1
HAND OUT
FISIOLOGI MEMORI DAN PERILAKU
Untuk Mahasiswa Kedokteran UMY
Blok Kedokteran Jiwa
Oleh :
dr. Ratna Indriawati, M Kes
2
MEMORI
Tujuan Instruksional :
- Mahasiswa mengetahui tentang memori
- Mahasiswa mengetahui tentang bentuk-bentuk/jenis memori
- Mahasiswa mengetahui tentang factor-faktor yang berpengaruh terhadap
memori
- Mahasiswa mengetahui pusat-pusat memori
Definisi
Memori adalah suatu penyimpanan dan penahanan informasi
Bentuk-bentuk Memori
Memori dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu :
1. memori tersurat (explisit memory)
yang disebut sebagai memori deklaratif atau pengenalan (recognition).
Memori ini berhubungan dengan kesadaran yang tidak tergantung pada
retensi di hipokampus atau bagian lain lobus temporalis medial. Memori ini
dibagi menjadi :
a. episodik : ingatan akan peristiwa
b. semantik : ingatan akan kata-kata, peraturan, bahasa, dan lain-lain
2. memori tersirat (implisit memory)
Disebut juga memori non deklaratif atau refleksif.
Memori ini tidak berhubungan dengan kesadaran. Retensi biasanya tidak
berhubungan dengan pemrosesan di hipokampus. Yang termasuk memori ini
antara lain kemahiran melakukan sesuatu, kebiasaan dan refleks bersyarat.
Tetapi memori tersurat pada awalnya diperlukan untuk kegiatan seperti
3
mengendarai sepeda dan akan menjadi memori tersirat bila telah cukup
mahir.
a. nonassociative :
i. habituasi
adalah bentuk belajar sederhana dengan stimulus netral
diulang berkali-kali. Saat pertama kali diberikan, stimulus ini
bersifat baru dan mencetuskan suatu refleks. Bila stimulus
tersebut diulang-ulang, maka respon listrik yang
ditimbulkannya semakin kurang. Akhirnya subyek menjadi
terbiasa (habituasi) dengan stimulus tersebut dan
mengabaikannya.
ii. Sensitisasi
Stimulus berulang akan menimbulkan respon yang lebih kuat
apabila stimulus tersebut digabungkan dengan satu atau lebih
stimulus yang menyenangkan/tidak menyenangkan.
Contoh : Seorang ibu dapat tidur dalam lingkungan bising
tetapi terbangun saat bayinya menangis
b. associative :
i. classic conditioning
ii. operant conditioning
adalah salah satu bentuk pengondisian dengan hewan yang
dilatih untuk melaksanakan tugas untuk memperoleh suatu
hadiah atau menghindari hukuman (refleks penghindaran
bersyarat)
c. Ketrampilan dan kebiasaan (skill and habits)
d. Penyiapan (priming)
4
Memori eksplisit
Memori eksplisit merupakan suatu memori pengenalan. Ada hubungannya dengan
kesadaran dan sadar. Pengodean memori tersurat meliputi memeori kerja di lobus
frontalis dan pemrosesan yang khusus di hipokampus.
Tergantung dari cara penyimpanannya dalam hipokampus dan bagian-bagiannya,
misalnya : di bagian lobus temporalis medialis yang terbagi menjadi 2, yaitu :
- untuk kejadian-kejadian memori episodik
- untuk menyimpan kata-kata dan bahasa memori semantik
Memori eksplisit
- merupakan memori yang memerlukan aktivitas inisiasi (misalnya naik
sepeda, harus belajar dahulu supaya dapat mengendarainya)
- memori eksplisit dapat menjadi memori implisit jika aktivitas tersebut
sudah dipelajari.
Memori eksplisit dan beberapa memori implisit
1. Ingatan jangka pendek (Short-term memory )
Short-term memory tinggal dan akan hilang dalam beberapa detik
sampai jam, selama proses di hippocampus. Ingatan jangka pendek
kemungkinan disebabkan oleh :
- aktivitas saraf yang berkesinambungan
- fasilitasi atau inhibisi presinaptik
- potensiasi sinaptik
2. Ingatan jangka menengah (intermediate memory)
Ingatan yang berlangsung bermenit-menit bahkan berminggu-minggu.
5
Ingatan ini kadang-kadang akan hilang kecuali jika ingatan menjadi
permanent menjadi ingatan jangka panjang
Mekanisme molekuler pada ingatan intermediate
- mekanisme habituatif
o efek habituatif pada terminal sensorik terjadi akibat penutupan
progresif saluran kalsium di membrane terminal presinaptik
- mekanisme fasilitasi
o efek asosiasi neuron fasilitator yang terangsang pada saat yang
bersamaan dengan terangsangnya neuron sensorik menyebabkan
peningkatan sensitivitas perangsangan yang lama pada terminal
sensorik, yang menimbulkan jejak ingatan.
3. Ingatan jangka panjang (Long-term memory)
Long-term memory menyimpan memori tahunan, kadang-kadang
selama hidup
Ingatan jangka panjang merupakan hasil dari perubahan structural
pada sinaps-sinaps yang memperkuat atau menekan penghantaran
sinyal-sinyal.
Kemampuan structural dari sinaps-sinaps untuk menjalarkan sinyal
menjadi meningkat selama adanya jejak ingatan jangka panjang yang
sebenarnya.
Memori jangka panjang disimpan di beberapa bagian neokorteks.
Beberapa bagian ingatan-penglihatan, penghidu, pendengaran, dan lain-
lain-terletak di tiap-tiap daerah korteks yang berperan dalam fungsi-
fungsi ini, dan pecahan-pecahan ingatan tersebut akan disatukan oleh
perubahan jangka panjang dalam kuatnya penghantaran di hubungan
sinaps yang bersangkutan, sehingga semua komponen kea alam sadar
apabila memori tersebut diingat kembali. Sekali memori jangka panjang
6
telah dikukuhkan dapat diingat kembali atau diakses oleh berbagai
hubungan yang berbeda. Misalnya, memori suatu kejadian yang kuat
dapat dibangkitkan tidak hanya oleh kejadian yang sama tetapi juga
oleh suatu bunyi atau bau, kata-kata, melihat sesuatu yang
berhubungan dengan kejadian tersebut.
Harus ada beberapa jaras untuk setiap memori. Selain itu, banyak
memori memiliki komponenemosional atau “warna”. Memori dapat
menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Working memory :
semacam short-term memory yang menyimpan informasi dalam waktu yang
sangat pendek, sedangkan aktivitas tergantung dari hal tersebut. Memori kerja
mempertahankan informasi yang baru untuk beberapa saat sebelum menentukan
akan diapakan memori tersebut. Bentuk memori ini memungkikan kita untuk
mencari nomer telepon, kemudian mengingatnya selagi kita mengangkat telepon
dan memutar nomer telepon tadi.
Memori kerja terdiri atas :
pelaksana pusat : terdapat di korteks prefrontal
system pelatihan :
o system verbal : untuk mempertahankan memori verbal
o system visuospatial : untuk mempertahankan aspek visual dan
spatial suatu objek.
Hipokampus dan Lobus Temporalis Medial
Area untuk memori kerja melibatkan hipokampus dan bagian
parahipokampus korteks temporalis medial yang berdekatan. Kerusakan bilateral
hipokampus ventral, misal pada penyakit Alzheimer dan proses penyakit sejenis
7
yang merusak neuron-neuron CA1 menyebabkan gangguan ingatan jangka pendek
yang hebat. Manusia yang mengalami kerusakan seperti itu memiliki memori kerja
dan jangka panjang yang utuh. Proses memori tersirat umunya utuh. Dalam hal
ingatan yang disadari, mereka memperlihatkan kinerja yang adekuat bila mereka
berkonsentrasi pada apa yang mereka kerjakan. Tetapi bila mereka mengalihkan
perhatian walaupun sangat singkat, semua ingatan mengenai apa yang sedang dan
akan mereka kerjakan hilang. Dengan demikian, mereka mampu belajar hal-hal
baru dan mempertahankan ingatan jangka panjang pralesi, tetapi tidak dapat
membentuk ingatan jangka panjang baru.
Hubungan hipokampus ke diensefalon juga berperan dalam ingatan.
Beberapa pecandu alcohol dengan kerusakan otak mengalami gangguan ingatan
jangka pendek. Kehilangan daya ingat berhungan erat dengan perubahan patologik
di korpus mamilaris, yang memiliki hubunganeferen ke hipokampus melalui forniks.
Confabulation : orang ini kurang berhasil bila dilakukan uji ingatan, tetapi
akan secara spontan menceritakan hal-hal yang belum pernah terjadi. Keadaan ini
disebut juga “berbohong jujur” (“honest lying”). Confabulation terjadi oleh
karena kerusakan bagian ventromedial lobus frontalis.
Memori Implisit :
- Tidak tergantung kesadaran.
- Penyimpanannya tidak ada hubungannya dengan proses di dalam hipokampus
- Sekali didapat/diperoleh menjadi sadar dan akan secara otomatis.
Hal ini merupakan priming/utama, yang memudahkan mengingat kata-kata atau
obyek dengan ada pemaparan sebelumnya, contoh : mengingat kata-kata dengan
menunjukkan beberapa huruf, huruf depannya.
Nonassocitive learning
8
mempelajari tentang satu macam rangsang
associtive learning
mempelajari tentang hubungan satu rangsang dengan rangsang lain
Habitual dan Sensitisasi
Habitual
Suatu bentuk pembelajaran sederhana, dengan diberi rangsang sederhana
dan diulang berkali-kali. Rangsang pertama merupakan pemicu dan timbul reaksi
dan memberikan jawaban semakin kurang.Akhirnya orang tersebut menjadi biasa
terhadap rangsang dan mengabaikannya.
Sensitisasi
Rangsang yang berkali-kali memberikan jawaban makin besar, rangsang
beberapa kali yang dapat berbentuk menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Contoh : seorang ibu tetap tidur dengan suara bermacam-macam dari
lingkungannya, tetapi akan segera bangun mendengar bayinya menangis.
Refleks conditioning
Suatu refleks yang jawabannya terhadap rangsang sebelumnya sangat kecil
atau tidak ada jawaban. Jawaban dapat dicapai dengan memberikan rangsang
yang berulang dan dengan bersama rangsang lain yang biasanya menghasilkan
jawaban.
Contoh ;
Percobaan Pavlov :
Saliva disekresi bila daging di mulut anjing. Bel dibunyikan dekat sebelum
daging dimasukkan ke dalam mulut anjing dan hal ini diulang berkali-kali sampai
9
anjing mengeluarkan saliva dengan adanya suara bel, walaupun tanpa ada daging
yang diberikan.
Unconditioned stimulus (US) : daging dalam mulut
conditioned stimulus (CS) : bunyi bel
Setelah CS dan US dijalankan berkali-kali, CS kan memberikan jawaban yang
asalnya hanya akibat ditimbulkan oleh US
Jika CS diberikan berkali-kali tanpa US, refleks kondision hilang internal
inhibition
Jika hewan coba diganggu oleh rangsang eksternal segera setelah CS diberikan,
jawaban kondision tidak akan terjadi eksternal inhibition
Operant conditioning
Bentuk kondision yang jika hewan coba diberi pelajaran untuk melakukan
sesuatu pelajaran agar supaya dapat mendapatkan pujian atau tidak mendapat
hukuman.
US adalah keadaan yang senang atau tidak senang.
CS adalah tanda untuk hewan coba untuk mengerjakan pekerjaannya.
Memori transfer interkorteks
Jika kucing atau kera dibuat untuk menjawab satu rangsang visual dengan
satu mata tertutup dan kemudian diberi rangsang pada mata yang ditutup
transfer ke satu matanya jawaban kondision.
Hal ini dapat terjadi walaupun chiasma di potong rangsang sebelah mata akan
diteruskan ipsilateral.
Penyakit Alzheimer dan Demensia Senilis
10
Penyakit Alzheimer ditandai oleh hiloangnya memori jangka pendek secara
progresif diikuti oleh hilangnya fungsi kognitif umum dan kematian pada usia
pertengahan.Umumnya kasus ini sporadic tetapi ada juga yang familial. Penyakit
ini merupakan penyebab 50-60% kasus demensia senilis. Perubahan-perubahan
dini pada penyakit Alzheimer antara lain atrofi hipokampus dan korteks
entorhinal.Penurunan jumlah neuron nkolinergik dan neuron lain di korteks
serebrum, dan terjadi pengurangan sejumlah besar neuron kolinergik di nucleus
basalis Meynert dan nucleus terkait lainnya yang mengandung bahan-bahan sel
neuron kolinergik yang berproyeksi di hipokampus, amigdala dan semua
neokorteks. Pada penyakit Alzheimer , kadang-kadang dapat terjadi perbaikan
kecil yang bersifat sementara dengan pemberian obat-obatan yang bekerja di
pusat yang menghambat asetilkolinesterase sehingga menurunkan penguraian
asetilkolin, tetapi pengobatan ini tidak memiliki efek pada proses degeneratif
yang mendasari.
Penyebab degerasi saraf pada penyakit Alzheimer masih belum jelas. Tanda
sitopatologi utama penyakit ini adalah kekusutan neurofibril intrasel, yang
sebagian terdiri dari bentuk hiperfosforilasi protein atau yang biasanya
berikatan dengan mikrotubul dan endapan (plaque) senilis ekstrasel, berinti β-
amiloid (A β) yang dibungkus oleh serat-serat saraf yang berubah dan sel glia
reaktif.
11
12
FISIOLOGI TINGKAH LAKU
(Hand Out)
Ratna Indriawati
FUNGSI OTAK DALAM TINGKAH LAKU : SISTEM LIMBIK DAN PERANAN
HIPOTALAMUS
Tingkah laku adalah fungsi seluruh system saraf. Fungsi saraf terutama
dilakukan oleh struktur subkortikal yang terletak di daerah basal otak. Seluruh
system otak ini disebut system limbik. Bagian-bagian system limbic, terutama
hipotalamus dan struktur-struktur yang berhubungan, mengatur banyak fungsi
internal tubuh, seperti suhu tubuh, osmolalitas cairan tubuh dan berat badan.
Fungsi ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif.
Peranan Sistem limbik dalam emosi dan perilaku
Sistem limbic bukanlah suatu struktur tersendiri tetapi mengacu pada
struktur-struktur otak depan yang mengelilingi batang otak dan dihubungkan satu
sama lain oleh jalur-jalur saraf yang rumit. Sistem ini meliputi bagian dari :
lobus-lobus korteks serebrum
nucleus basalis
thalamus
hipotalamus
Jaringan interaktif yang kompleks ini berkaitan dengan :
13
emosi
pola-pola perilaku sosioseksual dan kelangsungan hidup dasar
motivasi
belajar
EMOSI
Konsep emosi mencakup perasaan emosional subyektif dan suasana hati
(misalnya rasa marah, rasa takut,dan kebahagiaan) dan respon fisik nyata yang
berkaitan dengan perasaan tersebut. Respon-respon tersebut mencakup pola-pola
perilaku spesifik (misalnya persiapan menyerang atau bertahan jika dibuat marah
oleh musuh) dan ekspresi emosional yang dapat diamati (misalnya tertawa,
menangis, atau tersipu). Bukti menunjukkan bahwa system limbic berperan
sentral dalam semua aspek emosi.
Stimulasi daerah-daerah tertentu di dalam system limbic manusia selama
pembedahan otak menimbulkan berbagai sensasi subyektif yang tidak jelas, yang
diutarakan pasien sebagai rasa senang, kepuasan atau kenikmatan di satu daerah
serta keputusasaan, ketakutan atau kecemasan di bagian lain.
POLA-POLA PERILAKU
Pola-pola perilaku yang dikontrol oleh system limbic mencakup pola-pola
yang ditujukan bagi kelangsungan hidap individu (misalnya menyerang, mencari
makanan) dan yang diarahkan untuk kesinambungan species ( perilaku sosioseksual
yang konduksif untuk perkawinan). Hubungan antara hipotalamus, system lmbik
dan daerah-daerah kortikal yang lebih tinggi berkenaan dengan emosi dan
perilaku masih belum dipahami dengan jelas. Tampaknya keterlibatan hipotalamus
yang luas pada system limbic bertanggung jawab terhadap respon-respon nternal
involunter berbagai system tubuh dalam mempersiapkan tindakan yang sesuai
untuk menyertai keadaan emosional tertentu. Sebagai contoh : peningkatan
14
frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan darah
dan peningkatan aliran darah ke otot-otot rangka sebagai antisipasi serangan
sewaktu marah, dikontrol oleh hipotalamus. Perubahan keadaan internal sebagai
persiapan tersebut tidak memerlukan control kesadaran.
Dalam melaksanakan aktivitas perilaku yang kompleks misalnya menyerang,
berkelahi, atau bersetubuh, individu harus berinteraksi dengan lingkungan
eksternal. Mekanisme-mekanisme korteks yang lebih tinggi ikut berperan dalam
menghubungkan system limbic dan hipotalamus ke dunia luar, sehingga
manifestasi perilakunya sesuai. Pada tingkat yang paling sederhana, korteks
menyediakan mekanisme-mekanisme saraf yang perlu untuk implementasi
aktivitas rangka otot yang sesuai yang dibutuhkan untuk mendekati atau
menghindari musuh, berpartisipasi dalam aktivitas seksual, ekspresi emosi.
Sebagai contoh, gerakan stereotipik untuk ekspresi manusia yang universal, yaitu
tersenyum, diprogramkan di koetrks dan dipanggil seterusnya oleh system limbic.
Seseorang juga dapat secara volunteer memanggil program tersenyum, misalnya
sewaktu berpose untuk difoto. Bahkan individu yang sejak lahir memiliki ekspresi
wajah yang normal.
Pada manusia, korteks sangat penting untuk kesadaran akan perasaan-
perasaan emosional. Korteks juga dapat memperkuat, memodifikasi atau menekan
respon-respon perilaku dasar, sehingga tindakan dapat dipandu dengan
perencanaan, strategi, dan penilaian yang didasarkan atas pemahaman mengenai
keadaan. Sebagai contoh, apabila Anda marah kepada seseorang dan tubuh Anda
secara internal bersiap untuk menyerang, Anda mungkin akan menilai bahwa
serangan akan kurang sesuai dan secara sadar menekannya. Korteks, terutama
daerah asosiasi prafrontalis dan limbic, penting dalam control terhadap pola-pola
perilaku berpembawaan halus yang dipelajari secara sadar.
15
Individu cenderung memeperkuat perilaku-perilaku yang telah terbukti
memberi kepuasan dan menekan perilaku yang berkaitan dengan pengalaman yang
tidak menyenangkan. Daerah-derah tertentu di sistim limbik diberi nama pusat-
pusat “penghargaan dan “hukuman” karena stimulasi di daerah yang
bersangkutan masing-masing menimbulkan rasa enak dan tidak enak. Pusat-pusat
penghargaan dijumpai terutama di daerah-daerah yang berperan dalam aktivitas-
aktivitas perilaku yang bermotivasi tinggi, yaitu makan, minum dan aktivitas
seksual.
MOTIVASI
Motivasi adalah kemampuan untuk mengarahkan perilaku ke tujuan spesifik.
Sebagian dari perilaku yang diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut ditujukan
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisik spesifik berkaitan dengan
homeostasis. Dorongan homeostasis mencerminkan keinginan subyektif berkaitan
dengan kebutuhan tubuh spesifik yang memotivasi perilaku yang sesuai untuk
memuaskan kebutuhan tersebut. Sebagai contoh, sensasi haus yang menyertai
deficit air di dalam tubuh mendorong individu minum untuk memuaskan kebutuhan
homeostasis akan air. Namun apakah air, minuman ringan atau minuman lain yang
dipilih sebagai penghilang rasa haus tidaklah berkaitan dengan homeostasis.
Banyak perilaku manusia yang tidak dipengaruhi homeostasis murni yang
berkaitan dengan deficit jaringan sederhana seperti rasa haus, tetapi
dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kebiasaan. Dengan demikian, perilaku
manusia dibentuk dalam suatu jalinan kompleks kepuasan pribadi unik (khas)
bercampur dengan kebudayaan yang diharapkan. Masih belum dimengerti sampai
seberapa jauh, jika ada, dorongan motivasi yang tidak berkaitan dengan
16
homeostasis, misalnya dorongan untuk mencapai karier tertentu atau
memenangkan lomba tertentu, terlibat dalam memperkuat efek pusat-pusat
penghargaan dan hukuman. Memang, sebagian individu yang termotivasi mencapai
tujusn tertentu bahkan secara sengaja “menghukum” diri sendiri dalam jangka
waktu pendek untuk mencapai kepuasan jangka panjang (misalnya, nyeri
sementara yang menyertai latihan dalam persiapan untuk memenangkan suatu
kompetisi atletik).,
Norepinefrin, dopamine dan serotonin berfungsi sebagai neurotrnsmiter di
jalur-jalur dorongan perilaku dan emosi.
Mekanisme-mekanisme neurofisiologi mendasar yang bertanggung jawab
terhadap observasi psikologis dorongan perilaku dan emosi sebagian besar masih
berupa misteri, walaupun neurotransmitter norepinefrin, dopamine dan serotonin
dianggap berperan. Norepinefrin dan dopamine secara kimiawi diklasifikasikan
sebagai katekolamin, dikenal sebagai zat perantara di daerah-daerah yang
menghasilkan kecepatan tertinggi stimulasi diri (self-stimulation). Sejumlah obat
mempengruhi suasana hati (mood).
Sebagian kasus, efektifitas berbagai obat dalam mengobati suatu kelainan
spesifik memberikan petunjuk penting mengenai defek biokimiawi mendasar yang
bertanggungjawab terhadap keadaan tersebut.Misalnya, terdapat dua rangkaian
biokimiwi yang mengisyaratkan bahwa skizofrenia, suatu gangguan mental yang
dicirikan oleh dilusi dan halusinasi berlebihan, mungkin terjadi akibat transmisi
dopamine yang berlebihan. Kedua, obat-obat yang meningkatkan aktivitas
dopamine dapat menginduksi timbulnya gejala-gejala mirip dengan yang dijumpai
pada penderita skizofrenia. Penelitian-penelitian mengidentifikasikan daerah-
daerah di otak yang secara ekstensif menggunakan dopamine sebagai
17
neurotransmitter adalah jaringan saraf yang berhubungan dengan system limbic.
Karena system limbic secara luas berperan dalam emosi dan dalam mencetuskan
perilaku yang sesuai dengan keadaan lingkungan-yaitu fungsi-fungsi abnormal
pada pasien skizofrenia-diperkirakan bahwa jaringan tersebut mungkin
merupakan tempat defektif pada skizofrenia.
Mekanisme molekuler gangguan mental lain sekarang juga mulai terkuak
melalui bukti farmakologis serupa. Sebagai contoh, defisiensi fungsional
serotonin atau norepinefrin atau keduanya diperkirakan berperan pada depresi.
Obat anti depresan yang efektif meningkatkan konsentrasi neurotransmitter di
system saraf pusat. Serotonin dan norepinefrin adalah zat perantara sinaps di
daerah-daerah otak yang terlibat dalam kenikmatan dan motivasi
mengisyaratkan bahwa rasa sedih yang meresap dan tidak adanya keinginan (tidak
ada motivasi) pada pasien depresi paling tidak sebagian berkaitan dengan
gangguan di daerah-daerah yang bersangkutan akibat defisiensi atau penurunan
efektivitas kedua neuron tersebut.
EFEK PSIKOSOMATIK HIPOTALAMUS DAN SISTEM PENGAKTIVASI
RETIKULARIS
Fungsi abnormal di dalam susunan saraf pusat sering dapat menimbulkan
disfungsi berat pada berbagai organ somatic tubuh. Caranya antara lain melalui :
Penghantaran efek psikosomatik melalui susunan saraf otonom
Banyak kelainan psikosomatik disebabkan oleh hiperaktivitas system
saraf simpatis atau parasimpatis.
Efek hiperaktivitas simpatis antara lain adalah :
Meningkatnya frekuensi denyut jantung-kadang-kadang
dengan palpitasi jantung
18
Meningkatnya tekanan darah arteri
Konstipasi
Meningkatnya laju metabolic
Isyarat parasimpatis mungkin lebih bersifat setempat. Misalnya,
isyarat yang dihantarkan ke daerah spesifik di dalam nucleus
motoris dorsalis nervus vagus dapat menyebabkan antara lain :
Peningkatan atau penurunan frekuensi jantung dan
palpitasi jantung
Spasme eosophagus
Peningkatan peristaltic tractus gastrointestinal
Peningkatan hiperasiditas lambung
Perangsangan daerah sacral system parasimpatis mungkin
menyebabkan sekresi kelenjar kolon dan peristaltic yang luar biasa,
dapat menyebabkan diare. Pola emosi yang mengatur pusat simpatis
dan parasimpatis di hypothalamus dapat menyebabkan berbagai efek
psikosomatik.
19
20
21
Efek Psikosomatik yang dihantarkan melalui kelenjar hipofisis anterior
22
Rangsangan listrik pada hipotalamus posterior meningkatkan sekresi
kortikotropin oleh kelenjar hipofisis anterior sehingga secara tidak
langsung meningkatkan pengeluaran hormone korteks adrenal. Salah
satu efeknya adalah peningkatan hiperasiditas lambung secara
berangsung-angsur karena efek glukokortikoid pada sekresi lambung.
Setelah jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ulkus peptikum,
yang merupakan salah satu efek hipersekresi korteks adrenal.
Begitu pula, kegiatan hipotalamus anterior meningkatkan sekresi
tirotropin oleh hipofisis, menyebabkan peningkatan pengeluaran
tiroksin dan menimbulkan peningkatan metabolisme basal. Telah
diketahui bahwa, berbagai gangguan emosi dapat menimbulkan
tirotoksikosis.Hal ini mungkin akibat aktivitas yang berlebihan di
dalam hipofisis anterior.
Oleh karena itu, dari contoh-contoh di atas jelas bahwa
banyak macam penyakit psikosomatik tubuh dapat disebabkan oleh
pengaturan abnormal pada sekresi hipofisis anterior.
FUNGSI AMIGDALA
Amigdala merupakan kompleks nucleus yang terletak tepat di bawah
permukaan medial korteks serebri di kutub tiap lobus temporalis.
Amigdala menerima impuls dari semua bagian korteks limbic, dari
permukaan orbital lobus frontalis, dari girus singuli dan dari girus
hipokampus. Amigdala mengirimkan isyarat ke :
1. kembali ke daerah korteks yang sama
2. ke dalam hipokampus
3. ke dalam septum
4. ke dalam thalamus
23
5. terutama ke dalam hipotalamus
Efek perangsangan Amigdala
Pada umumnya peranhgsdangan amigdala dapat menyebabkan hamper
semua efek sama seperti yang timbul oleh perangsangan hipotalamus,
ditambah efek lainnya meliputi :
1. gerakan tonik, seperti mengangkat kepala atau
membungkukkan badan
2. gerakan berputar-putar
3. kadang-kadang gerakan klonik berirama
4. berbagai jenis gerakan yang berhubungan dengan
penghiduan dan makan, seperti menjilat, mengunyah dan
menelan
Perangsangan nucleus amigdala tertentu kadang-kadang dapat
menyebabkan suatu pola kemarahan, melarikan diri, hukuman dan
nyeri yang mirip pola afektif defensive yang dibangkitkan dari
hipotalamus. Perangsangan nucleus lain dapat memberikan reaksi
ganjaran dan kesenangan. Eksitasi bagian amigdala lain dapat
menyebabkan kegiatan seksual yang meliputi ereksi, gerakan
kopulasi, ejakulasi, ovulasi, kegiatan uterus dan partus premature.
Singkatnya, perangsangan bagian nucleus amigdala yang tepat
dapat memberikan hampir setiap pola tingkah laku. Fungsi normal
amigdala adalah membantu mengatur seluruh pola tingkah laku yang
diperlukan untuk tiap kejadian social dan lingkungan.
FUNGSI HIPOKAMPUS
Hipokampus merupakan suatu strukturmemnjang yang terdiri dari suatu
modifikasi korteks serebri. Salah satu ujung hipokampus berbatasan dengan
24
nucleus amigdala, ia juga bersatu sepanjang salah satu tepinya dengan girus
hipokampus , yang merupakan korteks permukaan ventromedial lobus temporalis.
Hipokampus mempunyai banyak hubungan dengan hamper semua bagian system
limbic, terutama meliputi amigdala, girus hipokampus, girus singuli, hipotalamus,
dan daerah-daerah lain yang berhubungan erat dengan hipotalamus.
Salah satu efek yang paling menarik dari perangsangan hipokampus pada
manusia yang sadar adalah segera hilangnya hubungan dengan orang lain dengan
siapa ia mungkin berbicara; yang menunjukkan juga bahwa hipokampus dapat
memegang peranan dalam menentukan perhatian seseorang.
Suatu segu khusus dari hipokampus adalah perangsangan lstrik yang lemah
dapat menyebabkan serangan epilepsy setempat di daerah ini. Kejang ini
menyebabkan berbagai efek psikomotor yang meliputi halusinasi olfaktorius,
visual, auditorius, taktil dan jenis halusinasi lainnya yang tidak dapat
dikemdalikan meskipun orang tersebut tidak kehilangan kesadaran dan meskipun
ia mengetahui bahwa halusoinasi tersebut tidak menurut kenyataan.
FUNGSI KORTEKS LIMBIK
Mungkin bagian yang kurang dimengertiu dari seluruh system limbic adalah
korteks limbic. Korteks limbic merupakan salah satu bagain tertua diantara
semua bagain korteks serebri. Ia memegang peranan penting dalam berbegai
fenomena olfaktorius, gustatorius, dan pemberian makanan pada hewan. Tetapi
pada manusia, fungsi korteks limbic kurang penting. Malahan korteks limbic
manusia dipercaya menjadi korteks asosiasi serebral untuk mengatur pusat-pusat
yang lebih rendah yang terutama berhubungandengan tingkah laku.
KECEMASAN
25
Kecemasan merupakan sinyal yang menyadarkan sesorang akan adanya bahaya
yang mengancam dan memungkinkan sesorang mengambil tindakan guna mengatasi
ancaman tersebut.Secara subyektif kecemasan merupakan perasaan yang tidak
menyenangkan dan tidak pula nyaman, sehingga sedapatnya perasaan tersebut
inginnya dengan secepat-cepatnya dihalaukan.
Secara obyektif kecemasan merupakan suatu pola psikobiologik yang mempunyai
fungsi pemberitahuan (alarm) akan adanya bahaya, sehingga membutuhkan
perencanaan tindakan yang efektif dalam bentuk usaha penyesuaian diri terhadap
trauma psikik, psikis dan juga terhadap konflik.
Pada umumnya kecemasan merupakan fenomena normal dalam mengiringi proses
pertumbuhan dan perkembangan, terutama dalam menghadapi sekaligus
mengatasi dan mengantisipaasi pengalaman-pengalaman baru yang sebelumnya
tak pernah dihadapi.Tingkat kecemasan mempunyai rentang kesakitan, dari
tingkat kecemasan yang normal sampai dengan derajat kecemasan yang patologis
( gangguan cemas ), dengan berbagai gangguan pada sistem urogenital,
kardiovaskuler, gastrointestinal, respiratorius, muskuloskeleal, dan gangguan
psikologis seperti misalnya perasaan akan pingsan, takut akan menjadi gila,
derealisasi dan depersonalisasi.
Gangguan cemas (anxietas) adalah gangguan mental yang tidak mempunyai dasar
gangguan organik . Pasien dengan gangguan cemas masih memahami bahwa dirinya
terganggu / sakit, yang artinya pasien gangguan cemas masih mempunyai tilikan
(insight) yang setidak-tidaknya yang bersangkutan masih menyadari bahwa
dirinya terganggu Beda halnya dengan gangguan psikotik ,gangguan cemas(
neurosis ) mempunyai daya nilai realitas yang baik.
26
DEPRESI
A.Noradrenergic Transmision
27
SKIZOFRENIA
28
29
ASPEK NEUROFISIOLOGI GANGGUAN DEPRESI
Dr. Ratna Indriawati, M Kes
Pendahuluan
Stres kronik juga dapat meningkatkan sintesis autoreseptor 5 HTIA di
nukleus rafe dorsalis yang selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Dalam
keadaan stres kronik, glukokortikoid akan meningkat dan cenderung
meningkatkan fungsi serotonin, Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik
yang lazim terdapat dalam populasi. Insidensi depresi terdapat sekitar 5 % dari
populasi. Hanya sepertiga orang dengan gangguan depresi yang berobat, hal ini
dikarenakan selain tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan juga dikarenakan
gangguan ini dianggap suatu defisiensi moral yang dirasa memalukan dan harus
disembunyikan. Depresi merupakan satu bentuk gangguan mood (gangguan
afektif) dan lebih bersifat sindrom, yang terdiri dari sekumpulan gejala.
Kumpulan gejala depresi adalah 1. gangguan vegetatif seperti tidur, nafsu makan,
berat badan dan dorongan seksual; 2. gambaran kognitif, seperti perhatian,
toleransi terhadap frustrasi, memori, distorsi negatif; 3. kontrol impuls misalnya
pembunuhan, bunuh diri; 4. gambaran perilaku, misalnya motivasi, perasaan senang,
minat, kelelahan dan 5. gambaran fisik (somatik) misalnya nyeri kepala, nyeri
perut dan tegang otot. (1,2).
Beberapa faktor risiko terjadinya gangguan depresi berat diantaranya
wanita dua kali dibanding pria, usia awitan 20-40 tahun, riwayat keluarga positif
depresi berisiko 1,5 – 3 kali, status marital misalnya pasangan yang berpisah atau
cerai, wanita yang kawin , pria yang tidak kawin dan wanita post partum (1)
Pasien depresi yang tidak diobati memiliki konsekwensi biaya tersembunyi
(hidden cost), misalnya bunuh diri, kecelakaan fatal akibat gangguan konsentrasi,
kematian dikarenakan penyakit akibat penyalahgunaan alkohol, kehilangan
30
pekerjaan, gagal melanjutkan sekolah, penyalahgunaan obat, disharmoni keluarga,
penurunan produktivitas, kecelakaan akibat kerja dan sebagainya. (1)
Faktor biologik
Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor ialah
faktor biologik, genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan. (3,4)
Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin
biogenik, misalnya 5 hydroxy indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA)
dan 5-hydroxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) dalam darah, urine dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Dari laporan data tersebut sangat
konsisten dengan hipotesis, bahwa gangguan mood berkaitan dengan disregulasi
heterogen amin biogenik. Di antara amin biogenik tersebut norepinefrin dan
serotonin merupakan neurotransmiter yang paling terlibat pada patofisiologi
gangguan mood. Tapi ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa dopamin terlibat
pada gangguan tersebut. Selain amin biogenik, terdapat teori yang mengatakan
keterlibatan regulasi endokrin dan faktor-faktor neurokimiawi lainnya misalnya
asetilkolin, gama amino butyric acid (GABA), melatonin, glisin, histamin, tiroid,
hormon adrenal dan neuropeptid (3,4,5)
Norepinefrin
Diduga, bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi. Hal
ini berdasarkan studi ilmu dasar yang mengkaitkan adanya down regulation
reseptor β adrenergik dengan respon klinik terhadap antidepresan. Neuron
noradrenergik mempunyai badan sel (cell body) sebagian besar di batang otak
yang disebut locus ceruleus. Fungsi utama locus ceruleus adalah menentukan
apakah perhatian bisa terfokus pada lingkungan eksternal dan memantau
lingkungan internal tubuh. Norepinefrin dan locus ceruleus diduga memberi input
31
penting pada kontrol sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi,
gerakan dan tekanan darah. Malfungsi locus ceruleus diduga mendasari gangguan
mood dan kognisi seperti depresi, cemas, gangguan perhatian dan pemrosesan
informasi. Sindroma defisiensi norepinefrin secara teoritis ditandai dengan
hendaya perhatian, gangguan konsentrasi, gangguan working memory, gangguan
pemrosesan informasi, retardasi psikomotor, kelelahan, apatis dan penurunan
libido. Gejala-gejala tersebut sering menyertai depresi seperti juga menyertai
gangguan perhatian, kognisi, skizofrenia dan sebagainya (1,6). Bukti lain
menunjukkan, bahwa pada depresi terjadi aktivasi terhadap reseptor presinaptik
β2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan norepinefrin. Peran norepinefrin ini
didukung dengan efektifnya, paling tidak untuk beberapa gejala, obat yang
bekerja pada sistem norepinefrin misalnya venlafaxin (3)
Serotonin
Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
untuk mengobati depresi, serotonin menjadi satu neurotransmiter penting
berkaitan dengan gangguan ini. Selain SSRI dan serotonergik antidepresan
efektif, data lain menunjukkan, bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi
depresi. Kekurangan serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien dengan
impulsivitas bunuh diri memiliki kadar metabolit serotonin rendah (1,3).
Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada
area yang dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi
neuron ke bagian lain otak dan di luar otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga
penting dalam pengaturan mood. Proyeksi ke basal ganglia berperan pada gerakan
seperti obsesi dan kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik terlibat pada keadaan
cemas dan panik. Proyeksi ke hipotalamus mengatur selera serta perilaku makan.
Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak mengatur tidur terutama tidur
32
stadium 3 dan 4 (slow wave sleep). Proyeksi serotonergik ke bawah ke medula
spinalis diduga bertanggung jawab terhadap refleks spinalis, bagian dari reseptor
seksual seperti orgasme dan ejakulasi. Terdapat zona “pacuan” di batang otak
yang dapat memediasi muntah. Juga terdapat reseptor perifer di sistem
gastrointestinal yang mengatur fungsi gastrointestinal misalnya gerakan usus.
Defisiensi serotonin mengakibatkan satu sindrom yang meliputi mood depresi,
anxietas, panik, fobia, obsesi-kompulsi dan bulimia. (1)
Terdapat bukti, bahwa neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau
dikontrol faktor genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stres akut
terjadi peningkatan serotonin sementara, dalam keadaan stres kronik
menyebabkan penurunan aktivitas serotonin dan penyimpanan serotonin. sehingga
mempunyai efek kompensasi yang bermakna. (1,6)
Dopamin
Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin dan
norepinefrin, namun dopamin juga diduga mempunyai peran pada gangguan ini.
Data menunjukkan, bahwa dopamin menurun pada depresi sedangkan pada mania
meningkat. Obat-obat yang menurunkan kadar dopamin, misalnya reserpin dan
penyakit dengan penurunan dopamin, misalnya Parkinson, berkaitan dengan gejala
depresi. Sebaliknya obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin, misalnya tirosin,
amfetamin mengurangi gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan
depresi mengatakan bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi, dan
reseptor dopamin tipe D1 mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan aktivitas
lintasan mesolimbik dan mesokorteks pada depresi menggangu fungsi kognitif,
motorik dan hedonia (3,6)
Faktor neurokimiawi lain
33
Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmiter asam amino
(terutama gamma-amino butyric acid – GABA) dan peptida neuroaktif (terutama
vasopressin dan opiat endogen) dikatakan berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem second messenger seperti
adenylate cyclase, phosphotidylinositol dan kalsium dapat terlibat secara kausal.
Asam amino glutamat dan glisin, yang merupakan neurotransmiter eksitatori
utama dalam susunan saraf pusat terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-
methyl–D– aspartate (NMDA), dalam keadaan berlebihan mempunyai efek toksik.
Hipokampus memiliki banyak (konsentrasi tinggi) reseptor NMDA, sehingga dalam
keadaan dimana orang mengalami stres kronik akan terjadi efek neurokognitif,
karena dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat bukti juga, bahwa obat yang
bekerja antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti depresan. (3)
Regulasi neuroendokrin
Salah satu organ penting dalam otak, yaitu hipotalamus merupakan pusat
regulasi aksis neuroendokrin. Ia memperoleh input neuronal yang melibatkan
neurotransmiter amin biogenik. Berbagai gangguan neuroendokrin telah
dilaporkan pada pasien-pasien gangguan mood , dan gangguan regulasi aksis
neuroendokrin dapat diakibatkan oleh fungsi abnormal neuron-neuron yang
mengandung amin biogenik. Aksis neuroendokrin utama yang terlibat di sini adalah
aksis hormon adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. (3)
Aksis adrenal
Peran kortisol. Seperti sudah kita ketahui, teori lama mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara hipersekresi kortisol dengan depresi. Sekitar 50 %
penderita depresi memiliki peningkatan kadar kortisol. Neuron dalam nukleus
paraventrikuler (PVN) hipotalamus melepaskan corticotropin – releasing
hormon (CRH); hormon ini merangsang pelepasan adrenocorticotrophic hormon
34
(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH dilepas bersama dengan β – endorphin
dan β–lipotropin, dua peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama
dengan sintesisnya ACTH. ACTH merangsang pelepasan kortisol korteks
adrenal. Mekanisme balik kortisol bekerja dengan cara paling tidak melalui 2
mekanisme. Mekanisme balik cepat : sensitif terhadap peningkatan kadar
kortisol, bekerja melalui reseptor kortisol hipokampus dan menurunkan
pelepasan ACTH. Mekanisme lambat : sensitif terhadap kadar stabil kortisol,
mekanismenya diduga lewat reseptor hipofisis dan adrenal. (3)
Aksis tiroid
Gangguan tiroid ditemukan pada sekitar 5 – 10 % pasien depresi. Implikasi
klinis dari kaitan ini adalah pentingnya penentuan status tiroid pada pasien
depresi. Sekitar sepertiga pasien gangguan depresi berat memperlihatkan
pelepasan lambat (tumpul) tirotropin (TSH) terhadap infus protirelin (suatu
thyrotropin releasing hormone). Tapi abnormalitas ini terdapat juga pada
gangguan psikiatrik lain, sehingga kemanfaatan diagnostiknya terbatas.(3)
Hormon pertumbuhan
Beberapa studi menunjukkan perbedaan statistik antara pasien depresi
dengan lainnya dalam hal pelepasan hormon pertumbuhan. Somatostatin
menghambat GABA, ACTH dan TSH. Kadar somatostatin lebih rendah pada
cairan serebrospinal orang depresi dibandingkan dengan orang skizofrenia
atau orang normal, dan kadarnya meningkat pada orang dengan mania.
Pelepasan prolaktin dari hipofisis dirangsang oleh serotonin dan dihambat oleh
dopamin. Pada depresi tidak ditemukan abnormalitas bermakna sekresi
prolaktin. (3)
35
Abnormalitas tidur
Masalah tidur – initial and terminal insomnia, sering terbangun,
hipersomnia- merupakan gejala klasik depresi. Telah lama diketahui, bahwa
gambaran EEG tidur orang depresi memperlihatkan abnormalitas, yang lazim
adalah delayed sleep onset, pemendekan latensi REM (rapid eyes movement) ,
periode REM pertama memanjang, tidur delta abnormal. EEG tidur ini sering
dipakai oleh para peneliti dalam asesmen diagnostik pasien dengan gangguan mood
(3)
Neurofisiologi
Gejala-gejala gangguan mood dan studi biologik menunjukkan, bahwa pada
gangguan mood terdapat gangguan pada sistem limbik, hipotalamus dan basal
ganglia. Orang yang mengalami gangguan neurologik basal ganglia dan sistem
limbik tampaknya mengalami gejala-gejala depresi. Sistem limbik dan basal
ganglia merupakan dua organ yang saling terkait erat. Sistem limbik mempunyai
peran penting pada munculnya emosi. Adanya disfungsi hipotalamus pada depresi
ditunjukkan dengan adanya perubahan tidur, napsu makan, perilaku seksual,
perubahan-perubahan endokrin dan immunologik. Gejala lain depresi, seperti
postur bungkuk, perlambatan motorik dan hendaya kognitif minor mirip dengan
tanda orang dengan gangguan basal ganglia, misalnya Parkinson. (3)
Hipotesis monoamin ekspresi gen
Walaupun teori defisiensi monoamin sudah begitu sering dikemukakan
berkaiatan terjadinya depresi, namun sebenarnya hingga sejauh ini belum ada
bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa defisiensi monoamin bertanggung jawab
terhadap depresi, dalam arti tidak ada defisit monoamin yang nyata. Tidak ada
bukti yang benar-benar nyata, bahwa kelebihan atau defisiensi reseptor
36
monoamin mengakibatkan depresi. Sebaliknya berkembang bukti, bahwa walaupun
kadar monoamin dan reseptornya normal tapi sistem tersebut tidak berespon
secara normal misalnya penelitian terhadap reseptor monoaminergik dengan obat
yang menstimulir sistem ini akan mengakibatkan penurunan output hormon
neuroendokrin, dan menyebabkan perubahan defisit pada neuronal firing rates
seperti diperlihatkan pada positron emission tomography (PET). Pemikiran ini
memunculkan suatu ide bahwa depresi dapat merupakan defisiensi
pseudomonoamin akibat defisiensi transduksi sinyal dari neurotransmiter
monoamin ke neuron post sinaptik dimana jumlah neurotransmiter dan
reseptornya normal. Apabila terdapat defisiensi proses molekuler dimulai dari
okupansi reseptor oleh neurotransmiter dapat menyebabkan defisiensi respon
seluler sehingga terjadi yang disebut defisiensi pseudomonoamin, misalnya
reseptor dan neurotransmiter normal tapi transduksi sinyal dari neurotransmiter
ke reseptornya kacau. (1).
Keadaan yang mirip mungkin terjadi dari hipotesis adanya problem
peristiwa molekuler distal dari reseptor. Sistem pembawa pesan ke dua (second
messenger system) yang mengakibatkan pembentukan faktor transkripsi intra
seluler yang mengatur gen dapat merupakan sisi defisiensi fungsi sistem
monoamin. Ini merupakan tantangan riset saat ini yang berbasis molekuler pada
gangguan afektif. Hipotesis ini mengatakan bahwa defisiensi secara molekuler
terjadi pada monoamin yang berada distal terhadap neuron monoamin dan
reseptornya, meskipun tampak jumlah monoamin dan reseptornya normal (1)
Satu kemungkinan mekanisme gangguan transduksi sinyal dari reseptor
monoamine adalah target gen bagi BDNF (brain derived neurotrophic factor).
Secara normal BDNF berfungsi mempertahankan kehidupan neuron otak. Dalam
keadaan stres, gen untuk BDNF tertekan mengakibatkan atrofi atau apoptosis
neuron-neuron hipokampus yang vulnerable bila BDNF mengalami kerusakan.
37
Keadaan ini bisa menyebabkan depresi dan konsekwensi terjadinya episode
berulang, artinya bisa muncul berkali-kali episode berulang dan kurang responsif
terhadap pengobatan. Kemungkinan turunnya jumlah neuron dan hendaya fungsi
neuron-neuron di hipokampus selama depresi didukung oleh studi imaging klinis
yang memperlihatkan penurunan volume otak (struktur yang terkait). Hipotesis
molekuler dan seluler ini sesuai dengan mekanisme distal reseptor dan melibatkan
ekspresi gen. Dengan demikian stress induced vulnerability menurunkan ekspresi
gen, dan hal ini membuat faktor neurotropik seperti BDNF menjadi hal yang
penting bagi kehidupan dan fungsi neuron. Hipotesis ini berkonsekuensi logis,
bahwa obat anti depresan mengatasi kondisi ini dengan teraktivasinya gen bagi
faktor neurotropik. (1)
Penutup
Terdapat beberapa faktor seperti neurofisiologi, sistem neurotransmiter,
neuroendokrin dan hipotesis ekspresi gen. Diharapkan untuk waktu mendatang
lebih banyak lagi bukti-bukti secara neurobiologi mengungkap proses atau
mekanisme gangguan psikiatri khususnya gangguan depresi.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Stahl,S.M. 2002, Essential Psychopharmacology-Neuroscientific Basic and Practical Applications,2nd Ed,Canbridge University Press,Canbridge.
2. Neal,M.Z, 1993,Medical Pharmacology at a Glance, 2nd , Black Well Scientific
Publications, London.
3. Sadock B.J. and Sadock V.A., eds, 2003, Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9thed, Lippincott Williams
and Wilkins, New York
4. Loosen,P.T, 2000, Mood Disorder dalam Ebert,M.H,at.al,ed, Current Diagnosis & Treatment in psychiatry, Mc Graw-Hill International editions, New York,
290 -327.
5. Hyman,S.E, 1993, The Molecular Foundation of Psychiatry, American
Psychiatric Press, Inc.1st ed, Washington.
6. Thase,M.E, 2005, Mood Disorder : Neurobiology dalam Sadock .B.Y. and
Sadok,V.A,eds : Comprehensive Textbook of Psychiatry, vol 1 B, 8th ed.
Lippincott Williams and Wilkins, New York, 1594 – 1603.
39
PSIKONEUROIMUNOLOGI
Dengan berkembangnya ilmu psikoneuroimunologi pada satu atau dua
dekade terakhir ini sungguh telah banyak membawa kemajuan dalam bidang
psikiatri. Banyak gejala psikiatrik yang sebelumnya jauh dari jangkauan
pendekatan aspek biologik saat ini sudah bisa dijelaskan dengan lebih obyektif
melalui pengukuran biologik. Teori psikoneuroimunologi memandang bahwa antara
status psikologik dan sistem imunologik adalah saling berinteraksi melalui sistem
neuron ( Uhlig and Kallus, 2005 ). Artinya, status psikologis dapat mempengaruhi
sistem imun, dan sebaliknya status imun juga dapat mempengaruhi psikologik
seseorang melalui pengaturan sistem saraf ( Schedlowski and Schmidt, 1996 ).
Oleh karena itu, otak dan sistem imun merupakan dua sistem homeostatis penting
dalam tubuh ( Ilia, et al, 2000 ). Interaksi ini berlangsung dengan cara yang
sangat komplek dan dinamik, dan apabila terjadi kekecauan dalam interaksi ini
maka dapat menimbulkan gangguan neuropsikiatrik ( Kerr et al., 2005 ). Proses
interaksi ini mungkin dimulai ketika individu terpapar stresor di mana pada saat
itu sel – sel astrosit / mikroglia dalam otak akan terinduksi untuk memproduksi
sitokin. Sitokin sebenarnya merupakan komponen imunologik yang berfungsi
melindungi tubuh dari efek agent. Ia merupakan mediator peptide, dan berbeda
dengan hormon endokrin karena sitokin diproduksi oleh sel ( bukan oleh kelenjar
). Sitokin diproduksi oleh sel-sel yang tersebar di seluruh tubuh termasuk dalam
40
sel-sel otak. Meskipun dalam otak sitokin umumnya diproduksi oleh sel astrosit /
mikroglia tetapi pada kondisi tertentu sel-sel neuron juga dapat memproduksi
sitokin. Dari berbagai jenis sitokin, ternyata hanya IL (interleukin)-1 , IL- 2, IL-
6, dan TNF (tumor necrosis factor )-
terlibat dalam pengendalian stresor ( psikologis / fisik ). Secara spesifik fungsi
masing –masing tipe sitokin tersebut belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa laporan penelitian yang telah mengusulkan mengenai fungsi masing –
masing tipe sitokin. Beberapa penelitian yang telah melaporkan peranan IL-1
antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh : 1) Muller and Achenheil (1998)
yang menemukan bahwa IL-1 berperan dalam aktivitas psikomotor 2) Kronfol and
Remick (2001), setelah menganalisis beberapa hasil penelitian menyimpulkan
bahwa kadar IL-1 dalam cairan serebrospinal meningkat selama tidur. Hal ini
diduga karena IL-1 berinteraksi dengan dengan neurohormon atau
neurotransmitter dalam otak yang menghasilkan aktivitas somnogenik. 3)
Lundberg et al.(1995) and Roitt et al. (1993) menyatakan bahwa IL-1 dan TNF-
merupakan stimulan terhadap hipotalamus dan amigdala. Penelitian – penelitian
yang telah melaporkan peranan IL-2, antara lain adalah penelitian yang dilakukan
oleh : 1) Stites et all. yang menemukan bahwa IL-2 diproduksi oleh limfosit T
akibat stimulasi dari IL-1 dan TNF- , 2) Bloom and Kupfer (1995) yang
menyatakan bahwa pada orang yang sedang mengikuti terapi relaksasi didapatkan
41
peningkatan kadar IL-2 pada serum darahnya. 3) La Costa et al. (1999) yang
menyatakan bahwa pemberian IL-2 ulangan dapat memperbaiki spatial working
memory, 4) Anisman and Merali (1999) yang menemukan bahwa pada pemberian
IL-2 secara akut dapat berfungsi sebagai reward process yang dapat mencegah
terjadinya ansietas, sedangkan pemberian IL-2 secara kronis dapat memperbaiki
spatial working memory. Mengenai peranan IL-6, Muller and Achenheil (1998)
melaporkan bahwa IL-6 berperan dalam timbulnya perilaku depresif. Sedangkan
penelitian – penelitian yang telah melaporkan peranan TNF- antara lain adalah
penelitian yang dilakukan oleh : 1) Nickola et al. (2000) yang menyatakan bahwa
TNF bisa mengaktivasi reseptor 2 neuron adrenergik sehingga produksi dan
pelepasan norepinefrin meningkat, padahal norepinefrin adalah neurotransmitter
yang bersifat aktivator, sehingga mengarah pada terjadinya perilaku agresif (3).
2) De Sarro, et al. (1997) yang menemukan bahwa tikus yang berada dalam
keadaan agresif mempunyai kadar TNF- serum yang meningkat, (4) Fanani
(2003) setelah mengukur kadar TNF- serum pada 32 narapidana, dan
mendapatkan bahwa 11 narapidana yang mana termasuk dalam kelompok agresif
tipe I mempunyai kadar serum rerata TNF- = 68,00 pg / ml, dan 21 orang
lainnya yang mana termasuk dalam kelompok agresif tipe 2 mempunyai kadar
serum rerata TNF = 21,10 pg / ml, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
42
intensitas agresivitas yang berbeda secara signifikan mempunyai kadar TNF-a
serum yang berbeda pula.
Setelah sitokin disekresi maka selanjutnya sitokinin akan menstimuli
hipotalamus agar mensekresi CRH ( Corticotropine Releasing Hormone ) untuk
menginduksi kortek adrenal mensekresi glukokortikoid, norepineprin, atau
epineprin agar tubuh terlindungi dari dampak negative stresor. Kerja CRH ini
sebenarnya dapat secara langsung dengan mengaktivasi sistem imun perifer lokal,
maupun secara tidak langsung dengan melalui aksis HPA ( Hipotalamus - Pituitari -
Adrenal ) dan sistem saraf simpatis. Apabila proses ini sudah tidak diperlukan
lagi atau produksi hormone adrenergik telah cukup maka akan terjadi proses
umpan balik di mana glukokortikoid, katekolamin, dan histamine akan melakukan
penghambatan terhadap sitokin ( Ziad Kronfol et al., 2000 ; Elenkov et al.,
2000 ).
43
Gambar 1. Skema pengelolaan stressor dengan melibatkan sistem saraf dan sistem
imun ( Ilia, et al, 2000 ).
ACTH = adrenocorticotropin hormone ; CRH = corticotropin-releasing hormone ;
E = epinephrine; IL = interleukin ; LC / NE = locus ceruleus / norepinephrine
autonomic (sympathetic) nervous system ; NE = norepinephrine ; TH = T helper
lymphocyte.
Glucocorticoids
Stress
CRH System LC/NE System
ACTH
Accute Inflammation
Histamine
Cytokines
Increase
CRH
Mast Cell
NE/E
Monocyte
IL-12
IL-10
TH1 TH2
—
+
Histamine
44
Gambar 3. Reaksi imunologik terhadap paparan stressor ( fisik / psikologik )
(Ziad Kronfol et al, 2000 )
IL = interleukin ; TNF- = tumor necrosis factor- ; CRH = corticotropin-
releasing hormone ; GnRH = gonadotropin-releasing hormone; NE =
norepinephrine ; 5-HT = serotonin ; DA = dopamine ; NK = natural Killer Cell
45
Gambar 2. Peranan system saraf simpatis dan aksis HPA dalam
komunikasi timbal balik antara sistem saraf – sistem imun
( Ilia, et al, 2005 ).
CNS = central nervous system ; PVN = paraventricular nucleus ; LC =
locus ceruleus ; NE = norepinephrine ; CRH = corticotropin-releasing
hormone ; IL = interleukin ; TNF = tumor necrosis factor ; NPY =
neuropeptide Y ; ACTH = adrenocorticotropic hormone ; DOPA =
dihydroxyphenylalanine ; DA = dopamine;
46
Dengan dasar pemahaman psikoneuroimunologik tersebut di atas maka
selanjutnya dapat diketahui bahwa suatu gangguan psikiatrik tertentu adalah
mempunyai latar belakang atau indikator psikoneuroimunologik spesifik, misalnya
adalah kadar sitokin. Bebrapa penelitian yang telah menemukan adanya
keterkaitan antara kadar suatu jenis sitokin dengan suatu jenis gangguan
psikiatrik, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh : (1) Jacque and
Tchelingerian (1994) yang menemukan bahwa pada lesi hipokampus terdapat
peningkatan produksi TNF- a, (2) Ziad Kronfol (2000) yang menemukan bahwa
pada skizofrenia terdapat penurunan kadar IL-2, dan peningkatan IL-6 plasma.
Pada gangguan depresi terdapat peningkatan kadar IL-1 dan IL-6 plasma. Pada
gangguan Alzheimer terdapat peningkatan kadar IL-1, IL-6, dan TNF serum dan
cairan serebro spinal. Pada 30 menit setelah terpapar stresor didapatkan adanya
peningkatan kadar IL-6 plasma. (3) Muller (1997) yang menemukan bahwa
tingginya konsentarasi IL-2 dalam cairan serebrospinal sangat terkait dengan
kemungkinan relaps skizofrenia, sebaliknya Il-6 sangat terkait dengan depresi,
(4) Muller and Ackenheil (1998) yang menemukan bahwa meskipun tidak ada
sitokin tunggal apapun yang secara spesifik menyebabkan satu gangguan
psikiatrik, tetapi nampaknya gangguan memori dan kognitif terkait dengan IL- 2
dan TNF- -2, dan gangguan depresi dengan
IL-6.
47
DAFTAR PUSTAKA
Anisman, H., Merali, Z., 1999, Anhedonic and anxiogenic effects of cytocine exposure, Adv Exp Med Biol 461 : 199-233
Bloom, F.E., Kupfer D.J., 1995, Psychoneuroimunology in “Psychopharmacology”, Raven Press, New York.
De Sarro, GF., Gareri, P., Sinopoli, V.A., David, E., otirati, D., 1997, Comparative behaviour and electrocortical effects of TNF- -1 microinjected into the locus coeruleus of rat, Life ski 60 (8) : 555-64.
Elenkov, I. J., Wilder, R. L., Chrousos, G. P., Vizi, E. S., 2000, The sympathetic nerve--an integrative interface between two supersystems: the brain and the immune system, Inflammatory Joint Diseases Section, Arthritis and
Rheumatism Branch, National Institute of Arthritis and Musculoskeletal
and Skin Diseases, National Institutes of Health, Bethesda, Maryland,
USA.
Fanani, M., 2003, Efek Psikoterapi Albert Ellis terhadap perubahan perilaku
agresif pada narapidana, Naskah disertasi pasca sarjana UNAIR.
Ilia, J., Elenkov, Ronald, L., Wilder, George, P., Chrousos, Sylvester V., 2000,
The Sympathetic Nerve An Integrative Interface between Two Supersystems : The Brain and the Immune System, Department of
Pharmacology and Pharmacotherapy, Semmelweis University, Budapest,
Hungary (E.S.V.)
Kerr, D., Krishnan, C., Pucak, M. L., Carmen, J., 2005, The immune system and neuropsychiatric diseases, Department of Neurology, Johns Hopkins
Hospital, 600 N. Wolfe St, Pathology 627C, Baltimore MD 21287, USA.
La Costa, S., Merali, Z., Anisman, H., 1999, Influence of acute or repeated IL-2 behaviour and anxiety, Behav Neuroscy 113 (5) : 1039-4
Lunberg, Bregman, J.M., Engel, A.G., 1995, Analysis of cytocinine expression, in
“Muscle in inflammatory myopathies, Duchene dystrophy andnon weak controls”, Am J Psychiatry 157 : 638 – 94.
Nickola, T.J., Ignatowski, Sprengler, R.N., 2000, Antidfepressant drugs
, in the rat brain, J Neuroimunol.
107 (1) : 50-8
Schedlowski, M., Schmidt, R. E., 1996, Stress and the immune system, Abteilung
Klinische Immunologie, Medizinische Hochschule Hannover, Germany.
Stites D.P., Terr, A.L., Parslov, T.G., Basic and clinical Immunology, Prentice- Hall
International Inc. USA
48
Uhlig, T., Kallus, K. W., The brain: a psychoneuroimmunological approach, Clinic of
Anesthesiology and Intensive Care Medicine, Friedrich Schiller
Universitat, Jena, Germany. [email protected]
Ziad Kronfol, Daniel, G. , Remick, M. D., 2000, Cytokines and the Brain: Implications for Clinical Psychiatry, Departments of Psychiatry and
Pathology, University of Michigan Health System, Ann Arbor, MI 48109-
0722, USA. [email protected]
Top Related