PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN
TERTUTUP PADA SINERGI BUMN
STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 07/KPPU-I/2013
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariahdan Hukum
Untuk MemenuhiPersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Hukum(SH)
Oleh:
MUHAMMAD AZIZ BADARUDDIN
NIM 113048000017
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017M
ii
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi
iii
RAK
iv
ABSTRAK
Muhammad Aziz Badaruddin, NIM 1113048000017, ―PENGATURAN HUKUM
PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP PADA SINERGI
BUMN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 07/KPPU-I/2013)‖. Di bawah
Bimbingan Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH. Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M, xi + 79 halaman + hal lampiran
Penelitian ini menganalisis putusan KPPU NO. 07/KPPU-I/2013 tentang sinergi
antara PT Angkasa Pura II dengan PT Telekomunikasi Indonesia yang terbukti
melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Dalam putusan KPPU NO. 07/KPPU-
I/2013, PT Angkasa Pura II dengan PT Telekomunikasi Indonesia terbukti melakukan
perjanjian tertutup yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT
Angkasa Pura II mewajibkan pelaku usaha yang menyewa ruang usaha di bandara
Soekarno-Hatta Menggunakan Layanan Epos yang disediakan oleh PT
Telekomunikasi Indonesia. Layanan Epos tersebut ditujukan untuk perhitungan biaya
konsesi terhadap penggunaan ruang usaha di Bandara Soekarno-Hatta. PT Angkasa
Pura II berdalih bahwa kerjasama yang dilakukan dengan Pt Telekomunikasi
Indonesia hanya untuk menjalankan sinergi antar BUMN yang merupakan perintah
Peraturan Menteri Negara BUMN Per-05/MBU/2008 Jo Per-15/MBU/2015 Tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Dengan demikian, perlu
adanya harmonisasi antara Hukum Persaingan Usaha dengan Sinergi Antar BUMN.
Kata Kunci : Perjanjian tertutup, Sinergi BUMN, Persaingan usaha tidak sehat
Pembimbing :Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH
Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
serta anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
―PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN
TERTUTUP PADA SINERGI BUMN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO.
07/KPPU-I/2013)‖. Sholawat serta salam peneliti sampaikan kepada junjungan alam
semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selama penulisan skripsi ini peneliti mendapatkan masukan dari beberapa
pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, saya
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. dan para Wakil Dekan.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.Ketua Program Studi Ilmu Hukum, dan
Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas kesabaran dan
dedikasinya untuk Program Studi Ilmu Hukum.
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH, MH. pembimbing yang telah memberikan
banyak inspirasi, diskusi yang bermanfaat, saran, dan kritik sehingga memberikan
banyak motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tua yang tercinta Dr. Damiri Hasan SH, MH.dan Mutmakhinah,
yang senantiasa memberi limpahan curahan doa, kasih sayang, dan pengorbanan
yang tidak terhingga dan tiada batasnya kepada peneliti. Semoga ini menjadi salah
satu kado persembahan terindah.
vi
5. Keluarga Besar Ilmu Hukum 2013 yang menjadi motivator dan teman
seperjuangan dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak bisa peneliti
sebutkan namanya satu persatu.
6. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN Sianida) di Desa Banyu Wangi,
terimakasih atas kebersamaannya, kekompakan, dan rasa persahabatannya,
semoga langgeng sampai nanti.
7. Maulani Ma’ruf, SH. yang telah berteman sejak awal OPAK hingga Munaqosah.
8. Amalia Suci Annisa, SAgr. yang telah sabar menemani dan membantu peneliti
menyelesaikan skripsi ini, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dan berjasa dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapakdan Ibuserta teman-
teman semua dengan berlipat ganda. Akhir kata peneliti menyadari bahwa skripsi ini
masih belum sempurna, namun demikian peneliti berharap semoga karya ilmiah yang
sederhana ini bermanfaat bagi pengembang ilmu pengetahuan dan semua pihak yang
memerlukan.
Jakarta, 15 Juli 2017
Muhammad Aziz Badaruddin
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A.Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 7
D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 8
E.Kerangka Teori dan Konseptual ............................................................... 9
F.Metode Penelitian ..................................................................................... 15
G.Teknik Penulisan ...................................................................................... 18
H.Sistematika Penelitian ............................................................................. 18
BAB II SEJARAH HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA .... 20
A.Pengertian Hukum Persaingan Usaha ................................................... 20
B.Perkembangan Hukum Persaingan Usaha ............................................ 22
C.Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha ......................................... 23
D.Regulasi Persaingan Usaha di Indonesia .............................................. 25
E.Prinsip-Prinsip Perjanjian dalam Hukum Persaingan Usaha .............. 29
BAB III PERJANJIAN TERTUTUP PADA BADAN USAHA MILIK
NEGARA PT ANGKASA PURA II ....................................................... 36
A.Maksud dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara ................................. 36
B.Bentuk Badan Usaha Milik Negara PT Angkasa Pura II .................... 38
C.Struktur Organ BUMN PT Angkasa Pura II ......................................... 41
viii
D.Tugas dan Wewenang Menteri BUMN ................................................. 44
E.Penyertaan Modal Negara ....................................................................... 45
F.Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang/Jasa..................................... 47
G.Perjanjian Tertutup................................................................................... 49
BAB IV PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP
OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA .................. 51
A.Pengecualian Aturan Hukum Persaingan Usaha .................................. 51
B.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ...................................... 55
C.Posisi Kasus .............................................................................................. 60
D.Penerapan Pasal 15 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 19999 tentang Larangan
aaPraktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait Perjanjian
aaTertutup ...................................................................................................... 63
E.Sinergi BUMN Tanpa Mekanisme Tender ........................................... 68
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 72
A.Kesimpulan ............................................................................................... 72
B.Saran ........................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. ........67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan dinamika dunia bisnis yang
terjadi saat ini. Berjalannya dunia bisnis bersumber dari kegiatan usaha oleh para
pelaku usaha. Kegiatan usaha adalah setiap kegiatan dalam bidang ekonomi, yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba.1
Kondisi tersebut menyebabkan para pelaku usaha melakukan persaingan dengan
lawan usaha dalam suatu pasar demi memperoleh laba atau keuntungan. Dalam
menjalankan kegiatan usaha, pelaku usaha biasanya menggunakan perusahaan
atau perseroan terbatas sebagai kendaraan bisnisnya.
Persaingan usaha antar pelaku usaha merupakan hal yang biasa terjadi
dalam dunia bisnis. Secara sederhana, salah satu persaingan usaha adalah para
pelaku usaha saling bersaing dalam mendapatkan konsumen dan pangsa pasar.
Dalam menguasai pangsa pasar pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang
efisien dengan menerapkan strategi yang tepat, yaitu penetapan harga yang
rendah, penggunaan inovasi dan teknologi yang dapat mengurangi ongkos
produksi. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar.2
Dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi Indonesia, ditemukan fakta bahwa
berlakunya hukum ekonomi pasar. Salah satu hukum ekonomi pasar adalah
bahwa perekonomian akan berjalan baik kalau mengambil untung sebanyak-
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 2
2 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,
2009), h. 2
2
banyaknya, atau untuk menang dalam persaingan dan sebagainya itu dapat
dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan yang adil dan objektif.3
Masalah persaingan usaha merupakan urusan antar pelaku usaha, di mana
negara seharusnya tidak ikut campur. Adanya kompetisi inilah yang mendorong
pelaku usaha untuk saling bersaing dalam menguasai pasar dengan tujuan
memperoleh keuntungan yang maksimal, bahkan tidak menutup kemungkinan
dengan cara-cara yang tidak sehat agar bisa mematikan usaha pesaingnya. Di
sinilah pentingnya peran pemerintah untuk membuat regulasi yang mengatur
persaingan secara sehat. Kebijakan persaingan usaha dibuat dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan melindungi para pelaku usaha bersaing secara sehat dalam
kegiatan bisnis.
Keberadaan perangkat hukum yang dapat mendukung persaingan usaha
yang sehat dan melarang praktek bisnis tidak sehat sangat dibutuhkan. Perangkat
hukum tersebut merupakan sarana pendukung demokrasi ekonomi, yang
memberikan kesempatan pada semua pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam
melakukan kegiatan bisnis dalam mencapai keuntungan yang wajar. Salah satu
perangkat hukum tersebut adalah Undang-Undang Antimonopoli.
Tujuan pembentukan UU Antimonopoli yang termuat dalam Pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah untuk menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha
yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku Usaha
Besar, pelaku Usaha Menengah, dan pelaku Usaha Kecil, mencegah praktik
3 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 15.
3
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha, dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini secara substansi materi di dalamnya
mengatur tentang prinsip-prinsip utama bagi terselenggaranya persaingan sehat,
yakni meliputi perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan penegakan hukum. Selanjutnya, untuk
melakukan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini, maka
sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) dibentuklah KPPU. Pembentukan
KPPU, susunan organisasi, tugas dan fungsinya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Keberadaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memegang peranan penting, karena
menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum anti monopoli. KPPU
mempunyai tugas salah satunya yaitu menyusun pedoman yang berkaitan dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pasal 35), juga mempunyai kewenangan
melakukan pemeriksaan, memutus dan menjatuhkan sanksi terhadap adanya
dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini (Pasal 36).
Di era modern ini, industri transportasi udara menunjukkan perkembangan
yang signifikan. Kondisi tersebut menyebabkan area lahan bandara menjadi pasar
yang strategis dalam melakukan kegiatan usaha. Pengelolaan lahan bandara dan
pemberian konsesi di lahan tersebut merupakan kewenangan negara yang dikelola
oleh BUMN yang merupakan otoritas bandara, yaitu PT Angkasa Pura.
Pengelolaan bandara merupakan masalah viral pada sistem transportasi di
Indonesia. Negara Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan jarak tempuh
4
yang jauh membuat eksistensi transportasi udara sangat penting dalam
menghubungkan dan mempersingkat waktu tempuh transportasi. Menurut Pasal 1
ayat (1) PP No 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan, Bandar Udara adalah
lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat
udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat
perpindahan antar moda transportasi.
Bandara merupakan wilayah yang dilintasi banyak orang, sehingga
memungkinkan timbulnya peluang ekonomi. Dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan bandara, pihak otoritas bandara dapat melakukan kerjasama dengan
pihak lain dengan pemberian izin. Konsesi diberikan kepada sektor swasta dengan
persetujuan pemerintah.4 Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara
secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin,
lisensi, disertai pemberian semacam ―wewenang pemerintahan‖ terbatas kepada
konsesionaris.5
Kemajuan teknologi menyebabkan pembaruan dalam pelayanan dan usaha
di bandara. Saat ini, bandara menerapkan sistem electronic-point of sales (EPOS)
untuk mempermudah konsumen. Layanan EPOS adalah salah satu sistem untuk
mengetahui pemasukan dari tenan yang ada di Bandara Soetta. Berdasarkan
perjanjian kerja sama antara Angkasa Pura II dan tenan yang membuka usaha di
bandara, Angkasa Pura II berhak mendapatkan persenan dari keuntungan yang
4 Soetrisno P. H., Kapita selekta ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h. 100
5 Sri Pudyatmoko, Perizinan : Problem Dan Upaya Pembenahan (Jakarta: Gramedia, 2009),
h. 9
5
diperoleh tenant. Sistem ini dimaksud untuk memastikan total royalti yang akan
diterima Angkasa Pura II.6
Pada penerapannya, PT Angkasa Pura II melakukan sinergi dengan PT
Telkom Indonesia yang merupakan BUMN penyedia layanan telekomunikasi. Hal
tersebut merupakan bentuk dari sinergi antar BUMN sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri BUMN no 5/MBU/2008 sebagaimana diperbaharui dengan
Peraturan BUMN nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa di
BUMN. Sinergi tersebut ditujukan dalam rangka peningkatan efisiensi BUMN
tersebut. Pelaksanaan sinergi itu dilakukan dengan cara penunjukan langsung
tanpa proses tender dalam pengadaan sistem EPOS.
Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa terdapat persaingan usaha tidak sehat
dalam penggunaan EPOS ini. Para penyewa ruang usaha di bandara diharuskan
menggunakan layanan EPOS dengan provider Telkom Indonesia yang mengikat.
Indikasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran Undang-
Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Kasus ini telah diperiksa dan diputus oleh KPPU pada Perkara Nomor
07/KPPU- I/2013. Pada kasus ini diduga terlapor melanggar tiga Pasal Undang-
Undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Pasal-Pasal tersebut, yaitu Pasal 15 tentang perjanjian
tertutup, Pasal 17 tentang kegiatan monopoli, dan Pasal 19 tentang penguasaan
pasar. Namun, pada pembuktian di persidangan KPPU hanya terbukti melakukan
perjanjian tertutup yang dimuat pada Pasal 15 Undang-Undang No 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6 Hukumonline. KPPU Selidiki Dugaan Monopoli e-Pos di Bandara Soetta
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt523a5e2adb1be/kppu-selidiki-dugaan-monopoli-ie-pos-i-
di-bandara-soetta diakses pada 11 november 2016
6
Berdasarkan putusan tersebut timbul masalah, dari beberapa Pasal yang
disangkakan hanya terbukti satu pelanggaran tentang perjanjian tertutup. Dari
uraian tersebut, menunjukkan bahwa adanya masalah yang mempunyai urgensi
untuk dijadikan tema penelitian. Oleh karena itu, peneliti tertarik menjadikan
permasalahan ini sebagai tema skripsi yang berjudul, ―Pengaturan Hukum
Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup pada Sinergi Bumn. Studi
Putusan KPPU No.07/KPPU-I/2013”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan pada latar belakang,
terdapat beberapa masalah yang bermunculan. Dengan demikian, peneliti
harus memfokuskan masalah penelitian. Di samping itu, cakupan materi yang
dimuat dalam Undang-Undang No 5 tahun 1999 juga perlu dibatasi. Oleh
karena itu, pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada pembahasan sinergi
antar BUMN dalam perspektif hukum persaingan usaha.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi kajian peneliti dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian
tertutup pada sinergi BUMN?
b. Bagaimana indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha dianggap
melakukan perjanjian tertutup sehingga melanggar ketentuan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum persaingan usaha terhadap
perjanjian tertutup pada sinergi BUMN.
b. Untuk mengetahui indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha
dianggap melakukan perjanjian tertutup sehingga melanggar ketentuan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, peneliti juga berharap ada
manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang
diharapkan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin
memperkaya dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang
hukum sehingga dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam
pengembangan dalam Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan
Usaha pada khususnya
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan
kepada masyarakat perihal perjanjian tertutup sebagai salah satu
perilaku yang dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang
tidak sehat.
8
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat
beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Skripsi berjudul
―Penyelengaraan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ditinjau Dari
Hukum Persaingan Usaha (Studi UU No 5 Tahun 1999)‖, Penulis Ade Putra
Indrawan, tahun 2015, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menjadi pembeda dari penelitian ini, yaitu lebih
memfokuskan pembahasan tentang penyalahgunaan monopoli oleh BPJS dan
penegakkan hukum oleh KPPU. Selain itu, peneliti juga membahas bentuk
harmonisasi peraturan penyelenggaraan BPJS terkait hak monopoli dengan
prinsip-prinsip persaingan usaha sehat
Setelah itu terdapat skripsi berjudul ―Penerapan Syarat-Syarat
Perdagangan (Trading Terms) oleh PT. Carrefour Indonesia Pasca Akuisisi PT.
Alfa Retalindo (Analisis Putusan Ma Nomor: 502 K/Pdt.Sus/2010)‖, Peneliti
Muhammad Aryadillah, tahun 2015, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menjadi perbedaan pada
penelitian ini adalah lebih menitik beratkan pada pembahasan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat dalam pelaksanaan syarat perjanjian oleh
PT. Carrefour. Penelitian ini lebih membahas pada kegiatan syarat perjanjian yang
menimbulkan praktek monopoli.
Peneliti juga menemukan jurnal yang berjudul ―Azas Kebebasan
Berkontrak Menurut KUH Perdata dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat‖ karya Sudiyono, SH, M.Hum, yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah
Fenomena pada tahun 2012. Jurnal tersebut membandingkan antara Azas
kebebasan berkontrak dengan perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
9
Selanjutnya, peneliti menemukan buku yang berjudul ―Hukum Perjanjian
yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha‖ yang ditulis oleh Galuh
Puspaningrum SH, MH. yang diterbitkan oleh Aswaja Pressindo pada tahun 2015.
Buku tersebut membahas secara umum macam-macam perjanjian yang dilarang
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebagai pembeda dan pembanding, peneliti akan memfokuskan penelitian
pada indikator, pendekatan dan pembuktian yang harus dipenuhi agar pelaku
usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup. Selain itu, peneliti juga membahas
pertimbangan hakim dalam memutus perkara perjanjian tertutup.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Ikatan dalam Hukum Persaingan Usaha
Teori Ikatan dalam Hukum persaingan Usaha, yaitu perjanjian
dalam hukum antimonopoli adalah ikatan. Yang menjadi pertanyaan
adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini dibagi dua, yaitu;
Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika perjanjian yang
dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Mengingat Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang menghambat
persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan.7
Selain ikatan hukum, Pasal 1 angka 7 UU Nomor 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. juga
mencakup ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu
perjanjian jika ada standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan
7 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 86
10
karena persyaratan hukum, tetapi dalam rangka mencegah kerugian
ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga di bawah harga
pasar.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus ―ikut
arus‖ dengan ―permainan‖ yang telah disepakati jika tidak maka ia akan
mengalami kerugian atau ―tergilas.‖ Yang biasa terjadi adalah saling
memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum
persaingan usaha ada yang disebut dengan ―Express agreement‖
(perjanjian yang tegas dan nyata) dan ―tacit agreement‖ (perjanjian secara
diam-diam). Contoh express agreement adalah jika terdapat dan
pengakuan telah terjadi kesepakatan antar pelaku usaha, baik secara
tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku seorang atau
sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain ―ikut‖ dengan
caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.8
b. Doktrin Tindakan Negara (State Action Doctrine)
Khusus mengenai pemberian status pengecualian yang berkaitan
dengan negara dalam Hukum Persaingan dikenal adanya ―State Action
Doctrine‖ dimana perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah (atau yang diberikan kewenangan) dari atau mewakili
pemerintah akan dikecualikan dari ketentuan undang-undang hukum
persaingan. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat ini berasal dari
putusan MA AS dalam kasus Parker vs. Brown tahun 1943 sebagai respon
terhadap upaya untuk memberlakukan aturan hukum persaingan terhadap
usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang sebelumnya
tidak terbayangkan ketika Amerika Serikat mengundangkan Sherman Act
8 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 87-88.
11
1890 .295 MA Amerika Serikat berpendapat bahwa doktrin ini sesuai
dengan keinginan Kongres bahwa tujuan undang-undang Hukum
Persaingan adalah untuk memproteksi persaingan tetapi dengan tidak
membatasi kewenangan Negara. Berdasarkan pemahaman inilah maka
terdapat beberapa kegiatan yang dikecualikan dari pengaturan undang-
undang hukum persaingan. Sejak saat itu ruang lingkup doktrin ini
diperluas dengan pertimbangan tujuan dari peraturan perundang-undangan
yang dimaksud apakah sudah dan memang sesuai dengan maksud dari
peraturan tersebut. Doktrin ini kemudian diperluas lagi dengan
mengijinkan pemberian status pengecualian yang lebih luas kepada badan
badan usaha yang dibentuk pemerintah yang bahkan bukan sepenuhnya
merupakan badan yang dibentuk pemerintah. 9
Doktrin ini terbukti banyak memberikan keuntungan kepada
pemerintah sepanjang status ini dipergunakan sesuai dengan tujuannya
terutama dari pendekatan efisiensi pada level nasional. Sejak itu melalui
berbagai putusan pengadilan di Amerika menetapkan beberapa kriteria
untuk menentukan siapa sajakah yang dapat dikecualikan menurut doktrin
ini yaitu:10
1. pihak yang melakukannya adalah Negara (state) itu sendiri;
2. pihak yang mewakili Negara atau institusi;
3. pihak ketiga atau swasta atau privat yang ditunjuk dan diberikan
kewenangan oleh Negara.
9 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 221.
10 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 222.
12
2. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep
terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian
ini, yaitu:
a. Asas Hukum Persaingan Usaha
Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan
norma-norma yang dikandung dalam suatu aturan. Selanjutnya
pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi
arahan dan mempengaruhi pelaksanaan serta cara-cara penegakan hukum
yang akan dilakukan.11
Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2
bahwa: ―Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum‖. Asas demokrasi
ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang
lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat
ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.12
b. Badan Usaha Milik Negara
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003, Badan
Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung
yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.13
11
Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.
12 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,
2009), h. 15.
13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 170.
13
c. Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1999, Pelaku usaha
adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
d. Perjanjian
Sebagaimana dalam Pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata: ―Suatu Perjanjian adalah perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih‖.
Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa
hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.14
e. Perjanjian Tertutup (Tying agreement)
Perjanjian tertutup (Tying agreement) terjadi apabila suatu
perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang
berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun
penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli
atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.15
Terdapat beberapa tujuan dari tying agreement. Pertama untuk
mempersulit masuk kepasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan
14
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak (Jakarta; Rajawali Press, 2010), h.
2.
15 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 120.
14
dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa.
Terakhir adalah untuk menjaga kualitas barang.16
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
menyatakan bahwa: ―pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain
dari pelaku usaha pemasok.‖ Dari Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu
perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.17
Melihat rumusan Pasal di atas, maka kita ketahui bahwa Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat bersikap cukup keras terhadap praktek
tying agreement , hal itu dapat dilihat dari perumusan Pasal yang mengatur
mengenai tying agreement dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus melihat akibat dari
praktek tersebut muncul, Pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan
kepada pelaku usaha yang melanggarnya.18
16
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 121
17 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 121
18 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 122
15
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.19
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di
masyarakat atau yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.20
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang
ada pada skripsi ini tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan
perundang-undangan pasti digunakan dalam skripsi ini. Selain itu,
pendekatan perundang-undangan juga digunakan sebagai arahan untuk
menghindari kekeliruan dalam pengambilan konklusi. Selain pendekatan
perundang-undangan, peneliti juga menggunakan pendekatan konsep
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986), h. 42.
20 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
16
(conceptual approach), yang digunakan untuk memahami konsep-konsep
penting yang akan dibahas dalam penelitian ini.21
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang
artinya data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder
antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berbentuk laporan, buku harian, dan lain-lain.22
Data sekunder ini meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Selain
peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum
primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom
Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perjanjian Tertutup dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam
bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan
21
Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
175.
22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ke-3, h. 12
17
merupakan dokumen-dokumen resmi23
, misalnya dapat berupa hasil
karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, majalah, surat kabar,
dan sebagainya.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan non-hukum adalah bahan di luar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat
berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data yaitu teknik kepustakaan. Penelitian ini adalah penelitian dengan
mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa,
peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya
ilmiah, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan
judul skripsi ini.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis
secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara
pengolahan sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi, sedangkan metode induktif dilakukan
dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h. 141.
18
dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan.24
Selanjutnya sumber data yang telah diolah
lalu dianalisis dan dikaji untuk mengetahui bagaimana pendekatan
Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan Perjanjian Tertutup.
G. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku ―Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum‖ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
H. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang
berjudul ―Pengaturan Hukum Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup pada
Sinergi Bumn. Studi Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013‖. Dirasa perlu untuk
menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat
skripsi, yaitu sebagai berikut:
BAB I Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang,
Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II Pada bab ini merupakan tinjauan umum perjanjian yang dilarang dalam
hukum persaingan usaha
BAB III Pada bab ini membahas mengenai aspek hukum sinergi antar BUMN
BAB IV Pada bab ini merupakan Penyelesaian Persaingan Usaha oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
24
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), h. 393
19
BAB V Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi kesimpulan
dan saran.
20
BAB II
SEJARAH HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Secara umum dapat dikatakan bahwa Hukum persaingan usaha adalah
hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar,
sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif
ekonomi. Oleh karena itu, untuk memahami apa dan bagaimana hukum
persaingan usaha berjalan dan dapat mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan
pemahaman mengenai konsep dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas
munculnya perilaku-perilaku perusahaan di pasar.1
Hukum persaingan usaha merupakan prasyarat ekonomi pasar bebas yang
memberikan empat keuntungan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Yaitu,
terciptanya harga yang kompetitif, peningkatan kualitas hidup oleh karena inovasi
yang terus-menerus, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat, serta
adanya efisiensi baik efisiensi produktif maupun alokatif. Namun demikian,
keuntungan tersebut dapat kita nikmati hanya jika terdapat faktor-faktor penentu,
yaitu; stabilitas dan prediktabilitas hukum, keadilan, pendidikan, dan kemampuan
aparat penegak hukum.2
Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul ―Hukum
Persaingan Usaha‖ yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition
law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan
itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek
―persaingan‖, hukum persaingan juga menjadi perhatian dari hukum persaingan
1 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h. 21
2 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana, Cet.
II, 2009), h. 2.
21
yang mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi sarana untuk
mendapatkan monopoli.3
Dalam Kamus Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christoper Pass dan
Bryan Lowes, yang dimaksud dengan Competition Law (hukum persaingan)
adalah bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli,
penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan
praktik anti persaingan.4
Beberapa negara mengenal hukum persaingan dengan sebutan Antitrust
Law (hukum persaingan usaha) seperti di Amerika Serikat atau Antimonopoly
Law seperti di Jepang, atau Restrictive Trade Practices Law seperti di Australia.
Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah Hukum Persaingan atau
Hukum Antimonopoli. Terlepas dari penyebutan yang sangat bervariasi, secara
umum tujuan pokok dari hukum persaingan (hukum persaingan usaha) adalah (a)
menjaga agar persaingan antar pelaku usaha tetap hidup, (b) agar persaingan yang
dilakukan antar-pelaku usaha dilakukan secara sehat, dan (c) agar konsumen tidak
dieksploitasi oleh pelaku usaha. Tiga tujuan umum ini sebenarnya dalam rangka
mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu negara. Tanpa adanya
hukum persaingan dalam sistem ekonomi pasar tidak akan dapat dihindarkan
praktek monopoli, oligopoly, penetapan harga, dan lain sebagainya.5
3 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 24.
4Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana Cet.
II, 2009), h. 3.
5 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta:Lentera Hati, Cet.
I, 2002), h. 53.
22
B. Perkembangan Hukum Persaingan Usaha
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Indonesia tidak
memiliki hukum persaingan yang komprehensif. Pengaturan tentang persaingan
terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan seperti Pasal 382bis KUHP
yang menerangkan tentang persaingan usaha yang dilakukan secara curang dan
tidak jujur dan berkaitan dengan perbuatan penipuan, kemudian Pasal 1365
KUHPerdata menjelaskan segala perbuatan yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang
diderita orang atau pelaku usaha tersebut.6
Antitrust Law (Hukum Persaingan Usaha) sering dianggap inheren ada di
sebuah negara yang menganut sistem ekonomi pasar. Eksistensi Hukum
Persaingan Usaha, sejak berlakunya Sherman Act di Amerika Serikat yang
merupakan bentuk formal pertama dari penegakan Hukum Persaingan Usaha,
telah melahirkan pro dan kontra. Golongan yang pro tentu menilai penting
Hukum Persaingan Usaha agar pasar tetap kompetitif dan konsumen terlindungi
dari pelaku-pelaku usaha yang bertindak kasar (abusive). Sedangkan golongan
yang kontra seringkali menganggap Hukum Persaingan Usaha justru melanggar
prinsip-prinsip dari ekonomi liberal dan cermin intervensi berlebihan negara
terhadap pasar.7
Dalam headlines KPPU, Pada rangkaian CPLG Meeting hari kedua yang
berlangsung pada tanggal 4 Februari 2013, terdapat presentasi dari Delegasi
Ekonomi APEC yang hadir dalam pembahasan agenda berupa Laporan Ekonomi
dan Presentasi dalam Update dan Perkembangan Kebijakan Persaingan. Ekonomi
6Udin Silalahi: Monopoli dan Perbuatan Curang. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8378/monopoli-dan-perbuatan-curang.
7Persaingan Usaha dan Peran Negara. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs :
http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/67-persaingan-usaha-dan-perannegara
23
APEC yang turut memberi presentasinya adalah Australia, Brunei Darussalam,
Chile, China, Indonesia, Jepang, Malaysia, Rusia, Chinesse Taipei, Thailand, dan
USA. Dalam presentasi ini, Delegasi Ekonomi APEC memberi pemaparan terkait
Pengenalan terhadap Hukum Persaingan dan Perubahan terhadap Kebijakan dan
Hukum Persaingan, serta Penegakan Kebijakan dan Hukum Persaingan yang
Disertai Kasus-kasus Terkait.8
C. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan
norma-norma yang dikandung dalam suatu aturan. Selanjutnya pemahaman
terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan
mempengaruhi pelaksanaan serta cara-cara penegakan hukum yang akan
dilakukan.9
Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa:
―Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum‖. Asas demokrasi ekonomi tersebut
merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian
demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan
atas Pasal 33 UUD 1945.10
Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal
3 adalah untuk :
8Perkembangan Hukum Persaingan di Indonesia. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs:
http://www.kppu.go.id/id/2013/02/perkembangan-hukumpersaingan-di-indonesia/
9 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.
10 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,
2009), h. 15.
24
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha
kecil;
3. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
4. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.11
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy
objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang
memiliki Undang-Undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest)
dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut
(Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diUndangkannya UU No. 5
Tahun 1999.
Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama
UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang
bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem
perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian
pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5
Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan
nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada
sistem persaingan bebas dan adil dalam Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun
1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada
11
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 76.
25
setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya
penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.12
D. Regulasi Persaingan Usaha di Indonesia
Regulasi atau pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999
saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi
total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan
kegiatan monopoli di segala sektor.
Undang-Undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk
menetapkan persaingan usaha yang sehat. Undang-Undang ini memberikan
jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan
ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai
implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.13
Secara substansi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur 3 (tiga)
larangan pokok, yaitu; (1) perjanjian yang dilarang, (2) kegiatan yang dilarang,
dan (3) larangan yang berkaitan dengan posisi dominan.14
12
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ,
2009), h. 15.
13Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Cet. II, 2004), h. 78.
14Hikmahanto Juwana, Hukum ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: Lentera Hati, Cet.
I, 2002), h. 62
26
1. Perjanjian Yang Dilarang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Perjanjian
adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis. Adapun perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut.
a. oligopoli (Pasal 4)
b. Penetapan harga (price fixing)
1) Penetapan harga (Pasal 5)
2) Diskriminasi harga (Pasal 6)
3) Jual rugi (Pasal 7)
4) Pengaturan harga jual kembali (Pasal 8)
c. Pembagian wilayah / market allocation (Pasal 9)
d. Pemboikotan / boycott (Pasal 10)
e. Kartel / cartel (Pasal 11)
f. Trust (Pasal 12)
g. Oligopsoni (Pasal 13)
h. Perjanjian tertutup
1) Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1))
2) Tying agreement (Pasal 15 ayat (2))
3) Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3))
i. Perjanjian dengan pihak luar negeri15
2. Kegiatan Yang Dilarang
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kegiatan yang dilarang
untuk dilakukan oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut:
15
Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 45.
27
a. Monopoli (Pasal 17)
b. Monopsoni (Pasal 18)
c. Penguasaan pasar (Pasal 19, 20, 21)
d. Persekongkolan (Pasal 22, 23, 24)16
Perbedaan antara kegiatan yang dilarang dengan perjanjian yang dilarang
terletak pada jumlah pelaku usaha. Dalam perjanjian yang dilarang paling tidak
harus ada dua pelaku usaha karena suatu perjanjian menghendaki paling tidak dua
subjek hukum. Sementara dalam kegiatan yang dilarang, tidak tertutup untuk
dilakukan oleh satu pelaku.
Terhadap kegiatan yang dilarang diberi pengecualian, yaitu apabila
kegiatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil
atau kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.17
3. Posisi Dominan
Larangan berikutnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 adalah larangan yang berkaitan dengan posisi dominan. Secara esensial
pengertian posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti, atau pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi
dibandingkan dengan pesaingnya dalam hal kemampuan keuangan, kemampuan
akses pada pemasok atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.18
16
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: lentra Hati, Cet.
II, 2002), h. 60
17 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. (Jakarta: lentra Hati, Cet.
II, 2002), h. 60-62.
18 Pasal 1 Angka (4), Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. No.5, LN No. 33 Tahun 1999.
28
Menurut Undang-Undang Antimonopoli (UU No.5/1999) ada tiga bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang lazim sebagai berikut:19
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan
atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas.
b. Membatasi pasar dan atau teknologi.
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjad pesaing untuk
memasuki pasar yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa
posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha dikategorikan dalam 4 (empat)
bentuk sebagai berikut:
a. Batasan posisi dominan (Pasal 25)
b. Jabatan rangkap (Pasal 26)
c. Pemilikan saham (Pasal 27) d. Penggabungan, peleburan, dan pengambil
alihan (Pasal 28 dan 29).20
Adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha tetap dapat
menjalankan usahanya walaupun tidak diperbolehkan melanggar Undang-Undang
tersebut. Jadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persainga Usaha Tidak Sehat ini bukan untuk mematikan
perusahaan-perusahaan besar, tapi justru mendorong perusahaan besar, asalkan
19
Suhasril, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 143.
20 Suhasril, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 144
29
berjuang dengan kemampuannya sendri dan tidak melakukan praktik persaingan
usaha yang tidak sehat.21
Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 berdasar ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999, yang merumuskan: ―pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum,‖
sebenarnya adalah demokrasi ekonomi.22
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan
yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana
setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat.23
E. Prinsip-Prinsip Perjanjian dalam Hukum Persaingan Usaha
Definisi prinsip dalam Kamus Bahasa Indonesia, Prinsip adalah asas,
kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Pada
dasarnya prinsip juga dimaknai sebagai asas. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberi arti untuk kata ―asas‖ sebagai (1) n akar, alas, basis, dasar, fondasi,
fundamen, hakikat, hukum, landasan, lunas, pangkal, pegangan, pilar, pokok,
prinsip, rukun, sandaran, sendi, teras, tiang tonggak; (2) n hukum, kaidah, kode
21
Tarita Kooswanto, dkk. Keadaan Pasar Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.( Jurnal Private Law,
Volume 2, No. 1, Tahun 2013), h. 62
22 Rahadi Wasi Bintoro, Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern, (Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 10, No. 3, Tahun 2010), h. 365
23 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 80.
30
etik, norma, patokan, pedoman, \pijakan, tata cara. Sedangkan kata ―prinsip‖
dimaknai sebagai (1) n asas, Dasar, etika, hakikat, pokok, rukun, sendi; (2)
filsafat, kepercayaan, keyakinan, kredo, mandu, opini, paham, pandangan,
pendapat, pendirian, sikap; (3) ajaran, dictum, dogma, doktrin, etik, hukum,
kaidah, patokan, pedoman, pijakan.24
Asas-asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif
dan yang oleh ilmu hukum tidak diperasalkan dari aturan-aturan yang lebih
umum. Asas-asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum
yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk
yang berlaku (HJ. Hommes). Sejalan dengan itu, Prof. Sudikno juga menyatakan
bahwa asas-asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkret, melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum/abstrak.25
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip dan asas
dikatakan memiliki persamaan makna, keduanya dimaknai sebagai dasar dari
suatu hal tertentu yang bersifat abstrak. Terkait dengan prinsip-prinsip perjanjian
dalam hubungan hukum antar pelaku usaha meskipun sebagai suatu yang abstrak
karena sebagai prinsip atau asas maka sudah seharusnya ditaati dan dipatuhi oleh
semua pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagaimana telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan beberapa
prinsip-prinsip perjanjian, di antaranya:26
24
Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 60.
25Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:
Citra Aditya, 2006), h. 7.
26Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 61.
31
1. Prinsip Kebebasan berkontrak.
Prinsip kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH
Perdata.27
Kebebasan berkontrak ialah kebebasan seluas-luasnya yang oleh
undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian,
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan
dan ketertiban umum.28
Ruang lingkup kebebasan berkontrak meliputi hal-hal
berikut.
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuat.
d. Kebebasan untuk menentukan obyek penjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan n untuk menerima atau menyimpangi ketentuan-ketentuan
yang bersifat opsional.29
Prinsip kebebasan berkontrak memberikan pilihan bebas pada
seseorang untuk mengadakan perjanjian. Tetapi Pasal 1320 KUH Perdata
tentang syarat sahnya perjanjian yang membatasi asas kebebasan berkontrak
ini, yaitu mengenai kesepakatan, kecakapan para pihak dan obyek
perjanjian.30
27
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), Cet. 31, h. 84.
28 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h.61.
29Yunirman Rijan & Ira Koesoemawati, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta:
Raih Asa Sukses, 2009), h. 7.
30 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h.61.
32
2. Prinsip Konsensualisme
Perjanjian dapat lahir, terjadi, timbul, dan berlaku sejak saat
tercapainya kata sepakat diantara para pihak tanpa perlu adanya formalitas
tertentu. Asas ini disimpulkan dari kata "perjanjian yang dibuat secara sah‖
dalam Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata.31
Dengan
adanya kata sepakat (consensus). maka mengikat para pihak. Konsensualisme,
selain merupakan sifat hukum perikatan juga merupakan asas hukum
perianjian/kontrak. Kata sepakat/persesuaian kehendak harus dinyatakan
dalam bentuk tertulisllisan/tanda-tanda yang dapat diterjemahkan.32
Eigens, menyatakan bahwa sepakat berarti meng- ikat. Jika sudah
mengikat, hal itu merupakan tuntutan kepercayaan, yang apabila orang sudah
dipercaya, ia diangkat manabatnya sebagai manusia. Subekti, menyatakan jika
seseorang ingin dihargai manabatnya sebagai manusia, kata-katanya harus
dapat dipegang/dipercaya. Hal ini selain merupakan tuntutan kesusilaan juga
merupakan tuntutan kepastian hukum.33
Dengan demikian, asas konsensualismc lazim disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; cakap
31
Much. Nurachmad, Memahami & Membuat Perjanjian, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2010), h. 15.
32 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:
Citra Aditya, 2006), h. 8.
33 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, h. 8.
33
untuk membuat suatu perjanjian; mengenai suatu hal tertentu; suatu sebab
yang halal.34
3. Prinsip Pacta Sunt Servanda
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa
"Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya".35
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa Latin
yang berarti ―janji harus ditepati‖, prinsip ini merupakan prinsip dasar sistem
hukum civil law dan hukum internasional. Pada umumnya, prinsip ini
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan di antara para
individu, dengan menekankan bahwa perjanjian merupakan undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya dan menyiratkan bahwa pengingkaran
terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar
janji atau wanprestasi.36
Pengertian dari kalimat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan
menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat
undang-undang. Para pihak yang mengadakan perjanjian dapat secara mandiri
mengatur pola hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Kekuatan
perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku seperti undang-undang yang
harus ditaati oleh para pihak. Di samping itu asas ini disebut dengan asas
kepastian hukum.37
34
Elsi Kartika Sari & Advendi Simanungson, Hukum dalam Ekonomi, Edisi 2 Revisi, (Jakarta:
Grasindo, 2008), h. 31.
35Iswi Hariyani ,Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara cerdas
mengembangkan & memajukan perusahaan (Jakarta: Visimedia, 2011), h. 48.
36. Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 61.
37 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 62.
34
Kepastian hukum juga diberikan kepada kontrak jika terjadi sengketa
dalam pelaksanaannya. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi (ingkar
janji), hakim dengan putusannya dapat memaksa agar pihak yang melakukan
wanprestasi itu untuk melaksanakan kewajibannya. Dengan putusannya,
hakim bahkan dapat memerintahkan pihak yang ingkar janji itu untuk
membayar ganti rugi. Putusan hakim tersebut merupakan jaminan, bahwa hak
dan kewajiban para pihak dalam kontrak dilindungi oleh hukum.38
Karena asas ini disebut juga asas kepastian hukum, maka agar para
pihak mendapatkan kepastian hukum dalam perjanjian/kontrak tersebut,
pihak-pihaknya hams seimbang kedudukannya. yang apabila tidak se- imbang,
perjanjian/kontrak dapat dibatalkan. Woeker Ordonantie, menetapkan bahwa
dalam suatu perjanjian apabila antara para pihak terdapat ketidakseimbangan
yang sedemikian rupa sehingga melampaui batas kelayakan, undang-undang
memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan. baik atas
pemintaan pihak yang dirugikan maupun oleh hakim karena jabatannya.
kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak yang dirugikan telah menginsyafi akibat
yang timbul atau ia tidak bertindak bodoh.39
4. Prinsip Itikad Baik
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik (regoeder trouw).40
Prinsip itikad baik
merupakan asas bahwa para pihak yaitu kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi dari perjanjian berdasarkan kepercayaan atau
38
Dadang Sukandar, Panduan Membuat Kontrak Bsinis, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2017),
h. 31.
39 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua, (Bandung:
Citra Aditya, 2006), h. 12.
40Frans Satrio Wicaksana, Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak,
(Jakarta:Transmedia Pustaka, 2008), h. 5.
35
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Para pihak tidak
hanya terikat oleh ketentuan yang ada dalam perjanjian dan undang-undang,
tetapi juga terikat oleh itikad baik pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Itikad
baik berarti bahwa kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain
berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tanpa
tipu muslihat, tanpa akal-akalan dan tidak hanya melihat kepentingan diri
sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain.41
Prinsip-prinsip perjanjian dalam hubungan hukum bagi pelaku usaha
menjadi dasar fundamental yang harus ditaati sebagai etika bisnis,
pengendalian diri dan pengembangan tanggung jawab sosial dalam rangka
menciptakan persaingan usaha yang sehat yang kemudian diimplementasikan
pada hubungan hukum antar pelaku usaha dan konsumen. Makna dari
prinsip—prinsip perjanjian yang berlaku bagi subjek hukum yang telah
memenuhi syarat sahnya perjanjian yakni yang pertama prinsip kebebasan
berkontrak, prinsip ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi
subjek hukum untuk mengadakan perjanjian atau kontrak dengan menentukan
isi, bentuk dan mum perjanjian serta menentukan pilihan dengan subjek
hukum lainnya yang akan dilibatkan langsung dalam perjanjian.42
41
Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: AswajaPressindo, 2015), h. 63.
42 Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha, h. 63.
36
BAB III
PERJANJIAN TERTUTUP PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA PT
ANGKASA PURA II
A. Maksud dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara
Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dirumuskan dalam Pasal
1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003, berdasarkan ketentuan ini, Badan Usaha
Milik Negara (yang selanjutnya disebut ―BUMN‖) adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan
modal secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.1
BUMN memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi
dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN
dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai
pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan adanya BUMN diharapkan
dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang
berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain
dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk
membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui
perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian
lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra
kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 170.
37
kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi
yang berada di sekitar lokasi BUMN.2
Adapun maksud dan tujuan pendirian BUMN dirumuskan dalam Pasal 2
Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 antara lain:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya.
b. Mengejar keuntungan.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang
banyak.
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha belum dapat dilaksanakan oleh
sektor swasta dan koperasi.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Adapun sumber permodalan BUMN diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.
19 Tahun 2003, penyertaan modal Negara dalam rangka pendirian atau
penyertaan pada BUMN bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara, termasuk APBN yaitu proyek-proyek
pemerintah yang dikelola oleh BUMN atau piutang Negara yang dijadikan
penyertaan modal.
b. Kapitalisasi Cadangan adalah penambahan modal disetor yang berasal dari
cadangan.
c. Sumber lainnya, termasuk dalam kategori ini antara lain keuntungan revaluasi
aset.
2 Nanang Yusroni, Privatisasi Badan Usaha Milik Negara(BUMN) Eksistensi, dan Kinerja
Ekonomi Nasional dalam Sistem Ekonomi Pasar, (Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, Univ
Wahid Hasyim Semarang, April 2007), h.1.
38
B. Bentuk Badan Usaha Milik Negara PT Angkasa Pura II
Memperhatikan sifat usaha BUMN, yaitu untuk memupuk keuntungan dan
melaksanakan kemanfaatan umum, dalam UU No. 19 Tahun 2003, BUMN
disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan
Perusahaan Umum (Perum).
1. Perusahaan Umum (Perum)
Sebelum berbentuk persero, keberadaan Angkasa Pura II berawal dari
Perusahaan Umum dengan nama Perum Pelabuhan Udara Jakarta Cengkareng
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1984, kemudian pada 19 Mei
1986 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1986 berubah menjadi
Perum Angkasa Pura II.3
Pasal 1 Angka 4 UU No. 19 Tahun 2003, mengatakan bahwa:
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.4 Perum dalam menjalankan kegiatannya mengacu
pada maksud serta tujuan antara lain tertuang dalam Pasal 36 UU No 19
Tahun 2003, yaitu:
a. Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas dengan harga yang
3Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II, http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah
diakses pada 31 Juni 2017
4 Zainal Asikin & Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Prenadamedia, 2016), h. 167.
39
terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
yang baik.
b. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
tersebut, dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan
penyertaan modal dalam badan usaha lain.5
Perum merupakan jenis perusahaan negara yang melayani kepentingan
umum sekaligus untuk memupuk keuntungan. Perusahaan ini diutamakan
berusaha di bidang pelayanan kemanfaatan umum, di samping untuk
mendapatkan keuntungan. Pengelolaan perusahaan ini sudah lebih mirip
dengan pengelolaan perusahan biasa, walaupun keberlangsungan perusahaan
masih tergantung pada subsidi pemerintah.6
Perum mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan
bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk kedalam
suatu perjanjian, kontrak-kontrak, dan hubungan-hubungan perusahaan
lainnya, di mana Perum juga dapat dituntut dan menuntut dan hubungan
hukumnya diatur secara hubungan hukum perdata (privaatrechtelijk). Modal
Perum seluruhnya dimiliki oleh negara yaitu berupa kekayaan negara yang
dipisahkan serta dapat mempunyai dan memperoleh dana dari kredit-kredit
dalam dan luar negeri atau obligasi (dari masyarakat).7
Berbeda dengan perseroan terbatas yang seluruh modalnya terbagi atas
saham, namun modal perum tidak terbagi atas saham. Modal Perum tidak
dibagi-bagi atas saham sehingga tidak dimungkinkan kerjasama dengan
perusahaan asing dalam bentuk patungan (joint venture) yang dimungkinkan
5 Pasal 36 Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
6 Gunarto Suhardi, Revitalisasi BUMN, ( Yogyakarta: Univ. Atma Jaya, 2007), h.16.
7 I. G. Ray Widjaja, Hukum Perusahaan, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), h. 102.
40
hanya kerjasama dengan modal asing dalam bentuk bagi hasil (Production
Sharing) dan kontrak karya (Management Contracts).8
2. Perusahaan Perseroan (Persero)
Pada 17 Maret 1992 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun
1992 berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Seiring perjalanan
perusahaan, pada 18 November 2008 sesuai dengan Akta Notaris Silvia Abbas
Sudrajat, SH, SpN Nomor 38 resmi berubah menjadi PT Angkasa Pura II
(Persero).9
Pasal 1 Angka 2 UU No. 19 Tahun 2003, menyatakan bahwa:
―Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang
seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki
oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan.‖10
Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mengingat Persero pada
dasarnya merupakan perseroan terbatas , semua ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas, termasuk pula segala peraturan pelaksanaannya berlaku
juga bagi Persero.11
8 I. G. Ray Widjaja, Hukum Perusahaan, h. 102.
9Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II, http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah
diakses pada 31 Juni 2017
10 Zainal Asikin & Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Prenadamedia, 2016), h. 161.
11 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor: Ghalia,
2010), h. 168.
41
Persero merupakan jenis perusahaan negara yang tidak memiliki
fasilitas negara dimana persero dipimpin oleh suatu direksi yang pegawainya
berstatus sebagai pegawai perusahaan swasta biasa. Maksud dan tujuan
didirikannya Persero adalah:12
a. Menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional atau meningkatkan
nilai Persero
b. Memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan
c. Melaksanakan tugas khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan
umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan persero.
C. Struktur Organ BUMN PT Angkasa Pura II
1. BUMN Persero
Organ BUMN Persero terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Hal yang membedakan adalah
pengelolaan dan pemilihan orang yang tepat untuk ditempatkan sebagai
pejabat di BUMN Persero, termasuk cara melakukan pengawasannya.
Pengawasan pada perusahaan milik negara sering kali hanya formalitas.
Dewan komisaris maupun direksi tidak berusaha dengan sungguh-sungguh
dan tidak komitmen untuk mengurangi kebocoran, karena kebocoran sering
dilakukan atau dengan sepengetahuan direksi maupun dewan komisaris
sendiri.13
Direksi pada BUMN Persero telah digariskan sebagai perangkat yang
melakukan pengurusan, bahkan bertanggung jawab penuh untuk mengurus
12
Gunarto Suhardi, Revitalisasi BUMN, ( Yogyakarta: Univ. Atma Jaya, 2007), h. 18
13 Bonifasius Aji Kuswiratmo, Keuntungan & Risiko menjadi Direktur, Komisaris, dan
Pemegang Saham, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2016), h. 17.
42
BUMN guna kepentingan dan tujuan BUMN Persero. Pengurusan merupakan
perbuatan yang lazim dilakukan sehari-hari dalam hubungannya dengan
tujuan persekutuan, dalam hal ini perseroan. Di samping bertugas melakukan
pengurusan terhadap perseroan. direksi juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan tindakan penguasaan, seperti menjual atau menjaminkan aset dan
lainnya. Namun, karena pada BUMN Persero kepemilikan tunggal atau
sebagian besar atas saham berada di tangan negara, direksi tidak bebas
memutuskan sendiri dan wajib meminta persetujuan RUPS dalam hal
mengalihkan dan menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian aset
BUMN Persero.14
Seperti halnya dewan komisaris pada PT, dewan komisaris pada
BUMN juga bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan direksi dan
memberikan nasihat dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas direksi.
Bahkan, pada saat melaksanakan rencana jangka panjang dan rencana kerja
serta anggaran perusahaan, dewan komisaris juga wajib mengawasi dan
memberikan nasihat kepada direksi. Anggaran dasar BUMN Persero dapat
menetapkan bahwa dewan komisaris dapat memberikan persetujuan atau
bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.15
Sementara itu, kedudukan, tugas, dan kewenangan pemegang saham
dan RUPS BUMN Persero berada di tangan Menteri BUMN, tetapi tidak
meliputi penatausahaan setiap penyertaan modal beserta perubahannya.
Seperti diketahui, negara dapat menjadi pemegang saham tunggal atau
pemegang saham mayoritas dalam BUMN Persero. Dengan demikian,
kedudukan negara akan menjadi RUPS jika negara menjadi pemegang saham
14
Bonifasius Aji Kuswiratmo, h. 18.
15 Bonifasius Aji Kuswiratmo,h. 18
43
tunggal dan negara akan tetap menjadi pemegang saham mayoritas terhadap
pemegang-pemegang saham lainnya.16
2. BUMN Perum
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UU BUMN, Organ Perum terdiri dari
Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas. Menteri memberikan persetujuan atas
kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi.
Kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi kepada
Menteri setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. Kebijakan
tersebut ditetapkan sesuai dengan maksud dan tujuan Perum yang
bersangkutan.17
Menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal Perum
menetapkan kebijakan pengembangan Perum yang bertujuan menetapkan arah
dalam mencapai tujuan perusahaan, baik menyangkut kebijakan investasi,
pembiayaan usaha, sumber pembiayaannya, pengguna hasil usaha perusahaan,
maupun kebijakan pengembangan lain. Mengingat Dewan Pengawas akan
mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, usulan Direksi kepada menteri
harus didahului dengan persetujuan dari Dewan Pengawas.18
Pasal 39 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan Menteri
tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat
Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai
kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila
Menteri:
16
Bonifasius Aji Kuswiratmo,h. 18
17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 191.
18 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, h.192.
44
a. Baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan
Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi;
b. Terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c. Baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan
kekayaan Perum.
D. Tugas dan Wewenang Menteri BUMN
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2003, kedudukan,
tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan di bidang pembinaan dan pengawasan
BUMN sebagian dilimpahkan kepada Menteri BUMN. kedudukan, tugas, dan
kewenangan Menteri Keuangan yang dilimpahkan kepada Menteri BUMN adalah
yang mewakili pemerintah selaku:19
a. pemegang saham atau RUPS sebagaimana diatur dalam PP Nomor 12 Tahun
I998 tentang perusahaan perseroan (persero) sebagaimana telah diubah dengan
PP Nomor 4S Tahun 2001, dan pemegang saham perseroan terbatas yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia;
b. wakil pemerintah pada perusahaan umum (perum) sebagaimana diatur dalam
PP Nomor l3 Tahun 1998 tentang perusahaan umum (perum); dan
c. pembina keuangan pada perusahaan jawatan (perjan) sebagaimana diatur
dalam PP Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan)
Pelimpahan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan kepada
Menteri BUMN tidak meliputi hal-hal sebagai berikut.20
19
Iswi Hariyani dkk, Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara cerdas
mengembangkan & memajukan perusahaan (Jakarta: Visimedia, 2011), h. 321.
20 Iswi Hariyani dkk., h. 322.
45
a. Penatausahaan setiap penyertaan modal negara berikut perubahannya ke dalam
persero/perseroan terbatas dan Perum, serta kegiatan penatausahaan kekayaan
negara yang dimanfaatkan oleh perjan;
b. pengusulan setiap penyertaan modal negara kc dalam persero/perseroan
terbatas dan perum yang dananya berasal dari APBN, serta pemanfaatan
kekayaan negara dalam perjan.
c. Pendirian persero, perum, atau perjan dan perubahan bentuk hukum perjan.
Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN di
dalam dan di luar pengadilan. Pengawasan BUMN dilakukan oleh komisaris dan
dewan pengawas yang bertanggung jawab penuh atas pengawasan untuk
kepentingan dan tujuan BUMN. Dalam melaksanakan tugasnya, direksi,
komisaris, dan dewan pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan
ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-
prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, serta kewajaran.21
E. Penyertaan Modal Negara
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang
menegaskan modal Badan Usaha milik Negara merupakan dan berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu, penjelasannya menentukan
bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal
negara pada Badan Usaha Milik Negara untuk selanjutnya pembinaan dan
pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan
21
Iswi Hariyani dkk., h. 322.
46
Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-
prinsip perusahaan yang sehat.22
Penyetoran modal negara sebagaimana diatur dalam Pasal angka 7 PP No.
4 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara
dengan Perseroan Terbatas. adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber
lain yang bisa dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas
lainnya, dan dikelola secara korporasi.
Pasal 1 angka 19 PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah mengatur bahwa Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah
adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula
merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan
untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum lainnya yang
dimiliki negara.
Pasal 1 angka 4 PP No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah
menyatakan Penyertaan Modal adalah bentuk investasi pemerintah pada badan
usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas
dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Pasal 1 angka 10 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan
dalam keuangan negara, penyertaan modal negara menjadi kekayaan negara yang
dipisahkan yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero
dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya.
22
Muhammad Djafar, Saidi. Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), h. 16
47
F. Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang/Jasa
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat melakukan sinergi dalam
proses pengadaan barang dan/atau jasa, dengan cara melakukan penunjukan antar
BUMN yang terafilasi, antara anak dan induk perusahaan. Ketentuan ini
didasarkan pada Surat Edaran Menteri BUMN No.SE-03/MBU.S/2009 (SE
BUMN 03/2009) tanggal 15 Desember 2009 yang diterbitkan Kementerian
BUMN berkaitan dengan upaya mendukung sinergi antar sesama BUMN dan/atau
dengan anak-anak perusahaannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor 05/MBU/2008 tanggal 3 September 2008 khususnya Pasal
2 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (2) yang mengatur hal-hal sebagai berikut.23
1. Pasal 2 ayat (4): Pengguna Barang dan Jasa mengutamakan sinergi antar
BUMN dan/atau Anak Perusahaan sepanjang barang dan jasa tersebut
merupakan hasil produksi BUMN dan/atau Anak Perusahaan yang
bersangkutan, dan sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Pasal 13 ayat (2): Direksi BUMN wajib menyusun ketentuan internal
(Standard Operating and Procedure) untuk penyelenggaraan Pengadaan
Barang dan Jasa, termasuk prosedur sanggahan dengan berpedoman pada
Peraturan Menteri Negara BUMN ini.
Pada tahun 2012, Kementerian BUMN kembali mengeluarkan Peraturan
Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 05/MBU/2008 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara
(Permen Nomor 15 Tahun 2012). Latar belakang penerbitan Permen Nomor 15
23
Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau jasa dalam
perspektif persaingan usaha, Jurnal Mimbar Hukum volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, h. 447.
48
Tahun 2012 ini adalah sebagai bentuk dukungan dilakukannya sinergi BUMN,
anak perusahaan dan sinergi BUMN dengan anak perusahaan.24
Selanjutnya, Pasal 9 Permen BUMN Nomor 15 Tahun 2012 menyatakan,
bahwa penunjukan langsung hanya dapat dilakukan dengan persyaratan berikut:
a) Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak
dapat ditunda keberadaannya (business critical asset);
b) Penyedia barang dan jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang
spesifik);
c) Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk
menggunakan dan memelihara produk tersebut membutuhkan
kelangsungan pengetahuan dari penyedia barang dan jasa;
d) Bila pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (a) dan (b) telah dua kali
dilakukan namun peserta pelelangan atau pemilihan langsung tidak
memenuhi kriteria atau tidak ada pihak yang mengikuti pelelangan atau
pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syarat-syarat telah memenuhi
kewajaran;
e) Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual
(HAKI) atau yang memiliki jaminan (warranty) dari original equipment
manufacture;
f) Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset
strategis perusahaan;
g) Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang
harga yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas
barang dan jasa;
24
Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau jasa dalam
perspektif persaingan usaha, h.448.
49
h) Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun
nasional;
i) Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang
sifatnya tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan
sebelumnya;
j) Penyediaan barang/jasa adalah BUMN, anak perusahaan BUMN atau
perusahaan terafiliasi BUMN, sepanjang barang dan/atau jasa dimaksud
adalah merupakan produk atau layanan dari BUMN, anak Perusahaan
BUMN, Perusahaan Terafiliasi BUMN, dan/atau usaha kecil dan mikro, dan
sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan, serta
dimungkinkan dalam peraturan sektoral;
k) Pengadaan barang dan jasa dalam nilai tertentu yang ditetapkan Direksi
dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris.
G. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang mengondisikan bahwa pemasok
dari produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli
produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan
tersalur kepada pihak lain. Seorang pembeli (distributor) melalui perjanjian
tertutup mengkondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan dijual
atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau tempat tertentu.25
Perjanjian tertutup dilarang oleh pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999, yakni sebagai berikut:
(1) ―Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya
25
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.136.
50
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.
(2) pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok:
a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok atau;
b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Melihat rumusan pasal diatas, maka kita ketahui bahwa Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras terhadap praktek perjanjian tertutup, hal
itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai perjanjian tertutup
dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek perjanjian
tertutup tanpa harus melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah
secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.26
26
Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, 2009), h.122.
51
BAB IV
PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN TERTUTUP OLEH
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
A. Pengecualian Aturan Hukum Persaingan Usaha
Eksistensi ketentuan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999
sebenarnya dapat menimbulkan distorsi yang memiliki dampak terhadap efisiensi
ekonomi. Namun di sisi lain, pengecualian penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999
dapat dan perlu dilakukan oleh Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
sebagai wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia sebagaimana
dinyatakan pada Pasal 33 UUD 1945.
Apabila dilihat secara keseluruhan, ketentuan pengecualian dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999 dituangkan dalam Pasal 50 dengan menyatakan: Yang
dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah:
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian
elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan
dengan waralaba; atau
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
52
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah republik
indonesia; atau
g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.1
Dari sekian pengecualian maka ketentuan pengecualian yang merupakan
wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia adalah ketentuan
pengecualian pada Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Meskipun
demikian sebenarnya ketentuan pengecualian tersebut memiliki potensi
menimbulkan permasalahan karena tidak menutup kemungkinan menimbulkan
kontradiksi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karena itu dalam implementasinya, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:2
1. Sejauh mana hukum dan kebijakan di bidang persaingan usaha sebagai
prioritas yang harus diterapkan;
2. Jika ketentuan pengecualian yang harus diterapkan, maka harus jelas alasan
dan parameter yang menjadi dasar pemilihan ketentuan pengecualian tersebut;
dan
3. Dalam hal apa kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang lain dapat tetap dilaksanakan, meskipun tidak sejalan dengan Undang-
Undang nomor 5 tahun 1999,
1 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 242.
2 Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h. 8.
53
Ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, dimaksudkan untuk:3
1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan
yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan
penawarannya ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan
ekonomi lebih kuat. Dalam kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil,
dapat diberikan pengecualian dalam penerapan hukum persaingan usaha.
2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin
diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan
untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga
stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses
pengembangan ekonomi.
4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan bahwa:
―Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-Undang
3 Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h. 8-9
54
dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau
lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah‖.
Dengan demikian, Dalam Pasal 51 Undang-Undang Antimonopoli
ditetapkan bahwa monopoli negara masih diberi tempat (diizinkan) dengan
penetapan melalui suatu Undang-Undang. Pengecualian (monopoli) tersebut
diberikan khusus melakukan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara.4
Dalam melaksanakan Pasal tersebut, KPPU membuat Pedoman tentang
Pelaksanaan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun ketentuan
Pasal 51 sebagaimana dimaksud diatas dapat diuraikan dam dijelaskan dalam
beberapa unsur yaitu:
1. Monopoli
Dalam Pasal 1 angka UU Nomor 5 Tahun 1999, defenisi monopoli:
―Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha‖
Berdasarkan definisi tersebut, monopoli pada dasarnya menggambarkan
suatu keadaan penguasaan pelaku usaha atas barang dan atau jasa tertentu yang
dapat dicapai tanpa harus melakukan ataupun mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat 5
4 M. Udin Silalahi, Perusahaan saling mematikan & bersekongkol, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2007), h.66.
5 Pedoman Pelaksana Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h.5
55
2. Pemusatan Kegiatan
Unsur pemusatan kegiatan dalam Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat
didefinisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu : ―Penguasaan yang nyata atas
suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa.‖
Berdasarkan definisi tersebut, monopoli pada dasarnya menggambarkan
suatu keadaan penguasaan pelaku usaha atas barang dan atau jasa tertentu yang
dapat dicapai tanpa harus melakukan ataupun mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.6
B. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary) yang
mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk
melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Dasar hukum pembentukan
Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang menyatakan : ―untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk
Komisi Pengawas Persaingan Usaha‖.7
Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan
persaingan diikuti dengan berdrinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan
dalam Undang-Undang Anti Monopoli tersebut. Kelembagaan KPPU diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi
6 Pedoman Pelaksana Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, h.5-6
7 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 277.
56
Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 80 Tahun 2008.
KPPU sebagai lembaga pengawasan persaingan usaha merupakan
lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta
pihak lain. Tujuan pembentukan KPPU ini adalah untuk mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat demi terwujudnya perekonomian Indonesia yang
efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif, yang
menjamin adanya kesempatan berusaha. Perlu ditekankan bahwa melalui
pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong
agar sistem ekonomi pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi, dan alokasi,
sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.8
Status Komisi diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Dalam ayat (3) disebutkan
bahwa: ‖Komisi bertangung jawab kepada presiden.‖ bertanggung jawab kepada
presiden disebabkan Komisi melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintah,
di mana kekuasaan tertinggi pemerintah berada di bawah presiden.9
KPPU adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta wasit independen dalam rangka
menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan
persangan usaha tidak sehat.10
Adapun tugas dan wewenang KPPU adalah sebagai
berikut.
8 Suyud Margono, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jurnal
Hukum. Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002), h. 5.
9 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ―Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan memerintah menurut Undang-Undang Dasar.‖
10 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.
II, 2009), h. 75.
57
1. Tugas KPPU
Atas kewenangan tersebut, maka komisi memiliki beberapa tugas
sebagaimana yang tertera dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu:11
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti;
oligopoli, diskriminasi harga (price discrimination), penetapan harga (price
fixing/price predatory), pembagian wilayah (market allocation),
pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup,
dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha
yang dilarang, seperti monopoli, monopsony, penguasaan pasar, dan
persekongkolan.
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat, yang dapat timbul melalui posisi dominan,
jabatan rangkap, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, serta
pengambilalhan.
d. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
e. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan
UndangUndang Nomor 5 Tahun1999.
f. Memberi laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
11
Abdul R. Saliman,dkk., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.
175-176.
58
2. Wewenang KPPU
KPPU dalam kedudukannya sebagai pengawas, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Pasal 36 dan Pasal 47 telah memberikan kewenangan khusus kepada
Komisi. Secara garis besar, kewenangan Komisi dapat dibagi dua, yaitu
wewenang aktif dan wewenang pasif.12
Menurut Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bhawa
Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut.13
a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan
telah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Melakukan penelitian mengenai dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan
pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan /atau
persaingan persaingan usaha tidak sehat.
c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus-kasus dugaan
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang didapatkan
karena laporan masyarakat, laporan pelaku usaha, ditemukan sendiri oleh
komisi pengawas dari hasil penelitian.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang adanya
suatu praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
e. Melakukan pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli.
12
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II. 2012), h. 78.
13Abdul R. Saliman,dkk., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.
176-177.
.
59
f. Melakukan pemanggilan dan menghadirkan saksi-saksi, saksi ahli, dan setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan Undang-
Undang Anti Monopoli.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksisaksi,
saksi ahli atau pihak lainnya yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi
Pengawas.
h. Meminta keterangan dari nstansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli
i. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
j. Memberikan keputusan atau ketetapan tentang ada atau tidaknya kerugian
bagi pelaku usaha fair, atau masyarakat.
k. Menginformasikan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diiduga
melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminstratif kepada pelaku usahayang
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
3. Visi dan misi KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya memerlukan adanya arah pandang yang jelas, sehingga apa yang
menjadi tujuannya dapat dirumuskan dengan seksama dan pencapaiannya dapat
direncanakan dengan tepat dan terinci. Adapun arah pandang KPPU tersebut
kemudian dirumuskan dalam suatu visi dan misi KPPU sebagai berikut:
b. Visi KPPU
Visi KPPU sebagai lembaga independen yang mengemban amanat UU
No. 5 Tahun 1999 adalah:―Terwujud Ekonomi Nasional yang Efisien dan
Berkeadilan untuk Kesejahteraan Rakyat‖.
60
c. Misi KPPU
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka dirumuskan misi KPPU
sebagai berikut:
1) Pencegahan dan Penindakan
2) Internalisasi Nilai-nilai Persaingan Usaha
3) Penguatan Kelembagaan
C. Posisi Kasus
Kasus ini bermula ketika Sekretariat KPPU melakukan kajian tentang
adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait
Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-pos di Bandara
Soekarno Hatta. Dari hasil kajian tersebut KPPU menemukan dugaan pelanggaran
dan menetapkan untuk melanjutkan ke tahap penyelidikan.
Setelah KPPU menemukan bukti permulaan yang cukup Ketua Komisi
menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 16/KPPU/Pen/VIII/2013 tanggal 23
Agustus 2013 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013
dengan PT Angkasa Pura II sebagai Terlapor I dan PT Telekomunikasi Indonesia
sebagai Terlapor II. Berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut,
Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan
Komisi Nomor 196/KPPU/Kep/IX/2013 tanggal 11 September 2013 tentang
Penugasan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan
Pendahuluan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan PT
Angkasa Pura II didirikan dan melakukan kegiatan usaha di bidang pelayanan jasa
kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara. Dalam prakteknya, PT
Angkasa Pura II mengkomersialkan wilayah atau lingkungan Bandara Soekarno-
61
Hatta antara lain dengan cara menyewakan ruangan/counter kepada pelaku usaha
dengan imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha.
Bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan usaha jasa kebandarudaraan,
PT Angkasa Pura II juga mewajibkan pelaku usaha yang melakukan kegiatan
usaha di lingkungan pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta untuk membayar
imbalan adanya pengalihan hak pengelolaan usaha (concession right). Tarif
konsesi atas pengusahaan tanah dan ruangan 5% dari total pendapatan kotor per
konsesioner.14
Pada tanggal 30 Maret 2011 perjanjian kerjasama ―Penyediaan Layanan
Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandara Soekarno-Hatta telah ditandatangani
oleh PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia. Lingkup Kerja
Sama, dimana pada pokoknya meliputi;
1. Penyediaan, pengoperasian, pemeliharaan dan modernisasi fasilitas e-POS
pada lokasi di Bandara Soekarno-Hatta;
2. Fasilitas yang disediakan PT Telekomunikasi Indonesia meliputi: perangkat
software, link (koneksi jaringan internet) dan terminal client (hardware);
3. Jumlah fasilitas e-POS yang dipasang di Bandara Soekarno-Hatta adalah
sebanyak 400 (empat ratus) unit terminal client;
4. Jangka waktu perjanjian berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam melakukan kegiatan usaha penunjang dan/atau terkait dengan
Bandar Udara Soekarno-Hatta, PT Angkasa Pura II menetapkan atau melakukan
dengan instrumen perjanjian yang bersifat mengikat (perjanjian tertutup).
perjanjian yang bersifat mengikat (perjanjian tertutup) tersebut dilakukan oleh
Terlapor I terkait dengan perjanjian konsesi usaha dan sewa-menyewa ruangan
14
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan Republik Indonesia,
Tarif Penggunaan Sarana Dan Prasarana Di Bandara Berdasarkan Tugas Dan Fungsi,
http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/2527 diakses pada 3 Februari 2017
62
dimana pihak yang menyewa ruangan di wilayah Bandara Soekarno-Hatta, juga
diwajibkan untuk membeli dan/atau membayar layanan e-POS.
Implementasi e-POS di Bandara Soekarno-Hatta pada awalnya
merupakan tindak lanjut dari pengajuan proposal layanan e-POS dari PT
Telekomunikasi Indonesia yang selanjutnya disepakati dengan PT Angkasa Pura
II untuk melakukan free trial di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta guna
keperluan monitoring transaksi online antara mitra usaha dePenawaran kerja sama
PT Telekomunikasi Indonesia terkait layanan e-POS tersebut
Kemudian dilakukan pembahasan antara PT Angkasa Pura II dengan PT
Telekomunikasi Indonesia hingga dilakukan sosialisasi kepada para tenant di
Bandara Soekarno-Hatta dimana pada akhirnya pada tanggal 18 Juli 2011 PT
Angkasa Pura II secara resmi menerbitkan Surat Edaran Tentang Kewajiban
Penggunaan dan Biaya Fasilitas ngan pengguna jasa Bandara Soekarno-Hatta.
Electronic Point of Sales (e-POS), dimana para Mitra Usaha diwajibkan untuk
menggunakan fasilitas Electronic Point of Sales (e-POS) sebagai alat monitoring
realisasi pendapatan usaha di tiap lokasi di Bandara Soekarno-Hatta dengan
dikenakan biaya sebesar Rp. 1.350.000,- per-unit per-bulan (belum termasuk
PPN) yang akan ditagihkan kepada para Mitra Usaha oleh PT Telekomunikasi
Indonesia.
Perjanjian kerjasama antara PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi
Indonesia tanggal 30 Maret 2011 tentang penyediaan Layanan Electronic Point of
Sales (e-POS) di Bandara Soekarno Hatta (PKS e-POS) adalah suatu perjanjian
yang dilandasi oleh Semangat sinergi antar BUMN sebagaimana diamanatkan
oleh Peraturan Menteri BUMN tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa badan usaha milik Negara (Peraturan Menteri BUMN);
PT Telekomunikasi Indonesia hanya membantu memenuhi kebutuhan PT
Angkasa Pura II akan sistem pelaporan data penjualan yang sifatnya real time,
63
agar mempermudah pihak PT Angkasa Pura II dalam mengendalikan dan
mencegah terjadinya kebocoran atau kerugian finansial dalam hubungan
kerjasamanya dengan pihak tenant;
Perjanjian kerja sama e-POS yang dibuat oleh PT Angkasa Pura II dan PT
Telekomunikasi Indonesia adalah suatu perjanjian yang dibuat guna menjalankan
amanat suatu peraturan perundangundangan, yaitu peraturan Menteri BUMN
Nomor Per-05/MBU/2012 yang diperbahurui oleh Peraturan Menteri BUMN
Nomor Per-15/MBU/2012 tentang pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara yang bertujuan untuk
mengamanatkannya Sinergi antar BUMN guna mewujudkan sebesar-besarnya
manfaat ekonomi bagi Negara, yang ujungnya akan disalurkan guna
mengingkatkan kesejahteraan masyarakat;
Pada tanggal 8 Mei 2014 Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Angkasa
Pura II dan PT telekomunikasi Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Memerintahkan PT Angkasa Pura II
untuk membayar denda sebesar Rp3.402.000.000 (Tiga Milyar Empat Ratus Dua
Juta Rupiah); dan Memerintahkan PT Telekomunikasi Indonesia untuk membayar
denda sebesar Rp 2.109.240.000 (Dua Milyar Seratus Sembilan Juta Dua Ratus
Empat Puluh Ribu Rupiah).
D. Penerapan Pasal 15 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 19999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait Perjanjian
Tertutup
Pengaturan terhadap perjanjian tertutup dalam penyelenggaraan
kebandarudaraan tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Regulasi terhadap hukum persaingan usaha di sektor
64
usaha kebandarudaraan oleh karenanya masih berada di bawah ketentuan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan begitu, terhadap kasus perjanjian tertutup
Penyediaan Layanan e-POS di Bandara Soekarno-Hatta mengacu pada
pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam menerapkan aturan perjanjian tertutup, harus dilihat pemenuhan
unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun
1999, dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Unsur-unsur yang terpenuhi dalam Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, yaitu:15
1. Unsur Pelaku Usaha
Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
PT Angkasa Pura II (Persero), merupakan badan usaha yang berbentuk
badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Pendirian Nomor
03 tanggal 2 Januari 1993 yang dibuat di hadapan Notaris Muhani Salim di
Jakarta, yang berkedudukan di Gedung 600 Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten dan melakukan kegiatan usaha antara lain di bidang
penyelenggaraan dan pengelolaan bandar udara di Indonesia yang salah
satunya adalah Bandara Soekarno Hatta;
15
Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h. 88-95.
65
PT Telekomunikasi Indonesia,Tbk, merupakan badan usaha yang
berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia berdasarkan Akta
Pendirian No128 tanggal 24 September 1991 yang dibuat di hadapan Notaris
Imas Fatimah, S.H. yang disetujui oleh Menteri Kehakiman Republik
Indonesia dengan urat Keutusan No. C2-6879.HT.01.01.Th.1991 tanggal 19
November 1992, yang berkedudukan di Jalan Japati Nomor 1 Bandung, Jawa
Barat dan melakukan kegiatan usaha antara lain di bidang Telekomunikasi.
2. Unsur Perjanjian dengan pihak lain
Perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 adalah Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Perjanjian yang dimaksud dalam unsur ini adalah
PerjanjianSewaRuangan dan Konsesi Usaha antara PT Angkasa Pura IIdengan
penyewa. Dan 4pihak laindalamperkarainiadalah400 penyewadi wilayah
Bandar UdaraSoekarno Hatta.
3. Unsur Jasa
Jasa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana
diatur dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang diperdagangkan dalam asyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha. Jasa yang diproduksi oleh PT Angkasa Pura II
yang berkaitan dengan perkara perjanjian tertutup adalah jasa sewa ruang
usaha sebagai jasa yang ditawarkan oleh PT Angkasa Pura II kepada penyewa
4. Unsur Pihak yang Menerima Barang dan atau jasa tertentu
Menurut Pedoman Pasal 15, pihak yang menerima adalah: ―Pelaku
usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok.
66
Pelaku Usaha yang menerima pasokan dalam perkara ini adalah pelaku
usaha yang melakukan kerjasama dengan PT Angkasa Pura II yaitu Penyewa
ruang usaha. Adapun pasokanberupajasadalamperkara iniadalahjasaruang
usahasebagaijasayangmenjadi pokok perjanjian.
5. Unsur barang dan atau jasa lain
Barang dan/atau jasa lain adalah barang dan/atau jasa yang berbeda
baik dari sifat wujud, fisik, fungsi dan dari barang dan/atau jasa yang diterima
oleh pihak lain sedemikian rupa sehingga barang dan/atau jasa yang diterima
oleh pihak lain itu masih dapat dimanfaatkan tanpa harus bergantung pada
keberadaan barang dan/atau jasa lain tersebut.
Fakta persidangan menyebutkan ruang usaha yang disewakan oleh PT
Angkasa Pura II kepada penyewa mewajibkan kepada penyewa untuk
menggunakan layanan e-POS dan perangkat pendukungnya dan
membebankan biaya layanan e-POS dan perangkat pendukungnya kepada
para penyewa sehingga penyewa tidak bisa menggunakan provider lain .
Layanan e-POS tidak dibutuhkan oleh penyewa melainkan kebutuhan dari PT
Angkasa Pura II sendiri untuk mengawasi hasil konsesi dari penyewa ruang
usaha. Hal yang tidak berhubungan dengan penggunaan ruang usaha yang
diperjanjikan sebagai objek sewa.
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam penerapannya
di dalam kasus tying arrangement menggunakan pendekatan per se illegal.16
Pendekatan secara per se illegal dalam penerapan Pasal 15 ayat (2) juga diatur
dalam Pedoman Pelaksanaan Pasal 15 yang dikeluarkan oleh KPPU. Di dalam
pedoman tersebut, KPPU menjelaskan bahwa suatu perbuatan secara cukup dan
patut dinyatakan terbukti apabila suatu perjanjian tertentu memenuhi kriteria
16
Galuh Puspaningrum, Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan Usaha,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), h. 42.
67
tertentu tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut dan perjanjian tertutup
tersebut harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 15 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999.
Adapun kriteria yang harus terpenuhi adalah bahwa perjanjian tersebut
terdapat dua produk yang berbeda; perjanjian tertutup yang dilakukan harus
menutup volume perdagangan secara substansial dimana pengusaha memiliki
pangsa 10% atau lebih; perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang
memiliki kekuatan pasar dengan pangsa pasar 10% atau lebih; dan pelaku usaha
yang memiliki kekuatan pasar melakukan ―paksaan‖ kepada pembeli untuk
membeli produk yang diikat.17
Pada tanggal 24 Februari 2014, Majelis Komisi melaksanakan Sidang
Majelis Komisi dengan agenda Pemeriksaan Saksi VII PT Dunkindo Lestari.
Saksi tidak mendapatkan paksaan untuk menggunakan sistem e-pos walaupun
dalam perjanjian dengan PT Angkasa Pura II diwajibkan agar sistem transaksi
secara online.18
Adapun saksi lain yang memberikan keterangan demikian, keterangan
Saksi PT Mitra Adi Perkasa menyatakan bahwa benar adanya klausul kewajiban
dalam konsesi untuk menyampaikan transaksi secara online dengan
menggunakan sistem e-pos tetapi tidak ada paksaan dari PT Angkasa Pura II
untuk menggunakan sistem tersebut sehingga Saksi tetap menggunakan sistem
keuangan sendiri.19
Dengan adanya keterangan saksi tersebut maka kriteria perjanjian tertutup
yang diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 dan Pedoman
17
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup), h. 22.
18 Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h.26.
19 Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013, h.84.
68
Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, seharusnya
tidak terpenuhi.
E. Penyelesaian Hukum
1. Proses Hukum Persaingan Usaha terhadap Perjanjian Tertutup
KPPU merupakan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan
kasus monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut dinyatakan
dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
menyatakan : ―untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk
Komisi Pengawas Persaingan Usaha‖. Perjanjian tertutup merupakan salah
satu bentuk persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Pada Putusan KPPU NO. 07/KPPU-I/2013 Majelis Komisi
memutuskan bahwa PT Angkasa Pura II dan PT telekomunikasi Indonesia
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat; Memerintahkan PT Angkasa Pura II untuk membayar
denda sebesar Rp3.402.000.000 (Tiga Milyar Empat Ratus Dua Juta Rupiah);
dan Memerintahkan PT Telekomunikasi Indonesia untuk membayar denda
sebesar Rp 2.109.240.000 (Dua Milyar Seratus Sembilan Juta Dua Ratus
Empat Puluh Ribu Rupiah).
PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia selanjutnya
mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Bandung.Tanggal 12
Februari2015 Pengadilan Negeri Bandung telah memberikan Putusan Nomor
01/Pdt.G/KPPU/2014/PN Bdg, yang amarnya sebagai berikut:
69
a. Mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan I dan
Pemohon Keberatan II untuk seluruhnya;
b. Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
RepublikIndonesia (KPPU) Nomor 07/KPPU-I/2013, tanggal 8 Mei
2014;
c. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara
yang timbul dalam pemeriksaan ini, yang hingga putusan ini dibacakan
ditaksir sebesar Rp1.141.000,00 (satu juta seratus empat puluh satu ribu
rupiah);
KPPU selanjutnya melakukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan
Banding tersebut. KPPU meyakini bahwa Unsur dan Kriteria Pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang sudah terpenuhi. Namun demikian,
upaya hukum Kasasi yang diajukan oleh KPPU diputus dalam Putusan Nomor
482 K/Pdt.Sus-KPPU/2015. Amar putusan tersebut yaitu:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS
PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI) tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan untuk membayar biaya
perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah);
2. Sinergi BUMN Tanpa Mekanisme Tender
Prinsip dasar sistem pengadaan barang/jasa dalam perspektif hukum
persaingan usaha diantaranya adalah transparansi, non diskriminasi, dan
efisiensi, hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 05 Tahun
70
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.20
Dasar Hukum dalam pengadaan barang dan jasa di BUMN yang
pertama berlandaskan pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Selain itu, pengadaan barang dan jasa BUMN yang dananya berasal dari dana
BUMN, tidak berlaku Perpres 54 Tahun 2010 jo Perpres 35 Tahun 2011
melainkan tunduk pada Peraturan Menteri Negara BUMN Per-05/MBU/2008
Jo Per-15/MBU/2015 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa.
Berkenaan dengan Sinergi BUMN dan penunjukan langsung dalam
pengadaan barang dan/jasa terdapat sebuah putusan KPPU Nomor 07/KPPU-
I/2013 tentang Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi
―layanan Electronic Point of Sales (e-Pos)‖ di Bandar Udara Soekarno Hatta.
PT angkasa Pura II mendalilkan bahwa tindakan penunjukan langsung
kepada PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. sebagai penyedia jasa layanan e-
Pos termasuk kedalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 50
huruf ―a‖ UU No. 5 tahun 1999. Majelis komisi KPPU dalam hal ini
berpendapat bahwa sinergi BUMN tidak dapat dijadikan dasar untuk
mengecualikan pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1999 karena BUMN pada
dasarnya memiliki posisi yang sama dengan swasta sehingga dalam sinergi,
proses formal tetap diperlukan agar BUMN dapat bersaing secara adil dengan
swasta.
Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 2 pasal terkait
pengecualian yakni Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 50
UU Nomor 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian yang sifatnya lebih luas
20
Anna Maria Tri Anggraini, Sinergi BUMN Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Dalam
Perspektif Hukum Persaingan Usaha, Mimbar Hukum, Volume 25, (Komisi Pengawas Persaingan
Usaha, Jakarta, 2013), h. 1.
71
karena tidak dibatasi untuk pelaku usaha tertentu, berbeda halnya dengan
Pasal 51 UU nomor 5 Tahun 1999 khusus mengatur mengenai pengecualian
bagi BUMN atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, dalam pasal 51 itu
sendiri terdapat batasan-batasan dalam melaksanakan monopoli sebagaimana
diatur dalam pedoman pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 2010, yang artinya
bahwa monopoli atau pemusatan kegiatan dapat dilakukan apabila produksi
dan/atau pemasaran barang dan/jasa tersebut menguasai hajat hidup orang
banyak serta bagi cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara,
sehingga tidak semua BUMN mendapat pengecualian.
Peneliti setuju dengan dilaksanakannya sinergi melalui mekanisme
penunjukan langsung, karena menimbulkan efisiensi. Selain itu, dengan
adanya sinergi diharapkan dapat menyejahterakan rakyat sebagaimana tujuan
utama dari dilaksanakannya sinergi BUMN.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas peneliti mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Sinergi BUMN merupakan program pemerintah yang tertuang dalam
Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 05/MBU/2008
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan
Usaha Milik Negara. Sinergi BUMN tidak melanggar aturan hukum
persaingan usaha
2. BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya mendapat pengecualian yang
diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
3. Pelaku usaha dapat dikatakan melakukan perjanjian tertutup apabila
memenuhi beberapa indikator berupa unsur dan kriteria yang diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
B. Saran
1. KPPU seharusnya mendukung Sinergi BUMN sebagaimana Visi dan Misi
KPPU, yaitu :―Terwujud Ekonomi Nasional yang Efisien dan Berkeadilan
untuk Kesejahteraan Rakyat‖ yang sejalan dengan tujuan dari Sinergi BUMN
tersebut.
2. Perlu adanya penguatan aturan hukum tentang sinergi BUMN yang pada saat
ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri BUMN agar dapat diperkuat
73
dengan aturan hukum yang hirarkinya lebih tinggi seperti Peraturan
Pemerintah.
3. Peningkatan pengawasan terhadap kegiatan ekonomi oleh KPPU agar dapat
melakukan tindakan preventif dalam praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
4. BUMN Ikut proaktif dalam memberikan informasi kepada KPPU selaku
pengawas hukum persaingan di Indonesia khususnya mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan Sinergi BUMN dalam melakukan kegiatan usaha agar
tidak merugikan masyarakat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Cet.Ke-4. Jakarta: Sinar Grafika.
2013.
Asikin, Zainal & Suhartana, Wira Pria. Pengantar Hukum Perusahaan, Jakarta.
Prenadamedia. 2016.
Hariyani, Iswi. Merger, akuisisi, konsolidasi, & pemisahan perusahaan : cara
cerdas mengembangkan & memajukan perusahaan. Jakarta: Visimedia.
2011.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:
Kencana. Cet. II. 2009.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.Ke-2.
Malang: Bayumedia Publishing. 2006.
Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta:
Lentera Hati. Cet. I. 2002.
Kuswiratmo, Bonifasius Aji. Keuntungan & Risiko menjadi Direktur, Komisaris,
dan Pemegang Saham. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2016.
Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.
Jakarta: GTZ. 2009.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cetakan keenam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2010.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak Jakarta; Rajawali Press.
2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Keempat
Revisi Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010.
Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia. Bogor:
Ghalia. 2010.
75
Naja, Hasanuddin Rahman Daeng, Contract Drafting, Edisi revisi-Cet. Kedua,
Bandung. Citra Aditya. 2006.
Nurachmad, Much., Memahami & Membuat Perjanjian. Jakarta: Transmedia
Pustaka. 2010.
P. H., Soetrisno. Kapita selekta ekonomi Indonesia Yogyakarta: Andi Offset.
1992.
Pudyatmoko, Sri. Perizinan: Problem Dan Upaya Pembenahan. Jakarta:
Gramedia. 2009.
Puspaningrum, Galuh. Hukum Perjanjian yang Dilarang dalam Persaingan
Usaha. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2015.
Rijan, Yunirman & Koesoemawati, Ira. Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian,
.Jakarta: Raih Asa Sukses. 2009.
Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Saidi, Muhammad Djafar. Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011.
Sari, Elsi Kartika & Simanungson, Advendi, Hukum dalam Ekonomi, Edisi 2
Revisi. Jakarta: Grasindo. 2008.
Saliman, Abdul R.,dkk. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
2004.
Silalahi, M. Udin. Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol. Jakarta: Elex
Media Komputindo. 2007.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha, Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke-3. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. 1986.
Soekanto, Soerdjono dan Mahmudji, Sri. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di Dalam Penelitian Hukum. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas
Indonesia. 1979.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 31.Jakarta: Intermasa, 2003.
Suhardi, Gunarto. Revitalisasi BUMN. Yogyakarta: Univ. Atma Jaya. 2007.
76
Suhasril. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Sukandar, Dadang, Panduan Membuat Kontrak Bsinis. Jakarta: Visimedia
Pustaka. 2017.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, Cet. II. 2004.
Wicaksana, Frans Satrio. Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak,.
Jakarta:Transmedia Pustaka. 2008.
Widjaja, I. G. Ray. Hukum Perusahaan. Bekasi: Kesaint Blanc, 2006.
Jurnal
Anggraini, Anna Maria Tri. Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau
jasa dalam perspektif persaingan usaha, Jurnal Mimbar Hukum volume
25, Nomor 3, Oktober 2013.
Bintoro,Rahadi Wasi. Aspek Hukum Zonasi Pasar Tradisional dan Pasar
Modern, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, No. 3, Tahun 2010.
Kooswanto, Tarita dkk.. Keadaan Pasar Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jurnal Private Law, Volume 2, No. 1,
Tahun 2013 .
Margono, Suyud. Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.
Jurnal Hukum. Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002.
Yusroni, Nanang. Privatisasi Badan Usaha Milik NegaraBUMN) Eksistensi, dan
Kinerja Ekonomi Nasional dalam Sistem Ekonomi Pasar, Jurnal
Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 No. 3, Univ Wahid Hasyim Semarang, April
2007 .
Aturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50
Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
77
Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksana an Pasal 51
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara dengan Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan.
Permen BUMN Nomor PER-15/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Permen BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat .
Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Internet:
Angkasa Pura II. Sejarah Perusahaan Angkasa Pura II,
http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah diakses pada 31 Juni
2017
Hukumonline. KPPU Selidiki Dugaan Monopoli e-Pos di Bandara
Soettahttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt523a5e2adb1be/kppu-
selidiki-dugaan-monopoli-ie-pos-i-di-bandara-soetta diakses pada 11
November 2016
Perkembangan Hukum Persaingan di Indonesia. Diakses pada 17 Desember 2016
dari situs: http://www.kppu.go.id/id/2013/02/perkembangan-
hukumpersaingan-di-indonesia/
Persaingan Usaha dan Peran Negara. Diakses pada 17 Desember 2016 dari situs :
http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/67-persaingan-usaha-dan-perannegara
Udin Silalahi: Monopoli dan Perbuatan Curang. dari situs:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8378/monopoli-dan-
perbuatan-curang. Diakses pada 17 Desember 2016
Top Related