara pro-gresif mengurangi kesempatan dan in-sentif untuk melakukan pembelajaran teknologi.

a. Peningkatan Spesialisasi dan Diferensiasi

Karakteristik utama trajektori tekno-logi pada awal industrialisasi adalah kesejajaran dan interaksi yang besar antara kapasitas produksi dan kemam-puan teknologi. Hal ini difasilitasi oleh adanya overlap antara pengetahuan dan kelembagaannya. Pada akhir abad 18 misalnya, pengetahuan yang diper-lukan untuk meningkatkan, mendesain

- 37 -

dan memproduksi mesin tekstil dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang menggunakannya. Konsekwen-sinya “doing” memberikan basis untuk mempelajari teknologi yang menda-sarinya. Bahkan sejatinya, kedua ma-cam pengetahuan tersebut berada di satu bagian di perusahaan, seperti misalnya shop floor.

Namun demikian meningkatnya spesia-lisasi telah memperlebar jarak antara pengetahuan dan keahlian yang diper-lukan untuk melakukan operasi dan yang diperlukan untuk menciptakan dan melakukan perubahan teknik. Pada saat yang tempat keduanya pun mulai terpisah dengan munculnya divisi desain, rekayasa dan litbang. Bahkan lebih jauh muncullah perusa-haan dan industri yang berbeda. Hal ini terjadi di industri tekstil Lowell di Amerika pada abad ke-19, yang tadi-nya memproduksi sendiri sebagian be-sar mesinnya. Disintegrasi vertikal me-nyebabkan munculnya perusahaan yang terpisah yang khusus memasok mesin tekstil, sementara industri tekstilnya sendiri menjadi sektor yang supplier-dominated (Gibb, 1950).

Implikasi penting dari fenomena ini adalah semakin lemahnya hubungan yang otomatis terjadiantara akumulasi kapasitas produksi dengan kemampuan teknologi, sehingga pembelajaran membutuhkan investasi yang eksplisit dan terpisah dalam rangka mengaku-mulasi kemampuan teknologi. Mening-katnya spesialisasi dan diversifikasi ini pula menyebabkan kesempatan men-

jadi lebih terbatas. Hal ini terjadi di industri tekstil Korea yang tidak per-nah menjadi basis bagi industri yang lebih kompleks (Amsden, 1989). Ke-tidaksinambungan struktural inilah yang mungkin dapat menghambat pro-ses evolusi keunggulan komparatif yang dimulai dari sektor supplier-dominated.

b. Peningkatan Skala Produksi

Sejalan dengan meningkatnya skala minimum untuk tercapainya efisiensi, frekuensi investasi per unit ekspansi industri menurun yang berakibat menurunnya insentif dan kesempatan untuk melakukan investasi dalam pembelajaran teknologi. Seiring dengan menurunnya frekuensi harapan proyek investasi, demikian pula harapan im-balan dari investasi yang melibatkan peningkatan keahlian dan skill yang dibutuh-kan dalam investasi tersebut, yang merupakan hal yang dibutuhkan dalam proses perubahan teknik sistem produksi yang telah ada. Tambahan pula ketika dilakukan investasi proyek yang besarlah kesempatan pembelajaran teknologi terbuka paling besar, seperti akses kepada pendidikan dan pelatihan, pengalaman magang dengan pemasok dan konsultan, dibanding masa operasional teknologi tersebut.

Dua hal tersebut di atas menyebabkan akumulasi kemampuan teknologi bera-da semakin jauh dari proses industria-lisasi. Oleh karenanya diperlukan in-vestasi ter-sendiri untuk mengakumu-lasi kemampuan teknologi, meskipun

- 38 -

masalah ketidak-sempurnaan appro-priabilitas masih terus menggelayuti.

Dalam konteks historis, dari pengalaman negara Korea dan Taiwan diatas, membe-rikan karakteristik khusus yang membantu proses akumulasi kemampuan teknologi. Kebijakan perdagangan memang penting menjadi catatan. Orientasi ekspor tidak saja telah memberikan tekanan dan insentif terhadap perusahaan, tetapi juga meningkatkan frekuensi investasi di sektor industri tertentu. Namun demikian selama periode substitusi impor yang berorientasi ke dalam di Korea dan Taiwan telah memberikan fondasi bagi terakumulasinya kemampuan teknologi. Yang lebih penting adalah adanya kebijakan yang langsung secara eksplisit ditujukan untuk mendorong perusahaan mengakumulasi kemampuan teknologi.

Di banyak negara berkembang yang lain, kebijakan perdagangan telah gagal dalam memberikan kesempatan dan insentif dengan terus-menerus dilakukan proteksi. Yang terjadi hanyalah terakumulasinya kapasitas produksi dengan sedikit atau tidak ada sama sekali akumulasi kemampuan teknologi. Demikian pula dengan di-berlakukannya kebijakan yang mendo-rong akumulasi kemampuan teknologi di lembaga litbang tetapi tidak di per-usahaan. Berlakunya kebijakan yang mendorong sektor tertentu yang memfragmentasi sektor industri yang scale-intensive berakibat rendahnya

akumulasi kemampuan teknologi ka-rena skala industri yang efisien tidak tercapai. Demikian pula diberlakukan-nya kebijakan yang mendorong tum-buhnya sektor industri dalam jangka pendek namun mengabaikan pengelo-laan proses pembelajaran yang harus terjadi di sektor tersebut dalam jang-ka panjang.

Penutup

Setidaknya ada lima hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan proses akumulasi teknologi di negara berkembang, yaitu :

1. Model perubahan teknik yang secara sederhana mengasumsikan proses adopsi teknologi dalam barang modal yang diikuti oleh prosedur operasional akan diikuti oleh peningkatan produktivitas penggunaannya tidaklah memadai lagi. Selain tidak sesuai dengan data empiris, model tersebut juga mengabaikan pentingnya investasi tambahan yang tidak kasat mata dalam mengakumulasi kemampuan untuk melakukan perubahan teknik.

2. Sumber daya baik keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses perubahan teknik semakin kompleks dan terspesialisasi. Oleh karenanya pem-bedaan antara kapasitas produksi dan kemampuan teknologi menjadi penting. Diperlukan upaya yang berbeda dan terpisah untuk mengakumulasi keduanya.

- 39 -

3. Proses pembelajaran yang diperlukan untuk mengakumulasi kemampuan teknologi juga semakin terspesialisasi dan kompleks. Pendidikan formal yang sebelumnya diperoleh haruslah diikuti dengan proses pembelajaran internal di perusahaan. Pembelajaran dengan “doing” hanyalah bagian kecil dari kemam-puan yang dibutuhkan. Tambahan pula, pengetahuan dan keahlian di bidang yang spesifik hanyalah meberi sumbangan yang kecil pada bidang yang lain.

4. Pengalaman industrialisasi baik di negara maju maupun berkembang, proses pembelajaran yang berbeda dan path dependent menjadi basis bagi evolusi keunggulan komparatif. Diperlukan analisis sejarah dan kontemporer yang serius untuk memahami proses yang telah terjadi. Sementara kita hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa kondisi pembelajaran sekarang berbeda dari kondisi yang lalu ketika Korea dan Taiwan memulainya. Perhatian khusus perlu diperhatikan adalah adanya jarak antara kapasitas produksi dan kemampuan teknologi serta

institusi tempat kedua hal tersebut diakumulasi.

5. Debat steril yang selama ini terjadi tentang implikasi kebijakan perdagangan mengabaikan lebih dari separuh hal-hal yang mempengaruhi dinamika pertum-buhan industri dalam jangka panjang. Kebijakan proteksi dan pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan mungkin memadai untuk melakukan indus-trialisasi di abad ke-19. Namun keduanya tidaklah cukup untuk melakukan industrialisasi di abad ke-21. Pada saat yang sama, meskipun kebijakan ekspor dapat memberikan tekanan dan insentif, namun ia tidaklah cukup untuk mendorong investasi dalam pembelajaran dalam jumlah yang cukup. Oleh karenanya aktivitas pembelajaran teknologi, baik itu karakteristik, faktor pendorong dan dampaknya terhadap ekonomi, haruslah menjadi fokus dan perhatian para pemerhati pembangunan industri di negara berkembang.

Mempersiapkan Kawasan-Kawasan Industri Dengan

Berbagai Insentif Dan Dukungan Infrastruktur Pelabuhan dan Jaringan Transportasi Yang Kompetitif Untuk Menarik

Investor Asing Menanamkan Modalnya di Indonesia

Oleh Menteri perindustrian

I. Pendahuluan

Globalisasi mendorong terjadinya perubahan pola produksi dan dis-tribusi produk, sehingga banyak produsen dunia yang tidak lagi mempertahankan produksi di negaranya tetapi di negara mana saja yang dapat menghasilkan peningkatan daya saing. Untuk meningkatkan sensitivitas terha-dap perubahan pasar, banyak pro-duk dari negara tertentu dengan merk dagang tertentu yang melepas atribut negaranya karena harus menekan biaya dan menye-barkan bagian-bagian produksinya ke negara-negara yang menjadi tujuan pasarnya. Hal ini mengu-bah pola logistik dari semula supply chain tradisonal manu-facturing push menjadi pola con-sumer pull. Peluang perubahan pola tersebut harus dimanfaatkan untuk menarik investasi dengan mendorong keunggulan yang dimiliki, seperti: (a). lokasi yang ideal bagi pengembangan pusat logistik dan distribusi karena

dilalui jalur maritim internasional dari Eropa ke Asia, Asia Tenggara ke Asia Utara/Amerika dan dari Asia ke Australia; (b). terletak ditengah pasar yang sangat besar yaitu: ASEAN sekitar 500 juta jiwa, Cina sekitar 1,3 milyar dan India sekitar 1,1 milyar; (c) memiliki daerah-daerah yang mempunyai basis kompetensi, seperti: timah, tembaga, besi, batubara, rotan, kakao, kelapa sawit, karet, hasil laut dan sebagainya. Indonesia belum secara penuh memanfaatkan posisi strategis dan momentum pusat-pusat pertumbuhan industri yang telah diidentifikasi sejak tahun 1980an, sehingga frekuensi kapal laut dari berbagai belahan dunia yang melewati alur perairan maritim Indonesia belum dimanfaatkan untuk berlabuh di wilayah pusat-pusat pertumbuhan industri tersebut. Wilayah Pusat-pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang didukung oleh kompetensi berbasis sumberdaya setempat akan menjadi daya tarik bagi investasi yang berprinsip pola produksi dinamis tersebut. Pusat-pusat pertumbuhan industri dan wilayah strategis alur maritim internasional dapat dikembangkan sebagai klaster-klaster industri inti. Banyak potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan berlabuhnya kapal-kapal internasional, seperti fasilitas pemeliharaan kapal (dok kapal),

- 41 -

pertukaran sosial, budaya, teknologi dan ekonomi dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu juga sangat

berpengaruh terhadap makin tersedianya bahan baku untuk proses industri manufaktur yang tidak ada di wilayah setempat.

Gambar 1 Geoposisi Indonesia terhadap Jalur Maritim Internasional

Sumber: Departemen PU.

Meskipun Indonesia sedang didera oleh kondisi perekonomian yang berat dan masih menghadapi ber-bagai permasalahan yang harus segera dicarikan pemecahannya pada sektor industri, namun in-dustri masih dapat tumbuh dan berkembang serta mempunyai keterkaitan yang semakin luas dengan sektor ekonomi lainnya. Departemen Perindustrian men-targetkan pertumbuhan industri manufaktur tahun 2006 sebesar 6%

dan 7,9% untuk tahun 2007.

II. Kondisi Makro Ekonomi Dan Investasi Tahun 2005 Serta Pandangan Ke Depan

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional lima tahun terakhir dari tahun 2001 terus meningkat meskipun pada tahun 2005 yang lalu belum mencapai target 6%. Pertumbuhan PDB pada tahun 2005 dicapai 5,6%, sedang-kan investasi tumbuh sebesar 9,9%

- 42 -

yang ternyata tertinggi dibanding dengan dengan komponen PDB lainnya meskipun mengalami pe-nurunan sebesar 5,8% dari tahun sebelumnya. Realisasi Investasi PMA sektor industri pada tahun 2005 sebesar US$ 3,5 miliar dan realisasi PMDN tahun 2005 sebesar Rp. 20,9 triliun. Diharapkan pe-ningkatan investasi ini dapat me-

ningkat lagi pada tahun berikut-nya, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 500.000 orang pertahun. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan PDB dari tahun 2000 sampai dengan 2005 dan kontribusi komponen PDB pada tahun 2005.

Gambar 2 Pertumbuhan PDB dan peranan investasi

Pertumbuhan PDBPertumbuhan Investasi dan

(%) kontribusi terhadap PDB 2005

% PDB

65,4

8,24

21,97

33,54

Sumber: BPS, Bank Dunia

Hal yang menggembirakan pada tahun 2005 adalah pertumbuhan investasi dibandingkan dengan komponen pembentuk PDB lainnya adalah yang tertinggi dan diikuti oleh ekspor serta pengeluaran

pemerintah. Peningkatan kontribusi investasi terhadap PDB merupakan indikasi perekonomian Indonesia berangsur mulai mengurangi ketergantungannya kepada konsumsi masyarakat.

Gambar 3. Ekspor Non Migas Nasional 2005

70.64%

29.36%

Konstribusi Ekspor KINon KI

Gambar 4 Target pertumbuhan perokonomian dan investasi

Sumber: Bank Mandiri 2006

Dari segi kontribusi ekspor terhadap perekonomian, ekspor Non-migas tahun 2005 mencapai US.$66.428,4 juta telah memberikan peran sebesar 77,54% dari total ekspor Indonesia. Sementara ekspor komoditi industri dari Kawasan Industri mencapai US.$. 46.928,3 juta atau 70,64% dari total ekpsor non-migas dan 54,78% dari total ekspor nasional. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa sumbangan dan peranan Kawasan Industri (KI) sangat signifikan. Dengan melihat pertumbuhan ekonomi dan investasi pada tahun 2005, maka harapan agar perekonomian dapat tumbuh dan mencapai sekitar 7,6% diperlukan upaya-upaya pencapaian pertumbuhan dan investasi, seperti pada Gambar 4, dan dibutuhkan pertumbuhan investasi selama 5 tahun yang akan datang rata-rata sebesar 13,1% dengan nilai total investasi sekitar Rp. 3,86 triliun.

Untuk mencapai pertumbuhan perekonomian sebesar 5,6% pada tahun 2005 pertumbuhan sektor industri ditargetkan mencapai 6,8%, namun realisasinya baru dapat dicapai 5,85%. Selanjutnya dengan target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 masing-masing berturut-turut sebesar 5,8%, 6,3%, 7,2%, 7,6%, maka sektor industri harus mampu tumbuh berturut-turut pada tahun yang sama

sebesar 6%; 7,9%. Investasi sektor industri ditargetkan setiap tahun sebesar Rp. 40 triliun sampai dengan Rp. 50 triliun agar tenaga kerja yang dapat diserap setiap tahun sebesar 500.000 orang.

Dalam rangka mencapai tiga target pertumbuhan yang cukup besar tersebut dikembangkan tiga kebijakan pembangunan industri yaitu:

a. peningkatan daya saing mela-lui perbaikan iklim usaha, pe-nyelesaian masalah-masalah aktual, peningkatan koordi-nasi antar sektor dan antar daerah, serta peningkatan efisiensi penggunaan energi;

b. peningkatan kapasitas industri melalui peningkatan inves-tasi, penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), serta pemberdayaan IKM;

c. peningkatan peran faktor pendukung investasi dan in-dustri melalui antara lain: pemberian insentif dan du-kungan infrastruktur, penye-diaan parasarana fasilitasi pengembangan klaster, pe-nyediaan kawasan industri spesifik daerah dan pening-katan kemampuan aparatur (pusat dan daerah).

2005 2006 2007

R T T T

Sektor Industri:

Industri 5,85 6,8 6 7,9

Investasi Rp. 40 – 50 T Rp. 40 – 50 T Rp. 40 – 50 T

Tenaga Kerja 500.000 500.000 500.000

Ekspor 19,35% 10% 10% 8%

Ket. R = Realisasi; T = Target

Gambar 5. Target pertumbuhan sektor industri

III. Konsep Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (SEZ) Sebagai Upaya Menarik Investor Asing

Perkembangan ekonomi global serta geo-ekonomi dan geo-strategis regional memberi indikasi kuat bahwa Indonesia perlu memfokuskan peningkatan ekspor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus yang mendapatkan beberapa fasilitas, seperti perpajakan, kepabeanan, dan infrastruktur pendukungnya sedemikian rupa, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi asing masuk ke Indonesia dan se-kaligus juga membantu mengem-bangkan wilayah dan kawasan. Kawasan-kawasan khusus inilah yang sementara ini akan dikem-bangkan sebagai Kawasan Eko-nomi Khusus di Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone.

Maksud dari pengembangan Kawa-san Ekonomi Khusus (KEKI) antara lain adalah untuk memberi pe-luang bagi peningkatan investasi melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap me-nampung kegiatan industri, eks-por-impor serta kegiatan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi ting-gi. Sedangkan tujuan pengem-bangan KEKI dimaksud antara lain meliputi : a. Peningkatan investasi terma-

suk Foreign Direct Invest-ment;

b. Penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tak langsung;

c. Penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor;

d. Meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;

e. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan

- 46 -

dan kapital bagi peningkatan ekspor;

f. Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui alih teknologi.

Untuk mewujudkan KEKI tersebut, Pemerintah telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di indonesia (Tim-nas KEKI) dengan SK Menko Pere-konomian Nomor : Kep-21/ M.EKON/03/2006 tanggal 24 Maret 2006. Perkembangan Timnas KEKI sejak pembentukannya hingga saat ini adalah sebagai berikut : a. Melakukan kajian literatur

yang terkait dengan pengem-bangan KEKI dan penelitian terhadap pengembangan ka-wasan-kawasan ekonomi khu-sus yang pernah dilakukan oleh negara lain termasuk evaluasi terhadap berbagai konsep yang ada;

b. Membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan KEKI meliputi : Tata Ruang dan Infrastruktur, Finansial dan Insentif Fiskal, Kelembagaan, Hukum dan Perundangan;

c. Menyusun kriteria penetapan lokasi bagi pengembangan KEKI, yang terdiri dari 10 butir, yaitu : 1) Komitmen yang kuat

dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota untuk

melaksanakan penge-lolaan kawasan ekonomi khusus yang telah dite-tapkan serta dukungan aspek legal dalam pengembangan kegiatan ekonomi baik untuk kebijakan fiskal maupun kebijakan non-fiskal;

2) Telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

3) Terletak pada wilayah yang relatif berkembang dan memilikii feasibility untuk dikembangkan sebagai kawasan eko-nomi (diantaranya dili-hat dari kedekatan dengan kawasan perkotaan serta me-miliki daya tarik sebagai daerah tujuan wisata);

4) Telah tersedia dukungan kapasitas dan aksesibi-ltas infrastruktur untuk pengembangan ekonomi serta kemungkinan pe-ngembangannya;

5) Tersedia lahan untuk pengembangan industri dan perdagangan dengan luas minimal 500 hektar, serta kemungkinan un-tuk diperluas di kemu-dian hari (termasuk

- 47 -

alokasi lahan bagi perumahan pekerja);

6) Tersedia atau dekat dengan pusat pendidikan dan pelatihan untuk pe-ngembangan kemam-puan tenaga kerja;

7) Terdapat kegiatan indus-tri pendukung untuk pe-ngembangan kegiatan ekonomi;

8) Lokasi mempunyai posisi strategis yang berorien-tasi keluar (outward looking) yang ditinjau dari dekat dengan jalur perdagangan interna-sional atau berhadapan dengan berhadapan de-ngan alur laut utama di Indonesia;

9) Tidak berpotensi meng-ganggu areal konservasi atau keberlanjutan ling-kungan hidup kawasan yang ada di sekitarnya;

10) Memiliki batas yang jelas (alam maupun buatan dan kawasannya mudah dikontrol keamanannya serta mendukung upaya pencegahan penyelundupan.

IV. Dinamika Pasar Produk Industri dan Peluang Indonesia

Perubahan pola produksi dan distribusi produk yang membuat banyak produsen dunia yang telah memiliki nama (branded), seperti:

Sony, Nokia, Nike, Toyota, Ford, Honda, Hewlett Packard dan lain-lain tidak lagi mempertahankan produksi di negaranya tetapi di negara mana saja yang dapat menghasilkan peningkatan daya saing. Untuk meningkatkan sensi-tivitas terhadap perubahan pasar, banyak produk yang melepas atri-but negaranya karena harus me-nekan biaya dan menyebarkan bagian-bagian produksinya ke negara-negara yang menjadi tuju-an pasarnya (outsourcing).

Pergeseran dari pola produksi se-cara masal (mass production) yang menghasilkan produk stan-dard yang mempunyai siklus cukup lama karena pasar yang stabil, berubah seiring dengan perubahan pasar yang dinamis menjadi pola produksi sesuai dengan selera pa-sar, sehingga siklus produksi men-jadi sangat cepat dan waktu yang pendek. Hal ini mengubah pola logistik dari semula supply chain tradisonal manufacturing push menjadi pola customization and personalization pull. Akibat dari perubahan pasar yang dinamis tersebut, maka pola produksi harus mengikuti terjadi-nya perang harga dan margin yang tipis, sehingga perusahaan manu-faktur yang telah memiliki pasar global mencari outsourcing dari berbagai negara yang kondisi iklim usahanya kondusif dan biaya yang rendah.

- 48 -

Hal ini membuat banyak negara, seperti Cina, Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia membuat strategi kebijakan investasi yang menarik. Indonesia yang memiliki posisi strategis ketataruangan se-perti pada Gambar 6 dapat me-manfaatkan investasi yang bero-rientasi kepada perekonomian ne-gara-negara, seperti Malaysia dan Singapura menjadi wilayah segiti-ga pertumbuhan investasi.

Investasi yang berprinsip pada pola customization and personal-ization mensyaratkan iklim yang kondusif, kepastian hukum, infra-struktur dan tenaga kerja yang memadai. Daerah khusus, seperti Special Economic Zone (SEZ/FTZ) sangat diminati oleh investasi yang menggunakan pola tersebut, karena dukungannya terhadap peningkatan daya saing produk sangat terasa oleh perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga produsen yang telah memiliki branded agar tetap dapat be-rsaing terhadap produk saingan-nya yang memilih berinvestasi pada kawasan-kawasan ini. Oleh karena investasi ini melakukan outsourcing dari berbagai sumber, maka pengembangan SEZ/FTZ yang utama adalah tidak harus dikaitkan dengan sumberdaya daerah yang dimiliki, melainkan iklim usaha yang kondusif dan infrastruktur yang baik. Di samping itu, pembangunan dan pendalaman klaster yang terkait

menjadi daya tarik investasi karena merupakan jaminan pasokan komponen yang dapat meningkatkan daya saingnya.

Dalam menghadapi peluang investasi tersebut Indonesia harus menghilangkan hal-hal yang menjadi hambatan investasi, seperti: Adanya biaya tinggi, Penyelundupan, Perburuhan, Ketidak pastian hukum, Keterbatasan Sumberdaya

Manusia, Keterbatasan kemampuan

teknologi, dan menciptakan dukungan investasi, seperti : Kebijakan penetapan status

wilayah khusus (SEZ), Membangun akses bisnis

internasional dan lokal, Meningkatkan koordinasi dan

keterpaduan antara pusat dengan daerah dan sektor dalam pembangunan industri.

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (SEZ) yang merupakan keterpaduan dari kawasan-kawasan yang ada (termasuk Kawasan Industri) akan memberikan: a. Layanan terpadu kelas dunia

dengan pelayanan kepabean-an yang prima

b. Akses infrastruktur kelas du-nia, seperti:

- 49 -

1) Ketersediaan listrik yang handal;

2) Ketersediaan bahan bakar pada mutu yang diperlu-kan (gas, batu bara, solar) pada harga dunia;

3) Ketersediaan air sesuai mutu yang diperlukan (debit teratur, kemurni-an, harga kompetitif);

4) Fasilitas komunikasi broadband (kabel dan satelit), ketersediaan ja-lur komunikasi (telpon), compability, difusi tekno-logi terkini yang sangat penting bagi suksesnya Kawasan Investasi Khusus;

5) Fasilitas pengolahan limbah;

6) Transportasi (jaringan transportasi yang kompetitif) : Transportasi antara

kawasan khusus de-ngan pelabuhan (laut dan udara), bebas hambatan (tidak ada kemacetan, tidak ada pungutan selain biaya angkutan, tarif tol yang bersaing, dsb;

Ketersediaan trans-portasi publik yang memadai di dalam kawasan khusus dan daerah sekitarnya.

7) Logistik pelayanan pela-buhan: 24 hours open,

terminal cost (THC) kelas dunia, handling speed kelas du-nia.

8) Dukungan lembaga kese-suaian, inspeksi dan kali-brasi yang terakreditasi internasional.

V. Dukungan Infrastruktur dan Insentif Dalam Pengembangan Kawasan Industri Manufaktur

1. Dukungan Infrastruktur

Keberhasilan pembangunan industri nasional sangat dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor ekonomi lainnya, salah satu-nya adalah dukungan terse-dianya infrastruktur yang me-madai, khususnya transpor-tasi. Pesatnya pertumbuhan industri manufaktur nampak-nya belum diimbangi dengan penyediaan infrastruktur transportasi (termasuk jalan) yang memadai. Akibatnya, se-ring dirasakan oleh para pela-ku ekonomi bahwa dalam ke-giatan industri manufaktur di kawasan industri salah satu penghambat terbesar masuk-nya investor ke Kawasan In-dustri, misalnya di Jawa Barat dan Banten atau di Provinsi/ Kota-Kota Besar lainnya, adalah problem transportasi.

Masalah transportasi yang dihadapi saat ini dan sering menjadi keluhan pelaku industri meliputi antara lain :

- 50 -

Kondisi jalan raya yang mengalami banyak kerusakan;

Kemacetan di jalan raya; Kenaikan harga BBM biaya

transportasi meningkat; Peran masing-masing moda

transport belum proporsional;

Belum terwujudnya intermoda transport.

Hal-hal tersebut di atas, da-lam kenyataannya berdampak pada user cost yang tinggi dan travel time yang panjang, sehingga pada gilirannya da-pat melemahkan kemampuan daya saing industri nasional. Oleh karena itu, perlu dilaku-kan upaya-upaya strategis untuk mengatasi permasalah-an infrastruktur transportasi tersebut sebagai berikut : 1) Memberi kesempatan

yang lebih besar kepada pihak swasta untuk dapat berperan dalam pemba-ngunan infrastruktur transportasi sesuai de-ngan atau melalui pe-nyempurnaan peraturan perundangan yang berlaku;

2) Mengembangkan moda transportasi lain, seperti Kereta Api, Ferry Roro dan sebagainya, untuk meringankan beban lalulintas jalan raya (angkutan darat);

3) Memperbaiki mekanisme pembebasan lahan untuk percepatan pembangunan infrastruktur publik;

4) Mempermudah investasi jalan tol melalui regulasi alokasi resiko yang lebih seimbang antara pemerintah dan investor;

5) Pengembangan jaringan jalan lokal sebagai pe-lengkap dan alternatif penghubung antar kawa-san industri, sehingga mengurangi beban lalu lintas pada koridor tol.

6) Penegakan aturan (law enforcement) terhadap kendaraan over load secara tegas dan konsisten, sehingga kecepatan rata-rata lalu lintas dan keutuhan jalan terjaga lebih baik.

7) Menyusun rencana induk pengembangan Kawasan Industri yang dapat men-jadi acuan bagi sektor dan pemerintah daerah untuk mempersiapkan infrastruktur pendu-kungnya.

2. Dukungan Insentif

Insentif dalam pengembangan Kawasan Industri melalui dua bentuk insentif yaitu :

a. Insetif Administrasi

Penyederhanaan meka-nisme perijinan, seperti

- 51 -

menjadi pelayanan “single window” melalui mekanisme negative list sebagai berikut :

Permintaan ijin yang ti-dak terdapat di dalam negative list langsung diproses dari kelengkapan dokumen yang dipersya-ratkan. Jika dokumen te-lah lengkap, persetujuan perijinan segera diter-bitkan.

b. Insetif Fiskal

Bentuk-bentuk insetif yang dapat diberikan da-lam rangka pengem-bangan kawasan industri melalui tiga bentuk in-setif sebagai berikut :

1) Insentif Fiskal

Pembebasan ter-hadap PPN, PPN-BM, BM atas ba-rang impor;

Pembebasan Pajak Ekspor;

Tax Holiday Pengurangan Pa-

jak berdasarkan pengeluaran biaya pelatihan pekerja;

Keringanan PBB Dsb.

2) Insentif non-Fiskal

Pelayanan satu atap untuk peri-jinan investasi atau melalui me-kanisme negative list;

Penjualan ke Daerah Pabean Lainnya (DPL) maksimun 20% dari produksi;

Batasan Bidang Usaha;

Sewa Lahan; Penyederhanaan

tata laksana Ke-pabeanan

Dsb.

3) Insentif Lainnya

Diberikan pembe-basan dari keten-tuan tet niaga da-lam hal pemasuk-an barang, sejauh barang tersebut merupakan bahan baku produksi dan tidak dilarang oleh pertauran perundangan;

- 52 -

Penyederhanaan ketentuan visa dan keimigrasian;

Penyederhanaan ketentuan ketena-gakerjaan;

Dsb.

3. Dukungan Aspek Hukum

Dalam rangka melaksanakan konsep pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, kegiatan industri diarahkan pada lokasi yang telah dileng-kapi dengan sarana pengen-dalian lingkungan. Sampai saat ini belum ada ketentuan yang mewajibkan perusahaan industri berlokasi di kawasan industri, sehingga di samping tingkat utilisasi industri di dalam kawasan industri belum memadai juga timbul kasus pelanggaran Tata Ruang serta dampak sosial.

Untuk mengatasi hal tersebut, Departemen Perindustrian menyusun Rancangan Per-aturan Pemerintah (RPP) ten-tang Kawasan Industri sebagai pengganti Keppres Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri.

Di dalam RPP Kawasan Indus-tri tersebut memuat keten-tuan : Semua perusahan industri

baik perusahaan baru maupun yang telah

beroperasi wajib berlokasi di kawasan industri;

Perusahaan industri yang melakukan kegiatan di dalam kawasan industri dan perusahaan kawasan industri diberikan fasilitas keringanan fiskal atau keringanan pajak/retribusi daerah.

VI. Penutup

b. Perubahan pola produksi glo-bal dari sistem produksi mas-sal menjadi sistem produksi komponen merupakan peluang investasi yang harus ditarik ke Indonesia dengan dukungan insentif dan iklim investasi yang kondusif serta infrastruktur yang memadai.

c. Menyiapkan Kawasan Industri dengan infrastruktur yang te-lah ada dan dipadukan dengan infrastruktur kawasan lain-nya, serta diberikan fasilitas yang tidak dimiliki kawasan sebelumnya, akan memben-tuk kawasan khusus yang memberikan layanan terpadu kelas dunia dengan pelayanan kepabeanan. Kawasan ini akan membentuk tingkat daya saing untuk investasi.

d. Ekspor komoditi industri tahun 2005 dari Kawasan Industri mencapai US.$. 46.928,3 juta atau 70,64% dari total ekpsor non-migas dan 54,78% dari total ekspor

- 53 -

nasional, menunjukkan peran kawasan industri pada perekonomian nasioanal cukup penting. Dalam kondisi krisis, seperti saat ini, peran Kawasan Industri dapat lebih ditingkatkan melalui stimulus insentif dan dukungan infrastruktur pelabuhan yang memadai serta jaringan transportasi yang kompetitif.

e. Mengingat pengembangan Kawasan Industri sangat ter-kait dengan Pemda/institusi di daerah, maka keterpaduan

antara kebijakan pusat dan daerah merupakan faktor kunci keberhasilan pemba-ngunan industri, sehingga memiliki daya saing yang berkelanjutan.

f. Pemecahan masalah infra-struktur transportasi untuk mendukung pengembangan Kawasan Industri manufaktur, harus menjadi perhatian/ agenda utama instansi pembina/berwenang dan komitmen dari semua pihak terkait (stakeholder).

- 54 -

Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran2

Dominggus Oktavianus3

Cukup lama sudah ekonomi nasional berjalan di atas realitas yang mengancam Indonesia sekedar menjadi : pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju.

Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Karenanya, merupakan kebutuhan obyektif untuk memberi penjelasan dari sudut alternatif anti-neoliberal beserta solusinya termasuk, cita-cita alternatif, seperti apa yang hendak dituju. Tanpa bermaksud menghadirkan determinisme sempit, ajuan gagasan industrialisasi nasional sebagai jawaban alternatif patut mendapat sambutan. Jawaban ini, tentu saja, menyertakan perubahan pada dimensi sosial lain, seperti pada bidang politik, sosial-budaya, birokrasi, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, dll.

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian : kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai

produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata.

Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting, sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain

2 http://indoprogress.blogspot.com/2007/02/industrialisasi-nasional-dan-cita-cita.html 3 Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat FNPBI, dan Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS

- 55 -

yang saat ini masih senasib.

Cakupan Industrialisasi Nasional

Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.

Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial. Karenanya, saya akan sangat berterimakasih apabila tulisan ini dapat dikritisi dan atau dilengkapi oleh siapa saja yang berkenan melakukannya.

Terdapat tiga variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut : Mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi

industri yang ada, sehingga tidak semakin hancur karena kalah bersaing di tingkat global, regional, maupun lokal (terhadap industri negeri-negeri yang lebih maju);

Mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi);

Mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru.

Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembang-kan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi, seperti : tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Imperialisme dan Masalah Ketergantungan

Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.

- 56 -

Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal.

1. Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya.

2. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan : jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.

Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena

- 57 -

bangkrut (dibangkrutkan ?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.

Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb.

Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi, sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.

Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan, sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.

Dampak Dalam Pusaran Neoliberal

Industri yang bergantung, seperti dipaparkan tadi, mulai menerima kehancuran saat integrasi ke dalam ekonomi global semakin dalam. Banyak tenaga produktif yang tersia-siakan atau bahkan sengaja dihancurkan. Pabrik-pabrik ditutup, pengangguran meningkat, lahan pertanian produktif diserahkan/dirampas untuk industri yang sama sekali tidak menopang pertanian sementara, sektor jasa (terutama pemasaran) merebak lampaui sektor produksi. Merebaknya industri pemasaran (ritel, mini market, dsb.,) bukan disebabkan oleh meningkatnya

- 58 -

produksi dalam negeri, melainkan dampak dibukanya keran impor dalam agenda perdagangan bebas.

Peran negeri-negeri dunia ketiga dalam integrasi tersebut, direduksi sekedar sebagai : penyedia buruh murah, bahan mentah (terutama kekayaan hutan dan tambang), serta pasar bagi produk negeri-negeri induk kapitalisme.

Dalam kerangka tiga tujuan pokok itu, paket liberalisasi ekonomi dijadikan strategi. Sementara instrumennya adalah negara dan lembaga-lembaga ekonomi internasional (IMF, WB, & WTO).

Industri nasional kian menghadapi persoalan konkret sejak pemerintah menandatangani nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan IMF tahun 1998. Butir-butir kesepahaman itu misalnya :

1. Liberalisasi Ekspor

Liberalisasi ekspor yang berakibat pemenuhan energi dan bahan baku industri semakin sulit. Bila pun sanggup dipenuhi, harus diperoleh dengan harga tinggi, sehingga biaya produksi melonjak. Masalah ini, misalnya, tampak pada industri kayu, keramik, pupuk, dll. Dalam hal sumber energi, sebagian besar hasil eksploitasi sumber energi, seperti minyak, gas, dan batubara dijual ke luar negeri. Sekitar 90 persen dari total produksi gas nasional di ekspor ke luar negeri, sementara batubara mencapai 70 persen.

2. Liberalisasi Impor

Industri nasional juga menghadapi persoalan liberalisasi impor yang berdampak pada kalahnya produk dalam negeri dibanding produk impor yang lebih murah dan berkualitas.

3. liberalisasi Investasi

Persoalan lainnya adalah liberalisasi investasi yang mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan jangka panjang.

Pemerintah Indonesia berharap liberalisasi akan membawa modal masuk dan ditanamkan pada sektor riil. Lebih jauh lagi, mereka berharap investasi asing yang masuk akan membawa teknologi, sehingga daya saing di pasar global meningkat. Sama, seperti ketika proses deregulasi tahun 1980-an yang menghasilkan sejumlah kemajuan (tapi semu) pada industri manufaktur. Karena alasan ini pula, pemerintahan sekarang mempertahankan politik upah murah sebagai daya tarik, yang dipermanis dengan kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility).

- 59 -

Namun harapan itu tidak terwujud karena, kecenderungan global akumulasi modal bukan dilakukan melalui investasi produksi tapi, melalui spekulasi saham yang jumlahnya ratusan persen lebih besar dari nilai aset riil. Selain itu, lebih dari 80 persen modal sebenarnya tetap terkonsentrasi di negeri-negeri maju. Kalaupun modal tersebut keluar, maka negeri-negeri, seperti : Cina, India, dan Vietnam yang baru membuka perekonomiannya lebih menjadi pilihan. Negeri-negeri ini juga menyediakan pasar tenaga kerja yang murah, dan ditunjang oleh infrastruktur yang lebih memadai.

Langkah-langkah Industrialisasi

Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:

1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri, seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus dihentikan atau dibatasi.

2. Sebagai antisipasi jangka panjang, dibutuhkan kajian-kajian strategis terhadap sumber energi alternatif dengan dampak negatif seminim mungkin terhadap lingkungan hidup.

3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.

4. Kebijakan strategi industri dengan sektor swasta harus menghasilkan pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan baku setengah jadi. Termasuk di dalamnya, membangun industri induk mesin, industri kimia, industri baja olahan, alumunium, dan lain sebagainya. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negeri yang memiliki teknologi lebih maju, atau ‘mengadopsi’ teknologi yang dipelajari dari luar negeri (Jerman, Jepang, Rusia, Cina, dll).

5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi

- 60 -

sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.

6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum, sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih, sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.

7. Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara:

a. Mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian;

b. Mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya;

c. Mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran;

d. Mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi.

Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru.

8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan, sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya; hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dsb-dst.

9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan :

- 61 -

a. sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, b. bahan baku produksi yang murah, serta c. jaminan ketersediaan pasar.

Program Pembiayaan Industrialisasi Nasional

Sudah tentu, program industrialisasi akan berhadapan pada masalah modal. Masalah ini juga merupakan kunci politik bagi berjalannya program industrialisasi, karena sarat dengan muatan kepentingan kelas elit yang selama ini mengambil untung dari masing-masing masalah. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan oleh kemampuan pembiayaan, dukungan sumber daya manusia, serta mobilisasi politik dan pengembangan budaya produktif sebagai aspek non-ekonomis terpenting.

Setidaknya terdapat lima masalah besar sehubungan dengan sumber pembiayaan yang mesti diatasi, yaitu: utang luar negeri, pengolahan sumber daya alam, dana obligasi perbankan, persoalan korupsi, serta sistem kredit perbankan. Masalah-masalah tersebut harus disusun menjadi program-program sebagai berikut:

1. Mengatasi masalah utang luar negeri yang total jumlahnya mencapai seribu enam ratus triliun rupiah. Anggaran negara setiap tahun untuk membayar utang, seperti yang diketahui bersama, mencapai separuh dari total anggaran pembiayaan. Jumlah utang yang sangat besar tersebut, tidak lain merupakan hasil praktek rente bisnis perbankan internasional. Program kita adalah mengambil sikap tegas dengan menolak pembayaran utang. Atau pada tingkat yang paling konservatif, menuntut moratorium tanpa bunga selama jangka waktu tertentu (misalnya; lima belas sampai dua puluh tahun).

2. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dipastikan pengawasan dan kontrolnya oleh negara. Langkah nasionalisasi atas industri pertambangan adalah salah satu opsi meningkatkan penghasilan negara. Bentuk lain yang merupakan capaian kompromi adalah memperbaharui kontrak karya dengan korporasi-korporasi pertambangan, yang notabene mayoritas berasal dari luar negeri. Bila ditelusuri jumlah keuntungan yang dikeruk melalui berbagai industri tambang, sudah lebih dari cukup untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan. Contohnya, Exxon-Mobill Oil, Ltd. yang setiap tahun mampu membawa pulang puluhan miliar US dollar, hanya dari satu blok di Cepu. Atau PT. Newmont di NTB yang menurut laporan resmi, membawa pulang 9,1 triliun rupiah setiap tahun.

3. Dana obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan bank-bank swasta. Dana ini telah dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha yang terjerat kredit macet untuk menalangi utang mereka. Negara dibebani uang puluhan triliun

- 62 -

rupiah setiap tahun untuk membayar bunga obligasi.

4. Kebocoran anggaran negara yang sangat besar harus diatasi dengan cara yang efektif. Kuncinya adalah tidak menggunakan perangkat birokrasi untuk mengatasi korupsi di jajaran birokrasi. Lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dibangun sampai ke tingkat lokal, disertai mekanisme transaparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat.

5. Sistem perbankan saat ini lebih memprioritaskan pinjaman kepada sektor konsumsi. Kredit yang diberikan kepada industri menengah dan kecil sangat minim, terutama di sektor-sektor yang masih tertinggal. Perubahan kebijakan dapat dimulai dengan jaminan yang lebih besar oleh negara untuk pengucuran kredit mikro oleh perbankan.***

- 63 -

Negara dan Kebijakan Industri4

Martin Manurung5 Suara Pembaruan, 22 Maret 2006.

PERNYATAAN mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang dimuat Pembaruan (13 Maret), perihal ketiadaan konsep pemerintah dalam bidang industri, sungguh tepat dalam menggambarkan situasi saat ini. Belum lama berselang, kita juga mendengar keluhan dari berbagai asosiasi industri yang mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki strategi industri yang jelas, sehingga perekonomian dan pembangunan bergerak tanpa arah dan prioritas.

Neoliberal

Kalangan pro-neoliberalisme mungkin melihat keprihatinan tersebut di atas berlebihan. Bagi kalangan ini, negara memang tidak seharusnya, atau jangan, berperan dalam mengarahkan pembangunan industri (industrial development). Apa sebab ? Biarkan mekanisme pasar yang mengarahkan dan mengatur kebijakan industri. Kebijakan industri dari negara, apalagi proteksi, dipandang akan mendistorsi pasar dan alokasi sumber daya (resources), serta menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Apalagi, aparat pemerintah pun dinilai cenderung korup dan tidak cukup memiliki kompetensi. Kalau pun negara hendak menggunakan kebijakan industri, ia haruslah bersifat kebijakan umum (general industrial policy) dan tidak selektif (selective industrial policy) mengutamakan dan memberi dukungan pada salah satu sektor unggulan. Sebab, kebijakan ini, sekali lagi, dinilai akan mengganggu alokasi sumber daya dan menyebabkan inefisiensi.

Bukankah paradigma ini yang kini mendominasi arah kebijakan perekonomian dan pembangunan kita ? Biarlah pembangunan industri semata-mata ditentukan oleh pasar. Membanjirnya barang-barang produksi China di Indonesia adalah salah satu konsekuensi dari mekanisme "pasar bebas". Hal itu disebabkan China dapat memproduksi dengan lebih efisien dari Indonesia, upah buruhnya murah, tak banyak lika-liku proteksi lingkungan, wajar saja produknya membanjiri pasar domestik Indonesia. Benarkah harus demikian ?

"Menendang Tangga"

Sejarah negara-negara industri/maju saat ini justru menunjukkan pengalaman yang berbeda dengan kampanye "pasar bebas" yang kini mereka suarakan dengan lantang. Misalnya, Prancis, Austria, Norwegia dan Finlandia, pasca Perang Dunia II,

4 http://indoprogress.blogspot.com/2006/03/negara-dan-kebijakan-industri.html 5 Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana, School of Development Studies, University of East Anglia (Inggris)

- 64 -

menempuh kebijakan industrial yang selektif. Kebijakan ini meliputi perencanaan investasi, pengendalian negara atas transaksi keuangan, peran sentral badan-badan usaha milik negara (BUMN), berbagai proteksi perdagangan, dan subsidi industrial untuk memodernisasi perindustrian mereka dan bersaing (serta selanjutnya melampaui) negara-negara maju saat itu, di antaranya Inggris.

Bahkan, kampiun "pasar bebas" Amerika Serikat pun menjalankan kebijakan negara yang cukup sentral ketika ia masih berstatus "negara berkembang" dalam menghadapi kompetisi pasar bebas guna menantang dominasi Inggris di pasar global.

Stiglitz (2005) mencatat bahwa industri telekomunikasi pada awalnya di tahun 1842 dibentuk oleh negara.

Jalur telegraph pertama di Amerika Serikat, yang membentang antara Baltimore dan Washington, dibangun oleh negara. Teknologi internet pun, yang kini berperan besar dalam perekonomian global, diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat.

Industri-industri utama Amerika Serikat di abad ke-19, di antaranya industri agrikultur, mendapat sokongan penuh dari pemerintah Amerika Serikat, bahkan sampai saat ini. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan ekonomi yang dominan pada pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim perdagangan bebas.

Contoh lain, Inggris pada abad ke-16, menjalankan kebijakan industrial yang selektif dengan memberikan perlakuan istimewa dan proteksi terhadap industri wool yang menjadi andalannya (Chang 2001). Kebijakan industrial yang selektif ini akhirnya mengantarkan Inggris menjadi negara industri wool utama di dunia, dan baru pada abad ke-19, kebijakan proteksionistis itu mulai dilonggarkan dan Inggris mulai meliberalisasi pasarnya.

Berbagai contoh itu menunjukkan bahwa argumentasi "pasar bebas" sebagai satu-satunya jalan menuju industrialisasi-sebagaimana dipercayai oleh kaum neo- liberal-menjadi ahistoris. Tak Heran bila Ha-Joon Chang (2001), ekonom pembangunan dari Universitas Cambridge di Inggris, menyebutkan kampanye "pasar bebas" laksana "menendang tangga" (kicking away the ladder), agar negara-negara berkembang tak bisa memakai tangga itu untuk "mengejar" ketertinggalannya.

Mengapa Gagal ?

Sejarah juga mencatat gagalnya kebijakan-kebijakan industri yang selektif di berbagai negara. Di antaranya, kebijakan industri selektif di Indonesia di era Orde Baru, ternyata tidak membawa kita pada akhir cerita yang sukses sebagaimana pengalaman negara-negara, seperti disebut di atas.

Kegagalan kebijakan industri selektif lebih banyak disebabkan permasalahan

- 65 -

pada implementasinya. Absennya mekanisme yang tepat dalam : akuntabilitas, pengawasan kinerja dan manajemen, menjadi penyebab utama dari kegagalan tersebut.

Alice Amsden (1989), profesor ekonomi-politik di Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang banyak meneliti perihal industrialisasi di Asia, mencatat bahwa keberhasilan kebijakan industri sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian target kinerja. Ia mencontohkan, BUMN di Korea dan Jepang diharuskan membuktikan bahwa mereka memanfaatkan kebijakan suportif negara untuk meningkatkan produktifitas dan/atau ekspor. Jika mereka gagal membuktikan hal tersebut, maka dukungan negara pada periode berikutnya akan dihapuskan.

Kualitas dan kompetensi aparat pemerintah (birokrasi) pun sangat menentukan bagi keberhasilan kebijakan industri. Peningkatan kualitas dimaksud dilakukan melalui berbagai pelatihan, pembenahan sistem insentif dan reformasi birokrasi (bukan sekadar "debirokratisasi" yang ditujukan untuk memangkas peran pemerintah, melainkan memampukan mereka agar andal menjalankan tugas dan fungsi negara). Selain itu, satu hal yang krusial adalah implementasi demokrasi partisipatoris untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku aparat pemerintah.*

Tanggapan 1 (Helmi Arman)

Hm... saya rasa kondisi dulu dan sekarang agak berbeda, Tin.

Ketiadaan dukungan dan arahan pemerintah terhadap industri berkaitan erat dengan kondisi administrasi negara dan keuangan pemerintah saat ini. Sebagaimana diketahui, komitmen pemerintah untuk mengembangkan sektor tertentu lazimnya diwujudkan melalui dua alat : kebijakan (dalam artian peraturan), dan subsidi (subsidi dalam arti luar, bisa melalui tax breaks, pemberian kredit

murah, dll).

Waktu jaman Pak Harto dulu, pemerintah mampu jor-joran mendukung IPTN melalui subsidi (walaupun akhirnya yang tercapai tidak banyak) karena memang kondisi keuangannya memungkinkan. Dulu kita adalah net oil exporter, dan uang PMA terus mengalir. Sekarang ?

So, it all comes back to: with what money ?

Dari sisi peraturan juga tidak, seperti dulu lagi. In post-Suharto Indonesia, agility pemerintah sangat berkurang. UU harus lewat DPR. Penerbitan inpres/keppres yang sedikit kontroverisal pun bisa memicu interpelasi. Ada contoh kecil saja:

- 66 -

pengembangan sektor ekspor melalui pembentukan lembaga pembiayaan ekspor.

Pemerintah tahu kalau ekspor sangat diperlukan untuk kesinambungan stabilitas nilai tukar; oleh karena itu dibuatlah Lembaga Pembiayaan Ekspor agar bisa memberikan kredit murah kepada eksportir. Tapi, untuk menjadikan "lembaga" dalam arti sesungguhnya (sovereign agency) diperlukan undang-undang, yang harus lewat DPR. Ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Alhasil, institusi yang telah dibuat tersebut sampai sekarang masih menjadi "bank," dan karena rating "bank" tidak sama dengan "lembaga," cost of financingnya pun mahal dan maksud awal pendirian institusi tersebut tidak tercapai. Nasib Undang-Undangnya ? Sudah bertahun-tahun masih nyangkut di DPR.

Again, I think this is one cost we have to pay for our early and abrupt transition towards democracy.

Tanggapan 2 (Martin Manurung)

Banyak cara untuk memajukan sektor industri secara selektif, dari yang costly sampai yang pada level arahan kebijakan. Berbagai kebijakan industri selektif itu a.l: infant industry protections export and other business subsidies directed credit indicative investment planning regulation and industrial investment targeted support for R&D targeted technological promotion local content requirement and skill development.

Berbagai rangkaian kebijakan di atas, bisa dipilih prioritas pelaksanaannya berdasarkan perencanaan pembangunan sektor industri dan tentunya budget constraint. Yang terpenting adalah visi pemerintah harus jelas, sehingga tertuang dalam rangkaian kebijakan yang bisa diaplikasikan untuk meningkatkan daya saying. Faktor ini yang tidak kelihatan dalam pemerintahan sekarang. Selain karena dominannya paradigma 'menyerahkan sepenuhnya pada pasar', juga antara lain karena takut bersikap.

Untuk menghindari dugaan macam-macam dari masyarakat dan parlemen, maka kebijakan industri selektif harus dilaksanakan : dengan transparan, jelas ukuran/parameter analisisnya, jelas kerangka kebijakan jangka panjangnya dan dilaksanakan dengan tegas.

- 67 -

Yang jauh lebih membuat pembatasan dalam kebebasan pilihan kebijakan adalah serangkaian peraturan dalam WTO sebagaimana saya tulis di artikel 'menendang tangga pembangunan' di blog ini. Untuk hal ini, kita memang cermat dan cerdik, agar kita tetap dapat mengembangkan daya saing industri kita.

Soal budget constraint, harus dilihat juga profile pengeluaran kita. Sekitar, sepertiga dari tax revenue, langsung ke luar sebagai pembayaran bunga utang luar negeri. Permasalahan ini harus cepat dicari jalan keluarnya. Banyak skema untuk keringanan dan/atau penghapusan utang luar negeri yang mungkin dilakukan, kalau pemerintah mau kerja keras. Contoh paling nyata adalah klausul 'odious debts' yang sampai sekarang tidak pernah diajukan dan diupayakan. Memang, untuk melaksanakan klausul tersebut, kita harus bekerja keras mengejar koruptor-koruptor jaman Orde Baru dulu, karena akan sulit mengatakan utang Orde Baru sebagai utang najis, sementara koruptornya satu pun tidak ketahuan. Pemberantasan korupsi yang katanya gencar sekarang ini kan, tidak menyentuh koruptor-koruptor jaman Orde Baru.

Menurut saya, tidak ada masalah dengan aplikasi demokrasi. Kalau pemerintah bisa menunjukkan skema kebijakan yang jelas dan transparan, tentu itu akan meminimisasi 'kecurigaan' yang mungkin muncul. Justru kalau tidak ada demokrasi, kebijakan pembangunan industri bisa jadi amburadul, seperti jaman Soeharto dulu.

Tanggapan 3 (Coen Husain Pontoh)

Martin,

Apa yang kau sampaikan dalam komentarmu terhadap Helmi, mengingatkan aku pada apa yang disebut, "industrialisasi yang dibimbing oleh negara." Atau mungkin lebih tepatnya, ini ’kan strategi industrialisasi substitusi impor (ISI) ? Inilah yang oleh beberapa pakar, seperti alm. Sritua Arief, atau Walden Bello, sebutkan sebagai kunci sukses keberhasilan industrialisasi di Korea Selatan dan Taiwan.

Strategi ISI ini pernah coba diterapkan di masa-masa awal Orba, tapi kemudian gagal. Strategi ini juga pernah diterapkan di beberapan negara di kawasan Amerika Latin, seperti Brazil dan Argentina pada tahun 1970-an, tapi gagal juga.

Kenapa sukses di satu tempat tapi, gagal di lain tempat ? Padahal secara politik ada kemiripan antara rejim di Korsel, Taiwan, Orba dan di Argentina, misalnya, yakni sama-sama dipimpin oleh kedikatoran militer.

Dulu ada buku tipis dari Arief Budiman yang coba menjelaskan kenapa gagal di Indo dan sukses di Korsel, ada kedua adalah sama-sama rejim otoriter-birokratik ? Kata Arief, sebabnya karena : di Korel rejim otoriter birokratiknya berwatak pembangunan (disebutnya rejim

- 68 -

otoriter-birokratik-pembangunan) dan di Indo rejim otoriter-birokratiknya berwatak rentenis (disebut rejim otoriter-

birokratik-rente).

Sementara kau mengusulkan sebuah strategi industrialisasi yang didorong oleh negara yang dipimpin oleh rejim demokratik. Sepanjang bacaan saya, secara historis belum ada contoh strategi mirip ISI ini dikawal oleh rejim demokratik. Strategi ISI selalu bergandengan tangan dengan rejim otoritarian.

Tanggapan 4 (Martin Manurung)

Coen, ISI itu dibangung berdasarkan thesis 'Prebisch-Singer' yang mengatakan bahwa underdevelopment di negara berkembang itu karena barang yang diekspor oleh negara relatif berkembang lebih murah daripada barang yang diimpor dari negara maju. Akhirnya berkembang pemikiran bahwa agar dapat maju, maka stop barang impor, dan negara berkembang mencukupi dirinya sendiri melalui pembangunan industri. Dengan demikian ia berkembang dalam perekonomian yang tertutup.

Yang saya tawarkan adalah industrialisasi dalam perekonomian terbuka. Kita tetap berinteraksi dengan perekonomian internasional akan tetapi memilih sektor industri unggulan untuk dikembangkan menjadi industri yang kompetitif.

Soal relasinya dengan demokrasi, saya sih tidak melihat ada korelasi langsung diantara keduanya. Brazil sekarang ini di bawah Lula juga rejim demokratik, dan bisa menjalankan kebijakan yang relatif independen terhadap kemauan WTO. Justru dengan demokrasi, kegagalan institusi yang terjadi di masa Orde Baru bisa dihindari; yaitu pemanfaatan strategi industri selektif untuk kepentingan kelompoknya (nepotisme).

Tanggapan 5 (Helmi Arman)

Ah yes... utang luar negeri. Isu yang selalu hangat. Izinkan saya keluar dari topik ya. Memang, kewajiban utang luar negeri kita (bunga dan pelunasan pokok) lumayan berat. Kl tidak salah sekitar Rp 56 tn atau 9% dari anggaran belanja tahun ini.

Dari sudut pandang seorang development economist, keringanan dalam kewajiban utang luar negeri memang sangat dibutuhkan (Sachs dalam buku terbarunya menegaskan hal ini). Namun, di tengah makin terintegrasinya perekonomian Indonesia, masalah ini menjadi lebih sensitif. (Perlu diingat juga, bahwa Sachs dalam bukunya mengambil contoh moratorium utang untuk negara-negara latin Amerika dan ex-Soviet, yang pasar keuangannya belum terintegrasi secara global).

Di Indonesia, investor asing kini memegang hampir, seperlima dari obligasi pemerintah (SUN) yang diperdagangkan. Pemerintah harus sangat hati-hati dalam

- 69 -

segala approach untuk menegosiasikan utang. Bila ada sedikit saja sinyal bahwa kemampuan/keinginan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya berkurang, bisa terjadi sell-off hebat di pasar obligasi. Bila itu sampai terjadi, konsekuensi nya bisa disastrous. Yield obligasi akan naik, rupiah anjlok dan pemerintah akan makin kesulitan membiayai defisitnya.

Menurut saya, segala haircut atau penundaan kewajiban harus terlihat datang dari kreditor. Akhir tahun lalu, kepala Bappenas telah menggembar-gemborkan keinginan moratorium. Untung saja pasar tidak menganggap dia kredibel, sehingga reaksi terhadap rencana populis tersebut tidak substansial.

Sejauh ini, saya rasa kebijakan tim ekonomi secara garis besar on the right track. Hanya saja kecepatannya sangat lamban karena terlalu banyak rintangan. Yang paling penting dilakukan pemerintah saat ini adalah reformasi birokrasi, agar rencana untuk memberikan stimulus utk belanja infrastruktur bisa terealisasi.

26/3/06 1:57 AM

Tanggapan 6 (Coen Husain Pontoh)

Martin,

Nah itu yang saat ini perlu dikaji lebih jauh yakni, ketika ekonomi Indonesia sudah sedemikian terintegrasi (baca: tergantung) pada sistem kapitalisme internasional. Apakah mungkin, dengan tetap bermain dalam sistem kapitalisme dengan pembagian kerja yang tidak adil itu kita bisa membangun industri nasional yang selektif ? Rasanya tidak, sebab struktur ekonomi dan pasar yang timpang itu memang merupakan esensi dari sistem ini. Satu-satunya cara untuk bisa memulai strategi yang kau usulkan itu, adalah memutus rantai ketergantungan itu, dan sejauh ini memang selalu tidak mudah. Karena, struktur yang tidak adil itu, sudah berkait-berkelindan dengan kepentingan politik dan militer global.

Amerika misalnya, untuk tetap menjaga superioritas ekonominya berhadapan dengan Jepang dan Eropa Barat (secara ekonomi, AS kalah efisien dari Jepang), telah menjadikan kekuatan militernya sebagai ujung tombak untuk memenangkan kompetisi. Negosiasi tak pernah benar-benar masalah ekonomi semata, dan di sinilah masalahnya menjadi semakin ruwet.

Coba tengok sejenak kasus Hugo Chavez di Venezuela, AS memandang politik Chavez lebih sebagai ancaman politik ketimbang ekonomi. Karena itu, Chavez diidentikkan dengan Hitler yang fasis, ketimbang seorang Juan Peron yang populis. Sebutan ini sama persis ketika mereka menyebut Daniel Ortega dari Sandinista dulu, sebagai Hitler. Dan itu memberi jalan bagi AS untuk menyerang rejim yang dikategorikan fasis tersebut. Itu juga berarti mematikan alternatif di luar kapitalisme, atau alternatif untuk membangun ekonomi negara yang independen.

- 70 -

Kebetulan kau menyebut Lula di Brazil, yang di kalangan kiri Amerika Latin sudah dinilai melenceng dari jalur politik kiri. Ia, misalnya, memberikan konsesi yang sangat besar kepada MNC dan big bussiness lokal dalam pembangunan sektor agribisnis. Cobalah tengok susunan kabinetnya. Ia juga memblok kelompok progresif di dalam partai buruh Brazil, dan lebih mengedepankan aparatus partai yang kariris.

Tanggapan 7 (Anonymous)

Martin,

Menilik namanya, anda pasti orang Batak, iya khan ? Hehehehe, just kidding.

Begini bung, saya agak setuju ama Pontoh, bahwa adalah sulit untuk membangun industri selektif dalam kondisi kita yang sangat tergantung dan lemah ini. Coba kita bermain simulasi sejenak.

Si A yang mewakili pemerintah Indonesia, bernegosiasi dengan si B yang mewakili negara kapitalis maju. A: Kami ingin membangun industri selektif guna memajukan bangsa kami. B: Tentu saja itu ide yang bagus, kami juga dulunya, seperti sebelum menjadi,

seperti sekarang. Tapi, industri apa yang ingin Yang Mulia bangun itu ? A: Berdasarkan kajian para ahli ekonomi kami, berdasarkan ketersediaan

sumberdaya alam dan sumberdaya manusia kami, kami memutuskan untuk membangun sektor industri migas, karena ini yang paling memungkinkan kami lakukan.

B: Wah itu bagus dan rasional. Apa YM butuh bantuan kami ? Suku cadang misalnya, pemasaran, atau bantuan teknis lainnya ?

A: Nah persis itulah yang kami butuhkan: suku cadang, bantuan teknis, dan pemasaran. Itu yang kami kurang.

B: Pasti kami sediakan. Hanya saja kami butuh kesediaan YM untuk bidang-bidang yang lain buat kami garap, dukungan politik dan keamanan, serta kepastian hukum.

A: Kami setuju, itu memang sudah merupakan komitmen pemerintah kami. Yang penting, kami bisa membangun industri yang kuat dan menguntungkan secara ekonomi dan politik.

Maka kesepakatan pun terjadi (bisa juga tidak toh ?). Dan kita tahu, berdasarkan pengalaman sejarah kesepatakan itu makin menjerumuskan negara berkembang ke dalam cengkeraman negara kapitalis maju.

Ataukah simulasi saya ini yang keliru bung Martin ?

Bravo,

Bayu

- 71 -

Strategi Industrialisasi dan Proteksionisme6

Akar intelektual kebijakan industrialisasi yang dikendalikan negara dimulai pada abad ke-19. Antusiasme terhadap usulan–usulan untuk industrialisasi selanjutnya melanda Jepang dan dunia Barat, yang mendorong seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa apa yang semula tidak lebih dari tujuan kebijakan telah berubah menjadi “ideologi independensi ekonomi”, yang menghendaki “peningkatan posisi negara serta titik berat pada pada industrialisasi sebagai wahana bagi integrasi nasional” (Claire, 1980;139). Indonesia, sebagai mata rantai negara berkembang, juga tidak luput terkena demam industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana sejak tahun 1969, sesungguhnya pendekatan yang digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi.

A. Gagasan Industrialisasi

Secara definitif, sampai saat ini pemaknaan tentang pembangunan ekonomi yang pokok adalah pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan, sehingga menghasilkan transformasi struktural dalam perekonomian.

Definisi pembangunan

ekonomi

Menurut Mellor (1987;81), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perekonomian diubah dari apa yang sebagian besar pedesaan dan pertanian menjadi sebagian besar perkotaan, industri, dan jasa–jasa. Jadi inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi.

Definisi pembangunan

ekonomi

Transformasi strukrural sendiri dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa (Chandra, 1992:4).

Definisi transformasi

strukrural

Pandangan ini dipelopori oleh Colin Clark (1940) dan Simon Kuznets (1957 dan 1958). Clark menggambarkan tentang ”modernisasi ekonomi”, atau proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka : perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder dan peningkatan yang layak dalam produksi tersier. Negara yang telah mencapai tahapan modernisasi ekonomi inilah yang dianggap telah mengalami tahap industrialisasi. Transformasi struktural di sini diharuskan,

6 http://yasinta.wordpress.com/2008/08/19/strategi-industrialisasi-dan-proteksionisme/

- 72 -

karena sektor primer dipandang tidak memiliki nilai tambah yang tinggi serta nilai tukarnya rendah.

Sementara itu, tolok ukur industrialisasi menurut (Rostow, 1991:5) adalah apabila tingkat investasi dan tabungan mencapai 10% dari pendapatan nasional. Era industrialisasi ditandai dengan industri–industri baru berkembang dengan pesat, memberikan keuntungan yang sebagian besar diinvestigasikan lagi dalam bentuk baru. Indutri-industri baru ini tentunya membutuhkan banyak pekerja pabrik, yang pada akhirnya mendorong timbulnya layanan-layanan jasa yang mendukung para pekerja tersebut dan kebutuhan akan barang-barang manufaktur lainnya, perluasan lebih lanjut di daerah perkotaan dan dalam pabrik-pabrik modern lainnya.

Sedikit berbeda dengan sebelumnya, Model Neoklasik, dengan para tokoh-tokohnya, seperti Arthur Lewis dan Hollis Chenery, lebih menekankan perhatiannya kepada mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat, seperti pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri, kepada suatu perekonomian yang lebih modern, mengarah ke kota, dan beraneka di bidang industri dan jasa-jasa (Todaro 1997: 75). Intinya, neoklasik memusatkan pada bagaimana “mekanisme” perubahan struktural tersebut terjadi.

Pada dekade 1980-an, pandangan industrialisasi, seperti diatas mendapat kritik dari Joan Robinson, Cohen, dan Zysman (Arief, 1995:12). Tiga ekonom Cambrige ini berargumen bahwa transformasi ekonomi bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari pertanian ke manufaktur dan jasa. Tahap transformasi seharusnya dipahami dalam pengertian proses dinamika yang terjadi dalam sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya. Secara spesifik, sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan dan sektor industri sebagai motor pembangunan, atau offshoot dari sektor pertanian.

Dengan demkian, setidaknya ada dua karakteristik transformasi ekonomi yang merupakan model dasar dari percepatan industrialisasi yang dikembangkan dalam jangka panjang, yaitu : 1. Sektor pertanian harus terus mengalami dinamika internal (produktivitas

yang terus meningkat) dan menjadi basis bagi sektor industri yang dikembangkan.

2. Sektor industri yang dikembangkan mempunyai saling keterkaitan dengan sektor pertanian, yang jika didinamisasikan akan menjadi kunci hebat bagi pertumbuhan sektor manufaktur.

B. Industrialisasi dan Proteksionisme

Terdapat tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, di

- 73 -

mana ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai berikut :

1. Strategi industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas (broad-based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang memadai, seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari industri-industri asing tersebut.

2. Strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga mudah disaingi oleh pihak asing.

3. Industri hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan dan pengangguran.

Namun, kenyataan pada awal-awal pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah. Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun, upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik dalam hal : modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi.

Ini menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya, sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.

Akhirnya, proses industrialisasi Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan

- 74 -

yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.

Dengan pola pandang tersebut, industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.

C. Fase-fase Industrialisasi

Ada tiga fase dengan penekanan kebijakan yang berbeda-beda dalam pengerjaan proyek industrialisasi selama Orde Baru, yaitu :

1. Strategi substitusi impor tahap pertama, yaitu di awal 1970an sampai akhir 1970an, yang didukung oleh sejumlah besar kebijakan tarif bea masuk dan pajak penjualan barang impor yang dibebankan sekaligus.

2. Substitusi impor tahap kedua, dengan menggalakkan pengembangan industri-industri hulu, terutama industri dasar pengolahan sumber daya, seperti : industri baja dan industri aluminium.

Untuk mendorong proses ini, pemerintah mulai melakukan non-tariff barriers, terutama pembatasan impor kuantitatif dan program-program penghapusan.

3. Dengan momentum kemerosotan harga minyak pada tahun 1982, ditempuh kebijakan pengembangan sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor.

Fase-fase industrialisasi yang ditempuh Indoensia sebetulnya mirip dengan yang dilakukan negara-negara berkembang lain, seperti : Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong. Sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan sejalan dengan keyakinan bahwa peningkatan sektor pertanian merupakan prasyarat keberhasilan industrialisasi. Skenarionya adalah, peningkatan sektor pertanian akan meningkatkan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. Sedangkan proses industrialisasi sangat membutuhkan bahan mentah maupun setengah jadi dari komoditas primer, khususnya produk pertanian.

Namun, di Indonesia jenis industri yang dikembangkan sangat beraneka,

- 75 -

sehingga tidak mudah untuk dianalisis. Jenis industri manufaktur di Indonesia terdiri dari :

1. Industri padat karya, dengan ciri-ciri : penyerapan tenga kerja tinggi, berorientasi ekspor, sebagian besar dimiliki swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.

2. Industri padat modal dan tenaga trampil, dengan ciri-ciri : berorientasi pasar domestik, sebagian besar kendali ada di pemerintah atau PMA, dan tingkat konsentrasi yang tinggi.

3. Industri padat sumber daya alam, dengan ciri-ciri : orientasi ekspor yang tinggi, sebagian besar kepemilikan di tangan swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.

4. Industri padat teknologi, dengan ciri-ciri : semakin berorientasi ekspor, kepemilikan ada di tangan asing dan swasta, kandungan impor dan tingkat konsentrasi yang tinggi.

Dalam kurun waktu tidak lama, tujuan transformasi ekonomi memang segera menunjukkan hasil. Pada tahun 1971, kontribusi sektor pertanian (termasuk kehutanan, perikanan, dan peternakan) dalam pembentukan PDB mencapai 44,8%. Namun pada tahun 1980 menurun menjadi 24,8% dan pada tahun 2001 tinggal 17%.

Sebaliknya, sektor pengolahan pada tahun 1971 hanya menyumbang 8,4% dalam PDB. Pada tahun 1980 dan 2001 meningkat menjadi masing-masing 11,6% dan 25%.

Pola yang sama juga terjadi pada sektor bangunan dan perdagangan yang semakin meningkat peranannya. Sementara itu, perkembangan data yang lebih baru dan lengkap menunjukkan tahun 2005 sektor pertanian hanya menyumbang 13,41% terhadap PDB dan sektor indusri 28,05%.

Salah satu analisis mendeskripsikan bahwa dalam banyak hal Indonesia tidak mengalami pendalaman yang berarti dalam industrialisasi. Negara-negara yang telah mapan melakukan industrialisasi biasanya ditandai bukan hanya oleh pergeseran sektor ekonomi dengan lebih bertumpu pada sektor industri, melainkan juga dengan semakin intensifnya proses manufacturing dalam sektor yang bersangkutan. Negara-negara, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura yang memulai proses industrialisasi hampir bersamaan dengan Indonesia memiliki struktur industri yang lebih padat pemrosesan (manufacturing) dan enjiniring. Dengan demikian, penguasaan teknologi dan nilai tambah produk menjadi memungkinkan. Sebaliknya, di Indonesia sebagian besar industri yang berjalan masih tergantung pada pola-pola yang tidak membutuhkan pemrosesan.

- 76 -

D. Peta Industrialisasi di Indonesia

Sebelum Indonesia mengkaji fenomena ekspornya, hal penting yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi arah strategi pengembangan industri dan mendiagnosa struktur pasar ekonomi Indonesia. Ini perlu dilakukan karena tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah menciptakan terjadinya transformasi ekonomi. Dari titik inilah muncul tiga persoalan struktural dalam ekonomi Indonesia, yakni :

1. Belum dirumuskannya jenis industri dan produk yang hendak dikembangkan dan dijadikan andalan di masa depan secara tuntas. Selama ini, perdebatan mengenai kedua hal tersebut masih dilakukan secara kurang transparan dan melibatkan banyak elemen masyarakat. Akibatnya, strategi industrialisasi lebih banyak didekati dengan subjektivitas daripada mempertimbangkan aspek-aspek rasional sesuai cerminan kebutuhan ekonomi nasional.

2. Sistem produksi dan distribusi ekonomi nasional masih mengandalkan pola proteksionisme, sehingga menimbulkan distorsi pasar. Ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru, yaitu substitusi impor. Dalam perkembangannya, strategi SI justru menyebabkan iklim monopoli dalam pasar ekonomi Indonesia. Strategi SI tidak direncanakan secara selektif, sehingga banyak yang memanfaatkan kebijakan tersebut untuk mengeruk keuntungan secara berlebih tanpa proses usaha yang efisien. Apalagi kebijakan-kebijakan khas rezim SI tidak segera direvisi ketika industri menunjukkan prestasi yang tidak sesuai.

3. Keberadaan sektor pertanian di Indonesia sangat memperihatinkan, di mana di samping kontribusinya terhadap pendapatan nasional telah sangat kecil, juga tidak menunjukkan adanya proses modernisasi dan keterkaitan dengan proyek industrialisasi yang dikerjakan. Ini diakibatkan adanya perbenturan ide tentang strategi industrialisasi yang akan dijalankan dan perbedaan kepentingan politik antara pengambil kebijakan (penguasa) dengan pelaku dunia usaha (pengusaha).

Sebenarnya, Indonesia telah memiliki informasi akurat (melalui data neraca perdagangan) mengenai identifikasi jenis teknologi dan produk apa yang bisa diprioritaskan. Yang pasti, unsur teknologi dalam pembangunan ekonomi saat ini tidak perlu lagi dipertanyakan, karena merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal yang harus dipikirkan adalah : pada sektor apa teknologi tersebut harus dikonsentrasikan dan pada level mana jenis teknologi harus diproduksi dan dikembangkan.

Perdagangan sektor industri manufaktur Indonesia selama ini selalu defisit. Padahal, total neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukan angka surplus

- 77 -

yang berarti. Selain itu, dari identifikasi pemakaian jenis teknologi diketahui bahwa industri manufaktur yang memakai teknologi tinggi dan menengah menyumbangkan defisit terbesar. Sebaliknya, industri berteknologi rendah justru selalu surplus dan menutupi kekurangan pada industri lainnya. Besarnya defisit industri berteknologi ini dikarenakan besarnya kandungan impor dan dominasi asing.

Jika dilihat dari kontribusi ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, di mana ini mungkin sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk manufaktur.

- 78 -

Khilafah dan Strategi Industrialisasi Dunia Islam7

Dunia Islam sekarang tertinggal jauh dari negara-negara industri di dunia. Sementara Barat telah melewati fase industrialisasi 150 tahun yang lalu, Dunia Islam tetap terde-industrialisasi secara besar-besaran, dan banyak kasus tersebut dipercaya terjadi di negara berkembang.

Industrialisasi bisa diartikan sebagai keadaan di mana sebuah perekonomian dilengkapi dengan mesin/pabrik, yang kemudian hal tersebut menjadi stimulus bagi sektor-sektor lain perekonomian. Contohnya adalah Kerajaan Inggris, yang memusatkan manufaktur pada perekonomiannya, industri perkapalan, amunisi dan pertambangan yang mendorong Inggris menjadi sebuah kekuatan global yang mempunyai kemampuan mobilisasi perang dan penjajahan yang cepat. Di saat perdamaian, industri-industri tersebut dipakai untuk kepentingan masyarakat.

Hal ini adalah alasan fundamental bagi setiap bangsa yang menginginkan industrialisasi. Mempunyai dasar industri membuat sebuah bangsa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan mandiri dari bangsa lainnya. Tanpa industrialisasi suatu bangsa akan tergantung secara politik dan ekonomi pada negara lain dalam kebutuhan-kebutuhan vital, seperti pertahanan, industri dan produktivitas perekonomian. Contoh terakhir menggambarkan dengan tepat negara-negara dari Dunia Islam saat ini.

Mengapa Dunia Islam Gagal Berindutrialisasi ?

Bagi seorang pengamat yang netral, adalah mengejutkan jika Dunia Islam, yang mempunyai berbagai hasil tambang dan sumberdaya yang melimpah, sangatlah miskin dan gagal berindustrialisasi. Sebagai contoh, Irak saja mempunyai 10% cadangan minyak dunia. Juga sebuah fakta yang tidak aneh bahwa Kuwait juga memiliki 10% cadangan minyak dunia. Dengan mempelajari semua kejadian pada semua negara tersebut, yang membentuk Dunia Islam, seperti Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan, Indonesia dan Malaysia, sangatlah jelas terlihat sederet kesalahan dan contoh kesalahan manajemen perekonomian yang luas.

Miskinnya visi politik dan arah yang jelas di wilayah Muslim dan kekukuhan pemimpin Muslim yang lebih memilih kebijakan mengejar target jangka pendek yang pragmatis, adalah masalah historis sejak hancurnya Negara Khilafah pada tahun 1924. Turki tidak pernah bisa lagi mencapai titik potensialnya karena kebijakan-kebijakan yang tidak jelas dan berlatar politis yang dibebankan oleh IMF dan Bank Dunia. Pakistan berada di bawah perintah Bank Dunia untuk tetap berkonsentrasi pada ekspor tekstil dan memastikan dasar manufakturnya tidak

7 http://hizbut-tahrir.or.id/2009/05/18/khilafah-dan-strategi-industrialisasi-dunia-islam/

- 79 -

pernah berkembang.

Negara-negara Arab tidak pernah mengembangkan industri manufaktur, meskipun dalam sektor perminyakan, dikarenakan keinginan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang ingin mengontrol penyulingan minyak mentah dan melalui kemampuannya mengontrol produksi minyak dan negara-negara penghasil minyak. Pada tahun 2006 Timur Tengah memproduksi 31,2% minyak mentah dunia. Hanya 3,2% yang diolah di kawasan tersebut. Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an meliberalisasikan perekonomiannya dan membuka semuanya bagi investasi asing, yang menimbulkan Krisis Asia pada tahun 1997, yang sampai sekarang masih belum pulih. Saat ini mereka terlilit utang lebih dari 140 miliar dolar.

Dunia Islam menerapkan sejumlah kebijakan yang memastikan perekonomian mereka tidak bisa menyediakan kebutuhan masyarakat. Hasilnya adalah: orang-orang harus memberikan waktu dan usahanya dalam pekerjaan untuk menopang diri mereka sendiri daripada berkontribusi pada pekerjaan yang bertujuan agar negaranya menjadi sebuah kekuatan penting di dunia. Oleh karena itu, untuk mengindistrialisasikan Dunia Islam, kaum Muslim harus diyakinkan akan pentingnya hal tersebut, dan mengapa harus berkorban untuk visi, seperti itu.

Contohnya adalah apa yang didapatkan oleh Amerika Serikat ketika mereka menelantarkan perekonomian konsumen dan menjalankan industrialisasi sebelum Perang Dunia II. Pemerintah Amerika mulai memperluas sistem pertahanan nasionalnya, menghabiskan uang yang sangat banyak untuk memproduksi kapal, pesawat udara, persenjataan, dan alat peperangan lainnya. Hal ini menstimulus pertumbuhan industri dan penurunan pengangguran yang cepat. Setelah Amerika masuk kancah peperangan pada Desember tahun 1941, semua sektor perekonomian dimobilisasi untuk mendukung kinerja perang. Industri meluas dengan cepat, dan pengangguran digantikan dengan kekurangan karyawan.

Negara tersebut bergerak sendiri dengan cepat untuk mobilisasi penduduk dan semua kapasitas industrinya. Selama akhir 1930-an, industri yang terkait perang menerima target produksi yang mengejutkan, yakni : 300.000 pesawat terbang, 5.000 kapal kargo, 60.000 pesawat pendarat, dan 86.000 tank. Para pekerja wanita memainkan peran lebih besar dalam industri daripada sebelumnya. Para pengusaha mengabaikan efek depresi yang besar dan mulai mengambil keuntungan atas perjanjian pemerintah yang melimpah. Pekerjaan mulai bermunculan di mana-mana dan orang-orang mulai bekerja dalam upaya peperangan.

Masyarakat menerima perbandingan dan kontrol harga untuk pertama kalinya sebagai cerminan dukungan atas usaha peperangan. Permintaan yang sangat besar adalah untuk suplai perang yang mendesak, tanpa memikirkan biaya. Semua

- 80 -

perusahaan memperkerjakan setiap orang yang terlihat, bahkan suara truk di jalanan meminta orang-orang untuk melamar pekerjaan. Para pekerja baru dibutuhkan untuk menggantikan 11 juta orang usia kerja di ketentaraan. Semua aktivitas negara tersebut, seperti : pertanian, manufaktur, pertambangan, perdagangan, investasi, komunikasi, dan bahkan pendidikan dan pembuatan budaya dalam suatu cara bergerak menuju industrialisasi dengan tujuan mempersiapkan upaya peperangan.

Bersamaan dengan hal tersebut Amerika menerapkan pemikiran para ahli dan sarjana terbaiknya. Pemerintah Amerika mengidentifikasi adanya kemungkinan untuk membangun sebuah senjata nuklir yang bisa menjadi alat yang berguna dan mempunyai kemampuan menghancurkan yang luar biasa. Maka lahirlah proyek Manhattan. Proyek ini merupakan hasil dari perlombaan untuk menjadi negara pertama yang mempunyai bom atom, bersama dengan keuntungan kekuasaan strategis yang akan diterima.

Kegagalan Dunia Islam memperlihatkan kesalahan manajemen sumberdayanya saat ini. Masalah inti dari kesengsaraan perekonomian saat ini mengerucut pada beberapa faktor utama : sudut pandang yang tidak ideologis dari para pemimpinnya, dan berdampak pada rendahnya visi politik bagi wilayah-wilayah tersebut.

Dua faktor ini berarti bahwa meskipun dengan sumberdaya yang melimpah, negara-negara tersebut akan tetap tunduk secara ekonomi dan politik kepada Barat, karena mereka tidak mempunyai dasar yang kuat untuk membangun perekonomian mereka sendiri. Hal ini membuat perekonomian terpecah, sehingga gagal untuk maju dalam satu tujuan.

Kebijakan Negara Khilafah untuk melakukan industrialisasi harus berpusat pada hal-hal sebagai berikut:

1. Membangun Perekonomian Yang Berorientasi Pada Pertahanan

Kebanyakan perekonomian diketahui mempunyai penekanan pada pencapaian satu sektor tertentu dari perekonomian – biasanya menggunakan sektor ini sebagai stimulus bagi bagian lain perekonomian. Kebanyakan diambil dari perubahan perekonomian Inggris yang berbasis manufaktur menjadi berbasis pelayanan pada akhir tahun 1980-an. Saat ini kebanyakan aktivitas perekonomian didorong untuk menyediakan layanan, dan hal tersebut yang mendorong aktivitas ekonomi pada sektor lainnya. Tetapi sebaliknya, Negara Khilafah harus menitikberatkan pada industri pertahanan sebagai stimulus dan kekuatan di balik perekonomian. Hal ini tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan kekayaan tetapi juga industri ini sangat penting sebagai suatu upaya pencegahan dari negara-negara lain yang

- 81 -

mempunyai rencana terhadap wilayah-wilayah Islam.

Membangun perekonomian yang berbasis pada pertahanan melibatkan pembangunan industri berat, berupa industri besi dan baja, batubara dan lainnya, seperti halnya industri persenjataan dan seterusnya. Ciri-ciri utama kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

Untuk mengindustrialisasikan sebuah forum yang khususnya dipersiapkan untuk menyatukan dukungan dan pembentukan kerjasama para pengusaha. Tujuan utama inisiatif ini adalah menyediakan bantuan, baik itu secara ekonomi maupun politis bagi industri-industri besar untuk mengembangkan perusahaan dan bisnis tertentu yang bergerak dalam bidang industri berat dan kebutuhan akan perekonomian yang berbasis pada pertahanan. Bantuan bisa berupa pinjaman lahan yang bebas biaya, dengan harapan produksi masal besi dan baja atau bahan kimia bisa mendatangkan para pengusaha dan pebisnis. Bantuan lainnya juga bisa berupa bantuan keuangan dari pemerintah bagi mereka yang ingin menciptakan perusahaan tertentu di area-area di mana negara harus mengembangkan atau mensuplai bahan-bahan pengembangan kimia dan peleburan logam.

Ini adalah kebijakan yang juga dipakai Jepang setelah pendudukan Amerika Serikat tahun 1952, dengan pertolongan dan persetujuan diam-diam Amerika Serikat. Jepang membawa para pengusaha dan pebisnis terbaiknya untuk menghindari ancaman komunisme, yang ketika itu telah mencapai Korea Utara. Akibatnya para pemimpin Jepang mencabut larangan kepemilikan bersama dan memperkenankan pembentukan kelompok konglomerat yang kemudian terus mendominasi perekonomian Jepang. Kelompok-kelompok ini, dikenal sebagai kairetsu, seringkali dikaitkan sebagai keturunan dari zaibatsu di masa sebelum perang, seperti dalam kasus tiga dari ‘The Big Six’ – Mitsui, Mitsubishi dan Sumitomo. Para pelaku kunci industri bekerja bagi kepentingan negara karena mereka bisa melihat jumlah kekayaan yang besar yang bisa didapatkan. Militer Amerika mulai membeli persediaan dari Jepang, menciptakan permintaan yang besar atas barang-barang Jepang.

Proses industrialisasinya sendiri mempercepat pertumbuhan, banyak pekerja yang pindah dari pertanian yang hasilnya sedikit dan produksi tekstil ke dalam industri modern. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengusaha produksi barang-barang dengan permintaan dan nilai yang tinggi, seperti mesin, lambat laun menggantikan barang-barang dengan permintaan rendah, seperti tekstil. Pada tahun 1970 banyak hasil industri Jepang merupakan produk-produk yang tidak pernah ada pada pasaran Jepang 20 tahun sebelumnya, seperti televisi berwarna, petrokimia, dan pendingin udara (AC).

- 82 -

Hal tersebut adalah tipe-tipe kebijakan yang Dunia Islam harus kejar, dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari pihak swasta dan juga menyatukan para tokoh kunci pimpinan industri dalam sebuah Negara Khilafah. Dunia Islam bukanlah semacam kumpulan para pelaku industri atau pengusaha lainnya. Juga, ketika realisasi dividen yang potensial dari kebijakan, seperti itu menjadi dikenal sebagai kekayaan, maka mereka akan menjadi bagian dari kebangkitan perekonomian karena mereka bisa menghasilkan pendapatan yang tidak pernah terdengar dari Dunia Islam dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan perhatian pada kesejahteraan masyarakat untuk bisa membangun investasi swasta.

2. Visi Politik

Alasan mengapa Dunia Islam saat ini mengalami de-industrialisasi adalah lemahnya visi politik. Para pemimpin umat Muslim telah meletakkan negaranya sebagai pasar bagi perusahaan multinasional Barat. Konsep perdagangan bebas dan pasar bebas selalu menjadi alasan bagi dunia berkembang untuk menghambat industrialisasi di negara lain, dan mengubah mereka menjadi tempat industri untuk konsumsi Barat. Ketika tujuan politik telah timbul maka ada perkembangan yang muncul di Dunia Islam; Mesir mengembangkan program nuklir pada tahun 1950-an, tetapi mereka menghentikan program tersebut setelah kekalahan pada 1967 dari Israel. Pakistan meneruskan dan mengembangkan sebuah program nuklir yang berhasil.

Untuk Negara Khilafah yang baru muncul, salah satu kebijakan kunci adalah mempersatukan masyarakat dalam satu visi politiknya. Jika hal tersebut tercapai maka masyarakat pasti akan bekerja untuk mencapai target tersebut, kemudian hal itu akan diperkenalkan di kawasan Muslim lainnya, dan ketika mereka bisa memahami arahnya mereka akan berpaling dan menjalankan visi tersebut. Salah satu masalah terbesar di wilayah Muslim adalah kurangnya setiap kebijakan yang bisa mengangkat derajat bangsanya sendiri. Khilafah harus menemukan orang yang paling ahli dan membuat mereka melaksanakan visi tersebut dan memberikan rasa percaya diri pada masyarakat.

Hal tersebut membutuhkan pengembangan kemampuan militer untuk membela diri dan menghentikan semua serbuan dan penyerang yang potensial. Pemikiran ini pasti akan membawa kita pada perkembangan teknologi yang tidak ada dalam Dunia Islam, dengan tujuan membawa militer pada tingkatan yang sama dengan standar global moderen. Untuk mencapainya suatu negara harus berindustrialisasi. Untuk berindustrialisasi Anda harus memiliki keahlian teknis dan bahan mentah, di mana sebuah strategi perlu dikembangkan.

Contoh hal tersebut adalah, seperti yang terjadi pada Uni Soviet. Para

- 83 -

pengikut komunis menghabiskan lima tahun perencanaan yang dimulai pada tahun 1928, yang bertujuan untuk membangun sebuah basis perindustrian berat tanpa menunggu bertahun-tahun untuk mengumpulkan keuangan melalui ekspansi industri konsumen dan tanpa bergantung pada keuangan dari luar. Rencana Lima Tahun (The Five-Year Plan) adalah sebuah daftar target perekonomian yang telah direncanakan untuk memperkuat perekonomian Uni Soviet antara tahun 1928 sampai 1932, membuat negara tersebut bisa mencukupi kebutuhan militer dan industrinya sendiri. Perencanaan lima tahun tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkan semua aktifitas ekonomi dalam pembangunan industri berat yang sistematis, sehingga mengubah Uni Soviet dari negara agraris yang sederhana menjadi sebuah kekuatan yang mapan secara industri dan militer. Dalam menjalankan rencananya, rezim Stalin membagi sumberdaya ke dalam produksi batubara, besi, baja, perlengkapan jalan kereta api, peralatan mesin. Semua kota-kota baru, seperti Magnitogorsk di pegunungan Ural, dibangun dengan partisipasi antusiasme para pekerja dan intelektual muda. Rencana ambisius ini menggambarkan sebuah aroma tugas dan membantu mobilitas dukungan untuk rezim tersebut.

Semua hal di atas memperlihatkan pembahasan sebelumnya tentang sumber daya dan bagaimana hal tersebut diubah menjadi produk-produk yang berguna, maka dibutuhkan tujuan politik yang nantinya akan memberikan arah.

3. Pengolahan Barang Tambang

Negara Khilafah harus mempunyai kontrol atas barang tambang mereka sendiri beserta industri yang menyuling dan mengolahnya, untuk menghilangkan keter-gantungan pada negara lain. Hal ini akan menjadi target kunci bagi industri sebagai bahan baku yang sangat penting bagi berlangsungnya industri-industri lain.

Pakistan mempunyai sumberdaya alam yang sangat banyak, termasuk minyak, gas, emas, kromite, bijih besi, batubara, bauksit, tembaga, timah, belerang, batu kapur, marmer, pasir, batuan asin dan tanah liat untuk keramik, dan hanya sedikit yang bisa disebutkan. Seiring pertumbuhan negara tersebut, dengan mengintegrasikan wilayah Muslim lainnya maka akan bisa didapat sumberdaya, seperti itu dan juga lainnya. Sangatlah mungkin untuk mengembangkan berbagai industri internal yang bisa mengolah dan memproses sumberdaya ini, sehingga tidak tergantung pada keahlian asing.

Kebanyakan sumberdaya tersebut saat ini diproses oleh perusahaan-perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan tersebut memberikan bagi hasil dari sumberdaya yang mereka olah, contohnya

- 84 -

minyak dan gas, dan tidak ada upaya yang dibuat untuk mentransfer keahlian dan tehnologi, sehingga Pakistan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dalam proses ini. Perusahaan minyak milik negara telah sah dijual melalui topeng privatisasi.

Untuk bisa mandiri dalam mengolah barang tambang, sejumlah proses harus ditentukan. Semua sumberdaya, yang tidak dimiliki oleh Negara Khilafah di wilayahnya, harus diimpor dari negara-negara yang tidak mempunyai rencana (bermusuhan atau menyerang) terhadap wilayah Islam. Kebijakan tersebut saat ini diterapkan oleh China. Kebutuhan China akan minyak berakibat pada banyaknya bantuan, pinjaman (banyak tidak tertulis) dan hibah yang diberikan China kepada negara-negara Afrika dengan tujuan mendapatkan minyak. Hal tersebut telah dilakukan dengan membangun kilang minyak termasuk fasilitas sekitarnya, seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit, dan kantor-kantor tanpa ikut campur dalam pemerintahan yang sedang berjalan, terbalik dengan campur tangan negara Barat. Kebijakan yang sama harus dilakukan oleh Negara Khilafah jika diperlukan, tetapi kebanyakan wilayah Muslim mempunyai kelebihan dengan anugerah sumber barang tambang yang melimpah, dan hanya beberapa barang tambang tertentu saja yang harus diimpor.

Negara juga harus mengembangkan sebuah kebijakan bagi perusahaan-perusahaan Barat, yang berada di Dunia Islam. Apa saja yang harus dipahami sebagai penghormatan bagi mereka bahwa letak permasalahan adalah kehadiran mereka di Dunia Islam. Kehadirannya saat ini telah menjadi masalah ketika mereka diberikan kebebasan penuh untuk mengelola sumberdaya, dan pada beberapa kasus diberikan bagian dalam bentuk sumberdaya sebagai bentuk pembayaran. Banyak pemimpin Muslim dan kroninya mendapatkan keuntungan finansial pribadi yang menjadi penghalang bagi pendapatan negara atas sumberdaya tersebut.

Masalah terbesar adalah adanya fakta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mentransfer keahlian dan teknologi kepada negara tempat mereka bekerja. Perusahaan, seperti itu harus dipaksa menandatangani kesepakatan untuk mentransfer keahlian mereka kepada Negara Khilafah. Perdagangan adalah satu alat yang kuat dalam hubungan keamanan. Tidak ada dua negara yang mempunyai jalinan perdagangan yang sehat bisa berperang satu sama lain. Buktinya adalah hubungan antara Amerika Serikat dan China, meskipun kedua negara menganggap masing-masing sebagai saingan, mereka tidak bisa berperang, karena pada saat ini mereka saling membutuhkan.

Dalam hal transfer teknologi kasus yang baru-baru ini terjadi pada pembuatan kapal selam di Pakistan adalah suatu contoh yang bagus. Pakistan dan Perancis telah menandatangani sebuah perjanjian untuk membangun tiga buah kapal

- 85 -

selam. Satu di antaranya akan dibuat di Perancis, sementara dua lainnya akan dibuat di Pakistan. Dua kapal selam yang dibuat di Pakistan akan dibuat dengan bantuan para insinyur Perancis, sehingga transfer teknologi bisa terjadi. Hal tersebut jelas memperlihatkan bahwa dengan adanya kemampuan politik maka industrialisasi bisa terjadi.

Negara Khilafah akan perlu menemukan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan, dan mendapatkannya dari negara yang bersahabat. Pakistan saat ini mempunyai infrastruktur industri berat dan ringan. Contohnya, mesin-mesin untuk perusahaan gula dan semen, ketel uap, masin rol jalan, mesin panen, mesin pintal dan lain-lain. Heavy Mechanical Complex mempunyai fasilitas untuk memproduksi tuangan baja dan besi ringan, sedang, dan berat. Industri-industri tersebut dan lainnya bisa dipakai untuk mengembangkan industri penyuplai bagi peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk industri bahan mentah.

Negara Khilafah harus membiayai industrialisasi dengan tiga cara :

a. Investasi Langsung : hal ini masuk akal di mana penerimaan keuntungan akan susah jika diberikan pada industri, seperti perkapalan, penelitian ruang angkasa atau pengoperasian sistem rel kereta api. Oleh karena itu, Negara Khilafah harus mengatur hal tersebut atau mensubsidi operasi mereka.

b. Berkolaborasi dengan industri – hal ini pastilah terjadi jika terdapat nilai komersial yang potensial pada proyek tersebut, sehingga keterlibatan pemerintah sangat dibutuhkan agar proyek tersebut bisa berjalan, contohnya, seperti eksplorasi minyak.

c. Merangsang industri untuk bergabung dalam proyek – hal ini diwujudkan dengan memberikan kontrak pada industri untuk membuat tank, persenjataan, kapal laut dan lain-lain atau contohnya dengan menyediakan bantuan/subsidi kepada industri yang mengolah bahan mentah, atau menyediakan lahan kosong untuk proyek konstruksi bangunan misalnya pabrik persenjataan.

Negara Khilafah juga harus berupaya menarik mereka yang mempunyai kemampuan untuk membantu pengembangan industri pertahanan. Dunia Islam telah mempunyai para ilmuwan dan insinyur ahli nuklir, seperti halnya insinyur perminyakan. Tetapi karena kurangnya kesempatan maka para ahli tersebut terpaksa pindah ke luar negeri dan menambah kekurangan ahli dan teknologi di Dunia Islam. Contohnya, ketika Mesir menghentikan kebijakan mengembangkan senjata nuklir pada tahun 1967, banyak para ilmuwannya yang pergi ke Irak dan bergabung dengan program persenjataan Saddam

- 86 -

Hussein. Abdul Qadir Khan bapak nuklir Pakistan akhirnya menganggur.

Menjalankan sebuah kebijakan industrialisasi akan mendapatkan stimulus dalam perekonomian. Apa yang saat ini kurang dalam Dunia Islam adalah arah dan perencanaan dalam atmosfir perekonomian. Mayoritas para pelaku ekonomi kekurangan dorongan dan investasi, dan juga terlalu tergantung pada ekspor gas dan minyak.

Pembentukan industri pertahanan yang lebih maju akan mengundang suntikan investasi yang lebih besar. Hal ini akan diiringi investasi sektor swasta dari para pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan sebagai imbasnya dan akan terus dikembangkan. Pengaruh nyata pertama yang harus dimengerti adalah kebijakan tersebut akan menciptakan lowongan pekerjaan bagi mereka yang sebelumnya pengangguran. Negara mungkin harus mengadakan sebuah pelatihan, tetapi Dunia Islam bukanlah sekedar pekerja yang memiliki ketrampilan saja.

Adanya pekerjaan tentunya akan menambah konsumsi, seiring dengan masuknya pendapatan yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan bertambahnya permintaan barang dari masyarakat biasa. Peningkatan tersebut dalam selisihnya akan mendorong perkembangan sektor-sektor perekonomian lainnya, seperti sektor industri barang, sektor barang konsumsi dan juga permintaan terhadap beberapa barang mewah. Permintaan tersebut akan mendorong orang-orang untuk menyediakan barang-barang yang dibutuhkan dan lebih jauh menciptakan kesempatan kerja dan kekayaan ekonomi.

4. Pertanian

Untuk mengikuti sebuah kebijakan industrialisasi sangatlah penting bagi setiap negara untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Sangatlah penting bahwa sebuah negara untuk tidak bergantung pada kekuatan asing dalam kebijakan agrikulturalnya, karena setiap kebijakan tidak akan bermakna tanpa adanya kemampuan negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Negara Khilafah juga harus membuat kebijakan agrikultur yang mandiri, dengan menggunakan tanah Arab, yang dianugrahkan pada kaum Muslim.

Turki mensahkan kebijakan dasar yang jelas pada dalam bidang industri dan pertanian melalui campurtangan negara setelah perang dunia, meskipun sejak akhir 1980-an reformasi IMF telah benar-benar menghentikan pembangunannya. Sebagai konsekuensinya, saat ini Turki menjadi pengekspor bahan makanan, sapi dan ternak.

Harus diingat bahwa Negara Khilafah nanti harus berinvestasi dalam peralatan dan teknik pertanian terbaru. Perlu dijelaskan bahwa Korea Utara dulu

- 87 -

mempunyai kebijakan pertanian yang jelas, berkembang setelah Perang Dunia II yang disebut sebagai filosofi Juch, yang diterapkan dalam tiga tahap pada pemerintahan komunis. Korea Utara adalah negara yang bisa secara potensial melakukan perdagangan dengan Negara Khilafah, sehubungan dengan rencananya mengekspor peralatan pertaniannya, tetapi terhalang karena pasar Amerika dan Eropa tertutup bagi mereka dengan alasan keamanan. Negara bisa membuat poin-poin perdagangan yang menarik, sehingga kita bisa mendapatkan mesin pertanian Korea Utara dan juga kelebihan teknik pertanian mereka.

Ini hanyalah gambaran umum tentang kebijakan-kebijakan yang harus diterapkan di wilayah kekuasaan Negara Khilafah. Wilayah Muslim dipenuhi oleh berbagai sumberdaya, para ahli, dan orang-orang yang mau bekerja demi kepentingan Islam. Para pemimpin saat ini -selama mereka ada- akan tetap memastikan adanya negara-negara yang tidak akan pernah berkembang dan mencapai kekuatan sebenarnya, dan telah menetapkan diri mereka sebagai agen tetap dari kekuatan dunia. Pada awal abad ke-20 Jerman menentang kerajaan Inggris dengan industrinya yang kemudian mengakibatkan terjadinya Perang Dunia I. Hal tersebut juga untuk membatasi pembentukan kekuatan global yang seimbang dan tujuannya setelah membangun dalam kurun waktu 6 tahun dan mengambil kekuatan dunia secara bersama sama untuk menghentikan kemajuannya. Uni Soviet dalam rentang waktu 20 tahun berkembang dengan cepat dan hampir 50 tahun bersaing dengan Amerika sebagai adikuasa global.

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa jika ada kemauan maka semua negara bisa melakukan indutrialisasi dan sanggup membela diri mereka sendiri, sementara itu, tanpa industrialisasi mereka akan terus jatuh dalam pengaruh kekuasaan asing. Akan tetapi, ada perbedaan penting yang harus dicatat. Banyak contoh negara-negara yang berindustrialisasi hanya bertujuan untuk menaklukkan dan menjajah kawasan lain atau menyandang status sebagai penguasa dunia.

Umat Islam yang sedang menuju industrialisasi dan perkembangan teknologi harus dibangun di atas kekuatan akidah Islam dan motivasi yang terus berjalan. Selalu berpegang teguh pada tuntunan Allah Swt dan utusan-Nya yang mulia Nabi Muhammad saw.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya ketika ia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberikanmu kehidupan. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya-lah engkau dikumpulkan. (TQS. al-Anfal [8]: 24)

- 88 -

Industrialisasi dan Wiraswasta: Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’8

Dalam lima tahun terakhir ini, isu daya saing bangsa mengemuka, menyusul bergesernya kecenderungan orientasi ekonomi nasional dari inward looking ke outward looking. Pergeseran itu erat kaitannya dengan berakhirnya oil bonanza, yang antara lain ditunjukan oleh semakin berperannya sektor non-migas dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) kita.

Secara bertahap, peran sektor non-migas itu akan semakin dominan. Paling tidak itulah harapan atau pilihan yang harus diambil, mengingat dalam dasawarsa mendatang sektor migas tidak akan lagi menghasilkan ekspor neto, malah sebaliknya: impor neto. Keadaan itu tentu akan sangat mempengaruhi perolehan devisa negara. Atau dengan kata lain, sumber cadangan devisa mendatang harus mengeduk dari ladang non-migas.

Persoalannya sekarang, ke manakah seharusnya orientasi outward looking itu diarahkan, agar sektor non-migas benar-benar dapat diandalkan menjadi sumber utama devisa negara menggantikan sektor migas ? Jawabannya tentu mengacu kepada usaha mendorong sektor non-migas agar memiliki daya saing dan mampu menghadapi pasar internasional. Dan itu berarti mendorong laju pertumbuhan sektor industri, terutama subsektor industri manufaktur.

Dorongan pada sektor industri sekaligus dimaksudkan untuk mempercepat keseim-bangan struktur ekonomi, yang memang secara bertahap sudah menunjukan ke arah itu. Dengan demikian diharapkan kontribusi sektor industri terhadap PDB se-makin meningkat, dan akan semakin mendekatkan kita pada pencapaian indus-trialisasi penuh. Yaitu, ketika sumbangan sektor industri pada PDB telah melam-paui angka 30% dari total.

Dewasa ini, menurut angka-angka statistik terakhir (Februari 1992), kontribusi sektor industri pada PDB telah mencapai angka 22%. Artinya, sesuai dengan kriteria UNINDO, Indonesia telah memasuki tahap semi industri. Namun yang kontras, GNP per kapita kita justru masih pada golongan negara-negara menengah bawah versi Bank Dunia, yaitu sekitar US$ 520 (1991), yang sama dengan angka pada 1986. Bahkan pada 1987, 1988 dan 1989, angka itu di bawah US$ 500. Kalau dilihat dari GNI (Gross National Income) per kapita, Indonesia sampai hari ini masih di bawah US$ 500. Diperkirakan pada 1992, GNP per kapita Indonesia akan mencapai US$ 570, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 7%.

Dari sudut tingkat GNP per kapita dengan angka yang relatif rendah itu, Indonesia

8 http://fadelmuhammad.org/staging/2008/12/30/industrialisasi-dan-wiraswasta-masyarakat-industri-%E2%80%98belah-ketupat%E2%80%99/

- 89 -

belum dapat digolongkan sebagai negara yang berada pada tahap semi industri (middle stage), melainkan pada tahap yang disebut early to middle stage.

Gambaran di atas sebenarnya menunjukan persoalan klasik dalam perekonomian nasional suatu bangsa. Yaitu, bahwa industrialisasi tidak akan otomatis dan segera menaikan tingkat pendapatan penduduk. Karena itu, diperlukan skenario yang memberikan peran dan memfungsikan sektor industri sebagai engine of growth, dan yang sekaligus dapat pula menjadi lahan yang luas bagi kesempatan kerja. Dengan demikian, skenario itu harus membuyarkan mitos bahwa daya serap tenaga kerja di industri relatif rendah. Artinya, proses industrialisasi harus dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap partisipasi masyarakat. Industrialiasasi tidak boleh menjadi enclave dalam masyarakat, atau sebaliknya membuat masyarakat menciptakan enclave, sebagai akibat marjinalisasi dari proses industrialisasi. Marjinalisasi itu sendiri hanyalah salah satu bentuk dari ekses yang tidak dikehendaki.

Lalu, bagaimanakah wujud industrialiasasi itu sendiri ?

Apakah itu sekedar sebuah proses yang ditandai oleh lambang-lambang kemajuan peradaban manusia, seperti tanur baja, pabrik pesawat terbang, atau cerobong pabrik-pabrik dengan muatan teknologi mutakhir ? Atau lambang itu, sebuah fragmen masyarakat yang sarat nilai-nilai modern ? Lalu, dalam lambang-lambang itu, di manakah partisipasi masyarakat ? Apakah ia di balik lambang-lambang itu sendiri ? Ataukah lambang-lambang itu merupakan pula pertanda eksisnya partisipasi masyarakat yang memungkinkan semua itu terjadi ?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggoda. Dan pada akhirnya ia bermuara pada suatu jawaban yang, justru sebuah pertanyaan baru. Apakah ada korelasi antara percepatan proses industrialisasi dan partisipasi masyarakat yang salah satunya berwujud pertumbuhan wiraswasta ?

Yang tak kalah menariknya dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, adalah bahwa peristiwa industrialisasi di negara-negara berkembang sangat berbeda dengan negara-negara industri ketika mereka memasuki proses industrialisasinya. Negara-negara industri memasuki proses industrialisasinya tanpa memiliki lebih dahulu lambang-lambang di atas : tanur baja dan sebagainya. Sebaliknya negara-negara berkembang, lambang-lambang kemajuan peradaban manusia itu telah berada dalam ruang dan waktu mereka.

Maka tentu, jalan tempuh industrialisasi negara industri dan negara berkembang akan berbeda. Strategi yang diikuti negara industri menjadi tidak relevan untuk diikuti negara berkembang. Bukan hanya itu. Banyak faktor yang multidimensi, yang harus dipertimbangkan negara-negara berkembang untuk memasuki tahap-tahap industrialisasinya. Apalagi ditambah dengan suasana kompetisi dunia yang

- 90 -

telah berubah karakter.

Salah satu unsur terpenting dalam proses industrialisasi itu adalah : sumber daya manusia (SDM). Terutama peranannya sebagai pelaku industri. SDM dalam konteks pelaku industri tiada lain adalah SDM dengan wawasan kewiraswastaan. SDM yang demikian itu sangat diharapkan ikut memacu akselerasi dari tahap ke tahap proses industrialisasi. Sejarah membuktikan peranan wiraswasta dalam meningkatkan dan mengembangkan potensi masyarakat dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik.

Dalam konteks pemikiran di atas itulah, seorang Fadel Muhammad mencoba menyampaikan pemikiran-pemikirannya melalui berbagai forum. Pengungkapannya pun seakan menggambarkan sebuah obsesi seorang pengusaha terhadap proses industrialisasi bangsanya, di mana ia berada di dalamnya sebagai salah satu pelaku industri.

Dengan acuan tema industrialiasasi dan wiraswasta, dipilih 19 makalah dari 28 makalah yang pernah disampaikan dalam kurun waktu 18 bulan pada 1991-1992 di beberapa forum. Ke-19 makalah tersebut dikelompokkan ke dalam 6 subtema. Yaitu : 1. struktur dan strategi industri nasional, 2. masyarakat industri dan tanggung jawab sosial dunia usaha, 3. subkontraktor: kemitraan usaha, 4. penguasaan teknologi dan ristek industri, 5. profesionalisme dan manajemen mutu, serta 6. kesempatan usaha dan wiraswasta.

Salah satu topik yang menarik dan yang menggambarkan obsesi tadi adalah, ”transformasi masyarakat dari piramida ke belah ketupat”. Maka, adalah pada tempatnya, jika pemikiran-pemikiran itu dapat menjadi bahan dialog ataupun diskusi yang lebih luas, sebagaimana layaknya suatu proses dialektika. Buku ini tiada lain juga dalam rangka itu. (SM)

**********

PROFIL BUKU

Judul Buku : Industrialisasi dan Wiraswasta: Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’

Oleh : Fadel Muhammad

Penyunting : Suharso Monoarfa

Kata Pengantar : Dorodjatun Kuntjoro – Jakti

Penerbit : PT. Warta Global Indonesia, Jakarta

Tahun : 1999

- 91 -

Jumlah Halaman : 176 Halaman

- 92 -

Kawasan Ekonomi Khusus 9

24-07-06 - Didik J Rachbini10

Dua tahun pemerintahan berjalan tidak atau belum muncul lokomotif kebijakan ekonomi yang kuat dan atraktif serta belum dapat membawa perekonomian pada tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Ini merupakan kekurangan utama pada pemerintahan saat ini, sehingga pertumbuhan ekonomi dan industri tidak maksimal. Stagnasi perluasan kesempatan kerja juga terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Berbeda dengan masa sebelumnya di mana lokomotif ekonomi digiring oleh kebijakan ekspor yang berorientasi keluar (outward looking). Hasilnya terlihat pada kegiatan ekspor bersamaan dengan arus masuk (inflow) investasi yang cukup besar. Investasi masuk didominasi oleh Jepang, AS, Eropa, dan Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Singapura).

Sementara itu, kegiatan ekspor pada waktu itu bertumbuh cukup pesat, bukan hanya dua angka, tetapi di atas 20 persen, sehingga ekspor non-migas mendominasi dan melebihi ekspor migas. Artinya, Indonesia pernah melaksanakan strategi kebijakan induk dengan sasaran daya saing dan ekspor yang kuat. Sekarang indikator daya saing dan ekspor tersebut kurang memadai, sehingga berdampak terhadap ekonomi secara keseluruhan.

Gabungan kinerja ekspor dan investasi ini mendorong pertumbuhan ekonomi cukup tinggi serta dapat mengembangkan kesempatan kerja yang luas. Kebijakan ekonomi semestinya menetapkan sasaran pada dua indikator tersebut di atas agar masalah pertumbuhan yang rendah diatasi dan perluasan kesempatan kerja dapat dicapai.

Alternatif yang Bagus

Setelah krisis praktis tidak ada kebijakan induk yang memadai, yang menjadi payung, sekaligus lokomotif ekonomi. Stagnasi ekonomi sekarang sudah jelas berakar dari kekurangan kebijakan dalam ekonomi, sehingga konsep baru yang atraktif sangat perlu untuk dikembangkan.

Sebenarnya wacana dan kebijakan kawasan ekonomi khusus merupakan jawaban atas kekurangan kebijakan pokok dalam bidang ekonomi. Konsep ini menjadi alternatif yang bagus untuk membangun kebijakan kolektif, yang bisa dengan

9 http://els.bappenas.go.id/upload/other/Kawasan%20Ekonomi%20Khusus.htm 10 Didik J Rachbini Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta

- 93 -

cepat dicapai hasilnya.

Kawasan ekonomi khusus sudah diangkat pada tingkat tertinggi di mana Wakil Presiden dan Presiden sudah mulai terlibat langsung serta mewacanakannya untuk menjadi kebijakan pokok dalam bidang ekonomi. Tidak hanya itu, pimpinan pemerintahan yang tertinggi ini telah melakukan diplomasi ke Singapura untuk bekerja sama dalam pembangunan kawasan ini.

Dengan keterlibatan pada tingkat pengambil keputusan tertinggi, maka kebijakan pembentukan kawasan ekonomi khusus tinggal dieksekusi pada tingkat kabinet. Pihak DPR dapat mempertimbangkan untuk mendukung pelaksanaan program tersebut dari sisi aspek legal dan anggaran.

Kawasan yang layak jual dan relatif sudah siap, antara lain: pulau-pulau di sekitar Pulau Batam yang dekat dengan Singapura. Pulau Rempang dan Pulau Galang sudah harus dipisahkan dengan Batam untuk menjadi kawasan ekonomi khusus. Secara fisik kedua pulau tersebut sudah dihubungkan dengan jembatan yang modern dan infrastruktur jalan yang baik.

Di sekitarnya sudah ada Kepulauan Karimun, yang juga dekat dengan Singapura dan Malaysia. Kawasan ini potensial sebagai kawasan ekonomi khusus.

Kebijakan tersebut bisa dimulai dengan peraturan presiden, seperti payung hukum pembentukan kawasan berikat Batam. Lambat laun ditingkatkan payung hukumnya pada tingkat undang-undang agar fasilitas perpajakan bisa diperoleh.

Jadi, kawasan ekonomi khusus ini merupakan jalan keluar kebijakan, yang baik untuk mengatasi stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini. Pemerintah perlu merealisasikan program ini dengan segera untuk mengisi kekosongan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan investasi, dan memperluas kesempatan kerja.

Masyarakat sangat menunggu kebijakan yang dampaknya lebih nyata terhadap perbaikan ekonomi dan tingkat pendapatan. Salah satu jawabannya adalah kebijakan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus.

- 94 -

Prospek Kawasan Ekonomi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi11

Bincang-bincang The Habibie Candar ditayangkan di Q-Chanel:6 Juni 2007, tema: "Prospek Kawasan Ekonomi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia" Pembicara Bambang Susantono (Deputi Menko Perekonomian) dan Umar Juoro (Pakar Ekonomidan senior fellow the Habibie Candar). Diskusi dipandu oleh Andrinof Chaniago

Andrinof : Assalamualaikum pemirsa, selamat jumpa kembali di acara Bincang-Bincang The Habibie candar, kali ini kita akan mengangkat topik tentang peranan kawasan khusus ekonomi atau yang disingkat dengan KEKI, dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia, nah kebetulan bersama kita sudah hadir dua orang narasumber yang akan melakukan perbincangan, kami akan sapa yang pertama DR. Ir. Bambang Susantono, deputi Menteri perekonomian dan juga Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia selamat jumpa Pak. Pembicara kedua Pak Umar Jouro, Senior Fellow The Habibie Candar.

Nah Saudara, kita tahu sudah berbagai cara dan strategi dilakukan untuk melakukan pemulihan krisis ekonomi dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, nah akhir-akhir ini kita mendengar ada rencana yang sudah pasti dari pemerintah yaitu menyiapkan konsep kawasan ekonomi khusus, nah apa latar belakang dari konsep ini, mari kita akan tanyakan pertama kepada Pak Bambang, ada banyak strategi yang sudah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi misalnya : mendorong percepatan pertumbuhan Infrastruktur, mempermudah fasilitas, terus menerus melakukan regulasi, nah kenapa akhirnya jatuh kepada pilihan pendekatan kawasan, seperti yang digagas dalam konsep KEKI

Bambang : Iya-iya, jadi kalau kita lihat sebetulnya pengembangan kawasan di Indonesia itu sebetulnya bukan hal yang baru ya, karena sebelum ini pun kita mengenal berbagai macam pengembangan kawasan sebagai contoh misalnya Kawasan Ekonomi Terpadu atau KAPET, kemudian juga ada kawasan-kawasan khusus kawasan yang terbelakang yang kemudian di dorong dengan special evert untuk membantu pertumbuhan di situ tapi memang kalau kita lihat di dunia ini

11 http://www.habibiecandar.or.id/index.cfm ?menu=kegiatan&fuseaction=kegiatan.detail&detailid=224&bhs=ina

- 95 -

memang terjadi trend yang cukup kuat untuk menarik investasi ke berbagai negara baik investasi ke berbagai negara itu dengan di bentuk kawasan ekonomi khusus atau special economic zone dan di dalam salah satu kongres kemarin di Turki World economic processing zone association itu tercatat di dunia ini tidak kurang dari 3500 zone.

Dunia ini kurang lebih di 150 Negara ya, nah itu menunjukan memang terjadi suatu quote and qoute yaitu lomba untuk menarik investasi sebesar mungkin ke suatu Negara, nah tampaknya pemerintah di sini ingin mencoba untuk menarik berbagai macam pendanaan di dunia ini untuk berinvestasi, tapi sebetulnya bukan hanya itu, saya kira tentunya yang lebih mendasar lagi adalah mereka untuk membentuk satu yang disebut island of excellent jadi ada daerah kawasan-kawasan yang bisa menjadi lokomotif dari suatu pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut, nah ini tentunya tidak hanya sampai di situ saja tetapi juga misalnya untuk menyerap tenaga kerja kemudian dengan berbagai multi player di kawasan itu mencoba juga untuk suatu pengembangan regional ekonomi, konsep inilah sebetulnya yang mendasari dicobanya nanti kita membuat suatu kawasan ekonomi khusus di beberapa daerah di Indonesia.

Andrinof : Iya tapi apakah ini bukan sebagai langkah pragmatis saja misalnya karena ya.. berbagai strategi yang lain itu tidak berhasil, penguatan teknologi, penguatan sumber daya manusia kembali lagi kependekatan kawasan yang sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 80an, tahun 80-an yaitu dengan Batam

Bambang : Saya kira multi protect strategy harus kita jalankan, kita tidak bisa relay kepada satu strategi saja tapi beberapa trik kita coba bersama-sama, nah kalau kita lihat dan kita belajar dari kegagalan-kegagalan yang lalu ya, dan kegagalan dalam pengembangan kawasan itu tidak hanya kita miliki tetapi juga negara lain sama ya, sekali lagi saya mencontoh kemarin dalam World Economic Processing Zone Association meeting itu kita lihat memang beberapa hal yang menyebabkan pengembangan kawasan ini tidak berhasil ya, di berbagai Negara termasuk di Indonesia. Yang pertama adalah mungkin dalam penentuan awal nya. Set up awalnya itu justru tidak memberikan porsi yang cukup besar terhadap kaedah-kaedah ekonomi. Justru kaedah-kaedah non-ekonomi misalnya lokasi. Sebetulnya itu tidak mempunyai potensi tetapi satu dan lain

- 96 -

hal pertimbangan ekonomi, itu yang di pilih. Kita punya kasus-kasus, seperti itu dan gampang dicari, kemudian yang kedua adalah misalnya ketidak konsistenan dalam perubahan kebijakan-kebijakan pemerintah apalagi kalau berganti misalnya gitu ya, berganti pemerintahan kemudian satu kebijakan itu tidak menerus jadi tidak ada systemnibility dari kebijakan itu, nah ini yang menyebabkan adanya yang disebut answerity dalam kebijakan itu unclearity jadi kepastian dan juga ketidakjelasan satu tata hubungan kerja yang menyebabkan investasi itu atau para investor ini memang agak sulit untuk masuk kekawasan tersebut.

Andrinof : Saya mau Tanya sama Pak Umar,ini kalau di lihat sekilas sementara strategi sama saja dengan pengembangan Batam dulu dan apakah tidak hanya akan mengulang strategi yang lama atau masalah-masalah yang lama atau kegagalan-kegagalan yang lama

Umar : Kalau kesamaan ya jelas ya, karena pendekatannya itu adalah ya tentu saja yang d inginkan biasanya ekonomi itulah cross the board seluruh wilayah Indonesia tapikan kalau kita lihat hambatannyakan banyak ya, seperti hambatan yang kita bicarakan : masalah ketenaga kerjaan, masalah kepastian hukum, lalu kemudian masalah-masalah yang lain, jadi kalau begitu ya, seperti yang Pak Bambang katakan tadi jadi kalau begitu yang zooming saja kepada daerah tertentu itukan pendekatan kawasan sama juga kalau sektor-sektor kan pilih sector-sektor tertentu tertentu atau produk-produk unggulan begitu lah Sama jugakan kerjasama-kerjasama ekonomikan maunya multilateral tapi kan susahkan WTO kemudian jadi bilateral atau beberapa Negara.

Nah ini saya kira pendekatan yang spesifik, nah sebetulnya itu tuntutan bukan hanya dari Indonesia ya, tapi juga dari investor kan, yang paling nyata dari Singapur bahkan pemerintahnya menyarankan untuk untuk kepada pemerintah Indonesia untuk merevitalisasi khususnya Batam, Bintan lalu kemudian juga dari investor lain kalau kita lihat lepas dari masalah aspek-aspek negatifnya kalau anda lihat pada tahun 80an bahkan 90an ya, setelah krisispun itu untuk investasi pada money facture itu terutamakan elektronika kan di Batam jadi kalau sebetulnya bukan mengulangi kesalahan tetapi adalah memperbaiki kekurangan itu lalu kemudian menjadikan itu lebih fay brand lebih dinamik itu kemudian merangsang ekonomi

- 97 -

yang lebih luas termasuk didaerah yang lain.

Andrinof : Kalau begitu balik ke Pak Bambang kalau begitu ya apakah ini sekedar merevitalisasi kawasan yang sudah tumbuh atau memang ini suatu strategi yang lebih luas menciptakan sejumlah kawasan di Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Bambang : Saya tertarik dengan pendapat Pak Umar yang menyatakan tadi bahwa ini zooming in gitu ya, karena sebetulnya dalam kerangka besar kita ingin memperbaiki iklim investasi di Republik ini, itu kerangka besarnya tapi kita tahu juga bahwa itu tidak mungkin dilakukan hanya, seperti membalik telapak tangan, butuh waktu ya, sehingga apa yang dikatakan beliau benar bahwa kita harus fokus dulu di beberapa kawasan dan menjadikan sekali lagi bahwa itu adalah island of excellent, jadi ada suatu kawasan yang mungkin dijadikan model buat kawasan-kawasan tempat lain. Kalau di dunia ini kalau kita lihat sebetulnya sama sebetulnya pendekatan kawasan, seperti ini adalah pendekatan (dalam tanda petik itu) transitional sebelum seluruh daerah itu mempunyai satu katakanlah iklim investasi yang sama, nah ini beberapa negara malah misalnya sudah mulai menghapuskan insentif-insentif mereka karena ternyata negara-negara yang sudah menerapkan dengan baik kawasan ini justru berpendapat bahwa bukan insentif itu yang akhirnya menyebabkan perputaran ekonomi daerah itu justru adalah kualitas. Kualitas layanan jadi bagaimana mereka sangat friendly kepada investor, bagaimana mereka bisa menangani complain dari investor. Itu yang nomor satu. Bukan misalnya take allowance. Bukan misalnya takes holiday. Bukan sebagainya.

Ini bukan buat negara yang sudah maju ya tapi buat negara-negara lain yang baru mengembangkan memang masih berada pada tahap yang lain ini memang adalah link value dan melihat dari berbagai negara juga bench marking memang kita ingin mencoba untuk melihat lebih ke dalam suatu kawasan yang diberikan kekhususan tadi apakah kekhususannya misalnya berupa sistim perpajakannya khusus, sistim Bea Cukainya khusus, kemudian perijinan investasi juga khusus tadi Pak Umar juga menyampaikan misalnya ketenagakerjaan.

Kalau bisa juga kita berikan suatu kekhususan di situ keimigrasian juga, pendek kata bahwa memang kita bikin si investor friendly

- 98 -

kawasan tersebut dengan tidak meninggalkan semua kaitan-kaitan yang menyebabkan dia punya linkages atau keterkaitan dengan negara-negara yang lain karena kita juga belajar dulu mungkin kalau kita ingat malah yang terjadi adalah enclave tetapi tidak menetes ke daerah, nah ini kita mau kurangi karena nanti di dalam kriteria penyaringan kita untuk daerah-daerah yang akan dikembangkan menjadi kawasan ekonomi khusus maka linkages inilah dengan adanya industri yang sebetulnya kita tekankan karena dengan adanya linkages pendukung dengan adanya misalnya pool tenaga kerja ini semua justru akan memacu di dalam ekonomi di dalam daerah tersebut.

Andrinof : Minta klarifikasi dulu sama Pak Bambang jadi apakah kawasan itu dibikin percontohnya dibikin dulu atau itu sebagai lokomotif. Itukan beda ya. Dia yang nanti sebagai percontohan yang nanti kita replikasi. Tapi kalau dia lokomotif berarti dia akan penggerakkan kawasan sekitarnya

Bambang : Saya kira dua-duanya bisa kita capai dalam arti bahwa kawasan percontohan ini dibuat dulu beberapa tentunya tidak semua daerah di Indonesia, Tidak semua provinsi di Indonesia harus punya kawasan ekonomi khusus. Tidak harus. Saya kira ada beberapa kriteria yang nanti kita pakai untuk menentukan apakah daerah tersebut bisa menjadi daerah percontohan sekaligus lokomotif nantinya untuk memacu perkembangan kawasan regional ekonomi. Dari situ kalau kita lihat memang ada tiga tingkatan yang harus kita perhatikan :

Yang pertama adalah investasi mikro di dalam kawasan yang sebelumnya kita ingin raih itu.

Yang kedua adalah MEZO. MEZO ini regional ekonomi, ekonomi regionalnya apakah memiliki misalnya industri-industri yang menunjang dan juga outlet part yang baik, akses transport yang baik dan kemudian infrastruktur yang baik nah ini merupakan MEZO yang di tengah tapi juga makronya juga kita harapkan juga mendukung, makronya misalnya investment climate, iklim investasi dalam kerangka nasional gitu, karena ada beberapa hal yang misalnya harus mendukung itu, ambil contoh misalnya perpajakan masih levelnya nasional, kemudian Bea Cukai, dan sebagainya itu semua harus mendukung pengembangan kawasan-kawasan ini dalam rangka tadi menjadi suatu candar dari grouth poll tadi ya.

- 99 -

Andrinof : Pak Bambang, lagi-lagi kita perlu penjelasan karena sudah banyak sekali konsep-konsep atau strategi yang digunakan berfokus pada kawasan ada perdagangan bebas daerah bonded zone kemudian kita juga dulu pernah bikin kawasan-kawasan industri dan semuanya banyak yang terbengkalai, kalau kita mau bicara jujur apa keistimewaan konsep KEKI ini dibanding yang sudah-sudah itu

Bambang : Kita belajar dari semua pengalaman yang kita punyai, tadi anda sebutkan misalnya kita punya kawasan industri. kemudian yang insentifnya lebih tinggi lagi adalah kawasan berikat. Kawasan berikat dengan berbagai macam turunannya karena ada berbagai macam konsep kawasan berikat yang ditambahkan beberapa insentif kemudian juga kawasan pengembangaan ekonomi terpadu (KAPET) itu juga salah satunya, kemudian juga ada kawasan pertumbuhan yang lain bahkan di dalam dua undang-undang sebetulnya kita punya di undang-undang tata ruang dulu ada kawasan tertentu, nah sekarang undang-undang tata ruang yang baru itu menyebutkan kawasan strategi nasional di undang-undang 32, undang-undang pemerintahan daerah itu juga di sebutkan di situ kawasan khusus tampak kata ekonomi di situ, itu salah satu dari beberapa pendekatan yang di pakai dulu.

Kita ingin melihat segala macam lesson learn pelajaran-pelajaran yang kita punyai dulu itu kita mencoba sekali lagi untuk membuat suatu kawasan yang solid, yang solid yang tadi kawasan diberikan kekhususan. Di situ ada kawasan one stop shop di mana tidak hanya pemerintah pusat saja yang akan memberikan berbagai kewenangan yang akan didelegasikan kepada one stop shop, tetapi juga dari pemerintah daerah, nah itu sebabnya misalnya di dalam pemilihan calon lokasi itu kita salah satu yang paling utama yang kita bobot yang paling tinggi adalah komitmen dari pemerintah daerah, di situ ada tiga hal : yang pertama untuk membuat kawasan tadi kawasan yang

membuat suatu one stop shop. kemudian juga membuat harmonisasi dari beberapa Perda, dan yang terpenting lagi adalah melakukan apa yang di sebut

konseNsus politik, jadi dengan DPRD, dengan Kabupaten, dengan Provinsi itu harus clear dulu.

Andrinof : Saya mau tanya ke Pak Umar, salah satu sumber masalah yang sedang kita hadapi kemudian misal keterbatasan infrastruktur, kemudian perubahan-perubahan pelayanan atau birokrasi dan

- 100 -

sebagainya, anda melihat bagaimana kemungkinan masalah-masalah itu masih akan dihadapi

Umar : Saya kira berat, kalau infrastruktur kan bergantung siapa yang akan menyediakan dana bahkan swasta pun bisa ikut dipartisipasikan. Dalam public private partnership justru yang sangat sulit itu adalah kelembagaannya karena kalau anda lihat di dalam undang-undang nanti kan kawasan ekonomi khusus ini, kan ada undang-undang dan yang saya dengar yang khusus untuk Batam, Bintan, Karimun ada Perpunya, tetapi begitu nanti masuk kepada kewenangan-kewenangan ini selalu ributnya kan di situ, nah kalau kita melihat di dalam berbagai study banding kawasan-kawasan ekonomi ini yang berkembang, apapun namanya, itu adalah dia akan dikelola secara penuh professional. Yang jadi issue besar itu adalah apakah daerah ukuran kabupaten atau provinsi kewenangannya itu. Kalau dia diambil oleh otoritas yang menjalankan kawasan ekonomi khusus ini kemungkinan besar dari pengalaman kita itu yang namanya terutama kabupaten, kota, itu pasti marah misalnya izin IMB itukan ada di daerah kan, di tingkat kabupaten atau di tingkat kota, kalau itu di ambil oleh otoritas dari kawasan saya kira mereka akan keberatan.

Andrinof : Iya, saya pikir itu salah satu masalah serius.

Umar : Itu serius, yang kelembagaan menurut saya yang paling serius.

Andrinof : Inilah yang membuat kita berbeda dengan China kan, karena pemerintah ini solid. Walaupun kita melakukan desentralisasi, sehingga desentralisasi ini efektif untuk menciptakan kawasan, seperti yang kita inginkan itu, nah ini bagaimana, saya kembali ke Pak Bambang bagaimana pemerintah atau tim pengawasan pengembangan ekonomi khusus ini menyiapkan konsep kelembagaannya.

Bambang : Kita sebelumnya di dalam konsep kelembagaan ada tiga tingkatan. Jadi yang di level nasional itu nanti akan ada satu dewan pengembangan kawasan. Perkawasan tetapi justru hanya melakukan apa yang di sebut NSPM (norma, standar, prosedur, dan manual) dan pengembangan lebih lanjut dari kawasan jadi ini hanya mindset standart dead line dan sebagainya.

Andrinof : Jadi pembuatan kebijakan strategisnya.

Bambang : Betul, kemudian.

Umar : Itu ada pemerintah pusat dan pemerintah daerahnya masuk ke situ

- 101 -

Bambang : Ini hanya pusat.

Umar : Hanya pusat

Andrinof : Nah, executive nya siapa

Bambang : Kemudian yang tiga lapis tadi yang ke dia justru yang day to day mensupervisi ya, dalam arti supervisi kawasan itu adalah yang di sebut badan pengembangan kawasan ekonomi khusus itu berada di level Gubernur tetapi keanggotaannya akan meliputi juga misalnya Bupati, Walikota yang terkait ya, kemudian misalnya wakil dari dunia usaha dan sebagainya, nah ini nanti diserahkan kepada Gubernur, kemudian di level pengusahaan yang paling bawah itu diserahkan kepada propesional.

Umar : Yang day to day nya ya

Bambang : Yang day to day, jadi jangan sampai justru yang pengembangan ini justru day to day ngga, justru kita di situ akan menarik garis tegas bahwa yang day to day ini to be has professional has possible di situ ya.

Umar : Bisa dari orang pemerintah bisa juga dari swasta gitu ya

Bambang : Betul.

Umar : Tapi dia di situ duduk sebagai professional jadi meritokrasikan lah gitu.

Andrinof : Ini yang bakal jadi pertanyaan ini yang di level dua tadi bagaimana menggalang stakeholder terutama Bupati-bupati atau Walikota untuk duduk kemudian menyerahkan kewenangan itu berarti.

Umar : Kalau sampai sananya sih belum menyerahkan kewenangan nanti pada tingkat professional tadi gitu, karena di tingkat professional itu berarti kan kewenangan pusat kayak misalnya imigrasi atau kemudian perpajakan atau kemudian kewenangan daerahya, tentang izin usaha dan segala macamnya itu, kalau dia mau efektif itukan dikelola oleh yang badan pengelola. Itukan nah itu yang akan menimbulkan masalah. Kalau ada Walikota kemumgkinan besar tidak mau menyerahkan itu, tapi kalau itu tidak diserahkan yang terjadi adalah kalau saya investor loh kok sama saja saya harus ke professional lalu kemudian kalau ke IMB saya harus tetap ke dinas.

Bambang : Terlalu banyak pintu nantinya.

Umar : Terlalu banyak pintu, lah kalau begitu apa bedanya. Itu yang saya kira yang jadi tantangan besarnya.

- 102 -

Andrinof : Yang jadi masalah itukan cara berpikir antara pemerintah atau birokrat dengan kalangan professional dunia bisnis itu sampai sekarang masih berbeda jauh dari titik extrim yang satu, yang satu dari titik extrim yang lain.

Umar : Kalau dari pemerintahan kan baik pusat maupun daerah kan bicara kewenangannya, biasanya kalau undang-undang itukan tidak semuanya sejalan.

Andrinof : Bahkan undang-undangnya itu tidak bisa tidak efektif di lapangan nah ini maksud saya bagaimana ini, apa betul-betul, kan harus serius menyiapkan sistim kelembagaannya ini

Umar : Yang penting nanti bisa jalan ga jalannya karena dari kalangan si investor dia itu ngga peduli apakah itu di bawah professional, pemerintah daerah atau pemerintah pusat yang penting kemudahan-kemudahan atau yang anda bilangtadi pada tingkatan kualitas pelayanan itu lebih baik kan begitu ya tentu saja mereka kan lebih suka kalau sesama professional berhubungan, cuman apakah dalam konteks real dari sistim pemerintahan Indonesia itu bisa jalan atau tidak gitu.

Andrinof : Apa yang dilakukan oleh tim nasional yang mempersiapkan kawasan ekonomi ini Pak Bambang.

Bambang : Iya, yang pertama saya sangat sependapat tadi bahwa untuk investor di don't care dia maunya pokoknya satu pintu saya deal dengan ini semuanya certain, semuanya bisa, clearitynya jelas, konsepnya jelas, semuanya jelas dan semuanya substainiable, sehingga saya bisa prediksi berapa ongkos saya, nah tim sebetulnya mencoba begini di dalam kriteria-kriteria tadi yang saya sebutkan bobot paling awal dan itu yang akan kita cek adalah komitmen pemerintah daerah, tanpa itu kita tidak akan creanting.

Andrinof : Jadi tidak jadinya kawasan yang direncanakan itu sangat tergantung ke komitmen.

Bambang : Betul, dan mekanisme kita justru tidak mencari dalam arti pemerintah pusat tidak menetapkan apakah area ini atau itu, tidak menunggu Gubernur sebagai penanggung jawab nanti di daerah masing melakukan tadi satu konsesus politik dia harus bisa meyakinkan bahwa DPRD provinsinya sudah oke, DPRD, Kabupaten berapapun yang nanti akan terlibat sudah oke jadi clean secara politik maju kekita, yang kedua adalah tadi juga bahwa konsesus bahwa mereka mau menyerahkan sebagian kewenangannya, seperti

- 103 -

halnya kami di pusat juga menyerahkan kewenangan kami ke dalam satu atap tadi OSS (one stop shop) tadi.

Andrinof : Berarti gagasan besarnya disampaikan dulu kepada pemerintah daerah ini kemudian mereka di suruh memikirkan sendiri sebetulnya.

Bambang : Betul dan yang ketiga itu yang terpenting juga adalah harmonisasi Perda, karena kita menemukan begitu banyak Perda yang justru friendly terhadap investor nantinya kalau kita memberikan kemudahan tetapi Perdanya masih dari sana sini masuk gitu ya, itu kan nanti tidak kondusif tanpa tiga ini kami tidak akan memberikan status kawasan ekonomi khusus dan sebetulnya yang dilakukan sekarang adalah tim ini sudah melakukan konsultasi awal dengan beberapa provinsi, provinsipun sudah mengajukan nanti pada tahap selanjutnya ini kita sebut pada tahap Over AND request jadi mereka akan mempertajam usulannya kan tidak semuanya kawasan menjadi kawasan ekonomi khusus, ADA daerah tertentu mereka menyatakan kepada tim oke saya akan mempropost daerah ini tobe kawasan ekonomi khusus, kami di dalam melakukan ini kami akan juga melakukan harmonisasi terhadap Perda-perda ini misalnya tidak ADA lagi Perda kemahalan atau apapun lagi apakah IMB mungkin akan di serah dan sebagainya.

Andrinof : Jadi intinya untuk realisasinya sebetulnya betul-betul tergantung kemauan dan kesadaran pemerintah-pemerintah daerah kalau begitukan

Bambang : Betul dan itu sudah banyak loh, sudah banyak daerah yang

Andrinof : Sudah banyak yang sadar dan berminat

Bambang : Sudah ADA yang berminat kurang lebih 11 provinsi yang secara serus menyiapkan daerahnya untuk kawasan jalur khusus.

Andrinof : Sejauh mana mereka melangkah untuk mempersiapkan itu

Bambang : Dari beberapa ADA yang benar-benar sudah cukup baik bahkan pada waktu dilakukan konsultasi ADA beberapa yang sudah di samping kedua Bapedanya kemudian mengajak Bupatinya bahkan juga ADA yang mengajak Ketua Dewan.

Bpk Andrinof : Saya mau ke Pak Umar lagi, ini kalau kita lihat konstelasi atau perilaku umum para kepala daerah kan sebagian besar mereka kan masih menggunakan cara berpikir ya birokratislah dan kemungkinan pendelegasian urusan ekonomi atau mengajak mereka untuk melihat, mengelola suatu kawasan dengan prinsip-prinsip ekonomi

- 104 -

akan menghadapi resistensi dari mereka, menurut anda kan ini bagaimana kemungkinan ini akan menjadi kendala besar

Umar : Menurut saya sih tetap ya, bahwa masalah kelembagaan itu yang menjadi Issue Crucial diakan yang menyebabkan sebagai penghambat utama apakah kelembagaan anda terjemahkan kewenangan urusan daerah ataukah mengenai peraturan ketenagakerjaan kalau mengenai investasi yang saya katakan tadi begitu itu ADA perbaikan investasi akan datang dengan sendirinya karena Indonesia ini kan bukan yang baru ya, nah yang saya lihat tadi yang disampaikan sama Pak Bambang kalau konsepnya begitu saya kira itukan pendekatan kita kan, yang paling penting ekonomi berkembang kalau belum seluruh Indonesia itu investasi khususnya daerah-daerah kawasan ekonomi khusus.

Andrinof : Itu tapikan sangat sedikit kepala daerah yang sadar dengan strategi, seperti itu mereka kan lebih melihat jangka pendek, PAD kemudian perizinan berarti sumber pendapatan.

Umar : Betul, dalam kenyataannya yang paling susah adalah dalam kewenangan kan, kalau anda sudah punya kewenangan dicabut anda tidak mau sekalipun itu untuk kepentingan bersama, nah itu yang menjadi hambatan paling besar di kitakan, nah menurut saya kalau nanti yang mengatakan tadi di dalam undang-undang kawasan ekonomi khusus atau Perpu yang berkaitan dengan Batam, Bintan, Karimun ini kan bahwa daerah itu sudah di masukkan pusat hanya diatas lalu kemudian di dalam Dewan kawasan daerah itu adalah masuk Gubernur, Bupatikan mereka sudah menentukan arah strategic kan,

Nah nanti profesionalnya ini tinggal menentukan criteria di dalam peraturan sebagai lanjutan dari pada undang-undang kan hiraki kita kan gitu undang-undang, peraturan pemerintah ditangani Presiden jadi dia meritrokasi, seperti upaya kita untuk mengembangkan BUMN misalnya apakah itu orangnya dari daerah, apakah dari pusat, ataukah dari swasta selama dia memenuhi kriteria misalnya untuk jadi ketua badan pengelola yang harian itu adalah kriteria pengalamannya ini yang jadi Deputi kerjanya, nah itukan mereka bisa menentukan itu kan nanti badan kawasan. Ngga bisa di hilangkan sama sekali KKN, tapi kalau kriteria itu di penuhi maka alasan nanti kita untuk enforce itu dan itu adalah pemerintah pusat yang enforce nya itu daerah utama mungkin tidak suka kewenangannya ditarik tetapi kalau dia melihat bahwa prospeknya

- 105 -

itu sangat nyata ekonomi daerahnya itu akan berkembang itukan otomatis PAD akan masuk.

Andrinof : Itu kalau ya, kita berpikir begitu, ini yang kita khawatir mereka belum berpikir begitu, nah tadi Pak Bambang ngasih informasi bahwa ADA sekitar 11 ya, yang sudah menyatakan berminat tapi bisa jadi sebagian besar dari yang 11 itu sebetulnya tidak potensial untuk direalisasikan dalam jangka pendek artinya untuk bicara sasaran dari KEKI sebagai kebijakan nasional itu mungkin masih jauh bisa dicapai, nah yang 11 itu kira-kira bagaimana Pak

Bambang : Saya ingin mengulangi apa yang dikatakan Pak Umar, ini bagus sekali yang terjadi bahwa sebetulnya belum pemerintah daerah memang tahu sebelumnya konsep, seperti apa Karena kita belum konsultasi dan komunikasi dengan mereka secara intens tetapi yang pada tahap awal tadi memang terjadi mis persepsi yang pertama adalah bahwa dengan adanya kawasan ekonomi khusus ini ADA proyek, artinya pemerintah pusat ini akan memberikan uang banyak.

Andrinof : Seperti biasanya ADA konsep baru ADA uang.

Bambang : ADA proyek baru ADA uang, ternyatakan bukan itu kita balik justru paradikma itu kita balik kita menyatakan bahwa yang siap adalah mereka yang membutuhkan paling sedikit dukungan pemerintah pusat langsung dal bentuk cash ya, itu satu, sehingga yang kedua sebetulnya bisa juga dikembangkan apa yang disampaikan Pak Umar tadi dengan modal PPP kerjasama pemerintah dan swasta jadi pengembangan infrastruktur dikawasan dan juga akses kawasan bisa dikembang pada modal, seperti itu, itu yang pertama yang mis perseption, yang kedua yang mis persepsi adalah dengan adanya kawasan ekonomi khusus tadi juga disampaikan Pak Umar bahwa kemenangan ini ADA dimereka gitu, sebetulnya tidak, seperti itu bahwa kemenangan itu nanti akan berada pada yang Day To Day tadi the professional yang akan meng-run dari kawasan ini justru gitu mereka hanya meng side satu koorporasi, side atau QPE nya Q-performance educaters berapa tahun mereka akan mentadangkan berapa investor dan sebagainya, dan professional do it dan itu nanti yang akan kita lihat tahun pertahun dan mereka akan lihat nah ini yang mereka.

Andrinof : Itu artinya kawasan itu akan di berlakukan sebagai suatu badan usaha

Bambang : Ya betul.

- 106 -

Andrinof : Biarkan para managernya, para CEO nya itu bertindak mengambil langkah-langkah rasional begitu.

Bambang : Betul, dan kepentingan daerah itu tadi, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, DPRD unsurnya dan kemudian Dunia usaha itu juga sudah men SET apa yang kita kemudian diharaokan itu sebetulnya harapkan ya, kembali dalam bentuk yang lebih besar lagi dalam benuk economic multi player, dalam bentuk penyerapan tenaga kerja yang cukup besar, dalam bentuk misalnya keterkaitan industri-industri yang berada di situ itukan suatu yang luar biasa sebagai lokomotif regional tadi yang saya sebutkan awal tadi gituya.

Andrinof : Kita kembali ke masalah klasik, tadi masalah kelembagaan panjang gitu ya, dan rumit ini masalah klasik kita Indonesia ini adalah terutama sumberdaua manusianya rata-rata rendah dibanding dengan kompetitor kita misalnya dari Vietnam, China, sehingga kawasan ekonomi kawasan atau konsep kawasan itu cepat terrealisasi dan menunjukan progress yang cepat gitu ya, problem lain yang klasik juga adalah infrastruktur terutama listrik, kita tahu hampir di semua kota di Indonesia, hampir semua kawasan di Indonesia itu bermasalah, nah soal sumberdaya untuk saling di terkaitkan, nah kita juga melihat perkembangan kita juga tidak punya kesiapan beda dengan China atau mungkin negara lain yang kita bikin ADA aktor-aktor yang siap juga siap bergabung karena potensi keterkaitannya tinggi, nah ini bagaimana masalah ini untuk merealisasikan KEKI gimana Pak Umar

Umar : Kalau kita lihat terutama untuk daerah-daerah yang strategic potensial sebetulnya yang diberatkan itu adalah bukan dalam pengertian yang anda katakan tadi lebih kepada hambatan yang sifatnya misalnya peraturan ketenaga kerjaan, upah minimum okelah tapi yang berat itu kompensasi kalau memberhentikan pekerja gitu, itu berat sekali karena industri-industri ini yang pertama masuk biasanya istilahnya foot lose, siklusnya itu tinggi sekali misalnya industri itu masuk ke Indonesia lalu kemudian tertarik ke China ternyatakan kan tidak bisa semua telur di taruh di dalam satu keranjang ya, dia pingin lagi masuk ke Indonesia, nah siklus ini biasanya sangat erat kaitannya dengan memberhentikan atau mempekerjakan tenaga kerja.

Andrinof : Iya tapi kan juga soal dalam SDM ini, kualifikasi sumber daya manusia itu kan makin meningkat, oleh karena itulah China misalnya lebih unggul.

- 107 -

Umar : Saya kira dengan kondisi kualitas sumber tenaga kerja kita misalnya kayak di Batam itu mereka masih tetap mau membutuhkan Indonesia hanya memang nanti akan anda lihat perbedaannya, jadikan misalnya, seperti elektronik untuk di Malaysia yang tingkat kualitas keterampilannya lebih tinggi yaitu tingkat produk yang kualitasnya lebih canggih ya disana gitu yang lebih rendah di Indonesia tapi nanti bisa berbalik lagi karena ADA factor coast ADA.

Faktor resiko, ADA faktor disertifikasi yang kemudian juga membutuhkan lagi di Indonesia jadi itu dinamik, sebetulnya saya tidak begitu melihat faktor sumberdaya manusia dalam pengertian kualitas tadi menjadi hambatan utama, yang justru menjadi hambatan itu kelembagan dalam pengertian peraturan ketenaga kerjaan yang dikalangan serikat pekerja itu dianggap merugikan mereka, sebenarnya tidak merugikan mereka karena kalau nanti ADA peningkatan kualitas, seperti yang anda lihat misalnya di Batam itu di beberapa industri ya, itu untuk elektronikanya terjadi peningkatan kualitas juga kembali karena dia tidak bisa hanya mengandalkan China saja atau hanya mengandalkan Malaysia saja karenakan mereka juga menghadapi problematika sendiri misalnya China kalau semua numpuk di China tiba-tiba China tidak usah mengalami krisis tapi mengalami Turn around OF signifikan apalagi politiknya, mati dong mereka, lalu kemudian kedua kalau dia mau lihat kan Indonesia ini negara paling besardalam populasi, dalam pasar di Asian jadi itu yang sebetulnya ke unggulan kita bisa yang justru kita mau tarifnya itu sekarang adalah dalam aspek tadi aspek-aspek peraturan yang taritas dengan mereka gitu.

Andrinof : Selama ini kan bukannya salah satu keunggulan dalam bersaing Indonesia itu karena upahnya rendah karena Cuma itu di komplainsasi juga dengan kualitas yang rendah tingkat kreadibilitas pertenagakerjnaya rendah disbanding dengan di kawasan-kawasan lain.

Umar : Iya, tapi bisa improve Cuma yang menjadi alasan utama itu adalah karena kan ADA program-program training juga ya, alas an utamanya itu adalah selalu masalah peraturan-peraturan ketenagakerjaan, masalah-masalah yang berkaitan dengan tadi peraturan yang bertentangan antara pusat dan daerah jadi masalah kualitas sumber daya manusia itu di permasalahkan tetapi itu tidak mau jadi masalah yang pertama karena mereka juga tahu bagaimana memperbaiki kualitas dari sumberdaya manusia yang ADA.

- 108 -

Bambang : Kalau dilihat dari sumberdaya manusianya saya tidak takut dalam bersaing.

Andrinof : Tidak perlu dipersiapkan strategi khusus sebagai bagian dari KEKI

Bambang : Kita sudah cukup kompetitif kalau saya berpendapat, seperti itu dan itu kita tidak hanya menyimpulkan di dalam tim sendiri tetapi justru mendengar dari yang lain dan sebetulnya di situkan ADA dua tingkat ya, professional setingkatnya itu kita sangat banyak mempunyai professional yang mampu mengembangkan kawsan dan memanage kawasan ini dan yang kedua nanti jenis yang kedua adalah tingkat workers, skill worker.

Andrinof : Pak Bambang saya mau Tanya soal kawasan-kawasan potensial kalau Batam sudah jelas lah ya, yaitu mungkin sebetulnya tinggal direvitalisasi tapi kan tidak cukup hanya Batam kalau kita mendengar betapa konsep ini begitu besar, kawasan-kawasan yang dianggap potensial, sehingga konsep ini di fikirkan secara serius, kawasan mana saja Pak Bambang

Bambang : Kami belum bisa menyebutkan karena ini masih dalam proses seleksinya, paling tidak kriterialah, paling tidak kita lihat ADA sejumlah Kriteria yang pertama tadi komitmen Pemda yang tadi sudah saya terangkan kita sudah diskusikan, yang kedua adalah tataruang dan lingkungan ini penting jangan sampai kita membuat suatu kawasan yang justru tidak akur dengan tataruangnya dan malah berpotensi nanti untuk menimbulkan dampak-dampak lingkungan yang nanti tidak kita kehendak, yang ketiga pada tahap pertama ini kita akan focus kepada area-area yang mempunyai akses langsung ke International trade jadi kita tidak akan mengembangkan kawasan ekonomi khusus yang berbasis pariwisata misalnya.

Kita akan lebih pada mereka yang mempunyai kedekatan dengan alur laut kita kedekatan dengan International trate maritime shiping ADA beberapa ALL KEY di Indonesia yang memang selalu di lewati oleh kapal-kapal itu kita lihat sebagai satu criteria, kemudian yang keempat untuk kesediaan lahannya, lahan ini tidak bermasalah karena ini juga banyak yang mengingatkan bahwa kalau kita tidak punya lahan yang cukup maka yang terjadi skala ekonominya juga tidak cukup ini terjadi di India, India itu memang karena terlalu kecil mereka akhirnya menghadapi berbagai masalah pada waktu pengembangan dan bahkan sekarang ini ADA beberapa masalah-masalah tentang pembahasan lahan dan sebagainya, ini terjadi di

- 109 -

India.

Kita mensyaratkan paling tidak ada 500 hektar untuk tahap pertama ini dengan kemungkinan pengembangan kita ingin agar 500 hektar ini juga kawasan yang benar-benar dibebaskan kemudian yang kelima adalah batas yang jelas baik alam dan buatan sekali lagi ini kawasan yang nanti akan di buat kekhususan, sehingga nanti harus jelas antara daerah kawasan ini dengan daerah yang lain di luar lima ini tentunya ADA beberapa criteria pendukung salah satunya adalah ketersediaan industri yang sudah ADA industri pendukung misalnya industri-industri packaging dan sebagainya yang bisa mendukung industri kawasan ini dan yang kedua adalah yang cukup penting yang tadi juga kita diskusikan masalah pengembangan sumberdaya manusia yaitu kalau bisa dan mendapatkan nilai plus nanti adalah kalau ADA yang disebut Vocational training candar jadi ADA suatu pusat pelatihan yang bisa kita pakai Link ang mates jadi kebanyakan kasus itu kita melihat bahwa apa yang dinginkan oleh industri itu tidak bisa di sediakan oleh leader poll didaerah itu, sehingga yang terjadi adalah terlalu banyak orang masuk ke kawasan itu, nah kita ingin ADA sesuatu yang ditengah, sehingga konsep link AND mates ini bisa terjadi kalau ADA vocational candar ini maka ini lah yang di harapkan bisa men jembatani antara kebutuhan, suplay, dan demand dari tenaga kerja ini.

Andrinof : Untuk supaya ADA keseimbangan supaya menjaga konsentrasi atau tekanan.

Bambang : Betul, dan jangan terlalu banyak misalnya orang dari daerah lain yang masuk ke daerah kawasan itu dan sebagainya.

Andrinof : Tapi ini menjadi pertanyaan kalau dilihat dari dasar pengembangannya yaitu daerah-daerah yang sudah punya kriteria ADA di lokasi strategis, nah ini saya tanya ke Pak Umar dulu ya, bukankah ini nanti berimplikasi akan terjadi ketimpangan kemajuan antar wilayah juga, karena kita juga berarti mengikuti proses yang alamiah tidak proses yang merekayasa, sehingga kawasan yang tertinggal menjadi jauh lebih cepat majunya, sehingga mereka tidak terlalu jauh ketimpangannya, ini bagaimana

Umar : Iya, Kalau kenyataannya yang jelas ADA ketimpangan, karena daerah ini strategic lalu kemudian dikasih insentif ya, walaupun tadi Pak Bambang mengatakan pemerintah pusat tidak akan jor-joran membangun infrastrukturnya tapikan tetap ADA upaya yang lebih

- 110 -

khusus dari pemerintah pusat kepada daerah itu jga pasti dia akan terjadi ketimpangan daerah inbi dengan daerah yang lain tapi menurut saya lebih bagus ADA begitu daripada tidak ADA semuakan, baru kemudian nanti upayalah dari pemerintah pusat itu atau kalau itu adalah Kabupaten atau Kota dari Gubernurnya untuk bagaimana menciptakan upaya-upaya penyeimbangnya, saya kira itu terjadi di mana-mana sekarang juga China antara daerah yang kawasan pantai itu dengan pedalamannya dia akan usahakan untuk menyeimbangkannya.

Tapikan sudah ADA daerah yang maju, sudah ADA daerah contoh baik dan buruknya karena itu menurut saya adalah justru revitalisasi Batam ini akan menjadi penentu terutama dalam aspek kelembagaan tadi itu yang selalu jadi konsen, kalau itu bisa artinya tadi bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah ya, bisa setuju lalu kemudian professional yang menjalankan itu, itu akan menjadi barometer bagi daerah-daerah lain, kalau kita lihat misalnya di pulau jawa ini misalnya Banten atau Jawa timur, Jawa tengah, kemudian pantai Sumatra bagian barat kan anda kampungnya di barat ya, bisa begitu.

Andrinof : Itu kan berarti tidak terjangkau oleh pendekatan-pendekatan KEKI ini.

Umar : Usulannya kan boleh saja dia mengajukan tetapi kan yang akan menentukan nanti adalah apakah dia berhasil atau tidak berhasil tapi kan opportunity nya di buka dong asal memenuhi persyaratan tadi.

Andrinof : Tetapi akhirnya kan tetap layak atau tidak untuk di integrasikan dengan ekonomi regional dalam arti lintas nasioanl

Bambang : Pertanyaan itu sebetulnya banyak juga ditanyakan oleh teman-teman yang daerahnya sebenarnya belum maju dalam tanda petik ya, selalu yang kami jawab adalah sekali lagi bahwa instrumen untuk mengembangkan kawasan tidak Cuma KEKI begitu banyak instrumen lain misalnya dengan PNPM ( Program nasional pembangunan masyarakat ) desa-desa tertinggal misalnya kita kembangkan bahkan untuk tahun depan penganggarannya cukup signifikan kemudian juga ADA percepatan kawasan tertinggal bahkan ADA kementriannya ya, itu sebetulnya dilakukan untuk melakukan keseimbangan regional tadi jadi saya kira dari kaca mata regional planning ini harusnya tidak merupakan suatu hambatan.

Andrinof : Tapi Pak Bambang berarti juga bermaksud mengatakan bahwa KEKI

- 111 -

bukan satu-satunya konsep strategi untuk melakukan pengembangan kawasan artinya juga tetap diiringi oleh pendekatan-pendekatan lain misalnya untuk membangun daerah-daerah tertinggal atau daerah terluar

Bambang : Betul, dan misalnya ADA pengembangan kawasan perbatasan tersendiri di kantor kami juga misalnya kita koordinasikan pengembangan kawasan pedesaan tersendiri, banyak sekali instrumennya.

Andrinof : Berarti fungsi yang lebih diharapkan dari KEKI ini apa tugas utamanya

Bambang : Sekali lagi itu adalah lokomotif island OF excellent jadi kita punya contoh nanti daerah manadengan suatu iklim investasi yang baik akan menjadi mendorong bagi pengembangan recuel ekonomi, ini kita ingin contoh-contoh yang nyata bahwa kalau kita tadi katakana lah melakukan professional dalam pengembangan kawasan bagaimana kita investor friendly bagaimana kita menangani komplain, ADA komplain hand IN candar dengan baik saya kira kalau semua melihat kesana oh ya ini merupakan sesuatu yang berhasil dan mungkin kita juga jangan lupa bahwa masyarakat kita itu lebih senang kalau sudah ADA contohnya baru kita ikut bersama-samakan.

Andrinof : Ok, satu lagi masalah klasik walaupun tadi sudah disinggung ini soal infrastruktur kalau kita lihat dari strategi KEKI ini berarti adalah jalur khusus yang akan diandalkan untuk dikembangkan tapi kita tahu dijalur itu semua bermasalah dari segi ketersediaan tenaga listrik mulai dari Sumatra Utara sampai dengan Sulawesi atau Kalimantan barat, Kalimantan timur nah ini bagaimana untuk memperlancar realisasi ini karena itu salah satu yang membuat investor enggan masuk Indonesia dan bahkan yang ADA itu lari, apa strateginya yang dipersiapkan

Bambang : Sebetulnya dengan pengembangan listrik 10.000 Mega watt itu kita mengharapkan di 2009 dan di 2010 semoga krisis listrik itu sudah berlalu lah, bahkan di neraca listrik kita nantinya insya allah semuanya sudah teratasi yang kedua adalah kemungkinan PP tadi kerjasama pemerintah dan swasta kita akan mencoba membuka peluang untuk kawasan ini juga menyediakan listrik tersendiri untuk meningkatkan relaybilitas keandalan dari penyediaan atau pun pengelolaan kawasan itu jadi sebetulnya ADA dua jalur ini yang kita bisa pakai.

- 112 -

Andrinof : Tapi itu dulu pernah di coba akhirnya menimbulkan persoalan dalam penetapan harga karena akhirnya mempengaruhi harga listrik yang untuk publik Pak Umar Juoro gimana

Umar : Kalau kita lihat misalnya kasus di Batam atau di sini dikawasan industri, CLBK itu kalau dia sudah clear melihat investor itu masuk, dia ADA demand listriknya itu dia ADA pengelolaan industri, kan sebenarnya KEKI ini kan kawasannya nantikan kawasan-kawasan industri ini dikelola oleh swast, yang tadi badan pengelola itukan sebenarnya dia hanya regulatornya lah kurang lebih atau membangun infrastruktur-infrastruktur tertentu, tapi kayak misalnya kita lihat di Batam sebagai contoh itu Bank domestik bersedia membiayai lalu kemudian investor asing atau domestik juga, air juga yang belum itu kan jalan karena tidak ADA jalan tol, nah itulah yang akan di bangun oleh badan pengelola atau pemerintah daerah atau pemerintah pusat tapi kalau misalnya kayak listrik itukan jelas dengan harga yang lebih tinggi dengan harga PLN pun asal reliable dia akan bayar, nah itu yang susajh adalah The REAL demand nya, kalau tidak ADA demandnya ngapain orang mau membangun listrik tapi kemudian sudah jelas bahwa yang akan masuk adalah sekian industri itu akan dengan sendirinya akan ADA pihak yang akan bersedia untuk membangun listrik tidak dalam kapasitas pembangkit dalam 800 mega watt tetapi mungkin 20,30 gitu skalanya lebih kecil dan bisa memenuhi kebutuhan yang ADA pada saat itu dalam waktu dekat.

Bambang : Saya akan sampaikan sedikit ya

Andrinof : Bisa sampaikan singkat

Bambang : ADA dua jenis areal atau kawasan yang di ajukan oleh para provinsi ini yang pertama adalah benar-benar green field dari tidak ADA sama sekali di kembangkan yang kedua adalah yang kawasan-kawasan industri yang sudah ADA mereka berkumpul menjadi satu dan minta diberikan baju kawasan ekonomi khusus saya kira dua-duanya ini potensial dan kebanyakan dari mereka justru menyatakan Pak kami cukup diberi status saja.

Andrinof : Jadi di luar Batam ADA ya

Bambang : Banyak sebetulnya potensinya dan saya kira dengan karakteristik dan kriteria tadi saya melihat mereka cukup punya potensi untuk lari secepat Batam.

Andrinof : Baik terima kasih Pak Bambang, Pak Umar kita sudah melakukan

- 113 -

perbincangan. Pemirsa demikian lah bincang-bincang kita tentang peranan kawasan khusus ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia tapi kita tahu kita sadar bahwa ini bukan satu-satunya strategi kita untuk mempercepat kemajuan ekonomi dia tetap harus diiringi dengan strategi-strategi lain supaya pembangunan di Indonesia tidak hanya bisa di percepat tetapi juga dalam keseimbangan dan jalur yang merata, demikian bincang-bincang kita sampai jumpa di acara bincang-bincang berikutnya.

Business Environment Analysis : Pemikiran dan Konsep12

Lingkungan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan perusahaan di Indonesia semakin bergejolak (turbulent), ter-utama sejak terjadinya krisis pere-konomian dan perubahan pemerin-tahan berikut gejolak sosial di dalam negeri pada tahun 1997. Apalagi de-ngan kondisi internal kebanyakan per-usahaan yang memburuk dan bang-krutnya sebagian perusahaan, perha-tian terhadap pengaruh dan dampak faktor-faktor lingkungan eksternal perusahaan yang bersifat makro men-jadi sangat penting.

Perubahan lingkungan bisnis akan ter-jadi setiap saat, umumnya berupa ge-rak perubahan dari salah satu atau ga-bungan faktor-faktor lingkungan luar perusahaan, baik pada skala nasional, regional maupun global. Sebagian dari dampak yang mereka timbulkan ba-nyak terbukti telah mempengaruhi da-tangnya berbagai kesempatan usaha (business opportunities), tetapi ba-nyak pula rekaman contoh kasus dari faktor eksternal ini yang menjadi ken-dala dalam berusaha (business threats and constraints).

Kita sering mendengar bagaimana per-usahaan yang memiliki sistem organi-sasi yang baik dengan dukungan visi,

12 http://businessenvironment.wordpress.com/2006/10/04/business-environment-analysis-pemikiran-dan-konsep/

misi dan rencana aksi business plan yang terencana tidak menjamin suk-ses dalam meraih laba. Bahkan banyak perusahaan ini mengalami pe-nurunan dalam kinerja usahanya hanya karena kesalahan dalam menafsirkan skenario dan asumsi pengaruh ling-kungan luar tersebut. Memasuki era liberalisasi dan globalisasi pada abad ke 21, para pimpinan perusahaan tidak dapat mengabaikan begitu saja peru-bahan-perubahan yang terjadi di seke-liling mereka, terutama jika mereka ingin meraih kemenangan.

Semakin kukuhnya gejala globalisasi pasar dunia yang dipengaruhi langsung oleh berbagai kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Pasifik, banyak membuka kesempatan berusaha bagi produsen domestik dan investor modal asing. Meluasnya ja-ringan organisasi dan komunikasi peru-sahaan global beberapa tahun sebelum terjadinya krisis perekonomian dunia, terbukti telah memberikan berbagai kesempatan berusaha bagi perusaha-an-perusahaan swasta domestik di In-donesia dalam bentuk kerjasama usa-ha patungan (joint ventures) dan wa-ralaba (franchising).

Tetapi sebaliknya kita saksikan ba-gaimana perubahan lingkungan ekster-nal yang berjalan dengan sangat ce-patnya, seperti kejadian penyerangan gedung kembar World Trade Candar dan serbuan militer Amerika Serikat ke Irak, kemudian dalam sekejap memporak-porandakan keunggulan bersaing satu negara dalam pola

- 115 -

perdagangan antar bangsa di dunia. Pengaruh buruk dampak lingkungan eksternal kadang-kadang bersifat ter-selubung, dan dengan kejamnya me-renggut kedudukan keunggulan per-saingan beberapa perusahaan domes-tik yang berskala kecil dan menengah.

Kita melihat bagaimana krisis pereko-nomian nasional yang dilanjutkan de-ngan berbagai krisis politik dan sosial sejak tahun 1998 pada kenyataannya telah merubah seluruh tatanan (pa-radigm) melakukan kegiatan berusaha dari perusahaan-perusahaan swasta nasional di negara kita. Tanpa disa-dari berbagai perubahan issue non-ekonomi, seperti peristiwa bom Bali, perselisihan antar kelompok etnis di Maluku dan Kalimantan Barat, seng-keta wilayah Aceh dan tuntutan ke-lompok Gerakan Aceh Merdeka, huru-hara Mei, semuanya telah mengganggu pencapaian kinerja perusahaan di In-donesia dalam jangka pendek. Ter-akhir kali kita saksikan bagaimana da-tangnya gelombang tsunami telah merusak sendi-sendi perekonomian di berbagai lokalitas di kawasan Aceh dan Sumatera Utara.

Rentetan peristiwa ini mengakibatkan lambatnya program pemulihan pereko-nomian nasional. Kepastian dan iklim berusaha mengalami erosi, dan risiko negara dan risiko berusaha menjadi semakin tinggi. Akhirnya dalam bebe-rapa tahun kemudian terjadi pening-katan kasus penutupan dan kebang-krutan perusahaan.

Dengan latar belakang ini kami

mengajukan suatu pemikiran konsep-sual bagaimana para pengusaha, pim-pinan perusahaan, analisis pasar mo-dal atau para mahasiswa dapat mela-kukan kajian Analisis Lingkungan Bisnis (ALB). Pendekatan bahasannya adalah menggunakan peralatan analisa ilmiah, berikut contoh-contoh nyata tentang kondisi faktor lingkungan bis-nis yang dihadapi perusahaan-perusa-haan global dan lokal pada sejak tahun 2000.

Jenis dan Dimensi

Jenis dan dimensi faktor-faktor ling-kungan eksternal banyak dijumpai dalam literatur manajemen stratejik. Misalnya, Hax dan Majluf (1984) mem-bagi jenis pengkajian lingkungan usaha menjadi beberapa komponen analisis yang meliputi analisis : komponen ekonomi kondisi pasar teknologi sumber daya manusia politik aspek sosial dan analisis faktor lingkungan hukum.

Sedangkan Pearce dan Robinson (1988) memilah analisis mereka ke dalam pertimbangan : ekonomi sosial politik dan pertimbangan teknologi.

Buku yang agak pragmatis dari Stonier (1995) mengelompokan jenis lingkung-an eksternal perusahaan ke dalam : lingkungan organisasi yang sifatnya

langsung dan

- 116 -

kejadian-kejadian di luar perusaha-an yang sifatnya tidak langsung (indirect action environment), yang pada gilirannya dapat mempenga-ruhi lingkungan internal dari stake-holder.

Sedangkan Hitt dan kawan-kawan (1995) membaginya menjadi : lingkungan umum (general environ-

ment) dan lingkungan industri (industrial envi-

ronment).

Lingkungan umum terdiri dari berbagai elemen yang terdapat di masyarakat yang diperkirakan dapat mempenga-ruhi kondisi dan struktur usaha dari kegiatan kelompok bisnis tertentu (industri) atau bahkan mempengaruhi secara langsung kinerja perusahaan tertentu (firm) dalam memperoleh pendapatan.

Dari telaah berbagai jenis lingkungan luar tersebut kita dapat mengelom-pokannya ke dalam dua faktor utama: 1. Faktor lingkungan ekonomi 2. Faktor lingkungan non-ekonomi.

Faktor lingkungan ekonomi meliputi segala kejadian atau permasalahan penting di bidang perekonomian nasio-nal yang dapat mempengaruhi kinerja dan kelangsungan hidup dari suatu perusahaan. Faktor ini meliputi juga kondisi perekonomian internasional dan perkembangan pasar suatu masya-rakat perekonomian. Faktor lingkung-an ekonomi nasional mencakup antara lain berbagai program pembangunan dan kebijakan pemerintah di bidang perekonomian serta arah dan target

agregat ekonomi makro.

Sedangkan faktor lingkungan non-ekonomi merupakan peristiwa atau isu yang menonjol di bidang politik, ke-amanan, kehidupan penduduk, aspek sosial dan aspek budaya yang mem-pengaruhi roda kehidupan berusaha suatu perusahaan.

Dalam prakteknya faktor-faktor eko-nomi dan non-ekonomi yang tidak da-pat dikendalikan oleh pimpinan peru-sahaan sangat luas dan banyak ra-gamnya, sehingga hal ini kadang-ka-dang membingungkan kita untuk dapat mengamatinya dengan baik. Pada bahasan ini kami mengelompokan ber-bagai ragam lingkungan eksternal ini menjadi 5(lima) dimensi lingkungan eksternal perusahaan.

Klasifikasi dimensi lingkungan ekster-nal kegiatan usaha : 1. Perekonomian Global dan Kerjasa-

ma Internasional (Ekonomi) 2. Pembangunan dan Perekonomian

Nasional (Ekonomi) 3. Politik, Hukum dan Perundang-

Undangan (Non-Ekonomi) 4. Teknologi (Non-Ekonomi) 5. Demografi, Sosial dan Budaya

(Non-Ekonomi)

Lingkup Bahasan

Lingkup bahasan yang kami pikir pen-ting untuk diikuti dan dikaji perkem-bangannya dalam melaksanakan kajian lingkungan bisnis di suatu perusahaan adalah sebagai berikut ini.

Pertama, lakukanlah tinjauan per-kembangan berbagai permasalahan

- 117 -

atau isu yang penting pada skala perekonomian global dan regional.

Kedua, sorotlah secara mendalam kondisi perekonomian nasional, khususnya perkembangan perekono-mian makro dan berbagai kebijakan pemerintah, seperti kebijakan mo-neter, fiskal, perdagangan dan investasi.

Yang terakhir, antisipasi gerak perubahan lingkungan eksternal non-ekonomi, seperti perkembang-an politik, hukum, teknologi, demo-grafi dan sosial.

Hasil pengamatan berbagai dimensi lingkungan luar ini akan menghasilkan identifikasi berbagai peluang bisnis (secara langsung dan tidak langsung), identifikasi ancaman dan kendala yang berpotensi merugikan perusahaan. Dampak maupun peluang dan ancaman faktor lingkungan luar perusahaan ini kemudian perlu dipelajari lebih lanjut pengaruhnya pada berbagai parameter atau variabel pada skala mikro bisnis perusahaan, khususnya yang menca-kup: rencana stratejik, proses bisnis dan kinerja usaha.

Pembahasan berikut akan mengulas cakupan permasalahan yang banyak dijumpai pada saat kita melakukan kajian permasalahan lingkungan luar perusahaan baik yang bersifat ekono-mi maupun bersigfat non-ekonomi.

Perekonomian Global dan Kerjasama Internasional

Lingkungan eksternal perusahaan yang letaknya paling luar (remote)

meliputi : perkembangan perekonomian ma-

kro di negara maju, perkembangan kluster bisnis peru-

sahaan dunia dan berbagai perjanjian internasional

yang penting yang telah diratifikasi oleh kelompok negara industri dan negara berkem-bang di dunia.

Kegiatan operasional perusahaan do-mestik dan swasta asing di Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dari kondisi dan perkembangan perekono-mian global dan regional yang terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Setiap perubahan yang terjadi di perekonomian negara industri uta-ma, seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis dan negara besar lainnya akan selalu mempenga-ruhi gerak perekonomian di negara kita. Sebagai eksportir produk perta-nian dan industri ke negara-negara tersebut, dampak kekuatan perekono-mian global sangat terasa pada ke-mampuan dan keunggulan bersaing produk ekspor yang berasal dari nega-ra kita.

Hal ini beralasan karena perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka. Sejak masa pemerintahan Orde Baru, pengu-saha Indonesia banyak yang telah memperoleh berbagai kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah. Hal ini mencakup : perintisan pembukaan perjanjian

perdagangan dengan para mitra dagang;

pemberian sistem insentif dalam

- 118 -

kegiatan pemasokan bahan baku dan barang modal secara global (multisourcing);

membuka usaha patungan dan mengundang partisipasi modal asing untuk memenuhi kebutuhan penda-naan di dalam negeri.

Perekonomian yang sifatnya terbuka ini di samping memberikan manfaat positif bagi perkembangan dunia usaha, sebaliknya dapat memberikan pengaruh lingkungan eksternal yang negatif. Pengaruh yang negatif ini dalam banyak hal berupa ancaman dan dampak yang merugikan pada kinerja perusahaan. Sebagai contoh, krisis perekonomian global akan mempe-ngaruhi stabilitas nilai tukar suatu negara. Kemudian pada gilirannya jika tidak dapat dikendalikan akan mem-bawa efek berantai pada kemelut kri-sis ekonomi dan akan akan mening-

katkan risiko negara dan resiko kredit perbankan.

Rincian faktor-faktor perekonomian global yang perlu selalu kita amati dengan seksama dan secara rutin dapat dilihat pada Kotak 1.1.

Isu pertama yang banyak didiskusikan dan memiliki pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yaitu globalisasi pasar. Globalisasi membuat paradigma berusaha banyak berubah dan bergejolak.

Isu berikutnya adalah masalah meng-antisipasi datangnya siklus bisnis, kenaikan harga minyak bumi dan harga komoditi, perubahan strategi pemban-gunan, selera konsumen dan berbagai kebijakan pemerintah yang penting.

Kotak 1.1 Faktor-Faktor Perekonomian Global yang Harus Dimonitor

1. Globalisasi pasar 2. Siklus kegiatan ekonomi 3. Perkembangan harga minyak 4. Perkembangan harga berbagai komoditi pertanian dan barang olahan

industri 5. Perubahan program pembangunan ekonomi di negara industri utama 6. Perubahan selera dan permintaan musiman 7. Isu dan perkembangan Kebijakan ekonomi utama dan perjanjian kerjasama

internasional

Globalisasi Pasar

Globalisasi pasar merupakan gejala dunia yang perlu diikuti. Sebagai con-toh, penyatuan Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Commu-nity) pada tahun 2000, terbukti telah

mempengaruhi kekuatan negosiasi isu perdagangan dan investasi dari negara anggota EEC dengan Negara Sedang Berkembang. Dalam banyak kasus hasilnya cenderung merugikan di pihak terakhir. Bentuk kerjasama

- 119 -

perekonomian lainnya antara lain : Asosiasi Kelompok Produsen Minyak

Bumi (OPEC), kerjasama Perekonomian Negara-

Negara Asia Tenggara (ASEAN) dan kerjasama Perekonomian Negara-

Negara Asia Pasifik (APEC).

Kluster kerjasama mereka telah men-dorong dan membuat pasar barang, jasa, dan keuangan semakin luas (glo-balise) dengan pengurangan berbagai hambatan (borderless) dalam birokrasi perijinan, dan lalulintas modal, pe-kerja dan tranfer teknologi.

Globalisasi pasar internasional seka-rang ini cenderung meluas, menjadi rumit dan sulit dilacak. Proses ini ter-jadi sedemikian cepat dengan kecen-derungan aksi dari berbagai perusa-haan raksasa multinasional (MNCs) dan dunia (global firms) mengadakan stra-tegi usaha melalui integrasi, merger maupun kegiatan usaha patungan de-ngan melintasi batas-batas teritorial antar negara.

Kepentingan bisnis mereka secara ke-seluruhan seringkali mengalahkan ke-pentingan dari perusahaan-perusahaan cabang yang mereka miliki maupun kepentingan partner dagang di negara berkembang. Globalisasi pasar di samping memberikan dampak positif, tidak jarang menghasilkan pengaruh yang negatif untuk perekonomian In-donesia, perkembangan perusahaan menegah dan kecil dan keunggulan bersaing di sektor ekonomi atau industri tertentu.

Siklus Kegiatan Usaha

Siklus kegiatan usaha (business cycle) pada tingkat internasional perlu dipe-lajari dan diamati pergerakannya ka-rena dia memiliki pengaruh pada per-mintaan dunia, dan perkembangan perekonomian negara berkembang se-perti Indonesia, India dan China.

Perekonomian dunia pernah menga-lami masa depressi (tahun 1920-1930) akibat kejadian perang dunia perta-ma. Peristiwa perang serupa telah mengakibatkan ekonomi booming, seperti pada saat perang dunia kedua (1940-1945) dan perang Korea tahun 1950an. Dalam kasus ini biasanya per-mintaan barang dan jasa yang terkait dengan kejadian perang dapat me-rangsang peningkatan produksi dunia, seperti halnya produksi karet alam, biji besi dan peralatan komputer. Perang Teluk sebagai reaksi invasi Irak ke Kuwait menyumbangkan pengaruh-nya terhadap resesi ekonomi dunia, khususnya dimulai dengan negara Amerika Serikat pada tahun 1990.

Di samping ketidakstabilan politik in-ternasional, siklus kegiatan usaha da-pat dipengaruhi oleh penemuan-pene-muan (komputer, robot dan seba-gainya), tingkat inflasi, pengeluaran pemerintah yang cukup besar, dan kepanikan pasar modal dunia (Wall Street) atas kejadian-kejadian pada tingkat internasional. Perang Irak oleh Amerika Serikat pada bulan April 2003 telah menghasilkan berbagai skenario kemungkinan melemahnya perekono-mian negara-negara maju beberapa

- 120 -

minggu setelah itu.

Siklus kegiatan usaha dapat dibuat un-tuk dunia, kawasan ekonomi, negara dan atau untuk kegiatan usaha di klus-ter industri tertentu. Indikator yang biasa digunakan : perkembangan value added indeks produksi indeks harga saham atau indikator gabungan lainnya.

Ketidakpastian usaha biasanya akan meningkat pada saat siklus ekonomi mengalami penurunan (recession), yaitu misalnya saat kita memasuki abad millineum, dan kemudian men-jadi optimis pada saat siklus ekonomi meningkat (booming).

Harga Minyak Bumi

Gejolak harga minyak bumi dunia sangat mempengaruhi posisi keuangan dan likuiditas perekonomian negara Indonesia. Secara mikro, harga minyak bumi dapat mempengaruhi biaya produksi sebagian besar perusahaan yang menggunakan BBM. Seperti diketahui, anggaran belanja negara kita disusun berdasarkan asumsi harga minyak bumi yang diperoleh. Jadi adanya peningkatan harga minyak tersebut otomatis akan mempengaruhi peningkatan surplus penerimaan negara. Perubahan kebijakan dan arah alokasi pengeluaran pembangunan sebagai dampak dari kenaikan harga tersebut perlu selalu diamati.

Bagi perusahaan, perubahan harga minyak bumi akan mempengaruhi perubahan dalam biaya perjalanan,

biaya pengangkutan, biaya bahan baku impor, biaya listrik dan biaya hidup karyawan.

Lingkungan Perekonomian Global Lainnya

Lingkungan perekonomian global lain-nya yang perlu diperkirakan pengaruh-nya terhadap lingkungan bisnis mikro perusahaan di Indonesia mencakup pe-ngeluaran pembangunan di negara ma-ju, perubahan selera/permintaan ser-ta perubahan kebijakan global, seperti nilai tukar dari beberapa mata uang asing yang mendominir pasar uang in-ternasional. Pola pengeluaran pem-bangunan, seperti di Amerika Serikat, yang cenderung mengarah pada nera-ca anggaran defisit akan mempenga-ruhi nilai tukar US dollar terhadap mata uang lainnya. Kita telah menga-mati jatuhnya nilai tukar dollar Ame-rika terhadap Yendaka dalam periode 1994-95, mencapai nilai tukar di bawah 90 Yen per dollarnya.

Di samping itu perlu diamati ke arah mana anggaran belanja pemerintah tersebut dikeluarkan, karena hal ini dapat mempengaruhi pola permintaan barang-barang impor yang berasal dari negara berkembang. Apabila penge-luaran pembangunan ini diikuti pula dengan partisipasi produksi pihak swasta maka tingkat pertumbuhan perekonomian dapat meningkat. Per-kembangan ini biasanya akan diikuti dengan perkembangan di sektor kon-struksi, real estate dan industri ber-teknologi maju, sehingga impor bahan baku dan barang-barang input lainnya

- 121 -

dari negara sedang berkembang akan meningkat.

Permintaan barang dan jasa di negara maju, khususnya barang-barang me-wah, dapat berubah dengan bergeser-nya selera dan pola hidup masyarakat di negara tersebut. Beberapa kegiatan perekonomian yang akan terpengaruh oleh perubahan iklim yang terjadi setiap tahun secara spesifik di wilayah geografis suatu perekonomian, meli-puti permintaan bahan bangunan, pa-kaian jadi dan kegiatan pariwisata.

Akhirnya, pada era globalisasi nilai tukar mata uang asing cenderung ber-fluktuasi terutama mata uang dollar, yendaka, poundsterling, deutchmark dan mata uang asing utama lainnya. Faktor penyebab fluktuasi nilai tukar mata uang ini adalah ketimpangan ne-raca perdagangan dari dua negara (bi-lateral), politik anggaran defisit, per-kembangan pertumbuhan ekonomi dan ancaman konflik politik internasional. Sampai saat ini lembaga keuangan international IMF tidak sanggup untuk menciptakan stabilitas nilai tukar ter-sebut, mengingat sebagian besar ken-dali stok uang internasional berada di-tangan para pemilik modal global.

Implikasi ketidakstabilan nilai tukar mata uang ini bagi manajemen ke-uangan perusahaan-perusahaan eks-portir adalah faktor ketidakpastian dalam memperkirakan arus penda-patan maupun arus biaya dalam satu periode tertentu. Tentunya pemakaian jasa konsultan manajer keuangan internasional sangat disarankan untuk

menghindari risiko kerugian dari salah perhitungan kurs tersebut.

Kebijakan global yang paling akhir dan diperkirakan akan mempengaruhi ki-nerja perusahaan publik dan swasta di Indonesia adalah komitmen negara ki-ta dan negara anggota lainnya untuk menjalankan kesepakatan GATT yang dicapai pada Putaran Uruguay di Mar-rakesh, Marocco pada tanggal 15 April 1994.

Perjanjian GATT sebenarnya membe-rikan peluang pasar yang lebih besar bagi Indonesia, khususnya untuk para eksportir yang melempar produk eks-pornya ke negara maju dan negara berkembang lainnya. Tetapi dalam hal ini Indonesia harus memberi konsesi bagi negara-negara lain untuk masuk ke pasar domestik kita. Dalam hal bidang tekstil dan pakaian jadi, pada awalnya dampak persetujuan GATT ti-dak akan terlalu terasa karena peng-hapusan kuota masih relatif kecil. Pada tahap akhir, Indonesia akan me-masuki era persaingan secara terbuka dan pengusaha domestik harus was-pada terhadap serbuan negara lain. Undang-Undang anti dumping sudah harus dirumuskan oleh Indonesia se-suai dengan kesepakatan. Demikian pula perusahaan-perusahaan domestik yang memperoleh subsidi dan per-lindungan sudah harus siap bertanding sejajar di kancah persaingan global tanpa proteksi.

Persaingan di kandang sendiri akan segera menjadi realitas dengan disep-akatinya ketentuan liberalisasi perda-

- 122 -

gangan di bidang jasa (GATS). Per-undingan-perundingan untuk menuju proses tersebut mengalami kemajuan di beberapa kali pertemuan di Doha. Beberapa tahun ke depan perusahaan, konsultan dan pekerja asing di bidang jasa pendidikan, perbankan dan lem-baga keuangan asing akan semakin terbuka di Indonesia. Perkembangan ini perlu diantisipasi oleh perusahaan lokal di industri tersebut dan diper-hitungkan dampak positif dan nega-tifnya pada tiga aspek internal peru-sahaan di atas.

Pembangunan dan Perekonomian Nasional

Kinerja suatu perusahaan akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerin-tah di bidang ekonomi, moneter, fis-kal, perdagangan dan investasi. Per-kembangan ekonomi di negara ber-kembang, seperti halnya di Indonesia dipengaruhi juga oleh ketajaman visi, misi dan strategi pembangunan yang dijalankan oleh rezim pemerintahan.

Kita perlu senantiasa memonitor ge-jolak perekonomian nasional tersebut karena faktor-faktor ini secara lang-sung dapat mempengaruhi realisasi pencapaian target bisnis plan, mutu business process dan pencapaian tolok ukur kinerja perusahaan secara berke-lanjutan (sutainabled operation). Se-cara singkat, tingkat kesehatan pere-konomian nasional itu sendiri banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor atau indikator ekonomi utama.

Indikator ekonomi utama yang meng-gambarkan tingkat kesehatan pereko-

nomian : 1. Tingkat Inflasi dan Harga

Kebutuhan Pokok dan BBM 2. Tingkat Bunga Simpanan dan Kre-

dit 3. Defisit atau Surplus Neraca Perda-

gangan 4. Anggaran Belanja Pemerintah 5. Tingkat Tabungan Perusahaan/

Perseorangan 6. Pendapatan Nasional / Daerah dan

Daya Beli Konsumen

Tingkat inflasi merupakan variabel ekonomi terpenting yang secara langsung mempengaruhi kondisi daya beli konsumen dan struktur biaya produksi perusahaan. Keduanya akan mempengaruhi kalkulasi perolehan laba di suatu kluster usaha atau satu perusahaan tertentu. Di samping itu tingkat inflasi dapat mempengaruhi kalkulasi pembayaran pajak dari perusahaan.

Sedangkan perkembangan tingkat bu-nga perlu selalu dimonitor oleh per-usahaan mengingat variabel ekonomi utama ini merupakan landasan atau barometer bagi kegiatan layak atau tidak layaknya suatu usaha (venture) dijalankan. Kemudian variabel lainnya yang perlu dimonitor adalah anggaran belanja pemerintah. Dunia bisnis di Indonesia pada umumnya sangat terkait dengan kegiatan investasi dan pola pengeluaran pembangunan pe-merintah Indonesia, karena kegiatan investasi pemerintah acapkali dapat mempengaruhi kinerja perusahaan domestik pada bidang-bidang usaha

- 123 -

tertentu.

Kegiatan perdagangan luar negeripun di hampir sebagian negara di dunia, termasuk di Indonesia, telah meng-ambil perannya yang penting dalam memperkokoh perekonomian nasional. Adanya peningkatan kegiatan perda-gangan internasional secara langsung telah mempengaruhi laju pertum-buhan ekonomi nasional. Lebih lanjut peningkatan volume kegiatan ekspor di samping akan menambah devisa negara juga secara tidak langsung akan mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi pada kegiatan lanjutan di dalam negeri, khususnya dalam bidang pengelolaan kegiatan ekspor dan impor.

Di samping mengevaluasi perkem-bangan keempat variabel agregat di atas, pengusaha swasta nasional masih perlu selalu memonitor dan mengeva-luasi dampak dari faktor ekonomi lainnya.

Indikator ekonomi lainnya yang perlu dimonitor : 1. Deregulasi maupun regulasi peme-

rintah di sektor riil. 2. Restrukturisasi pasar modal, lem-

baga perbankan dan asuransi 3. Berbagai kebijakan promosi eks-

por, investasi dan perdagangan dalam negeri

4. Upaya penyehatan BUMN melalui kebijaksanaan perencanaan, efi-siensi dan permodalan, dan pro-gram privatisasi

5. Kebijakan moneter dan per-bankan.

Berbagai Isu Non-Ekonomi Utama

Isu non-ekonomi utama yang perlu mendapatkan perhatian para pimpinan perusahaan cukup banyak ragamnya. Menurut penulis jenis ragam isu ini akan terus bertambah, mengingat kon-disi dan perkembangan perekonomian negara kita yang masih akan ber-gejolak. Pengelompokan isu non- eko-nomi secara tersendiri diperlukan mengingat karakter nya yang berbeda dengan permasalahan ekonomi.

Demikian juga dengan cara melakukan analisis dampaknya yang berbeda. Se-bagian isu non-ekonomi beberapa ta-hun kemudian mungkin akan reda dan tidak lagi menjadi masalah yang perlu ditangani. Tetapi sebaliknya dia perlu ditangani secara serius mengingat efek bola saljunya yang baru timbul beberapa tahun kemudian.

Isu Politik dan Hukum

Berbagai isu dan permasalahan dalam bidang politik, hukum dan perundang-undangan yang secara minimal perlu diketahui dan dimengerti oleh para pelaku bisnis di negara kita mencakup hal-hal berikut ini: 1. Arah dan stabilitas politik dan

keamanan. 2. Ancaman terorisme. 3. Sistem politik yang dianut kabinet

suatu pemerintahan. 4. Sikap politik masyarakat yang

diarahkan pada industri tertentu, seperti yang diatur oleh undang-undang ketenaga kerjaan dalam peraturan tentang ketentuan upah minimum, aksi mogok, dan pena-

- 124 -

nganan tuntutan lainnya. 5. Kebijakan politik yang dinyatakan

dalam kebijakan harga, program pemberian subsidi, peraturan dan etika permainan dalam berusaha.

6. Berbagai sistem perundang-undangan dan peraturan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi negara yang mengatur berbagai aspek kegiatan ekonomi, teknis dan operasional.

7. Kegiatan politik menjelang pemi-lu, aktivitas partai, pola afiliasi politik.

8. Kegiatan dan platform politik dari beberapa partai politik utama dan peran lembaga swadaya masya-rakat.

9. Sistem administrasi dan birokrasi yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah, kebijakan otonomi dan desentralisasi daerah.

10. Hak azasi manusia dan perlin-dungan konsumen.

11. Kebebasan pers dan hak untuk mengemukakan pendapat

12. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme

13. Demokratisasi

Isu non-ekonomi dalam bidang politik dan keamanan di dalam negeri kita yang sempat mencuat kepermukaan, terutama semenjak negara kita me-masuki era reformasi adalah: Konflik sosial di Ambon dan Aceh; teror le-dakan bom; rebutan pengaruh antar partai politik; kebebasan pers dan me-dia; masalah hak azasi manusia; keadilan dan masalah KKN; Sebagian dari isu tersebut sampai saat ini masih

belum terselesaikan dan terkatung-katung dalam wacana debat publik yang hangat.

Berbagai isu dan peristiwa meletupnya konflik sosial di negara kita banyak ter-bukti telah mempengaruhi secara negatif perkembangan perekonomian negara kita. Misalnya, pertumbuhan eko-nomi Indonesia yang turun ke tingkat rendah 3-4% pada periode 2002-2004 dipengaruhi oleh tingginya risiko politik di negara kita. Hal ini disebabkan antara lain karena belum terselesaikannya permasalahan kea-manan di Maluku dan Aceh. Berikut-nya, adalah dampak ledakan bom Bali yang selama beberapa tahun telah merongrong perkembangan kegiatan pariwisata di Indonesia, khususnya gerak perekonomian lokal di kawasan pulau Bali dan sekitarnya. Kelesuan ekonomi dan pengangguran di ber-bagai wilayah tanah air semakin me-ningkat dan belum tertangani sampai saat ini.

Kita amati saja bagaimana kluster industri tekstil dan pakaian, industri sepatu, industri kulit, telah kehilangan daya saingnya di pasar global akibat meningkatnya biaya produksi mereka sejak PLN menaikan tarif listriknya dan dipenuhinya tuntutan para serikat pekerja dalam kenaikan upah. Faktor-non-ekonomi dalam banyak hal ter-nyata berperan dalam proses erosi pe-nurunan daya saing perusahaan tra-disional indonesia.

Aspek Teknologi

Daya saing sebagian barang dagangan

- 125 -

pengusaha eksportir Indonesia mulai kehilangan daya saingnya di pasar internasional beberapa tahun sejak kejadian krisis perekonomian di Indo-nesia. Agar produk Indonesia yang ber-orientasi mnyerap lpangan kerja dapat tetap dapat bersaing di pasar inter-nasional, aspek teknologi harus mulai dilihat dan dipertimbangkan sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas proses bisnis perusahaan dan pada akhirnya dapat memenangkan per-saingan.

Dalam kaitan ini faktor-faktor di bi-dang teknologi yang perlu dipelajari dampak dan pengaruhnya mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Kejadian penemuan (innovations)

ilmiah 2. Adaptasi teknologi yang siap pakai 3. Produk-produk baru yang dilempar

ke pasar oleh pesaing 4. Perkembangan teknologi barang

substitusi 5. Strategi perkembangan teknologi

nasional 6. Pengeluaran biaya riset dan pe-

ngembangan (R & D) oleh pesaing atau perusahaan-perusahaan di industri

7. Siklus hidup suatu produk (pro-duct life cycle)

8. Perkembangan teknologi kompu-ter dan informasi

9. Terobosan-terobosan yang dapat meningkatkan produktivitas yang lebih baik di bidang input, pengo-lahan dan pemasaran

10. Berbagai ramalan pengembangan teknologi di masa depan

Isu Demografi, Sosial dan Budaya

Pertimbangan aspek demografi, sosial dan budaya dalam kajian ALB menca-kup seluruh perkembangan karak-teristik demografi penduduk, urbani-sasi, migrasi musiman, perilaku etnis dan adat istiadat, struktur sosial, pola gaya hidup masyarakat kota, persepsi konsumen, pola pembelian konsumen Indonesia, konflik sosial, aspek pen-cemaran lingkungan alam, kelanjutan lingkungan hidup dan masih banyak faktor lainnya untuk disebutkan satu persatu. Pola gaya hidup konsumen mungkin akan bervariasi antar wilayah tergantung pada latar belakang kebudayaan etnis, demografi, agama, pendidikan dan lokasi geografi.

Kejadian sosial yang sedang menga-lami perubahan pada saat ini meliputi masuknya cohort baby boom tahun 1950, 1960 dan 1970 di pasar kerja In-donesia. Masuknya mereka ke lapang-an kerja dapat mempengaruhi daya beli, pola pengeluaran dan tuntutan-tuntutan yang berbeda dari suatu cohort terhadap cohort lainnya. Arus modernisasi yang kemudian mempe-ngaruhi tingkah laku dan gaya hidup mereka, serta gejala urbanisasi dan migrasi desa ke kota yang masih berlanjut perlu dipertimbangkan dengan matang-matang.

Demikian pula kecenderungan masuk-nya sejumlah besar tenaga kerja wa-nita di pabrik-pabrik maupun di per-kantoran yang membawa budaya be-kerja yang berbeda menarik untuk di-amati. Modernisasi dan kebebasan

- 126 -

pers dan media cetak telah mem-pengaruhi daya beli dan pola belanja sehari-hari dari para pekerja pabrik, konsumen kelas menengah dan kelom-pok jet set daerah metropolitan..

Pergeseran-pergeseran komponen ke-pendudukan, seperti distribusi menurut umur, distribusi menurut wilayah, struktur umur, struktur pekerjaan, po-la migrasi dan penurunan tingkat mortalitas dan fertilitas harus diamati secara seksama, terutama pengaruh-nya terhadap segmentasi pasar, daya beli dan tingkah laku pengeluaran atas barang dan jasa. Saat ini menarik untuk diamati perjalanan cohort baby boom angkatan 1945 dan 1950, yang sudah mulai memasuki masa pensiun dan penurunan produktivitas.

Metode dan Model Analisis

Pada dasarnya analisis lingkungan bis-nis dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Penulis dalam hal ini hanya akan membahas secara singkat beberapa metode analisis yang sering digunakan oleh para akademisi dan praktisi. Metode yang digunakan se-cara garis besarnya dapat dikelom-pokkan dalam dua pendekatan:

1. Metode dan model analisis yang digunakan untuk mempelajari perkembangan, pola dan perubah-an dari berbagai faktor eksternal perusahaan. Contohnya antara lain: a. Model Five Forces (Porter) b. Value Chain Analysis

c. Analisis statististik (anova, faktor, tabel, behaviour, pooling)

d. Analisis demografi (life tables, fertility, mortality, cohort)

e. Forecasting untuk cluster (permintaan/ penjualan, pe-nawaran, biaya)

f. Model dualistis (property de-velopment, penyerapan tena-ga kerja)

2. Metode analisis yang dipakai un-tuk mengestimasi besarnya dam-pak terhadap parameter atau in-dikator mikro perusahaan. Con-tohnya antara lain: a. Three circles (James Austin) b. Four in One (Baron) c. Analisis SWOT Strategic Mana-

gement d. Regression analysis (demand

elasticity, cost curve, impact) e. Screnario writing (demo-

graphy, macroeconomics, technology)

f. Analisis input-output (sectoral impact, regional forecasting)

Pada makalah ini akan dibahas konsep dasar dan pemikiran metodologi ana-lisis : Three circles, Four in One, dan Analisis SWOT.

Analisis Three Circles

Masalah utama yang dihadapi oleh banyak pimpinan perusahaan dan pembuat kebijakan adalah bagaimana melakukan analisis lingkungan secara taktis dan komprehensif. Lingkungan bisnis sejak terjadinya globalisasi dan

- 127 -

proses liberalisasi perdagangan dan investasi telah mendorong sengitnya persaingan antar perusahaan pada skala regional dan dunia. Hanya perusahaan-perusahaan yang dapat mengantisipasi perkembangan ini, dan menginternalkan dampak perubahan dalam manajemen mikro perusaha-annya yang diperkirakan akan sukses meraih kemenangan.

James Austin dalam bukunya Managing in Developing Countries sejak dini telah mengantisispasi hal ini dan me-nyarankan suatu metode analisis lin-gkungan eksternal yang disebut de-ngan Analisis Tiga Lingkaran. Ketiga lingkaran ini masing-masing adalah : lingkungan luar yang terdekat “ling-

kungan industri”, kemudian diikuti dengan “lingkung-

an nasional” dan lingkungan paling luar “lingkungan

internasional”

Ketiga lingkungan luar ini perlu kita evaluasi sejauh mana faktor-faktor yang ada di dalamnya dapat mempe-ngaruhi strategi dan kondisi operasi perusahaan.

Untuk masing-masing telaah di ketiga arena lingkungan luar ini kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor domi-nan yang merupakan motor penggerak perubahan yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Kita dapat juga me-nentukan berbagai faktor determinant (triggers) yang menyebabkan terj-adinya perubahan lingkungan luar dari suatu perusahaan. Faktor-faktor ini terdiri dari berbagai faktor dalam

kelompok bidang : ekonomi, politik, demografi dan budaya.

Pada saat itu teknologi belum merupakan faktor dominan, sehingga Austin memasukkannya ke dalam bidang ekonomi. Mungkin pada saat ini kita perlu menambah bidang baru secara tersendiri yaitu bidang teknologi dan informasi.

1. Faktor ekonomi terdiri dari : sumber daya alam, pekerja, modal, infrastruktur, dan teknologi.

2. Sedangkan faktor politik terdiri dari : stabilitas, ideologi, kelembagaan politik, dan hubungan politik luar negeri.

3. Faktor budaya mencakup : struktur dan dinamika sosial, perspektif sifat dan karakter

manusia, orientasi ruang dan waktu, agama, etnik, gender dan bahasa.

4. Sedangkan faktor kondisi demo-grafi terdiri dari : tingkat pertumbuhan pendu-

duk, struktur umur,

- 128 -

urbanisasi, migrasi dan status kesehatan.

Perlu kita pahami bahwa masing-masing bidang ini memiliki karakter perubahan yang berbeda : Faktor ekonomi diperkirakan akan

berubah setiap 1 sampai dengan 3 tahun sekali.

Sedangkan faktor teknologi berubah setiap 1 sampai dengan 2 tahun sekali.

Faktor-faktor di bawah bendera bidang politik diperkirakan berubah setiap 5 tahun sekali.

Selanjutnya jangka waktu perubahan akan semakin lama untuk perubahan kondisi demografi (setiap 5 sd 10 tahun sekali) dan aspek budaya dan sosial masyarakat setiap puluhan tahun sekali. Faktor-faktor non-ekonomi ini banyak dijumpai di bidang politik, demografi dan budaya.

Manager perusahaan perlu mengerti bagaimana masing-masing faktor yang relevan dari masing-masing bidang ini saling berkaitan satu dengan lainnya, dan sejauh mana mereka memiliki pengaruhnya pada strategi dan kegiatan operasi perusahaan yang sedang dijalankan terhadap kegiatan usaha bisnisnya.

Pada tingkatan kluster industri, ma-nager harus mengerti kondisi per-saingan yang sedang dihadapi oleh perusahaan. Skenario kondisi persaing-an ini akan semakin jelas jika kita menggabungkan berbagai kepentingan

(interest) dari berbagai kelompok ke-lembagaan (perusahaan MNC, BUMN, kelompok bisnis, perusahaan lokal SMEs, dan sektor informal) dalam per-caturan persaingan usaha. Dalam melakukan analisis kluster industri James Austin menggunakan model Five Forces dari Michael Porter.

Beberapa pengamatan terpenting ten-tang perubahan jangka menengah di negara berkembang (NSB), yang di-peroleh dengan menggunakan Analisis Three Circles : 1. Permintaan konsumen di NSB akan

didominasi oleh produk dan jasa yang sifatnya masal dan berkaitan dengan derived demand akibat peledakan penduduk.

2. Keunggulan biaya upah buruh akan bergeser dari negara maju ke NCB, sehingga akan mendorong proses mobilitas kapital, teknologi dan proses produksi sarat tenaga kerja ke NSB.

3. Kualitas pendidikan akan tetap ku-rang mendapatkan perhatian mengingat anggaran yang terbatas.

4. Pertanian dan kecukupan pangan akan merupakan permasalahan di negara NSB

5. Barang-barang industri akan me-ningkat permintaannya, sejalan dengan prioritas pemerintah pada pembangunan industri

6. Transfromasi teknologi akan ber-lanjut dalam beberapa dekade ke depan

7. Phenomena globalisasi akan ber-lanjut dan semakin tak terben-dung.

- 129 -

8. Masalah krisis hutang luar negeri akan merupakan permasalahan ba-gi NSB, dengan berbagai penye-lesaian melalui program pengha-pusan, konversi, repayments dan restrukturisasi.

Analisis Four in One

Berbeda dengan metode analisis yang pertama, metode analisis yang dikenal dengan Analisis Four in One ini cocok diaplikasikan untuk mengevaluasi ber-bagai permasalahan non-ekonomi yang muncul di lingkungan luar perusahaan. Metode ini dikemukakan oleh David Baron dalam bukunya Business and Its Environment.

Efektivitas suatu perusahaan yang dalam hal ini direfleksikan dengan kemampuan manager dan sistem in-ternal perusahaan menangani berbagai isu non-pasar sangat tergantung pada interaksi perusahaan dengan berbagai pelaku di luar perusahaan (seperti perseorangan, organisasi dan lembaga publik dan masyarakat). Tugas utama manager adalah memperkirakan se-jauh mana perubahan-perubahan isu non-ekonomi ini benar-benar meru-pakan semacam ancaman atau seba-liknya dapat memberikan kesempatan untuk perusahaan.

Isu non-pasar pada dasarnya meru-pakan suatu permasalahan non-eko-nomi yang akan mempengaruhi orang, kelompok, atau organisasi. Isu ini akan menjadi bahan perhatian mereka. Isu non-pasar tidak dapat diinternalisasi-kan dengan kebijakan perusahaan me-lalui proses kontrak, integrasi vertikal

atau sistem pertukaran yang saling menguntungan.

Komponen lingkungan non-pasar pada intinya terdiri dari 4 komponen, yang dikenal dengan 4 I’s atau Four in one : Issue (non market), Institutions, Interest dan Information.

Belakangan Baron mengelompokannya menjadi tiga saja dengan menghilang-kan information. Kita sebagai pim-pinan perusahaan jika akan menangani suatu permasalahan isu non-pasar, perlu mengerti benar keterkaitan ke empat aspek I’s ini.

Isu non-pasar pada awalnya akan di-profokasi oleh segelintir orang/organi-sasi/ lembaga. Kemudian melalui pro-ses porpaganda informasi di antara mereka yang pro terhadap isu tersebut dapat mengumpulkan para pengikut baru untuk berpihak pada kepentingan mereka. Dalam hal ini kita diminta untuk secara jeli melakukan analisis kepentingan politik dari masing-masing aktor pelaku. Selanjutnya kita dapat melakukan pertimbangan sejauh mana isu tersebut perlu ditangani secara serius. Tentunya motivasi dari para aktor politik yang mengibarkan isu perlu teridentifikasi dan dipelajari lebih lanjut dampaknya pada aksi yang akan diperbuat oleh masing-masing aktor.

Isu yang benar-benar diperkirakan akan mempengaruhi kelangsungan hi-dup perusahaan harus segera ditangani

- 130 -

melalui kebijakan non-ekonomi. Misal-nya dengan melakukan public hearing, perang informasi, atau membentuk kesepakatan dengan para aktor yang memprromosikan isu tersebut.

Dalam melakukan proses penyelesaian sengketa kita perlu dibekali dengan berbagai latar belakang pengatahuan dan taktik dalam opini publik, public relations.

Analisis SWOT Stratejik Management

Analisis dampak pengaruh lingkungan luar terhadap bisnis banyak dijumpai dalam literatur manajemens stratejik Pendekatan ini mencoba menganalisis pengaruh lingkungan eksternal dalam dua tahapan kebutuhan. Kebutuhan pertama, analisis tersebut dilakukan pada saat perusahaan akan memulai proses penyusunan business plan, termasuk pada saat perusahaan akan melakukan revisi atas rencana bisnis tersebut. Kebutuhan kedua, analisis dampak lingkungan eksternal yang di-lakukan pada saat pelaksanaan ke-giatan perusahaan, misalnya melihat sejauh mana pengaruh perubahan ingkungan luar terhadap business process atau kinerja perusahaan.

Pada kedua kebutuhan ini prosedur yang dilakukan hampir mirip, yaitu mencakup kegiatan berikut ini (lihat Diagram di halaman selanjutnya): 1. Mengidentifikasi sebanyak mungkin

berbagai faktor lingkungan luar (biasanya antara 30 sampai dengan 60 butir pernyataan) tentang kon-disi lingkungan eksternal perusa-haan yang diperkirakan dapat

mempengaruhi pencapaian visi dan misi perusahaan.

2. Lingkungan luar yang dievaluasi terdiri dari faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi pada tingkatan perekonomian internasional dan perekonomian nasional, masalah politik, hukum dan perundang-undangan, perkembangan tekno-logi dan perubahan demografi, sosial dan budaya.

3. Mengidentifikasi (sekitar 10 sampai dengan 20 butir pernyataan) ten-tang faktor-faktor yang diperki-rakan dapat mempengaruhi kondisi persaingan dalam kluster industri yang dihadapi perusahaan. Untuk membantu proses ini dapat diguna-kan model strategic positioning dari Michael Porter, model cluster analysis, atau model struktur per-saingan pasar dalam ilmu ekonomi manajerial.

4. Setelah terkumpul seluruh butir pernyataan tersebut yang meng-gambarkan baik kondisi maupun perubahan faktor lingkungan eks-ternal perusahaan, kemudian di-diskusikan secara kelompok rele-vansi dan bobot masing-masing bu-tir pernyataan. Proses ini diakhiri dengan pemilihan sekitar 10 sam-pai dengan 20 variabel dominan lingkungan luar, yang diperkirakan akan berperan mempengaruhi pen-capaian visi, misi, strategi, busi-ness process dan kinerja peru-sahaan,

5. Prosedur selanjutnya adalah mela-kukan proses identifikasi dari ber-

- 131 -

bagai peluang dan ancaman hasil ekstrapolasi dari variabel dominan tersebut. Tahapan ini diakhiri de-ngan penulisan skenario peman-faatan peluang dan cara-cara me-nangani berbagai kendala yang ter-identifikasi,

Penulisan skenario ini berbeda untuk berbagai tujuan di bawah ini:

4. Dalam Proses Penyusunan Rencana Bisnis:

Lakukan analisis SWOT atau matching butir-butir SW dan OT satu persatu untuk mencari berba-gai alternatif strategi perusahaan yang akan dilakukan (strategic mapping). Proses ini diakhiri de-ngan memilih satu atau beberapa strategi usaha untuk merealisa-sikan visi dan misi perusahaan yang akan dijalankan.

5. Dalam Menilai Pengaruh Lingkungan Bisnis Terhadap Business Process

Mengkaji lebih lanjut sejauh mana peluang lingkungan luar yang di-perkirakan akan timbul dapat mempertajam peningkatan kuali-tas business process perusahaan. Atau sebaliknya sejauh mana kua-litas business process akan ter-ganggu dan menurun kualitasnya jika potensi ancaman yang meng-hadang perusahaan dibiarkan begitu saja.

6. Dalam Proses Menilai Kinerja Perusahaan

Melakukan analisis pasar dan per-

hitungan dampak finansial perusa-haan (sejauh mana kinerja perusa-haan dapat ditingkatkan atau menjadi turun) jika skenario pe-ngaruh faktor lingkungan ekster-nal dominan benar-benar dipro-yeksikan akan terjadi dalam wak-tu dekat.

Bahan Bacaan

(1) John A Pearce dan R. Robinson, 1988. Strategic Management, Illi-nois: Irwin.

(2) Arnoldo C. Hax dan Nicolas S. Majluf, 1984. Strategic Manage-ment : An Integrative Perspective, New Yersey : Prentice-Hall.

(3) Leslie W. Rue dan Phyllis G. Holland, 1989. Strategic Manage-ment : Concept and Experience, New York : Mc. Graw-Hill.

(4) Alvin Toffler, 1980, The Third Wave, New York : William Morrow and Company Inc.

(5) John Naisbitt & Patricia Abur-dene, 1990. Mega Trends 2000, New York : William Morrow and Company Inc.

(6) Richard I. Mann. 1994. The Cult-ure of Business in Indonesia, To-ronto : Gateway Books.

(7) Subroto. 1995. “The 21st Century, Challenges and Opportunities in the Oil and Gas Sector”. Makalah Pidato disampaikan pada Konpe-rensi Prospek Energi di Indonesia, Houston, 7-9 Desember.

(8) Kenichi Ohmae. 1995. The End of The Nation State: The Rise of Regional Economies. New York :

- 132 -

The Free Press. (9) Mirente Goeltom. 1995. “Ring-

kasan Ekonomi Makro”. Modul Pelatihan Lembaga Management FEUI.

(10) Anwar Nasution. 1995. Lalulintas Modal dan Kebijaksanaan Moneter Dalam Era Keterbukaan. Pidato Pengukuhan Guru Besar FEUI Tanggal 10 Agustus.

(11) Michael A. Hitt, R.D. Ireland, Ro-bert E. Hoskisson. 1995. Strategic

Management : Competitiveness and Globalization. Minneapolis: West Publishing Co.

(12) Harvard Business Review. 1991. Michael E. Porter on Competition and Strategy. Harvard Business Review Paperback. No. 90079.

(13) James. E. Austin. 1990. Managing in Developing Countries.

(14) Michael E. Porter. 1990. The Com-petitive Advantage of Nations. New York: The Free Press.

Sektor Manufaktur Unggulan Indonesia ke Depan13

Diarsipkan di bawah: Ekonomi Nasional, Opini Pribadi — by adit

@ 9:13 am

Harian Kompas pada hari ini telah mengulas pernyataan Menko Ekuin dan Menteri Keuangan pada suatu semiloka sektor riil di Hotel Four Seasons, Ja-karta kemarin. Kesimpulan yang me-narik dari seminar tersebut bahwa me-nurut pandangan Pemerintah, sistem perekonomian Indonesia perlu menyuntik dana Investasi Rp 989 triliun agar target pertumbuhan 6,3 % ingin dicapai tahun 2007. Dinyatakan juga dari investasi tersebut, diharapkan sektor manufaktur akan menjadi andalan.

Setelah menunggu hampir 9 tahun sejak meledaknya krisis ekonomi baru saat Pemerintah akhirnya menyadari pentingnya peran sektor industri pengolahan (manufacturing industry) dalam mendorong pereko-nomian daya yang kokoh dan berke-lanjutan, seperti yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) sektor ini diharapkan mampu memberi keun-tungan ganda dalam menambah nilai investasi dan menjadi sumber lapang-an kerja baru.

Berbeda dengan target-target ekonomi agregat sebelumnya, target pertum-

13 http://businessenvironment.wordpress.com/2007/03/16/sektor-manufaktur-unggulan-indonesia-ke-depan/

buhan sektoral yang diajukan Peme-rintah mengalami reorientasi dengan menekankan pada pentingnya peran sektor manufaktur. Tingkat pertum-buhan 4,6% dan 4,7% dua tahun bela-kangan pada sektor manufaktur telah disadari menyebabkan kemampuan yang terbatas dari ekonomi Indonesia menghasilkan multiplier kegiatan usaha dan lapangan kerja, sehingga perlu kita sambut secara positif perubahan sikap Pemerintah ini, dengan mematok pertumbuhan sektor manufaktur menjadi 7,2%, dengan harapan kondisi, seperti sebelum krisis di atas 8% bisa digapai.

Dalam rancangan tersebut dituntut juga kenaikan tingkat konsumsi masya-rakat 5,1%, konsumsi pemerintah 8,9% dan ekspor 9,9% —, sehingga tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebanyak 6,3% dapat dicapai. Tentu-nya hal ini membawa implikasi pada kebutuhan sumber dana yang sangat besar. Dan memang dalam coretan-coretan Menkeu, sektor pasar modal perlu setor Rp 346,15 triliun, Pemerin-tah dan BUMN Rp 346,15 triliun, Pena-naman Modal Asing (PMA) Rp 190 tri-liun dan lembaga perbankan Rp 100 triliun.

Tujuan menuju masyarakat industrialisasi yang kokoh akan semakin nyata apabila niat tersebut dilengkapi dengan rencana aksi yang terkoordinir dari Pemerintah beserta para pelaku ekonomi dunia usaha untuk merealisasikannya. Pengalaman dari negara berkembang yang sukses

- 134 -

dalam program industrialisasi, menyarankan perlunya Pemerintah memiliki satu Blueprint Program Industrialisasi yang terfokus dan feasible : Fokus dalam arti Pemerintah perlu

melakukan penajaman target pengembangan sektor manufaktur andalan yang tahan banting.

Feasible memiliki makna bahwa produk andalan yang diprioritaskan cukup memberikan margin usaha bagi investor untuk terjun ke sektor tersebut, dan tersedia sumber dana yang cukup.

Sayangnya sampai dengan detik ini kita belum melihat blueprint tersebut.

Tentunya tidak seluruh produk andal-an sektor manufaktur akan memberi-kan dampak multiplier yang tinggi. Bahkan kita dihadapkan pada suatu paradox bahwa memilih produk an-dalan industri manufaktur yang me-miliki kinerja multiplier output yang tinggi biasanya enggan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Demikian juga konsentrasi pada produk-produk sektor manufaktur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi (tekstil, pa-kaian, kulit, elektronik) biasanya mereka sudah memasuki tahap penu-runan penjualan (sunset industry) dan daya saing yang rendah.

Ke depan pekerjaan rumah kita masih banyak. Berikut ini mungkin beberapa upaya minimal yang perlu dilakukan agar visi membangun sektor industri yang kokoh dan bermanfaat dapat kita realisasikan dalam tempo yang

tidak terlalu lama:

1. Dunia usaha di sektor manufak-tur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi perlu segera melakukan pembaharuan dalam aplikasi teknologi produksi, manajerial dan pemasaran. Program pendidikan dan pelatihan karyawan dalam peningkatan kompetensi untuk memodernisasi kegiatan sub-sektor ekonomi ini perlu segera dipersiapkan dan dilaksanakan.

2. Produk andalan yang berdaya saing di pasar global, antara lain seperti : a. industri komponen, b. usaha pengalengan produk

perikanan, c. industri hilir pengguna minyak

sawit (selain industri minyak goreng),

d. briket batubara, e. industri galangan kapal, f. industri rancang bangun

peralatan konstruksi, g. usaha olahan hasil hutan, dan h. industri karoseri truk, merupakan contoh-contoh produk andalan yang perlu dipertimbangkan.

3. Orientasi penggunaan laba peru-sahaan BUMN untuk tujuan me-nambal defisit APBN agar segera diakhiri. Sebaiknya laba perusa-haan BUMN direlakan untuk dita-namkan kembali oleh perusaha-an BUMN tersebut dalam me-ngembangkan kapasitas produksi

- 135 -

mereka dan ekspansi industri pasokan dan komponen yang terkait.

4. Konsumsi Pemerintah agar tidak terlalu banyak disalurkan untuk pengeluaran rutin dan belanja pegawai, sehingga dana yang terbatas dapat digunakan guna mengembangkan pendidikan dan ketrampilan kejuruan di bidang usaha manufaktur andalan. Sebagian dana Pemerintah perlu diprioritaskan untuk modernisasi pelabuhan dan moda angkutan laut antar pulau di luar Jawa, berikut pengembangan fasilitas dan infrastruktur publik.

5. Merombak sistem produksi dan organisasi PLN serta Pertamina, sehingga mampu memberikan kontribusi positif untuk program industrialisasi. Partisipasi swasta dalam memproduksi sumber daya listrik untuk keperluan industri agar segera dibuka dibarengi de-ngan penciutan SDM PLN. Bagi perusahaan Pertamina, agar sege-ra merubah orientasi “dagang atau fungsi brokernya” menjadi jagoan lapangan yang handal, seperti layaknya Petronas-Malaysia.

6. Untuk memangkas pengeluaran rutin yang semakin membeng-kak, Pemerintah harus berani melakukan program rasionalisasi pegawai negeri di Republik ter-cinta ini. Produktivitas pegawai negara dapat jauh lebih ditingkat-

kan dengan menggandakan balas jasa mereka. Apalagi pada saat ini pegawai negara kita sudah tidak lagi menjadi “sapi perah” yang dapat dibeli untuk tujuan penco-blosan di bilik suara saat Pemilu.

7. Penyaluran kredit konsumsi un-tuk KPR dan kendaraan bermotor segera dibatasi tingkat laju per-tumbuhannya, mengingat alokasi di kedua sektor konsumsi terse-but telah mengarah pada pem-borosan dan misalokasi sumber dana masyarakat yang terbatas.

Nah… saya kira masih banyak butir-butir rencana aksi yang perlu dileng-kapi dan ditambahkan. Masukan-masukan positif anda dalam upaya Pe-merintah dan dunia usaha merealisasi-kan revitalisasi industri manufaktur sangat saya tunggu komentarnya. Ten-tunya jika komentar anda tersebut cukup panjang, mohon dikirimkan ke email saya:

[email protected] untuk dapat diterbitkan di

blog ini.

- 136 -

Modal Asing dengan Kawasan Ekonomi Khusus14

www.sinarharapan.co.id

Melalui kesepakatan pada 25 Juni 2006 antara pemerintah Indonesia dan Singapur, Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) akhirnya ditetapkan sebagai ka-wasan ekonomi khusus (KEK). Lahirnya KEK di Riau Kepulauan itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah kawasan terse-but yang senantiasa mendapat "keisti-mewaan". Batam sudah ditetapkan sebagai kawasan pergudangan (bonded warehouse) dan kemudian bonded zone (kawasan berikat) dengan cakupan wilayahnya diperluas sampai Pulau Rempang dan Galang.

Ketika Indonesia dilanda krisis ekono-mi, pemerintah membuat kebijakan mencabut keistimewaan yang dimiliki Batam, yaitu melalui PP 39/1998 ten-tang Pengenaan PPN dan PPn-BM di Batam. Keputusan tersebut mendapat reaksi masyarakat dan pengusaha Batam.

Akhirnya, pemerintah menerbitkan penundaan lewat PP 45/2000. Selang tiga tahun kemudian pemerintah kembali mengeluarkan PP 63/2003 tentang Pengenaan PPN dan PPn-BM di Batam, sekaligus mencabut PP 39/1998. Kebijakan tersebut membuat iklim usaha di Batam dan sekitarnya mengalami degradasi. Selama 2004-

14 http://kawasan.bappenas.go.id/index.php ?Itemid=9&id=83&option=com_content&task=view

2005 terjadi sejumlah penutupan dan relokasi pabrik di sektor manufaktur.

Kini, setelah BBK ditetapkan sebagai KEK, iklim investasi di kawasan tersebut memberikan sinyal yang menggembirakan. Menurut Gubernur Kepri Ismeth Abdullah, sedikitnya delapan perusahaan asal Singapura akan menanamkan modal di Batam dan Bintan dengan nilai investasi sekitar US$ 31,6 juta dengan rencana penyerapan tenaga kerja 2.000 orang (Bisnis Indonesia, 24/7).

Masuknya kembali investasi asing ke Batam tersebut semoga saja menjadi awal sukses memikat modal asing ke Indonesia, khususnya ke wilayah BBK. Sebagaimana yang terjadi di negara lain hadirnya KEK dapat menjadi magnet bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut.

Belajar dari China

China bisa dikatakan sebagai negara yang paling sukses memikat investasi asing dengan KEK. Pada Juli 1979, China melansir kebijakan membentuk kawasan ekspor khusus di Zhuhai, Shantou, dan Shenzhen di Provinsi Guangdong serta Xiamen di Provinsi Fujian. Mei 1980, zona kawasan ini diganti namanya menjadi KEK. Pada April 1988, Hainan yang sebelumnya bagian dari Provinsi Guangdong dimekarkan menjadi provinsi sendiri, dimasukkan ke KEK.

Selanjutnya pada tahun 1984, 14 kota pantai terbuka terhadap dunia luar.

- 137 -

Kota-kota terbuka ini tidak diberi sta-tus sebagai KEK. Kegiatan dunia usaha dipusatkan pertama-tama di KEK dan kemudian di kota-kota terbuka.

Di kawasan-kawasan tersebut, peme-rintah setempat (pemda) diizinkan un-tuk mengambil langkah-langkah untuk mendorong pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan dari pemerin-tah pusat. Selain itu, kepemilikan swasta dan investasi asing disahkan di kawasan-kawasan ini. KEK dan kota-kota terbuka ini secara efektif men-jadi laboratorium bagi investasi asing dan campuran (modal ventura).

Setelah membuat KEK dan kota terbu-ka, China membuka 54 kawasan pengembangan ekonomi dan teknologi tingkat nasional serta kawasan industri yang menikmati kebijakan khusus. Dari jumlah itu, 27 kawasan berada di kota dan provinsi di sepanjang pantai timur China, sembilan kawasan berlokasi di daerah tengah, dan 13 lainnya di daerah barat China.

Di samping itu, terdapat lima kawasan industri yang menikmati kebijakan khusus tingkat nasional, yaitu Kawasan Pengolahan Ekspor Jinqiao (Shanghai), Kawasan Pengolahan Ekspor Haichang (Xiamen, Provinsi Fujian), Kawasan Pengembangan Daxie (Ningbo, Provinsi Zhejiang), dan Kawasan Pengembang-an Ekonomi Yangpu (Provinsi Hainan), dan Taman Industri Suzhou (Provinsi Jiangsu)

Kebijakan pembangunan kawasan-kawasan ekonomi khusus tentunya ditopang juga oleh stabilitas sosial-

politik dan kebijakan-kebijakan lainnya (fiskal dan moneter) yang membuat iklim investasi China tidak hanya kondusif, tetapi unggul bila dibanding negara-negara pesaing.

Selain itu, pemerintah China tak ketinggalan membangun infrastruktur yang memadai. Sebab mereka menyadari seberapa hebat apapun potensi ekonomi suatu wilayah, bila tidak ditunjung infrastruktur yang memadai tidak akan dilirik investor.

Daya Tarik Luar Biasa

Negeri berpenduduk 1,3 miliar orang tersebut memiliki 88.775 km jalan arteri dan 100.000 km jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta pendu-duk 1.384 km. Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 km dan jalan tol 620 km (121 kilometer per sejuta penduduk).

Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani, seperlima volume kontainer dunia dan masih terus mem-bangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru. Maka, ia memiliki daya tarik luar biasa bagi penanaman modal.

Tahun 2004, China berhasil menarik investasi langsung asing US$ 60,6 miliar dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Semenjak tahun 1993, ia merupakan negara berkem-bang yang paling banyak menarik investasi asing.

Masuknya perusahaan-perusahaan

- 138 -

asing ke China juga menstimulus peru-sahaan-perusahaan domestik untuk berkembang. Perusahaan-perusahaan China, bahkan telah disejajarkan de-ngan perusahaan-perusahaan papan atas dunia.

Pada tahun 1998, di antara 225 kon-traktor internasional top, menurut penilaian Engineering News Magazine, Amerika Serikat, 30 di antaranya ada-lah perusahaan-perusahaan China. Me-nurut catatan Ministry of Foreign Trade and Economic Cooperation (MOFTEC), lebih dari 6.000 usaha in-vestasi China di luar negeri dengan ni-lai kontrak mencapai US$ 6,95 miliar.

Invetasi tersebut tersebar di lebih 160 negara dan wilayah. Jelaslah, bagi China, KEK yang tersebar di berbagai wilayah dijadikan pemikat bagi kalangan investor asing.

China sangat menyadari sebagai nega-ra berkembang (yang sudah pasti ke-kurangan modal untuk membangun negaranya) mendatangkan modal asing adalah pilihan terbaik untuk mengop-timalkan potensi negerinya. Namun, China dapat mengarahkan investor

asing untuk berinvestasi pada industri-industri yang berorientasi ekspor dan yang dapat melakukan transfer of technology.

Dengan demikian, kehadiran modal asing di negeri itu tersebut memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan nilai tambah bagi perekonomian domestik.

Akhirnya, semoga saja pembentukan KEK di BBK dapat berhasil sebagaima-na pembentukan KEK di China, se-hingga investasi mengalir deras ke In-donesia. Bilamana KEK di BBK menuai cerita sukses, akan dengan mudah di-tularkan ke kawasan-kawasan lain, se-hingga di Indonesia diharapkan nan-tinya akan memiliki banyak KEK terse-bar di berbagai penjuru Tanah Air.

Tapi, jangan lupa, pemerintah harus dapat mengarahkan invetasi kepada industri-industri yang berorientasi ekspor dan yang dapat melakukan transfer of technology, agar kehadiran modal asing di Indonesia memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan nilai tambah bagi perekonomian nasional.

Jangan Kuper, Berpikirlah Cara ASEAN15

Julius Pour16

Sebuah kalimat bersayap menyebut-kan, "dua gajah berlaga, pelanduk mati di tengah". Dua gajah tersebut sekarang ini adalah China dan India, sedangkan pelanduknya adalah nega-ra-negara ASEAN. Bahwa dua gajah tersebut sedang dan nantinya terus berlaga, sudah bisa dipastikan. Tetapi, apakah si pelanduk, ASEAN, harus mati terimpit ketika dua raksasa ekonomi baru dunia tersebut sedang sibuk berlaga ?

Tentu saja terserah kepada ASEAN sendiri. Mereka ingin mati konyol atau justru dengan cerdik mampu memain-kan daya saing berikut potensinya, sehingga berhasil mencuri peluang. Maka, mari Think ASEAN, berpikirlah secara ASEAN. Jangan hanya berpikir-an sempit, kuper, kurang pergaulan, dan malah sibuk memikirkan diri sen-diri, negara per negara. Sekarang ha-rus sudah berani berpikir secara regio-nal dan itu maknanya, tidak bisa lain, himpun kekuatan ASEAN.

Buku karya bersama Philip Kotler, Her-mawan Kartajaya, dan Hooi Den Huan, tiga pakar marketing dari AS, Indone-sia, dan Singapura, mengajak kita me-renung sekaligus memahami, potensi

15 http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0704/16/pustaka/3456481.htm 16 Julius Pour Wartawan; Tinggal di Jakarta

ASEAN sebenarnya besar sekali. Maka, justru inilah hal pertama yang harus dimainkan, khususnya sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Cebu, Filipina, awal tahun 2007, keinginan untuk membentuk Masyara-kat Ekonomi ASEAN tahun 2015.

Globalisasi, Resep Terbaik ?

Globalisasi memang sudah pernah menjadi kata kunci sebagai upaya un-tuk meraih kemakmuran dunia. Gagas-an tersebut berawal tahun 1400-an, ketika Cheng Ho berlayar dari daratan China menuju Nan Yang, Laut Selatan, dan ternyata membawanya sampai ke Afrika. Hampir berbareng, tetapi ber-lawanan arah, dengan pelayaran Chris-topher Columbus ketika meninggalkan Spanyol untuk menemukan dunia baru di arah barat, Amerika, yang awalnya tidak pernah dia bayangkan. Gelom-bang pertama globalisasi telah mengu-bah peta ekonomi dunia dan menen-tukan cakrawala baru.

Disusul gelombang kedua globalisasi, dimulai 400 tahun sesudah gelombang pertama, dengan penemuan mesin uap yang segera memicu industrialisasi berikut segala macam cara untuk me-nyamankan kehidupan masyarakat di bagian dunia tertentu, tetapi menyu-lut ekses di bagian dunia lain, berikut melahirkan sistem kolonialisme de-ngan segala deritanya.

Akhirnya, muncul gelombang pasang ketiga globalisasi. Setelah Perang Du-nia II selesai, dilanjutkan dengan Pe-rang Dingin dan ditemukannya inter-

- 140 -

net. Ketika kekuasaan ekonomi beri-kut bisnis tidak lagi mengindahkan ba-tas negara, sehingga negara kecil de-ngan potensi raksasa bisa mempunyai kekuatan tampil ke depan. Tercermin ketika Dubai akan mengelola pelabuh-an di Amerika Serikat yang segera me-micu protes keras. Juga tampak sete-lah Temasek dari Singapura menguasai Shin Corp di Thailand dan menyeret lengsernya kekuasaan pemerintahan Thaksin Shinawatra.

Beragam pengalaman buruk dengan globalisasi sudah diingatkan Alan Rug-man tahun 2000 melalui buku The End of Globalization. Dengan sinis dia melukiskan, globalisasi tidak lebih dari mitos. Bahkan, pasar bersama hanya impian yang tidak pernah bakal bisa terwujudkan. Sesudah globalisasi ter-nyata bukan resep tuntas yang sang-gup menyembuhkan penyakit ekonomi dunia, kini masyarakat disadarkan oleh kehadiran potensi baru, dikenal dalam istilah regionalisasi.

Keperkasaan Uni Eropa

Bulan lalu masyarakat dunia telah me-nyaksikan pesona 50 tahun keperkasa-an ekonomi Uni Eropa. Tumbuhnya sebuah kekuatan regional baru, yang dulu belum terbayangkan. Kesatuan dari beragam negara dengan sistem politik berbeda dan suku bangsa ber-beda, tetapi telah melahirkan kekuat-an ekonomi sangat mengesankan.

Uni Eropa memang kisah sukses. Ba-gaimana negara di daratan Eropa me-nyatu dengan mewujudkan satu pasar bersama, satu mata uang, satu bank

sentral, dan praktis telah bisa menia-dakan batas antarnegara dalam ka-wasan bersama, Uni Eropa. Apakah ASEAN akan bisa mengikuti jejak tersebut ?

ASEAN dilahirkan tahun 1967 dari kesepakatan Bangkok, diawali dengan lima negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Dalam perjalanan waktu, ASEAN berkembang menjadi 10 negara anggota.

Dilengkapi dengan kenyataan yang malah sering dilupakan, bahwa ASEAN mencakup kawasan seluas 4.480.000 km dan dihuni 540 juta manusia. Ka-wasan yang kini telah menyatu dalam nama ASEAN justru contoh klasik per-tumbuhan masyarakat yang selama ini sudah bisa saling memperkaya diri, secara sosial sekaligus dalam hal budaya.

Pada sisi lain, ketika globalisasi sudah tidak memikat dan sengaja atau tidak bahkan mendorong kebangkrutan eko-nomi sejumlah negara, maka muncul pertanyaan sangat mendasar, apakah ASEAN tetap ingin berkutat dalam paradigma lama, terbatas berkiprah dalam masalah keamanan dan politik ? Ataukah mereka juga bersedia untuk semakin membuka diri dengan menya-tukan langkah dan tekad untuk bisa membangun sebuah kawasan yang be-nar-benar menyatu agar bisa membu-ka alternatif baru dengan meman-faatkan peluang dari berlaganya China dan India ?

- 141 -

Jangan Sampai Dilibas

Dilihat dari standar dunia, setiap negara di ASEAN secara sendiri-sendiri akan selalu lemah, tidak punya daya saing, dan dengan mudah malah bakal dilibas kekuatan ekonomi dunia. Semua produknya tidak akan pernah bakal bisa kompetitif akibat keragaman pendapatan nasional tiap-tiap negara, perbedaan bahasa dan juga latar belakang budayanya. Sementara di pihak lain, sumber bahan mentah, kondisi makroekonomi, sekaligus kestabilan politik dan besarnya jumlah penduduk justru akan merupakan daya tarik tersendiri untuk bisa memikat datangnya investasi dari negara-negara lain.

Oleh karena itu, jika kekuatan berikut kelemahan ASEAN, seperti disebutkan di depan sudah bisa disadari, maka peluang untuk bisa menyatukan langkah sudah terbuka. Pada satu sisi membuka kesempatan untuk mulai melahirkan proyek bersama antar-ASEAN. Dan yang juga tidak boleh dikesampingkan, terbukanya peluang bagi sektor bisnis swasta, selaku penyumbang terbesar atas produk domestik bruto ASEAN, bisa merintis kerja sama antarnegara tetangga.

Memang amukan bencana tahun 1997, yang terkenal dalam istilah krisis ekonomi Asia, mungkin telah menciutkan nyali dan bagaikan hantu, untuk sejumlah negara tertentu masih menakutkan. Namun, dalam perjalanan waktu menunjukkan bahwa semakin lama rasa percaya diri ASEAN

sudah mulai bangkit kembali. Hal tersebut tampak dari dampak keberhasilan upaya mewujudkan ASEAN tumbuh menjadi kawasan paling potensial di seluruh Asia Pasifik.

Sejauh ini kebijakan bersama yang disepakati adalah terwujudnya gagasan Masyarakat Ekonomi Bersama ASEAN pada tahun 2015 atau lima tahun maju dari rencana awal. Tiga tiang utama bakal jadi penunjangnya: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Gagasan untuk mewujudkan satu masyarakat ASEAN tersebut mau tidak mengharuskan ke-10 negara ASEAN bergandengan tangan dan bantu-membantu.

Tentu saja tekad untuk mewujudkan ASEAN sebagai satu kawasan yang nantinya tanpa batas antarnegara menimbulkan beragam implikasi, khususnya untuk pelaku bisnis yang sudah terbiasa menjadi pemain lokal atau "jago kandang". Mereka tidak hanya akan bertarung dengan sesama pemain lokal, tetapi juga langsung ditambah dengan masuknya pelaku bisnis dari negara tetangga dan perusahaan multinasional yang memang tidak pernah kenal batas negara. Mampukah mereka ? Tidak ada lagi kata lain, harus mampu.

Dadu sudah telanjur dilemparkan, sehingga mau tidak mau, cepat atau lambat, siap atau tidak, ditunggu atau ditolak, tahun 2015 tidak lama lagi

- 142 -

akan tetap datang dan ASEAN Community bakal terwujudkan. Begitu tantangan sekaligus nasihat paling bermakna yang telah dikemukakan dalam buku menarik ini.

Apakah ASEAN sanggup memanfaatkan potensi berikut kelebihannya dan berhasil mencuri peluang ? Ataukah,

seperti isyarat dalam kalimat bersayap pada awal tulisan, pelanduk yang menurut kodratnya cerdik malah harus mati terimpit di tengah ?

Dan, nantinya ASEAN bakal segera hilang begitu saja dari catatan sejarah. Sesuatu yang seyogianya memang harus dihindarkan.

Kita Harus Berbenah17

Sjamsul Arifin

Integrasi ekonomi dan keuangan akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Peluang Indonesia memang ada, tapi banyak tantangan menghadang. Daya saing kita lemah. Bila tidak berbenah sekarang, kita hanya menonton kenduri negara lain.

Segera terwujudnya Masyarakat Eko-nomi ASEAN (MEA) merupakan tujuan Visi ASEAN 2020. MEA menghimpun pasar bersama dengan penduduk 530 juta dan PDB USD737 miliar. Barang, jasa, modal, dan investasi bergerak bebas melewati batas negara anggota MEA. Pasar yang besar dan mobilitas faktor produksi dan barang ini men-janjikan : harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan ujungnya pertumbuhan ekonomi

yang tinggi.

Untuk mendukung integrasi ekonomi dalam MEA, kerjasama dalam rangka integrasi keuangan ASEAN bertujuan untuk memelihara stabilitas makro ka-wasan, termasuk mencegah berulang-nya krisis. Dengan alasan efektivitas, kerjasama di bidang ini merangkul China, Jepang, dan Korea Selatan

17 http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/9DEDA1AF-F530-4BEA-AA2B-8AB66765252E/7895/kita_harus_berbenah_sjamsul.pdf

(ASEAN+3).

Empat pilar berfungsi sebagai pe-nyangga, termasuk swap arrangement secara bilateral maupun dalam lingkup ASEAN sebagai cikal bakal lender of last resort kawasan dan kerjasama di bidang nilai tukar.

Terkait hal terakhir, dewasa ini terda-pat pemikiran untuk menjadikan ASEAN+3 sebagai sebuah optimum currency area (OCA). Pembentukan ASEAN free trade area (AFTA) menjadi totidak pertama menuju MEA, diikuti dengan ASEAN Industrial Cooperation Scheme (AICO) dan ASEAN Investment Area (AIA).

Di bawah AFTA, Indonesia dan lima negara ASEAN lainnya (ASEAN_6) telah sepakat menghapus bea impor barang dan menciptakan kawasan bebas tarif sebelum tahun 2010. Negara ASEAN lainnya menyusul. Sejumlah barang dewasa ini telah menikmati fasilitas bebas tarif dan sisanya hanya dike-nakan tarif maksimal 5%. Dalam per-kembangannya, transaksi jasa juga dimasukkan dalam skim AFTA. Rata-rata tarif di ASEAN_6 yang termasuk dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT) telah turun dari 12,8% pada awal penurunan tarif di 1993 menjadi 1,5% pada tahun 2004.

Di bawah skim AICO yang dicanangkan pada tahun 1996, barang-barang yang diproduksi dan diperdagangkan antar perusahaan yang beroperasi di dua atau lebih negara ASEAN langsung me-nikmati fasilitas AFTA. Skim AICO te-lah menarik banyak minat, terutama

- 144 -

dari industri otomotif Jepang. Skim AICO diperkirakan menghemat biaya produksi perusahaan 6 miliar yen selama lima tahun. Berdasar data per tahun 2003, transaksi yang akan dila-hirkan skim ini diperkirakan mencapai USD1,2 miliar per tahun.

Sebagai fase terakhir menuju integrasi ekonomi, AIA yang ditandatangani pa-da tahun 1998 akan menghapus ham-batan dan memfasilitasi aliran inves-tasi langsung (FDI) ke ASEAN. Skim AIA menuntut semua negara anggota un-tuk membuka seluruh sektor industri mereka bagi investor ASEAN dan mem-perlakukan mereka, seperti layaknya investor nasional.

Arsitektur Ekonomi dan Keuangan ASEAN

Daya Saing Lemah

Berbeda dengan integrasi keuangan, integrasi ekonomi menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi kita. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuh-an. Tantangan muncul dengan semakin terbukanya ekonomi kita terhadap persaingan. Singapura, dengan pasar domestik kecil namun dengan keung-gulan di banyak sektor, sangat diun-tungkan dengan keleluasaan akses me-masarkan barang dan faktor produksi di pasar Indonesia.

Menilik sejumlah indikator, daya saing Indonesia masih lemah. Incremental

capital output ratio (ICOR) yang me-nunjukkan besarnya investasi yang diperlukan untuk memperoleh satu persen pertumbuhan PDB, Indonesia masih berkisar 4-5%. Padahal ICOR negara-negara tetangga hanya 2-3%.

Iklim investasi Indonesia kurang me-narik dibandingkan dengan yang lain. Atas dasar indikator stabilitas makro, korupsi, penegakan hukum, dan pajak, sebuah lembaga survei internasional mendudukkan Indonesia di peringkat 60, jauh lebih rendah dari Malaysia (26) dan Thailand (31). Selain faktor-faktor tersebut, masalah buruh, infra-struktur, perijinan, kepabeanan, dan keamanan masih terus membebani investasi di Indonesia.

Di perdagangan barang, pangsa ekspor manufaktur Indonesia malahan cende-rung menurun. Ekspor non-migas kita lebih banyak ditopang oleh produk pri-mer. Impor Indonesia sebaliknya dido-minasi oleh produk manufaktur.

Industri jasa kita masih kurang kompetitif. Sektor jasa di neraca pembayaran selalu defisit. Di tahun 2004, defisit itu mencapai USD18,4 miliar.

Secara kasat mata, kehadiran Citibank, Singapore Airlines, dan McDonald sudah akrab di kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya, industri jasa kita yang merambah ke luar ma-sih dapat dihitung dengan jari. Pada-hal pangsa sektor jasa di kehidupan moderen semakin besar. Tidak heran negara-negara maju sejak 1994 ngotot mendesak jasa dimasukkan dalam

- 145 -

perundingan WTO.

Tenaga kerja tidak trampil, yang men-jadi “kekuatan” Indonesia, tidak ter-masuk sektor tenaga kerja yang dibe-baskan bergerak dalam MEA. Skim liberalisasi hanya berlaku untuk tena-ga profesional, seperti dokter, arsitek, akuntan, dan pengacara. Bukan tidak mungkin dalam tahun-tahun menda-tang pembatasan TKI semakin ketat di negara tetangga. Sebaliknya, kita se-makin banyak melihat tenaga profe-sional negara-negara tetangga hilir mudik di sekeliling kita.

Suku bunga nominal Indonesia terting-gi di ASEAN. Sebagai komponen biaya, suku bunga tinggi membebani daya saing produk Indonesia. Tingkat inflasi kita yang struktural lebih tinggi dari-pada negara tetangga merupakan satu akar penyebabnya. Perbedaan struk-tural ini lebih disebabkan oleh inefi-siensi sisi penawaran ekonomi sehu-bungan dengan distorsi di produksi, distribusi, maupun struktur pasar. Kurva agregat penawaran kita cende-rung lebih curam, sehingga laju inflasi naik lebih cepat dan ekonomi mudah overheated.

Tingginya suku bunga, khususnya un-tuk kredit, juga terkait dengan lebar-nya spread antara suku bunga deposito dan pinjaman di Indonesia. Spread kita tertinggi di ASEAN_5, bahkan dua

kali besar daripada spread di Malaysia. Selain risiko dunia usaha dan ketidak-efisienan bank dalam mengelola dana, struktur pasar kredit juga berpengaruh pada lebar spread. Walau terdapat 136 bank, pasar kredit kita cenderung oligopolistik dengan sejumlah bank besar menjadi market leader. Konsoli-dasi perbankan menjadi satu simpul pemecahan masalah ini.

Jangan Ditunda

Komitmen Indonesia untuk mewujud-kan MEA menyodorkan peluang dan tantangan. Namun daya saing Indone-sia masih terlalu lemah untuk menang-kap peluang dan menjawab tantangan tersebut. Tidak ada cara lain kecuali kita berbenah sekarang ini juga. Selain proses integrasi ekonomi berjalan be-gitu cepat, sebagian pembenahan per-lu waktu lama. Kegagalan bahkan ke-terlambatan dalam berbenah mela-hirkan dua konsekuensi. Pertama, In-donesia tetap memenuhi komitmen, namun berisiko kalah dalam persaing-an dan hanya menjadi penonton ken-duri negara lain. Kedua, Indonesia ing-kar janji dan minta penundaan dengan alasan belum siap. Kredibilitas kita makin merosot di mata internasional. Dua konsekuensi yang pahit.

Direktur Direktorat Internasional

Bank Indonesia

10 Dampak Negatif Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)18

Oleh: Edy Burmansyah

Peneliti Institute for Global Justice (IGJ)

Bersandar pada pasal 31 Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) No. 25 tahun 2007, awal November tahun lalu, pemerintah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kepada DPR-RI. Dan, seperti gayung bersambut perte-ngahan Januari lalu sejumlah gubernur yang mengajukan daerahnya ditetap-kan sebagai KEK, juga mendatangi DPR. Agendanya; mendesak legislatif segera mengesahkan RUU tersebut. Para gubernur meyakini bahwa KEK akan menjanjikan kemajuan ekonomi pada daerah. Tapi benarkah KEK akan membawa kesejahteraan, atau justru sebaliknya menawarkan sesuatu yang tidak berarti bagi kemajuan perekono-mian dan daya saing nasional, serta berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat ?

Jika RUU tersebut dipaksakan menjadi undang-undang, maka akan menimbul-kan dampak negative yang luas terha-dap kehidupan masyarakat, di antara-nya : 1. Menguntungkan pemodal besar, 2. Eksploitasi sumberdaya dan peng-

hisapan surplus ekonomi,

18 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=249&Itemid=148&lang=id

3. Menghancurkan industri nasional, 4. Membebani anggaran negara dan

utang luar negeri, 5. Tidak signifikan dalam mengurangi

penggangguran, serta mengancam hak-hak buruh,

6. Fasilitas fiskal yang terlampau luas,

7. Mengurangi pendapatan daerah, 8. Sumber konflik agraria, 9. Mengancam lingkungan hidup, dan 10. Mengabaikan kepentingan nasio-

nal.

1. Menguntungkan Asing dan Pemodal Besar

Sebagaimana diatur pada pasal 5, ayat 1 draf RUU KEK;

“Pembentukan KEK dapat diusulkan oleh badan usaha, pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah propinsi kepada Dewan Nasional”

Keberadaan badan usaha (swasta) yang diperolehkan mendirikan KEK, hanya akan menguntungkan pemodal besar baik dari dalam maupun luar negeri. Terlebih ka-wasan semacam ini dibangun de-ngan tujuan untuk menarik inves-tasi asing dengan berbagai fasili-tas infrastruktur yang lengkap dan modern, serta insentif fiskal yang menarik.

Batamindo Industrial Park (BIP) dan Bintan Industrial Estate (BIE) merupakan dua kawasan yang di-bangun oleh Salim Group bekerja sama dengan Singapore Techno-

- 147 -

logies Industries (sekarang Semb Corp Industries)—anak perusahaan investasi pemerintah Singapura Temasek Holdings—dan Jurong Town Corporation (JTC)—sebuah perusahaan pembangunan infra-struktur industri terkemuka Singapura.

BIP adalah kawasan industri yang memiliki luas 280 hektar, sedang-kan Bintan Industrial Estate (BIE) yang diproyeksikan dibangun di lahan seluas 4000 hektar, namun sejak pertama kali dioperasikan tahun 1994 kawasan ini tak kunjung mengalami penambahan perluasan dari 170 hektar.

Pembangunan BIP dan BIE sengaja dimaksudkan sebagai tempat relo-kasi bagi kegiatan perakitan pro-duk-produk yang bernilai rendah dari Singapura. Pada awal dekade 1980-industri Singapura tumbuh dengan pesat, akibatnya Negara itu membutuhkan tempat untuk merelokasi kegiatan industrinya yang bernilai rendah.

Hasil penelitian MAS (Monetary Authority of Singapore) dan EDB (Economic Development Board) merekomendasikan dipilihnya Ba-tam, dan pulau-pulau lain di Pro-pinsi Kepulauan Riau (Kepri) seba-gai tempat relokasi alternatif yang paling logis untuk mengatasi masalah booming industri Singa-pura yang terjadi kala itu.

Dalam perkembangannya, Singa-pura tidak hanya membangun ka-

wasan industri, melalui Singapore Economic Development Board (SEDB)—semacam Badan Koordi-nasi Penanaman Modal di Indone-sia—Negara tersebut juga ikut berperan dalam mempromosikan dan memasarkan kawasan Batam dan Bintan kepada investor asing. Dampaknya lalu lintas investasi asing ke kawasan ini dikenda-likan penuh Singapore Economic Development Board.

Dalam kaitannya dengan rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di sejumlah daerah, jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disahkan DPR-RI. Pemerintah berencana akan mengkerjasama-kannya kembali dengan Singapura dengan mencontoh pembangunan pulau Batam, Bintan dan Karimun sebagai pilot project.

2. Lokasi Eksploitasi Sumberdaya Alam dan Penghisapan Surplus Ekonomi

Dengan berbagai fasilitas fiskal dan investasi yang diberikan, KEK dikhawatirkan bukan hanya men-jadi jalan lapang bagi masuknya modal asing untuk mengeruk sum-ber daya alam Indonesia. Namun juga semakin tidak terkontrolnya pihak asing dalam melakukan berbagai aktivitas penanaman modalnya.

Seperti tercantum dalam pasal 4 RUU KEK; Kawasan Ekonomi Khu-sus harus terletak pada posisi yang

- 148 -

dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran internasio-nal di Indonesia atau pada wilayah potensi sumber daya unggulan.

Dalam kasus usulan pembangunan KEK Dumai, kawasan itu dikhawa-tirkan justru menjadi jalan la-pang bagi investasi asing untuk mengeruk sumber daya alam In-donesia. Dumai adalah satu kota di wilayah Propinsi Riau, dan tidak berada di jalur perdagangan inter-national, kendati demikian Dumai mempunyai sumber daya unggul-an: minyak. Cadangan minyak bumi yang berada di lahan konsesi PT. Caltex Pasific Indonesia (CPI) saja diperkirakan masih tersisa se-kitar 28 miliar barrel. Sejak bero-perasi di Riau tahun 1952 hingga kini, CPI baru memproduksi 10 miliar barrel. Bahkan di tahun 1973 produksi CPI bisa mencapai satu juta barrel per hari, semen-tara produksi saat ini CPI berkisar antara 600 ribu hingga 700 ribu barrel per hari.[1]

Di sisi lain tidak ada jaminan bahwa kinerja sebuah kawasan KEK dalam menarik investasi asing dapat berkorelasi positif dengan neraca perdagangannya. Neraca perdagangan Batam misal-nya, sampai akhir tahun 2007 te-rus mengalami kerugian. Total ekspor non-migas selama periode Jan-Nov 2007 senilai US$ 7.3 milyar sementara nilai impor non-

migas ke wilayah Batam selama periode yang sama sebesar US$ 8.9 miliar. Data perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa Batam memiliki ketergantungan pada impor yang sangat tinggi.

Kondisi ini tidak lepas dari inves-tasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elek-tronik, consumer goods, alat-alat listrik selama ini, bukanlah me-rupakan proses manufaktur dalam arti sebenarnya, tetapi proses penggabungan, penge-pakan, dan assembling, sehingga menimbulkan ketergantungan yang begitu tinggi terhadap impor bahan baku, input perantara, dan komponen lainnya. Ketergantungan ini disebabkan tidak adanya penyediaan domestik dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industri di dalam negeri.

Kawasan Ekonomi Khusus, seperti Batam pada akhirnya hanya men-jadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Industri yang ber-kembang adalah industri-industri yang bersifat footlose, sehingga rendah dalam penggunaan bahan mentah dan faktor produksi da-lam negeri secara masif, dan mengakibatkan keperluan utang yang besar karena selisih di an-tara impor dengan ekspor men-

- 149 -

jadi besar.

3. Menghancurkan Industri Nasional

Pada bagian lain, fasilitas pembe-basan pajak dan bea masuk yang pada mulanya untuk menarik mi-nat investasi asing justru men-jadi faktor hancurnya industri nasional. Pengalaman Batam me-nunjukkan bahwa daerah tersebut justru dimanfaatkan oleh perusa-haan eksportir dan importer baik dalam maupun luar negeri sebagai tempat transit bagi produk-produk mereka untuk selanjutnya di re-ekspor ke negara lain.

Seperti dikutif oleh harian Kontan Edisi 30 Oktober 2008 Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Departemen Perdagangan (Depdag) Sahrul Sampurna menga-takan, Pemerintah akan mengam-bil kebijakan menutup seluruh perdagangan internasional lewat Pulau Batam untuk beberapa pro-duk tertentu, seperti garmen, elektronika, makanan dan minum-an, mainan anak-anak dan sepatu. Pulau Batam dianggap sebagai tempat paling rawan masuknya produk-produk selundupan yang kemudian lari ke pasar Pulau Ja-wa, sehingga berkontribusi pada hancurnya industri garmen di pulau Jawa.

Contohnya, produk tekstil asal China yang dieskpor ke Batam, ke-mudian di Batam, produk tersebut diganti labelnya (made in Indone-sia), untuk selanjutnya dikirim ke

Amerika Serikat melalui Batam dengan preferensi Bea Masuk 0%. Ekspor tekstil “Produk China made in Batam” tersebut telah mereng-gut kuota produsen tektil di pulau Jawa dan daerah lain. Celakanya lagi sebagian dari produk tekstil yang diimpor dari China tersebut merebes ke pasar di Pulau Jawa.

4. Membebani Anggaran Negara dan Utang Luar Negeri

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus membutuhkan anggaran yang tidak kecil, sementara sumber pembiayaan bukan hanya berasal dari APBD, namun juga APBN. Di tengah kondisi keuangan Negara yang morat-marit, KEK bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk kembali mengajukan pinjaman ke luar negeri.

Contohnya, sumber pembiayaan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Batam selama ini, ternyata berasal dari pinjaman luar negeri. Data Departemen Keuangan mela-porkan, anggaran yang dialoka-sikan kepada Batam Otorita Batam (BOB) tahun 2007 sebesar Rp 282,4 miliar, tahun 2008 Rp 248 miliar, dan tahun 2009 Rp 215 miliar.

Dari Rp 282,4 miliar yang dialo-kasikan bagi kegiatan BOB tahun 2007, Rp 115 miliar bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri (phln). Tahun 2008 terjadi penu-runan alokasi anggaran yakni se-

- 150 -

besar Rp 248 miliar, di mana Rp 180 miliar adalah phln, begitu juga rencana untuk anggaran ta-hun 2009 nanti, dari Rp 215 miliar yang telah disetujui, Rp 75 miliar di antaranya bersumber dari pin-jaman luar negeri. Sementara alokasi untuk Sabang, tahun 2007 sebesar Rp 215 miliar, naik men-jadi Rp 441 miliar tahun 2008 dan tahun 2009 sebesar Rp 421 miliar.

Anggaran yang begitu besar ter-sebut justru akan lebih berman-faat jika digunakan bagi pemba-ngunan infrastruktur industri perminyakan nasional, diban-dingkan dengan digunakan, se-perti saat ini yang hanya ditu-jukan bagi masuk industri ber-nilai rendah hasil relokasi dari Negara lain yang rendah dalam penyerapan tenaga kerja dan tidak signifikan dalam berkon-tribusi terhadap perekonomian nasional.

Terlebih bila dicermati dengan baik, biaya yang akan dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus tidak sebandingan dengan revenues yang akan diterimanya.

5. Tidak Signifikan dalam Menyerap Pengangguran dan Mengancam Hak-Hak Buruh

Argumen utama yang selalu dibangun pemerintah dalam pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus adalah menarik investasi asing, dan menyerap pengang-

guran, sehingga menurunkan angka kemiskinan.

Namun realita selalu berkata sebaliknya. Dalam kasus Batam meski investasi swasta (asing dan domestik) menunjukan trend kenaikan, namun rendah dalam penyerapan tenaga kerja. Tahun 1998 total investasi swasta men-capai US$ 5,166 juta, naik men-jadi US$ 5,351 juta tahun 1999, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US$ 6,113 juta, namun trend kenaikan tersebut tidak di-ikuti kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1998 penerimaan angkatan kerja men-capai 53,02 persen, kemudian tu-run menjadi 41,76 persen tahun 1999, dan kembali turun menjadi 34,01 persen pada tahun 2000.

Di sisi lain, upah yang diterima buruh tidak sebanding dengan Ke-butuhan Hidup Layak (KHL). Ta-hun 2008 upah yang diterima pe-kerja di Batam sebesar Rp 960 ribu sementara KHL mencapai Rp 1,4 juta, begitu juga tahun 2009, hasil survey BPS Batam menya-takan KHL di kota itu sebesar Rp 1,7 juta, sementara UMK Kota Batam tahun 2009 hanya sebesar Rp 1,04 juta.

Kondisi ini yang mendorong jum-lah penduduk miskin di propinsi Kepri tersebut semakin meluas, Data BPS Kepri tahun 2007 menun-jukkan bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 33,408 kepala

- 151 -

keluarga (KK) dari total penduduk yang berjumlah 700 ribu jiwa.

Yang tidak kalah mengkhawatir-kan adalah terpasungnya hak-hak buruh di dalam Kawasan Ekonomi Khusus, terutama menyangkut hak berorganisasi. Pasal 43 ayat (1) RUU KEK mengatur bahwa dalam kawasan khusus dibentuklah satu serikat buruh.

Pasal 43

(1) Untuk memperjuangkan kepentingan, menyalurkan aspirasi pekerja/buruh di KEK dibentuk 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat Buruh

(2) Pekerja/Buruh dapat menjadi anggota atau tidak menjadi anggota Serikat Pekerja/Se-rikat Buruh.

Pasal 44

(1) Pada perusahaan yang telah terbentuk Serikat Pekerja/Se-rikat Buruh dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha. (2) PKB memuat antara lain ketentuan atau persyaratan:

a. Pekerjaan yang dilakukan melalui lembaga penye-dia jasa tenaga kerja atau pekerjaan yang di-serahkan kepada perusa-haan lain;

b. Hak dan kewajiban para pihak lainnya.

Rasionalisasi jumlah organisasi buruh di dalam KEK, dimaksud-kan untuk meredam gejolak bu-ruh dan memudahkan perusaha-an mengendalikan aktivitas buruh. Ini sejalan dengan tuntut-an pengusaha yang meminta ter-jaminnya iklim investasi. Rasiona-litas ini jelas bertentangan de-ngan Undang-Undang Ketenaga-kerjaan (UU 13/2003), Undang-Undang Serikat Buruh/Serikat Pekerja (UU 21/2000 atau UU SB/SP), serta Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial (UU 2/2004 atau UU PHI).

6. Fasilitas Fiskal yang Terlalu Banyak

Fasilitas yang begitu luas dibe-rikan kepada KEK tidak seban-ding dengan penerimaan yang diperoleh pemerintah, terlebih lagi jika dibandingkan biaya yang akan dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan kawasan ini. Pengalaman kasus Batam me-nunjukkan penerimaan yang di-peroleh Negara yang berasal dari pajak tidak sebanding dengan po-tensi kerugian (potential lose) yang diderita akibat pemberian fasilitas fiskal. Menurut catatan LPEM UI, tahun 1998 potential lose yang diderita mencapai Rp 4,7 triliun sementara penerimaan negara dari Batam pada tahun 1999 hanya sebesar Rp 874 miliar. Pada bagian lain total investasi yang ditanamkan pemerintah

- 152 -

hingga akhir 1999 sebesar US$ 1,6 miliar meningkat US$ 100 juta dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 1,5 milyar. Pemba-

ngunan KEK jelas bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang setiap tahun mematok kenaikan penerimaan dari pajak.

Perhitungan Potensi Kehilangan PPN Batam

Type of Good Subject of Duty Amount

Consumption Goods Value added tax 363.355.522.873

Raw Materials and Capital Goods Value added tax 605.592.538.122

Axport Violation 182.395.219.150

All Import Duty 3.027.962.690.612

Sales Tax on Luxury Gods 545.194.403.592

Total 4.724.500.374.394

Sumber: Merajut Batam Masa Depan, Heri Muliono, 2000

7. Mengurangi Pendapatan Daerah

Pembangunan KEK bukan hanya akan mengurangi pendapatan Negara akibat pemberian insentif fiskal, dan Bea Masuk, tetapi juga berpotensi besar mengurangi pendapatan Pemerintah Daerah, seperti draft RUU KEK pasal 34 ayat (1) :

“Setiap Wajib Pajak yang me-lakukan usaha di KEK diberi-kan insentif berupa pembe-basan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Padahal pembangunan kawasan ini

mensyaratkan infrastruktur yang memadai dan lengkap sebagai-mana tercantum dalam pasal 4 huruf d draf RUU KEK. Pemba-ngunan infrastruktur tersebut tentu membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil, sementara sum-ber pendanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, seperti tertulis dalam draft RUU pasal 12 tidak hanya berasal dari APBN namun juga APBD.

Potensi pendapatan yang berku-rang akibat pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah, akan mempersulit posisi keuangan daerah untuk membiayai pemba-ngunan maupun pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK sendiri.

- 153 -

8. Sumber Konflik Agraria

Pembentukan KEK yang membu-tuhkan lahan yang luas dapat menjadi sumber konflik agraria. Pada Januari 2000, sekitar 1000 warga desa menyerbu BIE (Bintan Industrial Estate) dan mematikan generator listriknya, satu bulan kemudian yakni Februari 2000, Salim Group (salah satu pemegang saham BEI) dituntut atas penca-plokan lahan secara illegal oleh petani Bintan.

Di India, seperti dilaporkan Voice of Human Right, pada 15 Maret 2007 11 petani Nandigram, 80 mil selatan Kolkata – dulu Calcutta di wilayah Benggala Barat, tewas setelah bentrokan dengan aparat keamanan. Penggusuran para pe-tani tersebut terkait dengan ren-cana pemerintah daerah setempat mendirikan Kawasan Ekonomi Khusus. Kebijakan pembentukan KEK ini ditolak Bhumi Ucched Pratirodh (Komite Perlawanan Pengambilalihan Tanah) yang dibentuk petani Benggala.

Menurut Amit Kiran Deb, pejabat pemerintah setempat, seperti dikutip dari Voice of Human Rights, sejak kekerasan meletus di Nandigram awal Januari 2007, te-lah menimbulkan 18 jiwa mela-yang. Sedangkan dalam bentrokan 15 Maret 2007 itu 39 orang terlu-ka, termasuk 14 polisi, serta 11 petani meninggal dunia.

Dalam pembentukan Kawasan

Ekonomi Khusus di sejumlah dae-rah kelak, jika RUU KEK disahkan tidak menutup kemungkinan kon-flik perebutan lahan yang mema-kan korban hingga tewas, seperti yang terjadi di India.

9. Mengancam Lingkungan Hidup

Seperti dilansir Investor Daily (7 Januari 2008), pemerintah tidak akan memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) No. 111 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan atau dikenal Daftar Negatif Investasi (DNI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) jika UU KEK diberlakukan.

Kebijakan pemerintah ini, sejalan dengan pasal 37 draf RUU KEK yang berbunyi:

“Dalam KEK tidak berlaku ketentuan yang mengatur bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal kecuali yang dicadangkan untuk UKMK.”

Dengan tidak diberlakukan DNI dalam KEK, maka Industri Bahan Kimia yang dapat merusak ling-kungan dapat didirikan di dalam KEK, seperti : a. Penta Chlorophenol, b. Dichloro, c. Diphenyl Trichloro Elhane

(DDT), d. Dieldrin, e. Chlordane,

- 154 -

f. Carbon Tetra, g. Chloride, h. Chloro Fluoro Carbon, i. (CFC), j. Methyl Bromide, k. Methyl, l. Chloroform, m. Halon, dan n. Industri Bahan Kimia Skedul-I, o. Konvensi Senjata Kimia

(Sarin, Soman, Tabun Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, dll).

Industri semacam ini jelas dapat merusak Lingkungan Hidup.

10. Mengabaikan Kepentingan Nasional

Di samping Batam, praktek Kawa-san Ekonomi Khusus juga terjadi di Sabang, Aceh. Melalui terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagang-an Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sa-bang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan karena Sabang dituding menjadi pintu penyelundupan, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 10/1985 yang mencabut status FTZ Sabang. Sejak itu Sabang kembali menjadi daerah pabean biasa.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan Keppes No. 171 tanggal 28 Sep-tember 1998. Selanjutnya pada

tahun 2000 di era Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerin-tah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menja-di Undang-Undang Nomor 37 Ta-hun 2000 tentang Kawasan Perda-gangan Bebas dan Pelabuhan Be-bas Sabang. Tapi dalam perkem-bangannya kinerja Sabang tidak, seperti yang diharapkan, ini kare-na pemerintah kurang serius menggarap Sabang.

Padahal secara geo-ekonomi dan geo-politik, letak Sabang jauh le-bih strategis dibandingkan Batam, Bintan dan Karimun. Jika Sabang dikembangkan dengan serius oleh pemerintah, tidak menutup ke-mungkinan Sabang dapat memo-tong jalur perdagangan Selat Malaka. Di samping itu jika kelak pembangunan jalur Terusan Kra-Mengkong yang berada di wilayah Thailand dan Vietnam yang bertu-juan memotong jalur perdagangan selat Malaka selesai, maka Indo-nesia dapat mengantisipasinya melalui pengembangan pelabuhan bebas Sabang.

Melihat realita tersebut, maka pemerintah dan DPR harus mem-pertimbangkan kembali RUU KEK. Pemerintah juga perlu mengkaji ulang pemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Bintan dan Karimun. Pemberian konsesi kepada Singapura dalam

- 155 -

pengembangan di tiga pulau itu justru menempatkan daerah itu sebagai sub-ordinat dari Singapura.

Dalam pengembangan BBK, peme-rintah juga harus melihat ulang aspek strategis posisi BBK dalam kaitan dengan dinamika regional. BBK akan dapat tumbuh dengan lebih baik dan cepat jika kawasan itu dikembangkan sebagai basis logistik industri perminyakan, mengingat lokasinya yang tepat untuk menjamin efisiensi dan efektivitas suplai minyak dan gas.

Seperti diketahui ketika Ibnu Su-towo mejabat sebagai direktur Pertamina, Batam dan pulau-pulau sekitar direncanakan seba-gai basis logistik dan operasional Pertamina bagi usaha yang berhu-bungan dengan eksplorasi dan eks-ploitasi minyak dan gas bumi. Alasan mendasar menjadikan Ba-tam sebagai sentral logistik, me-nurut Ibnu Sutowo karena hingga dasawarsa 1960-an Pertamina masih berpangkalan di Singapura. Pertamina pada saat itu tidak ha-nya menerima hasil yang 85 % akan tetapi juga harus menang-gung biaya 85 % kontraktor. De-ngan menjadikan Batam sebagai basis logistik perminyakan, diha-rapkan Pertamina dapat menghe-mat biaya secara signifikan, di samping menghemat devisa dan menghidupkan perekonomian ne-gara karena biaya Pangkalan Ba-

tam akan dapat diserap oleh pasar dalam negeri.

Bahkan hasil kajian Rencana Induk Batam yang dilakukan oleh Nissho Iwai Co.Ltd dari Jepang dan Pacif-ic Bechtel, Inc dari Amerika Seri-kat pad atahun 1972 merekomen-dasikan strategi pembangunan Ba-tam menitikberatkan pada indus-tri eksploitasi minyak dan gas, serta kegiatan pemrosesan produk ikutannya (pusat industri petro-leum dan petrokimia). Dalam po-sisi geografis Batam yang terletak tepat di persimpangan jalur lalu-lintas Asia Barat-Asia Timur sangat strategis untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi mi-nyak yang ada.

Menanggapi rencana tersebut, pe-merintah kemudian menjadikan Batu Ampar (satu wilayah di pulau Batam) sebagai wilayah enterport partikulir berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 atas dasar Re-glement A Ordonansi Bea (S. 1931 No. 471). Namun dalam perkem-bangannya terjadi penyimpangan, seperti yang terjadi, seperti saat ini.

Pembangunan BBK sebagai basis logistik dan industri perminyakan didukung dengan sumber daya migas yang besar di wilayah di se-kitarnya. Kepulauan Natuna sebe-lah utara BBK memiliki cadangan minyak bumi mencapai 298,81 juta meter barrel oil (MMBO), dan cadangan gas alam sebesar 55,3

- 156 -

triliun square cubic feet (TSCF). [4] Disebelah barat BBK terdapat Dumai, Riau yang memiliki ca-dangan minyak bumi yang diper-kirakan masih tersisa sekitar 28 miliar barrel.[5]

Padahal guna mendorong proses percepatan industrialisasi yang dibutuhkan bukankah pemben-tukan KEK sebanyak mungkin, te-tapi bagaimana merestrukturisasi

pola industri nasional ke arah resource-based industri dengan ketergantungan minimal dari kom-ponen luar negeri, dan mening-katkan secara maksimal penggu-naan komponen dalam negeri me-nuju self-reliance agar pereko-nomian berakar di dalam negeri, sehingga akan memperkokoh da-ya-beli dan pasar dalam-negeri.***

Produksi Minyak Bumi, Kondensat dan Gas Propinsi Kepri [6]

Tahun Minyak Bumi (Barel)

Kondensat (Barel)

Total (barel)

Produksi Gas (MSCF)

2000 22,255,192.00 10,779.00 22,265,971.00 42,404,063.00

2001 21,368,960.00 247,646.00 21,616,606.00 66,371,520.00

2002 17,040,837.00 245,279.00 17,286,116.00 98,922,052.00

2003 15,513,155.00 277,481.00 15,790,636.00 146,582,424.00

2004 13,717,551.00 362,367.00 14,079,918.00 162,060,637.00

2005 22,655,489.00 2,510,957.00 25,166,446.00 175,222,373.00

2006 21,823,579.00 287,480.00 22,111,059.00 164,037,138.00

2007 15,558,311.00 530,538.00 16,088,849.00 125,640,489.00

Sumber : Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

Reference

[1] http://www.riau.go.id/index.php ?module=articles&func=display&ptid=1&aid=789[2] Sumber: Special Economic Zones Performance, Lessons Learned, and ImplicationS for Zone Development,FIAS-The World Bank Group, April 2008

[3] pasal 25 s/d 38 Draf RUU KEK,

fasilitas KEK lebih luas dari pada yang diberikan kawasan perda-gangan bebas (Free Trade Zone) Batam, Bintan dan Karimun (BBK, Jika di BBK fasilitas hanya ter-batas pada PPN, PPnBM, Bea Ma-suk dan Cukai. Di KEK Fasilitas di-perluas menjadi PPh, PBB dan Pa-jak Daerah.

- 157 -

[4] http://203.130.230.7/id/ index.php ?option=com_content&task=view&id=3528& Itemid=1952

[5] http://www.riau.go.id/index.php ?module=articles&func=display&ptid=1&aid=789

[6] http://dtwh2.esdm.go.id/ dw2007/index.php?mode=oil

- 158 -

FTZ: Istilah dan Pengertiannya19

Istilah Free Trade Zone sebagai salah satu bentuk dari zona ekonomi (Economic Zone) pada umumnya memiliki pengertian yang cukup beragam. Hal ini diduga sebagai akibat adanya perbedaan dalam sudut padanng atau bobot tinjauan para ahli itu sendiri tentang konsep Free Trade Zone tersebut. Salah satunya istilah zona ekonomi yang dikemukan oleh Capela dan Hatman (1996: 154) ;

The economic zone is design-ated regions in a country that operate under rules that pro-vide special investment in-centive, including DUTY FREE treatment for IMPORT and for manufacturing plants that reexport their product

Free Trade Zone sebagai salah satu wujud konkret dari zona ekonomi bebas tampaknya tidak mudah untuk diketahui secara pasti karena terdapat beberapa ahli yang memberikan ba-tasannya sesuai dengan sudut pan-dangnya masing-masing, di antaranya adalah pengertian berikut;

A Generic term referring to special commercial and in-dustrial areas at which special customs procedurs allow the importation of foreign mer-chandise including raw mate-

19 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=155&Itemid=148

rial, components, and finished goods without the require-ment that DUTIES be paid im-mediately. They are some-times called customs-free zones or duty-free zones. If the merchandise is later ex-ported, duty free treatment is given to reexport. The zones are usually located in or near port of entry. Merchandise brought into these zones may be stored, exhibited, assem-bled, processed, or used in manufacture prior to reexport or entry into the national cus-tom territory. When manu-facturing activity occurs in free trade zones, it usually in-volves a combination of fo-reign and domestic merchand-ise and usually requires spe-cial governmental authority

Definisi lain tentang Free Zone dikemukakan dalam Kyoto Convention sebagai berikut

Free Zones means a part of the territory of Contracting Party where any goods introduced are generally regarded, insofar as import duties and taxes are concerned, as being outside the Custom territory.

Pengertian lain tentang Free Trade Zone adalah

Free Trade Zone adalah se-buah kawasan-dengan batas-batas fisik yang jelas, sehingga

- 159 -

berakses terbatas-di dalam wi-layah suatu Negara, yang di-kecualikan dari peraturan pa-bean setempat (WEPZA, 1997)

Definisi lain tentang Free Trade Zone yang relatif bersifat nasional yaitu definisi yang diatur dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2007, yakni: “daerah Free trade Zone memungkinkan untuk mengatur perpajakannya sendiri, mengatur pendapatnya untuk digunakan sendiri, berada di luar pabean/imigrasi Republik Indonesia, mempunyai struktur pemerintahan sendiri, maka tidak hanya mendapatkan fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM maupun bea masuk dan cukai namun juga bebas dari pajak lain-lain untuk seluruh barang-barang dan jasa karena semua diatur tanpa campur tangan dari Pemerintah Pusat.

Dari definisi-definisi di atas dapat diindentitifikasi tentang adanya kesamaan mendasar dan substantif dari konsep Free Trade Zone tersebut yaitu bahwa Free Trade Zone pada dasarnya merupakan wilayah komer-sial dan/atau industri yang memiliki hak istimewa berkenaan dengan prosedur kepabeanan/keimigrasian (customs-priveleged areas).

Berdasarkan pada batasan-batasan tentang Free Trade Zone di atas makan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa konsep Free Trade Zone ter-sebut pada dasarnya adalah suatu zona yang memiliki karateristik isti-mewa dibandingkan daerah/kawasan

lain, karena dalam Free Trade Zone ini setiap barang dan jasa yang masuk maupun ke luar zona tersebut tidak dikenakan pajak. Hal ini sebagai suatu konsekuensi dari Free Trade Zone tersebut yang ada di luar kawasan pabean/imigrasi Republik Indonesia.

Pengertian ini jelas berkonotasi de-ngan kapitalisme menurut keme-nangan-kemenangan aktor-aktor (Ne-gara, bukan Negara) industri maju, yang tidak tertandingi oleh kapabilitas Negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Dan tidak lepas dari praktik-praktik neo-liberalisme.

Meskipun batsan mengenai konsep Free Trade Zone pada umumnya cukup beragam, akan tetapi persyaratan berdirinya Free Trade Zone pada da-sarnya relatif serupa di mana didiri-kannya yaitu adanya penerapan kon-sep DUTY FREE atau pembebasan pa-jak, baik pajak impor maupun pajak ekspor. Dengan demikian barang dari luar negeri yang masuk ke Free Trade Zone tidak dikenakan bea masuk PPN Impor serta tidak adalanya pengenaan PPN (VAT) terhadap transaksi perda-gangan baik bagi barang yang tidak olah maupun yang diolah/proses. Be-ban pajak yang dipungut hanya terba-tas pada Corporate Tax, Income Tax (PPh) dan PPN untuk barang tertentu, seperti telepon, listik dan BBM.

Persyaratan lain tentang eksistensi Free Trade Zone adalah harus mampu menyediakan infrastruktur yang me-madai dalam hal kuantitas dan kua-litas, serta mampu memberikan kapa-

- 160 -

stian berusaha kepada investor yang memanfaatnya berupa peraturan perundang-undangan.

Sebuah Free Trade Zone pada dasarnya merupakan wilayah bebas pajak dan tidak dianggap bagian dari suatu Negara dengan aturan pajaknya. Menurut Charles W Thurston yaitu;

An Free Trade Zone is in essence, a tax-free enclave and not consideres part of the country as far as import regulations are concerned. When an item leaves an free trade zone and is officially imported into the host country of the Free Trade Zone, all duties and regulation are imposed.

- 161 -

Tujuh Paradoks SEZ ?

Dalam tataran teoritis selalu tidak ter-bantahkan (undebatable issues) bahwa setiap kebijakan ekonomi makro de-ngan penerapan status khusus suatu kawasan pasti diikuti dengan pembe-rian fasilitas ekonomi atau insentif fiskal. Pendekatan pragmatisme mo-del “neo-liberalisme” politik ekonomi global telah banyak diadopsi baik di negara maju dan berkembang. Model SEZ di berbagai negara bahkan di satu negara juga diterapkan secara bervariasi baik : dari jenis insentif ekonomi, konsentrasi wilayah khusus, institusi pengelola, maupun peranan pemerintah.

Dalam SEZ jika dikaitkan dengan ver-bagai aspek kehidupan; maka dapat dipetakan ke dalam tujuh paradoks:

1. Pertama, “Paradoks Model Ekono-mi” antara ketergantungan de-ngan kemandirian ekonomi. Keti-ka masing-masing negara berusaha mewujudkan kemandirian ekono-mi (self-sustained growth) selalu dihadapkan dengan ketergantung-an faktor produksi ditingkat glo-bal. Independensi ekonomi hanya ada dalam teks teori ekonomi bu-kan pada konteks praktek ekono-mi internasional yang idealnya sa-ling ketergantungan (interdepen-dent economy), namun arah pena-nganan ekonomi di negara ber-kembang selalu terperangkap ke-tergantungahn ekonomi luar

negeri (dependent economy). Be-gitu terjadi krisis ekonomi, eska-lasi dampak tidak terelakkan dan mendistorsi hampir sebahagian besar strata politik, institusi pe-merintahan, pranata sosial dan kondisi ekonomi itu sendiri.

Untuk memacu pertumbuhan dan menangkap arus investasi, kemu-dian Pemerintah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) baik dalam status : Bonded Zone, Economic Processing Zone, Special Economic Zone atau Free Trade Zone atau Freeport.

SEZ merupakan model ekonomi yang lebih ke membuka ketergantungan ekonomi luar negeri, meskipun akan memperkuat ekonomi dalam negeri. SEZ apalagi di dalamnya ada FTZ belum tentu mampu memperkuat keterkaitan ekonomi belakang (backward linkage), karena SEZ-FTZ selalu menguat ke ekonomi ke depan (forward linkage). SEZ banyak bermain di hilir dibandingkan di hulu.

2. Kedua, “Paradoks Kelembagaan Ekonomi” antara bahagian dari otonomi daerah dengan otoritas pusat. SEZ secara legal-formal merupakan hukum ekonomi keta-tanegaraan yakni kebijakan politik ekonomi Pemerintah Pusat. Deter-minasi zonasi, fasilitas ekonomi

- 162 -

dan insentif fiskal merupakan sa-lah satu kewenangan pangkal dan melekat yang tidak dilimpahkan ke Daerah dalam hal penentuan SEZ itu sendiri. Namun “reko-mendasi dan partisipasi” Daerah dalam berbagai bentuk tetap perlu penekanan, mengingat SEZ adalah kebijakan makro ekonomi (Pusat) di tataran mikro spasial (Daerah). SEZ yang terlalu mere-fleksikan kepentingan Pusat akan menjadi paradoks dalam opera-sionalnya di Daerah. Aspek regu-latif mungkin menjadi porsi utama Pusat, namun dimensi operasional idealnya menjadi proporsi besar di Daerah.

3. Ketiga, “Paradoks Ekonomi Ling-kungan” antara penyediaan lahan dengan ketersediaan lahan. Mesin ekonomi SEZ jika efektif bekerja belum tentu memberikan efisiensi dalam manajemen lingkungan. SEZ sebagai mesin dan zonasi pertumbuhan selalu akan haus akan ekspansi lahan. SEZ yang sukses akan diikuti dengan eskalasi ekonomi yang berdampak pada keseimbangan ekologis. Meskipun akan ada dana balikan baik melalui program non-overhead capital dan “civic missions” seperti “community development atau ecological development”, namun tidak bisa dipungkiri SEZ yang berkembang pesat selalu membutuhkan tempat baru untuk tumbuh di lokasi berdekatan. Kenapa demikian ?

SEZ dalam batasan yurisdiksi teritorial ibarat penetrasi ekonomi dua mata pisau (double blades) antara intensifikasi dan ektensifikasi lahan yang dalam peruntukan (land-use) bukan ha-nya untuk “core business SEZ” da-lam proses produksi, juga pada proses distribusi, pemasaran yang tentunya akan diikuti dengan kebutuhan lahan bagi sektor ikutan seperti perumahan, fasilitas sosial, prasarana pemerintahan dan ekonomi lainnya. SEZ yang ber-kembang idealnya didukung ketersediaan lahan yang matang (siap pakai) dan penanganan ling-kungan yang berimbang (sustainable SEZ).

4. Keempat, “Paradoks Insentif Fis-kal dan Moneter” antara kemu-dahan impor barang modal pro-duksi dengan konsumsi publik. SEZ secara hukum kepabeanan berada dalam wilayah pabean Indonesia, kecuali dalam SEZ diterapkan BZ (Bonded Zone), EPZ (Economic Processing Zone), STZ (Special Tourism Zone), atau yang lebih liberal dengan cakupan lebih luas FTZ (Free Trade Zone) yang didukung adanya pelabuhan bebas (FP/Free entreport). Daerah oto-nom yang didalamnya terdapat Kawasan Khusus (SEZ) dengan berbagai tipe (BZ, EPZ, STZ, FTZ, plus FP) dapat melahirkan empat model ekonomi sekaligus dan me-munculkan diskriminasi ekonomi;

- 163 -

Kelompok ekonomi “super be-bas” yakni perusahaan dan pengusaha yang berada di “BZ, EPZ, STZ, FTZ plus FP) dalam SEZ, kemudian

kelompok “ekonomi relatif bebas” yakni perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan SEZ tetapi diluar BZ, EPZ, STZ, FTZ plus FP yang mendapat fasilitas fiskal dan insentif ekonomi terbatas dan

Kelompok ekonomi non-fasilitas yang berada di kawa-san hinter-land yang bisa men-dapat dampak positif maupun negatif dari bekerjanya mesin ekonomi yang mendapat fasilitas absolut dan relatif tersebut di main-land Batam.

5. Paradoks “UMK-UMR” antara per-juangan pekerja memenuhi KHL dalam UMK dengan bersekukuh-nya pengusaha untuk menekan UMK dan menemukan parameter KHL dengan standar logis versi pengusaha. Sekali lagi SEZ akan memunculkan suatu situasi antara meningkatkan pertumbuhan (eco-nomic growth) dengan menguta-makan pemerataan (social distr-ibution).

Pendekatan yang ideal adalah dengan pertumbuhan ekonomi kemudian ditingkatkan per-tumbuhan ekonomi kemudian di-tingkatkan pemerataan social, bu-kan keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kualitas hidup pe-

kerja. Permasalahanya adalah sampai sejauh mana dan seberapa lama serta sebesar apa prioritas yang harus diambi. Antara besar-kan dulu kue ekonomi (economic pie) dan salah satunya dengan menekan upah ( economic growth first, social distribution latter ) atau sebaliknya tinggikan upah pekerja dan batasi ekspansi eko-nomi. Suatu keputusan yang perlu bijak karena mengutamakan kese-jahteraan pekerja yang ada ber-dampak pada memperkecil pe-luang ekspansi ekonomi. Suatu keputusan yang perlu bijak karena mengutamakan kesejahteraan pe-kerja yang ada berdampak pada memperkecil peluang ekspansi usaha dan juga berpengaruh pada perlambatan penyediaan lapangan kerja baru.

Di sisi lain, jika menekan upah pekerja, tetapi modal pengusaha diarahkan ke bagian ekspansi usaha dapat membuka lapangan pekerjaan baru, namun para pekrja yang ada tidak dapat memenuhi standar KHL yang ideal. SEZ secara paradoksial juga akan masuk ke situasi dimana kedua pendekatan tersebut dapat menjadi faktor negative satu sama lainnya (economic and social trade-off), yakni suatu situasi non-kompomistis (unnegotiable conditions) yang menjurus pada kontra produktif dan nihilisme (zero-sum game). Oleh karenanya upaya negosiasi atas dasar kepen-

- 164 -

tingan ganda makro ( rumah tang-ga pekerja) masih harus terus dilakukan.

6. Keenam, “Paradoks Kependuduk-an SEZ” antara upaya menekan jumlah pertumbuhan penduduk sebagai akibat factor urbanisasi dengan kebutuhan tenaga kerja untuk menggerakan mesin SEZ. Suatu yang jelas apabila SEZ berkembang, pertumbuhan ekono-mi bisa mencapai dua digit antara 10 s/d 12 persen, maka akan di-ikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan baru. Batam sekali lagi akan mengalami percepatan per-tumbuhan penduduk. Surplus ur-banisasi ini akan berdampak pada berbagai penyediaan utilitas pu-blic dan fasilitas social seperti ru-mah, sarana pendidikan, kesehat-an, listrik, air minum, transportasi dll. Paradoks di bidang ketenaga-kerjaan juga bisa berdampak pada perlindungan bagi tenaga kerja, keahlian kerja, danberbagai per-masalahan social ekonomi ikutan yang timbul akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk.

7. Ketujuh, “Paradoks lokasaional” antara kawasan SEZ (wilayah khusus) di daerah otonom dengan non-Kawasan SEZ di Daerah Otonom. Katakanlah antara pelaku ekonomi, jenis ekonomi dan lokasi ekonomi di dua daerah otonom yang sama tetapi di dua kawasan yang berbeda. Dalam bahasa

pemerintahan, paradoks SEZ di satu daerah pemerintahan di dua wilayah ekonomi (one govern-ment region in two investment zone). Paradoks SEZ dari sisi loka-sional antara “Batam dalam dan Batam luar” ini memperkuat para-doks SEZ dari sisi sektoral antara sektor industri dan jasa yang maju dengan sektor pertanian dan peri-kanan yang tradisional (Batam modern versus traditional econo-my). Jika ingin lebih jauh meme-takan secara “social based map”, segmentasi social antara Batam pendatang yang heterogen dengan Batam local yang homogen, tanpa mereferensi Melayu dan non-Melayu, karena banyak penduduk local (tempatan) sudah ratusan tahun secara hubungan darah dan daerah membaur. Sehingga secara socio-cultural, konfigurasi social di Batam tidak terkotak dalam atas dasar asal “darah” kelahiran (ius sanguinus) dengan asal “dae-rah” kelahiran (ius soli). Kenapa demikian ? Batam dulu dan seka-rang telah menjadi “mixed cul-ture”, banyak keturunan Melayu yang tidak dilahirkan di Batam, bahkan banyak non-Melayu yang dilahirkan di Batam. Suatu para-doks lain dari perspektif keber-samaan SEZ dari sudut pandang demografis yang multietnik.

Memetakan SEZ dalam tujuh paradoks ini membuktikan, persoalan SEZ bukan semata-mata bagaimana memperce-pat pemberlakuan SEZ itu sendiri

- 165 -

dengan mempercepat dan memper-kuat landasan hokum saja. SEZ masih membutuhkan berbagai pertimbangan philosofis, suatu analisis SIA (Social Impact Analyses) dari pendekatan multidisiplin.

SEZ bukan semata-mata bisa didekati dengan pisau analisis ekonomi saja, karena SEZ adalah kebijakan politik pada sektor ekonomi di tataran local yang para pelakunya bukan hanya sekedar dunia usaha tetapi seluruh” pemangku pembangunan” (stake holder) baik di pusat, provinsi dan kabupaten/kota dimana SEZ itu berada. Pemahaman ketujuh paradoks SEZ ini diharapkan dapat membantu melihat SEZ dari Tujun Lapis langit dengan empat penjuru mata angin, sehingga kita dengan mata hati dan tidak melihat SEZ sebelah mata, dan semata-mata dari sisi ekonomi. Ada pepatah klasik china menyatakan “ bushing gao shan, bu xian ping di” (If You don’t scale the mountain, you can’t view the plan), atau dengan perkataan lain”jangan harapkan kita dapat melihat dataran rendah jika kita tidak mampu mengukur tingginya gunung. Semoga.

Oleh : H. Syamsul Bahrum, PhD (Batam Pos : 8-9 Jan 07)

- 166 -

Bukan KEK tapi Industrialisasi Nasional20

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pena-naman Modal ternyata tidak ada arus investasi berarti yang masuk ke Indo-nesia sebagaimana harapan pemerin-tah. Keadaan ini memang disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang te-ngah dilanda kemelut. Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 2007 dan mencapai puncak pada tahun 2008 adalah sesuatu yang berkontribusi terhadap melemahnya foreign direct investment (FDI) di banyak negara di dunia.

Negara-negara yang menjadi sumber FDI yang umumnya adalah negara-negara maju, kini lebih memfokuskan pada masalah internal mereka, bahkan anggaran negara, cadangan devisa dia-rahkan untuk menginjeksi bursa saham dan bank-bank yang bangkrut. Krisis yang terjadi bahkan belum terbayang-kan hingga kapan akan berakhir. Yang jelas nilai produk derivatif di pasar keuangan saat ini telah mencapai USD 531 triliun, sementara Product Domes-tic Brutto (PDB) dunia hanya sebesar USD 59 triliun. Dunia harus mampu memberi stimulus keuangan atau ber-produksi sebesar nilai underlying asset untuk dapat menyembuhkan pereko-nomian sepenuhnya dan itu hampir

20 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=280&Itemid=148

merupakan hal yang tidak mungkin.

Pemerintah Indonesia tampaknya ku-rang menyadari hal ini, sehingga sa-ngat terkesan “ngotot” merangsang FDI dengan berbagai instrumen libe-ralisasi dan pembukaan ekonomi da-lam negeri untuk penanaman modal. Berbagai fasilitas dan insentif disedia-kan bagi penananam modal agar te-rangsang menginvestasikan kapital mereka di Indonesia. Fasilitas tesebut disertai dengan aturan-aturan perda-gangan yang memudahkan arus masuk dan keluar uang, barang dan tenaga kerja dari Indonesia.

Di sisi lain pemerintah tampaknya tidak mau membuka mata melihat bagaimana dominasi dan eksploitasi FDI di Indonesia menguras sumber-sumber strategis yang dimiliki negara ini mulai dari : hasil hutan, perkebunan, minyak, gas, mineral dan bahan tambang lainnya

termasuk tanah, pasir dan bahkan air.

Hingga saat ini luas wilayah Indonesia yang diserahkan untuk kegiatan FDI mencapai 175 juta hektar atau setara dengan 91 % luas daratan Indonesia untuk investasi sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Belum termasuk wilayah-wilayah laut kita yang telah diserahkan untuk FDI di bidang perikanan.

Setelah sebelumnya memberikan fasi-

- 167 -

litas dan insentif yang sangat luas da-lam bidang penanaman modal sebagai-mana diatur dalam UUPM, pemerintah kembali mencoba menciptakan berba-gai aturan hukum sebagai insentif plus melalui berbagai peraturan tentang kawasan ekonomi khusus (KEK).

Rancangan UU tentang KEK telah diajukan pemerintah sejak Desember 2008 dan diharapkan rampung pada tahun 2009. Jika membaca seluruh isi RUU tersebut maka tergambar bahwa aturan ini pada intinya adalah fasili-tas tambahan untuk penanaman mo-dal di kawasan tertentu yang dinilai memiliki potensi ekonomi yang cu-kup besar baik dalam soal kedudukan secara teritorial, ketersediaan sum-ber daya alam dan tenaga murah.

Menurut keterangan pemerintah, di dalam KEK, investor yang masuk akan mendapatkan : fasilitas kepabeanan, pajak, perizinan, imigrasi, dan tenaga kerja, seperti di bidang keringanan perpajakan tidak perlu menggunakan prosedur restitusi.

Bahkan untuk izin-izin cukup dileng-kapi di belakang, sehingga tidak me-nempuh banyak meja (one stop services). Semua perizinan dapat dise-lesaikan dalam waktu 78 hari, tiga hari diregulasi dan 75 harinya pengesahan badan hukum. Syarat utama suatu daerah atau Kawasan Industri bisa menjadi KEK adalah harus memiliki lahan di atas 500 hektar. Selain itu

juga harus didukung infrastruktur yang memadai, seperti jalan, dan pelabuhan laut bertaraf interna-sional untuk bongkar muat barang. Masing-masing KEK nantinya akan ditangani Badan Otorita Khusus, seperti halnya Batam.

Praktik coba-coba terhadap model kawasan semacam ini telah dilakukan pemerintah sebelumnya dengan menciptakan Kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam Bintan Karimun. KEK pada dasarnya adalah perluasan dari FTZ baik berkaitan dengan luas kawasan maupun fasilitas dan insentif fiskalnya. Pemerintah sama sekali tidak mau belajar dari kegagalan Batam yang dijadikan sebagai zona perdagangan bebas (FTZ).

Untuk mewujudkan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas, hingga tahun 2006 pemerintah telah menge-luarkan anggaran US$ 2.43 miliar un-tuk membangun infrastuktur Batam, menyambungkan pulau-pulau dengan jembatan raksasa, membangun jalan-jalan megah. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan manfaat yang telah dan dapat diterima oleh negara dan rakyat Indonesia. Pulau-pulau yang disambung dengan jembatan-jembatan megah, dilalui jalan-jalan mewah hingga saat ini tak berpeng-huni. Minat investasi di Batam tak kunjung bertambah sebagaimana harapan pemerintah. Investasi asing yang masuk ke Batam sampai dengan tahun 2006 hanya sebesar US$ 4.25 miliar atau hanya sebesar 34,98% dari

- 168 -

total investasi di wilayah tersebut yaitu sebesar US$ 12.15 miliar. Sele-bihnya adalah investasi pemerintah dan investasi swasta nasional pada proyek pembangunan mal dan ruko-ruko yang sebagian besar tidak berpenghuni.

Singapura sebagai salah satu negara yang paling berkepentingan dalam merelokasi industri bernilai tambah rendah dan kurang ramah lingkungan adalah pihak yang menerima manfaat paling besar dari Batam. Meski inves-tasinya tidak seberapa besar akan tetapi dari total investasi yang terjadi di Batam, investasi Singapura menca-pai 60-70 % dari total investasi di ka-wasan tersebut. Investasi luar negeri khususnya dari Singapura tersebut ti-dak lebih dari praktek pemindahan pa-brik dengan menumpang lahan, me-manfaatkan tenaga kerja murah dan fasilitas pajak rendah. Industri-industri tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan sumber-sumber input (bahan baku) yang berasal dari wilayah perekonomian Indonesia khususnya Batam. Baik bahan baku, barang modal dan bahkan barang-barang konsumsi di Batam bersumber dari impor. Secara ekonomi tipikal kawasan semacam ini tidak akan memberi dampak berlipat (multiplier effect) yang signifikan terhadap perekonomian nasional.

Tidak hanya itu, fasilitas pengurangan dan penghilangan bea masuk ke Batam telah berkontribusi terhadap deindus-trialisasi nasional. Secara

objektif saat ini ekonomi nasional sangat bergan-tung pada pasokan bahan baku impor. Dalam periode 2005-2006 impor bahan baku rata-rata mencapai 77,42 persen, sedangkan barang modal 14,61 persen dan barang konsumsi 7,96 persen. Selama Januari-November 2007 impor bahan baku sebesar 76,03 persen, barang modal 14,94 persen dan barang konsumsi 8,99 persen dari nilai impor 83,53 miliar dolar AS.

Inilah yang menjadi sumber penyebab industri nasional sangat sulit untuk berkembang. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk impor yang menyebabkan multiplier effect dari industri justru terjadi di luar negeri bukan di dalam negeri. Sementara sektor ekonomi di dalam negeri adalah usaha-usaha yang satu sama lainnya terpisah dan tidak memiliki keterkaitan (direct and indirect economic linked). Belum lagi impor barang modal [3] dan barang-barang konsumsi yang juga sangat besar.

Atas dasar hal tersebut di atas, ren-cana pemerintah untuk membuat UU KEK dapat disimpulkan tidak lain dari sebuah rencana yang akan semakin mengukuhkan dominasi modal asing atas perekonomian Indonesia dan sekaligus meningkatkan kemampuan eksploitasi atas sumber daya alam dan tenaga murah. Jelas jika membaca draft RUU tersebut, pasal-pasalnya : memberikan insentif pajak yang

- 169 -

luas (Pasal 29, 30, 31, dan 34), kelonggaran dalam biang

pertanahan, perizinan, keimigrasian dan investasi (Pasal 35 dan 36),

kelonggaran dalam mempekerjakan tenaga kerja murah,

membatasi berkembangnya organisasi buruh (Pasal 39, 42, 43, dan 44), seperti hanya diperbolehkan berdiri 1 serikat buruh dalam satu pabrik, dan lain-lain.

Secara mendasar seluruh kemudahan tersebut adalah bersifat fasilitas plus yang menunjukkan minat yang besar pemerintah saat ini terhadap liberalisasi ekonomi secara luas dan menyerahkan perekonomian kepada

sistem pasar. Perangkat perundang-undangan semacam ini jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi Indonesia maka dapat disimpulkan sebagai kebijakan yang tidak relevan dikarenakan berpotensi : menyerang sumber pendapatan

negara (pajak) dan menggusur industri nasional

(kemudahan tarif impor) dan meningkatkan eksploitasi terhadap

sumber daya Indonesia (fasilitas tenaga kerja dan ekspor).

Oleh karenanya RUU KEK harus ditolak. Masyarakat Indonesia membutuhkan undang-undang yang melapangkan jalan bagi pembangunan industri nasional.

KEK: Sebuah Pelajaran Dari Batam21

Oleh: Edy Burmansyah

Pertumbuhan dunia usaha dan industri memang penting untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dalam rangka mengurangi kemiskinan materi. Namun yang lebih penting lagi, dan sangat menentukan adalah bagaimana industrialisasi berlangsung dan siapa yang diuntungkan olehnya.

Proses percepatan industrialisasi lewat skema pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang didorong pemerintah melalui draf undang-undang yang diajukan pada awal bulan kepada DPR-RI, harus menguntungkan rakyat banyak, bukan hanya segelintir kecil kaum pemodal, terlebih lagi para investor asing.

Model utama pengembangan KEK di Indonesia selalu merujuk ke pulau Ba-tam. Batam dinilai sebagai contoh ke-berhasilan pengembangan kawasan khusus dalam menarik investasi asing. Sampai akhir 2007 total investasi asing di pulau tersebut mencapai US$ 4,76 milyar, namun sesungguhnya masih jauh di bawah investasi swasta do-mestk yang mencapai US$ 5,71 milyar.

Sementara investasi pemerintah dari tahun ke tahun terus menunjukan ke-

21 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=171&Itemid=148

naikan. Dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata investasi pemerintah dipulau Batam setiap tahun mencapai lebih dari US$ 25,8 juta. Sedangkan potensial lose yang diderita akibat pembebasan PPN dan PPnBM menurut hasil penelitian Badan Pusat statistic tentang perhitungan kembali potensi penerimaan Pajak di batam bilamana tidak diberlakukan PPn dan PPnBM tahun 1998 diperkirakan Rp 1,3 triliun per tahun. Di sisi lain penerimaan pemerintah dari pajak yang berasal dari pulau Batam pada tahun 2007 hanya sebesar Rp 1,806.08 triliun, plus pendapat asli daerah kota Batam Rp 273.62 Miliar.

Kondisi ini menunjukan bahwa pem-bangunan Batam dengan segala atributnya justeru membebani anggaran Negara. Bahkan celakanya pembiayaan pembangunan Batam selama ini berasal dari pinjaman luar negeri. Data Departemen Kuangan melaporkan, untuk tahun 2007 angaran yang dialokasikan kepada Batam Otorita Batam (BOB) tahun 2007 sebesar Rp 282,4 miliar, tahun 2008 Rp 248 miliar, dan tahun 2009 Rp 215 miliar.

Dari Rp282,4 miliar yang dialokasikan bagi kegiatan BOB tahun 2007, Rp115 miliarnya bersumber dari pinjaman/ hibah luar negeri (phln). Tahun 2008 terjadi penurunan alokasikan anggaran yakni sebesar Rp 248 miliar, di mana Rp 180 miliar adalah phln, begitu juga rencana untuk anggaran tahun 2009 nanti, dari Rp 215 Miliar yang telah

- 171 -

diketok, Rp 75 miliar di antara ber-sumber dari pinjaman luar negeri. Salah satu proyek di Otorita Batam yang dibiayai dari pinjaman luar negeri adalah proyek pengembangan e-Government, yang bersumber dari pinjaman lunak Pemerintah Korea Se-latan senilai US$20 juta atau setara Rp182 miliar.

Di sisi lain pembiayaan yang begitu besar namun tidak diiringi dengan kemampuannya berkontribusi pada penerimaan negara. Bahkan neraca perdagangan daerah tersebut beberapa tahun terakhir terus mengalami kerugian. Total ekspor non-migas selama periode Jan-Nov 2007 senilai US$ 6,36 milyar sementara nilai impor non-migas ke wilayah Batam selama periode yang sama sebesar US$8,09 milyar, atau minus sebesar US$ 2,03. Bahkan jika dibandingkan dengan kawasn industri Jababeka (jawa barat), ekspor Batam tahun 2005 tiga (3) kali lebih kecil. Total Eskpor dari Batam hanya sebesar US$ 4,5 miliar, sementara Jababeka mencapai US$ 15 miliar.

Data perdagangan tersebut mengindi-kasikan bahwa Batam memiliki keter-gantungan pada impor yang sangat tinggi. Kondisi ini tidak lepas dari in-vestasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, consumer goods, alat-alat listrik selama ini bu-kanlah merupakan proses manufak-tur dalam arti sebenarnya, tetapi proses pengabungan, pengepakan,

dan assembling, sehingga menim-bulkan ketergantungan yang begitu inggi terhadap import bahan baku, input perantara, dan komponen lainnya. Ketergantungan ini dise-babkan tidak adanya suplai domestik dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industri di dalam negeri.

Kawasan ekonomi khusus, seperti Batam pada akhirnya hanya menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. In-dustri yang berkembang adalah indus-tri-industri yang bersifat footlose, sehingga rendah dalam penggunaan bahan mentah dan faktor produksi dalam negeri secara massive, dan mengakibatkan keperluan utang yang besar karena selisih di antara impor dengan ekspor menjadi besar.

Hancurnya Industri Nasional

Pada bagian lain, fasilitas pembebasan pajak dan bea masuk yang pada mula-nya untuk menarik minat investasi asing, justeru dimanfaatkan oleh per-usahaan eksportir dan importer baik dalam maupun luar negeri sebagai tempat transit bagi produk-produk mereka untuk selanjutnya di reekspor ke negara lain.

Seperti dikutif oleh harian Kontan Edi-si 30 Oktober 2008 Direktur Pengawas-an Barang Beredar dan Jasa Departe-men Perdagangan (Depdag) Sahrul Sampurna mengatakan, Pemerintah akan mengambil kebijakan menutup seluruh perdagangan internasional lewat Pulau Batam untuk beberapa

- 172 -

produk tertentu, seperti : garmen, elektronika, makanan dan minuman, mainan anak-anak dan sepatu. Pulau Batam dianggap sebagai tempat paling rawan masuknya produk-produk selun-dupan yang kemudian lari ke pasar Pu-lau Jawa, sehingga berkontribusi pada hancurnya industry garmen di pulau Jawa.

Sepanjang tahun 2004 dan 2006 misal-nya pernah terjadi satu kasus, peman-tik produk China diimpor ke Batam untuk kemudian diekspor pengusaha ke Eropa. Lighter" (pemantik api) itu 100 persen produk China dan digu-dangkan di Batam untuk diubah ke-masannya sebelum diekspor ke Eropa oleh perusahaan di Batam.

Contoh lain yakni; produk tekstil asal China yang dieskpor ke Batam, kemudian di Batam, produk tersebut diganti labelnya (made in Indonesia), untuk selanjutnya dikirim ke Amerika Serikat melalui Batam dengan preferensi bea masuk 0%. Ekspor tekstil “Produk China made in Batam” tersebut telah merengut kuota tekstil produsen tektil di pulau Jawa dan daerah lain. Celakanya lagi sebagian dari produk tekstil yang di impor dari China tersebut merebes ke pasar di pulau Jawa.

Akibatnya kehadiran kawasan perdagangan bebas tidak memberi banyak manfaat terhadap perekonomian nasional, sebaliknya justeru membebani anggaran negara, dan berpotensi menghancurkan industry nasional.

Bercemin pada kasus Batam, perlu kiranya pemerintah dan DPR mempertimbangkan matang-matang pengesahan UU KEK yang diajukan pada awal bulan lalu. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan guna mendorong proses percepatan industrialisasi, bukankah pembentukan KEK, tetapi bagaimana merestruktur pola industri nasional ke arah resource-based industry dengan ketergantungan minimal dari komponen luar negeri dan meningkatkan secara maksimal penggunaan komponen dalam negeri menuju self-reliance, agar perekonomian berakar di dalam negeri, sehingga akan memperkokoh daya-beli dan pasar dalam-negeri.

Terlebih fasilitas fiscal dan bea masuk yang terdapat dalam draf UU KEK jauh lebih luas ketimbang kawasan FTZ, tentu potensial lose yang diderita Negara akan lebih besar ketimbang yang selama ini dialami di Batam. Ditengah kondisi anggaran negara yang terus definisit kebijakan pembentukan KEK dapat menjadi boomerang, dan Indonesia akan semakin terpuruk.***

- 173 -

Nilai Strategis Batam-Bintan Sebagai Proyek Percontohan

Penerapan Zona Ekonomi Khusus di Indonesia

Sumarwoto, S.H., MPA

Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Dukungan Kebijakan

Sebagai pembuka, perlu saya kemuka-kan kepada para hadirin sekalian bahwa sesuai background masing-ma-sing, para narasumber lain tentunya akan secara gamblang menjelaskan mengenai penyelenggaraan pemerin-tahan di Zona Ekonomi Khusus. Sesuai latar belakang sebagai Deputi Du-kungan Kebijakan di Kantor Sekreta-riat Negara, saya hanya akan mem-fokuskan pembahasan dari sudut kebi-jakan, dalam arti SEZ sebagai sebuah produk kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, saya ingin mengajak sau-dara-saudara sekalian untuk mema-hami apa dan bagaimana sesungguh-nya SEZ itu dan pertimbangan-pertim-bangan apa saja yang mendasari dikeluarkannya decision tersebut.

Latar Belakang

Baru-baru ini pemerintah menyatakan bahwa Indonesia akan mendirikan SEZ di 11 wilayah di Indonesia, di mana 7 diantaranya akan direalisasikan pada tahap awal, yaitu wilayah-wilayah Batam-Bintan, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur, dan, diantara ketujuh wilayah tersebut, pemerintah menetapkan Batam-

Bintan sebagai proyek percontohan yang akan menjadi referensi bagi zona ekonomi yang lain.

Banyak pihak yang menyambut antu-sias keputusan tersebut, namun ba-nyak pula yang bertanya-tanya menge-nai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan SEZ? Sejauh mana pengaruh SEZ terhadap sistem pemerintahan di daerah? di mana posisi SEZ dalam konteks Otonomi Daerah? Apa yang sesungguhnya ingin dicapai ? Mengapa harus SEZ? Apa bedanya dengan dae-rah-daerah lain? dsb. Untuk itu mari kita coba menggali apa sesungguhnya SEZ.

Secara harfiah, SEZ dipahami sebagai wilayah di mana kegiatan perdagang-an dan investasi dilakukan tanpa adanya campur tangan dari Pemerin-tah setempat. Dengan kata lain, pemerintah “rela” : memberikan keringanan pajak, memperpendek jalur birokrasi,

serta memberikan jaminan keamanan,

agar aktivitas perdagangan dan inves-tasi dapat berjalan selancar mungkin demi mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Singkatnya: campur tangan pemerintah dibatasi hingga tingkat seminimal mungkin.

Sepintas kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa SEZ merupakan salah satu manifestasi kapitalisme ekonomi ( laissez faire ). Peran negara yang direpresentasikan oleh pemerin-tah hanyalah sekedar watchdog (pen-jaga malam) yang memastikan bahwa

- 174 -

persaingan dan kegiatan ekonomi ber-jalan fair, tidak kurang dan tidak le-bih. Oleh karena Pemerintah mengem-ban berbagai misi (termasuk di anta-ranya misi publik) campur tangannya dalam proses perekonomian dalam konteks SEZ cenderung dimaknai sebagai bentuk intervensi yang tidak disukai baik oleh investor maupun pelaku bisnis. Berbagai peraturan dan birokrasi yang menghambat investasi akan dihapuskan. Ultimate goal nya adalah agar dalam kawasan “enclave” tersebut investasi tumbuh pesat, menghasilkan produk ekspor, dan menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah besar yang pada gilirannya diharapkan dapat mengembangkan wilayah di sekitar zona yang terpilih. Dewasa ini, zona-zona semacam ini telah diterapkan di banyak negara, antara lain China, India, Vietnam, Philipina, dsb.

Belajar dari China

Pada tahun 1997, Hongkong, yang me-rupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia, dikembalikan ke China setelah selama seratus tahun di bawah otoritas Inggris. Perhatian masyarakat dunia terfokus pada peristiwa tersebut karena Hongkong dan China, walau-pun satu rumpun bangsa, namun ke-duanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Masyarakat Hong-kong sangat liberal dan kental dengan atribut-atribut seperti kebebasan ber-pendapat, pengakuan terhadap hak milik individu, sistem ekonomi pasar bebas, dan intervensi pemerintah yang

minimal. Sebaliknya China adalah negara yang masyarakatnya memiliki karakter dan gaya hidup sosialis mes-kipun sampai batas tertentu telah mengadopsi prinsip liberalisme.1

Saya tidak akan membahas detail ma-salah ini, melainkan lebih menggaris-bawahi kebijakan China yang menurut penilaian saya merupakan satu bentuk pragmatisme yang “cerdas”. Tujuh tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1980, sejalan dengan kebijakan “Lon-catan jauh ke depan” yang dilontarkan oleh Deng, China mendirikan 4 buah SEZ di wilayah-wilayah Shenzhen, Zhu-hai, Shandou, and Xiamen, yang kese-muanya berada di pantai tenggara Chi-na dan berhadapan langsung dengan Hongkong. Tujuan pendirian SEZ terse-but adalah dalam rangka mendorong investasi asing dan transfer teknologi, khususnya yang berasal dari Hongkong. Pada akhir tahun 90-an, zona-zona serupa juga didirikan, termasuk 5 SEZ utama di Pulau Hainan. Sebagian besar zona tersebut berlokasi di pusat-pusat ekonomi perkotaan, terutama di kota-kota pantai sepanjang Sungai Yangtze dan kota-kota sepanjang perbatasan dengan peran utama sebagai lokomotif ekonomi nasional. Apa yang tidak se-penuhnya terbayangkan sebelumnya, bahwa ketika Hongkong sendiri telah benar-benar kembali ke pangkuan China, empat SEZ tersebut ternyata telah dapat berperan sebagai “Hong-kong baru” bagi SEZ lainnya dan bah-kan lebih hebat karena Hongkong te-lah kembali menjadi bagian China. Demikian seterusnya secara berantai

- 175 -

dan terus berlanjut hingga membawa China sebagai kekuatan ekonomi yang dikagumi pada saat ini, 25 tahun sejak SEZ pertama didirikan. Pelajaran yang perlu kita ambil adalah bahwa peme-rintah China telah berani berkorban secara ideologis demi kepentingan yang lebih pragmatis, yaitu keingin-an untuk mensejahterakan masyara-kat China. Pengorbanan yang lebih ekstrim juga ditunjukkan oleh China ketika ia akhirnya membiarkan Hong-kong tetap menjadi kapitalis dengan menerapkan konsep “Satu Negara Dua Sistem” bagi Hongkong dan Makau, yang memungkinkan kedua wilayah tersebut memiliki administrator (ekse-kutif) dan bahkan parlemen sendiri yang terpisah dari Partai Komunis.

Nilai Strategis Batam-Bintan

Tidak semua daerah dapat menjadi SEZ. Dalam beberapa kesempatan te-lah dikemukakan adanya persyaratan minimal, terutama yaitu bahwa ka-wasan tersebut haruslah memiliki sa-rana dan prasarana untuk akses ba-han baku industri serta tersedianya sumber-sumber untuk berproduksi. Dipilihnya Batam dan Bintan sebagai pilot project tentunya dengan pertim-bangan bahwa kedua wilayah ini telah memenuhi kriteria tersebut di atas. Namun demikian, saya ingin mengajak para hadirin sekalian untuk melihat dimensi lain mengapa Batam dan Bin-tan dipilih sebagai proyek percontohan penerapan SEZ di Indonesia. Salah satu yang perlu kita cermati adalah fakta geografis bahwa kedua wilayah terse-

but berhadapan langsung dengan salah satu kekuatan ekonomi terbesar du-nia, yaitu Singapura. Dalam konteks ini, posisi geografis tersebut berpe-ngaruh besar terhadap paling tidak 3 (tiga) aspek, yaitu:

1. Transfer teknologi

Batam dan Bintan sangat berpo-tensi menjadi pintu gerbang ma-suknya teknologi dari Singapura dan dari negara-negara industri yang secara intens menggunakan pelabuhan-pelabuhan Singapura. Asumsi tersebut berlandaskan pada dua alasan, yaitu:

Pertama, jarak Singapura de-ngan Batam-Bintan sangat de-kat dan pada saat yang sama Batam-Bintan dapat memberi-kan apa yang dibutuhkan oleh Singapura, yaitu area industri yang luas dan buruh yang murah. Singapura yang luas wilayahnya hanya 685 km2 dan dihuni kurang dari 4.5 juta penduduk akan sangat mungkin memindahkan industrinya seka-ligus mentransfer teknologinya ke Batam dan Bintan; Sekedar pembanding, Pulau Bintan saja luas wilayahnya mencapai 1.140 km2 (hampir dua kali lipat wilayah Singapura) de-ngan GDP perkapita kurang le-bih seperduapuluhnya Singa-pura, dan;

Kedua, dipandang dari sisi karakter perekonomian, antara Singapura dan Batam khusus-

- 176 -

nya, tidaklah terlalu berbeda. Sejak diproklamirkan sebagai zona ekonomi tiga puluh tahun yang lalu, Batam menggunakan sistem ekonomi pasar seperti halnya Singapura, sehingga se-cara psikologis Singapura rela-tive akan lebih mudah merelo-kasikan industrinya ke wilayah tersebut.

2. Perdagangan

Di bidang perdagangan, Singapura merupakan partner dagang yang penting bagi Indonesia, yang salah satu pintu utamanya adalah Pro-pinsi kepulauan Riau.

Total perdagangan RI - Singapura:

a. Nilai ekspor Indonesia ke Si-ngapura (statistik tahun 2004)

b. Pada tahun 2003 sebesar se-besar US$ 5,34 milyar, turun sebesar 0,49% jika dibanding-kan dengan periode yang sa-ma pada tahun 2002 yaitu sebesar US$ 5,36 milyar.

c. Nilai impor Indonesia dari Si-ngapura pada tahun 2002 se-besar sebesar US$ 4,09 mil-yar, naik sebesar 12,47% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2002 yaitu sebesar US$ 3,14 milyar.

d. Komoditi ekspor utama RI-Singapura adalah oil & non gas, coal, copper, tobacco, electrical machinery, textile, telecomunication equipment, paper, carboxyled acids, fa-

brics, woven, fish, fertilizers, ships, boats, cocoa, motor-cycles, pumps & compressors, fans & blowers, iron.

e. Komoditi impor utama RI-Singapura adalah oil & gas, ships, boats, hydrocarbon, al-cohols, plastics, contractor plants, essensial oils, per-fume, tubes, popes, pulp & paper, motor vehicle, auto-matic data processing ma-chines, rubber tyre, pumps & compressor, soap, aircraft, alumunium, telecommunic-ation.

Namun demikian, total nilai per-dagangan Indonesia-Singapura me-nunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 ni-lainya mencapai 514.milyar US $ atau kurang lebih 11% dari total nilai perdagangan Singapura di Asia secara keseluruhan.

3. Investasi

Secara sederhana, terdapat dua manfaat penting investasi, yaitu :

Pertama, sebagai penggerak perekonomian nasional. Untuk menggerakkan perekonomian diperlukan capital yang pem-biayaannya dapat diperoleh da-ri berbagai sumber, misalnya pendapatan pemerintah, inves-tasi, tabungan, atau dengan privatisasi aset-aset negara. Namun di antara sumber-sum-ber tersebut, yang paling mu-

- 177 -

dah, praktis, dan efektif adalah investasi, karena di samping sifatnya yang langsung, sum-ber-sumber pembiayaan lain di Indonesia masih cukup sulit diandalkan, dan;

Kedua, investasi berperan se-bagai sarana untuk memfasi-litasi terjadinya transfer ke-mampuan dan teknologi yang biasanya menyertai investasi. Keuntungan kedua ini memang tidak cukup mendesak bagi Ba-tam-Bintan karena sesungguh-nya transfer tersebut telah dan sedang berlangsung. Namun dalam jangka menengah dan panjang, penguasaan Batam-Bintan atas teknologi khusus-nya teknologi produksi akan sangat vital terlebih dengan pesatnya perkembangan tekno-logi informasi yang luar biasa cepat selama dua dekade ter-akhir. Sekedar gambaran, nilai Investasi Singapura di Indonesia secara keseluruhan menduduki urutan pertama terbesar de-ngan nilai investasi US$ 3.328,1 juta untuk 155 proyek atau 34,2% dari total investasi PMA di Indonesia.

Kesimpulan

Di era globalisasi pada saat ini, pem-bentukan SEZ tidak dapat ditunda lagi apabila kita tidak ingin tertinggal oleh negara-negara lain.

Penetapan Batam-Bintan sebagai pilot project sudah tepat dengan memper-

timbangkan kesiapan dan juga berba-gai faktor lainnya. Namun mengingat keberhasilan project tersebut akan menentukan, atau paling tidak mem-pengaruhi nasib SEZ lainnya, seyog-yanya semua pihak menyadari hal tersebut. Kerjasama dan saling pe-ngertian antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Stakeholders oleh kare-nanya mutlak diperlukan.

Sesuatu yang pasti dari penetapan Batam-Bintan sebagai SEZ adalah kon-sekuensi yang dapat bersifat positif maupun negatif. Diantaranya adalah perubahan di bidang sosio-kultural dan sosio-ekonomi masyarakat setempat. Yang perlu diantisipasi sejak awal adalah persiapan diri dengan sebaik mungkin, termasuk terutama dalam bidang pengembangan SDM. Jangan sampai terjadi, tujuan ekonomi tercapai namun masyarat di Batam-Bintan harus menjadi “penonton” di rumah sendiri yang secara jangka panjang dapat menimbulkan persoal-an-persoalan baru.

penghasil minyak terbesar di dunia. Tahun 2005 indonesia adalah produsen gas alam terbesar dibandingkan de-ngan seluruh negara di Asia Oceania, Aprika, (2.606 Trilion Cubic Feet), dan termasuk dalam 10 Negara penghasil gas terbesar di dunia (Rusia, US, Cana-da, Iran, Algeria, UK, Norway, Monte-negro, Netherlands, Indonesia). Data lainnya menyebutkan bahwa Tahun 2008, Indonesia berada pada urutan 7 negara eksporter gas terbesar di du-nia. (Russia 182 billion cubic meters

- 178 -

(14.7% of estimated total world ex-ports), 2. Canada 101.9 billion cubic meters (8.2%), 3. Norway 78.1 billion cubic meters (6.3%), 4. Algeria 62.6 billion cubic meters (5%), 5. Turkme-nistan 58 billion cubic meters (4.7%), 6. Netherlands 50.2 billion cubic meters (4%), 7. Indonesia 29.6 billion cubic meters (2.4%), 8. Malaysia 29.1 billion cubic meters (2.3%), 9. Qatar 26 billion cubic meters (2.1%), 10. Tri-nidad and Tobago 21 billion cubic me-ters (1.7%). Selain itu, indonesia ter-masuk dalam 20 besar negara peng-hasil minyak mentah terbesar di dunia (54,8 juta ton, 2005).

Kekayaan minyak bumi Indonesia telah dieksploitasi selama lebih dari 100 tahun. Tambang Telaga Said merupa-kan tambang minyak pertama yang di-temukan di Indonesia pada tahun 1885, kemudian dieksploitasi oleh se-buah perusahaan milik Inggris dan Be-landa Royal Dutch dan mulai berope-rasi pada tahun 1892, sekaligus meng-awali sejarah dimulainya pengeksplo-rasian sumber daya alam migas di In-donesia. Kemudian pada tahun 1944, sumur minyak Minas ditemukan oleh Caltex di Riau, merupakan sumur ter-besar di Asia Tenggara pada masa itu. Meskipun demikian kekayaan alam mi-nyak Indonesia masih tersedia cukup besar dan terus menjadi incaran kor-porasi-korporasi besar dunia.

Selain itu, di Indonesia ada sekitar 60 ladang minyak (basins), 38 di antara-nya telah dieksplorasi, sementara sisa-nya masih belum. Di dalamnya terda-

pat sumber daya energi yang luar bia-sa, kira-kira mencapai 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Sementara kapasitas pro-duksinya pada tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan 2,26 triliun TCF.

Indonesia juga adalah kekuatan utama dalam hal penyediaan sumber energi lainya di dunia. Negara ini termasuk produsen batubara urutan 10 besar dunia, bahkan Indonesia berada dalam urutan ke 7 dari 10 negara penghasil batubara. Perbedaanya adalah Negara Negara penghasil batubara yang posisi-nya diatas Indonesia telah mengguna-kan sumber energy mereka secara maksimal untuk memenuhi keutuhan energy dalam negeri. Indonesia adalah eksporter Batubara teresar kedua di dunia setelah Australia, lebih tinggi dibandingkan Cina, AS dan Rusia. Se-bagian besar ekspor Indonesisa diserap oleh Negara-negara Industri, seperti Jepang dan Negara Industri lainnya untuk memenuhi kebutuhan energy mereka. Jepang adalah Importir Batubara terbesar di dunia. Sebagian besar import batbara tersebut berasal dari Indonesia. Sebanyak 25 persen dari total eksport batubara Indonesia diserap sebagai sumber energy oleh jepang.

Tidak hanya itu, Indonesia bahkan te-lah dikenal sejak lama sebagai negeri yang kaya akan bahan – bahan tam-bang baik mineral. Sumber daya alam tambang mineral Indonesia adalah yang paling terkemuka di dunia dan

- 179 -

penghasil utama beberapa mineral. Sebuah lembaga survey mencatat bahwa pada tahun 2005, Indonesia produsen bauxit no 7 dunia ( 7 juta ton), urutan kedua dalam produksi tembaga (1,06 juta ton), urutan ke 6 dalam produksi emas (143,205 ribu ki-logram), urutan ke tiga produksi nickel (150 ribu tone), urutan 11 dalam hal produksi perak ( 328,7 ribu kilogram).

Negara Indonesia adalah penghasil ti-mah kedua terbesar di dunia setelah China, Produksi timah Indonesia men-capai 110.000 ton per tahun atau, se-pertiga dari total produksi timah du-nia. Endapan timah di Indonesia meru-pakan lanjutan dari salah satu jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indone-sia jalur timah tersebut meliputi pu-lau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata (Noer, 1998). Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT. Timah Tbk, 2006).

Kesimpulan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber-sumber tambang, baik minyak, gas maupun mineral, telah menjadi kesimpulan banyak pihak. Menurut kriteria EITI (Extractive Industry Transparency Initiative), sebuah gerakan global untuk mempromosikan transparansi di sektor industri ekstraktif, menyebutk-an bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang tergolong negara kaya

sumber daya alam (Resource Rich Countries) yang memiliki kedudukan penting bagi perdagangan dunia.

Gambaran diatas mamperlihatkan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk menghidupi dirinya sendiri, tanpa harus bergan-tung kepada bangsa lain. Bahkan jika sumber-sumber alam tidak diobral se-cara murah kepada pihak modal asing, akan tetapi dimanfaatkan secara tepat sebagai modal bagi industrialisasi dan pembangunan ekonomi rakyat, maka untuk menjadi bangsa yang madiri adalah hal yang mudah bagi Indonesia.

- 180 -

KEK, Negara dan Ancaman terhadap Buruh dan Masyarakat

Indonesia22

Kebijakan Ekonomi Global: Negara dan Ancaman Besar Terhadap

Ekonomi-Sosial-Politik Buruh dan Masyarakat Industri.

Oleh: Beno Widodo*

A. Pengantar

Strategi pembangunan industri nasio-nal Indonesia dengan menggunakan Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) atau Kawasan Ekonomi Khusus In-dustri (KEKI) bukanlah hal yang baru. Program KEKI sebagai kelanjutan dari KPB adalah bentuk konsistensi strategi negara dalam membangun industri yang mengabdi pada pasar bebas (se-bagai ujung tombak neoliberalisme), walaupun rezim telah berulang kali berganti. Sebelum dibuat UU Nomor 1 Tahun 2007 sebagai perubahan UU Nomor 36 Tahun 2000 dan Perpu No-mor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be-bas telah ada undang-undang sebe-lumnya yang mengatur yakni UU Nomor 3 Tahun 1970.

Membahas soal KEKI tidak bisa serta-merta melompat hingga keberadaan-nya saat ini, namun ada landasan ana-lisis kebijakan KEKI sekarang. Keber-

22 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=281&Itemid=137

adaan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka “Demokrasi Ekonomi” masih dianggap oleh pemerintah sebagai pertimbang-an utama bagi segala peraturan perun-dang-undangan terkait dengan ekono-mi makro. Selain itu, UUD 1945 Aman-demen IV tidak lagi menempatkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman rencana pembangunan nasional. Akhirnya, untuk menurunkan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam rencana yang konkret, pe-merintah memberlakukan, seperang-kat UU mengenai rencana pembangun-an nasional. Yang saat ini berlaku adalah UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Na-sional (SPPN), yang kemudian strategi untuk tahun 2005-2025 diturunkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Ini didukung secara masif oleh sejumlah aturan yang dibuat oleh ne-gara, yakni RPJM (Rancangan Pemba-ngunan Jangka Menengah) SBY-JK tahun 2004-2009 dan Inpres Nomor 03 Februari 2006 serta pengesahan UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing (UU PM). UU Investasi, Pasal 31

(1) Untuk mempercepat pengembang-an ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pe-ngembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.

- 181 -

(2) Pemerintah berwenang menetap-kan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.

(3) Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus diatur dengan undang-undang.

Dengan analisis hukum secara garis besar tersebut, harus juga dilihat dari sisi ekonomi dan politik akan hidden agenda penetapan KEKI dengan menggunakan Perpu Nomor 1 Tahun 2007. Pun, bisa dilihat dampak-dampak ekonomi, politik dan sosial bagi penerima manfaat atau yang bersentuhan dengan KEKI tersebut, dalam hal ini masyarakat sekitar industri (KEKI), buruh dan keluarganya serta serikat buruhnya.

Secara hirarki hukum, yang terkait dengan KEKI : 1. UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

2. RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah) SBY-JK tahun 2004-2009.

3. Position Paper Bappenas 2004. 4. Inpres Nomor 03 Februari 2006. 5. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal 6. Perpu Nomor 1 Tahun 2007 ten-

tang Perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 ten-tang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU.

B. Melihat Latar Belakang Lahirnya KEKI

Dengan jelas kita bisa melihat alasan mendasar lahirnya KEKI sebagai terjemahan kondisi sosial politik dalam teks peraturan mengenai KPB/KEKI pada ayat pertama dari poin pertimbangan :

4. UU Nomor 3/1970

Bahwa banyak kegiatan-kegiatan di sektor perdagangan, perindustrian, pelayaran dan kegiatan-kegiatan lainnya di bidang ekonomi dilakukan di luar negeri khususnya di daerah perdagangan bebas, yang sebenarnya dapat dan lebih baik dilakukan di dalam negeri, asal mendapat kesempatan yang luas.

5. Perpu 1/2000 dan UU No.36/2000

Bahwa dalam menghadapi perkem-bangan keadaan baik di dalam maupun di luar negeri, perlu menjawab tan-tangan persaingan global dengan se-mangat otonomi daerah yang membe-rikan kewenangan luas, nyata dan ber-tanggung jawab kepada daerah secara proporsional.

6. Perpu 1/2007

Bahwa globalisasi ekonomi yang me-nuntut dikuranginya berbagai hambat-an di bidang perdagangan selain meru-pakan kondisi yang memberi peluang untuk mencapai pertumbuhan ekono-mi melalui peningkatan ekspor dan investasi, juga mengakibatkan menu-runnya daya saing nasional, sehingga menimbulkan dampak yang sangat

- 182 -

serius terhadap perekonomian dan perdagangan nasional serta mening-katnya angka pengangguran dan kemiskinan.

Kita bisa melihat perubahan pemakna-an motif utama dari penerapan KPB/ KEKI sebagai keperluan untuk mening-katkan kegiatan ekonomi ke dalam negeri, menjadi usaha menjawab persaingan global dan pada akhirnya mengakui bahwa lemahnya posisi Indonesia dalam persaingan global mengakibatkan keharusan tunduk pada tuntutan globalisasi ekonomi.

Dari sini kita melihat jelas korelasinya dengan UU PMA, di mana penanaman modal dikonsentrasikan pada produksi hulu-hilir. Pengkonsentrasian ini tidak secara lugas dinyatakan pembuat undang-undang dalam pasal-pasal UUPM ataupun konsideran. Konsideran ‘menimbang’ huruf b menyebutkan bahwa, sesuai dengan Tap MPR No. XVI/MPR/1998, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Kemudian, konsideran ‘menimbang’ huruf b UUPM diturunkan dalam Bab VII UUPM tentang Bidang Usaha dan Bab VIII tentang Pengembangan Penanaman Modal bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi. Selanjutnya, dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pelibatan tersebut merupakan upaya-upaya dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.

Sejak penandatanganan MOU antara Indonesia dan Singapura hampir setahun yang lalu untuk membangun Batam, Bintan dan Karimun sebagai SEZ, Pemerintah tidak melakukan apapun untuk menerbitkan peraturan terkait daerah tersebut. Dari Januari ke Mei tahun 2007, empat investor menutup kegiatannya di Batam dan Bintan, awal Pebuari ini investor electronic Malaysia, PT Livatech Electronic menutup kegiatan operasinya di Batam, menyebabkan 1.300 pekerja menganggur. Investor Singapura dan Italia telah menutup kegiatan bisnisnya di Kawasan Indutri Bintan menyebabkan 1000 pekerja menganggur. Pada bulan Juni, perusahaan lain PT National Garment akan menutup perusahaan, 2.670 orang akan menganggur.

(Jakarta, ANTARA NEWS, 24/04/07)

Mengabdinya keberadaaan KPB/KEKI kepada kepentingan Ekonomi global/kapitalisme internasional unuk mendapatkan kemudahan-kemudahan, seperti diurai di atas. Struktur ekonomi global dengan tata kerja internasional baru (New International of Labour) “mensyaratkan” fleksibilitas modal dan tenaga kerja. Fleksibilitas yang dibutuhkan modal untuk menghindar dari kejaran krisis yang terus datang bergelombang sejalan dengan bobroknya fondasi ekonomi kapitalisme. Fleksibilitas terus terjadi di tingkat global karena situasi dunia berubah cepat pasca Perang Dunia ke 2. Pergerakan modal

- 183 -

tidak lagi bisa dengan mudah ekspansi lama yang bergantung pada peperangan penundukan modal.

Otonomi daerah ternyata menjadi persoalan tersendiri bagi pergerakan modal internasional di Indonesia, dibuktikan dengan banyaknya peraturan daerah (Perda) yang lebih banyak “pungutan” dengan dalih untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kekuasaan-kekuasaan lokal/daerah ternyata lebih tertarik untuk menarik rente atas proses ekonomi-industri, termasuk atas arus investasi. Pilihan keputusan tingkat lokal dan nasional yang tidak sinkron menimbulkan ketegangan-ketegangan politik. Sementara itu tekanan modal internasional terus terjadi, sehingga memaksakan ketegangan lokal-nasional berkompromi atas tekanan tersebut. Tentu kompromi mengalami banyak kelambatan dan sulit sinkron, bukti ketegangan dan ketidaksinkronan tersebut adalah dengan berjalannya KPB Batam, Bintan dan tidak berkembang lebih maju.

Nah, PERPU 1/2007 adalah jawaban atas ketegangan dan ketidaksinkronan pusat dengan lokal/daerah, sehingga pengabdian pada sistem ekonomi global terimplementasikan. Walaupun pada kenyataannya masih mengalami kesulitan-kesulitan penerapan di daerah (propinsi dan kota) namun pengesahan PERPU tersebut disambut baik oleh pengusaha. Gejala awalnya pun bisa dilihat dengan maraknya

perusahaan tutup dan berelokasi masih di dalam negeri serta menerapkan sistem kerja kontrak-outsourcing.

C. Melihat Tujuan KEKI

"Sangat mungkin (kami berikan insentif pajak). Tapi paling tidak kami bisa beri keringanan pajak," ujar Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Jumat (11/8) usai membuka seminar di Jakarta International Investment Expo (JIVEST) 2006.

Dari berbagai ungkapan dan literatur yang didapatkan serta melihat gejala yang terjadi KEKI memiliki tujuan : 1. Memudahkan pemerintah untuk

memfasilitasi investor-investor di daerah.

2. Pemerintah menetapkan KEK untuk meningkatkan usaha dan industri dalam negeri

3. Kawasan industri terpadu dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

4. Memberikan fasilitas khusus dengan menjauhkan kawasan industri dengan pusat kota/pemerintahan dan kawasan pemukiman. Ini dimaksud sebagai upaya menjauhkan hubungan sosial sesame buruh maupun masyarakat, sehingga mengurangi bahaya demonstrasi dan sabotase.

5. Pelaku industri di KEKI memiliki keleluasaan mengelola industri tanpa gangguan birokrasi dan jenis gangguan lainnya

Untuk mewujudkan tujuan besar diatas maka pemerintah memberikan

- 184 -

fasilitas khusus terhadap pelaku industri yang berada di KEKI, yakni : 1. Insentif administrasi berupa

pelayanan investasi satu atap dan insentif fiskal berupa pengurangan pajak.

2. Pemberian insentif berupa keringanan pajak PPN ekspor sejatinya sudah meringankan pelaku usaha di kawasan ini. Apalagi pemerintah juga akan menghapuskan PPh. Dia mengingatkan pengusaha tidak meminta keringanan atas pajak impor.

3. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan memberi insentif pajak dan kepabeanan untuk menunjang KEK.

D. Dampak Keberadaaan KEKI

Uraian diatas adalah fakta yang akan dinikmati oleh pemodal sementara kaum buruh semakin terasing dalam proses produksi, proses sosial dan poli-tik dalam kehidupan sebagai warga Negara maupun manusia. Dampak be-sar dengan keistimewaaan yang dibe-rikan kepada pemodal dalam KEKI ti-dak setara dengan pemberian kesejah-teraan kepada kaum buruhnya. Maka perlu dilihat lebih mendalan ancaman yang akan diterima oleh :

1. Buruh dan keluarganya, Kebera-daan KEKI dengan segala kebebas-an dan fleksibilitasnya akan dite-rapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing secara masif, sehing-ga nilai upah yang diterima akan semakin rendah dan tidak memi-

liki kepastian kerja, jaminan so-sial serta jam kerja panjang.Di sinilah keterasingan sosial, eko-nomi dan politik buruh serta ke-luarganya akan terjadi semakin masif.

2. Serikat Buruh, Kekuatan serikat buruh akan semakin kecil, karena penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu dalam KEKI diberikan satu kebebasan khusus untuk menghadang keberadaan serikat buruh dengan aturan-aturan yang dibuat. Keistimewaan KEKI yang begitu bebas dan fleksibel dalam gerak modal dan ketenagakerjaan akan menghambat gerak politik organisasi buruh sampai pada tingkat pengorganisasiannya. Kesulitan pengorganisasian ini juga dikarenakan KEKI diletakkan secara khsusus jauh dari lingkar kekuasaan kota dan memiliki akses khusus keamanan dan birokrasi.

3. Komunitas masyarakat sekitar Industri,

Keberadaan KEKI juga akan emmatikan perekonomian masyarakat sekitar Industri, karena KEKI akan membangun satuan unit kerja yang dalam satu rantai. Artinya ketersediaan akan bahan baku, proses produksi dan penunjangnya (Kantin, security, transportasi dll) dikelola secara khusus. Dengan hal tersebut akses masyarakat sekitar industri untuk

- 185 -

mendapat kerja, membuka warung, menyediakan kontrakan buruh, menyediakan angkutan umum (Aspek Ekonomi dan Sosial) menjadi hilang dan diambil perannya oleh pengelola KEKI.

4. Ekonomi secara nasional,

Secara umum, apabila KEKI diserahkan kepada swasta/investor dan Negara (pemerintah pusat dan daerah) hanya melayani maka harapan untuk menggerakkan perekonomian nasional hanyalah mimpi. Ini berbeda dengan produksi industri China yang mampu berkompetisi ditingkat global karena peran Negara dalam menggerakkan industri serta mengatur dan mengontrolnya masih terus terjaga, sehingga hasil dari eksport dan semua produksi tersentralisasi di Negara.

E. Penutup

Dengan situasi penuh dengan fleksibelitas tersebut dan tidak diimbangi oleh kekuatan skill buruh/pekerja maka akan menjadi suatu bom waktu bagi proses industri diIndonesia dengan keberadaaan KEKI. Daerah hanya mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pemerintah pusat mengekploitasi buruh dan masyarakat sekitar untuk kepentingan ekonomi internasional.

Maka kedepan, bila kebijakan KEKI ini dipaksakan untuk dijalankan maka pemerintah pusat dan daerah

hanyalah raja tanpa mahkota, artinya penguasa yang tidak memiliki kekuasaan akan daerahnya. Karena KEKI sesungguhnya adalah “negara” dalam “negara”, sebuah kawasan yang memiliki kekuasaan luar biasa dalam wilayah ekonomi dan politik. Bila ini akan terus dipaksakan, selesailah sudah sebuah bangsa bernama Indonesia.

Maka dalam proses ke depan yang perlu dilakukan dengan sistuasi ini adalah :

1. Melihat kembali untung rugi adanya KEKI dan melakukan judicial review atu hal lainnya dalam melakukan advokasi, dengan didahului survei/riset tentang BBK; Bintan, Batam dan Karimun yang telah berjalan.

2. Melakukan penguatan pemahaman akan organisasi dan perjuangan ekonomi-politik kepada mayarakat industri dan Kaum buruh itu sendiri. Penguatan ini dilakukan dengan diskusi, pendidikan, bahan bacaan dan kursus-kursus hukum dan politik.

3. Pengorganisiran komunitas masyarakat industri dan kaum buruh di KEKI untuk mendapatkan kekuatan sejati untuk perubahannya.

*Penulis adalah Dep. Pengembangan Organisasi

Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)

- 186 -

Menjadi Bangsa Mandiri "Mungkinkah ?"23

“Stop jadi bangsa kuli, jadilah bangsa mandiri”. Demikian slogan yang sering dilontarkan oleh para aktivis prodemo-krasi, dalam dalam berbagai forum seminar, diskusi dan bahkan tertulis di famlet-famlet saat aksi turun jalan dalam merespon situasi Indonesia saat ini. Sebuah seruan yang cukup beralas-an jika melihat kemampuan bangsa ini, khususnya dalam hal kekayaan sumber daya alam, yang saat ini ber-ada di bawah kunkungan modal asing.

Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Indonesia adalah negari yang kaya. Negeri ini memiliki sekitar 17.504 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah mencapai 1,904 juta km2.

Perairan Indonesia terbentang sepan-jang 81.000 km di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Dunia mengibaratkan negeri ini bagaikan un-taian mutiara di katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia adalah tanah yang subur. Menyediakan syarat bagi berkembangbiaknya hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menjadikan Indo-nesia sebagai wilayah dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan hutannya mencapai lebih dari 101 juta ha dengan kekayaan flora yang ter-lengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan Indonesia kaya dengan bera-

23 http://www.globaljust.org/index.php ?option=com_content&task=view&id=132&Itemid=136

gam kehidupan laut. Terumbu karang-nya yang melengkapi keindahan pulau-pulau yang terbentang dari Sabang hingga Meraoke.

Kesuburan tanah Indonesia menjadi-kan sebagai penghasil utama komodi-tas penting di dunia. Tercatat bahwa Negara ini adalah penghasil biji-bijian terbesar no 6, penghasil teh terbesar no 6, penghasil kopi no 4, penghasil cokelat no 3, penghasil minyak sawit (CPO) no 2, penghasil lada putih no 1, lada hitam no 2; penghasil puli dari buah pala no 1, penghasil karet alam no 2, penghasil karet sintetik no 4, penghasil kayu lapis no 1, penghasil ikan no 6 di dunia.

Tidak hanya permukaan tanahnya yang subur, tempat tumbuh dan berkem-bang biaknya hewan dan tumbuhan, juga di dalam perut bumi Indonesia terkandung kekayaan yang melimpah, baik minyak, gas, batubara dan berba-gai jenis mineral. Kekayaan alam yang secara keseluruhan merupakan komo-diti yang memiliki kedudukan sangat penting bagi perdagangan, industri dan perekonomian dunia saat ini.

Di sektor migas, Indonesia termasuk dalam jajaran 20 besar negara-negara

- 187 -