Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 340
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENGEMBANGAN MODUL MASALAH MATEMATIKA BERBOBOT (RICH TASKS)
UNTUK GURU MATEMATIKA SMP DI KOTA MATARAM
Baiq Rika Ayu Febrilia1; Eliska Juliangkary
2
1,2 Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Pengembangan soal-soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan
lebih kaya atau yang disebut rich task dalam pembelajaran matematika mampu mendorong siswa
untuk berpikir kreatif dan bekerja secara logis. Melalui tugas yang kaya, mereka dapat
mengkomunikasikan ide, mensintesis hasil, menganalisis ide-ide, mencari kesamaan dan
mengevaluasi temuan. Kurangnya kemampuan guru dalam mengembangkan soal-
soal/permasalahan yang lebih berbobot ini membuat siswa lebih sering dalam menghadapi soal-
soal yang bersifat tertutup. Penyebabnya adalah karena kurangnya literasi guru mengenai soal -
soal rich tasks dan bagaimana mengembangkannya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
modul matematika berbobot (rich task) yang valid dan praktis yang dapat digunakan guru untuk
meningkatkan kemampuan diri dan kualitas pembelajaran siswa. Metode yang digunakan adalah
metode penelitian pengembangan dengan desain penelitian pengembangan ADDIE. Instrumen
yang digunakan meliputi lembar kevalidan dan kepraktisan modul. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa modul yang dikembangkan valid dan praktis, dimana prosentase hasil validasi dan
kepraktisan modul secara berturut-turut sebesar 93.53% dan 88.18%.
Kata Kunci: Pengembangan Modul, Masalah Matematika Berbobot (Rich Tasks)
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika di kelas sebagian besar masih dilaksanakan dengan menggunakan
metode konvensional. Biasanya siswa disajikan berbagai macam permasalahan yang bersifat
tertutup untuk diselesaikan baik di kelas maupun di rumah. Hal semacam ini akan berdampak
kepada timbulnya persepsi yang agak keliru terhadap matematika, di mana matematika dianggap
sebagai pengetahuan yang pasti, terurut dan prosedural (Suandito, Darmawijoyo & Purwoko, 2009).
Anggapan ini mengakibatkan pembelajaran matematika di mata siswa menjadi sesuatu hal yang
menjenuhkan. Mereka hanya akan terpaku pada satu jawaban yang dianggap benar oleh guru.
Logika dan kreatifitas siswa kurang berkembang dan mereka merasa bahwa matematika tidak dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu solusi yang bisa diambil guru untuk dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas adalah dengan mengembangkan soal-
soal/permasalahan non rutin yang bersifat terbuka dan lebih kaya dalam proses penyelesaiannya,
yang disebut rich task. Rich task atau yang sering dikenal dengan permasalahan matematika
berbobot yaitu permasalahan matematika yang non rutin (tidak bisa dikerjakan dengan cara yang
yang biasa), mangaitkan antar topik matematika atau antar disiplin ilmu (Clarke & Clarke, 2002),
biasanya ini diindikasikan dengan adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta
berbagai jawaban yang berbeda-beda (Mcdonald & Watson, 2010). Karakteristik rich task juga
disebutkan oleh Mcdonald & Watson (2010) yang menyatakan bahwa rich task ditandai dengan
adanya berbagai level tingkat kesulitan, berbagai metode serta berbagai jawaban yang berbeda-
beda. Rich task digunakan untuk menstimulus pemikiran matematis siswa, memberikan siswa
tantangan pada tingkat tertentu dan mengakibatkan kontribusi tak terduga dari siswa dengan
berbagai kemampuan (Secondary National Strategy, 2007).
Gilderdale & Kiddle (2014) merangkum tulisan Piggott (2008) dan mendefinisikan rich task
sebagai permasalahan yang: 1) Dapat diakses oleh berbagai siswa, 2) Menarik siswa dengan titik
awal yang menarik atau penemuan awal yang menarik, 3) Menantang siswa untuk berpikir sendiri,
4) Menawarkan berbagai tingkat tantangan (dari tingkat yang rendah sampai tingkat tinggi), 5)
Memungkinkan siswa untuk mengajukan pertanyaan mereka sendiri, 6) Memungkinkan untuk
berbagai metode dan berbagai tanggapan, 7) Menawarkan kesempatan untuk mengidentifikasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 341
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
solusi yang lebih efisien, 8) Memberikan potensi untuk memperluas kemampuan siswa atau
memperdalam pemahaman matematika mereka, 9) Mendorong kreativitas dan penerapan
pengetahuan imajinatif, 10) Memiliki potensi untuk mengungkapkan pola atau menyebabkan
generalisasi, 11) Mendorong kolaborasi dan diskusi, dan 12) Mendorong peserta didik untuk
mengembangkan kepercayaan dan kemandirian. Secara lebih khusus Piggott (2008) menyatakan
bahwa rich task mendorong siswa untuk berpikir kreatif, bekerja secara logis, mengkomunikasikan
ide, mensintesis hasil mereka, menganalisis sudut pandang yang berbeda, mencari kesamaan dan
mengevaluasi temuan. Rich task memberi kesempatan pada peserta didik untuk mempertanyakan
dan mengembangkan pemahaman mereka tentang gagasan matematika, dan untuk mendapatkan
kepercayaan diri untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam berbagai konteks, bahkan yang
tidak mereka kenal (Gilderdale & Kiddle, 2014).
Dengan mengembangkan rich task, siswa dimungkinkan untuk dapat menggunakan berbagai
metode dan respon yang berbeda dalam menyelesaikan masalah, memberikan siswa kesempatan
untuk mengidentifikasi solusi yang lebih efisien, memberikan potensi untuk memperluas
kemampuan siswa dan/atau memperdalam dan memperluas pengetahuan konten matematika,
mendorong kreativitas dan penerapan pengetahuan imajinatif, meningkatkan potensi siswa untuk
mengungkapkan pola atau menyebabkan generalisasi atau hasil yang tidak diharapkan,
meningkatkan kemampuan siswa untuk mengungkapkan prinsip-prinsip dasar atau membuat
hubungan antara bidang matematika, mendorong kolaborasi dan diskusi, mendorong siswa untuk
mengembangkan kepercayaan dan kemandirian sekaligus menjadi pemikir kritis. Pada intinya, rich
task mendorong siswa untuk berpikir kreatif, bekerja secara logis, mengkomunikasikan ide,
mensintesis hasil mereka, menganalisis sudut pandang yang berbeda, mencari kesamaan dan
mengevaluasi temuan (Piggott, 2008).
Pengembangan kapasitas guru seperti dalam merancang permasalahan yang lebih kaya
sangatlah penting, karena dengan begitu kualitas proses belajar mengajar di kelas akan menjadi lebih
baik. Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan secara informal maupun formal. Bisa dengan
mengikuti pelatihan pengembangan profesionalitas diri yang diadakan oleh instansi tertentu atau
dengan mengadakan diskusi santai bersama teman sejawat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan
adalah dengan mengaktifkan kegiatan diskusi antar guru matematika pada forum Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP). MGMP merupakan merupakan suatu wadah asosiasi atau perkumpulan
bagi guru mata pelajaran yang berada di suatu sanggar, kabupaten/kota yang berfungsi sebagai
sarana untuk saling berkomunikasi, belajar, dan bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka
meningkatkan kinerja guru sebagai praktisi/pelaku perubahan reorientasi pembelajaran di kelas.
Tujuan Umum MGMP yaitu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam meningkatkan
profesionalisme guru. Sedangkan tujuan khusus MGMP, yaitu: 1) memperluas wawasan dan
pengetahuan guru mata pelajaran dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang efektif dan efisien.
2) mengembangkan kultur kelas yang kondusif sebagai tempat proses pembelajaran yang
menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan siswa. 3) membangun kerja sama dengan
masyarakat sebagai mitra guru dalam melaksanakan proses pembelajaran (Sutrisno, 2014). Dengan
demikian, MGMP menjadi salah satu wadah untuk guru matematika belajar dan berdiskusi.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa forum MGMP masih belum banyak diberdayakan. Hal
ini diduga karena kurangnya bahan literasi yang digunakan saat kegiatan MGMP berlangsung.
Terlebih literasi mengenai rich tasks. Topik ini menjadi topik asing bagi guru karena kebanyakan
yang selama ini dibahas adalah mengenai strategi dan metode pembelajaran. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara dengan beberapa guru matematika MGMP di Kota Mataram, guru masih
kekurangan bahan untuk merancang pembelajaran/permasalahan matematika yang lebih berbobot.
Hal ini berpengaruh terhadap kurangnya kemampuan guru dalam merancang soal/permasalahan yang
lebih berbobot yang dapat mendorong siswanya dalam mengembangkan kemampuan matematis dan
pengetahuan kontennya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan modul
matematika berbobot (rich task) yang valid dan praktis yang dapat digunakan guru dalam merancang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 342
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
aktivitas pengajarannya di kelas. Beberapa bagian yang disajikan yaitu tentang masalah matematika
berbobot, baik itu ciri-ciri masalah matematika berbobot, merancang masalah matematika berbobot
dan membahas mengenai contoh serta membuat soal-soal/permasalahan matematika berbobot untuk
materi matematika SMP. Diharapkan modul ini dapat menjadi salah satu bahan belajar guru
matematika dan membantu guru mengembangkan kualitas mengajar matematika, khususnya guru
dalam mengembangkan rancangan pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran
matematika di kelas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan. Metode penelitian dan
pengembangan (Research and Development) adalah metode penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2014).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menghasilkan dan mengembangkan suatu modul
matematika berbobot (rich task), yang dikembangkan dengan menggunakan desain penelitian
pengembangan berdasarkan langkah-langkah penelitian pengembangan ADDIE (Analysis, Design,
Development, Implementation, Evaluation). Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian
bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk menilai produk. Untuk itu,
dikembangkan instrumen yang meliputi: (1) lembar validasi produk (2) lembar evaluasi
modul/lembar kepraktisan modul (3) lembar observasi (4) angket pendapat guru matematika (5)
wawancara guru matematika.Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
a. Validasi Produk
Prosedur analisis data hasil validasi adalah sebagai berikut: 1) merekap skor setiap
pernyataan dari semua validator, 2) menyeleksi, memfokus dan menyederhanakan semua data yang
diperoleh, 3) menghitung skor total dari masing-masing validator, 4) menjumlah skor total dari
semua validator, 5) menghitung prosentase rata-rata hasil validasi dengan menggunakan rumus
(Sahertian, 2000):
.
b. Kepraktisan modul
Analisis data ini dilakukan setelah memperoleh data dari lembar evaluasi modul untuk guru
matematika di MGMP Matematika Kota Mataram. Prosedur analisisnya yaitu: 1). Tabulasi data
oleh guru matematika di MGMP Matematika Kota Mataram. 2) Menghitung persentase skor yang
diperoleh menggunakan rumus (Arikunto, 2014):
.
c. Angket respon guru
Analisis data ini dilakukan untuk mendeskripsikan respon guru terhadap penggunaan
modul yang telah dikembangkan. Perolehan data dari lembar observasi dianalisa menggunakan
rumus (Adaptasi dari Sukardjo dalam Andrian, 2014):
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan modul matematika berbobot (rich task), yang dikembangkan
dengan menggunakan desain penelitian pengembangan berdasarkan langkah-langkah penelitian
pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa proses pengembangan produk. Adapun
deskripsi proses penelitian pengembangan modul matematika berbobot (rich task) sebagai berikut:
(1) Analisis: Peneliti melakukan analisis kebutuhaan dan analisis materi dengan melakukan
wawancara, diskusi serta melakukan observasi terhadap guru-guru MGMP yang ada di Kota
Mataram. Pada tahapan ini, peneliti melakukan analisis mengenai soal rich tasks dan non rich
tasks berdasarkan beberapa sumber.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 343
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 1. Soal Rich Tasks dan Non Rich Tasks
Peneliti kemudian mencoba untuk merancang dua soal rich tasks dan instrumen untuk soal tersebut
kemudian mengujicobakannya di sekolah.
Gambar 2. Desain Soal Rich Tasks
Gambar 2. Desain Soal Rich Tasks
Upaya ini dilakukan untuk memperdalam pemahaman peneliti mengenai soal rich tasks
sebelum peneliti merancang, mengembangkan dan memberikan materi mengenai rich tasks
pada kegiatan MGMP Matematika.Uji coba dilakukan untuk melihat apakah semua indikator
rich tasks muncul saat siswa mengerjakan permasalahan tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 344
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 3. Uji Coba Rich Tasks
Berdasarkan hasil evaluasi uji coba, ditemukan bahwa dari sepuluh indikator rich tasks, hanya tujuh
indikator yang diyakini muncul selama uji coba berlangsung. Tiga indikator lainnya masih perlu
didiskusikan lebih lanjut karena redaksional kalimat dari ketiga indikator ini masih kurang bisa
dipahami. Hasil ini juga bisa menjadi pertimbangan bagi peneliti untuk memperaiki soal agar dapat
memenuhi semua indikator rich tasks. Hasil uji coba juga menunjukkan bahwa desain soal berhasil
membuat siswa tertarik untuk mau mengerjakannya. Task semacam ini dinilai baru dan di luar dari
kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. Dari segi pemahaman siswa, permasalahan ini mampu
mendorong kemampuan siswa dalam mengintegrasikan beberapa jenis bangun datar untuk
memperoleh bangun datar baru dan memparsial suatu jenis bangun datar menjadi beberapa bangun
datar yang sama atau berbeda. Lebih jauh lagi, pemahaman semacam ini dapat dijadikan sebagai
batu loncatan dalam membawa siswa kepada konsep fundamental luas bangun datar.
(2) Perancangan: Pada tahapan ini peneliti melakukan perancangan penulisan dengan
mempersiapkan outline penulisan selanjutnya digunakan sebagai panduan dalam penyusunan
draf modul masalah matematika berbobot (rich task).
(3) Pengembangan: Peneliti melakukan pengembangan modul masalah matematika berbobot (rich
task). Modul ini terdiri atas beberapa bagian, diantaranya ringkasan materi mengenai masalah
matematika berbobot (rich tasks) termasuk hubungannya dengan kemampuan berpikir tingkat
tinggi (HOTS), bahan presentasi (capture power point) yang akan disajikan pada kegiatan
MGMP Matematika dan lampiran-lampiran berupa Lembar Kerja Guru (LKG), lembar refleksi
serta bahan-bahan yang digunakan selama kegiatan MGMP berlangsung.
Gambar 4. Cover dan Daftar Isi Modul MGMP Rich Tasks
Modul yang telah dikembangkan selanjutnya divalidasi oleh dua orang validator. Hasil analisis
validasi modul matematika berbobot (rich task) oleh ahli diperoleh aspek Tampilan sebesar
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 345
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
91,67%, aspek Isi sebesar 95% dan aspek Bahasa sebesar 87,5%. Selanjutnya membuat
kesimpulan kevalidan modul sebesar 93,53%. Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan
kriteria persentase skor rata-rata hasil validasi yaitu 75% ≤ SR ≤ 100 % menyatakan valid
tanpa revisi.
(4) Implementasi: Peneliti melakukan ujicoba produk yaitu modul masalah matematika berbobot
(rich task). Pelatihan tentang Masalah Matematika Berbobot (rich task) untuk Guru Matematika
SMP di MGMP Kota Mataram dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 29 September 2018
berlokasi di MTsN 2 Mataram.
Gambar 5. Kegiatan Implementasi Modul MGMP Rich Tasks
(5) Evaluasi: Pada model pengembangan ADDIE terdapat dua evaluasi yang dilakukan yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Pada tahapan ini peneliti melakukan evaluasi formatif.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kualitas modul matematika berbobot (rich task) ditinjau
dari hasil respon Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram terhadap modul dalam
bentuk angket, lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul, serta lembar observasi
pelaksanaan ujicoba modul. Hasil respon Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram
terhadap modul dilaksanakan setelah proses uji coba yang dilakukan pada Guru peserta MGMP
Kota Mataram sebagai subjek penelitian yang akan memberikan penilaian melalui angket yang
telah diberikan setelah menggunakan modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task).
Adapun hasil uji coba angket pengembangan modul modul Masalah Matematika Berbobot (Rich
Task). diperoleh aspek karakteristik sebesar 81 %, elemen mutu sebesar 74 %, kebahasaan
sebesar 79 %, dan keaktifan pengguna modul sebesar 86%. Rata-rata hasil pengembangan
modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task) diperoleh persentase sebesar 80 % guru
berpendapat modul ini sangat baik.
Hasil analisis lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul yang diisi oleh pengguna
modul yaitu Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram setelah ujicoba diperoleh aspek
Tampilan sebesar 87,5% , aspek Isi sebesar 86,4% dan aspek Bahasa sebesar 90,6%.
Selanjutnya membuat kesimpulan kepraktisan modul berada pada 80% ≤ P ≤ 100 % berada
pada kategori sangat baik.
Berikutnya analisis keterlaksanaan kegiatan ujicoba dapat dinilai berdasarkan lembar
observasi. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat
aktivitas fasilitator sebagai pemateri dalam pelatihan menggunakan modul Masalah
Matematika Berbobot (Rich Task). Pada kegiatan ini, peneliti berperan secara langsung sebagai
fasilitator. Berdasarkan lembar observasi fasilitator diperoleh hasil aktivitas fasilitator secara
berturut-turut sebesar 78,57% dan 89,29 % artinya aktivitas fasilitator berjalan sangat baik
sesuai dengan alur Modul Masalah Matematika Berbobot (Rich Task).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 346
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
KESIMPULAN
Penelitian pengembangan ini berorientasi untuk menghasilkan produk yaitu Modul Masalah
Matematika Berbobot (Rich Task), dengan menggunakan langkah-langkah penelitian
pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Berdasarkan
hasil analisis validasi modul matematika berbobot (rich task) oleh ahli diperoleh untuk aspek
Tampilan sebesar 91,67% , aspek Isi sebesar 95% dan aspek Bahasa sebesar 87,5%. Selanjutnya
membuat kesimpulan kevalidan modul sebesar 93,53%. Kesimpulan analisis data disesuaikan
dengan kriteria persentase skor rata-rata hasil validasi yaitu 75% ≤ SR ≤ 100 % menyatakan valid
tanpa revisi. Hasil analisis lembar evaluasi modul/lembar kepraktisan modul yang diisi oleh
pengguna modul yaitu Guru Matematika SMP di MGMP Kota Mataram setelah ujicoba diperoleh
aspek Tampilan sebesar 87,5%, aspek Isi sebesar 86,4% dan aspek Bahasa sebesar 90,6%.
Selanjutnya membuat kesimpulan kepraktisan modul berada pada 80% ≤ P ≤ 100 % berada pada
kategori sangat baik.
Adapun saran yang peneliti sampaikan terkait dengan hasil penelitian ini adalah:
Modul matematika berbobot (rich task) adalah modul yang perlu disiapkan bagi guru yaitu modul
yang menyediakan pengetahuan mengenai pentingnya merancang suatu aktivitas pembelajaran yang
berbobot, bagaimana ciri-cirinya, macam aktivitas yang berbobot dan bagaimana cara merancang
aktivitas berbobot tesebut. Sehingga perlu disiapkkan modul matematika berbobot (rich task) yang
baik.
DAFTAR RUJUKAN
Andrian, J. (2014). Pengembangan Lembar Kerja Siswa Mata Pelajaran Matematika Materi Bentuk
Aljabar Dengan Pendekatan Kontekstual untuk Siswa SMP kelas VIII. Skripsi. [Online],
Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/13206. [11 November 2016].
Arikunto. (2014). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Clarke, D & Clake, B. (2002). Using Rich Assessment Tasks in Mathematics to Engage Students and
Inform Teaching. In proceeding of seminar for Upper Secondary Teachers. Stockholm
September 2002.
Gilderdale, C. & Kiddle, A. (2014). What are Rich Tasks?. [Online], Tersedia:
https://nrich.maths.org/11249. [17 Juni 2017]
Mcdonald, S & Watson, A. (2010). What’s in a task? Generating mathematically rich activity,
University of Oxford. [Online], Tersedia:
http://www.nationalstemcentre.org.uk/elibrary/resource/4775/linked-pair-of-gcses-pilot-
suport-materials. [20 Desember 2016].
Piggott, J. (2008). Rich Task and Contexts. [Online], Tersedia: https://nrich.maths.org/5662. [17 Juni
2017].
Sahertian, P. A. (2000). Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Secondary National Strategy. (2007). Mathematics at KeyStage 4: developing your scheme of work.
Department for Education and Skills (DfES).
Suandito, B., Darmawijoyo, D. & Purwoko. (2009). Pengembangan Soal Matematika Non Rutin di
SMA Xaverius 4 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2), 1-13.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.
Bandung : Alfabeta.
Sutrisno, B. (2014). MGMP: Inovasi Pendidikan. [Online], Tersedia:
http://mgmpkwugunkid.blogspot.co.id/2014/01/manfaat-mgmp-bagi-guru.html. [1 Juni 2017]
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 347
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
ANALISIS CAMPUR KODE PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA
KELAS VII DI SMP NEGERI 5 PRAYA TIMUR KABUPATEN LOMBOK TENGAH
TAHUN PELAJARAN 2018/2019
Arpan Islami Bilal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini merupakan kajian tentang peristiwa campur kode bahasa yang
terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur
Kabupaten Lombok Tengah yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan faktor penyebab
campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Rancangan penelitian ditujukkan untuk
mendeskripsikan bentuk dan faktor penyebab campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Metode penentuan subjek penelitian dilakukan dengan menetapkan populasi (seluruh siswa kelas
VII SMPN 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah) dan sampel (siswa kelas VII.B yang
berjumlah 34 orang) sebagai informan. Metode pengumpulan data yakni metode obsevasi,
kemudian dilanjutkan dengan metode dokumentasi, dan wawancara. Metode untuk menganalisis
data adalah metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil simpulan:
(1) campur kode yang terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dalam bentuk pergantian
unsur-unsur berupa kata, kelompok kata, kata ulang, dan pergantian unsur yang berwujud klausa
(2) faktor penyebab terjadinya campur kode secara ekstralinguistik disebabkan (a) kebiasaan guru
dan siswa menggunakan bahasa daerah sehingga kebiasaan tersebut terbawa-bawa dalam kegiatan
pembelajaran, (b) siswa lebih paham apabila guru menggunakan bahasa campuran/daerah ketika
menjelaskan materi pembelajaran, (c) pergantian unsur bahasa tertentu ditujukan untuk
pengormatan dan penghalusan. Adapun faktor penyebab terjadinya campur kode secara
intralinguistik dikarenakan beberapa kosakata tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kata Kunci: Analisis Campur Kode, Bentuk, Faktor Penyebab
PENDAHULUAN
Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan tidak perlu diragukan lagi.
Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi bahasa juga dipergunakan
untuk menjalankan aktivitas hidup manusia. Seperti penelitian, penyuluhan, pemberitaan bahkan
untuk menyampaikan pikiran, pandangan, dan perasaan. Bahasa sangat diperlukan karena hanya
dengan bahasa manusia dapat mengkomunikasikan segala hal. Wujud komunikasi dan interaksi
antara sesama manusia yang terhimpun dalam komunitas besar manusia yang disebut masyarakat.
Satu hal mutlak yang dibutuhkan dalam proses komunikasi itu ialah bahasa.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa
dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena di dalam
kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai
masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam
bertutur akan selalu dipengaruhi oleh sesuatu dan kondisi disekitarnya (Wijana dan Rohmadi,
2010: 7).
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran utama bahasa adalah
pelaksanaan fungsinya sebagai alat komunikasi.Satu hal yang tidak dapat dihindari dari
implementasi peran bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat adalah terjadinya kontak
bahasa. Kontak bahasa yang dimaksud adalah bertemunya dua bahasa atau lebih dalam suatu proses
komunikasi sosial.
Kontak bahasa baik yang bersifat individual (bilingual) maupun sosial (diglosia)
menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pidgin, kreol,
alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa.Jadi kontak bahasa merupakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 348
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
kondisi sosiolinguistik yang memungkinkan terjadinya tindakan spontan seorang penutur
untuk mengganti kode bahasa yang sedang digunakan dalam suatu proses komunikasi
(Wijana dan Rohmadi, 2010: 6).
Penggantian kode bahasa tersebut dapat terjadi secara keseluruhan, memasukkan unsur bahasa
lain dalam bahasa yang sedang digunakan atau pergantian variasi sebuah bahasa. Hal ini di
latarbelakangi oleh suatu alasan tertentu yang memungkinkan suatu komunikasi dapat dipahami
oleh lawan tutur. Saat berinteraksi antara manusia dengan manusia lainnya, pada keadaan tertentu
akan didapati manusia yang mampu berbicara lebih dari satu bahasa, disebut dengan istilah
bilingual atau bahkan ada manusia yang multilingual.
Berkaitan dengan pemilihan bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar,
khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok
Tengah. Guru dalam hal ini cenderung berdwibahasa (bilingualism) dalam menyampaikan materi
pelajaran. Dengan kata lain, guru bercampur kode (code mixing) dari bahasa Indonesia ke bahasa
daerah yang dikuasai sebagian besar siswanya. Maka upaya guru dalam mengatasi kesulitan-
kesulitan tersebut guru cenderung berdwibahasa (bilingualism) dalam menyampaikan materi
pelajaran. Dengan kata lain, guru mencampurkan kedua bahasa tersebut yaitu bahasa Indonesia ke
bahasa daerah yang dikuasai sebagian besar siswanya. Oleh karena itu, campur kode tidak dapat
dihindari. Adapun alasan pemilihan pada pembelajaran bahasa Indonesia karena peneliti
menganggap guru dalam interaksi belajar mengajar di kelas harus menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap
penggunaan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5
Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di
SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019?
2. Faktor apakah yang menyebabkan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran
2018/2019?
TUJUAN PENELITIAN
Setiap melakukan kegiatan penelitian tentu mempunyai tujuan,demikian pula halnya dengan
penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di
SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019.
2. Mendeskripsikan faktor penyebab campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran
2018/2019.
LANDASAN TEORI
Campur Kode
a. Pengertian campur kode
Campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah
bahasa dari suatu masyarakat tutur. Kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa
memiliki fungsi otonomi masing-masing yang dilakukan dengan sadar. Sedangkan campur
kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah
berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode
(Chaer dan Agustina, 2010:114).
Campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal
ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan
tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud (Rahman, 2013: 20). Jadi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 349
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu kehendak bahasa. Tanpa adanya situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran
bahasa itu hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya yang dituruti.
b. Bentuk campur kode
Campur kode memiliki berbagai bentuk/wujud. Campur kode yang berwujud kata, kata
ulang, kelompok kata, idiom maupun berwujud klausa. Mengacu dari teori, maka akan
diuraikan peristiwa campur kode dalam Rubrik Wacana Solo Ngudarasa Solopos (RWSNS)
berdasarkan wujud campur kodenya.
1. Campur kode berwujud kata.
Campur kode yang terjadi dalam RWSNS memiliki berbagai bentuk/wujud yang
bermacam-macam.Salah satunya adalah campur kode yang bewujud kata.Sebagai contoh
perhatikan tuturan kalimat berikut ini.
(a) Soal nasib Naker nganggur akibat kerusuhan “Semoga Pemda turun tangan” Agus, 30,
warga Banjarsari.
Tuturan kalimat (a) mengalami peristiwa campur kode yang berwujud kata. Kata
nganggur yang diucapkan oleh warga Banjarsari yang ingin mengungkapkan pendapatnya
tentang nasib pengangguran khususnya di kota Solo.
(b) “Tega banget yang bikin susah kayak begini, otomatis pengangguran bertambah banyak,
habis kalau kantor rusak yah terpaksa di rumah saja.” (RWSNS/20 Mei 1998/046)
Peristiwa campur kode dalam kalimat (b) berwujud kata yaitu banget (terlalu), bikin
(membuat), dan yah (ya). Penulis dalam kalimat (b) bercampur kode seperti itu dengan
tujuan untuk mengekspresikan perasaannya kepada pembaca tentang nasib pengangguran
akibat kerusuhan yang dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
(c) “Idealnya memang pemilihan ketua SM UNS harus diulang, tetapi saya kira di sini itu
impossible dilakukan’. (RWSNS/20 Mei 1998/003)
Peristiwa campur kode dalam kalimat (c) berwujud kata yang bersumber dari bahasa
asing, yaitu bahasa Inggris. Pemilihan unsur bahasa Inggris impossible dengan tujukan
kepada mahasiswa UNS yang dianggap memiliki pengetahuan bahasa Inggris yang cukup
sehingga mereka akan mengerti maksud yang disampaikan penulis (Wijana dan Rohmadi,
2010:172-173).
METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif berusaha
mendeskripkan bentuk dan faktor penyebab terjadinya campur kode dalam pembelajaran
bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah
tahun pelajaran 2018/2019.
2. Metode Penentuan Subjek Penelitian
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 5 Praya
Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019
b. Sampel
Sampel adalah sebagian wakil dari populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2006: 104),
Furchan mengatakan karena tujuan penarikan sampel dan populasi itu adalah untuk
memperoleh informasi mengenai populasi, maka penting sekali diusahakan agar individu-
individu yang dimaksudkan dalam sampel itu merupakan contoh refresentatif, yang benar-
benar mewakili semua individu yang ada didalam populasi (dalam Rahman, 2013: 47).
3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif kualitatif dapat diartikan sebagai cara menganalisis data yang berupa kutipan
data dan penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci Moeleong (2007: 11).
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 350
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Campur Kode Berwujud Kata
Pertama kata ndek artinya “tidak” pada tuturan guru: “Kamu ndek dengar kata ibu tadi.
Kedua Kata ndak dan bale artinya “Tidak” dan “Rumah” pada tuturan siswa: “Ndak ada bu
guru di bale saja”. Ketiga Kata mauq artinya “dapat” pada tuturan guru: “Nilai rapot kalian
kemarin siapa saja yang dapat nilai A? Ovi berapa kamu mauq nilai bahasa Indonesia?”
2. Campur kode berwujud kelompok kata
Kelompok kata alhamdulillah artinya “Segala puji bagi Allah” pada kalimat guru: “Syukur
alhamdulillah kalau sehat semuanya. Bagaimana liburannya kemarin, kalian ke mana saja?”
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan pembahasan dalam analisis, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1) Bentuk campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII di SMP Negeri 5
Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019 yaitu bentuk campur kode
yang berwujud kata, kelompok kata, kata ulang, dan klausa. Adapun bentuk campur kode yang
mendominasi ialah bentuk campur kode yang berwujud kata.
2) Faktor penyebab terjadinya campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII
di SMP Negeri 5 Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tahun pelajaran 2018/2019
disebabkan oleh 2 faktor yakni faKtor ekstralingustik dan intralinguistik, merupakan gejala
campur kode yang berkaitan dengan kode-kode estetik atau etika perilaku penutur yang
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di luar penutur tersebut. Faktor ekstralinguistik dipengaruhi
oleh hal-hal di luar kebahasaan yaitu penutur itu sendiri, adapun faktor intralinguistik yang
mempengaruhi campur kode yang dilatarbelakangi oleh kompetensi atau kemampuan berbahasa
yang dimiliki penutur sehingga memungkinkan ia melakukan campur kode. Pertama karena
penutur itu sendiri dalam hal ini guru dengan sengaja melakukan campur kode dalam
pembelajaran guna untuk menjelasakan kepada siswa tentang apa yang disampaikan, kedua
karena kebiasaan lingkungan sekitar yang sering menggunakan bahasa daerah maupun bahasa
Arab dan Inggris yang sangat sulit diubah.
SARAN
Berdasarkan pembahasan dan simpulan hasil penelitian, dapat disarankan pada guru-guru,
terutama guru bahasa Indonesia, hendaknya mengembangkan kebiasaan menggunakan bahasa
Indonesia secara lebih tertib dalam mengelola proses belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam
proses belajar mengajar, guru hendaknya meminimalkan (mengurangi) penggunaan campur kode
dalam pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Anwar. 2006. Bentuk Peristiwa Campur Kode Pemaikan Bahasa Indonesia Pengajian Tuan Guru
Bajang (KH.M. Zainul Majdi, M.A). Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra Universitas
Mataram.
Aprilia, V. 2009. Analisis Alih Kode Dalam Lirik Lagu Baby Don’t Cry Oleh Namie Amuro.
Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra Universitas Mataram.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
_______, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi. Revisi, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Chaer, A. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, A. Dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gulo. W. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia
Hadi.A. 1998. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Idrus. 2009. Campur Kode Dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Di Lingkungan Telaga Mas
Ampenan Utara. Mataram: Fakultas Bahasa Dan Sastra SSUniversitas Mataram.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: ROSDA.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 351
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Keraf, G. 2004. Komposisi. Flores, NTT: Penerbit Nusa Indah.
Khoiri, I. 2007. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Pemahaman. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Maulidini, R. 2007. Campur Kode Sebagai Strategi Komunikasi Customer Service: Study Kasus
Nokia Care Center Bima Sakti Semarang (Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro Diambil Tanggal 1 April 2014
Moeleong, L. J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia. 2009. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan: Dan
Uraian Sederhana Tentang Gaya Bahasa Dan Majas. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Rahman, H. 2013. Analisis Tindak Bahasa Campur Kode Di Pasar Labuhan Sumbawa Pendekatan
Sosiolinguistik. Sumbawa: Fakultas Bahasa Dan Sastra Diambil 25 Agustus 2014
Rohmani, S. 2012. Analisis Alih Kode Dan Campur Kode Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad
Fuadi. PBS FKIP UNS Diambil Tanggal 1 April 2014 (Lib.Uns.Ac.Id).
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.
Bandung: CV Alphabet.
Tim Penyusun Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. 2010. Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung: Fokus Media.
Tim Penyusun. 2014. Buku Pedoman Penulisan Skripsi Mahasiswa FKIP UM Mataram. Mataram:
UM Mataram Press.
Wijana, D.P, Dan Muhammad Rohmadi. 2010. Sosiolinguistik Kajian Teori Dan Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 352
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
ANALISIS SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL DI SMA ISLAM
SWASTA DI KOTA MATARAM : SEBAGAI DASAR UNTUK
PENINGKATAN MUTU PESERTA DIDIK
D. Setiadi1; Nym Sridana
2; S. Wilian
3
Prodi Magsiter Administrasi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Mataram
Abstrak: Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) satuan pendidikan menengah merupakan
sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan oleh seluruh komponen dalam satuan pendidikan.
SPMI di SMA Islam swasta perlu dikaji dan dicarikan penyelesaian agar kualitas proses dan hasil
belajar peserta didik bisa setara dengan sekolah lain. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk
mengetahui pemahaman SPMI, Program-program sistem penjaminan mutu internal dan kendala-
kendala yang dihadapi. Subjek penelitian guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui analisis dokumen, angket dan wawancara dengan sumber data seperti guru,
kepala sekolah dan tenaga kependidikan. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tahapan
Pengumpulan data, Persiapan analisis data, Membaca semua, Mengkode data, Mengkode teks untuk
deskripsi dan tema yang digunakan dalam laporan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa
tenaga pendidik dan kependidikan secara keseluruhan belum memahami secara menyeluruh
tentang SPMI satuan pendidikan menengah. Selain itu, program program penjaminan mutu belum
terorganisir dengan baik terkait dengan SPMI untuk bisa memenuhi standar pendidikan, kendala
yang dihadapi untuk di SMA Islam swasta, semua warga sekolah belum memiliki pemahaman yang
baik tentang SPMI dan tim penjamin mutu yang baik. Sehingga program-program sekolah tidak
mengarah pada peningkatan mutu secara bertahap untuk mencapai dan melebihi standar nasional
pendidikan. Kedua sekolah sampel perlu diberikan pemahaman dan pembimbingan terkait dengan
tahapan peningkatan mutu sekolah sesuai dengan visi misi sekolah dan standar nasional pendidikan.
Sebagai langkah awal SMA Islam swasta perlu membentuk SPMI yang sesuai persyaratan agar
bisa meningkatkan kualitas proses administrasi dan pembelajaran.
PENDAHULUAN
Sistem penjaminan mutu internal merupakan sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan di
dan oleh satuan pendidikan tertentu dan melibatkan seluruh komponen dalam satuan pendidikan.
Secara nasional, mutu pendidikan menengah di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Hasil
pemetaan mutu pendidikan secara nasional menunjukkan hanya sekitar 16% satuan pendidikan
yang memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah. 2016). Sebagian besar satuan pendidikan lain belum memenuhi SNP, bahkan terdapat
sejumlah satuan pendidikan yang masih belum memenuhi stándar pelayanan minimal (SPM).
Standar kualitas pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah berbeda dengan standar yang
dilaksanakan oleh satuan pendidikan. Standar yang digunakan oleh sebagian besar sekolah jauh di
bawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, kualitas lulusan yang dihasilkan oleh
satuan pendidikan tidak memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.
Masih banyak tim pengelola pendidikan yang tidak memahami secara baik makna standar
mutu pendidikan. Selain itu, sebagian besar satuan pendidikan belum memiliki kemampuan untuk
bisa manjamin segala proses yang dilaksanakan memenuhi standar kualitas. Satuan pendidikan
harus mengimplemetasikan penjaminan mutu pendidikan secara baik dan mandiri serta
berkelanjutan. Menurut Pemerintah RI (2003) dalam bentuk Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Selain itu, setiap satuan
pendidikan diharuskan melakukan penjaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi
atau melampaui SNP.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 353
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Sistem penjaminan mutu internal pendidikan menengah, merupakan suatu kesatuan unsur
yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan yang
dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan
bermutu yang memenuhi atau melampaui SNP. Usaha untuk peningkatan dan penjaminan mutu
pendidikan adalah tanggung jawab satuan pendidikan. Untuk peningkatan mutu sekolah secara utuh
khususnya SMA swasta di Mataram dibutuhkan pendekatan khusus agar seluruh komponen-
komponen sekolah secara bersama-sama bisa memiliki budaya mutu.
Untuk dapat melakukan penjaminan mutu pendidikan, satuan pendidikan perlu membentuk
SPMI. Berdasarkan studi pendahuluan di SMA swasta di Kota Mataram yang dijadikan sampel
menunjukan bahwa di sekolah-sekolah tersebut belum memiliki sistem penjaminan mutu yang baik
sesuai dengan stándar dan aturan yang berlaku walaupun dilihat dari nilai akreditasi mencapai
stándar tertinggi. Hal tersebut akan berdampak pada mutu lulusan yang tidak bisa memenuhi SNP
sementara sejumlah sekolah lain baik negeri maupun swasta sudah bisa melebihi SNP.
Dengan demikian diperlukan kajian terkait dengan sistem penjaminan mutu internal di
sekolah-sekolah tersebut agar secara bertahap bisa memenuhi SNP atau bahkan melebihinya.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang sistem penjaminan mutu
internal di SMA swasta di Kota Mataram sebagai dasar untuk penyusunan atau pengembangan
program-program mutu di satuan pendidikan tersebut.
METODE
Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dimana peneliti mengenal keadaan partisipan, bertanya luas, pertanyaan umum, dan pengumpulan
data terdiri atas teks secara luas dari partisipan, menjelaskan dan menganalisis teks untuk tema serta
melakukan inkuiri, bersifat subjektif (Creswell, 2008). Selain itu, peneliti sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2008a; 2008b).
Penelitian dilaksanakan mulai dari akhir bulan Mei 2018 sampai dengan akhir September
2018. Sampel penelitian adalah SMA Muhammadiyah, SMA NW (Nahdatul Wathan) Mataram
dengan fokus permasalahan pada pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal. Sumber data adalah
tenaga pendidik dan kependidikan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen,
wawancara, dan angket. Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman wawancara, angket,
pedoman analisis dokumen. Data dianalisis dan diinterpretasi secara kualitatif dengan tahapan:
Pengumpulan data, Persiapan analisis data, Membaca semua data, Mengkode data, Mengkode teks
untuk deskripsi yang digunakan dalam laporan penelitian dan Analisis deskriptif data.
HASIL PEMBAHASAN
Sebelum membahas tetang sistem penjaminan mutu internal (SPMI) di sekolah sampel
terlebih dahulu disampaikan tentang pemahaman tenaga pendidik dan kependidikan yang terlibat
langsung dalam implementasi SPMI. Hasil menunjukan bahwa pemahaman kepala sekolah tentang
sistem penjaminan mutu internal menunjukan skor 2,20 atau pada tingkat kurang, sedangkan
tenaga kependidikan lain dengan skor pemahaman 2,85 lebih tinggi dari kepala sekolah tetapi
masih pada tingkatan kurang. Sama halnya pemahaman tenaga pendidik terhadap SPMI mencapai
skor 2,13 masih pada tingkat kurang. Selain itu pendidik dan tenaga kependidikan belum
memahami secara baik tentang konsep dan prinsip, tujuan dan cakupan SPMI satuan pendidikan,
hal tersebut penting bagi pelaksana penjaminan mutu internal, karena jika kurang memahami
tentang SPMI tersebut pihak pengelola tidak akan bisa melaksanakannya secara maksimal sesuai
dengan rohya SPMI. Solusinya seperti yang dikemukakan oleh Lamosi dan Mukonyi (2015) yang
merekomendasikan bahwa kepala sekolah memperkuat manajemen kualitas alternatiff seperti
teacher appraisal, use of internal quality assurance officers by capacity building on requisite
knowledge and skills.
SPMI terkait dengan 8 standar nasional pendidikan dan dengan tugas guru, maka akan
terkait terutama dengan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standard evaluasi
dan standard pendidik sendiri. Berikut disampaikan tingkat keterpahaman pendidik terhadap
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 354
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
standar kompetensi lulusan skor 3,04, Standar Isi skor 3,6, Standar Proses skor 3,0, dan standar
Evaluasi skor 3,43. Selain itu yang terkait dengan standar tenaga pendidik mencapai skor 3,8.
Keterpahaman tersebut baru mencapai tingkat cukup tetapi untuk standar tenaga pendidik
mendekati baik. Namun demikian untuk bisa terlaksananya proses dan evaluasi yang sesuai
dengan standard maka tingkat pemahaman tenaga pendidik harus di atas baik. Selain itu bahwa
guru diterima didasarkan pada pengetahuan konten kurikulum, kualifikasi professional yang telah
ditentukan oleh pemerintah (Onuma, dan Okpalanze, 2017).
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan SPMI di sekolah yang menjadi lokasi penelitian
mencakup siklus SPMI yang terdiri dari 5 tahap, Pertama, Pemetaan mutu pendidikan yang
dilaksanakan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Pihak tenaga
kependidikan dan tenaga pendidik sekolah belum memahami secara detail tentang tahapan
pemetanaan mutu pendidikan mulai dari menyusunan instrumen dan pengumpulan data serta
analisis data hasil pemetaaan yang akan terkait dengan pembuatan rencana untuk tahap berikutnya
dari siklus SPMI. Kegiatan pada tahap ini termasuk evaluasi internal dan bisa dilakukan dengan
tahapan Plan, Do, Check dan Act (Nelson, Ehren, dan Godfrey. (2015).
Kedua, Pembuatan rencana peningkatan mutu yang dituangkan dalam Rencana Kerja
Sekolah, pihak sekolah tidak mengetahui caranya bagaimana membuat rencana peningkatan mutu
yang terkait dengan standar nasional pendidikan. Pembuatan rencana sekolah terkait dengan
peningkatan mutu yang harus disusun berdasarkan potret diri sekolah dari kondisi mutu saat
evaluasi diri dilakukan, kemudian menyusun sejumlah rencana kerja yang secara keseluruhan
berorientasi pada peningkatan mutu proses administrasi dan pembelajaran.
Ketiga, pelaksanaan pemenuhan mutu baik dalam pengelolaan satuan pendidikan maupun
proses pembelajaran, pada tahap ini juga pihak pengelola satuan pendidikan belum secara
menyeluruh memahami tahap ini dari siklus SPMI, hal ini terkait dengan tingkat pemahaman tahap
sebelumnya, oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam terkait dengan implementasi SPMI
untuk pemenuhan mutu dalam manajemen satuan pendidikan dan proses pembelajaran secara luas.
Hal tersebut memerlukan kebersaman semua warga sekolah untuk bersama–sama melaksananaan
program sekolah yang berhubungan dengan pemenuhan mutu pendidikan sesuai standar.
Keempat, Monitoring dan evaluasi proses pelaksanaan pemenuhan mutu yang telah
dilakukan, tahap ini pihak sekolah masih membutuhkan pengetahuan secara baik terkait peran dan
fungsi monitoring dan evaluasi untuk setiap program pemenuhan mutu, sehingga akan bermanfaat
untuk proses selanjutnya tentang penysusunan standar baru dan strategi untuk pencapaian mutu
yang telah direncanakan.
Terakhir, Penetapan standar baru dan penyusunan strategi peningkatan mutu berdasarkan
hasil monitoring dan evaluasi. Pihak pengelola satuan pendidikan belum memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang baik tentang penyusunan standar mutu baru termasuk strategi pencapaiannya.
Pihak sekolah pun masih harus belajar dan menyiapkan diri terkait dengan tahapan terakhir dari
siklus SPMI. Dalam penyusunan program harus secara total holistic process concerned with
ensuring integrity of outcomes (Adegbesan, 2011).
Pihak sekolah secara keseluruhan belum memiliki tim khusus yang melaksanakan
mengontrol program penjaminan mutu internal, sehingga akan kesulitan dalam meningkatkan status
mutu sekolah berdasarkan kualitas pencapaian mutu. Oleh karena itu perlu dimulai dengan
merancang SPMI sekolah sesuai dengan kondisi dan daya dukung sumber daya sekolah, tidak perlu
membuat target dan indikator yang terlalu tinggi dan sulit dicapai, tetapi program-program mutu
tersebut harus sesuai kondisi sekolah, pencapaian mutu dilakukan secara bertahap dan tetap fokus
untuk memenuhi SNP secara baik, kemudian jika sudah memiliki daya dukung yang lebih baik
maka dilanjutkan untuk menjadi sekolah model bahkan mungkin sekolah rujukan. Namun
demikian modal awal adalah komitmen warga sekolah memiliki kemauan untuk maju dan
berkualitas melalui kerja sama yang baik dalam berbagai kegiatan program mutu sesuai
dikemukakan Praraksa, dkk. (2015) bahwa team work is the vital factor for the schools in order to
improve internal quality assurance operational effectiveness since team work supports
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 355
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
performance, quality of working life, interaction, collaboration and it is the instrument in
organizational development.
Program-program dalam rencana pengembangan sekolah belum secara jelas terkait dengan
program mutu dari sitem penjaminan mutu internal sekolah. Hal tersebut disebabkan pihak sekolah
belum memiliki sistem penjaminan mutu internal secara baik dan berkelanjutan. Sehingga perlu
pengkajian bersama secara menyeluruh menyangkut sumber daya yang dimiliki sekolah untuk bisa
lebih meningkatkan kualitas sekolah melalui program-program mutu yang dikelola oleh tim system
penjaminan mutu internal. Selain itu terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi penjaminan
mutu internal berupa four factors of direct effect were administrators’ instructional leadership,
innovation culture of organization, opened climate of organization and teachers’ leadership
(Praraksa, dkk.. 2015). Juga tergantung pada motivation of teachers is a quality assurance practice
in secondary schools (Onuma, dan Okpalanze, 2017) dan quality assurance component aims to
enhance teaching and learning as an integral feature of school improvement (Caesar, 2013),
termasuk juga the emphasizing understanding and not memorization, the need for more group work
and dialogue, restoring the visual-spatial aspects of learning, re-thinking curriculum balance, and
re-examining national examination systems (Almadani, Reid, dan Rodrigues, 2011).
Penyusunan program terkait dengan peningkatan mutu perlu memperhatikan sejumlah faktor
yang akan berpengaruh sperti disampaikan di atas terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan
bahkan termasuk peserta didik yang merupakan faktir yang sangat menentukan keberhasilan
peningkatan mutu, sehingga dengan pertimbangan tersebut tingkat kegagalan akan bisa
diminimalisir
Dalam konteks implementasi penjaminan mutu internal, penentuan program dan
pelaksanaan sperti dikemukakan oleh Uchtiawati, dan Zawawi (2014) bahwa Sekolah melalui
mekanisme yang telah ditentukan dapat menentukan tahap-tahap pelaksanaan jaminan mutu sebagai
berikut: yaitu: plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan melakukan tahap evaluation
(mengevaluasi), secara berkelanjutan. Selain itu, diperlukan dukungan adequate facilities and
equitable educators will have a significant impact on the implementation of the internal quality
assurance system in schools (Darman, Darwin, dan Yusnadi, 2017). Juga untuk lebih meningkatkan
penjaminan kualitas dalam hubungannya dengan proses pembelajaran ditunjukan dengan students
expressed high satisfaction with the state of learning resources and the competence of the academic
staff available to them (Essel1, Boakye-Yiadom, dan Kyeremeh, 2018) dan harus fokus pada
economical, technical, and organizational dimensions as main dimensions of feasibility system
(Amir, 2015).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berupa dukungan dari pemerintah should continue to
provide adequate infrastructures and facilities in the schools to create a conducive teaching and
learning environment for both teachers and the students (Oyewole, 2013), intensified and possibly
private participation in the practice should be encouraged (Olufunke, Joseph, dan Adetayo, 2012).
Juga memerlukan systems of quality control with regard to the actors, i.e. the stakeholders instead
of the institutional configurations: (1) state control and accountability by bureaucratic means and
legal regulations, (2) professional control and accountability, and (3) consumer control and
accountability (Huber dan Gördel, 2006).
KESIMPULAN
Tingkat pengetahuan warga sekolah terkait dengan SPMI masih pada tingkat rendah yang
masih perlu dikembangkan sebelum membentuk sistem penjaminan mutu internal satuan
pendidikan. Selain itu pemahaman pendidik terkait standar pendidikan nasional yang sangat
berhubungan dengan tugasnya masih pada tingkat cukup sehingga masih perlu peningkatan
pemahaman agar bisa melaksananakan proses dan evaluasi sesuai dengan standar. Perlu
pengembangan bagi tenaga pendidik dan kependidikan dalam hal pengetahuan dan keterampilan
dalam implementasi penjaminan mutu internal melalui tim khusus dari eksternal satuan pendidikan
sampai sekolah tersebut siap untuk bisa melaksanakan sistem penjaminan mutu internal.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 356
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
DAFTAR RUJUKAN
Adegbesan, S. O. 2011. Establishing Quality Assurance in Nigerian Educationsystem: Implication
for Educational Manage . Educational Research and Reviews Vol. 6(2), 147-151.
Almadani, K., Reid, N. dan Rodrigues, S. 2011. Quality Assurance: A Pressing Problem For
Education in the 21st
Century. Problems of Education in the 21st Century. Vol. 32.
Amir, F. 2015. Developing Structure for Management of Quality in Schools: Steps towards Quality
Assurance Systems. American Journal of Educational Research, Vol. 3, 8, 977-981
Caesar, C. (2013). Framework for Delivery of Quality Education: Examination of quality concepts
to inform a framework for improving education quality in St Lucia a member of the
Organization of Eastern Caribbean states (OECS). American Academic & Scholarly Research
Journal Vol. (5). 1.
Creswell, J.W. (2008). Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative
and Qualitative Research. New Jersey : Pearson Education Inc.
Darman, Darwin, dan Yusnadi. 2017. Implication of Internal Quality Assurance System of Schools
Implementation Against the Accreditation rating of State Senior High Schools of Natuna, Riau
Island Province. Journal of Research & Method in Education Volume 7, Issue 5 36-39
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016a. Pedoman Umum Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016b. Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan
Mutu Oleh Satuan Pendidikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Essel1, H. B., Boakye-Yiadom, M. dan Kyeremeh, F. A. 2018.Assessing Students’ Experiences of
Internal Quality Assurance Practices in Selected Private Higher Education Institutions.
International Journal of Science and Research (IJSR). Volume 7 Issue 1.
Huber, S. G. dan Gördel, B. 2006. Quality Assurance in the German School System.European
Educational Research Journal, Vol. 5, 3
Lumosi, B. A. dan Mukonyi, P. W. 2015. Quality Monitoring in Secondary Education in Kenya: A
Comparative Analysis of Public Schools in Kakamega East and Kakamega Central Sub-
Counties of Kakamega County. International Journal of Education and Research Vol. 3 No.
1.
Nelson, R., Ehren, M. dan Godfrey, D. 2015. Literature Review on Internal Evaluation. London:
Institute of Education.,
Olufunke, O. I., Joseph, K. S. dan Adetayo, O. A. 2012. Quality Assurance and Effectiveness of
Lagos State Junior Secondary Schools. International Journal of Humanities and Social
Science. Vol. 2 No. 15.
Onuma, N. dan Okpalanze, N. P.. 2017. Assessment of Quality Assurance Practices inSecondary
Schools in Enugu State Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research 25 (8): 1695-
1714.
Oyewole, B.K. 2013. Repositioning Secondary School Administration for QualityAssurance in
Ekiti State, Nigeria. Journal of Management and Sustainability; Vol. 3, 3
Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
Praraksa, P., Sroinam, S., Inthusamith, M., dan Pawarinyanon,M. 2015. Model of Factors
Influencing Internal Quality Assurance Operational Effectiveness of the Small Sized
Primary Schools in Northeast Thailand. Social and Behavioral Sciences 197 1586 – 1590.
Sugiyono. (2008a). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Sugiyono. (2008b). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan RT & D.
Bandung : Alfabeta
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 357
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Uchtiawati1, S. dan Zawawi, I . 2014. Penerapan Penjaminan Mutu Pendidikan pada Sekolah
Menengah Atas berstandar Internasional. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan
Vol.2 (1),52-56.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 358
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENEREPAN PEMBELAJARAN EPA(EKSPLORASI, PENGENALAN, DAN APLIKASI
KONSEP) UNTUK MENINGKATKAN HASIL DAN EFEKTIVITAS BELAJAR
Dewi Silviana1; Andang
2; Dewi Sartika
3
1,2,3Sekolah Tinggi Keguruan dan ilmu Pendidikan (STKIP) Bima
e-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini mengarah pada masalah bagaimanakah penerapan metode
pembejaran EPA (ekplorasi, pengenalan dan aplikasi konsep). Metode yang digunakan yaitu
penilitian tindakan kelas (PTK) yang berlangsung dalam dua siklus. Masing-masing siklus
dilaksanakan sesuai skenario pembelajaran dan dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan, tahap observasi dan evaluasi, serta tahap refleksi. Tujuan penelitian yaitununtuk
meningkatkan hasil dan efektivitas belajar siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu yang berjumlah
30 orang siswa. Setiap masing-masing siklus dapat dilihat peningkatan ketuntasan belajar, yang
dapat dilihat pada perolehan dari nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 67 dengan ketuntasan
belajar sebesar 70% dan nilai rata-rata pada siklus II meningkat sebesar 77,16 dengan ketuntasan
belajar 86.66%. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran EPA (Ekplorasi,
Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) pada sub materi operasi bilangan bulat dapat meningkatkan hasil
dan efektivitas belajar matematika siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran
2018/2019.
Kata Kunci: EPA, Efektivitas Belajar, Hasil Belajar
PENDAHULUAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah memperbaiki proses
pembelajaran. Berbagai metode dan strategi baru dalam proses pembelajaran di sekolah telah
muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses
pembelajaran ataupun kegiatan belajar mengajar tidak bisa lepas dari keberadaan guru. Tanpa
adanya guru pembelajaran akan sulit dilakukan, apalagi dalam rangka pelaksanaan pendidikan
formal, guru menjadi pihak yang sangat vital. Guru memiliki peran yang paling aktif dalam
pelaksanaan pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Guru
melaksanakan pendidikan melalui kegiatan pembelajaran dengan mengajar peserta didik atau siswa.
Dalam proses pembelajaran, guru harus bisa memilih dan menentukan berbagai strategi agar
siswa dapat belajar secara efektif dan efesien sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Sanjaya
(2003:44) mengemukakan bahwa seorang guru perlu menggunakan beberapa metode dalam
menyampaikan suatu pokok bahasan tertentu. Dengan variasi beberapa metode, penyajian
pengajaran menjadi lebih hidup. Misalnya pada awal pengajaran, guru memberikan suatu uraian
dengan metode ceramah, kemudian menggunakan contoh-contoh melalui peragaan dan diakhiri
dengan diskusi atau tanya jawab. Disini bukan hanya guru yang aktif bicara, melainkan siswapun
terdorong untuk berpartisipasi.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan guru bidang studi matematika pada saat observasi
awal, permasalahannya yaitu rendahnya hasil belajar siswa kelas VII disebabkan karena masih
banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika yang diajarkan
khususnya pada materi operasi bilangan bulat. Hasil belajar siswa masih rendah disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain, faktor internal siswa seperti kesiapan siswa, minat, motivasi, dan
kemampuan awal siswa sebelum masuk pada materi operasi bilangan bulat dan faktor eksternal
seperti metode dan pendekatan yang diterapkan oleh guru tidak sesuai dengan materi yang
diajarkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 359
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas VII SMP Negeri 2 lambu, operasi
bilangan bulat merupakan materi yang dianggap sulit dimengerti dan dipahami siswa. Penguasan
siswa terhadap materi bahan pembelajaran, kemampuan menerapkan materi pada situasi yang
berbeda dan keterampilan siswa dalam menggunakan materi untuk memecahkan masalah yang
timbul merupakan kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki siswa. Untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut, tidaklah cukup jika siswa hanya mengikuti pembelajaran secara pasif.
Melainkan harus aktif melakukan kegiatan yang diperlukan untuk memahami dan menguasai bahan
yang dipelajari dengan cara membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah.
Dalam materi penyelesaian masalah matematika dan tentunya terjadi pula pada materi
bilangan bulat jenis-jenis kesalahan sebagai berikut (Astuty dkk, 2013 : 2) : (1) kesalahan konsep
adalah suatu kesalahan yang diperbuat oleh siswa dikarenakan kesalahan dalam memahami konsep;
(2) kesalahan operasi hitung adalah kesalahan yang diperbuat akibat kecerobohan siswa dalam
melakukan operasi hitung; (3) kesalahan acak adalah adalah suatu kesalahan yang diperbuat oleh
siswa dikarenakan ketidak tahuan siswa terhadap soal yang sedang dikerjakan sehingga jawaban
siswa tidak sesuai dengan soal.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan inovasi dalam pembelajaran, diantaranya adalah dengan cara menerapkan
metode EPA. Metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) merupakan metode yang
memperhatikan kemampuan awal siswa untuk memperoleh kemampuan baru. Metode EPA
(Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep) dalam pelaksanaannya melewati tiga tahap yaitu
tahap eksplorasi, tahap pengenalan, dan aplikasi konsep. Tahap eksplorasi berupa identifikasi
permasalahan yang ingin diketahui siswa dan pengetahuan awal siswa mengenai konsep yang
diajarkan. Tahap pengenalan konsep berupa kegiatan eksperimen untuk memecahkan masalah yang
diajukan siswa pada tahap eksplorasi, pada tahap aplikasi konsep berupa pekerjaan soal-soal
berdasarkan eksperimen, yang memungkinkan adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Tinjauan Tentang Metode Pembelajaran EPA a. Metode Pembelajaran EPA
Ide dasar pemikirannya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus
menerus menemukan sendiri melalui kegiatan nyata di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran dengan
metode EPA melalui tiga tahap yaitu eksplorasi, tahap pengenalan, dan tahap aplikasi konsep (Dwi
F H, 2008 : 16).
Tahap eksplorasi berupa identifikasi permasalahan yang ingin diketahui siswa dan pengetahuan
awal siswa atau disebut entry behavior pada dasarnya merupakan keadaan pengetahuan atau
keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh siswa sebelum dia mempelajari pengetahuan
atau keterampilan baru (Ali, 2002 : 74).
Pada tahap pertama yaitu tahap eksplorasi, bertujuan untuk menggali fakta-fakta dan konsep yang
telah dimiliki siswa. Pada tahap ini guru memberikan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui
sampai mana batas pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa yang dapat dijadikan dasar untuk
menerima program pembelajaran yang akan diberikan. Dalam hal ini guru tidak melakukan
pembetulan atau penyalahan jawaban siswa. Hasil tes akan memberikan informasi kepada guru
tentang tingkat pemahaman siswa yang tentunya akan bervariasi.
Tahap pengenalan konsep berupa kegiatan eksperimen untuk memecahkan masalah yang
diajukan siswa. Tahap pengenalan konsep menurut teori Van Hiele (Depdiknas, 2004 :25) biasa
disebut tingkat visualisasi. Dimana pada tingkat ini siswa mengamati suatu bangun sebagai suatu
keseluruhan, sesuatu yang wholistic. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memecahkan
masalah yang muncul pada tahap eksplorasi. Bentuk pengenalan konsep dengan melakukan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 360
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
eksperimen kelompok menggunakan alat peraga dan pekerjaan LKS (Lembar Kerja Siswa) dengan
bimbingan guru, sehingga siswa akan memperoleh pengalaman langsung dari eksperimen tersebut.
Pada tahap aplikasi konsep berupa pekerjaan soal-soal berdasarkan hasil eksperimen, yang
memungkinkan adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi konsep berfungsi untuk
memperkuat ingatan siswa atau daya simpan informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Sudjana (2009:163), bahwa prinsip aplikasi penting untuk menggapai hasil
belajar siswa yang tahan lama dan sifatnya integral tiga ranah pendidikan yaitu pengetahuan, sikap
dan keterampilan.
Jadi, Metode EPA adalah pembelajaran yang memperhatikan kemampuan awal siswa
sebelum memberikan pengetahuan baru. Metode ini menekankan pada kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap eksplorasi, tahap pengenalan, dan aplikasi konsep.
b. Pendekatan Dalam Metode Pembelajaran EPA
Pembelajaran dengan metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi Konsep)
menggunakan pendekatan keterampilan proses. Alasan dari penggunaan keterampilan proses adalah
karena adanya ahli psikologi umumnya sependapat bahwa anak-anak muda memahami konsep-
konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh yang konkrit atau contoh yang
sesuai dengan situasi yang dihadapi. Pendekatan keterampilan proses didefinisikan sebagai upaya
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik dan mental anak sehingga anak mampu
menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep sehingga menumbuhkan dan
mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut dalam belajar (Semiwan.dkk, 1989 : 14-18).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah yaitu:
Bagaimanakah penerapan metode pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi
konsep) pada sub materi operasi bilangan bulat dalam meningkatkan hasil belajar matematika kelas
VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran 2018/2019 dan Bagaimanakah penerapan metode
pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) pada sub materi pokok bilangan
bulat dalam meningkatkan efektivitas belajar matematika kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun
pelajaran 2018/2019?. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil dan efektivitas belajar
siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu tahun pelajaran 2018/2019 dengan menerapkan metode
pembelajaran EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) pada sub materi operasi bilangan
bulat. Metode EPA (Eksplorasi, Pengenalan, dan Aplikasi konsep) memiliki manfaat yaitu dengan
penerapan EPA dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar matematika dan dapat merangsang
kemampuan berfikir siswa dalam pemecahan masalah, serta meningkatkan hasil belajar siswa.
Selain itu bagi guru akan memberikan wawasan baru bagi guru sebagai suatu alternatif model
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada sub materi operasi bilangan
bulat.
METODE PENELITIAN
a. Waktu dan tempat penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 2 Lambu Tahun pelajaran 2018/2019.
Penelitian ini dilakukan pada semester I tahun pelajaran 2018/2019.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diperoleh dari hasil evaluasi yang akan memberikan
jawaban mengenai berhasil atau tidaknya proses pembelajaran, sedangkan pendekatan kualitatif
diperoleh dari hasil observasi yang akan memberikan gambaran tentang kegiatan guru dan siswa
terhadap proses pembelajaran.
c. Instrumen Penelitian
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 361
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Adapun instumen penelitian yang digunakan adalah skenario pembelajaran, pedoman
observasi, dan tes. Adapun kisi-kisi pedoman observasi belajar siswa sebagai berikut:
Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Observasi Belajar Siswa
No Item yang Diobservasi
1. Tahap Ekplorasi
a. Mendengar tujuan pelajaran yang disampaikan guru
b.Mengerjakan soal tes awal secara individu
c. Menyimak jawaban yang benar dari guru dan mengoreksi hasil
pekerjaan teman sebangku
d.Memperhatikan penjelasan guru dan bertanya hal-hal yang belum
dipahami
e. Menggabungkan diri dengan teman satu kelompok
2. Tahap pengenalan
a. Melakukan percobaan dan menggunakan alat peraga secara
berkelompok
b.Mengisi dan mendiskusikan LKS bersama dengan teman kelompok
c. Memperesentasikan hasil diskusi kelompok
d.Memberikan tanggapan terhadap hasil presentasi kelompok lain yang
masih belum dimengerti
e. Membuat kesimpulan
3. Tahap aplikasi konsep
a. Mengerjakan soal latihan secara individu
b.Mengerjakan soal dipapan tulis bagi siswa yang ditunjuk
c. Memperhatikan guru dan bertanya tentang hal-hal yang belum
dimengerti
d.Memperhatikan penjelasan guru dan mencatat PR
d. Analisis Data
Penelitian ini akan menentukan jenis kesulitan yang kemudian akan ditentukan
persentasenya. Pada penelitian ini ada dua jenis data yang akan dianalisis, yaitu data hasil
observasi, data hasil tes, dan data efektifitas belajar siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1.Deskripsi Data
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat prestasi siswa kelas VII-A Semester I
tahun pelajaran 2018/2019 di SMP Negeri 2 Lambu serta kegiatan guru dan siswa dengan
menerapkan metode EPA (Ekplorasi, Penerapan, dan Aplikasi konsep) pada sub operasi
bilangan bulat. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dan empat kali pertemuan dari
tanggal 9 sampai dengan tanggal 30 agustus 2018. Dari hasil observasi pelaksanaan
pembelajaran diperoleh data kualitatif yang akan memberikan gambaran tentang kegiatan yang
dilakukan oleh guru dan siswa selama proses belajar mengajar berlangsung dan data kuantitatif
berupa hasil belajar siswa pada akhir tiap-tiap siklus. Data-data tersebut kemudian dianalisis
dengan menggunakan metode dan rumus yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan
pembelajaran pada tiap-tiap siklus akan dipaparkan sebagai berikut:
2.Hasil penelitian siklus I
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 362
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Proses pembelajaran pada siklus I berlansung dalam dua kali pertemuan, dimana tiap-tiap
pertemuan berlangsung selama 2 x 35 menit, dan kegiatan evaluasi selama 1 x 35 menit pada
pertemuan selanjutnya. Pada siklus I pertemuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 9
agustus 2018 dengan materi yang dibahas adalah bilangan bulat, pengertian bilangan bulat.
Sedangkan pada pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 22 agustus 2018 dengan materi
yang diberikan adalah penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat. Dan pada pertemuan
ketiga digunakan untuk evaluasi dan membahas soal-soal evaluasi, kegiatan pada siklus I terdiri
dari beberapa tahap yaitu:
a. Tahap Perencanaan
Kegiatan yang dilakuakan guru (peneliti) pada tahap perencanaan ini adalah sebagai berikut:
1.Mensosialisasikan pelaksanaan metode pembelajaran EPA pada siswa kelas VII-A pada tanggal
8 agustus 2018.
2.Menyiapkan skenario pembelajaran yang berorientasi pada siswa.
3.Menyiapkan pedoman observasi untuk mencatat kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru
selama pembelajaran berlansung. Membuat tes awal, LKS, soal tes dan evaluasi belajar.
Menyiapkan pedoman penskoran soal evaluasi siklus II.
4.Menyiapkan analisis hasil belajar.
b.Tahap Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakuakan pada tahap pelaksanaan tindakan ini yaitu melaksanakan kegiatan
belajar dan mengajarkan dikelas dengan menerapkan metode EPA sesuai dengan rencana yang telah
dituangkan dalam skenario pembelajaran. Metode EPA yang dilaksanakan yaitu tahap eksplorasi,
tahap pengenalan, dan tahap aplikasi konsep.
Pada pertemuan I pada tahap ekplorasi dilakukan tes awal untuk mengetahui pengetahuan
awal siswa, materi pendukung yang dibahas tersebut termuat dalam soal tes awal. Berdasarkan
pengamatan guru pada pertemuan pertama siswa belum terbiasa melakukan percobaan yang ada
pada LKS sehingga siswa terlihat sedikit bingung. Namun pada pertemuan kedua siswa sudah dapat
mengikuti dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan cukup baik. Setiap pertemuan situasi
kelas belum dapat dikendalikan oleh guru, para siswa masih ribut dan belum terbiasa dengan
diskusi kelompok sehingga masih belum dapat bekerja sama dengan baik antara anggota
kelompoknya.
c. Tahap Observasi
Kegiatan observasi dilakukan secara kontinu setiap kali pembelajaran berlangsung dalam
pelaksanaan tindakan dengan mengamati kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru. Berdasarkan
pedoman observasi dan diskusi dengan guru mata pelajaran, terdapat beberapa kekurangan dan
hal-hal yang mendukung dalam pelaksanaan skenario pembelajaran siklus I. Adapun
kekurangan-kekurangan pada proses pembelajaran berdasarkan pedoman observasi yaitu:
1. Masih ada kelompok yang belum mampu mengerjakan LKS dengan baik.
2. Kurangnya kerja sama siswa dalam diskusi kelompok serta dalam melakukan percobaan, hal
ini disebakan karena siswa kurang memperhatikan petunjuk untuk melakukan percobaan.
3. Penggunaan waktu kurang efektif, karena waktu yang dibutuhkan untuk menjelaskan materi
pendukung masih kurang.
4. Adanya penemuan kesalahan dalam penyelesaian masalah pada operasi bilangan bulat yaitu
kesalahan konsep, kesalahan operasi, dan kesalahan acak.
Adapun hal-hal yang mendukung pembelajaran berdasarkan hasil diskusi dalam observasi yaitu:
1. Berdasarkan hasil tes awal, sebagian siswa masih mengingat tentang konsep dan operasi
bilangan bulat.
2. Pada masing-masing kelompok siswa yang serius dalam mengerjakan LKS, sehingga dapat
mengajak anggota kelompok yang lain untuk tetap berdiskusi dalam mengerjakan LKS.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 363
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
1. Data Hasil Observasi efektivitas Siswa
Data Hasil Observasi Efektivitas Belajar Siswa Siklus I dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Data Hasil Observasi Efektivitas Siswa Siklus I
No Indikator Skor Indikator
Pertemuan I Pertemuan II
1 Antusias siswa dalam mengikuti pelajaran 2 3
2 Interaksi siswa dengan guru 2 2
3 Interaksi siswa dengan siswa 3 3
4 Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok 3 3
5 Partsipasi siswa dalam menyimpulkan materi
yang dibahas
3 3
6 Jumlah Skor 13 14
7 Nilai Rata-rata 2,6 2,8
8 Total Nilai Rata-rata 5,4
9 Nilai Rata-rata siklus I 2,7
10 Kategori kegiatan siswa dinyatakan Cukup Aktif
Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas belajar siswa pada
pertemuan I dengan nilai 2,6, pertemuan II dengan nilai 2,8 dan total nilai rata-rata siklus I adalah
2,7 berada pada kategori cukup aktif.
2. Data Hasil Observasi Efektivitas Guru
Data Hasil Observasi Efektivitas Guru Siklus I dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Data Hasil Observasi Efektivitas Guru Siklus I
No Indikator Skor Indikator
Pertemuan I Pertemuan II
1 Membangkitkan minat dan motivasi siswa
dalam belajar
2 3
2 Pemberian apersepsi kepada siswa 2 3
3 Pembagian materi kepada siswa 3 3
4 Pengaturan waktu untuk kegiatan siswa dalam
menyelasaikan tugas
2 2
5 Perhatian guru kepada siswa 3 3
6 Kemampuan guru dalam mengelolah kelas 3 3
7. Bersama-sama siswa membuat kesimpulan 2 2
Jumlah Skor 17 19
Nilia Rata-rata 2,42 2,71
Total Nilai Rata-rata 5,13
Nilai Rata-rata siklus I 2,57
Kategori kegiatan gutu dinyatakan Cukup Baik
Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas guru pada pertemuan I
dengan nilai 2,42 dan pertemuan II dengan nilai 2,71 dan total nilai rata-rata siklus I adalah 2,57
berada pada kategori cukup baik.
d.Tahap Evaluasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 364
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap akhir siklus dalam memberikan tes dalam bentuk
essay yang dikerjakan secara individu. Data lengkap hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel
hasil evaluasi belajar siswa siklus I, data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh data-
data sebagai berikut:
Tabel 4. Data Hasil Evaluasi Belajar Siswa Tentang Bilangan Bulat Kelas.
No Hasil Belajar Skor
1 Total nilai 2010
2 Banyaknya siswa 30
3 Banyaknya siswa yang tuntas 21
4 Banyaknya siswa yang tidak tuntas 9
5 Nilai rata-rata 67
6 Persentase jumlah siswa yang tuntas 70%
Dari tabel diatas dapat dilihat nilai rata-rata yang diperoleh dari siklus I adalah 67 dengan
presentase ketuntasan belajar siswa adalah 70% presentase tersebut belum mencapai target
ketuntasan siswa secara klasikal.
e. Tahap Refleksi
Penelitian ini merupakan penilitian tindakan kelas, maka proses perenungan kembali
(Refleksi) pada siklus proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting, sehingga
kekurangan pada kegiatan pembelajaran dapat diberikan tindakan perbaikan, berdasarkan
kekurangan-kekurangan yang ada pada kegiatan belajar siswa dan kegiatan guru maka rencana
perbaikan-perbaikan pada siklus I adalah sebagai berikut:
1.Mengkoreksi hasil pekerjaan siswa, sehingga:
Terdapat kesalahan konsep dalam operasi bilangan bulat, pada soal nomor 1 misalnya 2-7-9 =
14. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mengerjakan soal ke depan atau papan
tulis. Tampak siswa menghitung dengan cara membalikan 7-2 = 5 dan tinggal diberi tanda
negatif (-) menjadi -5. Selanjutnya untuk -5-9= 14. Siswa langsung menambahkan bilangan itu
dengan menganggap minus ketemu minus sama dengan plus sehingga hasil akhirnya 14.
Terdapat kesalahan acak dalam operasi bilangan bulat, pada soal nomor 2 yaitu -30+45+12= -
87. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mempersentasikan hasil dari pekerjaannya
di depan atau papan tulis. Tampak siswa menghitung dengan menambahkan 30 + 45 = 75 dan
tinggal diberi tanda negatif (-) sehingga menjadi -75 selanjutnya siswa menjawab dengan cara
menjumlahkan -75 dengan 12 diperoleh hasil 87.
Terdapat kesalahan operasi hitung dan kesalahan konsep, pada soal nomor 5 yaitu 25-60+18= -
53. Ketika salah satu dari anggota kelompok disuruh mempersentasikan hasil dari
pekerjaannya di depan atau papan tulis. Tampak siswa mengerjakan atau menghitung dengan
cara membalik angka yang lebih besar dikurangi angka yang lebih kecil yaitu 60-25= 35
kemudian diberikan tanda negatif (-), selanjutnya -35+ 18 diperoleh hasil 53 dan diberi tanda (-)
sehingga menjadi -53.
2.Merevisi LKS yang telah disusun atau merancang LKS dengan memperhatikan kesalahan siswa
dalam menyelesaikan soal-soal operasi bilangan bulat. Menuliskan penguatan tentang cara
penyelesaian soal dengan berbagai jenis soal yang ada, serta memberikan panduan tentang cara
mengerjakan LKS sebelum diskusi dimulai.
3.Memotivasi siswa untuk lebih aktif bekerja sama dalam diskusi kelompok dan melakukan
percobaan, dengan mengingatkan siswa agar lebih memperhatikan petunjuk untuk melakukan
percobaan.
4.Merencanakan alokasi waktu yang lebih baik lagi, dengan menambah alokasi waktu untuk
menyampaikan materi pendukung.
3.Hasil penelitian siklus II
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 365
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pelaksanaan penelitian untuk siklus II berlangsung dalam dua kali pertemuan masing-masing
selama 2 x 35 menit, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi selama 1 x 35 menit. Pada siklus II,
guru memberikan materi tentang perkalian bilangan bulat akan diberikan pada pertemuan
pertama yang dilaksanakan pada tanggal 23 agustus 2018. Sedangkan materi tentang pembagian
bilangan bulat akan diberikan pada pertemuan kedua yang dilaksanakan pada tanggal 14 agustus
2018.
Kegiatan pada siklus II terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian pada siklus II tidak berbeda dari siklus I, dalam tahap ini tindakan yang
dilakukan guru adalah melakukan skenario pembelajaran dengan menerapkan metode EPA yang
telah disusun dan tentunya dengan perbaikan-perbaikan yang telah direncanakan pada akhir
siklus I. Secara situasi pembelajaran berjalan dengan baik. Guru mengawasi dan membimbing
kelompok mengerjakan LKS dan mengerjakan latihan soal yang diberikan guru yang diambil
dari buku pegangan siswa.
b.Tahap Observasi
Bedasarkan pengamatan pedoman observasi) dan diskusi dengan observer, terdapat beberapa
kekurangan dan hal-hal yang mendukung dalam pelaksanaan skenario pembelajaran siklus II.
Adapun kekurangan-kekurangan pada pembelajaran siklus II adalah :
1.pada saat proses pembelajaran siswa masih ribut, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya
penguasaan kelas oleh guru.
2.Masih ada siswa yang belum berani untuk tampil didepan kelas, baik dalam penyampaian hasil
diskusi maupun dalam mengerjakan soal dipapan tulis.
3.Siswa masih merasa malu untuk bertanya sehingga komunikasi dua arah antara siswa dengan
guru masih tampak kurang.
Adapun hal yang mendukung pembelajaran berdasarkan hasil diskusi guru dengan observer yaitu:
1.Berdasarkan hasil tes awal, sebagai meteri pendukung dalam mengerjakan LKS dan soal-soal
pada siklus II sebagian siswa telah banyak yang menguasai tentang konsep dan operasi bilangan
sehingga ingatan-ingatannya tentang materi bilangan bulat mulai jelas.
2.Pada masing-masing kelompok, dengan LKS yang baru hasil revisi tampak siswa serius dalam
mengerjakan LKS, sehingga dapat mengajak anggota kelompok yang lain untuk tetap berdiskusi
dalam mengerjakan LKS sehingga terjadi kondisi belajar yang baik.
1.Data Hasil Observasi Efektivitas Siswa
Data Hasil Observasi Aktivitas Belajar Siswa Siklus II dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Data Hasil Observasi Efektivitas Belajar Siswa Siklus II
No. Indikator Skor Indikator
Pertemuan I Pertemuan II
1 Antusias siswa dalam mengikuti pelajaran 4 4
2 Interaksi siswa dengan guru 3 4
3 Interaksi siswa dengan siswa 3 3
4 Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok 3 3
5 Partsipasi siswa dalam menyimpulkan materi
yang dibahas
3 3
Jumlah Skor 16 17
Nilai Rata-rata 3,2 3,4
Total Nilai Rata-rata 6,6
Nilai Rata-rata Siklus II 3,3
Kategori kegiatan aktivitas siswa dinyatakan Aktif
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 366
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kategori Efektivitas belajar siswa pada pertemuan I
dengan nilai 3,2 dan pertemuan II dengan nilai 3,4 dan total nilai rata-rata siklus II adalah 3,3
berada pada kategori aktif.
2.Data Hasil Observasi Efektivitas Guru
Data Hasil Observasi efektivitas Guru Siklus II Pertemuan I dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6. Data Hasil Observasi efektivitas Guru Siklus II
No Indikator Skor Indikator
Pertemuan I Pertemuan II
1. Membangkitkan minat dan motivasi
siswa dalam belajar
3 4
2. Pemberian apersepsi kepada siswa 3 4
3. Pembagian materi kepada siswa 4 4
4. Pengaturan waktu untuk kegiatan
siswa dalam menyelasaikan tugas
3 3
5. Perhatian guru kepada siswa 3 3
6. Kemampuan guru dalam mengelolah
kelas
3 4
7. Bersama-sama siswa membuat
kesimpulan
3 3
Jumlah Skor 22 25
Nilia Rata-rata 3,14 3,57
Total Nilai Rata-rata 6,71
Nilai Rata-rata Siklus II 3,36
Kategori kegiatan aktivitas guru dinyatakan Baik
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kategori efektivitas belajar siswa pada pertemuan I
dengan nilai 3,14 dan pertemuan II dengan nilai 3,57 dan total nilai rata-rata siklus I adalah 3,36
berada pada kategori baik.
c. Tahap Evaluasi
Setelah pembelajran pada siklus II selesai, guru melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan
memberikan tes dalam bentuk essay sebanyak 4 soal. Data lengkap hasil belajar siswa siklus II) data
tersebut diolah sedimikian rupa sehingga diperoleh data-data sebagai berikut.
Tabel 7. Data Hasil Evaluasi Belajar Siswa Tentang Bilangan Bulat
No Hasil Belajar Skor
1 Total nilai 2315
2 Banyaknya siswa 30
3 Banyaknya siswa yang tuntas 26
4 Banyaknya siswa yang tidak tuntas 4
5 Nilai rata-rata 77,16
6 Persentase jumlah siswa yang tuntas 86,66%
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus II adalah
77,16 dengan persentase ketuntasan belajar siswa adalah 86,66 %. Persentase tersebut sudah
mencapai target ketuntasan belajar siswa secara klasikal. Dengan demikian pelaksanaan penelitian
dihentikan sampai siklus II.
d. Tahap Refleksi
Pada tahap evaluasi siklus II masih ada 4 siswa yang belum dikatakan tuntas karena mendapatkan
nilai lebih kecil dari 65. Oleh karna itu, siswa tersebut masih memerlukan bimbingan guru secara
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 367
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
intensif. Berdasarkan hasil evaluasi dan observasi kegiatan siswa dan kegiatan guru pada siklus II,
bahwa hasil yang diperoleh sudah memenuhi indikator kerja yang telah ditentukan sebelumnya.
Dimana sudah mencapai ketuntasan klasikal.
PEMBAHASAN
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil dan
efektivitas belajar matematika siswa pada mata pelajaran bilangan bulat dengan menerapkan
metode pembelajaran EPA. Penelitian ini dilakukan dengan prosedur penelitian tindakan kelas
(PTK) yang telah ditetapkan sebelumnya, dilakukan dalam enam kali pertemuan pada sub materi
pokok bilangan bulat dengan menerapkan metode EPA (Eksplorasi, Penerapakan, Aplikasi konsep).
Untuk menyampaikan materi pada setiap siklus dilakukan dalam dua kali pertemuan dan satu kali
digunakan untuk evaluasi. Pelaksanaan siklus I untuk pertemuan pertama dan kedua dilaksanakan
berdasarkan skenario pembelajaran yang telah direncanakan. Selama proses pembelajaran
berlansung dilakukan observasi terhadap kegiatan guru dan kegiatan belajar siswa yang dicatat pada
pedoman observasi guru dan siswa.
Berdasakan analisis data tiap-tiap siklus pada tabel diatas, terlihat bahwa hasil dari siklus-
kesiklus mengalami peningkatan. Data hasil observasi pada siklus I menunjukkan bahwa nilai rata-
rata efektivitas siswa sebesar 2,7 dan megalami peningkatan pada sisklus II yaitu sebasar 3,3. Data
hasil observasi pada siklus I manunjukkan bahwa nilai rata-rata aktivitas guru 2,57, megalami
peningkatan pada siklus II yaitu sebasar 3,36. Dan analisis hasil balajar siklus I menunjukan bahwa
nilai rata-rata siswa sebesar 67dengan persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 70%. Pada siklus
II mengalami peningkatan nilai rata-rata siswa sebesar 77,16 dengan presentase ketuntasan belajar
86,66%. Ini berarti ketuntasan belajar siswa telah sesuai dengan ketuntasan belajar yang diharapkan
yaitu menimal 85 %.
Belum tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
antara lain penggunaan waktu yang kurang efektif karena hanya ada sebagian siswa saja yang
masih mengingat materi bilangan bulat sehingga guru menjelaskan ulang materi tersebut sebab
materi bilangan bulat merupakan materi pendukung. Banyaknya waktu yang tersisa untuk
menjelaskan pada siswa tentang materi bilangan bulat, menyebabkan pengalokasian waktu tidak
baik sehingga berpengaruh pada kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Selain itu banyak
waktu yang terpakai untuk diskusi dalam mengerjakan LKS, karena masih banyak kelompok yang
belum dapat menggunakan alat peraga yang diberikan untuk mempermudah mengerjakan LKS.
Selama proses belajar berlangsung dilakukan observasi terhadap kegiatan guru dan siswa
yang dicatat pada pedoman observasi. Hasil observasi menunjukan bahwa proses pembelajaran
sudah berjalan cukup baik, dilihat dari sudah terlaksananya kegiatan sesuai skenario pembelajaran.
Siswa juga sudah dapat bekerja sama dengan baik antara anggota kelompok, siswa aktif dalam
diskusi, siswa dapat menyimpulkan dengan baik sesuai bahasanya sendiri, serta guru mampu
manjelaskan dengan baik.
Dari dua siklus yang dilakukan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
hasil belajar siswa yaitu berdasarkan hasil evaluasi masing-masing siklus rata-rata nilai siswa yang
diperoleh dari siklus kesiklus terus meningkat. Peningkatan hasil belajar siswa didukung dengan
peningkatan efektivitas belajar siswa pada saat proses pembelajaran. Ini berarti jika metode
pembelajaran EPA (Eksplorasi, Penerapan, dan Aplikasi konsep) diterapkan secara optimal sesuai
dengan karakteristik pada pembelajaran matematika sub materi operasi bilangan bulat, maka hasil
belajar siswa dapat ditingkatkan sampai mencapai ketuntasan dalam belajar.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran dengan
menerapkan metode EPA dapat meningkatkan hasil dan efektivitas belajar matemátika pada sub
materi operasi bilangan bulat siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Lambu Tahun ajaran 2018/2019.Hal
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 368
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
ini dapat dilihat dari dua siklus. Pada siklus I nilai rata-rata efektivitas belajar siswa yaitu sebesar
2,7 (kategori cukup aktif) dan pada silkus II meningkat menjadi 3,3 (kategori aktif), pada siklus I
nilai rata-rata efektivitas guru yaitu sebesar 2,57 (cukup baik) dan pada siklus II meningkat menjadi
3,36 (kategori aktif). Setelah dilakukan perhitungan diperoleh presentase pada siklus I adalah 70%
dan nilai rata-rata siswa adalah 67. Sedangkan pada siklus II diperoleh presentase adalah 86,66%
dan nilai rata-rata siswa 77,16 dengan demikian ada peningkatan presentase belajar yang signifikan
dari siklus I ke siklus II.
Materi bilangan bulat adalah konsep dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa sebelum
mempelajari materi pada jenjang yang lebih tinggi, sehingga menjadi dasar untuk siswa dalam
menyelesaikan masalah-masalah matematika yang akan dihadapi di proses pembelajaran di sekolah
maupun di lingkungannya. Sangat penting bagi guru untuk membuat inovasi dalam membantu dan
mencari solusi agar siswa dapat mudah memahami materi operasi bilangan bulat. Konsep, sifat,
prinsip, serta prosedur yang ada kaitannya dengan bilangan bulat agar mereka tidak terus
melakukan kesalahan kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang selalu melibatkan operasi
bilangan bulat. Guru juga harus mampu mempersiapkan, menyediakan dan menciptakan aktivitas
serta pengalaman belajar yang dapat meningkatkan pemahaman konsep bilangan bulat. Guru harus
cermat dalam menganalisis dan merefleksi terhadap kesalahan-kesalahan siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah, agar guru dapat mengetahui kesalahan yang kerap kali dilakukan
siswa serta dapat menentukan tindak lanjut yang pas dengan masalah yang terjadi, sehingga guru
dapat memperbaiki cara mengajarnya, memotivasi dan mendukung siswa untuk memperbaiki atau
menghindari kesalahan dalam menyelesaikan soal.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, A. 2002. menguap Tabir Hukum. Jakarta: PT Toko gunung agung.
ASTUTY, K. Y. (2013). Analisis Kesalahan Siswa Kelas V Dalam Menyelesaikan Soal Matematika
Pada Materi Pecahan di SDN Medokan Semampir I/259 Surabaya. MATHEdunesa, 3(2).
Dwi, F, H. 2008. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: UPP Stim YKPN.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Sanjaya.2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta : Kencana
Prenada Media.
Semiwan. Dkk. 1989. Pendekatan Keterampilan Proses. Gamadia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 369
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENGARUH INFORMATION, MEDIA, DAN TECHNOLOGY LITERACY TERHADAP
KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU
Dewi Sulistiyarini1; Febrianto Sabirin
2
1,2Prodi Pendidikan Teknologi Informasi dan Komputer, Fakultas Pendidikan MIPA dan
Teknologi,IKIP-PGRI Pontianak
e-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh information literacy,
technology literacy, dan media literacy secara bersama-sama terhadap kemampuan pedagogik guru
Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya. Penelitian akan dilakukan pada guru Sekolah
Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode ex-
post facto dengan bentuk penelitian yaitu correlational comparative. Jumlah populasi penelitian
sebesar 1041 orang yang tersebar di 5 kecamatan. Sampel yang digunakan sebesar 290 orang dan
dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara information literacy, technology literacy, dan media
literacy terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu Raya.
Besarnya pengaruh adalah 52,3% dengan model regresi yaitu Y = 2,114 + 0,816X1 + 0,186X2 +
0,183X3 yang dapat digeneralisasikan ke populasi penelitian.
Kata Kunci: Information Literacy, Media Literacy, Technology Literacy, Kompetensi Pedagogik
PENDAHULUAN
Guru merupakan garda terdepan dalam memajukan pendidikan di suatu daerah, tidak
terkecuali Kabupaten Kubu Raya. Meskipun dalam kenyataannya, untuk memajukan pendidikan di
Kabupaten Kubu Raya perlu dukungan dari berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah melalui
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penyedia Tenaga Keguruan (LPTK), masyarakat, dan
peserta didik itu sendiri. Akan tetapi, guru merupakan seorang yang langsung berhubungan dengan
peserta didik itu sendiri dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena hal itulah guru merupakan
komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di suatu daerah.
Pada era teknologi informasi dan komunikasi saat ini guru tentunya dituntun untuk mampu
memanfaatkan dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar
mengajarnya. Tuntutan tersebut tentunya membawa peluang dan tantangan baru bagi para guru. Hal
ini juga tentunya terjadi pada guru-guru yang ada di SMP di Kabupaten Kubu Raya dimana
merupakan daerah yang langsung berbabatasan dengan Ibukota Provinsi Kalimatan Barat sehingga
dari sisi teknologi seharusnya tidaklah tertinggal. Kemajuan teknologi tersebut tentunya menjadi
peluang karena teknologi memberikan kemudahan bagi para guru SMP di Kabupaten Kubu Raya
dalam mengembangkan pengetahuan, memperbaiki kualitas pembelajaran, memberikan kemudahan
dalam evaluasi. Selain peluang, kemajuan teknologi ini juga merupakan tantangan bagi guru karena
guru perlu untuk terus mempelajari dan mengaktualisasi diri dalam upaya menguasai teknologi
yang terus berkembang.
Terkait dengan kemajuan teknologi setidaknya ada tiga kecakapan (literacy) yang perlukan
pada abad 21 yaitu information literacy (literasi informasi), media literacy (literasi media), dan
technology literacy (literasi teknologi) (Kivunja, 2015: 181). Ketiga literasi ini menjadi penting saat
ini, dimana kemajuan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial dari masyarakat
tak terkecuali dibidang pendidikan dan guru khususnya. Apabila tiga literasi tersebut dapat dikuasi
oleh guru SMP di Kabupaten Kubu Raya tentunya akan membantu kinerja guru terkait dengan
perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, hingga evaluasi hasil pembelajaran.
Literasi informasi menjadi kecakapan yang memiliki peran sentral pada era teknologi
informasi dan komunikasi. Sejak meledaknya penggunaan perangkat genggam dalam satu dekade
terakhir dan diikuti dengan menyebarnya jaringan internet di Kabupaten Kubu Raya, arus informasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 370
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
yang mengalir menjadi sangat tidak terbendung. Menurut penelitian yang dilakukan secara kualitatif
(Nitsos, 2015: 226) maupun kuantitatif (Feng & Ha, 2016: 1653; Sunaga, 2016: 49; Ezziane, 2007:
191) menunjukkan literasi informasi merupakan komponen yang penting dalam dunia pendidikan
khususnya seorang guru. Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa literasi informasi
berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis seorang guru (Saglam, et. al, 2017: 31) dan efektifitas
pembelajaran di kelas (Xu & Chen, 2016; 335).
Terkait dengan literasi informasi, literasi yang berdampingan yaitu liteasi media. Apabila
literasi informasi terkait dengan bagaimana informasi diperoleh dan digunakan, literasi media
terkait dengan cara menyampaikan informasi. Guru sebagai pendidik dan pembelajar selain harus
mampu memperbaharui informasi perlu juga untuk menyampaikan informasi yang telah
didapatkannya kepada peserta didik, hal ini bertujuan agar siswa sebagai peserta didik mendapatkan
informasi yang benar dan reliabel dalam proses belajar mengajar. Hubungan antara literasi media
dan pengajaran (Meehan, et. al, 2015: 81) adalah literasi media digunakan sebagai cara untuk
menyebarkan, membagikan, bahkan mendemonstrasikan informasi menggunakan cara-cara lama
(teacher centered), sedangkan penelitian Jolls (2015: 65) menunjukkan bahwa pemanfaatan literasi
media dapat mengubah cara belajar menjadi pembelajaran yang berorientasi pada guru bergerak
menjadi pembelajaran yang berorientasi pada siswa.
Literasi terakhir yang berkaitan dengan penggunaan teknologi atau technology literacy.
Teknologi yang ditekankan disini adalah teknologi informasi dan komunikasi atau information and
communication technology (ICT). Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Makinde, et. al. (2013)
yang menunjukkan bahwa literasi teknologi merupakan keterampilan yang dibutuhkan pada sektor
pendidikan, hal ini tentunya perlu ditanggapi oleh guru SMP di Kabupaten Kubu Raya dengan
memanfaatkan teknologi untuk memperoleh dan mengelola informasi yang telah didapatkan.
Kemajuan teknologi tersebut sejatinya harus digunakan sebaik mungkin untuk mempermudah
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Penelitian studi kasus (Digby & Bey, 2014),
kuantitatif (Oluwatumbi, 2015: 21; Correos, 2014: 1), survei (Obasuyi, 2015: 63) menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi khususnya ICT memegang peranan penting dalam proses
pembelajaran.
Berdasarkan penjabaran mengenai kecakapan yang diperlukan pada era teknologi informasi,
maka penting untuk dilakukan penelitian yang dapat mengetahui apakah literasi informasi, literasi
media, dan literasi teknologi dapat memberikan pengaruh terhadap proses belajar mengajar guru di
kelas, terutama di kabupaten Kubu Raya yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan
ibu kota provinsi.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode ex-post facto. Metode ex-post facto
merupakan metode penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan atau pengaruh dari variabel
yang diteliti. Menurut Sukardi (2012 : 165) metode ex-post facto merupakan metode yang dimana
pada saat penelitian dilakukan, variabel bebas telah terjadi dan mulai melakukan pengamatan terkait
variabel terikat. Bentuk penelitian yang digunakan yaitu correlational comparative. Correlational
comparative yaitu bentuk penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan sebab akibat dari
variabel penelitian.
Penelitian akan dilakukan pada guru–guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Populasi penelitian yaitu guru SMP di Kabupaten Kubu
Raya yang telah mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) yaitu sebanyak 1041 orang. Berdasarkan
tabel Issac & Michael dengan jumlah populasi sebesar 1041 orang, diketahui jumlah sampel yang
akan digunakan dalam penelitian adalah sebesar 290 orang. Pemilihan sampel penelitian dilakukan
dengan teknik simple random sampling.
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka perlu dilakukan prosedur yang sesuai
dengan kaidah-kaidah penelitian kuantitatif khususnya penelitian Ex Post Facto. Adapun prosedur
dari penelitian ini adalah: (1) Perumusan masalah yang diangkat dari fenomena-fenomena didukung
hasil-hasil penelitian berkaitan dengan information literacy, media literacy, technology literacy, dan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 371
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
kompetensi pedagogik guru. (2) Mengajukan hipotesis yang dapat menerangkan hubungan antara
variabel-variabel yang diteliti. (3) Pembuatan alat pengumpul data yang valid secara isi, konstruksi,
dan empiris. (4) Pengelompokkan data yang memiliki karakteristik yang menjadi konsen penelitian.
(5) Pengumpulan data yang berhubungan dengan variabel yang diteliti yaitu information literacy,
media literacy, technology literacy, dan kompetensi pedagogik guru. (6) Analisis data yang
digunakan terdiri dari analisis statistik inferensial berupa uji multivariat. (7) Penafsiran hasil data
dilakukan dengan memperhatikan hasil analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan
masalah.
Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian adalah teknik komunikasi
tidak langsung berupa kuesioner (angket) tertutup. Kuesioner atau angket digunakan untuk
mengumpulkan data information literacy, technology literacy, media literacy, dan kemampuan
pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu Raya. Teknik kuesioner yang
digunakan menggunakan kuesioner tertutup dengan empat alternatif jawaban. Alternatif jawaban
yang digunakan menggunakan Skala Likert.
Alat pengumpul data information literacy menggunakan indikator yang dikembangkan oleh
Pradeepa Wijetunge (2003) yang telah disesuaikan untuk penelitian ini, media literacy
menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Simons, et. al (2017) yang telah disesuaikan
untuk penelitian ini, technology literacy menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Katz
(2007) yang telah dikembangkan untuk penelitian ini, dan kemampuan pedagogik menggunakan
indikator berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun
2007.
Sebelum digunakan dalam penelitian, alat pengumpul data dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Uji validitas dilakukan secara isi, konstruksi, dan empirik. Validitas isi dan konstruksi
dilakukan oleh expert judgment dan validitas secara empirik dilakukan menggunakan rumus produk
momen. Berdasarkan uji validitas yang telah dilakukan maka butir pernyataan untuk information
literacy berjumlah 32, media literacy berjumlah 21, technology literary berjumlah 29, dan
kompetensi pedagogik berjumlah 35. Adapun uji reliabilitas menggunakan alpha cronchbach
dengan hasil pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Pengumpul Data
Variabel R Kategori
Information Literacy 0.940 Sangat Kuat
Media Literacy 0,880 Sangat Kuat
Technology Literacy 0,657 Kuat
Kompetensi Pedagogik 0,972 Sangat Kuat
Berdasarkan tabel 1, maka dapat diketahui bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini memiliki reliabilitas dalam kategori sangat kuat dan kuat.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah statistik inferensial yaitu
perhitungan regresi linear ganda. Regresi linear ganda digunakan untuk mengetahui besarnya
pengaruh antara variabel bebas secara bersama–sama terhadap variabel terikat. Berikut rumus
perhitungan regresi :
Keterangan:
Y = Variabel terikat
X1, X2, X3 = Variabel bebas
a = Konstanta
b1, b2, b3 = parameter regresi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bedasarkan masalah yang telah dikemukakan, maka dala penelitian ini dapat disusun
hipotesis sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 372
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
H0 : Tidak terdapat pengaruh information literacy, media literacy, dan technology literacy
terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu
Raya
Ha : Terdapat pengaruh information literacy, media literacy, dan technology literacy
terhadap kompetensi pedagogik guru sekolah menengah pertama di Kabupaten Kubu
Raya
Dalam pengujian hipotesis dalam penelitian ini perlu dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji
multikolineritas, uji linearitas, uji normalitas, dan uji heterokedastisitas. Uji normalitas dan
heterokedastisitas untuk membuktikan bahwa data hasil penelitian dapat digeneralisasikan. Untuk
uji multikolineritas dan lineritas dapat dilakukan sebelum melakukan analisis regresi ganda,
sedangkan uji normalitas dan uji heterokedastisitas dilakukan setelah melakukan analisis regresi
ganda. Uji normalitas dan uji heterokedastisitas dilakukan setelah melakukan uji regresi ganda
karena menggunakan data residual.
Uji lineritas bertujuan untuk mengetahui apakah data dari variabel bebas yaitu information
literacy, media literacy, dan technology literacy mempunyai hubungan yang liner dengan variabel
terikat yaitu kompetensi pedagogik. Data yang baik seharusnya terdapat hubungan yang liner antara
variabel bebas dan variabel terikat. Hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Linearitas
Variabel Deviation from linearity Signifikansi Kesimpulan
Information Literacy –
Komptensi Pedagogik
0,090 0,05 Linear
Media Literacy –
Komptensi Pedagogik
0,148 0,05 Linear
Technology Literacy –
Komptensi Pedagogik
0,144 0,05 Linear
Bedasarkan tabel 2 maka diketahui ketiga variabel bebas memiliki hubungan yang linear
dengan variabel terikat.
Uji selanjutnya adalah uji multikolinearitas yang dimaksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya multikolinearitas antar variabel bebas sebagai syarat uji regresi berganda. Uji
multikolinearitas bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan linear antara variabel bebas
dengan variabel bebas lainnya. Uji multikolenieritas dalam peneliti ini dilakukan dengan melihat
nilai variance inflation factor (VIF) dan juga melihat nilai tolerance. Hasil pengujian
multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel Collinearity Statistic Kesimpulan
Tollerance VIF
Information Literacy 0.718 1,393 Tidak terjadi multikolinearitas
Media Literacy 0.811 1,234 Tidak terjadi multikolinearitas
Technology Literacy 0.680 1,471 Tidak terjadi multikolinearitas
Berdasarkan tabel 3. maka diketahui ketiga variabel bebas memiliki hubungan yang linear
dengan variabel terikat. Oleh karena ada hubungan yang linear antara variabel bebas dengan
variabel terikat dan tidak adanya hubungan linear antara variabel bebas maka dapat dilakukan
pengujian regresi ganda guna menjawab hipotesis penelitian.
Dalam melihat regresi ganda pertama-tama akan dilihat besarnya koefisien determinan dari
variabel bebas (information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel
terikat (kompetensi pedagogik) maka digunakan model summary dengan melihat nilai R dan R
Square (R2). Hasil pengujian koefisien determinan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Koefisen Determinan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
The Estimate
1 0.723 0.523 0.518 9.281
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 373
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan tabel 4 maka dapat diketahui bahwa nilai rhitung antara variabel bebas
(information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel terikat (kompetensi
pedagogik) sebesar 0.723 dengan arah korelasi yaitu positif. Koefisien deterimanasi (KD) yaitu
sebesar (Rhitung)2 yaitu 0.523 atau 52.3% yang berarti information literacy, media literacy, dan
technology literacy memberikan pengaruh sebesar 52.3% terhadap kompetensi pedagogik guru
SMP di Kabupaten Kubu Raya, sedangkan 47,7% dipengaruhi variabel lain.
Untuk mengetahui apakah pengaruh dari variabel bebas signifikan atau tidak maka dilakukan
pengujian ANOVA. Hasil Pengujian ANOVA dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengujian ANOVA
Model Sum of
Squares
Df Mean
Square
F Sig
1 Regresion
Residual
Total
26989.767
23636.664
51626.431
3
286
289
8996.589
86.142
104.439 0.000
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui apakah terdapat pengaruh yang nyata (signifikan) antara
variabel bebas (information literacy, media literacy, dan technology literacy) terhadap variabel
terikat (kompetensi pedagogik). Dari output pada tabel 5 diketahui bahwa nilai Fhitung = 104,439
dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 yang berarti nilai signifikansi lebih kecil dari taraf
signifikansi (0.000< 0.05). Hal ini berarti Ha diterima dan Ho ditolak atau terdapat pengaruh
information literacy, media literacy, dan technology literacy secara bersama-sama yang signifikan
terhadap komptensi pedagogik guru SMP di Kabupaten Kubu Raya. Oleh karena itu, model regresi
ini dapat dipakai untuk memprediksi variabel kompetensi pedagogik guru SMP di Kabupaten Kubu
Raya.
Untuk melihat nilai koefisien dari masing-masing variabel digunakan tabel koefisensi
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Hasil Koefisien Pengaruh Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat
Model Unstandardized
Cofficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std.
Error
Beta
1 (Constant)
Information Literacy
Media Literacy
Technology Literacy
2,114
0,816
0,186
0,163
0,592
0,069
0,070
0,049
0,568
0,070
0,165
3.571
11,771
2,655
3,340
0,001
0,000
0,008
0,001
Berdasarkan tabel. 6 diketahui bahwa nilai konstanta (a) = 2,114, nilai regresi (b) untuk
Information Literacy (X1)= 0,816, nilai regresi (b) untuk Media Literacy (X2)= 0,186, dan nilai
regresi (b) untuk Technology Literacy (X3)= 0,163. Untuk melihat apakah masing-masing koefisien
regresi mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak maka perlu dilihat nilai signifikansinya.
Pada tabel 6 nilai signifikansi dari variabel bebas dan konstanta lebih kecil 0,005 sehingga dapat
dikatakan konstanta dan variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan. Berdasarkan data
tersebut maka persamaan regresinya adalah: Y = 2,114 + 0,816X1 + 0,186 X2 +0,183 X3
Nilai konstanta sebesar 2,114 menunjukkan bahwa jika tidak ada variabel information
literacy, media literacy, dan technology literacy maka skor kompetensi pedagogik guru adalah
2,114. Berdasarkan model yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan satu skor
information literacy, media literacy, dan technology literacy maka kompetensi pedagogik akan
bertambah 0.816 + 0.186 + 0,183 = 1,185.
Untuk mengetahui apakah persamaan regresi yang telah dihasilkan dapat digeneralisasikan
atau tidak maka perlu dilakukan uji normalitas dan uji heterokedastisitas. Apabila data berasal dari
sampel yang berdistribusi normal dan tidak terjadi heterokedastisitas maka persamaan regresi dapat
generalisasikan ke populasi penelitian.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 374
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov. Uji
One Sample Kolmogorov-Smirnov digunakan karena jumlah sampel yang besar (lebih dari 200
responden). Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan menggunakan data residual
dari data penelitian. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Normalitas
Variabel Asymp. Sig
(2-taile)
Signifikansi Kesimpulan
Residual 0.714 0.05 Normal
Berdasarkan tabel 7 nilai signifikansi dari residual data penelitian sebesar 0.174. Nilai
signifikasi diketahui lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan data dari berasal dari sampel yang
berdistribusi normal.
Uji Heterokedastisitas dilakukan untuk menilai apakah ada ketidaksamaan varian dari residual
untuk model regresi liner. Apabila heterokedastisitas tidak terpenuhi maka model regresi tidak
dapat digunakan sebagai alat peramal. Uji heterokedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan uji Park. Untuk melakukan Uji Park data perlu ditransformasi menggunakan
logaritma natural (ln) pada variabel bebas dan memasukkan logaritma natural dari kuadrat residual
sebagai variabel terikat. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Heterokedastisitas
Model Unstandardized
Cofficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std.
Error
Beta
1 (Constant)
Information Literacy
Media Literacy
Technology Literacy
2,751
2,012
-0,735
-1,347
6,721
1,664
1,024
0,887
0,084
-0,047
-0,107
1,209
-0,718
-1,518
0,228
0,473
0,130
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa nilai signifikansi dari ketiga variabel bebas lebih besar
dari taraf signifikansi (>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala
heteroskedastisitas dalam variabel bebas.
Setelah melakukan uji normalitas dan uji heterokedastisitas maka dapat disimpulkan bahwa
model regresi yang telah dibuat dapat digeneralisasikan ke dalam populasi penelitian.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kivunja (2015) dimana
dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa tenaga kerja pada abad 21 perlu dibekali dengan
information literacy, media literacy, dan technology literacy dan dalam penelitian ini menujukkan
bahwa untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru perlu dibekali dengan kecakapan terkait
Informasi, media, dan teknologi. Menurut Koltay manusia perlu melakukan pembaruan konsep dan
komptensi secara konstan sesuai dengan perubahan lingkungan dan tidak hanya menguasai satu
literasi saja. Dari pendapat Koltay tersebut dapat dikatakan bahwa seorang guru saat ini perlu
menguasai tidak hanya satu kecakapan saja, tetapi perlu menguasai kecakapan dibidang informasi,
media, dan teknologi, terutama pada era teknologi informasi saat ini.
Penelitian-penelitian lain yang mendukung information literacy, media literacy, technology
literacy terhadap komptensi pedagogik guru lebih banyak dilakukan secara parsial. Penelitian Feng
& Ha, Enrich & Popescu menunjukkan bahwa literasi pada bidang informasi memberikan dampak
pada proses belajar dan pembelajaran, sementara penelitian Geraee, dkk menunjukkan bahwa
penguasan media literasi akan membantu penguatan siswa dalam memperoleh pengetahuan, dan
penelitian Ezziane menunjukkan bahwa penguasaan literasi teknologi informasi oleh guru akan
mendorong siswa untuk menguasai teknologi informasi. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan
secara parsial tersebut dapat dilihat bahwa literasi informasi, media, dan teknologi dapat membantu
guru dalam proses belajar mengajar di kelas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 375
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data dari penelitian Analisis Information
Literacy, Technology Literacy, dan Media Literacy Terhadap Kompetensi Pedagogik Guru Sekolah
Menengah Pertama di Kabupaten Kubu Raya dapat simpulkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara Information Literacy, Technology Literacy, dan Media Literacy terhadap
Kompetensi Pedagogik Guru SMP di Kabupaten Kubu Raya. Penguatan Information Literacy,
Media Literacy, dan Technology Literacy perlu menjadi konsen untuk meningkatkan komptensi
guru terkait dengan proses belajar mengajar, hal ini tidak lain karena pada era teknologi informasi
saat ini guru perlu menguasai literasi yang berkembang saat ini yaitu literasi yang terkait dengan
teknologi informasi dan komunikasi.
DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Digby, C. & Bey, A. (2014). Technology literacy assessments and adult literacy programs:
pathways to technology competence for adult educators and learners. Journal of Literacy and
Technology, Volume 15, Number 3. 28-57
Ezziane, Z. (2007). Information Technology Literacy: Implications on Teaching and Learning.
Educational Technology & Society, 10 (3). 175-191
Feng, L. & Ha, J.L. (2016). Effects of Teachers’ Information Literacy on Lifelong Learning and
School Effectiveness. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 12(6),
1653-1663
Jolls, T. (2015). The New Curricula: How Media Literacy Education Transforms Teaching and
Learning. Journal of Media Literacy Education, 7(1). 65 -71
Katz, I. R. (2007). Testing Information Literacy in Digital Environments: ETS's iSkills Assessment.
Information Technology and Libraries, 26(3), 3-12
Kivunja, C. (2015). Unpacking the Information, Media, and Technology Skills Domain of the New
Learning Paradigm. International Journal of Higher Education, Vol 4, No. 1. 166-181
Makinde, S. O., et. al. (2013). ICT Literacy of Language Teachers in Selected Lagos State
Secondary Schools, Nigeria. African Journal of Teacher Education.
https://journal.lib.uoguelph.ca/index.php/ ajote/article/view/2782/3256
Meehan, J., et. al. (2015). Media Literacy in Teacher Education: A Good Fit Across the Curriculum.
Journal of Media Literacy Education, 7(2). 81-86
Nitsos, I. (2015). Teachers’ views of information literacy practices in secondary education: A
qualitative study in the Greek educational setting. Journal of Librarianship and Information
Science, Vol. 47, Issue: 3. 226-241
Obasuyi, L. O. (2015). Information and Communication Technology Literacy Skills and Class
Instruction: a Comprehensive Perception Survey of University of Benin First Year Students.
Nordic Journal Of Information Literacy I N Higher Education, Vol. 7, issue 1. 63-79
Oluwatumbi, O. S. (2015). ICT Literacy Among Vocational and Technical Education Teacher in
Kogi State Technical and Vocational Collages: Skill Gaps. British Journal of Education, Vol.3,
No.5, 21-30.
Sunaga, K. (2016). The survey of the information literacy among students and teachers. Education
Reform Journal, Vol. 1 No 2. 49-55
Saglam, A. C., et. al. (2017). The Effect of Information Literacy on Teachers’ Critical Thinking
Disposition. Journal of Education and Learning. Vol. 6, No. 3. 31-40
Simons, M., Meeus, W., & T'sas, J. (2017). Measuring Media Literacy for Media Education:
Development of a Questionnaire for Teachers' Competencies. Journal of Media Literacy
Education. 9(1), 99-115
Wijetunge, P. (2003). Empowering 8: the Information Literacy Model Developed in Srilanka to
Underpin Changing Education Pradigms of Sri Langka. Arilanka Journal Of Librarianship,
1(1), 31-41.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 376
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Xu, A. & Chen, G. A Study on the Effects of Teachers’ Information Literacy on Information
Technology Integrated Instruction and Teaching Effectiveness. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology Education, 12(2), 335-346
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 377
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA SMP DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING
Edi Wahyudi1
1 STKIP Weetebula Sumba Barat Daya
e-mail: [email protected]
Abstrak: Berdasarkan hasil observasi pra-penelitian yang dilakukan peneliti dalam
pembelajaran matematika siswa SMP diperoleh self-efficacy pada kriteria sangat rendah 3.13%,
kriteria rendah 9.38%, kriteria sedang 71.88%, kriteria tinggi 15.63% dan kriteria sangat tinggi 0%.
Penelitian ini bertujuan meningkatkan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika melalui
penerapan pembelajaran Problem Based Learning. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam
dua siklus, indikator keberhasilan penelitian ini adalah terjadi peningkatan self-efficacy siswa untuk
tiap siklus dan mencapai target yang sudah dibuat yaitu 15 % kategori sangat tinggi, 50 % kategori
tinggi, 30% kategori sedang, 5% kategori rendah dan 0% kategori sangat rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa self-efficacy siswa untuk siklus I dan II berturut-turut adalah 96.60 (sedang)
dan 106.55 (tinggi), sedangkan rata-rata ketuntasan klasikal siklus I dan II berturut-turut adalah
76.47% dan 80,29%. Rata-rata nilai hasil evaluasi siklus I dan II berturut-turut adalah 76 dan 80.
Melihat keseluruhan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based
Learning dapat meningkatkan self-efficacy siswa.
Kata Kunci: Problem Based Learning (PBL), Self-Efficacy, Penelitian Tindakan Kelas
PENDAHULUAN
Merujuk dari sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan tidak terlepas dari proses belajar
mengajar secara terencana antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sadar akan
pentingnya proses pembelajaran. Semua pihak mengharapkan proses pendidikan disetiap jenjang
pendidikan dapat menghasilkan kualitas yang benar-benar sesuai dengan yang telah ditetapkan,
karena maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan bangsa itu sendiri. Salah
satu sekolah menengah pertama yang menjadi perhatian yaitu SMP Negeri 14 Yogyakarta, dimana
salah satu kelasnya memiliki tingkat self-efficacy perlu untuk ditingkatkan. Berdasarkan dari
paparan yang disampaikan oleh guru mata pelajaran matematika ketika melakukan observasi awal
menyatakan bahwa tingkat keyakinan diri atau self-efficacy siswa pada kelas VIII A masih kurang
dan perlu untuk ditingkatkan.
Berdasarkan hasil observasi pra-penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada siswa kelas
VIII A SMP Negeri 14 Yogyakarta untuk tingkat self-efficacy siswa masih tergolong pada kategori
sedang dalam pembelajaran matematika. Hal ini dapat dilihat dari hasil respon siswa terhadap
keyakinan diri yang dimiliki dalam mengerjakan tugas, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan
tugas di depan sambil menjelaskan teman-temannya. Munculnya permasalahan tersebut
menunjukkan bahwa siswa belum yakin dalam menyelesaikan tugas, siswa tidak yakin terhadap
kemampuan yang dimiliki, tindakan untuk memperoleh hasil yang diharapkan dan seberapa besar
usaha siswa dalam belajar matematika.
Dari paparan di atas tidak jauh berbeda dari hasil pengisian angket self-efficacy siswa dalam
pembelajaran matematika yang dilakukan di kelas VIII A. Dilihat dari hasil angket diperoleh bahwa
siswa yang memiliki self-efficacy pada kriteria sangat rendah sebesar 3.13%, untuk persentase
kriteria rendah sebesar 9.38%, sedangkan pada kriteria sedang ini menduduki persentase tertinggi
yaitu sebesar 71.88%, pada persentase kriteria tinggi hanya terdapat 15.63% dan untuk kriteria
sangat tinggi belum ada atau 0%. Hasil dari analisis angket tersebut dapat dilihat pada Tabel 1
sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 378
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 1. Data Angket Self-Efficacy Siswa Sebelum Penelitian
Interval Skor Kriteria Persentase
Sangat Tinggi 0%
Tinggi 15.63%
Sedang 71.88%
Rendah 9.38%
Sangat Rendah 3.13%
JUMLAH 100%
Tabel 1. Memberikan gambaran bahwa dari 32 siswa yang mengisi angket, terdapat 70%
siswa untuk tingkat self-efficacy dalam pembelajaran matematika tergolong sedang. Sehingga
sebagai seorang pendidik perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan self-efficacy siswa
dalam pembelajaran matematika dan target yang akan dicapai pada kategori tinggi sekitar 50%, dan
kategori sangat tinggi 20%. Ketika siswa mempunyai self-efficacy yang tinggi atau sangat tinggi
maka akan memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh siswa kelas VIII A SMP Negeri 14
Yogyakarta khususnya terkait dengan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika maka
guru harus mencari solusi sehingga dapat meningkatkan self-efficacy siswa. Guru sebagai pendidik
atau sebagai pelaksana pembelajaran harus memiliki keterampilan dan menerapkan pendekatan atau
model pembelajaran yang tepat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan self-
efficacy siswa adalah dengan pendekatan Problem Based Learning (PBL). Model PBL merupakan
salah satu model pembelajaran yang mudah dan dapat memberikan keyakinan diri siswa dalam
belajar matematika. Dengan Problem Based Learning dapat membuat proses pembelajaran lebih
memotivasi siswa untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
meyakini siswa bahwa mereka dapat mengerjakan berbagai soal-soal matematika.
Melalui Problem Based Learning ini, siswa diminta untuk berfikir dalam menyelesaikan
permasalahan matematika yang diberikan baik itu pemecahan masalah yang dilakukan dengan
kelompok maupun pemecahan masalah secara individu sehingga dapat menjadi solusi dalam
mengatasi self-efficacy siswa yang tergolong sedang. Adapun tahapan-tahapan dalam pembelajaran
PBL yaitu mampu meningkatkan keyakinan atau kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran
matematika. Oleh sebab itu, guru berkolaborasi dengan peneliti untuk melakukan penelitian
tindakan kelas (PTK) dengan judul “Meningkatkan self-efficacy Siswa dalam Pembelajaran
Matematika dengan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) di Kelas VIII A SMP
Negeri 14 Yogyakarta”.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan
secara bersama-sama (kolaboratif) antara guru mata pelajaran matematika dan peneliti yang
dilakukan di SMP Negeri 14 Yogyakarta.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIIA di SMP Negeri 14 Yogyakarta dan objek
penelitian ini adalah keseluruhan proses dan hasil pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) sebagai upaya meningkatkan self-efficacy siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 14 Yogyakarta.
Instrumen Pengumpulan Data
1. Angket Self-Efficacy Siswa
Angket digunakan untuk mengetahui peningkatan self-efficacy siswa yang terjadi antar siklus
dalam pembelajaran matematika.
2. Observasi/Pengamatan
Lembar observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati setiap
kejadian yang sedang berlangsung dan mencatatnya secara sistematis. Observasi dilakukan
berdasarkan pada lembar observasi untuk mengamati keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 379
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
sintaks pembelajaran PBL yang terjadi di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung.
Observer mencatat segala kegiatan yang terjadi selama proses pembelajaran pada lembar
observasi yang telah disiapkan.
3. Catatan di Kelas
Hasil dari refleksi merupakan perubahan atau perbaikan yang dilakukan berdasarkan pada
catatan di kelas selama pembelajaran berlangsung.
4. Soal Evaluasi/Tes
Ketercapaian kompetensi dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran matematika
dikumpulkan dari hasil pre-tes dan pos-tes siswa yang berbentuk soal pilihan ganda. Soal
evaluasi untuk siklus I terdiri dari 20 soal pilihan ganda dan soal pada siklus II terdiri dari 15
soal pilihan ganda.
Teknik Analisis Data
a. Angket
Setiap butir pernyataan angket di kelompokkan sesuai dengan aspek yang diamati, kemudian
dihitung jumlah skor pada setiap butir sesuai dengan pedoman penskoran yang dibuat. Jumlah
hasil skor yang diperoleh dipersentase dan dikategorikan sesuai dengan kualifikasi hasil angket
kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika. Pilihan pernyataan dalam angket terdiri
dari lima pilihan jawaban yaitu selalu (SL), sering (SR), Kadang-kadang (KD), jarang (J) dan
tidak pernah (TP) yang berturut-turut nilai penskorannya adalah 5, 4, 3, 2, dan 1. Untuk
pernyataan positif, dan 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk pernyataan negatif, dan 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk
pernyataan negatif. Adapun kisi-kisi angket self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika
sebagai berikut:
Tabel 2. Kisi-Kisi Angket Self-Efficacy Siswa dalam Pembelajaran Matematika
Aspek Indikator Nomor Pernyataan
Jumlah Positif Negatif
Efikasi-diri
untuk
mengerjakan
tugas
matematika
Keyakinan menyelesaikan tugas 1,2,3 4,5,6 6
Keyakinan terhadap kemampuan
mengatasi kesulitan
7,8,9 10,11,12 6
Keyakinan terhadap kemampuan
dalam belajar
13,14,15 16,17,18 6
Efikasi-diri
dalam belajar
matematika
Tindakan untuk memperoleh
hasil yang diharapkan
19,20,21 22,23,24 6
Seberapa besar usaha yang
dilakukan dalam belajar
25,26,27 28,29,30 6
Jumlah 15 15 30
Hasil angket self-efficacy siswa dikategorikan seperti pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Pedoman Kategorisasi Hasil Skor Angket Self-Efficacy Siswa
Interval Skor Kriteria
> 1,5 σ X > 120 Sangat Tinggi
0,5 σ < ≤ + 1,5 σ 100 < X ≤ 120 Tinggi
-0,5 σ < ≤ + 1,5 σ 80 < X ≤ 100 Sedang
-1,5 σ < ≤ -1,5 σ 60 < X ≤ 80 Rendah
≤ -1,5 σ X ≤ 60 Sangat Rendah
(Saifudin Azwar, 2012: 148)
Keterangan:
Standar deviasi/simpangan baku ideal
Rata-rata ideal
b. Lembar Observasi
Dalam penelitian ini, yang diamati adalah keterlaksanna tahap-tahap pembelajaran Data
observasi yang telah diperoleh dihitung, kemudian dipersentasekan sehingga dapat diketahui
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 380
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
seberapa besar peningkatan kepercayaan diri siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis
data observasi kemudian disajikan secara deskriptif. Untuk menghitung presentase keterlaksanaan
pembelajaran yang diamati dengan menggunakan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran
dapat dihitung dengan:
Persentase (P) =
c. Hasil Tes Evaluasi Siklus I dan Siklus II
Hasil tes belajar siswa siklus pertama maupun siklus lanjutan mencerminkan sejauh mana
tingkat ketercapaian kompetensi siswa pada materi tertentu dan ketuntasan siswa selama proses
pembelajaran. Cara menghitung persentase skor yaitu:
Persentase (P) =
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan merupakan patokan untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan
atau program. Sesuai dengan karakteristik penelitian ini, maka penelitian ini dikatakan berhasil jika
memenuhi tiga aspek berikut yaitu:
1. Terjadi peningkatan self-efficacy siswa untuk tiap siklusnya dan mencapai target yang sudah
dibuat yaitu 15 % untuk kategori sangat tinggi, 50 % untuk kategori tinggi, 30% untuk kategori
sedan, 5% untuk kategori sedang dan 0% untuk kategori sangat rendah.
2. Nilai atau skor siswa yang mencapai KKM mencapai 80%.
3. Keberhasilan dari keterlaksanaan pembelajaran mencapai 85%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan pertama dari 30 item pernyataan untuk
aktivitas guru dan siswa secara keseluruhan mencapai 76,66%, keterlaksanaan pembelajaran siklus I
pertemuan kedua dari 30 item pernyataan aktivitas guru dan siswa mencapai 86,67%, untuk
keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan ketiga aktivitas guru dan aktivitas siswa dipisah
masing-masing terdiri 28 item aktivitas guru dan 28 item aktivitas siswa masing-masing 92,85%
(aktivitas siswa) dan 89,28% (aktivitas siswa), selanjutnya pertemuan keempat aktivitas guru dan
aktivitas siswa dipisah masing-masing terdiri 28 item aktivitas guru dan 28 item aktivitas siswa
masing-masing 89,28% (aktivitas siswa) dan 92,85% (aktivitas siswa). Rincian dari proses
keterlaksanaan guru dan siswa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Keterlaksanaan Siklus I Aktivitas Guru dan Siswa
Pertemuan
Ke-
Banyak Item Keterangan
Guru Siswa Terlaksana Tidak Terlaksana
1 30
Guru 23
Guru 7
Siswa Siswa
76,66% 23,33%
2 30
Guru 26
Guru 4
Siswa Siswa
86,66% 13,33%
3 28 28 Guru 26 92,85% Guru 2 7,14%
Siswa 25 89,28% Siswa 3 10,33
4 28 28 Guru 25 89,28% Guru 3 10,71
Siswa 26 92,85% Siswa 2 7,14%
Keterlaksanaan pembelajaran siklus I pertemuan terakhir untuk aktivitas guru 89,28% dan
aktivitas siswa mencapai 92.85%. Akhir pembelajaran siklus I, peneliti melakukan post-test atau
memberikan soal evaluasi kepada siswa untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan penguasaan
materi masing-masing individu pada kompetensi dasar menentukan gradien, persamaan dan grafik
garis lurus yang dilaksanakan pada hari Kamis, 17 November 2016 pukul 07.00-07.20 WIB.
Sebelum dilakukan post-test kepada siswa, terlebih dahulu peneliti memberikan soal pre-tes
sebanyak 20 butir soal pilihan ganda yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2016. Hasil
pre-test dan pos-tes siswa kelas VIIIA dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 381
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 5. Hasil Pre-Test dan Post-Test Siklus I Siswa Kelas VIIIA
Pre-Test Post-Test
Rata-Rata Siswa 33.24 68.53
Nilai Maksimum
Siswa
45 90
Nilai Minimum Siswa 3 35
Ketuntasan Klasikal 0% 76.47%
*(skala penskoran mulai dari 0 – 100)
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal dari hasil post-test mencapai
76.47% dari jumlah siswa keseluruhan dengan jumlah siswa yang di atas KKM sebanyak 26 siswa
dan di bawah KKM 8 siswa. Hasil yang diperoleh pada siklus I masih di bawah nilai rata-rata
ketuntasan klasikal yaitu 80% sehingga peneliti memberikan remidi kepada 8 anak siswa yang
belum tuntas di luar jam pelajaran. Sedangkan untuk rata hasil afektif dalam hal ini self-efficacy
siswa untuk pra penelitian sebesar 89.87 termasuk dalam kategori sedang dan setelah siklus I rata-
rata self-efficacy siswa meningkat menjadi 96,60 namun masih berada pada kategori sedang
sehingga peneliti melanjutkan ke siklus II.
Hasil observasi oleh observer terhadap proses kegiatan pembelajaran siklus II diperoleh
keterlaksanaan pembelajaran untuk aktivitas guru mencapai 96.43% dan aktivitas siswa 96.43%.
Dilihat dari persentase keterlaksanaan pembelajaran untuk aktivitas guru dan siswa sudah mencapai
atau berada di atas target yang telah ditentukan yaitu 85%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Keterlaksaan Pembelajaran Siklus II
Pertemuan
Ke-
Banyak Item Keterangan
Guru Siswa Terlaksana Tidak Terlaksana
1 28 28 Guru 25 89.28% Guru 2 10,33%
Siswa 26 92.85% Siswa 3 7,14%
2 28 28 Guru 27 96.43% Guru 1 3.57%
Siswa 27 96.43% Siswa 1 3.57%
Keterlaksanaan pembelajaran siklus II pertermuan terakhir untuk aktivitas guru 96.43% dan
aktivitas siswa mencapai 96.43%. Akhir pembelajaran siklus II, peneliti melakukan post-test atau
memberikan soal evaluasi kepada siswa untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan penguasaan
materi masing-masing individu pada kompetensi dasar menyelesaikan sistem persamaan linear dua
variabel pada hari Sabtu, 26 November 2016 pukul 07.15-07.35 WIB. Sebelum dilakukan post-test
kepada siswa, terlebih dahulu peneliti memberikan soal pre-tes berupa pilihan ganda yang
dilaksanakan pada hari Kamis, 17 November 2016. Hasil pre-test dan pos-tes siswa kelas VIIIA
dapat dilihat pada Tabel 7 di basah ini:
Tabel 7. Hasil Pre-Test dan Post-Test Siklus I Siswa Kelas VIIIA
Pre-Test Post-Test
Rata-Rata Siswa 18.08 80
Nilai Maksimum Siswa 30 93.33
Nilai Minimum Siswa 5 40
Ketuntasan Klasikal 0% 85.29
*(skala penskoran mulai dari 0 – 100)
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ketuntasan klasikal dari hasil post-test mencapai
85.29% dari jumlah siswa keseluruhan dengan jumlah siswa yang di atas KKM sebanyak 29 siswa
dan di bawah KKM 5 siswa. Hasil yang diperoleh pada siklus II sudah berada dia atas nilai
ketuntasan klasikal yaitu 80% sehingga peneliti melakukan pembelajaran sampai dengan siklus II.
Sedangkan untuk rata hasil afektif dalam hal ini self-efficacy siswa untuk siklus I sebesar 89.87
termasuk dalam kategori sedang dan setelah siklus II rata-rata self-efficacy siswa meningkat
menjadi 106.55 termasuk dalam kategori tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 382
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Secara umum, siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi pasti mempunyai keyakinan
belajar yang lebih dibandingkan dengan siswa yang memiliki efikasi rendah. Para siswa dengan
self-efficacy yang rendah dalam belajar menghindari tugas yang diberikan, sedangkan untuk para
siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan lebih bersemangat dan berpartisifasi jika
diberikan tugas. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Schunk (2012: 146)
bahwa para siswa yang mampu belajar dengan baik memiliki kepercayaan diri terhadap
kemampuan-kemampuan mereka dalam belajar dan mengharapkan hasil-hasil yang positif dari usah
yang telah meraka lakukan. Efikasi berhubungan dengan keyakinan siswa bahwa dirinya mampu
menyelesaiakan tugas tertentu (Anderson & Krathwohl 2001: 59). Bandura (1999: 2-3) mengartikan
self-efficacy mengacu atau memuat keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengatur dan
melakukan tindakan yang diperlukan terhadap situasi yang akan datang
Peningkatan self-efficacy siswa dalam beberapa siklus menyebabkan hasil belajar matematika
siswa juga meningkat dari siklus ke siklus berikutnya. Bandura mendefinisikan self-efficacy
(harapan terhadap efikasi) berhubungan dengan keyakinan-keyakinan seseorang tentang
kemampuan-kemampuan dirinya untuk belajar atau melakukan tindakan sesuai tingkatan yang
ditentukan (Schunk: 2012: 146). Self-efficacy telah terbukti menjadi responsif terhadap perbaikan
metode belajar siswa terutama yang melibatkan lebih self-regulation dan prediksi hasil prestasi
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan self-efficacy siswa dalam pembelajaran matematika dengan model Problem Based
Learning (PBL) di kelas VIIIA SMP Negeri 14 Yogyakarta dapat dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Pembelajaran dilakukan dengan diskusi kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri
dari 2-4 orang
b. Masing-masing kelompok mengerjakan LKS yang disusun berdasarkan model pembelajaran
Problem Based Learning.
c. Setelah semua kelompok selesai mengerjakan LKS, perwakilan dari 3-4 siswa dari kelomok
yang berbeda mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan kelompok yang lain
memberikan tanggapan atau perbaikan dari kelompok yang presentasi di depan kelas.
2. Setelah pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) siswa kelas VIIIA SMP
Negeri 14 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2016/2017 deperoleh rata-rata persentase ketuntasan
klasikal siswa pada siklus I dan siklus II berturut-turut yaitu 76.47% dan 85.29%.
3. Proses pembelajaran mengalami perbaikan pada akhir pembelajaran di setiap siklus sehingga
diperoleh persentase dari siklus I sampai dengan siklus II mengalami peningkatan yaitu untuk
siklus satu diperoleh keterlaksanaan pembelajaran aktivitas guru 89.29% dan siswa 92.86%.
Sedangkan siklus II diperoleh keterlaksaan pembelajaran aktivitas guru 96.43% dan siswa
96.43%.
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A
revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York. Longman.
Bandura, A. (1999). Self-efficacy in changing societies. New York, NY: Cambridge University
Press.
Saifuddin A. (2010). Tes Prestasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Schunk, D. H. (2012). Learning teories: An educational perspective. (6th ed.). Upper Saddle
River, NJ: Person Education..
Zimmerman, B. J., & Kovach, R. (1996). Developing self-regulated learners: Beyond achievement
to self-efficacy. Washington DC: American Psychology Association.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 383
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
BILANGAN PRIMA DAN BILANGAN TAK TEREDUKSI PADA
BILANGAN BULAT GAUSS
Fariz Maulana1; I Gede Adhitya Wisnu Wardhana
2; Ni Wayan Switrayni
3; Qurratul Aini
4
1,2,3,4Program Studi Matematika FMIPA Universitas Mataram
e-mail: [email protected], [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak: Bilangan bulat Gauss merupakan bilangan kompleks yang bagian real dan
imajinernya berupa bilangan bulat. Bilangan bulat Gauss dengan penambahan biasa dan
penggandaan bilangan kompleks membentuk suatu Derah Integral yang disimbolkan dengan . Bilangan Prima merupakan hal yang menarik untuk dibahas dalam teori kode atau kriptografi.
Dalam makalah ini akan dibahas hubungan bilangan prima dengan bilangan tak tereduksi pada
Bilangan bulat Gauss serta akan diberikan beberapa sifat yang berkaitan dengan bilangan prima dan
bilangan tak tereduksi pada Bilangan bulat Gauss.
Kata Kunci: Bilangan Bulat Gauss, Bilangan Prima, Bilangan Tak Tereduksi
PENDAHULUAN
Kriptografi adalah salah satu cabang ilmu matematika yang banyak digunakan pada sistem
keamanan digital. Kriptografi itu sendiri berkaitan pada bilangan bulat dan sifat-sifatnya, terutama
bilangan prima. Lebih spesifik, beberapa algoritma penting seperti RSA, sangat bergantung pada
faktorisasi prima dari bilangan bulat yang sangat besar. Oleh karena itu sangat menarik mengkaji
bilangan prima pada sistem matematika yang lebih abstrak, salah satunya bilangan bulat Gauss.
Bilangan bulat Gauss merupakan bilangan kompleks yang bagian real dan imajinernya berupa
bilangan bulat. Bilangan bulat Gauss dengan penambahan biasa dan penggandaan bilangan
kompleks membentuk suatu Derah Integral yang disimbolkan dengan . Bilangan prima dan
bilangan tak tereduksi merupakan definisi yang sama pada Daerah Integral , belum tentu berlaku
pada daerah integral yang lain. Pada makalah ini akan dilihat beberapa sifat bilangan prima dan
bilangan tak tereduksi pada bilangan bulat Gauss yang merupakan perumuman dari bilangan bulat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Bilangan Prima dan Bilangan Tak Tereduksi
Definisi 1.1 Suatu elemen dari ring komutatif dengan unsur satuan disebut unit jika membagi
1 atau dengan kata lain memiliki invers perkalian. Dua elemen berasosiasi di jika
dimana adalah suatu unit di .
Definisi 1.2 Suatu elemen tak nol dan bukan unit dari suatu Daerah Integral disebut tak
tereduksi di jika setiap pemfaktoran di hanya terpenuhi bila atau adalah unit.
Definisi 1.3 Suatu elemen tak nol dan bukan unit dari suatu Daerah Integral disebut Prima jika
untuk setiap , berimplikasi atau 2. Daerah Ideal Utama, Daerah Faktorisasi Tunggal dan Daerah Euclid
Definisi 2.1 Suatu Daerah Integral disebut Daerah Faktorisasi Tunggal bila memenuhi kondisi
berikut:
a. Setiap elemen yang bukan nol ataupun unit bisa difaktorkan menjadi perkalian hingga
bilangan tak tereduksi.
b. Jika dan adalah dua faktorisasi berbeda dari suatu unsur di maka
dan faktorisasi dapat diurutkan kembali sehingga dan berasosiasi.
Definisi 2.2 Suatu Daerah Integral merupakan suatu Daerah Ideal Utama jika setiap idealnya
merupakan ideal utama.
Teorema 2.1 Suatu ideal pada Daerah Faktorisasi Tunggal merupakan ideal maksimal jika
dan hanya jika tak tereduksi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 384
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Bukti. Diberikan ideal maksimal dari suatu daerah faktorisasi tunggal Andaikan di ,
maka Jika maka dan berasosiasi, sehingga merupakan unit.
Jika maka haruslah karena ideal maksimal, sehingga
dan berasosiasi. Akibatnya unit. Sehingga , dimana atau merupakan unit. Jadi tak
tereduksi.
Sebaliknya, andaikan tak tereduksi di Jika kita dapatkan .
Jika unit, maka . Jika bukan unit, maka harus unit, sehingga terdapat
sehingga . Akibatnya , jadi dan kita dapatkan
. Selanjutnya berimplikasi atau dan
atau unit. Jadi ideal maksimal.
Lemma 2.1 Di Daerah Faktorisasi Tunggal, jika elemen tak tereduksi membagi maka atau
Bukti. Diberikan suatu Daerah faktorisasi tunggal, tak tereduksi di dan . Karena
maka . Karena tak tereduksi maka ideal maksimal. Karena setiap ideal maksimal
merupakan ideal prima, berimplikasi atau . Artinya atau
Lemma 2.2 Di Daerah Integral , jika prima di maka tak tereduksi di .
Bukti. Misal artinya , karena prima maka atau . Karena maka
atau . Akibatnya dan atau dan . Sehingga atau untuk suatu unit
. Jadi unit atau unit.
Teorema 2.2 Setiap Daerah Ideal Utama merupakan Derah Faktorisasi Tunggal.
Bukti. Jika merupakan suatu Daerah Ideal Utama, maka terdapat dimana bukan nol
ataupun unit, mempunyai faktor-faktor tak tereduksi
Untuk menunjukkan ketunggalan, misalkan
Merupakan faktor-faktor lain tak tereduksi.
Kemudian kita dapatkan berimplikasi . Tanpa mengurangi perumuman, kita
asumsikan atau maka dan karena tak tereduksi maka unit. Jadi dan
berasosiasi. Kita dapatkan
Berdasakan hukum pembatalan diperoleh
Dengan cara yang sama, diperoleh
Karena tak tereduksi, maka haruslah
Definisi 2.3 Suatu Norma Euclid pada suatu Daerah Integral adalah suatu fungsi yang
memetakan elemen tak nol ke bilangan bulat tak negatif yang memenuhi kondisi berikut :
a. Untuk setiap terdapat sehingga , dimana atau
b. Untuk setiap berlaku
Suatu Daerah Integral merupakan Daerah Euclid bila terdapat norma Euclid pada .
Teorema 2.3 Setiap Daerah Euclid merupakan Daerah Ideal Utama.
Bukti. Diberikan suatu Daerah Euclid dengan norma Euclid , dan diberikan suatu ideal di .
Jika maka dan ideal utama. Untuk , maka ada di Pilih
sehingga merupakan minimal dari semua untuk . Kita klaim bahwa .
Diberikan sehingga berdasarkan kondisi 1 definisi norma Euclid, terdapat dan sehingga
, dima atau . Sekarang dan sehingga Karena suatu ideal, sehingga tidak mungkin. Jadi haruslah sehingga .
Karena merupakan semua elemen dari , maka
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 385
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Teorema 2.4 Setiap Daerah Euclid merupakan Daerah Faktorisasi tunggal.
Bukti. Berdasarkan Teorema 2.3 dan Teorema 2.2 maka jelas Teorema 2.4 terbukti.
Teorema 2.5 Untuk suatu Daerah Euclid dengan norma Euclid , (1) adalah minimal dari semua
untuk elemen tak nol , and adalah unit jika dan hanya jika .
Bukti. Perhatikan bahwa untuk berlaku Karena unit, berlaku juga , untuk suatu unit .
Sebaliknya, andaikan ada elemen tak nol dimana . Dengn menggunakan algoritma
pembagian, terdapat sehingga berlaku
Dimana atau . Karena adalah minimal dari semua untuk
elemen tak nol , tidak mungkin terjadi, karena maka haruslah .
Jadi adalah unit di
3. Bilangan bulat Gauss
Definisi 3.1 Bilangan bulat Gauss adalah suatu bilangan kompleks dengan . Untuk
bilangan bulat Gauss , norma dari ialah .
Lemma 3.1 Dalam , fungsi norma untuk setiap berlaku beberapa sifat sebagai
berikut :
a. .
b. jika dan hanya jika c.
Bukti.
Misalkan dan
a.
, jelas .
b.
terpenuhi jika dan hanya jika ( .
c.
Teorema 3.1 Fungsi diberikan oleh untuk adalah norma Euclid pada
, selanjutnya disebut Daerah Euclid.
Bukti. Perhatikan bahwa untuk ,
, jelas . Sehingga
untuk setiap di , . Ini membuktikan kondisi 2 pada
definisi Norma Euclid.
Selanjutnya akan dibuktikan kondisi 1 pada definisi Norma Euclid. Diberikan dengan
dan , dimana . Kita harus menemukan sehingga
dimana atau
. Diberikan
untuk .
Diberikan bilangan bulat di yang mendekati bilangan rasional dan . Diberikan dan . Jika bukti selesai. Jika tidak, dari kontruksi , kita tahu bahwa
dan
. Sehingga (
) ( )
(
)
(
)
Kita dapatkan ( (
)) (
)
Jadi kita dapatkan,
Lemma 3.2 adalah Daerah Integral.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 386
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Bukti. Jelas bahwa merupakan Ring komutatif dengan unsur satuan. Kita akan menunjukkan
bahwa tidak memiliki pembagi 0. Jika maka
Berimplikasi atau , sehingga berimplikasi atau . Jadi tidak
memilik pembagi nol sehingga merupakan Daerah Integral.
Lemma 3.3 Unit di hanya dan . Bukti. Karena merupakan minimal dari untuk setiap elemen tak nol dengan dan . Berdasarkan Teorema 2.5, maka semua yang
memenuhi merupakan unit. Karena , maka haruslah
dan atau dan Jadi unit di hanya dan .
Teorema 3.2 (teorema Fermat )
Diberikan suatu bilangan prima ganjil, untuk jika dan hanya jika .
Bukti. Perhatikan bahwa , karena ganjil maka dan tidak boleh keduanya ganjil
atau keduanya genap, sehingga haruslah yang satu genap dan lainnya ganjil. Misalkan dan
diperoleh Jadi .
Sebaliknya, perhatikan bahwa . Grup perkalian dari elemen tak nol lapangan
berhingga adalah siklik dan memiliki order . Sejak 4 merupakan pembagi , kita
dapatkan mengandung suatu elemen berorde . Itu berakibat berorde 2, sehingga
di . Selanjutnya di kita dapatkan , jadi membagi di Z.
Pandang dan n2+1 di , kita dapatkan membagi = .
Andaikan tak tereduksi di , maka harus membagi atau . Jika membagi
maka untuk suatu . Kita dapatkan , tidak dapat terjadi
karena bilangan prima ganjil. Begitu pula jika membagi maka
untuk suatu Kita dapatkan , tidak dapat terjadi karena bilangan prima ganjil.
Pengandaian bahwa tak tereduksi pada salah, jadi haruslah tereduksi pada . Karena tereduksi pada , maka dimana atau bukan
unit.
Dengan mengambil normanya, dimana tidak ada satupun
atau . Sehingga kita dapatkan = .
Akibat 3.1 Diberikan suatu bilangan prima ganjil di , tak tereduksi di jika dan hanya jika
.
Bukti. Dari Teorema Fermat, dapat dikembangkan menjadi:
Diberikan suatu bilangan prima ganjil, untuk setiap jika dan hanya jika
.
Perhatikan bahwa , artinya atau .
Untuk atau , tidak mungkin karena merupakan bilangan prima
ganjil, maka haruslah .
Karena tidak dapat ditulis dalam bentuk , maka hanya dapat ditulis dalam bentuk
atau atau atau Karena merupakan unit di , berimplikasi tak tereduksi pada
Lemma 3.4 Jika tak tereduksi di maka bilangan prima di . Bukti. Misalkan , karena merupakan Daerah faktorisasi tunggal dan tak terduksi di
maka atau . Jadi merupakan bilangan prima.
Lemma 3.5 Jika bilangan prima di maka tak tereduksi di Bukti. Karena merupakan Daerah Integral dan prima di . Berdasarkan Lemma 2.2 maka
tak tereduksi di
Teorema 3.3 Di , bilangan prima jika dan hanya jika tak tereduksi.
Bukti. Berdasrkan Lemma 3.4 dan Lemma 3.5, jelas Teorema 3.3 terbukti.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 387
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Teorema 3.4 Diberikan suatu bilangan prima ganjil di , prima di jika dan hanya jika
.
Bukti. Berdasarkan Akibat 3.1 dan Teorema 3.3, maka jelas Teorema 3.4 terbukti.
Teorema 3.5 Jika tak tereduksi di , maka dan – juga tereduksi di Bukti. Karena tak tereduksi, maka setiap faktor hanya terpenuhi bila unit atau unit.
Perhatikan bahwa dan merupakan unit sehingga dan juga merupakan tak tereduksi.
Akibat 3.2 Jika bilangan prima di , maka dan – juga bilangan prima di Bukti. Berdasarkan Teorema 3.3, maka jelas Akibat 3.2 terbukti.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Unit di hanya dan 2. Diberikan bilangan prima di , tak tereduksi di jika dan hanya jika .
3. Diberikan bilangan prima di , bilangan prima di jika dan hanya jika .
4. Di tak tereduksi jika dan hanya jika bilangan prima
5. Jika tak tereduksi di , maka – dan – juga tereduksi di
6. Jika bilangan prima di , maka dan – juga bilangan prima di DAFTAR RUJUKAN
Durbin, John R. 2000. Modern Algebra An Introduction, Fourth Edition.New York : John Wiley &
Sons.
Fraleigh, John. 1997. A First Course In Abstract Algebra, Seventh Edition. United States of
America : Pearson Education Limited.
Herstein, I. N. 1975. Topics in Algebra, Second Edition. Singapura : John Wiley & Sons.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan Profesionalisme
Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 388
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
IMPLEMENTASI TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF DALAM
PEMBELAJARAN
Habiburrahman1; Nurmiwati
2
1,2Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap
sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur.
Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud
dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur
(percakapan atau wacana) yang terjadi dalam interaksi sosial. Uraian tentang tindak tutur dalam
pembelajaran ini didasari dari penelitian yang pernah penulis lakukan sehingga penjabarannya
dibatasi untuk mendeskripsikan dan menjelaskan penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan
ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Impelementasi tindak tutur direktif dan ekspresif
dalam pembelajaran menunjukkan penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas
berupa fungsi permintaan, fungsi perintah, fungsi pertanyaan, fungsi larangan, fungsi
pengizinan, dan fungsi nasihat. Di samping itu, penggunaan fungsi ekspresif guru dalam
pembelajaran di kelas berupa fungsi memuji, fungsi menghargai, fungsi simpati, fungsi
mengkritik, dan fungsi mengeluh. Penggunaan fungsi direktif relevan juga dengan paradigma
pembelajaran, student centered (pembelajaran berpusat pada peserta didik). Paradigma
pembelajaran tersebut orientasi pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered)
beralih dan berpusat pada peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih
didominasi ekspositori berganti menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih
banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan
untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Hakikat
paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek dalam
pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan para
siswanya agar dapat menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses
pembelajaran.
Kata Kunci: Tindak Tutur Guru, Pembelajaran
PENDAHULUAN
Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi
(maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Demikian juga tindak tutur guru dalam
pembelajaran di kelas, seperti tindak tutur direktif dan ekspresif. Saat mengelola kelas, guru
meminta siswa untuk tertib dengan tuturan secara langsung melarang siswa ribut; saat menutup
pelajaran, guru memberikan tugas dengan tegas; dan saat memberi penguatan, guru
mengapresiasi jawaban siswa dengan langsung menerima jika benar dan menyalahkan secara
langsung bila salah. Kondisi dalam pembelajaran tersebut tentu mengancam muka mitratutur
(siswa). Hal tersebut berimplikasi terhadap psikologi siswa seperti tegang atau panik karena
takut .
Guru sebagai insan akademik dengan beragam tuntutan profesional mesti memperhatikan
kesantutan tindak tutur tersebut. Secara sadar kesantutan tersebut akan membantu kesuksesan
guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Seideal dan seoptimal apapun guru merancang
pembelajaran bila tidak didukung dengan bahasa dalam menyampaikan maksud tentu akan
menghambat dan mengganggu proses pembelajaran. Hal inilah yang menjadi perhatian sehingga
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-
1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |
389
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
artikel berjudul Implementasi Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Pembelajaran cukup
relevan dan urgen.
Richard (1995:6 dalam Arifin 2012) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu
tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau
menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang
dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak
tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau wacana) yang terjadi dalam
interaksi sosial.
Selain mengembangkan hipotesis bahwa setiap tuturan mengandung tindakan, Searle
(1975) juga membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak
lokusioner „utterance act‟ atau „locutionary act‟, tindak ilokusioner „ilocutionary act‟, dan
tindak perlokusioner „perlocutionary act‟ (Nadar, 2009: 14 ). Austin juga mengatakan bahwa
secara analitis dapat dibedakan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak dalam
sebuah ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Sumarsono, 2009:181).
Wijana (1996:19) menjelaskan bahwa tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk
memahami tindak tutur. Sebagai bahan penunjang akan dibicarakan klasifikasi tindak tutur
berdasarkan fungsi dan berdasarkan kriteria yang beragam. Tarigan (2007:42) kemudian
menjelaskan klasifikasi tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu dengan mengutip
penjelasan seorang pakar kawakan dalam bidang ini, J.R. Searle (1979), mengklasifikasikan
tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu berupa: fungsi asertif, direktif, komisif,
ekspresif, dan deklaratif.
Pendekatan yang berbeda terhadap pemilahan tipe tindak tutur ini dapat dibuat
berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum
tindak tutur yang diberikan dalam Bahasa Inggris, ada 3 tipe kalimat dasar. Seperti yang
ditunjukkan dalam (20), dengan mudah dapat diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk
struktural (deklaratif, interogatif, dan imperatif) dan tiga fungsi komunikasi umum (pernyataan,
pertanyaan, perintah/permohonan) Yule (2006:95).
Para ahli umumnya membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu
strategi langsung dan tidak langsung. Blum-Kulka (1989 dalam Arifin 2008) mengatakan bahwa
strategi langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan
dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.
Sopan santun sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar
beradab’ saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah, sopan
santun merupakan mata rantai yang hilang antara Pk dengan masalah bagaimana mengaitkan
daya dengan makna (Leech, 1982:161).
Meskipun teori kesantunan dibedakan dengan konsep kesopanan dalam kajian
sosiolinguistik, tetapi ada keterkaitan yang erat pada kedua konsep tersebut. Hal ini ditunjukkan
dengan teori kesantunan yang dipaparkan oleh Brown dan Levinson (1978). Brown dan
Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka, demikian juga
konsep ‘kesopanan’ sebagaimana dijelaskan oleh Wardhaugh (1998:293) bahwa konsep
‘kesopanan’ banyak meminjam dari karya asli Goffman (1967) tentang ‘wajah’. Dalam
membahas kesopanan, konsep yang menjadi perhatian mereka, Brown dan Levinson
mendefinisikan wajah sebagai citra diri pada khalayak yang diinginkan oleh setiap anggota atas
dirinya sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hubungan erat kedua konsep tersebut bahwa
kajian kesantunan tidak dapat dipisahkan secara mutlak dengan kajian pragmatik, pertimbangan
sosiolinguistik juga perlu diperhatikan. Berarti konsep kesantunan harus dipahami dengan kedua
pendekatan tersebut, yaitu pragmatik dan sosiolinguistik atau lebih tepatnya pendekatan
sosiopragmatik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-
1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |
390
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
METODE
Penelitian tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas merupakan salah satu penelitian
dalam kajian pragmatik. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif. Data peneltian
terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan
meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif.
Tuturan yang digunakan sebagai data adalah tuturan yang bersumber dari guru sebagai
penutur (Pn) dalam proses pembelajaran di kelas. Sumber data tersebut adalah tiga orang guru
kelas X MAN 2 Mataram. Pemilihan kelas X disesuaikan dengan keadaan guru yang mengajar.
Dalam hal ini, guru tidak banyak terganggu oleh aktivitas pemantapan ujian nasional. Sementara
itu, psikologi siswa kelas X belum begitu akrab dengan lingkungan baru karena mereka baru
diterima sebagai siswa baru di sekolah tersebut sehingga untuk memberikan kesan yang baik,
tindak tutur guru harus diperhatikan dengan baik.
Pengumpulan data dalam penelitian ini berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: (1)
persiapan pengumpulan data, (2) teknik observasi, dan (3) teknik wawancara. Teknik observasi
dilakukan terhadap aktivitas komunikasi berupa gesture dan konteks tuturan dalam KBM di
kelas. Teknik observasi yang dilakukan berupa kegiatan observasi nonpartisipatif. Artinya,
peneliti tidak ikut secara aktif dalam aktivitas KBM, tetapi cukup di kelas bagian belakang
sambil mengamati dan melakukan pencatatan pada lembaran observasi yang sudah disiapkan.
Sebagai penunjang untuk mengumpulkan data selama kegiatan observasi digunakan teknik
perekaman. Melalui teknik perekaman ini diusahakan semaksimal mungkin mendapatkan
rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam KBM yang
terjadi.
Alat perekaman yang digunakan berupa handycam yang peka dalam perekaman suara.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, handycam beserta cas tetap
disiapkan dalam tiap kali perekaman. Dengan teknik perekaman tersebut, data yang terkumpul
dapat dikatakan cukup memadai untuk kepentingan analisis data dan penelitian secara
keseluruhan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data berupa motivasi dan persepsi
penggunaan tindak tutur direktif dan ekspresif yang tidak terekam dengan handycam dan tidak
teramati atau tidak tercatat saat observasi. Dalam hal ini, teknik wawancara sangat diperlukan
untuk memperoleh data, seperti alasan penggunaan tindak tutur guru saat KBM berlangsung di
kelas.
Dalam penelitian ini, intrumen kunci atau instrumen utama adalah peneliti. Artinya,
peneliti sendiri yang berperan aktif dalam pengumpulan, pengidentifikasian, penyeleksian, dan
penafsiran data. Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi
data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas meliputi: (1)
penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran Hasil penelitian
ini dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
1) Penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas sangat variatif. Sejumlah fungsi
direktif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(a) Fungsi permintaan, melalui fungsi direktif ini guru meminta siswa untuk melakukan
sesuatu. Fungsi permintaan ini mencakup: meminta, memohon, mengajak, mendorong,
dan menekan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas,
fungsi permintaan diwujudkan guru untuk meminta kepada siswa melakukan sesuatu saat
pembelajaran dimulai. Misalnya, guru meminta siswa untuk maju ke depan membacakan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-
1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |
391
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
pokok-pokok informasi tentang pembangunan kampung budaya gerbang karawang.
Permintaan tersebut wajar dilakukan guru untuk mengelola kelas sehingga proses KBM
berlangsung sebagaimana diharapkan.
(b) Fungsi perintah, melalui fungsi direktif ini guru memerintah siswa untuk melakukan
sesuatu. Fungsi perintah ini mencakup: memerintah, menuntut, mendikte, mengarahkan,
mengatur, dan menyaratkan. Fungsi direktif berupa perintah ini dalam pembelajaran di
kelas disampaikan sesuai kondisi saat pembelajaran berlangsung. Misalnya, saat memulai
pembelajaran yang diawali dengan perintah kepada setiap siswa wajib untuk maju
membacakan hasil rangkuman mereka sebagai bahan penilaian guru. Tuturan direktif
tersebut bersifat menekan setiap siswa untuk wajib mengikuti perintah yang sampaikan
guru dengan adanya otoritas guru sebagai pendidik dan juga mengevaluasi tugas individu
siswa selama pembelajaran.
(c) Fungsi pertanyaan, melalui fungsi direktif ini guru menanyakan sesuatu kepada siswa.
Fungsi pertanyaan ini mencakup: bertanya dan mengintrogasi. Fungsi pertanyaan
dituturkan guru dalam berbagai konteks pembelajaran. Misalnya, saat membuka pelajaran
yang diawali dengan apersepsi, saat menyampaikan materi dengan metode tanya jawab,
saat memberi penguatan selalu diawali dengan pertanyaan, bahkan saat mengelola kelas
fungsi pertanyaan tersebut sering digunakan untuk membuat kondisi kelas menjadi terarah,
disisplin, dan terkendali.
(d) Fungsi larangan, melalui fungsi direktif ini guru melarang siswa melakukan sesuatu.
Fungsi larangan ini mencakup: melarang dan membatasi. Fungsi larangan ini dapat
dituturkan dalam konteks yang beragam, sperti saat mengelola kelas. Guru berusaha
membatasi tindakan siswa untuk mengembalikan dan mempertahankan perhatian siswa
dari waktu ke waktu. Fungsi larangan yang dituturkan guru wajar dilakukan sebagai
pendidik untuk mengendalikan kondisi selama kegiatan pembelajaran di kelas. Demikian
juga pada tuturn 78, fungsi larangan mulai intensif dituturkan agar kondisi pembelajaran
tetap kondusif sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran.
(e) Fungsi pengizinan, melalui fungsi direktif ini guru mengizinkan siswa melakukan sesuatu.
Fungsi pengizinan ini mencakup: memberi izin, membolehkan, mengabulkan,
membiarkan, melapaskan, meperkankan, memberi wewenang, dan menganugerahkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi pengizinan
digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat menyampaikan materi dengan
teknik tanya jawab, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan pemberian tugas akhir,
dan saat mengelola kelas. Dalam konteks menutup pelajaran, fungsi pengizinan digunakan
guru saat memberikan tugas yang diikuti mengumpulkan tugas tersebut. Saat
mengumpulkan tugas terxebut, penggunaan fungsi pengizinan yaitu memberikan
kebebasan kepada siswa untuk menentukan warna kertas yang dipakai menjilid tugas
mereka.
(f) Fungsi nasehat, melalui fungsi direktif ini guru menasehati siswa untuk melakukan
sesuatu. Fungsi nasehat ini mencakup: menaehati, memperingatkan, mengusulkan,
membimbing, dan menyarankan. Penggunaan fungsi nasehat dalam pembelajaran di kelas
disesuaikan dengan konteksnya. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa fungsi nasehat
digunakan oleh guru dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, mengelola kelas, dan
menutup pelajaran. Dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, fungsi nasehat
dominan dilakukan sebagai bentuk pengarahan, bimbingan, peringatan, dan saran
2) Penggunaan fungsi ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas bervariasi. Sejumlah fungsi
ekspresif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-
1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |
392
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
(a) Fungsi memuji, melalui tindak ekspresif ini, guru memuji tindakan siswa supaya
meningkatkan prestasinya. Fungsi memuji ini mencakup: mendukung dan menyetujui
tindakan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi
memuji digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat memberi penguatan yang
diawali dengan tanya jawab dan saat menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya
jawab. Dalam konteks memberi penguatan, guru menggunakan fungsi memuji saat
menanggapi jawaban siswa supaya mereka meningkatkan prestasinya. Hasil penelitian
menunjukkan, penggunaan fungsi memuji saat memberi penguatan dapat berupa
menyetujui dan mendukung.
(b) Fungsi menghargai, melalui tindak ekspresif ini, guru menghargai tindakan siswa supaya
meningkatkan prestasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di
kelas fungsi menghargai digunakan guru dalam 2 konteks. Konteks pertama, saat memberi
penguatan yang diawali teknik tanya jawab. Konteks kedua, saat menutup pelajaran yang
ditandai dengan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran.
(c) Fungsi simpati, melalui tindak ekspresif ini, guru simpati dengan kondisi siswa. Fungsi
simpati ini mencakup: rasa prihatin, belasungkawa, dan rasa sedih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi simpati digunakan guru
membuka pelajaran dan saat menyampaikan materi pelajaran. Dalam konteks membuka
pelajaran yang selalu diawali dengan pertanyaan terhadap kondisi peserta didik dan kedua
dengan memperhatikan kondisi peserta didik dalam pembelajaran.
(d) Fungsi mengkritik, melalui tindak ekspresif ini, guru mengevaluasi tindakan siswa. Fungsi
mengkritik ini mencakup: memprotes, menolak, dan mengevaluasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengkritik digunakan guru
berupa penolakan terhadap tindakan siswa. Di samping itu, fungsi mengkritik juga
digunakan guru untuk mengevaluasi dan memprotes tindakan siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab dan
saat menutup pelajaran yang ditandai dengan penolakan dan evaluasi peserta didik
terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran.
(e) Fungsi mengeluh, melalui tindak ekspresif ini, guru menggerutu atau kecewa dengan
tindakan siswa. Fungsi mengeluh ini mencakup: rasa kecewa, rasa bingung, rasa marah,
dan rasa muak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi
mengeluh digunakan guru berupa rasa kecewa dan bingung dengan sikap siswa dalam
pembelajaran di kelas. Fungsi mengeluh dapat tampak dalam beberapa konteks, saat
bertanya dan memberikan penguatan, dan saat menutup pelajaran. Dalam konteks inilah,
fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa bingung dengan sikap siswa yang tiba-tiba
dalam pembelajaran diam tampa komentar dan tidak ribut. Fungsi mengeluh tersebut
dituturkan guru dengan nada main-main untuk menghindari tekanan psikologis siswa
dalam pembelajaran sehingga rasa bingung tersebut muncul sesaat yang juga bisa sebagai
candaan untuk menyegarkan suasana pembelajaran.
Data hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat
penggunaan fungsi direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Dari 194 jumlah
data tuturan guru, sebanyak 155 (79,89%) data tuturan berupa fungsi direktif dan sebanyak 39
(20,10%) data tuturan berupa fungsi ekspresif. Rekapitulasi data di atas, secara jelas
menunjukkan bahwa penggunaan fungsi direktif dominan digunakan oleh guru dalam
pembelajaran di kelas dibandingkan dengan penggunaan fungsi ekspresif .
Penggunaan fungsi direktif relevan juga dengan paradigma pembelajaran, student
centered (pembelajaran berpusat pada peserta didik). Paradigma pembelajaran tersebut orientasi
pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih dan berpusat pada
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-
1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat |
393
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti
menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah
menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu
pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan.
Hakikat paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek
dalam pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan
para siswanya agar dapat menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses
pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Arifin. 2012. Bahan Ajar Pragmatik. Universitas Pendidikan Ganesha. Tidak Diterbitkan.
_____, 2008. Penggunaan Tindak Tutur Siswa dalam Percakapan di Kelas. Disertasi PPs.
Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.
Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta:Graha Ilmu
Sumarsono. 2010. Buku Ajar Pragmatik. Universitas Pendididkan Ganehsa.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sosiolinguistiks (Terjemahan). USA: Beckwell
Publisher Inc.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Jakarta: Andi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 394
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN
SIKAP BERPIKIR KRITIS SISWA SEKOLAH DASAR
Haifaturrahmah1; Yuni Mariyati
2; Sukron Fujiaturrahman
3
1,2,3Dosen PGSD, UMMAT
Abstrak: IPA terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait yaitu sikap ilmiah,
keterampilan proses dan pengetahuan. Transfer pengatahuan lebih mendominasi, sehingga
penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap berpikir kritis siswa SD melalui
penerapan pembelajaran berbasis masalah. Metode penelitian yang digunakan adalah
tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini siswa kelas V di SDN 46 Mataram
Tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 27 orang. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik tes, observasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis diskriptif interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
pada siklus I jumlah siswa yang memperoleh nilai ≥ 70 pada kondisi awal sebanyak 9
siswa (33%). Selanjutnya meningkat pada siklus I, dimana siswa yang memperoleh nilai ≥
70 sebanyak 17 siswa (63%), dan meningkat tajam pada siklus II, dimana siswa yang
memperoleh nilai ≥ 70 sebanyak 24 siswa (89%). Berdasarkan hasil analisis data
menggunakan gain standar rumus Hake, nilai sikap kritis lebih > 0,3 sehingga termasuk
dalam kategori sedang (0,3). Berdasarkan hasil penelitian, sikap berpikir kritis siswa
sekolah dasar dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan
melalui proses pembiasaan yang rutin.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Sikap Berpikir Kritis
PENDAHULUAN
Setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai penting yang menjadi perhatian siswa.
Pada pembelajaran IPA, nilai-nilai tersebut terdapat dalam sikap ilmiah. Sikap ilmiah (scientific
attitude) dibedakan dari sekedar sikap (attitude) terhadap suatu objek, dalam hal ini adalah sikap
terhadap IPA. Sikap ilmiah merupakan aspek tingkah laku yang tidak diajarkan pada suatu
pembelajaran, akan tetapi tingkah laku yang diperoleh melalui contoh-contoh positif berkenaan
dengan proses yang dilakukan, sehingga dapat diubah atau dibentuk melalui proses belajar.
Sikap ilmiah dapat dimulai dengan adanya beberapa masalah yang meragukan atau
membingungkan siswa sehingga mereka dapat menyadari keterbatasan pengetahuan, memiliki rasa
ingin tahu untuk menggali berbagai pengetahuan baru dan akhirnya mengaplikasikannya dalam
kehidupan. Sikap ilmiah tersebut dapat dikembangkan ketika siswa melalui berbagai kegiatan nyata
dengan alam sehingga memungkin terjadinya proses yang aktif dan kritis.
IPA merupakan cara mencari tahu tentang alam sekitar secara sistematis. Berkenanaan dengan
proses pembelajaran, IPA mengarahkan pada proses kebiasaan berpikir ilmiah dan berpikir kritis
untuk mencari tahu sehingga siswa memperoleh pemahaman yang lebih tentang fenomena dan
perubahan-perubahan di lingkungan sekitar dirinya. Salah satu pembelajaran yang terkait dengan
proses berpikir ilmiah dan mendukung siswa untuk mampu bersikap ilmiah adalah pembelajaran
berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah pembelajaran yang cocok untuk
diterapkan dalam pembelajaran IPA, karena berdasarkan pada masalah-masalah yang dihadapi
siswa di lingkungan sekitar. Masalah yang dimaksud bersifat nyata atau sesuatu yang menjadi
pertanyaan pelik bagi siswa.
Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan berbagai
masalah yang perlu dipecahkan. Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk
menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi
(Made Wena, 2014; 52). Oleh karena itu, IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga dan memelihara kelestarian
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 395
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
lingkungan sekitar. Melalui kemampuan memecahkan masalah, siswa mampu menggunakan
kemampuan tersebut untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional,
dan kreatif.
Pendidikan dasar memiliki tanggung jawab untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi
seorang manusia agar dapat menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan mandiri dalam menghadapi
proses kehidupannya. Maslichah Asy’ari (2006: 38) mengemukakan bahwa siswa sekolah dasar
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, siswa bereaksi secara positif terhadap unsur-unsur yang
baru, aneh, tidak layak, atau misterius dalam lingkungannya dengan bergerak ke arah benda
tersebut, memeriksanya, atau mempermainkannya. Hal ini berarti bahwa siswa sekolah dasar
berpotensi untuk memiliki sikap ilmiah.
Siswa sekolah dasar merupakan aset bangsa yang harus dipersiapkan dengan baik sejak dini,
karena mereka kelaklah keberlangsungan atau kepunahan kehidupan yang akan datang. Sikap
ilmiah yang menjadi perhatian dalam penelitian adalah terbatas pada sikap berpikir kritis khususnya
terhadap lingkungan. Tidak hanya dilingkungan masyarakat umum, dilingkungan sekolah juga
mulai dijumpai dengan ditandai sering ditemuinya sikap dan perilaku siswa yang membuang
sampah sembaragan tanpa berpikir akan akibatnya kelak. Hal ini menandakan bahwa siswa tidak
lagi berpikir kritis dan sensitif terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu penanaman sikap ilmiah
harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran khususnya sejak sekolah dasar agar siswa mampu
menghadapi setiap permasalahan di dalam hidupnya.
METODELOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini
siswa kelas V di SDN 46 Mataram Tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 20 orang. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, tes dan dokumentasi. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis diskriptif interaktif. Dimana peneliti ini menggunakan
dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan , observasi dan
refleksi. Alat Pengumpulan Data yang diperlukan adalah skor dari nilai hasil belajar, dan lembar observasi berpikir kritis siswa. cara pengumpulan data dengan tes tindakan dan pengamatan,
instrumen pengumpulan data berupa butir soal dan lembar pengamatan tertutup. penskoran untuk
menghitung skor rata-rata kelas, dengan rumus berikut;
Keterangan : SR = Skor rata-rata kelas
Fi = jumlah siswa yang memperoleh nilai rentangan
Xi = Rata-rata nilai rentangan
N = Jumlah siswa
Selanjutnya untuk mengetahui persentase siswa yang sudah tuntas belajar secara klasikal
digunakan rumus :
Keterangan :
PKK = Persentase ketuntasan klasikal
T = Banyak siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70
N = Banyak siswa yang diteliti
Secara individu dikatakan tuntas belajar jika SR ≥ 70 dan suatu kelas dikatakan tuntas apabila
PKK ≥ 80%
Data observasi meliputi data sikap berpikir kritis siswa dapat dianalisis dengan menggunakan
rumus: (Hake, 1998:3)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 396
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Klasifikasi gain standar sebagai berikut:
g tinggi : (g) > 0,7
g sedang : 0,3 > (g) > 0,7
g rendah : (g) < 0,3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penetapan SDN 46 Mataram sebagai lokasi penelitian karena terletak didekat Kali Jangkok
sehingga memungkinkan siswa melihat secara langsung aktivitas masyarakat sekitar yang
berhubungan dengan kali jangkok khususnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitar.
Dengan demikian, peneliti dapat melihat secara langsung kebiasaan siswa terhadap lingkungan,
dimana masyarakat yang menjadi role model mereka.
Tabel 1. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
No Interval
Nilai Frekuensi (fi) Nilai Tengah (xi) fi.xi % Keterangan
1 90-100 0 0 0 0 -
2 79-89 4 84 336 15 Diatas KKM
3 68-78 5 73 365 19 Diatas KKM
4 57-67 6 62 372 22 Dibawah KKM
5 46-56 7 51 357 26 Dibawah KKM
6 35-45 5 40 200 19 Dibawah KKM
Jumlah 27 1630 100
Nilai rata-rata = 1630 : 27 = 60.4
Ketuntasan Klasikal = (9 : 27) x 100 % = 33%
Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (9:27) ×
100% = 33%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa
sebanyak 18 orang siswa atau sekitar 67% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak
tuntas, dan sebanyak 9 orang siswa atau sekitar 33% yang masuk dalam katagori tuntas belajar
terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.
Dari tabel 1 menunjukkan kemampuan berpikir kritis khususnya terkait dengan
lingkungan siswa masih rendah yaitu dengan rata-rata kelas 60,4 untuk itu perlu dilakukan
perencanaan untuk melanjutkan siklus I. Setelah diberi perlakuan selama beberapa pertemuan,
data frekuensi nilai kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.
Tabel 2. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Siklus I
No Interval Nilai Frekuensi (fi) Nilai Tengah
(xi) fi.xi % Keterangan
1 90-100 2 95 190 7 Diatas KKM
2 79-89 4 84 336 15 Diatas KKM
3 68-78 11 73 803 41 Diatas KKM
4 57-67 5 62 310 19 Dibawah KKM
5 46-56 3 51 153 11 Dibawah KKM
6 35-45 2 40 80 7 Dibawah KKM
Jumlah 27 1872 100
Nilai rata-rata = 1872 : 27 = 69,3
Ketuntasan Klasikal = (17 : 27) x 100 % = 63%
Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (17:27) ×
100% = 63%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa
sebanyak 10 orang siswa atau sekitar 37% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak
tuntas, dan sebanyak 17 orang siswa atau sekitar 63% yang masuk dalam katagori tuntas belajar
terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 397
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Sesuai hasil temuan selama proses pembelajaran siklus I, ada beberapa hambatan dalam
prosesnya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama proses pelaksanaan tindakan,
peneliti menemukan bahwa kemauan siswa untuk menerima pelajaran masih kurang terlihat,
siswa masih belum begitu antusias terhadap pembelajaran yang dilaksanakan, siswa kurang
aktif menjawab pertanyaan guru karena masih saja mengobrol dengan teman lain di luar materi
pelajaran dan keberanian siswa maju menyampaikan pendapat masih rendah. Dalam proses
pembelajaran, siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk menganilisis materi dikaitkan
dengan fakta yang ada sesuai lingkungannya sehingga siswa kurang membiasakan diri untuk
berpikir kritis. Selain itu, masih banyak siswa yang sering membuang sisa makanan
disembarang tempat.
Dengan demikian dapat direnungkan bahwa penelitian dalam siklus I belum
menunjukkan keberhasilan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan permasalahan yang telah
dipaparkan di atas, maka peneliti mencari solusi dengan memberikan arahan kembali kepada
siswa tentang mengkaitkan materi dengan apa yang mereka lihat dilingkungan sekitar, dan
menceritakan kembali di kelas sesuai dengan apa diketahui. Pada saat pembelajaran peneliti
meminta siswa maju untuk menyampaikan kondisi lingkungan tempat tinggal khususnya yang
dekat dengan kali jangkok. Selain itu, peneliti memberikan konsep lingkungan dan hubungan
dengan aktivitas makhluk hidup.
Berdasarkan hasil temuan diatas, walaupun keberhasilan proses belajar mengajar pada
siklus I belum sesuai dengan target nilai yang ingin dicapai yaitu target nilai ketuntasan di atas
80%. Untuk itu peneliti melakukan penelitian sampai hasil belajar mengalami perubahan
kepada kategori ketuntasan. Sehingga perlu diadakan kembali perbaikan pembelajaran yang
memungkinkan dapat memaksimalkan hasil belajar siswa maka dilanjutkan pelaksanaan siklus
II.
Data frekuensi nilai kemampuan berpikir kritis siswa siklus dapat dapat dilihat pada tabel
3 dibawah ini.
Tabel 3. Data Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Siklus II
No Interval Nilai Frekuensi
(fi) Nilai Tengah (xi) fi.xi % Keterangan
1 90-100 6 95 570 22 Diatas KKM
2 79-89 10 84 840 37 Diatas KKM
3 68-78 8 73 584 30 Diatas KKM
4 57-67 2 62 124 7 Dibawah KKM
5 46-56 1 51 51 4 Dibawah KKM
6 35-45 0 40 0 0 Dibawah KKM
Jumlah 27 2169 100
Nilai rata-rata = 2169 : 27 = 80,3
Ketuntasan Klasikal = (24 : 27) x 100 % = 89%
Berdasarkan rumus ketuntasan belajar siswa secara klasikal diperoleh: PKK = (24:27) ×
100% = 89%. Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diketahui bahwa dari 27 orang siswa
sebanyak 3 orang siswa atau sekitar 11% yang mendapatkan hasil belajar rendah atau tidak
tuntas, dan sebanyak 24 orang siswa atau sekitar 89% yang masuk dalam katagori tuntas belajar
terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada tema manusia dengan lingkungan.
Dari tabel 3 di atas, maka peneliti mengulas bahwa berdasarkan indikator kinerja yang
ditetapkan, peneliti dikatakan berhasil bila hasil belajar siswa untuk mengukur kemampuan
berpikir kritis secara individu menunjukkan sekurang-kurangnya 70 dan klasikal menunjukkan
80%. Dilihat dari nilai rata-rata kelas pembelajaran berbasis masalah terkait dengan manusia
dan lingkungan dikatakan sudah berhasil, dimana jumlah siswa secara individu yang
mendapatkan nilai sekurang-kurangnya 70 (KKM) sudah mencapai 80% dan secara klasikal
nilai rata-rata siswa dikategorikan lebih dari cukup. Dari fakta tersebut maka penelitian
tindakan kelas ini dianggap cukup dan diakhiri pada siklus II.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 398
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Peningkatan terlihat dari perhitungan rata-rata nilai belajar yang diperoleh siswa setelah
dilaksanakan tindakan siklus I dan siklus II yang masing-masimg siklusnya dilaksanakan dua
kali pertemuan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 seperti berikut:
Tabel 4. Rerata Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
No Deskripsi Nilai Rerata
1 Pra siklus 60,4
2 Siklus I 69,3
3 Siklus II 80,3
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peningkatan skor berpikri kritis siswa melalui
observasi berdasarkan perhitungan gain, maka peneliti merangkum hasil perolehan gain skor
siklus I dan siklus II pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Rerata Giant Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Variable Siklus I Siklus II Gain Standar
Bepikir kritis 22,60 25,10 0,31
Dari Tabel 5 diatas, nilai gain standar sikap berpikir kritis berada dalam kategori rendah.
Meskipun demikian, terjadi peningkatan sebesar 2.50 poin. Berdasarkan hasil observasi di beberapa
kelas yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar siswa lebih terfokus untuk mencatat
dan mendengarkan, sehingga proses pembentukan sikap khususnya berpikir kritis kurang maksimal
melalui proses pembelajaran yang digunakan selama ini.
Dalam pembelajaran IPA, sikap berpikir kritis dibutuhkan untuk menganalisis gejala-gejala
maupun fenomena-fenomena yang muncul dilingkungan sekitar. Berpikir kritis adalah sebuah
proses sistematis saat siswa membuat suatu keputusan tentang apa yang ia percaya dan kerjakan
(Ennis, 1996), sehingga memungkinkan siswa untuk merumuskan, mengevaluasi keyakinan dan
pendapat mereka sendiri. Dimana sikap berpikir kritis akan memotivasi siswa untuk merefleksi
terkait apa yang telah dilakukan dan mengenai ide yang muncul selama kegiatan pembelajaran
berlangsung. Menurut Patta Bundu (2006:42) refleksi yang dilakukan oleh siswa memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan beberapa alternatif dalam sutau solusi pemecahan
masalah dan kemudian memunculkan sikap berani mengemukakan pendapat yang berbeda dari
teman sekelasnya berdasarkan dari data serta fakta yang ia temukan. Pada akhirnya, siswa akan
terbiasa untuk memilah-milah informasi dengan argumen yang logis sesuai dengan fakta.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pembelajaran berbasis
masalaha dapat meningkatkan sikap berpikir kritis siswa dan hasil belajar pada siswa kelas V SDN
46 Mataram tahun pelajaran 2017/ 2018. Meskipun demikian, berdasarkan hasil data giant standar,
sikap berpikir kritis siswa masih dalam kategori sedang. Hal ini terkait dengan proses pembiasaan
yang dilakukan oleh guru terhadap siswa melalui pembelajaran didalam kelas. karena, proses
pembiasaan siswa untuk mampu berpikiri kritis dan menjaga lingkungan membutuhkan waktu.
Saran
IPA terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait yaitu sikap ilmiah, keterampilan proses dan
pengetahuan. Seyogyanya, proses pembelajaran memperhatikan karakteristik perkembangan siswa
sekolah dasar tanpa mengurangi kualitas maupun kuantitas aspek dalam pendidikan. Dengan
demikian, semua pengetahuan maupun keterampilan yang dimiliki oleh siswa akan memiliki makna
bagi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
DAFTAR RUJUKAN
Abruscato, J. (1995). Teaching children science: A discovery approach. (4th
ed). Boston: Allyn and
Bacon, inc.
Anderson, Lorin W. (1981). Assessing affective characteristics in the schools. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Asep Herry Hernawan., dkk. (2010). Materi pokok: Pengembangan kurikulum dan pembelajaran.
(cet.6). Jakarta: Universitas Terbuka.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 399
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Baharuddin & Esa N. W. (2010). Teori belajar dan pembelajara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Collette, A.T., & Chiappetta, E.L. (1994). Science teaching in the middle and secondary schools.
(3rd
ed). New York: Maxwell Macmillan, Inc.
Ennis, R.H. 2011. The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions
and Abilities. Prentice Hall: University of Illinois.
Hackket, J.K., Moyer, R.H., & Adams, D.K. (1989). Science. Ohio: Merril Publishing Company.
Hamzah B. Uno. (2012). Perencanaan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Made Wena. (2014). Strategi pembelajaran inovatif kontemporer. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Maslichah Asy’ari. (2006). Penerapan pendekatan sains-teknologi-masyarakat dalam
pembelajaran sains di sekolah dasar. Jakarta: Depdiknas.
Moh. Amien. (1987). Mengajarkan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan menggunakan metode
“discovery” dan “inquiry”. Jakarta: Depdiknas.
Patta Bundu. (2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sain
sekolah dasar. Jakarta: Depdiknas.
Shumway R. J. (1980) (Eds.).Research in mathematics education. Reston: National Council
Teachers of mathematics.
Sudjana, Nana. (2013). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Suharsimi Arikunto. (2015). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Sugiyono. (2016). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Wina Sanjaya. (2014). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 400
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SEBAGAI KETERAMPILAN PEMBELAJARAN DAN INOVASI
PESERTA DIDIK ABAD 21
Hariadi Ahmad
Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi masalah, cara
tersebut dipengaruhi oleh faktor belajar dan pengalaman. Pelayanan bimbingan dan konseling
komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas-tugas perkembangan, perkembangan
potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Konselor di tuntut harus mempunyai sosok
kompetensi konselor yang utuh yang mencakup kopetensi akademik dan profesional sebagai satu
keutuhan yang merupakan landasan ilmiah dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu
dalam mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi masalah, mengetahui sebab-akibat masalah,
mengambil keputusan, menyampikan pilihan, berani mengambil dan menerima resiko. Langkah-
langkah dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yaitu: Kesadaran akan adanya
masalah, mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah, mencari alternatif pemecahan,
mempertimbangkan alternatif dan membuat pilihan, menerapkan pilihan, dan mengevaluasi pilihan.
PENDAHULUAN
Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi masalah, cara tersebut
dipengaruhi oleh faktor belajar dan pengalaman yang diperoleh dari masa kanak-kanak. Artinya,
seseorang akan menggunakan startegi penyelesaian masalah tertentu, karena sudah terbiasa
menggunakannya (Ahmad dan Aluh, 2016). Perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan
konseling yaitu dari pendekatan yang berorentasi tradisional, klinis, remedial, dan terpusat pada
konselor, kepada pendekatan yang berorentasi perkembangan atau pelayanan bimbingan dan
konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas-tugas perkembangan,
perkembangan potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan
dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli sehingga pendekatan ini disebut
standar kopetensi kemandirian peserta didik (ABKIN, 2007).
Dalam pelaksanaan tugas sebagai seorang konselor dalam sistem pendidikan nasional,
konselor di tuntut harus mempunyai sosok kompetensi konselor yang utuh yang mencakup
kopetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan yang merupakan landasan ilmiah dalam
pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi
pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli
yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling, (3)
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4)
mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan (Permen Diknas RI No
27 Tahun, 2008). Mencermati kompetensi akademik dan rambu-rambu peyelengaraan bimbingan
dan konseling diatas maka aspek perkembangan kematangan intelektual yang berhubungan dengan
komponen Pemecahan Masalah dan Pengambilan keputusan.
PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Van Reusen (1996) mengatakan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan merupakan kemampuan individu dalam mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi
masalah, mengetahui sebab-akibat masalah, mengambil keputusan, menyampikan pilihan, berani
mengambil dan menerima resiko.
Terdapat bebrapa startegi dalam menyelesaikan masalah antara lain:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 401
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
(1) Penghindaran, merupakan cara menghadapi masalah dengan menganggap masalah seperti tidak
ada. Kedua belah pihak enggan untuk membicarakan permasalahan dan membiarkan masalah
berlalau dengan sendirinya.
(2) Pembahasan dan keputusan masalah, merupakan cara menyelesaikan masalah dengan
membahas dan mengambil keputusan permasalahan. Terdapat empat metode yang digunakan
dalam starategi ini yaitu:
a. Negosiasi, merupakan metode penyelesaian masalah yang dilakukan oleh kedua belah pihak
dengan membicarakan permasalahan secara bersama dan langsung sehingga tercapai
keputusan masalah yang disepakati bersama. Kedua belah pihak bersama-sama atas dasar
saling pemahaman meninformasikan, mebahas, dan mengambil keputusan masalah dalam
suatu perundingan. Mereka sepakat untuk saling mencapai keuntungan bersama dan
mengurangi hal-hal yang saling merugikan, dengan tetap membina hubungan baik. Fokus
negosiasi adalah pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak
yang saling memuaskan.
b. Mediasi, merupakan metode penyelesaian masalah dengan cara pihak ketiga secara netral
membantu menfasilitasi pengambilan keputusan yang disepakati bersama oleh kedua belah
pihak yang bermasalah. Mediasi dilakukan ketika cara negosiasi tidak bisa ditempuh, oleh
karena itu pihak ketiga menfasilitasi upaya-upaya pertemuan bersama untuk membahas dan
mengambil keputusan. Fokus mediasi adalah pihak ketiga menfasilitasi tercapainya
kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak yang saling bisa diterima dan
memuaskan
c. Arbitasi, merupakan proses penyelesaian masalah dengan phak ketiga secara netral
mengeluarkan keputusan penyelesaian masalah setelah mengkaji berbagai bukti dan
mendengarkan argumen kedua belah pihak. Fokus arbitasi adalah hukuman, aturan, tata-
tertib, dan nilai-nilai kebenaran yang lain.
d. Litigasi, merupakan kombinasi atara mediasi da arbitursai artinya, sejak awal para pihak
yang terlibat dalam konflik mencoba untu melakukan mediasi, tetapi jika tidak ditemukan
pemecahannya amaka ditempuh cara arbiturasi.
e. Agresi, penyelesaian masalah dengan cara menggunakan kekuatan untuk mengalahkan
lawan, agresi dapat berupa perkelahian fisik sampai peperangan untuk menaklukkan lawan.
Cara ini sering disebut sebagai berusaha untuk memenagkan diri dan mengalahkan yang
lain. pada dasrnya ini merugikan kedua belah pihak yaitu keduanya kehilanagn keuntungan
hubungan kerja sama, pengurasan energi dan sumber daya, terbengkalainya tujuan, dan
potensi masalah tumbuh lagi.
Dubrin (2009) mengatakan terdapat enam langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan yaitu : (1) Kesadaran akan adanya masalah, (2) mengidentifikasi penyebab
terjadinya masalah, (3) mencari alternatif pemecahan, (4) mempertimbangkan alternatif dan
membuat pilihan, (5) menerapkan pilihan, dan (6) mengevaluasi pilihan. Langkah-langkah
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diatas dapat dilihat dalam gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Menurut
Dubrint (2011).
Repeat the process if required
Awareness of the problem
Identifiy causes of the problem
Find creative alternative
Weigh alternatives and make the choice
Implement the choice
Evaluate choice
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 402
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Dalam Ahmad dan Aluh (2016) dipaparkan langkah-langkah dalam pemecahan
masalah antara lain:
1) Analisis konteks pemecahan masalah; langkah ini terdiri dari (1) menilai faktor yang
berhubungan dengan keberhasilan dalam proses pemecahan masalah; pada tahap ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan (a) apakah peserta dapat berkomitmen untuk terlibat
dalam pemecahan masalah, (b) apa yang akan terjadi bila masalah tersebut tidak
ditangani?, (c) apakah peserta memiliki kemampuan yang diperlukan dalam mengatasi
masalah?, (d) apakah masalah itu seimbang dengan waktu dan kemampuan dalam
mengatasi masalah; (2) membuat keputusan bersama orang lain apakah pemecahan
masalah secara interpersonal merupakan pendekatan yang tepat.
2) Identifikasi masalah; (1) mencari data dan informasi dari berbagai sumber sehingga dapat
menjelaskan masalah, serta menjaga pandangan dan pikiran yang berbeda pada peserta
yang ikut dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan masalah sebagai dasar penyataan
dan bahasa yang secara spesifik, (3) memastikan bahwa semua peserta menyetujui diskrifsi
dan identifikasi masalah yang akan dibahas.
Dalam menidentifikasi masalah, terlebih dahulu kita harus mencari penyebab terjadinya
masalah tersebut. Terdapat beberapa tanda terjadinya suatu masalah antara lain: (1) adanya
pandangan yang berbeda-beda (divergen), (2) ketidak sesuaian dan pertentangan
pandangan, (3) upaya penghalangan pencapaian tujuan, keinginan, harapan dari kedua
pihak yang saling berlawanan (Dubrin, 2009). Terdapat empat paktor penyebab terjadinya
masalah yaitu: (1) perbedaan pendapa antara pihak yang masing-masing menganggap
dirinya paling benar, (2) kesalahpahaman menempatkan seseorang dalam cara pandang
yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya, (3) tindakan yang dianggap merugikan pihak
lain, (4) perasaan yang terlalu sensitif yang mengarah pada pemikiran negatif.
Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam pemecahan masalah, pada tahap ini,
pertanyaan penting yang harus dijawab adalam menentukan masalah seperti apakah yang
sedang dialami? Untuk memperoleh gambaran masalah itu, kita perlu mengidentifikasi
masalah yang merupakan mengembngkan penertian seperti apakah masalah yang terjadi,
ada beberapa pertanyaan yang menunjang langkah ini antara lain: Apa yang saya inginkan;
Mengapa saya menginginkan hal tersebut; Apa yang saya fikirkan tentang cara-cara untuk
mencapai keinginan saya; Apa yang diinginkan pihak lain; Mengapa mereka
menginginkannya; Apa yang pihak lain fikirkan tentang cara-cara untuk mencapai
keinginan tersebut; Apakah saya dan pihak lain memiliki saling pengertian yang baik
tentang masing-masing keinginan, alsan-alasananya, keyakinan-keyakainannya dan
perasaan-perasannya; Apakah masalah ini didasarkan pada salah pengertian atau
merupakan masalah interes, keyakinan-keyakinan, prefrensi-prefensi, atau nilai-nilai;
Seperti apakah detail hal tersebut.
3) Memilih solusi yang cocok; langkah-langkahnya sebagai berikut (1) menggunakan
berbagai strategi khusus dalam mengusulkan solusi sebanyak mungkin untuk penyelesaian
masalah, (2) membuat aturan seluas mungkin yang dapat diterima dalam mendorong
berpikir, dan pandangan yang berbeda: termasuk mengevaluasi perbedaan soulusi, ide
solusi yang bisa dan tidak bisa untuk dicatat secara tertulis.
Dalam memilih solusi masalah, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah
brainstorming, dalam hal ini berbagai pihak menyajikan berbagai ide-ide kreatif dan
mendorong memikirkan solusi yang terbaik yang saling dapat diterima. Masing-masing
bebas menyatakan pendapat apa saja tampa ada komentar terhadapt ide yang dinyatakan.
Dengan cara ini diharapkan masing-masing menyatakan ide sebanyak-banyaknya dan
mendaftarnya. Selanjutnya dari ide-ide yang terdaftar itu dilakukan penyortiran terhadap
ide mana yang dipilih dan diaplikasikan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 403
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan ada bebrapa starategi yang dapat
digunakan, menurut Jhonson (1993) yang menggunakan perumpamaan karateristik hewan
dalam pemecahan masalah, antara lain: pertama, The trule (withdrawing) seperti kura-kura
yang menarik diri untuk memasuki rumahnya dalam upaya mengindari masalah. Hal ini
dilakukan disaat individu tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
mereka mempunyai kepercayaan lebih baik menarik diri dari pada menghadapinya. Kedua,
The shark (forcing) atau seperti ikan hiu yang memaksa, yaitu mencoba menundukkan
lawan dengan memaksa dan melawan kekuatan mereka dalam menyelesaikan masalah.
Dimana individu lebih mementingkan tujuan dari pada hubungan dengan orang lain.
Ketiga, The teddy bear (Smooting) yaitu seperti beruang yang lebih mementingkan
hubungan dari pada tujuan. Individu berpikir masalah dihindari karena dapat merusak
hubungannya dan jika masalah berlanjut akan mendapatkan luka. Lebih mementingkan
minta maaf bukan berarti bersalah. Keempat, The Fox (compromosing) seperti rubah dalam
mencapai tujuan. Individu melakukan kompromi dengan cara memperhatikan pihak lain,
tujuan dan hubungan sama-sama pentingnya. Kelima, The Owl (confronting) meletakkan
nilai tertinggi pada tujuan dan hubungan. Individu memandang masalah yang dapat
dipecahkan dan dicari penyelesaiannya yang berdasarkan kemampuan tujuan yang dicapai.
4) Evaluasi potensi pemecahan masalah; (1) menghilangkan solusi yang tidak mungkin
untuk dilaksanakan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, (2) mempertimbangkan
solusi yang tidak digunakan dengan menggunakan strategi kusus dan mempertimbangkan
masing-masing kekurangan, (3) memilih salah satu atau lebih dari solusi yang potensial
untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan secara rinci, (4) membuat rencana secara rinci
untuk solusi yang akan dilaksanakan, (5) mengatur waktu pelasanaan secara efektif dari
berbagai solusi yang dipilih. Jika alteranatif solusi sudah dapat teridentifikasi, langkah
selanjutnya adalah mengevaluasi beberapa opsi atau alterantif yang ditemukan dan
melakukan pemilihan solusi. Ini melibatkan berbagai pertimbangan individual termasuk
prefensi-prefrensi. Pertimbangan utama adalah kebermanfaatan bagi masing-masing.
5) Penerapan solusi masalah; (1) melaksanakan solusi yang telah direncanakan, (2)
memantau konsitensi pelaksanaan. Melaksanakan solusi yang telah direncanakan,
memantau konsitensi pelaksanaan. Setelah solusi terbaik dibuat segala keputusan harus
dituangkan dalam persetujuan bersama (argretmen). Persetujuan ditulis dalam lembar
kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak yang bermasalah. Kejujuran dan
kesiapan menanggung resiko terhadap keputusan merupakan hal penting. Saling pengertian
harus dibangun dan diarahkan menjadi saling kemauan untuk berkomitmen untuk
menjalankan keputusan tersebut.
6) Evaluasi hasil; (1) menggunakan data, untuk menentukan apakah solusi yang
diimplementasikan itu tepat atau memiliki efek yang diinginkan, (2) membuat keputusan
untuk (a) melanjutkan pelaksaan, (b) menghentikan solusi karena masalah sudah dapat
teratasi, (c) mervisi solusi untuk meningkatkan pengaruh pada hasil, atau (d) menghentikan
karena solusi yang tidak efektif untuk dilaksanakan, (3) jika solusi yang ditawarkan tidak
efektif, menentukan alasan dan kembali memasuki pada titik proses pemecahan masalah
(contoh, menghasilkan solusi yang lebih baik), (4) memiliki koneksi selama pemecahan
masalah sehingga dapat membantu lebih banyak, sebagai contoh: dapat menggunakan
bahan-bahan dari luar dalam mencari rincian materi permasalahan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelengaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.
Ahmad. H dan Aluh. H. 2016. Panduan Pelatihan Self Advocacy Siswa SMP untuk Konselor
Sekolah. Mataram. LPP Mandala.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 404
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor. Jakarta.
DuBrin, A, J. 2009. Human Relations Interprersonal Job Oriented Skills. Tenth edition. New
jersey. Pearson Prentice Hall.
DuBrin, A, J. 2011. Human Relations for Career and Personal Sucess, Consepts, Application, and
Skill. Boston. Pearson Prentice Hall.
Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning.
Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32. No.1. 49 – 54.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 405
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
GRUP AUTOMORFISMA DARI GRAF BIPARTIT LENGKAP DAN KOMPLEMENNYA
Harwandi1, Mamika Ujianita Romdhini
2, Qurratul Aini
3
1,2,3Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Mataram
e-mail : [email protected]
Abstrak: Salah satu konsep yang cukup menarik dalam teori graf adalah automorfisma graf.
Automorfisma dari graf G merupakan isomorfisma dari graf G ke dirinya sendiri. Dengan kata lain,
automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik atau sisi-sisi
dari graf G, . jika ϕ adalah suatu automorfisma dari graf G dan , maka . Himpunan semua automorfisma dari graf G membentuk grup automorfisma,
dilambangkan dengan Aut (G) atau . Automorfisma dari dinotasikan dengan ,
sedangkan automorfisma dari EG dinotasikan dengan . Penelitian ini bertujuan untuk
mencari rumus umum grup automorfisma dari graf bipartit lengkap beserta komplemennya, serta
melihat hubungan antara keduanya. Berdasarkan hasil penelitian, graf bipartit lengkap maupun
komplemennya membentuk grup automorfisma yang serupa, dimana bentuk grup automorfisma
dari kedua graf ini membentuk dua pola. Kedua pola ini diperoleh berdasarkan partisi dari graf
bersangkutan. Untuk graf bipartit lengkap dengan , grup automorfisma yang dibentuk
adalah , sedangkan graf dengan memiliki automorfisma sebanyak .
Kata Kunci: Grup, Grup Permutasi, Automorfisma Graf, Graf Bipartit Lengkap, Komplemen
Graf
PENDAHULUAN
Salah satu konsep yang cukup penting di dalam teori graf adalah automorfisma graf. Suatu
automosfisma dari graf G adalah sebuah permutasi dari himpunan simpul G dengan sifat, untuk
setiap dan simpul graf G, (dibaca: bertetangga dengan ) jika dan hanya jika
. Dengan kata lain, automorfisma dari graf G adalah suatu permutasi dari himpunan titik-
titik dari G yang bersifat mengawetkan ketetanggaan.
Dengan konsep automorfisma graf ini kita dapat membuat graf-graf baru seperti graf transitif
titik, graf transitif sisi, graf simetrik dan lain sebagainya. Dengan konsep automorfisma ini juga,
kita bisa mengkaji spektrum dari graf yang bersangkutan serta hubungan spektrum ini dengan grup
automorfismanya. (Suryoto, 2001)
Rosyidah (2010), dalam skripsinya menulis tentang automorfisma dari graf lengkap dan graf
sikel, di mana graf lengkap dengan n simpul memiliki automorfisma sebanyak , sedangkan graf
sikel memiliki automorfisma sebanyak . Selanjutnya, Damayanti (2011), dalam tulisannya juga
membahas tentang automorfisma graf. Lebih khususnya, tentang automorfisma dari graf bintang
dan graf lintasan. Dalam tulisannya, dapat disimpulkan bahwa graf bintang memiliki
automorfisma sebanyak , sedangkan graf lintasan dengan n simpul memiliki automorfisma
sebanyak 2. Lebih jauh, kedua graf ini merupakan graf bipartit.
Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilakukan penelitian. Graf bintang dan graf lintasan,
kedua graf ini merupakan graf bipartit, di mana graf bintang merupakan graf bipartit ,
sedangkan graf lintasan merupakan graf bipartit untuk dan graf bipartit untuk
. Selanjutnya, bagaimana bentuk grup automorfisma dari sebarang graf bipartit ?
Hal inilah yang menjadi alasan utama yang melatarbelakangi penulis meneliti tentang “Grup
Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya”.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui bentuk
grup automorfisma dari graf bipartit lengkap; 2) Mengetahui bentuk grup automorfisma dari
komplemen graf bipartit lengkap; 3) Mengetahui hubungan antara automorfisma graf dengan
komplemennya pada graf bipartit lengkap.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 406
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
LANDASAN TEORI
Definisi 2.1 (Munir, 2009)
Graf G didefinisikan sebagai pasangan himpunan (V, E), yang dalam hal ini:
V = himpunan tidak-kosong dari simpul-simpul (vertices atau node)= { v1 , v2 , ... , vn }
E = himpunan sisi (edges atau arcs) yang menghubungkan sepasang simpul = {e1 , e2 , ... ,
en } atau dapat ditulis singkat notasi G = (V, E).
Definisi 2.2. (Munir, 2009)
Graf G yang himpunan simpulnya dapat dikelompokkan menjadi dua himpunan bagian V1 dan
V2, sedemikian sehingga setiap sisi di dalam G menghubungkan sebuah simpul di V1 ke sebuah
simpul di V2 disebut graf bipartit dan dinyatakan sebagai G ( V1, V2 ). Dengan kata lain, setiap
pasang simpul di V1 (demikian pula simpul-simpul di V2) tidak bertetangga. Apabila setiap simpul
di V1 bertetangga dengan semua simpul di V2, maka G ( V1, V2 ) disebut sebagai graf bipartit lengkap
(complete bipartite graphs), dilambangkan dengan Km,n . jumlah sisi pada graf bipartit lengkap
adalah mn.
Definisi 2.3. (Chartrand dan Lesniak, 1986)
Automorfisma pada suatu graf G adalah isomorfisma dari graf G ke G sendiri. Dengan kata lain
automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik V(G ) atau sisi-sisi
dari graf G, atau E(G ). Jika ϕ adalah suatu automorfisma dari G dan v V (G ) maka d (ϕ(v))=d
(v).
Definisi 2.4 (Raisinghania dan Aggarwal, 1991)
Misalkan G adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi # pada G adalah suatu operasi
biner. Himpunan G bersama-sama dengan operasi biner # atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu
grup , bila memenuhi aksioma berikut, yaitu:
1. Operasi # bersifat assosiatif
∀ a, b, c G, berlaku (a # b )# c = a #( b # c )
2. G memuat elemen identitas, misal e.
∃ e G, sehingga ∀ a G berlaku a # e = e # a = a .
3. Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.
∀ a G, ∃ G , di mana adalah invers dari a, sedemikian sehingga a # = #
a = e.
Jika (G, #) suatu grup yang memenuhi sifat komutatif, yaitu ∀ a, b G, berlaku a # b = b # a,
maka (G, #) disebut grup komutatif atau grup abelian.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka (studi literatur),
yakni dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan judul yang telah diangkat oleh
penulis. Penelitian dilakukan dengan mengkaji buku-buku, jurnal-jurnal, ataupun makalah yang
memuat topik ataupun materi yang berkaitan dengan teori graf, struktur aljabar, dan beberapa teori
yang akan dibutuhkan untuk menunjang skripsi ini. Langkah selanjutnya adalah meliputi:
1. Kajian Pustaka
Menjelaskan definisi dari graf, automorfisma graf, operasi biner, grup, grup automorfisma graf,
dan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini
2. Analisis Graf Bipartit Lengkap dan komplemennya
Dalam langkah ini akan diambil beberapa graf yang dapat digunakan untuk merepresentasikan
graf tersebut secara umum sehingga didapatkan pola-pola grup automorfismanya untuk
mendapatkan bentuk umum grup automorfisma dari graf bersangkutan.
3. Menganalisis Automorfirma Graf dari sampel langkah no 2
Selanjutnya dalam langkah ini, dari beberapa graf yang telah ditetapkan sebagai sampel, akan uji
semua pemetaan yang bijektif yang merupakan automorfisma dari graf bersangkutan.
4. Menentukan grup automorfisma graf
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 407
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dari serangkaian langkah di atas, ini merupakan langkah terakhir dalam penelitian ini, dimana
pada bagian ini, semua automorfisma dari graf bersangkutan yang berbentuk himpunan
permutasi akan diuji secara aljabar. Lebih khusus, semua permutasi ini akan diuji berdasarkan
aksioma-aksioma grup aljabar.
5. Menarik Kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Automorfisma dari suatu graf G adalah isomorfisma dari graf G ke dirinya sendiri. Dengan
kata lain, automorfisma dari graf G merupakan suatu permutasi dari himpunan titik-titik V(G) atau
sisi-sisi dari graf G, E(G) yang menghasilkan graf yang isomorfik dengan dirinya sendiri. Misalkan
adalah suatu automorfisma dari G ke G dan v V(G) maka degG ( (v)) = degG(v).
Himpunan semua automorfisma dari graf G disebut grup automorfisma dari graf G,
dilambangkan dengan Aut (G) atau . Automorfisma dari VG dinotasikan dengan ,
sedangkan automorfisma dari EG dinotasikan dengan .
Beberapa graf yang diambil untuk merepresentasikan grafnya yang lebih luas akan digunakan
graf bipartite lengkap dengan 4 simpul yaitu dan .
Gambar 1. Graf bipartit lengkap K1,3 Gambar 2. Graf komplemen dari graf
bipartit lengkap K1,3
Graf bipartit lengkap dan Graf komplemen dari graf bipartit memiliki 4 simpul
, sehingga automorfima diperlihatkan dalam hasil berikut :
1
Atau dapat ditulis
(
)
2
Atau dapat ditulis
(
)
3
Atau dapat ditulis
(
)
4
Atau dapat ditulis
(
)
5
Atau dapat ditulis
(
)
6
Atau dapat ditulis
(
)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 408
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa automorfisma dari graf dan komplemennya
merupakan grup. adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi °
pada G adalah suatu operasi biner, dapat dilihat dari tabel cayley berikut:
Tabel 1. Tabel Cayley Automorfisma Graf Bipartit Lengkap
Berdasarkan tabel cayley himpunan automorfisma graf dan komplemennya maka
himpunan G di atas bersama-sama dengan operasi biner ° atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu grup,
karena telah memenuhi aksioma berikut, yaitu:
(i) Operasi ° bersifat tertutup : , ∀ ,
(ii) G memuat elemen identitas. : merupakan identitas dari ⟨ ⟩ (iii) Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.
merupakan invers dari , merupakan invers dari , merupakan invers
dari , merupakan invers dari , merupakan invers dari , dan
merupakan invers dari .
Gambar 3. Graf bipartit lengkap K2,2 Gambar 4. Graf komplemen dari graf
bipartit lengkap K2,2
Graf bipartit lengkap memiliki 4 simpul , sehingga
automorfisma dapat diperlihatkan pada hasil berikut.
1
Atau dapat ditulis
(
)
2
Atau dapat ditulis
(
)
3
Atau dapat ditulis
(
)
4
Atau dapat ditulis
(
)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 409
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
5
Atau dapat ditulis
(
)
6
Atau dapat ditulis
(
)
7
Atau dapat ditulis
(
)
8
Atau dapat ditulis
(
)
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa automorfisma dari graf merupakan grup. adalah himpunan yang tidak kosong dan operasi ° pada G adalah
suatu operasi biner, dapat dilihat dari tabel cayley berikut:
Tabel 2. Tabel Cayley Automorfisma Graf Bipartit Lengkap
Berdasarkan tabel cayley himpunan automorfisma graf dan komplemennya maka
himpunan G di atas bersama-sama dengan operasi biner ° atau ditulis ⟨ ⟩ adalah suatu grup,
karena telah memenuhi aksioma berikut, yaitu:
(i) Operasi ° bersifat tertutup : , ∀ ,
(ii) G memuat elemen identitas. : merupakan identitas dari ⟨ ⟩ (iii) Setiap unsur G mempunyai invers di dalam G pula.
merupakan invers dari , merupakan invers dari , merupakan
invers dari , merupakan invers dari , merupakan invers dari ,
merupakan invers dari , merupakan invers dari , dan
merupakan invers dari .
Dari uraian grup automorfisma graf bipartit lengkap beserta komplemennya di atas, graf
bipartit lengkap beserta komplemennya memiliki automorfisma graf yang sama. Grup
automorfisma (himpuna semua automorfisma graf) dari kedua jenis graf ini membentuk dua buah
pola automorfisma yang berbeda. Pola yang pertama yakni untuk partisi graf , atau dapat
ditulis sebagai . Pola grup automorfisma yang dibentuk diperlihatkan pada tabel berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 410
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 3. Tabel Pola Grup Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya
Partisi
graf
Gambar Banyak
automorfisma
Pola grup
automorfisma
(1, 1)
2 1!*1!+1!*1!=2
(2, 2)
8 2!*2!+2!*2!=8
(3, 3)
72 3!*3!+3!*3!=72
Jadi, berdasarkan uraian grup automorfisma di atas, dapat ditentukan berapa banyak
automorfisma dari sebarang graf bipartit lengkap . Misalkan untuk sebarang graf bipartit
lengkap , maka banyak automorfisma yang dapat dibentuk oleh graf tersebut adalah sebanyak
. hal ini dikarenakan graf memiliki sebanyak n simpul di partisi satu dan juga n
simpul di partisi lainnya yang saling terhubung. Akibatnya di partisi satu terdapat sebanyak permutasi, di partisi lainnya juga terdapat sebanyak permutasi untuk simpulnya. Sehingga
permutasi yang dibentuk dari kedua partisi sebanyak . Selanjutnya, pola grup automorfisma kedua yang dibentuk untuk graf bipartit lengkap dengan
partisi dan diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 4. Tabel Pola Grup Automorfisma dari Graf Bipartit Lengkap dan Komplemennya
Partisi
graf
Gambar Banyak
automorfisma
Pola grup
automorfisma
(1, 2)
2 1!*2!=2
(1, 3)
6 1!*3!=6
(2, 3)
12 2!*3!=12
Berdasarkan tabel pola grup automorfisma di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk sebarang
graf bipartit lengkap dengan partisi dan , automorfisma yang dapat dibentuk
adalah sebanyak . Hal ini dikarenakan, graf bipartit lengkap memiliki sebanyak p simpul
di partisi satu dan q simpul di partisi lainnya yang saling terhubung. Akibatnya, dipartisi satu
terdapat sebanyak cara penempatan simpul yang merupakan permutasi, dan dipartisi lainnya
terdapat sebanyak permutasi yang merupakan automorfisma dari graf bersangkutan. Sehingga,
semua automorfisma yang dapat dibentuk adalah sebanyak . KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang grup automorfisma dari graf bipartit lengkap
beserta komplemennya, secara umum dapat diambil kesimpulan:
1. Graf bipartit lengkap memiliki simpul. Banyaknya grup automorfisma yang dapat
dibentuk tergantung pada partisi simpul dari graf tesebut, yakni:
a. Untuk , banyaknya automorfisma yang dibentuk adalah sebanyak atau
dapat juga ditulis sebagai , karena .
b. Untuk , banyaknya automorfisma yang dibentuk adalah sebanyak .
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 411
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
2. Komplemen dari graf bipartit lengkap membentuk grup automorfisma yang sama dengan
graf bipartit lengkap . Hal ini berlaku untuk maupun .
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, A, 2000, Aljabar, ITB Bandung Press, Bandung.
Chartrand, G. dan Lesniak, L., 1986, Graph and Digraph 2nd Edition, Wadsworth, Inc, California.
Damayanti, Reni T., 2011, Automorfisme Graf Bintang dan Graf Lintasan, Jurnal Cauchy, Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Fraleigh, J. B., 1994, A First Course in Abstract Algebra, 5th Edition, Addison Wesley Publishing
Company, USA.
Herstein, I. N., 1996, Abstract Algebra, 3th Edition, Jhon and Wileyn Sons, New York.
Grimaldi, R. P., 2004, Discrete And Combinatorial Mathematics, 5th Edition, Adisson Wesley,
USA.
Mardiyono, S.,1996,MatematikaDiskret, Yogyakarta, FMIPA IKIP Yogyakarta.
Munir, Rinaldi, 2009, Matematika Diskrit, Edisi Ketiga, Informatika, Bandung.
Raisinghania, M. D. dan R.S. Aggarwal, 1980,Modern Algebra, S. Chan and Combany LTD, New
Delhi.
Suryoto, 2011, Automorfisma Graph, Jurnal Matematika dan Komputer, Vol 4 No. 3, Jurusan
Matematika FMIPA UNDIP, Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 412
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
DALAM MATERI SHOWING EXPRESSION PADA SISWA KELAS 8A
SMPN 2 LABUAPI
Hidayati1; Eva Sofia Sari
2
1Tenaga Pengajar FKIP UMMAT,
2Guru MaPel SMPN 2 Labuapi
Abstrak: Dalam dunia pendidikan, media disebut juga alat bantu pembelajaran. Media
tersebut ada yang bersifat audio, visual dan audio visual, artinya alat yang dapat didengar, dilihat
dan dapat didengar sekaligus dilihat. Alat-alat ini dapat dipakai dalam pengajaran dengan maksud
untuk membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien sehingga suasana belajar menjadi
lebih mantap dan terarah sesuai dengan sasaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk membuat sebuah penelitian yang
mengacu pada media pembelajaran dengan tujuan khusus yaitu untuk mendeskripsikan kemampuan
siswa sebelum menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri dan
mendeskripsikan peningkatan kemampuan siswa dengan menggunakan media pembelajaran siswa
kelas 8A SMPN 2 Labuapi. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi showing expression. Tindakan yang
digunakan adalah dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya media
gambar berseri. Proses tindakan ini melalui tiga tahap secara daur (sebagai siklus) mulai dari: (1)
tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan tindakan dan observasi, (3) tahap evaluasi, dan (4)
refleksi. Adapun hasil kemampuan individu pada siklus pertama adalah kemampuan tinggi sebesar
6,25%, kemampuan sedang: 31,25% dan kemampuan rendah: 62,50% namun pada siklus kedua
dengan menggunakan media maka peningkatan kemampuan siswa yaitu kemampuan tinggi: 31,65,
kemampuan sedang: 68,75 dan tidak ada lagi yang memiliki kemampuan rendah. Adapun
kemampuan kelompok pada siklus 1 adalah 54,375 dan siklus kedua mengalami peningkatan
sebesar 64,687. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan media
pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam memahami materis showing expressin pada kelas 8A SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran
2018/2019.
Kata Kunci: Media Pembelajaran, Materi Showing Direction
PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, media disebut juga alat bantu pembelajaran. Media tersebut ada
yang bersifat audio, visual dan audio visual, artinya alat yang dapat didengar, dilihat dan dapat
didengar sekaligus dilihat. Alat-alat ini dapat dipakai dalam pengajaran dengan maksud untuk
membuat cara berkomunikasi yang lebih efektif dan efisien sehingga suasana belajar menjadi lebih
mantap dan terarah sesuai dengan sasaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selanjutnya
Hamalik (2002:67) mengatakan bahwa tujuan proses pembelajaran dapat tercapai dengan baik bila
ditunjang oleh berbagai faktor, antara lain media pembelajaran. Media merupakan salah satu faktor
yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran, karena membantu siswa dan guru dalam
menyampaikan materi pembelajaran sehubungan dengan tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran.
Namun berdasarkan observasi yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa kemampuan
siswa masih terbatas khususnya dalam memahami materi showing expression masih memiliki
kompetensi yang rendah. Faktor penyebabnya antara lain adalah karena kurangnya perhatian dan
respon siswa terhadap materi yang disajikan, para siswa sebagian besar tidak suka atau senang
dengan materi tersebut sehingga kegiatan ini menjadi membosankan bagi siswa dan sering terjadi
interbidang yaitu dua atau lebih bidang yang secara bersama-sama dipelajari dalam satu
keterampilan berbahasa, terbatasnya media pembelajaran yang tersedia sehingga para pengajar
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 413
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
jarang menggunakannya, dan ditambah pula dengan minimnya peralatan pendukung yang ada.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
terbatasnya kemampuan siswa dalam memahami materi showing expression, namun akan lebih
dibatasi dengan penggunaan media pembelajaran berbasis visual yaitu gambar berseri. Dan
sekaligus menggunakannya sebagai judul yaitu “Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis
Visual: Gambar Berseri Untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing
Expression” pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 2018/2019.
Adapun rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah kemampuan memahami materi showing expression sebelum menggunakan
media pembelajaran berbasis visual gambar berseri pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi
tahun pembelajaran 20108/2019?
2. Bagaimanakah peningkatan kemampuan memahami materi showing expression dengan
menggunakan media pembelajaran berbasis visual: gambar berseri pada siswa kelas 8A di
SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 20108/2019?
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah
diatas adalah:
1. Mendeskripsikan kemampuan memahami materi showing expression sebelum menggunakan
media pembelajaran berbasis visual gambar berseri pada siswa kelas 8A di SMPN 2 Labuapi
tahun pembelajaran 20108/2019
2. Mendiskripsikan peningkatan kemampuan memahami materi showing expression dengan
menggunakan media pembelajaran berbasis visual: gambar berseri pada siswa kelas 8A di
SMPN 2 Labuapi tahun pembelajaran 20108/2019
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan riset yang bersifat eksploratif dan bertujuan untuk menggambarkan
status fenomena utamanya dalam hal ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan pada bab I yaitu mendeskripsikan data tentang peningkatan kemampuan memahami
materi showing expression dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual khususnya
gambar berseri, sehingga peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Selain itu peneliti
menggunakan metode deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kemampuan, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah secara deskriptif kualitatif
dibantu kuantitatif. Dalam hal ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan keadaan sesuatu untuk menggambarkan suatu kemampuan dengan cara pengumpulan,
penyusunan, analisis dan interpretasi (Arikunto, 2002:245).
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam menulis wacana narasi. Tindakan yang digunakan adalah dengan menggunakan
media pembelajaran berbasis visual khususnya media gambar berseri. Proses tindakan ini melalui
tiga tahap secara daur (sebagai siklus) mulai dari:(1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan
tindakan dan observasi, (3) tahap evaluasi, dan (4) refleksi.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan
sekunder. Data primer adalah media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri. Data
sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumbernya yaitu siswa dari
hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung. Peneliti merupakan instrumen dalam
penelitian ini. Dalam pengumpulan data, penulis berperan serta (observation-participation) dalam
kegiatan penelitian tindakan kelas ini. Selain itu, peneliti juga mengadakan observasi atau
pengamatan yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang dibantu oleh 1 orang observer untuk
memperoleh informasi tentang kemampuan menulis wacana narasi mahasiswa dengan
menggunakan media pembelajaran berbasis visual. Pelibatan langsung dilakukan oleh peneliti
karena terlibat langsung sebagai tenaga pengajar dalam proses pembelajaran dalam penelitian ini.
Disamping itu, alat bantu lain yang diperlukan berupa alat-alat tulis dan format obdervasi yang
berguna untuk pencatatan pelaksanaan proses dan hasil dalam pembelajaran menulis.
Instrumen lainnya yang digunakan adalah tes ialah serentetan pertanyaan atau latihan serta
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 414
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
alat yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau
bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi, 2002:127).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian tentang “Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual: Gambar
Berseri untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing Expression pada siswa kelas
8A di SMPN 2 Labuapi dapat dijelaskan sebagai berikut: Tahap persiapan yang dilakukan oleh
peneliti adalah dengan terkebih dahulu menyampaikan surat ijin penelitian dan mengadakan
koordinasi baik dengan dosen pengampu mata kuliah sebelumnya, dosen lain yang mata kuliahnya
paralel, peneliti dan observer yang akan membantu proses penelitian tindakan kelas. Hal lain yang
dipersiapkan adalah kurikulum, silabus, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, materi atau
sumber belajar mahasiswa, media pembelajaran berbasis visual yang digunakan dalam penelitian
yang dalam hal ini adalah gambar berseri, lembar observasi, pedoman wawancara, bentuk evaluasi
yang akan dilakukan selama proses pembelajaran dalam penelitian. Pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, observasi, dan tes.
Data dokumentasi diperoleh dengan cara mencari informasi tentang gambaran umum lokasi
penelitian seperti data mahasiswa, dosen, karyawan, sarana dan prasarana di perguruan tinggi.
Dokumentasi yang diperoleh juga berupa daftar nama siswa kelas 8A, silabus dan RPP yang akan
dilaksanakan dalam penelitian serta dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian.
Data observasi diperoleh dengan cara mengamati proses penelitian berlangsung. Data yang
diperoleh dari pengamatan terhadap mahasiswa meliputi tingkat antusiasme dan tanggung jawab
terhadap tugas dalam kegiatan pembelajaran, kerjasama dengan teman sekelas, keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran dan disiplin selama pembelajaran berlangsung.
Data tes atau penugasan mahasiswa berupa materi teks yang kemudian dianalisis
berdasarkan form daftar penilaian mahasiswa dalam memahami materi showing expression sebelum
dan sesudah penggunaan media pembelajaran berbasis visual. Bentuk tes yang digunakan disini
adalah tertulis, jenis tes adalah uraian/essay dengan instruksi soal adalah tes yang diberikan adalah
(1) pada putaran I pada siklus II, tes yang diberikan berupa gambar seri yang masih acak, namun
telah disuguhkan kalimat topik dan kalimat penjelas. Setiap subjek diberikan seperangkat tes ini dan
tugas mereka adalah mengurutkan gambar seri yang masih acak tersebut sesuai dengan kronologi
(urutam waktu dan kejadian) dan mereka memahami materi showing expression tersebut
berdasarkan urutan yang mereka lakukan namun terlebih dahulu mereka menentukan judulnya.
Setelah persiapan penelitian ini selesai, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan penelitian
dengan judul “ Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual: Gambar Berseri untuk
Meningkatkan Kemampuan Memahami Materi Showing Expression pada siswa kelas 8A di SMPN
2 Labuapi.”
4.1 Penyajian Data
Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat disajikan data observas berdasarkan data
pada table 4.1, dapat kita ketahui bahwa rata-rata dari hasil observasi kegiatan mahasiswa dalam
proses pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Keaktifan siswa = 9 : 16 x 100% = 56,25%
2. Disiplin = 14 : 16 x 100% = 87,50%
3. Ketekunan = 11 : 16 x 100% = 68,75%
4. Tanggung jawab = 14 : 16 x 100% = 87,50%
5. Antusiasme = 12 : 16 x 100% = 75,00%
4.1.1 Pembelajaran Memahami Materi Showing Expression
4.1.1.1 Siklus I
Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Masing-masing siklus akan dipaparkan sebagai
berikut:
A. Persiapan Pembelajaran
Pada umumnya peneliti mempersiapkan administrasi mengajar, antara lain: Program Silabus,
Satuan Acuan Pembelajaran (SAP). SAP yang dibuat pada siklus I ini tidak disesuaikan dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 415
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
kebutuhan penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual yang dalam penelitian ini
menggunakan gambar berseri.
B. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Selanjutnya pada pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan pengamatan secara cermat.
Pelaksanaan pemnbelajaran menulis wacana narasi pada siklus I ini oleh peneliti adalah
memberikan materi tentang materi showing expression tanpa menggunakan gambar berseri. Adapun
langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran terlampir
Hal ini berdasarkan analisis aktivitas belajar siswa pada siklus I, dimana jumlah skor
maksimal ideal (SMi) = 60, maka sesuai dengan penetapan kategori aktivitas belajar mahasiswa,
maka aktivitas belajar mahasiswa pada siklus I berkategori rendah. Hal ini belum mencapai target
dari proses pembelajaran yang diinginkan oleh peneliti yaitu berkategori tinggi/aktif.
Dari hasil pembelajaran pada table 4.2 di atas, nilai rata-rata (Mean) yang dicapai
mahasiswa 54,375, dengan nilai tertinggi yang dicapai adalah 70 sebanyak 1 orang mahasiswa atau
06,25%, nilai sedang dicapai oleh 5 orang mahasiswa atau 31,25%, nilai rendah sebanyak 10 orang
atau 62,50%. Melihat hasil tersebut diatas masih dikatakan mereka memiliki kompetensi kurang
atau rendah. Secara rinci dari evaluasi pembelajaran menulis wacana narasi mahasiswa sebelum
menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dilaksanakan pada siklus I ini diperoleh
prestasi siswa pada siklus I ini, untuk kemampuan individu dengan kemampuan tinggi mencapai
06,25%, kemampuan sedang 31,25% dan kemampuan rendah adalah 62,50%. Sedangkan untuk
kemampuan kelompok IPK mencapai 54,375 dengan kategori rendah.
C. Refleksi
Dari data hasil table evaluasi terhadap hasil yang harus diperbaiki, antara lain:
1. Peneliti sekaligus sebagai tenaga pengajar dalam hal ini Dosen akan menjelaskan kembali
beberapa materi yang akan ditulis dan dipahami oleh mahasiswa. Sehingga pada pertemuan
berikutnya, dosen akan memberikan kembali ulangan materi yang masih belum dipahami oleh
siswa.
2. Siswa yang masih belum bisa memahami materi tanpa menggunakan media pembelajaran
seperti pada siklus I akan ditingkatkan dengan menggunakan media pembelajaran khususnya
gambar berseri. Sehingga untuk pertemuan berikutnya dosen akan memperhatikan mahasiswa
tersebut dan akan menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dalam hal ini peneliti
memilih menggunakan gambar berseri.
4.1.1.2 Siklus II
Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Pada siklus II ini juga akan dipaparkan sebagai
berikut:
A. Persiapan Pembelajaran
Peneliti kembali melakukan koordinasi kembali untuk mempersiapkan administrasi mengajar,
antara lain: Program Silabus, dan Satuan Acuan Pembelajaran (SAP). SAP yang dibuat disesuaikan
dengan kebutuhan penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Visual yang dalam penelitian ini
menggunakan gambar berseri untuk meningkatkan kemampuan siswa dengan gambar berserinya
masih acak. Pada lembar test yang diberikan pada siswa tersebut masih acak namun telah
disuguhkan kalimat topik dan kalimat penjelas dalam bahasa Indonesia. Setiap subjek penelitian
atau sample diberikan seperangkat test ini. Tugas siswa adalah mengurutkan gambar seri yang
masih acak sesuai dengan kronologi (urutan waktu berdasarkan gambar berseri yang diberikan).
Namun mereka harus menentukan terlebih dahulu judul dari media gambar berseri yang terdapat
pada soal tes tersebut. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti melakukan koordinasi dengan
observer yang membantu peneliti dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini tentang observasi
yang harus dilakukan dengan memberi checklist “√” sesuai dengan format observasi yang ada.
B. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Selanjutnya pada pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan pengamatan secara cermat.
Pelaksanaan pemnbelajaran pada siklus II ini oleh peneliti adalah memberikan materi tentang
pengertian materi showing expression, jenis dan teknik menulis percakapan namun dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 416
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
menggunakan media pembelajaran yaitu gambar berseri. Adapun langkah-langkah pelaksanaan
pembelajaran terlampir.
C. Observasi
1. Hasil Observasi Aktivitas Siswa
Berdasarkan hasil observasi, diperoleh data sebagai berikut:
a. antusiasme mahasiswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran cukup aktif
b. kerja sama dalam kelompok mahasiswa cukup aktif
c. interaksi antara mahasiswa cukup aktif
d. aktivitas mahasiswa dalam mengerjakan tugas cukup aktif
Hal ini berdasarkan analisis aktivitas belajar siswa pada siklus II, jumlah skor maksimal
ideal (SMi) = 60, maka sesuai dengan penetapan kategori aktivitas belajar mahasiswa, maka
aktivitas belajar mahasiswa pada siklus II berkategori sedang. Hal ini belum mencapai target dari
proses pembelajaran yang diinginkan oleh peneliti yaitu berkategori tinggi/aktif.
2. Hasil Observasi Aktivitas Dosen
Dari pengamatan observasi diperoleh data aktivitas dosen sebagai berikut:
a. membangkitkan minat dan motivasi mahasiswa dalam belajar aktif
b. pemberian apersepsi dan apresiasi pada mahasiswa aktif
c. menyampaikan materi pada siswa sangat aktif
d. kemampuan menciptakan suasana kelas yang kondusif aktif
e. bersama mahasiswa membuat kesimpulan cukup aktif
D. Evaluasi
Menilai keterampilan menulis wacana narasi mahasiswa pada akhir proses pembelajaran.
Dari hasil pembelajaran pada table 4.4 di atas, nilai rata-rata (Mean) yang dicapai mahasiswa
64,687, dengan nilai tertinggi yang dicapai adalah 70 sebanyak 5 orang mahasiswa atau 31,25%,
nilai sedang dicapai oleh 11 orang mahasiswa atau 68,75%, nilai rendah 0%. Melihat hasil tersebut
diatas masih dikatakan mereka memiliki kompetensi kurang atau rendah. Secara rinci dari evaluasi
pembelajaran memahami materi dengan menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang
dilaksanakan pada siklus II ini diperoleh hasil untuk perolehan prestasi mahasiswa pada siklus II
ini, untuk kemampuan individu dengan kemampuan tinggi mencapai 31,25%, kemampuan sedang
68,75% dan kemampuan rendah adalah 0%. Sedangkan untuk kemampuan kelompok IPK
mencapai 64,687 dengan kategori normal.
E. Refleksi
Dari data hasil table evaluasi terhadap hasil yang harus diperbaiki, antara lain:
a. Peneliti sekaligus sebagai tenaga pengajar dalam hal ini Dosen akan menjelaskan kembali
beberapa materi yang akan ditulis dan dipahami oleh mahasiswa. Sehingga pada pertemuan
berikutnya, dosen akan memberikan kembali ulangan materi yang masih belum dipahami oleh
siswa tersebut pada pembelajaran bahasa inggris dengan menggunakan media pembelajaran.
b. Dosen meminta siswa untuk menulis kata-kata terlebih dahulu yang berhubungan dengan
gambar berseri dalam pembelajaran memahami materi showing expression yang ada di lembar
kerja siswa dan di papan tulis kemudian menghubungkannya ke dalam kalimat-kalimat yang
kemudian ditambah dengan aspek-aspek yang akan mendukung dalam percakapan pendek dan
sederhana. Sehingga pada pertemuan berikutnya dosen akan lebih mempertimbangkan untuk
lebih memperhatikan dan membimbing siswa dalam pembelajaran memateri tersebut.
c. Mahasiswa yang masih belum bisa menulis dengan baik wacana narasi tanpa menggunakan
media pembelajaran seperti pada siklus II akan ditingkatkan dengan menggunakan media
pembelajaran juga yaitu gambar berseri yang sama namun dengan menggunakan strategi lain.
Sehingga untuk pertemuan berikutnya dosen akan memperhatikan mahasiswa tersebut dan akan
menggunakan media pembelajaran berbasis visual yang dalam hal ini peneliti memilih
menggunakan gambar berseri dengan menggunakan strategi dan tehnik pembelajaran menulis
dengan menggunakan gambar berseri.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 417
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
KESIMPULAN
Hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini disimpulkan:
1. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media berbasis visual khususnya gambar
berseri dapat meningkatkan kemampuan memahami materi showing expression.
2. Penggunaan media pembelajaran berbasis visual khususnya gambar berseri juga mampu
mendukung proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran bahasa inggris dalam penelitian
ini dapat tercapai.
3. Penggunaan media pembelajaran hendaknya pula disesuaikan dengan strategi dan tehnik
pembelajaran, sehingga media pembelajaran dapat lebih berfungsi dan memberikan solusi untuk
meningkatkan kemampuan siswa khususnya dan ketiga aspek kebahasaan yang lain pada
umumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT.Rineka
Cipta.
Arsyad, Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Cetakan Kedua. Jakarta : Rajawali Pers.
Aqib, Zainal. 2007. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru. Cetakan III:September 2007.Bandung :
Yrama Widya
-------. 2008. Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru, SMP, SMA, SMK. Bandung : Yrama Widya
Basyirudin Usman, asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Delia Citra Utama
“Bikin Iklan Bagus Perlu Perang Dulu” dalam http://groups. Yahoo.com/group/free speech.
(diunduh tanggal 23 Maret 2011)
Brown, R dan Bellugi. 1985. Tiga Proses dalam Penguasaan Kalimat pada Anak. Dalam
Sumarsono (alih bahasa, 1985). Psikolinguistik: Kumpulan Artikel. Singaraja:FKIP
Universitas Udayana.
Douglas, Brown. 2004. Language Assesment, Priciples, and Classroom Practises. Harefa, A. 2001.
Mutiara Pebelajar. Jogjakarta:Gloria CyberMinistries. New York: Longman.
Chaer, Abdul. 1988. Tatabahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta : Bharata Karya Aksara.
Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Cetakan ke-7. Bandung : PT. citra Aditya Bakti.
Nurkencana,dkk. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Surabaya:SIC.
Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Praptomo, Baryadi I. 2003. Dasar-Dasar Analisis Bahasa Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta:Pustaka Gondho Suli.
Pringgawidagda. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Jogjakarta:Adicita Karya Nusa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 418
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERAKTIF MODEL INQUIRI DENGAN
STRATEGI KOMPLIK KOGNITIF
Hulyadi1; Ali Imran
2
1Dosen Program sutudi Pendidikan Kimia
2Dosen Program Studi Pendidikan Biologi
e-mail: [email protected] [email protected]
Abstrak: Kajian Materi IPA SMP khususnya yang mengandung konten kimia meliputi atom,
molekul, senyawa, asam dan basa. Kajian materi ini sangat abstrak sehingga berimplikasi pada
tingkat penguasan konsep yang masih rendah. Aplikasi model dan strategi yang masih fokus pada
guru dengan metode ceramah dan diskusi membuat mata pelajaran IPA semakin sulit untuk
dipahami. Berdasarkan permasalahan yang ditemuan studi pendahuluan yang telah dilakukan
diperlukan model, pendekatan dan media pembelajaran yang tepat. Model dengan pendekatan
saintifik merupakan solusi yang paling tepat untuk menumbuhkan dan memperkuat pemahaman
siswa pada mata pelajaran IPA. Model inquiri adalah salah satu model dengan pedekatan saintifik
yang menekan aspek kemampuan berfikir dalam merumuskan masalah dan kegiatan ilmiah yang
terstruktur dalam menemukan konsep yang menjadi masalah dalam pembelajaran. Strategi konflik
kognitif dibutuhkan untuk mempertajam dan menguji kemampuan berfikir siswa. Media komputasi
koputasi dibutuhkan untuk menampilkan sisi mikroskopis pada konten IPA yang bersifat
mikroskopis. Kolaborasi model inquiri, strategi konfilik kognitif, dan media komputasi diharapkan
dapat menumbuhkan kemampuan berfikir kritis. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan
multimedia interaktif model inquiri dengan strategi konflik kognitif serta implikasinya terhadap
kemampuan berfikir kritis pada mata pelajaran IPA SMP. Penelitian ini termasuk penelitian
pegembangan model ADDIE. Analisis dalam penelitian meliputi analisis prangkat, model, konten,
pasilitas, dan tingkat berfikir siswa pada pembelajaran IPA konsentrasi kimia. Hasil analisis ini
dijadikan dasar untuk mendifinisikan dan mengembangkan multimedia. Penelitian dibatasi sampai
tahap pengembangan (Depelopmen). Hasil penelitian meunjukkan multimedia yang telah
dikembangkan memenuhi kritia valid, sehingga bisa diuji coba untuk mengevaluasi respon siswa
terhadap multimedia yang telah dikembangkan. Respon siswa setelah dibelajarkan dengan
multimedia yang telah divalidasi 68% setuju, 20% sangat setuju, 6 % kurang setuju, dan 6% tidak
setuju.
Kata Kunci: Multimedia, Inkuiri, Konflik Kognitif
PENDAHULUAN
Pembelajaran IPA SMP khusus materi yang berkaitan dengan konten kimia dianggap mata
pelajaran yang sulit bagi siswa. Kesulitan dalam mempelajari konten kimia disebabkan karena
kajiannya yang abstrak. Lee dan Osman (2012) menyatakan ilmu kimia merupakan topik yang sulit
dipahami karena bersifat abstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi dan animasi
menggunakan teknologi informasi dapat membantu siswa dalam memvisualisasi topik kimia yang
abstrak. Donlly (2013) melaporkan bahwa studi kasus berbasis program komputer dapat
meningkatkan capaian kompetensi belajar kimia dan kemampuan membuat gambar untuk
mengembangkan kemampuan menghubungkan konsep tekstual dengan gambar visual. Konten IPA
SMP khususnya kimia mengkaji tentang atom, unsur, senyawa, asam dan basa yang sangat abstrak.
Hanya level simbolik dan gejala yang teramati oleh indra (level makroskopis) sementara sisi
mikroskopisnya tidak bisa teramati. Tidak menyatunya ketiga level ini dalam satu pembelajaran
menyebabkan miskonsepsi dan rendahnya kemampuan berfikir siswa. Hadirnya media komputasi
dalam pembelajaran adalah solusi yang tepat dalam menjawab permasalahan pendidikan kita saat
ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 419
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Media terkini yang sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan adalah media yang tidak hanya
menyajikan, gambar tiga dimensi, grafik dan video audio visual secara parsial tetapi dibutuhkan
media yang mampu mengintegrasikan semua komponen di atas menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga menghasil multimedia pembelajaran yang menarik. Rahim, dkk (2015) melaporkan
multimedia merupakan alat pengintegrasi teks, grafik, audio, video dan anamasi untuk membuat
pembelajaran lebih menarik dan mudah dipahami. Liliasari, (2011) melaporkan Pada abad ke-21 ini
belajar kimia bukan lagi waktunya belajar konsep-konsep dan hanya menjadi sebuah pengetahuan
tetapi pembelajaran didesain sebagai belajar cara berfikir untuk meningkatkan kemampuan berpikir.
Multimedia dengan model saintifik diperlukan untuk melatih dan menumbuhkan kemampuan
berfikir tingkat tinggi. Multimedia interaktif dengan strategi konfilk kognitif menjadi salah satu
pilihan yang tepat dalam menjawab permasalah pembelajaran IPA SMP khususnya yang
mengandung konten kimia yang bersifat sangat abstrak. Salah satu model yang tepat dalam
menumbuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi adalah model inquiri.
Rahayu dan Yonata (2013) melaporkan melalui model pembelajan inkuiri dapat melatih
keterampilan berfikir, siswa mampu mengembangkan konsep yang dipelajari secara logis, kritis,
sistematis dan objektif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta meningkatkat hasil belajar. Selain
model yang tepat dibutuhkan strategi yang tepat dalam menumbuhkan kemampuan berfikir tingkat
tinggi khususnya kemampuan berfikir kritis.
Setyowati, dkk (2011) melaporkan implementasi pendekatan konflik kognitif efektif digunakan
dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep siswa. Temuan lain juga
merpertegas bahwa strategi konfilik kognitif dapat mempenagruhi gaya kognitif selama proses
pembelajaran. Andayani (2013) melaporkan terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara
strategi pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap remidasi miskonsepsi dalam pembelajaran
kimia.
Setiawan, dkk (2014) melaporkan simulasi interaktif phet molecule shapes dapat
meningkatkan kemampuan berfikir kritis pada kemampuan mengiduksi dan menganalisis argumen.
Temuan lainnnya adalah multimediayang digunakan belum banyak menggunakan program terutama
program tiga dimensi yang lebih memotivasi siswa dalam mengkaji struktur kimia organik.
Program yang dipakai biasanya molymod dan cham draf yang belum banyak menyajikan data yang
membantu siswa untuk mengkaji konsep-konsep yang mikroskopik. Kaberman, et al. (2007)
menyatakan pembelajaran kimia berdasarkan kasus dengan pemodelan molekul tiga dimensi dapat
meningkatkan kemampuan berfikir siswa, dari serangkain proses penyelidikan dan ekpolorasi
menggunakan program komputasi dalam memanipulasi beragam molekul, gambar, membuat
koneksi, simbol, mikroskopik, dan makroskopik. Berdasarkan kajian di atas diperlukan
pengembangan multimedia interaktif IPA model inquiri dengan pendekatan konflig kognitif yang
berimpilikasinya positif terhadap keterampilan berfikir kritis siswa.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan pendidikan (Educational Research
and Development). Model pengembangan yang digunakan adalah model ADDIE yang meliputi
tahap Analisy, Decine, Developmen, Impelementation, dan Evaluation. Adapun tahapan-tahapan
dalam penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tahapan seperti yang dijelaskan diatas dalam pengembangan model, desain pembelajaran, maupun
evaluasi lebih dikenal dengan model ADDIE. Gambar 1. menampilkan tahapan pengembangan
media yang diadaptasi dari model ADDIE.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 420
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Evalution
Gambar 1. Tahapan Penelitian ADDIE
Subjek penelitian ini adalah Siswa SMP Islam Al Azhar NW Kayangan. Kecamatan Batu Layar
NTB. Siswa yang dilibatkan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol.Variabel penelitiannya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas penelitian ini adalah multimedia interaktif model
inquiri dengan strategi konflik kognitif sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan berfikir
kritis. Dalam rangka memperoleh data yang lengkap dan demi ketajaman analisis data maka dalam
penelitian digunakan beberapa instrumen penelitian, yaitu:
1. Angket Validasi meteri, media, dan bahasa bahan ajar.
2. Tes kemampuan berfikir kritis dalam bentuk soal uraian sebanyak 10 soal.
3. Angket skala Likert, dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan siswa dan guru terhadap
multimedia interaktif yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Terdapat lima jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yaitu: data kemampuan
berfikir kritis, tanggapan guru terhadap media pembelajaran, dan tanggapan siswa terhadap media
pembelajaran. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menemukan
kecenderungan-kecenderungan yang muncul pada saat penelitian sedangkan data kuantitatif
dianalisis dengan uji statistik. Teknik analisis data meliputi teknik kualitatif maupun kuantitatif
tergantung jenis data yang digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Multimedia pembelajaran sebelum diujicobakan kepada siswa, dilakukan validasi oleh ahli
materi dan ahli media untuk mengetahui kelayakan dari produk pengembangan dalam penelitian ini.
Validasi oleh ahli materi dilakukan melalui panel experts. Dari hasil penilaian ahli ini, kemudian
dilakukan perhitungan tingkat validitas multimedia sebagaimana terangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Skor Penilaian Ahli Materi dan Media
Validator Skor Rata-Rata Kriteria Saran
Ahli Materi 3.41 Dapat digunakan
dengan sedikit revisi
Keterbacaan multimediaperlu diuji
cobakan
Ahli Media 3,58 Dapat digunakan
dengan sedikit revisi
Setiap tahap pembelajaran perlu
dilengkapi dengan kunci jawaban
sehingga lebih interaktif.
Setelah multimedia divalidasi selanjutnya diaplikasikan kepada siswa untuk melihat respon
siswa terhadap multimedia yang telah divalidasi. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2.
Analisis
Design
Implementation
Development
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 421
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 2. Respon Siswa Terhadap Multimedia Yang Telah Divalidasi
Gambar 2 menunjukkan aplikasi multimedia mendapat respon baik dari siswa. Awalnya siswa
mengalami kesuliatan dalam mengikuti pembelajaran dengan model inkuiri dengan strategi konflik
kognitif. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan model dan pendekatan yang
digunakan tetapi pada pertemuan kedua siswa sangat antosias dalam belajar hal ini disebabkan
karena materi yang kontekstual. Kemampuan berfikir siswa juga mengalami perkembangan yang
signifikan dengan strategi konflik diawal pembelajaran siswa menimbulkan rasa ingin tahu siswa
meningkat.
Evektifitas multimedia ini tidak terlepas dari desain proses pembelajaran dengan pendekatan
makroskopis melalui praktikum dan mikroskopis melalui media komputasi sangat
membantusiswadalam menghubungkan representasi kimia. Penyeajian konflik menantang siswa
untuk berfikir karena masalah diberikan dikaitkan dengan pengelaman dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini diperkuat juga melalui kegiatan praktikum dengan penggunaan isu sosial sebagai wahana
pengamatan sisi makroskopis. Gilbert dan Treagust (2009) merangkum dari berbagai penelitian
mengenai masalah yang dihadapi siswa yaitu: (1) lemahnya pengalaman pada level makroskopik,
karena tidak tersedianya pengalaman praktik yang tepat atau tidak terdapatnya kejelasan apa yang
harus mereka pelajari melalui kerja laboratorium, (2) terjadinya miskonsepsi pada level
submikroskopik, karena kebingungan pada sifat-sifat partikel, materi, dan tidak mampu untuk
memvisualisasikan entitas dan proses pada level submikroskopik, (3) lemahnya pemahaman
terhadap kompeleksitas proses yang digunakan untuk merepresentasikan level simbolik, (4) ketidak
mampuan bergerak antara ketiga level representasi.
Aplikasi multimedia terbukti mampu menghubungkan level makroskopis dan mikroskopis
dalam satu media pembelajaran. Pembelajaran kimia yang banyak mengkaji level mikroskopik
suata materi sangat membutuhkan model, pendekatan, teknik dan program pembelajaran yang tepat.
Lee dan Osman (2012) melaporkan ilmu kimia merupakan topik yang sulit dipahami karena bersifat
abstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi dan animasi menggunakan teknologi
informasi dapat membantu siswa dalam memvisualisasi topik kimia yang abstrak. Donlly (2013)
menemukan bahwa studi kasus berbasis program komputer dapat meningkatkan capaian kompetensi
belajar kimia dan kemampuan membuat gambar untuk mengembangkan kemampuan
menghubungkan konsep tekstual dengan gambar visual. Salah satu matakuliah yang sangat
membutuhkan media dalam proses pembelajarannya adalah kimia dasar karena banyak mengkaji
sifat fisikokimia molekul, fenomena reaksi yang melibatkan serah terima elektron dan gejala yang
bisa diamati oleh indra. Media dibutuhkan dalam menggambarkan grafik, struktur, pergerakan
elektron dalam mekanisme reaksi sehingga level makroskopis, mikroskopis dan simboliknya
menyatu dalam satu proses pembelajaran.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Doymus, Karacop & Simsek, 2010; Gois & Giordan,
2009; Lerman & Morton, 2009) menunjukkan bahwa penggunaan media animasi dan simulasi
menggunakan teknologi informasi dapat membantu siswa untuk memahami konten kimia yang
0
5
10
15
20
S SS KS TS
20
6
2 2 S
isw
a
Kriteria
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 422
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
abstrak. Penggunaan multimedia dapat membantu siswa dalam memvisualisasi konten kimia yang
abstrak melalui proses media animasi dan video untuk menggambarkan level makroskopis,
mikroskopis, dan simbolik (Bowen, 1998; Burke, Greenbowe & Windschitl, 1998).
Asaii dan Orgill (2009) menyatakan bahwa bahan azar yang dilengkapi dengen fitur-fitur yang
dilengkapi dengan pertanyaan sangat mendukung proses inkuiri dalam melakukan analisis data,
pegembangan pengetahuan berdasarkan fakta-fakta dan mehubungkan hasil investigasi dengan
prinsip-pripsip ilmiah. Pendekatan inkuiri yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu
mahasiswa, dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan berfikir mahasiswa, dalam
mengkaji konsep organik yang bersifat abstrak.siswadiberi pengalaman belajar dengan mengkaji isu
sosial dengan serangkaian kerja ilmiah yang dirancang olehsiswadengan bimbingan dosen dan
peneliti sebelum mereka mengaplikasikannya di laboratorium. Isu sosial menjadi daya tarik sendiri
dalam proses pembelajaran karenasiswamerasa ilmu kimia yang mereka dapatkan lebih bermakna
dan kontekstual. Rahma (2012) menyatakan perangkat membelajaran model inkuiri dapat
meningkatkan kemampuan berfikir kritis ini dilihat dari pencapaian skor rata-rata indikator berfikir
kritis pada kegiatan praktikum sebesar. Hal senada juga ditemukan dalam penelitiannya, Rahayu
dan Yonata (2013) menyatakan bahwa kemampuan kognitif siswa pada tingkat analisis, evaluasi,
dan kreasi rata-rata memperoleh penilain baik dengan penerapan model pembelajaran inkuiri.
Hasil temuan dari beberapa peneliti menujukkan pengunaan multimedia pendekatan konflik kognitif
terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif mahasiswa (Hulyadi,
2017; Khaeruman & Hulyadi, 2016). (Lee & Osman, 2012; Dahlan & Rohayati, 2012; Nilson &
Castro, 2013). Konflik kognitif yang disajikan dalam multimedia terbukti mampu meningkatkan
pemahaman siwa (Lin, 2010). Andayani (2013) menemukan terdapat pengaruh interaksi yang
signifikan antara strategi pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap remidasi miskonsepsi dalam
pembelajaran kimia.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa multimedia yang telah dikembangkan
memperoleh kriteria valid dan mendapat respon positif dari siswa dengan 68% setuju, 20% sangat
setuju, 6 % kurang setuju, dan 6% tidak setuju.
Saran
Saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah: (1) perlu penambahan level mikroskopis
dalam multimedia yang telah dikembangkan, (2) pada setiap tahap pembelajaran sebaiknya
diberikan kunci jawaban untuk memicu interaktif siswa dalam menggunakan multimedia
pembelajaran yang telah dibuat.
DAFTAR RUJUKAN
Adnyani,N.W., Sadia, I.W., dan Natajaya, I.N. 2013. Pengaruh strategi pembelajaran konflik
kognitif terhadap penurunan miskonsepsi fisika ditinjau dari gaya kognitif siswa kelas x di
SMA Negeri 1 Bebandem. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi Administrasi Pendidikan. Vol 4.
Asay, A.D., Orgill, M., 2009. Analysis of Essential Features of Inquiry Found in Articles Published
in The Science Teacher 1997-2007. Journal scient Teacher Education.
Colomuc, A., Tekin, S. 2011. Chemistry Teachers’ Misconceptions Concerning Concept of
Chemical Reaction Rate. Eurasian J. Phys. Chem. Educ. 3(2): 84-101.
Doymus, K., Karacop, A., & Simsek, U. (2010). Effects of jigsaw and animation techniques on
students’ understanding of concepts and subjects in electrochemistry. Education Technology
Research & Development, 58, 671-691. http://dx.doi.org/10.1007/s11423-010-9157-2.
Donlly, O’reilly., Mc Garr. 2013. Enhancing the Student Experiment Experience: Visible Scientific
Inquiry Through a Virtual Chemistry Laboratory. Research Science Education. 43: 1571-
1592 .
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 423
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gois, J. Y., & Giordan, M. (2009). Evolution of virtual learning environments in chemistry
education. In: Enseñanza de las Ciencias, Número Extra VIII Congreso Internacional sobre
Investigación en Didáctica de las Ciencias, Barcelona, pp. 2864-2867.
Gunawan dan Liliasari, 2012. Model virtual laboratory fisika modern untuk meningkatkan disposisi
berpikir kritis calon guru. Cakrawala Pendidikan, Juni 2012, Th. XXXI, No. 2: 185-199.
Gunawan, 2015. Model Pembelaran Sains Berbasis ICT. FKIP Unram. Mataram: Universitas
Negeri Mataram.
Haeruman., & Hulyadi. 2017. Pengembangan Model Multimedia Interaktif Serta Implikasinya
Terhadap Keterampilan Generik Sains Dan Kompetensi Calon Guru Kimia. Jurnal
Hidrogen. Vol. 2. Nomor 1. Juli 2017.
Hulyadi. 2017. Pengembangan MultimediaKimia Organik Berbantuan Media Komputasi Terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif. Jurnal Hidrogen. Vol. 2. Nomor 1. Juli 2017.
Kaberman, Z., & Dori, YJ. 2007. Question Posing, Inquiry, And Modeling Skills Of Chemistry
Students In The Case-Based Computerized Laboratory Environment. Journal of Science
and Mathematics Education. Taiwan.
Lee, T.T., Osman, K. 2012. Interactive Multimedia Bahan ajare with Pedagogical Agents.
International Education Studies. Vol. 5, No. 6: 50-64.
Liliasari. (2011). Pengembangan Keterampilan Generik Sains untuk Meningkatkan Keterampilan
Berpikir Kritis Peserta Didik. Makalah Semnas UNNES 2011. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Nilsson, W., & Castro, B. (2013). Simulation Assisted Learning in Statistics: How important are
students’ characteristics? (p. 23). Retrieved from
http://econpapers.repec.org/paper/ubideawps/56.htm.
Rahayu, T., Yonata, B. 2013. Kemampuan Kognitif Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 18
Surabaya Pada Tingkat Analisis, Evaluasi, dan Kreasi Pada Materi Titrasi Asam Basa
Dengan Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri. UNESA Jurnal Of Chemical Education.
2(2): 12-16.
Rahim, Ab.R., Norr, N.Md., dan Zaid, N.M., 2015. Meta-analysis on Element of Cognitive Conflict
Strategies with a Focus on Multimedia Learning Material Development. International
Education Studies. Vol. 8, No. 13: 73-78.
Setyowati, A., Subali, B., dan Mosik. 2011. Implementasi pendekatan konflik kognitif dalam
Pembelajaran fisika untuk menumbuhkan kemampuan berpikir Kritis siswa smp kelas VIII.
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7: 89-96.
Stiawan, E., Liliasari., dan Rohman, I. 2014. Pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa sma
pada topik teori domain elektron melalui simulasi interaktif Phet molecule shapes. Jurnal
Pengajaran MIPA, Volume 19, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 257-265.
Wijaya, I.K. BW., Kirna, I.M., dan Suardana, I.N. 2012. Model demonstrasi interaktif berbantuan
multimedia dan hasil belajar IPA aspek kimia siswa SMP. Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran, Jilid 45, Nomor 1, hlm.88-98
Kirna, I M. 2011. Determinasi Proposisi Pembelajaran Pemhaman Konsep Kimia melalui
Implementasi Pembelajaran Sinkronisasi Kajian Makroskopis dan Submikroskopis. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran, 43. Nomor 3. hlm. 185-19.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 424
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENINNGKATAN HASIL DAN MOTIVASI BELAJAR SEJARAH SISWA KELAS XI IPS
2 SMAN 1 KURIPAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL DISCOVERY
LEARNING PADA POKOK BAHASAN DAMPAK PERKKEMBANGAN
KOLONIALISME DAN IMPERIALISME DI INDONNESIA
TAHUN AJARAN 2018/2019
Ilmiawan1; Wiwik Evi Anggraeni
2
1Dosen Pendidikan Sejarah FKIP UMMMAT;
2Guru Sejarah SMAN 1 Kuripan Lobar
e-mail: [email protected] [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah adapeninngkatan hasil dan
motivasi belajar sejarah siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 kuripan dengan menggunakan model
DiscoveryLearning pada pokok bahasan dampak perkembangan kolonialisme dan imperialisme di
Indonnesia tahun ajaran 2018/2019. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalahmenggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dalam tiga
siklus.PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa tindakan, yang sengaja
dilakukan pada sebuah kelas secara bersama.kelas bukan wujud ruangan, tetapi sekelompok siswa
yang sedang belajar.Dengan demikian. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada
proses belajar mengajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN1 Kuripan setelah dilakukan tindkan selama
dua siklus dengan menggunakan model pembelajaran DiscoveryLearningmampu meningkatkan
hasil belajarnya, berdasrkan hasil evaluasi pada siklus I menunjukan bahwa persentase siswa yang
mendapat nilai 75 keatas sebanyak 17 orang persentase 54,83% ini berarti indikator penelitian
belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 14 orang siswa
yang memiliki nilai kurang dari 75 dengan persentase 45,17% dan nilai rata-ratanya 68,32.
Sedangkan untuk nilai motivasi belajar siswa pada siklus I, menunjukan bahwa persentase siswa
yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan persentase64,51%, selanjutnya yang tidak
mencapai ketuntasan berjumlah 11 orang dengan persentase 35,48% dan nilai rata-rata 68,32. ini
berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Kemudian
dilanjutkan tindakan pada siklus II siswa yang mencapai ketuntasan dengan persentase 90,32%,
sedangkan yang tidak mencapai ketuntasan persentasenya 9,67% dengan nilai rata-rata kelas 88,23.
Selanjutnya nilai motivasi belajar siswa sebanyak 29 orang mencapai ketuntasan dengan persentase
93,54%, sedangkan siswa yang belum mencapai ketuntasan 2 orang dengan persentase 6,45%,
dengan nilai rata-rata kelas 90,57.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Motivasi Belajar, Model Discovery Learning
PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Lombok Barat
bahwa guru sejarah belum sepenuhnya memanfaatkan model atau metode yang mampu
memberikan motivasi belajar siswa.Seorang guru dituntut kreativitasnya untuk mampu memilih
model atau metode belajar yang inovatif, variatif, menarik, kontekstual, dan sesuai dengan tingkat
kebutuhan peserta didik.Tentunya yang paling paham mengenai kebutuhan peserta didik adalah
guru pada satuan pendidikan yang bersangkutan.Proses belajar mengajar yang dilakukan merupakan
penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Siswa yang terlibat dalam proses
belajar mengajar diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai dan sikap. Dalam proses belajar-mengajar guru akan menghadapi siswa yang
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga guru tidak akan lepas dengan masalah hasil
dan motivasi belajar siswa. Keberhasilan dalam proses belajar mengajar disekolah tergantung
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 425
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
kepada beberapa aspek yaitu sarana prasarana, guru, siswa dan metode pembelajaran yang
diajarkan. Aspek yang dominan dalam proses belajar mengajar adalah guru dan siswa. Kegiatan
yang dilakukan guru dan siswa dalam hubungannya dengan pendidikan disebut kegiatan belajar
mengajar. Guru sebagai motivator dan fasilitator sedangkan siswa sebagai penerima informasi yang
diharapkan dapat lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam daya upaya yang dilaksanakan
oleh guru untuk meningkatkan hasil dan motivasi belajar siswa, maka dalam proses belajar
mengajar, guru harus mampu merencanakan,melaksanakan serta mengevaluasi hasil belajar siswa.
Dalam kegiatan ini guru harus bisa menciptakan situasi yang memungkinkan pembelajaran menjadi
aktif dan efektif.Selain itu guru juga dapat berperan sebagai pengelola kelas agar dapat menciptakan
pembelajaran aktif, efektif dan menyenangkan.Kedua peran tersebut dalam pembelajaran saling
mendukung. Salah satu komponen penting bagi proses pembelajaran adalah kemampuan guru
dalam mengembangkan metode, variasi model, dan mengaplikasikan isi dari bahan pelajaran di
kelas. Pemilihan yang tepat terhadap model-model tersebut akan meningkatkan apresiasi, imajinasi,
kreativitas dan kemampuan berpikir peserta didik. Kompetensi profesional ini didasarkan atas teori-
teori yang selama ini dipraktikan.Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari instruction, yang
banyak dipakai dalam dunia pendidikan.Pembelajaran itu sendiri mempunyai arti suatu kombinasi
yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
Pada saat ini, pengajaran sejarah sangat dituntut untuk dapat memberikan pengajaran yang
mudah untuk dipahami.Karena terdapat kesan umum bahwa metode yang digunakan guru dalam
mengajar sejarah di sekolah kurang menarik sehingga siswa merasa bosan untuk mempelajari
sejarah.Apalagi dengan kurikulum yang pada akhir-akhir ini sering berubah-ubah, menuntut siswa
untuk menguasai materi yang ada sehingga tujuan pendidikan tercapai. Menurut Widja (1989: 91),
Pembelajaran sejarah dirasakan sebagai uraian fakta-fakta kering berupa urutan-urutan tahun dan
peristiwa belaka. Guru menempati kedudukan yang paling utama karena peranannya sebagai
pengajar. Guru harus mampu menterjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam
kurikulum, kemudian mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada siswa melalui proses belajar
di sekolah (Sudjana, 2002:1). Harus diakui juga bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses
pendidikan. Apabila tidak ditunjang oleh keberadaan guru yang berkualitas, maka mustahil proses
belajar mengajar tercapai secara maksimal. Guru dituntut untuk semakin berkualitas dari waktu ke
waktu. Guru yang berkualitas akan melahirkan siswa-siswa yang berkualitas juga (Nurdin,
2008:49).
Menurut Kochhar, 2008: 393, Guru sejarah memiliki peranan penting dalam keseluruhan
proses pembelajaran sejarah. Selain mengembangkan bentuk-bentuk alat bantu pembelajaran secara
mekanis dan mengembangkan pendidikan yang berfokus pada kemajuan siswa, guru sejarah juga
memegang peranan penting dalam membuat pelajaran sejarah menjadi hidup dan menarik bagi para
siswa.
Berangkat dari teori dan permasalahan di atas, maka peneliti dan guru sejarah tertarik untuk
melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “ Peninngkatan Hasil dan Motivasi Belajar
Sejarah Siswa Kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Dengan Menggunakan Model Discovery Learning
Pada Pokok Bahasan Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Di Indonnesia Tahun
Ajaran 2018/2019”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (classroom action
research).PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa tindakan, yang
sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.kelas bukan wujud ruangan,
tetapi sekelompok siswa yang sedang belajar.Dengan demikian, PTK dapat dilakukan tidak hanya
di ruang kelas, tetapi di mana saja yang penting ada sekelompok anak yang sedang belajar
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 426
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
(Wiriaatmadja, 2009: 4).Dalam penelitian tindakan ini, peneliti melakukan sesuatu tindakan yang
secara khusus diamati terus menerus, dilihat plus minusnya, kemudian diadakan pengubahan
terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan yang paling tepat.
HASIL PENELITIAN
Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Perencanaan
Sebelum proses belajar mengajar dimulai pada siklus I, perangkat pembelajaran yang telah
dipersiapkan terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran dan soal evaluasi untuk mendukung
kelancaran proses belajar mengajar.
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan Tindakan siklus I dilakukan pertemuan yang ke tiga dan ke empat serta ke lima
yaitu pada tanggal 18 September 2018 dilakukan proses pembelajaran dengan materi yang dibahas
adalah pada kompetensi dasar 2.1 yaitu Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi
Dagang dengan alokasi waktu 2 x 45 menit. Pertemuan keempat tanggal 19 September 2018 dengan
sub materi yang dibahas adalah masih pada kompetensi dasar 2.1 yaitu dengan indikator
menjelaskan Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.
Pertemuan ke lima dilakukan evaluasi akhir siklus yang dilaksanankan tanggal 26 September 2018.
Pada pelaksanaan pembelajaran siklus I terlihat siswa masih terpengaruh terhadap media yang
digunakan oleh guru sebelumnya sehingga siswa agak kebingungan pada saat guru menerapkan
Model Discovery Learning.
Evaluasi Setelah proses belajar mengajar pada siklus I dengan menggunakan media Model Discovery
Learning yang kemudian dilakukan proses evaluasi yang berupa tes tertulis dengan menggunakan
model soal pilihan ganda pada tanggal 26 September 2018 dengan waktu 2 x 45 menit.
Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus I dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Secara rinci sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Evaluasi Pada Siklus I
Item Hasil Yang Diperoleh
Jumlah siswa seluruhnya 31
Jumlah siswa yang ikut tes 31
Nilai rata-rata kelas 68,32
Jumlah siswa yang tuntas 17
Jumlah siswa yang tidak tuntas 14
Persentase ketuntasan 54,83%
Berdasarkan nilai rata-rata kelas dan persentase pada tabel diatas dapat dilihat pada Diagram
persentase ketuntasan Siklus I di bawah ini:
Gambar 1. Diagram Persentase Ketuntasan Siklus I
siswa yangtuntas 54,83%
siswa yangtidak tuntas45,17%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 427
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Hasil evaluasi menunjukan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah54,83%
ini berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data
tersebut terdapat 14 orang siswa yang memiliki nilai kurang dari 75.
Tabel 2. Motivasi Belajar Siswa Siklus I
Item Hasil yang Diperoleh
Jumlah siswa seluruhnya 31
Jumlah siswa yang ikut tes 31
Nilai rata-rata kelas 70,45
Jumlah siswa yang tuntas 20
Jumlah siswa yang tidak tuntas 11
Persentase ketuntasan 64,51%
Berdasarkan nilai pada tabel diatas dapat dilihat pada diagram persentase ketuntasan motivasi
belajar siswa pada Siklus I di bawah ini:
Gambar 2. Diagram Persentase Ketuntasan Motivasi Belajar Siswa
Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa pada Siklus I
menunjukan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan
persentase64,51%, dan yang tidak mencapai ketuntasan yang berjumlah 11 orang dengan persentase
35,48% ini berarti indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%.
REFLEKSI
Refleksi dilaksanakan pada akhir siklus. Pada tahap ini peneliti bersama guru yang bertindak
sebagai observer mengkaji pelaksanaan proses belajar mengajar pada siklus I sebagai acuan dalam
tahap refleksi ini adalah hasil observasi dan evaluasi. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar
untuk memperbaiki serta menyempurnakan proses belajar mengajar pada siklus berikutnya.
Berdasarkan refleksi terhadap proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan pada siklus I,
maka perlu diadakan perbaikan terhadap kendala-kendala yang terjadi pada siklus I. Adapun
perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan antara lain :
1.Guru harus mampu memberikan penguatan terhadap siswa agar siswa dapat merasa senang dalam
mengikuti proses belajar mengajar.
2.Guru harus mampu membimbing siswa dalam mengerjakan latihan soal.
3.Guru harus aktif mendampingi siswa dalam memfasilitasi kegiatan kelompok yang masih kurang
pemahamannya, terutama membantu kelompok yang masih kesulitan dalam menemukan konsep.
4.Guru harus mampu meminimalisasi kondisi yang dapat mengganggu kegiatan pembelajaran
sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik.
Persentase nilai ketuntasan
motivasi belajar siswa Siklus I
Siswa ygtuntas64,51%
Siswa ygtidak tuntas35,48%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 428
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
5.Guru harus aktif dalam mengatur jalannya diskusi.
6.Guru mengarahkan siswa untuk memanfaatkan waktu seefisien mungkin.
7.Guru harus mampu mengarahkan dan membimbing siswa untuk mendengarkan materi yang telah
disampaikan.
Pelaksanaan Tindakan Siklus II
Perencanaan
Sebelum proses belajar dimulai pada siklus II, perangkat pembelajaran yang telah
dipersiapkan terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran dan soal evaluasi untuk mendukung
kelancaran proses belajar mengajar.
Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan siklus II dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2018 dengan sub materi pokok
Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di indonesia dengan alokasi waktu 2 x 45
menit.
Berdasarkan data-data yang diperoleh terlihat adanya perubahan kearah yang lebih baik dari
pelaksanaan proses belajar mengajar pada siklus I dan hasil siklus II dibandingkan dengan siklus I,
dimana siswa sudah terbiasa dengan penerapanModel Discovery Learning yang digunakan oleh
guru pada proses belajar mengajar.
Evaluasi Setelah proses belajar mengajar pada siklus II dengan menggunakan metode demonstrasi
dan eksperimen yang kemudian dilakukan proses evaluasi yang berupa tes tertulis.
Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II dapat dilihat pada tabel berikut. Secara
ringkas hasilnya sebagai berikut
Tabel 3. Hasil evaluasi pada siklus II
Item Hasil yang Diperoleh
Jumlah siswa seluruhnya 31
Jumlah siswa yang ikut tes 31
Nilai rata-rata kelas 88,23
Jumlah siswa yang tuntas 28
Jumlah siswa yang tidak tuntas 3
Persentase ketuntasan 90,32%
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi adapun nilai rata-rata kelas dan persentase pada
tabel diatas dapat dilihat pada diagram persentase ketuntasan Siklus II di bawah ini:
Gambar 3. Diagram Persentase Ketuntasan Siklus II
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa persentasenyamendapatkan nilai 75 adalah 90,32%. Ini
berarti bahwa indikator penelitian sudah mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data
tersebut terdapat 28 siswa yang memiliki nilai 75 dan 3 siswa yang mendapat nilai <75.
siswa yangtuntas padasiklus II90,32%siswa yangtidak tuntaspada siklus II9,67%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 429
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 4. Motivasi Belajar Siswa pada siklus II
Item Hasil yang Diperoleh
Jumlah siswa seluruhnya 31
Jumlah siswa yang ikut tes 31
Nilai rata-rata kelas 90,57
Jumlah siswa yang tuntas 29
Jumlah siswa yang tidak tuntas 2
Persentase ketuntasan 93,54%
Berdasarkan nilai hasi observasi melalui angket mtivasi belajar siswa pada tabel diatas dapat
dilihat pada diagram persentase ketuntasan motivasi belajar siswa pada Siklus II di bawah ini:
Gambar 4. Diagram Persentase Ketuntasan Motivasi Belajar Siswa
Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa kelas XI IPS 1
SMAN 1 Kuripan menunjukkan bahwa persentasenya mendapatkan nilai 75 adalah 93,54%. Ini
berarti bahwa indikator penelitian sudah mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data
tersebut terdapat 29 orang siswa yang memiliki nilai 75 sedangkan 2 orang siswa dengan
persentase 6,45% yang mendapat nilai <75.
Refleksi
Berdasarkan refleksi terhadap proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan pada siklus
II, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap kendala-kendala yang terjadi. Adapun perbaikan yang
harus dilakukan antara lain :
1. Guru harus mampu memberikan penguatan terhadap siswa
2. Guru harus mampu menarik perhatian siswa agar siswa mau lebih berkosentrasi dalam
pembelajaran
PEMBAHASAN
Sebelum melaksanakan proses belajar mengajar guru menyampaikan tujuan pembelajaran,
setelah itu guru memulai pelajaran dengan menyampaikan materi pebelajaran dengan bantuan
media peta konsep. Kemudian guru membuat kelompok diskusi dimana setiap kelompok terdiri dari
lima orang siswa. Guru membagikan LKS kepada siswa. Guru mengontrol setiap kegiatan
kelompok selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa diberikan kesempatan untuk
mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Guru menutup pelajaran dengan membimbing
siswa dalam merangkum jawaban yang benar.
Setelah diterapkan media Model Discovery Learning pada sisklus I ternyata belum
mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu minimal 85% siswa yang mendapat nilai 75 .
Berdasarkan hasil observasi, aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran masih kurang aktif
dan hal itu perlu diperbaiki pada siklus berikutnya. Hanya sebagian siswa saja yang aktif dan
Persentase Nilai Ketuntasan
pada Motivasi Belajar Siswa
Siswa yg tuntas93,54%Siswa yg tidaktuntas 6,45%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 430
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
antusias dalam melakukan eksperimen dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru dan yang
berani mengemukakan pendapat baik dalam interaksi dengan guru maupun antar sesama temannya
dalam melakukan diskusi. Siswa yang mempunyai kemampuan lebih belum mampu memberikan
bimbingan kepada siswa yang kurang mengerti konsep pada materi tersebut. Mereka cendrung
mendiskusikan dengan teman-temannya yang mempunyai kemampuan sama. Oleh karena itu siswa
yang kemampuannya lebih rendah tidak mengalami perubahan apapun.
Kekurangan guru pada proses pembelajara adalah pemberian penguatan atau motivasi,
pengaturan waktu, pendampingan dalam mengerjakan soal, menciptakan pembelajaran yang
menarik dan menyenangkan, juga pada saat menutup kegiatan pembelajaran tidak bisa dilakukan
seefisien mungkin, sehingga tujuan yang diharapkan dalam proses pembelajaran tidak maksimal.
Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan seperti pada refleksi siklus I. Berdasarkan hasil
evalusi menunjukkan dari 26 siswa rata-rata skor 69. Hal ini disebabkan karena siswa masih
terpengaruh terhadap media peta konsep yang digunakan oleh guru sebelumnya sehingga siswa
agak kebingungan pada saat guru menggunakan metode demonstrasi dan eksperimen. Dari hasil ini
belum mencapai standar ketuntasan klasikal, untuk itu penelitian dilanjutkan pada siklus II dengan
materi yang berbeda.
Pada siklus II guru berusaha memperbaiki setiap kekurangan yang ada pada siklus I,
berdasarkan evaluasi dapat dilihat hasilnya Hasil evaluasi menunjukan bahwa persentase siswa
yang mendapat nilai 75 keatas adalah54,83% ini berarti indikator penelitian belum mencapai
standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 14 orang siswa yang memiliki
nilai kurang dari 75. Sedangkan nilai motivasi belajar siswa dapat lihat hasilnya sebagai berikut
Berdasarkan Hasil observasi menggunakan angket motivasi belajar siswa pada Siklus I menunjukan
bahwa persentase siswa yang mendapat nilai 75 keatas adalah20 orang dengan persentase64,51%,
dan yang tidak mencapai ketuntasan yang berjumlah 11 orang dengan persentase 35,48% ini berarti
indikator penelitian belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Setelah dilakukan
perbaikan pada siklus II terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Ini menunjukkan dari hasil
evaluasi belajar siswa pada siklus II dimana rata-rata hasil evaluasi sebesar 88,23 dengan ketuntasan
hasil belajar siswa mencapai 90,32%. Hal ini berarti siklus II telah mencapai ketuntasan klasikan
yakni 85%. Ini terjadi karena adanya perubahan kearah yang lebih baik, dimana eksperimen dan
diskusi kelompok sudah mulai berjalan dengan baik dan komunikasi diantara masing-masing
kelompok sudah mulai terjalin dimana peran siswa yang pandai sangat membantu dalam
memberikan pemahaman kepada siswa yang belum mengerti terhadap materi. Sedangkan nilai
motivasi belajar siswa pada siklus II dapat di lihat sebagai berikut:Berdasarkan Hasil observasi
menggunakan angket motivasi belajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan menunjukkan bahwa
persentasenya mendapatkan nilai 75 adalah 93,54%. Ini berarti bahwa indikator penelitian sudah
mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 85%. Dari data tersebut terdapat 29 orang siswa yang
memiliki nilai 75 sedangkan 2 orang siswa dengan persentase 6,45% yang mendapat nilai <75.
Karena sudah mencapai peningkatan hasil belajar dan ketuntasan secara klasikal maka
penelitian dihentikan dengan alasan bahwa hasil belajar yang diproleh cukup memberikan informasi
untuk menarik kesimpulan.
Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Model
Discovery Learning. pada materi pokok imperialisme dan kolonialisme sangat cocok karena dengan
media Model Discovery Learning. ini terbukti siswa dapat meningkatkan hasil belajar yang
ditunjukkan dari hasil evaluasi dalam tiap siklusnya. Selain itu siswa bukan lagi hanya sebagai
penerima informasi namun mereka sudah dapat menggali informasi dari yang ditampilkan dan
kecendrungan yang ada siswa menjadi lebih termotivasi dalam proses pembelajaran.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh guru sejarah yang mengatakan bahwa dengan
Model Discovery Learningdapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPS 2 di SMAN 1
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 431
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kuripan. Juga siswa dapat mengamati dan memperhatikan pada apa yang diperhatikan guru selama
pelajaran berlangsung. Penggunaan Model Discovery Learning sangat menunjang proses interaksi
belajar mengajar dikelas. Keuntungan yang diperoleh ialah dengan media peta konsep perhatian
siswa lebih dapat terpusatkan pada pelajaran yang sedang diberikan, kesalahan-kesalahan yang
terjadi bila pelajaran itu diceramahkan dapat diatasi melalui pengamatan dan contoh konkrit. Jadi
dengan
Model Discovery Learning siswa dapat berpartisipasi aktif, dan memperoleh pengalaman langsung,
serta dapat mengembangkan kecakapannya
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah dengan
menggunakan Model Discovery Learningpada mata pelajaran sejarahdapat meningkatkan hasil dan
motivasi belajar siswa kelas XI IPS 2 SMAN 1 Kuripan Lombok Barat tahun Ajaran 2018/2019.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, Saifuddin. 1997. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi
Aksara
Munib, Achmad dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS.Rusman. 2014.
Model model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana. 2009. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Susanto, Ahmad. 2014. Teori Belajar dan
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta
Widya, I Gde Widya. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi serta metode Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbu
Wiriatmaja, R. 2009. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosada Karya
Mulyoto.1999. Meningkatkan Pembelajaran Sejarah.Dwijawarta.FKIP UNS. Jilid 5 Nomor 10.
Halaman: 95-104.
Sariyatun. 2010. Inovasi Pembelajaran Sejarah Melalui Desain Ulang Metode Pembelajaran.
Candi.Volume 1.Nomor 1. Halaman: 136-149.
Sugiyaryo, Sutoyo. 2003. Profesionalisme Guru Ditinjau Dari Latar Belakang Pendidikan dan
Pengalaman Mengajar.Paedagogia. FKIP UNS. Jilid 6. Nomor 1. Halaman: 9-20.
.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 432
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF BAHASA ISYARAT
ANAK TUNARUNGU
Indriaturrahmi1; Farida Fitriani
2; Wiwiek Zainar Sri Utami
3
1,2 Teknologi Pendidikan FIP IKIP Mataram
3 Bimbingan Konsling FIP IKIP Mataram
e-mail: [email protected]
Abstak: Cara belajar anak penyandang tuna rungu berbeda dengan cara belajar anak normal
pada umumnya. Pemahaman bahasa dan pembendaharaan kata tidak dapat dijelaskan dan
ditangkap melalui indera pendengaran karena tergangunya fungsi pendengaran yang dialami olen
tuna rungu. Salah satu cara pembelajran yang dapat dimaksimalkan pada anak tuna rungu adalah
melalui indera pengelihatan. indera pengelihatan sebagai alat bantu untuk merangsang informasi
bahasa dan penggunaan bahasa isyarat sebagai cara melatih komunikasi berbahasa bagi tunarungu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan media pembelajaran bahasa isyarat bagi
anak tuna rungu, untuk mengetahui kelayakan dari media pembelajaran dan untuk meningkatkan
kemampaun berbahasa bagi anak tunarungu. Penelitian ini adalah Penelitian dan Pengembangan
(RnD) dengnan model ADDIE (Analysis, Decide, Design, Implementasi dan Evaluasi). Hasil dari
penelitan ini adalah menghasilkan media pembelajaran bahasa isyarat bagi anak tunarungu.
Kata Kunci: Media Pembelajran Interaktif, Bahasa Isyarat, anak Tuna Rungu, RnD, ADDIE.
PENDAHULUAN
Anak tunarungu merupakan kondisi dimana sesorang anak memiliki gangguan pada indera
pendengaranya. Gangguan tersebut mengakibatkan terhambatnya kemampuan pendengaaran.
Menurut Hernawati (2007) mengungkapkan anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan
pada indera pendengaran sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mendengar, mulai dari
tingakatan ringan sampai berat sekali yang diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang dengar
(hard of hearing). Sedangkan menurut Tin suharmini (2009) tunarungu adalah keadaan seorang
individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai suara atau rangsangan lain melalui pendengaran. Selain itu dapat diartikan
anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan informasi secara lisan sehingga tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan secara lisan.
Dampak langsung yang dialami oleh anak penyandang tunarungu, selain ketidakmampuan
dalam mendengar adalah kemampuan dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena kemampuan
mendengar sangat mempengaruhi kemampun berbahasa. Anak tunarungu adalah anak yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya sehingga ia mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasa (Suryana,1996). Oleh sebab itu anak tunarungu selain
kehilangan kemampuan mendengar juga kehilangan kemampuan berbahasa.
Anak tunarungu dapat dikategorikan sebagai Anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan
perhatian lebih untuk meningkatkan fokus terhadap proses belajar, dengan cara mengabaikan
kekurangan yang dimiliki dan memaksimalkan potensi daya tangkap indera lainnya, sehingga
proses belajarnya tepat dan dapat menghasilkan prestasi belajar yang memuaskan. Oleh karena itu,
diperlukan pembelajaran yang menarik, sehingga siswa merasa termotivasi dan berminat untuk
belajar. Anak tunarungu mempunyai keterbatasan dalam berbicara dan juga mendengar, sehingga
media pembelajaran yang cocok digunakan untuk anak tuna rungu adalah media visual. Cara
menerangkan media visual kepada anak tuna rungu yaitu dengan bahasa bibir, gerakan bibir, dan
penggunaan bahasa isyarat. Menurut Mardiyani,Dkk (2012) menyatakan bahasa isyarat adalah
metode komunikasi untuk orang-orang yang tunarungu atau tuli dimana gerakan tangan, gerakan
tubuh dan ekspresi wajah menyampaikan struktur tata bahasa dan makna. Bahasa isyarat adalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 433
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
bahasa yang tidak menggunakan suara tetapi bahasa yang mengutamakan komunikasi manual,
bahasa tubuh dan gerak bibir.
Metode pengajaran yang digunakan masih menggunakan metode konvensional atau manual
yang sudah biasa diberikan di sekolah pendidikan khusus dan inklusi kepada siswa tunarungu
metode ini masih kurang efektif. Pengajaran secara konvesional dampaknya belum bisa secara
menyeluruh memberikan pemahaman kepada siswa tunarungu untuk memahami pelajaran yang
diajarkan khususnya dalam hal membaca. Metode pengajaran secara konvensional ini biasanya
hanya berupa pengajaran yang sederhana yang meliputi seorang guru yang mengajarkan materi
menggunakan papan tulis dan bahasa isyarat. Hal ini tentu dapat membuat siswa tunarungu menjadi
tidak memahami sepenuhnya materi yang diajarkan.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan media pembelajaran interaktif bahasa isyarat bagi
anak tunarungu. Media pembeajaran interaktif merupakan salah satu alat bantu untuk menciptakan
pembelajran yang lebih variatif (Pariatin dan ashari,2014). Variasi dalam pembelajaran dapat
membantu pengajaran lebih menarik, menyenangkan, dan mudah dipahami. Media pembelajaran
interaktif melibatkan unsur multimedia antara lain teks, gambar, animasi, audio dan video. Dengan
unsur multimedia tersebut memungkinkan terciptanya media pembelajaran interaktif bahasa isyarat
yang memiliki tampilan visual menarik dan interktif yang sesuai dengan kebutuhan penerima atau
audience. Tujuan dari pengembangan media interaktif bahasa isyarat anak tunarungu adalah dapat
memberikan salah satu bentuk media yang menarik bagi tunarungu tentang materi bahasa isyarat,
memberikan visualisasi bahasa isyarat yang menarik sehingga meningakatkan minat belajar dan
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan serta mampu meningkatkan kemampuan
berbahasa bagi anak tunarungu.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and
Development) disingkat dengan nama RnD. Metode ini digunakan untuk menghasilkan produk
tertentu dan untuk menguji kelayakan serta keefektifan produk tertentu (Sugiyono,2013). Model
pengembangan menggunakan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation ang
Evaluation). Model ini terdiri dari 5 langkah yaitu, 1) Analisis (Anaysis), 2) Perancangan (Design),
3) Pengembangan (Development), 4) Implementasi (Implementation), 5) Evaluasi (Evaluation)
(Tegeh dkk,2014). Berikut tahapan pengembaan media pembelajran menggunakan model ADDIE:
1. Tahap Analisis (analysis) : Pada tahapan ini dilakukan analisis permasalahan, tujuan, sasaran
hingga kelayakan dari pengembangan media pembelajaran yang akan dihasilkan. Tahapan ini
menghasilkan rancangan solusi dari peramasalahan, analisa kebutuhuan antara lain, Sumber
Daya Manusia(SDM), analisa kebutuhan audience, analisa kebutuhan hardware dan software
serta berupa instrument angket dan kuesioner untuk evaluasi.
2. Tahap Perancangan (Design) : pada tahapa ini dalakukan desain perancangan konten dari media
pembelajaran. Tahapan ini menghasilkan desain flowchart, screen design dan ouline isi dari
media pembelajaran yang akan dihasilkan.
3. Tahap Pengembangan (Development): pada tahapan ini dilakukkan pembuatan konten
menggunakan materi-materi serta file-file multimedia yang telah disipakan disesuai dengan
desain perancangan. Tahapan ini menghasilkan produk media pembelajaran bahasa isyarat anak
tunarungu.
4. Tahap Implementasi (Implementation): pada tahapan ini dilakukan implementasi atau uji coba
produk media pembelajran yang sudah dikembangkan. Uji coba dan review dari tim validasi
ahli sebagai acuan dalam perbaikan produk.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation): pada tahapan ini dilakukan evalauasi pengguanan produk media
pembelajaran. Tahapan in menghasilkan evaluasi untuk mengukur ketercapaiannaya tujuan
pengembangan produk dan sebagai bahan untuk perbaikan serta pengembangan selanjutnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 434
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan Produk Media Pembelajaran Interaktif Bahasa Isyarat Bagi Anak
Tunarungu. Penggunaan media pembelajaran bagi anak tuna rungu merupakan sesuatu yang mutlak
harus diupayakan mengingat anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami ujaran guru
(Hernawati,2015). Pengembangan produk media pembelajaran interaktif bahasa isyarat bagi anak
tunarungu menggunakan model ADDIE. ADDIE merupakan salah satu model desain pembelajaran
untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannnya luas, seperti desain sistem suatu
pelatihan, kurikulum sekolah dan lain-lain (Sari,2017). Model ini menggunakan 5 tahapan dalam
pengembangan antara lain: 1) Analysis (Analis), 2) Design (Desain Atau Perancangan), 3)
Development (Pengembangan). 4) Implementation (Impelentasi) Dan 5) Evaluation (Evaluasi).
Hasil dari penelitian ini fokus pada tahapan Development (Pengembangan). Tahapan ini
menghasilkan realisasi dari desain dan perancangan media yang telah disusun serta dilengkapi
dengan unsur multimedia seperti teks, gambar, animasi dan video (tanpa audio) yang telah
dipersipakan. Tahapan ini menghasilkan produk dari media pembelajaran bahasa isyarat bagi anak
tunarungu yang siap diimplementasikan. Materi dari pengembangan media pembelajaran interaktif
yang dihasilkan berupa media pembelajaran bahasa isyarat abjad, bahasa isyarat angka, video
bahasa isyarat abjad dan angka, serta evaluasi dalam bentuk tebak gambar. Adapun tampilan dari
produk media pembelajaran interaktif bahasa isyarat anak tunaungu adalah sebabai berikut:
1. Tampilan awal, ketika memulai menjalankan media pembelajaran. Klik “Mulai” untuk
melanjutkan.
Gambar 1. Tampilan Awal
2. Tampilan home. Halaman ini berisi menu-menu yang terdapat pada media pembelajaran
interaktif. Menu- menu tersebut antara lain: Panduan, Isyarat Abjad, Isyarat Angka, Gallery
Video, Tebak Gambar dan Profil Creator. Klik pada salah satu gambar menu untuk membuka
tampilan.
Gambar 2. Tampilan Home
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 435
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
3. Tampilan Panduan. Halaman ini menampilan panduan dalam menjalankan media pembelajaran
interaktif.
Gambar 3. Tampilan Panduan
4. Tampilan Isyarat Abjad. Halaman ini menampilkan isyarat abjad.
Gambar 4. Tampilan Isyarat Abjad
5. Tampilan isyarat angka. Halaman ini menampilkan isyarat angka.
Gambar 5. Tampilan Isyarat Angka
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 436
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
6. Tampilan gallery video. Halaman ini menampilan bahasa isyarat abjad dan angka dalam bentuk
video
Gambar 6. Tampilan Gallery Video
7. Tampilan Tebak Gambar. Halaman ini menampilkan permainan tebak gambar bahasa isyarat.
Gambar 7. Tampilan Tebak Gambar
8. Profil Creator
Gambar 8. Profil Creator
SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan tentang
pengembangan media pembelajaran interaktif bahasa isyarat anak tuanrungu adalah sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 437
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
1. Telah dikembangkan produk media pembelajaran bahasa isyarata bagi anak tunarungu yang
berisi tentang materi bahasa isyarat meliputi bahasa isyarat angka dan huruf, materi bahasa
isyarat dalam bentuk video dan evaluasi dengan permainan tebak gambar.
2. Produk media pembelajaran bahasa isyarat anak tunarungu telah dikembangkan dan selanjutnya
dapat diimplementasikan.
DAFTAR RUJUKAN
Hernawati, Tati. Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak
tunarungu.JASSI_anakku Volumen 7, Nomor 1 Juni 2007 hlm 101-110
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196302081987032-
TATI_HERNAWATI/jurnal.pdf), diakses 19 Oktober 2018.
Hernawati, T. et al. (2015). Pendidikan Anak Tuna Rungu III. Bandung.
Mardiyani, Atik. Dkk. 2012. Pengenalan Bahasa Isyarat Menggunakan Metode PCA dan Haar Like
Feature. http://digilib.its.ac.id/ITS-paper-22021120001149/21869. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2017
Pariatin, Yeni., Ashari,Yuda.Z. Rancangan Media Pembelajran Interaktif Mata Pelajaran PKN
Untuk Penyandang Tunarungu Berbasis multimedia (Studi Kasus di Kelas VII SMPLB
Negeri Garut Kota). Jurnal Algoritma Sekolah Tinggi Teknolgogi Garut. Volume 11,
nomor.01 Tahun 2014 (http://sttgarut.ac.id/jurnal/index.php/algoritma/article/view/106)
diakses pada tanggal 20 Oktober 2018
Sari, Binatri Kratika. Desain Pembelajaran model ADDIE dan Implementasinya dengan Teknik
Jigsaw. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, Tema “Desain Pembelajaran di Era ASEAN
Economic Community (AEC) untuk Pendidikan Indoensia Berkemajuan”. Fakultas Keguruan
dan Ilmu
Suryana. (1996) . Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK . Jakarta : EGC.
Sugiyono.(2013).Metode Penelitian Kuantiatif Kualitatif dan R&D.Bandung:Alfabeta
Tegeh, I. M., dkk. 2010. Metode Penelitian Pengembangan Pendidikan. Buku Ajar. Singaraja:
Undiksha
Tin Suharmini. (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Pendidikan. Universistas Muhammadiyah sidoarjo.18 Maret 2017. ISBN 978-602-70216-2-4.
http://eprints.umsida.ac.id/432/.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 438
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Upaya Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa dan Kerjasama Siswa Melalui Model
Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping Pada Mata Pelajaran
PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram
Kamluddin1; Irma Kusuma Wardani
2
1,2Univeristas Muhammadyah Mataram
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah bagaimana cara meningkatkan keaktifan belajar dan
kerja sama siswa melalui penerapan pembelajaran Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe
Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah
Mataram pada mata pelajaran PPKn, Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Reasarch). Penelitian ini dilakukan oleh peneliti bersama-sama
dengan guru PPKn (mitra) melalui berbagai kegiatan yang telah direncanakan dan didiskusikan
sebelumnya. Instrument penelitan ini menggunakan instrument test yaitu soal pilihan ganda
sejumlah 25 item untuk mengukur hasil belajar kognitif siswa dan angket untuk mengukur indikator
keaktifan belajar dan kerjasama siswa. Hasil menunjukkan diperoleh terdapat pada siklus ke III
yaitu indikator keaktifan belajar siswa 85,70%, indikator kerjasama 100%, indikator Penerapan
Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping 97,25% dan hasil belajar siswa
93,75%
Kata Kunci: Hasil Belajar Kognitif, Cooperative Learning, Kancing Gemerincing
PENDAHULUAN
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 1 dinyatakan
bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sosok guru sebagai salah satu unsur pembelajaran yang juga turut mendukung keberhasilan
suatu pendidikan. Guru juga sebagai salah satu penyelenggara pendidikan dituntut memiliki
kemampuan dalam mengembangkan pelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan berfikir siswa
dalam proses pembelajaran. Guru yang mampu mengajar dengan baik tentu akan menghasilkan
kualitas siswa yang baik pula. Pada kenyataan di lapangan banyak guru yang masih saja
menggunakan model pembelajaran secara konvensional atau tradisional dengan cara ceramah saja
agar dapat menyelesaikan tujuan pembelajaran sehingga melupakan hal yang paling utama
bagaiamana penerimaan siswa terhadap materi tersebut. Di lain sisi juga guru yang hanya
mengandalkan ceramah tidak akan melihat atau mimikirkan bagaimana penerimaan anak setelah
proses pembelajaran akan menghasilkan anak yang memilki potensi yang sesuai dengan kurikulum
baik itu KI 1 (Kompetensi religius), KI 2 (Kompetensi Sosial), KI 3 (Kompetensi Pengetahuan),
dan KI 4 (Kompetensi Keterampilan)
Salah satu pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru untuk meningkatkan keaktifan
siswa dalam proses pembelajaran adalah metode Cooperative Learning Tipe Map and Maping atau
Peta Konsep berpaduan dengan memperaktikkan pembelajaran. Di dalam Map and Maping ini
siswa diajak bersama-sama untuk berfikir secara aktif, dimana guru terlebih dahulu menyampaikan
tujuan pembelajaran apa yag akan di capai pada pertemua tersebut, selanjutnya secara bersama-
sama guru dan siswa membahas materi yang akan dilaksanakan. Pada proses pembelajaran guru
tidak mendominasi maelainkan guru dengan secara sengaja memberikan stimulus berupa
pertanyaan secara langsung kepada siswa agar siswa aktif dalam pembelajaran baik dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 439
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
menjawab secara langsung mapun menjawab soal dengan melihat sumber belajar. Setalah guru
dengan sengaja memberikan pertanyaan langsung, guru dengan siswa akan membentuk sebuah peta
konsep berupa kotak yang memberikan ketertarikan siswa dan menyambungkan materi yang umum
menjadi khusus, selain dari itu juga untuk ketertarikan terus menjawab dan meyelesaikan materi
dengan peta konsep. Manfaat dari pembelajaran peta konsep ini guru bukan menjadi satu-satunya
pusat pembelajaran, siswa pun bisa menjadikan pusat pembelajaran dikarenakan siswa aktif untuk
berfikir dan menjawab pertanyaan secara langsung. Teknik ini juga memberikan kesempatan pada
siswa untuk lebih aktif berkomunikasi dengan guru atau siswa lainnya di dalam kelas, sehingga
tejadilah suatu pembelajaran yang hidup di dalam kelas.
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
cara meningkatkan keaktifan belajar dan kerja sama siswa melalui penerapan pembelajaran Model
Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran
PPKn Kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram pada mata pelajaran PPKn. Sejalan dengan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keaktifan belajar, kerja
sama, dan hasil belajar kognitif siswa melalui penerapan pembelajaran Model Pembelajaran
Cooperative Learning Tipe Map and Maping (Peta Konsep) pada mata pembelajaran PPKn Kelas
VII SMP Muhammadiyah Mataram pada mata pelajaran PPKn.
Berdasarkan hasil observasi peneliti selama di sekolah dan pengalaman peneliti menjadi
siswa, pembelajaran PPKn di lapangan bertolak belakang dengan tujuan pembelajaran PPKn yang
sebenarnya, hal tersebut dapat dilihat melalui proses pembelajaran yang ada selama ini belum
optimal karena siswa masih belum bisa aktif dalam pembelajaran di kelas. Siswa hanya duduk diam
mendengarkan penjelasan dari guru, pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru hanya
pembelajaran yang berpusat kepada guru saja, hanya guru yang sangat aktif dalam proses
pembelajaran sedangkan siswa sangat pasif dalam proses pembelajaran berlangsung hanya
menerima dan mendengarkan penjelasan dari guru. Guru hanya menerapkan pembelajaran secara
konvensional atau metode ceramah dan diskusi saja dan tidak menerapkan model pembelajaran
yang beragam.
Tanpa mengalihkan atau melupakan faktor yang lain, sekiranya faktor penggunaan model
pembelajaran merupakan faktor yang yang di duga menjadi penyebab rendahnya hasil belajar
kognitif dan juga memiliki pengaruh terhadap hasil belajar kognitif belajar PPKn siswa. Model
pembelajaran menurut Soekanto dkk (Nurulwati, 2000: 10) “merupakan kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalam belajar untuk mencapai
tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar’’. Karakteristik pembelajaran yang baik di dalam
kelas adalah pembelajaran yang menerapkan atau menggunakan model pembelajaran yang berpusat
pada siswa, bukan yang berpusat pada guru.
METODE
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reasarch). Penelitian ini
dilakukan oleh peneliti bersama-sama dengan guru PPKn (mitra) melalui berbagai kegiatan yang
telah direncanakan dan didiskusikan sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan
permasalahan yang ditemukan oleh peneliti di kelas VII SMP Muhammadiyah Mataram yaitu
tentang rendahnya kemampuan keaktifan berpikir siswa pada mata pelajaran PPKn sehingga perlu
dilakukan penelitian tindakan kelas untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian tindakan
kelas ini dilakukan di SMP Muhammadiyah Mataram siswa kelas VII pada tahun ajaran 2018/2019
dengan jumlah siswa sebanyak 16 orang. Pelaksanaan tindakan kelas ini “Secara garis besar
terdapat empat tahap yang lazim dilalui, yaitu: (1) Perencanaan; (2) Pelaksanaan; (3) Pengamatan,
dan; (4) Refleksi“ (Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi 2010:16). Tehnik yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian tindakan kelas ini yaitu: 1) Dokumentasi; 2)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 440
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Observasi/pengamatan; 3) Tes Tulis; 4) Wawancara. Tehnik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa tehnik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif yang berupa
statistik deskriptif untuk mecari nilai rerata, persentasi keberhasilan belajar, dan lain sebagainya.
Teknik analisis data kualitatif yang digunakan adalah tehnik analisis data kualitatif yang
dikembangkan Miles dan Huberman “terdiri dari tiga komponen kegiatan yang saling terkait satu
sama lain: reduksi data, beberan (display) data, dan penarikan kesimpulan” (Fuad & Hamam, 2012;
22)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dan setiap siklus dilaksanakan dalam dua kali
pertemuan dengan rincian siklus I dilaksanakan pada hari Rabu, 3 Agustus 2017 dan 9 Agustus
2017. Kemudian siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, 23 Agustus 2017 dan 30 Agustus 2017.
Setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: (a) perencanaan; (b) pelaksanaan; (c) observasi; (d)
analisis dan refleksi. Berdasarkan rangkaian kegiatan dokumentasi, observasi, wawancara dan tes
tulis pada siklus I, II dan III diperoleh data hasil penelitian sebagai berikut:
Tabel 1. Keaktifan Siswa Pada Proses Pembelajaran
Siklus Jumlah
Siswa
Siswa
Yang
Aktif
Persentase Siswa
Yang Aktif
Siswa Yang
Tidak Aktif
Persentase
Siswa Yang
Tidak Aktif
I 16 9 56,20% 7 43,75%
II 16 11 68,75% 5 31,25%
III 16 15 93,75% 4 6,25%
Gambar 1. Grafik Keaktifan Siswa pada Proses Pembelajaran
Tabel 2. Deskriptor Keaktifan Belajar Siswa
Siklus Jumlah
Deskriptor
Deskriptor
Yang
Muncul
Persentase
Deskriptor
Yang
Muncul
Deskriptor
Yang
Tidak
Muncul
Persentase
Deskriptor Yang
Tidak Muncul
I 7 4 42,8 3 42,80%
II 7 5 71,42% 2 28,57%
III 7 6 85,70% 1 6,25%
0
20
40
60
JumlahSiswa
Siswa YangAktif
PersentaseSiswa Yang
Aktif
Siswa YangTidak Aktif
PersentaseSiswa YangTidak Aktif
Grafik Keaktifan Siswa Pada Proses Pembelajaran
III
II
I
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 441
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 2. Grafik Keaktifan Siswa pada Proses Pembelajaran
Tabel 3. Indikator Sikap Kerjasama
Gambar 3. Grafik Keberhasilan Siswa Sikap Kerjasama Kelompok
JumlahDeskriptor
DeskriptorYang Muncul
PersentaseDeskriptor
Yang Muncul
DeskriptorYang Tidak
Muncul
PersentaseDeskriptorYang Tidak
Muncul
I 7 4 42.8 3 42.80%
II 7 5 71.42% 2 28.57%
III 7 6 85.70% 1 6.25%
05
1015202530354045
Axi
s Ti
tle
Deskriptor Keaktifan Belajar Siswa
0%20%40%60%80%
100%
Siswa YangKerjasama
PersentaseSiswa YangKerjasama
Siswa YangTidak
Kerjasama
PersentaseSiwa Yang
TidakKerjasama
Grafik Keberhasilan siswa dalam sikap kerjasama kelompok
III
II
I
Siklus Siswa yang
Kerjasama
Persentase Siswa
yang Kerjasama
Siswa yang
Tidak
Kerjasama
Persentase Siwa
yang Tidak
Kerjasama
I 13 81,25% 3 18,75%
II 13 81,25% 3 18,75%
III 16 100% 0 0%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 442
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 4. Indikator Sikap Kerjasama
Gambar 4. Grafik Deskriptor Sikap Kerja
Tabel 5. Penerapan Model Pembelajaran Map and Maping
Siklus Jumlah
Deskriptor
Deskriptor
yang Muncul
Deskriptor
yang Tidak
Muncul
Persentase
Deskriptor yang
Muncul
I 40 33 7 83%
II 40 33 7 83%
III 40 40 0 100%
0123456
Grafik Deskriptor Sikap Kerjasama
I
II
III
Siklus Jumlah
Deskriptor
Deskriptor
yang
Muncul
Persentase
Deskriptor
yang Muncul
Deskriptor
yang Tidak
Muncul
Persentase
Deskriptor yang
Tidak Muncul
I 6 3 50% 3 50%
II 6 4 66,66% 2 33%
III 6 6 100,00% 1 0%
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 443
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 5. Grafik Penerapan Model Pembelajaran Map dan Maping
Tabel 6. Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadiyah Mataram
Siklus Lulus Persentase Lulus Tidak Lulus Persentase Tidak
Lulus
I 13 81,25% 3 18,75%
II 14 87,50% 2 12,15%
III 15 93,75% 1 6,25%
Gambar 6. Grafik Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadyah Mataram
DAFTAR RUJUKAN
05
10152025303540
JumlahDeskriptor
DeskriptorYang Muncul
DeskriptorYang Tidak
Muncul
PersentaseDeskriptor
Yang Muncul
Grafik Penerapan Model Pembelajaran Map and Maping
I
II
III
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Lulus PersentaseLulus
Tidak Lulus PersentaseTidak Lulus
Grafik Hasil Belajar Kognitif Siswa SMP Muhammadiyah Mataram
I
II
III
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 444
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Abdurrahman Wahid, 2016. Upaya meningkatkan keaktifan dan hasil belajar kognitif siswa kelas
XI IPS 1 SMA Negeri 2 Labu Api Pada Mata Pelajaran Pkn Melalui Penerapan
Pembelajaran Kombinasi Model Cooperative Learning Tipe Jigsaw dan Snawball
Throwing. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Mataram
Amri Rosmawarni, 2016. Peningkatan Kerjasama Dan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran
PPKn Melalui Model Pembelajaran Berbasis Fotofolio Di Kelas XI IPA 5 SMAN 1
Narmada Tahun Pelajaran 2015/2016. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi
S1 Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Arifin, Z. 2014. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. 2014. Prosedur Penelitia Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Astuti. 2013. Pengaruh Penggunaan Pendekatan Cooperative Learning Tipe Number Heads
Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Pkn Pada Siswa Kelas VII Di SMPN 5 Mataram
Tahun 2012/2013. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Bardi. 2012. Penerapan metode pembelajaran pada peta konsep tipe pohon jaringan untuk
meningkatkan hasil belajar kognitif PKn siswa kelas VII A SMP Negeri 14 Mataram.
Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Mataram.
Budianingsih, C. Asri. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Candra Mega Permatasari. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Kancing
Gemerincing Sebagai Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Sosiologi Siswa Kelas XII IPS 6
SMAN 8 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014. Skripsi diterbitkan. Surakarta: Program
Studu Pendidikan Sosiologi Universitas Sebelas Maret. FITK UIN Syarif
Hidayatullah.(Online). Tersedia pada: https://media.neliti.com/media/publications/13677-
ID-penerapan-model-pembelajaran-kooperatif-teknik-kancing-gemerincing-sebagai-
upaya.pdf. diakses pada tanggal 19 April 2017
Dahlan. 2015. Upaya Meningkatkan Tanggung Jawab Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan
Metode Problem Based Learning (PBL) Pada Mata Pelajaran PPKn Kelas VIII C Di SMPN
1 Kediri Tahun 2014/2015. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Eni Sufianti. 2010. Upaya Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Pembelajaran PKn Melalui
Penerapan Cooperative Learning Teknik Kancing Gemerincing di Kelas VIII.D SMPN 11
Mataram Tahun 2009/2010. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Faturrahman, M. 2015. Model-Model Pembelajaran Inovatif Alternatif Desain Pembelajaran yang
Menyenangkan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Fuji Hastuti. 2015. Penerapan Metode Pembelajaran Kancing Gemerincing Dalam Meningkatkan
Hasil Belajar IPS Siswa kelas VII-3 MTs Negeri Tanggerang II Pamulang. Skripsi
diterbitkan. Jakarta: Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Islam
Negeri Syarif. FITK UIN Syarif Hidayatullah.(Online). Tersedia pada:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29706/1/FUJI%20HASTUTI-
FITK.pdf. Diakses pada tanggal 14 April 2017
Hake, R.R.. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. (online):
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf, Diakses tanggal 13
Februari 2015.
Hartono, R. 2014. Ragam Model Mengajar Yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: DIVA Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema “Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0”. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 445
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Huda, M. 2011. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran (cetakan ke III). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Huda, M. 2015. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur Dan Model Penerapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isjoni, 2007. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfceta Cv
Lie, A. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
Nurulwati. 2000. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifistik. (online).
(http://www.slidshare.net/210389/restu-kurikulum)). diakses pada tanggal 7 Januari 2015.
Purwanto. 2008. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Purwanto. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Rahmawati, S. 2011. Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa dan kerjasama siswa Kelas VII C
SMPN 10 Mataram Pada Mata Pelajaran PKn dengan Pendekatan Cooperative Learning
tipe Jigsaw. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram: Program Studi S1 Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Fajar Interpratam Offset.
Sardirman. 2011. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipto.
Slavin, Robert. E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sudjana, Nana. 2005. Metode dan Tehnik Pembelajaran Partisipasi. Bandung: Falah Production.
Sudjana, Nana. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung: ALFABETA.
Sugiyono. 2014. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukerta, I. M. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Konstektual Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau
dari Sikap Demokrasi Pada Para Siswa Kelas X di SMA Negeri 1 Petang. (online).
(http//pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/jurnal_ap/article/download/431/223). Diakses
pada tanggal 2 Desember 2014.
Suryabarata, Sumadi. 2014. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. rajagrafindo Persada.
Sutikno, S. 2013. Belajar Dan Pembelajaran “Upaya Kreatif Dalam Mewujudkan Pembelajaran
Yang Berhasil”. Lombok: Holistica.
Zulfitri, Gimin, Sri Erlinda. 2013. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Kancing Gemerincing Terhadap Minat Belajar PKn Siswa Kelas VII Di SMPN Satu Atap
Pauh Angit Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Sangingi. Skripsi diterbitkan. Riau:
Program Studi PKn Universitas Riau. FITK UIN Syarif Hidayatullah.(Online). Tersedia
pada:
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4795/ZULFITRI.pdf?sequenc
e=1&isAllowed=y. diakses pada tanggal 14 April 2017
Zulkarnain, 2015. Pengaruh Penerapan Model Discovery Learning Tehadap Prestasi Belajar siswa
SMAN 1 Gunung Sari Pada Mata Pelajaran PPKn. Skripsi tidak diterbitkan. Mataram:
Program Studi S1 Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Mataram.
Top Related