MAKNA KHALÎFAH DALAM AL-QUR`AN:
Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
Oleh:
Wahyu Kurniawan
NIM. 215-13-015
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA (FUADAH)
JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR (IAT)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
)ḥa’ ḥ ha (dengan titik di bawah ح
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
żal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra’ r er ر
zal z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
vii
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
ẓa’ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع
gain g ge غ
fa’ f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ` apostrof ء
ya’ y ye ي
B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
Ditulis Muta’addidah متعددة
viii
Ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h
a. Bila dimatikan ditulis h
Ditulis Ḥikmah حكمة
Ditulis Jizyah جزية
(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki
lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
`Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياء
c. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah
ditulis t.
Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة
D. Vokal Pendek
___ Fatḥah Ditulis A
___ Kasrah Ditulis I
___ Ḍammah Ditulis U
ix
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
جاهليةDitulis
Ā
Jahiliyyah
Fatḥah bertemu Alif Layyinah
Ditulis تنسىĀ
Tansa
Kasrah bertemu ya’ mati
كرميDitulis
Ī
Karīm
Ḍammah bertemu wawu mati
فروضDitulis
Ū
Furūḍ
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemu Ya’ Mati
Ditulis بينكمAi
Bainakum
Fatḥah bertemu Wawu Mati
قولDitulis
Au
Qaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
Ditulis A`antum أأنتم
Ditulis U’iddat أعدت
Ditulis La’in syakartum لئن شكرمت
x
H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah
ditulis dengan menggunkan “al”
Ditulis Al-Qur`ān القران
Ditulis Al-Qiyās القياس
`Ditulis Al-Samā السماء
Ditulis Al-Syams الشمس
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau
pengucapannya
Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض
هل السنةا Ditulis Ahl al-sunnah
xi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيمSyukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah swt. yang telah
mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak dapat penulis sebutkan
satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna
Khalīfah Dalam al-Qur`an (Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu) ini.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw.
beserta keluarga, sahabat serta pengikut-pengikutnya sampai di yaumul qiyāmah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan
dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Kedua orangtua (Ayahanda Madiyono dan Ibunda Samiyem) yang tak
pernah henti berjuang menyekolahkan anak-anaknya meskipun selalu
mendapat ujian-ujian yang sangat menyulitkan. Do’a yang selalu
terlantun di setiap malammu adalah pemeran terpenting dalam segala
keberhasilanku. Seribu terimakasih mungkin tak cukup untuk membalas
jasamu. Semoga dengan skripsi ini dapat menjadi sebuah kebanggaanmu
terhadap anakmu.
2. Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,
dan Humaniora IAIN Salatiga.
xii
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir beserta staff-staffnya yang tak pernah menyerah memotivasi
kami sebagai angkatan pertama untuk menyelesaikan skripsi kami.
Terimakasih juga atsa fasilitas Lab FUADAH yang tlah dibuka beberapa
saat sebelum penulis memulai skripsi ini, sehingga fasilitas tersebut
sangat membantu proses penulisan skripsi ini.
4. Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. selaku dosen pembimbing yang
dengan kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar.
5. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Sarifuddin, M Abdul Fatah,
Rangga Pradikta, Husain Imaduddin, Laila Alfiyanti, M Choirurrohman,
Mahfudz Fawzie dan Triyanah, terimakasih atas empat tahun perjuangan
yang telah kita lewati bersama ini.
6. Saudara-saudaraku yang selalu giat memotivasi penulis dan menghibur
penulis ketika menemui jalan susah dalam penulisan skripsi ini.
7. Adik-adik kelas yang juga selalu membantu dan memotivasi penulis,
bahkan menemani penulis seharian di Lab FUADAH untuk
menyelesaika skripsi ini.
8. Dan tak lupa pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk
disebutkan di sini.
Teriring do’a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis
dalam penulisan skripsi ini diterima di sisi Allah swt. dan mendapat pahala yang
xiii
dilipat gandakan. Penulis menyadari bajwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kebaikan dan kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Amin.
Salatiga, 8 Maret 2017
Penulis,
Wahyu Kurniawan
NIM. 215-13-015
xiv
ABSTRAK
Salah satu kemukjizatan Al Quran adalah sebuah kitab dengan sastra yang
indah. Hal tersebut ditunjukkan dari keindahan susunan kata dalam ayat-ayat Al
Quran yang mempesona. Karena hal tersebut tidaklah jarang ketika dalam
memahami ayat Al Quran banyak perbedaan yang muncul baik dari para pakar
maupun dari kalangan orang Islam pada umumnya. Dalam memahami nash Al
Quran, seorang pengkaji dituntut untuk mempersiapkan diri. Sarana untuk untuk
maksut tersebut diantaranya dengan menggunakan metode semantik atau
kebahasaan. Seperti kata “Khalīfah ” dalam pengertian umum diartikan sebagai
sebuah sistem politik yang mengharuskan seluruh komponennya adalah muslim,
berbeda dengan pemaknaan ketika kata tersebut dikolaborasikan dengan metode
semantik Toshihiko Izutsu yang memaknai kata “Khalīfah ” sebagai pengganti
Allah di muka bumi atau pengganti pemimpin sebelumnya.
Berawal dari gagasan inilah Peneliti tertarik melakukan kajian ini.
Penelitian ini berjudul “Makna Khalīfah Dalam Al-Qur`an: Tinjauan Semantik
Al-Qur`an Toshihiko Izutsu”, ini merupakan sebuah kajian yang meneliti
pemaknaan kata Khalīfah dalam Al Quran dengan menggunakan pendekatan
metode semantik Toshihiko Izutsu. Izutsu adalah sarjana yang berasal dari jepang.
Ia merupakan seorang tokoh yang memperkenalkan metode sematik sebagai
metode memaknai sebuah kata. Ia juga termasuk ke dalam seorang mufassir dari
golongan orientalis. Ia mempunyai beberapa karya tulis yang membahas tentang
kajian makna kata dalam al-Qur`an dengan menggunkan metode semantiknya.
Peneliti memilih kata “Khalīfah ” dalam Al Quran karena pendapat para pakar
yang masih debetabel atas kata tersebut dan menarik jika kata Khalīfah dimaknai
dengan metode semantik agar lebih jelas dalam penemuan maknanya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan kata Khalīfah
dalam Al Quran menurut semantik Tosihiko Izutsu. Dalam penelitian ini Peneliti
memilih menggunakan metode semantik, sebab Izutsu dalam mencari makna kata
dalam Al Quran menggunakan semantik adalah sebuah alternatif memahami kata
dan menjadi salah satu keunikan makna kata yang mendalam.
Peneliti menemukan pandangan Tosihiko Izutsu bahwa kata Khalīfah
dalam Al Quran tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik akan
tetapi lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan melestarikan bumi
(Khalīfah fi al Ardh) dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.
Kata kunci: Khalīfah , Tosihiko Izutsu, semantik
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN ........................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................ v
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................. vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. xi
ABSTRAK ..................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI .................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11
E. Landasan Teori ............................................................................ 13
F. Metode Penelitian ........................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 17
BAB II TERM KHALĪFAH DALAM AL-QUR`AN ................................... 19
A. Ayat-Ayat Khalīfah Dalam Al-Qur`an ........................................ 19
B. Ayat-Ayat Khalā’if Dalam Al-Qur`an ........................................ 22
xvi
C. Ayat-Ayat Khulafā’ Dalam Al-Qur`an ....................................... 24
D. Makna Khalīfah Menurut Para Mufassir ..................................... 27
BAB III SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU ........................ 32
A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu .............................................. 32
B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu ........................................... 36
C. Jenis-jenis Semantik .................................................................... 38
D. Semantik Al-Qur`an .................................................................... 40
E. Prinsip-Prinsip Metodologi Semantik Al-Qur`an Toshihiko
Izutsu ............................................................................................ 42
BAB IV SEMANTIK KATA KHALĪFAH ................................................... 50
A. Makna Dasar ............................................................................... 50
B. Makna Relasional ........................................................................ 53
C. Sinkronik dan Diakronik ............................................................. 54
D. Weltanschauung .......................................................................... 66
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 72
A. Kesimpulan ................................................................................. 72
B. Saran ............................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 79
CURRICULUM VITAE ............................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas bahwa al-Qur`an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kehidupan umat Islam merupakan fakta yang tidak terbantah. Al-Qur`an adalah
inti (core) peradaban Islam. Ayat-ayat al-Qur`an sellu dibaca, ditulis dan
didendangkan. petunjuk, norma, dan bukti-bukti kebenarannya yang abadi, secara
terus-menerus dipahami dan didialogkan dengan realitas yang mengelilingi
kehidupan keseharian mereka. Bagi umat Islam, seluruh isi kandungan yang
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an berlaku bagi siapa pun, kapan pun dan di mana
pun adanya. Penerapan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an
diyakini akan menghantakan umat manusia memperoleh kebenaran dan
kesejahteraan. Hampir-hampir tidak ada ruang dalam kehidupan muslim, baik
privat maupun public yang tidak bersentuhan dengan al-Qur`an. Tidak berlebihan
jika banyak intelektual baik muslim maupun non-muslim menyatakan bahwa
peradaban Islam adalah peradaban yang bersumber pada teks.1
Al-Qur`an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di dalam bentuk mushaf
serta diriwayatkan secara mutawatir, membacanya termasuk ibadah, bahkan surat
tependeknya memiliki kemuliaan yang lebih tinggi daripada seluruh isinya.2 Al-
1 A. Luthfi Hamidi, Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik Al-Qur`an, Disertasi,(Yogyakarta: UIN Sunn Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 2.
2 Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zurqani, Manahil al—‘Irfan fi Ulumul Qu`an, Juz 2,hlm. 300.
2
Qur`an merupakan kitab suci yang paling sakral bagi umat Islam, di dalamnya
terdapat semua sumber hukum yang berlaku dalam kehidupan umat tersebut. Al-
Qur`an sendiri diyakini sebagai kitab suci yang menyimpan banyak pengetahuan
dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, banyak akademisi yang berusaha untuk
memahami al-Qur`an dari berbagai sudut pandang. Pengetahuan yang terdapat di
dalam al-Qur`an kemudian diolah kembali sesuai dengan pemahaman sang
pembaca menjadi sebuah konsep pengetahuan tersendiri dalam pemikiran
pembaca tersebut. Konsep-konsep ini yang nantinya dikenal dengan sebutan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an telah dimulai sejak era al-Qur`an diturunkan. Pada
masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Qur`an dengan Qur`an yang
meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Qur`an dengan
hadis, dimana penafsir tersebut adalah Nabi SAW sebagai orang yang juga
menyampaikan al-Qur`an kepada umatnya. Tafsir al-Qur`an mengalami
perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi SAW Ada beberapa aliran
tafsir yang muncul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam
metode penafsiran, antara lain: tafsir mauḍu’i, tafsir bi al-ma’tsūr, tafsir bi al-
ra’yi, tafsir sufi, tafsir ‘isyari, tafsir ilmiy dan tafsir sastra. Ragam model
penafsiran ini menunjukkan bahwa al-Qur`an bisa dipahami dari berbagai macam
pendekatan.
Salah satu sisi mukjizat dari al-Qur`an adalah sebuah kitab dengan sastra
yang indah. Para pakar bersepakat bahwa sisi keindahan bahasa dan susunan kata
dalam ayat-ayat al-Qur`an sangat mempesona. Aspek keistimewaan bahasa dalam
al-Qur`an terdapat dalam setiap surah, yang mencakup ketelitian dalam memilih
3
dan menyusun kosa kata, kemudahan pengucapannya serta kesesuaian nada
kalimatnya ke telinga pembaca dan pendengarnya dan tentu kedalaman pesan
yang dikandungnya.3
Pada masa turunnya al-Qur`an, sisi kebahasaan itulah yang dirasakan oleh
masyarakat Islam pertama. Namun, dari waktu ke waktu pengetahuan bahasa
tereduksi sehingga sisi itu tidak lagi memiliki kesan yang besar. Namun demikian,
tidak berarti bahwa keistimewaan al-Qur`an dalam aspek tersebut hilang atau
keistimewaan tersebut tidak lagi dapat menjadi bukti kebenaran. Al-Baqillani
mengatakan, al-Qur`an memiliki struktur yang sangat indah dan susunan yang
menakjubkan. Kualitas efisiensinya mencapai puncak tertinggi, hingga
membuatnya jelas tidak akan bisa dicapai oleh makhluk.4
Pada era kontemporer, para sarjana mulai mengalihkan pemikiran mereka
pada metode kebahasaan, salah satunya Toshihiko Izutsu yang lebih menekankan
pada semantik historis kebahasaan al-Qur`an. Sepeninggal Nabi Muhammad
SAW seiring dengan berjalannya waktu dan perbedaan ruang, terjadi pergeseran
makna al-Qur`an oleh penafsiran mufassirin. Di sinilah pentingnya metode untuk
mencapai ketepatan makna secara eksplisit dan implisit dalam ayat-ayat al-Qur`an
dan semantik merupakan salah satu alternatifnya. Gagasan analisis semantik
dalam konteks al-Qur`an ini, sebagaimana yang dipaparkan Islah Gusmian dalam
bukunya Khazanah Tafsir Indonesia bahwa mulanya semantik ini dipopulerkan
oleh Toshihiko Isutzu, semantik ini merupakan ilmu yang berhubungan dengan
fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas,
3 Ismatillah dkk, Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian denganPendekatan Semantik Toshihiko Izutsu), (Diya al-Afkar, 4 [02], 2016), hlm. 39.
4 Ismatillah, Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an ..., hlm. 39.
4
sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek
semantik.5
Pentingnya telaah semantik tersebut, dalam perkembangan di anak benua
Indo-Pakistan Sir Ahmad Khan dalam bukunya Taufik Adnan Amal menjelaskan
bahwa dalam tataran penelitian filologi, penetapan makna al-Qur`an harus
mendapat justifikasi rasionalistik. Metode rasionalistik ini sejalan dengan prinsip
conformity to nature. Inilah prinsip penafsiran al-Qur`an. Hal tersebut mendasari
pendekatan semantik ini juga dengan tidak bisa melepas peran rasio. Sebagaimana
juga di Indonesia pada dasawarsa 1990-an, semantik menjadi salah satu metode
pendekatan signifikan, di mana semantik ini pada dasarnya hendak menangkap
weltanschauung al-Qur`an searah dengan tujuan model penyajian tematik yang
hendak merumuskan pandangan al-Qur`an dalam suatu masalah tertentu secara
komprehensif.6
Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, ia mewasirkan dua pusaka kepada
umat Islam yang dengannya dapat mengantarkan pada keselamatan dunia dan
akhirat, yaitu al-Qur`an dan Hadis. Keduanya mengandung ajaran-ajaran Islam,
dan merupakan dua sumber ajaran-ajaran Islam yang paling utama, yang tidak
akan tersesat apabila mematuhi apa yang terkandung di dalam dua pusaka
tersebut.
Melihat wahyu terakhir yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, serta
jaminan tidak akan tersesatnya seorang muslim yang menjalankan apa yang ada di
dalam al-Qur`an dan Hadis ternyata tidak menjadi sebuah ketentuan bahwa setiap
5 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 230.
6 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia ..., hlm. 221
5
muslim dapat merepresentasikan Islam sebagai rahmat seluruh alam. Sejarah
mencatat, bahwa telah terjadi beberapa kali perpecahan di antara umat Islam ini.
Perpecahan ini dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib
dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada
peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas
45.000 orang. Kemudian disusul dengan peristiwa jatuhnya Baghdad, yang
diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal sebagai bangsa yang
bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena perbedaan pandangan
antara khalīfah yang orang Sunni dengan wasir besar (perdana menteri) yang
orang Syi’ah. Perkelahian penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga
telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Di
abad ke-15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan
terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk
mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan
Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah. Belum lagi ketika
menengok sejarah teologi/ilmu kalam dalam Islam, dimana akan nampak
banyaknya perpecahan-perpecahan umat Islam dalam memaknai Islam, di
samping juga dalam mengamalkannya. Padahal acuan dasar dalam beragama
adalah sama. Tidak hanya sekedar berselisih, mereka juga tidak segan-segan
mengklaim pihak yang tidak sesuai dengan ideologinya sebagai seorang kafir, dan
sebutan-sebutan negatif lainnya.
Seakan tidak belajar dari sejarah, umat Islam dewasa ini masih terjebak
pada perpecahan-perpecahan yang bersifat internal, yakni antara muslim satu
6
dengan muslim lainnya. Bahkan tidak jarang, perpecahan ini berujung pada klaim
kafir (takfīr) yang dilakukan oleh kelompok Islam satu kepada kelompok lain
yang tidak sepaham dengan ideologinya.
Sejarah perpecahan ini juga menyajikan fakta bahwa tiap kelompok yang
saling berselisih, tetap mengacu pada al-Qur`an dan Hadis yang sama. Tiap
kelompok dapat menyajikan argumennya masing-masing baik itu berupa ayat
dalam al-Qur’an atau matan Hadis Nabi Muhammad SAW Pertanyaannya adalah
bagaimana bisa dari rujukan yang sama menimbulkan sikap yang berbeda dalam
umat Islam? Apakah kedua sumber utama tersebut terlalu ambigu ataukah
ketidakmampuan umat Islam dalam menangkap pesan yang terkandung di dalam
al-Qur`an dan hadis yang akhirnya menjadikan pemahaman yang tidak sejalan,
bahkan terkadang sangat bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya? Jika
merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah [5] ayat 48, maka
anggapan bahwa al-Qur`an dan Hadis adalah ambigu sangatlah tidak dapat dapat
diterima. Jika demikian, maka keterbatasan manusia dalam memahami Kalam
Ilahi inilah yang menjadikan perpecahan-perpecahan dalam Islam.
Persoalan yang pertama muncul ketika Rasulullah SAW wafat adalah
masalah khilāfah/kepemimpinan, mengenai siapa yang cocok menggantikan
kedudukan beliau sebagai kepala negara. Persoalan ini meskipun dapat diatasi
dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalīfah, namun persoalan ini muncul
7
kembali ketika terbunuhnya ‘Usman bin Affan ra. dan naiknya ‘Ali bin Abi Thalib
sebagai khalīfah menggantikan ‘Usman ra.7
Secara historis, umat Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah
khilāfah/kepemimpinan. Hal ini bukan hanya disebabkan karena kepemimpinan
itu merupakan suatu kehormatan besar, tetapi juga memegang peranan penting
dalam dakwah Islam. Kenyataan ini juga terbukti, di mana kepemimpinan tidak
hanya aktual pada tataran praktisnya, tetapi juga senantiasa aktual dalam wacana
intelektual muslim sepanjang sejarah. Namun demikian, yang perlu diingat ialah
Al-Qur`an dan hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam tidak memberikan
sistem kepemimpinan dan ketatanegaraan yang cocok untuk umat Islam, kecuali
hanya memberikan prinsip-prinsip universal, mengenai masalah kepemimpinan.
Atas dasar prinsip-prinsip universal inilah, para cendikiawan muslim dan para
ulama, merumuskan sistem kepemimpinan Islam.8
Pada masa klasik, penafsiran tentang kepemimpinan dalam Al-Qur`an
relatif tidak dipermasalahkan, khususnya pada masa sahabat dan pada masa
Umaiyyah. Tetapi setelah penetrasi Barat masuk ke dalam negara Islam tertentu,
polemik tentang kepemimpinan dalam Islam muncul, sehingga menjadi ajang
korntroversi. Kontroversi ini menimbulkan berbagai aliran pemikiran yaitu:
pertama, aliran tradisionalis yang mengatakan bahwa dasar dan sistem
pemerintahan sudah diatur lengkap dalam Al-Qur`an; kedua, aliran sekuler yang
mengatakan bahwa Islam hanyalah agama spritual yang tidak memiliki hubungan
dengan pemerintahan khususnya politik; dan ketiga, aliran reformis yang
7 Abd Rahim, Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, (Makassar: PPs UIN AlauddinMakassar, 2012), hlm. 2.
8 Rahim, Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, hlm. 2.
8
mengatakan bahwa Islam hanyalah memberikan ajaran sebatas nilai-nilai moral
dalam praktek politik dan penyelenggaraan negara.9
Toshihiko Izutsu melihat fenomena perpecahan umat ini sebagai suatu
akibat dari tidak adanya weltanschauung10 dalam al-Qur`an, utamanya terhadap
kata-kata yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menandai catatan
dominan, menembus dan menguasai seluruh pemikiran al-Qur`an.11 Oleh karena
itu, Toshihiko Izutsu menawarkan pendekatan dengan tujuan untuk menemukan
weltanschauung al-Qur`an, sehingga diperolehlah itu apa yang menjadi world
view al-Qur`an, khususnya istilah-istilah yang oleh Toshihiko Izutsu disebut
sebagai kata kunci dalam al-Qur`an. Kata kunci inilah yang sering memicu
terjadinya perpecahan. Pendekatan yang ditawarkan oleh Toshihiko ini adalah
pendekatan semantik dalam rangka merumuskan Weltanschauung al-Qur`an.
Melihat beberapa kasus yang terjadi dewasa ini, salah satu problematika
yang dapat mengantarkan kepada perpecahan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya adalah masalah kepemimpinan. Secara umum, pemimpin merupakan
seseorang yang memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah organisasi atau
negara. Ia memiliki kuasa atas segala yang dipimpinnya, serta memiliki wilayah
kekuasaan. Dalam studi kebahasaan, di dalam al-Qur`an terdapat beberapa kata
yang bermakna pemimpin, di antaranya adalah khalīfah.
9 Abd Rahim, Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, hlm. 2.10 Yakni pandangan dunia masyarakat yang menggunakan Bahasa itu, tidak hanya sebagai
alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yangmelingkupinya. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantikterhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, et al., (Yogyakarta: TiaraWacana, 2003), hlm. 3.
11 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 77.
9
Dengan menggunakan pendekatan semantik, penulis tertarik untuk
mengkaji makna dari term khalīfah bersama dua bentuk jamaknya, yaitu khalā`if
dan khulafā’ di dalam al-Qur`an. Diceritakan dalam al-Qur`an bahwa Allah SWT
menurunkan manusia di bumi dalam rangka menjadi khalīfah fi al-arḍ
sebagaimana dalam ayat berikut12;
ون ف تـعمل ر كي لنـنظ هم عد مث جعلناكم خالئف يف األرض من بـ Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumisesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS.Yunus [10] : 14)
Kata khalā’if dalam ayat tersebut merupakan bentuk plural dari
khalīfah yang berarti pengganti. Dalam misi merawat dan menjaga bumi,
sebelum manusia diciptakan, Allah SWT memang telah mengutus makhluk
sebelum manusia untuk menghuni dan menjaga bumi. Namun makhluk-makhluk
tersebut justru menghancurkan bumi dan kemudian Allah SWT membinasakan
mereka.13
Selanjutnya, guna meneruskan misi tersebut Allah SWT mengutus
manusia, maka kata khalīfah yang dimaksud adalah manusia sebagai pengganti
makhluk sebelumnya untuk menjaga bumi. Dalam rangka misi tersebut, selain
menurunkan manusia di bumi, Allah SWT juga melengkapinya dengan beberapa
tuntunan dan ilmu kepada manusia pertama yakni Adam.14
12 Alva Alvavi Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an (Analisis Semantik KataLibas, Siyab dan Sarabil dalam al-Qur`an Perspektif Toshihiko Izutsu), Thesis, (Tulungagung:IAIN Tulungagung, 2015), hlm. 5.
13 Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 5.14 Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 6.
10
مساء ئكة فـقال أ ى المال عل م وعلم آدم األمساء كلها مث عرضه نبئوين تم صادقني هؤالء إن كنـ
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlahkepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yangbenar!"
Dalam pengutusan itu Allah SWT memberikan bermacam ilmu kepada
Adam, hingga kemudian Allah SWT mengutus beberapa nabi setelah Adam
sebagai pembimbing manusia di bumi. Para Nabi mendapat petunjuk dan
bimbingan Allah SWT langsung melalui wahyu yang diembannya yang wajib
disampaikan kepada manusia, sampai kepada nabi terakhir yakni Muhammad
SAW yang dibekali al-Qur`an sebagai petunjuk hingga akhir zaman.15
Dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan lebih jauh lagi mengenai
makna khalīfah dalam al-Qur`an dengan menggunakan pendekatan semantik al-
Qur`an Toshihiko Izutsu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyebutan term khalīfah di dalam al-Qur`an?
2. Bagaimana pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu?
3. Bagaimana pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an Toshihiko
Izutsu?
15 Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 6.
11
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyebutan term khalīfah di dalam al-Qur`an.
2. Untuk mengetahui pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.
3. Untuk mengetahui pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an
Toshihiko Izutsu.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai khalīfah bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif
juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai
khalīfah, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya
adalah:
1. Skripsi dengan judul Konsep Khalīfah Menurut M. Quraish Shihab dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam yang ditulis oleh seorang
mahasiswi jurusan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah yang bernama Khoirunnisa Fadlilah pada tahun 2014.
Skripsi ini mengkaji sekaligus menjelaskan konsep khalīfah menurut M.
Quraish Shihab, dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Tujuan
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab
tentang konsep khalīfah.
2. Sebuah karya tulisan yang dimuat dalam jurnal TARBAWY, Vol. 2, Nomor 1,
(2015) oleh Yesi Lisnawati, Aam Abdussalam, dan Wahyu Wibisana yang
berjudul Konsep Khalīfah dalam Al-Qur`an dan Implikasinya Terhadap
12
Tujuan Pendidikan Islam (Studi Mauḍu’i Terhadap Konsep Khalīfah dalam
Tafsir Al-Misbah). Dalam tulisan tersebut Yesi membahas tentang
penyebaran konsep Khalīfah dalam al-Qur`an dan pendapat Tafsir Al-
Mishbah terhadap konsep Khalīfah serta implikasi konsep Khalīfah terhadap
tujuan pendidikan.
Penelitian mengenai kajian semantik sebagai pendekatan dalam mengkaji
sebuah term dalam al-Qur`an juga bukan merupakan hal yang baru. Diantara
penelitian tentang semantik yang pernah dilakukan yaitu:
1. Skripsi berjudul Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu) yang ditulis oleh seorang mahasiswa Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Eko Budi Santoso pada tahun 2015.
Dalam penelitian ini penulis tersebut mengkaji makna kata tawakkul dengan
menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
2. Skripsi karya Muhammad Iqbal Maulana seorang mahasiswa Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul Konsep
Jihad Dalam Al-Qur`an (Kajian Analisis Semantik Toshihiko Izutsu). Skripsi
ini membahas tentang konsep jihād yang terdapat di dalam al-Qur`an dengan
menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
3. Skripsi berjudul Keadilan Dalam Al-Qur`an (Kajian Semantik atas Kata Al-
‘Adl dan Al-Qisṭ) oleh seorang mahasiswi Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2015. Skripsi ini juga menggunakan pendekatan
semantik dalam mengkaji kata Al-‘Adl dan Al-Qisṭ.
13
4. Sebuah penelitian oleh Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun
pada tahun 2016 yang berjudul Makna Wali dan Awliya’ Dalam Al-Qur`an
(Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu). Tulisan ini
mencoba mengungkap makna kata wali dan awliya' yang terdapat di dalam
al-Qur`an dan menemukan sebuah konsep dari kata tersebut sesuai yang
dimaksud oleh al-Qur`an.
Dari kajian pustaka di atas, signifikansi penelitian ini berbeda dengan
sebelum-sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan tentang term khalīfah di dalam
al-Qur`an dengan ditinjau menggunakan pendekatan semantik al-Qur`an yang
dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
E. Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Semantik
Al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Adapun teori beliau dalam menganalisis suatu
kosakata dalam al-Qur`an yaitu sebagai berikut:
1. Menetukan kaat fokus. Setelah menentukan kata fokus selanjutnya
mengumpulkan ayat-ayat yang menajdi obyek kajian, menyantumkan
asbabunnuzul, dan mengelompokkannya diantara ayat-ayat makkiyah dan
madaniyah.
2. Menganalisis makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut
yang meliputi:
a. Makna Dasar dan Makna Relasional
14
Makna dasar adalah suatu kata yang melekat pada kata itu sendiri, yang
selalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan. Sedangkan makna
relasional adalah suatu kata yang konotatif yang diberikan kata itu pada
posisi khusus dalam bidang khusus.16 Ada dua langkah untuk mengetahui
makna relasional, yaitu:
1) Analisis sintagmatik yaitu suatu analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di
depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian
tertentu.
2) Analisis paradigmatik yaitu analisis yang mengkomparasikan kata
atau konsep tertentu dengan kata atau konsep yang lain yang mirip
atau bertentangan.
b. Sinkronik dan Diakronik
Aspek sinkronik adalah aspek kata yang tidak berubah dari konsep atau
kata dalam pengertian ini system kata bersifat statis. Sedangkan aspek
diakronik adalah aspek sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh
dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang khas. Toshihiko Izutsu
menyederhanakan persoalan ini dengan membagi periode waktu
penggunaan kosakata dalam tiga periode waktu yaitu Pra Qur`anik,
Qur`anik, dan Pasca Qur`anik.17
16 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 22.17 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 35.
15
F. Metode Penelitian
Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersumber pada
data kepustakaan atau library research. Yaitu jenis penelitian yang menggunakan
data-data kepustakaan sebagai data penelitiannya, seperti buku, jurnal, artikel,
ensiklopedia, dan data-data pustaka yang terdapat di dalam internet. Sehingga
penelitian ini sepenuhnya didasarkan atas bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan penelitian.
Peneliti akan menggunakan metode tafsir tematik term, yaitu model kajian
tematik yang secara khusus meneliti term(istilah-istilah) tertentu dalam al-
Qur`an.18 Dalam penelitian ini term khalīfah menjadi fokus utama untuk dikaji.
Maka peneliti akan menguraikan jumlah penyebutan kata khalīfah dan bentuk
jamaknya di dalam al-Qur`an, makna yang dikandungnya dan konteks-
konteksnya.
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi dari al-Qur`an,
buku-buku tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu, kamus-kamus bahasa,
kitab-kitab tafsir, karya-karya ilmiah dan karya tulis lain yang terdapat dalam
internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari berbagai sumber diatas terbagi
menjadi dua kelompok berdasarkan perannya sebagai sumber data dalam
penelitian ini, yaitu:
Sumber utama yang dipakai yaitu buku berjudul Relasi Tuhan dan
Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur`an yang merupakan karya dari
18 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur`an dan Tafsir, (Yogyakarta:Idea PressYogyakarta, 2015), hlm. 61-62.
16
Toshihiko Izutsu. Karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan penelitian ini
juga menjadi sumber utama.
Sebagai data pendukung penulis memakai data-data dari buku seperti
Mu’jam al-Qur`an li al-Alfadz al-Qur`an, Ensiklopedia Al-Qur`an (Kajian
Kosakata), dan beberapa kitab tafsir seperti tafsir al-Misbah dan lainnya. Selain
itu penulis juga menggunakan data dari karya-karya ilmiah seperti skripsi, thesis
ataupun jurnal yang memiliki tema yang berkaitan dengan skripsi ini.
Data-data yang telah didapat dikumpulkan kemudian diolah dengan cara-
cara berikut: 1) Deskripsi, yaitu dengan mengumpulkan dan mengelompokkan
ayat-ayat yang mengandung term khalīfah, kemudian menguraikan makna-makna
kata khalīfah yang terdapat di dalam al-Qur`an. 2) Analisis, yaitu melakukan
analisis dengan menggunakan teori semantik. Analisis ini meliputi makna kata
khalīfah di dalam al-Qur`an, konsep-konsep yang terkait dengan konsep khalīfah
dan pemaknaan khalīfah dari sisi diakronik.19
Dalam pemaknaan kata khalīfah di dalam al-Qur`an ini penulis
menggunakan pendekatan semantik dari seorang mufassir orientalis bernama
Toshihiko Izutsu. Dengan pendekatan tersebut pemaknaan kata khalīfah dikupas
dengan mengetahui makna sinkronik dan diakroniknya, yakni makna kata tersebut
pada masa pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.
19 Eko Budi Santoso, Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik ToshihikoIzutsu), Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), hlm. 17-18.
17
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab.
Kelima bab yang akan dibahas sesuai dengan outline yang telah ada dan berguna
memudahkan pembahasan.
Pada Bab yang pertama ini merupakan penjabaran awal, penulis mencoba
menerangkan latar belakang permasalahan, mengapa penulisan skripsi ini disusun,
batasan dan rumusan masalah. Selain itu, tujuan untuk menjawab permasalahan
penelitian juga dipaparkan dalam bab ini, disertai dengan manfaat penelitian
secara akademis. Dalam bab ini penulis juga menerangkan tentang karya-karya
terdahulu yang membahas tema yang sama disertai dengan perbedaannya dengan
skripsi ini. Penulis juga menerangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini
beserta sistematika dalam penulisan skripsi ini.
Bab Kedua berisi deskripsi ayat-ayat yang mengandung term khalīfah,
khala’if dan khulafa`. Bab ini terbagi menjadi empat sub bab, yaitu ayat-ayat
tentang khalīfah, ayat-ayat tentang khala’if, ayat-ayat tentang khulafa`, dan
penafsiran kata-kata tersebut menurut beberapa mufasir.
Bab ketiga memuat tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Terbagi
menjadi beberapa sub bab, yaitu biografi singkat Toshihiko Izutsu, pengertian
semantik, dan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.
Bab keempat, berisi analisis semanting makna khalīfah yang terdiri dari
dua sub bab, yaitu makna dasar, makna relasional, makna sinkronik, dan makna
diakronik. Adapun makna relasional terbagi menjadi dua yaitu analisis
18
sintagmatik dan paradigmatik. Dan makna diakronik terbagi menjadi 3 yaitu pra
Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.
Bab kelima, berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini
akan diterangkan tentang kesimpulan dari pembahasan penelitian di bab-bab
sebelumnya serta mengungkap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
penulisan ini dan memberikan saran-saran agar penulisan selanjutnya bisa
mengetahui kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini.
19
BAB II
TERM KHALĪFAH DALAM AL-QUR`AN
Di dalam al-Qur`an, kata khilāf dan turunannya disebutkan sebanyak 127 kali,
sedangkan kata khalīfah disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah
[2]: 30 dan surat Ṣād [38]:26. Kata khalīfah memiliki dua bentuk jamak yaitu khalā`if
dan khulafā`. Kata khalā`if disebutkan sebanyak empat kali, yaitu dalam surat Al-
An’am [6]: 165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]: 39.
Kemudian kata khulafā` juga disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu
dalam surat Al-A’raf [7]: 69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.19
A. Ayat-ayat khalīfah Dalam Al-Qur`an
Ayat pertama yang menyebutkan kata khalīfah adalah surat al-Baqarah [2]
ayat 30. Surat ini masuk ke dalam surat madaniyah, terdiri dari 283 ayat. Berikut
adalah bunyi dari ayat tersebut:
عل فيها من فة قالوا أجت رض خليأل ايف وإذ قال ربك للمالئكة إين جاعل ل إين أعلم نـقدس لك قامدك و حب ح يسفك الدماء وحنن نسب يـفسد فيها و
تـعلمون ما ال Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Akuhendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
19 M. Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadits, 2007),hlm. 240.
20
Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang akan membuatkerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbihdengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "SesungguhnyaAku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Ayat yang kedua adalah surat Ṣād [38] ayat 26. Surat ini masuk ke dalam
kelompok surat makiyyah. Terdiri dari 88 ayat.
جعلناك خليفة يف األر حل كم بـني ح اف ض داوود إ ق وال تـتبع الناس إن ال ضلون ع ي ذين اهلوى فـيضلك عن سبيل ا هلم عذاب ن سبيل ا
شديد مبا نسوا يـوم احلساب Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi,maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlahkamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yangberat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS. Ṣād [38]: 26)
Kata khalīfah dalam kedua ayat di atas memiliki arti yang sama yaitu yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar
ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah
dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi
bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai
Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya
penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk
lain dalam menghuni bumi ini. 20
20 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. 1,(Jakarta: Lentera Hati, 2005). Hlm. 172-173.
21
Ayat yang pertama di atas menunjukkan bahwa ke-khalīfah-an terdiri dari
wewenang yang dianugerahkan Allah SWT, makhluk yang diserahi tugas, yakni
Adam AS dan anak cucunya, serta waliyah tempat bertugas, yakni bumi yang
terhampar ini.21 Sedangkan pada ayat yang kedua. Pada masa Daud AS terjadi
peperangan antara dua penguasa besar, Thalut dan Jalut. Daud AS adalah salah
seorang anggota pasukan talut. Kepandainnya menggunakan ketapel mengantarnya
berhasil membunuh Jalut dan, setelah keberhasilannya itu serta setelah meninggalnya
Talut, Allah SWT mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan Thalut.22
Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, penulis mengemukakan bahwa terdapat
persamaan antara ayat yang berbicara tentang nabi Daud AS di atas dan ayat yang
berbicara tentang pengangkatan Nabi Adam AS sebagai khalīfah . Kedua tokoh itu
diangkat Allah SWT menjadi khalīfah di bumi dan keduanya dianugerahi
pengetahuan. Keduannya pernah tergelincir dan keduanya pernah memohon ampun
lalu diterima permohonannya oleh Allah SWT Sampai di sini, kita dapat memperoleh
dua kesimpulan. Pertama, kata khalīfah digunakan al-quran untuk siapa yang diberi
kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas Nabi Daud AS mengelola
wilayah Palestina dan sekitarnya, sedang Adam AS, secara potensial atau aktual,
mengelola bumi keseluruhannya pada masa awal kesejarahan manusia. Kedua,
seorang khalīfah berpotensi bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan akibat
21 Shihab, Tafsir Al-Misbah ..., Vol. 03, hlm. 173.22 Shihab, Tafsir Al-Misbah ..., Vol. 11, hlm. 368-369.
22
mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik adam maupun Daud AS diberi peringatan
agar tidak mengikuti hawa nafsu.23
B. Ayat-ayat khalā`if Dalam Al-Qur`an
Menurut kamus Lisānul ‘Arab, bentuk jamak dari kata khalīfah adalah
khalā`if.24 Kata ini disebutkan sebanyak empat kali di dalam al-Qur`an, yaitu dalam
surat Al-An’am [6]:165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]:
39.25
Surat al-An’am merupakan surat ke enam di dalam Mushaf Utsmani.
Dijelaskan dalam tafsir al-Kasyaf bahwa surat yang terdiri dari 165 ayat ini termasuk
ke dalam kelompok surat makkiyah, kecuali ayat 20, 23, 91, 93, 114, 141, 152, dan
153, ayat-ayat tersebut masuk ke dalam kelompok madaniyah.26 Dengan begitu maka
ayat berikut merupakan ayat makkiyah.
ق بـعض درجات كم فـو عض ع بـ وهو الذي جعلكم خالئف األرض ورف كم إن ربك سريع لوكم يف ما آ يم ه لغفور رح اب وإن عق ال ليـبـ
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Diameninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untukmengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
23 Shihab, Tafsir Al-Misbah..., Vol. 11, hlm. 369.24 Jamal Al-Din Abi Fadhl Muhammad bin Makram Ibnu Mandzur, Lisānul ‘Arab, jilid 9,
(Beirut: Dār Shādir, 1414 H), hlm. 82.25 Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an ..., hlm. 240.26 Abu Al-Qasim Muhammad bin ‘Amru bin Ahmad Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq
Ghawamid al-Tanzil, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), hlm. 3.
23
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.” (QS. Al-An’ām [6]: 165)
Surat nomer ke 10 dalam al-Qur`an ini merupakan salah satu dari surat
makkiyah kecuali ayat 40, 94, 95 dan 96.27 Ia terdiri dari 109 ayat.
يف تـعملون ك نـنظر ل م ده اكم خالئف يف األرض من بـع مث جعلن Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudahmereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yūnus [10]:14)
يـ بوه فـنج بوا خالئف وأغر لناهم جع و ك ناه ومن معه يف الفل فكذ قـنا الذين كذتنا فانظر كيف كان عاقبة المن ين ذر
Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yangbersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaandan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Makaperhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. (QS.Yūnus [10]: 73)
Ayat ini juga termasuk ke dalam golongan makkiyah. Diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW Setelah surat al-Furqān. Surat ini terdiri dari 45 ayat.
زيد ي ه كفره وال فـعلي فر ن ك هو الذي جعلكم خالئف يف األرض فم رهم إال خسارا الكافرين كف يزيد وال تاالكافرين كفرهم عند رم إال مق
Dia-lah yang menjadikan kamu khalīfah-khalīfah di muka bumi. Barangsiapa yangkafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisiTuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akanmenambah kerugian mereka belaka. (QS. Faṭir [35]: 39)
27 Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf …, Jilid 2, hlm. 326.
24
Kata khalā`if adalah bentuk jamak dari kata khalīfah . Kata ini terambil dari
kata khalf yang pada mulanya berarti belakang. Dari sini, kata khalīfah sering kali
diartikan yang menggantikan atau yang datang di belakang (sesudah) siapa yang
datang sebelumnya. Maka dapat dikatakan makna kata khalā`if pada keempat ayat di
atas memiliki arti yang sama dengan ayat yang menggunakan kata khalīfah .
Al-Raghib al-ashfahani dalam mufrodat-nya menjelaskan bahwa
menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan,
baik bersama yang digantikan atau sesudahnya. Lebih lanjut, pakar bahasa al-Qur`an
itu menulis bahwa kekhalīfahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat,
kematian, atau ketidakmampuan yang digantikan itu, dan dapat juga karena yang
digantikan memberi kepercayaan dan penghormatan kepada yang menggantikannya.
Maka atas dasar ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-
ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan
memberinya penghormatan. ada lagi yang memahaminya dalam arti yang
menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.28
C. Ayat-ayat khulafā` Dalam Al-Qur`an
Kata khulafā` dalam kamus Lisaanul Arab merupakan bentuk jamak dari
khalif—tanpa ta’ marbutah—. Namun dalam kitab tersebut dikatakan juga bahwa
28 Shihab, Tafsir Al-Misbah..., Vol. 3, hlm. 769
25
menurut imam Syibaweh, khulafā` adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata
tersebut disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu dalam surat Al-A’rāf
[7]:69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.29
Surat Al-A’rāf termasuk ke dalam golongan makkiyah, kecuali delapan ayat.
Surat ini terdiri dari 206 ayat.
تم أن جاءكم ذكر من ربكم اذكروا إذ ركم و م ليـنذ ل منك رج لىع أوعجبـ بسطة فاذك اخللق يف كم جعلكم خلفاء من بـعد قـوم نوح وزاد روا آالء ا
لعلكم تـفلحون Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dariTuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatankepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamusebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, danTuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-A’rāf [7]: 69)
خذون من األرض تـت أكم يف بـو و اد واذكروا إذ جعلكم خلفاء من بـعد ع وال تـ روا آال اذك ف اجلبال بـيو سهوهلا قصورا وتـنحتون عثـوا يف األرض ء ا
مفسدين Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yangberkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikanistana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnyauntuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamumerajalela di muka bumi membuat kerusakan. (QS. Al-A’rāf [7]: 74)
29 Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an ..., hlm. 240.
26
Surat Al-An’am, merupakan surat ke 27 dengan jumlah ayat 93. Surat ini
masuk ke dalam kelompok surat makkiyah.
يب المضطر إذا دعاه ويكشف ألرض أإله اخلفاء لكم ء وجيع سو الأمن جي قليال ما تذكرون مع ا
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila iaberdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu(manusia) sebagai khalīfah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS. Al-Naml [27]: 62)
Kata khulafā` juga merupakan salah satu dari dua bentuk jamak dari kata
khalīfah yang digunakan di dalam al-Qur`an di samping kata khalā`if . Kata ini juga
memiliki arti yang sama dengan dua bentuk lainnya yaitu yang menggantikan atau
yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya.
Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, antara lain dikemukakan bahwa bentuk
jamak yang digunakan dalam al-Qur`an untuk kata khalīfah adalah khalā`if dan
khulafā`. Setelah memperhatikan konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk
jamak itu, dapat disimpulkan bahwa bila kata khulafā` digunakan al-Quran, itu
mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola satu wilayah, sedang
bila menggunakan bentuk jamak khalā`if, kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam
maknaya. Tidak digunakannya bentuk tungal untuk makna ini, mengesankan bahwa
kekhalīfah an yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana, kecuali dengan
bantuan dan kerjasama dengan orang lain.30
30 Shihab, Tafsir Al-Misbah..., Vol. 3, hlm. 768-769.
27
D. Makna KhalīfahMenurut Para Mufassir
1. Ibnu Katsir
Mengambil salah satu mufassir terkemuka pada zaman klasik yaitu Ibnu
Katsir, dalam kitabnya ia menjelaskan tentang makna khalīfah sebagai suatu kaum
yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi
generasi. Menurutnya konsep khalīfah mengharuskan secara pasti tiadanya pihak
yang digantikan, baik tiadanya itu secara total atau hanya sebagian, baik tiadanya itu
karena kematian, perpindahan, dicopot, mengundurkan diri, atau karena sebab lain
yang membuat pihak yang digantikan tidak dapat melanjutkan aktivitasnya.31
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An’ām ayat 165, “Dia-lah yang
menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” Juga firman-Nya dalam surat al-
Zukhruf ayat 60, “Dan kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai
gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun-temurun.”32
Dalam surat al-Baqarah ayat 30 malaikat bertanya kepada Allah, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” Artinya, para malaikat itu bermaksud
bahwa di antara jenis makhluk ini (manusia) terdapat orang yang akan melakukan
kerusakan. Seolah-olah para malaikat mengetahui hal tersebut berdasarkan ilmu
khusus, atau mereka memahami kata khalīfah yaitu orang yang memutuskan perkara
31 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Jilid 3, (Dar thoyyibah, 1999), hlm. 384.32 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),
hlm. 100.
28
di antara manusia tentang kezhaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan
mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan
oleh Qurtubi.33
Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah SWT atau
kedengkian terhadap anak cucu Adam. Mereka telah disifati oleh Allah SWT sebagai
makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu
yang tidak Dia izinkan. Di sini tatkala Allah memberitahukan kepada mereka bahwa
Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah
mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan dimuka bumi,” maka mereka
bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya
dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang
terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu, Allah
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya
dalam penciptaan manusia itu Allah lebih mengetahui bahwa terdapat kemashlahatan
yang lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan oleh para malaikat,
sedangkan mereka tidak mengetahui.34
Mengutip dari pendapat Ibnu Jarir, ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30
adalah bahwa Allah SWT Berfiman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang
khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil
33 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, hlm. 100.34 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, hlm. 100.
29
di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang
menggantikan posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan
secara adil di tengah-tengah umat manusia.”35
2. Bishri Mustafa
KH. Bishri Mustafa merupakan salah mufassir dan juga seorang ulama besar
di Indonesia. Lahir dari seorang Ulama besar pula dan memiliki saudara yang juga
seorang mufassir serta kiyai besar, yaitu Misbah Mustafa. Kitab tafsir yang
dikarangnya terkenal sebagai salah satu karya besar Islam di zaman klasik. Nama dari
kitab tafsirnya adalah Tafsir Al-Ibris.
Bishri Mustafa dalam memaknai kata khalīfah dapat ditemukan dalam
penafsirannya terhadap surat al-An’ām ayat 165, dimana beliau menjelaskan:
Iyo Allah ta’ala iku, dzat kang nitahake siro kabeh, katitahake dadi ganti manggonono ing bumi. (iki mati, iku lahir, iku mati, iki lahir. Kene mati, kono lahir, kono mati,kene lahir).36
Jadi, menurutnya manusia dicipatkan oleh Allah di bumi sebagai pengganti,
yaitu menggantikan manusia yang lain. Misalnya ketika si A mati, maka akan
digantikan dengan lahirnya si B, atau sebaliknya ketika si B mati, maka akan
digantikan dengan lahirnya si A. Atau juga ketika disini ada orang yang meninggal,
maka akan ada seseorang yang lahir di tempat lain.
35 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),hlm. 101-102.
36 Bisri Mustafa, Al-Ibris li Ma’rifat Tafsir al-Qur`an al-Aziz, Jilid 1, (Kudus: Menara Kudus,tth), hlm. 13.
30
Di zaman sekarang ini dengan jumlah penduduk bumi yang mencapai tujuh
miliyar lebih, dan banyak terjadinya perang ataupun pembunuhan, maka bukan hal
mustahil ketika terjadi kematian setiap hari. Dan juga dengan jumlah penduduk
seperti itu pun bukan hal yang mutahul juga ketika angka kelahiran terjadi setiap hari.
Maka dengan adanya kematian dan kelahiran tersebut dapat disimpulkan bahwa
setiap hari terjadi pergantian pada kehidupan manusia di bumi. Seorang manusia lahir
ke dunia untuk menggantikan manusia lain yang lebih dahulu menghuni bumi namun
telah habis masanya.
3. Quraish Shihab
Salah satu mufassir kontemporer dalam negeri yang memiliki karya tafsir yang
sangat sering menjadi referensi para peneliti dalam mengkaji sebuah tafsir tentang
suatu ayat adalah tafsir al-Misbah karya M Quraish Shihab. Di dalam kitab tersebut,
Quraish Shihab mengemukakan pendapat Asy-Sya’rawi mengenai ayat-ayat di atAS
Asy-sya’rawi mengemukakan kesannya tentang ayat ini melalui satu analisis yang
menarik. Ulama mesir kenamaan ini bertitik tolak juga dari makna kebahasaan kata
khalīfah, yakni yang menggantikan. Menurutnya, yang menggantikan itu boleh jadi
menyangkut waktu boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara
sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti ke-
khalīfah-an manusia yang diterimanya dari Allah. Tetapi, di sini asy-Sya’rawi tidak
memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam
menegakkan kehendaknya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya serta
31
memakmurkan bumi sesuai apa yang digariskannya—bukan dalam arti tersebut—
tetapi dia memahami ke-khalīfah-an tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan
bumi kepada manusia. Segala sesuatu tunduk dan bereaksi kepada Allah. Sekelumit
dari kekuasaan-Nya menundukkan dianugerahkan-Nya kepada manusia sehingga
sebagian dari ciptaan Alah pun tunduk dan bereaksi kepada manusia. Jika anda
menyalakan api, ia akan menyala; jika anda mnabur benih di tanah, ia akan tumbuh;
jika anda minum, reaksinya adalah rasa haus anda hilang; jika anda makan, reaksinya
adalah anda kenyang. Demikian seterusnya. “Nah, darimana kemampuan dan
ketundukan hal-hal tersebut, dari mana reaksinya engkau peroleh hai manusia? Tanya
Asy-Sya’rawi. Jelas dari Allah melalui perntah-Nya kepada benda-benda itu untuk
bereaksi terhadap anda. Jika demikian, anda adalah khalīfah Allah, yakni khalīfah
iradat atau kehendak. Maksudnya, Allah memberi anda sebagaian dari kekuasaan-
Nya sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi melalui reksi sesuatu,
anda pun—untuk batas-batas yang dianugerahkannya—dapat mewujudkan apa yang
anda kehendaki melalui perintah Allah kepada benda-benda itu untuk bereaksi
terhadap tindakan anda. Ini—menurut asy-sya’rawi—untuk membuktikan bahwa
Allah berkehendak. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya.37
37 Shihab, Tafsir Al-Misbah..., Vol. 3, hlm. 769.
32
BAB III
SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU
A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di
Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. Ia menjalani proses pendidikannya dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi di negaranya sendiri, Jepang. Ia menempuh
jenjang perguruan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Keio, Tokyo.
Namun, sebelum ia selesai belajar di sana ia pindah ke Jurusan Sastra Inggris
karena ingin mdibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.38
Tahun 1954, Izutsu selesai belajar di sana, kemudian mengabdikan dirinya
di lembaga tersebut sebagai seorang dosen. Selain mengabdi, di sana ia juga
mengembangkan karirnya sebagai seorang intelektual hingga pada tahun 1950 ia
mendapatkan gelar sebagai profesor. Kemudian atas permintaan Wilfred Cantwell
yang merupakan seorang direktur di Universitas McGil Montreal Kanada, Izutsu
diundang menjadi profesor tamu di universitas tersebut, pada tahun 1962 hingga
1968. Sepulang dari sana dia menjadi profesor penuh pada tahun 1969 hingga
1975.39
Perjalanannya dalam dunia intelektual berlanjut dengan undangan dari
Seyyed Hossein Nasr untuk megajar di Imperial Academy of Philosophy pada
38 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Tesis,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 51.
39 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 52.
33
tahun 1975 dan berakhir pada tahun 1979 hingga kemudian ia kembali ke tanah
airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya.40
Selain itu, Izutsu juga aktif di beberapa lembaga keilmuan, seperti Nihon
Gakushin (The Japan Academy) pada tahun 1983, Institut International de
Philosophy di Paris pada tahun 1971 dan Academy of Arabic Language di Kairo,
Mesir pada tahun 1960. Ia juga pernah menjadi tamu di Rockefeller pada tahun
1959 sampai dengan 1961 di Amreika dan Eranos Lecturer on Oriental
Philosophy di Switzerland pada antara tahun 1967 sampai dengan 1982.41
Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak
bahasa dunia. Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara
spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa
aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat
Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan
Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme
China, dan filsafat Zen pengetahuannya memungkinkan untuk melihat
persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang
menyeluruh tentang satu masalah.42
Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang
sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh
yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam
40 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 52.41 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 52.42 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 51-53.
34
Jalâl al-Dîn Ashtiyani, Consciousness and Reality; Studies in Memory of
Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya
mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang
tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran
filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-
batas kultural dan intelektual, Toshihiko Izutsu dapat dengan mudah memasuki
semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang
tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam,
tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak
hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli
filsafat Barat.43
Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh
utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak
hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya
melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan
serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara
pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44
Sejak kecil keluarga Izutsu dibiasakan dengan cara berpikir Timur
yang berpijak pada ketiadaan (nothingness). Sebagai seorang guru Zen,
Ayahnya mengajarkan inti ajaran ini dengan menuliskan sebuah kata
‘kokoro’ yang berarti pengetahuan di atas sebuah kertas. Lalu, tulisan ini
diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari.
43 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 53.44 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 54.
35
Kemudian setelah tiba waktunya, sang ayah memerintahkan untuk
menghapus tulisan itu dan meminta sang anak untuk melihat tulisan itu di
dalam pikirannya, bukan kata yang ada di atas kertas, seraya memusatkan
perhatian pada tulisan tersebut terus-menerus. Tidak lama kemudian, sang
ayah memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya
saat itu juga, dan menatap pengetahuan yang hidup di balik kata yang tertulis.
Dengan tegas diperingatkan bahawa Izutsu seharusnya tidak melakukan penelitian
intelektual terhadap pokok amalan Zen bahkan setelah menyelesaikan amalan
tersebut.45
Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca karya-karya
yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan
beliau pada pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan
sebelumnya. Kalau masa mudanya ia asyik dengan spiritualisme Timur,
kemudian beralih pada spiritualisme Barat dan mencurahkan perhatiannya
pada kajian filsafat Yunani. Dari pengalaman berpikir tentang filsafat
Yunani seperti Socrates, Aristoteles dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme,
ditemukan sumber pemikiran filsafat dan sekaligus sebagai kedalaman
filsafatnya.46
Penemuan pengalaman mistikal sebagai sumber pemikiran filsafat
menjadi titik permulaan untuk seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Ia bukan
hanya sebuah penemuan di dalam ruang filsafat Yunani, tetapi juga menjadi
asal-usul pemikiran ketika beliau mengembangkan ruang lingkup aktivitas
45 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 6746 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ..., hlm. 67.
36
penelitiannya pada filsafat Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India, filsafat
Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.47
Riwayat hidup singkat di atas dan perjalanan karir Izutsu menjadi
salah satu unsur penting untuk memahami lebih jauh terhadap pemikirannya.
Bagaimanapun juga, keutuhan pemahaman terhadap sarjana Jepang ini akan
sempurna apabila disertai dengan daftar karya dan bagaimana beliau memulai
sebuah pengkajian terhadap isu tertentu.
B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu
Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang
sebagai puncak dari studi bahasa. Semantik dalam Bahasa Indonesia atau
semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang
berarti tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti
menandai atau melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik
berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.
Sebagai istilah teknis, semantik memiliki pengertian studi tentang makna. Makna
adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-
kata). Dan makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta mengalami
pergeseran arti, tergantung cakrawala dan sudut pandang seseorang.
Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan
dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan
menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri
47 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ... hlm. 67
37
dan telah terkonsep pada kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur’an. Analisis
semantik al-Qur’an akan memunculkan ontologi hidup yang dinamik dari al-
Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep
pokok, yaitu konsep-konsep yang nampaknya memainkan peran menentukan
dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.
Menurut Izutsu, semantik adalah susunan rumit yang sangat
membingungkan, kajian ini sangat sulit bagi seorang yang tidak memahami
disiplin ilmu linguistik untuk mendapatkan gambaran semantik secara umum. Hal
ini karena secara etimologis semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan
fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga
hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek
semantik.
Izutsu berpendapat tidak ada seorangpun yang memiliki kesatuan bentuk
ilmu semantik yang rapi dan teratur, yang dimiliki oleh sebagian orang adalah
sejumlah teori tentang makna yang beragam. Setiap orang yang berbicara tentang
semantik cenderung menganggap dirinya paling berhak mendefinisikan dan
memahami katakata tersebut sebagaimana yang disukainya. Jadi, yang dimaksud
semantik oleh Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci
suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu tidak
hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi adalah
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam
pengertian ini adalah kajian tentang tentang sifat dan struktur pandangan dunia
38
(world view) suatu bangsa pada saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang
paling signifikan dengan analisis metodologis terhadap terhadap konsep-konsep
pokok yang telah dihasilkan oleh bahasa tersebut.48 Semantik merupakan salah
satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi
dan sintaksis), dan semantik.
Izutsu menganggap bahasa sebagai satu sistem tanda tiruan yang dibuat
untuk membagi, mengkategori dan menyatakan realitas bukan-linguistik dan
menjadikannya bermakna dan boleh dikategorikan dalam sebuah konsep tertentu.
Hal ini berarti bahwa tidak ada kata dari sistem bahasa manapun yang sepenuhnya
sama dengan bahasa lain di dalam denotasi dan konotasi, karena masing-masing
mempunyai medan dan struktur semantik yang unik di dalam sistem bahasanya.49
C. Jenis-Jenis Semantik
1. Semantik Leksikal
Semantik Leksikal adalah semantik yang objek penyelidikannya adalah
leksikon dari bahasa itu, dan di dalam semantik leksikal ini diselidiki
makna yang ada pada leksem-leksem (kata) dari bahasa tersebut.
Sedangkan leksem (kata) itu adalah satuan gramatikal bebas terkecil dan
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah kalimat.
Contoh: محكمة yang berarti meja hijau yang berarti pengadilan
2. Semantik Gramatikal
48 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 3.49 Ismatillah, Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an …, hlm. 41-42.
39
Semantik Gramatikal adalah semantik yang objek kajiannya adalah
bentuk makna gramatikal dari tataran tata bahasa yaitu morfologi dan
siktaksis, kata, frase, klausa dan kalimat. Semua bentuk tersebut memiliki
makna. Dalam bahasa Arab morfologi itu disebut dengan istilah “Ilmu
Shorof” dan sintaksis disebut dengan istilah “Ilmu Nahwu”.
3. Semantik Kalimat
Semantik Kalimat adalah semantik yang berkaitan dengan topik kalimat.
Menurut Verhaar, semantik kalimat ini belum banyak menarik perhatian
para ahli linguistik.
4. Semantik Maksud
Semantik Maksud adalah semantik yang berkenaan dengan pemakaian
bentuk-bentuk gaya bahasa seperti: Metafora, Ironi, Litotes dan sebagainya.
Semantik Maksud yang dimaksud Verhaar ini mirip dengan istilah
semantik pragmatik, yang dikemukakan pakar-pakar lain dan lazim
diartikan dengan bidang studi semantik yang mempelajari makna ujaran
yang sesuai dengan konteks situasinya. Contoh: metafora (التمثیلة) al Qur’an
dan hadist nabi adalah teks yang sering mengunakan kata metafora dan
kalimat hiperbola satir (sindiran) untuk menyampaikan maksud dan
tujuan yang ingin disampaikan, Allah berfirman dalam surat Ibrahim [14]
ayat 1:
ذن الر كتاب أنـزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إىل النور رم إىل صراط العزيز احلميد
40
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supayakamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terangbenderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan YangMaha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim [14]: 1)
D. Semantik Al-Qur`an
Dalam studi metodologi penafsiran al-Quran, kajian yang menggunakan
metode kebahasaan sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, di
antaranya adalah Al-Farrā’ dengan karya tafsirnya Ma`ani al-Qurˊan, Abu
Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan oleh
Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh ‘Aisyah bint Al-
Syati’ dalam tafsirnya Al-Bayān Li Quran Al Karim. Gagasan Amin Al-Khuli
kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori
Semantik al-Quran.50
Menurut Nur Kholis Setiawan, sebagaimana dikutip oleh Mudzakir Amin
dalam skripsinya menyebutkan bahwa awal mula kesadaran semantik dalam
penafsiran al-Qur’an dimulai sejak era Muqātil ibn Sulaiman, dalam karyanya
yang berjudul Al-Asybah wa al-Nadzāir fi al-Qur’an al-Karim dan Tafsir Muqātil
ibn Sulaimān, Muqātil menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qurˊan di samping
memiliki makna definitif (makna dasar) juga memiliki makna alternatif lainnya.
Contohnya kata maut, yang mempunyai arti dasar mati. Menurut Muqātil dalam
konteks ayat, kata tersebut bisa memiliki empat makna alternatif, yaitu: tetes yang
belum dihidupkan, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, serta
ruh yang hilang. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa
50 Ismatillah, Makna Wali dan Auliya’ ... hlm. 42.
41
kata al-Qur`an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan
menguasai al-Qur`an sebelum ia menyadari dan mengenal berbagai dimensi yang
dimiliki al-Qur`an tersebut.51
Pada dasarnya, Izutsu bukanlah orang pertama yang menggunakan
semantik dalam al-Qur’an. Karya kesarjanaan klasik, terutama yang berjudul al-
Wujuh wa al-Nazhair, menunjukkan adanya kesadaran semantis oleh ulama
klasik muslim. Al-Wujuh wa al-Nazhair merupakan bentuk ikhtiar ulama klasik
dalam memahami pesan makna yang dimiliki setiap kosakata yang dipakai
dalam al-Qur’an.52
Jika kita telusuri ke belakang, kita akan menemukan seorang ilmuwan
klasik yang bernama Muqatil bin Sulayman (w. 150 H) dengan karyanya al-
Wujuh wa al-Nazhair. Menurutnya, setiap kata dalam al-Qur’an memiliki arti
yang definitif dan juga memiliki beberapa makna alternatif lainnya. Selain
Muqatil, ada juga beberapa ulama lain yang mempunyai karya serupa yakni;
Harun bin Musa (w. 170 H) dengan karyanya al-Wujuh wa al-Nazair fi al-
Qur’an al-Karim24, al-Husain bin Muhammad al-Damigani (w. 989 H) dengan
karyanya Islah al-Wujuh wa al-Nazair fi al-Qur’an al-Karim25 , Abu al-Faraj
Ibn al-Juzi dengan karyanya Nuzhatu al-A’yun al-Nawazir fi ‘Ilm al-Wujuh wa
al-Nazair,26 dan lain-lain. Hanya saja penelitian-penelitian ulama klasik belum
mengerucut menjadi sebuah konsep kata seperti yang telah diterapkan oleh
Izutsu, sehingga dalam semantik al-Qur’an modern Izutsu diakui sebagai
51 Ismatillah, Makna Wali dan Auliya’ ... hlm. 42-43.52 Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: ElSaq Press, 2006), hlm.
169-170.
42
orang pertama yang mengembangkan dan mengaplikasikan teori semantik dalam
penafsiran al-Qur’an.53
E. Prinsip-Prinsip Metodologi Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu
Izutsu menjelaskan bahwa maksud semantik di sini menurutnya
adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung
atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya
sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan
dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini ia menambahkan,
bahwa apa yang disebut semantik sekarang ini adalah susunan rumit yang sangat
membingungkan. Sangat sulit bagi seorang di luar (disiplin linguistik)
untuk mendapat gambaran secara umum seperti apa (semantik) itu. Salah satu
alasannya, semantik menurut etimologinya adalah merupakan ilmu yang
berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari
kata, begitu luas sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki
makna merupakan objek semantik.54
Untuk memahami bagaimana semantik dimanfaatkan oleh Izutsu,
setidaknya kita bisa mengacu pada beberapa karyanya yang berjudul Ethico
Religious Concepts in the Qur`an, khususnya pada bab kedua Kaidah Analisis dan
Penerapannya dan God and Man in the Qur`an: Semantics of the
Qur`anic Weltanschauung terutama pada bab 1 tentang Semantik dan al-Qur`an
53Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 70.54 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 3.
43
dan terakhir The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic
Analysis of Īmān and Islām dalam bagian kesimpulan.
Dari ketiga karya di atas kita akan mendapati empat hal penting yang
perlu dipahami sebelum menerapkan semantik terhadap teks al-Qur`an yaitu
memahami keterpaduan konsep-konsep individual, kosa kata, makna dasar
dan makna relasional, dan weltanschauung.55 Berikut penjelasannya;
1. Keterpaduan konsep-konsep individual
Keterpaduan konsep individual tampak mudah dengan membuka
seluruh kata al-Qur`an, semua kata penting yang mewakili konsepkonsep
penting seperti Allāh, Islām, nabī, īmān, kāfir dan sebagainya.
Selanjutnya konsep individual ini ditarik menjadi kata kunci. Namun
kenyataannya adalah tidak mudah. Kata-kata atau konsep di dalam al-
Qur`an tidaklah sederhana. Apalagi susunan ayat al-Qur`an tidak disusun
secara sistematik, sehingga ayat yang sebelum dan sesudahnya tidak
membicarakan satu persoalan. Kedudukannya masing-masing saling
terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan justru menghasilkan makna
konkrit dari seluruh sistem hubungan itu. Sebagaimana diungkapkan oleh
Izutsu bahwa kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang
beragam, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan
berbagai cara, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja
gabungan konseptual. Dan sesuatu yang sangat penting bagi tujuan
khusus kita adalah jenis sistem konseptual yang berfungsi dalam al-Qur`an,
55Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 75.
44
bukan konsep-konsep yang terpisah secara individual dan
dipertimbangkan terlepas dari struktur umum atau gestalt, di mana
konsep-konsep tersebut dipadukan. Dalam menganalisis konsep-konsep
kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur`an kita bisa kehilangan
wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan dalam
keseluruhan sistem.56
2. Makna dasar dan relational
Untuk memahami keterpaduan konsep tersebut, diperlukan juga pemahaman
makna masing-masing konsep dalam pengertian ‘dasar’ (basic) dan
‘relasional’ (relational). Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada
kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan,
sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang
diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan
kata itu pada posisi khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan
yang berbeda dengan semua kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Kedua makna tersebut merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan,
meskipun tidak jarang makna dasar dari sebuah kosakata tidak lagi
digunakan karena makna relasional dianggap sebagai makna sebenarnya
dari sebuah kata. Masing-masing kata individu, yang diambil secara
terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang
akan tetap melekat pada kata itu meskipun ia diambil di luar konteks al-
Qur`an. Izutsu memberikan contoh kata kitāb, makna dasar dari kata ini,
56Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 75-76.
45
baik yang ada dalam al-Qur`an maupun di luar, adalah sama. Kata ini
sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya menjadi satu
kata, mempertahankan makna dasarnya – dalam hal ini makna yang sangat
umum yaitu ‚kitāb‛, di mana pun ditemukan, baik digunakan sebagai istilah
kunci dalam system konsep yang ada atau lebih umum di luar sistem khusus
tersebut. Selain itu, makna dari sebuah kata dipengaruhi oleh kata yang ada
didekatnya, oleh keseluruhan sistem di mana kata itu berada.57
3. Weltanschauung
Dari uraian di atas, kosa kata mempunyai kedudukan yang sangat
penting untuk memahami secara keseluruhan makna dan pesan dari kitab
suci. Pada mulanya, kosa kata dianalisis untuk menafsirkan sebuah teks
lebih dalam. Meskipun, arti kata atau etimologi dalam banyak teks tetap
merupakan dugaan saja, dan sangat sering merupakan misteri yang tak
terpecahkan. Dalam analisis Izutsu, pendekatan semantik bertujuan
mencapai lebih dari sekedar menjelaskan arti harfiah, tetapi lebih jauh
juga mengungkapkan pengalaman budaya. Akhirnya, analisis ini akan
mencapai sebuah rekonstruksi tingkat analitik struktur keseluruhan
budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada.
Inilah yang disebut Izutsu dengan Weltanschauung semantik budaya.58
Kata-kata dalam bentuk bahasa adalah suatu sistem jaringan yang
rapat. Pola utama sistem tersebut ditentukan oleh sejumlah kata-kata
penting tertentu. Kosakata dan bahasa dengan jaringan pola-pola
57Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 76-77.58Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 79.
46
konotatifnya pada dasarnya merupakan satu sistem dari bentuk-bentuk
pengungkapan (articulatory) yang menurut sistem tersebut kata
bersinggungan secara terus menerus dengan sejumlah kenyataan dan
peristiwa tertentu. Dengan demikian, setiap kosa kata mewakili dan
mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas (Weltanschauung) yang
mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam dunia yang
penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian
ini bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal. 59
Menghubungkan satu kata dengan kata lain adalah salah satu cara dalam
semantik untuk memahami dengan menyeluruh makna sejati dari sebuah
perkataan yang disebut bidang semantik. Untuk itu, Izutsu membuat tiga
‘medan semantik yang berbeda pada awal sejarah perbendaharaan kata al-
Qur`an: (1) Sebelum turunnya al-Qur`an, yaitu masa pra-Islam yang
memiliki tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang
berbeda pula. Tiga sistem kata tersebut adalah kosa kata Baduwi murni yang
mewakili weltanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat
nomad. Lalu, kosa kata para pedagang, yang pada awalnya saling terkait
dengan dan berdasarkan pada kosa kata Baduwi, yang sekalipun mewakili
semangat dan pandangan dunia yang berbeda, namun merupakan hasil dari
perkembangan terakhir ekonomi Mekkah, yang dengan demikian sangat
dipengaruhi oleh kata-kata dan ide yang menjadi ciri para pedagang di kota
tersebut dan kosa kata YahudiKristen, suatu sistem istilah-istilah keagamaan
59Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 79-80.
47
yang digunakan di kalangan orang Yahudi dan Kristen yang hidup di tanah
Arab, yang juga mencakup sistem Hanifiah yang lebih banyak; (2) Masa
turunnya alQur`an dan (3) Setelah turunnya al-Qur`an, terutama pada masa
kekhalifahan Abbāsiyyah. Dari tiga pembahagian ini, jelas bahawa Izutsu
mengandaikan sebuah pendekatan sejarah untuk melengkapi analisis
semantik dalam pemahaman teks.60
Dari pengertian yang diberikan Izutsu sebelumnya dapat dipahami bahwa,
pada dasarnya semantik al-Qur’an dan semantik pada teks lain tidaklah jauh
berbeda, yakni mempelajari makna kata. Hanya saja dalam konteks al-Qur’an
perlu adanya kata kunci yang menjadi titik temu dari medan semantik dalam
kelompok kata di bawahnya. Berikut ini adalah prinsip-prinsip penelitian
semantik al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan oleh Izutsu61:
1. Istilah kunci, yang dimaksud Istilah kunci di sini adalah istilah yang
membawahi kosakata di bawahnya sebagai medan semantik. Seperti kata
taqwa, inti semantik dasar taqwa pada zaman jahiliyah adalah sikap
membela diri baik oleh binatang maupun manusia, untuk tetap hidup
melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini kemudian masuk
dalam sistem konsep Islam melalui al-Qur’an, dengan membawa makna itu
sendiri disertai hubungannya dengan konsep yang lain. Taqwa dalam
konsep Islam erat kaitannya dengan kepercayaan religius dan mengerucut
pengertiannya menjadi takut terhadap ancaman Tuhan sehingga
meninggalkan hal-hal yang dilarang Tuhan serta menjalankan segala
60Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 80-8161Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 81
48
perintahnya. Dari makna inilah kemudian taqwa mempunyai hubungan
erat dengan iman, islam, ihsan dan salih. Oleh karena itu taqwa dalam hal
ini bisa menjadi kata kunci.62
2. Perhatian terhadap makna dasar (basic meaning) dan makna relasional
(relational meaning) kata. Makna dasar adalah makna yang nyata, jelas dan
tetap melekat dalam kondisi apapun kata itu diletakkan dan digunakan, baik
di dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an. Dalam studi linguistik makna
dasar disebut juga makna leksikal. Sedangkan yang dimaksud makna
relasional adalah makna yang muncul sebagai akibat dari proses gramatika,
atau disebut juga makna gramatikal, namun makna relasional ini lebih
umum daripada makna gramatikal itu sendiri.
Untuk menentukan basic meaning dan relational meaning, perlu analisa
sintagmatik dan analisa paradigmatik. Analisa sintagmatik adalah analisa
dimana seseorang berusaha menentukan makna suatu kata dengan cara
memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di belakang kata yang
sedang dibahas, dalam satu bagian tertentu. Sedangkan dalam analisa
paradigmatik, seseorang mencoba mengkomparasikan kata/konsep tertentu
dengan kata/konsep lain yang mirip (taraduf, sinonimitas) atau
bertentangan (tadadad, antonimitas).63
3. Integrasi antarkonsep. Penelitian semantik berusaha mengaitkan satu
konsep dengan konsep lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui
hubungan maknawi antara satu konsep dan konsep lain dan mengetahui
62Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 81.63Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 82.
49
posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas serta
untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif.64
4. Perhatian terhadap aspek-aspek sinkronik dan diakronik. Aspek sinkronik
adalah aspek yang tidak berubah dari sebuah konsep atau kata,
sedangkan aspek diakronik adalah aspek yang selalu
berubah/berkembang dari satu masa ke masa yang lain. Perkembangan
konsep dalam kajian al-Qur’an dimulai dari masa pra-Qur’anik
(jahiliyah), berlanjut ke masa Qur’anik dan Pasca-Qur’anic. Untuk
mengetahui makna sinkronik dan diakronik dalam kosakata yang
digunakan al-Qur’an, terutama di masa pra-Qur’anik dapat menggunakan
syair-syair tau ungkapan yang biasa digunakan orang Arab yang tersebar
dalam kitab-kitab syair maupun melalui kamus-kamus. Sedangkan untuk
masa Qur’anic dan pasca Qur’anik kita dapat menggunakan kitab-kitab
asbab al-nuzul, tafsir dan literatur Islam lain seperti fiqh, teologi dan lain
sebagainya. 65
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah satu sistem dependen
(tergantung) atau berhubungan dengan kultur dan budaya penuturnya.
Maka dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya,
diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks (al-Qur’an) tentang
‘sesuatu’ (Being).66
64Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 83.65Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 83.66Makmuna, Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an ..., hlm. 83.
50
BAB IV
SEMANTIK KATA KHALĪFAH, KHALĀ’IF , DAN KHULAFĀ’’
Kata khalīfah dalam al-Qur`an disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak sembilan
kali bersama dua bentuk jamaknya yaitu khalā’if dan khulafā’. Di mana masing-
masing darinya, kata khalīfah di sebutkan sebanyak dua kali, khalā’if sebanyak empat
kali dan khulafā’ sebanya tiga kali. Pada bab ini akan diuraikan tentang makna dari
ketiga kata tersebut dengan menggunakan pendekatan semantik al-Qur`an.
A. Makna Dasar
Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu
terbawa di manapun kata itu diletakkan meskipun kata itu diambil di luar konteksal-
Qur`an. Sebuah kata, sepanjang dirasakan secara actual oleh masyarakat penuturnya
menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamentalnya, di mana pun ditemukan,
baik digunakan sebagai istilah kunci dalam sistem konsep yang ada atau lebih umum
lagi di luar system khusus tersebut, kandungan unsur semantik itu tetap ada pada kata
tersebut di mana pun ia diletakkan dan bagaimana pun ia digunakan.67
Kata khalīfah pada dasarnya berakar dari rangkaian tiga huruf yaitu kha’, lam,
dan fa’. Kata khalīfah merupakan bentuk isim masdar dari fi’il tsulasi mujarod –خلف
خلفا–یخلف yang berarti mengganti. Di dalam kamus Maqāyīsul Lugah disebutkan:
67 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 11.
51
يء شيء بـعد شيء ]خلف [ م والفاء أصول ثالثة: أحدها أن جي اخلاء والالام، والثالث التـغيـر. 68يـقوم مقامه، والثاين خالف قد
Jadi, pada dasarnya kata khalafa terdiri dari tiga huruf yaitu kha’, lam, dan fa’,
dan ia memiliki tiga makna dasar, yaitu 1) Sesuatu yang datang setelah sesuatu untuk
mengambil alih tempatnya, atau kedudukannya, 2) Berbeda dengan sebelumnya, dan
3) perubahan, pertukaran, atau pergeseran. Dari ketiga makna dasar tersebut dapat
disimpulkan bahwa kata khalafa bermakna dasar sesuatu yang dating kemudian
setelah sesuatu yang lain ada di tempat yang didatangi tersebut dan mengambil alih
tempat, posisi, jabatan, atau kekuasaan dari sesuatu yang lain itu dengan membawa
seuatu yang berbeda dari sebelumnya untuk melakukan perubahan atau pergeseran.
Allah Ta’ala berfirman:
فخلف من بـعدهم خلف ورثوا الكتاب Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat. (QS.Al-A’rāf [7]: 169)
Dalam kitab Lisānul ‘Arab, kata khalafa bermakna belakang atau lawan dari
yang di depan. Makna yang dijelaskan disini menandakan akan posisi sesuatu
terhadap sesuatu yang lain, yaitu sesuatu berada di belakang sesuatu yang lain.69 Hal
ini semakna dengan firman Allah:
68 Abu al-Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lugah, Juz 2, (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), hlm. 210.69 Abu al-faḍl, Lisānul ‘Arab, Juz 9, (Beirut: Dār Ṣadr, 1414 H), hlm. 82.
52
يـعلم ما بـني أيديهم وما خلفهم“… Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka…”(QS. Al-Baqarah [2: 255)
Selain itu, kitab ini juga mengartikan kata khalafa sebagai setelah, yaitu
sesuatu yang datang setelah sesuatu yang lain pergi. Dikatakan, وجلست خلف فالن أي بعده
(dan aku duduk menggantikan fulan setelahnya). Dalam kitab ash-Shihah khalafa
dimaknai sebagai القرن بعد القرن atau kurun setelah kurun.70 Dalam kitab tersebut
disebutkan, “ فالنا إذا كان خلیفتھخلف فالن (si pulan menggantikan posisi si pulan jika dia
menjadi penggantinya)”71 Dikatakan, خلفھ في قومھ خالفة (dia menggantikannya untuk
memimpin kaumnya dengan kekhilafatan [penggantian])72. Termasuk dalam makna
ini adalah firman Allah swt.:
وقال موسى ألخيه هرون اخلفين يف قومو“Dan Musa berkata kepada saudaranya [yaitu] Harun: ‘Gantikanlah aku dalam(memimpin) kaumku!’”
Dalam kitab kamus lain, yaitu Syarh al-Qamūs disebutkan: “Khalīfah adalah
sultan terbesar, menggantikan orang sebelumnya, dan menempati posisinya. Dari
penjelasan tersebut, jelas bahwa kata khilafah asalnya adalah bentuk mashdar dari
70 Isma’il bin Hammad al-Jauhari, Taj al-Lughah wa Shihah al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid 4,[Beirut: Darul Ilmu, 1987], hlm. 1354.
71 al-Jauhari, Taj al-Lughah ..., Jilid 4, hlm. 1356.72 al-Jauhari, Taj al-Lughah ..., Jilid 4, hlm. 1357.
53
kata kerja khalafa, kemudian berdasarkan kesepakatan umum digunakan untuk
menunjuk maksud kepemimpinan terbesar (tertinggi), yaitu kepemimpinan umum
yang membawahi seluruh umat, mengurus dan memudahkan segala urusannya, dan
berusaha untuk mewujudkan maslahat mereka, sesuai dengan apa yang diperintahkan
oleh Allah swt.73 Imam al-Baghawi menambahkan dalam Syarh al-Sunnah: “Disebut
khalīfah karena menggantikan pemimpin yang lalu dan menempati posisinya.
Jadi, jika melihat dari kitab-kitab kamus yang masyhur seperti Maqāyīsul
Lugah, Lisānul ‘Arab, maupun Syarh al-Qamūs seperti yang dijelaskan sebelumnya,
bahwa pada dasarnya kata khalīfah memiliki makna pengganti. Yaitu orang yang
datang setelah orang lain untuk mengambil alih posisinya, ataupun meneruskan apa
yang dilakukan oleh orang yang sebelumnya.
B. Makna Relasional
Makna relasional adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi
khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan yang berbeda dengan semua
kata penting lainnya dalam sistem tersebut.74 Dan untuk mendapatkan makna
relasional maka dilakukan dengan tahap sebagai berikut75:
73 Syekh Ahmad Ath-Thayyib, Jihad Melawan Teror: Meluruskan Kesalahpahaman tentangKhalifah, Takfir, Jihad, Hakimiyah, Jahiliyah, dan Ekstremitas, [Perpustakaan Nasional: KatalogDalam Terbitan [KDT], 2016], hlm. 10-11.
74 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 12.75 Muhammad Iqbal Maulana, Konsep Jihad dalam Al-Qur`an (Kajian analisis Semantik
Toshihiko Izutsu), Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), hlm. 12.
54
1. Analisis Sintagmatik, yaitu analisis yang berusaha menentukan makna suatu
kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di belakang
kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian tertentu.76 Hubungan makna kata
dalam analisis ini dapat dinyatakan dengan kombinasi ‘this-and-this-and-this’.
Kata khalīfah di dalam al-Qur`an hampir selalu disandingkan dengan kata fi al-
arḍ (di bumi) sehingga memunculkan makna penguasa di bumi. Selain itu di
dalam sistem Islam terdapat juga istilah yang sangat masyhur yaitu Khulafā’ al-
Rasyidun yang berarti para pemimpin (atau pengganti Rasul) yang utama.
2. Analisis Paradigmatik, yaitu analisis yang mengkomparasikan kata atau konsep
tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip (sinonim) atau berlawanan
(antonim).77 Jadi untuk analisis paradigmatik, untuk menentukan makna dapat
dilakukan dengan seleksi ‘this-or-this-or-this’. Jadi, jika dipandang dengan
analisis paradigmatik, ada beberapa kata yang dapat mensubstitusikan kata kata
khalīfah . Di antaranya adalah sultan atau raja, waly atau penguasa, imam atau
pemimpin.
C. Sinkronik dan Diakronik
Aspek sinkronik merupakan aspek yang tidak berubah dari konsep atau kata,
dalam pengertian system kata bersifat statis.78 Dari sisi aspek sinkronik ini kata
76 Muhammad Iqbal Maulana, Konsep Jihād Dalam al-Qur`an (Kajian Analisis SemantikToshihiko Izutsu), Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 12.
77 Muhammad Iqbal Maulana, Konsep Jihād Dalam al-Qur`an...,hlm. 12.78 Muhammad Iqbal Maulana, Konsep Jihād Dalam al-Qur`an...,hlm. 12.
55
khalīfah memiliki makna yang statis di mana di dalam masa Islam ia dimaknai
sebagai pengganti. Seperti nabi-nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat tentang
khalīfah di dalam al-Qur`an sebagai pengganti-Nya dalam menguasai bumi dan
memeliharanya. Selain itu dalam sistem Islam setelah meninggalnya Rasulullah, kata
khilafah juga memiliki makna pengganti, yaitu orang yang menggantikan pemimpin
sebelumnya, seperti yang dikatakan Imam al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah,
“Tidak apa, orang yang memimpin kaum Muslim disebut Amirul Mukminin atau
Khalīfah, meskipun melanggar perilaku para imam keadilan, karena menduduki
kepemimpinan kaum Mukmin dan dipatuhi oleh kaum Mukmin.” Dia mengatakan
lagi, “Disebut khalīfah karena menggantikan pemimpin yang lalu dan menempati
posisinya.”
Sedangkan aspek diakronik adalah pandangan terhadap Bahasa, yang pada
prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu. Sekumpulan kata yang masing-
masing tumbuh dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang khas.79 Diakronik
merupakan pendekatan yang digunakan untuk melakukan studi atas fenomena
kebahasaan sesuai dengan urutan sejarah. Kajian diakronik Bahasa berkaitan dengan
variasi, ragam-ragam, atau dialek-dialek satu bahasa. Dalam dikotomi sinkronik dan
diakronik, yang menjadi dasar adalah linguistik yang sinkronik. Hal ini disebabkan
fakta bahwa ada dan berkembangnya linguistik diakronik baru didasarkan pada ada
dan berkembangnya linguistik sinkronik.80
79 Muhammad Iqbal Maulana, Konsep Jihād Dalam al-Qur`an...,hlm. 12.80 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya ... , hlm. 45.
56
Objek penelitian ini adalah kosa kata al-Qur’an, sedangkan kosa kata al-
Qur’an sendiri berkaitan dengan kosa kata yang sebelumnya digunakan masyarakat
pra-Islam, maka penelusuran kosa kata di luar sistem al-Qur’an masih relevan,
sepanjang hal tersebut dapat memberi informasi yang berguna bagi pembentukan
konsep semantik al-Qur’an, terdapatnya signifikansi penggabungan semantik historis
dengan semantik sinkronis dalam menganalisis struktur kosa kata al-Qur’an, dan
kandungan unsur semantik dasar sebuah kata masih ada di manapun kata tersebut
diletakkan dan digunakan.
Dalam analisis semantik historis kosakata ini, Izutsu membagi periode waktu
penggunaanya dalam tiga periode, yaitu pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca
Qur`anik.81
1. Pra Qur`anik
Periode pra Qura`nik adalah masa sebelum Islam datang. Dalam memahami arti
kosakata pada masa pra Qur`anik syair-syair jahili adalah salah satu media yang
representative untuk digunakan. Syair jahili adalah syair yang berkembang
sebelum Islam datang. Dalam mencari makna khalīfah dalam syair-syair
jahiliyyah, penulis menemukan sebuah syair karya dari seorang penyair yang
memiliki julukan Gadis Berjari Agresif [بنات ذي اإلصبع العدواني] yang bunyinya:
س ذوي غىن ... حديث الشباب طيب النشر و رلذكاأال ليت زوجي من أكباد النساء كأنه ... خليفة جان ال ينام على وتر لصوق
81 Ismatillah, Makna Wali dan Auliya’ Dalam al-Qur`an ..., hlm. 45.
57
Ingatlah, seandainya suamiku bagian dari orang-orang kaya . . . maka cerita
yang beredar akanlah sangat indah baik pula sebutannya
Dan akan selalu melekat di hati-hati para wanita … bahwa ia lah sang penjaga
hati yang tak pernah tidur dalam kesendirian82
Jadi dalam syair tersebut, kata khalīfah memiliki arti sang penjaga atau sang
penguasa. Yaitu yang menjaga hati para wanita, yang menguasai hatinya,
sebagaimana tugas seorang suami pada umumnya. Menggantikan posisi
ayahnya si wanita yang telah menjaga wanita tersebut sejak dilahirkan. Maka,
setelah seoranh wanita menikah dengan seorang lelaki, maka hati si wanita
tersebut menjadi tanggung jawab dari si lelaki atau si suami tersebut.
2. Qur`anik
Yang dimaksud masa Qur`anik di sini adalah masa di mana Islam telah datang.
Islam bersama al-Qur`an dan syari’at-syari’atnya membawa konsep-konsep
baru yang berbeda dengan konsep yang telah dipegang pada masa jahiliyah.
Maka, beberapa kata kunci al-Qur`an ada yang berubah maknanya dari makna
pada masa jahiliyah kepada masa Islam, meskipun pada dasarnya tidak
menghapus makna aslinya, karena makna asli dari suatu kata akan selalu
melekat pada kata tersebut. Hanya saja dengan datangnya konteks yang baru,
maka makna dan penggunaannya dapat berubah.
82 Syā’irāt al-‘Arab fī al-Jahiliyyah wa al-Islāmi, (Beirut: al-Maktabah al-Ahliyah, 1934), hlm.61.
58
Pada pembahasan ini, kata khalīfah akan dikaji tentang bagaimana maknanya
yang digunakan dalam al-Qur`an dengan menerangkan secara rinci dari akar
katanya hingga bentuk-bentuk turunannya yang digunakan oleh al-Qur`an.
Kata yang pada dasarnya terbentuk dari tiga huruf ف–ل –خ ini dalam berbagai
bentuknya dan aneka ragam maknanya terulang penggunaannya dalam al-
Qur`an sebanyak seratus dua puluh tujuh kali83 dengan dua belas kata jadian.
Berikut adalah bentuk kata dan maknanya yang digunakan di dalam al-Qur`an,
yaitu84:
a. Kata حلف yang berarti mengganti terulang sebanyak dua kali yaitu dalam
surat Al-A’raf [7] ayat 169 dan surat Maryam [19] ayat 59.
b. Bentuk masdar-nya yaitu خلف yang memiliki tiga makna dalam al-Qur`an,
yaitu:
1) generasi terulang tiga kali dalam surat Al-A’raf [7] ayat 169, surat
Maryam [19] ayat 59, surat Al-Baqarah [2] ayat 66;
2) belakang terulang sebanyak 18 kali dalam surat Yunus [10] ayat 92,
surat Maryam [19] ayat 64, surat al-Ra’d [13] ayat 11, surat Fuṣṣilat
[41] ayat 42, surat al-Ahqāf [46] ayat 21, surat al-Jin [72] ayat 27, surat
al-Baqarah [2] ayat 255, surat al-Nisā [4] ayat 9, surat al-A’rāf [7] ayat
17, surat al-Anfāl [8] ayat 57, surat Ṭāhā [20] ayat 110, surat al-Anbiyā’
83 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an, …, hlm. 303-306.84 Abd. Rahim, Khalif dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, Jurnal Hunafa: Studi Islamika,
[Makassar: PPs UIN Alauddin Makassar, 2012], hlm. 22-24.
59
[21] ayat 28, surat al-Hajj [22] ayat 76, surat Saba’ [34] ayat 9, surat
Yāsīn [36] ayat 9, dan surat Fuṣṣilat [41] ayat 14 dan 25; dan
3) yang akan datang yang disebutkan sekali dalam surat Yasin [36] ayat
45.
c. Kata خلفتموني yang berarti sesudah kepergianku terulang sebanyak satu kali
dalam surat Al-A’raf [7] ayat 150.
d. Penggunaan fi’il muḍāri’ dari bentuk ṡulāṡī [یخلفون ] yang berarti turun
termurun/berganti-ganti terulang 1 kali dalam surat al-Zuhruf [43] ayat 60.
e. Bentuk fi’il ‘amr ṡulāṡī [اخلفني] yang berarti gantikanlah aku juga terulang 1
kali di dalam surat al-A’raf [7] ayat 142.
f. Penggunaan bentuk fi’il māḍī majhūl ṡulāṡī mażīd [ خفلوا ] yang berarti
ditangguhkan terulang 1 kali dalam surat al-Taubah [9] ayat 118.
g. Fiil mudhari [أخالفكم] yang berarti menyalahi terulang sekali dalam surat
Hud [11] ayat 88. Dan [یخالفون ] yang juga berarti menyalahi terdapat dalam
surat al-Nur [24] ayat 63.
h. Bentuk fi’il [ یخلف –أخلف ] yang berarti menyalahi atau melanggar, fi’il
madly-nya terulang sebanyak empat kali dalam surat Ibrahim [14] ayat 22,
surat Thaha [20] ayat 86 dan 87, serta surat al-Taubah [9] ayat 77.
Sedangkan bentuk mudharik-nya terulang sepuluh kali, yaitu dalam surat
Ali Imran [3] ayat 9 dan 194, surat Thaha [20] ayat 58 dan 97, surat al-
Baqarah [2] ayat 80, al-Ra’d [13] ayat 31, al-Hajj [22] ayat 47, surat al-Rum
[30] ayat 6, al-Zumar [39] ayat 20, dan surat Saba’ [34] ayat 39.
60
i. Fi’il muḍāri’ [یتخلفون ] yang berarti turut menyertai terulang 1 kali dalam
surat al-Taubah [9] ayat 120.
j. Fi’il ṡulāṡī mażīd [ یختلف -اختلف ] yang berarti berselisih terulang sebanyak
34 kali, yaitu dalam surat al-Baqarah [2]: 213, surat Āli Imrān [3]: 3, surat
Maryam [19]: 37, surat al-Zukhruf [43]: 65, surat al-Anfāl [7]: 42, surat al-
Syura [42]: 10, surat al-Baqarah [2]: 176, 213, 213, 253, 113, surat Āli-
Imrān [3]: 105, 55, surat al-Nisā [4]: 157, surat Yūnus [10]: 19, 93, 19, 93,
surat al-Nahl [16] 64, 124, 92, 124, surat al-Jāsiyah [45]: 17, 17, surat al-
Mā’idah [5]; 48, surat al-An’ām [6]: 164, surat al-Hajj [22]: 69, surat
alZukhruf [43]: 63, surat al-Naml [27]: 76, surat al-Sajadah [32]: 25, surat
al-Zumar [39]: 3, 46, surat Hūd [11]: 110, surat Fuṣṣilat [41]: 45.
k. Bentuk fi’il [ یستخلف –أستخلف ] yang berarti 1) menjadikan berkuasa, terdapat
dalam ayat surat al-Nur [24] ayat 55, 2) mengganti, terulang dua kali dalam
surat al-An’am [6] ayat 33 dan surat Hud [11] ayat 57, dan 3) menjadikan
khalīfah serta berbagai perubahan ḍamīr-nya terulang sebanyak 5 kali.
l. Kata الخالفین yang berarti orang yang tidak ikut berperang digunakan 1 kali
dalam surat al-Taubah [9] ayat 83.
m. Kata خالف yang berarti 1) timbal balik terulang sebanyak dua kali dalam
surat al-Māidah [5]: 33, surat al-A’rāf [7]: 124, dan 2) berarti belakang
terulang empat kali dalam surat al-Taubah [9]: 81, surat Ṭāhā [20]: 71, surat
al-Syu’arā’ [17]: 76, surat al-Isrā [17]: 76.
61
n. Kata خلفة yang berarti silih berganti, digunakan 1 kali dalam surat al-Furqan
[25] ayat 62.
o. Kata الخوالف yang berarti orang yang ditinggal/atau orang yang tidak ikut
terulang dua kali dalam surat al-Taubah [9] ayat 87 dan 93.
p. Kata خلیفة yang berarti pemimpin/khalīfah/pengganti terulang 2 kali dalam
surat al-Baqarah [2]: 30, surat Ṣād [38]: 26. Kata خالئف jamak dari خلیفة
terulang sebanyak 4 kali dalam surat al-An’ām [6]: 165, surat Yūnus [10]:
14, 73, surat Fāṭir [35]; 39. Dan Kata خلفاء yang juga jamak dari خلیفة
terulang 3 kali dalam surat al-A’rāf [7]: 69, 74, surat al-Naml [27]: 62.
q. Bentuk ism al-maf’ūl [ مخلفونال ] yang berarti orang yang ditinggal terulang
sebanyak 4 kali dalam surat al-Taubah [9]: 81, surat al-Fath [48]: 11, 15, 16.
r. Bentuk ism al-fā’il [مخلف ] yang berarti menyalahi terulang 1 kali dalam
surat Ibrāhīm [14]: 47.
s. Bentuk masdar [إختالف ] yang berarti 1) pergantian dalam surat al-Baqarah
[2]: 164, surat Āli Imrān [3]: 190, surat Yūnus [10]: 6, surat al-Mu’minūn
[23]: 80, surat al-Jāsyiyah [45]: 5, 2) perbedaan dalam surat al-Rūm [30]:
22, dan 3) pertentangan dalam surat al-Nisā ‘[4]: 82.
t. Bentuk ism al-fā’il [مختلف ] yang berarti 1) bermacam-macam/berbeda
dalam surat al-Nahl [16]: 29, surat Fāṭir [35]: 27, 28, 28, surat al-Zariyāt
[51]: 8, surat al-An’ām [6]; 141, surat al-Nahl [16]: 13, surat al-Zumar [39]:
21. Dan 2) berselisih dalam surat al-Naba’ [78]: 3, surat Hūd [11]: 118.
62
u. Bentuk ism al-fā’il yang mansūb [مستخلفین ] yang berarti menguasai hanya 1
kali. dalam surat al-Hadīd [57]: 7.
Dari situ dapat diketahui bahwa penggunaan kata khalīfah di dalam masa
Qur`anik ini memiliki makna yang sama dengan kedua bentuk jamaknya. Kata
yang disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak Sembilan kali ini memiliki makna
yang sama yaitu pengganti atau yang menggantikan atau yang datang sesudah
siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata
khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan
kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena
Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan,
namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya
penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan
makhluk lain dalam menghuni bumi ini.85 Seperti dalam surat Al-Baqarah [2]
ayat 30 berikut:
عل فيها من فة قالوا أجت ض خليألر اوإذ قال ربك للمالئكة إين جاعل يف ين أعلم ما إ قدس لك قال دك ونـ م حب ح حنن نسب يـفسد فيها ويسفك الدماء و
ال تـعلمون Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Akuhendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalīfah] di bumi itu orang yang akanmembuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
85 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. 1,[Jakarta: Lentera Hati, 2005]. Hlm. 172-173.
63
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhanberfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(surat Al-Baqarah [2] ayat 30)
Dari ayat tersebut, dapat dijelaskan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam as.
untuk menjadi khalīfah di bumi maksudnya adalah untuk menjadi pengganti
Allah dalam melaksanakan tugas menjaga bumi, memeliharanya dengan baik,
memanfaatkan setiap bekah yang diberikan, mengaturnya agar selalu baik dan
terhindar dari kerusakan.
Hal senada dengan penjelasan Allah dalam surat Ṣād [38] ayat 26. Namun
dalam ayat ini yang dijadikan khalīfah adalah Nabi Daud as. di mana beliau
diutus oleh Allah untuk menjadi khalīfah di bumi bagian Palestina. Jadi
kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Daud as. Untuk menggantikan-Nya
dalam hal memelihara bumi hanyalah sebatas negeri Palestina saja, berbeda
dengan Nabi Adam yang diberikan kekuasaan oleh Allah kepada seluruh
permukaan bumi.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kata khalīfah,
khaliaf dan khulafā’’ di dalam al-Qur`an ini semuanya memiliki makna yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya.
Dalam buku membumikan al-Qur`an, antara lain dikemukakan bahwa bentuk
jamak yang digunakan dalam al-Qur`an untuk kata khalīfah adalah khalā`if dan
khulafā’’. Setelah memperhatikan konteks ayat -ayat yang menggunakan kedua
bentuk jamak itu, dapat disimpulkan bahwa bila kata khulafā’ digunakan al-
Qur`an, itu mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola
64
satu wilayah, sedang bila menggunakan bentuk jamak khalā`if, kekuasaan
wilayah tidak termasuk dalam maknanya. Tidak digunakannya bentuk tunggal
untuk makna ini, mengesankan bahwa ke-khalīfah-an yang diemban oleh setiap
orang tidak dapat terlaksana, kecuali dengan bantuan dan kerjasama dengan
orang lain.86
Jadi, pada periode Qur`anic ini kata khalīfah, khalā’if dan khulafā’’ di dalam al-
Qur`an ini semuanya memiliki makna yang menggantikan atau yang datang
sesudah siapa yang datang sebelumnya. Yaitu mereka (manusia) yang diberi
kekuasaan oleh Allah untuk menggantikan-Nya dalam hal menjaga bumi baik
dalam segi memelihara lingkungan dan kelestariaannya ataupun negara dengan
sistem politiknya.
3. Pasca Qur`anik
Periode pasca Qur`anik dalam hal ini adalah periode masa sekarang. Di zaman
sekarang khalīfah merupakan sebuah kata yang tidak pernah lepas dari sistem
politik Islam. Kata ini selalu menjadi kata yang sangat erat dengan
kepemimpinan Islam yang menegakkan hukum dengan asas al-Qur`an. Dalam
periode ini muncul penampakan baru dari kecenderungan separatis yang
mempertalikan legitimasi rezim politik dalam negara dengan agama―dalam
pandangan khusus―ini adalah kecenderungan untuk mengembalikan system
khilafah pertama (khalīfah rasyīdah) dengan anggapan bahwa bentuk itulah
86 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah..., Vol. 3, hlm. 768-769.
65
satu-satunya yang sah menurut agama, dan orang yang tidak mengatakan
demikian maka keislamannya tidak benar.87
Dua kecenderungan ini; 1) kecenderungan yang menganggap system politik
sebagai salah satu rukun agama, dan 2) kecenderungan menganggap khilafah,
yakni bentuk pemerintahan yang dipilih oleh kaum Muslim setelah Rasulullah
saw. Wafat, sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dan menjamin
penerapan hukum syariah.88
Jadi, dalam periode pasca Qur`ani ini kata khalīfah lebih cenderung kepada
dunia politik dimana kepemimpinan dipegang oleh Islam dengan menggunakan
syariat Islam sebagai pedoman hukumnya. Pada periode ini makna khalīfah
sebagai pengganti sudah tak lagi terlihat dan tergeser oleh kata pemimpin atau
penguasa.
Berdasarkan tiga data tentang penggunaan kata khalīfah dalam tiga periode
yang berbeda memperlihatkan adanya perubahan konteks dalam penggunaan kata
tersebut. Dalam periode pra Qur`anik, kata khalīfah digunakan dalam sebuah syair
yang digunakan untuk mengungkapkan peran seorang kekasih atau suami sebagai
sang penjaga hati atau sang penguasa hati dari seorang wanita. Sedangkan dalam
periode Qur`anik ini kata khalīfah, khalā’if dan khulafā’’ di dalam al-Qur`an ini
semuanya memiliki makna yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang
87 Syekh Ahmad al-Thayyib, Jihad Melawan Teror: Meluruskan Kesalahpahaman TentangKhilafah, Takfir, Jihad, Hakimiyah, Jahiliyah, dan Ekstremitas, (Jakarta: Lentera Hati, 2016), hlm. 4.
88 Syekh Ahmad al-Thayyib, Jihad Melawan Teror … , hlm. 5.
66
datang sebelumnya. Yaitu mereka (manusia) yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk
menggantikan-Nya dalam hal menjaga bumi baik dalam segi memelihara lingkungan
dan kelestariaannya ataupun negara dengan sistem politiknya. Dan pada periode
pasca Qur`anik penggunaan kata khalīfah lebih cenderung kepada dunia politik
dimana kepemimpinan dipegang oleh Islam dengan menggunakan syariat Islam
sebagai pedoman hukumnya.
D. Weltanschauung
Hasil akhir dari kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa
dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual. Yakni
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan Bahasa itu, tidak hanya sebagai alat
bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia
yang melingkupinya.89
Jadi menurut Toshihiko Izutsu, jika ditinjau dari segi konteks penggunaannya
di dalam al-Qur`an, kata khalīfah secara umum memiliki makna penguasa atau
pemimpin. Seperti dalam surat al-Baqarah [2] ayat 30
إين جاعل يف األرض خليفة "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi."
Senada dengan ayat-ayat lain yang menjadi objek kajian di dalam skripsi ini,
bahwa kata khalīfah di dalam al-Qur`an memiliki makna penguasa atau pemimpin.
89 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia ..., hlm. 3.
67
Namun jika melihat dari makna dasarnya yaitu pengganti, maka sebenarnya yang
dimaksud di dalam ayat-ayat tersebut adalah manusia dijadikan pengganti Allah
dalam menguasai bumi ini. Menguasai dalam artian manusia diberi kekuasaan oleh
Allah untuk memanfaatkan segala isinya, memeliharanya agar selalu baik dan
terhindar dari kerusakan. Makna pengganti juga dapat diartikan sebagai pengganti
pemimpin atau generasi sebelumnya yang sudah tiada, atau yang sudah tak lagi
memiliki kekuasaan, sehingga generasi baru mendapatkan atau mengambil alih posisi
kekuasaan dari generasi sebelumnya.
Namun, terjadi pergeseran tentang makna khalīfah yang jauh dari makna
dasarnya pada periode pasca Qur`anik di mana pada periode ini―atau bisa dikatakan
zaman sekarang ini― di mana makna khalīfah lebih dominan kepada konsep politik
yang harus dipimpin oleh seorang muslim dengan menggunakan hukum Islam
sebagai undang-undangnya. Dan bagi seorang muslim yang tidak sependapat dengan
hal itu dianggap bukan bagian dari Islam atau dianggap kafir.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hal tersebut pada dasarna disebabkan
karena ada beberapa kecenderungan, yaitu: 1) kecenderungan yang menganggap
system politik sebagai salah satu rukun agama; dan 2) kecenderungan menganggap
khilafah, yakni bentuk pemerintahan yang dipilih oleh kaum Muslim setelah
68
Rasulullah saw. Wafat, sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dan
menjamin penerapan hukum syariah.90
Pemahaman ini sering menjadi penyelewengan pihak-pihak tertentu
dalam memberlakukan hukum, hingga timbul gerakan ekstrimis dalam Islam.
Misalnya gerakan dimana hukum Islam diatur secara tegas dan saking tegasnya
sehingga hilang nilai-nilai toleran. Hukum Islam memaksa seseorang untuk
berlaku sesuai ajarannya, kemudian ketika terdapat seorang muslim yang
sedikit berbeda dengan hukum tersebut dianggap sebagai kafir.
Meski sebenarnya tujuan dalam kekhalīfah an tersebut sebenarnya tidak
lah salah, yaitu menyatukan umat Islam di seluruh dunia kepada satu
kepemimpinan. Menetralkan segala aliran-aliran Islam yang ada untuk menjadi
satu aliran yang sejalan dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Namun dalam
pelaksanaanya mereka terlalu radikal dalam bertindak. Mengkafirkan segala
bentuk sesuatu yang berbeda dengan mereka. Bahkan tidak jarang kita dengar
atau baca dari media-media masa tentang kekejaman para ekstrimis yang
menindas orang-orang non-muslim bahkan muslim dengan paham yang
berbeda dengan mengatasnamakan kekhalifahan. Sehingga pada saat ini kata
khalīfah selalu identik dengan hal-hal yang kejam.
90 al-Thayyib, Jihad Melawan Teror … , hlm. 5.
69
Ide tentang khilafah menyala kian terang kembali di Indonesia seiring
lahirnya reformasi 1998. Jika reformasi menandai berlayarnya kapal demokrasi
Pancasila Indonesia yang penuh keterbukaan itu, aktivis khilafah dengan jitu
memanfaatkan pintu kapal yang terbuka bagi siapa pun itu, menumpanginya,
bukan untuk bersama-sama mengarungi samudra demokrasi, melainkan
khilafah. Khilafah Islamiyah. Pemerintahan Islam. Soal khilafah jelas-jelas
head to head dengan demokrasi, siapa yang bisa membantahnya. secara
historis, gagasan khilafah ini aslinya telah sangat usang dan tuntas di era awal
pembentukan NKRI. Perdebatan M. Natsir yang mewakili kubu religius
dengan Soekarno yang mewakili kubu nasionalis telah mengerucut purna.
Hasilnya adalah kubu Islam menerima Pancasila sebagai telah sesuai dengan
prinsip amar makruf nahi munkar dan hiratsah al-din wa siyasah al-dunya.
Indonesia diterima sebagai negeri islami.91
Jagat virtual, utamanya sosial media, menjadi wadah promosi paling
empuk bagi gerakan khilafah ini: berkampanye demi mengeduk simpatisan,
dengan cara getol memanggungkan narasi-narasi tekstual-dogmatis hingga
mementaskan romantika-romantika sejarah kekhalifahan di masa lalu. Nama
khalifah Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman III, dan Al-Fatih, selalu
91 Edi AH Iyubenu, Alasan-Alasan Pokok Menolak Khalifah di Indonesia, (Online),(http://basabasi.co/alasan-alasan-pokok-menolak-khilafah-di-indonesia/, diakses 01 Juni 2017).
70
dijadikan ikon romantik terkudusnya. Tentu, sembari mengabaikan sosok
Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan dan Al-Qadir Billah. Pula sejarah
pembantaian para pangeran Umayyah di era akhir kekuasaan khalifah Hisyam
bin Abdul Malik oleh penguasa baru, kekhalifahan Abbasiyah, yang memaksa
salah satu pangeran Umayyah yang selamat, Abdurrahman, melarikan diri
dengan berjalan kaki dan menumpang kapal hingga ke Afrika Utara.92
Perkara di Indonesia, misal, prinsip ‘adalah (keadilan), musawah
(persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) belum
sepenuhnya tegak perkasa, hal itu tidak sahih diklaim serentak dan general
sebagai bukti buruknya sistem non-khilafah, sebutlah demokrasi Pancasila.
Kecompang-campingan itu jelas sepenuhnya “problem manusia” yang
melaksanakan sistem politik tersebut. Argumen ini serupa benar dengan
argumentasi para pejuang khilafah bahwa noda-noda hitam sejarah
kekhalifahan yang ada tidaklah sahih dijadikan alasan menolak sistem
khilafah. Itu problem manusia yang menjalankannya. Sejarah mengisahkan,
sebutan Khalifatullah baru muncul di era Muawiyah bin Abu Sufyan dari
Dinasti Umayah yang sekaligus menandai lahirnya sistem monarki. Khulafaur
Rasyidin tidak pernah menggunakan sistem monarki ini. Khulafaur Rasyidin
92 Iyubenu, Alasan-Alasan Pokok Menolak Khalifah di Indonesia, (Online)
71
pun tidak pernah menggunakan pangkat Khalifatullah, tetapi Khalifatu
Rasulillah—pengganti Rasulullah di luar risalah kenabiannya.93
Hal tersebut semakna dengan pembahasan yang telah dijelaskan
berulang kali pada bagian sebelumnya bahwa kata khalīfah berarti pengganti.
Khalīfah merupakan gelar yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang
hidup di Bumi. Karena manusia adalah pengganti-Nya dalam mengatur
keadaan di bumi. Memelihara kelestariannya dan menjaganya dari kerusakan.
Di antara manusia-manusia itu pun ada yang ditinggikan derajatnya oleh Allah
untuk menjadi pemimpin atas manusia yang lain untuk menegakkan keadilan
di antara mereka. Menjaga keseimbangan sosial sehingga terjalin kerukunan
dalam hidup bersosial. Jadi, dengan mengetahui makna khalīfah yang
sebenarnya ini dapat menjadi renungan setiap insan untuk mengamalkan
kandungan yang ada dalam kata tersebut.
93 Iyubenu, Alasan-Alasan Pokok Menolak Khalifah di Indonesia, (Online)
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Di dalam al-Qur`an, kata khilāf dan turunannya disebutkan sebanyak 127
kali, sedangkan kata khalīfah disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam
surat Al-Baqarah [2]: 30. Dalam ayat ini kata khalīfah disebutkan dalam
konteks penciptaan Nabi Adam as. yang ditunjuk sebagai khalīfah du bumi.
Dan surat Ṣād [38]: 26, ayat ini juga menjelaskan tentang tugas manusia
sebagai khalīfah di bumi dengan konteks kepemimpinan Nabi Daud as. di
negara palestina. Kata khalīfah memiliki dua bentuk jamak yaitu khalā`if
dan khulafā`. Kata khalā`if disebutkan sebanyak empat kali, yaitu dalam
surat Al-An’am [6]:165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat
Faṭir [35]:39. Kemudian kata khulafā` juga disebutkan dalam al-Qur`an
sebanyak tiga kali, yaitu dalam surat Al-A’raf [7]:69 dan 74, dan surat An-
Naml [27]: 62. Secara bahasa kedua bentuk jamak dari kata khalīfah ini
memiliki makna yang sama dengan kata mufrod nya. Namun dalam
pengggunaannya memiliki sedikit perbedaan, yaitu bahwa kata khulafā’
mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola satu
73
wilayah, sedang bila menggunakan bentuk jamak khalā`if, kekuasaan
wilayah tidak termasuk dalam maknanya.
2. Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai
puncak dari studi bahasa. Semantik dalam Bahasa Indonesia atau semantics
dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti
tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti menandai
atau melambangkan. Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan
struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode
sejarahnya, dengan menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan
untuk dirinya sendiri dan telah terkonsep pada kata-kata kunci yang terdapat
dalam al-Qur’an. Analisis semantik al-Qur’an akan memunculkan ontologi
hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang nampaknya
memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam
semesta.
Untuk memahami bagaimana semantik dimanfaatkan oleh Izutsu,setidaknya
kita bisa mengacu pada beberapa karyanya yang berjudul EthicoReligious
Concepts in the Qur’ān, khususnya pada bab kedua Kaidah Analisis dan
Penerapannya dan God and Man in the Qur’ān: Semantics of the Qur’ānic
Weltanschauung terutama pada bab 1 tentang Semantik dan alQur’ān dan
terakhir The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of
Īmān and Islām dalam bagian kesimpulan. Dari ketiga karya di atas kita akan
74
mendapati empat hal penting yang perlu dipahami sebelum menerapkan
semantik terhadap teks al-Qur’ān yaitu memahami keterpaduan konsep-konsep
individual, kosa kata, makna dasar dan makna relasional, dan weltanschauung.
Dalam semantik al-Qur`annnya Toshihiko Izutsu juga menjelaskan prinsip-
prinsip yang harus ada dalam penelitian semantik, yaitu istilah kunci, perhatian
terhadap makna dasar (basic meaning) dan makna relasional (relational
meaning) kata, integrasi antarkonsep, Perhatian terhadap aspek-aspek
sinkronik dan diakronik.
3. Pada dasarnya kata khalīfah memiliki makna pengganti. Yaitu orang yang
datang setelah orang lain untuk mengambil alih posisinya, ataupun meneruskan
apa yang dilakukan oleh orang yang sebelumnya. Ia juga dapat berarti di
belakang, misalnya si A duduk di belakang si B.
Jika dianalisis dengan aspek sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik
dipandang dari sudut masa Islam, ia memiliki makna pengganti Allah dalam
urusan memelihara bumi. Seperti hanyal wakil yang diutus Allah ke dunia
untuk menggantikan-Nya menjaga bumi an memimpin umat. Sedangkan secara
diakronik, pada masa pra Islam ditemukan sebuah syair jahiliyah yang
menyebutkan kata khalīfah di dalam syairnya. Dalam konteks itu kata khalīfah
diartikan sebagai penjaga hati para wanita, atau yang menguasai ataupun
memiliki hati sorang wanita. Yang di maksud dari khalīfah pada syair tersebut
adalah sang suami dari si wanita.
75
Pada masa Quranik, ia diartikan sebagai pengganti Allah atau yang mewakili
Allah dalam memelihara bumi. Khalīfah dalam al-Qur`an juga diartikan sebagai
pengganti generasi sebelumnya, atau umat sebelumnya, atau pemimpin
sebelumnya. Kemudia pada masa pasca Quranik, kata khalīfah lebih cenderung
kepada system politik Islam yang menjunjung syariat Islam sebagai hukumnya,
dan jikaada yang tidakmenerima system itu meskipun ia dari golongan muslim
maka ia dianggap bukan dari bagian mereka.
B. Saran-saran
Setelah penulis menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa sebuah
penelitian pasti tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, penelitian ini
tidak dapat dikatakan selesai, tapi masih bisa untuk dikaji ulang secara lebih
mendalam lagi, mengingat masih ada yang perlu dikaji lebih dalam lagi dalam
penelitian ini baik dalam pembahasan mengenai term khalīfah dalam al-Qur`an
ataupun mengenai metode pendekatan semantik sebagai salah satu pendekatan
kebahasaan dalam menafsirkan al-Qur`an.
76
DAFTAR PUSTAKA
Hamidi, A. Luthfi. 2009. Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik Al-Qur`an.
Disertasi. Yogyakarta: UIN Sunn Kalijaga Yogyakarta.
Al-Zurqani, Muhammad Abdul ‘Adzim. Manahil al—‘Irfan fi Ulumul Qu`an, Juz 2,
hlm. 300.
Ismatillah, dkk. 2016. Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian
dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu). Diya al-Afkar, 4 (02): 38-64.
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga
Ideologi. Jakarta: Teraju.
Rahim, Abd. Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an. Makassar: PPs UIN
Alauddin Makassar.
Makmuna, Alva Alvavi. 2015. Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an (Analisis
Semantik Kata Libas, Siyab dan Sarabil dalam al-Qur`an Perspektif
Toshihiko Izutsu). Thesis. Tulungagung: IAIN Tulungagung.
Mustaqim, Abdul. 2015. Metode Penelitian Al-Qur`an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta.
77
Santoso, Eko Budi. 2015. Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu). Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baqi, M. Fu’ad Abdul. 2007. Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an. Kairo: Dar el-
Hadits.
Shihab, M Quraish. 2005. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur`an, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati.
Mandzur, Jamal Al-Din Abi Fadhl Muhammad bin Makram Ibnu. 1414 H. Lisānul
‘Arab, Jilid 9. Beirut: Dār Shādir.
Al-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim Muhammad bin ‘Amru bin Ahmad. 1407 H. Al-
Kasyaf ‘An Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, Jilid 2. Beirut: Dar al-Kitab al-
‘Arabi.
Katsir, Ibnu. 1999. Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Jilid 3. Dar Thoyyibah.
__________. 2004. Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Jilid 1. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i.
Mustafa, Bisri. Tth. Al-Ibris li Ma’rifat Tafsir al-Qur`an al-Aziz, Jilid 1. Kudus:
Menara Kudus.
Fathurrahman. 2010. Al-Qur`an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu.
Tesis. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
78
Kholis, Nur. 2006. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: ElSaq Press.
Al-Husain, Abu. 1979. Mu’jam Maqāyīs al-Lugah, Juz 2. Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Jauhari, Isma’il bin Hammad. 1987. Taj al-Lughah wa Shihah al-Lughah al-
‘Arabiyah, Jilid 4. Beirut: Darul Ilmu.
Ath-Thayyib, Syekh Ahmad. 2016. Jihad Melawan Teror: Meluruskan
Kesalahpahaman tentang Khalifah, Takfir, Jihad, Hakimiyah, Jahiliyah, dan
Ekstremitas. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan [KDT].
Maulana, Muhammad Iqbal. 2015. Konsep Jihad dalam Al-Qur`an (Kajian analisis
Semantik Toshihiko Izutsu). Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tim Penyusun. 1934. Syā’irāt al-‘Arab fī al-Jahiliyyah wa al-Islāmi. Beirut: al-
Maktabah al-Ahliyah.
Rahim, Abd. Khalif dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, Jurnal Hunafa: Studi Islamika.
Makassar: PPs UIN Alauddin Makassar.
Edi AH Iyubenu, Alasan-Alasan Pokok Menolak Khalifah di Indonesia, (Online),
http://basabasi.co/alasan-alasan-pokok-menolak-khilafah-di-indonesia/,
diakses 01 Juni 2017).
Top Related