8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
1/25
1
Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT ke PEA
Mita Yesyca
Isu tentang Tenaga Kerja Wanita-Pekerja Rumah Tangga (TKW-PRT) selalu hangat
dibicarakan berbagai kalangan. Isu ini seringkali mengundang keprihatinan oleh
karena begitu banyak masalah, kait-mengkait, di bawah payung besarnya. Hampir
selalu isu-isu tersebut menempatkan perempuan sebagai pihak yang kalah. Berbagai
kajian sosial-politik kemudian lahir untuk menggagas isu tersebut lewat beragam
perspektif, tak terkecuali dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Tulisan ini
berusaha memperlihatkan bahwa kajian ilmu HI tidaklah jauh dari pengalaman
personal perseorangan; yakni bagaimana kedua kutub yang tampak berjauhan itu,
personal dan internasional/global, sangat terkait erat satu sama lain, lebih dari yang
disadari oleh aktor-aktor di dalamnya.
Gambar 1.1 Salah satu poster kampanye untuk KonvensiPekerja Domestik Organisasi Pekerja Internasional 2011.1
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
2/25
2
Tradisi teori migrasi internasional selama ini bertumpu pada pendekatan ekonomi
neoklasik, yakni model push-pull factors. Model ini berusaha menjelaskan penelaahan
tenaga kerja sebagai kapital manusia yang netral gender. Akibatnya, model ini tidak
dapat melihat wajah perempuan pada fenomena migrasi pekerja domestik migran
internasional. Sementara, aliran migrasi perempuan pekerja domestik internasional
secara nyata memiliki arah dan aktor yang spesifik. Di sinilah perspektif gender
berperan penting mengupas struktur dalam sistem ekonomi politik internasional
sehingga kekhasan aliran migrasi perempuan pekerja domestik internasional dapat
mengemuka, dan dengan demikian dapat diperlihatkan bahwa ia tidak secara bebas
terbentuk. Menggunakan perspektif gender akan mampu membuka dominasi
maskulin yang menempatkan perempuan pada posisi kelas pekerja terbawah.
Selain itu, model push-pull factors memahami pertimbangan migran untuk
melakukan perpindahan sementara berdasar pada pertimbangan keuntungan yang
lebih besar di negara tujuan daripada di negara sendiri, di mana keputusan
berpindah para migran diterima sebagai langkah pasif yang mengikuti faktor-faktor
eksternal di daerah asal maupun tujuannya. Asumsinya, keuntungan yang didapat
pekerja akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan pekerjanya. Model ini pun
akhirnya tidak dapat melihat the blind side dalam fenomena migrasi perempuan
pekerja domestik internasional, yaitu bahwa keputusan berpindah mereka
cenderung irasional. Sebab, di samping mengejar keuntungan, para perempuan
pekerja domestik ini harus siap menghadapi besarnya risiko “pilihan” pekerjaan
mereka, baik di negara tujuan maupun di negara asal. Push-pull factors tidak dapat
menjelaskan terus terpeliharanya, bahkan cenderung semakin derasnya arus migrasi
internasional yang khas tersebut, di tengah maraknya isu negatif tentang TKW-PRT.
Dengan memasukkan fenomena migrasi perempuan pekerja domestik internasional
ke dalam konteks struktur kapitalisme global, ketidakbebasan aliran migrasi ini pun
dapat lebih mudah terbaca.
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
3/25
3
Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT ke Persatuan Emirat Arab (PEA)
Ketidakbebasan aliran migrasi pekerja domestik internasional menjadi nyata dalam
migrasi TKW-PRT ke PEA selama ini. Tenaga kerja yang dikirim oleh Indonesia ke
PEA selama ini ditengarai sebagian besar didominasi oleh para perempuan yang
tidak memiliki keterampilan yang memadai, dalam artian bahwa tenaga kerja
tersebut tidak memiliki keahlian atau keterampilan khusus, tetapi hanya
mengandalkan kemampuan fisik semata dalam melaksanakan pekerjaan. Para
pekerja tanpa keterampilan khusus inilah yang cenderung merespon lapangan kerja
informal yang tersedia; yakni jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan
yang tetap, tidak terdapat keamanan kerja ( job security), tidak ada status permanen
atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaganya tidak berbadan hukum.2
Berikut adalah grafik total TKI di PEA tahun 2004-2007.
2004 2005 2006 2007
94 93 302 137839 17 32 1310 8 92 13105504
2225826675
Laki-laki terampil Perempuan terampil
Laki-laki tidak terampil Perempuan tidak terampil
Grafik 1.1 Jumlah Total TKI di Persatuan Emirat Arab Berdasarkan Kategori
Pekerjaan dan Jenis Kelamin (2004-2007)3
Gerakan perpindahan tenaga kerja ke salah satu negara terkaya di dunia itu
memiliki pola yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, apalagi semenjak
berlakunya moratorium Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi per 1 Agustus 2011.
PEA lantas secara otomatis menggantikan posisi Arab Saudi sebagai negara tujuan
terbesar pertama di kawasan Timur Tengah bagi para pekerja domestik migran asal
Indonesia. Padahal, isu negatif mengenai TKW-PRT di PEA yang mengalir di
masyarakat selama ini tak kalah deras dengan isu-isu negatif mengenai TKW-PRT di
Arab Saudi. Di tingkat internasional, besaran upah yang tidak sebanding dengan
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
4/25
4
jumlah jam kerja serta tingginya kasus kekerasan (fisik, seksual, dan verbal) yang
dialami oleh perempuan pekerja domestik migran menjadi sorotan Organisasi
Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) ketika
mengidentifikasi sejumlah isu penting mengenai pekerja migran di Timur Tengah,
tak terkecuali di PEA, pada tahun 2004.4
Laporan lain yang bersumber dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di
Abu Dhabi juga menyebutkan hal serupa. Ini berarti, enam tahun semenjak laporan
ILO memberikan identifikasi atas isu-isu yang dialami oleh para pekerja migran di
Timur Tengah, laporan dari KBRI Abu Dhabi pada tahun 2010 lagi-lagi menegaskan
situasi berisiko yang dihadapi oleh para pekerja migran di PEA; spesifiknya oleh
para pekerja migran asal Indonesia. Permasalahan yang paling menonjol dan sering
dialami oleh para TKI di sana antara lain adalah menjalani hukuman tahanan dan
meninggal dunia; oleh karena kasus gaji yang tidak dibayar sesuai perjanjian, tidak
tahan dengan beban kerja yang diberikan, penganiayaan, pemerkosaan, penipuan
oleh agen, pencurian, dan permasalahan sosial lainnya.5 Tahun 2013 ini, berita
terbaru dari PEA menyebutkan bahwa seorang TKI asal Indramayu mendapat
siksaan dari agensi penyalur tenaga kerjanya oleh karena ia dianggap telah
merugikan agensi. Ia tidak diberi makan selama dua bulan, gajinya habis untuk
biaya perawatan dan makan, sementara agensi tidak mengizinkan apalagi
membayarinya tiket pulang ke Indonesia.6 Segenap permasalahan tersebut
mengindikasikan perlunya kacamata yang pas dalam menangkap dan menjelaskan
fenomena migrasi pekerja domestik internasional.
Kacamata Feminis
Untuk mengupas ketidakbebasan aliran migrasi TKW-PRT ke PEA, studi feminis di
dalam melihat fenomena pekerja menjadi penting. Berangkat dari globalisme
sebagai salah satu perspektif yang dominan di dalam kajian ilmu Hubungan
Internasional selain realisme dan liberalisme, perspektif feminis yang digunakan
untuk menelaah peningkatan arus migrasi TKW-PRT ke PEA ini merupakan kritik
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
5/25
5
feminis dalam memandang sub-perspektif ekonomi politik internasional dari
globalisme tersebut.7 Sifat ekonomi yang disorot dalam ekonomi politik
internasional ialah pasar-sentris (market-centric). Artinya, peran pasar menjadi
dominan; berbeda dengan dua sub-perspektif lainnya dalam globalisme, yakni
ekonomi nasionalisme dan ekonomi marxisme, yang masih menekankan peran
negara sebagai sesuatu yang sentral.
Dalam pemahaman ekonomi politik internasional, kondisi dunia adalah seperti
pasar kapitalis. Anggapan tersebut berdasar pada pertumbuhan industri di tiap-tiap
negara. Di level domestik, kondisi pabrik-pabrik yang dikuasai laki-laki
menyebabkan posisi perempuan tertindas secara ekonomi. Feminis melihat bahwa
dalam paham kapitalisme keuntungan hanya bisa diraih oleh aktor yang rasional,
sementara di dalam masyarakat laki-laki-lah yang berada pada sektor publik dan
mereka ini yang dianggap sebagai aktor rasional. Dengan demikian, perempuan pun
secara perlahan-lahan ‘menghilang’ dari sistem kapitalisme. Rasionalitas menjadi
sebuah ciri maskulin. Dan sekalipun terdapat aktor perempuan yang bekerja, upah
pekerjaan mereka pastilah berada di bawah tingkat upah pekerjaan laki-laki.
Feminis secara spesifik menyorot kepada relasi yang timpang antara laki-laki dan
perempuan di dalam sistem kapitalisme.
Gambar 1.2 Kartun yang menunjukkan bagaimana
pekerjaan tergenderisasi8
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
6/25
6
Pada level internasional, kapitalisme mempertahankan pesebaran kapital pada
negara-negara tertentu dan dengan demikian terdapat kesenjangan ekonomi di
antara negara-negara. Relasi ekonomi yang timpang antara negara pusat dan
pinggiran akan terus berlangsung.9 Akibatnya di level mikro, ketimpangan relasi
kuasa ekonomi antara laki-laki dan perempuan pun terus terpelihara. Oleh karena
laki-laki dipandang sebagai aktor rasional sedangkan perempuan tidak, maka
perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam sistem kapitalisme.
Hirarki laki-laki negara pusat – perempuan negara pusat – laki-laki negara
pinggiran – perempuan negara pinggiran selalu menyebabkan perempuan dari
negara-negara pinggiran sebagai aktor yang kalah di dalam sistem kapitalisme
global.
Gambar 1.3 Salah satu poster kampanye perlindungan bagiperempuan pekerja domestik di Amerika Serikat.10
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
7/25
7
Telaah Puncak Gunung Es: Perempuan Pekerja Domestik Migran di Global Cities
Dalam tulisan Saskia Sassen, seorang Profesor Sosiologi di Columbia University,
Global Cities and Survival Circuits11 dijelaskan adanya keterkaitan yang signifikan
antara globalisasi ekonomi dan migrasi perempuan—satu hal yang jarang disorot
dalam narasi-narasi tentang globalisasi. Menurut Sassen, terus berkembangnya
beragam aktivitas yang terimplikasi dalam pengaturan dan penyelarasan ekonomi
global telah mensyaratkan kebutuhan akan tenaga-tenaga profesional yang dibayar
tinggi. Yang penting untuk dicermati kemudian; baik dari sektor perusahaan-
perusahaan maupun gaya hidup para pekerja profesionalnya, telah nyata
memunculkan permintaan akan tenaga-tenaga kerja di bidang jasa yang dibayar
rendah. Di berbagai kota di mana fungsi-fungsi penting dan sumber daya ekonomi
global terpusat—apa yang disebut Sassen sebagai global cities—menjadi tempat di
mana sejumlah besar pekerja-pekerja perempuan dan imigran berupah rendah
dimasukkan atau dipersatukan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis.
Keberadaan lapangan kerja berbasis jasa berupah rendah, salah satunya lapangan
kerja sebagai petugas kebersihan misalnya, merupakan contoh proses penyatuan
secara langsung. Sedangkan lapangan-lapangan kerja lainnya muncul sebagai
bentuk proses penyatuan yang relatif tidak terjadi secara langsung, yakni yang
muncul melalui praktik konsumsi para profesional berpendapatan tinggi, mereka
yang mempekerjakan pelayan dan pengasuh berupah rendah dalam rumah tangga
mereka. Inilah pola-pola baru yang terdapat di dalam globalisasi ekonomi; di mana
lapangan-lapangan kerja, dan pada gilirannya sebuah kelas pekerja yang terisolasi,
terpencar, dan secara efektif tidak kasatmata ini, telah diproduksi.12
Studi literatur mengenai ekonomi PEA secara persis menunjukkan fenomena dalam
globalisasi ekonomi yang dimaksud oleh Sassen. PEA (Emirat Abu Dhabi lebih
tepatnya pada saat itu) masuk ke dalam Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) tahun 1962, bersamaan dengan saat ekspor minyak mentahnya
yang pertama13. Kenaikan harga minyak di tahun 1970-an mendorong pemimpin
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
8/25
8
Abu Dhabi sekaligus presiden PEA yang pertama, Syekh Zayed bin Sultan al
Nahyan, untuk membasiskan perekonomiannya pada produksi minyak. Dengan ini
PEA, seperti juga negara Timur Tengah lainnya, bertransformasi menjadi sebuah
negara yang ekonominya bergantung dari penjualan minyak.14 Dalam waktu
singkat, minyak menjadikan PEA sebagai negara termakmur di dunia pada tahun
1980, dengan produk nasional bruto yang bahkan mendekati jumlah 100.000 Dolar
AS per warga negara.15 Produksi minyak menjadi industri terpenting di sana, meski
kemudian—untuk mengurangi kebergantungan pada minyak dan gas alam—
pemerintah PEA memanfaatkan pendapatan dari ekspor minyaknya untuk
mendanai infrastruktur bagi sektor ekonomi non-migas, seperti pembangunan
Pelabuhan Rashin dan Jebel Ali berikut kawasan industrinya di Emirat Dubai.
Keberhasilan pemerintah PEA dengan kebijakan diversifikasi ekonomi menjadikan
tren pembangunan PEA sebagai outlier di antara negara-negara teluk lainnya. Dalam
jangka waktu singkat, PEA tradisional telah berubah menjadi negara dengan
masyarakat yang maju dan berkembang beserta segala layanan sosial yang tersedia
bagi gaya hidup masyarakat berstandar tinggi yang nyaman dan makmur.
Di sisi lain, ekspansi ekonomi juga membuka tren imigrasi pekerja ke PEA. Data
yang unik mengenai kependudukan di PEA pada tahun 2007 adalah bahwa orang
Emirati sendiri hanya menyusun sekitar 20% dari total populasi penduduk,
sementara 60%-nya diisi oleh pekerja migran yang berasal dari Asia Selatan dan
Tenggara, sementara sisanya lagi disusun secara signifikan oleh orang-orang Arab
lainnya seperti orang Palestina, Yordania, Aman, Yaman, Mesir.16 Standar hidup
yang meningkat seiring dengan standar gaji pekerja di sana yang tinggi17
mendorong terciptanya kebutuhan akan pekerja domestik dalam keluarga yang
makmur.18 Selain itu, kebijakan pemerintah sejak tahun 1970 untuk memasukkan
perempuan ke dalam angkatan kerja semakin membuka peluang kerja di sektor
domestik.19 Siapakah yang mengisinya? Studi yang dilakukan Rima Sabban dengan
data yang kaya dari periode yang berbeda di tahun 1995 dan 2001 menemukan
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
9/25
9
bahwa pekerja domestik di PEA mayoritas berasal dari berbagai daerah di Asia
Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.20
Pada tahun 2010, sebanyak 85% dari 87.000 orang Warga Negara Indonesia (WNI) di
PEA adalah TKI informal yang bekerja sebagai PRT.21 Kemiskinan dan kolaps-nya
pembangunan ekonomi domestik Indonesia akibat krisis finansial 1997 menjadi
faktor pendorong untuk bermigrasi. Dengan banyaknya tenaga kerja yang
kehilangan pekerjaannya, tingkat inflasi yang tinggi, harga-harga kebutuhan pokok
yang naik, serta terbatasnya lapangan kerja yang tersisa pascakrisis finansial
tersebut maka semakin banyak tenaga kerja yang memilih untuk berangkat ke luar
negeri untuk mencari peluang kerja dengan tingkat upah yang lebih tinggi daripada
di dalam negeri. Menurunnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan
meningkatnya persentase kemiskinan absolut penduduk pascakrisis 199722 semakin
memicu para tenaga kerja Indonesia ini untuk mengisi lapangan-lapangan kerja
rendahan yang tersedia di negara-negara makmur seperti di PEA. Lantas, mengapa
migrasi pekerja domestik ini berwajah perempuan?
Untuk menjelaskan dimensi internal yang melatari pemosisian perempuan sebagai
aktor pekerja domestik migran, wawancara dilakukan kepada tiga orang mantan
TKW-PRT yang pernah bekerja di PEA. Kepada tiga orang tersebut, ditanyakan apa
saja yang menjadi persepsi dan motivasi mereka untuk berangkat kerja, bagaimana
kondisi kerja mereka di sana, serta masalah-masalah apa yang mereka hadapi dalam
kapasitas mereka sebagai perempuan dan pekerja, khususnya sebagai TKW-PRT.
Temuan dari hasil wawancara ini, selain menunjukkan kompleksitas situasi yang
dihadapi oleh para TKW-PRT di sepanjang proses berpindah untuk bekerja, juga
membukakan pemahaman akan masuknya perempuan ke dalam sektor kerja
domestik yang secara nyata tergenderisasi.
Dari kisah para TKW-PRT tersebut, peran sosial perempuan dalam keluarga yang
terefleksi adalah untuk memelihara keluarganya. Peran sosial ini kemudian
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
10/25
10
melahirkan beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara
bekerja di luar rumah ketika mereka menyadari bahwa pekerjaan suami mereka
tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perempuan diharapkan
untuk lebih tidak memikirkan diri sendiri daripada laki-laki dan untuk melayani
keluarganya sebagai prioritas. Di sisi lain, terbatasnya keterampilan perempuan
yang bernilai ekonomi tinggi membuatnya bergantung pada kerja-kerja yang tidak
bernilai ekonomi tinggi pula. Dan pilihan mereka jatuh pada sektor kerja domestik,
yang dianggap alami sebagai ‘makanan’ mereka sehari-hari.
Selain tidak bernilai ekonomis tinggi, sektor kerja informal sebagai pekerja domestik
sangatlah rentan terhadap pelanggaran. Pengakuan salah seorang narasumber
bahwa ia tidak merasa takut saat berangkat dengan keyakinan bahwa masalah
majikan yang baik atau tidak baik di PEA adalah ‘soal nasib’, menyiratkan bahwa
mereka sejak awal telah mengetahui risiko bekerja sebagai TKW-PRT. Namun
demikian, peran sosial mereka di dalam keluarga telah mendesak mereka untuk
memosisikan diri sebagai aktor yang paling tepat untuk menjawab permintaan akan
pekerja domestik migran di luar negeri.
Kaki Gunung Es: Perkembangan Kapitalisme Global
Kekhasan tingginya aliran migrasi TKW-PRT ke PEA akan lebih jelas terbaca ketika
ia diletakkan dalam konteks perkembangan kapitalisme global. Secara singkat,
kapitalisme dipahami sebagai sebuah proses produksi yang mencakup perdagangan
melalui mekanisme pasar, komodifikasi tenaga kerja, dan kepemilikan alat-alat
produksi oleh swasta. Sebagai sebuah sistem yang berlaku secara global, kapitalisme
mengalami perkembangan. Salah satu titik penting perkembangan kapitalisme yang
menjadi pintu masuk bagi globalisasi ekonomi dan juga masuknya perempuan
sebagai angkatan kerja (dan pada gilirannya berdampak pada munculnya peluang
kerja sektor domestik) adalah krisis pada sistem kapitalisme (Fordis) di tahun 1970-
an.23
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
11/25
11
Di awal 1970-an, kejenuhan pasar terutama di negara-negara industri, tak dapat
dielakkan dari proses produksi dan konsumsi massal yang menjadi ciri produksi era
sebelumnya. Sebenarnya dalam hal ini bukan berarti hampir setiap orang dapat
mempunyai semua barang-barang konsumsi yang diinginkannya; melainkan
kekuatan belanja para konsumen telah mencapai batasnya. Diperlukan pasar lain
sehingga kelebihan produksi ini dapat tetap mengalir, dan di sinilah globalisasi
ekonomi yang dicirikan dengan keterbukaan pasar menjadi sebuah pasar global
menjadi jawaban atas krisis. Negara-negara ‘Dunia Ketiga’ kemudian berperan lebih
dari sekedar penyedia bahan baku produksi, tetapi juga sebagai pasar bagi produk-
produk yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Aliran modal yang menjadi
semakin bebas, di sisi lain, telah memaksa tumbuhnya industrialisasi di kawasan
periferi sehingga kemudian dikenal negara-negara industri baru.
Perkembangan kapitalisme global bersifat spasial, pengaruh krisis kapitalisme ini
berbeda-beda di setiap negara yang kenampakannya dapat terlihat dari tingkat
pembangunan ekonominya: struktur negara pusat – semi pinggiran – pinggiran.
Derasnya arus migrasi perempuan pekerja domestik migran asal Indonesia ke PEA
dapat dipahami dari perbedaan moda akumulasi kapital yang berlangsung di kedua
negara. Apa yang berkembang di PEA dapat dimasukkan ke dalam kategori yang
disebut oleh Alain Lipietz sebagai Fordisme periferal.24 Fordisme periferal,
menurutnya, merupakan akumulasi kapital berbasis pada akumulasi intensif seperti
pada rezim akumulasi Fordis di negara-negara maju; tetapi bedanya, ia bersifat
periferal. Artinya, dalam sirkuit produksi global sebagian besar tenaga kerja
terampil masih berasal dari luar negara tersebut. Sementara di sisi lain, muncul pula
sektor kerja tidak terampil, yakni lapangan kerja rendahan yang diisi oleh imigran
seiring dengan meningkatnya standar hidup dan tingkat pendapatan di sana.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, dampak restrukturisasi kapitalisme global
menghasilkan moda akumulasi primitif. Tumpuan akumulasi kapital ada pada
tingkat eksploitasi yang tinggi terhadap tenaga kerjanya. Hal ini dapat dilihat pada
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
12/25
12
kebijakan yang ditujukan kepada sumber daya manusia produktif Indonesia.
Melalui berbagai program dan institusi pelatihan Tenaga Kerja Indonesia,
Pemerintah justru menyediakan mekanisme institusional untuk menjamin praktik
kerja eksploitatif terhadap perempuan dengan masuknya perempuan ke dalam
sektor kerja domestik yang muncul sebagai salah satu pembagian kerja internasional
baru.25
Pembangunan tak berimbang antara PEA dan Indonesia, yang menjadi faktor
penarik dan pendorong migrasi tenaga kerja di antara kedua negara, pada konteks
perkembangan kapitalisme global adalah sesuatu yang memang diperlukan bagi
berjalannya rezim akumulasi kapital di tingkat global. Perkembangan yang spasial
ini tidaklah terpisah satu sama lain; justru yang satu diperlukan bagi yang lain agar
moda akumulasi kapital dapat terus berjalan di tingkat global. Sebab, hukum umum
yang berlaku pada akumulasi kapital ialah munculnya pemusatan kekayaan dan
modal (bagi kapitalis), di satu sisi, dan kemiskinan serta penindasan (bagi pekerja)
di sisi lain, secara serempak (‘the simultaneous emergence of concentrations of wealth and
capital (for capitalists), on the one hand, and poverty and oppression (for workers), on the
other ’).26
Arti dari pernyataan Marx di atas ialah bahwa rezim akumulasi kapital selalu
mensyaratkan adanya ketimpangan, bahkan di antara negara-negara. Inilah yang
membedakan pendekatan ekonomi Marxis dengan pendekatan neoklasik. Dalam
pendekatan neoklasik, kompetisi dan perpindahan aliran modal adalah
penyeimbang yang akan mempersempit perbedaan di antara perusahaan-
perusahaan, wilayah, dan juga negara. Akan tetapi konsep pembangunan tidak
berimbang (uneven development) mengisyaratkan kebalikannya, di mana kompetisi
dan perpindahan aliran modal akan selalu menghasilkan kesenjangan yang menjadi
basis eksploitasi dalam akumulasi kapital. Sehingga, kesenjangan pembangunan
antarnegara yang ada hingga saat ini merupakan sesuatu yang wajar dalam rezim
akumulasi kapital global karena justru kesenjangan ini yang akan dimanfaatkan bagi
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
13/25
13
terus berjalannya rezim ini. Ini berarti pula, struktur hirarkis terkait relasi kuasa
ekonomi di antara kedua negara, dan juga di antara laki-laki dan perempuan dari
kedua negara, akan terus terpelihara lewat rezim akumulasi kapital.
Ketika pembangunan ekonomi di PEA telah relatif lebih maju dibandingkan di
Indonesia, maka sektor-sektor kerja rendahan dan tak kasatmata bukan berarti
menghilang, melainkan mereka ‘dilimpahkan’ kepada para pekerja dari negara lain
yang karakter akumulasi kapitalnya lebih primitif, sehingga para pekerja ini
bersedia melakukan sektor kerja rendahan, yang paling rentan akan eksploitasi,
namun dengan upah yang sangat rendah. Tetapi, pembangunan yang tidak
berimbang telah mengkondisikan upah pekerja rendahan di negara-negara pusat
tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja yang tersedia di negara-
negara pinggiran. Hal inilah yang umumnya menjadi motif ekonomi para pekerja
migran dari negara periferi ke negara pusat. Di titik ini dapat dipahami bahwa
bukan saja rasionalitas yang mendasari motivasi migrasi tenaga kerja internasional
secara umum, melainkan terdapat konteks yang lebih besar yang menyebabkan
sebuah faktor pendorong menjadi ‘pendorong’ keputusan bermigrasi, dan faktor
penarik, menjadi ‘penarik’ keputusan bermigrasi. Keseluruhan faktor di atas jika
dipetakan ke dalam grafik akan menjadi seperti ini:
Gambar 1.4 Faktor-faktor Pembentuk Spesifisitas
Aliran Migrasi TKW-PRT27
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
14/25
14
Konsekuensi Hirarki Kuasa Ekonomi yang Tergenderisasi: Penindasan Berlapis
pada Perempuan Pekerja Domestik Migran Internasional
Setelah melihat apa yang terjadi di level makro, penelaahan perlu dilakukan padalevel mikro. Sebagaimana proyek feminis adalah proyek emansipatori yang
berpihak dan bertujuan kepada perbaikan kondisi perempuan, maka kondisi-
kondisi yang ingin diperbaiki pun harus jelas terlebih dulu. Ketika relasi ekonomi
yang timpang antara negara pusat dan pinggiran terus berlangsung demi
berlangsungnya akumulasi kapital di tingkat global, bersamaan dengan itu di level
mikro terjadi ketimpangan relasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang juga
terus terpelihara. Oleh karena laki-laki dipandang sebagai aktor rasional sedangkan
perempuan tidak, maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan
dalam sistem kapitalisme. Hirarki laki-laki negara pusat – perempuan negara pusat
– laki-laki negara pinggiran – perempuan negara pinggiran selalu menyebabkan
perempuan dari negara-negara pinggiran sebagai aktor yang kalah di dalam sistem
kapitalisme global.
Perempuan pekerja domestik yang berasal dari negara periferi dengan demikian
mengalami eksploitasi yang jauh lebih berat dibandingkan laki-laki/perempuan di
negara pusat dan laki-laki di negara pinggiran. Mereka menerima upah kerja yang
jauh lebih rendah dan karena bias gender yang melekat dalam sistem ekonomi
global pula (yang dalam hal ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh kapitalisme
untuk memelihara akumulasi kapitalnya), mereka menjadi aktor yang tepat mengisi
peluang kerja domestik dengan intensitas kerja yang jauh lebih besar daripada
sektor kerja formal umumnya (di mana jam kerja domestik tidak tentu, mereka
bekerja sewaktu-waktu setiap saat majikan memerlukan mereka). Dan dengan
demikian, mereka sekaligus menjadi aktor yang paling rentan mengalami
ketidakadilan dan eksploitasi di dalam sistem ini.
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
15/25
15
Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang menjadi basis eksploitasi terhadap
perempuan pekerja domestik migran di PEA. Hal ini dapat dilihat dari spesifisitas
perempuan tertentu yang banyak diminati sebagai pekerja domestik migran di sana.
Dari data yang didapat selama wawancara, ditemukan adanya struktur hirarkis lain
yang berlaku pada sektor pekerjaan informal-rendahan ini. Perempuan Indonesia
dan Filipina merupakan dua karakter perempuan yang lebih diminati dan
mendapatkan upah yang lebih tinggi pula di PEA dibandingkan perempuan pekerja
domestik asal negara-negara Asia Selatan seperti India dan Srilanka, serta Ethiopia.
Para pekerja asal Asia Selatan dan Afrika tersebut cenderung mengisi pembagian
kerja domestik seperti mengurus rumah (mencuci, mengepel, menyetrika);
sedangkan pekerja asal Indonesia dan Filipina menurut paparan narasumber,
cenderung mengisi bagian kerja domestik yang lebih membutuhkan keterampilan
seperti memasak, mengasuh anak, dan relatif lebih sedikit bertumpu pada tenaga
pekerja dibandingkan kerja-kerja mengurus rumah. Selain itu, menurut salah satu
narasumber pula ketimpangan dalam pendapatan tersebut juga telah umum
diketahui di sana, di antara para pekerja itu sendiri, sehingga rekan kerja
domestiknya yang berasal dari Ethiopia memilih untuk berhenti bekerja pada pukul
sepuluh atau setengah sepuluh malam sementara ia terkadang baru tidur pada
pukul setengah satu dini hari untuk melakukan pekerjaan yang diminta oleh
majikannya.
Jika melihat pada alasan pembagian kerja oleh majikan terhadap para PRT di
rumahnya, terlihat bahwa eksploitasi terhadap perempuan pekerja domestik ini
bersinggungan dengan praktik diskriminasi dan pemberian stereotip berbasiskan
ras, bangsa, dan budaya. Di mana, misalnya, orang India cenderung dihindari
karena ‘berbau’, serta beberapa stereotip seperti jorok dan kotor yang melekat pada
orang Ethiopia semata-mata karena mereka berkulit hitam; sehingga majikan pun
tidak mau mengambil orang India untuk bekerja di dapurnya ataupun orang
Ethiopia untuk mengasuh anaknya. Menjadi nyata bahwa di dalam sektor kerja
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
16/25
16
rendahan sekalipun, terdapat bentuk penindasan lain terhadap perempuan selain
penindasan berbasis ekonomi berupa eksploitasi atas tenaga kerja mereka.
Implikasi bagi TKW-PRT
Sampai di sini terlihat bahwa pembagian sektor kerja dalam kapitalisme pasca-
Fordis telah mengakibatkan masuknya beragam perempuan ke dalam lapangan
kerja rendahan di negara-negara pusat. Mereka yang pada umumnya berasal dari
negara-negara berkembang atau tergolong periferi, dengan segala stereotip terhadap
diri mereka yang dapat memperburuk praktik eksploitasi/pelanggaran/
ketidakadilan terhadap diri mereka selama bekerja. Ada beberapa implikasi penting
yang dapat ditarik, terkait memahami posisi TKW-PRT dalam pusaran akumulasi
kapital global.
Pertama, ini berarti bahwa kapitalisme telah melanggengkan dan cenderung
memanfaatkan relasi kuasa antara gender laki-laki dan perempuan dalam suatu
masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Identitas gender yang dieksploitasi
di dalam sistem kapitalisme global tampak nyata dalam tuturan kisah mantan TKW-
PRT di PEA. Konstruksi sosial peran perempuan atau gender yang ada menuntut
perempuan/ibu di dalam keluarga agar menjadi pelayan dalam keluarga, sekaligus
sebagai pencari nafkah ketika laki-laki tidak dapat memenuhi perannya sebagai
pencari nafkah. Hal ini mendorong perempuan keluar dari ranah domestik dan
masuk ke sektor publik. Perempuan dituntut untuk memprioritaskan keluarganya
dan mengambil risiko bekerja di sektor ekonomi domestik ketika laki-laki/ayah
tidak dapat memenuhi peran sosial dalam keluarganya sebagai pencari nafkah.
Namun, mengingat terbatasnya keterampilan perempuan yang bernilai ekonomi
tinggi, sektor-sektor kerja yang dimasuki perempuan pun terbatas pada sektor kerja
yang juga tidak bernilai ekonomi tinggi. Salah satunya sektor kerja domestik yang
lahir dari pembagian kerja internasional yang baru berbasis pada gender, dengan
segala risikonya.
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
17/25
17
Kedua, memahami posisi TKW-PRT dalam konteks kapitalisme global berangkat
dari pemahaman bahwa transformasi dalam struktur pasar tenaga kerja, termasuk
lahirnya sektor kerja domestik ini, secara paralel disebabkan oleh pergeseran yang
signifikan dalam organisasi industrial kapitalisme pasca-Fordis. Organisasi kerja
yang lebih fleksibel membuka kesempatan bagi bisnis-bisnis skala kecil seperti
peluang kerja domestik, ataupun ekonomi informal lain hingga underground
economies yang mengindikasikan adanya penyatuan antara sistem tenaga kerja
‘dunia ketiga’ dengan sistem tenaga kerja kapitalis yang sudah maju dan
berkembang.28 Inilah yang dikenali melalui fenomena global cities, di mana sejumlah
besar pekerja-pekerja perempuan dan imigran berupah rendah dimasukkan atau
dipersatukan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis—persis di mana sektor-
sektor ekonomi rentan eksploitasi ini dilahirkan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa jejaring informal di sekitar TKW-
PRT secara signifikan memengaruhi keputusan berpindah para aktor migrasi ini.
Jejaring informal menjadi sumber daya vital bagi individu maupun kelompok
migran dalam memperoleh informasi: pengetahuan tentang negara yang dituju,
perilaku dalam mengorganisasi perjalanan, memperoleh pekerjaan, hingga
beradaptasi di lingkungan yang baru. Suami, keluarga, agen, tetangga, dan teman
ikut menentukan persepsi dan motivasi calon TKW-PRT. Hal ini menunjukkan
pentingnya relasi di dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
perempuan.
“..kalau dia ngga berangkat, masa depan, itu generasi yang akan datang,
sepuluh tahun yang akan datang, itu anaknya nanti seperti apa... Yang
positifnya, coba lihat! Kalau dia di sana bernasib baik, majikan baik, dia bisa
setelah dua tahun, kontrak kerja, perpanjang, dia dipulangin sama majikan,
ditawarin ee.. cuti apa langsung pulang. Kalau dengan faktor kebutuhan dia
pasti minta cuti. Dia dua bulan dapet cuti, berangkat lagi. Sampai sekarang
itu, seinget saya, kakak saya dari tahun 2000.. bolak-balik, bolak-balik. Ya
Alhamdulillah itu dari rumahnya gubuk, pake bambu, ada tikernya. Kalau
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
18/25
18
tidur kejepit tangannya, pake bambu, sekarang sudah mempunyai rumah. Ada
sisi baik..” (wawancara dengan karyawan PPTKIS di Condet, 17 Mei
2012).
“Jangan ke Saudi, katanya. Kan pertamanya mau ke Saudi itu ya. Cuma kata
pegawai PT, nggak usah ke Saudi dulu kalau yang non (belum pernah
berangkat). Mendingan ke Abu Dhabi dulu. Kalau yang non kan kebanyakan
ke Oman, ke Abu Dhabi, ke Bahrain. Jadi nggak langsung ke Saudi gitu.
Jarang.” (wawancara dengan mantan TKW-PRT di PEA. Dilakukan di
Gegerbintung, 19 Mei 2012).
Implikasi dari peran jejaring informal ini ialah potensi mereka untuk memanfaatkan
relasinya demi menarik keuntungan dari pilihan berisiko yang diambil oleh TKW-
PRT. Dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi daripada bekerja sebagai buruh
pabrik lokal dan kemudahan prasyarat kerja, jejaring informal di sekitar para TKW-
PRT berhasil membentuk motivasi mereka untuk berangkat—apapun risikonya.
Temuan peran jejaring informal di sekitar para TKW-PRT ini menjadi kunci penting
dalam memahami bagaimana di tingkat mikro, terdapat aparatus29 yang mewujud
dalam jejaring sosial migran pekerja domestik, dan yang memungkinkan arus
migrasi TKW-PRT ke PEA terus terpelihara.
Penutup: Mencari Advokasi dan Kebijakan yang Mampu Menyasar Posisi dan
Kondisi TKW-PRT Secara Objektif
Solusi menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja sektor domestik internasionaluntuk mengambil peluang upah pekerjaan yang lebih tinggi di negara lain justru
membuka kenyataan bahwa perempuan pekerja ini tereksploitasi dengan lebih
buruk dibandingkan di dalam negeri. Sebab pemberian pekerjaan ini tidak serta-
merta memberikan pilihan sektor pekerjaan yang lain bagi mereka. Seperti yang
telah diperlihatkan dalam analisis sebelumnya bahwa perempuan dari negara-
negara periferi akan selalu berada pada posisi yang jauh dari akses produksi. Hal ini
bukan sesuatu yang tak wajar dalam sistem kapitalisme.
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
19/25
19
Kesenjangan merupakan basis dari akumulasi kapital. Para TKW-PRT ini berperan
menopang kerja sektor formal yang berkembang dengan sangat baik di PEA.
Perkembangan kapitalisme global yang bersifat spasial menunjukkan
kenampakannya di Indonesia dengan ciri moda akumulasi kapitalnya yang masih
primitif, di mana tingkat eksploitasi pekerja yang berlangsung sangat tinggi dengan
durasi dan intensitas kerja yang lebih padat namun upah kerjanya sangatlah murah.
Pekerjaan informal dalam bentuk ekonomi reproduktif kemudian menjadi salah satu
bentuk keluaran (output) dari akumulasi primitif tersebut. Inilah ketidakbebasan
yang pertama, yang ada di dalam aliran migrasi pekerja domestik internasional.
Ketidakbebasan yang lain nampak ketika tidak semua aktor dapat mengisi sektor
kerja informal/reproduktif tersebut. Sebab terbukti bahwa aliran migrasi pekerja
domestik Indonesia ke PEA berwajah perempuan. Apakah laki-laki tidak dapat
mengisi sektor kerja ini? Mengapa perempuan dari negara-negara tertentu
cenderung lebih diminati dari pada perempuan dari negara lain? Di sinilah praktik
eksploitasi berbasiskan gender tersebut bersinggungan dengan isu identitas lainnya,
dan menggandakan kerentanan, potensi eksploitasi dan ketidakadilan yang dapat
dialami oleh perempuan pekerja domestik sebagai subyek pada posisi terendah
hirarki kuasa ekonomi dalam pembagian kerja internasional ini. Mereka ini adalah
perempuan-perempuan yang disebut oleh Gayatri Spivak sebagai ‘subaltern
subproletariat’, seperti dikutip oleh Liberty L. Chee dalam tulisannya.30
Kerentanan akibat relasi kuasa yang timpang dengan perempuan pekerja domestik
migran sebagai pihak yang paling dirugikan ini telah dimulai jauh sebelum
perempuan-perempuan tersebut berangkat ke negara tujuan (PEA). Tuturan
agen/sponsor, karyawan PPTKIS, serta celetukan anggota-anggota keluarga yang
sempat terdengar selama wawancara menunjukkan adanya relasi kuasa di antara
para perempuan pekerja domestik migran ini dengan jejaring informal di sekitar
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
20/25
20
mereka. Yaitu suatu relasi kuasa yang sangat memengaruhi pemosisian perempuan
tersebut ke dalam posisi-posisi kerja yang rentan.
Para agen/sponsor pada umumnya merupakan orang-orang yang mengenal secara
personal para perempuan pekerja domestik migran tersebut dan juga keluarga
mereka. Agen/sponsor dari daerah kantong-kantong pemasok TKW-PRT ini adalah
aktor-aktor yang dipercaya untuk mengurus keberangkatan hingga penerimaan hasil
kerja (gaji) oleh keluarga mereka di daerah, sementara mereka berada di luar negeri.
Agen/sponsor dan para karyawan PPTKIS dalam potret migrasi TKW-PRT ini
merupakan pihak-pihak yang mendapat kue ekonomi cukup besar dari kegiatan
migrasi tenaga kerja domestik internasional tersebut—satu hal menarik yang jarang
tertangkap media, jika selama ini penggambaran kue ekonomi hasil migrasi TKW-
PRT lebih banyak ditunjukkan dalam bentuk remitansi bagi negara. Mendapatkan
kue ekonomi, namun sedikit di antara mereka yang benar-benar pernah merasakan
pengalaman bekerja di negara-negara tujuan migrasi yang mereka persuasikan;
itulah gambaran yang tertangkap di sepanjang perjalanan penelitian ini mengenai
sosok agen/sponsor, serta karyawan-karyawan PPTKIS, sebagai bagian jejaring
informal yang berperan sangat signifikan dalam memengaruhi keputusan
bermigrasi para perempuan pekerja domestik migran. Sehingga, upaya-upaya
advokasi dan kebijakan yang bertujuan emansipatif wajib pula melibatkan para
jejaring informal tersebut; mereka yang di lapangan berperan penting
melanggengkan hirarki kuasa laki-laki dan perempuan dalam migrasi TKW-PRT
selama ini.
Tuturan TKW-PRT yang menjadi narasumber dalam tulisan ini mengindikasikan
bahwa mereka tidak memahami secara utuh bagaimana profil PEA sebagai negara
tujuan bekerja, bukan pula kemajuan ekonomi PEA yang membuat mereka tertarik
untuk bermigrasi, dan mereka pun tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai
seperti apa pekerjaan yang akan mereka lakukan di sana ketika berangkat (mengutip
kata-kata mereka, “Semua itu adalah nasib”). Namun demikian, mereka tetap
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
21/25
21
mantap melangkah ke PEA atas dasar persepsi yang dibangun oleh jejaring informal
di sekitar mereka; yang tanpa mereka sadari, tengah menikmati kue ekonomi yang
lebih besar, minus kerentanan yang harus mereka terima sebagai “bonus”
keputusan untuk bermigrasi sebagai TKW-PRT ke PEA.
Untuk memastikan potongan kue ekonomi tersebut, kebanyakan dari agen/sponsor
dan para karyawan PPTKIS ini “bertanggung jawab” penuh dalam memastikan para
perempuan pekerja domestik migran itu dapat naik pesawat ke negara tujuan.
Sehingga dapat dipahami ketika suara-suara mereka terkait moratorium pengiriman
TKI ke Arab Saudi yang terdengar selama wawancara, adalah suara-suara berupa
respon yang menyayangkan ‘bagaimana sedikit persentase kejadian negatif yang
menimpa para TKW-PRT di Timur Tengah’ (penekanan tuturan oleh para jejaring
informal), lantas diidentikkan dengan ‘seluruh pengalaman kerja TKW-PRT di sana’
sehingga perlu diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi
untuk sementara waktu. Bagi mereka, sisi positifnya jauh lebih besar daripada sisi
negatif jika pengiriman TKI ke Arab Saudi tetap berjalan hingga hari ini. Mereka
inilah ‘raja-raja kecil’ yang menikmati kue ekonomi hasil eksploitasi kerja terhadap
perempuan-perempuan dari negara periferi seperti Indonesia.
Dari sini dapat ditangkap adanya penindasan berlapis-lapis yang dialami oleh para
TKW-PRT di tengah pusaran ekonomi global yang melibatkan Indonesia dan PEA
sebagai negara asal/pengirim dan negara tujuan/penerima migran pekerja
domestik internasional. Mulai dari penindasan yang kasatmata di negara tujuan,
seperti dituturkan oleh seorang narasumber bahwa paspornya dipegang oleh
majikan, dan baru dikembalikan di saat ia hendak pulang ke Indonesia (yang mana
hal ini tidak dilihatnya sebagai bentuk kerentanan, apalagi penindasan); hingga
kerentanan dan penindasan tidak kasatmata yang dilakukan justru oleh orang-orang
terdekat di sekitar keseharian para TKW-PRT ini. Pemahaman terhadap implikasi
yang sedemikian kompleks di lapangan itulah yang penting untuk dikaji dan
diproses untuk menghasilkan keluaran rekomendasi solusi atau, setidaknya,
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
22/25
22
prasyarat-prasyarat solusi atas kondisi sosial-ekonomi yang tidak berpihak pada
perempuan-perempuan pekerja domestik migran.
Latihan:1. Apakah migrasi pekerja domestik internasional merupakan sesuatu yang
secara alamiah terbentuk? Ataukah ia merupakan sebuah fenomena yang
terbentuk tidak secara bebas? Jelaskan!
2.
Mengapa model push-pull factors dikatakan tidak dapat menangkap kekhasan
aliran migrasi pekerja domestik internasional?
3.
Bagaimana sifat ekonomi dalam perspektif ekonomi-politik internasional? Apa
kritik feminis terhadapnya?
4. Ceritakan apa yang terjadi di dalam kota-kota global ( global cities) sehingga
muncul sektor-sektor kerja baru yang informal?
5. Bagaimana perempuan dari negara pinggiran kemudian secara cerdik
diposisikan sebagai jawaban atas kebutuhan pekerja domestik di pasar
internasional? Apa implikasinya?
6.
Apa proyek emansipatori yang kamu sarankan terkait posisi dan kondisi yang
harus dihadapi oleh perempuan sebagai aktor pekerja domestik migran
internasional?
Daftar Pustaka
Agamben, Giorgio. What is An Apparatus? and other essays. California: Stanford
University Press, 2009.
Al Majaida, Jamal. The Press and Social Change in the UAE (1971-1991). Abu Dhabi:
Zayed Centre for Coordination and Follow Up, 2002.
Bond, Patrick. “What is “uneven development”?”. Diakses 11 Juni 2012,
http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm.
Chee, Liberty L. “The Regulation of Globalising Reproductive Labour Markets.”
Panel 4 , International Graduate Conference, Frankfurt Research Centre for
Postcolonial Studies, 16-18 Juni 2011.
Country Profile: United Arab Emirates. The Library of Congress, Juli 2007.
http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htmhttp://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
23/25
23
DeNicola, Christopher. “Dubai’s Political and Economic Development: An Oasis inthe Desert?” Undergraduate thesis, Williams College, 2005.
Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja danTransmigrasi RI, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi, Pusat
Data dan Informasi Ketenagakerjaan. 2009.Ehrenreich, Barbara dan Arlie Russel Hochschild, ed. Global Women. New York:
Henry Holt & Company, 2002.Esim, Simel dan Monica Smith, ed. Gender and Migration in Arab States: the Case of
Domestic Workers. ILO, 2004. Diakses pada tanggal 28 Januari 2012,
http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf.
Esser, Josef dan Joachim Hirsch. “Post-Fordist Regional and Urban Structure.”
Dalam Post-Fordism: A Reader , ed. Ash Amin. Massachusetts: Blackwell
Publishers, 1994.
Harvey, David. “Theorizing the Transition.” Dalam The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Massachusetts: Blackwell
Publishers, 1989.
Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI AbuDhabi Tahun 2010. Jakarta: Unit Pelayanan Publik, Direktorat Perlindungan
Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kementerian LuarNegeri Republik Indonesia.
Lipietz, Alain. “The post-Fordist world: labour relations, international hierarchy, andglobal ecology.” Review of International Political Economy 4, no. 1 (Spring
1997). Moniaga, Renita. Indonesian Migrant Domestic Workers: A Case Study on Human Rights,
Gender and Migration. The New School Graduate Program in International
Affairs, 2008.Sabban, Rima. Migrant Worker in The United Arab Emirates: The Case of Female Domestic
Workers. GENPROM Working Paper No. 10, Series on Women and
Migration, 2003.
Sassen, Saskia. “Global Cities and Survival Circuits.” Dalam Global Woman, ed.
Barbara Ehrenreich dan Arlie Russel Hochschild. New York: Henry Holt &Company, 2002.
“TKI Indramayu Minta KJRI Dubai Selamatkan 50 TKI.” Diakses pada tanggal 15April 2013, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.html.
Waylen, Georgina. “You still don’t understand: why troubled engagements continuebetween feminists and (critical) IPE.” Review of International Studies 32, no. 1
(Januari 2006): 145-164.Yesyca , Mita. “Peningkatan Arus Migrasi Tenaga Kerja Wanita-Penata Layan
Rumah Tangga (TKW-PLRT) ke Persatuan Emirat Arab: Perspektif Feminis.”Skripsi S1, Universitas Indonesia, 2012.
http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-50-tki.htmlhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdfhttp://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
24/25
24
1 Diakses dari http://domesticworkers.org/2 Dikutip dari Pekerja Sektor Formal/Informal,
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%
2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41
%253Apekerja-sektor- formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&s
ig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rja. Terkait dengan definisi
pemerintah secara resmi, sebenarnya tidak terdapat definisi ‘pekerjaan informal’ yang berlaku secara
nasional di Indonesia hingga saat ini—sebagaimana disebutkan di dalam ILO Country Report for
Indonesia mengenai Perdagangan dan Ketenagakerjaan tahun 2013. Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Badan Pusat Statistik menaksir sektor kerja informal berdasarkan tabulasi silang
antara status kerja dan jenis pekerjaan. Sementara, Kementerian Perindustrian menaksir sektor kerja
informal berdasarkan besarnya modal sebuah perusahaan.3 Diolah dari Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi, Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan,2009. 4 Simel Esim dan Monica Smith, ed., Gender and Migration in Arab States: the Case of Domestic Workers
(ILO, 2004), diakses 28 Januari 2012,
http://www.ilo.org/public/english/region/arpro/beirut/downloads/publ/publ_26_eng.pdf.5 Data diambil dari Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI
Abu Dhabi Tahun 2010, Unit Pelayanan Publik, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 1-2. 6 “TKI Indramayu Minta KJRI Dubai Selamatkan 50 TKI”, diakses 15 April 2013,
http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/8173-tki-indramayu-minta-kjri-dubai-selamatkan-
50-tki.html
7 Georgina Waylen, “You still don’t understand: why troubled engagements continue betweenfeminists and (critical) IPE ,” dalam Review of International Studies 32, no. 1 (2006): 145. 8 Sumber: Pat Racimora. Diakses dari http://www.noquarterusa.net/9 Barbara Ehrenreich dan Arlie Russel Hochschild, ed. Global Woman (New York: Henry Holt &
Company, 2002), 8.10 Diakses dari http://www.domesticworkersunited.org/11 Saskia Sassen, “Global Cities and Survival Circuits,” dalam Global Woman, Op. Cit., 254-274.12 Ibid., 255.13 Jamal Al Majaida, The Press and Social Change in the UAE (1971-1991) (Abu Dhabi: Zayed Centre for
Coordination and Follow Up, 2002), 10.14
Christopher DeNicola, “Dubai’s Political and Economic Development: An Oasis in the Desert?” (Undergraduate thesis, Williams College, 2005), 1.15 Rima Sabban, Migrant Worker in The United Arab Emirates: The Case of Female Domestic Workers,
GENPROM Working Paper No. 10, Series on Women and Migration, 2003, 3.16 Berdasarkan data mengenai demografi dalam Country Profile: United Arab Emirates, The Library of
Congress, Juli 2007. 17 Jamal Al-Majaida, op. cit.., 92.18 Ibid., 46.19 Ibid., 142.20 Rima Sabban, op.cit. 21 Data diambil dari Hasil Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada KBRI
Abu Dhabi Tahun 2010, op.cit., 2.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rjahttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CGkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fmenegpp.go.id%2FV2%2Findex.php%2Fdatadaninformasi%2Fketenagakerjaan%3Fdownload%3D41%253Apekerja-sektor-formalinformal&ei=agO3UYzwD87irAe7w4DABQ&usg=AFQjCNFSqYtBNwxnU5nIRMAu486S1a2yGw&sig2=0ZOz31euUbU0A3MwXFL5zw&bvm=bv.47534661,d.bmk&cad=rja
8/18/2019 Peningkatan Arus Migrasi TKW-PRT Ke PEA
25/25
25
22 Dalam Renita Moniaga, Indonesian Migrant Domestic Workers: A Case Study on Human Rights, Gender
and Migration (The New School Graduate Program in International Affairs, Desember 2008)
disebutkan bahwa pada tahun 1996, tingkat kemiskinan berada pada posisi 11,34% dan selama krisis
jumlah itu meningkat menjadi 24,9% di tahun 1999. Ini berarti, kurang lebih sebanyak 36 juta orang
dimasukkan ke dalam kategori kemiskinan absolut akibat krisis tersebut. Kemiskinan absolut itusendiri didefinisikan sebagai pendapatan per kapita (dalam keseimbangan kemampuan berbelanja
atau paritas daya beli/ purchasing power parity) sebesar 1 Dolar AS per hari.23 Josef Esser dan Joachim Hirsch, “Post-Fordist Regional and Urban Structure,” dalam Ash Amin, ed.
Post-Fordism: A Reader (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1994), 75. 24 Alain Lipietz, “The post-Fordist world: labour relations, international hierarchy, and global
ecology,” dalam Review of International Political Economy 4:1, Spring 1997, 11. 25 Penting untuk diingat bahwa eksploitasi dalam teori kapitalisme Marx menyoroti tidak dibayarnya
keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh pekerja dalam siklus produksi; sementara eksploitasi dalam
teori ekonomi neoklasik berbicara tentang ketidakimbangan antara upah kerja buruh dan tuntutan
produktivitas pekerja. Produktivitas pekerja diterima sebagai kondisi teknis untuk memaksimalkankeuntungan. Asumsinya, keuntungan dari proses produksi berkorelasi positif dengan kesejahteraan
pekerja. Dengan demikian, seperti dikatakan Harry Cleaver dalam “The Inversion of Class
Perspective in Marxian Theory: from Valorization to Self-Valorization,” teori ekonomi neoklasik
menyamarkan sifat antagonisme antara kapitalis dan pekerja, serta basis dominasi kapitalis atas
pekerja dalam kapitalisme, yakni penciptaan nilai lebih oleh pekerja. 26 Patrick Bond, “What is “uneven development”?”, diakses 11 Juni 2012,
http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htm. 27 Skripsi Mita Yesyca , Peningkatan Arus Migrasi Tenaga Kerja Wanita-Penata Layan Rumah Tangga
(TKW-PLRT) ke Persatuan Emirat Arab: Perspektif Feminis, Hubungan Internasional Universitas
Indonesia, 2012.28 David Harvey, “Theorizing the Transition,” The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the
Origins of Cultural Change (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1989), 155.29 Aparatus dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan cara tertentu memiliki kapasitas untuk
menarik, mengeorientasikan, menahan, mencontohkan, mengontrol, dan menjamin gestur, perilaku,
opini, atau diskursus tentang individu. Dalam Giorgio Agamben, What is An Apparatus? and other
essays (California: Stanford University Press, 2009), 1430 Dalam Liberty L. Chee, “The Regulation of Globalising Reproductive Labour Markets,” Panel 4 ,
International Graduate Conference, Frankfurt Research Centre for Postcolonial Studies, 16-18 Juni 2011,
2.
http://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htmhttp://www.marxmail.org/faq/uneven_development.htmTop Related