PENDIDIKAN LUQMÂN TERHADAP ANAKNYA DALAM SURAH LUQMÂN AYAT 12-19:TELAAH
PENAFSIRAN IMAM AL-SYA’RÂWÎ
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh
Nova Siti Nurlaela
NIM. 1113034000191
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
Nova Siti Nurlaela 1113034000191
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam skripsi ini sudah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 Juni 2020
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PENDIDIKAN LUQMAN TERHADAP ANAKNYA DALAM SURAH LUQMĀN AYAT 12-19 TELAAH PENAFSIRAN IMAM AL-SYA'RĀWĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 04 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Faizah Ali Sibromalisi, MA
Dr. Mafri Amir, M.Ag NIP. 19550725 200012 2 001 NIP. 19580301 199203 1001
Pembimbing,
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA NIP. 19690822 199703 1 002
ABSTRAK
Nova Siti Nurlaela
Pendidikan Luqmân terhadap Anaknya dalam Surah Luqmân Ayat
12-19:Telaah Penafsiran Imam Al-Sya’râwî
Pendidikan selalu memiliki nilai dalam perbincangan setiap generasi. Al-Qur’an, kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam dalam kehidupan juga menyoroti tema penting ini. Tema ini digambarkan dengan kisah-kisah intraksi orang-orang terdahulu. Dominasi intraksi tersebut terjadi antara ayah dan anaknya. Ini seakan memberi sinyal khusus mengenai hubungan ayah dan anak dalam pendidikan. Di antara ayat yang membicarakan intraksi pendidikan tersebut, yaitu ayat 12-19 dalam surah Luqmân. Pada bagian tengah kisah ini terdapat dua ayat yang oleh ulama tafsir dipahami secara berbeda. Ini menjadi hal menarik untuk dibahas. Akan tetapi, penafsiran al-Sya’râwî dapat menjadi titik awal untuk menjawab bagaimana hubungan ayah dan anak.
Skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana pendidikan Luqân terhadp anaknya dalam surah Luqmân di atas dengan menelaah penafsiran al-Sya’râwî. Metode yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research). Dimulai dengan memetakan pembahasan sesuai faktor-faktor pendidikan. Setelah itu, memaparkan penafsiran al-Sya’râwî dan menyandingkannya dengan beberapa penafsiran ulama lain juga buku yang berkaitan khususnya buku tentang pendidikan agar terlihat perbedaan-perbedaannya dan saling melengkapi.
Berdasarkan telaah penulis terhadap ayat 12-19 pada surah Luqmân dalam tafsir al-Sya’râî dapat disimpulkan bahwa Luqmân sebagai seorang ayah sangat penting perannya dalam pendidikan anak, yaitu dalam hal memberi contoh. Ia, sebagai contoh bagi anaknya telah memulai dari dirinya sendiri. Ia adalah sosok pemberi peringatan pada anaknya yang dapat didengar karena kewibawaannya. Semua ini memang tidak diungkapkan secara tegas oleh al-Sya’râwî, tapi ini tampak dari pemaparannya saat menafsirkan ayat-ayat tersebut. Metode yang digunakan, mau’izah tepat sesuai dengan keadaan Luqmân. Susunan materi yang disampaikan pun tepat. Semua ini menunjukkan kesempurnaan.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya milik Allah Swt.
Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada utusan Allah, Nabi
Muhammad Saw, semua sahabat, keluarga serta umatnya. Syukur dengan
mengucapkan Alhamdulillah, karena pertolongan-Nya, akhirnya, penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pendidikan
Luqmân terhadap Anaknya dalam Surah Luqmân Ayat 12-19:Telaah
Penafsiran Imam Al-Sya’râwî .”
Skripsi ini, dengan ikhtiyar pertolongan banyak pihak dapat selesai
dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir (Kajur IAT) yang membantu mempermudah proses
administrasi dan memotivasi agar penulis segera menyelesaikan
tugas akhir.
4. Fahrizal Mahdi, LC. MIRKH, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir (Sekjur IAT) yang telah membantu pula
mempermudah dalam proses administrasi.
5. Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. Dosen Pembimbing yang
ramah dan sabar, tidak bosan-bosan serta meluangkan banyak
waktunya dalam membimbing penulis selama proses penyelesaian
skripsi ini, mulai dari kesesuaian konten hingga sitematika dan
cara penulisan.
ii
6. Seluruh dosen pada Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan
pengalaman yang diberikan kepada penulis selama menempuh
studi. Semoga itu menjadi bekal dalam kehidupan penulis dan amal
jariyah baginya semua.
7. Untuk Mamah dan Bapak, kedua orang tua penulis yang tidak
pernah berhenti mendoakan penulis, semoga Allah selalu
memberikan kasih sayang-Nya sebagaimana Mamah dan Bapak
menyanyangi penulis. Saudara kandung penulis kakak (Ka Nindy,
Ka Hari, dan Ka Hadi) terima kasih berkat doa, motivasi dan juga
bantuan materilnya kepada penulis. Si Bungsu Imas Amelia yang
juga lulus SMK tahun ini. Pande (kakek), semoga Allah berikan
kesehatan dan kesejahteraan, almarhumah Mande (nenek) serta
keluarga besar Sawargi.
8. Suami tersayang dan terkasih (Mas Fauzan) pembimbing dunia dan
akhirat untuk penulis, aamiin. Sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan tentu banyak terbantu karenanya. Buah hati penulis
Hubabah Mamba‟atul Barokat yang sudah menemani ummi dari
awal kandungan hingga kelahiran dalam proses penulisan tugas
akhir ini.
9. Mamah dan Bapak mertua serta keluarga besar di Madura yang
doanya selalu teriring untuk keluarga kecil penulis.
10. Abi Syarif dan Umi Uswah Semoga keduanya selalu dalam
kesehatan dan perlindungan dari Allah Swt.
11. Bunda Siti Nuriyah selaku guru dan pembimbing penulis selama
berada dalam jajaran Dewan Kelurahan Putri. Pak Ibnu Suwanto
guru yang memotivasi penulis untuk gemar membaca. Serta
Dewan Guru PP Ummul Qura lainnya yang namanya tidak bisa
iii
penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah berikan kesehatan,
kemudahan dan perlindungan.
12. Teman setia penulis Neng Aini, Kiki, Nia, dan Nida. Semoga Allah
berikan kebahagiaan kepada kalian. Personil anak bawang
D‟Bapon (Shoba, Suci, Falihah dan Sakinah).
13. Sahabat Silma, Mba Siska dan Mba Anggi. Teman-teman TH E
serta TH 2013.
14. Teman-teman KKN FAITH 2016 (Irsyad, Bayu, Aqin, Bagis, Ka
Shoivi, Mamih Suci, Dwi, Ulfah, Aini dan si bungsu Lia”) yang
sudah seperti keluarga sendiri, terima kasih sudah memberikan
pengalaman dan ilmu yang berbeda. “Mak kangen kalian nak”.
Semoga niat dan perlakuan baik mereka semua mendapat balasan
lebih baik oleh Allah.
epada Allah lah penulis berharap ridha dan bersyukur, dan
kepada-Nya memohon ampun. Semoga tulisan ini sesuai dengan Tujuan
dan Manfaat enelitian. m n.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada keputusan Rektor Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,
Nomor: 507 Tahun 2017, Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
v
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
„ عkoma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Ki ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ـ
n En ف
w We ك
h Ha ق
vi
Apostrof ` ء
y ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah ك
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u ك
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a dengan topi di atas ا
i dengan topi di atas ي
vii
u dengan topi di atas ك
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/,
baik diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-
syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah, - bukan - .
5. Syaddah ( )
Syaddah atau yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu, seperti السنة ditulis al-sunnah. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata tidak ditulis ad-darȗrah melainkan al-darȗrah.
6. ṯah
Jika ṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريػرة ditulis
Ab Hurairah. Hal yang sama juga berlaku jika ṯah tersebut
diikuti oleh kata sifat (n ) seperti الجامعة الاسلامية ditulia al-j mi‟ah al-
islâmiyyah. Namun jika huruf ṯah tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/, seperti
. ditulis wahdat al-wu ȗ كحدة الوجود
7. Huruf Kapital
viii
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti
a البخاري l-Bukh r .
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
PEDOMAN RANSLITERASI .............................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................... 8
D. Tujun dan Manfaat Penelitian .................................... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ................................................ 10
F. Metode Penelitian ....................................................... 15
G. Sistematika Penulian ................................................. 16
BAB II WAWASAN PENDIDIKAN ........................................... 19
A. Pengertian Pendidikan dan Istilah Pendidikan ........... 19
B. Komponen-Komponen Pendidikan ............................ 23
C. Metode Pendidikan ..................................................... 28
D. Fungsi Pendidikan ...................................................... 33
BAB III MENGENAL AL-SYA’RȂWȊ DAN TAFSIRNYA ....... 35
A. Biografi al-Sya’râwî ................................................. 35
B. Keluarga al-Sya’râwî ................................................. 37
C. Desa Kelahiran al-Sya’râwî ...................................... 37
D. Pendidikan dan Karirnya .......................................... 39
E. Akhir Hayat al-Sya’râwî ............................................ 42
F. Karya-karya yang Dinisbatkan Pada al-Sya’râwî ...... 43
G. Karakteristik Tafsir al-Sya’râwî ................................ 45
x
BAB IV PENDIDIKAN LUQMȂN PADA ANAKNYA:
ANALISIS TAFSIR IMAM AL-SYA’RȂWȊ
SURAH LUQMȂN AYAT 12-19 .................................. 53
A. Luqmân Sebagai Pendidik ......................................... 55
B. Anak Luqmân Sebagai Peserta Didik ........................ 66
C. Metode Mau’izah (Nasehat) yang Digunakan
Luqmân ...................................................................... 68
D. Materi-materi yang Diajarkan Luqmân ..................... 69
BAB V PENUTUP ........................................................................ 76
A. Kesimpulan ................................................................ 77
B. Saran .......................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Generasi muda adalah aset utama yang terpenting untuk
keberlangsungan dan kemajuan kehidupan manusia di dunia. Oleh
karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan, topik pendidikan menarik dan
senantiasa aktual untuk dibicarakan. Masalah penddikan sangat penting
dan aktual sepanjang zaman karena dengan pendidikan orang menjadi
maju.1 Bahkan dalam kajian keislaman disebutkan bahwa mencari ilmu
dimulai dari buaian hingga liang lahat.
Pendidikan juga dinilai sebagai persoalan yang rumit dan terkesan
tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas karena banyaknya unsur
yang harus diperhitungkan dan berbagai aspek yang bisa dipakai untuk
pertimbangan dalam pendidikan serta persoalan perubahan zaman yang
mesti dihadapi.2 Pendidikan harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu
keluarga3 karena kebaikan umat ditentukan oleh baiknya setiap keluarga.4
Pendidikan dalam lingkungan keluarga mendapat perhatian dengan
porsi yang besar oleh al-Qur`an. Al-Qur`an, yang sering
memproklamirkan dirinya sebagai petunjuk (hȗdan)5 diyakini
1 Zakiah Dradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah , Cet. I (Ciputat: CV. Ruhama,1994), XI. 2 A. Sudiarja, Pendidikan Dalam Tantangan Zaman , Cet. I (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), 5. 3 Keluarga terkecil adalah mencakup suami, istri dan anak-anak lihat Wahbah al-Zuhailî, al-Usrah Al-Muslimah Fî al-„Ȃlam al-Mu‟asir, Cet.VI (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010), 20. 4 Muẖammad bin Ibrahîm al-Hamdi, Min Akhtâ` al-Azwâj (Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1419 H), 3. 5 QS. Luqmân/31:3, yang artinya: “Menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang berbuat kebaikan”
2
menghimpun semua ilmu pengetahuan. Tidak terkecuali tentang
pendidikan, khususnya pendidikan dalam lingkungan keluarga. Pendidikan
seperti ini bisa dilihat dari beberapa kisah tentang keluarga. Diantaranya
adalah kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail,6 Nabi Hud,7 Nabi Ya‟qub dan
Nabi Yusuf,8 dan Luqmân.9
Ada riwayat yang berbunyi: “Manusia itu tempatnya salah dan
lupa”. Maka turunlah al-Qur`an dengan fungsi al-Dzikr10 yaitu sebagai
peringatan dari Allah bagi semua umat manusia. Agar kesalahan tidak
terulang akibat lupa maka Allah memberikan peringatannya. Begitu
murahnya kasih sayang Allah maka kisah dijadikan salah satu cara untuk
memperingati manusia. Kisah dalam al-Qur`an merupakan salah satu
bentuk yang cukup strategis dalam menyampaikan peringatan Allah dan
menanamkan pesan-pesan wahyu termasuk nilai-nilai pendidikan ke
dalam jiwa seseorang tanpa ada unsur paksaan. Pesan-pesan itu diterima
dengan perasaan senang dan kesadaran. Tidaklah mengherankan jika al-
Qur`an menyatakan dengan bahasa yang tegas tentang perlunya manusia
bercermin ke masa lampau untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah
umat terdahulu.11
Kisah al-Qur`an yang sarat dengan pesan pendidikan sangatlah
banyak. Di antaranya adalah kisah Luqmân yang menasehati anaknya.12
6 QS. Al-Shâffât/37: 100-110 7 QS. Hȗd/11: 42-43 8 QS. Yȗsuf/12: 4-5 9 QS. Luqmân /31: 12-19 10 QS. al-Hijr/ 15:9, yang artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-
Qur`ân (al-Dzikr) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. 11 A.M. Ismatullah, “Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Yusuf (Penafsiran H.M
Quraish Shihab atas Surah Yusuf)”, 2. 12 Sa‟îd bin al-Musayyib berkata, “Luqman adalah orang kulit hitam dari orang-orang kulit hitam Mesir. Dia memiliki dua bibir yang tebal. Allah Swt memberinya hikmah, akan tetapi tidak memberinya kenabian.” Lihat al-Qurtȗbî dalam al-Jâmi‟ li
3
Nasihat Luqman yang ia berikan kepada anaknya dapat menjadi pelajaran
bagi kita.
Luqmân menjadi teladan bagaimana seorang ayah agar terlibat
langsung untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan pada anak sejak dini
agar tidak terjerumus pada keburukan. Kedekatan seorang ayah dengan
anak sebagaimana ditunjukkan oleh Luqmân juga ditunjukkan oleh sikap
Rasulullah Saw. Kesibukan beliau dalam membimbing umat manusia,
sama sekali tidak menjadi alasan untuk mencegah beliau terlibat langsung
dalam pengasuhan anak. Bahkan, sikap baik pada keluarga adalah pondasi
bagi sikap baik pada masyarakat.13
Al-Qur`an sendiri menceritakan secara langsung dialog antara anak
dengan orang tuanya. Menariknya adalah fakta bahwa dialog antara anak
dengan ayah justru dominan. Dari 17 rumpun ayat yang tersebar di 9
surah, 14 rumpun ayat adalah tentang dialog antara anak dengan ayah, 2
rumpun dialog dengan ibu, dan 1 rumpun dialog dengan keduanya.
Rumpun ayat tentang dialog antara anak dan ayahnya terdapat di Qs. Al-
Baqarah/2:130-133 antara Nabi Ibrahim As dengan ayahnya dan antara
Nabi Ya‟qub As dengan anaknya, Qs. Al-An‟âm/6:74 antara Nabi Ibrahim
As dengan ayahnya, Qs. Hȗd/11:42-43 antara Nabi Hud As dengan
anaknya, Qs. Yȗsuf/12:4-5 antara Nabi Yusuf dengan ayahnya, 11-14, 16-
18, 63-67, 81-87, 94-98 memuat kisah dialog Nabi Ya‟qub As dengan
anaknya, 99-100 antara Nabi Yusuf As dengan ayahnya, Maryam/19:23-
26 antara Maryam dengan janinnya dan Al-Qashash/28:11 antara Ibu
Musa dengan anak perempuannya dan satu rumpun ayat tentang dialog
Aẖkâm al-Qur`ân, terj. Fathurrahman Abdul Hamid dkk, cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 143-144. 13 Nur Rofiah, “Ayah dan Pengasuhan Anak”, Diakses, 06 Februari, 2019, https://www.swararahima.com/04/07/2018/ayah-dan-pengasuhan-anak/
4
antara anak dan kedua orang tuanya adalah Qs. Al-Ahqâf/46:17 antara
kedua orang tua dengan anak yang tidak disebut namanya.14 Data-data
dalam al-Qur`an ini apakah menunjukkan bahwa peran ayah lebih penting
?.
Akan tetapi selama ini pola pikir yang terbentuk di masyarakat
adalah mendidik anak di rumah semata-mata tanggung jawab seorang ibu
(istri), dengan alasan bahwa ibulah yang banyak berada di rumah, ibulah
yang lebih banyak waktunya bersama anak-anak, sedangkan ayah lebih
banyak berada di luar rumah untuk mencari nafkah.15 Bahkan Quraish
Syihab saat membahas QS. Al-Baqarah ayat: 282 menjelaskan bahwa al-
Qur`an sejak dini telah menetapkan agar istri mencurahkan perhatiannya
pada urusan keluarga dan pendidikan anak.16
Anggapan seperti di atas oleh Rusli Amin dinilai kurang tepat
walaupun fakta bahwa ayah lebih banyak di luar rumah untuk mencari
nafkah adalah tidak dapat dipungkiri. Namun ia juga menggaris bawahi
bahwa ayah memiliki peran dan tanggung jawab yang besar terhadap
keluarga (istri dan anak). Untuk menguatkan argumentasinya ia mengutip
ayat berikut17:
14 Nur Rofiah, “Ayah dan Pengasuhan Anak ”, Nur Rofiah, “Ayah dan
Pengasuhan Anak”, Diakses, 06 Februari, 2019, https://www.swararahima.com/04/07/2018/ayah-dan-pengasuhan-anak/ 15 M. Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman: Panduan
Menuju hidup Bahagia, cet. I (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002), 62-63. 16 Muhammad Quraish Shihab, Pengantin al-Qur`ân: Kalung Permata Buat
Anak-anakku, cet. IX (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 18. 17 Rusli, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman , 62-63.
5
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Yanti Palebo dengan merujuk pada tulisan-tulisan Zakiah Daradjat
memaparkan bahwa ayah adalah sebagai penolong utama bagi anak-
anaknya, sebagai pangkal ketentraman dan kebahagiaan anak, cara-cara
ayah melakukan pekerjaan sehari-hari berpengaruh terhadap cara-cara
pekerjaan anaknya.18
Allah Swt. ketika memberikan wasiat atau pesan untuk berbuat
baik kepada kedua orangtua, terkadang memerintahkannya secara mutlak,
sebagaimana dalam firman-Nya al-Qur`an Surah al-Ahqaf: 15
Artinya:” Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Di lain waktu, Allah swt menyebutkan alasannya,
18 Yanti Palebo, “Konsep Pendidikan Anak Menurut Islam”. Irfani: Jurnal Pendidikan, Vol 3, 84-85.
6
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Dalam ayat tersebut dikatakan agar anak berbakti kepada kedua
orang tua dengan menyebutkan peran penting seorang ibu yaitu, “ibunya
telah mengandungnya dengan susuah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah pula.”19 Apa maksud al-Qur`an mengingatkan manusia agar
berbakti kepada kedua orang tuanya namun dengan hanya menyebutkan
peran penting seorang ibu. Dimana peran ayah? Mana pengakuan atas
usahanya sepanjang tahun dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya?
نسان نا ال Dan Kami perintahkan kepada manusia” apakah ini wasiat“ ووصي
Luqmân kepada anaknya atau Firman Allah ?20 Jika ayat 14 ini adalah
Firman Allah maka apa maksud Allah Swt berfirman diantara kumpulan
wasiat Luqmân kepada anaknya. بنه Dan ingatlah ketika“ وإذ قال لقمان ل
Luqmân berkata kepada anaknya” yang terdapat dalam ayat 13, lalu ayat
15-19 pun berisi tentang wasiat Luqmân kepada anaknya.
Al-Qur`an akan tetap menjadi rujukan dasar dalam menyikapi
setiap gejala sosial yang terus berkembang. Di tengah-tengah kehidupan
yang plural, lahir seorang tokoh, yaitu Muẖammad Mutawallî al-Sya‟râwî.
19 Muẖammad Mutawallî al-Sya‟râwî, Suami Istri Berkarakter Surgawi , terj. Ibnu Barnawa (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), 246-247. 20 Muẖammad Mutawallî al-Sya‟râwî, al-Khawatir Haula al-Qur`ân, terj. Tim terjemah Safir al-Azhar (Ikatan Alumni Universitas al-Azhar Mesir di Medan) dan Zainal Arifin, Cet. I (Medan: Duta Azhar, 2011), 658.
7
Al-Sya‟râwî memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang
rahasia bahasa Arab.21
Penafsiran Imam al-Sya‟râwî terhadap surah Luqmân unik dan
berbeda dari penafsiran yang bercorak adaby wa al-Ijtimâ‟i22 lainnya
seperti kitab tafsir al-Mishbah23, al-Maraghi24, dan Tafsir Fî Ẓilal al-
Qur`an25. Penafsiran al-Sya‟râwî dari kebahasaan mencoba memberi
alasan kenapa seorang ayah menjadi penting perannya.26 Penafsiran
seperni ini tidak ditemukan pula dalam tafsir al-Zamakhsyarî27 dan al-
Râzî28 yang mana keduanya juga merupakan rujukan al-Sya‟râwî.29
Melalui penafsirannya ini, bisa ditelaah bagaimana pandangan al-Sya‟râwî
tentang pendidikan, khususnya hubungan ayah dan anak.
Dari beberapa penjelasan di atas maka penulis akan membahasnya
dengan tema besar “Pendidikan Luqmân terhadap Anaknya Dalam
Surah Luqman Ayat 12-19: Telaah Penafsiran Imam Al-Sya’râwî”.
21 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik hingga Jaman Modern , terj. M. Syihabuddin (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 140. 22 Muẖammad Hadi Ma‟rifah, Tafsir al-Mufassirȗn Fî Tsaubihi Liqosyîbi, cet. II (t.t: al-Jâmi‟ah al-Raḍawiyyah Li al-„Ulȗmil al-Islamiyyah, 1384), 1008. 23 Muhammad Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian
al-Qur`ân, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 300. 24 Ahmad Mustafâ al-Maraghî, Tafsîr al-Maraghî, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, cet. I (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989), 154. 25 Sayyid Qutb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur`ân, terj. As‟ad Yasin dkk, cet. I (Jakarta: Gema Insani, 2004), 263. 26 Al-Sya‟râwî, al-Khawatir Haula al-Qur`ân, 658. 27 Mahmȗd bin „Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf „an Haqâiq al-Tanzîl wa
„‟Uyȗn al-Aqâwîl fî Wujȗh al-Ta‟wîl, juz 21 (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2009), 836 28 Muhammad bin „Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), 148 29 „Utsmân Ahmad „Abdurrahîm al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî wa Manhajuh fî al-Tafsîr (Kairo: Dâr al-Salâm, 2013), 227-228
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas,
ditemukan beberapa masalah, di antaranya:
1. Bagaimana pendidikan dalam al-Qur`an menurut Tafsîr al-
Sya‟râwî?.
2. Bagaimana pendidikan yang terdapat dalam QS. Luqmân ayat 12-
19 berdasarkan analisis data dalam Tafsîr al-Syarâwî?.
3. Bagaimana peran ayah dalam pendidikan anak pada Tafsîr al-
Sya‟râwî?.
4. Bagaimana hikmah dan hubungan dari adanya ayat pemisah (ayat
14 dan 15) di antara cerita wasiat Luqmân?.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembahasan tentang pendidikan, sebenarnya telah banyak dibahas
dan dikaji oleh banyak pakar pendidikan baik itu muslim ataupun non-
muslim. Meskipun demikian, pendidikan selalu menarik dibahas karena
relevan dengan perkembangan zaman dan juga untuk memberi khazanah
dan sumbangsih pemikiran yang lebih luas, adalah baik untuk membahas
masalah pendidikan ini secara kontekstual-memahami dan menganalisa
ayat-ayat al-Qur`an yang berimplikasi pada pendidikan dengan
menggunakan kitab Tafsîr al-Sya‟râwî yang banyak mengandung nilai-
nilai pendidikan dalam kitab tafsirnya.
Agar lebih terarah, pembahasan dalam skripsi ini dibatasi hanya
pada kajian pendidikan anak yang dalam surah Luqmân yang terdapat
pada Surah Luqmân ayat 12 sd 19 sebagai suatu konsep atau pola Luqmân
(seorang ayah) dalam mendidik anaknya dengan berdasarkan telaah atas
9
penafsiran Imam al-Sya‟râwî. Penafsirannya dipilih, selain karena
kemampuan kebahasaannya juga karena ia memiliki argumentasi yang
menarik sesuai fakta kehidupan saat menjelaskan tidak disebutkannya
peran ayah pada ayat 14 dalam surah Luqmân ini.
2. Rumusan Masalah
Melihat batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah yang akan penulis jawab: Bagaimana pendidikan
Luqmân terhadap anaknya dalam surah Luqmân ayat 12-19 menurut
penafsiran al-Sya‟râwî?.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui wawasan al-Qur`an tentang pendidikan.
2. Mengetahui dan memahami analisis penafsiran al-Sya‟râwî tentang
ayah mendidik anak dalam tafsirnya surah Luqmân ayat 12-19.
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori, yaitu teoritis dan praktis:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
informasi tentang pembahasan kitab-kitab tafsir, khususnya Tafsîr
al-Sya‟râwî dan cara menganalisisnya.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi contoh
dalam menganalisis corak kitab-kitab tafsir.
10
E. Tinjauan Kepustakaan
Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah telaah terhadap karya-
karya tulis baik berupa Jurnal, Skripsi, dan Tesis. Setelah ditelaah, penulis
mencari perbedaan-perbedaan dari karya-karya tersebut dengan penelitian
ini. Berdasarkan pencarian yang penulis lakukan ada beberapa karya tulis
yang berkaitan dengan tema yang diteliti.
Karya-karya tersebut adalah;
1. Tesis berjudul, “Konsepsi Pendidikan Anak Menurut Luqman al-Hakim
(Kajian Tafsir Surah Luqman ayat 12-19).” Disusun oleh Oyoh Bariah
mahasiswi Magister bidang Ilmu Agama Islam Pacasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Saudari Oyoh Bariah tidak
menjadikan salah satu kitab tafsir sebagai rujukan utama melainkan adalah
al-Qur`an al-Karim sebagai rujukan utama kendati begitu kitab-kitab
tafsir tetap digunakan sebagai referensi penelitiannya. Berbeda dengan
penulis yang menjadikan penafsiran al-Sya‟râwî sebagai rujukan utama.30
2. Jurnal dengan judul, “Peran Ayah dalam Mendidik Anak”. Disusun oleh
Heman Elia. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. I, No. 1, 2000.
Menurut penelitian ini bahwa, pandangan di masyarakat mengenai peran
ayah dalam mendidik anaknya adalah hal yang tabu. Inilah yang penulis
rasa perlu dibahas menjadi penelitian agar pandangan masyarakat
mengenai peran ayah dalam mendidik anak adalah keharusan yang sudah
seharusnya ada dan berjalan lazim. Jurnal yang ditulis oleh Saudari
Heman Elia telah memaparkan pentingnya seorang ayah dalam mendidik
anak. Karena menurutnya, mendidik anak merupakan salah satu bentuk
30 Oyoh Bariah, “Konsepsi Pendidikan Anak Menurut Luqman al-Hakim (Kajian
Tafsir Surah Luqman ayat 12-19)”. (Tesis S2., Program Magister Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000).
11
pengabdian dan ketaatan pada perintah Tuhan. Tujuan akhir pendidikan
anak adalah menghadirkan Allah dan perintah-Nya dalam kehidupan
pribadi sang anak. Heman Elia membahas dari kacamata umum yang
kemudian penulis merasa penting untuk meneliti lebih dalam dengan
kacamata ilmu al-Qur`an dan tafsir.31
3. Jurnal yang ditulis oleh Kasidi yang berjudul “Tanggungjawab
Orangtua Terhadap Pendidikan Anak: Perspektif al-Qur`an”. Jurnal
Irfani volume 3 nomor 1 Juni 2007. Menurut Kasidi, tanggungjawab ayah
sebagai pemimpin keluarga, bukan hanya terbatas pada menyediakan
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal saja. Tetapi mencakup
seluruh kebutuhan lahiriyah dan batiniyah dari semua anggota keluarga.
Oleh karena itu, seorang ayah sebagai pemimpin keluarga harus dapat
menjadikan dirinya sebagai tauladan bagi semua anggota keluarga,
terutama bagi anak-anaknya. Ayah dipandang sebagai manusia yang
sempurna, mengagumkan dan dianggap akan mampu melindungi dan
memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Penulis dalam penelitian ini
terlebih dahulu menjelaskan anak dalam al-Qur`an dengan menyebutkan
istilah-istilah anak dalam al-Qur`an serta membahas fungsi anak.
Penelitian ini sedikit memfokuskan pada peran ayah karna memang
judulnya tanggung jawab kedua orangtua.32
4. Jurnal berjudul, “Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al-Qur`an”.
Disusun oleh, Novita Siswayanti. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an
(Suhuf, Vol. 3, No. I, 2010), Jakarta. Saudari Novita mengupas wacana
kisah-kisah al-Qur`an dan implikasinya dalam konteks pendidikan. Saya
31 Heman Elia, “Peran Ayah dalam Mendidik Anak ”. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. I, No. 1 (2000). 32 Kasidi, “Tanggungjawab Orangtua Terhadap Pendidikan Anak: Perspektif al-
Qur`ân”. Irfani: Jurnal Pendidikan, Vol. 3, No. 1 (2007).
12
sependapat dengan saudari Novita bahwa kisah Luqman dalam al-Qur`an
sarat dengan pesan pendidikan. Kisah-kisah dalam al-Qur`an dapat
dianggap sebagai metode pendidikan yang efektif dalam transformasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai keislaman.33
5. Skripsi berjudul, “Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut Al-Qur`an
(Sebuah Kajian Tafsir Tematik).” Disusun oleh Mi‟roji. Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2011. Saudara Mi‟roji dalam penelitiannya
menggunakan kajian Tafsir Tematik sedangkan penulis menggunakan
kajian Tafsir Tahlili. Setelah membaca penelitian ini, penulis menemukan
prinsip-prinsip yang ditawarkan al-Qur`an dalam pendidikan, yaitu:
Tauhid. Pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai tauhid pada
anak, karena tauhid sebagai prinsip pendidikan berimplikasi pada
keshalihan akhlak. Penelitian ini tidak membahas kisah didalam al-Qur`an
sebagai salah satu metode dalam pengajaran pendidikan seperti yang
penulis lakukan.34
6. Skripsi berjudul, ”Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Kisah
Luqman Al-Hakim (Telaah Tafsir Surah Luqman Ayat 12-19).” Disusun
oleh Siti Uswatul Rofiqoh. Program Studi Pendidikan Agama Islam
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang 2015. Penelitian ini memfokuskan pada
pendidikan karakter yang mengacu pada QS. Luqman ayat 12-19. Saudari
Siti Uswatul Rofiqoh menggunakan Tafsir al-Misbah karya M. Quraish
Shihab dan Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam 33 Novita Siswayanti, “Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al-Qur`ân”. Jurnal Suhuf, Vol. 3, No. I, (2010). 34 Mi‟roji, “Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut Al-Qur`ân (Sebuah Kajian
Tafsir Tematik)”. (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
13
kajiannya, yang kedua tafsir tersebut menjadi pembanding data dengan
penafsiran Imam al-Sya‟râwî dalam penelitian penulis. 35
7. Skripsi berjudul, “Mau‟izah Luqman Kepada Anaknya (Studi atas
Penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap Surah Luqman ayat 12-19 dalam
Kitab Tafsir al-Ibriz li Ma‟rifati Tafsir al-Qur`an al-„Azîz).” Disusun oleh
Lilik Faiqoh. Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015.
Penelitian ini sama dengan apa yang dituangkan oleh penulis
bahwasannya salah satu yang menarik adalah penyampaian ajaran dalam
bentuk kisah (Qasas), karena melalui kisah, ajaran atau nasihat bisa lebih
mudah tersampaikan pesannya. Penelitian ini memakai penafsiran lokal
(tafsir bahasa jawa) karya KH. Bisri Mustofa terhadap Surah Luqman ayat
12-19 sehingga pesan yang disampaikan lebih spesifik kepada masyarakat
jawa hal ini disampaikan sendiri oleh Lilik Faiqoh dalam latar belakang
kajiannya, dan penulis merasa perlu mengkaji versi cangkupan lebih luas
dengan menggunakan tafsir al-Sya‟râwî yang membahas lebih dalam
mengenai pendidikan anak.36
8. Tesis berjudul, “Peran Ayah dalam Penanaman Nilai-Nilai Spiritual
Pada Anak.” Disusun oleh Nur Syariful Amin. Program Magister Sains
Psikologi Sekolah Pascasarjana Universitas muhammadiyah Surakarta,
2017. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan
sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa, peran ayah ditujukan
35 Siti Uswatul Rofiqoh,”Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Kisah Luqman
Al-Hakim (Telaah Tafsir Surat Luqman Ayat 12-19)” (Skripsi S1., UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015). 36 Lilik Faiqoh, “Mau‟izah Luqman Kepada Anaknya (Studi atas Penafsiran KH.
Bisri Mustofa terhadap Surat Luqman ayat 12-19 dalam Kitab Tafsir al-Ibriz li Ma‟rifati
Tafsir al-Qur`ân al-„Aziz)” (Skripsi S1., UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
14
melalui kedekatan, keterlibatan serta sebagai role model spiritual bagi
anak. Penanaman nilai-nilai spiritual dilakukan ayah sejak dalam
kandungan. Metode sosialisasi nilai yang efektif untuk usia anak-anak
adalah dengan nasehat, pemberian contoh dan kisah. Adapun usia remaja
adalah dengan diskusi dan pemberian contoh. Disimpulkan bahwa metode
yang tepat, kedekatan ayah dengan anak serta kesabaran ayah dalam
menghadapi pelanggaran nilai yang dilakukan anak berpengaruh terhadap
proses internalisasi nilai-nilai spiritual pada anak. Penelitian ini diambil
dari kacamata psikologi, maka tidak menggunakan penafsiran
sebagaimana yang penulis lakukan.37
9. Tesis berjudul, “Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif
Al-Qur`an (Analisis Kandungan Qs. Ibrahim ayat 35-41, Qs. Luqman ayat
12-19, dan Qs. Al-Shâffât ayat 100-113).”yang disusun oleh Emilya Ulfah.
Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun
2017. Penelitian ini memfokuskan pada analisis surah pilihan terkait
pendidikan anak oleh Nabi Ibrahim dan Luqman yaitu Surah Ibrahim ayat
35-41, Surah Luqman ayat 12-19, dan Surah al-Shâffât ayat 100-113.
Adapun tafsir pendukung dalam memaknai surah-surah pilihan tersebut
adalah Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka. Emilya mencoba mencari
persamaan dan perbedaan dalam kisah keduanya berbeda dengan apa yang
penulis teliti, kajian penulis memfokuskan pada kisah Luqman yang
terdapat pada Surah Luqman ayat 12-19 sebab alasan peran ayah terutama
yang terdapat pada ayat 14 Surah Luqman, sedang kajian Tesis ini
37 Nur Syariful Amin, “Peran Ayah dalam Penanaman Nilai-Nilai Spiritual
Pada Anak” (Tesis S2. Program Magister Sains Psikologi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muẖammadiyah Surakarta, 2017).
15
menggunakan metode perbandingan antara kisah Nabi Ibrahim As dengan
kisah Luqman al-Hakim.38
10. Skripsi berjudul, “Urgensi Kesaksian (al-Shahadah) Perspektif
Mutawallî Al-Sya‟rawi: Analisis Kesaksian dalam Wasiat, Utang-piutang
dan Perzinaan.” Disusun oleh Siti Umi. Program Studi Ilmu Al-Qur`an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017. Pembahasan penulis dengan skripsi ini jelas
berbeda namun, penafsiran yang dipilih oleh saudari Siti Umi sama
dengan penafsiran yang penulis pilih, yaitu Tafsir Imam al-Sya‟rawi.
Mengapa menggunakan kitab Tafsir Imam al-Sya‟râwî ? bahwa tafsir al-
Sya‟rawi ini berisikan penjelasan yang luas dan jelas. Juga dikarenakan
corak tafsir yang beliau gunakan ialah al-Adaby wa al-Ijtmâ‟i, yaitu corak
tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Atas
dasar inilah penulis mengambil tokoh Mutawallî al-Sya‟râwî. Penulis
membahas peran ayah dalam mendidik anak: kajian pada kisah Luqman
lalu saudari Siti Umi mengkaji wasiat, utang-piutang dan perzinahan yang
semuanya berkaitan dengan masyarakat hingga kini.39
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya tulis (skripsi) ini, penulis menggunakan
metode penelitian kepustakaan (Library Research) sebagai landasan dalam
mengumpulkan data yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku yang
berkaitan erat dengan judul yang penulis ambil pendekatan secara tekstual
38 Emilya Ulfah, “Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Al -
Qur`ân (Analisis Kandungan Qs. Ibrahim ayat 35-41, Qs. Luqman ayat 12-19, dan Qs.
Ash-Shaffat ayat 100-113)” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017). 39 Siti Umi , “Urgensi Kesaksian (al-Shahadah) Perspektif Mutawallî Al-
Sya‟rawi: Analisis Kesaksian dalam Wasiat, Utang -piutang dan Perzinaan” ( Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
16
akan digunakan dalam skripsi ini. Pada proses pengumpulan data, penulis
membagi dua. Pertama, data primer yakni penulis menggunakan Tafsir al-
Sya‟râwî karya Imam Muẖammad Mutawallî al-Sya‟râwî. Kedua, data
sekunder adalah segala sumber tertulis baik dari pandangan mufassir lain,
buku, situs internet atau tulisan lain yang relevan dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebagai pendukung data primer.
Tehnik pembahasan dalam skripsi ini:
1. Memaparkan penafsiran Imam al-Sya‟râwî.
2. Menganalisis, yaitu menunjukkan relasi data yang digunakan.
3. Membandingkan dengan penafsiran lain.
4. Mengajukan kemungkinan pemaknaan lain yang sesuai.
5. Mengembangkan penafsiran.
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan penulis sajikan menjadi lima bab. Masing-
masing bab memiliki beberapa sub bab.
Bab pertama, sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu berisi
pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas wawasan al-Qur`an tentang pendidikan yang
di dalamnya terdapat penjelasan mengenai pengertian pendidikan dan
istilah pendidikan, komponen-komponen pendidikan, metode pendidikan,
dan juga fungsi pendidikan.
Bab ketiga, membahas biografi al-Sya‟râwî, karya-karya yang
dinisbatkan padanya, dan karakteristik tafsirnya..
Bab keempat, analisis kritis tafsir al-Sya‟râwî dalam surah Luqmân
ayat 12-19 yang dibagi menjadi empat bagian sesuai komponen-komponen
pendidikan yang ada dalam ayat. Luqmân sebagai pendidik, anaknya
17
sebagai peserta didik, nasehat sebagai metode dan apa yang dinasehatkan
sebagai materi-materi pendidikan.
Bab kelima, adalah penutup dan kesimpulan. Bab ini menjawab
rumusan masalah penelitian dan memberikan rekomendasi serta saran
untuk penelitian lebih lanjut.
19
BAB II : WAWASAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Pendidikan dan Istilah Pendidikan
Kata pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berasal dari akar kata “didik” yang berarti pelihara dan latih. Kata tersebut
adalah nomina (kata benda) yang diartikan sebagai proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Mendidik berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran atau tuntunan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidik adalah
orang yang mendidik.1
Pendidikan merupakan aktifitas pengembangan individu yang
dilakukan oleh individu lain.2 Secara sederhana dan umum pendidikan
dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.3
Pendidikan dalam arti yang lebih luas cakupannya dijelaskan oleh
R. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap sebagaimana disebutkan
dalam Ensiklopedi Pendidikan, yaitu semua perbuatan dan usaha dari
generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan,
serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah
maupun rohaniah. Konsekuensi pengertian seperti ini, pada tingkatan
tertentu dapat dikatakan bahwa binatang juga “mendidik” anaknya.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2008), 2 Thâriq „Abd al-Ra`uf „Ȃmir, Ushȗl al-Tarbiyyah: al-Ijtimâ’iyyah al-
Tsaqâfiyyah al-Iqtishâdiyyah (t.tp: t.pt, 2008), 49. 3 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, cet. VIII (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), 1-2.
20
Pembeda antara manusia dan binatang dalam hal ini adalah tanggung
jawab.4
Pengertian ini tertolak dengan adanya pendapat bahwa pendidikan
merupakan aktifitas manusia dan unsurnya adalah hanya manusia tidak
dengan makhluk hidup lainnya apalagi yang mati. Pembiasaan yang terjadi
pada hewan bukanlah pendidikan.5 Pendapat ini memberi arti bahwa
pendidikan tidak bisa dimaknai luas yang melewati batas manusia karena
pendidikan khusus manusia.
Perbedaan pengertian seperti ini diakui oleh Hasbullah. Demikian
itu disebabkan karena pendidikan diartikan dalam satu batasan tertentu
sehingga muncullah bermacam-macam pengertian.6 Ahmad Tafsir dengan
mengacu pada tulisan al-Attas juga menyebutkan bahwa Konferensi
Internasional Tentang Pendidikan Islam yang Pertama pada tahun 1977
ternyata tidak berhasil menyusun definisi yang dapat disepakati bersama.
Ia juga menyebutkan banyak definisi yang diajukan oleh para ahli.
Akhirnya ia mengajukan sebuah tawaran definisi terkait pendidikan.
Baginya, pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala
aspeknya. Pendidikan ini dimaksudkan pada kegiatan yang melibatkan
guru maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik); pendidikan formal,
maupun nonformal serta informal. Segi yang dibinapun merupakan
seluruh aspek.7 Definisi terakhir ini tidak berbeda dengan pengertian
pendidikan yang luas. Hanya saja, Ahmad Tafsir menggunakan kata yang
umum.
4 R. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, ENSIKLOPEDI
PENDIDIKAN, cet. II (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981), 257-258. 5 Thâriq „Abd al-Ra`uf „Ȃmir, Ushȗl al-Tarbiyyah., 48. 6 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. V (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 1. 7 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet. IX (Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2007), 6.
21
Definisi lain, sebagaimana disebutkan oleh Redja Mudyahardjo8,
bahwa pendidikan dapat didefinisikan secara maha luas, sempit dan
alternatif atau luas terbatas. Setiap definisi ini memiliki karakteristik
khusus. Pendidikan secara maha luas maksudnya adalah hidup itu sendiri.
Pendidikan dimaknai sebagai gejala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan, sepanjang hidup dan segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan individu.
Definisi pendidikan secara sempit adalah sekolah, yaitu pengajaran
yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Sedangkan definisi pendidikan secara alternatif atau luas terbatas adalah
usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah,
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam
berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
Zurinal Z dan Wahdi Sayuti juga menyebutkan ada definisi
alternatif yang menjempatani antara definisi pendidikan secara luas dan
secara sempit. Hal itu karena keduanya memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari kedua definisi
inilah yang akhirnya dapat dijadikan rumusan alternatif dalam memaknai
pendidikan.9
Adapun dalam konteks Islam, pendidikan diartikan sebagai proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di 8 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang
Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia , cet. VII (Jakarta: PT. Raja Gerafindo Persada, 2012), 3-12. 9 Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-dasar
Pelaksanaan Pendidikan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 10-11.
22
akhirat.10Pendidikan Islam yang berasal dari dua istilah, yakni
“pendidikan” dan “Islam” secara sederhana juga dapat diartikan
pendidikan yang berdasarkan Islam.
Kata pendidikan berasal dari akar kata “didik” yang diberi awalan
“pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan”.11 Dalam kontek
kajian keislaman pendidikan dikenal dengan banyak istilah. Heri Gunawan
dengan mengacu pada tulisan Muhaimin dan Mujib menyebutkan ada
empat istilah pendidikan yang sering disebut dalam kontek keislaman.
Keempat istilah tersebut adalah al-Tarbiyyah, al-Ta’lîm, al-Ta’dîb dan al-
Riyâdhah.12 Al-Tarbiyyah diterjemahkan dengan pendidikan, al-Ta’lîm
diterjemahkan dengan pengajaran dan al-Ta’dîb diterjemahkan dengan
perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.13 Oleh karenanya,
cakupan makna istilah tarbiyyah yang dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah education lebih luas dibandingkan al-ta’lîm (teaching).14
Sedangkan Abuddin Nata menyebutkan ada sebelas (11) istilah
dalam al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan. Kesebelas isitilah
tersebut adalah al-Tarbiyyah, al-Ta’lîm, al-Tazkiyyah, al-Tadrîs, al-
Tafaqquh, al-Tadabbur, al-Tadzkirah, al-Tafakkur, al-Intizâr dan al-
Mau’izah. Istilah al-tarbiyyah dinilai sebagai istilah yang paling populer,
karena paling banyak digunakan oleh para tokoh pendidikan Islam seperti
Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu al-Azraq, Ibnu Jama‟ah, al-
Almawiy, Ibnu Taimiyah, Ahmad Syalabi, Mohammad Athiyah al-
10 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, cet. I
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), 205. 11 Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 15. 12 Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014), 1. 13 Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan, 15. 14 Ahmad Zakî Badawî, Mushthalahât al-Tabiyyah wa al-Ta’lîm: Injilîzî,
Faransî, ‘Arabî (Dâr al-Fikr al-„Arabî), 108.
23
Abrasyi, Muhammad Quthb, Omar Muhammad al-Taoumy al-Syaibani,
Ali Khalil Abul Ainain, Ahmad Fuad al-Ahwani, Hasan Langgulung,
Abdullah Nasih Ulwan, dan Ali Abdul Halim Mahmud.15
Saat menjelaskan istilah-istilah pendidikan dalam Islam, Heri
Gunawan menyebutkan bahwa setiap istilah memiliki makna yang
berbeda-beda, karena dalam konteks penggunaannya berbeda. Akan tetapi
dalam keadaan tertentu semua istilah memiliki makna yang sama, yakni
pendidikan.16 Istilah-istilah ini oleh sebagian ahli disebut sebagai bagian
dari metode pendidikan.17
B. Komponen-Komponen Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah sistem memiliki komponen-komponen.
Komponen atau faktor pendidikan adalah unsur-unsur yang ada dalam
pendidikan yang berkaitan secara fungsional dengan jalannya proses
pendidikan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.18 Satu komponen,
sebagai bagian dari sistem bila tidak ada maka berdampak pada ketidak
berfungsian sistem. Artinya pendidikan tidak akan berfungsi bila salah
satu komponennya tidak ada.19
Menurut Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi komponen
pendidikan ada sembilan, yaitu: tujuan pendidikan, dasar pendidikan, isi
pendidikan atau bahan pendidikan, metode pendidikan, alat pendidikan,
lingkungan pendidikan, pendidik, anak didik, dan tempat pendidikan.20
Lebih sedikit lagi, Zurinal dan Wahdi Sayuti menyebutkan tujuh, yakni
15 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2016), 72-99. 16 Heri Gunawan, Pendidikan Islam., 1-2. 17 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, 351-352. 18 Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 69. 19 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), 75. Lihat pula: Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 69. 20 Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan (T.p: t.tp, t.t “robek”), 39.
24
sebagaimana disebutkan oleh Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi kecuali
dasar pendidikan dan alat pendidikan.21
Komponen pendidikan dalam istilah Fuad Ihsan adalah faktor22. Ia
menyebutkan ada 6 faktor dalam pendidikan yang dapat membentuk pola
interaksi atau saling mempengaruhi. Keenam faktor tersebut, yaitu faktor
tujuan, faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor isi/materi pendidikan,
faktor metode pendidikan, dan faktor situasi lingkungan.23 Ada pula yang
menyebutkan 5 komponen, yaitu tujuan pendidikan, peserta didik,
pendidik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan.24
Dari pendapat-pendapat diatas ada enam komponen yang akan
dijelaskan dalam tulisan ini. Demikian itu karena keenam komponen
tersebutlah yang dinilai lebih kuat pengaruhnya pada keberfungsian
pendidikanakan. Selain itu, ada istilah-istilah yang dapat disatukan seperti
lingkungan pendidikan dengan tempat pendidikan dan metode dengan alat
pendidikan. Metode dengan alat pendidikan digabung karena oleh
sebagian ahli, yang dimaksud alat itu dimasukkan pada metode.25
Keenam komponen-komponen yang akan dijelaskan, yaitu tujuan
pendidikan, peserta didik, pendidik, materi pendidikan, metode dan
lingkungan pendidikan.
21 Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 69. 22 Teguh Triwiyanto menggunakan istilah unsur. Ia menyebutkan tujuh unsur, yakni tujuan, kurikulum, peserta didik, pendidik, intraksi edukatif, isi pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Lihat: Teguh Triwiyanto, Pengantar Pendidikan, cet. III (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), 24. 23 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, 1-2. 24 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 9-10. Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 59-61. Ada yang menyebutkan empat dengan menggabung pendidik dan peserta didik menggunakan istilah subjek manusia yang melakukan pendidikan. Akan tetapi dalam uraiannya dijelaskan lima. Lihat: Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. V, 10. 25 Bandingkan Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 74 dan Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, cet. I, 351.
25
a. Tujuan
Setiap kegiatan, dengan beragam bentuk dan jenisnya, disadari
ataupun tidak, selalu diharapkan pada tujuan tertentu. Segala sesuatu yang
tidak mempunyai tujuan tidak memiliki arti.26 Tujuan merupakan sasaran
yang hendak dicapai sekaligus merupakan pedoman yang memberi arah
aktifitas yang dilakukan.27 Oleh karena itu, tujuan pendidikan memiliki
posisi paling penting.28 Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan
keluarga, di sekolah maupun di masyarakat luas, banyak sekali tujuan
pendidikan yang diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai (dimiliki)
oleh peserta didiknya.
Tujuan pendidikan menurut Langeveld sebagaimana dikutip oleh
Hasbullah dan Abdul Kadir29dikategorikan menjadi enam macam, yaitu
tujuan umum (tujuan yang akan dicapai di akhir pendidikan), tujuan
khusus (tujuan tertentu yang hendak dicapai berdasar usia, jenis kelamin,
sifat, bakat, inteligensi dan lainnya), tujuan tak lengkap (tujuan yang
menyangkut sebagian aspek manusia), tujuan sementara (tujuan-tujuan
yang dilakukan setingkat demisetingkat untuk mencapai tujuan umum),
tujuan insidental (tujuan sesaat karena adanya situasi yang terjadi secara
kebetulan) dan tujuan perantara (tujuan yang dilihat sebagai alat dan harus
dicapai lebih dahulu demi kelancaran pendidikan selanjutnya).30
26 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, 10. 27 Tatang S, Ilmu Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 61. 28 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet. IX, 14. 29 Ngalim Purwanto dan Fuad Ihsan juga mengutip pendapat Langeveld, tetapi ia hanya menyebutkan lima, tanpa tujuan khusus. Tujuan khusus ini dalam penjelasan Ngalim dimasukkan dalam bagian tujuan umum. Lihat: M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis, cet. XXI (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014), 7; Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, cet. VIII, 7-8. 30 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. V, 13-15 dan Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 81-82.
26
b. Pendidik
Pendidik adalah setiap orang baik laki-laki maupun perempuan
yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat
kemanusiaan lebih tinggi dalam arti orang yang lebih dewasa yang mampu
membawa peserta didik pada kedewasaan.31 Pendidik adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak.
Seseorang disebut pendidik karena adanya peranan dan tanggung jawab
dalam mendidik seorang anak.32
Setiap orang dewasa dalam masyarakat dapat menjadi pendidik,
sebab pendidikan merupakan suatu perbuatan sosial, perbuatan
fundamental yang menyangkut keutuhan perkembangan pribadi anak didik
menuju pribadi dewasa susila.33 Pendidik haruslah orang yang lebih
dewasa karena tidak mungkin orang yang belum dewasa mampu
membawa orang lain pada kedewasaan.34 Pendidik itu dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yakni pendidlik menurut kodrat, yaitu orang tua;
dan pendidik menurut jabatan, yaitu guru.35
c. Peserta Didik
Abdul Kadir menyebutkan, peserta didik ialah anggota masyarakat
baik laki-laki maupun perempuan yang berusaha mengembangkan diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.36 Peserta didik dalam penegertian umum adalah setiap
orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang
yang menjalankan kegiatan pendidikan.37
31 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 76.
32 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, 10.
33 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, 17. 34 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan, 72. 35 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, 8.
36 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 75.
37
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, 23.
27
Sebutan anak didik tidak terlepas kaitannya dengan sifat
ketergantungan seorang anak terhadap pendidik tertentu. Seorang anak
disebut anak didik apabila ia menjadi tanggung jawab pendidik tertentu.38
d. Isi/Materi Pendidikan
Materi pendidikan ialah segala sesuatu yang oleh pendidik
langsung diberikan kepada peserta didik dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan.39 Kesesuaian antara materi pendidikan dengan tujuan
pendidikan merupakan syarat utama dalam pemilihan materi pendidikan.
Hal itu, demi tercapainya tujuan dari pendidikan.40
e. Metode Pendidikan
Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk
mencapai tujuan.41 Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat
disebut baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada
beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan
dicapai.
f. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah tempat yang melingkupi terjadinya
proses pendidikan. 42 Lingkungan meliputi kondisi dan alam dunia ini
yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan
dan perkembangan atau life processes.43 Secara umum fungsi lingkungan
pendidikan adalah membantu anak didik berintraksi dengan lingkungan
38 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, 15.
39
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, 9.
40 Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, 44.
41
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, 10. 42 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 77; Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 75. 43 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan, 72.
28
sekitarnya.44 Lingkungan pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 45
Lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama,
karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapat didikan dan
bimbingan. Disebut pula sebagai lingkungan utama, karena sebagian besar
kehidupan anak adalah di dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga ini
sangat penting karena memberikan pengalaman pertama dalam mengenal
hidup dan yang menjadi faktor penting dalam perkembangan pribadi anak.
Lingkungan pendidikan di sekolah adalah pendidikan yang diperoleh di
sekolah secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas
dan ketat. Lingkungan ini dinilai sebagai bagian dan sekaligus lanjutan
dari pendidikan dalam keluarga. Sedangkan lingkungan masyarakat adalah
lingkungan ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan
yang dimulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari
asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah. 46
Menurut Sartain, lingkungan terbagi menjadi tiga, yaitu
lingkungan alam atau luar, lingkungan dalam dan lingkungan sosial.
Lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia
ini yang bukan manusia, seperti rumah, tumbuhan, air, hewan dan iklim.
Lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang telah termasuk ke dalam
diri kita, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fidik kita. Lingkungan
sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita.47
C. Metode Pendidikan
Secara bahasa, istilah metode sering diartikan “cara”. Kata
“metode” berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti 44 Tatang S, Ilmu Pendidikan, 154. 45 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 77; Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan, 75; Tatang S, Ilmu Pendidikan, 153. 46 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, 38-55. 47 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, 72-73.
29
melalui, dan hodos berarti jalan atau cara. Berdasarkan hal ini, metode
diartikan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.48
Nenurut A. Tafsir, istilah metode jika dipahami dari asal kata
method (bahasa inggris) yang sama-sama diterjemahkan dengan cara
seperti istilah way, mempunyai pengertian yang lebih khusus
dibandingkan way, yakni “cara yang tepat dan cepat dalam mengerjakan
sesuatu”. 49 Dengan demikian, bisa dipahami bahwa metode pendidikan
adalah cara yang tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.
Pada prinsipnya metode berfungsi mengantarkan suatu tujuan
kepada objek sasaran dengan cara yang sesuai dengan pertimbangan objek
sasaran tersebut. Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli,
sebagaimana dijumpai dalam buku-buku kependidikan. Itu semua
merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan
perkembangan jiwa anak dalam menerima pelajaran.50
Beberapa metode yang tercatat dalam buku-buku pendidikan
diantaranya, netode ceramah, netode tanya jawab, metode diskusi, metode
demonstrasi, metode eksperimen, metode latihan, metode resitasi, metode
karya wisata, metode belajar kelompok, dan metode sosiodrama.51
Metode pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur`an dan al-
Hadits dan sudah digunakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik
para sahabatnya sangat banyak. Para ahli pendidikan Islam juga banyak
menyebutkan metode-metode pendidikan yang dapat digunakan. Misalnya
sebagaimana disebutkan oleh Heri Gunawan dengan mengacu pada
48 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, 72-73.
49
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, 9.
50 Heri Gunawan, Pendidikan Islam, 257-258.
51
Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, 46-49.
30
pendapat al-Nahlawi, bahwa pendidikan Islam dapat menggunakan
sebagai berikut;52
1. Metode Percakapan
Metode percakapan atau dialog yang dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah hiwar ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
melalui tanya jawab mengenai satu topik, dan dengan sengaja diarahkan
kepada satu tujuan yang dikehendaki.
2. Metode Kisah
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan mempunyai
daya tarik yang menyentuh perasaan hati seseorang. 3. Metode
Perumpamaan
Dalam mendidik manusia, Allah banyak menggunakan
perumpamaan (amtsal). Metode perumpamaan ini juga baik digunakan
oleh para guru dalam mengajari peserta didiknya, terutama dalam
menanamkan karakter kepada mereka.
4. Metode Keteladanan
Dalam penanaman nilai-nilai keislaman kepada peserta didik,
keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena
pada umumnya seseorang cenderung meneladani (meniru) pendidiknya.
5. Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang biasa dilakukan secara berulang-
ulang, agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan
(habituation) ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah
sesuatu yang diamalkan.
6. Metode Nasihat
Menurut Abdul Hamid ash-Shaid al-Jindani, metode ini termasuk
metode yang banyak memberikan pengaruh dalam mengarahkan manusia.
52 Heri Gunawan, Pendidikan Islam, 260-290.
31
Metode nasihat sangat memiliki pengaruh terhadap jiwa manusia, terlebih
apabila nasihat itu keluar dari seseorang yang dicintainya.
7. Metode Peringatan
Metode ini merupakan penyempurnaan dari metode mau’idzhah.
Dalam metode peringatan ini terdapat aktivitas yang sangat jelas dalam
mengarahkan pendidikan, dan memiliki pengaruh terhadap jiwa jika
dilakukan dalam waktu yang tepat dan kondisi yang tepat pula, terlebih
jika dilakukan dengan cara yang tepat.
8. Metode Janji dan Ancaman
Metode janji (targhib) yang dimaksud ialah janji terhadap
kesengangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan bujukan. Ancaman
(tarhib) ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Keduanya bertujuan
agar orang mematuhi aturan Allah. Akan tetapi keduanya mempunyai titik
tekan yang berbeda. Janji (targhib) agar melakukan kebaikan yang
diperintahkan Allah, sedang ancaman (tarhib) agar menjauhi perbuatan
jelek yng dilarang oleh Allah.
9. Metode Praktik
Metode praktik dianggap sebagai metode pendidikan yang paling
penting, karena belajar dan pengalaman keduanya menghendaki metode
secara langsung (praktik). Metode ini adalah salah satu metode yang
interaktif, karena proses pendidikan dengan berbagai aspeknya yang
bervariatif tidak sempurna dengan hanya menggunakan metode ceramah,
hafalan atau hanya dengan nasihat. Akan tetapi membutuhkan praktik
pengamalan secara langsung sesuai dengan dasar pemahaman dan
pengetahuannya.
10. Metode Ceramah
Metode ceramah merupakan cara menyajikan pelajaran melalui
penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok
32
orang. Metode ceramah termasuk metode pembelajaran yang sangat
klasik. Akan tetapi walau termasuk dalam kategori metode klasik (lama),
sampai saat ini metode ceramah masih sering digunakan oleh para guru
kepada murid-muridnya, juga orangtua kepada anaknya.
11. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan
seorang anak pada suatu permasalahan. Metode ini mendapatkan perhatian
yang lebih khusus, karena dengan metode diskusi dapat merangsang daya
berpikir atau mengeluarkan pendapat sendiri. Oleh karena itu, tujuan
utama metode diskusi adalah selain untuk memecahkan suatu
permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami
pengetahuan, juga untuk melatih anak berpikir kritis terhadap
permasalahan yang ada, dengan berlatih mengemukakan pendapatnya
sendiri.
12. Metode Demonstrasi
Metode ini merupakan metode pembelajaran menggunakan
peragaan yang berguna untuk memperjelas suatu pengertian atau konsep-
konsep, atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada
siswa.
13. Metode Simulasi
Sebagai metode mengajar, simulasi berarti cara penyajian
pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami
tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.
14. Metode Proyek
Metode proyek juga disebut dengan metode unit. Pelaksanaan
metode ini, yaitu siswa disuguhi berbagai macam masalah yang kemudian
mereka bersama-sama menghadapinya dengan mengikuti langkah-langkah
tertentu secara ilmiah, logis dan sistematis.
33
Lebih banyak lagi, M. Thalib menyebutkan ada 30 metode islami
yang kemudian diberi nama metode 30 T. Metode-metode tersebut, yakni
ta’lîm (memberitahukan sesuatu yang belum diketahui), tabyîn (memberi
penjelasan lebih jauh setelah diminta penjelasan), tafshîl (memberi
keterangan detail mengenai suatu masalah), tafhîm (memberi pengertian
tentang suatu masalah), tarjîẖ (cara memilih suatu masalah dari beberapa
masalah dengan memperhitungkan maslahat), taqrîb (melakukan
pendekatan), taẖkîm (menjadi penengah antara dua orang yang
bersengketa), ta`syîr (menyampaikan sesuatu dengan isyarat), taqrîr
(memberi pengakuan atau persetujuan), talwîh (menyampaikan dengan
simbol atau kiyasan), tarwîh (memberi penyegaran fisik dan mental),
taqshîr (mengurangi beban sehingga tugas menjadi ringan), tabsyîr
(menggembirakan agar tugas dilaksanakan dengan senang), tamtii
(memberi tambahan selain dari yang diperoleh seperti memberi pujian),
takfîz (memberi penghargaan atas prestasi), targhîb (memotifasi untuk
cinta pada kebaikan), ta`tsîr (menggugah rasa kepedulian sosial), tahrîdl
(membangkitkan semangat menghadapi rintangan), tahdîdl (mengajak
melakukan perbuatan baik bagi orang yang tidak peduli padahal dia
mampu melaksanakan), tadârus (belajar sesuatu secara bersama-sama),
tazwîd (memberikan bekal moril atau materil untuk masa depan), tajrîb
(mengadakan masa percobaan untuk mengetahui kemampuan yang
dimiliki), tandzîr (memperingatkan risiko yang akan dihadapi), taubikh
(mencerca kejahatan agar mengetahui kebenaran yang harus diikuti),
tahrîm (melarang melakukan sesuatu yang diharamkan), tahjîr
(menjauhkan diri dari orang yang tidak bisa diperingati), tabdîl
(mengganti yang lebih baik), tarhîb (mengancam dengan kekerasan),
taghrîb (mengasingkan dari rumah), ta’dzîb (memberi hukuman fisik).53
53 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, 351-352.
34
D. Fungsi Pendidikan
Sebagai sebuah aktifitas, pendidikan tidak lepas dari fungsi dan
tujuan. Fungsi utama pendidikan adalah mengembangkan kemampuan,
dan membentukwatak, kepribadian, serta peradaban yang bermartabat
dalam hidup dan kehidupan.54
Fungsi pendidikan menurut Fuad Ihsan55, dapat dibagi menjadi
dua, yaitu fungsi secara mikro (sempit) dan makro (luas). Fungsi secara
mikro ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik. Sedangkan fungsi pendidikan secara makro ialah sebagai
alat:
a. Pengembangan pribadi;
b. Pengembangan warga negara;
c. Pengembangan kebudayaan;
d. Pengembangan bangsa.
54 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, 81. 55 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, 11.
35
BAB III
MENGENAL AL-SYA’RAWI DAN TAFSIRNYA
A. Biografi al-Sya’râwî
Al-Sya‟râwî adalah salah seorang ulama fenomenal yang hidup di
abad 12. Dia dianggap sebagai manusia al-Qur‟ân1 dan imam para dai
(Imâm al-Du‟ât) dengan kemampuannya membuka tabir rahasia-rahasia
kemukjizatan al-Qur‟an.2 Ulama yang juga dianggap sebagai mujaddid3
(pembaharu) ini memiliki nama lengkap Muẖammad bin al-Sayyid
Mutawallî al-Sya‟râwî al-Husainî secara nasab. Ibunya bernama Habibah
yang nasab dari ayahnya sampai pada Imam Husain bin „Alî.4 Lahir pada
1 Dikutip dari www.al-qaradawi.net yang diakses pada 25 Januari 2020, pukul 20:12. 2 Begitulah komentar Muhammad „Imârah, pemikir muslim dan juga termasuk dari anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar. Dikutip dari www.raialyoum.com (رأي اليوم) yang diakses pada 23 Januari 2020, pukul 14:40 WIB. Selain Muhammad „Imârah, Syaikh Azhar, Muhammad Sayyid Tantâwî saat memberi pengantar pada buku yang disusun oleh Muhammad Zâyad tentang riwayat hidup al-Sya‟râwî juga mengatakan bahwa dia adalah imam para dai. Lihat: Muhammad Zâyad, al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî:
Mudzakkarât Imâm al-Du‟ât, cet. III (Kairo: Dâr al-Syurȗq, 1998), 9. 3 Ibrahîm Hasan al-Asyqar, Da‟ȗnî wa rabbî: al-Ayyâm al-Akhîrah fî Hayât al-
Syaikh (Kairo: Dâr al-Raudlah, t.th), 3. Lihat juga: Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî; ter. Abu Abdillah Almansur, Menjawab Keraguan Musuh-musuh Islam, cet. V(Jakarta: Gema Insani Press, 1993), 13. 4 „Utsmân Ahmad „Abdurrahîm al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-
Sya‟râwî wa Manhajuh fî al-Tafsîr (Kairo: Dâr al-Salâm, 2013), 17.
36
tanggal 155 April 1911 M di desa Daqâdȗs. Daqâdȗs merupakan bagian
dari kota Mit Ghamr yang berada di kegubernuran Daqahliyah, Mesir.6
Sebagaimana dikisahkan oleh al-Sya‟râwî, pada malam
kelahirannya, ayahnya yang biasa salat di masjid Sidî al-Anshârî terlambat
hadir. Para jamaah pun duduk menunggunnya. Setelah datang, Kakeknya
(paman ayahnya dari jalur ibu) menanyakan perihal keterlambatan yang
tidak biasanya. Ia menjawab bahwa sebelum fajar istrinya melahirkan.
Para jamaah mendoakan keberkahan bagi ayah al-Sya‟râwî. Kakeknya
kemudian menceritakan mimpinya bahwa dia melihat anak yang baru lahir
itu dengan bentuk ayam muda berpidato di atas mimbar Masjid Sidî al-
Anshârî ini. Dia berpidato di hadapan manusia. Mendengar cerita mimpi
tersebut para jamaah masjid terkagum-kagum, berkata “di atas mimbar
berpidato”. Salah seorang jamaah yang sudah diketahui keadaannya
kemudia berkomentar bahwa asal ayam muda yang fasih keluar dari telur
dengan berteriak. Para jamaah tertawa mendengar komentar itu. Kakek al-
Sya‟râwî menimpali lagi dengan berkata, “itu bukan ayam muda yang
keluar dari telur dengan berteriak. Itu adalah anak Mutawallî al-
Sya‟râwî”.7
5 Beberapa refrensi mencatat bahwa al-Sya‟râwî lahir pada tanggal 16 April 1911 M. Lihat: Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 17 dan Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik -Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), 143. Setelah ditelusuri pada refrensi yang digunakan kedua buku ini yaitu, al-Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuhu dan al-Masȗ‟ah
al-Qaumiyyah lis-Syakhshiyyât al-Mishriyyah al-Bârizah ditemukan penjelasan bahwa al-Sya‟râwî dilahirkan pada tanggal 15 April 1911 M. Lihat: Sa‟îd Abȗ al-„Ainain, al-
Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuhu, cet. IV (Kairo: Dâr Akhbâr al-Yaum, 1995), 12 dan Tim Penulis, al-Masȗ‟ah al-Qaumiyyah lis-Syakhshiyyât al-Mishriyyah al-Bârizah, juz 2, bagian mîm (م) yang diakses dari www.sources.marefa.org pada 23 Januari 2020, pukul 23:17 WIB. 6 Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsîr wa Khawâtir al-Imâm, juz 1 (Mesir: Dâr al-Islâm, 2010), 8; Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî al-ladzî Lâ Na‟rifuhu, cet. V, 12; Mahmȗd Fauzî, Al-Syaikh al-Sya‟râwî wa Qadhâyâ Islâmiyyah Hâirah Tubhatsu „an
Hulȗl, cet. II (Dâr al-Nasyr Hâtiyaih), 7. 7 Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî al-ladzî Lâ Na‟rifuhu, 5-6 dan 17-18.
37
B. Keluarga al-Sya’râwî
Al-Sya‟râwî dilahirkan di keluarga yang sederhana, tidak kaya dan
tidak juga miskin. Nasabnya pun sampai pada Ahli Bait Nabi. Ayahnya
adalah laki-laki yang saleh, sangat peduli terhadap perkembangan anaknya
dengan perkembangan yang islami. Ia tidak menginginkan apapun kecuali
anaknya menjadi orang yang bermanfaat di dunia dan akhirat.8 Ayahnya
pun menghormati, percaya dan memasrahkan secara penuh al-Sya‟râwî
pada gurunya. Sebagaimana diceritakan oleh al-Sya‟râwî, ayahnya pernah
berkata pada gurnya “pukul dan patahkan tulang rusuknya bila dia
melalaikan sesuatu”. Perkataan ini merupakan perkataan yang diucapkan
ayahnya saat al-Sya‟râwi dan ayahnya mendatangi kuttâb pertama
kalinya.9 Ini menunjukkan bahwa ayahnya adalah orang yang sangat
menghormati guru.
Dikisahkan pula, bahwa ayahnya selalu mengerjakan salat dengan
tepat waktu, selalu menghadiri pengajian-pengajian, mendengarkan
ceramah-ceramah para ulama dan memulai mengucapkan salam saat
berjumpa dengan orang lain.10
C. Desa Kelahiran al- Sya’râwî
Daqâdȗs berjarak beberapa meter dari kota Mit Gamr. Sebelum
menjadi luas, Daqâdȗs terdiri dari empat kampung. Adalah kampung al-
Bâz yang diambil dari nama seorang syaikh tasawwuf; kampung Masjid
Agung adalah kampung yang dinisbatkan pada masjid terbesar di
8 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 20-21. 9 Riwayat ini adalah riwayat yang ada dalam buku Abȗ al-„Ainain. Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuhu, cet. V, 14. Riwayat yang ada dalam buku Zayâd redaksinya berbeda. Sedikit, “patahkan tulang rusuknya, saya yang akan mengobati”. Muhammad Zâyad, al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî, cet. III, 35. 10 Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟râwî: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan Ittijâh” (Disertasi., Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 37-38.
38
Daqâdȗs; kampung Abȗ Bakr al-Suthȗhî yaitu penisbatan pada masjid
yang terdapat kuburan Abȗ Bakr al-Suthȗhî; dan terakhir kampung syaikh
„Abdullah al-Anshârî. Di kampung inilah al-Sya‟râwî dilahirkan.11
Daqâdȗs merupakan desa yang penuh dengan perayaan-perayaan
keagamaan seperti Maulid Nabi (kelahiran), Isra‟ Mi‟raj, Pesta Besar (al-
„îd al-kabîr), Pesta Kecil (al-„îd al-saghîr) atau fatrah al-haj. Desa
Daqadus memiliki lima guru tariqah, yaitu dari tariqah Sidî Abȗ Khalîl,
tariqah Abȗ al-Hasan al-Syadzilî, tariqah Sidî Ahmad al-Rifa‟î, tariqah
Sidî „Abd al-Qâdir, tariqah Sidî Ahmad al-Badawî. Setiap syaikh tariqah
tersebut diundang oleh para santrinya (murîd) setiap ada perayaan-
perayaan keagamaan atau di beberapa perayaan keagamaan. Setiap syaikh
datang dirayakan dan semua masjid makmur. Beragam kebaikan tampak.
Setiap rumah berbagi nampan makanan. Setiap syaikh ini bisa tinggal di
desa dalam jangka waktu 10 hari. Ini menunjukkan bahwa setiap bulan
dalam setahun tidak sepi dari perayaan-perayaan yang menampakkan
syiar-syiar agama. Selain itu, para syaikh juga membagikan dalâil al-
khairât yang dibaca dan dihafalkan oleh para penduduk desa.12 Suasana
desa sangat mendudung tumbuhnya semangat keagamaan para
penduduknya termasuk al-Sya‟râwî kecil.
Dalam kesehariannya, al-Sya‟râwî banyak bergaul dengan orang-
orang tua yang sebaya dengan ayah dan kakeknya, tidak banyak bergaul
dengan yang sebaya atau yang lebih muda dengannya. Lingkungan
pergaulannya itu memberi andil sangat besar dalam membentuk jiwa dan
kepribadiannya.13
Pemikiran-pemikiran al-Sya‟râwî banyak dipicu oleh pengalaman-
pengalaman hidupnya mulai sejak kecil. Ia mengatakan bahwa kejadian-
11 Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuhu, cet. V, 6-12. 12 Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuhu, 15. 13 Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟râwî,” 38.
39
kejadian dalam hidup manusia bila diinventarisir dan disesuaikan maka
akan berkembang di hari esok dan akan muncul makna-makna baik dari
kejadian-kejadian tersebut.14 Salah satu bentuknya, sebagai contoh, adalah
dalam memahami kemukjizatan al-Qur‟an yang cara pewahyuannya
dengan cara pendengaran bukan tertulis. Ini berasal dari pengalamannya
saat menghafal al-Qur‟an waktu kecil yang akhirnya ia dihukum karena
salah mengucapkan.15
Lingkungan alam di kampung halamannya telah membukakan
matanya; sehingga ketika memandang keindahan alam sekitarnya, maka ia
teringat kepada Allah. Alam sekitar baginya merupakan kitab yang
terbuka. Maka lingkungan kampung halamannya yang indah itu
dihayatinya sedemikian rupa sehingga menyita banyak perhatiannya dan
menjadi penanggkal baginya dari kenakalan remaja.16
D. Pendidikan dan Karirnya
Pada masa kelahiran al-Sya‟râwî ada empat kuttâb17 di desanya,
yaitu kuttâb syaikh Ahmad, kuttâb syaikh Mushthafâ al-„Ȃlim, kuttâb
syaikh „Abdul Lathîf dan kuttâb syaikh „Abdul Majîd Bâsyâ. Di kuttâb
syaikh „Abdul Majîd Bâsyâ18 inilah al-Sya‟râwî belajar membaca, menulis
dan menghafal al-Qur‟an. Dalam satu kuttâb ada pengawas (al-„arîf) dan
seorang syaikh. Fungsi pengawas mengajari menulis dan menghafal.
14 Muhammad Zâyad, al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî, 29. 15 Muhammad Zâyad, al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî, 31. 16 Abȗ al-„Ainain, Al-Sya‟râwî Alladzî lâ Na‟rifuh, 15. 17 Kuttâb sudah ada sebelum Islam datang. Akan tetapi, keberadaannya tidak terlalu tersebar. Setelah Islam datang, kuttâb menjadi tempat resmi belajar. Lihat: „Abdullah „Abduddâim, al-Tarbiyyah „Abra al-Târîkh, cet. II (Beirȗt: Dâr al-„Ilm Lilmalâyîn, 1984), 146. 18 Dalam buku al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî disebutkan bahwa, guru al-Sya‟râwî adalah Syaikh „Abdur Rahmân.
40
Sedangkan fungsi syaikh adalah menghafal dan membenarkan bacaan
hafalannya. Dia pun hafal al-Qur‟an saat berumur 1019 tahun.20
Al-Sya‟râwî sangat menyenangi sastra, khususnya sya‟ir. Ia
menulis sya‟ir sejak menjadi siswa di Ma‟had Zaqâzîq al-Dînî dan sya‟ir-
sya‟ir didominasi dimensi keagamaan sesuai dengan latar belakang
pendidikannya di al-Azhar.21 Ia mulai membuat syi‟ir sekitar tahun 1928.
Sya‟ir-sya‟irnya bermacam-macam, baik berbau politik, agama maupun
kemasyarakatan. Di antara qasidahnya yang indah adalah qasidah Isra‟
Mi‟raj.22
Al-Sya‟râwî adalah seorang yang cerdas. Kecerdasannya telah
memaksanya untuk masuk ke Fakultas Bahasa Arab. Al-Sya‟râwî
mengatakan bahwa ketika lulus dari Ma‟had Tsanawi al-Azhar, nilainya
sangat tinggi dan ia bermaksud untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas
Ushuluddin atau Fakultas Syari‟ah Universitas al-Azhar di Kairo, karena
di dua Fakultas tersebut erat kaitannya dengan ilmu-ilmu keislaman
menurut istilah orang-orang al-Azhar, tetapi panitia penerimaan
mahasiswa baru mengetahui bahwa jumlah nilainya sangat tinggi
kemudian mereka mendaftarkannya ke Fakultas Bahasa Arab.
Inilah sebab masuknya al-Sya‟râwî ke Fakultas Bahasa Arab.
Selama di fakultas tersebut ia tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Bahasa
Arab tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lainnya seperti Tafsir, Hadis, Fiqh
dan sebagainya. Ini sama halnya dengan Fakultas Ushuluddin dan Fakultas
Syari‟ah yang mempelajari Bahasa Arab untuk kepentingan ilmu-ilmu
19 Menurut riwayat Ibrahîm Hasan al-Asyqar, al-Sya‟râwî menghatamkan hafalan al-Qur‟annya saat berumur sebelas tahun. Ibrahîm Hasan al-Asyqar, Da‟ȗnî wa
rabbî., 9. 20 Mahmȗd Fauzî, Al-Syaikh al-Sya‟râwî wa Qadâyâ Islâmiyyah, 11; Abȗ al-„Ainain, al-Sya‟râwî Alladzî Lâ Na‟rifuhu , cet. V, 14. 21 Ahmad Umar Hasyim, al-Imam al-Sya‟râwî Mufassiran wa Dâ‟iyah (Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1998), 24. 22 Mahmȗd Fauzî, Al-Syaikh al-Sya‟râwî wa Qadâyâ Islâmiyyah, 12-13.
41
keislaman. Jadi ilmu-ilmu yang dipelajari di al-Azhar sebenarnya saling
berkaitan satu sama lainnya.23
Al-Sya‟râwî merupakan azharî yang terdidik diantara koridor-
koridor Al-Azhar dan meminum dari sumbernya yang murni. Mulai dari
lembaga Al-Zaqâzîq, melewati kelulusannya dari Fakultas Bahasa Arab
dan akhirnya memegang jabatan di Kementrian Wakaf dan Urusan Al-
Azhar. Semua itu memiliki pengaruh dan keutamaan yang besar atas
terbentuknya kepribadian keilmiahan al-Sya‟râwî serta melukiskan
kerangka pengetahuan budayanya. Demikian itu, karena orang-orang yang
terkait dengan Al-Azhar dan para alumninya menerima ilmu yang
mencetak ulama dengan alat-alat ilmiah yang memungkinkan mereka
samapai pada level tersebut, yaitu pengetahuan tentang dasar dan aturan
(kaidah) prinsip-prinsip agama. Al-Sya‟râwî unggul dalam bidang
keilmuan bahasa, sastranya dan cabang-cabangnya. Ia juga menguasai
ilmu mantiq, kalam dan dekat dengan madzhab Hanafi.24
Di Kairo, ia ditunjuk sebagai direktur kantor syeikh Al-Azhar
yaitu, syeikh Hasan Ma`mȗn. Kemudian al- Sya‟râwî melakukan
perjalanan ke Aljazair sebagai kepala misi Al-Azhar di sana. Ia tinggal di
sana selama sekitar tujuh tahun yang ia habiskan waktunya untuk
mengajar. Sementara di Aljazair kemunduran terjadi pada 1967 saat al-
Sya‟râwî berada di sana. Al-Sya‟râwî bersujud syukur berkat kekalahan
militer paling keras yang diderita Mesir dan membenarkan hal itu “dalam
huruf ta” pada acara dari alif sampai ya dengan mengatakan “Mesir tidak
menang ketika berada di tangan komunisme, sehingga orang Mesir tidak
terpesona pada agama mereka.”. Ketika al-Sya‟râwî kembali lagi ke Kairo
dan ditunjuk sebagai direktur Endowment untuk provinsi al-Gharbiyah
23 Abȗ al-„Ainain, Al-Sya‟râwî Alladzî lâ Na‟rifuh, 28-29. 24 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 21.
42
satu periode, kemudian sebagai agen dakwah dan pemikiran, kemudian
menjadi agen untuk Al-Azhar dan kembali lagi ke Arab Saudi yang kedua
kalinya, dimana ia mengajar di Universitas King Abdul Aziz.25
Pada bulan November 1976, al-Sayyid Mamdȗh Sâlim, Perdana
Menteri saat itu memilih anggota kementerian. Ia menugaskan departemen
wakaf dan urusan Al-Azhar ke al-Sya‟râwî. Al-Sya‟râwî memegang
jabatan itu hingga Oktober tahun 1978. Ia merupakan orang pertama yang
mengeluarkan keputusan menteri untuk mendirikan bank Islam di Mesir
yaitu Bank Faishol yang sebenarnya ini merupakan kewenangan Menteri
Ekonomi dan Keuangan. Menteri Ekonomi dan Keuangan, Hâmid al-
Sâyih pada periode itu menyerahkannya kepada al-Sya‟râwî dan
disepakati oleh Majlis Rakyat. Pada tahun 1987 al-Sya‟râwî dipilih
sebagai anggota Akademi Bahasa Arab (Akademi al-Khâlidîn).26 Banyak
lagi pengalaman-pengalaman karir al-Sya‟râwî lainnya yang termaktub
dalam buku-buku biografi tentang al-Sya‟râwî.
E. Akhir Hayat Al-Sya’râwî
Dikisahkan, Kerajaan Saudi pernah menawarkan tanah pekuburan
di Bâqi‟ kepada al-Sya‟râwî. Tawaran itu diberikan kepada al-Sya‟râwî
karena Kerajaan Saudi menganggap ia seorang ulama Mesir yang
memberikan banyak jasanya bagi studi Islam di Arab Saudi. Namun,
karena kecintaannya kepada kampung halaman, ia memilih jasadnya
bersemayam di Daqâdȗs, Mesir. Al-Sya‟râwî mengatakan, “Seandainya
setiap orang merasa bertanggung jawab pada kampung tempat 25 Mahmȗd Fauzî, Al-Syaikh al-Sya‟râwî wa Qadâyâ Islâmiyyah,12-13. Lihat pula; “Nubdzah „an al-Syaikh al-Sya‟râwî” dikutip dari www.kutub-pdf.net/amp/author pada 06/23/2020 pkl 12.58. lihat pula “Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî” dikutip dari https://ar.m.wikipedia.org/wiki pada 06/23/2020 pkl 13.03. 26 “Nubdzah „an al-Syaikh al-Sya‟râwî” dikutip dari www.kutub-pdf.net/amp/author pada 06/23/2020 pkl 12.58. Lihat pula “Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî” dikutip dari https://ar.m.wikipedia.org/wiki pada 06/23/2020 pkl 13.03.
43
kelahirannya, niscaya tempat itu lebih baik daripada tempat-tempat besar
di seluruh dunia. Aku ingin tanah tempat kelahiranku ini yang menimbun
jasadku nanti.”.
Al-Sya‟râwî wafat dalam usia 87 tahun, di hari Rabu tanggal 22
Safar 1419 H yang dalam kalender Masehi bertepatan dengan tanggal 17
Juni 1998. Jenazahnya dimakamkan di tempat kelahirannya, tempat yang
sangat ia cinta, yaitu Daqâdȗs.27
F. Karya-Karya al-Sya’râwî
Al-Sya‟râwî tidak menulis buku dengan tangannya sendiri. Ada
dua alasan yang menjadi penyebab, yaitu28 pertama, keinginannya agar
penjelasannya sampai dan meluas hingga menyentuh lapisan mayoritas
manusia. Maka ia memilih melontarkan bukan menulis yang cakupannya
tidak lebih luas dan lebih sempit dari pendengaran. Ia berkata “kisah
penulisan itu bagi saya sulit... kenapa? Karena menulis berarti menulis
bagi orang yang membaca, tetapi ketika saya berbicara, maka saya
berbicara pada orang yang mendengar. Mendengar adalah cara berbicara
paling umum, tetapi jika saya berusaha menulis saya bisa menulis”.
Kedua, berbicara dan menyampaikan lebih gampang dan mudah
dibanding dengan menulis. Mengarang berbeda dengan berbicara. Menulis
biasanya tidak dengan gaya redaksi yang mudah dan sederhana. Apa yang
ingin ditulis harus dicerna aspek-aspeknya juga diketahui dimensi-
dimensinya. Ini dilakukan agar maksud dan maknanya jelas. Al-Sya‟râwî
tahu tentang perbedaan ini. Ia berkata, “Bila menulis saya capek, karena
saya akan berusaha menjadikannya bukan hanya berisi perkataan umum”
27 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 39. 28 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 35-36.
44
Oleh karenanya, semua buku yang dinisbatkan pada al-Sya‟râwî
bukanlah karyanya. Buku-buku tersebut dicetak dengan cara
menyimpulkan perkataan-perkataannya setelah pengumpulan dari salinan
ceramah, pengajaran dan dialognya.
Karya-karya yang dinisbatkan kepada al-Sya‟râwî di antaranya:29
1. Al-Mukhtâr min Tafsîr al-Karîm (3 jilid)
2. Mu‟jizah al-Qur‟ân al-Karîm
3. Al-Qur‟ân al-Karîm: Mu‟jizatan wa Manhajan
4. Al-Isrâ‟ wa al-Mi‟râj
5. Al-Qashash al-Qur‟ânî fî Surah al-Kahf
6. al-Mar‟âh fî al-Qur‟ân al-Karîm
7. Al-Ghaib
8. Mu‟jizât al-Rasȗl
9. Al-Halâl wa al-Harâm
10. Al-Hajj al-Mabrȗr
11. Khawâthir Syaikh Haula „Umrân al-Mujtama‟
12. Al-Sihr wa al-Hasad
13. Al-Syaithân wa al-Insân
14. Ayat Kursî
15. Surat al-Kahfi
14. Al-Du‟â` al-Mustajâbah
15. Al-Asma‟ al-Husnâ
16. Al-Hayâh wa al-Maut 29 Muhammad „Alî Iyâzî, al-Mufassirȗn Hayâtuhum wa Manhajuhum (Teherân: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1212 H), 268-269; Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai
Masa Kontemporer cet. I (Depok: Lingkar Studi Al-Qur‟an, 2013), 219; Mohammad Thohir Salam, “Al-I‟jāz Al-Ghaibi dalam Perspektif Al-Sya‟rāwî dalam Kisah Tenggelamnya Fir‟aun dan Kekalahan Romawi” (Skripsi., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 45; Siti Umi, “Urgensi Kesaksian (Al-Shahadah) Perspektif Mutawallî al-Sya‟râwî: Analisis Kesaksian dalam Wasiat, Utang-piutang dan Perzinaan.” (Skripsi., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 27-28.
45
17. Muhammad Rasȗlullâh
18. Al-Nubuwwât al-Syaikh al-Sya‟râwî
19. Al-Jihâd al-Islâmî, Sirah al-Nabawiyyah
20. Al-Hijrah al-Nabawiyyah
21. Al-Fatwâ al-Kubrâ
22. Al-Qadâ‟ wa al-Qadr
23. I‟jâz Bayânî wa I‟jâz „Ilmî fî al-Qur`ân
24. Allah wa al-Nafs al-Basyariyyah
25. Al-Masȗ‟ah al-Islâmiyah al-Atfâl
26. Majmȗ‟ât Muhadarah al-Sya‟râwî
27. Hâdzâ Huwa al-Islâm: Kitâb al-Hurriyyah roqm (1)
28. „Aqidah al-Muslim
29. Su`âl wa al-Jawâb fi al-Fiqh al-Islâmî
30. Ma‟rakah al-Tasyrîk fî al-Islâm
31. Kitâb al-Islâm wa al-Mar`ah Aqîdah wa al-Manhâj
32. Al-Salâh fî Arkân al-Islâm
33. Shifat al-Zauj al-Sâlih wa al-Zaujat al-Sâlihah30
Bahkan masih banyak karya lain yang dinisbatkan kepadanya
seperti Inkâr al-Syafâ‟ah dan lainnya.31
G. Karakteristik Tafsir al-Sya’râwî
Tafsir al-Sya‟râwî sebagaimana diketahui bukanlah hasil tulisan
tangannya. Tafsir tersebut merupakan karya khusus yang berisi tentang
pelajaran tafsir yang ia sampaikan di televisi. Tafsir ini satu-satunya karya
yang dinilai sah penisbatannya kepada al-Sya‟râwî. Al-Sya‟râwî 30 Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Ibnu Barnawa dengan judul Suami Istri Berkarakter Surgawi, cet. VI (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2012). 31 “Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî” dikutip dari https://ar.m.wikipedia.org/wiki pada 06/23/2020 pkl 13.03.
46
mewakilkan kepada Muassasah Akhbâr al-Yaum untuk menulisnya
dengan catatan tidak boleh mencetak sesuatupun kecuali di bawah
pengawasan dan pertimbangan ulang darinya.32
Tafsir al-Sya‟râwî, sebelum menjadi karya tafsir, dimuat dalam
majalah al-Liwa al-Islami, mulai tahun 1986-1989 M. Setelah dicetak
menjadi sebuah karya tafsir, kitab tersebut diberi nama Khawâtir Haula
al-Qurân, bukan secara spesifik diberi nama kitab tafsir. Demikian itu
karena bagi al-Sya‟râwî ini bertujuan untuk menjelaskan pemahamannya
terhadap ayat-ayat al-Qur‟ân.33 Ini dapat dilihat dengan jelas di awal
pengantar yang ditulis al-Sya‟râwî;
خواطري حول القرءان الكريم لاتعني تفسيرا... وانما ىي ىبات صفائية .. “ ان القرءان من الممكن ان تخطر علي قلب مؤمن في اية او بضع ايات .. ولو
يفسر .. لكان رسول الله عليو وسلم اولى الناس بتفسيره ..... (Renungan-renunganku seputar al-Qur‟an tidak dimaksudkan tafsir
terhadap al-Qur‟an. Ia hanyalah pemberian-pemberian murni yang datang di hati orang mukmin dalam satu ayat atau beberapa ayat. Dan seandainya al-Qur‟an memungkinkan untuk ditafsirkan maka pastilah Rasulullah manusia pertama yang menafsirkannya .....) ”34
Ungkapan ini sekaligus menjelaskan apa yang dimaksud khawâtir oleh al-
Sya‟râwî. Khawâtir sejenis ini dinilai dekat dan termasuk dalam bagian
tafsir isyârî.35
Dengan adanya penegasan dalam pengantar di atas, „Alî Iyâzî
menilai bahwa al-Sya‟râwî tidak menganggapnya sebagai pemahaman
yang pasti benar. Tetapi, merupakan khawâtir yang mungkin benar dan
salah.36 Pendapat ini bisa dibenarkan bila dilihat dari tulisan tangan al-
32 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 38. 33 „Alî Iyâzî, al-Mufassirȗn Hayâtuhum, 269; Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-
Kitab Tafsir, 219-220. 34 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 1 (Mesir: Akhbâr al-Yaum, t.t), 9. 35 Al-Qamîhî Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 49-55. 36 „Alî Iyâzî, al-Mufassirȗn Hayâtuhum wa Manhajuhum, 269.
47
Sya‟râwî, sebanyak satu lembar, yang diletakkan sebelum pengantar
(madkhal) ada kalimat yang menegaskan bahwa karyanya tersebut
merupakan hasil jihad ijtihadinya ( جهادي ىذا حصاد عمري العلمي وحصيلة
Sedangkan ijtihad sendiri memiliki ruang kemungkinan salah 37.(الاجتهادي
dan benar.
Al-Qamîhî dengan pijakan dasar ungkapan al-Sya‟râwî dalam
pengantar tersebut di atas juga menyimpulkan bahwa, al-Sya‟râwî secara
mendasar ingin tafsirnya menjadi khawâtir yang bergantung pada
keseimbangan antara subyek yang hidup bersama al-Qur‟an, merasakan
manisnya, mentadabburi makna-maknanya dan al-Qur‟an itu sendiri.
Hasilnya, Allah membukakan baginya khawâtir, keimanan, isyarat secara
teks dan makna yang tidak bertentangan dengan nas, tidak mengeringkan
teks, tidak melampai makna yang benar. Bahkan al-Sya‟râwî sangat
menjaga agar khawâtir-nya tidak keluar dari naungan al-Qur‟an dan
hadis.38
Walaupun demikian, al-Qamîhî menilai bahwa dalam
kenyataannya al-Sya‟râwî tidak berhasil mewujudkan harapannya yang ia
tulis sendiri dalam pengantar tafsirnya. Hal itu karena tidak semua
merupakan khawâtir, pemberian murni, dan isyarat ruhaniyah.
Kemampuan bahasa, balaghah dan mantiq al-Sya‟râwî membuat
penafsirannya melebar keluar dari kerangka khawâtir sampai pada
kerangka ensiklopedi tafsir yang mencakup semua corak tafsir.39
Tafsir al-Sya‟râwî merupakan tafsir dengan metode tahlîlî. Tafsir
yang merupakan tafsir pertama yang disampaikan dengan lisan secara
37 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 1, 7. 38 Al-Qamîhî Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 55. 39 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 56.
48
sempurna ini40 ciri utamanya adalah sesuai tartib mushaf dan membahas
semua tema dan semua sisi/ aspek yang berkaitan dengan ayat, sehingga
banyak informasi yang dapat digali dari tafsir jenis ini.41 Akan tetapi,
tafsir al-Sya‟râwî ini berbeda dengan tafsir tahlîlî yang lain. Aspek yang
dibahas dalam tafsir ini semua diarahkan untuk menggali makna secara
mendalam. Misalnya pembahasan yang terkait dengan nahwu dan sarraf.
Ia tidak menganalisisnya hanya untuk kepentingan memberi tahu
kedudukan atau posisinya saja. Tapi ini ia lakukan untuk menunjukkan
makna mendalamnya atau menolak pemahaman yang keliru. Di antara
contoh tafsir tersebut bisa dilihat saat beliau membahas surah al-A‟raf ayat
56 dan al-Baqarah ayat 273.42
Kombinasi kedalaman dan kelugasan merupakan inti dari inovasi
dalam tafsir al-Sya‟râwî .43 Ini menjadi keistimewaan tafsir ini. Al-
Sya‟râwî sering menggunakan perumpamaan (matsal) dalam tafsirnya
untuk membuat pendengar mudah paham.44 Misalnya seperti saat
membahas surah Luqmân terkait hikmah yang bagi al-Sya‟râwî selalu
dipancarkan oleh Allah setiap saat.45 Penafsirannya dikenal memiliki
corak tarbawî (pendidikan) dan ishlâhî (perbaikan) yang mengandung
nasihat dan mendidik umat Islam untuk lebih menuju ke arah yang lebih
baik.46 Ada yang mengatakan pula bahwa tafsirnya menggunakan corak
40 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 315. 41 Eva F. Amrullah, “Dari Teks Ke Aksi: Merekomendasi Tafsir Tematik,” dari Hassan Hanafi “Hal Ladaynâ Nadzariyah al-Tafsîr?” dalam Hassan Hanafi, Qadâyâ al-Mu‟asarah fî Fikrinâ al-Mu‟âsir I, Jurnal STUDI AL-QUR‟AN, Vol. I, No. 1, Januari, 2016, 57-58. 42 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 91-103, Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 1, 1178. 43 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 241. 44 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 243. 45 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 19, 11610. 46 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 154-165. Lihat pula: Shohibul Abid dkk, Ulumul al-Qur`ân Profil Para Mufassir (Ciputat Timur: Pustaka Dunia, 2011), 46.
49
adabî ijtimâ‟î.47 Ketika menafsirkan al-Qur`an ia berpegang pada dua
aspek, yaitu: pertama: komitmen kepada Islam yang dianggapnya sebagai
metode atau landasan memperbaiki kerusakan yang diderita umat Islam,
utamanya terkait pemikiran dan keyakinannya. Kedua: Modernisasi,
dimana Imam al-Sya‟râwî mengikuti perkembangan saat ini, sehingga
tafsirnya bisa dikatakan bercirikan modern.48
Sumber penafsiran al-Sya‟râwî menurut al-Qamîhî sulit dilacak.
Hal ini karena tafsirnya bukan tulisan tangan sendiri atau bukan karya
yang didektekan pada muridnya yang kemudian menyebutkan pendapat
dan buku-buku karya ulama, atau ia tunjukkan dalam pengantar bukunya
sebagaimana dilakukan kebanyakan mufassir yang menulis tafsir. Ia tidak
menyebutkan sumber-sumbernya karena kepentingannya adalah
menyampaikan makna bukan realisasi keilmiahan. Ia menyampaikan
tafsirnya secara lisan di stasiun televisi Mesir dengan hanya memegang
mushaf. Tetapi, dalam tafsir al-Sya‟râwî terdapat sumber-sumber
penafsiran yang dapat dilacak. Di antaranya adalah al-Qur‟an, hadis Nabi,
atsar, cerita terdahulu, kitab-kitab tafsir sumber kebahasaan dan balaghah,
dan sya‟ir.49
Al-Qur‟an digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an di dalam tafsir
al-Sya‟râwî sangat jelas adanya. Ia sering menafsirkan ayat dengan ayat
dan juga membandingkan antarayat. Sebagai contoh, yaitu saat
menafsirkan surah al-Fâtihah ayat 7 yang ditafsirkan dengan surah al-
Nisâ‟ ayat 69;50
47 Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir Al-Sya‟râwî”. Studia Quranika, vol. I (2017): 45-46. 48 „Alî Iyâzî, al-Mufassirȗn Hayâtuhum wa Manhajuhum, 269. lihat juga: Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik -Modern, Cet. I (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 153. 49 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 221-234. 50 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 1, 87, Al-Qamîhî, Al-Syaikh
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 223.
50
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, Para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qs. Al-Nisâ‟/4: 69)
Adapun hadis-hadis Nabi, al-Sya‟râwî tidak memakai hadis yang
ada dalam kitab-kitab hadis tertentu. Hadis-hadis yang ia sampaikan
barasal dari berbagai sumber. Perhatiannya pada hadis dan atsar seperti
para mufassir rasional (bi al-ra‟y). Artinya tidak terlalu menomorduakan
walaupun posisinya sebagai sumber hukum kedua dalam Islam. Ia juga
mengutip hadis yang kedudukannya secara masyhur dinilai lemah bahkan
maudȗ‟. Riwayat hadis dalam tafsirnya banyak yang disebutkan dengan
sighah (bentuk) yang melemahkan seperti ruwiya (diriwayatkan), qîla
(dikatakan), fî al-hadîts (dalam hadis). Atsar dari ulama salaf juga sedikit
yang dikutip oleh al-Sya‟âwî, dan terkadang ia mengutip ucapannya tanpa
menyebut siapa yang mengatakan. Kisah terdahulu tidak luput dari
bahasannya, sebagaimana kisah Imam Abȗ Hanîfah saat duduk di naungan
rumah seseorang. Kemudian orang itu meminta pinjaman sebagian uang
kepadanya. Hari berikutnya meminjam lagi, dan Abȗ Hanîfah menjauh
dari rumahnya karena takut termasuk bagian dari riba.51
Kitab-kitab tafsir juga menjadi sumber penafsiran al-Sya‟râwî
walaupun tidak disebutkan secara tegas kecuali hanya sedikit. Al- 51 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 227.
51
Zamakhsyarî adalah nama mufassir yang paling sering disebut olehnya.
Demikian itu karena kekagumannya dan pengaruh pendapat-pendapatnya
dari sisi balaghah dan bayan. Bahkan ia meniru metode fanqalah, yaitu
mengajukan pertanyaan dan dijawab sendiri. Selain al- Zamakhsyarî, ia
juga mengacu pada Mafâtih al-Ghaib karya al-Râzî dan Rȗh al-Ma‟ânî
karya al-Alȗsî. Keduanya juga disebut secara jelas oleh al-Sya‟râwî.
Untuk melihat asal kata al-Mufradât karya al-Asfahânî menjadi sumber
utama. 52
Adapun sumber kebahasaan yang merupakan pondasi awal
berpijaknya al-Sya‟râwî dalam menafsirkan al-Qur`an dan membuka tabir
rahasia-rahasianya tidak ia tunjukkan kecuali dari satu sumber yaitu
Alfiyyah Ibn Mâlik. Contoh saat al-Sya‟râwî membahas surat al-Maidah
ayat 1253. Ia menjelaskan tentang kaidah berkumpulnya jawab syarat
bersama jawab qasam (sumpah). Syair juga banyak mewarnai isi tafsir al-
Sya‟râwî. Hal ini bisa disebabkan karena latar belakang pendidikannya
yaitu, bahasa dan karenasecara alamiah syair sejak dahulu memiliki
hubungan dengan tafsir.54
Sumber terakhirnya adalah pengetahuannya yang luas dan
bercabang sehingga membauat tafsirnya menjadi tafsir ensiklopedis tidak
hanya mencakup ilmu tafsir, ilmu syari‟ah dan ilmu kebahasaan. Al-
Sya‟râwî membaca buku-buku para orientalis. Ia juga membaca isi kitab-
kitab samawi. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran, falak, ekonomi,
sejarah, pesikologi dan lainnya. Inilah yang membuatnya berbicara banyak
dan luas tentang bidang-bidang ilmiah.55
52 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 227-228. 53 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur‟ân, jil. 5, 2999. 54 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 227-229. 55 Al-Qamîhî, Al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, 233.
53
BAB IV
PENDIDIKAN LUQMȂN PADA ANAKNYA: ANALISIS TAFSIR
IMAM AL-SYA’RȂWȊ SURAH LUQMȂN AYAT 12-19
Penulis pada bab ini akan memaparkan dan menganalisis penafsiran al-Sya‟râwî dengan memetakan berdasarkan komponen atau faktor-faktor pendidikan. Komponen-komponen pendidikan yang disebutkan oleh para ahli berbeda-beda.1 Penulis akan menjelaskan empat komponen yang ada di dalam ayat ini. Adalah ayah yang bernama Luqmân sebagai pendidik menurut kodrat2, anak Luqmân sebagai peserta didik, nasehat sebagai metode, dan bentuk-bentuk nasehat sebagai materi pendidikan. Sebelumnya akan disebutkan ayat dan maknanya secara keseluruhan.
Surah Luqmân Ayat 12-19
1 Madyo Ekosusilo dan RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan (tanpa keterangan karena robek), 39; Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan: Pengantar
dan Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 69; M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 9-10; Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), 59-61. 2 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, cet. VIII (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), 8.
54
12. Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
55
lagi Maha Terpuji". 13. Dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". 14.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. 15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan. Luqman berkata): 16. "Hai anakku, Sesungguhnya
jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu
atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. 19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai. (Qs. Luqmân/31: 12-19)
A. Luqmân Sebagai Pendidik
Secara garis besar menurut Abuddin Nata dan Fauzan di dalam al-
Qur`an terdapat petunjuk yang memberikan informasi bahwa yang
menjadi pendidik ada empat. Salah satunya adalah orangtua.3 Luqmân
3 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, cet. I (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), 209-212 .
56
sebagai seorang ayah berarti ia merupakan pendidik. Namanya dalam
surah Luqmân ini disebutkan dalam dua ayat, yaitu ayat 12 dan ayat 13.
Al-Sya‟râwî menjelaskan, ulama berbeda pendapat mengenai siapa
itu Luqmân. Ada yang berpendapat bahwa Luqmân adalah seorang nabi
dan ada pula yang berpendapat bahwa ia bukan nabi. Pendapat mayoritas
menurut al-Sya‟râwî, melihat Luqmân sebagai manusia biasa, karena
landasan pendapat yang mengatakan Luqmân nabi tidak memiliki
sandaran yang kuat.4 Pendapat seperti ini juga diungkapkan oleh banyak
ulama lain sebelum al-Sya‟râwî, misalnya Mujâhid (102 H)5, Ibn Katsîr
(774 H)6, Ibn „Ȃsyȗr (1393 H)7. Al-Sya‟râwî juga menjelaskan bahwa
Luqmân adalah orang yang saleh, memiliki indra yang peka (sensitif) dan
kesadaran mendalam. Dengan indra ini ia tidak melewatkan suatu apapun
sehingga terbentuk kesadaran dan momentum-momentum akurat yang
berfermentasi dalam jiwanya. Ia memiliki keutamaan-keutamaan dan
nilai-nilai yang mengarahkan gerak kehidupannya, sehingga dengan hal
tersebut jiwanya bahagia begitu pula orang-orang di sekitarnya ikut
bahagia sebab ucapan yang sesuai dan ungkapan yang baik.8
Mengenai bentuk fisik dan asal-usulnya, al-Sya‟râwî
menyebutkan9, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Luqmân
berkulit hitam, berbibir tebal sebagaimana penduduk Afrika Utara, tapi ia
memiliki hati yang putih dan batin yang bersih. Keluar dari dua bibirnya
4 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 1 (Mesir: Akhbâr al-Yaum, t.t), 11612 5 Mujâhid bin Jabr, Tafsîr al-Imâm Mujâhid bin Jabr, cet. I (Maînah Nasr: Dâr al-Fikr al-Islâmî al-Hadîtsiyyah, 1989), 541. 6 Isma‟îl bin „Umar bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azîm, jil. 11 (Mesir: Muassasah Qurtubah, 2000), 49-50 7 Muhammad al-Tâhir ibn „Ȃsyȗr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 21 (Tȗnis: al-Dâr al-Tȗnisiyyah, 1984), 149 8 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11612 9 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, juz 19, 11613
57
yang tebal untaian hikmah yang mudah dicerna dan makna-makna yang
tepat. Luqmân adalah orang yang murni, suci dan bersih. Tubuhnya tidak
tercampur sesuatu yang haram dan ia tidak lupa atas prosedur dari
Tuhannya. Oleh karenanya, Allah memberinya hikmah sebagaimana
dalam firman Allah;
Penjelasan al-Sya‟râwî semuanya mengarah pada sebuah kesimpulan
umum, yaitu Luqmân adalah pribadi yang baik. Ia adalah hamba saleh
yang memiliki kedekatan dengan Allah dan derajat tingggi di sisi-Nya.
Hikmah yang diberikan kepadanya merupakan bukti kebenaran hal
tersebut.
Menurut al-Sya‟râwî, kata walaqad âtâinâ maksudnya kami
mewahyukan dalam makna wahyu secara umum. Makna wahyu secara
bahasa yaitu, menginformasikan dengan cara rahasia. Ini merupakan
umumnya makna wahyu. Wahyu secara istilah adalah informasi dari Allah
kepada rasul-Nya dengan manhaj-Nya. Di antara ayat yang disebutkan al-
Sya‟râwî berkaitan dengan penggunaan kata wahyu, yaitu wahyu kepada
malaikat yang terdapat dalam surah al-Anfâl: [8]: 12, wahyu kepada
manusia yang terdapat dalam surah al-Qashash [28]: 7, wahyu kepada
hewan yang terdapat dalam surah al-Nahl [16]: 67, wahyu kepada antar
sesama setan yang terdapat dalam surah al-An‟am [6]: 121 dan juga
wahyu kepada orang baik, pengikut rasul yang terdapat dalam surah al-
Mâidah [5]: 111. Allah juga mengungkapkan wahyu yang bermakna
58
khusus sesuai dalam firman-Nya, yaitu surah al-Syȗrâ [42]: 51. Maksud
memberikan (al-îtâ’) adalah ilham.10
Lebih jauh al-Sya‟râwî menjelaskan, bila ditanya, bagaimana orang
biasa yang bukan nabi dapat memperoleh sesuatu dari Allah. Jawabannya
menurutnya, yaitu dengan cara ilham. Menurutnya, Allah setiap saat
mengirim siaran ilham kepada manusia, dan siaran ilham itu tidak dapat
ditangkap kecuali dengan alat terima yang baik. Saat alat penerima dalam
kondisi baik dan terpasang dengan benar kepada Allah maka ilham dapat
diperoleh. Demikian itu tidak terjadi kecuali setelah penerima mengikuti
intruksi Allah baik berupa perintah maupun larangan. Bila ilham ini
terputus dari sesesorang, maka yakinlah bahwa alat penerima orang
tersebut sedang rusak. Sedangkan gelombang pemancar ada dan tidak
pernah terputus dari Allah.11 Analogi ini membuat para pendengarnya
mudah dan semakin memahami apa dan bagaimana proses pemberian
ilham itu. Analogi seperti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir
lainnya.
Di antara hamba Allah, orang biasa yang mendapat ilham selain
Luqmân menurut al-Sya‟râwi adalah ibu Nabi Musa, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an surah al-Qasas ayat 7:
10 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11609-11610 11 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11610
59
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (Qs. Al-Qasas/ 28: 7)
Alat penerima ibu Nabi Musa menerima ilham berupa perintah dari Allah,
yaitu melempar anaknya ke sungai. Ia melakukannya tanpa berpikir
panjang, tanpa meperdebatkan dan melakukannya dengan tenang. Secara
akal, melempar anaknya ke sungai adalah kematian yang nyata dan pasti,
sedangkan takut anaknya dibunuh oleh Fir‟aun adalah kematian yang
sifatnya sangkaan (dzan), tidak pasti. Berdasarkan hal ini, al- Sya‟râwî
menyimpulkan bahwa apabila ilham bertemu dengan alat penerima yang
baik, maka tidak ada keraguan dalam jiwa dan tidak akan mencari dalil
terlebih dahulu untuk melaksanakannya.12
Begitu pula halnya dengan hamba saleh yang bukan nabi, tapi
dapat mengajari Nabi Musa. Penyebabnya, karena ia bersetatus hamba
bagi Allah atas manhaj Nabi Musa dan mengikhlaskan niat hanya kare-
Nya. Maka Allah ilhamkan padanya dari sisi-Nya dengan tanpa perantara.
Ini sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 65.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Qs. Al-Kahf/ 65)
12 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11610-11611
60
Data dari ayat-ayat lain yang dipaparkan al-Sya‟râwî ini
memperkuat argumennya bahwa manusia biasa mungkin mendapatkan
ilham dari Allah.
Kata hikmah pada ayat 12, dipahami al-Sya‟râwî sebagai bentuk-
bentuk hikmah yang menunjuk pada penempatan sesuatu sesuai
tempatnya. Ia juga menjelaskan bahwa hikmah secara umum maknanya,
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pemaknaan ini berbeda dengan
apa yang disampaikan oleh Abȗ Bakr Muhammad bin „Azîz al-Sajistanî,
yang mana hikmah dipahaminya sebagai nama bagi akal. Akal diberi
nama demikian karena dapat mencegah pemiliknya dari kebodohan.13
Sedangkan al-Râghib al-Asfahânî membedakan antara hikmah dari Allah
dan hikmah dari manusia. Hikmah dari Allah mengetahui sesuatu dan
mengadakannya atas tujuan hukum. Hikmah dari manusia adalah
mengetahui sesuatu yang ada dan melakukan kebaikan-kebaikan. Apa
yang terjadi pada Luqmân dipahami sebagai hikmah dalam pengertian
kedua.14 Pendapat al-Râghib al-Asfahânî terkait hikmah Luqmân senada
dengan yang disampaikan al-Râzî yang memahami hikmah sebagai
ungkapan dari kesesuaian perbuatan dengan al-„ilmu.15 Quraish Shihab
dengan mengutip pendapat Biqâ‟î menyebutkan, bahwa kata hikmah
berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah ilmu amaliah dan amal ilmiah.
13 Abȗ Bakr Muhammad bin „Azîz al-Sajistanî, Garîb al-Qur’ân (Maktabah Muhammad „Ȃlî Sabîh wa Aulâdih,1963), 83 14 al-Râghib al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (t.tpMaktabah Nizâr Mustafâ al-Bâz, t.tt), 167-168
15 Muhammad bin „Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25 (Beirut: Dâr al-Fikr,
1981), 146
61
Ia adalah ilmu yang didukung oleh amal, dan amal yang tepat dan
didukung oleh ilmu. 16
Hikmah (bijaksana) bagi al-Sya‟râwî adalah kumpulan dari
kemampuan-kemampuan lebih yang memunculkan sesuatu yang dapat
menempatkan urusan pada tempatnya dengan standar mudah, tanpa
mempersulit dan melelahkan. Contoh yang dikemukakan oleh al-Sya‟râwî
yaitu, syeikh Al-Azhar yang belajar di sana selama 20 atau 30 tahun ketika
diminta fatwa mengenai suatu perkara maka ia akan menjawab dengan
mudah dan gampang tanpa berpikir atau mempersiapkan. Demikian itu,
karena fatwa sudah menjadi bakatnya sehingga tidak kesulitan. Termasuk
bentuk dari hikmah saat Allah menciptakan sesuatu untuk kita kemudian
menunjukkan kepada kita agar mampu mengambil istimbat dari hal
tersebut berupa sesuatu yang baru. Bentuk hikmah Allah Swt,. yang
diberikan kepada Luqmân sebagaimana tercantum dalam ayat 12 di atasو
yaitu bersyukur kepada Allah. Ini adalah hikmah yang pertama dalam
hidup. Syukur dapat menghancurkan kesombongan diri.17
Para ulama banyak membicarakan tentang Luqmân termasuk
hikmah-hikmah. Beberapa hal lain yang dibicarakan al-Sya‟râwî tentang
hikmah Luqmân di antaranya;
Pertama, tentang penyebab Luqmân mendapatkan hikmah.
Seorang yang akrab dengannya berkata: “Bukankah kamu adalah seorang
pembantu yang melayani si fulan?”. Luqmân berkata: “Ya benar.” Orang
tersebut bertanya lagi: “Sebab apa kamu mendapatkan hikmah?”. Luqmân
menjawab: “Sebab penghormatanku terhadap takdir yang diberikan Allah
16 M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`ân (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 292 17 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11620
62
kepadaku, dan sebab pelaksanaanku atas amanat yang diembankan
kepadaku, kejujuran ucapan dan karena saya tidak melakukan sesuatu
yang tidak ada manfaatnya.”. Setelah menyebutkan riwayat ini, al-
Sya‟râwî berkomentar bahwa sifat-sifat seperti ini cukup untuk menjadi
pedoman hidup bagi setiap orang mukmin, dan untuk membuatnya mampu
mengungkapkan kata-kata hikmah. Bahkan al-Sya‟râwî bersumpah,
seandainya seorang mukmin memiliki sifat jujur dalam berbicara maka
sifat tersebut cukup. Ia juga menegaskan, oleh karena sifat-sifat tersebut
Luqmân sampai kepada martabat bijaksana (diberi hikmah), padahal dia
hamba yang berkulit hitam, bukan nabi dan bukan pula rasul. Satu surah
diberi nama dengan namanya. Ini bukti bila manusia lurus dan ikhlas
menaati Allah, maka Allah memberikannya kelebihan yang luas.
Kedua, hikmah Luqmân. Diriwayatkan bahwa majikannya
memerintahnya untuk menyembelih domba dan mengambil dua organ
tubuh yang paling baik. Dia pun menyembelih dan membawa hati dan
lidah. Hari berikutnya, majikan memerintahnya lagi, “Sembelihlah domba
untukku dan serahkan padaku dua organ tubuh yang paling buruk!”. Maka
Luqmân pun membawakan hati dan lidah lagi. Majikannya bertanya,
“Bukankah kamu membawa dua organ tubuh ini kemarin karena keduanya
adalah organ tubuh domba yang paling baik?” Luqmân menjawab, “Benar,
tidak ada yang lebih baik dari keduanya bila keduanya baik. Dan tidak ada
yang lebih buruk dari keduanya bila keduanya buruk.”. Riwayat ini juga
disebutkan oleh Ibn Katsîr18 dan al-Zamakhsyarî19 dengan sedikit redaksi
berbeda yang diceritakan oleh Yazîd bin Hârȗn dan Waqî‟ melalui jalur
Abȗ al-Asyhab dari Khâlid al-Rib‟î.
18 Ismâ‟îl bin „Umar ibn Katsîr al-Dimasyqî, Qashâsh al-Qur’ân (Beirȗt: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2007), 130
19 Mahmȗd bin „Umar al-Zamakhsyarî, al-Kassyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa
‘’Uyȗn al-Aqâwîl fî Wujȗh al-Ta’wîl, juz 21 (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2009), 836
63
Ketiga, sebagian ulama berkata, sesungguhnya Allah memberi
pilihan pada Luqmân antara menjadi nabi atau atau hakim bijaksana.
Maka ia berkata, “Bila Engkau telah memberi pilihan maka saya memilih
ketenangan dan meninggalkan yang sulit. Tapi bila Engkau
menjadikannya sebagai ketetapan bagiku maka saya akan patuh dan taat
dalam menerimanya, karena saya tahu bahwa Engkau tidak akan
menelantarkanku.”. Riwayat yang lebih lengkap mengenai hikmah ini
dapat dilihat pula pada karya Salâh al-Khâlidî.20 Abȗ Hâmid al-Gazâlî21,
dalam karyanya yang fenomenal juga meriwayatkan beberapa bentuk
hikmah Luqmân, yaitu menganjurkan untuk duduk bersama orang yang
memiliki ilmu (‘alim).
Allah Swt., telah membuat Luqmân mampu mengungkapkan
dengan hikmah (bijaksana) yang mendahului kenabian. Bagi al-Sya‟râwî,
ini untuk menjelaskan kepada kita bahwa manusia memungkinkan untuk
menjadi rabbani. Ini sesuai dengan hadis qudsi yang dikutipnya: “
Hambaku, taatlah kepadaku maka engkau akan menjadi rabbani, kau
katakan pada sesuatu; jadilah maka sesuatu tersebut terjadi.”. Hal ini
terjadi karena anugerah (fadl) Allah tidak terbatas dan yang demikian itu
mudah bagi-Nya. Pintu Allah terbuka. Terpenting, kita layak memasuki
pintu tersebut dan layak bersama Allah selamanya.22
Al-Sya‟râwî dalam penafsirannya secara keseluruhan mengulas
tentang Luqmân, seorang ayah yang berarti seorang pendidik khususnya
bagi sang anak. Ia menekankan pada sosok Luqmân sebagai seorang yang
baik hubungannya dengan Allah (saleh). Fisiknya yang dalam tolok ukur
20 Salâh al-Khâlidî, Kisah-Kisah al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang
Dahulu, ter. Setiawan Budi Utoma, jil. 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 21 Abȗ Hâmid al-Gazâlî, Ihyâ` ‘Ulȗm al-Dîn, juz 1 (Surabaya: al-Hidâyah, t.t), 9
22 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11617
64
kebanyakan manusia dinilai tidak memenuhi keriteria ideal atau tampan,
tidak mengurangi ketinggian martabatnya di hadapan Allah. Ia adalah
sosok yang memiliki banyak kompetensi yang semuanya merupakan
pemberian Allah.
Abuddin Nata dan Fauzan menyebutkan bahwa seorang guru pada
dasarnya haruslah memiliki tiga kompetensi, yaitu pertama: kompetensi
keribadian, adalah kompetensi yang perlu dikembangkan secara terus
menerus agar terampil dalam banyak hal seperti mengenal dan mengakui
harkat serta potensi dari setiap individu (termasuk murid), membina suatu
suasana sosial yang menunjang secara moral terhadap murid sehingga
tercipta kesepahaman dan kesamaan arah dalam pikiran serta perbuatan,
dan membina suatu perasaan saling menghormati, saling bertanggung
jawab, dan saling percaya- mepercayai. Kedua: kompetensi atas bahan
pengajaran, adalah penguasaan yang mengarah kepada spesialisasi atas
ilmu atau kecakapan/pengetahuan yang diajarkan. Ketiga: kompetensi
dalam cara mengajar, adalah kompetensi yang sangat diperlukan guru
untuk mengembangkan keterampilan merencanakan atau menyusun setiap
program, mempergunakan dan mengembangkan media pendidikan, dan
mengembangkan atau mempergunakan semua metode-metode mengajar
hingga terjadi kombinasi serta variasi yang efektif.23
Semua aspek kompetensi tersebut di atas berkembang secara
selaras dan tumbuh terbina dalam kepribadian Luqmân. Dua aspek
kompetensi pertama dan kedua yang disebutkan jelas tampak dalam diri
Luqmân. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Sya‟râwî bahwa ia adalah orang
yang saleh, bersyukur, dan juga seorang mufti.24 Adapun aspek
23 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, cet. I, 209-212 24 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11616
65
kompetensi terakhir dapat dilihat dalam penjelasan selanjutnya tentang
metode nasehat yang digunakan. Begitulah seorang ayah agar menjadi
seorang pendidik yang ideal. Pertama dan menjadi dasar dalam mendidik
harus dimulai dari diri sendiri yaitu dengan memperbaiki hubungan
dengan Allah sehingga memiliki banyak kompetensi yang membuatnya
layak menjadi contoh dan pembimbing atau pendidik.
Penjelasan al-Sya‟râwî tentang dua ayat 14 dan 15 pada surah
Luqmân juga menarik untuk dikupas agar dapat menjadi argumentasi
rasional, mengapa di beberapa kisah dalam al-Quran ayah yang berintraksi
mendidik anaknya? Apakah peran ayah penting? Bila iya, kenapa menjadi
penting? Dan bagaimana perannya?
Dua ayat 14 dan 15 menurut al-Sya‟râwî bukanlah rangkaian dari
wasiat Luqmân, akan tetapi merupakan firman Allah Swt., secara langsung
yang ada di tengah wasiat Luqmân. Ini dinilai sebagai suatu kemuliaan
bagi Luqmân.25 Bentuk kedua ayat ini menurut „Izzah Darwazah juga
merupakan ketentuan langsung dari Allah dan terpisah dari kisah nasehat
Luqmân kepada anaknya. Akan tetapi ini memiliki munasabah
(keterkaitan) dengan kisah ini, yaitu bila Allah menyuruh anak berbuat
baik kepada orangtua maka itu dalam batas ketaatan pada Allah, bila
keduanya memerintahkan syirik, maka tidak wajib mematuhinya.26 Senada
dengan pendapat ini adalah pendapat al-Zamakhsyarî27 dan Ibn „Ȃsyȗr
akan tetapi bila Luqmân seorang nabi maka dua ayat tersebut adalah
perkataan Luqmân.28
25 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11638 26 Muhammad „Izzah Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts: Tartîb al-Suwar Hasab al-
Nuzȗl, cet. 2, juz 4 (Bairȗt: Dâr al-Ghar al-Islâmî, 2000), 250 27 Al-Zamakhsyarî, al-Kassyâf …, 836
28 Ibn „Ȃsyȗr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz 21, 158
66
Sedangkan penyebutan kehamilan seorang ibu dan penyapihannya
setelah dua tahun merupakan kehususan karena ibu lebih utama.
Penafsiran al-Sya‟râwî dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan „Izzah
Darwazah dan al-Zamakhsyarî. Dalam hal keutamaan ibu dibanding ayah,
pendapat al-Râzî berbeda. Baginya ayah lebih dahsyat karena bertahun-
tahun memikul tanggungjawabnya.29
Terlepas dari itu, al-Sya‟râwî berbeda dengan penafsir-penafsir di
atas yang bisa dikatakan tidak memberi alasan kenapa ayah tidak disebut
perannya. Padahal, anak adalah hasil dari keduanya. Menurut al-Sya‟râwî
hal ini karena peran ayah dapat dilihat oleh anak saat mereka sudah dapat
memahami. Anak sering mendengar ucapan “ayahmu pergi kesana”,
“ayahmu memberimu ini” dan lain sebagainya. Sedangkan peran ibu yang
sulit, hamil, melahirkan, menyusui hingga menyapih setelah dua tahun
lamanya, tidak diketahui. Maka hal itu harus diingatkan.30 Sehingga ayat
ini dapat berfungsi memberitahukan seorang anak yang tidak paham atau
lupa pada proses ini. Jasa ayah yang tampak dan diketahui secara langsung
oleh anak membuat ayah memiliki wibawa sehingga anak merasa segan.
Kewibawaan inilah yang harus dimiliki oleh seorang pendidik.31
B. Anak Luqmân Sebagai Peserta Didik
Adapun anak Luqmân disebutkan dalam dua ayat 13 dan 17 ;
Al-Sya‟râwî dalam penafsirannya tidak mengulas siapa nama anak
Luqmân. Padahal banyak pendapat ulama berbeda-beda tentang siapa
nama anaknya. Misalnya, beberapa mufassir memberikan penjelasan 29 Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25, 148 30 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11741 31 Irwan Saputra, “Pengaruh Kewibawaan Guru Terhadap Minat Belajar Siswa Kelas V Di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018 ), 12
67
tentang siapa nama anak Luqmân. Al-Kalbî menyebutkan bahwa anak
Luqmân adalah Masykan32. Menurut al-Naqas, anak Luqmân bernama
An‟am. Dan menurut al-Qâsimî (pengarang tafsir Mahâsin al-Takwîl),
anaknya bernama Bâbân. Sedangkan menurut al-Baghdâdî (pengarang
tafsir Lubâb al-Takwîl Fî M‟ânî al-Tanzîl) anak Luqmân, bernama
Ashkam. Nama-nama lain anak Luqmân yang disebutkan oleh mufassir
seperti al-Alȗsî, Ibn Hayyân, Ahmad al-Sâwi, al-Gharnâtî, dan al-Qurtȗbî,
yaitu Salâm, Sarân, Askar atau Sâkir, Târân, dan Matân.33 Al-Zamakhsyarî
juga menyebutkan bahwa nama anak Luqmân sama seperti yang
disebutkan al-Naqas, yaitu An‟am.34
Tidak dibahasnya nama anak ini oleh al-Sya‟râwî bisa dijadikan
isyarat bahwa baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Apalagi
banyaknya riwayat yang dipaparkan ulama. Anak Luqmân menurut al-
Sya‟râwî masih kecil. Alasannya karena kata yang digunakan dalam ayat
adalah ya bunayya.35 Walaupun demikian bukan berarti anak yang sudah
dewasa tidak butuh nasehat orangtua. Bahkan seorang anak, walaupun
sudah menikah, menurut al-Sya‟râwî tetap butuh nasehat orangtua.36
Bila dibandingkan dengan penjelasan tentang status Luqmân,
riwayat tentang anaknya lebih sedikit, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Ini
terlihat bahwa al-Sya‟rawî lebih menekankan pada kompetensi Luqmân,
seorang ayah sekaligus seorang pendidik. Apalagi, pendidikan anak akan
dipengaruhi oleh perilaku-perilaku orangtua dua. Bila perilaku orangtua
32 Dikutip al-Zamakhsyarî bahwa anak Luqmân menurut al-Kalbî adalah Asykam. Al-Zamakhsyarî, al-Kassyâf …, 836 33 Miftahul Huda, Intraksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an Mendidik Anak
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), 201 34 Nama inilah yang disebutkan al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî, al-Kassyâf …, 836 35 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11609 36 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11636
68
baik, maka pengaruh terhadap anak akan baik. Sebaliknya, bila perilaku
keduanya buruk, maka pengaruhnya akan buruk.37
C. Metode Mau’zah (Nasehat) yang Digunakan Luqmân
Metode mendidik merupakan salah satu kompetensi dasar yang
harus dimiliki oleh pendidik sebagaimana disebutkan sebelumnya. Metode
mendidik yang digunakan Luqmân disebutkan di dalam ayat 13.
Metode yang digunakan oleh Luqmân adalah metode mau’izah38
yang sering diartikan sebagai nasehat. Al-Sya‟râwî menjelaskan bahwa
mau’izah memiliki arti mengingatkan (tadzkîr) informasi yang sudah
diketahui karena takut terlupakan. Menurutnya berbeda antara ilmu dan
mau’izah (nasihat). Nasihat kepada anak, karena dia sudah tahu tentang
hal ini, tapi ayah menasihati dan mengingatkan agar tidak lupa.39 Metode
ini menunjukkan pada pola intraksi pendidikan yang lebih fokus untuk
menasehati anak didik. Anak didik posisinya sebagai obyek yang harus
senantiasa menerima pesan pendidikan (materi pendidikan) yang
disampaikan, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk
mendialogkan.40
Faktor pendidik memiliki keterkaitan yang erat dengan metode
yang digunakan. Apalagi, dalam lingkungan dimana proses belajar
mengajar itu berlaku, guru (pendidik) menjadi model yang paling dekat
ditiru oleh peserta didik. Proses imitasi ini ada yang secara sengaja dan
ada pula yang tidak secara sengaja dilakukan. Ada yang ditiru karena
37 Mustafâ al-„Adawî, Fiqh Tarbiyat al-Abnâ’wa Tâifah min Nasâih al-Atibba’, cet. I (Mesir: Dâr Mâjid „Asirî, 1998), 19 38 Istilah yang digunakan al-Sya‟râwî adalah masdar dari wa’z yaitu wa’z 39 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11636 40 Miftahul Huda, Intraksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an Mendidik Anak
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), 185
69
senang, ada karena kagum, dan lain sebagainya.41 Sebuah metode harus
sesuai dengan keadaan.
Metode mau’izah ini memang sudah tepat dengan keadaam
Luqmân. Ia sendiri sudah menjadi contoh yang baik bagi anaknya.
Pekerjaannya dapat dilihat langsung oleh anaknya. Perilakunya sesuai
dengan ucapannya. Maka terciptalah kewibawaannya di hadapan anaknya.
Sehingga tidak ada alasan lagi bagi seorang anak (peserta didik) untuk
menolak nasehat tersebut. Apalagi Luqmân juga mengawali nasehatnya
dengan kata ya bunayya yang menunjukkan makna tasghîr (pengecilan)
untuk mencapai talattuf (kelembutan) dan tarqîq (panggilan manja).
Dengan begitu seorang anak akan lebih tersentuh dan tertarik untuk
mendengarkan bentuk nasehat (materi) yang akan disampaikan.
D. Materi-materi yang Diajarkan Luqmân
Materi-materi yang dijadikan nasehat oleh Luqmân kepada
anaknya tercantum dalam ayat 13 dan 16 sampai 19. Ada yang membagi
materi pendidikan Luqmân terhadap anaknya menjadi tiga, yaitu aqidah,
syari‟ah dan akhlak.42 Tetapi, bagi al-Sya‟râwî materi pendidikan yang
disampaikan Luqmân pada anaknya memuat dua unsur pokok. Adalah
unsur aqidah dan unsur taklîf. Taklîf bisa berupa perintah ataupun larangan
dari Allah.
Pertama, menurut al-Sya‟râwî materi awal yang harus
disampaikan adalah materi tentang aqidah, yaitu tampak dalam nasehat
Luqmân terhadap anaknya untuk tidak menyekutukan Allah.
41 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, cet. I, 354-362
42 Miftahul Huda, Intraksi Pendidikan, 185
70
Menyekutukan Allah adalah kedzaliman yang agung, karena mengambil
hak Allah dan diberikan pada yang lain. Firman Allah لاتشرك بالله ان الشرك
,Dalam hal aqidah tidak ada tawar menawar. Ini dalam arti .لظلم عظيم
walaupun orangtua yang diperintah untuk dihoramati dan ditaati, bila
memerintah untuk menyekutukan Allah maka perintahnya menjadi tidak
wajib ditaati. Ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat 14 dan 15.
Aqidah anak Luqmân kemudian diperkuat dalam ayat 16 dengan
menunjukkan sifat Allah yang akan membuat ia selalu merasa diawasi.
Sifat tersebut adalah sifat ‘ilm mutlaq (pengetahuan mutlak). Tidak ada
yang samar bagi-Nya, baik kebaikan maupun keburukan dimanapun di
langit maupun di bumi. Demikian itu karena Allah Maha Halus dan Maha
Mengetahui (ان الله لطيف خبير). Ini adalah sebagian dari wasiat dan nasehat
Luqmân terhadap anaknya. Ia tidak memerintahkan anaknya untuk
mengerjakan satupun dari taklîf Allah. Ia menjaga agar anaknya sungguh
beriman kepada Allah.43
Kedua, setelah memperkuat pondasi dasar, yaitu dengan
menanamkan aqidah, selanjutnya dalam ayat 17, Luqmân mulai memberi
nasehat taklîf dari Allah. Pada ayat 17 ini ada empat nasehat yang
disebutkan. Sebagaimana berikut;
1). Dimulai dari perintah salat (اقم الصلاة). Salat merupakan rukun utama
setelah syahadat (persaksian). Bagi al-Sya‟râwî dua rukun ini adalah rukun
Muslim, yang tidak bisa ditinggalkan. Adapun rukun Islam yang lima
43 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11650-11653
71
selain dua rukun tersebut bisa tidak wajib karena suatu alasan tertentu.
Salat karena begitu pentingnya, diwajibkan secara langsung, juga tidak
gugur kewajiban mengerjakannya bagi seorang muslim dengan alasan
apapun. Kesibukan bertani, berdagang dan lainnya tidak bisa dijadikan
alasan untuk meninggalkan salat yang lima waktu. Bahkan saat al-
Sya‟râwî berdialog dengan salah seorang dokter bedah yang berkata,
“Bagaimana saya meninggalkan proses bedah yang berjalan demi salat”.
Al-Sya‟râwî menjawab dengan bertanya, “Demi Allah, bila kamu terpaksa
harus buang air besar, kamu akan pergi atau tidak?” maka ia tertawa dan
berkata “Pergi”. Sedangkan rukun yang lain seperti zakat, puasa dan haji
bisa tidak wajib karena sebab-sebab tertentu atau karena orang lain.44
Salat dalam surah Luqmân ini tidak diikuti tentang perintah zakat seperti
beberapa ayat lain. Ini menurut al-Sya‟râwî adalah bagian dari hikmah
Luqmân dan akurasi ungkapannya. Zakat tidak disebutkan karena anak
Luqmân masih kecil, dalam asuhannya. Sehingga ia belum diwajibkan
berzakat.
2 dan 3). Dua rukun syahadat dan salat tidak cukup, karena sebagian dari
kesempurnaan iman adalah dengan mencintai saudara seiman
sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Bentuk mencintai ini di antaranya
adalah dengan amar makruf dan nahi mungkar. Oleh karenanya nasehat
Luqmân setelah perintah salat adalah amar ma‟ruf nahi mungkar.
Mengerjakan salat adalah kesempurnaan diri. Sedangkan amar makruf
nahi mungkar merupakan pemindahan kesempurnaan pada orang lain.
Amar makruf nahi mungkar ini dilakukan setelah seseorang sempurna
dengan menegakkan salat. Kedua taklîf ini, tidak semata-mata berarti
bersedekah pada yang lain, karena hakikatnya, kemamfaatan itu kembali
44 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11654-11656
72
pada diri sendiri. Ketenangan akan didapatkan pula. Orang yang
melakukan taklîf ini juga akan mendapat dua bagian, yaitu bagian di sisi
Allah karena melaksanakannya dan bagian di sisi manusia karena ia di
masyarakat menyempurnakan iman yang bermanfaat dan tidak
membahayakannya.
Al-Sya‟râwî juga menjelaskan bahwa Allah memerintah manusia
untuk mengubah kemungkaran. Akan tetapi, Dia menjadikan kadar
masalah sesuai kemampuan. Dia menginginkan manusia sebagai orang
yang memperbaiki tapi tidak ingin menjerumuskan dalam kebinasaan.
Oleh karenanya, mengubah kemungkaran dilakukan dengan tiga tahapan
sebagaimana diajarkan Nabi. Pertama dengan tangan. Ini dilakukan bila
pelaku mungkar di bawah kekuasaan seperti saudara, anak dan seterusnya.
Kedua, dengan lisan. Ini juga dilakukan dengan menggunakan kalimat
yang baik, tidak menyakiti dan tidak menyebabkan timbulnya fitnah. Bila
tidak mampu dengan cara ini maka terakhir dengan hati. Adalah dengan
persaksian hati bahwa yang dilakukan pelaku kemungkaran tersebut
adalah perkara yang tidak diridai Allah dan menjauhi pelakunya. Menjauhi
oleh al-Sya‟râwî dijelaskan dengan tidak membeli atu menjul barang pada
pelaku mungkar bila ia berdagang. Tidak berta‟ziah bila pelaku mungkar
dalam kesedihan dan tidak berbahagia bila ia bahagia.45
4). Nasehat selanjutnya adalah sabar. Sabar bagi al-Sya‟râwî adalah
membawa jiwa untuk sabar terhadap peristiwa-peristiwa sehingga
peristiwa-peristiwa itu tidak membuat jiwa cemas. Sabar disebutkan
setelah amar makruf nahi mungkar karena orang yang mengerjakannya
akan dijahati. Penegak amar makruf nahi mungkar harus memiliki tingkat
45 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11656
73
kesabaran yang tinggi.46 Argumen seperti ini juga disebutkan oleh al-
Râzî.47
Tidak jarang pula, orang yang melaksanakan amar makruf nahi
mungkar jadi lupa diri sehingga dia berlaku sombong dan angkuh. Untuk
membatasi hal tersebut dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat 18 disebutkan
dua nasehat Luqmân pada anaknya. Dua nasehat tersebut adalah 1).
Larangan untuk berlaku sombong dan 2). Tidak berjalan di bumi Allah
dengan angkuh. Inti dua nasehat ini adalah maslah kesombongan. Perilaku
sombong dan angkuh tidak disukai Allah. Bagaimanapun bentuk dan
caranya, sombong tidak diperbolehkan.
Sombong, menurut al-Sya‟râwî biasanya timbul karena merasa
memiliki keunggulan dari orang lain. Oleh karenanya, cara mencegah sifat
sombong, yaitu dengan melihat kelebihan yang dimiliki orang lain. Karena
bisa jadi orang lain lebih baik dari dirinya. Sebagaimana dalam al-Qur‟an
surah al-Hujurât ayat 11. Pada waktu tertentu, juga dengan cara
memikirkan khalq (ciptaan) dan Penciptanya. Akhirnya akan sampai pada
kesimpulan bahwa semua makhluk yang diciptakan Allah itu indah.
Apalagi, Allah membagi pemberiannya pada makhluk tanpa
menghususkan dan condong terhadap seseorang. Secara keseluruhan,
pemberian-pemberian yang didapat seseorang sama dengan pemberian-
pemberian yang didapat oleh yang lain.
Lebih jauh al-Sya‟râwî menjelaskan, orang yang mau sombong
seharusnya sombong dengan sesuatu yang secara zat ada pada dirinya
sendiri, bukan karena yang diberikan padanya. Hanya Allah-lah yang
berhak untuk sombong. Karena Dia-lah yang mencukupi syarat itu. Ayat
46 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11661
47
Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25, 150
74
18 ini mengunakan istilah mukhtâl dan fakhȗr. Istilah mukhtâl oleh al-
Sya‟râwî dimaknai, orang yang merasa dipandang memiliki kelebihan
pada dirinya oleh orang lain. Sedangkan istilah fakhȗr dimaknai, orang
yang merasa memiliki kelebihan dalam dirinya sendiri.48 Pemaknaan
seperti ini sama dengan penafsiran mufassir sebelumnya, yaitu al-Râzî.49
Nasehat pada ayat sebelumnya, dilanjutkan oleh ayat 19 dengan
menyebutkan lawan dari dua perilaku buruk tersebut, yaitu 1). Perintah
untuk berjalan dengan sederhana dan 2). Melunakkan suara, tidak
mengeraskannya. Berjalan dengan sederhana berarti tidak cepat dan tidak
lambat. Ada di antara keduanya. Melunakkan suara artinya cukup hingga
duara dapat didengar oleh telinga. Berjalan dan bersuara dikumpulkan
dalam satu kalimat, menurut al-Sya‟râwî karena manusia memiliki tujuan
yang ingin dicapai. Untuk mencapainya, mereka berjalan
menghampirinya, tapi bila tidak bisa menghampirinya mereka
memanggilnya.50 Dalam hal ini al-Râzî menjelaskannya dengan
memperinci contoh-contohnya.51
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diringkas bahwa ada
sembilan52 materi nasehat Luqmân terhadap anaknya;
1. Larangan menyekutukan Allah
2. Perintah melaksanakan salat
48 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11675
49
Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25, 150
50 Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11671-11676
51
Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, juz 25, 151
52 Bila berdasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa dua ayat 14 dan 15 merupakan bagian dari wasiat Luqmân maka ada satu materi lain yang diajarkan Luqmân pada anaknya, yaitu memuliakan orangtua, khususnya ibu. Tetapi bila keduanya menyuruh untuk menyekutukan Allah maka tidak harus taat pada keduanya. Walaupun demikian, harus tetap berbuat baik pada keduanya. Lihat catatan kaki; Al-Sya‟râwî, Khawâtir Haula al-Qur’ân, jil. 19, 11638
75
3. Memerintah kebaikan
4. Melarang kemungkaran
5. Perintah bersabar
6. Larangan sombong
7. Larangan angkuh
8. Perintah berjalan dengan sederhana
9. Perintah melunakkan suara
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian penulis terhadap penafsiran al-Sya’râwî surah
Luqmân ayat 12-19 dapat disimpulkan bahwa al-Sya’râwî tidak secara
eksplisit menyatakan, bahwa ayah penting perannya dalam mendidik
anak. Tetapi, dari penjelasannya dapat disimpulkan bahwa Luqmân
sebagai seorang ayah sangat penting perannya dalam pendidikan anak,
yaitu dalam hal memberi contoh. Ia, sebagai contoh bagi anaknya telah
memulai dari dirinya sendiri. Ia adalah sosok pemberi peringatan pada
anaknya yang dapat didengar karena kewibawaannya.
Metode yang digunakan, mau’izah (nasehat) tepat sesuai dengan
keadaan Luqmân. Dalam arti, Luqmân hamba saleh yang sesuai antara
ucapan dan perilakunya. Hal ini membuat orang yang dinasehati mudah
menerima karena melihat kesempurnaan pada diri penasehat. Apalagi
Luqmân mengawalinya dengan panggilan manja yang dapat menyentuh
hati anaknya. Susunan materi yang disampaikan pun tepat. Mulanya, ia
memperkokoh dasar, yaitu dengan menyampaikan materi-materi akidah,
berupa larangan menyekutukan Allah, yang kemudian dilanjutkan dengan
materi-materi taklîf (perintah dan larangan). Materi-materi taklîf ini
berupa perintah salat, amar ma’ruf, nahi mungkar, perintah bersabar, tidak
sombong dan tidak berlebihan atau pertengah (tawassut). Semua ini
menunjukkan kesempurnaan Luqmân dalam mendidik anaknya.
B. Saran
Ada beberapa kisah intraksi antara ayah dan anak dalam al-Qur’an. Penulis hanya meneliti tentang Luqmân. Bentuk intraksi yang ada dalam
77
kisah lain berbeda-beda. Ini akan menarik untuk dikaji apa penyebabnya dan bagaimana titik temu antara kisah-kisah yang ada. Penafsiran al-Sya’râwî bisa dijadikan salah satu data penting untuk menganalisisnya. Karena penafsirannya terkenal dengan kemampuan bahasanya. Terakhir, penulis terbuka atas saran, sanggahan atau kritik yang membangun atas tulisan ini. Penulis yakin penelitian ini masih banyak kekurangan.
78
DAFTAR PUSTAKA
„Abdurrahîm al-Qamîhî, „Utsmân Ahmad. Al-Syaikh Muhammad
Mutawallî al-Sya‟râwî wa Manhajuh fî al-Tafsîr. Kairo: Dâr al-Salâm, 2013.
„Abduddâim, „Abdullah. al-Tarbiyyah „Abra al-Târîkh, cet. II. Beirȗt:
Dâr al-„Ilm Lilmalâyîn, 1984. „Alî Iyâzî, Muhammad. al-Mufassirȗn Hayâtuhum wa Manhajuhum.
Teherân: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1212 H. „Ȃmir, Târiq „Abd al-Ra`uf. Usȗl al-Tarbiyyah: al-Ijtimâ‟iyyah al-
Tsaqâfiyyah al-Iqtisâdiyyah. t.tp: t.pt, 2008. Abid, Shohibul dkk. Ulumul al-Qur`ân Profil Para Mufassir. Ciputat
Timur: Pustaka Dunia, 2011. Abȗ al-„Ainain, Sa‟îd. al-Sya‟râwî alladzî Lâ Na‟rifuh, cet. IV. Kairo: Dâr
Akhbâr al-Yaum, 1995. al-„Adawwî, Mustafâ. Fiqh Tarbiyat al-Abnâ‟wa Tâifah min Nasâih al-
Atibba‟. cet. I. Mesir: Dâr Mâjid „Asirî, 1998. Amin, M. Rusli. Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman Panduan
Menuju hidup Bahagia, cet. I. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002. Amin, Nur Syariful, “Peran Ayah dalam Penanaman Nilai-Nilai Spiritual
Pada Anak.” Tesis S2., Universitas Muẖammadiyah Surakarta, 2017.
Amrullah, Eva F.. “Dari Teks Ke Aksi: Merekomendasi Tafsir Tematik,”
dari Hassan Hanafi “Hal Ladaynâ Nadzariyah al-Tafsîr?” dalam Hassan Hanafi, Qadâyâ al-Mu‟asarah fî Fikrinâ al-Mu‟âsir I., Jurnal STUDI AL-QUR‟AN, Vol. I, no. 1, Januari, 2016, 57-58.
Badawî Ahmad Zakî. Mushthalahât al-Tabiyyah wa al-Ta‟lîm: Injilîzî,
Faransî, „Arabî. Dâr al-Fikr al-„Arabî. Bariah, Oyoh. “Konsepsi Pendidikan Anak Menurut Luqman al-Hakim
(Kajian Tafsir Surah Luqman ayat 12-19.)” Tesis S2., Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
79
Dradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Cet. I.
Ciputat: CV. Ruhama, 1994. Ekosusilo, Madyo dan Kasihadi, RB. Dasar-Dasar Pendidikan. T.p: t.th,
t.t. Elia, Heman. “Peran Ayah dalam Mendidik Anak.” Veritas: Jurnal
Teologi dan Pelayanan. Vol. 1, no. 1 (April 2000): 105-113. Faiqoh, Lilik. “Mau‟izah Luqman Kepada Anaknya (Studi atas Penafsiran
KH. Bisri Mustofa terhadap Surat Luqman ayat 12-19 dalam Kitab Tafsir al-Ibriz li Ma‟rifati Tafsir al-Qur`ân al-„Aziz).”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Fauzî, Mahmȗd. Al-Syaikh al-Sya‟râwî wa Qadâyâ Islâmiyyah Hâirah
Tubhatsu „an Hulȗl, cet. II. Dâr al-Nasyr Hâtiyaih. Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014. Hakim, Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, cet. I. Depok: Lingkar Studi Al-Qur‟an, 2013.
al-Hamdi, Muẖammad bin Ibrahîm. Min Akhtâ` al-Azwâj. Riyâd: Dâr Ibn
Khuzaimah, 1419 H. Hasan al-Asyqar, Ibrahîm. Da‟ȗnî wa Rabbî: al-Ayyâm al-Akhîrah fî
Hayât al-Syaikh. Kairo: Dâr al-Raudah, t.th. Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. V. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006. Hasyim, Ahmad Umar. al-Imam al-Sya‟râwî Mufassiran wa Dâ‟iyah.
Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1998. Huda, Miftahul. Intraksi Pendidikan: 10 Cara Qur‟an Mendidik Anak .
Malang: UIN-Malang Press, 2008.
80
„Izzah Darwazah, Muhammad. al-Tafsîr al-Hadîts: Tartîb al-Suwar Hasab al-Nuzȗl, juz 4, cet. II. Bairȗt: Dâr al-Ghar al-Islâmî, 2000.
Ibn „Ȃsyȗr, Muhammad al-Tâhir. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr. 21.
Tȗnis: al-Dâr al-Tȗnisiyyah, 1984. Ibn Jabr, Mujâhid. Tafsîr al-Imâm Mujâhid bin Jabr, cet. I. Maînah Nasr:
Dâr al-Fikr al-Islâmî al-Hadîtsiyyah, 1989. Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Ismâ‟îl bin „Umar. Qashâsh al-Qur‟ân. Beirȗt:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2007. Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan, cet. VIII. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2013. Ismatullah, A.M. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Yusuf (Penafsiran
H.M Quraish Shihab atas Surah Yusuf). Kadir, Abdul dkk. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: KENCANA
PRENADA GROUP, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.IV. PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2008. Kasidi. “Tanggungjawab Orangtua Terhadap Pendidikan Anak:
Perspektif al-Qur`ân.” Irfani: Jurnal Pendidikan. vol. 3, No. 1, 2007.
Ma‟rifah, Muẖammad Hadi. Tafsir al-Mufassirȗn Fî Tsaubihi Liqosyîbi,
cet. II. al-Jâmi‟ah al-Raḍawiyyah Li al-„Ulȗm al-Islamiyyah, 1384.
Maraghî, Ahmad Mustafa al-. Tafsîr al-Maraghî, terj. Bahrun Abu Bakar
dkk, cet. I. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989. al-Khâlidî, Salâh. Kisah-Kisah al-Qur‟an: Pelajaran dari Orang-Orang
Dahulu, ter. Setiawan Budi Utoma. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
81
Mi‟roji. “Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut Al-Qur`ân (Sebuah Kajian Tafsir Tematik).” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang
Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, cet. VII. Jakarta: PT. Raja Geafindo Persada, 2012.
Nata, Abuddin dan Fauzan. Pendidikan dalam Perspektif Hadits, cet. I.
Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2016. Palebo, Yanti. “Konsep Pendidikan Anak Menurut Islam.” Irfani: Jurnal
Pendidikan. vol 3. Pasya, Hikmatiar. “Studi Metodologi Tafsir Al-Sya‟râwî.” Studia
Quranika. vol. I (2017). Poerbakawatja, R. Soegarda dan Harahap, H.A.H. ENSIKLOPEDI
PENDIDIKAN, cet. II. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981. Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, cet. 21.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014. Quraish Syihab, Muhammad. Pengantin al-Qur`ân: Kalung Permata Buat
Anak-anakku, cet. IX. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Quraish Syihab, Muhammad. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur`ân. Jakarta: Lentera Hati, 2002. al-Qurthubî. Al-Jâmi‟ li Aẖkâm al-Qur`ân, terj. Fathurrahman Abdul
Hamid dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Ramayulis. Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia, 2015. al-Râzî, Muhammad bin „Umar. Mafâtih al-Ghaib. juz 25. Beirut: Dâr al-
Fikr, 1981.
82
Rofiah, Nur. “Ayah dan Pengasuhan Anak.” Diakses, 06 Februari, 2019, https://www.swararahima.com/04/07/2018/ayah-dan-pengasuhan-anak/
Rofiqoh, Siti Uswatul. ”Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Kisah
Luqman Al-Hakim (Telaah Tafsir Surat Luqman Ayat 12-19).” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005. al-Sajistanî, Abȗ Bakr Muhammad bin „Azîz. Gharîb al-Qur‟ân. T.tp:
Maktabah Muhammad „Ȃlî Sabîh wa Aulâdih,1963. Salam, Mohammad Thohir. “Al-I‟jāz Al-Ghaibi dalam Perspektif Al-
Sya‟rāwî dalam Kisah Tenggelamnya Fir‟aun dan Kekalahan Romawi.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Saputra, Irwan. “Pengaruh Kewibawaan Guru Terhadap Minat Belajar
Siswa Kelas V Di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018.
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Ẓilal al-Qur`ân, terj. As‟ad Yasin dkk, cet. I.
Jakarta: Gema Insani, 2004. Siswayanti, Novita. “Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al-
Qur`ân.”Jurnal Suhuf. vol. 3, no. 1 (2010): 69-81. Sudiarja, A. Pendidikan Dalam Tantangan Zaman, cet. I. Yogyakarta: PT
Kanisius, 2014. al-Sya‟râwî, Muhammad Mutawallî. Tafsîr wa Khawâtir al-Imâm, juz 1.
Mesir: Dâr al-Islâm, 2010. al-Sya‟râwî, Muẖammad Mutawallî. Khawâtir Haula al-Qur`ân. Mesir:
Akhbâr al-Yaum, t.t.
83
al-Sya‟râwî, Muhammad Mutawallî, Menjawab Keraguan Musuh-musuh Islam, ter. Abu Abdillah Almansur, cet. 5. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
al-Sya‟râwî, Muẖammad Mutawallî. Suami Istri Berkarakter Surgawi,
terj. Ibnu Barnawa. Jakarta: Al-Kautsar, 2007. Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizi, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern, cet. I. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam, cet. IX. Bandung:
PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2007. Tatang S. Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2015. Tim Penulis, al-Masȗ‟ah al-Qaumiyyah lis-Syakhshiyyât al-Mishriyyah
al-Bârizah, juz 2, bagian mîm (م) yang diakses dari www.sources.marefa.org pada 23 Januari 2020, pukul 23.17 WIB.
Triwiyanto, Teguh. Pengantar Pendidikan, cet. III. Jakarta: Bumi Aksara,
2017. Ulfah, Emilya. “Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Al-
Qur`ân (Analisis Kandungan Qs. Ibrahim ayat 35-41, Qs.
Luqman ayat 12-19, dan Qs. Ash-Shaffat ayat 100-113).” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017.
Umi, Siti. “Urgensi Kesaksian (al-Shahadah) Perspektif Mutawallî Al-
Sya‟rawi: Analisis Kesaksian dalam Wasiat, Utang-piutang dan Perzinaan.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
www.al-qaradawi.net yang diakses pada 25 Januari 2020, pukul 20.12 www.raialyoum.com (رأي اليوم) yang diakses pada 23 Januari 2020, pukul
14.40 WIB.
84
Yunus, Badruzzaman M. “Tafsir al-Sya‟râwî: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan Ittijâh.” Disertasi., Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
al-Zamakhsyarî, Mahmȗd bin „Umar. al-Kassyâf „an Haqâiq al-Tanzîl wa
„‟Uyȗn al-Aqâwîl fî Wujȗh al-Ta‟wîl. Juz 21. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2009.
Zâyad, Muhammad. al-Râwî Huwa al-Sya‟râwî: Mudzakkarât Imâm al-
Du‟ât, cet. III. Kairo: Dâr al-Syurȗq, 1998. al-Zuhailî, Wahbah. al-Usrah Al-Muslimah Fî al-„Ȃlam al-Mu‟asir, cet.
VI. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2010. Zurinal Z dan Sayuti, Wahdi. Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-
Dasar Pelaksanaan Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Top Related