5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
1/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
20
BAB III
SKRINING BAYI BARU LAHIR
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir
1. Gejala gangguan pendengaran pada bayi dan anakGejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat
ketulian tidak terlihat.Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberirespons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambatbicara (delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau adasuara/bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidaksesuai dengan usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu denganisyarat.
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi :- tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungs pendengaran tetapi
masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar;- tuli total (deaf) adalah gangguan fungs pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapatpengerasan bunyi.
2. Perkembangan sistem pendengaranPada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea denganfungsi menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Padasaat yang sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orangdewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia
gestasi 30 minggu terjadi pneumatisasi dari timpanum, demikian juga denganliang telinga luar yang terus berkembang sampai usia 7 tahun.Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak.
Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahunpertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadiperkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, makaupaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasidapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.
2.a. Perkembangan mendengar
Usia Kemampuan Auditorik
04 bulan Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadimasih bersifat refleks (behavioral responses) seperti:- Refleks auropalpebral (mengejapkan mata)- Heart ratemeningkat- Eye widening(melebarkan mata)- Cessation(berhenti menyusu)- Grimacing(mengerutkan wajah)
47 bulan 4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih lemah(belum konsisten)
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
2/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
21
7 bulan : memutar kepala pada arah horizontal dengan cepat;namun pada arah bawah masih lemah
7 - 9 bulan Memutar kepala dengan cepat; mengidentifikasi sumber bunyidengan tepat
9 - 13bulan
12 bulan : keingintahuan terhadap bunyi lebih besar; mencarisumber bunyi yang berasal dari arah atas
13 bulan : dapat mengidentifikasi bunyi dari semua arahdengan cepat
2.b. Perkembangan Bicara dan BahasaPerkembangan bicara seorang anak sejalan dengan pertambahan usianya
dan perkembangan mendengar.
Usia Kemampuan
Neonatus menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur(gurgles)
2 - 3 bulan tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo4 - 6 bulan mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan.
- ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da)- memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat- belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai
kebutuhan
7 - 11 bulan menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti,seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu menirusuara (echolalia)- mengerti kata perintah sederhana : kesini- mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir
12 - 18
bulan
- menjawab pertanyaan sederhana
- mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuhdan nama mainan
24 - 35bulan
- kata yang diucapkan antara 150 -300 kata- volume danpitchsuara belum terkontrol-mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang -
nanti
36 - 47bulan
- jumlah kata yang diucapkan mencapai 9001.200 kata-memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atasmeja
- mulai bertanya kenapa dan bagaimana?
3. Etiologi dan Faktor ResikoGangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya yaitu :Masa PrenatalDibagi menjadi genetik dan nongenetik seperti gangguan/kelainan masakehamilan, kelainan struktur anatomi (atresia liang telinga, aplasia koklea),dan kekurangan zat gizi (misal : defisiensi Iodium).
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
3/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
22
Yang paling penting adalah trimester I kehamilan, misalnya akibat infeksibakteri atau virus (TORCHS). Disamping itu, beberapa jenis obat ototoksikdan teratogenik berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran.
Masa PerinatalPrematur , berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, dan
asfiksia.
Masa PostnatalAdanya infeksi bakteri atau virus (rubela, campak, parotitis, infeksi otak),perdarahan telinga tengah, trauma tulang temporal yang mengakibatkan tulisaraf atau tuli konduktif.
Gangguan pendengaran pada masa prenatal dan perinatal biasanya adalahtuli sensorineural bilateral derajat berat/sangat berat.
Faktor faktor risiko yang perlu dipertimbangkan dan telah ditetapkan olehAmerican Joint Committe on Infant Hearingpada tahun 2000 :Usia 028 hari :
- Menjalani perawatan di NICU selama 48 jam- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang mempunyai
hubungan dengan tuli sensorineural atau tuli konduktif, misalnyasindroma Rubela;
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yangmenetapsejak masa anak-anak;
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna (daun telinga)atau liang telinga;
- Infeksi intra uterin, seperti TORCHS (toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus, herpes dan sifilis).
Usia 29 hari2 tahun :- Kecurigaan orangtua/pengasuh terhadap gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, afasia atau keterlambatan perkembangan lain;- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap masa
anak-anak;- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui
mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, tuli konduktif ataugangguan fungsi tuba Eustachius;
- Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaransensorineural, termasuk meningitis bakterialis;
- Infeksi intra uterin seperti TORCHS (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus,herpes, sfilis);
- Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutamahiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonalyang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang membutuhkanECMO (extracorporeal membrana oxygenation);
- Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yangprogresif seperti sindroma Usher, neurofibromatosis dan lain-lain;
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
4/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
23
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti sindroma Hunter dan kelainanneuropati sensomotorik (Friederichs ataxia, sindroma Charcot - MarieTooth)
- Trauma kapitis;- Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.
4.Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir4.1. TujuanMenemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahiragar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehinggadampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi.
4.2. Prinsip dasar skrining pendengaran pada bayiSkrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan populasibayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan
pendengaran (Pass/lulus)dengan kelompok bayi yang mungkin mengalamigangguan pendengaran (Refer/tidak lulus).
Skrining pendengaran bukan diagnosis pasti karena selain kelompok
Pass/lulus dan kelompok Refer/tidak lulus masih ada 2 kelompok lain,yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya pendengarannormal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada gangguanpendengaran).
Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepadapihak orangtua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu.
Hasil skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatuunit/kelompok masyarakat atau fasilitas kesehatan (RS, puskesmas,praktik dokter, klinik, balai kesehatan ibu dan anak/BKIA) harus dirujukke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaranyang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran danwicara.
Pemeriksaan pendengaran yang lengkap bertujuan menentukan statuspendengaran bayi dan anak berdasarkan prinsip
Ear spesific
Frequency specific(penentuan ambang dengar pada setiap frekuensi)
Kapan kita curiga ada gangguan pendengaran ?12 bulan -- belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru
18 bulan -- tidak dapat menyebut 1 kata berarti24 bulan -- perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan -- belum dapat merangkai 2 kata
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
5/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
24
Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengarandapat dikelompokkan menjadi :I. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based
hearing screening)II. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based
hearing screening)
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital basedhearing screening) dikelompokan menjadi :
1.Universal Newborn Hearing Screening(UNHS)2.Targeted Newborn Hearing Screening
1.Universal Newborn Hearing Screening(UNHS)
Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktorrisiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukandengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluardari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatanyang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telahmelakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skriningPass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaanBERA (atau BERA otomatis) pada usia 13 bulan.
Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkanhasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telingatengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguanpendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR(Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus toneburst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masingfrekuensi; hal ini akan membantu proses pengukuran alat bantu
dengar yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liangtelinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERAhantaran tulang (bone conduction).
Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasipendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan.
Kriteria UNHS:1.Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi sehingga kejadian referminimal.2.Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.3.Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcomeyang baik.
4.Cost-effective.Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 %2.Targeted Newborn Hearing Screening
Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yangmempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran (Gambar 10).Kelemahan metode ini adalah sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
6/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
25
mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya dilakukan di NICU(Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.
Gambar 10. Klasifikasi skrining pendengaran bayi baru lahir
4.3. Pemeriksaan skrining pendengaran
Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometrikarena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifatspesific frequency. Kelemahan pemeriksaan audiometri adalah besarnyafaktor subyektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan
membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien; akibatnyapemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada pasien berusiadibawah 6 bulan.
SKRINING
PENDENGARANBAYI BARU LAHIR
Hospital
based
Community
based
UNIVERSAL NEWBORNHEARING SCREENING
(UNHS)
Semua bayi
TARGETED NEWBORNHEARING SCREENING
Hanya bayi dengan faktor
risiko
Baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi(1) Otoacoustic Emission(OAE)
(2) Automated ABR( BERA Otomatik)
U.S Joint Committee on Infant Hearing Screening (JCIH 2000)
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
7/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
26
Pemeriksaan objektif(Elektrofisiologis)
Pemeriksaan subyektif(Behavioral)
OAE (mulai 2 hari) Behavioral Observation Test
Behavioral Observation Audiometry(06bulan)
Visual Reinforcement Audiometry (7 -30bulan)
Conditioned Play Audiometry(30 bulan5 tahun)
BERA
Otomatis ( 3 bulan)
Click( 3 bulan)
Tone burst( 3 bulan)
Bone conduction
Timpanometri
ASSR
Tes Daya Dengar /TDD modifikasi
a. Pemeriksaan obyektif
a.1.Otoacoustic Emission (OAE)
Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer haircells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanyamemberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan inimudah, praktis, otomatis, noninvasif, tidak membutuhkan ruangan
kedap suara maupun obat sedatif.Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteriaPass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaankoklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan kokleasehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERApada usia 3 bulan.
Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dankelainan pada telinga tengah (misalnya cairan).
Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining (OAE screener)yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampumemeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
8/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
27
a.2. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau AuditoryBrainstem Response(ABR)
BERA menilai perubahan potensial listrik di otak yang timbul setelah
pemberian stimulus suara. ABR berfungsi untuk menilai integritas sarafsepanjang jalur pendengaran.
Pemeriksaan BERA yang dilakukan umumnya menggunakanstimulus suara jenis click, pemeriksaan ini tidakfrequency spesificartinyahanya diketahui ambang respons pada frekuensi rata-rata (2000 - 4000Hz). Agar dapat memperoleh ambang pada masing-masing frekuensi harusditambahkan pemeriksaan BERA dengan stimulus tone burst.Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap suara. Pada
Gambar 11.OAE Skrining 6 frekuensi
Persiapan pemeriksaan OAE1.Pemeriksaan dilakukan pada bayi baru lahir yang berusia > 24 jam.2.Lingkungan dan bayi harus tenang.3.Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun cairan.4.Menggunakan probeyang sesuai dengan ukuran telinga bayi. Pada bayi
usia kurang dari 6 bulan digunakan probekhusus yang bergerigi (treetip) untuk mencegah kolaps liang telinga.
5.Posisiprobemengarah ke membran timpani.6.Bila hasil Refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai dipastikan
memang hasilnya Refer.
Gambar 12. OAE Dia nostik
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
9/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
28
bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila digunakanBERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa sedatif.
Respons neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkamkomputer melalui elektroda pemukaan (surface electrode) yangditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid). Parameter yangdinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasilpenilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel/dB) yang masihmemberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca,masing masing menggambarkan respons dari bagian-bagian jarasauditorik mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. Padabayi yang paling mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulusinferior).
Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia3 bulan atau bayi lahir prematur, mungkin terjadi pemanjangan masalaten sehingga didapat kesan adanya tuli konduktif, pada kasus seperti iniperlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih dari 3 bulan dandilakukan koreksi usia (pada prematur).
Pemeriksaan BERA Otomatis (AutomatedABR)
Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukananalisis gelombang evoked potential karena hasil pencatatan mudahdibaca, berdasarkan kriteriapassatau refer(tidak lulus). Pemeriksaan inisama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan elektrodapermukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis,tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 40 dB.Umumnya digunakan untuk keperluan skrining pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran secara obyektif juga perlu dilakukan dan
disesuikan dengan usia anak. Apabila terdapat kelainan maka diperlukanpemeriksaan lebih lanjut yang disesuaikan dengan alur HTA (HealthTechnology Assesment) skrining pendengaran bayi 2006.
Gambar 15.BERA OtomatisGambar 13. BERA Click
Gambar 14.BERA tone burst
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
10/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
29
Pemeriksaan Timpanometri
Pemeriksaan ini bertujuan untukmenilai keadaan telinga tengah(normal, tekanan negatif, cairan) danfungsi tuba Eustachius. Pada bayiberusia kurang dari 6 bulandigunakan timpanometri frekuensitinggi (High FrequencyTympanometry) dengan pertimbanganpada usia tersebut liang telingamasih lentur/ kolaps sehinggamenghalangi stimulus suara yangmasuk.
Auditory Steady State Response(ASSR)
Dengan ASSR dapat dibuat prediksi atau estimasi audiometri(predicting audiometry) atau evoked potential audiometry karena dapatmemberikan gambaran audiogram pada bayi dan anak. Hal inidimungkinkan karena ASSR memberikan informasi ambang pendengaranpada frekuensi spesifik secara otomatis dan simultan, yaitu padafrekuensi 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz. Bila perlu dapat di settinguntuk frekuensi lainnya.
Stimulasi berupa bunyi modulasi yang kontinu berupa AM (AmplitudeModulation) dan FM (Frequency Modulated) melalui insert phone.
Intensitas stimulus dapat mencapai 127 dB HL. Selain dapat memberikaninformasi ambang pendengaran, ASSR sangat bermanfaat untuk fittingalat bantu dengar pada bayi dan menilai sisa pendengaran sebagaipertimbangan untuk implantasi koklea.
Gambar 17. Auditory Steady State Response
Gambar 16.Timpanogram
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
11/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
30
b. Pemeriksaan Subyektif
Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidaktersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan
respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antaralain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau BehavioralObservation Audiometry(BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA)danConditioned Play Audiometry (CPA). Namun bila memungkinkan, tetapdianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan pemeriksaan obyektif.
b.1. Pemeriksaan BehavioralPemeriksaan pendengaran yang subyektif karena respon dari bayi dananak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memilikikemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas danspesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti OAE danBERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapatdi ruangan biasa tetapi cukup tenang.
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih obyektif, dapatdimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaanBehavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry(BOA).
Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioraljuga dapatdilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan,terutama bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yangbersifatfrequency spesific.
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tujuan : menentukan ambang pendengaran berdasarkan unconditionedresponses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilaibayi/anak 06 bulan.Frekuensi stimulus : range speech frequency.
Persyaratan
Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang
Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapangpandangan
Stimulus : Audiometer + loud speaker
Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter
Respon yang dinilai : respon behavioral /refleks( unconditioned
response):
-mengejapkan mata (refleks auropalpebral)-ritme jantung bertambah cepat-berhenti meyusu (cessation reflex)-mengerutkan wajah (grimacing)
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
12/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
31
Prosedur Pemeriksaan BOA Bayi dipangku dalam kondisi siap memberi respons/setengah tidur Dapat sambil menyusu Bila tidur nyenyak; bangunkan. Bila ketakutan : tunda. Orangtua tidak ikut mambantu respons Respons harus konsisten dan dapat diulang Pada saat terjadi respons, catat intensitas Bila respon (-) catat intensitas paling besar
Keterbatasan : tidak menentukan threshold (ambang pendengaran).Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA, tetapimenggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya(misalnya bertepuk tangan).
Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Tujuan : Menentukan ambang pendengaran bayi 7 -30 bulan denganmenilai conditioned response(respons yang telah dilatih terlebih dahulu).Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambangpendengaran.Keterbatasan : karena stimulus berasal dari pengeras suara (loudspeaker),maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang lebihbaik.
Cara Pemeriksaan
Bayi dilatih terlebih dahulu untukmemberikan respons khusus (misalmemutar kepala) terhadap stimulus
bunyi dengan kekerasan bunyi(intensitas) tertentu. Bila bayimemberikan respons, berikan hadiahberupa cahaya lampu. Kemudianpemeriksaan diulang dengan intensitasyang lebih rendah sampai tercapaiambang dengar yaitu stimulus terkecilyang masih menghasilkan respons.
Conditioned Play Audiometry (CPA)
Tujuan : Menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang telahdilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi.Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat diperoleh
Gambar 18. Visual ReinforcementAudiometry (VRA)
Keterangan Gambar 8
S: Speaker; VR: Visual reinforcer;P: Orang tua( memangku bayi);I : Bayi; A: Pemeriksa; TA: Observer
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
13/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
32
ambang pada masing masing frekuensi (frequency-specific) dan masing-masing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis danderajat ganggguan pendengaran.Dilakukan untuk anak usia 30 bulan5 tahun.
Prosedur Pemeriksaan
Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatanbermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anakmendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu.Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil dimana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara digantidengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech receptionthreshold (SRT).
b.2. Tes Daya Dengar (Modifikasi)Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguanpendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner
berisikan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar)bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagimenjadi 3 kelompok penilaian kemampuan; (1) Ekspresif, (2) Reseptif dan(3) Visual; masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban Yaatau Tidak. Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapatdilihat pada lampiran 2.
Cara penilaian1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab Ya berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal).2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban Tidak berarti kita harus hati-
hati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hati-hati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi.3. Bila semua jawaban adalah Tidak mungkin terdapat gangguan lain
dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidaknormal).
4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalahTidak dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan padadaya dengar (Kode TN/Tidak Normal).
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anaktidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya,sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.
4.4. Tindak Lanjut setelah Skrining PendengaranBayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus dirujuk untukpemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE,ABR danBehavioral Audiometry, sehingga dapat dipastikan ambang pendengaranpada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik. Diagnosis pasti idealnya telahselesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan.
Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006 (Lampiran 1),bayi yang gagalpada skrining awal, dilakukan pemeriksaan timpanometri,
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
14/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
33
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segeradilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atauASSR, sedangkanBERAbone conduction diperiksa bila ada pemanjanganmasa laten (gangguan pendengaran konduktif).
Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi denganBehavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetapdilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidaklulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untukbayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadapgangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisaberbicara.
5.DiagnosisDitegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaanpendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaanperkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
6.TatalaksanaApabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harusdilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alatbantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasiwicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapatbelajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampuberkomunikasi dengan optimal.
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH)yangditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skriningpendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosisdipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulaipada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak
berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal.Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat danproses fittingyang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasiyang optimal.Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orangdewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapatditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yanghasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABDbayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satualternatif adalah implantasi koklea.
7.PencegahanMengingat tingginya angka infeksi yang dapat terjadi pada ibu hamil dananak maka perlu dilakukan imunisasi misalnya untuk rubela, sehinggapemeriksaan kehamilanpun dianjurkan untuk dilakukan secara teratur.Apabila diketahui kemungkinan adanya faktor genetik , maka dianjurkanuntuk konseling genetik.
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
15/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
34
REKOMENDASI HTA
1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atautanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb)
2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahirdi RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.(Rekomendasi C LoE IV)
3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dandilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan.(Rekomendasi B LoE IIb)
4. Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur sebagaiberikut: (terlampir dalam lampiran 2).
5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaituDepartemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan
dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam halpenatalaksaan pasien.
6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusunkebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi denganmempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
7. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan,dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDMberkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir.
Daftar Pustaka
1. Joint Committee on infant hearing. Year 2000 Position Statement: Principlesand Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs.Pediatrics 2000;106:789-817.
2. Suwento R. Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayidan anak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmupenyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: FakultasKedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 31-42
3. Rehm HL, Willianson RE, Keana MA, Corey DP, Korf BR. Understanding thegenetics of deafness, a guide for parents and families. Harvard Medical
School Center for hereditary deafness. Diunduh dari:http://hearing.harvard.edu.Diakses tanggal 10 April 2004.
4. Stach BA. Causes of hearing impairment. Dalam: Stach BA. ClinicalAudiology: An introduction. San Diego: Singular Publishing Group; 1998. h.117-61.
5. Fatmawaty. Peranan Tes Daya Dengar (TDD) untuk deteksi dini gangguanpendengaran pada anak dengan keterlambatan wicara. Tesis S2Departemen IKA FKUI/ RSCM.2006
http://hearing.harvard.edu/http://hearing.harvard.edu/5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
16/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
35
B. Skrining Hipotiroid KongenitalDefinisi
Hipotiroid kongenital (HK) merupakan kelainan pada bayi sejak lahir yangdisebabkan defisiensi sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, danberkurangnya kerja hormon tiroid pada tingkat selular.1
HK merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental padaanak. HK merupakan suatu penyakit bawaan yang dapat disembuhkan secaratotal jika pengobatan dilakukan sejak dini. Di antara penyebab-penyebabretardasi mental yang dapat dicegah yang dapat dikenali melalui uji saringpada bayi baru lahir (BBL), HK merupakan penyebab yang tersering,sementara penyebab lain misalnyaphenylketonuria (PKU)lebih jarang.1
EpidemiologiAngka kejadian HK di dunia adalah sekitar 1:3.500.2Di Indonesia dengan
populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran 2% berarti ada 4.000.000bayi dilahirkan setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut setiap tahun diIndonesia diperkirakan lahir 1.143 bayi dengan HK. Di RSCM pada tahun1992-2004 terdapat 93 kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki adalah 57:36 (61%:39%). Prevalensi HK di Jawa Barat adalah 1:3.885.3Dalam suatu penelitian deskriptif retrospektif ditemukan 30 kasus HK di PoliEndokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM pada tahun 1992-2002 yangterdiri dari 9 anak laki-laki (30%) dan 21 anak perempuan (70%). Pada saatdatang pertama kali didapatkan 53,3% kasus berumur 1-5 tahun. Hanya 3kasus HK yang terdiagnosis di bawah umur 3 bulan.4
EtiologiEtiologi yang spesifik bervariasi pada berbagai negara, yang tersering
menurut Bourgeois yaitu:5
1.Tiroid ektopik (25-50%)2. Agenesis tiroid (20-50%)
3. Dishormogenesis (4-15%)4. Disfungsi hipotalamus pituitari (10-15%)
Manifestasi klinisSebagian besar BBL dengan HK adalah asimtomatik karena adanya T4
transplasenta maternal. Pada sejumlah kasus defisiensi tiroid dapatmenunjukkan gejala yang berat yang tampak pada minggu-minggu pertamakehidupan dan pada derajat defisiensi yang ringan gangguan barubermanifestasi setelah usia beberapa bulan.6
Hipotiroid kongenital memberikan menifestasi klinis sebagai berikut:
1. Gangguan makan (malas, kurang nafsu makan, dan sering tersedak padasatu bulan pertama)2. Jarang menangis, banyak tidur (somnolen), dan tampak lamban63. Konstipasi4. Tangisan parau (hoarse cry)5. Pucat5,76. Berat dan panjang lahir normal, lingkar kepala sedikit melebar7. Ikterus fisiologis yang memanjang8. Lidah besar (makroglosia) sehingga menimbulkan gangguan pernafasan
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
17/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
36
9. Ukuran abdomen besar dengan hernia umbilikalis10.Temperatur tubuh subnormal, seringkali
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
18/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
37
surge;3 skrining dilakukan sebelum pemulangan dari rumah sakit atausebelum transfusi. Hasilfalse negativedapat terjadi pada bayi dengan kondisisakit berat atau setelah mendapat transfusi.10
Tetesan darah ditempelkan pada kertas saring Schleicher & Schuell#903TM (S & S 903). Setelah dibiarkan kering selama 3-4 jam, dapatdikirimkan perpos dalam amplop surat.8
Dengan demikian hasil bisa cepat diperoleh dan pada kasus positifmemungkinkan pengobatan sebelum bayi berumur 1 bulan. Pada bayiprematur atau bayi yang sakit berat, pengambilan darah bisa ditangguhkan,tetapi tidak melebihi umur 7 hari.8
Deteksi dini HK akan mencegah keterlambatan perkembangan neurologisdan retardasi mental akibat HK yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.11
Cara pengambilan spesimen diperlihatkan dalam gambar berikut:
Sumber: Rustama DS
Gambar 23.Spesimen dibungkus
dalam amplop
Gambar 19.Lokasi tusukan tumit
Gambar 22.Spesimen dikeringkan selama
3-4 jam pada suhu kamar
Gambar 21.Cara meneteskan darah
pada kertas saringGambar 20.
Cara pengambilanspesimen
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
19/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
38
Kriteria skriningNilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan
peroksidase yang dilabeli dengan monoclonal antibodyantiTSH ke dalam microwell yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkatabsorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal.12
Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan.Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan doubleantibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tuberadioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kitSkybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH 20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bilakadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaanTSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T4rendah, < 6g/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untukmenegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilai cut-offdipanggil kembali/recall(Gambar 24).8
Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 IU/mL.Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilaiT4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG)rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat,hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagianbesar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidismesekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atauhipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkatditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normalsetelah status nutrisinya diperbaiki.13
Gambar 24. Algoritma skrining hipotiroid kongenital8
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
20/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
39
Follow uphasil skriningFollow upjangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan
berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin). Follow up jangkapanjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup padakelainan yang permanen.
Hasil tes positif membutuhkan penilaian oleh klinisi dan petugaslaboratorium yang kompeten dan menjamin diagnosis yang tepat dan akurat.Pada bayi dengan hasil tes positif, harus segera dipanggil kembali untukpemeriksaan TSH dan T4serum. Bayi dengan hasil TSH tinggi ( 50 mIU/L)dan T4 rendah (< 6 g/dL), harus dianggap menderita HK sampai diagnosispasti ditegakkan.
Penatalaksanaan selanjutnya adalah sebagai berikut : Anamnesis pada ibu, apakah ada penyakit tiroid pada ibu atau keluarga,
atau mengkonsumsi obat antitiroid; Anamnesis tentang bayi; Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda dan gejala HK (Tabel 2);Tabel 2. Daftar isian pemeriksaan fisisfollow up hasil skrining8
Gejala Ya Tidak Tanda Ya Tidak
Letargi Kulit burikKonstipasi IkterusKesulitan
minum (seringtersedak)
Herniaumbilikalis
Kulit terabadingin
Makroglosi
Fontanel melebarPerut buncit
Tangisan serak
Kulit keringRefleks lambatRefleks lambat
Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan penunjang : Sidik tiroid (dengan 123I atau TC99m). Pencitraan, pemeriksaan pertumbuhan tulang (sendi lutut dan
panggul). Tidak tampaknya epifisis pada lutut menunjukkan derajathipotiroid dalam kandungan.
Pemeriksaan anti tiroid antibodi bayi dan ibu, bila ada riwayat penyakitautoimun tiroid.
Penjelasan/penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai : penyebab HK dari bayi mereka, pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan
tumbuh kembang bayi, cara pemberian obat tiroksin, pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan
dokter.
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
21/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
40
Skrining untuk fasilitas terbatasUntuk tingkat pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat
dipergunakan neonatal hipotyroid indexuntuk skrining HK (Tabel 3). Skriningini didasarkan pada penilaian terhadap klinis bayi; diagnosis HK ditentukan
jika skor 4; bayi normal jika skor 2kemudian diperiksa nilai FT4& TSHs. Pemeriksaan ini tidak valid setelah bayiberusia > 6 bulan.
Tabel 3. Neonatal hypotiroid index0
Manifestasi klinis Skor
1.Gangguan makan 1
2. Konstipasi 1
3. Bayi tidak aktif 1
4.Hipotonia 1
5.Hernia umbilikalis (>0.5cm) 1
6.Makroglosia 1
7.Cutis marmorata 1
8.Kulit kering 1.5
9.Large fontanelle(>0.5cm) 1.5
10.Typical Fascies 3
Total 13
Sumber : Letarte, Garagorri (1989)
PengobatanSetelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK
harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar T4normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan.10
Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 g/kg/hari; tujuanterapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayicukup bulan dimulai dengan 50 g/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosisditurunkan menjadi 37.5 g/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetisdilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit padaawal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik.11
Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapidengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasibesi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10
Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar T4harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat,dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentangkadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 g/dL) dan nilai TSH < 5mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
22/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
41
dipertahankan terus selama terapi sampai bayi berusia 3 tahun. Dianjurkanmemberikan dosis awal tidak kurang dari 10 ug/kg/hari, agar tercapai IQmendekati normal.8,10
Setelah terapi, diharapkan kadar T4meningkat mencapai > 10 g/dL; FT4> 2 ng/dl dalam 2 minggu pascaterapi inisial. TSH diharapkan normal dalam1 bulan pascaterapi inisial. Pemeriksaan FT4 pada 1 minggu pascaterapiinisial dapat mengkonfirmasi peningkatan konsentrasi T4 serum. Dosistiroksin harus disesuaikan dengan klinis bayi, serta konsentrasi FT4 serumdan TSH.10
Tujuan terapi adalah mencapai tumbuh kembang normal denganmempertahankan konsentrasi total T4 dan FT4 serum dalam nilai tengahrentang normal sepanjang 1 tahun pertama kehidupan bayi, dengankonsentrasi TSH serum yang optimal (0.5-2.0 mIU/L). Kegagalan mencapaitarget konsentrasi FT4serum tersebut dalam 2 minggu pascaterapi dan ataukegagalan menurunkan nilai TSH sampai < 20 mIU/L dalam 4 minggupascaterapi harus dipikirkan bahwa bayi tidak mendapat dosis terapi yangadekuat.10
Segala upaya terapi untuk mencapai target tersebut, tetap harusmempertimbangkan efek samping dari pengobatan yang berlebihan terhadapbayi, serta harus dilakukan pemantauan konsentrasi FT4 serum secaraberkala. Kondisi hipertiroidisme yang berkepanjangan akibat terapi, terkaitdengan kejadianpremature craniosynostosis.10
Pada umumnya dosis tiroksin bervariasi tergantung berat badan dandisesuaikan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4.Sebagai pedoman, dosis yang umum dipergunakan adalah :
06 bulan 25-50 g/hari atau 8-15 g/kg/hari612 bulan 50-75 g/hari atau 7-10 g/kg/hari15 tahun 50-100 g/hari atau 5-7 g/kg/hari
510 tahun 100-150 g/hari atau 3-5 g/kg/hari
> 1012 tahun 100-200 g/hari atau 2-4 g/kg/hari
PemantauanPemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T4 atau FT4
dilakukan :
Setelah pemberian tiroksin Tiap 2 minggu, sampai kadarT4 normal
1-12 bulan Tiap 2 bulan
1-2 tahun Tiap 3 bulan
23 tahun Tiap 4 bulan
> 3 tahun Tiap 6 bulan
Sebaiknya T4 dan TSH diperiksa setelah 2 minggu perubahan dosis tiroksin.
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
23/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
42
Pemantauan lainnya meliputi : Pertumbuhan Perkembangan Fungsi mental dan kognitif Gejala kekurangan/kelebihan dosis tiroksinTes pendengaran Umur tulang
Gambar 25. Alurfollow uphasil skrining hipotiroid kongenitalSumber : Pedoman Umum Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital
(Pokjanas Hipotiroid Kongenital Kementrian Kesehatan)
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
24/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
43
Daftar Pustaka
1. Rustama DS, Fadil MR, Harahap ER, Primadi A. Newborn screening inIndonesia. Dalam: David-Padilla C, Abad L, Silao CL, Therell BL.Southeast Asian J Tropical Med and Public Health 2003; 34 Suppl 3:76-9.
2. Satyawirawan FS. Penapisan hipotiroid congenital. Dalam : SuryaatmadjaM. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2005. Jakarta:Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2005. H. 95-104.
3. Pulungan AB. Hipotiroid kongenital (HK). UKK Endokrinologi IDAI,Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta.
4. Deliana M, Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Hipotiroidismekongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, tahun 1992-2002. Sari Pediatri 2003; 5(2):79-84. (Level of Evidence IIB, Grade ofRecommendation B)
5. Bourgeois MJ. Congenital hypothyroidism. Department of Pediatrics,Division of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Texas Tech UniversitySchool of Medicine; 2004. h.1-13.
6. LaFranchi S. Thyroid function in preterm infant. Thyroid 1999; 9: 71-87. Newborn S. Prog8. Komite Nasional Skrining Hipotiroid Kongenital. Pedoman Umum
Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). DepartemenKesehatan; 2005.
9. (Deliana)10.National Guideline Clearinghouse. Update of newborn screening and
therapy for congenital hypothyroidism (2006).11.Murray MA. Primary TSH screen for congenital hypothyroidism. Summer
2009;1(2):1-5.12.(Devi)13.
(Satyawirawan FS.)
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
25/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
44
C. Skrining Retinopathy of PrematurityDefinisi
Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah suatu kelainan retina dari bayiprematur berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berpotensimengakibatkan kebutaan.
EpidemiologiPrevalensi ROP pada studi di Panti Netra di Indonesia melaporkan
prevalensi ROP sebesar 1.1 %.1,2Namun dengan meningkatnya harapan hidupbayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah di negara berkembangakibat kemajuan teknologi perawatan neonatus, ROP berkembang menjadisuatu masalah yang berarti.1
Faktor risikoBeberapa keadaan dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya ROP
pada bayi prematur/BBLR. Studi yang dilakukan Karna, dkk (2004) terhadapfaktor risiko terjadinya ROP, dikatakan bahwa jenis kelamin, sindromadistress respiratori, terapi 36 minggu usia pasca konsepsi dan penggunaansteroid prenatal tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap ROPberat. Kejadian ROP menurun pada usia kehamilan 26-28 minggu (OR:4.12,95% IK: 1.0516.11) dibandingkan pada usia kehamilan 25 minggu (OR:11.27,95% IK: 2.6148.66). Dilaporkan juga bahwa pemberian oksigen lebih dari 2minggu meningkatkan insidens ROP berat (OR:4.09, 95% IK: 1.5211.03).3
Shah VA (2005) menyatakan insidens ROP diantara bayi dengan beratlahir sangat rendah sebesar 29.2%. Terdapat hubungan bermakna antaraROP dan bayi dengan berat badan yang semakin rendah, semakin muda(imatur), atau sakit. Usia median untuk onset ROP adalah 35 minggu (dari 31-40 minggu) usia postmenstrual. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu dan
atau bayi dengan berat lahir < 1.000 g merupakan ambang batas risiko ROP.Faktor risiko utama untuk terjadinya hal tersebut antara lain preeklamsiamaternal, berat lahir, dan kejadian perdarahan pulmonal, durasi ventilasi danventilasi tekanan positif yang berlanjut. Untuk mencegah ROP, diperlukanpencegahan terhadap kejadian prematuritas, mengontrol preeklamsia, sertamenggunakan ventilasi dan terapi oksigen secara bijaksana.4
SkriningPada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak dapat
terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang berjalan daripapil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi berlangsung secaratidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina bergantung terutama pada
derajat prematuritas saat lahir.Perhatian dan perawatan yang efektif diperlukan, dimana bayi prematur
yang berisiko mendapatkan pemeriksaan retina yang terjadwal baik.Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan oleh seorang spesialis mata yangterlatih dalam skrining ROP pada bayi prematur. Demikian juga spesialis anakyang merawat bayi prematur dengan risiko ini menyadari akan pengaturanjadwal ini.
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
26/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
45
a.Tujuan skriningTujuan suatu program skrining yang efektif adalah untuk
mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROP threshold,ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaanyang penuh stres ini bagi si bayi sakit.
ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan,namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkandengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapatmencegah kebutaan.
Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresispontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya beresponbaik dengan terapi laser ataupun krioterapi.
b.Pedoman skriningPedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat
bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu denganlainnya.
Komite/Pokja Nasional ROPyang dibentuk pada Indonesia National ROPWorkshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa halberkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah ParameterSkrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut:5
- Bayi dengan berat lahir
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
27/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
46
Regresi tanpa terapi dengan pemeriksaan yang stabile.Penundaaan skrining:
Apabila keputusan untuk melakukan penundaan skrining dibuat atasalasan klinis, maka hal tersebut haruslah merupakan keputusan bersamaantara dokter mata dengan tim dokter perinatologi denganmempertimbangkan risiko penundaan tersebut. Keputusan tersebut harusditulis dalam catatan medik bayi dengan menjelaskan secara jelas alasanditundanya skrining dan pemeriksaan harus dijadwalkan kembali dalamsegera setelah waktu pemeriksaan yang seharusnya.
Klasifikasi ROPThe International Classification of ROP (ICROP) mengklasifikasikan
kelainan pada ROP berdasarkan :7
lokasi keterlibatan retina berdasarkan zona (zona 1-3);
stadium atau beratnya retinopati pada persambungan retina vaskuler dan
avaskuler (stadium 1-5);luasnya keterlibatan retina berdasarkan arah jarum jam;
ada/tidaknya dilatasi vena serta lekukan pembuluh darah polus posterior.(Gambar klasifikasi ROP, lihat lampiran)
Gambar 26. Klasifikasi Zona ROPSumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity.
Newborn Services Clinical Guideline. 2007.
Catatan penting:- Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik- Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaan follow-uppada
saat pasien akan dipulangkan:
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
28/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
47
Dokter spesialis anak (neonatologis) dan dokter spesialis mata perlumembuat rencanafollow-uppasien.
Sebaiknya tunda pemulangan pasien apabila follow-up mata belumdijadwalkan.
Buatlah pasien menyadari tanggung jawabnya untuk membawabayinya pada pemeriksaan follow-up mata seperti dijadwalkan.
Tatalaksana
Observasi8
Scleral Buckle
Vitrektomi
Cryotherapy8
Laser8
Komplikasi
Katarak
Glaukoma
Kerusakan korneaAtrofi nervus optikus
Kerusakan pigmen fovea
Miopia8
Strabismus8
Ablasi retina8
REKOMENDASI HTA
1.Bayi dengan berat lahir
5/26/2018 panduan tatalaksana bayi baru lahir
29/29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
48
Daftar pustaka
1 Sitorus RS, Abidin MS, Lorenz B, Prihartono. Prevalence of ROP in Indonesia:results from School for the Blind studies in Java island. Acta MedicaLithuanica 2006;13:204-6
2 Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causes and temporal trends of childhoodblindness in Indonesia: study at schools for the blind in Java. Br JOphthalmol. 2007 Sep;91(9):1109-13
3 Karna P, Muttineni J, Angell L, Karmaus W. Retinopathy of prematurity andrisk factors:a prospective cohort study. BMC Pediatrics2005, 5:18.
4 Shah VA. Incidence, Risk Factors of Retinopathy of Prematurity Among VeryLow Birth Weight Infants in Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:169-78.
5 Indonesia National Committee on ROP. Report on The first National ROPWorkshops. Jakarta, 2009.
6 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. ArchOphthalmol 2005; 123(7):991-999.7 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. ArchOphthalmol 2005; 123(7):991-999.
8 The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Comparative Group. TheEarly Treatment for Retinopathy of Prematurity Study: structural findings atage 2 years. Br J Ophthalmology 2006;90:1378-82.doi:10.1136/bjo.2006.098582.
Top Related