Download - MAKALAH BARU 1

Transcript
Page 1: MAKALAH BARU 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran

penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang

bersorak tasawuf, sehingga karenanya tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf

senantiasa dijumpai di wilayah manapun di Melayu-Indonesia ini Islam berkembang.

Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses

islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat

pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya,

ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia Melayu-

IndonEsia. Diantara murid-murid al-Sinkli adalah Syeikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman,

Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.

Bersama-sama dengan tarekat lain, Tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh al-

Sinkli dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran

tasawuf di dunia Melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara

karakteristik yang menonjol dari ajaran Neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling

pendekatan antara ajaran syariah dengan ajaran tawasuf. Dalam konteks tradisi intelektual

Islam di dunia Melayu-Indonesia, ajaran tawasuf dengan corak ini telah menjadi wacana

dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya

keislamam yang muncul, khusunya di bidang tasawuf.

Di Nusantara Syeh Abdurrauf menjadi guru utama tareqat ini, dan ia masuk dalam

silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini. Syeh Abdurrauf

memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nurantara. Ia memiliki murid dari

berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasauf As-Sinkili dibawa oleh muridnya

Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya ia Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang

sangat berpengaruh di sekitar daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf

as-Sinkili dibawa oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah

disebarkan oleh muridnya Syaeh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada as-Sinkili pada saat singgah

di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga

berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin

Abdullah.

1

Page 2: MAKALAH BARU 1

Melihat banyaknya murid As-Sinkili dari berbagai daerah di Nusantara tidak

berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan penting dalam perkembangan

Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam. Sebab pada masa itu,

murid menjadi ujung tobak dalam penyebaran Islam. Saat ia telah “tamat” belajar pada guru

tertentu, ia akan mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu

keislaman di sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid as-Sinkili. Dengan jalan inilah

pengaruh tasawuf yang diajarkan as-Sinkili menjalaar ke seluruh Nusantara.

Kebenaran aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik

perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai ajaran yang

sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai dengan syariat Islam.

Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan karena dua hal: pertama,

mereka berasal dari kelompok aliran tersebut sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Kedua,

ulama yang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan

penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar

tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana tarekat syattariyah dalam proses islamisasi di nusantara

2. Bagaimana peran tasawuf dalam perkembangan islam di nusantara

3. Bagaimana pengaruh Syekh Abdul Rouf Al – Sinkili dalam penyebaran islam di

nusantara

4. Apakah tarekat syattariyah masih tetap bertahan di wilayah nusantara

C. TUJUAN

1. Mengetahui syareat syattariyah dalam proses islamisasi di nusantara

2. Mengetahui peran tasawuf dalam perkembangan islam di nusantara

3. Mengetahui pengaruh Syekh Abdul Rouf Al – Sinkili dalam penyebaran islam di

nusantara

4. Mengetahui apakah tarekat syattariyah tetap bertahan di wilayah nusantara

2

Page 3: MAKALAH BARU 1

BAB II

PEMBAHASAN

A. MELACAK AKAR HISTORIS

Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-

8 H atau abad ke-14 M. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat

dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal,

termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini

selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-

abad jauh setelah masa nabi.

Demikian halnya dengan Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada

Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki

hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632

H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama

Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini

diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam

perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi

manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-

karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.

Nisbah asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah dua dan nampaknya

dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi)

dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya,

yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah

(mursyid).

Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan

bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar

dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu,

sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan

berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.

3

Page 4: MAKALAH BARU 1

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke

Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal

kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir

hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya,

terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling

berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri

sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri dari

seorang pendiri.

Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi

terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan

zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa

Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang

kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina

Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki

tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang

terkenal di wilayah Madinah.

Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani  adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang

kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf

Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran

Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-

Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud.  Ia adalah Muhammad

bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.

Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia

pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf

ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan

berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi

meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan

cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat

yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya

Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai

4

Page 5: MAKALAH BARU 1

Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat

Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf

Tajul Khalwati (1629-1699).

Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan

Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin,

relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat

yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui

Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang

didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.

B. AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH

Di dalam naskah Syattariyah karangan Syeh Abdurrauf, disebutkan tentang

adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir. Pelaksanaan zikir bagi penganut

tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi,

mutawasitah, dan muntahi. Mubtadi artinya : “tingkat

permulaan”, mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; danmuntahi artinya ‘tingkat

terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara

panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang

mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat

tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat

discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari

segi batiniah/hakikatnya. Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan

mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat

ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.

Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu

pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi

tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan

menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling

5

Page 6: MAKALAH BARU 1

utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar,

dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu

harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan

Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada

sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat,

zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.

Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan

aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-

masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi

ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar

melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an,

melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-

latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita,

menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar

memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para

tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada

Allah SWT.

Dalam kitab al-Simt al-Majid, syaikh Ahmad al-Qusyasyi, kholifah Tarekat

Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntunan dan ajaran bagi para

penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan

dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan dan tata cara

zikirnya.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqoddimah, sebagai

sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syatariyah, yang

disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini

diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat

6

Page 7: MAKALAH BARU 1

selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai

berikut:

1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu

kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan,

nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya

kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara

nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara

ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.

3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke

dalam hati sanubari.

4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah

dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada

dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan

agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur,

dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa

memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.

7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut

dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-

Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh

buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya

tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut,

sebagai berikut:

7

Page 8: MAKALAH BARU 1

1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:

Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan

gelap, tidak mengetahui Tuhannya.

2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan,

acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.

3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya:

dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan

menghadapi segala kesulitan.

4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-

sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah

SWT.

5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan

menepati janji.

6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih

dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.

7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul

yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi

dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang

berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-

lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-

Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang

merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-

lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang

disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati

menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu,

ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

C. Tentang Talqin

8

Page 9: MAKALAH BARU 1

Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum seseorang

dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf. Menurut al-Qusyasyi, diantara

tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk

oleh syekhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu).

Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunnah sebanyak 6 rakaat, dengan

tiga kali salam. Pada rakaat pertama, setelah surat al-Fatihah membaca al-Qadarenam kali,

kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Qadar dua kali.

Padahal shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat

pertolongan kepada Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua,

setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-

Fatihah membaca al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi,

keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.

Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-

Fatihahmembaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-

Fatihahmembaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-

guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini kemudian

diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.

D. Baiat dan Tata Caranya

Baiat yang dipakai dalam istilah Tarekat Syathariyah adalah barokah. Barokah karena

telah berjanji mengikuti jejak guru wasthiah. Baiat di tarekat tersebut ada dua macam, yaitu

baiat masuk Tarekat Syathariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam

mengerjakan baiat ada beberapa syarat antara lain: niat, suci dari hadas, menutup aurat,

oaring Islam, dan kifarat.

Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syathariyah

yang kemudian akhirnya bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syathariyah. Pada

pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, masjid, ataupun di rumah Tanjung sebagai

tempat berdomisili mursyid yang membaiat, ataupun di mushal/masjid/rumah dengan cara

mendatangkan musyrid. Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian

diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun

9

Page 10: MAKALAH BARU 1

berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke

Tanjung atau mendatangkan.

E. AJARAN-AJARAN TAREKAT SYATARIYAH

Adapun ajaran Tarekat Syatariyah yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh

Abdul Rauf Singkel,  ajarannya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian:

1. Ketuhanan Dan Hubungannya Dengan Alam.

Dalam naskah syattariyah yang ditulis syekh al-sinkli dijelaskan bahwa Hubungan

antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada

mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu

diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la

merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma

pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu

merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-

Nya.

Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama,

perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan

sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika

orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin

itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja.

Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan,

sesungguhnya gerak tangan itu bukantangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang

seseorang yang bernama Si Zaidyang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia

menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu

berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu

bukanlah hakikat Si Zaid(meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya):

10

Page 11: MAKALAH BARU 1

yang huruf tetaplah sebagai hurufdan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu

Huwa l-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya

Yang Maha Benar’.

2. Insan Kamil atau Manusia Ideal.

Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan

penciptanya. Manusia merupakan penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensinya,

yang sebenarnya manusia adalah esensi sifat dan nama-Nya. Hubungan wujud Tuhan dengan

insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang insan kamil meliputi

masalah: pertama; masalah Hati, kedua; kejadian manusia yang dikenal dengan A’yan

Khorijiyyah dan A’yan Tsabitah, ketiga; akhlak Takholli dan Tajalli.

3. Jalan Kepada Allah.

Dalam hal ini Tarekat Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi Syari’at dan

Tasawuf, yaitu memadukan Tauhid dan Dzikir. Tauhid ini memiliki empat martabat, yaitu

Uluhiyah, Tauhid Sifat, Tauhid Dzat, dan Tauhid Af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam

kalimat La Ilaha Illa Allah. Oleh karena itu kita hendaknya memesrakan diri dengan La

Illaha Illa Allah. Begitu juga dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk

menemukan pencerahan intuitif (kasyaf) guna bertemu dengan Tuhan. Dzikir ini

dimaksudkan untuk mendapatkan al-Mawat al-Iktiariyah (kematian sukarela) yang

merupakan lawan dari al-Mawat al-Tabi’i (kematian alami). Namun tentunya perlu diberikan

catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syariah.

F. HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT DALAM TAREKAT SYATTARIYAH

Mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah dibatasi pada tiga hal:

(1) Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah

11

Page 12: MAKALAH BARU 1

(2) Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah

(3) Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

(1) Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan zikir.

Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah zikir yang

jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan

sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zikir (secara luas) memiliki

kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya.

Pelaksanaan zikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara)

dansirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan zikir secara bersuara merupakan ibadah yang

lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam.

Sedangkan pembacaan zikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh

kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berzikirlah kau dengan

hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, zikir itu tidak diucapkan secara

lisan(Q.S.Al A’raf 205). Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh

Baihaqi sebagai berikut: Zikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih

utama daripada zikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh

puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u

hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan.

(2) Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.

a.    Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-

syaithaan artinva,‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia

dibimbing oleh setan’.

b.    Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a

‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah,

jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan

membimbingmu ke jalan Allah.

c.   Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh

‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian) (Q.S. Al-Kahfi 17).

12

Page 13: MAKALAH BARU 1

d.   Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-

Wasilah’ (Channel.. berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-

sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).

(3) Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai

martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia).

Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat

yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang

sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn

Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha

Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.

G. SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH

Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah

yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi

Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam

melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali

menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian

seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis

keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya

biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi

pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di

Indonesia:

Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin

Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far

Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-

Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh

Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif,

kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-

Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah

bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu

Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya),

13

Page 14: MAKALAH BARU 1

kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas

Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai

Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai

Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati),

kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji

Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban,

kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam

Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk)

dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan pokok – pokok kajian di atas kiranya dapat di buat beberapa kesimpulan:

1. Tarekat syattariyah merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses

islamisasi di nusantara .

2. Melihat banyaknya muris – murid Abdul Rouf Al – Sinkili dari berbagai daerah di

nusantara tidak berlebihan kalau di katakan bahwa tasawuf memiliki peran

penting dalam perkembangan islam di nusantara .

3. Di nusantara Syekh Abdul Rouf Al – Sinkili menjadi guru utama tarekat ini dan

beliau masuk dalam silsilah tarekat yang di bacakan penganut tarekat syattariyah

sampai saat ini syekh Abdul Rouf Al – Sinkili memiliki pengaruh besar dalam

penyebaran islam di nusantara .

4. Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyah masih bertahan di berbagai

wilayah di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa

memperjuangkan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat,  atau

apa yang disebut sebagai neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak

sedahsyat pada masa awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyah

masih dapat bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.

14

Page 15: MAKALAH BARU 1

15