LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI
PELUS
Kelompok : 7 (Tujuh)
Lokasi : Karanggintung
Waktu : 10:30 – 12:00 WIB
Pendamping : D. N. Wibowo
Nama NIM
Dewitri B1J011063
Robi Fauzi Azhari B1J011065
Baskoro Aji Nugroho B1J011067
Yuli Wulandari B1J011071
Seruni Tyas Khairunissa B1J011075
FAKULTAS BIOLOGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggung-
punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung
oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke
sungai utama. Pembagian Daerah Aliran Sungai berdasarkan fungsi hulu, tengah dan
hilir yaitu:
1. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.
2. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana
pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
3. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah (Asdak, 1995).
Ekosistem merupakan sistem di alam yang di dalamnya terjadi interaksi
timbal balik antara organisme dengan organisme lain, dan komponen tidak hidup
di lingkungannya. Ekosistem dapat juga dikatakan interaksi antara populasi-
populasi penyusun komunitas dengan lingkungan abiotiknya. Secara struktural
ekosistem dibangun oleh komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi
membentuk kesatuan fungsi. Pada dasarnya fungsi yang terjadi pada ekosistem
adalah peristiwa aliran energi dan siklus materi (Irwan, 1992).
Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai
komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu
sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-
komponen ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila
terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut (misalnya
perubahan nilai parameter fisika-kimia perairan), maka akan menyebabkan
perubahan pada komponen lainnya (misalnya perubahan kualitatif dan kuantitatif
organismenya). Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem
yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam
keseimbangannya. Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena
itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Dan di setiap
aliran memilki organisme yang berbeda pula. Zonasi pada habitat air mengalir
adalah mengarah ke longitudinal, yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih
atas berada di bagian hulu dan kemudian mengarah ke hilir (Polunin,1997).
Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia,
hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut
memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri-sendiri, namun
berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis
(ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam
mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen
ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang
berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal
balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar
komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam
DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran
permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berikut interaksi
antar komponen dalam DAS (Daerah Aliran Sungai).
( Sumber: Asdak,
1995)
Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terestrial
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan
yang dapat berpengar uh diantaranya yaitu temperatur, pH, substrat tempat
organisme tersebut hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air
dalam hal ini mencakup keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat
mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri,
rekreasi dan pemanfaatan air lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang
dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan demikian, berpengaruh terhadap
ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan adalah konsentrasi sedimen dan
suhu air. Tinjauan kualitas air akan menempatkan faktor sedimen dan suhu air
(yang terlalu tinggi untuk kehidupan biota akuatis) sebagai unsur-unsur
pencemar.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah thermometer 2 buah
(udara dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 1 buah untuk
kecepatan arus, tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus 10 m, kuadrat 0,5 x 0,5 m
dan 10 x 10 m), kantong plastic untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas
pH dan soil tester, penggaris, timbangan, jangka sorong, computer, jaringan
internet dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska,
sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.
B. Metode
1. Ekosistem
Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.
Dibuat model interaksi factor abiotik dan biotik ( diperlukan data tentang
benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)
Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.
Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organism
tersebut.
2. Komunitas
Pengambilan sampel moluska dan air
1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
3. Diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat
tersebut.
4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam
kantong plastic.
5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode
6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.
Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian
1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. Dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m
3. Diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan
bambu tersebut.
4. Diamati daun pelepah. warna buluh, buliran, perbungaan, percabangan,
dan durinya.
5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh
bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi
Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida
ukuran dari spesies yang dominan.
Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan
pengukuran pada sampel moluska (panjang), pada sampel bambu
(diameter).
Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran
bambu dilakukan di lapangan.
Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.
Dibuat dua piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang cangkang
moluska dan diameter batang bambu) dari data diatas.
4. Faktor Lingkungan
Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti :
temperatur udara, temperature air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air
pada ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem
daratan.
Diambil tanah sebanyak 250 gr yang kemudian diukur pH nya di
laboratorium.
5. Distribusi Longitudinal Organism dan Faktor Lingkungannya
Dibuat tabel kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai pelus
hulu, tengah, dan hilir).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
a. Pemodelan Interaksi Antara Faktor Abiotik dan Biotik
Tabel 1. Tipe Pemanfaatan LahanLokasi Tipe pemanfaatan lahan (landuse) Aktivitas masyarakat
Sungai Pelus
Irigasi Pengairan Pemukiman
MCK Memancing Bermain
Nomor Lokasi :
2
Waktu Pengamatan: 10.30-12.00
Tabel 2. Komponen Abiotik dan BiotikNo. Abiotik (benda mati) Biotik (benda hidup)1 Batu Pohon bambu2 Kayu Capung3 Tanah Nyamuk4 Serasah Cacing tanah5 Ranting Semut6 Plastik Fitoplankton7 Kertas Bakteri pengurai8 Sampah Moluska9 Udara Manusia10 Kerikil Lumut11 Pasir Ikan12 Cahaya matahari Udang13 Air Laba-laba14 Serangga air15161718
Model Interaksi dalam Ekosistem
Tabel 3. Komponen Penyusun EkosistemNo Komponen penyusun Organisme
1. Produser
Pohon Bambu
Lumut
Serasah
Fitoplankton
2. Makro konsumer tingkat I
Ikan
Udang
Moluska
3. Makro konsumer tingkat II
Capung
Laba-laba
Nyamuk
Serangga
Manusia
4. Dekomposer
Cacing
Mikroorganisme (bakteri
pengurai)
Tabel 4. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska atau kekayaan spesies dan kepadatan bambu.No Nama spesies Jumlah Individu1. Moluska:
1. Melanoides maculate 102. Eliminia cleansi 13. Elimina annae 104. Melanoides turicula 16
2. Bambu1. Gigantolochloa apus 20
Tabel 5. Populasi yang DominanLokasi/Waktu Spesies yang dominan
Sungai Pelus/10.30-12.00
Moluska : Melanoides turicula dengan kelimpahan 16
individu/250 cm
Bambu : Gigantolochoa apus dengan kepadatan 20
individu/100 m
Tabel 6. Ukuran Moluska dan Bambu
No individu
Panjang Cangkang Moluska
(cm)
Diameter Batang Bambu (cm)
1. 1,5 5,41
2. 1,7 5,41
3. 1,7 5,73
4. 1,7 6,36
5. 1,7 6,68
6. 1,7 7
7. 1,7 7,3
8. 1,7 7,3
9. 1,7 7,3
10. 2 7,6
11. 2 7,6
12. 2 7,6
13. 2 7,6
14. 2 7,6
15. 2 7,6
16. 2,2 7,9
17. 7,9
18. 8,28
19. 8,59
20. 9,55
Tabel 7.1. Struktur Populasi Moluska
Ukuran Panjang Cangkang Jumlah individu
1,5 cm sampai dengan 1,7 cm 9
1,8 cm sampai dengan 2,0 cm 6
2,1 cm sampai dengan 2,3 cm 1
Tabel 7.2. Struktur Populasi Bambu
Ukuran Diameter Batang Jumlah individu
5,41 cm sampai dengan 6,91 cm 5
6,92 cm sampai dengan 8,42 cm 12
8,42 cm sampai dengan 9,93 cm 3
Piramida Populasi Moluska dan Bambu Berdasarkan Ukuran
Tabel 8. Kondisi Lingkungan Perairan
No.Parameter
LingkunganHulu Tengah Hilir
1 Temperatur udara 290 C 320 C 290 C2 Temperatur air 240 C 280 C 290 C3 Arus 0,3 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s
4Substrat yang
dominanPasir Batu Batu
5 pH < 6 6 7
Tabel 9. Distribusi Longitudinal MoluskaSpesies Hulu Tengah Hilir
Brotia insolita - + +Pachycilus indiorum - + -Melanoides granifera - - +Melanoides denisoniensis - - +Melanoides maculata + - -Melanoides turicula + - -Eliminia annae + - -Eliminia cleansi + - -Keterangan : (+) Spesies ditemukan
( - ) Spesies tidak ditemukan
Tabel 10. Kondisi Lingkungan DaratanParameter Lingkungan Hulu Tengah Hilir Temperatur udara 290C 310C 29,50CTipe tanah Liat Seresah TanahpH 6,6 7 6,8
Tabel 11. Distribusi Longitudinal BambuSpesies Hulu Tengah Hilir
Gigantochloa apus + - -Gigantochloa atrovidaceae - + -Bambusa sp. - + -Bambusa blumeana - - +
B. PEMBAHASAN
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah dan termasuk
dalam ekosistem perairan tawar yang memiliki ciri-ciri antara lain variasi suhu
tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa komponen ekosistem yang
diamati di Daerah Aliran Sungai Sidabowa terdiri dari ekosistem daratan dan
ekosistem perairan. Komponen abiotik pembentuk ekosistem daratan DAS
Sidabowa terdiri dari batu, tanah, udara, kayu, ranting, serasah, kertas, plastik dan
sampah. Komponen biotik pembentuk ekosistem daratan DAS Sungai Sidabowa
antara lain bambu, pisang, singkong, kelapa, rerumputan, kupu-kupu, burung,
katak, semut, capung, nyamuk, belalang, kadal, cacing tanah, jamur dan
mikroorganisme. Adapun komponen abiotik pembentuk ekositem perairan DAS
Sidabowa terdiri dari batu, tanah, plastik, air, kayu, pasir, jarring ikan, alat
pancing dan botol, sedangkan komponen biotiknya terdiri dari moluska, serangga
air, crustacea, tumbuhan,katak, ikan, burung, kupu-kupu, capung dan cacing
tanah.
Interaksi antarkomponen biotik dengan komponen abiotik yaitu hubungan
antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi
dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem juga terdapat struktur
atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Semua organisme
merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan
melalui keragaman interaksinya. Jenis-jenis interaksi dalam ekosistem antara lain:
(a). Interaksi antar organisme.
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain.
Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau
lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Netral, yaitu hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam
habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan
kedua belah pihak. Contohnya adalah antara capung dan sapi.
b. Parasitisme, yaitu hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, dan jika
salah satu organisme hidup mengambil makanan dari hospes/inangnya
sehingga bersifat merugikan inangnya. Contohnya adalah benalu dengan
pohon inang.
c. Komensalisme, merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda
spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan,
yaitu salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan.
Contohnya, Anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
d. Mutualisme, adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
yang saling menguntungkan diantara keduanya. Contohnya bakteri
Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
(b). Interaksi antarpopulasi, yaitu antara populasi yang satu dengan populasi lain
selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.
Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut:
o Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu
menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain.
Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain
karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik
o Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat
kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa
yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi
sapi di padang rumput.
(c). Interaksi antarkomunitas, yaitu kumpulan populasi yang berbeda di suatu
daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya
komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-
macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma.
Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan
dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam
bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme
hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup
kompleks karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga terjadi aliran
energi.
Perbedaan antara ekosistem darat dan air terletak pada ukuran tumbuhan
hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebih sedikit, akan tetapi ukurannya
lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan dan air adalah sebagai berikut:
1. Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organisme daratan
selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dan transpirasi
merupakan proses yang unik dari kehilangan energi pada ingkungan daratan.
2. Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.
3. Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isi-
campuran O2 dan CO2 yang tetap.
4. Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangka yang
kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yang akhir-akhir
ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan.
5. Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah sebagai
barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.
6. Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun, yang
paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumber terbesar
dari bermacam-macam nutrisi 9 nitrit, fosfor, dan sebagainya) yang merupakan
perkembangan besar dari subsistem ekologi (Heddy, 1989).
Hasil pengamatan distribusi bambu di Sungai Banjaran pada daerah hulu,
tengah, dan hilir diperoleh data bahwa pada daerah hulu, spesies bambu yang
dominan adalah Gigantolochoa atter sebanyak 22 individu/100m. Daerah tengah
sungai Banjaran spesies bambu yang dominan adalah Thyrsostachys siamensis 48
individu/100m. Adapun pada daerah hilir, diperoleh bahwa jenis spesies bambu
yang dominan adalah Bambusa vulgaris sebanyak 90 individu/100 meter.
Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung
(Soedomo 1984). Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi
keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan
keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi
pertumbuhan pohon.
Bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat
membentuk rumpun yang besar dan tinggi (Heyne 1987). Pada umulanya
tumbuhan lain akan sulit tumbuh menjadi besar pada daerah yang didominasi oleh
bambu. Pratiwi (2006) yang melakukan penelitian di Gunung Gede Pangrango
menemukan bahwa jumlah maupun jenis vegetasi selain banibu pada tegakan
yang didominasi oleh spesies bambu terbilang rendah sehingga dapat dikatakan
keberadaan spesies ini memiliki tingkat asosiasi yang rendah dengan spesies
tumbuhan lain. Bambu merupakan spesies tumbuhan dengan tingkat adaptasi yang
tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Hal ini terlihat dari penyebaran bambu
baik secara alami maupun sengaja ditanam yang dapat ditemui di daerah datar,
lembah, perbukitan, dan pegunungan berbukit. Sutiyono et al. (1992) juga
menyatakan bahwa, banibu dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi
tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering, tanah becek, tanah
subur, dan tanah tidak subur.
Spesies bambu yang berada di Sungai Sidabowa yaitu bambu apus
(Gigantochloa apus) dan bambu ampel. Klasifikasi bambu ampel (Bambusa
vulgaris) yaitu:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Klas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa vulgaris
Gambar 3.1. Morfologi Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)
a. b.
Gambar 3.2. Karakteristik a. Percabangan b. Rebung c. Daun d.Pelepah Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)
Buluh : Buluh muda hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Panjang
buluh mencapai 25-45 cm, diameter 5-10 cm, tebal 7 -15 mm.
Percabangan : Percabangan 1,5 diatas permukaan tanah setiap ruas terdiri 2 – 5
cabang, termasuk Un equal
Daun : Permukaan bawah daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil
dan membulat, gundul, ligula rata dan gundul.
Pelepah buluh : Tidak mudah luruh, tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh
seperti bingkai, daun pelepah buluh berketuk balik menyegi tiga
dengan ujung sempit.
Rebung : Berwarna kuning atau hijau tertutup bulu coklat hingga hitam
Klasifikasi bambu Apus atau Tali (Gigantolochloa apus Kurz) sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa apus Kurz.
Deskripsi:
Habitus : Pohon, berumpun, tinggi 10-15 m.
d.c.
Batang :Berkayu, bulat, berlubang, beruas-ruas, tunas atau rebung berbulu, putih
kehitaman, hijau.
Daun : Tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal
membulat, panjang 20-30 cm, lebar 4-6 cm, pertulangan sejajar, hijau.
Bunga : Majemuk, bentuk malai, ungu kehitaman.
Bambu biasanya digunakan sebagai tanaman pagar penghias. Batangnya
juga dapat dipakai sebagai alat pembuatan pegangan payung, peralatan
memancing, kerajinan tangan (rak buku), industri pulp dan kertas dan penghalau
angin kencang (wind-break) (Gunawan, 2008). Pengaruh ketinggian tempat
terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung (Soedomo 1984). Artinya
perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh
pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan
lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi daratan di daerah aliran sungai
Banjaran banyak ditumbuhi pepohonan dan tanah yang ada dimanfaatkan
sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan. Pada daerah hulu sungai
Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya batu berpasir dan pH
tanah 6,9. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe
tanahnya berpasir dan pH tanah 5,6. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki
temperatur udara 270C, tipe tanahnya serasah dan pH tanah 6,8. Kondisi ini masih
dalam batas normal untuk pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya
(Dwidjoseputro, 1991).
Distribusi bambu sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain suhu,
curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain (Sutiyono, et al.,
1992). Menurut Koesbiono (1979), daerah yang memiliki curah hujan tahunanan
minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan suhu optimum
antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan bambu.
Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang berada di
dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi pertumbuhannya
lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di tempat dengan
ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5 (Agusnar,
2007). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah dapat
ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah kering
sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang kurang subur.
Hasil pengamatan distribusi moluska di Sungai Banjaran pada daerah hulu,
tengah, dan hilir diperoleh bahwa spesies moluska yang dominan pada daerah
hulu adalah Melanoides maculate sebanyak 6 individu/250 cm. Daerah tengah
sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Pachycilus
indiorum sebanyak 14 individu/250 cm. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki
spesies moluska yang dominan adalah Melanoides granifera 4 individu/250 cm.
Perbedaan distribusi moluska dapat disebabkan karena adanya perbedaan
pengaruh bahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan,
khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri
yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu.
Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya ber kisar antara 5 - 6 jenis,
menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah.
Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan
bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum
(1971), penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah
terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan
komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan
atau bahan pencemar bisa saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau
tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan
tersebut.
Gambar 3.3. Morfologi Moluska di Daerah Hilir Sungai Banjaran
Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang
hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan
35 ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada
kedalaman 7000 m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak,
1978). Menurut Hyman (1967), filum moluska ditandai oleh tubuh yang
lunak, yang tidak terbagi dalam segman, segmen yang biasanya dilindungi
oleh satu atau lebih keping cangkang. Moluska merupakan organisme akuatik
yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat
dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Moluska berperan
penting dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organic
maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang
lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari
moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi
pada sungai tersebut (Mason,1981).
Beberapa moluska yang terdapat di daerah hilir Sungai Banjaran sebagai
berikut:
Deskripsi Brotia insolita
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Klas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Melanatriidae
Genus : Brotia
Spesies : Brotia insolita
Spesies yang ditemukan terutama di air mengalir, sungai cukup oksigen,
kadang-kadang juga di danau. Spesies ini bersifat gonochoristic , dan vivipar,
mengembangkan dan mempertahankan telur relatif muda dalam kantong induk
khusus
Deskrispi Faunus ater menurut Linnaeus (1758)
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Klas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Thiaridae
Genus : Faunus
Spesies :Faunus ater
Deskrispi Pachycilus indiorum
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Klas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Pleuroceridae
Genus : Pachychilus
Spesies : Pachycilus indiorum
Siput air tawar ini cukup luas di Amerika Tengah (Meksiko, Honduras, Belize,
Guatemala), dan Northern Selatan Amerika (Venezuela).
Deskrispi Hemisinus eduardsi
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Klas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Pleuroceridae
Genus : Hemisinus
Spesies : Hemisinus eduardsi
Deskrispi Melanoides granifera
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Klas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Thiaridae
Genus : Melanoides
Spesies : Melanoides granifera
Siput air tawar, spesies ini sangat toleran terhadap air payau , dan telah dicatat di
perairan dengan salinitas sebesar 32,5 ppt (1.024 salinitas gravitasi spesifik). Hal
tersebut adalah iklim yang hangat-spesies. Tampaknya lebih suka kisaran suhu 18
sampai 25°C atau 18 sampai 32 ° C. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan
air mematikan siput suhu tinggi, yaitu sekitar 50 ° C (120 derajat Fahrenheit ).
Berdasarkan relung ekologinya bambu termasuk dalam produsen dan
gastropoda termasuk dalam konsumen. Moluska dalam ekosistem perairan sering
disebut juga sebagai makrobentos. Kehidupan makrobentos pada perairan ini
sangat ditentukan oleh faktor biotik. Keberadaan moluska juga dapat digunakan
sebagai penanda kualitas air sungai. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
moluska di Daerah Aliran Sungai Banjaran antara lain:
a. Gas terlarut
Presentase oksigen di perairan jauh lebih rendah daripada yang ada di
atmosfer yaitu sekitar sepersepuluh atau kurang. Jumlah oksigen dalam air tidak
sekonstan seperti di udara, tetapi berfluktuasi dengan nyata tergantung pada
kedalaman, suhu, angin dan banyaknya kegiatan biologis. Kenaikan suhu atau
keragaman air menyebabkan penurunan dalam kandungan oksigen. Menurut
Ambarita (2010), oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, kehadiran tumbuhan
fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, kekeruhan air, kecepatan aliran air, dan
jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air. Karbondioksida (yang tergabung
dalam air membentuk asam karbonat.), amoniak dan hidrogen sulfida juga
merupakan gas terlarut yang berada dalam air.
b. Kejernihan
Kejernihan berpengaruh terhadap distribusi moluska pada perairan.
Kejernihan disebabkan oleh warna perairan. Curah hujan juga menyebabkan
kejernihan terganggu. Saat hujan turun maka tanah di atasnya akan larut terbawa
dan membawa humus, hal itu yang menyebabkan kejernihan air berkurang, akan
tetapi pada saat itu juga plankton banyak tersebar di sungai yang dapat
dimanfaatkan oleh moluska sebagai makanan.
c. Suhu
Suhu Sungai Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir adalah 270C, kondisi
tersebut normal. Suhu perairan di daerah tropik tentu lebih hangat daripada di
daerah tidak beriklim tropik. Suhu permukaan pada perairan tropik umumnya
250C-280C dan pada perairan yang dangkal biasanya lebih tinggi yaitu 280C-320C.
Suhu yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terutama pada
malam hari. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi
oleh berbagai factor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan
oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.
d. Cahaya
Cahaya sangat diperlukan pada ekosistem perairan sungai. Cahaya
dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis, dan nantinya fitoplankton
tersebut mempunyai peranan produsen pada relung ekologi. Cahaya pada Sungai
Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir mempunyai intensitas yang cukup.
e. Arus air.
Arus air di hulu Sungai Banjaran adalah 0,45 m/s, di bagian tengah 0,6
m/s, dan dibagian hilir 0,4 m/s. Tingginya arus dapat disebabkan oleh aliran
sungai yang relatif lurus dan substrat yang sedikit, sedangkan rendahnya arus
disebabkan oleh air sungai yang dibendung dan tingginya substrat. Substrat dapat
mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepetan arus dalam suatu ekosistem
tidak dapat ditentukan secara pasti karena arus pada suatu perairan sangat
berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air
serta kondisi substrat yang ada (Barus, 2004). Menurut Metcalf & Eddy (1991)
kecepatan aliran air yang memiliki daya angkut dan daya gerus terhadap material
kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan kecepatan aliran air yang mampu mencegah
terjadinya endapan organik adalah 0,3m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75
m/dt diketahui mampu mencegah terjadinya endapan material sedang seperti
pasir. Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi petunjuk tentang jenis atau tipe
sungai. Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literatur geologi pola aliran
(sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan
intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air
tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasaldari air tanah.
Sungai yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir
sepanjang tahun (perennial).
f. pH
pH pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir masih tergolong
normal yaitu 6-7. Menurut Kristanto (2002), nilai pH air yang normal adalah
sekitar 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah, berbeda-beda
tergantung jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya
mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menjadi
asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organic yang
membebaskan CO2 jika mengalami penguraian.
g. Substrat
Substrat pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir umumnya
batuan berpasir. Substrat yang cocok untuk keberadaan moluska sebenarnya
adalah tanah berlumpur. Tanah berpasir tidak cocok untuk moluska, dan biasanya
pada substrat batuan berpasir tersebut moluska akan menguburkan dirinya dalam-
dalam pada batuan pasir tersebut (Ewusie, 1990).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diperoleh
kesimpulansebagai berikut:
1. Penyebaran distribusi bambu yang paling dominan di hilir Sungai Sidabowa
adalah bagian tengah yaitu Bambusa vulgaris, sedangkan penyebaran ditribusi
moluska yang paling dominan di daerah hilir adalah Melanoides granifera.
2. Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau disebut
rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-jaring makanan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu
antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH, dan
substrat.
4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem daratan yaitu cahaya,
temperatur dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan
faktor tiga besar untuk perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, R. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan.
Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press. Medan.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan. USU Press.
Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga, Jakarta.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung.
Gunawan, 2008. “Kajian Sifat-sifat Finishing Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schultes) Kurz)”. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Heddy, S. dan K. Metty. 1989 . Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 11. Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta.
Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. Pasca sarjana Program Studi Lingkungan IPB. Bogor.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York.
Odum, E. P. 1988. Dasar-Dasar Ekologi Edisi 3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons.
PONG-MASAK, P,R, Pirzan, A, M. 2006. Komunitas Makrozoobentos pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah (Macrozoobenthos Community at the Pond Culture Area in Malakosa Coastal, Parigi-Moutong, Central of Sulawesi). B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 4 Oktober 2006 Halaman: 354-360. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan 90512
Pratiwi ERT. 2006. Hubungan antara Peneyebaran Alami Bambu Betung (Dendrocalamzrs asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. Skripsi. Program Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor.
Stuart E. Bunn and Angela H. Arthington. 2002. Basic Principles and Ecological Consequences of Altered Flow Regimes for Aquatic Biodiversity. Springer-Verlag New York Inc. Environmental Management Vol. 30, No. 4, Pp. 492–507.
Sutiyono, Hendromono, M., Wardani dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. (15). 1-25
Verhoef, L. 1957. Tanaman Bambu di Jawa. Lembaga Pusat Penilitian Kehutanan. Bogor. 25 hal.
Irwan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta
Polunin, nicholas. 1997. Teori ekosistem dan penerapannya. Yogyakarta ; Universitas Gajah Mada Press.