UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN
EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG
PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN
TUGAS AKHIR
KEMAL ZACHARIAH
1106142425
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
JANUARI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN
EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG
PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN
TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Okupasi
KEMAL ZACHARIAH
1106142425
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
JANUARI 2015
ii
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
iii
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karuniaNya,
sehingga tugas akhir dengan judul “Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan
Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban” ini dapat
diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar spesialis okupasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada :
1. Dr. Sudadi Hirawan, MS, SpOK atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah
diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen
pembimbing.
2. Dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid atas bimbingan, arahan dan waktu yang
telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen
pembimbing.
3. DR. Dr. Ina Susianti Timan, SpPK (K) atas bimbingan, arahan dan waktu
yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen
pembimbing.
4. DR. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD yang telah memberikan
masukan dan saran pada saat perkuliahan dalam mata kuliah penelitian.
5. DR. Dr. Astrid W. Sulistomo, MPH, SpOk selaku Ketua program studi
Spesialisasi Kedokteran Okupasi yang banyak memberikan motivasi dan
dukungan
6. Seluruh Dosen program Spesiliasi Kedokteran Okupasi, Fakultas Kdokteran
Universitas Indonesia
7. Ayahanda Harry Rappa dan Ibunda Wirdiatmi atas segala dukungan dan
doanya
8. Kakak dr. Nathanael atas dukungan, motivasi, dan perhatiannya.
9. Rekan-rekan sesama penelitian dr. Ade, dr. Puspa dan dr. Mei Wulandari
10. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Spesialis Kedokteran Okupasi
11. Sahabat penulis yang telah memberikan banyak dukungan.
12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
v
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau,
penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan perlu
pengembangan lebih lanjut sehingga bisa bermanfaat baik untuk pengembangan ilmu
pengetahuan maupun untuk kemajuan suatu perusahaan. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran agar tugas akhir ini lebih sempurna di masa
yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap tugas akhir ini memberikan manfaat bagi kita semua
terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran okupasi di masa yang akan datang.
Jakarta, Januari 2015
dr. Kemal Zachariah
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
vi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Kemal Zachariah
Program Studi : Kedokteran Okupasi
Judul : Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan Eosinofil
dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban
Latar belakang : Formaldehida sebagian besar diinhalasi melalui saluran pernafasan
bagian atas dan mempengaruhi mukosa hidung. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari hubungan pajanan formaldehida yang ada di industri kain ban terhadap
eosinofil dan neutrofil swab hidung.
Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang komparatif. Analisis yang
dilakukan menggunakan uji regresi logistik. Responden berjumlah 100 orang laki-
laki, terdiri dari 50 responden di bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving.
Metode pengukuran formaldehida dengan menggunakan metode NIOSH 3500.
Metode pengambilan sampel menggunakan total population pada bagian dipping dan
simple random sampling pada bagian weaving.
Hasil : Kadar formaldehida lingkungan di bagian dipping adalah 0,032 mg/m3.
Prevalensi eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping didapatkan 30%
sedangkan neutrofil positif didapatkan sebesar 80 %. Tidak ada hubungan yang
bermakna antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung.
Variabel independent yang paling berpengaruh terhadap neutrofil positif adalah
kebiasaan merokok dengan OR 4,680; 95% CI 1,52 – 14,44; p = 0,007.
Kesimpulan : Formaldehida tidak berhubungan bermakna dengan eosinofil dan
neutrofil swab hidung, namun pengaruh formaldehida terhadap eosinofil swab hidung
belum dapat disingkirkan mengingat adanya gambaran degranulasi eosinofil sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat seluler.
Kata kunci : eosinofil, merokok, neutrofil, pajanan formaldehida, swab hidung
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Kemal Zachariah
Study Program : Occupational Medicine
Title : The Correlation between Formaldehyde Exposure and
Nasal Swab Eosinophil and Neutrophil in Tire Cord
Industry Workers.
Background : Most of formaldehyde exposure is inhaled in upper respiratory track
which affecst the nasal mucosa. This study aims at exploring the correlation between
formaldehyde exposure in tire cord industry with nasal swab eosinophil and
neutrophil.
Methods : The design of the study is comparative cross sectional. Analysis conducted
was logistic regression. Total respondents are 100 male consisting of 50 respondents
from dipping area and 50 respondents from weaving area. The method for
formaldehyde level used NIOSH 3500. The method for collection sample used total
population in dipping area and simple random sampling in weaving area.
Results : Formaldehyde level in dipping area was 0,032 mg/m.3. The results of the
study showed that eosinophils positive at weaving and dipping area were 30% and
neutrophils positive were 80%. No significant correlation was found between
formaldehyde exposure and eosinophils and neutrophils nasal swab. Independent
variable that mostly influence positive neutrophils was smoking with OR 4.680, 95%
CI 1.52–14.44, p = 0.007.
Conclusions : Formaldehyde has no significantly correlation with eosinophils and
neutrophils nasal swab, but the effect of formaldehyde on eosinophil nasal swab can
not be ignored because of eosinophils degranulation, so further research is still
needed at the cellular level.
Keyword : eosinophil, formaldehyde exposure, nasal swab, neutrophil, smoking
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN
ORISINALITAS
LEMBAR PENGESAHAN
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
i
ii
iii
KATA PENGANTAR …………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR… vi
ABSTRAK ……………………………………………… vii
ABSTRACK ……………………………………………… viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
.......................................................................
……………………………………………..
ix
xiii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
.......................................................................
.......................................................................
……………………………………………..
xiv
xiv
xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Permasalahan ....................................................................... 3
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 3
1.4 Hipotesis ....................................................................... 4
1.5 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
1.6 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 6
2.1 Formaldehida ....................................................................... 6
2.2 Toksikokinetik ....................................................................... 7
2.3 Toksikodinamik ....................................................................... 10
2.4 Toksisitas ....................................................................... 14
2.5 Biomarker Pajanan ......................................................................... 16
2.6 Metode Pengukuran Formaldehida ................................ 18
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
x Universitas Indonesia
2.7 Anatomi dan Fisiologi Hidung ...................................................... 19
2.8 Imunopatogenesis
2.9 Sistem Imunitas Mukosa
…………………………………
......................................................
20
22
2.10 Eosinofil ....................................................................... 24
2.11 Neutrofil ....................................................................... 26
2.12 Pemeriksaan Eosinofil Mukosa Hidung ................................. 27
2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Eosinofil dan Neutrofil Mukosa Hidung
................................ 28
2.14 Penelitian Yang Berhubungan
Dengan Pajanan Formaldehida
Terhadap Eosinofil dan Neutrofil
.................................................. 30
2.15 Tinjauan Perusahaan ......................................................... 31 35
2.16 Pengukuran Kadar Formaldehida..................................................... 34
2.17 Kerangka Teori ....................................................................... 35
2.18 Kerangka Konsep ....................................................................... 36
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................... 37
3.1 Desain ....................................................................... 37
3.2 Tempat dan Waktu .............................................................................. 37
3.3 Populasi ……………........................................ …………………….. 37
3.4 Sampel ....................................................................... 37
3.4.1 Kriteria Inklusi ....................................................................... 37
3.4.2 Kriteria Eksklusi........................................ ...................................... 37
3.4.3 Kriteria Drop Out ............................................................................ 38
3.4.4 Perhitungan Besar Sampel.................... .......................................... 38
3.4.4 Cara Pengambilan Sampel ................................................ 39 42
3.5 Sumber data ....................................................................... 39
3.5.1 Variabel data primer ............................................................ 40 43
3.5.2 Variabel data Sekunder .................................................................... 40
3.5.3 Batasan Operasional ……........................................ ..................... 40
3.5.4 Cara Pengumpulan Data ….......................................... ................ 42
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xi Universitas Indonesia
3.5.5 Cara Analisis Data ............................................................... 43 47
3.6 Etika Penelitian
3.7 Alur Penelitian
.....................................................................
…………………………………………….
43
44
Bab IV HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 45
4.1 Pengukuran Formaldehida Lingkungan ………………………….. 45
4.2 Proses Pengumpulan data ………………………………………… 45
4.3 Pengolahan data ………………………………………………….. 46
4.4 Karakteristik Responden ………………………………………… 47
4.5 Analisis Bivariat ……………………………………………….. 53
4.5.1 Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil ………………… 53
4.5.2 Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil ………………... 53
4.5.3 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil …… 54
dan neutrofil
4.5.4 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil … 54
dan neutrofil
4.5.5 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil ….. 55
dan neutrofil
4.5.6 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil … 55
dan neutrofil
4.6 Analisis Multivariat …………………………….. …………… 56 dan neutrofil swab hidung
Bab V PEMBAHASAN ……………………..…………………………….. 58
5.1 Keterbatasan penelitian ………………………………………… 58
5.2 Gambaran dan hubungan formaldehida terhadap eosinofil …… 58
dan neutrofil
5.3 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil … 60
dan neutrofil
5.4 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil ….. 61
dan neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xii Universitas Indonesia
5.5 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil … 63
dan neutrofil
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 66
6.1 Kesimpulan …………………………………………………….. 66
6.2 Saran ………………………………………………………..… 67
DAFTAR PUSTAKA …………………..……………………………………. 69
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung ……………. 28
Tabel 3.1 Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida ……… 40
Terhadap Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung Pada
Pekerja Industri Kain Ban
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil . 48
Tabel 4.2 Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping …. 48
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi ……. 48
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu ………. 49
Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan ……… 49
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida … 50
Tabel 4.7 Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving …………………. 50
Tabel 4.8 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent ……………. 51
dan Eosinofil di Bagian Weaving
Tabel 4.9 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …….……. 51
dan Neutrofil di Bagian Weaving
Tabel 4.10 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …………….. 52
dan Eosinofil di Bagian Dipping
Tabel 4.11 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent ………….…. 52
dan Neutrofil di Bagian Dipping
Tabel 4.12 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil 53
Tabel 4.13 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil 54
Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi ……………. 56
Neutrofil Swab Hidung
Tabel 4.15 Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ……………… 57
Tabel 5.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung ….64
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xiv Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida …………… 9
Gambar 1.2 Diagram Alir Pembuatan Kain Ban .................................... 33
Gambar 1.3 Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping …………….. 34
Gambar 4.1 Cara Pengumpulan Sampel ………………………………….. 47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Informasi ……………………………………………. 73
Lampiran 2 Lembar Persetujuan …………………………………………… 75
Lampiran 3 Kuesioner Screening Kriteria Eksklusi ……………………….. 77
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian …………………………………………. 78
Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik …………………………………... 79
Lampiran 6 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian . 80
Lampiran 7 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan …………. 81
Lampiran 8 Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013 ……………… 82
Lampiran 9 Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014 ………………….. 83
Lampiran 10 Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ……………… 84
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xv Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ACGIH : American Conference of Governmental Industrial Hygienist
APC : Antigen presenting cell
APD : Alat pelindung diri
ARIA : Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
BALT : Bronchus associated lymphoid tissue
CI : Confident Interval
DNA : Deoxyribose Nucleic Acid
ECP : Eosinophilic Cationic Protein
EDN : Eosinophil Derived Neurotoxin
EDP : Eosinophilic Derived Protein
EPA : Environmental Protection Agency’s
EPO : Eosinophiel Peroxidase
FTIRS : Fourier transform infrared spectrometry
GC-FID : Gas chromatography-flame ionization detection
GC/MS : Gas chromatography/ mass spectrometry
GC/NSD : Gas chromatography/ nitrogen selective detection
HLA : Human Leucocyte Antigen
HMMEC : Human mucosal microvascular endothelial cells
HPLC/UV : High performance liquid chromatography/ ultraviolet detection
IARC : International Agency for Research on Cancer
IB : Indeks Brinkman
ICAM : Inter cellular Adhesi Molecule
Ig : Imunoglobulin
IL : Interleukin
ILO : International labour organization
LALT : Larynx associated lymphoid tissue
MAdCAM : Mucosal addressin cell adhesion molecule
MALT : Mucosa assosiated lymphoid tisssue
MBP : Major basic protein
MCU : Medical check up
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
xvi Universitas Indonesia
MHC : Major Histocompatibility Complex
MN : Micronucleated cells
NAB : Nilai ambang batas
NALT : Nose associated lymphoid tissue
NICNAS : National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme
OECD : Organization Economic Cooperation and Development
OR : Odd Ratio
OSHA : Occupational Safety Health Adminstration
PEL : Permissible Exposure Limit
PHA : Phytohaemagglutinin
PPM : part per million
RNA : Ribonucleic acid
SCE : Sister chromatid exchanges
STEL : Short Term Exposure Limit
Th : T helper
TLV : Treshold Limit Value
VCAM : Vascular cell adhesi molecule
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun,
peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya
industri maka terbukalah lapangan kerja buat masyarakat yang dapat meningkatkan
taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah angkatan
kerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118,0 juta orang, berkurang sekitar
2,4 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2012 sebesar 120,4 juta orang atau
bertambah sekitar 670 ribu orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011.1
Dari data International Labour Organization (ILO) tahun 2005 diperkirakan
di seluruh dunia setiap tahun 2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan-kecelakaan
dan penyakit-penyakit akibat kerja. Diperkirakan terjadi 270 juta kecelakaan akibat
kerja yang tidak fatal dan 160 juta penyakit baru akibat kerja.2 Dengan penyebab
kematian yang berhubungan dengan pekerjaan : 34 % berhubungan dengan kanker, 25
% karena kecelakaan, 21 % karena penyakit saluran pernafasan , dan 15 %
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular ( Data ILO 1999 ). Sedangkan
penyebab dari penyakit akibat kerja secara umum dibagi menjadi 5 yaitu bahan fisika,
bahan kimia, bahan biologi, ergonomi dan psikososial.
Salah satu bahan kimia yang banyak digunakan adalah Formaldehida.
National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme (NICNAS)
menyebutkan bahwa formaldehida menjadi salah satu bahan kimia yang
diprioritaskan pada Maret 2002 dan menjadi perhatian kesehatan masyarakat dan
kesehatan kerja. Formaldehida terdapat di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi
yang kecil. Selain itu formaldehida juga terdapat di alam yaitu terjadi melalui proses
pembakaran dari bahan bakar domestik dan transportasi. Bahan bakar domestik
meliputi bahan bakar padat, cair, dan gas untuk memasak dan pemanasan. Kelompok
transportasi meliputi emisi dari kendaraan bermotor, kereta api, perahu boat, kapal
komersial, dan transportasi air.3
Formaldehida memiliki banyak manfaat dan kegunaan dalam kehidupan
sehari-hari. Pemanfaatannya sangat luas selain di bidang industri, rumah tangga, juga
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
2
Universitas Indonesia
di rumah sakit. Di industri banyak digunakan dalam industri ban yang menggunakan
polyetilen, polipropilen, industri plywood, partikelboard, industri tekstil, dan lain-lain.
Formaldehida juga dipakai di rumah sakit untuk mengawetkan jenazah, dan untuk
fiksasi jaringan yang digunakan untuk pemeriksaan patologi anatomi.4
Karena manfaat dan biaya produksi yang rendah formaldehida telah menjadi
salah satu bahan kimia yang penting dalam dunia industri. Formaldehida digolongkan
sebagai bahan kimia dengan level produksi yang tinggi pada Organization Economic
Cooperation and Development ( OECD ), yaitu dengan volume produksi mencapai
1000 ton atau lebih. Produksi global formaldehida di Asia tahun 1999 mencapai 1,5
juta ton. 3
Selain manfaatnya yang besar formaldehida telah dilaporkan menyebabkan
efek kesehatan terhadap manusia. International Agency for Research on Cancer (
IARC ) mempelajari beberapa studi epidemiologi mengenai karsinogenitas
formaldehida dan menyimpulkan bahwa formaldehide termasuk kategori 1 yaitu
bersifat karsinogen pada manusia. Hal ini berdasarkan bukti bahwa pajanan
formaldehida dapat menyebabkan kanker nasofaring pada manusia.3
Formaldehida terutama masuk ke tubuh melalui inhalasi yang kemudian
mempengaruhi saluran pernafasan. Pajanan formaldehyde telah dihubungkan dengan
penyakit alergi, sick building syndrom, karsinogenesis seperti kanker faring, kanker
paru dan pengaruhnya terhadap mukosa saluran pernafasan dan traktus
gastrointestinal. Namun belum banyak studi yang membahas mengenai mekanisme
dari formaldehida mempengaruhi mukosa saluran pernafasan. Pada sebuah studi in
vitro yang berjudul Effect of formaldehyde on the expression of adhesion molecules
in nasal microvascular endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis
of sick building syndrome disimpulkan bahwa formaldehida mengiritasi mukosa
hidung dengan cara meningkatkan ekspresi dari adesi molekul pada human mucosal
microvascular endothelial cells (HMMECs) dan dengan meningkatkan adhesiveness
antara HMMECs dengan eosinofil.5 Pada penelitian Pazdrak, Krakowiak, dkk dengan
eksposure pada 20 sukarelawan. Sembilan di antaranya memiliki hipersensitifitas
terhadap formaldehida. Eksposure dengan kadar formaldehida 0,5 mg/m3 ( 0,4 ppm )
selama 2 jam. Nasal lavage dilakukan sebelum paparan, segera setelah paparan, dan
4 dan 18 jam setelah paparan berakhir. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
3
Universitas Indonesia
eosinofil dengan kadar triptase pada nasal lavage tidak menunjukkan adanya
peningkatan. Triptase terlibat pada respon alergi. Penulis penelitian menyimpulkan
bahwa kurangnya bukti degranulasi sel mast mengindikasikan sensitisasi subjek yang
terjadi melalui proses nonspesifik yaitu proses inflamasi non allergik pada mukosa
hidung.6
Sebagian besar inhalasi formaldehida ditahan di saluran pernafasan bagian
atas. Efek klinik yang diakibatkan dari pajanan tersebut terutama terkait dengan area
ini yaitu mukosa hidung. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa paparan akut
formaldehida menyebabkan peningkatan eosinofil pada nasal lavage.6 Adanya
eosinofil ini merupakan respon nasal terhadap suatu alergi. Namun proses inflamasi
non allergik belum dapat disingkirkan karena masih terbatasnya penelitian mengenai
efek iritasi inflamasi pada mukosa hidung akibat paparan formaldehida. Efek iritasi
inflamasi atau infeksi pada mukosa hidung dapat dilihat dengan adanya sel neutrofil.
Untuk itu peneliti bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pajanan formaldehida
mempengaruhi eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pajanan kronik ( > 1 tahun
). Dengan mengetahui efek kesehatan formaldehida terhadap mukosa hidung yaitu
efek alergi atau efek infeksi pada pajanan > 1 tahun ( kronik ) maka diharapkan dapat
dilakukan upaya pencegahan melalui penyeleksian dan penempatan karyawan yang
memiliki faktor resiko.
1.2 Permasalahan
Berbagai penelitian berbasis industri kain ban untuk mengindentifikasi faktor
resiko dari pajanan kimia berupa Formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab
hidung masih jarang. Belum diketahui apakah formaldehida menyebabkan efek alergi
yang ditandai dengan adanya eosinofil atau efek iritasi inflamasi yang ditandai
dengan adanya neutrofil pada mukosa hidung dengan cara swab hidung terutama pada
pekerja yang terpapar formaldehida > 1 tahun.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah terdapat hubungan antara eosinofil dan neutrofil swab hidung pada
pekerja yang terpajan formaldehida dibandingkan dengan pekerja yang tidak
terpajan Formaldehida ?
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
4
Universitas Indonesia
2. Apakah ada hubungan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan faktor
lain?
1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan pajanan kimia formaldehida dengan eosinofil dan
neutrofil swab hidung.
1. 5 Tujuan Penelitian
1. 5. 1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan
neutrofil swab hidung pada pekerja di perusahaan kain ban.
1. 5. 2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja
industri kain ban
2. Diketahuinya gambaran dan hubungan formaldehida lingkungan kerja
terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung
3. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor demografi ( usia ,
riwayat atopi ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung
4. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor individu ( merokok,
olahraga ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung
5. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor pekerjaan ( masa kerja
dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan eosinofil dan neutrofil swab
hidung
6. Diketahui faktor yg dominan terhadap timbulnya eosinofil dan neutrofil
swab hidung.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Bagi Perusahaan
1. Mendapat masukan tentang masalah pengaruh pajanan kimia formaldehida
terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja perusahaan
produksi ban yang terpajan formaldehida di lingkungan kerjanya.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
5
Universitas Indonesia
2. Sebagai bahan masukan untuk pengendalian dampak formaldehida terhadap
pekerja perusahaan produksi kain ban yang terpajan formaldehida.
3. Sebagai bahan masukan untuk penyeleksian dan penempatan calon karyawan
baru.
1.6.2 Bagi pekerja
Tenaga Kerja dapat mengetahui efek formaldehida terhadap kesehatannya,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dalam melakukan upaya
pencegahan.
1.6.3 Bagi Institusi
Bahan penyusunan kebijakan untuk pengendalian bahan kimia khususnya
formaldehida.
1.6.4 Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk dapat mengetahui
dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan analisa pengaruh pajanan
lingkungan kerja terutama formaldehida terhadap kesehatan yaitu eosinofil
dan neutrofil swab hidung.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
6
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FORMALDEHIDA
Formaldehida merupakan senyawa kimia yang tidak berwarna, berbentuk gas
pada suhu ruangan. Formaldehida memiliki bau yang tajam dan dapat menyebabkan
sensasi terbakar pada mata, hidung, dan paru pada konsentrasi yang tinggi.
Formaldehida juga dikenal sebagai metanal, metilen oksida, oksimetilen,
metilaldehida, dan oxometane. Formaldehida dapat bereaksi dengan banyak bahan
kimia, dan dapat terurai menjadi metanol dan karbon monoksida pada suhu yang
tinggi.4
Formaldehida secara normal juga diproduksi dalam jumlah sangat kecil di
tubuh kita. Formaldehida juga dapat ditemukan di udara sekitar di rumah dan di
kantor, dan pada makanan yang kita makan.4
Pada umumnya, formaldehida terbentuk akibat reaksi oksidasi katalitik pada
metanol. Oleh sebab itu, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang
mengandung karbon dan terkandung dalam asap pada kebakaran hutan,
knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan
dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana danhidrokarbon lain yang ada
di atmosfer.4,7
Di udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam
air ( dalam kadar larutan 37% disebut juga “formalin” atau “formol” ). Dalam air,
formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk
monomer H2CO.Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara
10%-40%.7
Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format,
oleh karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak
kemasukan udara.7
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
7
Universitas Indonesia
Formaldehida digunakan pada banyak industri. Seperti pada produksi pupuk,
kertas, kayu lapis, produksi urea-formaldehida resin, pada produksi kosmetik dan
gula, di bidang pertanian sebagai pengawet untuk biji-bijian, pada industri karet pada
produksi latex, penyamakan kulit, dan pengawetan kayu. Formaldehida dikombinasi
dengan metanol dan buffer untuk membuat cairan “embalming”. Formaldehida juga
digunakan pada rumah sakit dan laboratorium untuk memfiksasi spesimen jaringan.4,7
Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamina, formaldehida
menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen,
misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busa-
nya sebagai insulasi. Sebagai disinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama
formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.8
2.2 TOKSIKOKINETIK FORMALDEHIDA
2.2.1 ABSORBSI
Formaldehide secara cepat diabsorbsi di saluran respirasi dan gastrointestinal.
90 % inhalasi formaldehida di absorbsi di saluran napas atas pada tikus dan monyet.
Pada tikus, formaldehida di absorbsi di hidung. Pada monyet formaldehide di
absorbsi di nasofaring, trakea dan regio proksimal dari bronkus. Walaupun
formaldehide dapat berpenetrasi pada kulit manusia yaitu menginduksi dermatitis
kontak alergi pada manusia namun absorbsinya pada kulit sangat sedikit.3
2.2.2 DISTRIBUSI
Pajanan formaldehida pada manusia, monyet dan tikus melalui inhalasi tidak
mempengaruhi konsentrasi formaldehida di darah ( endogenous formaldehyde ). Hal
ini disebabkan karena metabolismenya yang cepat,. Pemberian formaldehida secara
intravena pada anjing, kucing, dan monyet tidak menyebabkan akumulasi
formaldehida di darah, karena formaldehida secara cepat dikonversi menjadi format.
Pada anjing, pemberian formaldehida secara oral memberikan hasil peningkatan
secara cepat kadar format dalam darah. Setelah 6 jam inhalasi C-formaldehida pada
tikus, C-formaldehida secara besar terdistribusi di berbagai jaringan, konsentrasi
terbesar di esofagus, dikuti di ginjal, hati, usus, dan paru, hal ini mengindikasikan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
8
Universitas Indonesia
bahwa absorbsi C-formaldehida dan metabolismenya secara cepat terdistribusi ke
seluruh tubuh dari mukosa darah.3
2.2.3 METABOLISME
Formaldehida dapat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu melalui
penggabungan ke jalur karbon, konjugasi dengan glutation kemudian teroksidasi oleh
formaldehida dehidrogenase, dan proses oksidasi oleh enzim peroksisomal katalase. 3
Formaldehida bereaksi seketika dengan amine primer dan sekunder,
thiols,hidroksil dan amida membentuk derivat metilol. Formaldehida bertindak
sebagai sebuah elektrofil dan dapat bereaksi dengan makromolekul seperti
deoxyribose nucleic acid (DNA), ribonucleic acid (RNA), dan Protein untuk
membentuk adduksi yang reversibel atau ikatan silang yang ireversibel. Absorbsi
formaldehida dapat teroksidasi menjadi format melalui 3 jalur yang berbeda tersebut
dan dapat diekshalasi dalam bentuk karbon dioksida atau masuk ke makromolekul
biologi melaui tetrahydrofolate-dependent one-carbon biosynthetic pathways. Di
tubuh, formaldehida diproduksi dalam jumlah kecil sebagai metabolit normal dan
juga di dalam oksidasi dimetilasi xenobiotik. Oleh karena itu dapat ditemukan dalam
hati. Formaldehid dehidrogenase adalah enzim metabolik utama yang terlibat dalam
metabolisme formaldehid pada semua jaringan yang diteliti, dan terdistribusi merata
pada jaringan hewan, khususnya pada mukosa hidung tikus, dan spesifik untuk aduksi
glutation formaldehid.9 Formaldehida dehidrogenasi telah dideteksi terdapat di hati
manusia, sel darah merah, dan jaringan di tikus meliputi epitel respirasi dan
olfactorius, ginjal, dan otak.3
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
9
Universitas Indonesia
Gambar 1.1 Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida3,4
2.2.4 ELIMINASI DAN EKSKRESI
Formaldehida menghilang dari plasma dengan waktu paruh sekitar 1-1,5
menit. Metabolismenya yang cepat menyebabkan sebagian besar diubah menjadi
karbon dioksida dan dikeluarkan melalui paru-paru sebagai udara ekspirasi. Sebagian
kecil diekskresikan di urin sebagai asam format dan beberapa dalam bentuk metabolit
lain.3 Eliminasi dari radioaktif total pada paparan (
14C) formaldehida pada tikus
mengindikasikan bahwa 40 % dari inhalasi (14
C) diekskresikan di udara ekspirasi, 17
% di urin dan 5 % di faeces. Sisanya ( 35 % - 39 % ) tetap di jaringan.3
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
10
Universitas Indonesia
2.3 TOKSIKODINAMIK
Formaldehida adalah racun protoplasma, pengendapan protein dan
menyebabkan nekrosis koagulasi. Bentuk gasnya sangat larut air dan inhalasinya
mengakibatkan iritasi lokal pada saluran napas atas dan dilaporkan dapat
menyebabkan spasme dan edema pada laring. Asam format dapat terakumulasi dan
mengakibatkan asidosis metabolik.12
Pada umumnya efek kesehatan akibat paparan
formaldehida dapat diklasifikasikan berdasarkan : rute absorbsi yaitu melalui inhalasi,
oral, dan kulit; periode eksposure yaitu paparan akut ( < 14 hari ), intermediate ( 15 –
365 hari ), dan kronik ( > 365 hari ), dan efek kesehatan sesuai dengan organ yang
terkena seperti efek pada pernafasan, imunologik, mata, saluran pencernaan,
kardiovaskular, dan lain-lain.4 Efek kesehatan akibat formaldehida juga dipengaruhi
oleh konsentrasi formaldehida di udara, pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm menyebabkan
iritasi mata dan hidung, efek neurologi, peningkatan resiko asma dan atau alergi. Pada
konsentrasi > 50 ppm, percobaan pada binatang menunjukkan adanya edem paru.8
2.3.1. Efek Pada Pernapasan
Efek paparan formaldehida pada pernafasan meliputi iritasi pernafasan dan
gangguan fungsi pernafasan baik pada pekerja yang terpajan di lingkungan kerja
maupun masyarakat umum. Pada penelitian dengan jumlah pekerja yang relatif kecil
(38-84) di mana paparan dipantau secara individu, terdapat prevalensi yang tinggi
pada gejala, terutama iritasi mata dan saluran pernafasan pada pekerja yang
terekspose formaldehida di perusahaan produksi resin-embedded firbreglass, kimia,
produk furniture dan kayu atau pekerja di bagian pemakaman dibandingkan dengan
kelompok kontrol tanpa pajanan. Salah satu survei menunjukkan formaldehida secara
statistik bermakna pada gejala di mata, hidung, iritasi tenggorokan, batuk dan keluhan
dada dengan rata-rata kadar formaldehida 0,17 ppm (0,20 mg/m3) dan lebih besar.
10
Sebuah survei di Minnesota, USA, menunjukkan prevalensi iritasi hidung dan
tenggorokan adalah rendah pada pajanan formaldehida < 0,1 ppm. Studi ini dilakukan
pada 2000 penduduk dengan responden diklasifikasikan menjadi 4 variabel dependent
yaitu iritasi mata, iritasi hidung/ tenggorokan, sakit kepada, dan skin rash. Didapatkan
hasil bahwa efek formaldehida lebih besar pada kadar > 0,3 ppm dibandingkan kadar
< 0,3 ppm. Laporan iritasi mata adalah yang paling sering diikuti oleh iritasi pada
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
11
Universitas Indonesia
hidung dan tenggorokan, sakit kepala dan skin rash. Sementara proporsi dari populasi
yang melaporkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan atau sakit kepala pada kadar di
atas 0,3 ppm adalah tinggi ( 71 – 99 % ). Yang melaporkan efek di bawah 0,1 ppm
adalah rendah ( 1-2 % untuk iritasi mata, 0-11% untuk iritasi hidung dan tenggorokan,
dan 2-10 % untuk sakit kepala ). Prevalensi skin rash antara 5% dan 44 % untuk kadar
> 0,3 ppm dan antara 0% - 3 % untuk < 0,1 ppm.10
Pada pajanan lama pada hewan percobaan yang terpapar formaldehida secara
inhalasi didapatkan efek utama non neoplastik yaitu perubahan histopatologi
(misalnya : metaplasia skuamosa, hiperplasia basal, rinitis) dalam rongga hidung dan
saluran pernapasan bagian atas. Studi tentang toksisitas kronik paparan secara
inhalasi telah dilakukan pada tikus, dengan perkembangan efek histopatologi dalam
rongga hidung yang diamati pada konsentrasi formaldehida 2 ppm (2,4 mg/m3) dan
lebih tinggi. 10
2.3.2 Efek Imunologik
Perubahan status imun telah dilaporkan pada paparan formaldehida.
Perubahan pada cell-mediated immunity meliputi perubahan pada basofil dan atau sel
supresor.4 Orang dengan sakit kronik pada paparan formaldehida seringkali
menunjukkan aktifasi kekebalan dan meningkatkan auto antibodi. Penduduk dengan
paparan kronik pada 0,05 sampai 0,5 ppm menunjukkan peningkatan aktifasi
kekebalan, peningkatan auto antibodi, dan peningkatan antibodi terhadap
formaldehida.4 Kelompok lain dengan eksposure 0,07 sampai 0,55 ppm ditemukan
penurunan limfosit T dan gangguan fungsi sel T dengan menggunakan
Phytohaemagglutinin (PHA).4
Studi epidemiologis mengenai efek paparan formaldehid pada sistem
kekebalan tubuh difokuskan terutama pada reaksi alergi. Kasus laporan reaksi alergi
sistemik atau lokal telah dikaitkan dengan formaldehida dalam berbagai macam
produk. Formaldehida merupakan zat iritan pada saluran pernapasan, dan beberapa
laporan memberi kesan bahwa perkembangan asma bronkial setelah menghirup
formaldehid mungkin karena mekanisme imunologi. Kondisi tertentu dari paparan
serta karakteristik individu merupakan faktor penting dalam menentukan apakah
kemungkinan inhalasi paparan formaldehid yang mengakibatkan gangguan fungsi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
12
Universitas Indonesia
paru diperantarai oleh karena mekanisme imunologik. Efek kekebalan tubuh
(misalnya, dermatitis kontak) yang dihasilkan dari paparan kulit terhadap formaldehid
telah lebih jelas. Konsentrasi formaldehid untuk mendapatkan reaksi dermatitis
kontak pada individu hipersensitif mungkin serendah 30 mg / liter. Berdasarkan hasil
survei yang dilakukan di Amerika Utara, kurang dari 10% dari pasien dengan
dermatitis kontak mungkin secara imonologik hipersensitif terhadap formaldehida.10
2.3.3 Efek pada Mata
Mata sering teritasi oleh uap formaldehida dan resinnya. Setelah terkena
percikan/cipratan ke mata maka efek toksik yang dirasakan sangat tidak nyaman dan
mengiritasi mata hingga memutihkan bagian kornea serta kehilangan penglihatan.
Pada studi sebelumnya pada orang sehat dan orang dengan asma, iritasi sedang
hingga berat dilaporkan pada paparan formaldehid antara 0,25 – 3 ppm selama 5 jam.
Studi ini mengindikasikan bahwa iritasi mata merupakan parameter yang lebih
sensitif daripada pada iritasi pada hidung dan tenggorokan.3
2.3.4 Efek pada Kardiovaskular
Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan
150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri.
Pada pasien ditemukan takikardi, tekanan darah rendah dan oliguria dan diterapi
dengan cairan IV dan dobutamin. Pasien akhirnya pulih dan keluar dari rumah sakit.6
2.3.5 Efek pada Saluran pencernaan
Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan
150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri.
Pemeriksaan fisik ditemukan erosi dari mukosa orofaring, stridor pernafasan, nyeri
epigastrium dan hipoaktif suara usus. Pasien diberikan Natrium bikarbonata untuk
mengobati asidosis metabolik dan lesi esofagus. Baccikoglu dan Kalpaklioglu
menggambarkan kasus lain yaitu seorang pria umur 54 tahun yang sengaja menelan
larutan formaldehid 10 %. Pemeriksaan endoskopi pada pria ini menunjukkan
esofagitis tingkat rendah dan gastritis, dengan terapi penghambat pompa proton dan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
13
Universitas Indonesia
hidrasi parenteral. Pasien pulih dan dipulangkan dari hospital dengan terapi untuk
efek pernapasan akibat aspirasi formaldehida ketika muntah. 6
2.3.6. Efek pada Hati
Efek pada hati dapat dipicu juga dari eksposure formaldehida. Efek pada hati
ini meliputi toksik hepatitis dan gejala hipersensitifitas pada keluarga yang terekspose
hingga 0,95 ppm.4
2.3.7 Efek pada Sistem Saraf
Bukti formaldehida menimbulkan gejala neurologis diteliti pada survei cross
sectional dengan test neurobehaviour pada pekerja histologi yang terekspos
formaldehida. Bagaimanapun juga, co-exposure terhadap xylene, toluene, dan
kloroform juga menyebabkan efek neurotoksik pada manusia.3
2.3.8 Efek pada Ginjal
Tidak ada bukti dari pemeriksaan histologi, atau monitoring bahan kimia
darah bahwa formaldehida menginduksi ginjal pada akut, intermediate, durasi inhalasi
pada binatang atau pada inhalasi kronik pada tikus dan mice. Konsentrasi serum urea
pada tikus yang terekspose dengan 6 ppm formaldehida selama 8 jam/ hari untuk 6
minggu, didapatkan tidak ada perubahan pada serum protein, albumin, atau kreatin.8
2.3.9 Efek pada Kulit
Efek iritasi pada kulit akibat formaldehida telah diteliti pada beberapa tinjauan
jurnal dan semua melaporkan formaldehida menyebabkan iritasi kulit pada manusia.
Efek iritasi yang terjadi mungkin juga akibat efek sensitisasi. Pada pelajar dengan
paparan akut yang terkontrol dengan formaldehida pada konsentrasi 3 ppm tidak
ditemukan peningkatan gejala iritasi kulit.3
2.3.10 Efek lain
Perubahan histopatologis dalam epitel hidung telah diperiksa dalam survei
pekerja yang terekspos uap formaldehida. Prevalensi metaplasia dari epitel hidung
meningkat pada populasi yang terekspose formaldehid di pekerjaan dibandingkan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
14
Universitas Indonesia
dengan populasi kontrol dengan usia yang sama, kadang-kadang perubahan displastik
juga dilaporkan pada mereka yang terkena formaldehida. Dalam penyelidikan lain
menyebutkan rata-rata skore histologis meningkat pada 70 pekerja yang terpapar
formaldehida (rata-rata 0,25 ppm , standar deviasi 0,13 ppm [rata-rata 0,30 mg/m3,
standar deviasi 0,16 mg/m3]) dibandingkan dengan 36 kontrol yang tidak terpapar. 10
2.4 TOKSISITAS
Mekanisme yang tepat bagaimana formaldehida menyebabkan iritasi, korosif,
dan sitotoksik belum secara jelas diketahui. Aldehid merupakan kelompok bahan
kimia reaktif dengan atom oksigen yang sangat elektronegatif dan atom karbon yang
kurang elektronegatif. Atom karbonil merupakan jenis elektrofil yang membuatnya
mudah bereaksi dengan nukleofil dari membran sel dan jaringan serta cairan tubuh
seperti kelompok amino protein dan DNA. Formaldehid dapat membentuk hubungan
silang antara protein dan DNA in vivo. Rute predominant metabolisme formaldehida
adalah metabolisme penggabungan ke makromolekul (DNA, RNA, dan protein) pada
mukosa pernapasan dan penciuman dan sumsum tulang ( 344 tikus Fischer jantan ).4
Tikus terekspose hanya melalui hidung selama 6 jam pada 0,3 ; 2 ; 6 ; 10; atau 15
ppm dicampur dengan 14
C dan 3H formaldehida 1 hari setelah 6 jam terpapar dengan
konsentrasi formaldehida yang sama. Terdapat beberapa bukti terjadi hubungan silang
antara protein-DNA di jaringan hidung. Konsentrasi 14
C DNA pada jaringan mukosa
pernafasan dan penciuman meningkat secara linear dengan dosis, pada semua dosis,
konsentrasi 14
C DNA pada jaringan mukosa pernapasan adalah sekitar dua sampai
tiga kali daripada jaringan mukosa penciuman.4
Toksisitas formaldehida adalah rute-dependent. Iritasi pada titik kontak
terlihat pada paparan secara inhalasi, oral, dan kulit. Dosis tinggi bersifat sitotoksik
dan mengakibatkan degenerasi dan nekrosis mukosa dan lapisan sel epitel.
Pengamatan ini konsisten dengan hipotesis bahwa terdapat efek toksik dimediasi oleh
formaldehida itu sendiri dan bukan oleh metabolitnya.4
2.4.1 Karsinogenesis
Penemuan pada awal tahun 1980 yaitu tumor di saluran hidung dari tikus
yang terpajan formaldehida secara inhalasi memberikan perhatian untuk melakukan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
15
Universitas Indonesia
penelitian terhadap terhadap para pekerja yang terekspose formaldehida. Studi
epidemiologi menyelidiki kanker pada hidung, faring, dan paru-paru. Blair membuat
meta analisis dari 32 studi mengenai eksposure formaldehida pada pekerja industri
dan profesional ( teknisi anatomi, patologi ) didapatkan hasil peningkatan resiko
secara bermakna untuk kanker nasofaring pada pekerja dengan paparan
formaldehida.3
National Toxicology Program ( NTP, 1998 ) telah menetapkan bahwa
formaldehid diduga bersifat karsinogen manusia, dan International Agency for
Research on Cancer (IARC, 1995) membuat evaluasi secara keseluruhan bahwa
formaldehida mungkin karsinogenik bagi manusia (Grup 2A) berdasarkan evaluasi
spesifik bahwa ada bukti terbatas pada manusia untuk karcinogen formaldehida dan
bukti yang cukup pada hewan percobaan. Environmental Protection Agency’s (EPA)
mengklasifikasikan formaldehid dalam kelompok B1 - karsinogen manusia
kemungkinan didasarkan pada terbatasnya bukti pada manusia dan cukup bukti pada
hewan percobaan.4 IARC pada tahun 2004 menetapkan bahwa formaldehide termasuk
kategori 1 yaitu bersifat karsinogen pada manusia.3
Pada sebuah penelitian dengan mengekspose tikus Sprague-Dawley jantan
antara 0 sampai 14,8 ppm formaldehida selama 6 jam per hari, 5 hari seminggu,
selama 2 tahun dilaporkan peningkatan insiden kanker sel skuamous hidung 0/99 dan
38/100 pada kontrol dan terekspose formaldehida. Tumor ini dicurigai akan
meningkat turbin maksilar hidung dan septum hidung. Peningkatan insiden kanker sel
skuamosa hidung juga dilaporkan oleh Tobe pada kelompok F 344 tikus yang
terekspose formaldehida pada 0; 0,3; 2; atau 14 ppm selama 6 jam sehari, 5 hari
seminggu. Selama 28 bulan. 14 dari 32 binatang pada kelompok dengan konsentrasi
tinggi ( misalnya 44 % ) meningkatkan resiko kanker sel skuamosa, dibandingkan
dengan 0 pada kontrol ( tidak terekspose ) dengan konsentrasi rendah atau sedang.10
Mekanisme bagaimana formaldehida menginduksi tumor di saluran nafas pada
tikus belum sepenuhnya diketahui. Penghambatan pembersihan mukosiliar telah
diobservasi pada tikus yang terekspose secara akut dengan kadar formaldehida lebih
besar dari 2 ppm. Terdapat bukti bahwa glutation yang diperantarai oleh detoksifikasi
formaldehida di jaringan hidung mengalami kejenuhan pada tikus dengan eksposure
secara inhalasi di atas 4 ppm.12
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
16
Universitas Indonesia
2.4.2. Genotoksisitas
Beberapa survei telah dilakukan untuk menyelidiki efek genetik pada limfosit
perifer, hidung, sel mukosa buccal pekerja yang terekspose dengan formaldehida.
Pada beberapa studi yang menilai limfosit perifer, didapatkan tidak ada peningkatan
insiden dalam penyimpangan kromosom, sister chromatid exchanges (SCE) atau
micronucleated cells (MN) pada 15 pekerja manufaktur atau pengolahan
formaldehida, 30 mahasiswa kedokteran, 23 siswa anatomi dan 6 siswa patologi.
Peningkatan insiden sister chromatid exchanges (SCE) di limfosit perifer terlihat pada
90 siswa patologi, 13 pekerja dilaporkan secara teratur terkena formaldehida, 8 siswa
anatomi dan 31 pekerja yang terpapar fenol-formaldehida resin. Peningkatan insiden
pada penyimpangan kromosom, SCE dan MN terlihat di 13 siswa anatomi. Pada studi
yang menyelidiki insiden micronucleated cells (MN) pada hidung dan epitel buccal,
peningkatan insiden terlihat di buccal tetapi tidak pada epitel hidung pada 29 dan 28
siswa yang belajar di kamar mayat. Peningkatan insiden MN di epitel buccal juga
telah dilaporkan pada teknisi bagian anatomi dan mahasiswa anatomi, namun studi ini
sangat terbatas dan hanya sebuah abstrak yang telah dilaporkan di Inggris. 3
2.5 BIOMARKER PAJANAN
2.5.1 Monitoring Biologis
Asam format merupakan sebuah metabolit dari formaldehida yang telah
diukur di urin pekerja dan darah. Namun, pajanan formaldehida tidak dapat dinilai
secara adekuat dengan metode ini karena formaldehida cepat di metabolisme dan
sangat reaktif. Kadar format urin tidak sepenuhnya dapat digunakan sebagai
biomarker oleh karena format juga merupakan hasil metabolit dari substans lainnya.3
Penelitian dengan pajanan pada siswa dengan 0,26-0,92 ppm uap
formaldehida selama 3 jam, dengan sampel urin yang dikumpulkan segera setelah
paparan dan 21 jam setelah paparan. Konsentrasi formaldehida dan asam format
dalam urin yang ditemukan lebih tinggi segera setelah paparan dibandingkan dengan
21 jam kemudian, namun, tidak ada data awal sebelum terpajan. Meskipun format
urin meningkat namun hal ini sangat dipengaruhi oleh variasi individu, paparan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
17
Universitas Indonesia
formaldehida, atau paparan bahan kimia lain yang juga menghasilkan format seperti
metanol, halometan ( diklorometan ) dan aseton.4
2.5.2 Biomarker Efek
Peningkatan konsentrasi eosinofil dan peningkatan kadar albumin dan protein
total telah ditemukan pada cairan lavage hidung pada pekerja yang terekpose 0,4 ppm
formaldehida selama 2 jam. Walaupun hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh
formaldehida, namun dapat menjadi biomarker yang menjanjikan dari iritasi akut
pernafasan pada paparan udara formaldehida. Seperti telah dijelaskan, ikatan silang
DNA – Protein pada sel darah putih dan anti – formaldehida – albumin serum
manusia antibodi IgG di darah dapat menjadi biomarker potensial untuk hubungan
eksposure dan efek terkait dengan paparan intermediate atau kronik dari
formaldehida.4
Biomarker potensial lain yang berguna untuk pajanan formaldehida secara
inhalasi melibatkan pemeriksaan histologis biopsi sampel hidung. Perubahan
histologis pada biopsi sampel jaringan hidung (misalnya, hilangnya sel bersilia,
displasia skuamosa dan hiperplasia) telah dikaitkan dengan eksposur formaldehid
dalam beberapa penelitian kros seksional pada pekerja formaldehida yang terekspose
dan tidak terekspose. Masing-masing studi menggunakan metode penilaian morfologi
dengan peningkatan nilai untuk perubahan histologis mulai keparahan dari hilangnya
sel bersilia dan adanya sel-sel ganas. Prevalensi berbagai jenis perubahan dan rata-
rata skor histologis antara yang terekspose dan tidak terekspose. Penemuan dari studi
pada tikus mengindikasikan bahwa formaldehida menginduksi terjadinya kanker
hidung melalui kerusakan berulang pada epitel saluran napas atas. Oleh karena itu
disarankan untuk melakukan pemeriksaan sitologi pada biopsi hidung untuk melihat
ketidaknormalan dari sel epitel sehingga dapat mencegah perkembangan kerusakan
jaringan di saluran napas atas atau mencegah ke arah kanker. Penemuan sejenis yaitu
epitel skuamous displasia dan hiperplasia mukosa hidung telah ditemukan pada
pajanan formaldehida secara kronik. Namun studi ini tidak semata-mata menunjukkan
bahwa formaldehida merupakan toksikan utama yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya kerusakan hidung. Skuamous metaplasia dan hiperplastik mukosa bisa
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
18
Universitas Indonesia
berguna sebagai indikator dari keparahan efek formaldehida. Namun kegunaannya
pada pajanan manusia sangat terbatas.4
2.6 METODE PENGUKURAN FORMALDEHIDA
Terdapat beberapa metode untuk mengukur formaldehida di udara, di
antaranya adalah dengan menggunakan metode spectrometry, gas chromatography-
flame ionization detection (GC-FID), gas chromatography/ mass spectrometry
(GC/MS), gas chromatography/ nitrogen selective detection (GC/NSD), high
performance liquid chromatography/ ultraviolet detection (HPLC/UV), dan fourier
transform infrared spectrometry (FTIRS).11
Metode pengukuran dengan metode NIOSH 3500 merupakan metode
pengukuran dengan menggunakan teknik visible absorption spectometry, dengan
sampler berupa filter + impingers. Metode ini merupakan metode yang paling sensitif
untuk pengukuran formaldehida pada metode analisis NIOSH. Metode NIOSH 3500
diukur dengan alat spectrophotometer. Metode GC-FID dilakukan dengan cara
menarik udara ke dalam tabung sorben padat yang berisi hidroksimetil piperidin.
Metode GC-FID baik untuk digunakan untuk mengukur zat hidrokarbon seperti
metan, etan, asetilene, dan substan organik yang mengandung hidrokarbon atau
volatile organic compound. Sampel dalam FID akan mengalami pembakaran dalam
hidrogen. Ion dan elektron bebas akan terbentuk. Kemudian partikel yang bermuatan
akan menghasilkan arus yang menyebabkan perubahan pada celah 2 elektroda pada
detektor. Perubahan pada celah elektroda ini yang kemudian dicatat sebagai sinyal
oleh detektor.11,12
Hasil pengukuran formaldehida di lingkungan kerja dibandingkan dengan
dengan nilai ambang berdasarkan Occupational Safety & Health Administration
(OSHA) yaitu time weighted average TWA formaldehida adalah 0,75 ppm dan short
term exposure limit ( STEL) adalah 2 ppm. Monitoring inisial harus diulang setiap
saat terjadi perubahan produksi, peralatan, proses, atau tenaga kerja dimana dapat
berakibat pada adanya eksposure baru atau tambahan terhadap formaldehida. Menurut
OSHA bila hasil monitoring sebelumnya didapatkan eksposure formaldehida sama
atau lebih besar dari nilai STEL, monitoring harus diulang pada pekerja setidaknya
setahun sekali dalam kondisi terburuk.13
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
19
Universitas Indonesia
Sedangkan Nilai Ambang Batas ( NAB ) formaldehida berdasarkan Standar
Nasional Indonesia mengacu pada surat edaran Menteri Tenaga Kerja nomor : SE-
01/MEN/1997 kadar tertinggi formaldehida yang diperkenankan adalah 0,37 mg/m3
;
0,3 ppm.14
2.7 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
Hidung merupakan organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Melalui hidung, udara dihirup lebih dari 10.000 L/ 24
jam. Udara ini mengandung jutaan partikel yang bersifat infeksius, alergen, toksik dan
iritan. Perubahan patologik dapat terjadi akibat pajanan partikel tersebut. Struktur
anatomi dan fisiologi hidung memungkinkan kontak langsung dari lingkungan
eksternal dan internal menyebabkan hidung akan mudah terpajan oleh berbagai
stimulasi atau rangsangan.21
Tiga fungsi utama hidung adalah sebagai organ
pembau (olfactory), respirasi dan proteksi. Turbulensi aliran udara saat inspirasi
dengan mukosa rongga hidung merupakan dasar dari fungsi fisiologi hidung.15
Rongga hidung merupakan suatu ruangan yang kaku yang letaknya
memanjang dari nares anterior (nostril) ke arah koana bergabung dengan nasofaring.
Bagian dalam hidung panjangnya 10-12 cm. Rongga hidung dibagi 2 oleh septum
nasi Katup hidung (nasal valve) berada lebih kurang 1,3 cm dari nares anterior
dan merupakan segmen tersempit serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung.
Dengan memasuki daerah yang sempit ini akan terjadi peningkatan aliran dan
mengakibatkan penurunan tekanan intralumen (fenomena Bernoulli).15
Di dinding lateral hidung terdapat konka superior, konka media, dan
konka inferior serta meatus superior, meatus media dan meatus inferior. Konka
dapat berubah ukuran sehingga dapat mempertahankan lebar rongga udara yang
optimum. Bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak
lengkap dengan otot polos. Semakin ke distal kartilago semakin kecil, akhirnya
hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter
saluran nafas. Kontraksi inilah yang dipengaruhi oleh mediator-mediator serta
sel-sel inflamasi dalam proses terjadinya asma bronkial.15
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
20
Universitas Indonesia
2.8 IMUNOPATOGENESIS
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh
Ishizaka (Amerika) , Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung
timbulnya penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan
diagnostik. Selanjutnya pemeriksaan invivo dan invitro ditujukan untuk
membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi
mediator yang dilepaskan. Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi
fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi alergi fase
cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai
puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen, sedangkan reaksi alergi fase
lambat (RAFL) berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8
jam pertama.15
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup
bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel
dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen
Presenting Cell/ APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14
asam amino yang berikatan dengan molekul Human Leucocyte Antigen ( HLA )
kelas II membentuk kompleks Major Histocompatibility Complex ( MHC ) kelas II
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th0 ) . Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi.15
Mukosa yang sudah tersensitisasi apabila terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
21
Universitas Indonesia
Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase
cepat.15
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain
itu histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.15
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini
akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. 15
Eosinofil
dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/lokasi alergi
dipengaruhi faktor kemotaktik, melalui beberapa tahap seperti migrasi
(perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai
berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling),
diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi
molekul adesi endotel seperti intercell adhesi molecule–1 (ICAM-1) dan vascular
cell adhesi molecule-1 (VCAM-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel
eosinofil karena sel eosinofil mengekpresikan very late antigen 4 (VLA-4) yang
akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel
mukosa hidung yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus menerus dan
menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) seperti
terlihat pada rinitis alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan
bebas gejala. Sekarang eosinofil dengan peran pro inflamasi dan peran pentingnya
pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek
penelitian dasar dan terapi.16
Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan
berbagai sitokin pada sekret hidung. Salah satu grup sitokin yang berhubungan
dengan dengan inflamasi alergi, dan bertanggungjawab untuk aktivasi leukosit,
monosit, netrofil, eosinofil, dan basofil adalah Kemokin. Kemokin juga lebih spesifik
menginduksi degranulasi. Setelah direkrut ke jaringan inflamasi, eosinofil menerima
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
22
Universitas Indonesia
sinyal untuk memulai degranulasi, menyebabkan dilepaskannya protein granul
eosinofil seperti major basic protein (MPB), eosinophil peroksidase (EPO) dan
eosinophil cationic protein (ECP).17
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif
hidung ini adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya. Protein granul eosinofil tersebut mempunyai efek menyebabkan
desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan
kerusakan sel karena radikal bebas. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 15
Paparan
alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel
B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada
bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya
dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit
kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan
berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam
keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau
penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang
positif.15,16
Pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi menyebabkan intensitas
pajanan di hidung semakin kuat sehingga kadar eosinofil mukosa hidung semakin
meningkat. Riwayat atopi pada pekerja dapat diketahui melalui anamnesis riwayat
salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, dermatitis atopi atau sudah pernah
didiagnosis atopi oleh dokter perusahaannya.
Pada individu yang atopi lebih
cenderung mengalami hiperresponsivitas jalan napas daripada individu yang non-
atopi.18
2.9 SISTEM IMUNITAS MUKOSA
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan
berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih
bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung
dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
23
Universitas Indonesia
bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin
dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan
kimiawi dengan enzim-enzim mukosa. Antigen yang telah menembus mukosa juga
dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk
mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh
karena adanya paparan antigen yang sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas
sistemik bersifat memicu respons imun oleh karena adanya paparan antigen.19
Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran cerna,
saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada
mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang menutupi mukosa dan enzim adalah
perlindungan mekanik dan kimiawi yang sangat kuat, sistem imun
mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun
mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa juga melindungi
bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan. Sistem imun lokal ini
merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi
di dalam atau transit antara berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Tisssue (MALT),
bersama-sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.19
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu : melindungi
membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin
menembus masuk, melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi
meliputi protein-protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, dan melindungi berkembangnya respons imun yang
berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut
mencapai dalam tubuh. MALT akan menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan
mengatur intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun
berlebih. Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu; mekanis
dengan barries fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem imune innate meliputi
netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel natural killer (NK), dan sel mast. Sel-
sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem
yang diperantarai antibodi IgA sekretori.19
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
24
Universitas Indonesia
Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose associated lymphoid
tissue (NALT), larynx associated lymphoid tissue (LALT), dan bronchus associated
lymphoid tissue (BALT). BALT terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa
germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada 100%
kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit
pada fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini
merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.19
Respons imun diawali oleh microfold cells (sel M ) yang berlokasi di epitel
yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan
dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen
lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel
dendritik submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus
merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus
ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag
alveolus paling banyak terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran
napas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag
alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan
melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke
organ limfoid lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit
spesifik antigen yang dapat memulai proses imun selanjutnya.19
Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan
kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke
efektor mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin
lokal, khususnya mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T
spesifik antigen adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang
lisis atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini
akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang
menjadi sel plasma IgA.19
2.10 EOSINOFIL
Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kelompok
granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
25
Universitas Indonesia
multiselular dan beberapa infeksi pada makhluk vertebrata. Eosinofil ikut
mengendalikan mekanisme alergi. Eosinofil terbentuk pada proses hematopoiesis
yang terjadi pada sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.20
Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil
peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa
asam amino melalui proses degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini
bersifat toksik terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat
peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur
dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan. Individu
normal mempunyai rasio eosinofil sekitar satu hingga tiga % terhadap sel darah putih
dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.20
Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara
korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus,
limpa dan lymph nodes. Eosinofil tidak dijumpai di paru, kulit, esofagus dan organ
dalam lainnya pada kondisi normal, keberadaan eosinofil pada area ini sering
merupakan pertanda adanya suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi
darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan
apabila tidak terdapat stimulasi.20
Kadar eosinofil dalam darah dan jaringan relatif rendah, kecuali pada
pasien atopi dan infeksi parasit. Eosinofil dapat diidentifikasi pada darah dan
jaringan melalui afinitas granul sitoplasmiknya terhadap zat warna anilin seperti
eosin. Karena eosinofil sulit dideteksi dalam jaringan setelah degranulasi,
pewarnaan immunologis untuk protein yang spesifik untuk eosinofil, terutama
major basic protein (MBP) dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan
adanya eosinofil teraktivasi dalam jaringan. Pemeriksaan eosinofil kerokan
mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan rinitis akibat kerja yang
murah dan mudah dilakukan. Arjana dan Alimah telah menggunakan pemeriksaan
eosinofil kerokan mukosa hidung untuk mendeteksi rinitis alergi, di mana
dilaporkan sensitivitasnya 70% dan spesifisitasnya 94%. Kelemahan dari
pemeriksaan ini adalah tidak dapat menyaring peningkatan kadar eosinofil yang
disebabkan oleh investasi parasit dan non-alergic rhinitis dengan eosinophylia
syndrome (NARES). 18
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
26
Universitas Indonesia
Adanya eosinofil dalam kerokan mukosa hidung menunjukkan adanya
minimal persistance inflammation, walaupun pada pekerja yang tanpa gejala
hidung. Eosinofil dapat menimbulkan hiperresponsivitas mukosa hidung, sehingga
dengan rangsangan yang minimal telah dapat menimbulkan iritasi pada jalan
napas. Efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya
protein dengan berat molekul rendah yang tersimpan dalam granula
sitoplasmiknya, yaitu MBP, eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dan ECP bersifat
toksik dengan merusak membran sel target melalui interaksi yang diperantarai
muatan elektrolit (charge-mediated interaction). MBP juga mengaktivasi
trombosit, sel mast dan basofil, yang akhirnya menghasilkan histamin. MBP
dapat menginduksi hiper-responsivitas jalan napas dengan secara kompetitif
menghambat pengikatan reseptor muskarinik kolinergik (M2) pada saraf
parasimpatis, sehingga penghambatan reseptor ini oleh MBP akan mempercepat
pelepasan asetilkolin pada jalan napas.18
2.11 NEUTROFIL
Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN)
adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan dua sel
granulosit lain: eosinofil dan basofil yang mempunyai granula pada sitoplasma,
disebut juga polymorphonuclear. 20
Inti neutrofil berlobus warna biru ungu dengan
sitoplasma warna merah pucat bergranula halus.21
Neutrofil bermigrasi dari lamina propria ke sel epitel dan sejumlah kecil
neutrofil terdapat pada mukosa hidung orang normal. Neutrofil berhubungan dengan
pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan kecil lainnya, serta
menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Fungsi utama
neutrofil adalah fagositosis. Granula dan lisosomnya mengandung berbagai enzim
seperti lisosom dan mieloperoksidase yang akan menghancurkan bakteri. Batasan
normal untuk derajat neutrofil adalah kurang atau sama dengan + 1. Peningkatan
neutrofil ditemukan pada peradangan dan paparan iritan. Pada rinitis oleh karena
infeksi bakteri akut ditemukan peningkatan neutrofil dengan adanya sejumlah besar
bakteri terutama bakteri intrasel.21
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
27
Universitas Indonesia
Neutrofil mengalami enam tahap perkembangan : promielosit, metamielosit,
neutrofil batang (band), neutrofil segmen. Neutrofil akan meningkat sepuluh kali lipat
pada inflamasi akut. Neutrofil segmen merupakan sel aktif yang mengandung granula
sitoplasmik (muda atau azurofil, sekunder, atau spesifik) dan inti sel segmentasi yang
kaya kromatin.20
Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa,
serta terlepasnya sel-sel radang dan perubahan pH. Endotoksin bakteri serta enzim
proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia
dan frekuensi denyut silia.22
2.12 PEMERIKSAAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG
Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung membutuhkan peralatan
seperti : Kaca objek, lampu kepala, spekulum hidung, pensil dan kuret arlington.
Cara melakukan pemeriksaan swab hidung adalah sebagai berikut pertama siapkan 1
kaca objek yang bersih dan kering, pekerja dalam posisi duduk dan dalam keadaan
tenang. Kemudian lubang hidung dibuka dengan spekulum hidung dan dilakukan
kerokan mukosa pada sisi medial konka inferior dengan menggunakan kuret
Arlington. Usapkan secara merata sekret mukosa hidung di kuret pada kaca objek.
Hapusan kerokan mukosa hidung pada kaca objek tadi dibiarkan mengering di udara.
Identitas sampel yang diperiksa ditulis pada bagian pinggir kaca objek dengan pensil.
Kemudian sediaan hapus diletakkan pada 2 batang gelas di atas bak tempat
pewarnaan untuk dilakukan fiksasi sediaan dengan metanol absolut selama 1 – 2
menit. Setelah itu teteskan zat warna Wright hingga menutupi seluruh lapang pandang
slide. Diamkan sediaan selama 10 menit, kemudian teteskan larutan dapar ( jumlah
tetesan = tetesan zat warna ) di atas zat warna Wright, tiup hingga bercampur.
Diamkan selama 15 menit. Setelah itu bilas dengan air mengalir sampai bersih.
Bagian bawah kaca objek dibersihkan dari sisa zat warna dan biarkan kering dalam
posisi tegak. Sediaan dibaca dengan mikroskop dengan pembesaran 100x per sepuluh
lapangan pandang. Penilaian eosinofil dan neutrofil seperti pada tabel 1.1.21
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
28
Universitas Indonesia
Tabel 1.1 Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung21
Derajat Jumlah Sel Eosinofil dan Neutrofil
Derajat 0 jumlah sel eosinofil atau neutrofil 0
Derajat ½ +
Derajat 1 +
Derajat 2 +
Derajat 3 +
Derajat 4 +
Jumlah sel eosinofil atau netrofil 0,1 – 1,0
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 1,1 – 5,0
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 6,0 – 15,0
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 16,0 – 20,0
jumlah sel eosinofil atau neutrofil > 20
2.13 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EOSINOFIL DAN
NEUTROFIL MUKOSA HIDUNG
2.13.1. Merokok
Asap rokok merupakan faktor yang dapat memperberat gejala hiperaktif atau
hiperesponsif hidung. Gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Asap
rokok merupakan faktor non spesifik yang dapat menyebabkan iritasi dan
memperberat gejala. Sedangkan faktor spesifik yaitu berupa alergen.15
Faktor
kebiasaan merokok juga dapat memicu terjadinya rinitis alergi selain faktor polusi
udara.16
Partikel-partikel toksin, alergen, debu, bakteri, dan lain-lain yang masuk ke
saluran napas atas juga akan dialirkan keluar oleh sistem mukosiliar ke arah
nasofaring. Sistem mukosilier merupakan barrier pertama sistem pertahanan tubuh
pada pernapasan. Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu
bersih. Bersihan mukosilier yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam
hidung dan sinus paranasal.22
2.13.2 Riwayat Atopi
Pada orang yang memiliki riwayat atopi lebih cenderung mengalami
hiperesponsivitas jalan napas dibandingkan yang non atopi. Penelitian pada pekerja
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
29
Universitas Indonesia
yang terpajan debu kayu menunjukkan bahwa individu dengan riwayat atopi memiliki
kecenderungan untuk mengalami peningkatan kadar eosinofil mukosa hidung yang
diperberat dengan pajanan.18
2.13.3 Masa Kerja
Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak terpajan bahaya yang
ditimbulkan oleh lingkungan kerja. Hubungan antara paparan dan efek ini sangat
bergantung pada tiga hal yaitu kadar formaldehid dalam udara, dosis paparan
kumulatif (penjumlahan kadar dalam udara dan lamanya paparan), dan waktu tinggal
atau lamanya formaldehida berada dalam hidung.4
2.13.4 Alat pelindung diri
Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi
pekerja terhadap bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan
kerja. Alat yang dipakai disini untuk melindungi sistem pernafasan dari partikel -
partikel berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan kesehatan.
Perlindungan terhadap sistem pernafasan sangat diperlukan terutama bila tercemar
partikel - partikel berbahaya, baik yang berbentuk gas, aerosol, cairan, ataupun
kimiawi.
2.13.5 Olahraga
Olahraga berkaitan tingkat kebugaran jasmani. Dengan olahraga dapat
meningkatkan kapasitas kerja sistem sirkulasi (jantung dan pembuluh darah), sistem
saraf dan sistem otot tubuh. Semua sistem tersebut memiliki peranan untuk
peningkatan kondisi fisik atau tingkat kebugaran. Tubuh yang sehat dan kuat juga
dapat membentuk antibodi yang baik. Orang yang memiliki status kesehatan yang
baik akan memiliki daya tahan tubuh terhadap penyakit. Penelitian “Dampak senam
aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit” oleh Purwanto mendapatkan hasil
bahwa tingkat daya tahan tubuh terhadap penyakit yang mengikuti senam aerobik
lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengikuti senam aerobik.23
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
30
Universitas Indonesia
2.14 PENELITIAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJANAN
FORMALDEHIDA TERHADAP EOSINOFIL DAN NEUTROFIL
2.14.1 Penelitian Krakowiak ( 1992 ) dengan eksposure 20 sukarelawan pada orang
sehat dan asma hingga dengan kadar 0,5 mg/m3 formaldehida selama 2 jam. Lavage
hidung dilakukan sebelum pajanan, segera setelah paparan dan 4 dan 18 jam
eksposure berakhir. Hasil penelitian yaitu ada peningkatan jumlah dan proporsi
eosinofil dan peningkatan albumin dan total protein pada cairan hidung setelah 4 jam
dan 18 jam pajanan formaldehida. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat
keterbatasan bukti untuk sel mast dan degranulasi eosinofil dan kemiripan respon
pada orang sehat dan asma mengindikasikan terdapat proses nonspesifik, inflamatori
non alergi pada mukosa hidung.6
2.14.2 Penelitian Tatsuo Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of
formaldehyde, as an indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa
formaldehida menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak
epitel dalam waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke
saluran napas melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated. Neutrofil
menyebabkan respon inflamasi, termasuk gangguan epitel saluran nafas melalui
pelepasan mediator kimia, superoxide anions atau proteases.24
2.14.3 Penelitian Kim tahun 2002 dengan judul “Effect of formaldehyde on the
expression of adhesion molecules in nasal microvascular endothelial cells: the role
of formaldehyde in the pathogenesis of sick building syndrome.” Kim meneliti efek
formaldehida pada human mucosal microvascular endothelial cells ( HMMECs ) dan
menyelidiki efek formaldehida pada adhesiveness HMMECs dengan eosinofil.
Ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell adhesion
molecule (VCAM-1) pada HMMECs dievaluasi dengan flow sitometri. Perubahan
ekspresi dari ICAM-1 and VCAM-1 mRNA kemudian dievaluasi dengan reverse
transcriptase polymerase chain reaction. Didapatkan hasil bahwa formaldehida
meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell
adhesion molecule (VCAM-1) pada HMMECs. Formaldehida juga menginduksi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
31
Universitas Indonesia
ICAM-1 dan VCAM-1 mRNA. Sebagai tambahan, adhesiveness antara HMMECs
dan eosinofil juga meningkat oleh karena formaldehida. Disimpulkan bahwa studi in
vitro ini menyarankan bahwa formaldehida memiliki peran sebagai iritan pada
mukosa hidung dengan meningkatkan ekspresi adhesion molecules pada HMMECs
dan dengan merubah adhesiveness antara HMMECs dan eosinofil.5
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian
ini peneliti menggunakan sediaan dengan cara swab mukosa hidung yang dinilai
secara kuantitatif, dan sampel yang digunakan adalah pekerja yang telah bekerja
selama > 1 tahun untuk pajanan kronik.
2.15 TINJAUAN PERUSAHAAN
Penelitian dilakukan di perusahaan yang bergerak di industri kain ban ( tire
cord fabric ) dengan kapasitas produksi mencapai 19.000 ton/ tahun. Bahan baku
yang digunakan untuk produksi kain ban adalah VP Latek dan Filamen Yarn,
Perusahaan memiliki jumlah karyawan sekitar 900 orang. Pekerja di bagian dipping
sebanyak 72 orang, sedangkan di weaving sebanyak 118 orang yang dibagi menjadi 3
shift selama 24 jam.
2.15.1 Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Perusahaan telah mempunyai sistem pelaksanaan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3). Salah satu bentuknya adalah adanya bagian khusus yang menangani
sistem K3 di perusahaan yaitu bagian Health and Safety Department yang dipimpin
oleh seorang dokter yang telah menjalani pendidikan kesehatan kerja. Perusahaan
juga telah memiliki klinik perusahaan untuk melayani pekerja yang berobat dan
menangani pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Klinik dipimpin oleh seorang
dokter dan dibantu oleh perawat. Pelayanan yang diberikan di klinik bersifat kuratif.
Kasus – kasus yang dapat ditangani di klinik akan ditangani di klinik sedangkan
kasus-kasus yang tidak dapat ditangani akan dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Perusahaan juga menerapkan pelaksanaan medical check up (MCU) rutin yang
diadakan setiap tahun bagi pekerja. Pelaksanaan medical check up dilakukan dengan
bekerjasama dengan pihak lain penyelenggara MCU.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
32
Universitas Indonesia
Program preventif yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah pengukuran
formaldehida di lingkungan kerja khususnya bagian dipping. Pengukuran dilakukan
menggunakan alat pengukur yang dimiliki oleh perusahaan yaitu Alat Ukur MSA
Altair 5 X dan bekerjasama dengan pihak lain yang terstandarisasi untuk pengukuran
formaldehida di lingkungan kerja. Program preventif lainnya adalah sudah tersedia
Material Safety Data Sheet (MSDS) tentang formaldehida walaupun sosialisasi
kepada pekerja belum dilaksanakan. Sedangkan upaya promotif yang dilaksanakan
adalah adanya health talk yang dilakukan oleh bagian Health and Safety kepada
pekerja yang dilakukan pada pagi hari.
Pengendalian bahaya potensial yang telah dilakukan oleh perusahaan yang
berhubungan dengan pajanan formaldehida di dipping seperti adanya general
ventilation, penyimpanan formaldehida di unit telah disimpan di tangki yang tertutup ,
dan perusahaan juga telah memfasilitasi penggunaan alat pelindung diri berupa
masker, sarung tangan, dan safety helm.
2.15.2 Proses Produksi Kain Ban
Perusahaan menghasilkan kain ban dengan tahapan proses produksi dimulai
dengan pemintalan benang nilon dari gulungannya ( cone ) dengan kecepatan sangat
tinggi dan digulung ke klos ( Gambar 1.2 ). Kemudian benang nilon tersebut dipintal
lagi dengan cara melilit dua atau tiga benang single ply oleh cable twister. Kemudian
benang yang telat dililit akan ditenun membentuk lembaran-lembaran kain (weaving).
Kemudian kain tersebut akan digulung menjadi rol-rol yang berdiameter 500 sampai
1500 mm. Pekerja yang bekerja di bagian weaving bertugas mengawasi jalannya
mesin penenunan dan apabila terjadi benang putus atau melilit satu dengan yang lain
maka pekerja di bagian ini bertugas untuk memperbaikinya. Bahan kain ban tersebut
kemudian dicelupkan ke dalam bak celup. Bagian dipping memiliki panjang 84 meter
dan lebar 80 meter (luas 6720 m2). (Gambar 1.3). Pemintalan dan penenunan
dilakukan pada suhu 28 oC dan kelembaban relatif 65 %. Di bagian dipping
digunakan formaldehida untuk mencelupkan kain ban tersebut. Formaldehida
berfungsi untuk melunakkan dan mengawetkan serat ban. Unit dipping memiliki 3
tangki penyimpanan formaldehida yang tertutup. Di bagian dipping menggunakan
sistem kain bergerak secara vertikal. Sedangkan pengisian formaldehida pada bak
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
33
Universitas Indonesia
celup dilakukan secara manual oleh pekerja. Bagian dipping terletak bersebelahan
dengan weaving yang dipisahkan oleh tembok dan akses keluar masuk melalui pintu
masuk yang berbeda.
Gambar 1.2
Diagram Alir Pembuatan Kain Ban
BBeennaanngg NNyylloonn
PPeemmiinnttaallaann
TTuunnggggaall
PPeemmiinnttaallaann
GGaannddaa
WWeeaavviinngg
((PPeenneennuunnaann))
DDiippppiinngg
((PPeenncceelluuppaann))
KKaaiinn BBaann
BBaahhaann PPeennoolloonngg
((BBeennaanngg))
BBaahhaann PPeennoolloonngg
((CChheemmiiccaall)) LLiimmbbaahh CCaaiirr
11
22
33
44
55
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
34
Universitas Indonesia
Gambar 1.3 Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping
Dalam penelitian ini dinilai pekerja yang bekerja di dua bagian yaitu bagian
dipping dan bagian weaving. Bagian dipping dipilih karena pekerja pada bagian ini
terpapar secara langsung oleh formaldehida. Sedangkan bagian weaving dipilih
karena memiliki karakteristik pekerja yang hampir sama dengan bagian dipping yaitu
pekerja blue collar. Pada gambar 1.2 terlihat bahwa bagian weaving adalah bagian
kerja sebelum dipping. Di bagian weaving (penenunan) tidak menggunakan bahan
kimia formaldehida namun menggunakan benang nilon.
2.16 PENGUKURAN KADAR FORMALDEHIDA
Pengukuran kadar formaldehida di udara di bagian diiping (Pencelupan) yang
dilaksanakan pada tanggal 18 desember 2012 dengan menggunakan alat ukur MSA
Altair 5 X yang dimiliki oleh perusahaan didapatkan hasil 0,2 ppm di dip unit 1 dan
0,1 ppm di dip unit 2. Hasil pengukuran masih berada di bawah nilai ambang batas
berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
35
Universitas Indonesia
2.17 KERANGKA TEORI
Mukosa Hidung Formaldehida
MHC klas II
Sel Th 0
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II + ligand
APC
Jumlah APC Mukosa
Hidung
Jumlah sel Th2 ( Kadar IL3, IL4, IL5, IL 13 )
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II + ligand APC
Jumlah Eosinofil
darah
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II +
ligand APC
Sel Limfosit B
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II +
ligand APC
IgE
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II +
ligand APC
Basofil
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II + ligand APC
Histamin
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II +
ligand APC
Riwayat Atopi
Lama Kerja
Masa Kerja
Alat Pelindung diri
Usia
Jenis Kelamin
Merokok
Olahraga
Eosinofil dan Neutrofil di
Jaringan Target
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II + ligand APC
Mastosit
0
(TCR + CD4)0
(TCR + CD4)
MHC klas II + ligand APC
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
36
Universitas Indonesia
2.18 KERANGKA KONSEP
Terpajan Formaldehida Eosinofil Swab
Hidung
Neutrofil Swab
Hidung
Demografi
Usia
Riwayat Atopi
Individu
Kebiasaan
Merokok
Kebiasaan
Olahraga
Pekerjaan
Masa Kerja
Penggunaan Alat
Pelindung diri
Kadar Formaldehida
di udara
Tidak Terpajan
Formaldehida
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
37
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian pajanan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab
hidung pada pekerja industri kain ban merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan desain cross sectional comparative. yaitu dengan
membandingkan kelompok pekerja di bagian dipping yang terpajan
formaldehida dengan kelompok pekerja di bagian weaving yang tidak
terpajan formaldehida.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian adalah perusahaan kain ban
Waktu penelitian adalah September 2013 – Januari 2015
3.3 Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah pekerja pada industri kain ban
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pekerja laki-laki pada industri
kain ban di bagian dipping dan di bagian weaving.
3.4 Sampel
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Berstatus sebagai pekerja pada industri kain ban
2. Pekerja laki-laki
3. Pekerja telah bekerja > 1 tahun 4
4. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani informed
consent
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Pekerja yang sedang dalam pengobatan : anti histamin, steroid,
dekongestan, atau antibiotik dalam waktu 24 jam
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
38
Universitas Indonesia
Pekerja yang sedang menderita Rhinitis (berdasarkan definisi dari Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma/ARIA 2008 update yaitu sebuah
inflamasi dari hidung dengan karakteristik gejala hidung meliputi
rhinorhea, bersin, sumbatan hidung dan atau gatal-gatal pada hidung yang
berlangsung > 2 hari per minggu dengan lebih dari 1 jam setiap harinya.)25
3.4.3 Kriteria drop out
Responden tidak dapat melanjutkan keikutsertaan/ mengundurkan diri dari
penelitian
3.4.4 Perhitungan besar sampel 26
Besarnya sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis
terhadap 2 proporsi dua kelompok independent
n1 : kelompok yang terpajan
n2 : kelompok yang tidak terpajan
Zα : Kesalahan tipe 1 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,96
Zβ : Kesalahan tipe 2 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,645
P1 : Proporsi efek yang diteliti yaitu eosinofil positif pada terpajan27
: 77,8%
P2 : Proporsi efek standar yaitu eosinofil positif pada tidak terpajan27
: 40,9 %
P1 – P2 : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 36,9%
P : Proporsi total = (P1+P2)/2 = 59,35 %
Q : 1 – P : 40,65
Q1 : 1 – P1 = 1 – 0,778 = 0,222
Q2 : 1 – P2 = 1 – 0,409 = 0,591
2)
2
21
2βα
P(P)P2Q2P1Q1z(z
n2 n1PQ
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
39
Universitas Indonesia
Besar sampel
n1 = n2 = {z (2PQ) + zβ (P1Q1 + P2Q2)}2
(P1 –P2)2
= ( 1,96 2 x 0,593x 0,407 + 1,645 0,778 x 0,222+ 0,409x0,591 )2
(0,778 – 0,409)2
= 2,4432
0,3692
= 43,85 = 44
Besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah = 44 sampel.
n1 = n2 = 44 sampel dan perkiraan drop out adalah 20%. maka Total sampel
adalah 44 x 2 = 88 + 20% ( perkiraan drop out ) = 106 sampel.
Namun dikarenakan jumlah populasi terpajan formaldehida di bagian
pencelupan ( dipping ) sebanyak 72 pekerja maka keseluruhan pekerja akan
dijadikan sampel pada penelitian ini dan sebanyak 72 pekerja di bagian
penenunan ( weaving ) akan dijadikan sampel populasi tidak terpajan
formaldehida.
3.4.4 Cara Pengambilan sampel
Cara Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan total
population pada kelompok pencelupan (dipping) dan simple random sampling
pada kelompok penenunan (weaving).
3.5 Sumber data
Variabel dependen : eosinofil dan neutrofil swab hidung
Variabel Independen : faktor usia, riwayat atopi, kebiasaan merokok,
kebiasaan olahraga, masa kerja, penggunaan alat pelindung diri dan
pengukuran kadar formaldehida lingkungan.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
40
Universitas Indonesia
3.5.1 Variabel data primer
Diperoleh melalui wawancara dan kuesioner terhadap responden
Data Primer yaitu :
a. Menentukan faktor-faktor demografi ( usia, riwayat atopi ), individu (
kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga ) dan faktor pekerjaan ( masa
kerja dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan wawancara dan
kuesioner.
b. Data hasil pemeriksaan eosinofil dan neutrotil swab hidung.
3.5.2 Variabel data Sekunder
Data sekunder yaitu : hasil pengukuran kadar formaldehida di lingkungan
kerja didapat dari perusahaan.
3.5.3 Batasan Operasional
Tabel 3.1 Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida Terhadap Eosinofil
dan Neutrofil Swab Hidung Pada Pekerja Industri Kain Ban
No Variabel Alat
Ukur
Cara pengukuran Skala
1 Eosinofil
mukosa
hidung
Data
Primer
dengan melakukan kerokan pada permukaan
konka inferior menggunakan kuret
Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop
dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan
pandang. Hasil21
:
Derajat 0 : jumlah sel 0
Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0
Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0
Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0
Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0
Derajat 4 + : jumlah sel > 20.
Kategorik
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
41
Universitas Indonesia
2
3
4
5
6
Neutrofil
mukosa
hidung
Usia
Riwayat
Atopi
Masa
Kerja
APD
Data
Primer
Data
Primer
Data
Primer
Data
Primer
Data
primer
dengan melakukan kerokan pada permukaan
konka inferior menggunakan kuret
Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop
dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan
pandang. Hasil21
:
Derajat 0 : jumlah sel 0
Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0
Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0
Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0
Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0
Derajat 4 + : jumlah sel > 20.
Dengan kuesioner dilihat dari selisih usia
pekerja ( tanggal lahir pada KTP ) dengan
waktu dilaksanakannya penelitian.
Hasil : Mean/ Median
Min-Max
Riwayat atopi diketahui melalui wawancara
riwayat salah satu dari gejala asma
bronkialis, rinitis alergi, konjungtivitis
alergi atau dermatitis atopi.18
0 = Tidak
1 = Ya
Jumlah bilangan Dalam tahun masa kerja di
perusahaan tersebut.
Hasil : Mean/ Median
Min-Max
Penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja
0 = Ya, setiap hari
1 = Tidak setiap hari
2 = Tidak pernah
Kategorik
numerik
Kategorik
Numerik
Kategorik
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
42
Universitas Indonesia
7
8
9
Merokok
Olahraga
Formal
dehida
lingku
ngan
data
primer
Data
Primer
Data
primer
Kategori perokok menggunakan indeks
Brinkman (IB), yakni perkalian antara
jumlah rata-rata batang rokok yang
dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun.
Dibagi men jadi :
0 = tidak merokok
1 = ringan jika merokok 1-200 batang,
2 = sedang jika merokok 201-600 batang,
3 = berat jika merokok 601 batang atau
lebih
Kategori olahraga menggunakan
perhitungan frekuensi berolahraga dalam
satu minggu secara rutin.
Dibagi menjadi
0 = tidak pernah
berolahraga sama sekali
1 = olahraga 1-2x/minggu
2 = ≥ 3x/minggu
Pajanan formaldehid eksogen
0 = weaving (penenunan)
1 = dipping (pencelupan)
Kategorik
Kategorik
Kategorik
3.5.4 Cara Pengumpulan data
Cara pengumpulan data pada penelitian ini antara lain untuk data eosinofil dan
neutrofil didapat dengan melakukan swab hidung langsung pada pekerja di
perusahaan. Kemudian sampel yang telah difiksasi di bawa ke laboratorium Patologi
Klinik bagian hematologi untuk dilakukan pemeriksaan jumlah eosinofil dan
neutrofil. Data – data lain seperti data usia, riwayat atopi, masa kerja, penggunaan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
43
Universitas Indonesia
APD, kebiasaan merokok dan kebiasaan olahraga didapat dari pengisian kuesioner.
Sedangkan pengukuran kadar formaldehid lingkungan didapat dari perusahaan
melalui pengukuran secara tidak langsung yaitu menggunakan gas chromatografi
dengan kerjasama laboaratorium MIPA Universitas Indonesia yang dilakukan pada
bulan November 2013 dan Maret 2014.
3.5.5 Cara Analisis Data
Analisis data menggunakan SPSS 20.0 melalui beberapa tahap, sebagai
berikut :
Analisis univariat terhadap variabel independen dan dependen untuk
melihat distribusi frekuensi. Data numerik disajikan dalam bentuk mean ± sd
jika distribusi normal dan median (min-max) jika distibusi tidak normal. Data
kategorik disajikan dalam bentuk proporsi/ persentase
Analisis bivariat untuk mencari hubungan variabel independen dengan
dependen dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang ada.
Analisis multivariat dengan regresi logistik untuk melihat hubungan variabel
independen manakah yang paling dominan.
3.6 Etika Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer, dimana pekerja
dan data hasil penelitian dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian ini. Penelitian dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari komisi
etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia surat nomor 554/ H2.F1/ Etik/ 2013.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
44
Universitas Indonesia
3.7 Alur Penelitian
Verifikasi data pekerja
Kriteria Inklusi
Kriteria Ekslusi
Sampel
Kelompok dipping
(pencelupan)
Kelompok weaving
(penenunan)
Pemeriksaan swab hidung, usia, riwayat atopi,
Pemakaian APD, masa kerja, merokok, olahraga
Analisis Data
Tidak
Ya
Ya
Populasi
Entry Data dan Verifikasi Elektronik
Tidak
Tidak Ikut
Penelitian
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
45
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Pengukuran Formaldehida Lingkungan
Pengukuran kadar formaldehida di tempat kerja dilakukan melalui 2 tahap
yaitu pada bulan November 2013 dan bulan Maret 2014. Pengukuran dilakukan oleh
Lab Afiliasi Kimia Universitas Indonesia. Pengukuran dilakukan di bagian dipping (
pencelupan ) yang terpajan dengan formaldehida. Sedangkan bagian weaving (
penenunan) tidak menggunakan bahan kimia, namun terdapat pajanan benang nilon.
Pengukuran formaldehida lingkungan hanya dilakukan di bagian dipping terkait
masalah perizinan pengukuran oleh perusahaan oleh karena di bagian weaving tidak
ada pajanan bahan kimia.
Hasil pengukuran bulan November 2013 di bagian dipping ( pencelupan )
dengan menggunakan metode GC-FID ( Gas Chromatography-Flame Ionization
Detector) didapatkan hasil kadar formaldehida lingkungan sebesar < 4 ug/mL.
Hasil Pengukuran bulan Maret 2014 dengan menggunakan metode NIOSH 3500 di
bagian dipping ( pencelupan ) didapatkan hasil 0,032 mg/m3. Kedua hasil tersebut
masih berada di bawah nilai ambang batas berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.
4.2 Proses Pengumpulan data
Pengumpulan data penelitian dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
Medical Check Up rutin perusahaan yaitu pada tanggal 3 Maret 2014 sampai
dengan 14 Maret 2014. Data diambil di bagian dipping ( pencelupan ) dan weaving (
penenunan ) setelah pekerja menandatangani informed consent/ lembar persetujuan.
Penelitian ini dilakukan bersama dengan 3 penelitian lainnya yang berjudul :
Hubungan Antara Pajanan Formaldehida Dengan Fungsi Kognitif Pada Pekerja
Industri Kain Ban”, Hubungan Pajanan Formaldehida Dengan Jumlah Leukosit,
Hitung Jenis Dan Morfologinya Pada Pekerja Industri Kain Ban , dan “Hubungan
Antara Pajanan Formaldehida dengan Kadar Cystatin C Serum”.
Proses pengumpulan data dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di
perusahaan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semua pekerja di
bagian dipping yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
46
Universitas Indonesia
eksklusi. Sementara di bagian weaving, sampel diambil dengan random sampling
menggunakan program SPSS dengan jumlah yang sama dengan pekerja di bagian
dipping. Proses pemeriksaan berkala diawali dengan pendaftaran, kemudian pekerja
mengisi kuesioner, pekerja diambil darah oleh petugas laboratorium, pengumpulan
urin, pemeriksaan fisik, pemeriksaan swab hidung, pemeriksaan spirometri, rekam
jantung, pemeriksaan rontgen dan terakhir verifikasi data oleh petugas MCU.
Sebelum pemeriksaan swab hidung peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada
pekerja mengenai maksud,tujuan, dan proses pemeriksaan, kemudian peneliti
menanyakan kesediaan pekerja untuk dilakukan pemeriksaan . Pekerja yang setuju
dilakukan pemeriksaan swab hidung kemudian diminta menandatangani lembar
persetujuan. Setelah menandatangani lembar persetujuan, subjek penelitian akan
mengikuti beberapa prosedur pemeriksaan yaitu pengumpulan dan verifikasi data
kuesioner, dan pemeriksaan swab hidung. Preparat pemeriksaan swab hidung
difiksasi oleh metanol, dan diwarnai di lokasi penelitian. Pewarnaan dilakukan oleh
analis laboratorium. Preparat yang telah diwarnai kemudian dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa oleh dokter spesialis patologi klinik dan kemudian data divalidasi
oleh dokter spesialis patologi klinik RSCM.
4.3 Pengolahan data
Besar sampel minimum adalah 44 sampel pada masing-masing kelompok..
Total sampel penelitian ( gambar 4 ) adalah 100 sampel yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi yang terdiri dari 50 responden di
bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving. Sampel yang didapat pada
penelitian ini memenuhi besar sampel minimum dari hasil perhitungan. Data
kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
47
Universitas Indonesia
Gambar 4.1 Cara pengumpulan sampel
4.4 Karakteristik Responden
Dari 100 responden yang diperiksa di bagian dipping dan weaving
seluruhnya adalah laki-laki, nilai tengah usia adalah 45,5 tahun dengan responden
termuda berusia 19 tahun dan responden tertua berusia 55 tahun (tabel 4.3)
Gambaran eosinofil dan neutrofil (tabel 4.1) didapatkan hasil kategori
eosinofil terbanyak adalah eosinofil derajat 0 sebanyak 70 responden (70 %). Tidak
ada responden dengan eosinofil derajat 3+ dan 4+. Gambaran neutrofil didapatkan
hasil kategori neutrofil terbanyak adalah neutrofil dengan derajat 1+ sebanyak 52
responden (52%). Tidak ada responden dengan neutrofil derajat 3+ dan 4+
Dipping
(Pencelupan)
72 responden
Weaving
(Penenunan)
118 responden
Memenuhi kriteria inklusi
Tidak memenuhi kriteria
eksklusi
50 responden 79 responden
50 responden 50 responden
Simple random
sampling
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
48
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil
No Variabel Kategori n %
1 Eosinofil
Derajat 0
Derajat ½ +
Derajat 1 +
Derajat 2 +
70
10
16
4
70
10
16
4
2 Neutrofil
Derajat 0
Derajat ½ +
Derajat 1 +
Derajat 2 +
20
8
52
20
20
8
52
20
Gambaran eosinofil dan neutrofil di bagian weaving dan dipping terlihat pada tabel
4.2.Bagian weaving lebih banyak eosinofil derajat 1 (56,3%) dan neutrofil derajat
½+ (62,5%), serta neutrofil derajat 2+ (60%). Sedangkan di bagian dipping lebih
banyak eosinofil derajat 0 (51,4%) dan neutrofil derajat 1+ (55,8%).
Tabel 4.2 Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping
No Variabel Kategori Weaving
n (%)
Dipping
n (%)
Total
n (%)
1 Eosinofil
Derajat 0
Derajat ½ +
Derajat 1 +
Derajat 2 +
34 (48,6%)
5 (50%)
9 (56,3%)
2 (50%)
36 (51,4%)
5 (50%)
7 (43,8%)
2 (50%)
70 (100%)
10 (100%)
16 (100%)
4 (100%)
2 Neutrofil
Derajat 0
Derajat ½ +
Derajat 1 +
Derajat 2 +
10 (50%)
5 (62,5%)
23 (44,2%)
12 (60%)
10 (50%)
3 (37,5%)
29 (55,8%)
8 (40%)
20 (100%)
8 (100%)
52 (100%)
20 (100%)
Karakteristik responden berdasarkan faktor demografi yaitu riwayat atopi
sebanyak 95 % responden tidak memiliki riwayat atopi (tabel 4.3).
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi
No Variabel Kategori Median
Min – Max
n %
1 Usia
45,5 tahun
19 tahun – 55 tahun
2 Riwayat atopi Tidak
Ya
95
5
95
5
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
49
Universitas Indonesia
Karakteristik responden berdasarkan faktor individu ( tabel 4.4 ) yaitu
kebiasaan merokok didapatkan responden terbanyak tidak memiliki kebiasaan
merokok yaitu sebanyak 43 responden (43 %). Sedangkan berdasarkan kebiasaan
olahraga didapatkan responden terbanyak memiliki kebiasaan olahraga 1-2 kali/
minggu sebanyak 56 responden (56 %).
Karakteristik responden berdasarkan faktor pekerjaan ( tabel 4.5 )
didapatkan nilai tengah masa kerja responden adalah 22 tahun dan responden
terbanyak tidak setiap hari menggunakan alat pelindung diri sebanyak 58 responden
( 58% ).
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu
No Variabel Kategori n %
1
2
Kebiasaan merokok
Kebiasaan Olahraga
Tidak Merokok
Perokok Ringan
Perokok Sedang
Perokok Berat
> 3 kali/ minggu
1-2 kali/ minggu
Tidak pernah
43
41
15
1
7
56
37
43
41
15
1
7
56
37
Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan
No Variabel Kategori Median
Min – Max
n %
1 Masa Kerja
22 tahun
1 tahun – 29 tahun
2 Penggunaan Alat
Pelindung Diri
Setiap hari
Tidak setiap hari
Tidak Pernah
23
58
19
23
58
19
Karakteristik responden berdasarkan pajanan formaldehida ( tabel 4.6 )
memiliki jumlah responden yang sama besar yaitu 50 responden (50%) di bagian
weaving ( penenunan ) dan 50 responden (50%) di bagian dipping ( pencelupan ).
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
50
Universitas Indonesia
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida
No Variabel n %
1
2
Weaving (Penenunan)
Dipping (Pencelupan)
50
50
50
50
Dari tabel 4.7 dapat terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara responden
yang bekerja di bagian dipping dan weaving berdasarkan usia, riwayat atopi,
merokok, merokok, olahraga dan penggunaan APD. Hanya variabel masa kerja
yang memiliki perbedaan yang bermakna (p 0,043) antara bagian weaving dan
dipping. Di bagian weaving lebih banyak masa kerja > 22 tahun (68%) sedangkan
dipping lebih banyak dengan masa kerja < 22 tahun (52%).
Tabel 4.7 Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving
No Variabel Kategori Weaving
n ( % )
Dipping
n ( % )
p
1
Usia 0
1
< 45 tahun
> 45 tahun
25 (50%)
25 (50%)
25 (50%)
25 (50%)
1,000
2
3
4
5
6
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
47 (94%)
3 (6%)
25 (50%)
25 (50%)
30 (60%)
20 (40%)
16 (32%)
34 (68%)
44 (88%)
6 (12%)
48 (96%)
2 (4%)
18 (36%)
32 (64%)
33 (66%)
17 (34%)
26 (52%)
24 (48%)
37 (74%)
13 (26%)
1,000
0,157
0,534
0,043 *
0,074
* terdapat hubungan yang bermakna ( p<0,05 )
Pada tabel 4.8 dan tabel 4.9 terlihat bahwa pada kelompok weaving
didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara variabel
independent yaitu usia, riwayat atopi, merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja, dan
penggunaan alat pelindung diri terhadap eosinofil dan neutrofil.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
51
Universitas Indonesia
Tabel 4.8 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian
Weaving
No Variabel Kategori Eosinofil
( - )
n ( % )
Eosinofil
( + )
n ( % )
p
1
Usia 0
1
< 45 tahun
> 45 tahun
17 (50%)
17 (50%)
8 (50%)
8 (50%)
1,000
2
3
4
5
6
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
32 (94,1%)
2 (5,9%)
16 (47,1%)
18 (52,9%)
20 (58,8%)
14 (41,2%)
12 (35,3%)
22 (64,7%)
30 (88,2%)
4 (11,8%)
15 (93,8%)
1 (6,3%)
9 (56,3%)
7 (43,8%)
10 (62,5%)
6 (37,5%)
4 (25%)
12 (75%)
14 (87,5%)
2 (12,5%)
1,000
0,544
0,804
0,467
1,000
Tabel 4.9 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian
Weaving
No Variabel Kategori Neutrofil
( - )
n ( % )
Neutrofil
( + )
n ( % )
p
1
Usia 0
1
< 45 tahun
> 45 tahun
6 (60%)
4 (40%)
19 (47,5%)
21 (52,5%)
0,480
2
3
4
5
6
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
8 (80%)
2 (20%)
6 (60%)
4 (40%)
8 (80%)
2 (20%)
4 (40%)
6 (60%)
9 (90%)
1 (10%)
39 (97,5%)
1 (2,5%)
19 (47,5%)
21 (52,5%)
22 (55%)
18 (45%)
12 (30%)
28 (70%)
35 (87,5%)
5 (12,5%)
0,098
0,480
0,279
0,707
1,000
Pada kelompok dipping (tabel 4.10 dan tabel 4.11) didapatkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara variabel independent terhadap eosinofil. Hubungan
yang bermakna hanya kebiasaan merokok terhadap neutrofil (p 0,002).
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
52
Universitas Indonesia
Tabel 4.10 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian
Dipping
No Variabel Kategori Eosinofil
( - )
n ( % )
Eosinofil
( + )
n ( % )
p
1
Usia 0
1
< 45 tahun
> 45 tahun
18 (50%)
18 (50%)
7 (50%)
7 (50%)
1,000
2
3
4
5
6
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
35 (97,2%)
1 (2,8%)
14 (38,9%)
22 (61,1%)
23 (63,9%)
13 (36,1%)
19 (52,8%)
17 (47,2%)
26 (72,2%)
10 (27,8%)
13 (92,9%)
1 (7,1%)
4 (28,6%)
10 (71,4%)
10 (71,4%)
4 (28,6%)
7 (50%)
7 (50%)
11 (78,6%)
3 (3,6%)
0,486
0,495
0,746
0,860
0,734
Tabel 4.11 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian
Dipping
No Variabel Kategori Neutrofil
( - )
n ( % )
Neutrofil
( + )
n ( % )
p
1
Usia 0
1
< 45 tahun
> 45 tahun
4 (40%)
6 (60%)
21 (52,5%)
19 (47,5%)
0,480
2
3
4
5
6
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
10 (100%)
0 (0%)
8 (80%)
2 (20%)
7 (70%)
3 (30%)
4 (40%)
6 (60%)
5 (50%)
5 (50%)
38 (95%)
2 (5%)
10 (25%)
30 (75%)
26 (65%)
14 (35%)
22 (55%)
18 (45%)
32 (80%)
8 (20%)
1,000
0,002 *
1,000
0,490
0,101
* terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05)
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
53
Universitas Indonesia
4.5 Analisis Bivariat
4.5.1 Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil
Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada
tabel 4.12, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel
independen terhadap eosinofil.
Tabel 4.12 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil
No Variabel Kategori Eosinofil
( - )
n ( % )
Eosinofil
( + )
n ( % )
OR CI p
1
2
Formal
dehida
Usia
0
1
0
1
Weaving
Dipping
< 45 tahun
> 45 tahun
34 (68,0)
36 (72,0)
35 (70)
35 (70)
16 (32,0)
14 (28,0)
15 (30)
15 (30)
0,826
1,000
0,351 - 1,947
0,425 - 2,352
0,663
1,000
3
4
5
6
7
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
67 (70,5)
3 (60,0)
30 (69,8)
40 (70,2)
43 (68,3)
27 (72,0)
31 (73,8)
39 (67,2)
56 (69,1)
14 (73,7)
28 (29,5)
2 (40,0)
13 (30,2)
17 (29,7)
20 (31,7)
10 (27,0)
11 (26,2)
19 (32,8)
25 (30,9)
5 (26,3)
1,595
0,981
0,796
1,373
0,800
0,253 - 10,072
0,414 - 2,326
0,324 - 1,956
0,570 - 3,309
0,260 - 2,463
0,635
0,965
0,619
0,479
0,697
4.5.2 Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil
Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada
tabel 4.13, didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel merokok terhadap
neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
54
Universitas Indonesia
Tabel 4.13 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil
No Variabel Kategori Neutrofil
( - )
n ( % )
Neutrofil
( + )
n ( % )
OR CI p
1
2
Formal
dehida
Usia
0
1
0
1
Weaving
Dipping
< 45 tahun
> 45 tahun
10 (20,0)
10 (20,0)
10 (20)
10 (20)
40 (80,0)
40 (80,0)
40 (80)
40 (80)
1,000
1,000
0,375 - 2,664
0,375 - 2,664
1,000
1,000
3
4
5
6
7
Riwayat
Atopi
Merokok
Olahraga
Masa
Kerja
APD
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
< 22 tahun
> 22 tahun
Ya
Tidak
18 (18,9)
2 (40,0)
14 (32,6)
6 (10,5)
15 (23,8)
5 (13,5)
8 (19)
12 (20,7)
14 (17,3)
6 (31,6)
77 (81,1)
3 (60,0)
29 (67,4)
51 (89,5)
48 (76,2)
32 (86,5)
34 (81)
53 (79,3)
67 (82,7)
13 (68,4)
0,351
4,103
2,000
0,902
0,453
0,055 - 2,255
1,422 - 11,837
0,661 - 6,048
0,332 - 2,448
0,147 - 1,396
0,261
0,006 *
0,214
0,839
0,202
* terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik ( p < 0,05 )
4.5.3 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil
(tabel 4.12 dan tabel 4.13)
Hubungan kadar formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil didapatkan
tidak ada hubungan bermakna antara kadar formaldehida dengan eosinofil ( OR
0,826 ; CI 0,351-1,947; nilai p 0,663 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,375 – 2,664 ;
nilai p 1,000 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih
banyak pada responden yang bekerja di area weaving yang tidak terpajan
formaldehida ( 32%) dibandingkan area dipping yang terpajan formaldehida (28%).
4.5.4 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil
Hubungan faktor demografi berdasarkan usia dengan titik potong usia 45
tahun didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia terhadap eosinofil
( OR 1,000 ; CI 0,425-2,353 ; nilai p 1,000 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,375-
2,664 ; nilai p 1,000 ) swab hidung. Didapatkan jumlah eosinofil dan neutrofil
positif sama besar pada kedua kelompok usia ( tabel 4.12 dan 4.13 ).
Hubungan faktor demografi berdasarkan riwayat atopi didapatkan tidak ada
hubungan bermakna antara riwayat atopi dengan eosinofil (OR 1,595 ;CI 0,253-
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
55
Universitas Indonesia
10,072; nilai p 0,635) dan neutrofil (OR 0,351 ;CI 0,055 - 2,255 ; nilai p 0,261)
swab hidung. Persentase eosinofil positif lebih banyak pada responden yang
memiliki riwayat atopi yaitu 2 dari 5 orang (40%) dibanding yang tanpa riwayat
atopi (29,5%). Sebaliknya neutrofil positif lebih banyak pada responden tanpa
riwayat atopi (81,1%).(tabel 4.12 dan 4.13).
4.5.5 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil
(tabel 4.12 dan tabel 4.13)
Hubungan faktor individu berdasarkan kebiasaan merokok didapatkan tidak
ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil ( OR 0,981 ;
CI 0,414-2,326 ; nilai p 0,965 ).
Terhadap neutrofil, didapatkan terdapat hubungan bermakna antara
kebiasaan merokok terhadap neutrofil ( OR 4,103 ; CI 1,422 – 11,837 ; nilai p 0,006
). Terlihat bahwa neutrofil positif lebih banyak pada responden yang merokok
(89,5%) dibandingkan yang tidak merokok (67,4%). Tabel 4.11 menunjukkan
bahwa pada bagian dipping terdapat perbedaan yang bermakna antara merokok
dengan neutrofil dengan nilai p 0,002.
Berdasarkan kebiasaan olahraga didapatkan tidak ada hubungan bermakna
antara kebiasaan olahraga terhadap eosinofil ( OR 0,796 ; CI 0,324 – 1,956 ; nilai p
0,619 ) dan neutrofil ( OR 2,000 ; CI 0,661 – 6,048 ; nilai p 0,214 ) swab hidung.
Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden
yang memiliki kebiasaan olahraga ( 31,7% ). Sedangkan neutrofil positif lebih
banyak pada responden yang tidak memiliki kebiasaan olahraga (86,5%).
4.5.6 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil
(tabel 4.12 dan tabel 4.13)
Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan masa kerja didapatkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara masa kerja terhadap eosinofil ( OR 1,373 ; CI
0,570 – 3,309 ; nilai p 0,479 ) dan neutrofil ( OR 0,902 ; CI 0,332-2,448 ; nilai p
0,839 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih
banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun ( 32,8% ) dibandingkan < 22
tahun (26,2%), sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden dengan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
56
Universitas Indonesia
masa kerja < 22 tahun ( 81%). Dari tabel uji kesetaraan didapatkan bahwa masa
kerja berbeda bermakna antara bagian dipping dan weaving dengan nilai p 0,043 di
mana responden dengan masa kerja < 22 tahun lebih banyak di dipping (52%)
sedangkan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di weaving (tabel 4.7).
Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan penggunaan alat pelindung diri
didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung
diri terhadap eosinofil ( OR 0,800 ; CI 0,260 – 2,463 ; nilai p 0,697 ) dan neutrofil (
OR 0,453 ; CI 0,147 – 1,396 ; nilai p 0,202 ) swab hidung. Walaupun tidak
bermakna namun eosinofil dan neutrofil positif lebih banyak pada responden yang
memiliki kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (30,9% dan 82,7%).
4.6 Analisis Multivariat
Analisis multivariat ( tabel 4.14 ) berdasarkan variabel independent yang
memiliki nilai p < 0,25 dari analisis bivariat kemudian dimasukkan ke dalam model
multivariat. Faktor yang mempengaruhi eosinofil didapatkan tidak ada faktor
independen dengan nilai p < 0,25. Sedangkan terhadap neutrofil, faktor independent
dengan nilai p < 0,25 adalah merokok ( p : 0,006 ), tidak olahraga ( p : 0,214 ), dan
tidak menggunakan APD ( p : 0,202 ). Analisis mulivariat dengan menggunakan uji
regresi logistik. Hasil analisis multivariat didapatkan hasil dari keseluruhan faktor
independent yang diduga mempengaruhi jumlah neutrofil, faktor kebiasaan
merokok merupakan faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil dengan OR
4,914 CI 1,517-14,440; p 0,007 ( p < 0,05 ), yang berarti responden dengan
kebiasaan merokok mempunyai peluang 4,680 kali menyebabkan neutrofil positif.
Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi Neutrofil Swab Hidung
No Variabel B adjusted OR CI p
1
2
3
Merokok
Tidak Olahraga
Tidak Memakai APD
Constant
1,543
0,622
-1,180
0,738
4,680
1,863
0,307
2,092
1,517 – 14,440
0,579 – 6,007
0,088 – 1,079
0,007
0,297
0,065
0,051
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
57
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini didapatkan hasil tambahan yaitu jumlah penderita rhinitis
dan responden yang minum obat yang digunakan sebagai kriteria eksklusi. Dari 72
pekerja di dipping didapatkan 16 pekerja (22,2%) menderita rhinitis dan 14 pekerja
(19,4%) minum obat. Sedangkan dari 118 pekerja di weaving didapatkan 14
(11,8%) menderita rhinitis dan 8 pekerja (6,7%) minum obat.
Hasil tambahan lainnya yaitu gambaran mikroskopik eosinofil dan neutrofil
seperti terlihat pada tabel 4.15 di mana sebagian besar eosinofil mengalami
degranulasi (90%) sedangkan neutrofil utuh (100%).
Tabel 4.15 Gambaran Miskroskopik Eosinofil dan Neutrofil
No Variabel Kategori n %
1
2
Eosinofil
Neutrofil
Utuh
Degranulasi
Utuh
Degranulasi
3
27
80
0
10%
90%
100%
0
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
58
Universitas Indonesia
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Keterbatasan Penelitian
Pengukuran formaldehida hanya dilakukan di bagian dipping yang
berdasarkan proses kerjanya menggunakan bahan kimia formaldehida sedangkan
bagian weaving tidak dilakukan pengukuran formaldehida lingkungan terkait
masalah perijinan dari perusahaan. Hal ini menjadi keterbatasan pada penelitian ini,
walaupun bagian weaving tidak menggunakan bahan kimia formaldehida namun
pengukuran diperlukan untuk memastikan tidak adanya pajanan formaldehida.
Terkait jumlah responden dengan riwayat atopi yang sedikit yaitu sebesar
5%, sehingga secara statistik sulit untuk menilai hubungan antara riwayat atopi
terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena penegakkan riwayat atopi berdasarkan pada kuesioner dan wawancara
riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, konjungtivitis
alergi atau dermatitis atopi. Beberapa tes untuk menegakkan riwayat atopi seperti
tes tusuk kulit dan radio allergo sorvent testing.31
Namun hal ini tidak dapat
dilakukan pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya.
5.2 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil
Terhadap pajanan formaldehida didapati hasil tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara pajanan formaldehida dengan eosinofil maupun
neutrofil mukosa hidung. Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Penelitian
oleh Tatsuo Sakamoto pada tikus menyatakan bahwa formaldehida menginduksi
neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam waktu 60 menit
inhalasi. Penelitian oleh Pazdrak, Krakowiak, dkk (1992) dengan judul “Change in
Nasal lavage fluid due to formaldehyde inhalation” menyatakan bahwa pada
pajanan formaldehida dengan kadar 0,5 mg/ m3 ( 0,4 ppm ) selama 2 jam didapatkan
peningkatan eosinofil setelah paparan 4 jam dan 18 jam.6 Penelitian Tatsuo
Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of formaldehyde, as an
indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa formaldehida
menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
59
Universitas Indonesia
waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke saluran napas
melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated.24
Hasil yang berbeda antara penelitian ini dengan sebelumnya kemungkinan
karena pajanan formaldehida yang kurang cukup menyebabkan peningkatan
eosinofil dan neutrofil (hasil pengukuran kadar formaldehida sebesar 0,032 mg/m3).
Dan dari uji kesetaraan didapatkan terdapat perbedaan bermakna pada masa kerja
antara dipping dan weaving, di mana pada bagian dipping lebih banyak responden
dengan masa kerja < 22 tahun (52%). Dari kepustakaan dijelaskan hubungan antara
paparan dan efek sangat bergantung pada kadar formaldehida dan dosis paparan
(lamanya paparan/ masa kerja). Kedua hal ini diduga menyebabkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil.
Kemungkinan lain adalah mukosa hidung telah mengalami perubahan
sehingga tidak memberikan respon yang diharapkan. Hal ini dapat terlihat dari
gambaran eosinofil pada pemeriksaan mikroskop didapatkan sebagian besar
eosinofil mengalami degranulasi (90%). Beberapa stimulasi inflamasi dapat
menyebabkan degranulasi eosinofil. Faktor yang dapat merangsang pelepasan
mediator proinflamasi seperti bahan iritan, alergen, infeksi bakteri, dan virus.28
Adanya degranulasi eosinofil menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan sel akibat
pajanan dari luar. Hasil ini diperkuat dengan adanya prevalensi rhinitis dan yang
minum obat pada dipping yang lebih tinggi dibandingkan pada weaving. Eosinofil
yang degranulasi diduga berhubungan dengan perubahan pada tingkat seluler yang
belum dapat dijawab pada penelitian ini.
Kontrol pada penelitian ini diduga juga mempengaruhi hasil karena di
bagian weaving (penenunan) terdapat pajanan benang nilon yang kemungkinan
berpotensi sebagai alergen yang dapat merangsang reaksi alergi. Sampai saat ini
peneliti belum menemukan kepustakaan mengenai pajanan benang nilon terhadap
eosinofil dan neutrofil namun penelitian terdahulu pada pekerja pabrik tekstil bagian
pemintalan didapatkan prevalensi eosinofil positif adalah sebesar 20 %.21
Persentase
eosinofil pada pekerja pabrik tekstil memiliki kemiripan dengan persentase eosinofil
positif pada penelitian ini.
Meskipun tidak berbeda bermakna, jika dibandingkan dengan persentase
eosinofil dan neutrofil di darah. Persentase eosinofil positif pada penelitian ini
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
60
Universitas Indonesia
adalah sebesar 30 % sedangkan neutrofil positif sebesar 80 %. Hasil ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan persentase eosinofil di darah sebesar 1-3% dan neutrofil
sebesar 50-70%.32
Terdapat peningkatan persentase eosinofil sebesar 15 kali dan
peningkatan neutrofil sebesar 1,3 kali pada penelitian ini dibandingkan dengan
persentase eosinofil dan neutrofil darah.
Persentase eosinofil positif pada penelitian ini sebesar 30%, memiliki
tingkat kesalahan sebesar 0,089 jika dihitung menggunakan rumus n = (za)2 p.q / d
2.
Sedangkan persentase neutrofil positif sebesar 80% memiliki tingkat kesalahan
sebesar 0,077. Hal ini menunjukkan persentase eosinofil dan neutrofil pada
penelitian ini dapat dipercaya (< 0,1)
Penelitian lain yaitu pada pekerja pabrik tekstil didapatkan prevalensi
eosinofil positif sebesar 20% dan neutrofil positif sebesar 74%.20
Terdapat
peningkatan persentase eosinofil sebesar 1,5 kali sedangkan persentase neutrofil
hampir sama. Hasil ini menunjukkan adanya bahan iritan atau alergen yang dapat
menyebabkan peningkatan eosinofil dan neutrofil dengan peningkatan eosinofil
adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan peningkatan neutrofil.
5.3 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil
Faktor demografi yang diukur pada penelitian ini adalah usia dan riwayat
atopi. Hasil penelitian didapati tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik
antara faktor usia dan faktor riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil.
Penelitian terdahulu oleh Sameer et al tahun 2008 yang berjudul “ Age
related changes in eosinophil function in human subjects ” didapatkan persentase
eosinofil sputum adalah sama pada kedua kelompok yaitu kelompok usia lebih
muda ( 20-40 tahun ) dibandingkan kelompok usia yang lebih tua ( 55 – 80 tahun ).
Sedangkan persentase neutrofil sputum meningkat secara bermakna pada kelompok
usia yang lebih tua (p : 0,008).29
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara usia dengan eosinofil. Sedangkan persentase neutrofil
positif yang sama besar antara usia < 45 tahun ( 80%) dan > 45 tahun ( 80% )
berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan persentase neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
61
Universitas Indonesia
seharusnya meningkat secara bermakna pada usia lebih tua. Hal ini kemungkinan
disebabkan adanya perbedaan pembagian usia.
Untuk riwayat atopi walaupun tidak ada hubungan bermakna namun
eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki riwayat atopi yaitu dua
orang dari lima orang ( 40%) dibandingkan yang tidak memiliki riwayat atopi
sebesar 29,5 %. Hal ini disebabkan karena orang dengan riwayat atopi memiliki
memori sel terhadap alergen dari luar. Sedangkan neutrofil positif lebih banyak
pada responden tanpa riwayat atopi (81,1%) dibandingkan yang memiliki riwayat
atopi yaitu tiga dari lima orang (60%). Penelitian terdahulu oleh Loreni, et al (2001)
dengan judul “Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage and computed
tomography of the paranasal sinuses in atopic children” menyatakan bahwa jumlah
neutrofil cairan hidung adalah sama pada kelompok asma-rinitis alergi
dibandingkan dengan kelompok rinitis dan tanpa atopik (kontrol), sedangkan untuk
eosinofil didapatkan korelasi yang positif antara eosinofil darah, jumlah eosinofil
cairan hidung dan eosinophil cationic protein cairan hidung pada anak dengan
atopik.30
Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya kemungkinan
disebabkan karena jumlah sampel responden dengan riwayat atopi hanya berjumlah
lima orang (5%). Prevalensi riwayat atopi pada penelitian ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan prevalensi riwayat atopi pada anak-anak (ditegakkan melalui
uji tusuk kulit) yang berusia 44-52 bulan yaitu sebesar 26,92% (70 dari 260 anak).31
Prevalensi riwayat atopi juga lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi
riwayat atopi pada pekerja penggergaji kayu yaitu 32,14 % (36 orang riwayat atopi
dari 112 sampel).18
Hal ini merupakan keterbatasan pada penelitian ini di mana
penegakkan riwayat atopi hanya berdasarkan pada kuesioner dan wawancara
sehingga kemungkinan terjadi bias cukup besar.
5.4 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil
Faktor individu yang diukur adalah kebiasaan merokok dan kebiasaan
olahraga. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna
secara statistik antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil. Hasil ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Taylor, dkk yang berjudul “Smoking, allergy, and the
differential white blood cell count” didapatkan hasil tidak ada hubungan yang
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
62
Universitas Indonesia
bermakna antara merokok dengan eosinofil, sedangkan jumlah neutrofil lebih tinggi
pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok dengan nilai p : 0,03.33
Persentase neutrofil positif lebih banyak (89,5%) dan berbeda bermakna
pada yang merokok dibanding yang tidak merokok (67,4%). Hasil analisis
multivariat menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor resiko dominan yang
mempengaruhi neutrofil (p 0,007). Orang dengan kebiasaan merokok memiliki
resiko 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan
merokok. Rokok diduga berperan sebagai pajanan radikal bebas yang dapat
menyebabkan penarikan neutrofil ke saluran napas, penarikan neutrofil melibatkan
adesi pada sel endotel, selain itu peningkatan jumlah sitokin menyebabkan masa
hidup neutrofil di saluran napas memanjang, dan rokok juga menstimulasi produksi
dan pelepasan granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan
neutrofil.34
Eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki kebiasaan
olahraga sebesar 31,7% dibandingkan yang tidak olahraga sebesar 27%. Sedangkan
neutrofil positif lebih banyak pada responden yang tidak olahraga sebesar 86,5%
dibandingkan yang olahraga sebesar 76,2%. Penelitian oleh Denguezli, dkk dengan
judul “Effect of endurance exercise on airway cells in runners”. Penelitian pada 10
orang pelari jarak jauh yang sehat dan 12 orang sebagai kontrol yang diukur
induced sputum saat istirahat dan setelah 1 jam berlari dengan 80% maksimal
kecepatan aerobik. Hasilnya adalah ada peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil
sputum pada pelari sebelum dan sesudah latihan. Peningkatan neutrofil sesaat
setelah latihan atau olahraga diduga karena adanya respon inflamasi oleh karena
adanya kerusakan jaringan yang dipicu oleh latihan/olahraga, yang bersifat akut,
neutrofil dan eosinofil diperiksa setelah 1 jam latihan.35
Penelitian lain oleh Quindry
dkk tahun 2003 yang berjudul “The effects of acute ecercise on neutrophils and
plasma oxidative stress” didapatkan hasil neutrofil hanya meningkat saat 2 jam
setelah latihan.36
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian ini di mana
persentase neutrofil didapatkan lebih tinggi pada responden yang tidak mempunyai
kebiasaan olahraga, hal ini kemungkinan berhubungan dengan tingkat kebugaran
individu. Olahraga berkaitan erat dengan kapasitas kerja sistem sirkulasi, sistem
saraf dan sistem otot tubuh yang berperan untuk peningkatan kondisi fisik atau
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
63
Universitas Indonesia
tingkat kebugaran. Tingkat kebugaran yang baik dapat meningkatkan daya taya
tahan tubuh dan melindungi dari faktor resiko infeksi atau penyakit.23
Kemungkinan
lain adalah karena faktor olahraga pada penelitian ini tidak bersifat akut.
5.5 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil
Faktor pekerjaan yang diukur adalah masa kerja dan penggunaan alat
pelindung diri. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara masa kerja terhadap eosinofil dan neutrofil. Hal ini
kemungkinan disebababkan karena sebaran responden yang berbeda antara weaving
dan dipping di mana responden dengan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di
bagian weaving (68%). Sedangkan di bagian dipping lebih banyak responden
dengan masa kerja < 22 tahun (52%).
Penelitian sebelumnya oleh Nancy Sendra, dkk dengan judul “Dampak
pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja
penggergaji kayu” didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara eosinofil
dengan lamanya masa kerja.18
Pada penelitian ini didapatkan eosinofil positif yang
lebih banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun (32,8%) dibandingkan
masa kerja < 22 tahun (26,2%) kemungkinan karena efek lain dari adanya eosinofil
pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein berberat molekul rendah yang
tersimpan dalam granula sitoplasmiknya yaitu major basic protein (MBP),
eosinophil derived neurotoxin ( EDN ), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
cationic protein ( ECP ). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran
sel target ( mukosa hidung ) melalui interaksi yang diperantarai muatan elektrolit (
charge-mediated interaction ). MBP juga akan mengaktifasi sel mast, basofil dan
trombosit yang kemudian akan menghasilkan histamin. Mediator kimia tersebut
akan menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf
mukosa dan kerusakan sel.17,18
Pajanan yang terus menerus dalam waktu lama akan
memperberat kerusakan sel mukosa hidung, terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa. Kerusakan sel mukosa hidung dapat memudahkan masuknya
alergen ke hidung dan meningkatkan hiperresponsivitas terhadap alergen dari luar.
Terhadap pemakaian APD didapati tidak ada hubungan yang bermakna
antara pemakaian APD dengan eosinofil dan neutrofil. Pemakaian APD merupakan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
64
Universitas Indonesia
hal yang penting karena dapat melindungi pernapasan dari partikel di udara.
Formaldehida merupakan bahan kimia yang sebagian besar masuk melalui sistem
pernafasan. Formaldehida juga merupakan zat yang mudah menguap sehingga
seharusnya menggunakan alat pelindung diri yang berupa masker dengan catridge
bahan kimia. Pada kelompok pekerja dipping alat pelindung diri yang digunakan
adalah masker kain. Hal ini diduga menyebabkan tidak adanya hubungan bermakna
antara pemakaian alat pelindung diri dengan eosinofil dan neutrofil.
Tabel 5.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung
No Penelitian Terdahulu Penelitian Swab Hidung
Judul/Penulis Hasil
1
2
3
Change in Nasal
lavage fluid due to
formaldehyde
inhalation.
Konrad, Pawel
Krakowiak,etc.6
Gambaran Sitogram
Mukosa Nasal Pada
Pekerja Pabrik Tekstil
Bagian Pemintalan”
Penulis : Nerry
Grace.21
Age related changes
in eosinophil function
in human subject.
Penulis : Sameer K.
Mathur, MD,
PhD;etc.29
Peningkatan eosinofil cairan
hidung setelah paparan 4 jam dan
18 jam setelah pajanan
formaldehida selama 2 jam dengan
kadar 0,5 mg/ m3 ( 0,4 ppm )
prevalensi eosinofil positif adalah
sebesar 20 %
Persentase eosinofil sputum
sama pada kedua kelompok
yaitu kelompok usia lebih muda
(20-40 tahun) dibandingkan
kelompok lebih tua (55 – 80
tahun)
persentase neutrofil sputum
meningkat secara bermakna
pada kelompok usia yang lebih
tua (p : 0,008)
Tidak ada hubungan bermakna antara
pajanan formaldehida (kadar 0,032
mg/m3) dengan eosinofil dan
neutrofil. Perbedaan penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini
adalah kadar formaldehida penelitian
ini lebih rendah (0,032 mg/m3)
walaupun masih di bawah NAB
menurut OSHA.
Persentase eosinofil positif lebih
banyak pada responden yang bekerja
di bagian weaving sebesar 32%
Persentase eosinofil positif
didapati sama besar antara usia <
45 tahun ( 30% ) dan > 45 tahun (
30% )
Persentase neutrofil positif juga
didapati sama besar antara usia <
45 tahun ( 80% ) dan > 45 tahun (
80% )
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
65
Universitas Indonesia
4
5
6
7
Inflammatory
mediators, cell counts
in nasal lavage and
computed tomography
of the paranasal
sinuses in atopic
children.
Loreni C.S.
Kovalhuk,
Nelson,etc30
Smoking, allergy, and
the differential white
blood cell count.
Penulis : Taylor,
Gross, Joyce,et al.33
Effect of endurance
exercise on airway
cells in runners.
Penulis Denguezli-
Bouzgarrou, Sriha,
Ben Cheikh, et al. 35
Dampak pajanan debu
kayu terhadap kadar
eosinofil kerokan
mukosa hidung
pekerja penggergaji
kayu.”
Penulis Sendra
Nancy, dkk. 18
Korelasi yang positif antara
eosinofil darah, jumlah eosinofil
cairan hidung dan eosinophil
cationic protein cairan hidung
pada anak dengan atopik
Neutrofil cairan hidung adalah
sama pada kelompok asma-
rinitis alergi dibandingkan
dengan kelompok rinitis dan
tanpa atopik (kontrol)
Eosinofil lebih tinggi pada
perokok dibanding pada mantan
perokok maupun bukan perokok
( tidak berbeda bermakna )
Neutrofil meningkat pada
merokok dibandingkan dengan
bukan perokok ( berbeda
bermakna )
Peningkatan neutrofil (p<0,01),
eosinofil, dan limfosit (p<0,01)
pada pelari sebelum dan sesudah
latihan selama 1 jam
tidak ada hubungan bermakna
antara eosinofil dengan lamanya
masa kerja
Eosinofil positif lebih banyak pada
riwayat atopi 2 dari 5 (40%), nilai
p>0,05
Neutrofil positif lebih banyak pada
responden tanpa riwayat atopi
(81,1%), nilai p>0,05
Eosinofil lebih banyak pada
responden yang tidak merokok
(30,2%) dibanding merokok
(29,7%) ( tidak berbeda bermakna )
neutrofil lebih banyak pada
perokok (89,5%) dibandingkan
bukan perokok (67,4%). ( berbeda
bermakna )
Tidak ada hubungan bermakna
antara olahraga dengan eosinofil
dan neutrofil
Tidak ada hubungan bermakna
antara masa kerja dengan eosinofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
66
Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
1. Persentase eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping sebesar 30%
menunjukkan adanya peningkatan persentase eosinofil 15 kali sedangkan
neutrofil positif sebesar 80% menunjukkan adanya peningkatan persentase
neutrofil 1,5 kali jika dibandingkan dengan persentase eosinofil dan neutrofil
di darah.
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pajanan formaldehida dengan
eosinofil dan neutrofil yang kemungkinan disebabkan pajanan formaldehida
lingkungan yang rendah yaitu 0,032 mg/m3 yang masih berada di bawah
nilai ambang batas dan sebagian besar responden di dipping memiliki masa
kerja kurang < 22 tahun. Namun demikian adanya gambaran eosinofil yang
mengalami degranulasi pada 90% eosinofil menunjukkan adanya pengaruh
pajanan pada eosinofil dan diduga terjadi perubahan pada tingkat seluler
yang belum dapat dijawab pada penelitian ini.
3. Tidak adanya hubungan antara faktor demografi yaitu usia terhadap
eosinofil dan neutrofil diduga karena adanya perbedaan pembagian usia.
4. Tidak adanya hubungan antara riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil
diduga karena jumlah sampel yang memiliki riwayat atopi hanya 5%.
Meskipun tidak berhubungan secara bermakna namun prevalensi eosinofil
positif pada riwayat atopi lebih banyak dibandingkan tanpa riwayat atopi,
sehingga faktor resiko riwayat atopi terhadap eosinofil belum dapat
disingkirkan.
5. Tidak terdapat hubungan bermakna antara merokok dengan eosinofil
6. Terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan neutrofil. Rokok
diduga berperan sebagai radikal bebas yang menyebabkan penarikan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
67
Universitas Indonesia
neutrofil ke saluran napas serta menstimulasi produksi dan pelepasan
granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan neutrofil.
7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga terhadap
eosinofil dan neutrofil diduga berhubungan dengan tingkat kebugaran
individu, di mana kebiasaan olahraga mempengaruhi kapasitas kerja sistem
sirkulasi, sistem saraf dan sistem otot yang berperan untuk peningkatan
kondisi fisik dan tingkat kebugaran yang dapat melindungi dari faktor resiko
infeksi.
8. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan eosinofil dan neutrofil diduga
karena sebaran responden yang berbeda bermakna antara weaving dan
dipping, namun demikian persentase eosinofil positif yang lebih banyak
pada masa kerja > 22 tahun menunjukkan bahwa pajanan yang terus
menerus dalam waktu yang lama kemungkinan dapat meningkatkan
hiperesponsivitas yang ditandai dengan adanya eosinofil.
9. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri
terhadap eosinofil dan neutrofil diduga disebabkan penggunaan alat
pelindung diri yang tidak tepat.
10. Faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil adalah merokok dimana
orang dengan kebiasaan merokok memiliki resiko 4,6 kali lebih tinggi
dibandingkan yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
6.2 SARAN
6.2.1 Bagi pendidikan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penelitian
selanjutnya untuk menilai hubungan antara pajanan formaldehida terhadap
eosinofil dan netrofil swab hidung dengan mempertimbangkan berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi seperti kebiasaan merokok dan pemilihan
kelompok kontrol.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
68
Universitas Indonesia
2. Adanya temuan degranulasi eosinofil diharapkan dapat menjadi masukan
penelitian selanjutnya mengenai pemeriksaan eosinofil di tingkat seluler.
6.2.2 Bagi perusahaan
1. Melakukan pengukuran formaldehida di lingkungan kerja setiap tahun untuk
memonitor kadar formaldehida. Dianjurkan untuk melakukan pengukuran
formaldehida di area weaving. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat
proses produksi sedang berlangsung.
2. Meningkatkan pengendalian terhadap paparan formaldehida seperti adanya
lokal exhaust, sosialisasi MSDS formaldehida, penyuluhan dan pelatihan
mengenai bahaya formaldehida dan penggunaan alat pelindung diri yang
tepat sesuai dengan lokasi kerja seperti masker dengan cartridge bahan kimia
untuk pekerja dipping, safety google, safety shoes, maupun sarung tangan
yang adekuat.
3. Pada pemeriksaan medical check up yang dilakukan oleh perusahaan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan eosinofil swab hidung bagi
pekerja di bagian dipping dan weaving mengingat adanya degranulasi sel
eosinofil swab hidung.
4. Menyarankan pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam kepada pekerja
yang mengalami degranulasi eosinofil pada pemeriksaan swab hidung
sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengobatan lebih dini.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
69
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05nov12.pdf
diunduh 27 Desember 2012.
2. International Labour Organization (2008). Mengelola risiko di lingkungan
pekerjaan.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_126159.pdf diunduh 22 November 2012
3. Formaldehyde. Department of Health and Ageing National Industrial Chemicals
Notification and Assessment Scheme. Australia. November 2006.
www.nicnas.gov. diunduh 22 November 2012.
4. Departement Of Health and Human Services US. Toxicological profile for
formaldehyde.. July 1999. http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp111.pdf
diunduh 22 November 2012.
5. Kim W, Terada N, Nomura T, Takahashi R, Lee S, Park J, et al. Effect
of formaldehyde on the expression of adhesion molecules in nasal microvascular
endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis of sick building
syndrom. Department of Otorhinolaryngology, Chiba University School of
Medicine, 1-8-1 Inohana, Chuo-ku, Chiba City, Chiba 260-0856, Japan. 2002
6. Konrad P, Pawel G, Krakowiak A, et al. Change in nasal lavage fluid due to
formaldehyde inhalation. Department of Occupational Disease, Institut of
Occupational Medicice. Occupational Environmental Health. November 5,
1992.
7. Formaldehida. http://id.wikipedia.org/wiki/Formaldehida diunduh 22 November
2012
8. Agency For Toxic Substances and Disease Registry Division of Toxicology and
Environmental Medicine. Addendum to the toxicological profile for
formaldehyde. Atlanta. October 2010.
http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/formaldehyde_addendum.pdf diunduh 22
November 2012.
9. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde in : wood dust and
formaldehyde. Lyon. 1995, pp. 217–362.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
70
Universitas Indonesia
10. Liteplo R, Beauchamp R, Meek M. Formaldehyde. Concise International
Chemical Assessment Document 40. World Health Organization. Geneva, 2002.
11. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde, 2-butoxyethanol
and 1-tert-butoxypropan-2-ol. Lyon, France. 2006.
12. Eugene R, Kennedy. Formaldehyde. NIOSH Manual of Analytical Methods
(NMAM), 4th
Edition : Method 3500, Issue 2. 15 August 1994.
13. Occupational Safety & Health Administration.. Formaldehida. United States
Department Of Labor
14. Badan Standardisasi Nasional. Nilai ambang batas zat Kimia di udara tempat
kerja. Standar Nasional Indonesia.2003.
15. Huriyati E, Hafiz. Diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi yang disertai
asma bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2011.
16. Denny S. Hubungan antara jenis aeroalergen dengan manifestasi klinis rinitis
alergika (tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2010.
17. Huriyati E, Bestari, Octiza R. Peran kemokin dalam patogenesis rinitis alergi.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2014
18. Sendra N, George F. Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil
kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu ( laporan penelitian). Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makasar. 2007
19. Widodo J. Imunologi dasar : imunologi mukosa. 2012.
20. Widodo J. Imunologi dasar : sel darah putih, netrofil, eosinofil, basofil. Februari
2012.
21. Nerry G. Gambaran sitogram mukosa nasal pada pekerja pabrik tekstil bagian
pemintalan. Departemen Patologi Klinik FKUI. Jakarta. 2004.
22. Delfitri M. Waktu bersihan mukosiliar pada pasien rinosinusitis kronis. Majalah
Kedokteran Indonesia (rrtikel penelitian) Vol : 60. November. 2010.
23. Purwanto. Dampak senam aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit.
Universitas Negeri Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia,
Volume 1, Ed 1, Juli 2011.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
71
Universitas Indonesia
24. Tatsuo S, Satoru D and Shinpei T. Effects of formaldehyde, as an indoor air
pollutant, on the airway. Department of Pediatrics, Nagoya University School of
Medicine, Showa-ku, Nagoya, Japan. 1999
25. Bousquet J, Khaltaev N, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA)
2008 update in collaboration with the World Health Organization. 2008
26. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed-4.
Sagung Seto. Jakarta. 2011.
27. Kim, Leem,et al. Association between rhinitis and exposure to formaldehyde
among technicians in a pathology department. South Korea. September 2007.
28. Wayan H. Kadar eosinophil cationic protein (ecp) berkorelasi positif dengan
derajat keparahan dermatitis atopik. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RS Sanglah, Denpasar. 2013.
29. Sameer K, Elizabeth, Nizar. Age related changes in eosinophil function in
human subjects. Chest 2008;133:412-419.
30. Loreni, Nelson, Arnolfo. Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage
and computed tomography of the paranasal sinuses in atopic children. Journal de
Pediatria 2001; 77(4): 271-8
31. Endah W, Cissy B, Budi S. Hubungan antara atopi dengan riwayat penyakit
alergi dalam keluarga dan manifestasi penyakit alergi pada balita. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. 2007.
32. Hakami H, White blood cell differential. Human physiology-I (PHSL205) lab.
2010
33. Taylor R, Gross E, Joyce H, et al. Smoking, allergy, and the differential white
blood cell count. Department of Medicine, Royal Postgraduate Medical School,
London. Thorax 1985;40:17-22.
34. Ana R, Eddy S, Faisal Y. Korelasi antara jumlah makrofag, neutrofil dan kadar
enzim matrix metalloproteinase (mmp)-9 pada cairan kurasan bronkial perokok.
RSUP Persahabatan dan RSUD Dr. Moewardi. Surakarta.
35. Denguezli M, Sriha B, Ben C, et al. Effect of endurance exercise on airway cells
in runners. Laboratory of Physiology, Faculty of Medicine Ibn El Jazzar,
Service of Anatomy and Pathologic Cytolology, Farhat Hached Hospital.
Tunisia. 2006.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
72
Universitas Indonesia
36. Quindry JC, Stone WL, King J, Broeder CE. The effects of acute exercise on
neutrophils and plasma oxidative stress. Med Sci Sports Exerc. 2003
July;35(7):1139-45 (abstrack )
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
73
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
LEMBAR INFORMASI
Selamat Pagi/Siang/Sore
Calon Responden yang terhormat,
Perkenalkan kami :
1. dr Ade Lestari
2. dr Kemal Zachariah
3. dr Puspa Sari
4. dr Mei Wulandari Puspitasari
Kami dari Program Spesialis Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia bermaksud melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara
Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan fungsi kognitif,
eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan kadar cystatin c
serum dalam darah.
Kegiatan utama penelitian adalah
1. pemeriksaan fungsi kognitif dengan pengisian angket ( MMSE / Mini Mental Status
Examination ) dan pemeriksaan fungsi kognitif oleh dokter. Pemeriksaan ini tidak
menimbulkan efek samping
2. Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan cara melakukan usapan
sekret mukosa hidung dengan menggunakan kuret plastik. Pemeriksaan ini biasanya
tidak menimbulkan rasa sakit, hanya terkadang terasa kurang nyaman. Pemeriksaan
ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, namun terkadang terasa kurang
nyaman.
3. Pemeriksaan jumlah sel darah putih, hitung jenis, dan kelainan bentuk sel darah
putih melalui pemeriksaan darah
4. Pemeriksaan kadar cystatin c serum melalui pemeriksaan darah.
Mengenai pemeriksaan darah akan dilakukan pengambilan darah satu kali
bersamaan dengan saat menjalani Medical Check Up di perusahaan tempat anda
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
74
Universitas Indonesia
bekerja. Pengambilan darah dari pembuluh darah lengan biasanya hanya
menimbulkan rasa nyeri ringan, namun terkadang juga dapat terjadi infeksi dan/atau
bengkak dan warna biru yang baru sembuh setelah beberapa hari
Penelitian ini akan dilakukan pada pekerja yang tepajan di bagian
pencelupan ( dipping ) dan di bagian penenunan ( weaving ). Sebelum pemeriksaan
dilakukan, kami akan melakukan penyaringan melalui anamnesa untuk menentukan
apakah saudara termasuk dalam penelitian ini. Selanjutnya semua responden yang
sesuai dengan kriteria akan diperiksa sesuai dengan kegiatan utama penelitian kami.
Lama semua pemeriksaan lebih kurang 20 – 35 menit
Penelitian ini dilakukan sebagai penyelesaian tesis kami yang merupakan
syarat kelulusan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kami berharap
Saudara bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua informasi
yang anda berikan terjamin kerahasiaannya. Dalam penelitian ini, anda tidak
dikenakan biaya apapun. Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal
yang belum jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu Anda
membutuhkan penjelasan, anda dapat menghubungi kami dr Ade Dwi Lestari di
08128021830, dr Kemal Zachariah di 081286089544, dr Puspa Sari di
085295096679, atau dr Mei Wulandari Puspitasari di 08129431732. Anda juga
dapat menghubungi kami di Bagian Ilmu Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jl. Pegangsaan Timur No. 16, Cikini Jakarta Pusat 10320
Atas kesediaan Saudara menjadi responden dalam penelitian ini kami
ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
khususnya masyarakat pekerja dan ilmu pengetahuan.
Jakarta, ………………………. 2013
Hormat Kami,
dr Ade Dwi Lestari
dr Kemal Zachariah
dr Puspa Sari
dr Mei Wulandari Puspitasari
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
75
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
LEMBAR PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Saya bertanda tangan di bawah ini,
Nama : ……………………………………………………….
Tempat / Tanggal Lahir : ……………………………………………………….
Pekerjaan : ……………………………………………………….
Unit Kerja : ……………………………………………………….
Alamat Rumah : ……………………………………………………….
……………………………………………………….
No. Telepon : ……………………………………………………….
Dengan ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan penelitian mengenai
: Hubungan Antara Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan
fungsi kognitif, eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan
kadar cystatin c serum. Saya mengetahui dan memahami bahwa saya, dalam
penelitian ini, mempunyai kebebasan penuh untuk memilih untuk ikut berpartisipasi
atau tidak. Dan dengan ini saya menyatakan :
1. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
2. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian penelitian dan mengikuti pemeriksaan
yang dilakukan.
3. Bersedia mematuhi seluruh prosedur penelitian yang ditetapkan oleh peneliti.
4. Seandainya ada hal-hal yang tidak berkenan, maka saya berhak untuk tidak ikut
dalam penelitian ini.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
76
Universitas Indonesia
Mengetahui,
Peneliti,
dr Ade Dwi Lestari
dr Kemal Zachariah
dr Puspa Sari
dr Mei Wulandari Puspitasari
Jakarta, …………………………2013
Yang bertanda tangan,
( )
Responden
( )
Saksi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
77
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
KUESIONER SCREENING KRITERIA EKSKLUSI
1. Apakah anda memiliki keluhan seperti di bawah ini ?
a) Keluar cairan dari hidung
b) bersin
c) hidung tersumbat
d) hidung gatal
Jika Ya, Berapa lama keluhan berlangsung ? ………….. hari
* Lingkari jawaban anda dan jawaban boleh lebih dari satu
2. Apakah anda mengkonsumsi obat-obat di bawah ini dalam 24 jam terakhir?
a) Anti histamin/ obat alergi
b) Steroid/ prednison, deksametason
c) Dekongestan/ obat Flu
d) Antibiotik
e) Tidak sama sekali
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
78
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
KUESIONER PENELITIAN
Data Diri
No. : _______________________
Tanggal pemeriksaan : _______________________
Nama : _______________________
Departemen/ Bagian : _______________________
Tanggal lahir : _________________
Berapa lama anda bekerja di perusahaan ini : ________ Tahun
1. Apakah anda menggunakan alat pelindung diri ( APD ) saat bekerja ?
a) Ya, Setiap hari, Sebutkan _________________________
b) Ya, Tidak setiap hari, Sebutkan ____________________
c) Tidak
2. Apakah Anda merokok?
a) Ya, Berapa banyak batang rokok dalam satu hari ? _____ batang rokok
Sudah berapa tahun anda merokok? ___________ tahun
b) Tidak
3. Apakah anda melakukan olahraga ?
a) olahraga ≥ 3x/minggu
b) olahraga 1-2x/minggu
c) tidak pernah berolahraga sama sekali
4. Apakah anda memiliki riwayat penyakit di bawah ini ?
a) asma bronkialis ( susah bernafas, dada sesak yang berulang )
b) rinitis alergi ( hidung gatal, bersin berulang, hidung tersumbat, keluar
cairan hidung yang jernih )
c) dermatitis atopi ( gatal-gatal di kulit )
d) konjungtivitis alergi ( gatal, berair, kemerahan pada mata )
* Lingkari jawaban yang sesuai dengan keadaan anda
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
79
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
Keterangan Lolos Kaji Etik
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
80
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 6
Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
81
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 7
Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
82
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 8
Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
83
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 9
Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
84
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 10
Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Top Related