4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kaliandra Merah
2.1.1. Klasifikasi kaliandra merah
Klasifikasi tanaman kaliandra merah menurut Rocke (2008) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae/Leguminosae
Genus : Calliandra
Spesies : Calliandra calothyrsus Meissn.
2.1.2. Botani tanaman kaliandra merah
Tanaman kaliandra (Calliandra calothyrsus) berasal dari Amerika Tengah
dan Meksiko dan masuk ke Indonesia pada tahun 1936 melalui pulau Jawa
(Stewart et al., 2001). Spesies kaliandra yang masuk ke pulau Jawa berasal dari
Guatemala selatan yaitu spesies Calliandra calothyrsus yang berbunga merah dan
Calliandra tetragona yang berbunga putih (Abqoriyah dan Suwignyo, 2015).
Tanaman kaliandra termasuk famili Leguminosae dan subfamili
Mimosoideae. Kaliandra merupakan genus yang besar, beranggotakan sekitar 132
jenis, tersebar dari Amerika Utara sampai Selatan, 9 jenis berasal dari
Madagaskar, 2 jenis dari Afrika dan 2 jenis dari sub-benua India. Pusat
keanekaragaman genus ini berada di negara bagian Bahia, Brasil. Ada juga pusat
keanekaragaman kedua di Meksiko selatan dan Guatemala (Stewart et al., 2001).
Calliandra calothyrsus adalah pohon kecil bercabang yang tumbuh
mencapai tinggi maksimum 12 m dan diameter batang maksimum 20 cm. Kulit
batangnya berwarna merah atau abu-abu yang tertutup oleh lentisel kecil, pucat
berbentuk oval. Ke arah pucuk batang cenderung bergerigi, dan pada pohon yang
5
batangnya coklat-kemerahan, ujung batangnya bisa berulas merah. Di bawah
batang, sistem akarnya terdiri dari beberapa akar tunjang dengan akar yang lebih
halus yang jumlahnya sangat banyak dan memanjang sampai ke luar permukaan
tanah (Stewart et al., 2001).
Calliandra calothyrsus ini memiliki bentuk daun yang kecil-kecil seperti
umumnya keluarga mimosidae, bertekstur lebih lunak berwarna hijau tua. Panjang
daun bisa mencapai 20 cm, lebarnya mencapai 15 cm dan pada malam hari daun-
daun tersebut melipat ke arah batang. Daun kaliandra berwarna hijau gelap,
kanopi melebar ke samping, dan sangat padat. Tipe daun kaliandra merupakan
daun majemuk yang berpasangan (Hardiawan dkk., 2005).
Tandan bunga berkembang dalam posisi terpusat, dan bunganya
bergerombol di sekitar ujung batang. Bunga mekar hanya satu malam saja dengan
benang-benang umumnya berwarna putih di pangkalnya dan merah mencolok di
bagian ujungnya. Secara alami tanaman kaliandra berbunga sepanjang tahun,
tetapi masa puncaknya terjadi antara bulan Juli dan Maret (Kartasubrata, 1996).
Polong akan terbentuk selama dua hingga empat bulan, dan ketika sudah
matang panjangnya dapat mencapai 14 cm dengan lebar 2 cm. Polong berbentuk
lurus berwarna agak kecoklatan, biasanya berisi 8-12 bakal biji yang berkembang
menjadi biji berbentuk oval dan pipih. Permukaan biji yang sudah matang
berbintik hitam dan coklat, serta terdapat tanda khas berbentuk tapal kuda (ladam)
pada kedua permukaannya yang rata (Macqueen, 1996).
Gambar 1. Tanaman kaliandra merah (Calliandra calothyrsus).
6
2.2. Kandungan Senyawa Tanaman Kaliandra Merah
Kaliandra merupakan suku leguminosa dengan kandungan nutrisi yang
cukup tinggi hingga mencapai 50% dari total hijauan yang diberikan (Susetyo,
1980). Kaliandra memiliki protein sekitar 20% dan kandungan tanin sekitar 8%,
dan zat antinutrisi seperti mimosin, antitripsin sehingga palatabilitasnya rendah
(Trisnadewi dkk., 2013).
Menurut Moharram et al (2006), ekstrak daun dan akar dari genus
kaliandra mengandung senyawa aktif yaitu asam galat, metil galat, myricitrin,
quercitrin, myricetin 3-O-â-D- 4C1-lukopiranosida, afzelin, isoquercitrin, asam
benzoat, asam kafeat, asam betulinat, glikosida digital, glikosida, saponin, steroid,
asam lemak, alkaloid, polifenol, antrakuina. Ekstrak daun kaliandra merah juga
mengandung senyawa antioksidan (Setyawati, 2015).
2.3. Mekanisme Teratogenisitas
Uji teratogenisitas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi efek
khusus suatu senyawa pada fetus selama masa kritis kehamilan seperti fase
implantasi, fase organogenesis dan fase fetus (Mutiatakum dkk., 1999).
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini telah diketahui
merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas pada fetus setelah
kelahiran (Silvia, 2011). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya
penelitian Astirin dkk. (1999), uji teratogenisitas biasanya diberikan pada periode
organogenesis dengan alasan bahwa periode tersebut merupakan periode yang
paling peka. Hal ini disebabkan karena pada periode organogenesis terjadi
pertumbuhan dan diferensiasi untuk pembentukan organ-organ.
Teratogen yang bekerja pada embrio tahap pra-implantasi (zigot,
pembelahan, blastokista) atau tahap pra-organogenesis akan menyebabkan
kematian embrio atau tumbuh normal (hukum all or none), tergantung tingkat
dosis teratogen yang diberikan (Rahayu dkk., 2005). Ketahanan terhadap
teratogenesis bervariasi dengan tahap perkembangan embrio pada saat kontak
dengan faktor yang bersifat merugikan (Silvia, 2011).
7
Menurut Rahayu dkk, (2005), masuknya zat asing ke dalam embrio
mamalia adalah melalui plasenta. Zat-zat yang bersifat teratogenik adalah radiasi
ion, logam berat, infeksi virus, lingkungan yang tidak bersih seperti polutan dan
asap rokok, serta komponen obat-obat kimia. Agen kimia dan fisika dengan berat
molekul kecil dapat masuk ke dalam tubuh embrio karena dengan mudah dapat
melewati sawar plasenta.
Permeabilitas membran plasenta menentukan banyak sedikitnya zat asing
yang dapat masuk ke tubuh embrio (Yanti dan Sari, 2012). Sifat teratogenik
obat/zat kimia dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, yakni obat/zat
kimia dengan sifat teratogen pasti (known teratogens), obat/zat kimia dengan
kecurigaan kuat bersifat teratogen (probable teratogens), obat/zat kimia yang
diduga bersifat teratogen (possible teratogens) (Firdaus, 2010).
Plasenta adalah organ sementara dan merupakan tempat berlangsungnya
pertukaran fisiologik antara induk dan fetus dan bersifat permeabel (Junqueira
dkk., 1998). Fungsi utama plasenta adalah memungkinkan difusi bahan makanan
dari darah induk ke dalam darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus
kembali ke dalam tubuh induk (Rahayu dkk., 2005). Plasenta merupakan organ
endokrin kompleks yang mampu melakukan metabolisme, transport nutrisi serta
produk buangan dan mensintesis hormon. Plasenta menghasilkan dua jenis
hormon selama masa kehamilan yaitu hormon steroid dan gonadotropin. Hormon
gonadotropin ini yang berfungsi untuk merangsang plasenta menghasilkan
hormon progesteron agar endometrium uterus tidak luruh (Tolistiawaty, 2007).
Awal kehamilan pada manusia tebal sawar plasenta adalah 25 mikrometer
dan pada akhir kehamilan adalah 2 mikrometer. Pada awal perkembangan fetus,
permeabilitas plasenta relatif sedikit, luas permukaan plasenta masih kecil dan
membran vili plasenta tebalnya belum mencapai 25 mikrometer (Siswosudarmo,
1988). Pada saat plasenta bertambah tua permeabilitasnya meningkat secara
progresif sampai akhir masa kehamilan, sesudahnya permeabilitas mulai
berkurang kembali. Peningkatan permeabilitas membran plasenta disebabkan
penambahan luas permukaan membran plasenta dan penipisan progresif lapisan-
lapisan vili (Yanti dan Sari, 2012).
8
Berdasarkan dosis pemberiannya menurut Silvia (2011), agen teratogen
dosis rendah akan menyebabkan kematian beberapa sel dan akan terjadi
pergantian sel tetangganya dengan hiperplasia kompensatorik sehingga terjadi
fetus yang normal secara morfologis, akan tetapi ukurannya tetap kecil (Rahayu
dkk., 2005) Agen teratogenik dosis tinggi akan menyebabkan kematian sel dalam
jumlah tinggi sehingga terjadi embrioletalis (Silvia, 2005).
Beragamnya sifat zat kimia yang bersifat teratogenik menyebabkan
beberapa mekanisme yang terlibat dalam efek teratogennya seperti menyebabkan
gangguan terhadap asam nukleat yang mempengaruhi proses replikasi dan
transkripsi atau translasi RNA, zat teratogen yang dapat mempengaruhi pasokan
energi yang digunakan dalam proses metabolisme dengan cara langsung
mengurangi persediaan substrat (misalnya defisiensi makanan) dan penghambatan
pembentukan enzim (Silvia, 2011).
2.4. Perkembangan Fetus
Perkembangan fetus atau janin terdiri dari tiga periode antara lain periode
implantasi, periode embrionik, dan periode fetus.
2.4.1. Periode implantasi
Periode implantasi terjadi setelah fertilisasi atau pembuahan yaitu suatu
proses bersatunya sel ovum dengan sel spermatozoa sehingga membentuk zigot
(Sadler, 2006). Pada fase ini obat dapat memberikan pengaruh buruk atau
mungkin tidak sama sekali karena bisa menyebabkan kematian fetus atau tidak
mempengaruhi fetus sama sekali. Pada saat ini fetus sangat kebal terhadap cacat
bawaan. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus) (Rahayu dkk., 2005).
2.4.2. Periode embrionik
Periode embrionik dibagi lagi menjadi tiga antara lain prasomit, somit dan
pascasomit. Pada periode prasomit, lapisan primer embrio dan membran fetus
9
terbentuk dalam massa sel dalam (Inner Cell Mass) (Sperber, 1991). Pada tahap
embrional, sel secara intensif mengalami diferensiasi, gerakan morfogenesis dan
organisasi. Selama periode ini terjadi proses organogenesis sebagian besar organ
tubuh. Embrio sangat rentan terhadap efek teratogen sehingga setiap gangguan
dalam diferensiasi sel selalu mengakibatkan kelainan bawaan. Kelainan ini
bervariasi mulai dari kecacatan struktural (malformasi), hambatan pertumbuhan,
penurunan fungsi organ sampai kematian. Pada manusia dapat juga menimbulkan
keguguran sedang pada Rodensia menimbulkan resorpsi (Widiyani dan Sagi,
2001).
Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada periode ini antara
lain, gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya muncul
kemudian, atau timbul secara langsung pada saat kehamilan. Pengaruh letal,
berupa kematian janin atau terjadinya abortus dan pengaruh sub-letal, yang
biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ (Setiawan,
2009).
2.4.3. Periode fetus
Pada periode fetus, terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari
fetus, yang terbagi menjadi periode somit dan pascasomit. Periode somit ditandai
dengan munculnya segmen metamerik dorsal yang prominen, kemudian
ditentukan pola dasar sistem tubuh dan organ utama. Periode pascasomit ditandai
dengan pembentukan bagian luar tubuh. Periode pascasomit merupakan periode
organogenesis, dimana pada periode ini terjadi diferensiasi pembentukan organ
tubuh (Sperber, 1991). Pengaruh buruk senyawa asing terhadap fetus pada periode
ini memiliki peluang yang kecil untuk menyebabkan cacat bawaan yang nyata,
tetapi bisa menyebabkan perubahan dalam pertumbuhan dan fungsi organ dan
jaringan yang telah terbentuk secara normal (Silvia, 2011).
10
2.5.Perkembangan dan Kelainan Skeleton Fetus
Skeleton merupakan serangkaian tulang yang menyusun tubuh dan
mempunyai fungsi yang sangat penting. Tulang berfungsi sebagai penunjang dan
pemberi bentuk tubuh, pelindung alat-alat vital tubuh; penyusun rangka tubuh,
tempat melekatnya otot, tempat pembentukan sel-sel darah merah, dan tempat
penyimpan mineral yaitu kalsium dan fosfor (Sloane, 2004).
Berdasarkan jaringan penyusunnya, tulang dibedakan menjadi tulang
rawan (kartilago) dan tulang keras (Sloane, 2004). Tulang rawan bersifat lentur,
dan dibentuk oleh sel-sel mesenkim. Di dalam kartilago tersebut akan diisi oleh
osteoblas. Osteoblas merupakan sel-sel pembentuk tulang keras. Osteoblas akan
mengisi jaringan sekelilingnya dan membentuk osteosit (sel-sel tulang). Di
sekeliling sel-sel tulang ini terbentuk senyawa protein membentuk matriks tulang.
Matriks tulang akan mengeras karena adanya garam kapur (CaCO3) dan garam
fosfat atau Ca3(PO4)2 (Irianto, 2004).
Skeleton tubuh manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu skeleton
aksial dan skeleton apendikular. Skeleton aksial berfungsi melindungi organ-
organ dalam dan memberi bentuk tubuh sedangkan skeleton apendikular berfungsi
dalam sistem gerak. Skeleton aksial tersusun atas tulang belakang (vertebrae),
tulang dada (sternum), dan tulang rusuk (costae), sedangkan tulang-tulang
penyusun skeleton apendikular yaitu telapak tangan (metakarpus) dan telapak kaki
atau metatarsus (Sloane, 2004). Skeleton manusia dengan tikus hampir sama.
Struktur skeleton normal pada tikus ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar. 2. Struktur skeleton normal pada tikus (Margaret, 2008)
11
Skeleton aksial pada gambar 2 terdiri atas tulang belakang (vertebrae)
yang tersusun atas tujuh servik (tulang leher), 13 toraks (tulang punggung), enam
lumbar (tulang pinggang), dan satu koksigea (tulang ekor, empat ruas berfusi
menjadi satu); tulang dada (sternum) tersusun atas satu manubrium (hulu), satu
gladiolus (badan), dan satu xifoid (taju pedang); tulang rusuk (costae) yang
tersusun atas tujuh pasang rusuk sejati, tiga pasang rusuk palsu, dan dua pasang
rusuk melayang, serta tulang tempurung kepala atau cranium (Sloane, 2004).
Struktur skeleton costae dan sternebrae secara jelas ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar. 3. Struktur skeleton normal pada tulang rusuk (costae) dan tulang dada
(sternebrae) tikus (Margaret, 2008)
Gambar 4 menunjukkan struktur skeleton normal dari ruas tulang telapak
kaki (metatarsal). Metatarsal tersusun atas 10 ruas tulang telapak kaki yang
terdapat dari kedua telapak kaki kanan dan kiri. Pada tikus jumlah ruas metatarsal
sama dengan jumlah ruas metakarpus yaitu berjumlah 10 ruas (Sloane, 2004).
Gambar. 4. Struktur skeleton normal pada tulang telapak kaki (metatarsus) tikus
(Margaret, 2008)
12
Gambar 5 menunjukkan contoh kelainan skeleton yang terjadi akibat
pemajanan zat embriotoksik yang dapat diamati pada penulangan costae, biasanya
dapat dilihat pada bentuk costae antara lain berupa costae fusi, adanya “jembatan
costae”, serta costae bergelombang, dan kelainan penulangan ini juga dapat dilihat
dari jumlah penulangan costae (Setyawati dan Yulihastuti, 2011). Gambar 7
merupakan contoh kelainan struktur anatomi yang dapat diamati berupa tungkai
belakang torsi, ekor bengkok, dan penghambatan penulangan pada sternebrae,
metakarpus serta metatarsus (Santoso, 2004).
Gambar. 5. Bentuk costae fetus : a). Costae normal, b). Costae fusi dan adanya
jembatan costae, c). Costae bergelombang (Setyawati dan Yulihastuti 2011).
Gambar. 6. Osteogenesis fetus : (A, B, dan C) osteogenesis normal ,(D)
osteogenesis terhambat (indikasi dominan warna biru) (Santoso, 2004).
Gambar. 7. Fotomikrograf ekor fetus : a) vertebra ekor normal, b) vertebra
bengkok, lebih kecil dan jarak antar vertebra berhimpitan (Santoso, 2004)
13
Gambar 8. Hemoragi pada fetus. 1) Hemoragi pada bagian kepala, 2) Hemoragi
pada bagian punggung, dan 3) Hemoragi pada seluruh badan (Widyastuti dkk.,
2006)
Hemoragi atau perdarahan merupakan peristiwa dimana darah keluar dari
sistem kardiovaskuler disertai dengan penimbunan di dalam jaringan tubuh.
Hemoragi dapat terjadi pada bagian kepala, leher, punggung, kaki, perut maupun
pada seluruh bagian tubuh yang ditunjukkan pada gambar 8 (Widyastuti dkk.,
2006).
1
2
3
Top Related