GAMBARAN OAE PADA BAYI DENGAN RIWAYAT ASFIKSIA DI RSUP DR.SARDJITO PERIODE JANUARI 2011 – JUNI 2011
Lukman Hakim, Kartono SudarmanBagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UGM / RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik, dan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting. Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan 2005). Menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994), asfiksia merupakan salah satu kemungkinan penyebab gangguan pendengaran pada bayi usia 0-28 hari. Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%. Oleh karena masih tingginya angka bayi dengan asfiksia di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menambah data serta memberi informasi tentang gambaran OAE pada bayi dengan riwayat asfiksia.
Tujuan: mengetahui gambaran OAE pada bayi dengan riwayat asfiksia di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2011 – Juni 2011.
Metode penelitian: Deskriptif Retrospektif, sampel berasal dari data rekam medis dimana bayi dirawat dengan diagnosis asfiksia dan dilakukan pemeriksaan OAE di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2011 – Juni 2011.
Hasil: bayi dengan riwayat asfiksia sebanyak 131 bayi, dengan 40 bayi berhasil dilakukan pemeriksaan OAE ( 30,53%). Dari seluruh bayi yang dilakukan pemeriksaan OAE, terdiagnosis dengan asfiksia tanpa penyulit lain sebanyak 31 bayi ( 77,50%), terdiagnosis dengan asfiksia dengan1 penyulit lain yaitu BBLR sebanyak 9 bayi ( 22,50%). Hasil pemeriksaan OAE dari 31 bayi baru lahir dengan asfiksia tanpa penyulit lain adalah bilateral pass sebanyak 15 bayi (48,39%), sedangkan refer baik bilateral maupun unilateral sebanyak 16 bayi (51,61%). Hasil pemeriksaan OAE dari 9 bayi baru lahir dengan asfiksia dengan1 penyulit lain(BBLR) adalah bilateral pass sebanyak 5 bayi (55,56%), sedangkan refer baik bilateral maupun unilateral sebanyak 4 bayi (44,44%). Kesimpulan: pada bayi baru lahir dengan riwayat asfiksia, banyaknya hasil pemeriksaan OAE adalah hampir sama antara pass bilateral maupun refer uni/bilateral
Kata kunci: tuli congenital, asfiksi, OAE.
1
DESCRIPTION OF OAE IN INFANT WITH ASPHYXIA AT RSUP DR.SARDJITO
PERIOD OF JANUARY 2011 - JUNE 2011
Lukman Hakim, Kartono Sudarman ENT Department Medical Faculty of Gadjah Mada university/Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta.
ABSTRACT
Background: Congenital deafness is a problem in children which will impact on speech development, social, cognitive and academic, and early detection. Congenital deafness in Indonesia is estimated as 214,100 people when the population of 214,100,000 million (Health Profile 2005). According to the American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994), asphyxia is one of the possible causes of hearing loss in infants aged 0-28 days. Currently, OAE (Otoacoustic emission) and AABR (Automated Brainstem Response Audiometry) is the gold standard examination technique with the principle of fast, easy, noninvasive and a sensitivity approaching 100%. Because of the high rate of infant with asphyxia in Indonesia, the research is expected to add to the data and provide information about the OAE in infants with asphyxia
Objectives: to know the description of OAE in infants with asphyxia at RSUP. Sardjito Yogyakarta period January 2011 - June 2011.
Research methods: Descriptive retrospective, the sample derived from medical records where babies were treated with a diagnosis of asphyxia and OAE examination in RSUP. Sardjito Yogyakarta period January 2011 - June 2011.
Results: infants with history of asphyxia is 131, with 40 infants successfully completed the examination OAE (30.53%). Of all babies with OAE examination, diagnosed with asphyxia without other complications was 31 babies (77.50%), diagnosed with asphyxia with 1 other complications of low birth weight was 9 (22.50%). OAE examination results of 31 newborns with asphyxia with no other complications were bilateral pass was 15 infants (48.39%), whereas both bilateral and unilateral refer was 16 babies (51.61%). OAE test results of 9 newborns with asphyxia with 1 other complications (LBW) is a bilateral pass was 5 babies (55.56%), whereas both bilateral and unilateral refer was 4 infants (44.44%).
Conclusion: in newborns with history of asphyxia, the number of OAE test results are almost the same between the pass and uni / bilateral refer.
Key words: congenital deafness, asphyxia, OAE.
2
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat terjadi pada semua usia sejak
lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang tidak disadari, apalagi jika terjadi pada bayi. Dampak
gangguan pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya perkembangan wicara dan
bahasa, namun pada tahap selanjutnya akan menyebabkan hambatan perkembangan akademik,
ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh
pekerjaan. (Suwento, 2004). Prevalensi gangguan pendengaran sedang hingga sangat berat bilateral pada
bayi baru lahir adalah 1–3 per 1000 kelahiran. (Sokol & Hyde, 2002). Kezirian menuliskan prevalensi
gangguan pendengaran kongenital sebesar 1,5–6 per 1000 bayi. (Kezirian et al, 2004). American
Academy of Pediatric Joint Committee (1993) menyatakan faktor risiko kurang pendengaran kongenital
adalah riwayat keluarga, kelainan struktur kepala dan leher, infeksi saat hamil, lahir prematur, berat badan
lahir rendah, persalinan dengan tindakan, bayi kuning dan asfiksia. Anak akan memiliki risiko 10 kali
lebih besar mengalami kurang pendengaran jika mendapatkan satu faktor risiko dan 63 kali lebih besar
jika mendapatkan tiga faktor risiko. (Suwento, 2010). Studi retrospektif Olusanya et al (2006) di Nigeria
menunjukkan asfiksia neonatus, kesulitan persalinan, ikterus neonatorum, dan kejang demam merupakan
faktor risko terjadinya tuli permanen. (Olusanya et al, 2006). Survei Kesehatan indera pendengaran yang
dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia (1994 – 1996) mendapatkan prevalensi tuli sejak lahir sebesar 0.1
% dari 19.375 sample yang diperiksa. Dari angka tersebut dapat kita perkirakan berapa jumlah penderita
ketulian penduduk Indonesia saat ini (Hendarmin H, 2006).
Gangguan pendengaran sering diabaikan karena orangtua tidak langsung sadar anaknya menderita
gangguan, kadang - kadang anak dianggap sebagai anak autis atau hiperaktif karena sikapnya yang sulit
diatur. Oleh karena itu diagnosa dini gangguan pendengaran sangatlah penting. Menemukan gangguan
pendengaran pada bayi tidaklah mudah, seringkali baru diketahui setelah usia 2 – 3 tahun. Menurut
Sininger di AS tanpa program skrining pendengaran gangguan pendengaran baru diketahui pada usia 18 –
24 bulan. Di Poliklinik THT Komunitas RSCM (1992 – 2006) didapatkan 3087 bayi/anak tuli saraf berat
3
bilateral usia terbanyak adalah 1 – 3 tahun (43,70%) dan 6,41% yang berusia di bawah 1 tahun (Suwento,
2007).
Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan pendengaran sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik; bersifat
obyektif, praktis, otomatis dan non invasive (Suwento, 2007). The National Institute of Health di Amerika
pada tahun 1993 menganjurkan semua bayi baru lahir dilakukan skrining pendengaran, dan sebaiknya
dilakukan sebelum bayi meninggalkan rumah sakit. Bayi yang mengalami hasil tes refer agar dilakukan
evaluasi fungsi pendengaran secara komprehensif sebelum umur 6 bulan ( Suardana W., 2008 ). Deteksi
gangguan pendengaran sebetulnya dapat dilakukan oleh orangtua secara sederhana, misalnya dengan
memperdengarkan sumber bunyi ke bayi dan mengamati ada atau tidak respons bayi terhadap suara,
namun pemeriksaan tersebut bersifat subyektif. Kini dengan kemajuan teknologi, pemeriksaan
pendengaran yang obyektif dapat dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan alat yang relatif aman
dan mudah digunakan, salah satunya dengan menggunakan alat emisi otoakustik, yang saat ini merupakan
pemeriksaan baku emas. Tentu saja dengan adanya deteksi dini diharapkan habilitasi menggunakan alat
bantu dengar juga dilakukan sesegera mungkin untuk memperoleh hasil yang lebih baik sehingga terjadi
perbaikan dalam hal perkembangan bahasa dan pertambahan kosa kata seorang anak (Zizlavsky, 2008).
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang dihasilkan pada koklea yang
normal, baik secara spontan maupun respon dari rangsang akustik (Hall & Antomelli, 2006). Skrining
pendengaran pada bayi-bayi dapat dilakukan dengan baik dengan menggunakan alat emisi otoakustik,
karena metoda ini : obyektif, aman, tidak memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan sebelum
dilakukan pemeriksaan; pemeriksaannya cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik sampai menit;
caranya mudah, dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian khusus; biaya alat yang
relatif murah (Lee K. J. & Peck J. E, 2003).
4
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI FISIOLOGI TELINGA DALAM
Telinga adalah organ fungsi pendengaran dan pengatur keseimbangan, yang dapat dibagi
atas tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, 2001).
Berdasarkan bentuknya, telinga dalam disebut sebagai labirin. Labirin terdiri dari labirin
bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe
yang tinggi kalium dan rendah natrium, sedang labirin bagian tulang berisi cairan perilmfe yang
tinggi natrium dan rendah kalium. Labirin bagian tulang dan membran memiliki bagian
vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis berhubungan dengan keseimbangan,
sementara bagian koklearis merupakan organ pendengaran (Austin D. F., 1997; Liston S.L. &
Duvall A.J., 1994). Bagian inferior labirin berbentuk spiral dengan 2 ½ sampai 2 ¾ putaran.
Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari
arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina
spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35mm dan berisi cairan endolimfe
(Austin D. F., 1997; Liston S.L. & Duvall A.J., 1994). Terletak di atas membran basilaris dari
basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme
saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000-3500) dan
tiga baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan
horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen
dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa
dan aselular, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh
5
suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Austin D. F., 1997; Liston S.L.
& Duvall A.J., 1994).
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui
stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris dan organ
Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat membengkoknya
stereosilia oleh kerja pemberat membran tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat
padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat
ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Liston S.L. & Duvall A.J., 1994; Mills J. et al,
2006). Sebagian analisis frekuensi telah terjadi pada tingkat organ Corti. Peristiwa listrik pada
organ dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung
dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi (Liston S.L. & Duvall A.J.,
1994; Mills J. et al, 2006).
EMISI OTOAKUSTIK
Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan
oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun menggunakan stimulus, yang disebabkan
oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini adalah hasil
mekanisme sel yang aktif, yang dapat terjadi baik secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi
dari luar (Suleh S. & Djelantik, 1999).
6
Bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone dapat
mencetuskan pergerakan sel rambut luar, kemudian terjadi biomekanik dari membran basilaris
sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklear dan tuning koklear. Pergerakan sel
rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem
telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga. Getaran dari membrana timpani
menghasilkan sinyal bunyi (Emisi otoakustik), yang dapat diukur dengan mikrofon (Hall &
Antonelli, 2006).
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah guna menilai keadaan koklea,
khususnya fungsi sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna antara lain untuk : Skrining
pendengaran (khususnya pada neonatus, infan atau individu dengan gangguan perkembangan).
(Campbell K.C.M., 2006)
ASFIKSIA
Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi pernapasan
yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. (IDAI, 2004). Asfiksia neonatorum
adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat
lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.(Lee et al, 2008).
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati
hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang
signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai
pertimbangan utama.(John et al, 1991).
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara langsung karena
proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat hipoksia iskernia susunan saraf pusat
7
atau jaras-jaras yang terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan
penglihatan. Kepekaan pendengaran ditentukan antara lain oleh besarnya potensi endocochlear
Scala media di telinga dalam. Di bawah hipoksia, pasokan oksigen telinga dalam terganggu,
mengakibatkan penurunan sensitivitas pendengaran dan karenanya meningkatkan ambang batas
pendengaran. Hal ini terjadi kemungkinan besar disebabkan depresi potensial endocochlear.
Ketika ada kekurangan pasokan oksigen ke vascularis stria, generator potensi endocochlear,
yaitu pompa natrium-kalium yang memiliki kebutuhan energi yang tinggi, ditekan, akibatnya,
stimulus suara dengan intensitas sama menghasilkan potensial reseptor yang lebih kecil dan pada
akhirnya meningkatkan ambang dengar.(Jiang, 1995).
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui gambaran OAE pada bayi dengan riwayat asfiksia di RSUP dr.
Sardjito Yogyakarta periode Januari 2011 – Juni 2011.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif, sampel penelitian adalah
pasien bayi baru lahir yang dirawat di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta yang telah dilakukan
pemeriksaan screening pendengaran dengan OAE periode Januari 2011 – Juni 2011 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusinya adalah bayi baru lahir dengan
diagnosis asfiksia atau riwayat asfiksia, dan kriteria eksklusinya adalah memiliki diagnosis lain
yaitu infeksi dan atau hiperbilirubin.
8
HASIL PENELITIAN
Dari data yang berhasil diperoleh, didapatkan bayi dengan riwayat asfiksia yang dirawat
selama periode Januari hingga Juni 2011 di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta adalah sebanyak 131
bayi, dengan 40 bayi berhasil dilakukan pemeriksaan OAE ( 30,53%). Dari seluruh bayi yang
berhasil dilakukan pemeriksaan OAE, bayi yang terdiagnosis dengan asfiksia tanpa penyulit lain
sebanyak 31 bayi ( 77,50%), bayi yang terdiagnosis dengan asfiksia dengan1 penyulit lain yaitu
BBLR sebanyak 9 bayi ( 22,50%).
Hasil pemeriksaan emisi otoakustik dari 31 bayi baru lahir dengan asfiksia tanpa penyulit
lain adalah bilateral pass yaitu sebanyak 15 bayi (48,39%), sedangkan yang mendapatkan hasil
refer baik bilateral maupun unilateral sebanyak 16 bayi (51,61%). Hasil pemeriksaan emisi
otoakustik dari 9 bayi baru lahir dengan asfiksia dengan1 penyulit lain (BBLR) adalah bilateral
pass yaitu sebanyak 5 bayi (55,56%), dan yang mendapatkan hasil refer baik bilateral maupun
unilateral sebanyak 4 bayi (44,44%).
Tabel 1 . Pemeriksaan Emisi Otoakustik pada 31 bayi baru lahir dengan riwayat Asfiksi
Hasil emisi otoakustik n %
Pass Bilateral 15 48,39 %Refer Bilateral /Unilateral 16 51,61 %Total 31 100 %
Hasil emisi otoakustik n %
Pass Bilateral 5 55,56 %Refer Bilateral /Unilateral 4 44,44 %Total 9 100 %
Tabel 2 . Pemeriksaan Emisi Otoakustik pada 9 bayi baru lahir dengan riwayat Asfiksi disertai penyulit lain
DISKUSI
9
Gangguan pendengaran atau tuli sejak lahir akan menyebabkan gangguan perkembangan
bicara, bahasa, kognitif dan kemampuan akademik. Bila gangguan pendengaran dan ketulian
terlambat diketahui maka kesulitan yang akan dihadapi tentu akan lebih besar lagi.
Skrining pendengaran bertujuan menemukan kasus gangguan pendengaran / ketulian
sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi/ rehabilitasi segera, agar dampak cacat
dengar bisa dibatasi. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening)
dibedakan menjadi 2, yaitu : Universal Newborn Hearing Screening(UNHS) : pada semua bayi
baru lahir, sebelum bayi meninggalkan rumah sakit, serta Targeted Newborn Hearing Screening:
khusus pada bayi yang mempunyai faktor risiko terhadap ketulian. (Suwento, 2007). Skrining
pendengaran pada bayi baru lahir di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta baru dilakukan secara
Targeted Newborn Hearing Screening.
Dengan menemukan secara dini gangguan pendengaran pada bayi / anak, kesempatan
untuk memperoleh perkembangan linguistik dan komunikasi dapat lebih optimal
Menurut penelitian Yoshinaga – Itano (USA, 1998), bila gangguan pendengaran / ketulian sudah
diketahui sebelum usia 3 bulan, selanjutnya diberikan habilitasi pendengaran mulai usia 6 bulan,
maka pada saat anak berusia 3 tahun perkembangan wicara dan bahasanya dapat mendekati anak
yang pendengarannya normal. (Suwento, 2007).
Menurut American Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994 ) pada bayi usia 0
– 28 hari beberapa faktor berikut ini harus dicurigai terhadap kemungkinan gangguan
pendengaran: Riwayat keluarga dgn tuli kongenital ( sejak lahir), Infeksi pranatal : TORCH
( Toksoplasma, Rubela, Cytomegalo virus, Herpes ), Kelaianan anatomi pada kepala – leher,
Sindrom yg berhubungan dgn tuli congenital, Berat badan lahir rendah (BBLR) < 1500 gram,
10
Meningitis bakterialis, Hiperbilirubinemia ( bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar,
Asfiksia berat (lahir tidak menangis), Pemberian obat ototoksik, Mempergunakan alat bantu
napas /ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU). Bila dijumpai 1 faktor risiko terdapat
kemungkinan mengalami gangguan pendengaran 10,1 kali lebih besar dibandingkan yang tidak
memiliki faktor risiko. Kemungkinan terjadinya ketulian meningkat menjadi 63 kali bila terdapat
3 faktor risiko. Namun beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah bayi yang
mengalami ketulian hanya sekitar 40 - 50 % saja yang memiliki faktor risiko. (Suwento, 2007).
Pada penelitian ini, dititikberatkan pada bayi dengan riwayat asfiksia, dimana data dan penelitian
mengenai pemeriksaan serta gambaran OAE pada bayi dengan riwayat asfiksia belum banyak
ditemukan.
Skrining pendengaran terhadap kemungkinan gangguan pendengaran/ ketulian pada bayi
baru lahir, dengan menggunakan prinsip pemeriksaan elektrofisiologik. Pemeriksaan harus
bersifat obyektif, praktis, cepat otomatis dan non invasif. Menurut ketentuan dari American Joint
Committee of Infant Hearing (2000) baku emas (gold standart) untuk skrining pendengaran bayi
adalah pemeriksan : Oto Acoustic Emission ( OAE ) dan Automated BERA ( AABR ).
(Suwento, 2007).
Manfaat pemeriksaan OAE adalah untuk mengetahui apakah koklea berfungsi normal.
Telah diketahui bahwa koklea berperan sebagai organ sensor bunyi dari dunia luar. Didalam
koklea bunyi akan dipilah-pilah berdasarkan frekuensi masing, setelah proses ini maka bunyi
akan diteruskan ke sistim saraf pendengaran dan batang otak untuk selanjutnya di kirim ke otak
sehingga bunyi tsb dapat di persepsikan.OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap
stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel sel rambut luar (outer hair cells/ OHC’s ) koklea.
11
Kerusakan yang terjadi pada sel sel rambut luar - misalnya akibat infeksi virus, obat obat
ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju koklea – menyebabkan OHC’s tidak dapat
memproduksi OAE.
OAE adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif baru, berdasarkan prinsip
elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah,otomatis, non invasif, dengan sensitivitas
mendekati 100%. Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan statistik yang
menggunakan program komputer. Hasil pemeriksaan disajikan berdasarkan ketentuan pass –
refer criteria, maksudnya pass bila terdapat gelombang OAE dan refer bila tidak ditemukan
gelombang OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang cukup tenang sehingga
tidak memerlukan ruang kedap suara ( sound proof room). Juga tidak memerlukan obat penenang
(sedatif) asalkan bayi/ anak tidak terlalu banyak bergerak. Karena perjalanan stimulus bunyi
menuju koklea maupun emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang telinga harus
melewati telinga tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah
dalam kondisi normal dengan pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan
mengacaukan pemeriksaan OAE. Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu Spontan dan Evoked
OAE. Spontan OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia
memiliki Spontan OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE
yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi (1) Transient Evoked OAE (TEOAE)
dan (2) Distortion Product OAE (DPOAE). Skrining pendengaran pada bayi di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta adalah menggunakan Transient Evoked OAE (TEOAE).
Dari data yang berhasil diperoleh, didapatkan bayi baru lahir dengan riwayat asfiksia
yang dirawat selama periode Januari hingga Juni 2011 di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta adalah
12
sebanyak 131 bayi, dengan 40 bayi berhasil dilakukan pemeriksaan OAE ( 30,53%). Dari seluruh
bayi yang berhasil dilakukan pemeriksaan OAE, bayi yang terdiagnosis dengan asfiksia tanpa
penyulit lain sebanyak 31 bayi (77,50%), bayi yang terdiagnosis dengan asfiksia dengan1
penyulit lain yaitu BBLR sebanyak 9 bayi (22,50%). Sedikitnya jumlah bayi yang berhasil
dilakukan pemeriksaan OAE pada kasus ini adalah tidak terlepas dari tidak terpenuhinya syarat-
syarat untuk dapat dilakukan pemeriksaan OAE dengan valid, antara lain yaitu : liang telinga
luar tidak obstruksi, pasien kooperatif / tenang, lingkungan sekitar tenang. (Campbell, 2006).
Pada bayi dengan adanya serumen yang sulit dibersihkan, bayi yang sensitif dengan sentuhan
sehingga mudah menangis, serta lingkungan yang belum terjamin ketenangannya, maka akan
sulit dilakukan pemeriksaan OAE yang optimal.
Hasil pemeriksaan emisi otoakustik dari 31 bayi baru lahir dengan asfiksia tanpa penyulit
lain adalah bilateral pass yaitu sebanyak 15 bayi (48,38%), sedangkan yang mendapatkan hasil
refer baik bilateral maupun unilateral sebanyak 16 bayi (51,61%). Hasil pemeriksaan emisi
otoakustik dari 9 bayi baru lahir dengan asfiksia dengan1 penyulit lain(BBLR) adalah bilateral
pass yaitu sebanyak 5 bayi (55,55%), dan yang mendapatkan hasil refer baik bilateral maupun
unilateral sebanyak 4 bayi (44,44%). Dari hasil penelitian ini tampak tidak adanya perbedaan
yang mencolok dari gambaran OAE pada bayi dengan riwayat asfiksia antara yang pass maupun
yang refer.
Bayi yang tidak lulus skrining harus di rujuk untuk pemeriksaan audiologi lengkap
termasuk pemeriksaan OAE, ABR, timpanometri, refleks akustik dan behavioral Audiometry,
sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran pada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik.
Pemeriksaan harus diupayakan memperoleh ambang pendengaran masing masing frekuensi
13
( spesific frequency). Diagnostik pasti adanya gangguan pendengaran pada bayi idealnya pada
saat bayi berusia 3 bulan.
KESIMPULAN
Gambaran OAE pada bayi baru lahir dengan riwayat asfiksia tanpa penyulit lain yang
dirawat selama periode Januari hingga Juni 2011 di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta adalah 15
bayi (48,39%) bilateral pass dan 16 bayi (51,61%) adalah refer baik bilateral maupun unilateral,
sedangkan gambaran OAE pada bayi baru lahir dengan riwayat asfiksia dengan 1 penyulit lain
(BBLR) adalah 5 bayi (55,56%) bilateral pass dan 4 bayi (44,44%) refer baik bilateral maupun
unilateral.
14
Top Related