1. Tinjauan Tentang Perkawinan
Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan
pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap
melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu
perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan
sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan
dan dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas
secara mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait
dengan pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum
perkawinan, syarat-syarat sahnya perkawinan yang akan dibahas pada
sub-sub bab secara singkat akan tetapi dapat dipahami oleh setiap
pembaca.
0. Pengertian Perkawinan
Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk
membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.[footnoteRef:1] Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari
kata kawin yang bermakna membentuk keluarga dengan lawan jenis;
bersuami atau beristri; menikah.[footnoteRef:2] Kata lain dari
Perkawinan ialah Pernikahan dan mempunyai arti yang
sama.[footnoteRef:3] [1: Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat
(Cetakan Ke-1), Kencana, Bogor, 2003, hal. 7.] [2: Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001, hal. 518.] [3: Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit.]
Kemudian beberapa pengertian perkawinan yang diutarakan oleh
beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perkawinan.
0. Menurut Pendapat Ahli
a. Menurut Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.[footnoteRef:4] [4: Subekti dan Tjitrosudibio, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 23.]
b. Menurut Tengku Erwinsyahbana mengutip dari pendapat Sayuti
Thalib, Perkawinan sebagai suatu perjanjian suci antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu
keluarga.[footnoteRef:5] [5: Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum
Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 2 No. 2, Februari 2012, hal. 167]
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Secara yuridis pengertian perkawinan telah tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, yang berbunyi
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.[footnoteRef:6] [6: Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.]
Dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui bahwa terdapat
lima unsur didalam pengertian perkawinan, yaitu :
a. Adanya Ikatan Lahir Batin. Perkawinan dapat dikatakan sebagai
suatu perjanjian serta persetujuan yang menimbulkan suatu ikatan
secara lahiriyah maupun batiniah antara seorang pria dengan seorang
perempuan.
b. Antara Seorang Laki-Laki Dengan Seorang Perempuan. Perkawinan
yang dilaksanakan haruslah dilakukan oleh seseorang yang berbeda
jenis kelamin, karena salah satu tujuan dari perkawinan itu sendiri
adalah untuk menghasilkan suatu keturunan.
c. Sebagai Suami Isteri. Setelah dilaksanakannya perkawinan tentu
saja scara yuridis statusya juga berubah, yang dimana laki-laki
berubah statusnya sebagai suami dan perempuan berubah statusnya
berubah sebagai isteri
d. Adanya Tujuan. Pelaksanaan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga pelaksanaan perkawinan
tidak boleh dalam jangka waktu tertentu saja ataupun sebagai ajang
coba-coba.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai
hubungan erat dengan agama dan kerohanian yang dimana terdapat
unsur keagamaan didalamnya bukan hanya keperdataan saja. Karena
pelaksanaan perkawinan merupakan untuk melaksanakan anjuran Allah
SWT yang merupakan termasuk dalam kategori melakukam ibadah.
0. Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan tercantum
pada Pasal 2 yakni “Perkawinan hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah”.[footnoteRef:7] [7: Kompilasi Hukum Islam Pasal 2. ]
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan
atau yang lebih dikenal dengan istilah pernikahan dalam hukum Islam
adalah pernikahan yang dilaksanakan untuk mentaati serta
melaksanakan perintah Allah, yang dimana perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai suatu ibadah.
Sehingga dari beberpa pengertian perkawinan yang telah dikemukakan
oleh para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perkawinan dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan sebuah
hubungan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang hidup bersama guna memenuhi kebutuhan
biologis dan menciptakan suatu hubungan timbal balik antara kedua
belah pihak yang diharapkan dapat menjadi suatu keluarga yang
bahagia secara lahir dan batin guna dapat mewujudkan sebuah
keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[footnoteRef:8] [8: Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal
22-23.]
0. Tujuan Perkawinan
Tiap warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban pada masing-masing
individu. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah membentuk
keluarga dan melanjutkan keturuannya, hal tersebut tercantum pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat
(1) yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah”.[footnoteRef:9] [9: Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)]
Kemudian beberapa tujuan perkawinan yang diutarakan oleh beberapa
para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perkawinan.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pengaturan perihal perkawinan itu sendiri telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 yang kemudian Undang-Undang
Perkawinan tersebut mengalami beberapa perubahan sehingga
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
dimana undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 15 Oktober
2019. Selain itu terdapat pula Peraturan Pelaksananya, yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur megenai perkawinan
secara nasional, yang secara otomatis berlaku bagi semua masyarakat
yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, tidak memandang ras maupun
golongan-golongan yang ada di Indonesia.[footnoteRef:10] [10: Fuad
Buchari, Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume 1 No. 2, Oktober 2014, hal.
1.]
Tujuan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan diatur dalam pasal 1 yang dimana tujuan
perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.[footnoteRef:11] Kemudian selanjutnya dijelaskan pula
bahwa suami isteri perlu untuk saling membantu dan melengkapi agar
dapat membantu untuk mengembangkan dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material masing-masing pihak.[footnoteRef:12] [11:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.] [12:
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum
Islam dan Hukum Adat, Jurnal Yudisia, Volume 7 No. 2, Desember
2016, hal. 419.]
Hal ini dikarenakan perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan agama. Sehingga dalam hal ini perkawinan bukan hanya
mempunyai unsur lahir secara jasmani, akan tetapi terdapat unsur
batin yang sama-sama mempunyai peranan penting
didalamnya.[footnoteRef:13] [13: Ibid.]
1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam atau yang sering disingkat dengan sebutan KHI
merupakan pengaturan yang disusun dengan memperhatikan kondisi dan
kebutuhan umat Islam yang ada di Indonesia.[footnoteRef:14]
Terwujudnya KHI didasarkan pada keinginan untuk menyeragamkan hukum
Islam yang ada di Indonesia, dikarenakan pada saat sebelum KHI
dikeluarkan, para hakim Pengadilan Agama saat membuat putusan dalam
suatu perkara hukum selalu berpedoman pada kitab-kitab fiqih yang
dimana terdapat beberapa pemahaman yang berbeda di
dalamnya.[footnoteRef:15] [14: Hikmatullah, Selayang Pandang
Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal
AJUDIKASI, Volume 1 No. 2, Desember 2017, hal. 50.] [15: Ibid, hal.
42.]
Sehingga tidak sedikit pula putusan yang telah dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama hasilnya berbeda-beda, padahal perkara hukum yang
dibahas sama. Dikarenakan hal tersebut, maka kemudian
diterbitkanlah KHI untuk mewujudan keseragaman pemahaman dan
kejelasan bagi kesatuan hukum Islam untuk dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan para hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
berada di lingkungan Pengadilan Agama.[footnoteRef:16] [16:
Ibid.]
Penyebarluasan KHI dilaksanakan melalui instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
KHI mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
perwakafan.[footnoteRef:17] [17: Kompilasai Hukum Islam.]
Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal
3 yang dimana menyatakan bahwa tujuan perkawinan yakni guna
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Dikarenakan dengan adanya pelaksanaan perkawinan dapat
menambah kesejahteraan umat baik secara individu ataupun
bermasyarakat, yang dimana kesejahteraan kelurga merupakan suatu
pondasi agar terwujudnya kesejahteraan individu sekaligus
kesejahteraan masyarakat.[footnoteRef:18] [18: Abdul Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2019, hal. 9]
0. Syarat Sahnya Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2
menyatakan bahwa :
0. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu
0. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[footnoteRef:19] [19: Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan
(2).]
Sehingga saat akan melaksanakan perkawinan terdapat
persyaratan-persyaratan yang diatur agar perkawinan yang
dilaksanakan dapat dikatakan sah dimata hukum.
Syarat Perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,
apabila terdapat salah satu dari persyaratan yang telah ditentukan
tidak dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah di mata
hukum.[footnoteRef:20] Syarat sah perkawinan dibagi menjadi 2
macam, yakni syarat sah formil, dan materil. Syarat perkawinan
formil lebih kepada tata cara ataupun prosedur pelaksanaan.
Kemudian syarat meteril yakni berupa syarat-syarat apa saja yang
harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya suatu perkawinan oleh
masing-masing pihak calon mempelai. [20: Kang Yadi, Syarat Sahnya
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
http://www.apik-web.blogspot.com, diakses pada 26 Februari
2019.]
Pada pembahasan kali ini akan lebih berfokus mengenai syarat
materiil perkawinan yang dimana telah diatur berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Namun
sebelumnya perlu diketahui bahwa syarat materiil itu sendiri dibagi
menjadi 2 macam. Syarat materiil yang pertama yakni syarat materiil
absolut atau mutlak, yang dimana syarat materiil ini mengatur
mengenai syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi oleh kedua calon
mempelai perihal batasan umur, persetujuan, dan
ijin.[footnoteRef:21] [21: Komariah, Op.cit, hal. 37-40.]
Syarat materiil yang kedua adalah syarat materiil relatif yang
dimana syarat ini mengatur mengenai adanya larangan perkawinan
antara seorang dengan seseorang tertentu.[footnoteRef:22] Namun
Pada pembahasan kali ini hanya akan mengutarakan mengenai syarat
materiil obsolut atau mutlak yang dimana menjadi dasar sah tidaknya
suatu perkawinan, sedangkan untuk syarat materiil relatif akan
diutarakan dalam pembahasan selanjutnya. [22: Ibid.]
Berikut beberapa ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat
sahnya Perkawinan.
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bahwasannya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat
materiil absolut atau mutlak diatur dalam pasal 6 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6 terdiri dari 6 ayat dan
Pasal 7 terdiri dari 4 ayat, yakni sebagai berikut :
1. Persetujuan
Menurut Pasal 6 ayat (1), perkawinan harus berdasarkan persetujuan
kedua calon mempelai. Sehingga perkawinan tersebut tidak terdapat
unsur paksaan di dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain murni atas
dasar suka sama suka.[footnoteRef:23] [23: Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (1)]
1. Usia Mencukupi
Menurut Pasal 7 ayat (1), batas umur saat akan melaksanakan
perkawinan yakni 19 tahun untuk calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita.[footnoteRef:24] Akan tetapi apabila kedua calon
belum memenuhi batasan usia atau terjadi penyimpangan usia untuk
melaksanakan perkawinan, maka orang tua calon mempelai laki-laki
ataupun perempuan harus meminta dispensasi kepada pengadilan dengan
alasan yang sangat mendesak dan disertai dengan bukti-bukti
pendukung yang cukup.[footnoteRef:25] Selain itu disaat pengadilan
akan memberikan dispensani haruslah mendengarkan terlebih dahulu
pendapat dari kedua calon mempelai yang akan melaksanakan
perkawinan tersebut.[footnoteRef:26] [24: Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).] [25: Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).] [26: Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (3).]
Kemudian berdasarkan Pasal 6 ayat (2) menerangkan bahwa, apabila
kedua calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka untuk
melangsungkan perkawinan tersebut haruslah mendapat izin dari
masing-masing kedua orang tua calon mempelai.[footnoteRef:27] Hal
ini dikarenakan dianggap belum cukup untuk diakatakan dewasa secara
hukum, yang dimana belum dianggap cakap dalam melakukan tindakan
hukum.[footnoteRef:28] [27: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2)] [28: Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 330.]
1. Wali
Menurut Pasal 6 ayat (3), (4) dan 5, apabila salah seorang dari
kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal lain tidak
dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan perkawinan
dapat dimintakan kepada orang tua yang masih hidup ataupun orang
tua yang mampu mengatakan kehendaknya.[footnoteRef:29] [29:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat
(3)]
Akan tetapi jika kedua orang tuanya meninggal dunia ataupun tidak
dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan perkawinan
dapat diperoleh dari wali. Wali yang dimaksud merupakan seseorang
yang memelihara ataupun keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalah garis keturunan lurus keatas selama wali terasebut masih
hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.[footnoteRef:30] [30:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat
(4)]
Akan tetapi berbeda halnya apabila orang tua atau wali tidak
menyatakan pendapatnya, maka calon mempelai dapat meminta izin
pelaksanaan perkawinan ke Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal. Dan dalam hal ini Pengadilan baru dapat memberikan izin
pelaksanaan perkawinan tersebut harus mendengar pendapat orang tua
ataupun walinya terlebih dahulu.[footnoteRef:31] [31: Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (5)]
0. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Berikut syarat sahnya perkawinan yang harus terpenuhi saat ingin
melaksanakan perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang
tercantum pada Pasal 14. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini
menyebutkan lima rukun perkawinan yang dijadikan sebagai syarat
sahnya perkawinan, yakni sebagai berikut :
1. Calon Mempelai
Calon mempelai terdiri dari seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai diatur dalam Pasal 15
sampai dengan Pasal 18.
Menurut pasal 15, kedua calon mempelai telah mencapai umur yang di
tetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
yakni calon suami minimal berusia 19 tahun dan calon isteri minimal
berusia 16 tahun.[footnoteRef:32] Akan tetapi apabila calon
mempelai yang berusia belim mencapai 21 tahun harus mendapatkan
izin pelaksanaan perkawinan dari orang tua, wali ataupun
pengadilan.[footnoteRef:33] [32: Kompilasi Hukum Islam Pasal 15
ayat (1)] [33: Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (2)]
Menurut Pasal 16 dan 17, pelaksanaan perkawinan harus berdasarkan
persetujuan kedua calon mempelai.[footnoteRef:34] Persetujuan dari
calon mempelai wanita dapat berupa penyataan tegas disertai dengan
tulisan, lisan atau isyarat. Dan apabila calon mempelai wanita
hanya diam saja berarti calon mempelai wanita setuju dengan
pelaksanaan perkawinan tersebut. Dikarenakan dalam hal ini sikap
calon mempelai tersebut dianggap tidak ada
penolakan.[footnoteRef:35] [34: Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat
(1)] [35: Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (2)]
Selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan, para pegawai pencatat
nikah terlebih dahulu menanyakan persetujuan dua calon mempelai
dengan didampingi oleh 2 orang saksi nikah.[footnoteRef:36] Dan
apabila salah satu calon mempelai tidak menyetujuinya, maka
pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dapat
dilangsungkan.[footnoteRef:37] Apabila dalam hal ini calon mempelai
menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dilakukan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.[footnoteRef:38]
[36: Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (1)] [37: Kompilasi Hukum
Islam Pasal 17 ayat (2)] [38: Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat
(3)]
Dan ketentuan yang lebih penting bagi para calon mempelai yakni
tidak ada hubungan larangan perkawinan antara calon mempelai suami
dengan calon mempelai isteri.[footnoteRef:39] [39: Kompilasi Hukum
Islam Pasal 18]
1. Wali Nikah
Wali nikah adalah seseorang yang bertindak untuk menikahkan calon
mempelai wanita. Selain itu terdapat dua jenis wali nikah, yakni
wali nasab dan wali hakim. Berikut syarat serta penjelasan mengenai
wali nikah yeng telah diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal
23.
1. Wali Nasab
Wali nasab terdiri dari empat kelompok, pertama kelompok kerabat
laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan
seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,
kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Dan keempat,
kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka. [footnoteRef:40] [40: Kompilasi
Hukum Islam Pasal 21 ayat (1)]
Sehingga dalam hal ini yang diprioritaskan sebagai wali nikah yakni
:[footnoteRef:41] [41: Anggi Rosalia, Urutan Wali Nikah Dalam
Islam, https://dalamislam.com, diakses pada 19 Oktober 2019.]
1. Ayah
1. Paman, Saudara Kandung Ayah
1. Paman, Saudara Ayah Yang Sebapak
1. Sepupu, Keponakan Saudara Kandung Ayah
1. Sepupu, Keponakan Saudara Ayah Yang Sebapak
Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah,
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[footnoteRef:42]
Akan tetapi berbeda halnya apabila wali nikah yang paling berhak
tidak dapat memenuhi syarat sebagai wali yang dimana wali nikah
tersebut menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka
yang berhak menjadi wali nikah bergeser menurut
urutannya.[footnoteRef:43] [42: Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat
(4).] [43: Kompilasi Hukum Islam Pasal 22]
1. Wali Hakim
Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak serta
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.[footnoteRef:44]
Dalam hal ini wali hakim baru dapat bertindak apabila wali nasab
tidak ada ataupun tidak mungkin dapat dihadirkan karena tidak
mengetahui tempat tinggalnya.[footnoteRef:45] Akan tetapi apabila
wali adlal atau eenggan, maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah adanya putusan dari Pengadilan Agama
mengenai wali tersebut.[footnoteRef:46] [44: Kompilasi Hukum Islam
Pasal 1 huruf b.] [45: Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (1).]
[46: Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (2).]
1. Saksi Nikah
Saksi nikah merupakan seseorang yang ditunjuk oleh calon ataupun
keluarga yang akan melaksanakan perkawinan untuk turut hadir dan
menyaksikan saat terjadinya akad nikah dan penandatanganan akta
nikah. Berikut uraian pasal-pasal yang menerangkan mengenai saksi
nikah yang terdapat pada Pasal 24 sampai dengan Pasal
26.[footnoteRef:47] [47: Kompilasi Hukum Islam Pasal 24 sampai
dengan Pasal 26.]
Saksi merupakan salah satu rukun dalam pelaksanaan akad nikah, yang
dimana dalam pelaksanaannya harus dihadiri dua orang
saksi.[footnoteRef:48] Seseorang yang dapat ditunjuk sebagai saksi
yakni seserang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu
ingatannya serta tidak menderita tuna rungu atau
tuli.[footnoteRef:49] Kemudian selain itu saksi tersebut juga harus
hadir langsung dalam pelaksanaan akad nikah untuk menyaksikan
secara langsung pelaksanaan perkawinan serta penandatanganan akta
nikah saat dilangsungkannya akad nikah.[footnoteRef:50] [48:
Kompilasi Hukum Islam Pasal 24.] [49: Kompilasi Hukum Islam Pasal
25.] [50: Kompilasi Hukum Islam Pasal 26.]
1. Akad Nikah
Akad nikah merupakan kunci dari pelaksanaan perkawinan itu
sendiri.[footnoteRef:51] Dikarenakan akad nikah adalah upacara
keagamaan untuk menyatakan kesepakatan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk mengikatkan dirinya dalam suatu ikatan
perkawinan,[footnoteRef:52] yang diresmikan dihadapan manusia dan
Tuhan.[footnoteRef:53] Berikut pengaturan mengenai akad nikah yang
diatur pada Pasal 27 sampai dengan Pasal 29. [51: Mud A.W.,
Pengertian Dasar Acara Akad Nikah, www.fimela.com, diakses pada 2
Oktober 2019.] [52: MT Hudha, Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad
Nikah, www.eprints.walisongo.ac.id, diakses pada 2 Oktober 2019,
hal. 16.] [53: Wikipedia, Ijab Kabul, https://id.m.wikipedia.org,
diakses pada 2 Oktober 2019.]
Pada saat mengucapkan ijab dan qabul antara wali nikah dengan
mempelai pria harus secara jelas dan beruntun, yang dimana tidak
terdapat selang waktu.[footnoteRef:54] Seseorang yang berhak untuk
mengucapkan qabul adalah mempelai pria pribadi.[footnoteRef:55]
[54: Kompilasi Hukum Islam Pasal 27.] [55: Kompilasi Hukum Islam
Pasal 29 ayat (1).]
Namun apabila mempelai pria terdapat dalam keadaan tertentu,
pengucapan qabul dapat diwakilkan dengan cara mempelai pria
memberikan kuasa kepada pria lain dalam bentuk tertulis yang secara
tegas menegaskan bahwa penerimaan wakil atas akad nikah tersebut
adalah untuk mempelai pria.[footnoteRef:56] Akan tetapi apabila
mempelai wanita serta wali nikahnya merasa keberatan, maka
pelaksanaan akad nikah tersebut tidak dapat
dilangsungkan.[footnoteRef:57] [56: Kompilasi Hukum Islam Pasal 29
ayat (2).] [57: Kompilasi Hukum Islam Pasal 30.]
1. Tinjauan Tentang Perkawinan Incest
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Incest merupakan hubungan
seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait
hubungan darah.[footnoteRef:58] Perbuatan Incest pada dasarnya
merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan
sangat-sangat ditentang, baik oleh agama maupun hukum positif yang
ada di Indonesia. Sehingga banyak sekali peraturan-peraturan yang
melarang terjadinya perkawinan Incest. Dan perlu diketahui juga
bahwa perkawinan Incest merupakan salah satu bentuk pelanggaran
atas syarat materiil relatif, yang dimana terdapat hubungan yang
dilarang kawin antar kedua calon mempelai.[footnoteRef:59] [58:
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 435.] [59: Komariah, Op.cit, hal.
39-40.]
1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Nasional
Beberapa ketentuan hukum nasional yang menyinggung mengenai Incest
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara khusus mengenai
Hubungan Sedarah atau Incest. Undang-Undang Perkawinan hanya
mengatur mengenai Dasar Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya
Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami-Isteri,
Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya,
Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak,
Perwakilan, dan Ketentuan-Ketentuan Lain. Walaupun Undang-Undang
Perkawinan tidak mengatur mengenai Incest secara khusus. Akan
tetapi Undang-Undang Perkawinan mempertegas larangan hubungan
Incest pada Pasal 8 yaitu menganai larangan perkawinan adanya
hubungan darah.[footnoteRef:60] Hubungan darah yang dimaksud adalah
adanya hubungan sedarah antar calon mempelai baik dalam garis lurus
keatas, kebawah maupun kesamping, yakni sebagai berikut : [60:
Ritna Makdalena M. Arunde, Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan
Sedarah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Privatum,
Volume 6 No. 2, April 2018, hal. 103.]
1. Hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah yakni perkawinan
yang dilakukan antara :[footnoteRef:61] [61: Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf a.]
1. Seorang laki-laki dengan ibu kandung,
1. Seorang laki-laki dengan nenek yakni ibu dari ayah kandung
maupun ibu kandung, dan
1. Seorang laki-laki dengan anak kandung
1. Hubungan darah garis lurus menyamping yaitu perkawinan yang
dilakukan antara :[footnoteRef:62] [62: Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf b.]
0. Saudara, yakni dengan saudara seayah dan/atau seibu,
0. Seorang dengan saudara orang tua baik saudara kandung ayah
ataupun saudara kandung ibu, dan
0. seorang dengan saudara neneknya.
Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan tersebut Incest masuk
sebagai salah satu kategori hubungan yang dilarang untuk
melaksanakan suatu perkawinan, yakni antara mereka yang satu sama
lain bertalian keluarga baik dalam garis lurus keatas maupun garis
lurus kebawah baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah dan
garis lurus menyamping, yaitu hubungan seksual antara orang tua
dengan anak, dan hubungan seksual antara sesama
saudara.[footnoteRef:63]. [63: Ibid.]
0. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sama halnya dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
tidak mengatur secara khusus mengenai hubungan Incest. Akan tetapi
hubungan Incest merupakan salah satu hubungan yang dilarang dalam
pelaksanaan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan mengenai larangan perkawinan Incest tercantum dalam pasal
39 ayat (1) huruf a sampa dengan huruf c, yang dimana terdapat 3
macam yang dikategorikan sebagai hubungan Incest, yakni :
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, yang dimaksud
adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang anak dengan
orang tua kandungnya.[footnoteRef:64] [64: Kompilasi Hukum Islam
Pasal 39 Ayat (1) huruf a.]
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
merupakan keturunan dari ayah atau ibu, yang dimaksud adalah
hubungan seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan seibu kandung ataupun seayah
kandung.[footnoteRef:65] [65: Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat
(1) huruf b.]
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
saudara yang melahirkannya, yang dimaksud adalah hubungan seksual
yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang merupakan saudara dari ibu kandung ataupun ayah
kandung.[footnoteRef:66] [66: Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat
(1) huruf c.]
1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Islam
Dalam perkawinan tentu saja terdapat beberapa hal-hal yang
diperbolehkan, dan terdapat pula hal-hal yang tidak diperbolehkan
ataupun yang dilarang. Salah satu hal yang tidak diperbolehkan
dalam pelaksanaan perkawinan adalah adanya hubungan sedarah atau
Incest.
Incest Dalam bahasa Arab adalah ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba
atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang
diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah,[footnoteRef:67]
dikarenakan dalam hubungan tersebut terdapat kemahraman nasab
antara kedua calon mempelai dan haram hukumnya. [67: M. Zia Fikri
N. B., Studi Analisis Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam (Jinayah) Dan Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012, hal.
1.]
Sejak 14 abad yang lalu Al-Quran sudah mewanti-wanti dan melarang
keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang sedarah apalagi sampai dilaksanakannya perkawinan.
Dalam hal ini Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa
yang tidak boleh dan dilarang serta haram untuk
dinikahi,[footnoteRef:68] yakni berdasarkan firman Allah dalam
Surat An-Nisa Ayat 23 : [68: Rusdaya Basri, Pernikahan Sedarah
Dalam Perspektif Hukum Islam, http://www.iainpare.ac.id, diakses
pada 8 Oktober 2019.]
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)[footnoteRef:69] [69: TafsirQ,
Surat An-Nisa’ Ayat 23, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober
2019.]
Surat An-Nisa ayat 23 dan terjemahannya tersebut, menjelaskan siapa
saja perempuan yang haram dinikahi. Perempuan itu adalah : (1) Ibu,
(2) Ibu tiri, (3) Anak kandung, (4) Saudara kandung seayah dan/atau
seibu, (5) Bibi dari ayah atau ibu, (6) Keponakan dari saudara
laki-laki atau saudara perempuan, (7) Ibu yang menyusui, (8)
Saudara sesusuan, (9) Mertua (10) Anak tiri dari istri yang sudah
diajak berhubungan suami isteri, (11) Menantu, dan (12) Saudara
isteri untuk dimadu.
Berdasarkan terjemahan ayat Surat An-Nisa tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat tiga kategori perempuan yang haram untuk
dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah, baik hubungan nasab
(keturunan) maupun karena hubungan persusuan. Kedua, karena ada
hubungan pernikahan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri,
maupun anak. Dan ketiga karena status perempuan yang sudah menikah.
Sehingga dari beragam kategori tersebut, subject Incest masuk dalam
kategori yang pertama.
Sehingga dalam hal ini Incest merupakan salah satu hubungan yang
dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan, dan keharaman
hubungan mahram ini bersifat abadi atau selamanya. Hal ini
dikarenakan hubungan Incest tersebut merupakan hubungan yang
dilakukan antara ayah dengan anak, ibu dengan anak, sesama saudara
seayah dan/atau seibu yang dimana masih terdapat berhubungan darah
ataupun nasab dan secara terang-terangan jelas terdapat kemahraman
diantaranya. Sehingga hubungan Incest ini dianggap dapat merusak
makna sebenarnya mengenai ayah, anak, ibu, kakak, adik, paman, bibi
dan seterusnya.
Keharaman Incest baik sedarah maupun sepersusuan tampaknya
dipandang sebagai hal yang mudah diterima akal sehat, hal ini
berdasarkan Hadist Riwayat Bukhori :
. ()
“dari Uqbah bin Harits bahwa dia menikahi anak perempuan Ihab bin
Azis. Kenudian datang kepadanya seorang perempuan dan berkata,
“Sesungguhnya ia telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dia
nikahi.” Kemudian Uqbah menjawab, “Aku tidak tahu kalau engkau
telah menyusuiku dan engkau tidak pula memberitahuku.” Lalu Uqbah
berkendara ke Madinah menemui Rasulullah SAW, dia bertanya kepada
beliau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana (lagi) padahal
sudah dikatakan (bahwa kalian adalah bersaudara susuan)?” Setelah
mendengan ucapan Rosululloh, Uqbah menceraikannya isterinya dan
menikahi perempuan”.(HR Bukhari)
Selepas dari keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu
susuannya tadi, maka pernikahan yang telah terjadi itu pun
dibatalkan, sehingga Uqbah menceraikan isterinya karena terdapat
kemahraman pada keduanya.
Dari kisah tersebut, kita bisa tahu bahwa pada jaman Rosulullah
mereka sangat amat menjaga pengetahuan mengenai siapa saja yang
bersaudara susuan. Walaupun perbuatan menyusukan anak kepada orang
lain merupakan suatu kebiasaan di Arab pada jaman dahulu, namun
pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga. Sehingga
ketika didapati seseorang melanggar batasan ini, terdapat orang
yang segera memberitahukannya. Sehingga dengan cara beginilah Allah
hendak memberitahukan kepada kita semua betapa pentingnya untuk
mengetahui hubungan kemahraman.
Berdasarkan Hadist Sunan An-Nasa’i No. 3251-Kitab Pernikahan,
Rosululloh juga pernah bersabda :[footnoteRef:70] [70: Abdul Rahman
Ghazaly, Op.cit, hal. 77.]
" " . . .
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, ia berkata;
telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim dari Abdullah bin Abi
Bakr dari ayahnya dari’Amrah, ia berkata; saya mendenganr Aisyah
berkata; Rosulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda;” apa yang
haram karena nasab adalah haram karena persusuan”.
Berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa telah diharamkan
kepada kita untuk menikahi saudara dari satu persusuan yang sama.
Hal ini diperkuat dengan berdasarkan terjemahan Surat An-Nisa’ ayat
23 yang telah disinggung sebelumnuya terkait apa saja yang tidak
boleh sekaligus haram untuk dinikahi.
1. Tinjauan Tentang Status Anak
Secara etimologis anak diartikan dengan manusia yang masih kecil
ataupun manusia yang belum dewasa. Pengertian anak juga tertulis
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat disimpulkan
ialah keturunan dari seorang pria dan seorang wanita yang
melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara
biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang
biak di dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian
wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan
keturunannya.[footnoteRef:71] [71: Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2016, hal.
219.]
2. Status Anak Menurut Hukum Nasional
Didalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam hanya
mnyantumkan 2 status anak, yakni anak sah dan anak luar
kawin.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan hanya menerangkan 2 status anak, yang
dimana terdiri dari anak sah dan anak luar kawin. Pengertian anak
sah menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam 42, yakni anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.[footnoteRef:72] Sedangkan anak luar kawin
diatur dalam pasal 43, yang dimana anak luar kawin adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan.[footnoteRef:73] [72: Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42.] [73:
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 43.]
1.2. Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan menjadi 2
macam, yakni anak sah dan anak luar kawin yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dan 100.
Anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat 2 kategori, yang
pertama yakni anak yang dilahirkan didalam atau akibat dari adanya
perkawinan yang sah.[footnoteRef:74] Kemudian anak sah menurut
Kompilasi Hukum Islam yang kedua yakni, anak sah merupakan anak
yang lahir dari perbuatan suami dan isteri yang telah melakukan
perkawinan yang sah akan tetapi dibuahi diluar rahim dan setelah
itu dilahirkan oleh isteri tersebut,[footnoteRef:75] contohnya
seperti bayi tabung. Sedangkan yang dimaksud anak luar kawin
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir diluar
perkawinan.[footnoteRef:76] [74: Kompilasi Hukum Islam Pasal 99a.]
[75: Kompilasi Hukum Islam Pasal 99b.] [76: Kompilasi Hukum Islam
Pasal 100.]
2. Status Anak Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak berdasarkan Hukum Islam hanya menjelaskan
beberapa status anak, yakni anak sah dan anak zina. Anak sah
menurut hukum Islam yakni anak yang lahir didalam perkawinan yang
sah dan fasid. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun
perkawinan berdasarkan hukum Islam tanpa harus mendaftarkan
perkawinan tersebut secara resmi di instasi
terkait.[footnoteRef:77] Sedangkan perkawinan fasid adalah
perkawinan yang dilangsungkan tidak terdapat wali dan saksi,
ataupun saksi yang didatangkan adalah palsu.[footnoteRef:78] [77:
Fitiria Nurmalisa, Tugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak),
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry,Banda Aceh, hal. 52.] [78: Ibid,
hal. 53.]
Kemudian anak zina, anak zina sebenarnya hampir sama dengan
pengertian anak luar kawin. Akan tetapi dalam hukum Islam sendiri
tidak mngenal istilah anak luar kawin seperti peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini. Menurut Hukum
Islam anak zina merupakan anak hasil pembuahan yang dilakukan
diluar perkawinan.
Anak zina dalam hukum islam diklasifikasikan menjadi 2 macam.
Pertama anak zina hasil dari hubungan diluar perkawinan atas dasar
suka sama suka, yang dimana salah satunya atau keduanya sedang
terikat perkawinan, dengan kata lain anak hasil perselingkuhan
dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Kemudian yang kedua
adalah anak zina hasil dari hubungan antara seorang perempuan dan
laki-laki diluar perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama
suka.
2