LAPORAN TETAP
LABORATORIUM UNIT PROSES
METIL ESTER
Oleh :
KELOMPOK 2
Asisten : MOCH FARID DIMYATI
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
YULIANA STEVANI 03101003016
DINI FUADILLAH 03101003038
MARTHA RIA 03101003050
PRADHITA ARYANI 03101003058
M. FIKRIANSYAH 03101003063
APRILIA ULFA 03101003071
ARISTIA ALISANDI 03101003094
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Energi berperan penting dalam kehidupan manusia. Energi fosil merupakan
energi yang paling banyak digunakan. Begitu juga dengan masyarakat Indonesia
yang hanya menggantungkan kebutuhan energy dari bahan bakar yang berbasis
fosil. Padahal seperti kita ketahui, cadangan energi fosil telah menipis dan akan
segera habis dalam jangka waktu yang tidak panjang.
Penelitian-penelitian sekarang banyak yang membahas mengenai energi baru
dan terbarukan. Salah satu energi baru yang banyak diteliti sekarang adalah
biodiesel. Biodiesel merupakan energi baru yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
yang diproses dengan metode esterifikasi dan transesterifikasi. Seperti namanya,
biodiesel, bahan bakar ini dibuat untuk mesin diesel.
Bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dan biodiesel merupakan dua kandidat
kuat pengganti bensin dan solar yang selama ini digunakan sebagai bahan bakar
mesin Otto dan Diesel. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan pengembangan
dan implementasi dua macam bahan bakar tersebut, bukan hanya untuk
menanggulangi krisis energi yang mendera bangsa namun juga sebagai salah satu
solusi kebangkitan ekonomi masyarakat.
Saat ini pengembangan bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar
fosil terus dilakukan. Biodiesel atau metil ester adalah sebuah alternatif untuk
bahan bakar diesel berbasis minyak bumi yang terbuat dari sumber daya
terbarukan seperti minyak nabati, lemak hewan, atau alga. Metil ester memiliki
sifat pembakaran yang sangat mirip dengan diesel petroleum, dan dapat
menggantikannya dalam menggunakan saat ini. Namun, yang paling sering
digunakan sebagai aditif untuk minyak diesel, meningkatkan pelumasan
dinyatakan rendah bahan bakar solar murni ultra rendah belerang. Ini adalah salah
satu kandidat yang mungkin untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai
sumber energi utama dunia transportasi, karena merupakan bahan bakar
terbarukan yang dapat menggantikan solar pada mesin saat ini dan dapat diangkut
dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini.
Biodiesel terdiri dari asam lemak rantai panjang dengan alkohol terpasang,
sering berasal dari minyak nabati. Yang dihasilkan melalui reaksi minyak nabati
dengan alkohol metil atau etil alkohol dengan adanya katalis. Lemak hewani
adalah sumber potensial. Umumnya katalis digunakan adalah kalium hidroksida
(KOH) atau sodium hidroksida (NaOH). Proses kimia disebut transesterifikasi
menghasilkan biodiesel dan gliserin. Nama kimia biodiesel disebut ester metil jika
alkohol yang digunakan adalah metanol. Jika dalam pembuatan biodiesel
menggunakan etanol maka nama kimianya adalah ester etil. Kedua senyawa ini
sebenarnya sama, akan tetapi dalam pembuatan bidodiesel, kebanyakan
menggunakan metanol karena biaya yang lebih rendah. Biodiesel digunakan
dalam bentuk murni, atau dicampur dalam jumlah dengan bahan bakar solar untuk
digunakan pada mesin pengapian kompres.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui proses-proses yang terjadi untuk membuat metil ester.
2. Mengetahui pengaruh kondisi operasi (temperature,waktu) dalam proses
pembuatan metil ester.
3. Mengetahui pengaruh bahan kimia yang digunakan terhadap metil ester yang
dihasilkan.
4. Mengetahui proses esterfifikasi dan transesterifikasi.
1.3. Permasalahan
1. Bagaimana metode pengolahan minyak jelantah menjadi bahan bakar
alternatif?
2. Bagaimana karakteristik minyak yang digunakan untuk pembuatan biodiesel?
3. Mengetahui faktor-faktor apa saja pada pembuatan biodiesel?
1.4. Hipotesa
Hipotesa yang ditarik sebelum melakukan percobaan ini adalah :
1. FFA yang terkandung pada minyak jelantah untuk proses pembuatan Metil
Ester memiliki kadar yang tinggi.
2. Semakin sedikit kadar FFA maka semakin cepat proses.
3. Semakin lama waktu proses maka Metil Ester yang dihasilkan semakin baik.
1.5. Manfaat
1. Mengetahui dan memahami cara membuat metil ester (biodiesel) dari minyak
jelantah.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses esterifikasi dan
transesterifikasi.
3. Mengetahui karakteristik bahan bakar minyak.
4. Mengetahui keuntungan dan kerugian metil ester (biodiesel).
5. Sebagai sumber wawasan bagi pembaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metil Ester
Metil ester (biodiesel) merupakan suatu nama dari Alkyl Ester atau rantai
panjang asam lemak yang berasal dari minyak nabati maupun lemak hewan.
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar pada mesin yang menggunakan
diesel sebagai bahan bakarnya tanpa memerlukan modifikasi mesin. Biodiesel
tidak mengandung petroleum diesel atau solar.
Metil ester (biodiesel) merupakan salah satu bahan oleokimia dasar yaitu
turunan dari minyak dan lemak selain asam lemak. Metil ester dibuat dari minyak
atau lemak yang merupakan alternatif pengganti asam lemak pilihan untuk
memproduksi sejumlah oleokimia turunan lemak seperti alkohol-asam lemak,
isopropil ester, poliester sukrosa dan lain-lain.
Metil ester dari minyak Sawit (CPO) dihasilkan melalui proses
transesterifikasi trigliserida dari CPO (minyak Sawit). Transesterifikasi adalah
penggantian gugus alkohol dari ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang
menyerupai hidrolisis. Namun berbeda dengan hidrolisis, pada proses
transesterifikasi bahan yang digunakan bukan air melainkan alkohol. Beberapa
jenis alkohol yang digunakan dalam proses transesterifikasi adalah metanol,
etanol, propanol, butanol, dan alkil alkohol. Metanol lebih umum digunakan untuk
proses transesterifikasi karena harganya murah dan lebih mudah untuk direcovery,
walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis alkohol lainnya.
Reaksi ini dapat dikatalisis oleh asam, basa, atau enzim. Transesterifikasi yang
dikatalisis basa lebih cepat daripada yang dikatalisis oleh asam sehingga jauh
lebih banyak digunakan dalm penggunaan komersil. Umumnya, katalis yang
digunakan adalah NaOH atau KOH.
Biodiesel adalah senyawa mono alkil ester yang diproduksi melalui reaksi
tranesterifikasi antara trigliserida (minyak nabati, seperti minyak sawit, minyak
jarak dll) dengan metanol menjadi metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis
basa. Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung
oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya dengan petroleum
diesel (solar) yang komponen utamanya hanya terdiri dari hidro karbon. Jadi
komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda. Biodiesel dapat
mengurangi pencemaran, mengurangi hidrokarbon yang tidak terbakar,
karbonmonoksida, sulfat, polisiklikaromatik hidrokarbon, dan hujan asam.
Sifat – sifat yang terdapat di biodiesel yaitu :
1. Dapat Diperbarui (Renewable)
2. Mudah terurai oleh bakteri (Biodegradable)
3. Ramah Lingkungan
4. Menurunkan emisi (CO, CO2, SO2)
5. Menghilangkan asap hitam
6. Sifat pelumasan lebih bagus
7. Digunakan oleh mesin diesel
Bahan baku yang digunakan untuk pengolahan biodiesel, yaitu :
1. Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RPO) Merupakan minyak hasil
kelapa sawit yang telah mengalami proses pemurnian di Revinery.
2. Metanol (CH3OH) merupakan senyawa alkohol digunakan sebagai pereaksi
yang akan memberikan gugus alkil kepada rantai trigliserida dalam reaksi
biodiesel.
3. Sodium Methylate (NaOCH3) digunakan sebagai katalis (zat yang digunakan
untuk mempercepat reaksi),merupakan katakis basa karena mengandung
alkalinity 30%.
4. Phosporic Acid (H3PO4) digunakan sebagai zat yang akan mengurangi kadar
sabun dalam biodiesel,mengikat getah-getah (gum) dalam biodiesel, bersifat
asam dengan kadar (>85%).
5. Hydrocloric Acid (HCl) digunakan dalam proses Reacrification I, berfungsi
untuk memisahkan Fatty matter di dalam Heavy Phase (Glycerine-water-
methanol) dengan kadar (>30%).
RCOO- (terlarut) + H+ n RCOOH
6. Caustic soda ( NaOH ) ini digunakan untuk penetral pembentukan gliserin.
2.2. Macam-Macam Proses Pembuatan Metil Ester
Proses pembuatanan biodiesel dapat dilakukan dengan dua macam proses :
2.2.1.Esterifikasi
Esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan
alkohol rantai pendek (metanol atau etanol) menghasilkan metil ester asam lemak
(FAME) dan air. Katalis yang digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam,
biasanya asam sulfat (H2SO4) atau asam fosfat (H2PO4). Berdasarkan kandungan
FFA dalam minyak nabati maka proses pembuatan biodiesel secara komersial
dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium
hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan
kandungan FFA rendah.
2. Esterifikasi dengan katalis asam (umumnya menggunakan asam sulfat) untuk
minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi dilanjutkan dengan transesterifikasi
dengan katalis basa.
Esterifikasi merupakan tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.
Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang
cocok adalah zat berkarakter asam kuat, dan karena ini, asam sulfat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa
terpilih dalam praktek industrial. Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung
ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi
120°C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih
(biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikiometrik) dan air produk ikutan
reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak.
Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan
metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya
dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dari
asam lemak menjadi metil ester adalah :
RCOOH + CH3OH RCOOH3 + H2O
Asam Lemak Metanol Metil Ester Air
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar
asam lemak bebas tinggi (berangka-asam P 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam
lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa
diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi
diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang
dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi esterifikasi antara lain :
1. Waktu Reaksi
Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin
besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan
reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan
menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.
2. Pengadukan
Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat pereaksi
dengan zat yang bereaksi sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi
sempurna. Semakin besar tumbukan maka semakin besar pula harga konstanta
kecepatan reaksi. Sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat
larutan minyak katalismetanol merupakan larutan yang immiscible.
3. Katalisator
Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu reaksi
sehingga pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar. Pada
reaksi esterifikasi yang sudah dilakukan biasanya menggunakan konsentrasi
katalis
antara 1-4% berat sampai 10% berat campuran pereaksi.
4. Suhu Reaksi
Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang
dihasilkan. Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA
rendah secara keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol
dari metal ester, pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan methanol,
pencucian dan pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol sebagai produk
samping dan pemurnian metanol tak bereaksi secara destilasi /rectification. Proses
esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung
FFA > 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi
dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun.
Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat
pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama
proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk
mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA
dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk
mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.
2.2.2. Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam minyak
nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek seperti methanol atau
etanol (pada saat ini sebagian besar produksi biodiesel menggunakan metanol)
menghasilkan metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) atau
biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. Katalis yang digunakan
pada proses transeterifikasi adalah basa/alkali, biasanya digunakan natrium
hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH).
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari
trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan
menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Diantara alkohol-alkohol
monohidrik menjadi kandidat sumber atau pemasok gugus alkil, metanol adalah
yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling
tinggi (sehingga reaksi ini disebut metanolisis). Jadi, sebagian besar dunia ini,
biodiesel praktis identik dengan asam lemak metil ester (Fatty Acid Metil Ester)
reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester adalah :
O O
║ ║
H2C-O-C-R1 R1-C-OCH3 H2C-OH
O O ║ ║
HC-O-C-R2 + 3 CH3OH R1-C-OCH3 + HC-OH O O ║ ║
H2C-O-C-R3 R1-C-OCH3 H2C-OH Trigliserida Metanol Metil Ester Gliserol
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya
katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan
lambat. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis
basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Pada reaksi transesterifikasi
sebenarnya berlangsung dalam 3 tahap, yaitu sebagai :
Katalis
Trigliserida (TG) + CH3OH Digliserida (DG) + R1COOCH3
Katalis
Digliserida (DG) + CH3OH Monogliserida (MG) + R2COOCH3
Katalis
Monogliserida (MG) + CH3OH Gliserol (GL) + R3COOCH3
Sifat metil ester (biodiesel) ini sangat mendekati minyak diesel dan tidak
menimbulkan dampak buruk pada pemakaian jangka panjang sehingga sangat
menjanjikan untuk digunakan sebagai pengganti atau pencampur minyak diesel.
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah asam lemak metil
ester. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu :
1. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi.
2. Memisahkan gliserol.
3. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm)
Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan metil ester menginginkan agar
didapatkan produk metil ester dengan jumlah maksimum. Beberapa kondisi reaksi
mempengaruhi konversi perolehan biodiesel melalui transesterifikasi sebagai
berikut :
1. Pengaruh air dan asam lemak bebas
Minyak nabati yang akan ditranseterifikasi harus memiliki aka asam yang
lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak
bebas lebih kecil dari 0,5%. Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus
bebas dari air. Hal ini dikarenakan air akan bereaksi dengan katalis, sehingga
jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak langsung
dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbondioksida.
2. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah
Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3
mol untuk setiapp 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan
konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol
yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah.
Pada rasio molar 6:1 setelah 1 jam konversi yang dihasilkan 98-99%, sedangkan
pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat
memberikan konversi yang maksimum.
3. Pengaruh jenis alkohol
Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dari
pada dengan menggunalan etanol atau butanol.
4. Kemurnian reaktan
Pada kondisi reaktan yang sama, konversi untuk reaksi dengan bahan
baku minyak nabati mentah berkisar antara 67-84%.Hal ini disebabkan oleh
tingginya kandungan asam lemak bebas di dalam minyak nabati mentah, namun
masalah ini dapat diselesaikan denan menggunakan temperatur dan tekanan yang
tinggi.
5. Kecepatan pengadukan
Setiap reaksi dipengaruhi oleh tumbukan antar molekul yang larut dalam
reaksi dengan memperbesar kecepatan pengadukan maka jumlah tumbukan antar
molekul zat pereaksi akan semakin besar, sehingga kecepatan reaksi akan
bertambah besar. Pada proses transesterifikasi, selain menghasilkan metil ester
(biodiesel), hasil sampingnya adalah gliserin (gliserol). Gliserin dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan sabun. Bahan baku sabun ini berperan sebagai
pelembab (moisturing).
6. Pengaruh jenis katalis
Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk proses
transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH) kalium hidroksida (KOH),
natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati
bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) reaksi transesterifikasi akan
menghasilkan konversi yang maksimu dengan jumlah katalis 0,5-1,5%minyak
nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi 0,5%. Penggunaan katalisator
berguna untuk menurunkan tenaga aktifasisehingga reaksi berjalan dengan mudah
bila tenaga aktifasi kecil makaharga konstanta kecepatan reaksi bertambah besar.
Ada tiga golongan katalis yang dapat digunakan, yaitu asam, basa, dan enzim.
Sebagian besar proses transesterifikasi komersial dijalankan dengan katalis basa,
karena reaksinya berlangsing sangat cepat yaitu empat ribu kali lebih cepat
dibanding dengan katalis asam.
7. Pengaruh temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30-65oC (titik didih
metanol 65oC). Semakin tinggi temperatur, konversi yang akan diproleh semakin
tinggi untuk waktu yang lebuh singkat.
2.3. Karakteristik Bahan Bakar Minyak
Karakteristik bahan bakar minyak yang akan dipakai pada suatu penggunaan
tertentu untuk mesin atau peralatan lainnya perlu diketahui terlebih dahulu, agar
hasil pembakaran dapat tercapai secara optimal. Secara umum, karakteristik bahan
baker minyak khususnya minyak solar yang perlu diketahui adalah :
1. Berat Jenis (Specific Gravity)
Berat jenis adalah suatu angka yang menyatakan perbandingan berat bahan
bakar minyak pada temperatur tertentu terhadap air pada volume dan temperatur
yang sama. Bahan bakar minyak umumnya mempunyai specific gravity antara
0,74–0,96, dengan kata lain bahan baker minyak lebih ringan dari pada air.
2. Viskositas
Viskositas adalah suatu angka yang menyatakan besarnya hambatan dari suatu
bahan cair untuk mengalir, atau ukuran besarnya tahanan geser dari bahan cair.
Makin tinggi viskositas minyak, akan makin kental dan makin sulit mengalir,
begitu juga sebaliknya. Viskositas bahan bakar minyak sangat penting artinya,
terutama bagi mesin-mesin diesel maupun ketel uap, karena viskositas minyak
sangat bekaitan dengan supply konsumsi bahan bakar kedalam ruang bakar dan
juga berpengaruh terhadap kesempurnaan proses pengkabutan bahan bakar
malalui injector.
3. Titik Tuang
Titik tuang adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan
bakar minyak sehingga minyak tersebut masih dapat mengalir karena gaya
gravitasi. Titik tuang ini diperlukan sehubungan dengan adanya persyaratan
praktis dari prosedur penimbunan dan pemakaian dari bahan bakar minyak. Hal
ini dikarenakan bahan baker minyak seringkali sulit untuk dipompa apabila
suhunya telah dibawah titik tuangnya.
4. Titik Nyala
Titik nyala adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan
bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan
minyak tersebut didekatkan pada nyala api. Titik nyala diperlukan sehubungan
dengan pertimbangan-pertimbangan mengenai keamanan dari penimbunan
minyak dan pengangkutan bahan bakar minyak terhadap bahaya kebakaran.
2.4. Keuntungan dan Kekurangan Produk
Metil ester (biodiesel) berfungsi sebagai bahan bakar alternatif pengganti
minyak bumi khusus untuk mesin diesel otomotif dan industri. Bahan bakar
minyak diesel disebabkan keuntungan dalam pemakaian yaitu ;
1. Pemakaian bahan bakar mesin diesel 10-25 % lebih kecil dari pada bahan
bakar motor bensin, selain harganya lebih rendah juga mengurangi biaya
operasi.
2. Umur mesin diesel lebih tahan lama 2,5 kali dari motor bensin, jika motor
bensin umurnya efektifnya 6 tahun, maka kendaraan dengan mesin diesel
dapat mencapai 15 tahun atau lebih dengan perawatan dan cara pemakaian
yang sama.
3. Top overhaul mesin diesel biasa dilakukan setiap 3,5 tahun, sedangkan motor
bensin dilakukan setiap 2 tahun.
4. Minyak pelumas yang dipakai oleh motor bensin rata – rata 3 kali lebih sering
diganti dibandingkan dengan mesin diesel
5. Gas buangan dari mesin diesel lebih bersih dibandingkan dengan motor
bensin, karena kadar hidrokarbon yang tidak terbakar dan karbon monoksida
lebih sedikit.
Walaupun mempunyai beberapa kelebihan, namun mesin diesel juga
mempunyai kekurangan antara alin :
1. Untuk torsi yang sama, mesin diesel lebih mahal 5 kali lipat dibandingkan
dengan motor bensin, sedangkan untuk horsepower yang sama harganya akan
tujuh kali lebih besar dari harga motor bensin.
2. Ongkos overhaul pada mesin diesel lebih tinggi, karena memerlukan suku
cadang yang diperkirakan empat kali lebih mahal dibandingkan dengan motor
bensin dengan motor bensin dengan HP yang sama serta bunyinya lebih tidak
disukai.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan yaitu :
1. Erlemeyer 250 ml
2. Labu distilasi
3. Gelas ukur
4. Termometer
5. Alat titrasi
6. Beker Gelas
7. Magnetic stirrer
8. Spatula
9. Corong Pemisah
10. Pipet tetes
Bahan yang digunakan dalam percobaan yaitu :
1. Minyak Goreng baru 1 L
2. Minyak Jelantah 1 L
3. NaOH padat
4. NaOH 0,1 M
5. Aquadest
3.2. Prosedur Percobaan
1. Timbang minyak jelantah sebanyak 100 gram, lalu panaskan di atas hot plate
yang dilengkapi kondensor sampai 70 ºC, jaga suhu agar stabil.
2. Reaksikan katalis NaOH pellet 1 gram ke dalam 58,32 gram etanol dengan
menggunakan magnetic stirrer dan panaskan.
3. Campurkan katalis ke dalam minyak yang dipanaskan. Panaskan sampai 30
menit dan suhu tetap 70 ºC. (Proses transesterifikasi)
4. Setelah 30 menit, minyak dimasukkan ke dalam corong pemisah. Diamkan
semalaman. Akan terbentuk dua fasa.
5. Pisahkan Etil ester yang terbentuk dengan gliserol yang berwarna lebih gelap
dengan pencucian sebanyak 3 kali.
6. Untuk uji % FFA, 5 gram minyak jelantah di campurkan dengan atanol
sebanyak 50 ml dan 3 tetes indikator PP. Titrasi dengan menggunakan larutan
NaOH 0,5 M.
BAB IV
PENGOLAHAN DATA
4.1. Reaksi Esterifikasi
Data percobaan reaksi esterifikasi :
1. Volume metanol = 35 mL
2. Volume minyak jelantah = 100 mL
3. Massa minyak jelantah = 89,7 gram
4. Massa katalis HCl = 2% massa minyak jelantah
= 2% . 89,7 gram
= 1,8 gram
5. Volume gliserol yang terbentuk = 100 mL
Massa gliserol = 88,1 gram
Reaksi : Minyak jelantah + 3 Metanol + HCl → Gliserol + 3 Metanol + HCl
Mol minyak jelantah = 89,7 gram . (1 mol/890 gram)
= 0,1 mol
Massa jenis metanol = 0,7918 gram/mL
Massa metanol = Volume metanol . Massa Jenis metanol
= 35 mL . 0,7918 gram/mL
= 27,713 gram
Mol metanol = Massa metanol : BM metanol
= 27,713 gram . (1 mol/32 gram)
= 0,866 mol
Mol gliserol = Massa gliserol : BM gliserol
= 88,1 gram . (1 mol/92 gram)
= 0,958 mol
Mol HCl = Massa HCl : BM HCl
= 1,8 gram . (1 mol/36,5 gram)
= 0,049 mol
4.2. Reaksi Transesterifikasi
Data percobaan reaksi transesterifikasi :
1. Volume katalis NaOH = 1,7 mL
2. Volume metanol = 35% Volume Gliserol
= 35% . 100 mL
= 35 mL
Reaksi :
CH2COOR1 NaOH CH2OH
CHCOOR2 + 3 CH3OH 3 RCOOCH3 + CHOH
CH2COOR3 CH2OH
Trygliseride Methanol Methyl Ester Glycerol
Upper Phase Lower Phase
3. Volume metil ester akhir = 4 mL
Massa metil ester akhir = 2,7 gram
Massa metanol = Volume metanol . Massa Jenis metanol
= 35 mL . 0,7918 gram/mL
= 27,713 gram
Mol metanol = Massa metanol : BM metanol
= 27,713 gram . (1 mol/32 gram)
= 0,866 mol
Mol metil ester = Massa metil ester : BM metil ester
= 2,7 gram . (1 mol/298 gram)
= 0,0091 mol
BAB V
PEMBAHASAN
Metil ester atau yang biasa dikenal dengan istilah biodiesel dapat diperoleh
melalui 2 tahapan reaksi, yaitu reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Reaksi
esterifikasi merupakan reaksi antara alkohol dan asam karboksilat yang
menghasilkan ester dan air. Alkohol yang digunakan yaitu metanol sedangkan
asam karboksilatnya berupa minyak jelantah. Metanol dipilih sebagai alkohol
pada pembuatan metil ester karena harganya terjangkau serta rantainya pendek
sehingga mudah putus dan bergabung membentuk metil ester. Pembuatan metil
ester juga memerlukan bantuan katalis asam untuk mempercepat terjadinya reaksi.
Katalis asam yang digunakan adalah asam klorida (HCl).
HCl terlebih dahulu direaksikan dengan metanol pada beker gelas untuk
selanjutnya direaksikan ke dalam minyak jelantah. Minyak jelantah dimasukkan
ke dalam labu leher tiga dan dipanaskan sampai suhu 70OC. Labu leher tiga
dilengkapi dengan termometer, hot plate, dan kondensor. Kondensor berfungsi
untuk mengembunkan gas yang terbentuk karena pemanasan minyak jelantah.
Termometer berfungsi menunjukkan suhu reaksi. Pemanas memiliki magnetic
stirrer supaya kenaikan suhu cepat terjadi dan sesuai pada kondisi optimal terjadi.
Rangkaian pembuatan metil ester dilengkapi dengan pompa, ember, serta
pipet hisap. Pompa akan mengalirkan air yang diperlukan kondensor untuk
mendinginkan gas yang terbentuk. Ember berisi air es serta pipet hisap. Heating
mantle sebenarnya juga diperlukan supaya panas yang diterima labu leher tiga
tidak hilang ke lingkungan. Penambahan HCl dan metanol ke dalam minyak
jelantah dilakukan pada suhu 40OC. Reaktan selanjutnya dipanaskan selama 1 jam
dengan suhu antara 55-70OC yang merupakan suhu optimal pembentukan metil
ester (biodiesel). Suhu harus benar-benar dijaga supaya stabil dengan melihat
termometer.
Reaksi esterifikasi ini termasuk proses batch. Produk yang dihasilkan pada
reaksi esterifikasi yaitu gliserol, metanol serta katalis HCl. Produk utamanya yaitu
gliserol untuk selanjutnya dilakukan reaksi transesterifikasi menjadi metil ester.
Untuk mendapatkan gliserol, maka perlu dilakukan pemisahan dengan
menggunakan corong pemisah sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan atas dan
bawah. Lapisan atasnya merupakan campuran metanol dan HCl sedangkan lapisan
bawahnya yaitu gliserol.
Setelah minyak didinginkan dan dihilangkan alkoholnya, dilanjutkan dengan
proses transesterifikasi. Katalis basa yang digunakan yaitu NaOH. Sama seperti
reaksi esterifikasi, metanol ditambahkan terlebih dahulu dengan katalis NaOH.
Minyak dipanaskan sampai suhu 40OC dan selanjutnya ditambahkan metanol dan
NaOH. Pemanasan dilakukan selama 1 jam dengan dijaga kondisi suhu 55-65OC.
Reaksi ini termasuk proses batch. Pada proses ini dihasilkan metil ester, sisa
metanol, gliserol, dan NaOH.
Campuran minyak tersebut selanjutnya perlu diangkat dan didinginkan yang
bertujuan untuk menghilangkan alkohol. Dua lapisan akan terbentuk apabila
campuran minyak didiamkan selama 24 jam dengan corong pemisah. Lapisan atas
yaitu metil ester dan lapisan bawah yaitu gliserol serta campuran lainnya. Metil
ester yang sudah dipisahkan perlu dicuci dengan air yang telah dipanaskan dengan
suhu 50OC. Pencucian dilakukan beberapa kali supaya campuran terlihat bersih.
Terakhir lakukan pemanasan pada metil ester (biodiesel) sampai suhu 100OC
untuk menghilangkan kadar alkohol yang masih ada pada biodiesel.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produk metil ester yang terbentuk
dari reaksi ini, yaitu waktu reaksi, proses pengadukan, katalisator atau katalis
yang digunakan, dan juga suhu akan sangat berpengaruh pada reaksi ini. Supaya
proses menghasilkan konversi maksimal, maka perlu mengikuti prosedur dengan
benar. Beberapa kesalahan sangat mungkin terjadi pada percobaan ini diantaranya
adalah kesalahan yang berasal dari alat yang digunakan, misalnya alat yang
digunakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya ataupun alat atau bahan kurang
steril. Selain itu kesalahan paling dominan yang terjadi adalah akibat dari
praktikan itu sendiri, diantaranya adalah kekurang telitian para praktikan dalam
melakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan. Sehingga dapat
berpengaruh pada proses pembuatan biodiesel.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Metode pembuatan metil ester di dapatkan dari dua jenis reaksi, yaitu
tranesterifikasi dan esterifikasi. Proses Transesterifikasi adalah tahap konversi
dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan
alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol.
2. Karakteristik pada bahan bakar minyak :
a). Berat Jenis (Specific Gravity)
Bahan bakar minyak umumnya mempunyai specific gravity antara 0,74 –
0,96, dengan kata lain bahan baker minyak lebih ringan dari pada air.
b). Viskositas
Makin tinggi viskositas minyak, akan makin kental dan makin sulit
mengalir, begitu juga sebaliknya.
3. Metil ester adalah suatu senyawa yang merupakan produk dari reaksi antara
asam lemak bebas dan alkohol rantai pendek (methanol).
4. Faktor- faktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan biodiesel adalah:
a). Semakin cepat proses pengadukan maka kenaikan suhu semakin cepat.
b). Temperatur reaksi saat terbentuknya metil ester yaitu 55-70OC.
c). Waktu reaksi terbentuknya metil ester yaitu 1 jam.
5. Metil ester atau biodiesel dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti
minyak bumi.
6.2. Saran
1. Praktikan harus menjaga kondisi operasi.
2. Pensterilan peralatan dan bahan.
3. Keteltian dalam pengukuran bahan.
LAMPIRAN GAMBAR ALAT
T
t
a Getabung
reaksiLAS
BEKER GLASS
SCHOTT
250
200
150
100
50
Erlenmeyer
MAGNETIC STIRRER
HOT PLATE
dfkfjd
Tabung reaksi spatula
Hot Plate
Gambar Hasil Pengamatan
Campuan ME + Gliserol
Gliserol
ME Sebelum Pencucian
ME Setelah Pencucian
ME + Air Setelah Pencucian Sebanyak 5 Kali
DAFTAR PUSTAKA
Fachry, H.A.Rasyid. 2012. Pedoman Praktikum Unit Proses. Indralaya :
Laboratorium Unit Proses dan Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sriwijaya
Fogler, H., Scott.1999, Elements of Chemical Reaction Engineering, 3rd edition,
Prentice Hall International Series in the Physical and Chemical
Engineering Series.
Fresenden & Fresenden. 1994. Kimia Organik Jilid 2, Edisi Tiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Maron, S.H and Lando, J.B. 1974, Fundamentals of Physical Chemistry, New
York: Collier-Macmillan Canada Ltd
Mittelbach, M and C. Remschmidt. 2004. “Biodiesel : The Comprehensive
Handbook 1st Edition”. Vienna : Boersedruck Ges.m.b.H
Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT. 2003. “Laporan Kegiatan
Pengembangan Biodiesel Sebagai Energi Alternatif”. Jakarta : BPPT
Proses Reaksi Esterifikasi dan Trans-Esterifikasi Pada Pembuatan Biodiesel
(Metil Ester)
A. Latar Belakang
Ester diturunkan dari asam karboksilat (-COOH). Sebuah asam karboksilat
mengandung gugus -COOH, dan pada sebuah ester hidrogen di gugus ini
digantikan oleh sebuah gugus hidrokarbon dari beberapa jenis. Disini kita hanya
akan melihat kasus-kasus dimana hidrogen pada gugus -COOH digantikan oleh
sebuah gugus alkil, meskipun tidak jauh beda jika diganti dengan sebuah gugus
aril (yang berdasarkan pada sebuah cincin benzen). Biodiesel dapat dibuat dari
transesterifikasi asam lemak. Asam lemak dari minyak lemak nabati direaksikan
dengan alkohol menghasilkan ester dan produk samping berupa gliserin yang juga
bernilai ekonomis cukup tinggi.
Biodiesel banyak digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar. Bahan
baku biodiesel yang dikembangkan bergantung pada sumber daya alam pada suatu
negara, minyak kanola di Jerman dan Austria, minyak kedelei di Amerika Serikat,
minyak sawit di Malaysia, dan minyak kelapa di Filipina Indonesia mempunyai
banyak sekali tanaman penghasil minyak lemak nabati, diantaranya adalah kelapa
sawit, kelapa, jarak pagar, jarak, nyamplung, dan lain-lain.
Seperti reaksi kimia pada umumnya, pada reaksi esterifikasi dan
transesterifikasi ditambahkan katalis untuk mempercepat laju reaksi dan
meningkatkan perolehan. Katalis Reaksi Esterifikasi : Reaksi esterifikasi berjalan
baik jika dalam suasana asam. Katalis yang sering digunakan untuk reaksi ini
adalah asam mineral kuat, garam, gel silika, dan resin penukar kation. Asam
mineral yang banyak dipakai adalah asam klorida, asam sulfat, dan asam fosfat.
Asam klorida banyak dipakai untuk skala laboratorium, namun jarang dipakai
untuk skala industri karena sangat korosif. Selain asam mineral, katalis yang
sering dipakai adalah resin penukar kation. Keunggulan katalis ini adalah fasanya
yang padat sehingga pemisahannya lebih mudah dan dapat dipakai berulang.
Selain itu, ester yang terbentuk tidak perlu dinetralkan. Namun, resin penukar
kation merupakan katalis yang mahal dibandingkan dengan asam mineral.
TUGAS UMUM
Katalis Reaksi Transesterifikasi, katalis yang sering digunakan untuk reaksi
transesterifikasi yaitu alkali, asam, atau enzim. Penggunaan enzim masih belum
umum dibandingkan alkali dan basa karena harganya mahal dan belum banyak
penelitian yang membahas kinerja katalis ini. Alkali yang sering digunakan yaitu
natrium metoksida (NaOCH3), natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida
(KOH), kalium metoksida, natrium amida, natrium hidrida, kalium amida, dan
kalium hidrida. Natium hidroksida dan natrium metoksida merupakan katalis yang
paling banyak digunakan. Natrium metoksida lebih efektif dibandingkan natrium
hidroksida tetapi harganya lebih mahal dan beracun. Untuk perbandingan molar
alkohol dan asam lemak 6:1, perolehan ester untuk NaOH 1% dan NaOCH3 0,5%
hampir sama setelah direaksikan selama 60 menit Namun, pada perbandingan
molar alkohol dan asam lemak 3:1, katalis natrium metoksida menunjukkan hasil
yang lebih baik.
Kalium hidroksida (KOH) mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan katalis lainnya. Pada akhir proses, KOH yang tersisa dapat dinetralkan
dengan asam fosfat menjadi pupuk (K3PO4) sehingga proses produksi biodiesel
dengan katalis KOH tidak menghasilkan limbah cair yang berbahaya bagi
lingkungan. Selain itu, KOH dapat dibuat dari abu pembakaran limbah padat
pembuatan minyak nabati. Asam yang dapat digunakan diantaranya asam sulfat
(H2SO4), asam fosfat, asam klorida, dan asam organik. Katalis asam yang paling
banyak banyak dipakai adalah asam sulfat.
Pada kondisi operasi yang sama, katalis alkali jauh lebih cepat daripada
katalis asam. Alkali dapat memberikan perolehan yang tinggi untuk waktu reaksi
sekitar 1 jam sedangkan asam baru memberikan perolehan ester yang tinggi
setelah bereaksi selama 3-48 jam. Pada alkali perolehan ester akan memuaskan
untuk perbandingan molar alkohol dan asam lemak 6:1 sedangkan pada asam baru
memberikan perolehan ester yang memuaskan untuk perbandingan molar alkohol
dan asam lemak 30:1. Tetapi, katalis alkali tidak mengizinkan adanya kandungan
asam lemak bebas dalam jumlah besar pada reaktan karena akan terjadi reaksi
penyabunan. Oleh karena itu, untuk minyak nabati yang banyak mengandung
asam lemak bebas dan air maka penggunaan katalis asam patut dipertimbangkan.
B). Reaksi Pembuatan Biodiesel
Ester dapat dibuat dari minyak lemak nabati dengan reaksi esterifikasi atau
transesterifikasi atau gabungan keduanya.
1). Reaksi Esterifikasi
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak bebas dengan alkohol
membentuk ester dan air. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi endoterm,
sehingga memerlukan pasokan kalor dari luar. Temperatur untuk pemanasan tidak
terlalu tinggi yaitu 55-60oC. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan sebelum atau
sesudah reaksi transesterifikasi. Reaksi esterifikasi dilakukan sebelum reaksi
transesterifikasi jika minyak yang diumpankan mengandung asam lemak bebas
tinggi (>0.5%). Dengan reaksi esterifikasi, kandungan asam lemak bebas dapat
dihilangkan dan diperoleh tambahan ester.
Esterifikasi adalah reaksi asam lemak bebas dengan alkohol membentuk ester
dan air. Dengan esterifikasi, kandungan asam lemak bebas dapat dihilangkan dan
diperoleh tambahan ester. Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika
minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi
(>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi
dengan katalis membentuk sabun. Esterifikasi digunakan sebagai proses
pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga
mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi
dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.
Esterifikasi hanya dapat dilakukan jika umpan yang direaksikan dengan alkohol
mengandung asam lemak bebas tinggi.
Esterifikasi adalah reaksi asam lemak bebas dengan alkohol membentuk ester dan
air. Reaksi ini dapat dilakukan sebelum atau sesudah transesterifikasi. Esterifikasi
biasanya dilakukan sebelum transesterifikasi jika minyak yang diumpankan
mengandung asam lemak bebas tinggi (>1%). Dengan esterifikasi, kandungan
asam lemak bebas dapat dihilangkan dan diperoleh tambahan ester. Katalis-katalis
asam untuk proses pra-esterifikasi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
a. Katalis yang berwujud cair atau gas seperti H2SO4, HCl, dan berbagai asam
organosulfonat, yang umumnya larut dalam campuran reaksi sehingga
membutuhkan penetralan sesudah reaksi selesai;
b. Katalis berwujud padatan yang tak larut dalam campuran reaksi, misalnya
natrium, kalium, atau amonium bisulfat dan resin penukar ion asam kuat dalam
bentuk H katalis seperti ini menguntungkan karena dapat dipisahkan dengan
penyaringan pada akhir reaksi sehingga dapat digunakan berulang-ulang.
Reaksi esterifikasinya sendiri lazim dilaksanakan pada temperatur di sekitar
titik didih metanol. Untuk menghasilkan derajat esterifikasi yang sempurna, selain
reaktan metanol harus dipasok dalam jumlah yang banyak berlebih, air yang
merupakan produk reaksi juga harus disingkirkan, umumnya dengan
menggunakan desikan seperti CaCl2,,CaSO4, dan molecular sieve.
2). Reaksi Transesterifikasi
Reaksi Transesterifikasi sering disebut reaksi alkoholisis, yaitu reaksi antara
trigliserida dengan alkohol menghasilkan ester dan gliserin. Alkohol yang sering
digunakan adalah metanol, etanol, dan isopropanol.Trigliserida bereaksi dengan
alkohol membentuk ester dan gliserin. Kedua produk reaksi ini membentuk dua
fasa yang mudah dipisahkan. Fasa gliserin terletak dibawah dan fasa ester alkil
diatas. Ester dapat dimurnikan lebih lanjut untuk memperoleh biodiesel yang
sesuai dengan standard yang telah ditetapkan, sedangkan gliserin dimurnikan
sebagai produk samping pembuatan biodiesel. Gliserin merupakan senyawaan
penting dalam industri. Gliserin banyak digunakan sebagai pelarut, bahan
kosmetik, sabun cair, dan lain-lain. Pengotor yang ada dalam biodiesel
diantaranya gliserin, air, dan alkohol sisa. Pemisahan pengotor dilakukan untuk
mendapatkan biodiesel yang memenuhi kriteria untuk dijadikan bahan bakar.
Transesterifikasi atau sering disebut sebagai alkoholisis adalah reaksi antara
trigliserida dengan alkohol menghasilkan ester dan gliserin. Alkohol yang sering
digunakan adalah metanol, etanol, dan isopropanol sedangkan katalis yang sering
digunakan adalah KOH maupun NaOH.
Gliserin dan ester membentuk dua fasa yang tidak saling larut. Gliserin yang
berada di lapisan bawah karena densitasnya lebih besar dari ester. Pemisahan
gliserin dari ester dapat dilakukan dengan cara dekantasi.Gliserin merupakan
produk samping proses pembuatan biodiesel yang bernilai ekonomis tinggi yang
dapat dijual dalam keadaan mentah (crude glycerin) atau gliserin yang
dimurnikan. Pemurnian gliserin akan lebih sulit jika terbentuk sabun hasil reaksi
asam lemak bebas dengan basa.
Air salah satu produk samping reaksi esterifikasi adalah air. Air harus
dihilangkan sebelum reaksi transesterifikasi. Pemisahan air ini dapat dilakukan
dengan penguapan atau menggunakan absorber. Pemisahan air dengan penguapan
lebih banyak dilakukan dalam industri biodiesel karena lebih murah. Air menjadi
sulit dipisahkan jika terdapat sabun hasil reaksi asam lemak bebas dengan basa.
Air akan berikatan dengan sabun dan gliserin sehingga pemisahannya menjadi
sulit.
Sebuah katalis biasanya dipakai untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan
hasil. Karena reaksi reversibel, maka alkohol ekses digunakan untuk mengganti
kesetimbangan ke arah produk. Alkohol yang digunakan biasanya metanol dan
etanol, metanol lebih sering digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu seperti polar dan rantai alkohol pendek. Untuk stokiometri transesterifikasi
perbandingan molar antara alkohol dan trigliserid adalah 3:1. Dalam prakteknya
ratio yang dibutuhkan lebih tinggi untuk mengatur agar hasil ester menjadi
maksimum.
Trigliserida metanol gliserol metil ester
Gambar 1. Reaksi Transesterifikasi
Transesterifikasi minyak menjadi biodiesel (asam lemak metil ester, FAME)
dapat digunakan katalis basa, asam, dan enzim. Dalam katalis basa meliputi
katalis basa homogen dan katalis basa heterogen . Yang umum digunakan sebagai
katalis homogen adalah NaOH dan KOH. Transesterifikasi dengan katalis basa
katalis
C R''
O
C R'
O
O
C R
+
H2C O
OC2H
OCH
H
H
H
kalor
O
O
OC
C
C
HC O
H2C O
OC2H R
R'
R''
+ 3 CH3OH
CH3O
CH3O
CH3O
lebih cepat dari pada transesterifikasi menggunakan katalis asam. Namun,
dibutuhkan air yang cukup banyak untuk memindahkan katalis dari produk. Oleh
karena itu, biaya pemisahan katalis dari produk akan lebih mahal.
Transesterifikasi adalah suatu proses penggantian alkohol dari gugus ester
(trigliserida) dengan ester lain atau mengubah asam–asam lemak ke dalam bentuk
ester sehingga menghasilkan alkyl ester. Proses dikenal sebagai proses
alkoholisis. Proses alkoholisis ini merupakan reaksi biasanya berjalan lambat
namun dapat dipercepat dengan bantuan katalis. Katalis yang biasa digunakan
adalah katalis asam seperti HCl dan H2SO4, dan katalis basa NaOH dan KOH.
Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi utama dalam pembuatan biodiesel.
Pada reaksi ini, trigliserida (minyak) bereaksi dengan metanol dalam katalis basa
untuk menghasilkan biodiesel dan gliserol (gliserin). Sampai tahap ini, pembuatan
biodiesel telah selesai dan dapat digunakan sebagai bahan bakar yang mengurangi
pemakaian solar.
3). Rute-Rute Proses Pembuatan Biodiesel
Pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak berasam lemak bebas tinggi
akan menimbulkan banyak rute karena diperlukan satu reaksi atau lebih dan
pemisahannya. berikut ini gambaran singkat mengenai rute-rute pembuatan
biodiesel.
a) Rute I (transesterifikasi – esterifikasi)
Pada rute ini, pembuatan ester alkil dari minyak nabati dilakukan dengan
dua reaksi, transesterifikasi dan esterifikasi.Asam lemak bebas dalam minyak
lemak nabati direaksikan dengan basa membentuk sabun. Semua asam lemak
bebas dikonversi menjadi sabun, sehingga minyak nabati yang masuk reaktor
transesterifikasi bebas asam lemak bebas. Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan
satu tahap atau dua tahap, pada reaksi dua tahap dilakukan pemisahan gliserin di
tengah-tengah reaksi, hal ini dilakukan agar kesetimbangan reaksi bergeser ke
kanan, sehingga konversi yang diperoleh lebih tinggi.
Hasil yang diperoleh dari keluaran reaktor transesterifikasi adalah ester,
gliserin, sabun, dan pengotor. Ester dipisahkan dari produk dan sabun diubah
kembali menjadi asam lemak bebas dengan pengasaman. Asam lemak dapat
diubah menjadi ester alkil dengan reaksi esterifikasi. Asam lemak bebas bereaksi
dengan alkohol menjadi ester dan air. Pada reaksi ini digunakan katalis asam,
dapat berupa katalis homogen (cair) atau heterogen (padat). Katalis padat dapat
memudahkan dalam proses pemisahan produk karena dapat disaring untuk
kemudian dipakai kembali. Selain menghasilkan ester, reaksi esterifikasi juga
menghasilkan produk samping berupa air.
Ester hasil reaksi esterifikasi masih bercampur dengan pengotor-pengotor
sehingga harus dimurnikan. Pengotor paling banyak adalah gliserin. Gliserin
mempunyai massa jenis yang lebih besar daripada ester sehingga fasa gliserin
berada di bawah, pemisahannya dapat dilakukan dengan dekantasi. Gliserin dapat
dimurnikan lebih lanjut dan menjadi produk samping yang bernilai ekonomi
cukup tinggi. Biodiesel hasil reaksi esterifikasi dicampurkan kembali dengan
biodiesel hasil reaksi transesterifikasi. Biodiesel yang dihasilkan masih berupa
produk mentah sehingga perlu dimurnikan. Pemurniannya dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan pencucian menggunakan air atau pemurnian dengan
penukar ion (penukar anion untuk mengikat asam dan penukar kation untuk
mengikat basa yang tersisa dari reaksi transesterifikasi). Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan garam, alkohol, dan pengotor yang larut dalam air. Rute ini
tidak sesuai untuk memproduksi biodiesel dari minyak lemak nabati yang
mengandung asam lemak bebas tinggi karena memerlukan bahan baku berupa
asam dan basa relatif lebih banyak.
b). Rute II (esterifikasi – transesterifikasi).
Seperti pada rute I, Rute ini juga menggunakan dua reaksi, yaitu esterifikasi
dan transesterifikasi, namun pada rute ini reaksi esterifikasi dilakukan sebelum
reaksi tranesterifikasi. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan asam lemak bebas
sekaligus menambah perolehan biodiesel. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan
dengan katalis homogen maupun heterogen. Esterifikasi dengan katalis homogen
menghasilkan produk yang bersifat asam sehingga sebelum reaksi
transesterifikasi, kelebihan asam ini harus dinetralkan terlebih dahulu. Penetralan
dapat dilakukan dengan penambahan basa atau menggunakan resin penukar anion.
Penetralan menggunakan basa menghasilkan garam yang dapat menjadi pengotor,
hal ini tidak terjadi pada penetralan menggunakan penukar ion.
Reaksi esterifikasi menghasilkan produk samping berupa air. Air harus
dipisahkan sebelum reaksi transesterifikasi. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan
penguapan atau menggunakan absorber.Umpan masuk reaktor transesterifikasi
berupa trigliserida, ester, dan pengotor. Trigliserida direaksikan dengan metanol
menghasilkan ester dan gliserin. Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan dua
tahap untuk mendapatkan konversi tinggi. Pada reaksi dua tahap, pemisahan
gliserin dilakukan diantara kedua reaksi. Pemisahan gliserin ini berguna untuk
menggeser kesetimbangan ke kanan sehingga konversinnya menjadi lebih tinggi.
Reaksi transesterifikasi menghasilkan produk samping berupa gliserin. Ester
dan gliserin tidak saling larut sehingga dapat dipisahkan dengan dekantasi. Fasa
ester dimurnikan lebih lanjut untuk mendapatkan biodiesel yang sesuai dengan
standard mutu yang disyaratkan. Fasa ester masih mengandung pengotor-
pengotor, seperti: sisa katalis, garam, metanol, dan pengotor lainnya. Pemurnian
fasa ester alkil dapat dilakukan dua cara, yaitu pencucian dengan air atau
menggunakan penukar ion.
c). Rute III (esterifikasi dengan metanol superkritik)
Metanol superkritik adalah metanol yang berada pada kondisi diatas
temperatur dan tekanan kritiknya, yaitu 350oC dan 30 MPa. Esterifikasi dengan
metanol superkritik mempunyai beberapa keunggulan yaitu waktu yang
diperlukan untuk mencapai konversi yang diinginkan jauh lebih kecil daripada
dengan cara konvensional dan proses pemisahan produknya lebih mudah karena
tidak menggunakan katalis, sehingga tidak ada pengotor berupa katalis sisa.
Namun, esterifikasi ini juga mampunyai kelemahan yaitu kondisi operasi harus
pada temperatur dan tekanan tinggi.
Dari aspek ekonomi, proses transesterifikasi tanpa katalis tampaknya sangat
sulit dilakukan karena ester yang akan di bakar dalam mesin diesel memerlukan
input energi yang tinggi, waktu reaksi yang lama, dan harga pasar yang rendah.
Karena itu, agar hasil esternya memuaskan, produksi biodiesel secara umum perlu
menggunakan katalis. Katalis adalah suatu bahan yang digunakan untuk memulai
reaksi dengan bahan lain. Katalis dimanfaatkan untuk mempercepat suatu reaksi,
terlibat dalam reaksi tetapi tidak ikut bereaksi serta tidak ikut terkonsumsi menjadi
produk. Pemilihan katalis ini bergantung pada jenis asam lemak yang terkandung
dalam minyak. Jenis asam lemak dalam lemak sangat berpengaruh terhadap
karakteristik fisik dan kimia biodiesel, karena asam lemak akan membentuk ester
atau biodiesel.
Reaksi penyabunan merupakan reaksi samping yang tidak dikehendaki. Hal
ini terlihat pada saat ekstraksi adanya gumpalan–gumpalan putih yang melekat
pada dinding corong pemisah yang mengakibatkan proses ekstraksi menjadi sulit
dan memerlukan ekstraksi berulang–ulang. Dengan adanya reaksi samping yang
berupa penyabunan inilah konversi minyak menjadi ester (biodiesel) menjadi
kecil. Karena itu, reaksi transesterifikasi dengan katalisator KOH dan NaOH
disarankan untuk minyak nabati yang melewati tahapan deasifikasi sehingga kadar
air kurang dari 0,3% dan kadar FFA kurang dari 0,5%. Sedangkan pada katalisator
asam tidak menyebabkan reaksi penyabunan seperti halnya pada katalisator basa.
Berbagai asam kuat dapat digunakan sebagai katalis dalam reaksi pembuatan
biodiesel. Rekasi pembuatan ini biasanya yang berjenis esterifikasi. Beberapa
contoh katalis asam adalah Asam klorida atau HCl dan asam sulfat atau H2SO4
dan asam posphat. Beberapa ion exchange resin yang bertipe asam juga dapat
digunakan sebagai katalis padat antara lain Amberlyst. Kalsium karbonat padat
dapat juga digunakan dalam proses homogen katalitik. Katalis asam ini akan
dinetralkan setelah reaksi berjalan sempurna. Penetralan dapat dilakukan dengan
penambahan katalis basa sekaligus mereaksikan sisa trigliserida.
Asam sulfat (H2SO4) merupakan cairan yang bersifat korosif, tidak berwarna,
tidak berbau, sangat reaktif dan mampu melarutkan berbagai logam. Bahan kimia
ini dapat larut dengan air dengan segala perbandingan,mempunyai titik leleh
10,49oC dan titik didih pada 340oC tergantung kepekatan serta pada temperatur
300oC atau lebih terdekomposisi menghasilkan sulfur trioksida.
Sifat – sifat fisika dan kimia Natrium hidroksida (NaOH) pada tabel berikut :
Tabel 1. Sifat Fisika dan Kimia NaOH
Massa molar 40 g/mol
Wujud Zat padat
putih
Specific gravity 2,130
Tiitik leleh 318,4 °C
(591 K)
Titik didih 1390 °C
(1663 K)
Kelarutan dalam air 111 g/100
ml (20 °C)
Kebasaan (pKb) -2,43
Sumber : (Perry,1984)
Sifat – sifat asam sulfat ditunjukkan pada tabel :
Tabel 2. Sifat Fisika dan Kimia Asam Sulfat
Berat molekul 98,08 g/gmol
Titik leleh 10,49°C
Titik didih 340°C
Spesific gravity 1,834
Warna Tidak berwarna
Wujud Cair
Sumber : ( Perry, 1984)
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah,S.H. 2009. Production Of Biodiesel From Waste Cooking Oil And RBD
Palm Oil Using Batch Transesterification Process. UMP: Malaysia
Hanun, Farida. 2009. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dari Unit
Deoiling Ponds Menggunakan Membrans Mikro Filtrasi. Medan: USU.
Shintawaty, Aamalia. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol
Sebagai Bahan Bakar Alternatif Di Indonesia. Jakarta : Economic Review.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
www.kimiadahsyat.blogspot.com/2011/02/praktikum-esterfikasi.html, di askes
pada tanggal 28 Oktober 2013
KATALIS PADA BIODISEL
Biodiesel merupakan bahan bakar yang diperoleh dari proses esterifikasi
atau transesterifikasi asam lemak dengan alkohol dan bantuan katalis. Asam
lemak tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan ataupun dari hewan yang
viskositasnya hampir sama dengan solar. Biodiesel dapat diperoleh melalui suatu
proses yang disebut reaksi esterifikasi asam lemak bebas atau reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol dan dari reaksi ini akan dihasilkan
metil ester/etil ester asam lemak dan gliserida
Trigliserida + Metanol /Eter Metil ester/Etil ester + Gliserol
Kadar polusi yang ditimbulkannya rendah dibandingkan solar, emisi gas
buang lokal lebih aman. Emisi langsung kendaraan diesel dengan bahan bakar
biodiesel lebih tidak beracun dibandingkan dengan bahan bakar solar. Efek
pengurangan karbon monoksida yang sangat beracun, efek pengurangan emisi
hidrokarbon tak terbakar (unburn hydrocarbon) adalah keuntungan pemakaian
biodiesel secara langsung karena membantu pengurangan efek pemanasan global
yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
Biodiesel memiliki efek pelumasan yang sangat tinggi, sehingga membuat
mesin diesel lebih awet. Biodiesel juga memiliki angka setana relatif tinggi,
mengurangi ketukan pada mesin sehingga mesin bekerja lebih mulus. Biodiesel
juga memiliki flash point yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar, tidak
menimbulkan bau yang berbahaya sehingga lebih mudah dan aman untuk
ditangani. Keunggulan biodiesel lainya seperti dapat diperbaharui, biodegradabel
(dapat terurai oleh mikroorganisme), tidak mengandung sulfur dan benzene yang
mempunyai sifat karsinogen. Dapat dengan mudah dicampur dengan solar dalam
berbagai komposisi dan tidak memerlukan modifikasi mesin apapun. Mengurangi
asap hitam dari gas buang mesin diesel secara signifikan walaupun penambahan
hanya 5%–10% volum biodiesel kedalam solar, memberikan nilai tambah pada
sektor agribisnis mendorong penggunaan biodiesel mulai mendapat perhatian
dunia sebagai alternatif bahan bakar pengganti solar. Katalis adalah suatu zat yang
mempercepat suatu laju reaksi dan menurunkan energi aktivasi, namun zat
katalis
Nama : Yuliana Stevani
Nim : 03101003016
tersebut tidak habis bereaksi. Ketika reaksi selesai, kita akan mendapatkan massa
katalis yang sama seperti pada awal kita tambahkan.
Zat yang menghambat berlangsungnya reaksi disebut inhibitor. Dalam
suatu reaksi kimia, katalis tidak ikut bereaksi secara tetap sehingga dianggap tidak
ikut bereaksi. Secara umum, katalis yang digunakan dalam reaksi kimia ada tiga
jenis, yaitu katalis homogen, katalis heterogen, biokatalis (enzim), dan autokatalis.
1). Katalis Homogen
Katalis homogen adalah katalis yang wujudnya sama dengan wujud
reaktannya. Dalam reaksi kimia, katalis homogen berfungsi sebagai zat perantara.
Beberapa jenis katalis homogen yang telah digunakan antara lain NaOH, KOH,
ZA, ZA kering, ZKOH, dan Z-KOH kering terjadi reaksi dibawah ini:
O ||
H2C O C R’ O O H2C OH || Katalis || |
CH O C R’’ + CH3OH 3R C OCH3 + HC OH O |
|| H2C OH H2C O C R’’’ Trigliserida Metanol Metil Ester Gliserol
Gambar 1. Reaksi Transesterifikasi Dengan Katalis Homogen
Penggunaan katalis mempunyai kekurangan seperti sifat korosif tinggi dan
katalis tidak mungkin digunakan kembali sehingga pada proses pembuatan metil
ester. NaOH dibuang dalam bentuk larutan dan mengganggu lingkungan.
2). Katalis Heterogen
Katalis heterogen adalah katalis yang wujudnya berbeda dengan wujud
reaktannya. Reaksi zat-zat yang melibatkan katalis jenis ini, berlangsung pada
permukaan katalis tersebut. Reaksi fase gas dan fase cair dikatalisa oleh katalis
heterogen biasanya lebih mungkin terjadi di permukaan katalis dari pada di fase
gas atau fase cair. Untuk alasan ini maka kadangkala katalis heterogen disebut
katalis kontak. Beberapa jenis katalis heterogen yang telah dilaporkan antara lain
CaO, MgO. Proses katalis heterogen sedikitnya dapat melalui 4 tahap yakni:
1. Difusi produk dari permukaan katalis
2. Reaksi reaktan yang diserap
3. Aktivasi penyerapan reaktan
4. Adsorpsi reaktan pada permukaan katalis
Biokatalis adalah katalis yang memiliki keunggulan sifat (aktivitas tinggi,
selektivitas dan spesifitas) sehingga dapat dapat membantu proses–proses kimia
kompleks pada kondisi lunak dan ramah lingkungan. Kelemahannya antara lain
sangat mahal, sering tidak stabil, mudah terhambat, tidak dapat diperoleh kembali
setelah dipakai. Salah satu Biokatalis yang telah dilaporkan penggunaanya adalah
Enzim lipase (Triacylglycerol Acllydrolases).
Enzim lipase atau enzim pemecah lemak dipakai dalam reaksi pembuatan
biodiesel. Enzim itu dapat mengatalisis, menghidrolisis, serta menyintesis bentuk
ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang seperti halnya minyak goreng
dan jelantah. Berbeda dengan katalis soda api yang masih menghasilkan limbah,
katalis enzim tidak menghasilkan limbah. Pasalnya, dengan menggunakan enzim
lipase, asam lemak bebas akan larut dan menjadi biodiesel. Yang diperlukan
hanya menyaring kotoran-kotoran berupa kerak yang sering ada, khususnya pada
minyak jelantah.
Untuk membuat biodiesel dengan katalis enzim lipase, hal yang harus
dilakukan pertama kali adalah menyiapkan enzim lipase ke dalam sebuah
penampang berupa membrane tertentu. Dengan menggunakan dua filter lipase
sebagai katalisnya. Filter pertama digunakan untuk menyaring 60 persen kotoran,
dan sisa kotoran yang sebanyak 40 persen disaring oleh filter kedua. Alhasil, total
kotoran yang berhasil disaring mencapai 100 persen Enzim ditempelkan pada
filter. Ketika minyak lewat, berarti telah menjadi biodiesel. Sekarang ini harga
enzim masih berkisar satu juta hingga tiga juta rupiah per kilogram. Untuk filter
berukuran satu meter persegi, dibutuhkan tiga gram enzim .
4). Autokatalis.
Autokatalis adalah zat hasil reaksi yang berfungsi sebagai katalis. Artinya,
produk reaksi yang terbentuk akan mempercepat reaksi kimia. Reaksi antara
kalium permanganat (KMnO4) dengan asam oksalat (H2C2O4) salah satu hasil
reaksinya berupa senyawa mangan sulfat (MnSO4). Semakin lama, laju reaksinya
akan semakin cepat karena MnSO4 yang terbentuk berfungsi sebagai katalis.
Untuk meningkatkan laju reaksi kita perlu untuk meningkatkan jumlah
tumbukan-tumbukan yang menghasilkan reaksi. Salah satu cara yang efektif
adalah dengan menurunkan energi aktivasi. Penambahan katalis dapat
menurunkan energi aktivasi. Suatu reaksi eksoterm:
AB(g) + C(g) AC(g) + B(g).
Reaksi ini berlangsung lambat, karena energi aktivasinya (Ea) lebih besar
dibanding energi molekulnya. Hanya sebagian kecil molekul yang mencapai Ea
Gambar 2. Perubahan Energi Aktivasi Setelah Menggunakan Katalis
Berdasarkan diagram di atas, Ea' dengan katalis lebih rendah. Katalis itu
berupa zat yang dicampurkan dengan reaktan. Jika reaksi di atas tanpa katalis, AB
dan C bertumbukan sampai mencapai Ea yang relatif tinggi. Karena umumnya
energi molekulnya rendah, jadi tumbukan yang terjadi tidak efektif. Ea sangat
sulit dicapai. Untuk itu maka ditambahkan zat yang bertindak sebagai katalis.
Ternyata pada saat katalis dicampurkan reaksi makin cepat. Jelas bahwa
katalis itu dapat mempengaruhi salah satu reaktan. Misalnya dalam reaksi ini
katalis cocok sifatnya dengan AB. Maka seperti robot AB tertarik ke katalis
membentuk KAB. KAB tergolong kompleks teraktivasi yang merupakan tahap
reaksi hipotesis; KAB kemudian terurai menjadi KA dan B. Setelah itu terjadi
tahap reaksi berikutnya, yaitu C ditarik oleh KA menjadi KAC yang kemudian
langsung K lepas dan terbentuklah AC.
5). Fungsi Katalis sebagai zat parantara
Perhatikan contoh berikut ini:
Reaksi tanpa katalis: A+B AB (lambat)
Reaksi dengan katalis: A+B AB (cepat)
Mekanisme reaksi dapat dijelaskan sebagai berikut:
B + K BK
BK+A A-B-K
A-B-K A-B +K
Dengan terikatnya zat B pada katalis, senyawa B-K yang terbentuk
menjadi lebih reaktif ketika bereaksi dengan A sehingga terbentuk senyawa AB-
K. Pada tahap berikutnya, dihasilkan senyawa AB dan katalis K diperoleh kembali
dalam jumlah yang sama seperti semula. Jadi, katalis ikut bereaksi, namun pada
akhir reaksi bentuk dan jumlahnya tidak berubah.
6). Katalis sebagai zat pengikat
Katalis yang berfungsi sebagai zat pengikat, yaitu logam-logam seperti Pt,
Cr, dan Ni. Permukaan logam-logam ini memiliki kemampuan mengikat zat yang
akan bereaksi sehingga terbentuk spesi yang reaktif. Logam-logam ini
mempercepat reaksi-reaksi gas dengan cara membentuk ikatan lemah antara gas
dan atom-atom logam pada permukaan, proses ini disebut adsorpsi. Gas-gas yang
terikat pada permukaan logam lebih mudah bereaksi dibandingkan jika gas-gas
tersebut berada di udara. Setelah terjadi reaksi, produk hasil reaksi melepaskan
ikatannya dengan permukaan logam, proses ini disebut dengan desorpsi. Katalis
hanya mempengaruhi laju mencapaian kesetimbangan, tidak berpengaruh dalam
hasil reaksi dan konsentrasi atau massa zat setelah reaksi. Jumlah katalis setelah
reaksi berlangsung akan sama dengan jumlah katalis sebelum terjadinya reaksi.
DAFTAR PUSTAKA
E.S., Hendorson. 1984. Chemistry Today. London: Macmilan.
Fachry, H.A.Rasyid. 2012. Pedoman Praktikum Unit Proses. Indralaya :
Laboratorium Unit Proses dan Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sriwijaya
Fresenden & Fresenden. 1994. Kimia Organik Jilid 2, Edisi Tiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
James. 1990. Principles and Structure, Third edition. New York: General
Chemistry.
Mittelbach, M and C. Remschmidt. 2004. “Biodiesel : The Comprehensive
Handbook 1st Edition”. Vienna : Boersedruck Ges.m.b.H
PEMANFAATAN LIPOSEL (LIMBAH CPO MENJADI BIODIESEL)
SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF YANG PRODUKTIF,
EKONOMIS DAN RAMAH LINGKUNGAN SKALA LABORATORIUM.
Biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumberdaya
hayati yang berupa minyak lemak nabati atau lemak hewani. Senyawa utamanya
adalah ester. Ester mempunyai rumus bangun sebagai berikut : Biodiesel dapat
dibuat dari transesterifikasi asam lemak. Asam lemak dari minyak lemak nabati
direaksikan dengan alkohol menghasilkan ester dan produk samping berupa
gliserin yang juga bernilai ekonomis cukup tinggi.
Biodiesel telah banyak digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar.
Bahan baku biodiesel yang dikembangkan bergantung pada sumber daya alam
yang dimiliki suatu negara, minyak kanola di Jerman dan Austria, minyak kedelei
di Amerika Serikat, minyak sawit di Malaysia, dan minyak kelapa di Filipina
Indonesia mempunyai banyak sekali tanaman penghasil minyak lemak nabati,
diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, jarak, nyamplung, dan lain-
lain. Selain itu, bahan baku yang dapat digunakan yaitu limbah minyak kelapa
sawit dapat diteliti untuk dijadikan biodiesel. Bahan bakar alternatif yang
produktif, ekonomis dan ramah lingkungan skala laboratorium.
Adanya larangan tersebut, dapat menyebabkan pembuatan biodiesel sebagai
energi bahan bakar alternatif menjadi terhambat. Sehingga perlu adanya alternatif
bahan baku dalam pembuatan biodiesel. Salah satunya yaitu dengan menggunakan
limbah minyak kelapa sawit. Limbah tersebut dapat diperoleh dari pabrik
pengolahan minyak kelapa sawit. Limbah minyak kelapa sawit yang berbentuk
cake, masih memiliki kandungan lemak (Fatty) untuk menghasilkan biodiesel
dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Dengan demikian, pembuatan
biodiesel sebagai energi bahan bakar alternatif dapat dilakukan untuk konsumsi
nasional dan kebutuhan lainnya. Manfaat penelitian yaitu meningkatkan nilai
ekonomi dari limbah minyak kelapa sawit sehingga dapat mengurangi
pencemaran lingkungan dan diperoleh bahan bakar alternatif yang ramah
lingkungan. Pada produksi limbah minyak kelapa sawit (CPO) tidak dapat
digunakan lagi dan hanya dibuang ke lingkungan. Limbah minyak kelapa sawit
Nama : Dini Fuadillah Sofyan
NIM :03101003038
(CPO) tersebut memiliki asam- asam lemak volatin yang terdapat di dalam cairan.
Adanya kandungan asam–asam lemak volatin tersebut, sehingga dapat dibuat
sebagai biodiesel. Proses pembuatan biodiesel dari limbah minyak kelapa sawit
(CPO) berlangsung secara esterifikasi dan transesterifikasi. Pada proses
esterifikasi, tidak terbentuk tiga lapisan, yaitu metanol (lapisan atas), metil ester
(lapisan tengan) dan air (lapisan bawah). Sedangkan pada treansesterifikasi
terdapat tiga lapisan yaitu metanol (lapisan atas), metil ester (lapisan tengan) dan
gliserol (lapisan bawah/buttom). Penggunaan jumlah metanol yang tepat
menghasilkan produk (biodiesel) yang baik. Uji free fatty acid (FFA) setelah
transesterifikasi diperoleh yaitu nol koma lima persen (0,5%). Tujuan umum dari
pembuatan biodiesel dari limbah CPO yaitu mengetahui kandungan lemak pada
limbah CPO dan mengetahui proses pembuatan biodiesel dari limbah CPO.
Sementara itu, tujuan khususnya yaitu mengetahui fungsi lain/nilai guna dari
limbah CPO, sumber energi bahan bakar alternatif pengganti BBM dan
meningkatkan kreatifitas masyarakat atau para peneliti lainnya. Penelitian
selanjutnya dalam inovasi bahan baku maupun produk yang dihasilkan
memperhatikan beberapa hal seperti: penggunaan jumlah metanol pada
esterifikasi, pengaturan terhadap suhu, waktu reaksi dan purifikasi produk yang
dihasilkan.
Indonesia saat ini adalah produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia
dan memiliki lahan sawit terluas di dunia. Luas areal kelapa sawit di Indonesia
tahun 2007 menurut Dirjenbun, Deptan, diperkirakan mencapai 6.6 juta ha dan
produksi CPO pada tahun tersebut mencapai 17.3 juta ton. Luas area dan produksi
diperkirakan akan terus meningkat mengingat saat ini gencar dilakukan
pembukaan lahan-lahan sawit baru, terutama di pulau Kalimantan dan Papua.
Pohon kelapa sawit menghasilkan buah sawit yang terkumpul di dalam satu
tandan, oleh karena itu sering disebut dengan istilah TBS (Tandan Buah Segar).
Sawit yang sudah berproduksi optimal dapat menghasilkan TBS dengan berat
antara 15-30 kg/tandan (Dirjenbun.2010).
Tandan-tandan inilah yang kemudian diangkut ke pabrik untuk diolah lebih
lanjut menghasilkan minyak sawit. Produksi utama pabrik sawit adalah CPO dan
minyak inti sawit. CPO diekstrak dari sabutnya, yaitu bagian antara kulit dengan
cangkangnya. Sedangkan dari daging buahnya akan menghasilkan minyak inti
sawit. Varietas sawit dengan kulit tebal banyak dicari orang, karena buah sawit
seperti ini yang rendemen minyaknya tinggi. Neraca pengolahan sawit di pabrik
kelapa sawit kurang lebih seperti gambar neraca massa di bawah ini. Dari setiap
ton TBS yang diolah dapat menghasilkan 140–200 kg CPO. Selain CPO
pengolahan ini juga menghasilkan limbah/produk samping, antara lain: limbah
cair (POME=Palm Oil Mill Effluent), cangkang sawit, fiber/sabut, dan tandan
kosong kelapa sawit. Limbah cair yang dihasilkan cukup banyak, yaitu berkisar
antara 600 – 700 kg. Dihasilkan pula serat dan cangkang yang mencapai 190 kg
(Isroi.2008).
Seiring dengan meningkatnya peran industri pengolahan kelapa sawit, dalam
perkembangan agroindustri di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan
perkembangan industri berbahan baku kelapa sawit seperti: industri makanan,
minyak kelapa sawit, kosmetik, sabun dan cat, meningkat pula masalah
pencemaran lingkungan akibat limbah cair yang ditimbulkannya. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah
kelapa sawit. Kandungan organik ini dapat meningkatkan kadar BOD dan COD
dalam perairan, karena memerlukan banyak oksigen untuk menguraikan bahan
organik tersebut. Bila padatan/limbah ini dibuang ke sungai, maka sebagian akan
mengendap dan terurai secara perlahan. Proses ini akan banyak mengkonsumsi
oksigen terlarut, serta mengeluarkan bau yang tajam, akibat adanya dekomposisi
bahan organik secara anaerobik oleh bakteri, sehingga dapat merusak daerah
pembiakan ikan, mematikan biota air di sepanjang alirannya.
Padatan atau limbah ini akan mengapung seperti halnya minyak, sehingga
masuknya oksigen akan terhalang (aerasi), yang selanjutnya akan dapat
mempengaruhi kehidupan biota di dalam air, terutama yang sangat membutuhkan
oksigen. Akibatnya terjadilah perubahan kondisi dari suasana aerob menjadi
anaerob di dalam perairan tersebut. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
terhadap lingkungan, maka air limbah hasil industri minyak kelapa sawit ini perlu
diolah terlelbih dahulu. Salah satu alternatif pengolahan secara fisik terhadap
limbah pabrik minyak kelapa sawit adalah dengan flotasi. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan teknologi membran dan digester anaerob.
Limbah cair pabrik minyak kelapa sawit bersifat asam dengan pH berkisar
3,5–5. Hal ini berarti, limbah cair pabrik minyak kelapa sawit mengandung ion
hidrogen yang tinggi dan apabila tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut atau
langsung dibuang, akan dapat menyebababkan korosi pada pipa atau saluran
pembuangan tersebut dan juga dapat mematikan biota air. Pengolahan secara
flotasi dapat menaikkan sedikit pH limbah cair. Semakin lama waktu tinggal
umpan di dalam reator, semakin tinggi pH keluaran yang diperoleh. Hal ini
disebabkan karena terjadinya pengisiahan asam-asam lemak volatin yang terdapat
di dalam cairan, sehingga menyebababkan kadar keasaman semakin menurun dan
pH sistem meningkat. Penelitian yang telah dilakukan pada limbah minyak kelapa
sawit (CPO) diperoleh biodiesel dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi.
Esterifikasi menggunakan metanol dan katalis asam yaitu asam sulfat. Sementara
itu, transesterifikasi menggunakan metanol dan natrium hidroksida. Pada
esterifikasi, tidak terbentuk tiga lapisan yaitu metanol (lapisan atas), metil ester
(lapisan tengah) dan air (lapisan bawah). Sedangkan pada treansesterifikasi
terdapat tiga lapisan yaitu metanol (lapisan atas), metil ester (lapisan tengan) dan
gliserol (lapisan bawah atau buttom). Setelah dilakukan pemisahan antara gliserol
dan metil ester, maka dilakukan pemisahan kembali antara metil ester dan
metanol. Setelah itu dilakukan pencucian pada metil ester dengan menggunakan
aquadest yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhu 50oC. Pengujian
terhadap FFA (Free Fatty Acid) dengan proses titrasi dilakukan dan diperoleh nol
koma lima persen (0,5 %).
Limbah cair pabrik minyak kelapa sawit bersifat asam dengan pH berkisar
3,5–5. Hal ini berarti, limbah cair pabrik minyak kelapa sawit mengandung ion
hidrogen yang tinggi dan apabila tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut atau
langsung dibuang, akan dapat menyebababkan korosi pada pipa atau saluran
pembuangan tersebut dan juga dapat mematikan biota air. Pengolahan secara
flotasi dapat menaikkan sedikit pH limbah cair. Semakin lama waktu tinggal
umpan di dalam reator, semakin tinggi pH keluaran yang diperoleh. Hal ini
disebabkan karena terjadinya pengisiahan asam-asam lemak volatin yang terdapat
di dalam cairan, sehingga menyebababkan kadar keasaman semakin menurun dan
pH sistem meningkat.
Pembuatan biodiesel dari limbah minyak kelapa sawit (CPO) dilakukan
dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Proses esterifikasi menggunakan
metanol dan katalis asam yaitu asam sulfat. Esterifikasi berlangsung di dalam labu
distilasi leher tiga, dipanaskan di atas hot plate dan menggunakan stirer magnetic
sebagai pengaduk serta termometer untuk pengaturan suhu. Esterifikasi
berlangsung selama dua jam. Hal itu dilakukan karena pada satu jam reaksi
pertama tidak terbentuk tiga lapisan di dalam corong pemisah. Tiga lapisan
tersebut yaitu metanol (lapisan atas), metil ester (lapisan tengan) dan air (lapisan
bawah atau buttom). Setelah dua jam reaksi tidak terbentuk tiga lapisan, sehingga
esterifikasi dihentikan. Hal itu diperkirakan free fatty acid (FFA) terhadap limbah
minyak kelapa sawit (CPO) masih tinggi sehingga proses selanjutnya dilakukan
secara transesterifikasi (Murni : 2010).
Pada proses transesterifikasi menggunakan metanol dan natrium hidroksida.
Reaksi berlangsung di dalam labu distilasi leher tiga, dipanaskan di atas piringan
panas dan menggunakan pengaduk sebagai pengaduk serta termometer untuk
pengaturan suhu. Transesterifikasi berlangsung selama dua jam (sama seperti
esterifikasi). Setelah itu, dilakukan pemisahan di dalam corong pemisah. Di dalam
corong pemisah terdapat tiga lapisan. Lapisan tersebut yaitu metanol (lapisan
atas), metil ester (lapisan tengan) dan gliserol (lapisan bawah atau buttom).
Gliserol dipisahkan dari metil ester dan metanol. Hal itu dikarenakan gliserol
produk samping (residu) yang akana membentuk sabun. Setelah transesterifikasi
dilakukan, dilakukan proses distilasi. Hal itu berfungsi untuk memisahkan
metanol dengan metil ester. Proses distilasi berlangsung selama delapan jam.
Pencucian terhadap metil ester dilakukan dengan menggunakan aquadest
yang terlebih dahulu dipanaskan hingga suhu 50 oC. Hal itu berfungsi agar
pengotor atau impuritis yang ada pada metil ester dan di dinding corong pemisah
dapat berjalan dengan baik. Sebelumnya metil ester yang telah dipisahkan dari
metanol di panaskan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 110 oC. Setelah
itu, di lakukan pengujian terhadap free fatty acid (FFA) melalui proses titrasi.
Hasil yang diperoleh dari proses titrasi terhadap FFA yaitu nol koma lima persen
(0,5%). Berdasarkan literatur yang menyatakan bahwa FFA di atas lima persen
(5%) merupakan hasil proses esterifikasi, sementara itu, FFA di bawah lima
persen (5%) merupakan hasil proses transesterifikasi. FFA yang diperoleh dari
penelitian yang dilakukan yaitu nol koma lima persen (0,5%) yang merupakan
hasil proses dari transesterifikasi. Hal itu diperkirakan penggunaan jumlah
metanol yang tepat. Jika penggunaan jumlah metanol berlebihan (kurang tepat),
maka biodiesel yang dihasilkan kurang baik, seperti: terbentuknya sabun, jumlah
gliserol banyak dan rusaknya alat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo, Didik., Berkah Rodjar, Tony Suryo. 2011. Performa Mesin Diesel
Berbahan Bakar Biodiesel Teroksidasi. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Frank P. Incropera, David P. DeWitt, “Fundamental of Heat and Mass Transfer
4th Edition”, John Wiley and Sons,inc, Canada, 1996.
Ilmi, Intan Alfiyah dan Ya’umar. 2011. “Analisis Efisiensi Sistem Pembakaran
pada Boiler di PLTU Unit III PT. PJB UP Gresik dengan Metode Statistical
Process Control (SPC)”, Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh November.
Murni. 2010. Kaji Eksperimental Pengaruh Temperatur Biodiesel Minyak Sawit
Terhadap Performansi Mesin Diesel Direct Injection Putaran Konstan.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Rochani, Ilyas. 2013. Pemanfaatan Limbah Kilang Minyak MFO 1000 cSt Yang
diencerkan Dengan Solar, Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti
Solar Pada Dry Kiln Industri Kecil Garam Desa Kaliori Kabupaten
Rembang Jawa Tengah. Semarang: Politeknik Negeri Semarang.
PROSES DEGUMMING
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun
sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi
kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan energi. Kenaikan harga
minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang besar pada
perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan
harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya transportasi, biaya
produksi industri dan pembangkitan tenaga listrik.
Dalam jangka panjang impor BBM ini akan makin mendominasi penyediaan
energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan
penganekaragaman energi dengan memanfaatkan energi terbaharukan dan lain-
lain. Biodiesel salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak
mempunyai efek terhadap kesehatan yang dapat dipakai sebagai bahan bakar
kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak
diesel. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang
dapat diperbaharui.
Beberapa bahan baku untuk pembuatan biodiesel antara lain kelapa sawit,
kedelai, bunga matahari, jarak pagar, tebu dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.
Dari beberapa bahan baku tersebut di Indonesia yang punya prospek untuk diolah
menjadi biodiesel adalah kelapa sawit dan jarak pagar, tetapi propek kelapa sawit
lebih besat untuk pengolahan secara besar-besaran. Sebagai tanaman industri
kelapa sawit telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, teknologi
pengolahannya sudah mapan. Dibandingkan dengan tanaman yang lain seperti
kedelai, bunga matahari, tebu, jarak pagar dan lain lain yang masih mempunyai
kelemahan antara lain sumbernya sangat terbatas dan masih diimpor (kedelai dan
bunga matahari), tebu masih minim untuk bahan baku gula (kekurangan gula
nasional masih diimpor dan hanya dapat dipakai tetesnya sebagai bahan alkohol),
jarak pagar masih dalam taraf penelitian skala laboratorium untuk proses produksi
biodiesel dari biji karet (Hevea brasiliensis) yang dilaksanakan di Indonesia pada
Nama : Martha Ria
NIM : 03101003050
umumnya memakai metode katalis (asam atau alkil) dan metode pencucian basah
atau metode pencucian kering.
Metode katalis membawa banyak kerugian antara lain: waktu produksi lama,
biaya produksi tinggi karena menggunakan magnesol sebagai absorban, terutama
jika pemurniannya menggunakan air (sistem pencucian basah) karena akan dapat
merusak komponen mesin seperti misalnya: seal cepat bocor, mudah timbul
jamur, korosi pada silinder head, pompa dan saringan bahan bakar sering buntu,
dan sebagainya. budidaya dan pengolahannya, sehingga dapat dikatakan bahwa
kelapa sawit merupakan bahan baku untuk biodiesel yang paling siap. Dalam
program pengembangan biodisel berbahan baku kelapa sawit, maka perkebunan
kelapa sawit sangat menjanjikan terutama dalam mengangkat keterpurukan
perekonomian nasional, selain manfaat yang dirasakan oleh masyarakat petani
kelapa sawit yang menggantungkan hidupnya dari hasil panen (Tandan Buah
Segar) TBS, industri biodiesel, juga pemanfaatan biodiesel akan dapat
mengurangi atau menghentikan impor minyak solar yang berakibat berkurangnya
pembelanjaan luar negeri.
Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi
(transesterification) dimana reaksi antara senyawa ester (CPO/minyak kelapa
sawit) dengan senyawa alkohol (metanol). Proses ini menghasilkan dua produk
yaitu metil esters (biodiesel) dan gliserin (pada umumnya digunakan untuk
pembuatan sabun dan lain produk). Dalam bagian buku ini dibahas teknologi
pembuatan biodiesel agar para pengkaji, peneliti dan masyarakat luas dapat
mengetahui lebih dalam tentang proses pembuatan bahan bakar alternatif ini.
Proses produksi biodiesel dengan metode non katalis dapat mengatasi
kelemahan seperti disebutkan di atas. Pada studi ini, minyak biji karet diperoleh
dengan metode pengepresan. Spesifikasi minyak adalah sebagai berikut:
viskositas 5,19 cSt, densitas 0,9209 g/ml, kandungan air 0,2%, asam lemak bebas
(FFA) 6,66%, dan titik didih 305oC. Metodelogi yang digunakan adalah
pemrosesan biji karet menjadi biodiesel metode non katalis superheated methanol.
Tranesterifikasi berlangsung di dalam sebuah Bubble Column Reactor (BCR)
pada temperatur reaksi 270oC, 275oC, 280oC, 285oC, dan 290oC serta pada
tekanan atmosfir. Rasio molar antara methanol dan minyak biji karet adalah:140,
150, dan 160. Hasil menunjukkan bahwa pada proses pembuatan biodiesel dari
minyak nabati metode katalis biasanya melalui berbagai tahapan proses yaitu
proses degumming untuk melepaskan getah atau lendir yang dikandungnya,
esterifikasi untuk menurunkan kadar FFA sampai di bawah 2,5% untuk mencegah
penyabunan, dan transesterifikasi untuk memperoleh metil ester dan kemudian
pencucian.
Tetapi dalam pengembangannya menggunakan metode non katalis ternyata
bahwa minyak biji karet yang memiliki kadar FFA tinggi (di atas 2,5%) dapat
secara langsung di proses transesterifikasi tanpa terjadi penyabunan dan dapat
menghasilkan biodiesel tanpa harus mengalami proses pendahuluan degumming,
esterifikasi, maupun pencucian. Densitas, angka setana, titik tuang, titik nyala, dan
angka asam metode non katalis lebih baik dari pada metode katalis.
Kelemahannya adalah bahwa residu karbon mikro yang dikandung oleh biodiesel
minyak biji karet masih cukup tinggi di atas standar yang diijinkan. Kadar metil
ester optimum diperoleh pada rasio molar 160 dan temperatur reaksi 290oC karena
menghasilkan biodiesel terbesar dan gliserol terkecil
Proses pembuatan biodiesel (metil ester) dari bahan nabati dapat dibedakan
menjadi dua cara yaitu:
1. Metode katalis, menggunakan katalis asam maupun basa, proses
pencuciannya menggunakan air (wet wash system) atau absorban (dry wash
system)
Gambar 1. Diagram proses produksi RBDPO Dry Cristalization Olein
1. Keunggulan :
a). Tidak menggunakan senyawa pelarut.
b). Tidak menghasilkan limbah cair.
2. Kekurangan
a). Rendemen yang diperoleh rendah.
Gambar 2. Diagram proses produksi RBDPO Wet Cristalization
1. Keunggulan :
a). Menghasilkan rendemen yang tinggi.
2. Kekurangan :
a). Menghasilkan limbah cair apabila terakumulasi dapat mencemari
lingkungan
Pada Pra rancangan Pabrik Minyak Olein dari Cruide Palm Oil (CPO) ini
proses yang digunakan adalah Wet Cristalization. Proses ini digunakan karena
melihat dari faktor hasil rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses
Dry Cristalization walaupun menghasilkan limbah cair namun dapat diolah
sehingga tidak mencemari lingkungan.
Metode non katalis dimana transesterfikasi berlangsung pada sebuah reaktor
temperatur tinggi dan tekanan tinggi atau temperatur tinggi dan tekanan rendah.
Road map kegiatan penelitian tentang pemanfaatan biji karet telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Di Sri Lanka (India) pemanfaatan biji karet sudah mencapai
taraf pengusahaan secara komersial baik sebagai bahan ekspor maupun untuk
keperluan industri dalam negeri.
Di Indonesia sendiri, penelitian pembuatan biodiesel dari biji karet pada
umumnya masih menggunakan metode katalis. Usmadi dalam penelitiannya
tentang proses pengambilan minyak biji karet menemukan bahwa randemen
minyak biji karet (ηminyak) = 16%; ηAmpas = 44%; dan ηCangkang = 40%
dengan memakai metode pengepresan hidraulis dengan tekanan sebesar 105,3
kg/cm2, pemasakan kernel disangrai pada temperatur T = 105oC dan waktu t = 25
menit. Fitri Yuliani dan Mira Primasari, melakukan penelitian tentang pengaruh
katalis asam dan temperatur reaksi esterifikasi pada pembuatan biodiesel biji
karet. Hasilnya adalah kadar metil ester maksimum diperoleh pada TEsterifikasi =
60 oC dan jumlah H2SO4 = 0,5% wt.
Mochamad Hermiyawan dan Tety Andriana juga melakukan penelitian tentang
pengaruh jumlah katalis alkali dan temperatur reaksi transesterifikasi pada
pembuatan biodiesel biji karet. Hasilnya adalah kadar metil ester maksimum
diperoleh pada TTransesterifikasi = 60oC dan NaOH = 0,6% wt. Dari kedua
penelitian terakhir ini secara umum ditemukan bahwa kwalitas biodiesel biji karet
belum memenuhi standar FBI Tahun 2005, karena Calculated Cetane Index masih
di bawah standard (44,7).
Penulis juga telah melakukan penelitian tentang pembuatan biodiesel dari biji
karet metode katalis dan pencuciannya menggunakan air menemukan bahwa
pembuatan biodiesel dari biji karet harus diawali dengan proses “degumming”
karena masih mengandung getah sebesar 0,67%. Penelitian pembuatan biodiesel
di Indonesia yang telah dilaksanakan saat ini memakai metode non-katalis.
Joelianingsih, telah memulai proses pembuatan biodiesel metode non-katalis
menggunakan superheated metanol pada tekanan atmosfir dan reaksi berlangsung
di dalam sebuah bubble column reactor (BCR). Bahan baku yang digunakannya
adalah CPO yang mempunyai kadar FFA (free fatty acid) sangat rendah yaitu
0,2%. Kadar metil ester maksimum diperoleh pada rasio molar 148 dan
temperatur reaksi 290 oC. Nera Candra Choirunnisa juga memakai peralatan yang
sama dengan Joelianingsih untuk mengolah bahan baku minyak jelantah dengan
FFA 0,1% dan 2,56% menjadi biodiesel, dan kedua jenis minyak jelantah tersebut
diproses pada temperatur reaksi 250 oC dan 290 oC. Laju aliran metanol yang
digunakan adalah 3 ml/menit (atau setara dengan rasio molar 105). Kadar metil
ester maksimum diperoleh pada FFA 0,1% dengan temperatur reaksi 290 oC. Pada
metode katalis, minyak nabati yang mempunyai FFA ≤ 2,5% langsung dapat
diproses tranesterifikasi, sedangkan jika kadar FFA > 2,5% harus mengalami
proses esterifikasi terlebih dahulu untuk menurunkan kadar FFA-nya kemudian
baru proses tranesterifikasi. Jika langsung ditranesterifikasi maka yang akan
terbentuk adalah sabun.
Permasalahan yang akan dipecahkan adalah: apakah minyak nabati biji karet
yang mempunyai kadar FFA tinggi (di atas 2,5%) dapat langsung diproses
tranesterifikasi menjadi biodiesel dengan memakai metode non-katalis
superheated methanol pada tekanan atmosfir dalam sebuah BCR. Bagaimana pula
kwalitas biodiesel yang dihasilkan jika dibandingkan dengan metode katalis.
Tujuan yang ingin dicapai adalah menghasilkan biodiesel dari biji karet agar dapat
dipergunakan untuk substitusi bahan bakar minyak solar, dan juga mencari
kondisi optimum. Sedangkan kontribusi dari segi keilmuan diharapkan mampu
memberi gambaran cara paling efektif dan efisien untuk mengolah bahan baku
minyak nabati yang mempunyai FFA tinggi di atas 2,5 % menjadi biodiesel.
B. Proses Pengolahan Minyak Biji Karet Menjadi Biodiesel Metode Non-Katalis
Selama ini, proses pengolahan biodiesel yang ada di Indonesia menggunakan
metode katalis. Artinya, proses pengolahan minyak biji karet dimulai dari
degumming menggunakan asam fosfat, esterifikasi menggunakan katalis asam,
tranesterifikasi menggunakan katalis basa, dan dalam proses pencuciannya
menggunakan air ataupun magnesol sebagai bahan absorbant.
Tetapi proses pengolahan biodiesel yang akan dilaksanakan dalam penelitian
ini sebagai pengembangan adalah tanpa degumming, tanpa esterifikasi dan tanpa
menggunakan air atau magnesol. Minyak biji karet mentah langsung
ditranesterifikasi dalam sebuah BCR. Keuntungan metode non-katalis ini antara
lain adalah: memperpendek waktu produksi, biaya operasional lebih murah,
ruangan yang diperlukan lebih kecil, biaya investasi lebih murah, kwalitas
biodiesel lebih baik, dan kadar metil ester yang dihasilkan juga lebih banyak
Minyak biji karet atau rubber seed oils (RSO) yang akan diolah menjadi
biodiesel diperoleh dengan cara pengepres biji karet. Karakteristik RSO harus
diketahui terlebih dahulu terutama FFA dan titik didihnya. Titik didih ini akan
menentukan pada temperatur berapa setting peralatan itu harus dilakukan. Yang
terpenting adalah setting temperaturreaksi harus di bawah titik didih RSO untuk
mempertahankan agar kondisinya tetap sebagai cairan. Dari uji laboratorium,
diperoleh data RSO sebagai berikut: viskositas 5,19 cSt, densitas 0,9209 kg/l,
kadar air 0,2%, FFA 6,66%, dan titik didih 305 oC. Metanol dengan kemurnian
minimum 99,8% diperoleh di pasaran bebas.
C. Proses Pemisahan Gum (degumming)
Pemisahan gum merupakan proses pemisahan getah atau lendir-lendir yang
terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin. Biasanya proses
ini dilakukan dengan dehidrasi gum atau kotoran lain, supaya bahan tersebut lebih
mudah dari minyak, kemudian diteruskan dengan proses pemusingan. Caranya
adalah dengan memasukkan uap air panas ke dalam minyak disusul dengan
pengaliran air dan selanjutnya disentrifusi sehingga bagian lendir terpisah dari air.
Pada waktu proses sentrifusi berlangsung, ditambahkan bahan kimia yang dapat
menyerap air misalnya asam mineral pekat atau garam dapur (NaCl). Suhu
minyak pada waktu proses sentrifusi berpisah antara 32-500C, dan pada suhu
tersebut kekentalan minyak akan berkurang sehingga gum mudah terpisah dari
minyak.
Degumming ialah suatu proses pemisahan getah atau lendir-lendir yang terdiri
dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin tanpa mengurangi jumlah
asam lemak bebas dalam minyak. Getah-getah (gum) dalam minyak nabati perlu
dihilangkan untuk menghindari perubahan warna dan rasa selama langkah rafinasi
berikutnya. Proses Pennwalt melibatkan pengolahan asam fosfor satu tingkat dan
pengolahan air panas satu tingkat diikuti oleh penghilangan secara terus-menerus
getah-getah terhidrat dalam super sentrifusi super degumming. Aplikasi proses ini
dapat digunakan untuk minyak kacang, minyak kapas, minyak sawit, minyak
jagung, dan lain-lain.
Proses degumming meliputi proses penghilangan lendir dan getah-getah dari
bahan baku CPO. Bahan baku ini kemudian dipompakan ke heater dan
dipanaskan hingga 800C. CPO yang dipanaskan didalam heater ini kemudian
dialirkan ke separator (S-101) untuk proses penghilangan gum (lendir serta
kotoran). Proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum agar bahan tersebut
lebih mudah terpisah dari CPO, kemudian dilanjutkan dengan proses pemusingan
(sentrifusi). Caranya adalah dengan menambahkan air dari puncak menara
separator ke dalam minyak dan selanjutnya disentrifusi sehingga bagian gum
terpisah dari CPO. Degumming bertujuan untuk memisahkan minyak dari
getah/lendir yang terdiri dari fostatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin.
Proses degumming dilakukan dengan penambahan asam fosfat 20% sebesar 0,3-
0,5% (b/b) minyak, sehingga akan terbentuk senyawa fosfasida yang mudah
terpisah dari minyak. Hasil dari proses degumming akan memperlihatkan
perbedaan warna yang jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih kemerah-
merahan.
DAFTAR PUSTAKA
E.S., Hendorson. 1984. Chemistry Today. London: Macmilan.
Fachry, H.A.Rasyid. 2012. Pedoman Praktikum Unit Proses. Indralaya :
Laboratorium Unit Proses dan Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sriwijaya
Fresenden & Fresenden. 1994. Kimia Organik Jilid 2, Edisi Tiga. Jakarta:
Erlangga.
Hambali, Erliza, 2006, Jarak PagarTanaman Penghasil Biodisel, Jakarta :
Penebar Swadaya
James. 1990. Principles and Structure, Third edition. New York: General
Chemistry.
Munich, Ernst, 2007, Degumming of Plant Oils for Different Applications, Cairo
CONTOH PILOT PLANT BIODIESEL
A. Pilot Plant
Pilot plant merupakan sistem pengolahan kimia skala kecil yang dioperasikan
untuk menghasilkan informasi tentang perilaku sistem yang digunakan dalam
mendisain suatu fasilitas yang lebih besar.
Pilot Plant digunakan untuk mengurangi risiko yang terkait dengan pembangunan
pabrik skala besar. Adapun cara-cara yang dilakukan untuk mengurangi risiko
pembangunan pabrik skala besar :
1. Pilot plant secara substansial lebih murah untuk pembangunannya daripada
pabrik skala penuh. Bisnis ini tidak terlalu banyak menghabiskan modal berisiko
pada sebuah proyek yang mungkin tidak efisien atau tidak layak. Selanjutnya,
perubahan desain dapat dibuat lebih murah di skala pilot dan proses dapat
diketahui sebelum pabrik besar dibangun.
2. Dengan cara ini dapat diperoleh data-data untuk desain pabrik skala penuh.
Data ilmiah tentang reaksi, sifat material, kekorosifan, misalnya, mungkin
tersedia, tetapi sulit untuk memprediksi perilaku dari proses yang kompleks.
Rekayasa data dari proses lainnya mungkin tersedia, namun data ini tidak selalu
dapat dengan jelas diterapkan dalam suati proses.
B. Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu nama dari Alkyl Ester atau rantai panjang asam
lemak yang berasal dari minyak nabati maupun lemak hewan. Biodiesel dapat
digunakan sebagai bahan bakar pada mesin yang menggunakan diesel sebagai
bahan bakarnya tanpa memerlukan modifikasi mesin. Biodiesel tidak mengandung
petroleum diesel atau solar.
Biodiesel adalah senyawa mono alkil ester yang diproduksi melalui reaksi
tranesterifikasi antara trigliserida (minyak nabati, seperti minyak sawit, minyak
jarak dll) dengan metanol menjadi metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis
basa. Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung
oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya dengan petroleum
diesel (solar) yang komponen utamanya hanya terdiri dari hidro karbon. Jadi
komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda.
Nama : Pradhita Aryani
NIM : 03101003058
Biodiesel terdiri dari metil ester asam lemak nabati, sedangkan petroleum
diesel adalah hidrokarbon. Biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang
serupa dengan petroleum diesel sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin
diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Pencampuran 20 % biodiesel ke
dalam petroleum diesel menghasilkan produk bahan bakar tanpa mengubah sifat
fisik secara nyata. Produk ini di Amerika dikenal sebagai Diesel B-20 yang
banyak digunakan untuk bahan bakar bus.
Energi yang dihasilkan oleh biodiesel relatif tidak berbeda dengan petroleum
diesel (128.000 BTU vs 130.000 BTU), sehingga engine torque dan tenaga kuda
yang dihasilkan juga sama. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan
petroleum diesel, tetapi karena biodiesel mengandung oksigen, maka flash
pointnya lebih tinggi sehingga tidak mudah terbakar. Biodiesel juga tidak
menghasilkan uap yang membahayakan pada suhu kamar, maka biodiesel lebih
aman daripada petroleum diesel dalam penyimpanan dan penggunaannya. Di
samping itu, biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa bensen yang
karsinogenik, sehingga biodiesel merupakan bahan bakar yang lebih bersih dan
lebih mudah ditangani dibandingkan dengan petroleum diesel.
Penggunaan biodiesel juga dapat mengurangi emisi karbon monoksida,
hidrokarbon total, partikel, dan sulfur dioksida. Emisi nitrous oxide juga dapat
dikurangi dengan penambahan konverter katalitik. Kelebihan lain dari segi
lingkungan adalah tingkat toksisitasnya yang 10 kali lebih rendah dibandingkan
dengan garam dapur dan tingkat biodegradabilitinya sama dengan glukosa,
sehingga sangat cocok digunakan di perairan untuk bahan bakar kapal/motor.
Biodiesel tidak menambah efek rumah kaca seperti halnya petroleum diesel
karena karbon yang dihasilkan masih dalam siklus karbon. Untuk penggunaan
biodiesel pada dasarnya tidak perlu modifikasi pada mesin diesel, bahkan
biodiesel mempunyai efek pembersihan terhadap tangki bahan bakar, injektor dan
selang.
Biodiesel mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah mudah
digunakan, limbahnya bersifat ramah lingkungan (biodegradable), tidak beracun,
bebas dari logam berat sulfur dan senyawa aromatik serta mempunyai nilai flash
point (titik nyala) yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika
disimpan dan digunakan.Secara teknis biodiesel yang berasal dari minyak nabati
dikenal sebagai VOME (Vegetable Oil Metil Ester) dan merupakan sumberdaya
yang dapat diperbaharui karena umumnya dapat diekstrak dari berbagai hasil
produk pertanian seperti minyak kacang kedelai, minyak kelapa, minyak bunga
matahari maupun minyak sawit.
C. Pilot Plant Biodiesel
Pilot Plant Biodiesel merupakan pabrik biodiesel skala kecil yang
dioperasikan untuk menghasilkan informasi tentang perilaku sistem yang
digunakan dalam mendisain suatu pabrik yang lebih besar. Untuk dapat
memperoleh teknologi pembuatan biodiesel pada skala pilot plant, maka tahapan
yang dilakukan oleh Engineering Center –BPPT adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Penelitian dan Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel
Untuk memperoleh proses produksi yang paling efisien dan optimum,
dilakukan riset di laboratorium.
2. Melakukan Pembuatan Biodiesel dari CPO Berbagai Grade
Selain dari CPO, Engineering Center juga telah mencoba berbagai grade CPO
yaitu mulai dari CPO sampai ke CPO yang FFA-nya lebih besar dari 20 % (CPO
Parit).
Gambar 1. Grade CPO
3. Menguji Sifat-Sifat Biodiesel (Property Test)
Pengujian sifat-sifat fisis dan kimia dari Biodiesel dilakukan untuk
membandingkan bahan bakar ini dengan standar bahan bakar yang ada. Jika sudah
memenuhi standar, maka diharapkan masyarakat tidak perlu ragu dalam
menggunakan Biodiesel sebagai bahan bakar. Adapun standar yang diacu adalah
Standard Nasional Indonesia. Pada dasarnya standar bahan bakar tiap negara
disesuaikan dengan iklim dan kondisi setempat.
4. Menguji Performa Biodiesel (Biodiesel Performance Test)
Pengujian performa Biodiesel ada dua jenis, yaitu static engine test dan road
test.
a. Static Engine Test (Mobil dan Genset)
Pengujian ini dilakukan pada mesin yang tidak bergerak dengan tujuan untuk
menguji performa/unjuk kerja bahan bakar terhadap mesin serta emisi/gas
buangnya.
b. Road Test
Pengujian ini dilakukan terhadap mesin yang bergerak yaitu mobil dengan
tujuan untuk menguji efeknya terhadap mesin setelah penggunaan dalam
jangka waktu tertentu. Dengan pengujian ini diharapkan konsumen memiliki
keyakinan untuk tidak ragu menggunakan bahan bakar baru ini.
5. Melakukan Pembuatan Biodiesel Prototype Plant
Hasil riset dan pengembangan di laboratorium harus dibuktikan dengan
pembuatan prototype plant. Prototype yang telah dibangun Engineering Center
berkapasitas 1500 liter/hari berlokasi di Puspiptek Serpong. Plant ini telah
berulang kali berproduksi dan terus mengalami optimasi. Plant ini juga telah diuji
dengan berbagai bahan baku, yaitu CPO, CPO off grade/minyak kotor, CPO Parit,
PFAD (hasil samping pabrik minyak goreng), bahkan CFAD yang berbasis
minyak kelapa.
6. Melakukan Pembuatan Biodiesel Pilot Plant
Optimasi proses dari prototype dituangkan dalam desain pilot plant biodiesel
berskala 8 ton/hari yang dibangun di Propinsi Riau. Penentuan lokasi pilot plant
di daerah Riau ini, lantaran adanya dukungan dari Pemerintah Daerah setempat
untuk membangun pilot plant serta ketersediaan bahan baku untuk uji coba. Luas
areal yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk Biodiesel di daerah Riau
merupakan yang terbesar di Indonesia yang mencapai 1.326.023 ha dengan
produksi CPO mencapai 3.337.151 ton.
Pembangunan Biodiesel plant di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur-
Sumatera Selatan dan di kabupaten Kotabaru-Kalimantan Selatan, masing-masing
dengan kapasitas 6 ton minyak biodiesel per hari. Pada dasarnya, proses
pembuatan Biodiesel sama untuk berbagai bahan baku sehingga pilot plant ini
dapat difungsikan untuk memproduksi Biodiesel dengan bahan baku minyak apa
saja. Pilot plant ini didesain dengan muatan lokal yang tinggi, dengan
mengutamakan material dan pabrikasi dalam negeri.
D. Desain dan Engineering
Biodiesel umumnya dibuat melalui reaksi alkoholisis (biasanya metanol atau
etanol) minyak lemak nabati atau hewani. Dari hasil percobaan di laboratorium
dan pembuatan bench scale plant, maka diperoleh data yang cukup untuk
melakukan desain dan engineering Pilot Plant kapa dengan sistem batch.
Gambar 2. Tahapan Desain dan Engineering
Plant ini didesain untuk dapat memproses bahan baku dari minyak apa saja
dengan menghasilkan biodiesel yang memenuhi spesifikasi bahan bakar. Bahan
baku yang dapat digunakan antara lain :
1. CPO (Crude Palm Oil)/Minyak Sawit. CPO merupakan minyak yang paling
potensial sebagai bahan baku mengingat saat ini Indonesia merupakan
produsen CPO terbesar di dunia. Ada berbagai grade CPO yang dapat
digunakan sebagai alternative bahan baku yaitu CPO standard (FFA<5 %),
CPO off grade (FFA 5–20%), Waste CPO (FFA 20–70%), Palm Fatty Acid
Distillate (FFA>70 %), PKO (Palm Kernel Oil), RBDP Olein RBDP Stearin,
2. Minyak kelapa
3. Minyak Jarak pagar
Kelebihan biodiesel sebagai bahan bakar adalah kemampuannya menurunkan
emisi kendaraan (antara lain partikulat, SOx, COx, BTX) (BTMP, 2005),
memiliki sifat lubrikasi, dan juga merupakan energi yang terbarukan (renewable
energy).
Reaksi transesterifikasi pada dasarnya merupakan reaksi bolak-
balik/reversible sehingga perlu dilakukan beberapa usaha untuk menggeser reaksi
ke arah produk, antara lain dengan menggunakan pereaksi dalam jumlah yang
melebihi kebutuhan stoikiometri.
Dalam hal ini dipilih untuk menggunakan Methanol dalam jumlah
berlebih. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya peralatan untuk me-recovery
methanol yang tidak bereaksi sehingga dapat digunakan kembali sebagai pereaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT. 2003. “Laporan Kegiatan
Pengembangan Biodiesel Sebagai Energi Alternatif”. Jakarta : BPPT
Dewi, Maharani. 2001. “Biodiesel Pilot Plant Kapasitas 1,5 Ton/Hari Sebuah
Langkah Kecil Dalam Road Map Biodiesel Indonesia”. Jakarta : BPPT
Fachry, H.A.Rasyid. 2012. Pedoman Praktikum Unit Proses. Indralaya :
Laboratorium Unit Proses dan Operasi Teknik Kimia Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sriwijaya
Fresenden & Fresenden. 1994. Kimia Organik Jilid 2, Edisi Tiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mittelbach, M and C. Remschmidt. 2004. “Biodiesel : The Comprehensive
Handbook 1st Edition”. Vienna : Boersedruck Ges.m.b.H
Bahan Baku Pembuatan Metil Ester
A. Latar Belakang
Metil ester merupakan ester asam lemak yang dibuat melalui proses
esterifikasi dari asam lemak dengan metanol. Pembuatan metal ester ada empat
macam cara, yaitu pencampuran dan penggunaan langsung, mikroemulsi, pirolisis
(thermal cracking), dan transesterifikasi. Namun, yang sering digunakan untuk
pembuatan metal ester adalah transesterifikasi yang merupakan reaksi antara
trigliserida (lemak atau minyak) dengan methanol untuk menghasilkan metal ester
dan gliserol.
Metil ester dapat diperoleh dari hasil pengolahan bermacam-macam
minyak nabati, misalnya di jerman diperoleh dari minyak rapessed, di Eropa
diperoleh dari minyak biji bunga matahari dan minyak rapessed, di prancis dari
itali diperoleh dari minyak biji bunga matahari, di Amerika Serikat dan Brazil
diperoleh dari minyak kedelai, di Malaysia diperoleh dari minyak kelapa sawit,
dan di Indonesia diperoleh dari minyak kelapa sawit, minyak jarak pagar, minyak
kelapa, dan minyak kedelai. Selain minyak-minyak tersebut, minyak safflower,
minyak linsedd, dan minyak zaitun juga dapat digunakan dalam pembuatan
senyawa metal ester. Pada pengolahan minyak nabati di atas juga di hasilkan
gliserol sebagai hasil sampingnya.
Metil ester merupakan bahan baku dalam pembuatan biodiesel atau
emollen dalam produk kosmetika, sedangkan gliserol dapat digunakan sebagai
bahan baku dalam berbagai aplikasi industri seperti kosmetika, sabun, dan
farmasi. Gliserol yang diperoleh sebagai hasil samping pengolahan minyak nabati
ini bukanlah gliserol murni, melainkan gliserol mentah (crude glycerol), biasanya
memiliki kemurnian kira-kira 95%.
1. Minyak Jelantah
Minyak jelantah (waste cooking oil) adalah minyak limbah yang bisa berasal
dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur,
minyak samin dan sebagainya, dan minyak ini merupakan minyak bekas
pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya, dapat digunakan kembali untuk
Nama : M.Fikriansyah
NIM : 03101003063
keperluaran kuliner. Tapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah
mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama
proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang
berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker,
dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Untuk
itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah ini dapat bermanfaat
dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan.
Minyak jelantah merupakan minyak nabati yang telah mengalami degradasi
kimia dan/atau mengandung akumulasi kontaminan-kontaminan di dalamnya.
Minyak ini dapat didaur ulang menjadi metil ester dengan reaksi transesterifikasi,
sehingga minyak jelantah yang sebelumnya merupakan limbah yang berbahaya
jika langsung dibuang ke lingkungan dapat menjadi suatu produk yang
mempunyai nilai ekonomis dan juga dapat mengurangi jumlah limbah minyak
jelantah yang ada.
Ketika minyak digunakan untuk menggoreng terjadi peristiwa oksidasi,
hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah
besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan
makanan. Adanya asam lemak bebas dalam minyak goreng tidak bagus pada
kesehatan. FFA dapat pula menjadi ester jika bereaksi dengan methanol, sedang
jika bereaksi dengan soda akan mebentuk sabun.
Produk biodiesel harus dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa
methanol dan soda. Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat henghidrolisa dan
memecah biodiesel menjadi FFA yang kemudian terlarut dalam biodiesel itu
sendiri. Kandungan FFA dalam biodiesel tidak bagus karena dapat menyumbat
filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin
dieseKeuntungan penggunaan minyak jelantah dalam pembuatan metil ester
adalah dapat direduksinya biaya operasional, karena harga minyak jelantah pasti
lebih murah daripada minyak bersih atau minyak baru.
Kekurangannya adalah komposisi asam lemak yang terkandung di dalam
minyak dapat berubah akibat pemanasan dan terikat dengan bahan makanan yang
digunakan pada proses penggorengan. Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan
baku pembuatan biodiesel dewasa ini menjadi pilihan yang cukup tepat.
2. Metanol
Alkohol digunakan sebagai reaktan dalam reaksi esterifikasi maupun
transesterifikasi. Alkohol yang sering digunakan adalah metanol, etanol, propanol,
dan isopropanol. Dalam skala industri, metanol lebih banyak digunakan karena
harganya lebih murah daripada alkohol yang lain. Alkohol diumpankan dalam
reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi dalam jumlah berlebih untuk
mendapatkan konversi maksimum. Pemakaian alkohol yang berlebih tentu saja
menambah biaya produksi pembuatan biodiesel, oleh karena itu alkohol sisa di
daur ulang.
Metanol adalah salah satu senyawa hidrokarbon dari golongan alkohol
(CnH2n+2O) dengan gugus alkil hidroksil (-OH). Alkohol memiliki keisomeran
fungsi dengan eter. Rumus umum methanol adalah CH4O atau sering ditulis CH3-
OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada “keadaan atmosfer” ia
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar,
dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol
diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses
tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari,
uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari
menjadi karbon dioksida dan air.
Metanol bisa digunakan sebagai sebuah aditif petrol untuk meningkatkan
pembakaran, atau kegunaannya sebagai sebuah bahan bakar independen (sekarang
sementara diteliti). Jika dibandingkan dengan bensin, yang biasanya ditambah zat
antiketuk untuk menambah nilai oktan. Salah satu zat antiketuk yang digunakan
untuk menambah nilai oktan bensin adalah TEL (Tetra Ethyl Lead). Lead =
Timbal/Plumbum (Pb) tidak bereaksi dengan oksigen sehingga emisi pembakaran
kendaraan yang menggunakan bensin ber-TEL adalah timbal (Pb), dan efek dari
timbal adalah kerusakan permanen pada otak bagi orang yang menghirupnya.
Sehingga sekarang TEL dilarang penggunaannya dan diganti dengan bensin super
TT (Tanpa Timbal). Pada bensin super TT MTBE (Methyl Tertiary Buthyl Ether).
Metanol dapat digunakan sebagai senyawanya sendiri atau direaksikan dengan
minyak seperti triolein (minyak zaitun) menjadi ester (metil oleat) dengan katalis
NaOH dan hasil samping gliserol. Sebagai senyawanya sendiri, metanol pada
suhu 15oC dapat dicampurkan dengan BBM yang disebut dengan bioalkohol.
Bioalkohol mampu menghasilkan panas yang lebih besar daripada BBM.
Kandungan metanol dalam BBM tidaklah dapat melewati 15% untuk campuran
homogen tanpa menggunakan zat-zat tambahan (Fitrayadi, 2008). Hal ini karena
produk alkana bersifat nonpolar sedangkan metanol bersifat polar sehingga
kelarutan metanol adalah rendah dalam senyawa alkana (Tim Dosen Kimia Dasar,
2009). Tetapi pencampuran metanol pada BBM dengan kadar 15% juga
menimbulkan masalah terutama di daerah dingin. Hal ini karena pada suhu 0 oC,
metanol tidak larut sepenuhnya dan tampak memisah dengan BBM (Fitrayadi,
2008). Semakin rendah suhu, maka kelarutan senyawa akan semakin rendah.
Tetapi, metanol 15% pun jika dibiarkan beberapa menit, ia akan memisah. Hal ini
biasanya terjadi selama proses pembakaran .
Metanol merupakan bagian sederhana dari alkohol yang mudah menarik uap
air yang terdapat di atmosfer. Oleh karena itu, jika kandungannya pada BBM
besar, maka akan menyebabkan korosi besi pada komponen mesin sehingga dapat
merusak komponen mesin. Selain itu, karena pembakarannya yang terlalu cepat,
maka memperbesar terjadinya knocking pada mesin kendaraan. Kandungan
metanol paling irit dimana bahan bakar menghasilkan karbonmonoksida paling
sedikit dengan kandungan air seminimal mungkin adalah pada konsentrasi 5%.
Semakin rendah kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida
semakin besar tetapi kandungan airnya semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi
kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida semakin kecil
tetapi kandungan airnya semakin besar. Pembakaran semakin sempurna dengan
bertambah pendeknya rantai karbon. Dengan mencampurkan metanol ke dalam
bahan bakar minyak, maka akan meningkatkan bilangan oktan dari bahan bakar
minyak tersebut. Bahan aditif yang dapat ditambahkan dengan metanol agar
kelarutannya dalam BBM semakin tinggi antara lain yang terbaik adalah sabun
atau detergen (Zenta, 2009).Hal ini karena sabun dan detergen dapat mengikat
metanol yang polar pada bagian abu alkalinya sekaligus mengikat senyawa
hidrokarbon pada bahan bakar minyak yang nonpolar pada bagian asam lemak
atau gliserolnya. Hal ini memungkinkan dibuatnya metanol 20% atau bahkan
lebih. Namun, perlu diingat bahwa semakin banyak kandungan metanol dalam
BBM juga mendorong semakin besar terjadinya korosi dan knocking.
Kelarutan suatu senyawa berkurang dengan menurunnya suhu. Akibatnya, pada
daerah dingin, kita tidak dapat membuat metanol 15% dalam BBM. Selain itu,
metanol 15% dapat dengan memisah dengan BBM selama proses pembakaran.
Hal ini mungkin karena selama proses pembakaran, metanol mengadakan kontak
dengan udara yang mengandung uap air. Metanol akan menyerap uap air sehingga
metanol semakin dijenuhkan oleh kandungan air. Akibatnya, dalam beberapa
menit, metanol akan memisah dari BBM. Berdasarkan fakta-fakta di atas, baik
metanol maupun dalam bentuk metil esternya sebaiknya digunakan dalam
konsentrasi 5% sampai kurang dari 15% saja untuk menjaga keawetan mesin
kendaraan dan untuk menjaga kemungkinan metanol dan BBM tidak akan
memisah pada penurunan suhu.
3. NaOH
Persentase katalis NaOH yang digunakan terhadap yield biodiesel yang
diperoleh. Pada penelitian ini digunakan pelarut metanol untuk mereaksikan
minyak kemiri, atau lebih dikenal dengan reaksi alkoholisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa yield biodiesel mencapai nilai maksimal untuk semua rasio
minyak dan metanol yang diperoleh saat penggunaan katalis NaOH 2% berat
minyak. Semakin besar konsentrasi katalis pada campuran maka semakin cepat
reaksi itu berlangsung. Penggunaan katalis yang melebihi 2% berat akan
mengakibatkan penurunan nilai yield. Hal ini disebabkan karena terbentuknya
dimetil eter antara metanol dan NaOH berlebih tersebut. Selain itu, katalis basa
yang berlebih juga akan terikut pada lapisan organik, sehingga asam lemak bebas
yang terkandung dalam bahan baku akan bereaksi dengan katalis NaOH berlebih
dan membentuk reaksi safonifikasi yang dapat menghambat pembentukan metil
ester yang diharapkan. Sabun dari hasil transesetrifikasi akan meningkatkan
viskositas dari biodiesel dan mengganggu pemisahan gliserol dan juga turunnya
yield metil ester (Ramadhas dkk., 2005; Ashwath, 2010).
Perbandingan molar alkohol yang lebih besar terhadap minyak akan
berpengaruh pada pemisahan gliserol (Marchetti dkk.,2007). Ini menunjukkan
bahwa rasio yang lebih rendah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
membentuk biodiesel dengan yield yang tinggi. Dengan perbandingan molar yang
lebih besar akan meningkatkan konversi tetapi akan mempersulit proses
pemisahan gliserol yang terbentuk dari hasil samping reaksi. Penambahan katalis
NaOH yang berlebih akan menyebabkan penurunan kadar asam lemak yang
berantai pendek (asam laurat dan asam miristat) dan menaikkan kadar asam lemak
yang berantai panjang (asam palmitat, asam stearat, asam arakidat, dan asam
behenat).
Persentase katalis NaOH yang digunakan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pembentukan asam lemak dalam biodiesel yang dihasilkan.
Pembentukan asam lemak dengan rantai terpendek, yakni asam laurat dan asam
miristat telah mencapai kesetimbangan pada penggunaan katalis 1,5% dan apabila
dilakukan terus penambahan katalis maka akan meng-hambat serta menurunkan
kadar asam lemak tersebut. Namun, hal sebaliknya terjadi pada asam lemak
palmitat C16, stearat C18, arakidat C20 dan behenat C22, dimana penambahan
katalis akan meningkatkan kadar asam lemak tersebut. Penambahan katalis akan
semakin mudah tercapainya kesetimbangan pembentukan asam-asam lemak
tersebut di dalam biodiesel (Fessenden dan Fessenden, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2013, 28 Oktober). Proses Pembuatan Biodiesel. Diakses 28 oktober
2013 dari www://id.wordpress.com/tag/proses-pembuatan-biodiesel/
Fatimah,S.H. 2009. Production Of Biodiesel From Waste Cooking Oil And RBD
Palm Oil Using Batch Transesterification Process. UMP: Malaysia
Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. (2006) Kimia Organik, edisi 4, Airlangga,
Jakarta.
Mittlebach, Remschmidt, Claudia (2004) Biodiesel The Comprehensive Hand-
book, Boersedruck Gm.bH, Vienna.
Shintawaty, Aamalia. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol
Sebagai Bahan Bakar Alternatif Di Indonesia. Economic Review: Jakarta
Sulistyo, H., Rahayu, S. S., Suardjaja, I. M., Winoto, G. (2009) Biodiesel
production from high iodine number candlenut oil, International Journal of
Chemical and Biological Engineering, 2(2), 62-65.
Asam Lemak Bebas
1. Penjelasan Umum tentang Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas tidak
terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis
dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi hidrolisa
minyak sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya
faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini
berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk (Anonim, 2001).
1.1. Kadar Asam Lemak Bebas
Kadar asam lemak bebas dalam minyak kelapa sawit, biasanya hanya dibawah
1%. Lemak dengan kadar asam lemak bebas lebih besar dari 1%, jika dicicipi
akan terasa pada permukaan lidah dan tidak berbau tengik, namun intensitasnya
tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah asam lemak bebas. Asam lemak
bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil mengakibatkan rasa tidak lezat. Hal
ini berlaku pada lemak yang mengandung asam lemak tidak dapat menguap,
dengan jumlah atom C lebih besar dari 14 (Ketaren, 1986).
1.2. Akibat Meningkatnya Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas dalam kosentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sawit
sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen
minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam
lemak bebas dalam minyak sawit.
Kenaikan asam lemak bebas ditentukan mulai dari tandan dipanen sampai
tandan diolah di pabrik. Kenaikan ALB ini disebabkan adanya reaksi hidrolisa
pada minyak.Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ALB
yang relatif tinggi dalm minyak sawit antara lain:
1). Pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu
2). Keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah
3). Penumpukan buah yang terlalu lama
4). Proses hidrolisa selama di pabrik (Anonim, 2001)
Nama : Aprila Ulfa
NIM : 03101003071
1.3. Bahaya Asam Lemak Bebas
Jaringan lemak melepaskan asam lemak bebas dan gliserol ke dalam darah, di
mana asam lemak tersebut diangkut dengan albumian ke hampir semua organ.
Dilain pihak, gliserol berjalan terutama ke dalam hati dan sedikit ke dalam ginjal;
hanya jaringan-jaringan ini tempatnya dapat digunakan. Proporsi asam lemak
bebas yang lebih besar dalam sirkulasi dikonversi menjadi badan-badan keton,
yang merupakan prinsip dalam hati. Badan-badan keton adalah bentuk energi
yang lebih larut dalam air dari pada asam lemak (Linder, 1992).
Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi, dan hidrolisa enzim
selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, asam lemak dengan
kadar lebih besar dari berat lemak akan mengakibatkan rasa yang tidak diinginkan
dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. Timbulnya racun dalam minyak yang
dipanaskan telah banyak dipelajari. Bila lemak tersebut diberikan pada ternak atau
diinjeksikan kedalam darah, akan timbul gejala diare, kelambatan pertumbuhan,
pembesaran organ, kanker, kontrol tak sempurna pada pusat saraf dan
mempersingkat umur.
Kadar kolesterol darah yang meningkat berpengaruh tidak baik untuk jantung
dan pembuluh darah telah diketahui luas oleh masyarakat. Namun ada salah
pengertian, seolah-olah yang paling berpengaruh terhadap kenaikan kolesterol
darah ini adalah kadar kolesterol makanan. Sehingga banyak produk makanan,
bahkan minyak goreng diiklankan sebagai nonkolesterol.. Konsumsi lemak akhir-
akhir ini dikaitkan dengan penyakit kanker. Hal ini berpengaruh adalah jumlah
lemak dan mungkin asam lemak tidak jenuh ganda tertentu yang terdapat dalam
minyak sayuran (Almatsier, 2002).
1.4. Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas
Alkalimetri adalah penetapan kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam
dengan menggunakan baku basa. Alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni
reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang
berasal dari basa untuk menghasilkan air yang bersifat netral.
Suatu indikator merupakan asam atau basa lemah yang berubah warna diantara
bentuk terionisasinya dan bentuk tidak terionisasinya. Sebagai contoh fenolftalein
(pp), mempunyai pka 9,4 (perubahan warna antara pH 8,4-10,4). Struktur
fenolftalein akan mengalami perataan ulang pada kisaran pH ini karena proton
dipindahkan dari struktur fenol dari pp sehingga pH meningkat akibatnya akan
terjadi perubahan warna (Rohman, 2007).
2. Asam Lemak Bebas dari Kelapa Sawit
Asam Lemak Bebas (ALB) atau free fatty acid (FFA), adalah asam yang di
bebaskan pada hidrolisa dari lemak. Terdapat berbagai macam lemak, tetapi untuk
perhitungan, kadar ALB minyak sawit dianggap sebagai Asam Palmitat (berat
molekul 256).
Daging kelapa sawit mengandung enzim lipase yang dapat menyebabkan
kerusakan pada mutu minyak ketika struktur seluler terganggu. Enzim yang
berada didalam jaringan daging buah tidak aktif karena terselubung oleh lapisan
vakuola, sehingga tidak dapat berinteraksi dengan minyak yang banyak
terkandung pada daging buah. Masih aktif di bawah 15oC dan non aktif dengan
temperatur diatas 50oC.
Apabila trigliserida bereaksi dengan air maka menghasilkan gliserol dan asam
lemak bebas. Reaksi hidrolisis lemak bersifat reversible merupakan reaksi
kesetimbangan kondisi tercapai bila kecepatan reaksi pemecahan lemak sama
dengan reaksi pembentukan lemak. Reaksi hidrolisis lemak berlangsung secara
bertahap yaitu pembentukan isomer diasilgliserol, proses pembentukan alpha dan
betha monoasilgliserol dan proses pembentukan gliserol.
Sebelum proses ektraksi minyak dilakukan, pertama-tam buah direbus di dalam
stelizer. Salah satu tujuannya yaitu mengnonaktifkan aktifitas enzim. Didalam
buah kelapa sawit ada enzim lipase dan oksidase yang tetap bekerja sebelum
enzim itu dihentikan dengan cara fisika dan kimia.
Cara fisika yaitu dengan cara pemanasan pada suhu yang dapat mendegradasi
protein. Enzim lipase bertindak sebagai katalisator dalam pembentukan
trigliserida dan kemudian memecahnya kembali menjadi asam lemak bebas
(ALB). Enzim Oksidase berperan dalam proses pembentukan peroksida yang
kemudian dioksidasi lagi dan pecah menjadi gugusan aldehide dan kation.
Senyawa yang terakhir bila dioksidasi lagi akan menjadi asam. Jadi ALB yang
terdapat dalam minyak sawit merupakan hasil kerja enzim lipase dan oksidase.
Aktifitas enzim semakin tinggi apabila buah mengalami luka. Untuk
mengurangi aktifitas enzim sampai di pabrik kelapa sawit diusahakan agar buah
tidak rusak dan buah tidak busuk. Enzim tersebut tidak aktif lagi pad temperatur
50 derajat C. Karena itu perebusan di dalam sterilizer pada temperatur 120 derajat
C akan menghentikan enzim.
2.1. Variabel-variabel yang Sangat Berpengaruh teradap Pembentukan Asam
Lemak
Beberapa variabel proses yang sangat berpengaruh terhadap perolehan asam
lemak seperti pengaruh suhu, kematangan buah, kadar pelukaan buah,
pengadukan, penambahan air, penambahan CPO dan lama penyimpanan.
1. Pengaruh Temperatur
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa kadar asam lemak
yang paling tinggi didapat pada suhu kamar (25oC–27oC). Enzim lipase pada buah
kelapa sawit sudah tidak aktif pada suhu pendinginan 8oC dan pada pemanasan
pada suhu 50 oC.
Secara umum temperatur sangat berpengaruh pada reaksi kimia, dimana
kenaikan temperatur akan menaikkan kecepatan reaksi. Sifat enzim yang inaktif
pada suhu tinggi, maka pada proses enzimatis ada batasan suhu supaya enzim
dapat bekerja secara optimal. Penurunan aktifitas enzim pada suhu tinggi diduga
diakibatkan oleh denaturasi protein. Juga pada suhu rendah, aktifitas enzim juga
menurun yang diakibatkan oleh denaturasi enzim.
2. Pengaruh Penambahan Air
Air mempunyai pengaruh pada reaksi yang terjadi, dan pengaruh ini pada
dasarnya adalah membantu terjadinya kontak antara substrat dengan enzim.
Enzim lipase aktif pada permukaan (interface) antara lapisan minyak dan air,
sehingga dengan melakukan pengadukan, maka kandungan air pada buah akan
mampu untuk membantu terjadinya kontak ini.
Pada proses hidrolisa ini, secara stokiometri air pada buah sudah berlebih untuk
menghasilkan asam lemak (kadar air pada buah adalah sekitar 28%), tetapi karena
air ini berada pada padatan maka perlu dilakukan pelumatan buah dan selanjutnya
dilakukan pengadukan. Disamping itu, untuk mengatasi/mencegah kekurangan
air.
Pengaruh kadar air pada produk yang dicapai sangat besar, dimana kandungan
air yang sangat besar ini mengakibatkan reaksi antara asam lemak dan gliserol
tidak dapat terjadi dengan baik.
3. Pengaruh Pelukaan dan Pengadukan Buah
Enzim lipase tidak berada dalam minyak, tetapi berada dalam serat. Tingkat
pelukaan buah dan pengadukan sangat berpengaruh terhadap proses hidrolisa
karena akan membantu terjadinya kontak antara enzim dan minyak (substrat). Hal
ini karena posisi enzim lipase pada buah sawit belum diketahui secara pasti,
sehingga untuk mengatasi hal ini maka buah harus dilumat sampai halus,
kemudian minyak dan seratnya dicampur kembali. Dengan proses seperti ini
terbukti bahwa kadar asam lemak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan jika
buah tidak dilumat sampai halus (hanya dimemarkan/dilukai).
Pengaturan kecepatan pengadukan pada reaksi ini perlu dilakukan, karena pada
proses ini pengadukan berpengaruh kepada waktu kontak antara air, substrat dan
enzim. Disamping itu, karena yang diaduk adalah campuran serat dan minyak,
maka pemilihan rancangan pengaduk sangat perlu untuk diperhatikan.
4. Pengaruh Kematangan Buah
Buah yang terdapat pada satu tandan buah kelapa sawit tidak akan matang
secara serempak. Buah yang berada pada lapisan luar biasanya lebih matang jika
dibandingkan dengan buah yang berada pada bagian yang lebih dalam. Hal ini
mengakibatkan adanya perbedaan persentase minyak yang terdapat pada setiap
buah yang berada dalam satu tandan.
Pada buah kelapa sawit, semakin matang buah maka kadar minyaknya akan
semakin tinggi. Dengan semakin tingginya kadar minyak pada buah maka proses
hidrolisa secara enzimatis akan semakin cepat terjadi, sehingga perolehan asam
lemak akan lebih tinggi.
5. Pengaruh Lama Penyimpanan
Secara alami asam lemak bebas akan terbentuk seiring dengan berjalannya
waktu, baik karena aktifitas mikroba maupun karena hidrolisa dengan bantuan
katalis enzim lipase. Namun demikian asam lemak bebas yang terbentuk dianggap
sebagai hasil hidrolisa dengan menggunakan enzim lipase yang terdapat pada
buah sawit.
6. Pengaruh Penambahan CPO
Pada proses ini, kecepatan reaksi lebih rendah jika penambahan kadar CPO
terhadap campuran antara serat dan minyak semakin meningkat. Hal ini dapat
terjadi karena enzim lipase yang berada pada buah sudah jenuh atau jumlahnya
terbatas, sementara jumlah substrat sudah sangat berlebih. Kecepatan reaksi
bergantung kepada konsentrasi enzim lipase, bukan pada konsentrasi substrat.
Daftar Pustaka
Anonim, (2013, 25 Maret). Asam Lemak Bebas. Diakses 29 oktober 2013 dari
http://thi.fp.unsri.ac.id/index.php/posting/71.
Anonim, ( 2012, 17 Juni). Asam Lemak Bebas. Diakses 29 Oktober 2013 dari
http://www.psychologymania.com/2012/10/asam-lemak-bebas.html.
Arief, Ria Qadariah. (2013, 23 April). Asam Lemak Bebas. Diakses 29 oktober
2013 dari http://www.konsultankolesterol.com/asam-lemak-bebas/.
Fauziah, (2011, 19 Mei). Asam Lemak Bebas dari Buah Kelapa Sawit. Diakses 29
Oktober 2013 dari http://free-rawwatertreatment.blogspot.com/2011
/05/asam-lemak-bebas-dari-buah-kelapa-sawit.html.
Sari, Indah P. (2013, 22 juni). Analisa Aam Lemak Bebas. Diakses 29 Oktober
2013 dari http://indhpsari.blogspot.com/2013/06/analisa-asam-lemak-
bebas-ffa.html.
Top Related