1
ABSTRAK LIA SAUTUNNIDA : JUAL BELI MELALUI INTERNET (E-COMMERCE) KAJIAN MENURUT BUKU III KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (iv, 76), pp., bibl., app)
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari Pasal 1338 jo 1320 jo Pasal 18 UUITE KUH Perdata, maka dalam praktek tumbuh bermacam-macam perjanjian baru, salah satunya adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dengan menggunakan jasa Internet. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) menyebutkan bahwa bukti dan perjanjian elektronik mengikat dan sah. Namun pada kenyataanya transaksi melalui elektronik menyangkut keabsahan, tanggung jawab dan sistem pembuktiannya tidak dipahami oleh pihak-pihak dalam jual beli sehingga diragukan oleh masyarakat dari aspek hukumnya.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana keabsahan perjanjian melalui Internet, tanggung jawab pihak-pihak dalam perjanjian melalui Internet dan sistem pembuktian transaksi elektronik (e-commerce).
Dalam penulisan ini data diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang merupakan penelitian hukum normatif untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan cara membaca buku-buku, peraturan perundang-undangan, perjanjian baku jual beli melalui Internet, situs di Internet dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam e-commerce dapat diterapkan secara analogis Buku III KUH Perdata yang dalam Pasal 1320 yang menentukan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pasal 18 UUITE menyebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Penjual bertanggung jawab atas produk atau jasa yang telah diiklankannya di Internet serta bertanggung jawab atas pengiriman barang atau jasa yang telah dipesan oleh pembeli atas produk dan jasanya. Sedangkan pembeli bertanggung jawab untuk membayar sejumlah harga dari produk atau jasa yang dibelinya. Berdasarkan sistem pembuktian hukum perdata yang masih menggunakan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari : bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (Pasal 1866 BW atau 164 HIR). UUITE menambahkan dengan bukti elektronik (Pasal 5, 6, dan 7)
Disarankan untuk dilakukannya sosialisasi mengenai UUITE sehingga masyarakat dapat memahami dan mengetahui perihal keabsahan perjanjian melalui Internet tersebut. Bagi para pihak yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dapat digugat oleh pihak yang merasa dirugikan untuk mendapatkan ganti rugi. Pemerintah seyogyanya memberikan pengawasan yang lebih ketat lagi bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik supaya tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada saat Internet pertama kalinya diperkenalkan, pemrakarsanya tidak
pernah menduga bahwa dampaknya di kemudian hari akan sedemikian hebat.
Sebelumnya manusia hanya membayangkan bahwa itu adalah suatu globalisasi dunia
fisik ketika batasan geografis yang membagi bumi menjadi beberapa negara akan
pudar dan hilang. Secara perlahan-lahan usaha tersebut mulai dilakukan, yaitu
dengan cara membuka perdagangan dunia seluas-luasnya tanpa proteksi dari
pemerintah atau pihak lain yang mengatur mekanisme jual beli.
Perkembangan Internet menyebabkan terbentuknya sebuah arena baru yang
lazim disebut dengan dunia maya. Di sini setiap individu memiliki hak dan
kemampuan untuk berhubungan dengan individu yang lain tanpa batasan apa pun
yang menghalanginya. Inilah globalisasi yang pada dasarnya telah terlaksana di
dunia maya, yang menghubungkan seluruh masyarakat digital atau mereka yang
sering menggunakan Internet dalam aktivitas kehidupan setiap hari.
Dari seluruh aspek kehidupan manusia yang terkena dampak kehadiran
Internet, sektor bisnis atau perdagangan merupakan sektor yang paling cepat tumbuh.
Berdagang di dunia maya dengan memanfaatkan perangkat telekomunikasi. E-
commerce (electronic commerce), merupakan mekanisme bisnis tersendiri yang
usianya masih seumur jagung. Namun di sinilah letak keistimewaannya. Untuk
pertama kalinya seluruh manusia di muka bumi memiliki kesempatan dan peluang
yang sama agar dapat berhasil berbisnis di dunia maya karena selain “permainan” ini
masih sangat baru, lahan yang baru “digarap” pun masih sangat luas.
3
E-commerce (perniagaan elektronik) pada dasarnya merupakan dampak dari
berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi. Secara significant ini
mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, yang dalam hal
ini terkait dengan mekanisme dagang. Semakin meningkatnya dunia bisnis yang
mempergunakan Internet dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara tidak
langsung menciptakan sebuah domain dunia baru yang kerap diistilahkan dengan
cyber space atau dunia maya. Berbeda dengan dunia nyata, cyber space memiliki
karakteristik yang unik. Karakteristik unik tersebut memperlihatkan bahwa seorang
manusia dapat dengan mudah berinteraksi dengan siapa saja di dunia ini sejauh yang
bersangkutan terhubung ke Internet. Hilangnya batas dunia yang memungkinkan
seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara efisien dan efektif secara
langsung mengubah cara perusahaan melakukan bisnis dengan perusahaan lain atau
konsumen.
Peter Fingar mengungkapkan bahwa :
Pada prinsipnya e-commerce menyediakan infrastruktur bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi proses bisnis internal menuju lingkungan eksternal tanpa harus menghadapai rintangan waktu dan ruang (time and space) yang selama ini menjadi isyu utama. Peluang untuk membangun jaringan dengan berbagai institusi lain harus dimanfaatkan karena dewasa ini persaingan sesungguhnya terletak bagaimana sebuah perusahaan dapat memanfaatkan e-commerce untuk meningkatkan kinerja dalam bisnis inti yang digelutinya.1
Electronic commerce adalah salah satu bagian dalam pembahasan cyber law
yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, merupakan kajian yang lebih khusus
dibicarakan. Hal ini disebabkan tentang e-commerce ini hukum yang mengaturnya
baru saja disahkan. Perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam e-commerce masih
1 Ricardus Eko Indrajit, E-commerce Kiat dan Strategi di Dunia Maya, PT Elek Media Komputindo,
Jakarta, 2001. Hal.2.
4
diragukan keabsahannya. Di kalangan ahli hukum di Indonesia masih berbeda
pendapat menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui Internet.
Dikaitkan dengan KUH Perdata, kebebasan berkontrak memungkinkan
komunikasi global dan memiliki akses terhadap informasi secara luas. Hal yang
menarik untuk melihat bagaimana KUH Perdata menampung perikatan yang
menggunakan jalur Internet atau perdagangan melalui Internet. Dalam peraturan
mengenai perjanjian atau perdagangan yang ada dalam perundangan lebih fleksibel
dalam menghadapi transaksi e-commerce. Cukup dengan adanya perikatan diantara
para pihak, perjanjian sudah terbentuk.
Penggunaan kecanggihan teknologi tersebut terutama dalam dunia bisnis
masih menyimpan keraguan sebagian orang berkaitan dengan faktor keamanan dan
kepastian hukum. Selain itu, budaya dalam masyarakat di bidang pembuktian, masih
diperlukan adanya bukti otentik untuk suatu transaksi, juga merupakan faktor yang
mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah untuk
mempertimbangkan sudah waktunya atau belum masalah cyberspace atau
cyberworld diatur dalam perkembangan peraturan perundang-undangan, khususnya
yang berkaitan dengan kegiatan e-commerce.
Pada sektor pembangunan hukum, dalam mengantisipasi perkembangan
teknologi, pemerintah sebenarnya sudah mulai merintisnya sejak beberapa tahun
belakangan ini, antara lain dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 8
Tahun 1997 tentang Dokomen Perusahaan yang di dalam salah satu pasalnya
mengatur mengenai dimungkinkannya penyimpanan dokumen perusahaan dalam
bentuk elektronis (paperless) memberikan pengakuan bahwa dokumen perusahaan
5
yang disimpan di media elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Demikian
juga telah memberikan kemudahan dalam pengurusan dokumen bea dan cukai
dengan menggunakan sistem EDI (Electronic Data Interchange).
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik baru saja
disetujui DPR RI menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UUITE) tepatnya pada tanggal 25 Maret 2008 dan mulai
berlaku sejak tanggal 12 April 2008. Dalam undang-undang ini mancakup segala
pranata hukum dan ketentuan-ketentuan yang mengakomodasi tentang pedagangan
elektronik yang merupakan salah satu ornamen utama dalam bisnis. Dengan adanya
regulasi khusus yang mengatur perjanjian virtual ini, maka secara otomatis
perjanjian-perjanjian di Internet tersebut tunduk pada UUITE dan hukum perjanjian
yang berlaku. Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce
menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi.
Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para pihak yang terlibat.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, kenyataan saat ini
hal yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat lagi dilakukan
pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi
bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan
dari belahan dunia mana pun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku Internet
maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam
pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, masalah
pembuktian merupakan faktor yang penting, mengingat data elektronik belum
6
terakomodasi dengan baik dalam sistem hukum acara Indonesia, karena itu
diperlukan UUITE tersebut.
Bedasarkan uraian tersebut di atas, beberapa permasalahan di dalam
penulisan ini yaitu:
1. Bagaimana keabsahan perjanjian jual beli melalui Internet?
2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam jual beli melalui Internet?
3. Bagaimana sistem pembuktian transaksi elekronik (e-commerce)?
B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
1. Ruang lingkup Pembahasan
Untuk mempertegas dan memperjelas pembahasan dalam penulisan ini, maka
perlu diungkapkan bahwa ruang lingkup dibatasi pada bidang hukum perjanjian,
yaitu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dalam transaksi jual beli melalui
Internet dan hukum pembuktian perdata yaitu untuk menjelaskan pembuktian jual
beli yang dilakukan melalui Internet.
2. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam skripsi ini adalah untuk menjelaskan antara lain :
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan keabsahan dari perjanjian jual beli yang
dilakukan melalui Internet.
2) Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab para pihak dalam transaksi
jual-beli melalui Internet.
3) Untuk mengetahui dan menjelaskan sistem pembuktian transaksi elektronik (e-
commerce).
7
C. Metode Penelitian
Pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif yaitu dengan maksud
untuk mendapatkan suatu gambaran yang ada hubungannya dengan pokok
permasalahan yang dikaji.
a) Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Jual-beli adalah suatu perjanjian / pesetujuan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu produk/jasa, dan pihak lainnya
membayar harga yang telah dijanjikan.
2. Penjual adalah yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari
segi ketentuan umum hukum perjanjian.
3. Pembeli adalah pihak yang harus membayar harga pembelian pada waktu dan
tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan.
4. Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya.
5. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau ada
sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.
6. Internet adalah jaringan publik yang sangat luas dan besar (huge / wide spread
network), layaknya yang dimiliki oleh suatu jaringan publik, elektronik, yang
murah, cepat, dan kemudahan aksesnya, dan juga sebagai media penyampaian
pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman informasi secara mudah dan
ringkas baik dalam bentuk data elektronik analog maupun digital.
7. Tanda tangan elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki
hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang di
8
buat oleh penanda tangan untuk menunjukan indentitas dan statusnya sebagai
subjek hukum, termasuk dan tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci
publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik.
8. Elektronic commerce (e-commerce) adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang
menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), service
providers, dan pedagang penata (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-
jaringan komputer (computer network) yaitu Internet. E-commerce sudah
meliputi spektrum kegiatan komersial.
b) Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan yaitu dengan menggunakan teknik penelitian
kepustakaan (library research) yang di dalam penelitian hukum secara khusus
dinamakan penelitian hukum normatif (normative legal research), yaitu melakukan
penelitian untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan cara membaca buku-
buku, peraturan perundang-udangan, perjanjian baku jual beli melalui Internet, situs-
situs di Internet dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
c) Teknik Pengelolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari penelitian kepustakaan ini dianalisis
dengan menggunakan deskriptif kualitatif yaitu suatu metode deskriptif secara
lengkap yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan dan
ketentuan-ketentuan hukum.
9
D. Sistematika Pembahasan
Untuk menguraikan secara teratur dan menyeluruh isi dari skripsi ini, maka
skripsi ini dibagi dalam beberapa bab dan subbab:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang dalam subbab A memuat latar
belakang permasalahan, subbab B ruang lingkup dan tujuan penelitian, subbab C
metode penelitian dan subbab D sistematika pembahasan.
Bab II, merupakan bab yang bersifat teoritis. Oleh karena itu, pada bab ini
dijelaskan mengenai tinjauan umum tentang perjanjian jual beli dan jual beli di
Internet, yang meliputi subbab A tentang pengertian perjanjian jual beli, subbab B
tentang hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli, subbab C tentang
wanprestasi dalam jual beli, subbab D tentang jual beli di Internet, subbab E
pengaturan tentang keabsahan tanda tangan sebagai alat bukti.
Bab III, mengemukakan analisis hukum transaksi jual beli melalui Internet.
Bab ini terdiri dari subbab A tentang keabsahan perjanjian melalui Internet, subbab B
tentang tanggung jawab para pihak dalam jual beli melalui Internet, subbab C tentang
sistem pembuktian transaksi elektronik (e-commerce).
Bab IV, merupakan bab penutup yang dalam sub babnya memuat kesimpulan
dan saran yang diharapkan dapat bermanfaat dalam pemecahan permasalahan yang
telah disebutkan sebelumnya dan berguna bagi pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum perjanjian dan hukum pembuktian perdata.
10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
DAN JUAL BELI DI INTERNET A. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Untuk mengetahui pengertian jual beli ada baiknya dilihat Pasal 1457 KUH
Perdata yang menentukan “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak
penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang
bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga”.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana
suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain
berwajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua”.1
Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan “jual beli
adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak lainnya
pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan
memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu,
berwujud uang”.2
Di dalam sistem obligatoir, apabila barang telah dijual, tetapi belum ada
penyerahan kepada pembeli, barang yang dijual itu kemudian dijual kembali untuk
yang kedua kalinya oleh penjual dan diserahkan kepada pembeli kedua. Tegasnya
apabila A selaku penjual menjualkan barangnya kepada B selaku pembeli yang
pertama sebelum barang diserahkan kepada B, A menjualkan kembali kepada C
selaku pembeli yang kedua, di dalam sistem obligatoir perbuatan A tidak dibenarkan,
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur,
Bandung, 1985. Hal. 17 2 RM Suryo Diningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Penerbit Tersito, Bandung,
1996.Hal 14
11
hal ini seperti yang dimuat di dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Juni
1983, No. 101 K/Sip/63. Dalam perkara ini PT Daining diputuskan oleh Mahkamah
Agung telah menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik kepada PT Ichsani.
Dalam perkara ini Mahkamah Agung tidak membenarkan putusan Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi, bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh
tergugat dalam kasasi, dan juga penyerahan kepada PT Ichsani tidak mungkin
dilaksanakan karena pabrik tidak lagi berada di tengah PT Daining, karena telah
dikuasai oleh PN. Areal Survey.
Sifat obligatoir ini sangat berlainan sekali dengan Code Civil Perancis, yang
menyatakan bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual adalah sudah berpindah
ke tengah pembeli pada waktu persetujuan jual beli diadakan. Di dalam Hukum Adat
Indonesia perincian-perincian obligator dan sifatnya sama sekali tidak diperlukan.
Menurut hukum adat Indonesia yang dinamakan jual beli bukanlah persetujuan
belaka, yang berada diantara kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan
barang oleh penjual kepada pembeli dengan maksud memindahkan hak milik atas
barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu berupa uang oleh pembeli
kepada penjual. Dengan demikian dalam Hukum Adat Indonesia setiap hubungan
jual beli tidak mengikat kepada asas atau sistem obligator, atau sistem/asas yang
lainnya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa, dalam hukum adat Indonesia
ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud
untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan
pembayaran harga oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat
12
pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa pembayaran tadi.
Selama penyerahan barang belum terjadi maka belum ada jual beli dan pada
hakekatnya belum ada mengikat apa-apa bagi kedua belah pihak.3
Tentang perjanjian jual beli dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual
dan pembeli apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda
dan harga barang tersebut sekalipun barangnya belum di serahkan dan harganya
belum di bayarkan (Pasal 1458 KUHPerdata). Jual beli tiada lain persesuaian
kehendak (wisovereensteeming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan
harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual beli. Tanpa ada
barang yang hendak dijual tidak mungkin terjadi jual beli. Sebaliknya jika barang
objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.
Cara terbentuknya perjanjian jual beli biasa terjadi secara Openbaar/terbuka
seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar eksekutorial atau yang disebut
executoriale verkoop. Penjualan eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka
umum oleh pejabat lelang.
Akan tetapi, cara dan bentuk penjualan eksekutorial yang bersifat umum ini
jarang sekali terjadi. Penjualan demikian harus memerlukan keputusan pengadilan.
Oleh karena itu jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-
hari adalah jual beli antara tangan ke tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara
penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka
umum. Bentuk jual belinya pun, terutama objeknya barang-barang bergerak cukup
3 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, Hal: 18.
13
dilakukan dengan lisan, kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai
objek bentuk-bentuk tidak bergerak yang memerlukan bentuk akta.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual beli pada dasarnya meliputi
kewajiban pihak penjual maupun pihak pembeli.
1. Kewajiban Penjual
Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1427 KUH
Perdata yaitu “Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah
maka pembelian batal”.
Memang ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah
dengan pembelian ketentuan umum, penjual yang dibebani kewajiban menyerahkan
barang dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan sebagai
pihak debitur. Akan tetapi, barangkali rasionya terletak pada hakikat jual beli itu
sendiri. Umumnya pada jual beli, pihak penjual selamanya yang mempunyai
kedudukan lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah.
Jadi penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian
persetujuan yang kurang jelas atau yang mengadung pengertian kembar, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum (openbaar-orde).
Jika Pasal 1473 KUH Perdata tidak menyebut apa-apa yang menjadi
kewajiban pihak penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya
yakni Pasal 1474 KUH perdata pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal
tersebut terdiri dari dua :
14
1) Menyerahkan barang yang dijual pada pembeli,
2) Memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual
tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun
perbendaan.
Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan barang
yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan
barang tadi diperlukan peyerahan yuridis (juridische levering), di samping
penyerahan nyata (eitel jke levering), agar pemilikan pembeli menjadi sempurna,
pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut (Pasal 1475 KUH perdata,
misalnya penjual rumah atau tanah. Penjual menyerahkan kepada pembeli, baik
secara nyata maupun secara yuridis, dengan jalan melakukan akte balik nama
(overschijving) dari nama penjual kepada nama pembeli, umumnya terdapat pada
penyerahan benda-benda tidak bergerak. Lain halnya dengan benda-benda bergerak.
Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja Pasal 612
KUH perdata).
Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1874
KUH perdata yang berbunyi “Biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan
biaya pengambilan dipikul oleh pembeli jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya”.
Namun demikian, kedua belah pihak dapat mengatur lain, diluar ketentuan
yang disebut di atas. Karena Pasal 1776 KUH perdata itu sendiri ada menegaskan,
ketentuan pembayaran ongkos penyerahan yang dimaksud Pasal 1476 KUH Perdata
tadi berlaku, pada para pihak kedua dan pembeli tidak memperjanjikan lain. Malah
kalau dalam praktek sering ditemukan, pembelilah yang menanggung ongkos
15
penyerahan. Jika demikian halnya, sedikit banyak harga penjualan akan lebih tinggi
jika pembeli yang menanggung ongkos penyerahan.
Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan dalam persetujuan jual
beli, maka penyerahan dilakukan ditempat terletak barang yang dijual pada saat
persetujuan jual beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang dijual terdiri
dari benda tertentu (bepaalde zaak). Bagi jual beli barang-barang diluar barang-
barang tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393 ayat (2) KUH
Perdata penyerahan dilakukan ditempat tinggal kreditur, dalam hal ini di tempat
pembeli dan penjual.
2. Kewajiban Pembeli
Adapun kewajiban pembeli adalah membayar harga. Pasal 1513 KUH
Perdata berbunyi “kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian, pada
waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan”. Kewajiban
membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi pihak pembeli.
Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan
barang. Jual beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya
Pasal 1513 KUH Perdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli
dicantumkan sebagai pasal pertama, yang mengatur kewajiban pembeli membayar
harga barang yang dibeli. Oleh karena itu, beralasan sekali menganggap pembeli
yang menolak melakukan pembayaran berarti telah melakukan”perbuatan melawan
hukum” (onrechtmatig).
16
3. Tempat Pembayaran
Tempat dan saat pembayaran pada prinsipnya bersamaan dengan tempat dan
saat penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran.
Tentu tempat dan saat pembayaran yang utama harus dilakukan ditempat dan saat
yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak
ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum di atas. Pembeli
wajib melakukan pembayaran di tempat dan saat penyerahan barang.
Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat :
a. Pembayaran barang generik harus dilakukan ditempat tinggal pembeli. Hal ini
sesuai dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generik dilakukan di
tempat tinggal / kediaman pembeli.
b. Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan ditempat dimana barang tertentu
tadi terletak ataupun ditempat dijual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1429 KUH Perdata, yang menentukan penyerahan atas barang- barang tertentu
harus dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di kediaman
penjualan.
Sesuatu hal yang barangkali dikejar oleh ketentuan Pasal 1514 KUH Perdata,
yang pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar
pembayaran dan penyerahan barang yang dibeli, terjadi bersamaan dalam waktu
yang sama, sehingga pembayaran dan penyerahan barang terjadi serentak pada
tempat dan saat yang sama.
17
4. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli
Objek jual beli terdiri dari barang tertentu eenzeker en hepaalde-zaak). Jika
objek jual beli terdiri dari barang, resiko atas barang-barang berharga dari pihak
pembeli terhitung sejak saat persetujuan pembelian. Sekalipun pemberian barang
belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang tersebut
musnah (Pasal 1460 KUH Perdata).
Dari ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu,
seketika setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli.
Seandainya barang yang hendak di levering lenyap, pembeli tetap wajib membayar
harga. Hanya saja ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata di atas adalah hukum yang
mengatur bukan hukum yang memaksa, karenanya ketentuan tersebut dapat
dikesampingkan oleh persetujuan.
Sebenarnya adalah lebih memenuhi logika, bahwa dalam perjanjian timbal
balik seperti pada jual beli, apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya
prestasi yang lain pun harus gugur. Dengan demikian, lebih masuk akal, jika barang
yang dijual musnah sebelum diserahkan kepada pembeli, gugurlah kewajiban para
pembeli untuk membayar harga. Adalah lebih baik untuk menentukan resiko dalam
jual beli barang tersebut, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum
diserahkan pada pembeli. Paling tidak resiko kemusnahan barang tidak menyebabkan
pembeli harus membayar harga. Kurang baik sekali rasanya jika pembeli dibebani
membayar barang yang musnah. Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada
kewajiban membayar sesuatu yang telah musnah nilainya.
18
Apalagi jika ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata tersebut dihubungkan
dengan Pasal 1237 KUH Perdata yang menentukan sejak terjadinya perjanjian,
barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan menjadi keuntungan bagi pihak
kreditur. Jika kreditur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan
tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut. Akan tetapi, oleh
karena Pasal 1460 KUH Perdata merupakan lex generalis, dengan sendirinya
tersingkir.
Namun demikian, diyakini Pasal 1460 KUH Perdata itu sendiri belum dapat
memberi jawaban atas semua keadaan. Terutama atas persoalan, jika barang yang
menjadi objek beli tadi benar-benar tidak dapat diserahkan, bukan karena barangnya
musnah. Misalnya barangnya tidak dapat diserahkan atas alasan impossibilitas
objectif, umpamanya, karena adanya larangan pemerintah menjual barang tersebut
atau karena barang itu dicabut (onteigening) oleh pemerintah. Apakah dalam
peristiwa-peristiwa yang seperti ini pembeli masih tetap diwajibkan membayar
harga. Kalau dalam hal-hal seperti inipun pembeli dapat membayar harga, benar-
benarlah Pasal 1460 merupakan ketentuan undang-undang yang paling merugikan
bagi pembeli barang tertentu.
Objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan bilangan
atau ukuran, risiko atau barang, tetap berada di pihak penjual, sampai pada saat
barang itu di timbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUH Perdata). Akan tetapi,
jika barang telah dijual dengan tumpukan atau onggokan barang-barang menjadi
resiko pembeli, meskipun barang barang itu belum ditimbang, di ukur atau ditimbang
(Pasal 1462 KUH Perdata).
19
Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUH Perdata, resiko jual beli atas
barang-barang nyata tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang itu
ditimbang, diukur atau di hitung. Dengan syarat jika barang nyata tadi dijual tidak
dengan tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan atau onggokan,
barang menjadi resiko pembeli, sekalipun belum dilakukan penimbangan,
pengukuran atau perkiraan.
5. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Harga ini harus berupa uang, sebab kalau harga itu berupa suatu barang maka
tidak terjadi jual beli melainkan yang terjadi tukar menukar. Sifat konsensuil dari jual
beli tersebut dapat dilihat pada Pasal 1458 KUH Perdata, yang mengatakan: “Jual
beli sudah di anggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar”.
Jadi dengan lahirnya kata sepakat maka lahirlah perjanjian itu dan sekalian
pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban, oleh karena itu maka
perjanjian jual beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil dan sering juga
disebut dengan perjanjian obligator.
Kadang-kadang para pihak yang mengadakan perjanjian setelah lahirnya hak
dan kewajiban menganggap dirinya sudah mempunyai status yang lain, artinya sudah
menganggap dirinya sebagai pemilik terhadap barang yang diperjanjikannya itu,
sebenarnya belum, pembeli baru menjadi pemilik atas barang semenjak diadakannya
penyerahan atau sudah diadakan penyerahan.
20
Mengenai penyerahan hak milik ini, perlu diperhatikan barang-barang yang
harus diserahkan, karena penyerahan barang tidak bergerak berbeda dengan
penyerahan barang yang bergerak. Kalau barang yang bergerak penyerahannya
cukup dilakukan penyerahan secara nyata saja atau penyerahan dari tangan ke tangan
atau penyerahan yang menyebabkan seketika pembeli menjadi pemilik barang.
Penyerahan ini dilakukan berdasarkan Pasal 612, 613 dan KUH Perdata, ini
sudah di tegaskan dalam Pasal 1459 KUH Perdata, yang mengatakan: Hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli selama penyerahannya
belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan KUH perdata. Pasal 616 KUH Perdata
berbunyi “penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan
dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan
dalam Pasal 620 KUH Perdata.
Pasal 8 ayat (1) UUITE menyebutkan bahwa “kecuali diperjanjikan lain,
waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah
dikirim dengan alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang
ditunjuk atau dipergunakan penerima dan telah memasuki sistem elektronik yang
berada di luar kendali pengirim”. Pasal 8 ayat (2) UUITE menyatakan bahwa
“kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki sistem elektronik di bawah kendali penerima yang berhak”.
Ayat (3) pasal tersebut menyebutkan bahwa “dalam hal penerima telah menunjuk
suatu sistem elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik, penerimaan
21
terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
sistem elektronik yang ditunjuk”. Selanjutnya ayat (4) pasal tersebut yang
menyatakan bahwa “dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang
digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik, maka:
a. Waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki sistem Informasi pertama yang berada di luar kendali
Pengirim;
b. Waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali
Penerima.
Jadi penentuan waktu kejadian merupakan salah satu pertimbangan penting
secara hukum. Oleh karena itu, dalam pengaturan teknologi informasi, penentuan
masalah waktu pengiriman dan penerimaan diatur secara khusus agar dapat
terciptanya kepastian yang berkaitan dengan waktu kejadian. Hal ini mengingat
bahwa suatu informasi yang dikirim belum tentu langsung dibaca, dilihat atau
didengar oleh penerima.
C. Wanprestasi dalam Jual Beli
Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek
hukum, yang masing-masingnya mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal
balik dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat. Perjanjian jual-beli merupakan suatu
perjanjian bertimbal-balik, kedua subjek hukumnya, yaitu pihak pembeli dan penjual
22
tentu mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal-balik sebagaimana diuraikan
terdahulu.
Di dalam suatu perjanjian, tidak terkecuali perjanjian jual beli ada
kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat,
maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi
prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan
“Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian,
berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali
dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan
ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi”4
Lebih lugas Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa: “Apabila
dalam suatu pertikaian si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi”.5
Dari uraian di atas jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan wanprestasi itu.
Untuk menentukan apakah seseorang itu bersalah karena telah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai
atau alpa tidak memenuhi prestasi.
R. Subekti, mengemukakan bahwa wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seseorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana
diperjanjikan. 3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat.
4 Wirjono Projodikoro, Op. Cit, Hal: 14 5 H. Mariam Badrulzaman, Hukum Perdata tentang Perikatan, Penerbit Fak. Hukum USU,
Medan, 1974, Hal. 33.
23
4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilaksanakannya.6
Dalam suatu perjanjian jual-beli apabila salah satu pihak, baik itu pihak
penjual maupun pihak pembeli tidak melaksanakan perjanjian yang mereka sepakati,
berarti pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Adapun kemungkinan bentuk-
bentuk wanprestasi sesuai dengan bentuk-bentuk wanprestasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh R. Subekti, meliputi:
1. Tidak Melaksanakan Apa yang Disanggupi akan Dilakukannya.
2. Melaksanakan Apa yang Diperjanjikan, tetapi Tidak Sebagaimana Yang
Diperjanjikan.
Dalam suatu perjanjian jual-beli disepakati untuk memberikan panjar
diberikan sebesar 20% setelah perjanjian disetujui. Kenyataannya kemudian,
sisa pembayaran selanjutnya belum dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak
penjual sementara barang yang dijual telah diserahkan kepada pihak pembeli.
Dalam kasus ini walaupun pihak pembeli telah membayar panjar untuk awal
harga jual barang kepada penjual, tetapi sisanya tidak dibayarnya, pihak
pembeli berarti telah wanprestasi untuk sebagian kewajibannya dalam
perjanjian jual-beli ini.
3. Melaksanakan Perjanjian yang Diperjanjikan, tetapi Terlambat.
Misalnya dalam suatu perjanjian jual-beli disepakati memakai sistem termin
dalam pembayaran harga jual barang, yaitu setelah masa garansi barang yang
tersebut habis. Tetapi setelah masa garansi dari barang yang dijual selesai
masa garansinya pihak pembeli tidak segera melaksanakan pembayaran tetapi
6 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan XL, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1987, Hal.23.
24
baru melaksanakan pembayaran setelah lewat waktu dari yang diperjanjikan.
Dalam kasus ini walaupun akhirnya pihak pembeli memenuhi juga
kewajibannya setelah lewat waktu yang diperjanjikan, tetapi karena terlambat
sudah dapat dikatakan pihak pembeli melakukan wanprestasi. Sehingga
apabila penjual tidak dapat menerima pembayaran dengan alasan
keterlambatan, dia dapat mempermasalahkan pihak pembeli telah melakukan
wanprestasi karena terlambat memenuhi kewajibannya.
4. Melaksanakan Sesuatu yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan.
Misalnya dalam kasus ini pihak penjual tidak menjual barang dengan mutu
yang sebenarnya atau barang yang dijual tersebut adalah tiruan tetapi
harganya tetap sama dengan harga barang yang asli. Maka dalam kasus ini
dapat dikatakan pihak penjual telah melakukan wanprestasi dan pihak
pembeli dapat mengajukan tuntutan wanprestasi atas perbuatan pihak penjual
tersebut.
Dalam mengkaji masalah wanprestasi ini, perlu dipertanyakan apakah akibat
dari wanprestasi salah satu pihak merasa dirugikan. Dan apabila akhirnya timbul
perselisihan diantara keduanya akibat wanprestasi tersebut upaya apa yang dapat
ditempuh pihak yang dirugikan agar dia tidak merasa sangat dirugikan.
Sebagaimana biasanya akibat tidak dilakukannya suatu prestasi oleh salah satu
pihak dalam perjanjian, maka pihak lain akan mengalami kerugian. Tentu saja hal ini
sama sekali tidak diinginkan oleh pihak yang menderita kerugian. Namun kasus
sudah terjadi, para pihak hanya dapat berusaha supaya kerugian yang terjadi ditekan
sekecil mungkin.
25
Dalam hal terjadinya wanprestasi, maka pihak lain sebagai pihak yang
menderita kerugian dapat memilih antar beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian
2. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan ganti rugi
3. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian disertai ganti rugi
4. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian
5. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti
rugi.
Dari beberapa kemungkinan penuntutan dari pihak yang dirugikan tersebut di
atas bagi suatu perjanjian timbal-balik oleh ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata
diisyaratkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat
dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata diisyaratkan apabila
salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya
hukum dengan menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim. Dalam kenyataannya
pada bentuk perjanjian jual-beli ini perihal apabila timbul perselisihan diantara
mereka maka para pihak tersangkut pada isi perjanjian yang telah disetujui yaitu
dengan cara:
1. Dilakukan penyelesaian secara musyawarah.
2. Dilakukan lewat pengadilan dimana perjanjian dibuat.
Penentuan jalan atau tata cara penyelesaian perselisihan di atas baik itu akibat
wanprestasi atau akibat-akibat lainnya tersebut diterangkan dalam isi surat perjanjian
yang mereka berbuat adalah untuk mengantisipasi hal-hal yang terbit dari perjanjian
26
tersebut, hal ini adalah sangat penting agar dapat ditindaklanjuti jika timbul suatu hal
yang merugikan salah satu pihak.
Menurut Pasal 38 ayat (1) UUITE bahwa “setiap orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau
menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian”. Ayat (2) pasal
tersebut menyebutkan bahwa “masyarakat dapat mengajukan gugatan secara
perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau
menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 39 ayat (1) UUITE menyebutkan “gugatan perdata dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ayat (2) pasal tersebut
menyatakan bahwa “selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa alternatif lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, orang yang dirugikan akibat tindakan melawan hukum
orang lain dapat mengajukan gugatannya secara perdata terhadap orang tersebut.
Gugatan tersebut dapat diajukan secara perwakilan. Gugatan perdata yang dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa
juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau
arbitrase.
27
D. Jual Beli di Internet
Amerika Serikat pada tahun 1969 telah membangun sistem jaringan
telekomunikasi yang berbuntut pada terpinggirkannya pola komunikasi konvensional
dengan terciptanya dunia Internet dengan komunitasnya yang unik.
Jaringan yang di bangun Departemen pertahanan Amerika kala itu diberi nama “ARP Anet”. Tujuan membangun sistem jaringan ini agar tetap terjaganya komunikasi sekalipun terjadi serangan nuklir. Belakangan,”sruktur” jaringan ini dipelajari banyak pakar komputer hingga pada gilirannya medium intern dalam berinteraksi di berbagai aspek kehidupan secara global”7
Ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, perkembangan Internet di luar
dugaan. Tidak pernah terbayangkan bila kini berbagai transaksi dapat dilakukan di
dunia maya. Misalnya, seseorang ingin membeli sebuah produk melalui suatu situs di
Internet, maka orang tersebut cukup mengakses komputer dan mencari produk yang
di inginkannya melalui homepage yang disediakan dalam Internet. Kemudian orang
tersebut dapat memesan produk yang dimaksud dengan mengirim e-mail
(surat/pesan). Seandainya situs atas suatu produk tersebut setuju, cukup pula
membalasnya dengan e-mail. Prosesnya sangatlah praktis tanpa melalui prosedur
yang berbelit. Begitu juga bila sebuah perusahaan multinasional bermaksud
memesan suatu produk dari sebuah perusahaan multinasional bermaksud memesan
suatu produk dari sebuah perusahaan manufaktur (pabrik) diluar negeri. Kembali
cukup melihat-lihat layar komputer dan memencet-mencet tombol pada keyboard
dan menekan tombol send bila yang diingini sudah ada. Kemudian, pabrik yang
menerima pesanan akan membalasnya dan mengirimkan produk yang diinginkan,
transaksi pun terjadi.
7 Imam Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia, PT Prehalindo, Jakarta 2002,
Hal.15-16.
28
Contoh di atas merupakan transaksi elektronik komersial dengan sebutan e-
commerce yang dapat diakui adanya manfaat. Antara lain, transaksi dilakukan tanpa
bertele-tele. Pihak yang menawarkan jasa hanya mengiklankan jasanya, kemudian
yang memakai jasa cukup mempelajari term of conditions ( ketentuan-ketentuan
yang disyaratkan) pihak penawar. Transaksi tidak memerlukan pertemuan dalam
setiap tahapan negosiasi. Bayangkan suatu transaksi begitu mudahnya terlaksana
meskipun para pihak berada di dua benua berbeda sekalipun. E-commerce adalah
suatu sistem bisnis elektronik yang menggunakan medium Internet dan dapat
melingkupi berbagai bidang. Melalui jaringan komunikasi Internet dapat menembus
batas geografis teritorial para pihak yang bertransaksi masuk dunia antah berantah.
Hampir dapat dipastikan transaksi semacam ini dapat menimbulkan berbagai
masalah hukum. Pertanyaan logis yang selalu timbul adalah waktu transaksi itu
terjadi, sah tidaknya transaksi semacam ini, waktu tanda tangan dalam transaksi
elektronik tersebut dipergunakan, tempat transaksi dilakukan, dan proteksi hukum
bilamana terjadi perselisihan.
Contoh tentang jual beli yang digambarkan di atas, kapan kesepakatan
transaksi jual beli suatu produk terjadi dalam Internet. Pada saat pengirim menekan
tombol send pada keyboard komputer, maka kesepakatan antara penerima dan
pengirim telah terjadi walaupun e-mail belum sampai ketujuan penerima.
Konsekuensi hukumnya, penerima harus memenuhi segala kondisi dan syarat yang
ditawarkan oleh pengirim tersebut sebagaimana diuraikan dalam homepage Internet.
Andaikata pengirim menyatakan bahwa ia belum menerima e-mail sehingga belum
dapat mengirimkan produknya, hal ini tidak boleh diingkari oleh pengirim tersebut.
29
Maka, dalam hal ini pengirim, dapat diminta pertanggung jawabannya karena
melakukan perbuatan wanprestasi dan adalah hak dari penerima untuk menuntutnya.
Sebagai bukti kuat dari penerima adalah catatan elektronik (elektronik record) dalam
e-mail yang menunjukan telah terjadi kata sepakat antara penerima dan pengirim
tersebut.
Sebagai perbandingan, kita dapat berpaling pada apa yang terjadi di Singapura tentang penggunaan catatan elektronik sebagai alat bukti. Dalam prakteknya, negara ini mengakui catatan elektronik sebagai alat bukti sebagaimana di atur dalam Elektronic Transaktion Act (Undang-undang transaksi elektronik). Ketentuan salah satu pasal dari undang-undang ini secara tegas mengatakan,”untuk menghindari keragu-raguan, maka suatu keabsahan tidak dapat dibatah keabsahannya, akibat hukumnya atau pelaksanaannya sebagai dasar bahwa keterangan tersebut adalah dalam bentuk catatan elektronik. (kutipan dari buku E-commerce Law karangan Catrine Tay SweeKian).8
Suatu tanda tanda tangan dalam Internet juga bukan merupakan syarat
keharusan dalam suatu penulisan nama, pengetikan dapat diganti dengan penulisan
nama, stempel atau penulisan alamat e-mail. Dalam Pasal 1 butir 12 UUITE
menyebutkan tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi
elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik
lainnnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Contoh dalam
perkara “Durrel vs Evans” di inggris. Pengadilan dalam perkara ini berpendapat,
”bilamana nama para pihak ditulis atau dicetak, dalam suatu dokumen, itu
merupakan tanda tangan biarpun itu di letakkan pada awal, tengah atau di bawah
dokumen tersebut “. Jual beli adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang
satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak
8 Ibid, Hal. 15
30
yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah
uang sebagai imbalan dari perolehan dari hak milik tersebut.
Supaya suatu penyerahan itu sah, menurut sistem kausal harus dipenuhi dua
syarat:
1. Adanya Alasan Hal yang Sah
2. Orang yang Dapat Berbuat Bebas atas Barang Itu.
Ad.1.Hubungan hukum yang mengakibatkan terjadinya penyerahan itu misalnya,
jual beli, pemberian hibah, tukar menukar. Kalau perjanjian ini tidak sah
maka penyerahannya tidak sah pula, atau di anggap tidak ada pemindahan
hak milik.
Ad.2.Orang yang dapat membuat bebas barang itu, yaitu orang yang berkewenangan
penuh untuk memindah tangankan barang itu atau orang yang diberi kuasa
oleh pemiliknya. Ini juga harus diperhatikan supaya penyerahannya itu sah.
Dengan demikian, agar prinsip perjanjian melalui Internet dapat terlaksana
dengan baik dapat diperhatikan pula ciri-ciri perjanjian melalui Internet atau ciri
kontrak dagang elektronik yaitu:
1. Cara Berkomunikasi
Kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan
informasi untuk hal yang tidak pantas (illegal).
2. Garansi dan Vrijwaring
Dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh
salah satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan
hak intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.
31
3. Biaya
Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban membayar ganti
rugi dilakukan dengan risk sharing (pembagian risiko).
4. Pembayaran
Mengenai harga dan cara pembayaran apakah sekaligus kredit ataupun
pembayaran berdasarkan jumlah tertentu dari tugas yang telah diselesaikan.
5. Kerahasiaan
Dalam hal ini perlu dibuat untuk memastikan agar pihak terikat untuk
menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian.
Dalam Pasal 1 butir 2 UUITE, disebutkan bahwa transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan mengunakan komputer, jaringan
komputer atau media elektronik lainnya, transaksi jual beli secara elektronik
merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli secara
elektronik ini, pada pihak terkait di dalamnya melakukan hubungan hukum yang
dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara
elektronik dan sesuai dengan Pasal 1 butir 17 UUITE disebut sebagai kontrak
elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media
elektronik lainnya.
Dengan kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka perdagangan
pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan
dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan jarak.
Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik
ataupun privat. Pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa secara elektronik
32
wajib menyediakan informasi mengenai syarat-syarat kontrak, produsen dan produk
secara lengkap dan benar. Dalam Pasal 17 UUITE Ayat (1) disebutkan
“penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun
privat”. Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan
transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik selama transaksi berlangsung.”
Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Oleh karena itu, kontrak elektronik
harus juga mengikat para pihak sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UUITE menyebutkan
bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat
para pihak”. Dan seperti halnya kontrak konvensional, para pihak memiliki
kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik yang
sifatnya internasional. Dalam ayat (2) pasal tersebut menyatakan “para pihak
memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik
internasional yang dibuatnya. Selain itu para pihak juga memiliki kewenangan untuk
menentukan forum penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau melalui
metode penyelesaian sengketa alternatif.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 18 ayat (3) UUITE menyebutkan “jika para
pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional,
hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Jika para
pihak tidak melakukan pilihan forum dalam kontrak elektronik internasional, maka
prinsip yang digunakan adalah prinsip yang terkandung dalam hukum perdata
33
internasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUITE yang
menyebutkan bahwa ”para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik
internasional yang dibuatnya.
Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi
elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”. Jadi sebelum
melakukan transaksi elektronik, maka para pihak menyepakati sistem elektronik
yang akan digunakan untuk melakukan transaksi. Kecuali ditentukan lain oleh para
pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 20 ayat (1) UUITE. Maka, dalam hal ini transaksi elektronik baru
terjadi jika adanya penawaran yang dikirimkan kepada penerima dan adanya
persetujuan untuk menerima penawaran setelah penawaran diterima secara
elektronik. Dalam Pasal 20 ayat (2) disebutkan “Persetujuan atas penawaran
transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik”.
Dalam melakukan transaksi elektronik, pihak yang terkait seringkali
mempercayakan pihak ketiga sebagai agen elektronik. Pertanggungjawaban atas
akibat dalam pelaksanaan transaksi elektronik harus dilihat dari kewenangan yang
diberikan kepada agen oleh para pihak untuk melakukan transaksi sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UUITE bahwa “pengirim atau penerima dapat
melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau
34
melalui agen elektronik”. Dalam ayat (2) angka 1 menyatakan apabila transaksi
dilakukan sendiri, maka orang yang melakukan transaksi yang menanggung akibat
hukumnya. Pasal 21 ayat (2) angka 2 UUITE menyatakan apabila transaksi
dilakukan oleh pihak ketiga dengan pemberian kuasa, maka yang bertanggung jawab
jatuh kepada pihak yang memberi kuasa. Namun apabila transaksi dilakukan melalui
agen elektronik, maka tanggung jawab menjadi tanggung jawab penyelenggara agen
elektronik mengenai hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (2)
angka 3 UUITE.
Pasal 21 ayat (3) UUITE menyatakan “apabila kerugian transaksi elektronik
disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara
langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
penyelenggara agen elektronik”. Pasal 21 ayat (4) menyebutkan bahwa “jika
kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan”. Pasal 21 ayat (5) menjelaskan bahwa “ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan
terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem
elektronik. Pasal 22 UUITE ini juga menjelaskan bahwa agen elektronik
berkewajiban untuk memberikan akses bagi penggunanya agar dapat melakukan
perubahan informasi selama dalam proses transaksi.
35
E. Pengaturan tentang Keabsahan Tanda Tangan Sebagai Alat Bukti
Pasal 5 ayat (1) UUITE menyebutkan bahwa “Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Pasal 5 Ayat (2) UUITE menyatakan bahwa “Informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai mana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia”. Pasal 5 ayat (3) UUITE menyebutkan “informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 5 ayat (4) UUITE
menjelaskan bahwa “ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik sebagai mana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat yang
menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta
dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris
atau akta yang di buat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6 UUITE menyebutkan “dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang
diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
Sebagaimana diketahui bahwa tanda tangan bagi suatu dokumen memainkan
peranan yang sangat penting dalam hukum pembuktian. Pada prinsipnya, akan sangat
36
tidak berarti bagi suatu kontrak jika kontrak tersebut tidak pernah ditandatangani.
Dalam hal ini, suatu tanda tangan akan berfungsi sebagai berikut :
a. Sebagai identitas para pihak
b. Untuk menghubungkan para pihak dengan isi dari dokumen yang
bersangkutan.
c. Memberikan kepastian tentang telah terlibatnya para pihak secara nyata
dalam dokumen tersebut.
d. Menunjukkan tempat keberadaan penandatangan pada saat itu.
Dalam hubungannya dengan persyaratan hukum yang menghendaki tanda
tangan bagi suatu dokumen, dalam hubungan dengan data elektronik, persyaratan
hukum dianggap cukup manakala;
a. Digunakan metode tertentu yang mengidentifikasi orang dimaksud dan untuk
mengidentifikasi bahwa orang dimaksud setuju dengan informasi dalam data
elektronik.
b. Metode tersebut layak dan dapat dipercaya untuk maksud-maksud
penggunaan data elektronik tersebut, dengan mempertimbangkan semua
situasi dan kondisi, termasuk setiap perjanjian yang relevan.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk menentukan layak tidaknya
suatu metode identifikasi tersebut, dalam arti layak secara hukum, komersial dan
teknikal, adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kecanggihan peralatan yang dipakai dalam metode tersebut.
2. Jenis dan besaran dari transaksi tersebut.
37
3. Tingkat kelaziman dibuatnya transaksi komersil seperti itu diantara para
pihak tersebut.
4. Hakikat dari aktivitas perdagangan tersebut.
5. Pemenuhan kebiasaan dalam perdagangan.
6. Maksud dari dipersyaratkannya tanda tangan oleh undang-undang yang
bersangkutan.
7. Pemenuhan prosedur otentikasi yang ditetapkan oleh intermediary.
8. Tingkat kepentingan dan nilai informasi dalam data elektronik tersebut.
9. Tingkat penerimaan metode tersebut dalam industri yang relevan.
10. Ada atau tidaknya asuransi yang mengkaver data yang tidak diotorisasi.
11. Ketersediaan metode identifikasi yang alternatif dan biaya yang diperlukan.
Dapat dikatakan bahwa hukum pembuktian di Indonesia yang menyangkut
pembuktian secara elektronik, di bidang perdata sebagaimana terdapat dalam HIR,
belum banyak berkembang dan belum banyak beranjak dari konsep-konsep
pembuktian konvensional, yang sangat mengandalkan pembuktian berdasarkan bukti
surat (paper based). Di lain pihak, praktek perkembangan transaksi melalui sistem
digital/elektronik dalam kenyataannya sangat pesat berkembang.
Meskipun begitu, dalam bentuknya sangatlah lemah, pintu masuk bagi hakim
di pengadilan-pengadilan untuk menerima berbagai macam bukti digital tersebut
bukan berarti sama sekali tidak ada, meskipun sangat dibatasi, mengingat hukum
pembuktian merupakan salah satu bidang hukum publik yang bersifat memaksa
sehingga tidak mudah bagi hakim untuk berkelit atau menyimpang dari ketentuan-
ketentuan hukum yang ada.
38
Tanpa harus menyimpang dari ketentuan hukum pembuktian yang ada, pintu
masuk bagi hakim untuk menerima berbagai macam sistem pembuktian tanpa
warkat, tetapi hanya dengan memakai pembuktian elektronik, dalam bidang hukum
perdata, terobosan hukum dapat dilakukan melalui pemakaian alat bukti “serbaguna”,
yaitu alat bukti persangkaan (vide Pasal 164 HIR). Dalam hal ini, meskipun dengan
berbagai kelemahannya, dengan adanya bukti elektronik dianggap menimbulkan
persangkaan bagi hakim terhadap adanya transaksi yang bersangkutan. Penggunaan
alat bukti elektronik melalui alat bukti persangkaan ini masih sesuai dengan sistem
HIR, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 173 HIR bahwa “Persangkaan-
persangkaan yang tidak berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan, hanya
dapat diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya, manakala
persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu, dan cocok satu sama
lainnya”.
Di samping itu, bantuan dari alat bukti berupa saksi ahli dalam menafsirkan
makna dari pembuktian dengan memakai alat bukti elektronik tersebut juga sering
dipergunakan di pengadilan sehingga dapat membuat duduk perkara dan pembuktian
menjadi semakin jelas bagi hakim. Dengan demikian, diharapkan hakim dapat
memutus perkara tersebut secara lebih adil dan lebih benar. Pada transaksi-transaksi
yang tradisional segala sesuatunya dilaksanakan dengan menggunakan dokumen
kertas.
Dengan kata lain, transaksi-transaksi tersebut merupakan paper-based
transaction. Apabila terjadi sengketa diantara para pihak yang bertransaksi maka
dokumen-dokumen kertas itulah yang akan diajukan sebagai bukti oleh masing-
39
masing pihak untuk memperkuat posisi hukum masing-masing. Hal ini berbeda
sekali dengan transaksi e-commerce. Transaksi e-commerce adalah bukan paper
document, melainkan digital document. Seperti dikemukakan oleh Toh See Kiat,
bahwa sampai bukti tersebut di ”printed out” di dalam hard copy, bukti dari suatu
komputer mudah sekali menghilang, mudah diubah tanpa dapat dilacak kembali,
tidak berwujud dan sulit dibaca. Sumber atau otentikasi dari bukti yang diterima oleh
suatu sistem telematika dari sistem telematika yang lain, tidak dapat dipastikan.
Dengan kata lain, sulit dipastikan mengenai otentikasinya.
Pasal 1 butir 5 UUITE memberikan pengertian tanda tangan elektronik adalah
“informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi
pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk
menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak
terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital),
biometrik, kriptografi simetrik”.9
Pasal 7 UUITE menyebutkan bahwa “ setiap orang menyatakan hak,
memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak lain berdasarkan adanya
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa
Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari
sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
9 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Menuju Kepastian Hukum
di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta 2007. Hal. 49
40
Dalam transaksi yang menggunakan kertas (paper-based transaction)
dokumen yang nantinya dapat digunakan sebagai alat bukti biasanya ditandatangani
oleh atau untuk dan atas nama pihak yang bertransaksi. Tujuan utama
penandatanganan itu adalah untuk membuktikan bahwa dokumen tersebut adalah
benar berasal dari atau telah disetujui melalui Internet. Timbul permasalahan
bagaimana para pihak yang bertransaksi dapat membubuhkan tanda tangan mereka
masing-masing sebagai otentifikasi dokumen elektronik yang dipakai sebagai dasar
transaksi melalui Internet. Sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut di atas saat
ini orang telah menggunakan tanda tangan elektronik (digital signature) sebagai alat
untuk memberikan otentifikasi terhadap suatu dokumen elektronik.
Apa yang dimaksud dengan digital signature bukan merupakan digitized
image of handwritten signature. Tanda tangan elektronik bukan tanda tangan yang
dibubuhkan di atas kertas sebagaimana lazimnya suatu tanda tangan. Tanda tangan
elektronik diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau
hast yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui
cyberspace.
41
BAB III ANALISIS HUKUM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI
INTERNET
A. Keabsahan Perjanjian Melalui Internet
Pada prinsipnya, menurut KUH Perdata, suatu perjanjian adalah bebas, tidak
terikat pada bentuk tertentu. Namun, bila undang-undang menentukan syarat sahnya
perjanjian seperti bila telah dibuat secara tertulis, atau bila perjanjian dibuat dengan
akta notaris, perjanjian semacam ini di samping tercapainya kata sepakat terdapat
pengecualian yang ditetapkan undang-undang berupa formalitas-formalitas tertentu.
Perjanjian semacam ini dikenal dengan perjanjian formil, apabila formalitas-
formalitas tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut akan terancam batal
(seperti pendirian PT atau pengalihan hak atas tanah).
Dalam e-commerce dapat diterapkan secara analogis, ketentuan dari Buku III
tentang Hukum Perikatan. Dalam KUH Perdata ditentukan bahwa suatu persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Untuk sahnya suatu
kontrak maka harus dilihat kepada syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 1320
KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai
berikut:
i. Kesepakatan para pihak;
ii. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
iii. Suatu hal tertentu; dan
iv. Suatu sebab yang halal.
42
Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua
(kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak
terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang
halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Suatu persetujuan tidak
hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga
segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Syarat-syarat yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu
persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya (Pasal 1347
KUH Perdata).
Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Oleh karena itu, kontrak elektronik
harus juga mengikat para pihak sebagaimana ditentukan Pasal 18 ayat (1) UUITE.
Pasal 19 UUITE menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi
elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”. Jadi sebelum
melakukan transaksi elektronik, maka para pihak menyepakati sistem elektronik
yang akan digunakan untuk melakukan transaksi.
Khusus untuk perdagangan elektronik, ternyata ada pembagian menjadi
sistem perdagangan elektronik yang online dan off-line yakni:
1. Dengan sistem pembayaran elektronik yang on-line, setiap dilakukan
transaksi keabsahan dari pedagang yang melakukannya dapat dipergunakan
oleh konsumen sebelum konsumen dapat mengambil barang yang
diinginkannya. Jadi minimal ada tiga pihak yang terlibat dalam sistem
43
pembayaran on-line, yakni konsumen, pedagang dan pihak yang melakukan
proses otoritas atau otentikasi transaksi. Pada sistem pembayaran on-line,
terjadi proses outhorize and wait response, yang durasinya relatif singkat.
2. Ada juga sistem pembayaran elektronik off-line. Konsumen dan pedagang
dapat melakukan transaksi tanpa perlu ada pihak ketiga untuk melakukan
proses otentikasi dan otorisasi saat berlangsungnya transaksi off-line, sama
halnya dengan uang kontan biasa. Memang pada sistem yang off-line,
pedagang dapat menanggung resiko jika sudah menyerahkan dagangannya
kepada konsumen dan ternyata hasil otorisasi atau otentikasi membuktikan
bahwa pembayaran oleh konsumen yang bersangkutan itu tidak sah. Jadi
meskipun dapat dilakukan proses pemeriksaan, namun konsumen dan
pedagang umumnya tidak menunggu konfirmasi keabsahan transaksi.
Secara umum, suatu transaksi perdagangan seyogyanya dapat
menjamin:
1. Kerahasiaan (confidentiality): data transaksi harus dapat disampaikan secara
rahasia, sehingga tidak dapat dibaca oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan
2. Keutuhan (integrity): data setiap transaksi tidak boleh berubah saat
disampaikan melalui suatu saluran komunikasi.
3. Keabsahan atau keotentikan (authenticity), meliputi:
a. Keabsahan pihak-pihak yang melakukan transaksi : bahwa sang
konsumen adalah seorang pelanggan yang sah pada suatu perusahaan
penyelenggara sistem pembayaran tertentu (misalnya kartu kredit Visa
44
dan Mastercard), atau kartu kredit seperti Kualiva dan Stand Card
misalnya) dan keabsahan keberadaan pedagang itu sendiri.
b. Keabsahan data transaksi : data transaksi itu oleh penerima diyakini
dibuat oleh pihak yang mengaku membuatnya (biasanya sang pembuat
data tersebut membutuhkan tanda tangannya). Hal ini termasuk pula
jaminan bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak bisa
dipalsukan atau diubah.
4. Dapat dijadikan bukti/tak dapat disangkal (non-repudation) catatan mengenai
transaksi yang telah dilakukan dapat dijadikan barang bukti di suatu saat jika
ada perselisihan.
B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Jual Beli melalui Internet
Transaksi jual beli secara elektronik dilakukan oleh pihak yang terkait,
walaupun pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi
berhubungan melalui Internet. Dalam jual beli secara elektronik, pihak-pihak yang
terkait antara lain:
1. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet
sebagai pelaku usaha.
2. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang
menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan
melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada
penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan
45
secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab
mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat
dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.
4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.1
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di atas,
masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant
merupakan pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu penjual
bertanggung jawab memberikan secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkan
kepada pembeli atau konsumen. Di samping itu, penjual juga harus menawarkan
produk yang diperkenankan oleh undang-undang maksudnya barang yang
ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang
ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan.
Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa yang telah
dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli termaksud tidak
menimbulkan kerugian bagi siapa pun yang membelinya. Di sisi lain, seorang
penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari
pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya dan juga berhak untuk
mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak
baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik ini. Jadi, pembeli
berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau jasa yang telah
dipesannya pada penjual tersebut.
1 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT Gravindo Persada Jakarta 2000. Hal.
65.
46
Seorang pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang
telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan
antara penjual dan pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang
sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak
mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya itu. Pembeli
juga berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang
ber’itikad tidak baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik,
berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu
produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja
pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui Internet
yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus
mengunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang
telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening
pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik,
dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk menyediakan
layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual
beli secara elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang menawarkan
produk lewat Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama antara
penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui Internet ini.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan
dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis komputer
47
dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa tekomunikasi.
Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya
terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi pada pihak-pihak
dibawah ini:
1. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam
hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan
perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling
mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk
menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
2. Custumer to custumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar
individu dengan individu yang akan saling menjual barang.
3. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar individu
sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.
4. Custumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar
individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.2
Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi jual
beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga
dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara
individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara
perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum
dalam hal ini hubungan hukum jual beli.
2 Ibid, Hal 77
48
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda
dengan jual beli biasa, sebagai berikut:
1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada
Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang berisi katalog
produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website
pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah
satu keuntungan jual beli melalui toko online ini adalah bahwa pembeli dapat
berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Penawaran dalam sebuah website biasanya menampikan barang-barang yang
ditawarkan, harga, nilai reting atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh
pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang
berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang
mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha
yang melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak
menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang
menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan
demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi apabila
seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui internet
tersebut
2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila
penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan melalui
e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut yang ditujukan
untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan penawaran atas
49
suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang
berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat membuat
kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang
tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui website,
biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh
penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik
untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan
disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan
pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.
3. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,
misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada sistem keuangan
nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara
pembayaran adalah sebagai berikut:
a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan intitusi
finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau
deposit uangnya dari account masing-masing.
b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antar
kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.
c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses
pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode
pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui
kartu kredit online serta sistem pembayaran check in line.3
3 Ibid, Hal. 90
50
Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat
dilakukan melalui cash account to account atau pengalihan dari rekening pembeli
pada rekening penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat
dilakukan melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam
penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk
dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan
pembeli, dimungkinkan untuk dilakukan.
4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas
barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini
pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang
yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan
biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan pembeli.4
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan
di atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat
dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling
bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga
orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat
melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu
secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya
baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
Pasal 15 UUITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan
transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi
4 Ibid, Hal. 82
51
sebagaimana mestinya. Penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas
sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang
tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan sistem
elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus
dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:
a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
b. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari
informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi, atau
simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
e. Memiliki untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban
prosedur atau petunjuk tersebut secara berkelanjutan;
Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi
keandalan”. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai
52
pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan pemerintah”.
Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik
maka dalam Pasal 12 ayat (1) UUITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat
dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda
tangan elektronik yang digunakannya”. Dalam Pasal 21 ayat (2) UUITE dijelaskan
bahwa “pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi ;
a. Sistem tidak dapat siakses oleh orang lain yang tidak berhak
b. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari
penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan
elektronik;
c. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang
dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika;
1. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan
elektronik telah di bobol; atau
2. Keadaan yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko
yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda
tangan elektronik; dan
d. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik,
penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keuntungan semua
informasi yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.
53
Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang
melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung
jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap
orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang
dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.
C. Sistem Pembuktian Transaksi Elektronik (E-commerce)
Sistem pembuktian hukum privat masih mengunakan ketentuan yang diatur di
dalam KUH Perdata, HIR (untuk Jawa Madura) dan RBg (untuk luar Jawa Madura).
Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti
tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah
(Pasal 1866 KUHPerdata atau 164 HIR). Sementara itu, dengan pesatnya teknologi
informasi melalui Internet sebagaimana telah dikemukakan, telah mengubah berbagai
aspek kehidupan, diantaranya mengubah kegiatan perdagangan yang semula
dilakukan dengan cara kontak fisik, kini dengan Internet kegiatan perdagangan
dilakukan secara elektronik (Electronic Commerce atau E-Commerce) atau di Bursa
Efek dikenal dengan online trading. 5
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama
manusia semakin banyak menggunakan teknologi digital, termasuk dalam
berinteraksi antar sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan
terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk mengahadapi kenyataan
perkembangan masyarakat seperti itu, khususnya untuk mengatur sejauh mana
5 WWW.Klinik, “ Telekomunikasi dan Teknologi Hukum E-Commerce”. Diakses pada
Senin. 7 April 2008.
54
kekuatan pembuktian dari suatu tanda tangan digital/elektronik, yang dewasa ini
sudah sangat banyak dipergunakan dalam praktik sehari-hari.
Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam
posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromistis. Di satu pihak, agar
hukum selalu dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan
hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi
sebagai alat bukti di pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadi
manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut.
The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi
yang substansial dari suatu dokumen/photograpi atau rekaman harus dilakukan
dengan membawa ke pengadilan dokumen/photographi atau rekaman asli tersebut.
Kecuali jika dokumen/photographi atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan
ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang
harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, fotokopi
(bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan.
Demikian juga dengan bukti digital, seperti e-mail, surat dengan mesin faksimile,
tanda tangan elektronik, tidak ada aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin
dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum
yang serius dalam bidang hukum pembuktian.
Dari perspektif hukum, digital signature adalah sebuah sistem pengamanan
pada data digital yang dibuat dengan kunci tanda tangan pribadi (private signature
key), yang penggunaannya tergantung pada kunci publik (public key) yang menjadi
55
pasangannya. Eksistensi digital signature ini ditandai oleh keluarnya sebuah
sertifikat kunci tanda tangan (signature key certificate) dari suatu badan pembuat
sertifikat (certifier). Dalam sertifikat ini ditentukan nama pemilik kunci tanda tangan
dan karakter dari data yang sudah ditandatangani, untuk kekuatan pembuktian
(German Draft Digital signature Law, 1996).
Beberapa masalah yang mungkin timbul dari sistem digital signature ini terkait
dengan sistem hukum yang sudah ada. Pada banyak negara, disyaratkan bahwa suatu
transaksi haruslah disertai dengan bukti tertulis, dengan pertimbangan kepastian
hukum. Permasalahannya, bagaimana sebuah dokumen elektronik yang
ditandatangani dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti
tertulis di lnggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan (typing), ketikan (printing),
litografi (lithography), fotografri, atau bukti-bukti yang mempergunakan cara-cara
lain, yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata kata dalam bentuk yang terlihat
secara kasat mata. Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas hingga
mencakup juga “telex, telegram, atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang
menyediakan rekaman dan perjanjian" (UNCITRAL Model Law on Internatoinal
Commercial Arbitration, art.7 (2)).
Pemakaian Internet dan bisnis melalui Internet dewasa ini berkembang sangat
pesat sehingga sektor hukum pun temasuk hukum pembuktian diminta untuk turun
tangan sehingga bisnis melalui Intenet seperti itu dapat dicapainya ketertiban dan
kepastian, disamping tercapai pula unsur keadilan bagi para pihak. Beberapa prinsip
hukum yang bersentuhan dengan e-commerce yang mestinya diakui sektor hukum
pembuktian adalah sebagai berikut :
56
1. Semua informasi elektronik dalam bentuk data elektronik mestinya memiliki
kekuatan hukum sehingga mempunyai kekuatan pembuktian. Dengan
demikian, data elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama dengan dokumen kertas.
2. Kontrak yang dibuat secara elektronik mempunyai akibat hukum dan
kekuatan pembuktian yang sama dengan kontrak yang dibuat secara tertulis
diatas kertas.
3. Tanda tangan elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama dengan tanda tangan biasa.
Beberapa Negara di dunia ini sudah mengadopsi perkembangan teknologi
digital ke dalam hukum pembuktiannya, seperti:
1. Hongkong telah memiliki Undang-Undang tentang Transaksi Elektronik
sejak tanggal 7 Januari 2000.
2. Inggris telah memiliki the Electronic Communication Bill sejak tanggal 26
Januari 2000.
3. Jepang telah memiliki Undang-Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan
Notarisasi Bisnis Nomor 102, tanggal 31 Mei 2000, yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 April 2001.
Di samping berbagai Negara yang telah mulai mengakui transaksi elektronik,
termasuk cara pembuktiannya, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah
membuat Uncitral Model Law terhadap alat bukti komersil (Uncitral Model Law on
Electronic Commerce). Uncitral Model Law ini telah resmi dipublikasikan sejak
tahun 1996, dengan bahasa aslinya dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Prancis, Rusia,
57
dan Spanyol. Model law ini diharapkan dapat diterapkan pada setiap informasi dalam
bentuk “data elektronik” (data message) yang digunakan dalam hubungannya dengan
aktivitas komersil. Yang dimaksud dengan data elektronik (data message) dalam hal
ini adalah setiap informasi yang dihasilkan, dikirim, diterima, atau disimpan dengan
sistem elektronik, optikal, atau dengan cara-cara yang serupa, termasuk tetapi tidak
terbatas pada sistem pertukaran data elektronik (computer to computer), surat
elektronik, telegram, teleks, atau telekopi. Banyak ketentuan yang diatur dalam
model law tersebut, baik yang bersentuhan secara langsung maupun yang tidak
langsung dengan hukum pembuktian.
Beberapa kriteria atau ketentuan dasar yang harus dipertimbangkan dalam
hubungannya dengan pengakuan terhadap alat bukti digital adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan hukum terhadap data elektronik
2. Praduga otentisitas
3. Notarisasi bisnis
4. Perlakuan hukum terhadap tulisan elektronik
5. Tidak perlu berhadapan muka
6. Tidak memerlukan konfirmasi lewat surat
7. Kewajiban menyimpan dokumen
8. Hanya berlaku terhadap kontrak yang dilakukannya sendiri
9. Tidak berlaku terhadap kontrak-kontrak khusus
10. Ketegasan tentang tempat dan waktu terjadinya kata sepakat
11. Display dalam bentuk yang dapat dibaca
12. Integritas informasi dan keaslian dokumen
58
13. Pengakuan hanya terhadap cara dan format tertentu
14. Dapat diterima jika pihak lawan kontrak tidak menolaknya
15. Electronic commerce untuk bidang-bidang tertentu
Ketentuan-ketentuan pembuktian tentang data elektronik di bidang commerce
sebagaimana tersebut diatas memang sering diberlakukan pada setiap kegiatan
electronic commerce. Akan tetapi, dalam praktik sering juga diperlukan aturan
khusus untuk suatu jenis electronic commerce khusus. Sebagai contoh, uncitral
model law tentang electronic commerce yang memberikan perlakuan khusus
terhadap kegiatan pengiriman barang (carriage of goods) dengan memberikan aturan
tambahan. Transfer dana secara elektronik merupakan transfer dana yang satu atau
lebih bagian dalam transfer dana yang dahulu menggunakan warkat (secara fisik)
kemudian diganti dengan menggunakan teknik elektronik ex: via telex, the society
for Worldwide interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Pengiriman uang via elektronik (seperti lewat komputer atau Internet) atau
lewat telepon akan tidak mempunyai bukti tertulis sama sekali. Hal ini tentu akan
rentan terhadap timbulnya kerawanan-kerawanan dan timbul disputes di kemudian
hari, di amping dapat terjadi pula penipuan/pemalsuan. Oleh karena itu, biasanya
bank yang menggunakan teknik ini akan menggunakan sistem konfirmasi tertulis
yang dilakukan segera setelah dilakukan transfer. Di samping itu, tersedia pula
beberapa model pengamanan yang lain, seperti pemberian contoh tanda tangan,
penentuan terhadap yang disebut dengan istilah test key, merekam suara percakapan
telepon, dan lain-lain.
59
Undang-undang No.8 tahun 1997 memang tidak mengatur masalah
pembuktian, namun UU ini telah memberi kemungkinan kepada dokumen perusahan
yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk di amankan
melalui penyimpanan dalam mikro film. Selanjutnya, terhadap dokumen yang
disimpan dalam bentuk elektronis ( paperless ) ini dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah. Di samping itu dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 1997 telah memberi peluang
luas terhadap pemahaman atas alat bukti, yaitu: “dokumen keuangan terdiri dari
catatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan, yang
merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahaan’’.
Selanjutnya, Pasal 4 UU tersebut menyatakan “ dokumen lainnya terdiri dari data
atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi
perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen perusahaan’’.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tampaknya UU ini telah memberi kemungkinan
dokumen perusahaan untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Hukum pembuktian perdata sebagaimana telah dikemukakan, telah
menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, yaitu hanya menyebutkan lima macam
alat bukti. Dari kelima macam alat bukti tersebut. Dalam perkara perdata, bukti
tulisan mendapat kedudukan sebagai alat bukti yang utama, apalagi yang disebut
dengan bukti tulisan yang berupa data otentik. Akta otentik memiliki kekuatan
pembuktian formil, materil dan mengikat (sebagai alat bukti yang sempurna,
sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya). Beberapa asas yang penting diindahkan
dalam hukum pembuktian, yaitu: Pertama, asas Audi et alteram partem yaitu bahwa
60
kedua belah pihak yang bersengketa harus di perlakukan sama atau dalam praktek di
kenal dengan “equal justice under law”.
Kedua, gugatan harus diajukan pada pengadilan dimana tergugat bertempat
tinggal atau dikenal dengan “Actor sequitur forum rei”. Asas ini di kembangkan
bertolak dari apa yang dikenal dalam hukum pidana dengan “Presumtion of
innocense”.
Ketiga, asas actori incumbit probatio, yaitu bahwa siapa yang mengaku
memiliki hak harus membuktikannya, asas ini berdasarkan kepada apa yang tampak
telah ada secara sah haruslah untuk sementara dibiarkan dalam keadaan demikian
untuk kepastian hukum. Namun demikian, yang harus dibuktikan tersebut hanyalah
yang positif saja, yaitu adanya suatu peristiwa dan bukan tidak adanya peristiwa.
Asas-asas tersebut berlaku dalam hukum acara perdata (Hukum pembuktian
yang umum), sedangkan untuk hukum pembuktian dalam UUITE, hukum
pembuktiannya bersifat khusus (lex specialis), harus tetap mengacu pada hukum
pembuktian yang umum (HIR/RBg atau Hukum Acara Perdata baru yang akan
datang).
Dengan meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat
digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik
untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen atau
informasi tersebut juga harus dapat dijadikan bukti yang sah secara hukum. Untuk
memudahkan pelaksanaan penggunaan bukti elektronik (baik dalam bentuk
elektronik atau hasil cetak), maka bukti elektronik dapat disebut sebagai perluasan
alat bukti yang sah, sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun
61
bukti elektronik tidak dapat digunakan dalam hal-hal spesifik, seperti dalam
pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya
perkawinan, surat-surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis, perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak, dokumen
yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan juga dokumen lainnya yang menurut
peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya pengesahan notaris atau
pejabat yang berwenang.6
Informasi elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti
elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin
keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan,
sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti
elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari
sistem elektronik yang terpercaya.
Saat ini, dengan makin pesatnya kemajuan teknologi informasi, dimana
dengan adanya kemajuan tersebut orang dapat melakukan transaksi-transaksi
perdagangan dengan tanpa kehadiran para pihak, seperti transaksi perdagangan
dilakukan dengan online trading. Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte)
menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang
dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin
yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri.
6 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Menuju Kepastian Hukum
di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta 2007. Hal. 14
62
Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang
sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik
lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung
adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang
mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau
masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu perjanjian jual beli. Tempat tinggal
(domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat
lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat ini pun menjadi hal yang penting untuk
menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.
Dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature
dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis. Akan tetapi, terdapat suatu prinsip hukum
yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan dan dokumen elektronik
atau digital signature, yakni adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat
dilihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk kertas. Masalah lain yang dapat timbul
berkaitan dengan dokumen elektronik dan digital signature ini adalah masalah cara
untuk menentukan dokumen yang asli dan dokumen salinan. Berkaitan dengan hal
ini sudah menjadi prinsip hukum umum bahwa:
a. dokumen asli mestilah dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian;
b. dokumen asli hanya ada satu dalam setiap perjanjian; dan
c. semua reproduksi dari perjanjian tersebut merupakan salinan.
63
Dalam praktik perdagangan saham di pasar modal pemanfaatan teknologi
elektronik ini di rasakan sebagai suatu keharusan, karena praktik sebelumnya
peralihan saham melalui transfer sangat menghambat diimobilisasinya (dalam
Hukum Perseroan dikenal dengan Scriptless Trading). Kenyataan ini menghendaki
hukum yang dapat mengatur suatu tanda kepemilikan saham yang terjamin
imobilitasnya serta dapat terjamin kepastian hukumnya. Hukum pembuktian yang
diatur dalam UU harus bersifat khusus, seperti halnya dalam beracara kepailitan pun
demikian. Bidang-bidang hukum lainnya seperti Hukum Acara Perdata (dalam BW,
HIR/RBg), UUPT, dan sebagainya yang mengatur masalah pembuktian tetap diakui
sebagai hukum umum. Artinya undang-undang yang sudah ada dibiarkan tetap
mengatur secara umum sebelum ada pencabutan terhadap ketentuan-ketentuan
undang-undang tersebut dan undang-undang yang baru sebagai hukum
special/khusus akan patuh pada asas lex specialis derogat lex generalis.7
Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan
bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan keaslian atau keabsahan
suatu bukti elektronik adalah tanda tangan elektronik. Pasal 11 UUITE menyebutkan
bahwa “tanda tangan elektronik harus dapat diakui secara hukum karena penggunaan
tanda tangan elektronik lebih cocok untuk suatu dokumen elektronik. Salah satu alat
yang dapat dipergunakan untuk menentukan keaslian atau keabsahan suatu bukti
7 Mieke Komar Kantaatmadja. Cyber Law Suatu Pengantar. Elips Bandung 2001 Hal. 37
64
elektronik adalah tanda tangan elektronik. Agar suatu tanda tangan elektronik dapat
diakui kekuatan hukumnya, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :8
a. Data pembuatan tanda tangan hanya terkait kepada penanda tangan saja;
b. Data pembuatan tanda tangan hanya berada dalam kuasa penandatangan pada
saat penandatangan;
c. Perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. Perubahan terhadap informasi elektronik yang berhubungan dengan tanda tangan
elektronik dapat diketahui setelah waktu penandatanganan;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
penandatangannya;
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah
memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang ditandatangani.
Orang yang menggunakan tanda tangan elektronik atau terlibat didalamnya
mempunyai kewajiban untuk mengamankan tanda tangan agar tanda tersebut tidak
dapat disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak.
Pengamanan tanda tangan elektronik diantaranya meliputi syarat : 9
a. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
b. Penandatangan harus waspada terhadap penggunaan tidak sah dari data
pembuatan tanda tangan oleh orang lain;
c. Penandatangan harus menggunakan cara atau instruksi yang dianjurkan oleh
penyelenggara tanda tangan elektronik. Penandatangan harus
8 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Op.cit, Hal. 16 9 Ibid, Hal 16-17
65
memberitahukan kepada orang yang mempercayai tanda tangan tersebut atau
kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik apabila ia percaya
bahwa :
1. Data pembuatan tanda tangan telah dibobol; atau
2. Tanda tangan dapat menimbulkan risiko, sehingga ada kemungkinan
bobolnya data pembuatan tanda tangan;
d. Dan jika sertifikat digunakan sebagai pendukung tanda tangan elektronik,
maka semua informasi yang disediakan harus benar dan utuh.
Jika syarat tersebut gagal untuk dipenuhi, maka orang tersebut bertanggung
jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Pada dasarnya lembaga sertifikasi elektronik
merupakan pihak ketiga yang menjamin identitas pihak-pihak secara elektronik.
Dalam dunia teknologi informasi, seperti Internet, seseorang dapat dengan mudah
membuat identitas lain (contoh, nama chatting, alamat e-mail). Oleh karena itu,
pemerintah atau masyarakat harus dapat membentuk suatu lembaga sertifikasi yang
terpercaya, agar pelaku usaha dapat melakukan usaha dengan sarana elektronik
secara aman.
Fungsi lain dari sertifikat elektronik adalah menjamin keaslian tanda tangan
elektronik. Dalam hal ini, penyelenggara elektronik harus memastikan hubungan
antara tanda tangan elektronik dengan pemilik tanda tangan tersebut. Selain itu
penyelenggara juga harus menginformasikan mengenai hal-hal yang digunakan
untuk mengetahui data pembuatan tanda tangan, dan menunjukan bahwa tanda
66
tangan elektronik yang berlaku aman. Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia
harus berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di Indonesia.10
Di Indonesia saat ini baru saja disahkan ketentuan khusus tentang alat bukti
yang mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah
disertai ketentuan-ketentuan tentang prasyarat dan kriteria yang harus dipenuhi
tentang akurasi dan kebenaran alat bukti dimaksud yaitu yang terdapat didalam
rumusan Pasal 5 UUITE tersebut di atas. Mengenai masalah dokumen elektronik
(termasuk e-contract dan digital signature) sebagai alat bukti di pengadilan, pada
dasarnya hakim berdasarkan Pasal 22 Algemene Bepalingen (AB) dilarang menolak
untuk mengadili suatu perkara yang belum ada pengaturan hukumnya. Selain itu
hakim juga dituntut untuk melakukan rechtsvinding (penemuan hukum) dengan
mengkaji norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat dalam menyelesaikan kasus
dimaksud.
Alat bukti dapat dipercaya jika dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproduksi Print
Out;
2. Proses data seperti pada umumnya dengan memasukkan inisial dalam sistem
pengelolaan arsip yang dikomputerisasikan; dan
3. Menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data dituliskan oleh seseorang
yang mengetahui peristiwa hukumnya.
Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi:
10 Ibid, Hal 17
67
1. Mengkaji informasi yang diterima untuk menjamin keakuratan data yang
dimasukkan;
2. Metode penyimpanan dan tindakan pengambilan data untuk mencegah
hilangnya data pada waktu disimpan;
3. Penggunaan program komputer yang benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan untuk memproses data;
4. Mengukur uji pengambilan keakuratan program; dan
5. Waktu dan persiapan model print-out computer
Sebelum UUITE sebenarnya telah ada beberapa hal yang menyangkut dengan
penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah,
misalnya:
1. Dikenalnya online trading dalam kegiatan bursa efek dan
2. Pengaturan mikro film sebagai media penyimpanan dokumen perusahaan
yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1997 tetang Dokumen Perusahaan.
Namun demikian, pengaturan semacam ini tidak dapat menunjang dan
mengakomodasikan perkembangan cyberspace pada umumnya dan e-commerce pada
khususnya. Digital signature merupakan salah satu isu spesifik dalam e-commerce.
Digital signature pada prinsipnya berkenaan dengan jaminan untuk “message
integrity” yang menjamin bahwa pengirim pesan (sender) adalah benar-benar orang
yang berhak dan bertanggung jawab untuk itu. Hal ini berbeda dengan tanda tangan
biasa yang berfungsi sebagai pengakuan dan penerimaan atas isi pesan/dokumen.
68
Persoalan hukum yang muncul seputar hal ini antara lain berkenaan dengan fungsi
dan kekuatan hukum digital signature.
Beberapa keuntungan yang ditawarkan dari penggunaan digital signature,
yaitu antara lain:
1. Authenticity (Ensured)
Dengan menggunakan digital signature maka dapat ditunjukkan dari mana
data elektronik tersebut sesungguhnya berasal. Integritas pesan terjamin karena
adanya digital certificate yang diperoleh berdasarkan aplikasi yang disampaikan
kepada certification authority oleh user/subscriber. Digital certificate berisi
informasi mengenai pengguna, antara lain: identitas, kewenangan, kedudukan
hukum, dan status dari user. Dengan keberadaan digital certificate ini maka pihak
ketiga yang berhubungan dengan pemegang digital certificate tersebut dapat merasa
yakin bahwa pesan yang diterimanya adalah benar berasal dari user tersebut.
2. Integrity
Penggunaan digital signature dapat menjamin bahwa pesan atau data
elekronik yang dikirimkan tersebut tidak mengalami suatu perubahan atau modifikasi
oleh pihak yang tidak berwenang. Jaminan authenticity ini dapat dilihat dari adanya
fungsi hash dalam sistem digital signature dimana penerima data dapat melakukan
pembandingan hash value. Jika hash valuenya sama dan sesuai maka data tersebut
benar-benar otentik, tidak termodifikasi sejak dikirimkan sehinga terjamin
keasliannya.
69
3. Non- Repudiation
Pengirim pesan tidak akan dapat menyangkal bahwa ia telah mengirimkan
pesan jika ia memang sudah mengirimkan pesan tersebut. Ia juga tidak dapat
menyangkal isi pesan tersebut. Hal ini disebabkan digital signature yang
menggunakan enkripsi asimetris yang melibatkan private key dan public key. Suatu
pesan yang telah dienkripsi dengan menggunakan kunci privat akan hanya dapat
dibuka/dekripsi dengan kunci public milik pengirim.
4. Confidentiality
Dengan mekanisme digital signature yang sedemikian rupa maka akan dapat
terjamin kerahasiaan suatu pesan yang dikirimkan. Hal ini dimungkinkan karena
tidak semua orang dapat mengetahui isi pesan/data elektronik yang telah di-sign dan
dimasukkan dalam digital envelope.
Pada umumnya tanda tangan digital menggunakan teknik kriptografi kunci
publik, kunci simetrik dan sebuah fungsi hash satu arah. Teknik-teknik yang
digunakan tersebut akan berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi informasi itu sendiri. Namun demikian, pada prinsipnya suatu tanda tangan
digital setidaknya harus memiliki sifat sebagai berikut:
1. Otentik
2. Aman
3. Interperabilitas dari perangkat lunak, maupun jaringan dari penyedia jasa
4. Konfidensialitas
5. Hanya sah untuk dokumen itu saja atau kopinya yang sama persis
6. Dapat diperiksa dengan mudah
70
7. Divisibilitas, berkaitan dengan spesifikasi praktis transaksi baik untuk volume
besar maupun transaksi skala kecil.
Mengingat transaksi elektronik sangat mudah disusupi atau diubah oleh
pihak-pihak yang tidak berwenang, maka sistem keamanan dalam bertransaksi
menjadi sangat penting untuk menjaga keaslian data tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan sistem dan prosedur pengamanan yang handal, dalam konteks
penggunaan sistem komunikasi dengan jaringan terbuka (seperti Internet), agar
timbul kepercayaan pengguna terhadap sistem komunikasi tersebut. Tindakan
pencegahan untuk mengelola risiko tersebut termasuk penggunaan “Public Key
Criptography” untuk Tanda Tangan Digital dan mensyaratkan keterlibatan Pihak
Ketiga Terpercaya (yang telah disertifikasi) dan independen untuk memastikan
bahwa pemegang Kunci Publik adalah individu yang dimaksud. Dalam sebuah
sistem Public-Key Cryptographi, Certification Authority (CA)-Otoritas Sertifikasi
atau Thrusted Third Party (TTP) merupakan Pihak Ketiga Terpercaya (Trustworthy)
atau suatu institusi yang dapat memberikan rasa percaya kepada para pelaku
transaksi maya tersebut.
Adapun pengertian Certification Authority (CA) atau Thrusted Third Party
adalah sebuah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak ketiga yang layak
dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik (sertifikat digital)
serta menyediakan layanan keamanan yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam
menjalankan pertukaran informasi secara elektronik dan memenuhi 4 (empat) aspek
keamanan yaitu : Confidentiality (Informasi yang dipertaruhkan hanya bisa terbaca
oleh penerima yang berhak dan tidak dapat dipahami oleh pihak yang tidak berhak);
71
Authentification (identitas pihak yang terkait dapat diketahui atau menjamin
authentification pemilik Kunci Publik Kriptografi); Integrity (Informasi terkirim dan
diterima tidak berubah); dan Non repudiation (pihak yang terkait tidak dapat
menyangkal bahwa ia telah melakukan transaksi tertentu atau memberikan landasan
untuk pembuktian terjadinya suatu transaksi). 11
Di Indonesia kegiatan e-commerce meskipun bersifat virtual tetapi
dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis
untuk ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu
hanya dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan objek dan
perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-
hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan e-commerce merupakan kegiatan virtual
tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik, dengan
demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan
perbuatan hukum secara nyata.
Salah satu hal penting adalah masalah keamanan. Terdapat tiga pendekatan
untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama yaitu pendekatan
teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum.
Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi memang mutlak
dilakukan, mengingat tanpa pendekatan teknologi suatu jaringan akan sangat mudah
disusupi atau diakses secara illegal dan tanpa hak.
Oleh karena itu, pendekatan hukum dan sosial budaya-etika sebagai bentuk
pendekatan berikutnya menjadi sangat penting. Pendekatan hukum yaitu dalam
11 Ibid, Hal. 52-53
72
bentuk tersedianya hukum positif akan memberikan jaminan kepastian dan sebagai
landasan penegakan hukum (law enforcement) jika terjadi pelanggaran.
73
BAB IV PENUTUP
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
A. Kesimpulan
1. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian
yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal dapat diterapkan untuk menentukan
keabsahan perjanjian jual beli elektronik. Kontrak elektronik harus juga
mengikat para pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1)
UUITE. Menurut Pasal 19 UUITE para pihak yang melakukan transaksi
elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Jadi
sebelum melakukan transaksi elektronik, maka para pihak terlebih dahulu
menyepakati sistem elektronik yang akan digunakan untuk melakukan
transaksi.
2. Tanggung jawab para pihak dalam jual beli melalui Internet yaitu pihak penjual
bertanggung jawab atas semua produk atau jasa yang telah di iklankannya di
Internet serta bertanggung jawab atas pengiriman barang atau jasa yang telah
dipesan oleh seorang pembeli. Sedangkan pembeli bertanggung jawab untuk
membayar sejumlah harga dari produk atau jasa yang telah dibelinya dari
penjual. Pasal 15 dan 16 UUITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan
informasi dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan
dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Penyelenggaraan sistem elektronik
74
bertanggung jawab atas sistem yang diselenggarakannya. Namun, apabila
adanya pihak lain yang secara tanpa izin melakukan tindakan sehingga sistem
berjalan tidak semestinya, maka penyelenggara sistem elektronik tidak
bertanggung jawab atas akibatnya.
3. Berdasarkan sistem pembuktian hukum privat yang masih menggunakan
ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata maka dalam hukum pembuktian ini,
alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari : bukti tulisan, bukti saksi-
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (Pasal 1866 BW
atau 164 HIR). Sedangkan UUITE menambahkan suatu bentuk sistem
pembuktian elektronik yaitu adanya tanda tangan elektronik (digital signature)
yang merupakan suatu sistem pengamanan yang bertujuan untuk memastikan
otentisitas dari suatu dokumen elektronik. Ia menggunakan cara yang berbeda
untuk menandai suatu dokumen sehingga tidak hanya mengidentifikasi dari
pengirim, namun harus juga memastikan keutuhan dari dokumen tersebut
(Pasal 1 butir 5 UUITE). Pasal 5 UUITE mengatur secara khusus mengenai
sahnya suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa bukti elektronik baru dapat
dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki
kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat
dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga
menerangkan suatu keadaan. Keabsahan data transaksi yaitu yang menjamin
untuk terjadinya jual beli melalui Internet, baik itu mencakup tanda tangan
ataupun lainnya yang menjadi suatu bentuk keabsahan dari suatu perjanjian
75
tersebut. Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional.
B. Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi UUITE sehingga masyarakat dapat memahami dan
mengetahui perihal tentang keabsahan perjanjian melalui Internet tersebut.
Dalam hal ini sosialisasi dimaksudkan juga agar masyarakat dapat melaksanakan
transaksi e-commerce ini sesuai dengan aturan yang berlaku dan juga agar
terdapat persamaan persepsi, sehingga tidak terdapat kendala dalam
penerapannya.
2. Bagi para pihak yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati bersama, dapat mengajukan gugatan perdata
untuk memperoleh pembayaran ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal
12 UUITE.
3. Pemerintah seyogyanya memberikan pengawasan yang lebih ketat lagi bagi para
pihak yang melakukan transaksi elektronik ini yaitu dengan jalan
melakukan/mewajibkan diadakannya suatu pendaftaran terhadap segala kegiatan
yang menyangkut kepentingan umum didalam lalu lintas elektronik tersebut,
termasuk pendaftaran atas usaha-usaha elektronik (e-business) yang berupa
virtual shops ataupun virtual services lainnya dan kewajiban terdaftarnya
seorang pembeli dalam sebuah perusahaan penyelenggaraan sistem pembayaran
sehingga proses transaksinya dapat berjalan lancar dan tidak ada satu pihak pun
yang merasa dirugikan.
76
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perikatan. Alumni. Bandung, 1982 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Menuju Kepastian
Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta 2007. Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika. PT Gravindo Persada. Jakarta
2000. Imam Sjahputra. Problematika Hukum Internet Indonesia. PT Prenhallindo.
Jakarta, 2002. Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti.
Bandung, 2001. ____, Suatu Tinjauan Hukum tentang E-Commerce. Pusat Studi Hukum dan
Kemasyarakatan Graha Kirana. Jakarta, 2000. Mieke Komar Kantaatmadja. Cyber Law Suatu Pengantar. Elips. Bandung 2001. _____, Hukum Perdata tentang Perikatan. Penerbit Fak. Hukum USU. Medan,
1974. Ricardus Eko Indrajit. E-commerce Kiat dan Strategi di Dunia Maya. PT Elek
Media Komputindo. Jakarta, 2001. Subekti R. Aneka Perjanjian. Alumni. Bandung. 1981. _____, Hukum Perjanjian. Cetakan XI. Penerbit PT Intermasa. Jakarta, 1987. Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984. Suryo Dinigrat RM. Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian. Penerbit Tersito.
Bandung, 1996. Teguh Samudera. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Alumni. Bandung,
2004. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu.
Sumur. Bandung, 1985. _____, Azas-Azas Hukum Perjanjian . Penerbit Sumur. Bandung, 1984. Yusril Ihza Mahendra. Regulasi Cyberspace di Indonesia. Bandung. 2000.
77
Zulfi Chairi. Aspek Hukum Perjanjian Jual beli Melalui Internet. Universitas Sumatera Utara. Medan, 2005.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik LNRI Tahun 2008 Nomor 58 dan TLNRI Nomor 4843 C. Situs Internet
Anggraeni Srihartati. Artikel Perkembangan E-Commerce di Indonesia. http://www.Waena.Org. Selasa 10 Mei 2007. Arrianto Mukti Wibowo. Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce, http://www. [email protected]. Rabu, 25 Mei 2007. Edmon Makarim. Uncitral Model Law on Electronic Commerce, http://www.Uncitral Model Law.com. Jumat, 16 April 2007. Sri Hariningsih. Artikel Keabsahan Transaksi Elektronik dan Aspek Hukum Pembuktian Terhadap Data Elektronik, http://www.Legalitas.Org. 2 Maret 2008. D. Sumber Lain
Harian Serambi Indonesia. Gregetan Hacker Nakal. Senin, 14 April 2008.
Artikel Telekomunikasi dan Teknologi Hukum E-Commerce. Klinik.
Senin. 7 April 2008
Top Related