[77]
PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN KONSTITUSI
YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Oleh:
Laurensius Arliman S
Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang (STIH Padang) dan Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Abstrak Pemerintahan sistem presidensil adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada
diluar pengawasan (langsung) parlemen. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam
relasi eksekutif dan legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial.
Sistem pemerintahan dalam lintasan konstitusi yang berlaku adalah sebanyak 5 kali, hal ini terbagi dari: tiga kali memakai sisten presidensil, satu kali Parlementer Semu (Quasi Parlementer), dan satu
kali memakai sistem presidensil. Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung jawab
menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan presiden yang tidak lagi popular. Pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin
menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan
ketidakcocokan, kemungkinan akan menjatuhkan pemerintah secara inkonstitusional. Besarnya
peluang pergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Akibat multi partai di Indonesia dapat kita
rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat keputusan berkaitan dengan masalah
kehidupan berbangsa dan negara yang strategis. Sebenarnya posisi Presiden sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilih oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan
pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR.
Kata Kunci: Presidensil. Konstitusi, Indonesia.
Abstract A presidential system government is a government in which the executive position is not accountable
to the representative body of the people, in other words the executive power is outside (direct) parliamentary oversight. Not only is presidentialism and a multiparty system a "difficult
combination", it also opens up opportunities for deadlocks in executive and legislative relations which
then impact on the instability of presidential democracy. The government system in the constitutional
trajectory that applies is as much as 5 times, it is divided into: three times using a presidential system, one time Quasi Parliamentary (Quasi Parliamentary), and one time using a presidential system. In a
coalition government, political parties are not responsible for raising the president in the election so
political parties tend to leave the president who is no longer popular. Presidential elections are always there before the eyes so that political parties try as much as possible to keep distance from various
presidential policies, which may be good, but not populist. The reason for the incompatibility, is likely
to bring down the government unconstitutionally. The magnitude of the opportunity for unconstitutional change of government is very relative because in a presidential system it is very
difficult to reduce an elected president. We can feel the multi-party effects in Indonesia, namely the
difficulty of the President to make decisions relating to the problems of national life and strategic
state. Actually the position of the President is very strong because the president is directly elected by the people not elected by the DPR. But in the case of the issuance and ratification of the presidential
legislation the DPR needs support.
Keywords: Presidential. The Constitution, Indonesia.
[78]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berpatokan kepada konstitusi suatu
negara, umumnya digunakan untuk
mengatur dan sekaligus untuk membatasi
kekuasaan negara. Melalui konstitusi, dapat
dilihat sistem pemerintahan, bentuk negara,
sistem kontrol antara kekuasaan negara,
jaminan hak-hak warga negara dan tidak
kalah penting mengenai pembagian
kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan
negara seperti kekuasaan pemerintahan
(eksekutif), kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudisial.1
Perkembangan demokrasi modern
menurut Kranenburg, demokrasi modern
dapat dibagai dalam tiga kelas, tergantung
pada hubungan antara organ-organ
pemerintahan yang mewakili tiga fungsi
yang berbeda.2 Klasifikasi tersebut yaitu: (1)
pemerintahan rakyat melalui perwakilan
dengan sistem parlementer. (2) pemerintahan
rakyat melalui perwakilan dengan sistem
pemisahan kekuasaan. (3) pemerintahan
rakyat melalui perwakilan dengan disertai
pengawasan langsung oleh rakyat.3
Sedangkan Miriam Budiardjo4
membedakan hal di atas, kedalam dua
1 Laurensius Arliman S, Polemik Sistem
Presidensil dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di
Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam seminar
nasional yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Ekasakti bekerjasama dengan
Perhimpunan Hukum Progresif Universitas Ekasakti
pada tanggal 19 November 2019 di Auditorium
Universitas Ekasakti, Padang, Sumatera Barat, hlm. 1. 2 M Taufiqurahman, Peran Perancang
Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan
Produk Hukum Daerah Melalui Executive Preview,
Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.4341. 3 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem
Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Yogyakarta,
1982, hlm. 69. 4 Miriam Budardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm.
301-303
kelompok sistem, yaitu: Sistem parlementer
(parliamentary executive) dan sistem
presidensil dengan fixed executive atau non
parliamentary executive.
Pemerintahan sistem presidensil adalah
suatu pemerintahan dimana kedudukan
eksekutif tidak bertanggung jawab kepada
badan perwakilan rakyat, dengan kata lain
kekuasaan eksekutif berada diluar
pengawasan (langsung) parlemen. Presiden
dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang
kuat, karena selain sebagai kepala negara
juga sebagai kepala pemerintahan yang
mengetuai/mengepalai kabinet (dewan
menteri).5 Oleh karena itu, agar tidak
menjurus kepada diktatorisme, maka
diperlukan checks and balances, antara
lembaga tinggi negara inilah yang disebut
checking power with power.6
Menurut Rod Hague, di dalam
pemerintahan presidensil, setidaknya terdiri
dari tiga unsur yaitu:7
a) Presiden yang dipilih rakyat memimpin
pemerintahan dan mengangkat pejabat-
pejabat pemerintahan yang terkait;
b) Presiden dengan dewan perwakilan
memiliki masa jabatan yang tetap, tidak
bisa saling menjatuhkan; dan
c) Tidak ada status yang tumpang tindih
antara badan eksekutif dan badan
legislatif.
Presiden dalam sistem presidensil,
memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak
dapat dijatuhkan karena rendahnya
dukungan politik. Namun masih ada
5 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 53. 6 Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem
Politik Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2005, hlm. 14. 7 Rod Hague-et al, Comparative Government
and Politics, MacMillan Press, London, 1998, hlm.
26.
[79]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
mekanisme untuk mengontrol presiden.8 Jika
presiden melakukan pelanggaran konstitusi,
pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat
masalah kriminal, posisi presiden bisa
dijatuhkan. Bila presiden diberhentikan
karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,
biasanya seorang wakil presiden akan
menggantikan posisinya.
Presiden bertanggungjawab kepada
pemilihnya (kiescollege). Sehingga seorang
presiden diberhentikan atas tuduhan House
of Representattives (Dewan Perwakilan
Amerika Serikat yang di Indonesia adalah
Dewan Perwakilan Rakyat RI) misal, sistem
pemerintahan presidensial di USA setelah
diputuskan oleh senat.9
Adapun ciri-ciri dari sistem
presidensial adalah:10 a) Presiden adalah
kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya
yang semuanya diangkat olehnya dan
bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus
sebagai kepala negara (lambang negara)
dengan masa jabatan yang telah ditentukan
dengan pasti oleh UUD; b) Presiden tidak
dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih
oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia
bukan bagian dari badan legislatif seperti
dalam sistem pemerintahan parlementer; c)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada
badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan
oleh badan legislatif; dan d) Sebagai
imbangannya, presiden tidak dapat
membubarkan badan legislatif.
Arend Lijphart11 memandang dari segi
praktek, sistem presidensil memang
8 Arni Sabit, Perwakilan Politik Indonesia,
CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 12. 9 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2006, hlm. 101. 10 C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik
Modern, Nuansa Nusa Media, Bandung,
2004, hlm. 381. 11 Arend Lijphart, Parliamentary versus
Presidential Government, Oxford University Press,
New York, 2002,hlm. 11-15.
memberikan beberapa keuntungan
(dibanding sistem parlementer) yaitu: a)
Stabilitas eksekutif yang didasarkan oleh
jaminan terhadap kepastian lamanya jabatan
presiden. Hal ini berbeda dengan sistem
parlementer yang lebih memungkinkan
terjadinya instabilitas eksekutif yang
disebabkan oleh besarnya memungkinan
penggunaan kekuasaan parlemen untuk
menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak
percaya atau juga tanpa mosi tidak percaya
secara formal ketika kabinet telah
kehilangan dukungan mayoritas anggota
parlemen; b) pemilihan umum terhadap
presiden dapat dianggap lebih demokratis
dari pada pemilihan secara tidak langsung
baik formal maupun secara informal
sebagaimana eksekutif dalam sistem
parlementer; dan c) adanya pemisahan
kekuasaan yang berarti pembatasan terhadap
kekuasaan eksekutif yang merupakan
proteksi yang sangat berharga untuk
kebebasan individu terhadap pemerintahan
tirani.
Namun di sisi lain, sistem presidensil
juga mengandung beberapa kelemahan,
yaitu:12 a) konflik antara parlemen dan
eksekutif yang dapat menyebabkan ke-
buntuan (deadlock) dan kelumpuhan. Hal ini
dapat saja tidak terhindarkan akibat
kedudukan kedua lembaga yang sama- sama
independen. Ketika konflik atau
ketidaksepakatan terjadi, maka tidak ada
institusi yang dapat menyelesaikan masalah
tersebut; b) kekakuan pemerintahan dalam
batas waktu tertentu (temporal rigidity). Hal
ini disebabkan oleh masa jabatan Presiden
yang tetap dapat menyebabkan proses politik
menjadi terhambat dan tidak menyisakan
ruang untuk penyesuaian sesuai kebutuhan;
12 Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan
Sistem Presidensil Di Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22,
Nomor 2, 2010, hlm. 394.
[80]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
dan c) berlakunya sistem “the winner takes
all” yang menyebabkan hanya satu kandidat
dan partai yang menang, dan yang lain
kalah. Selain itu, sistem ini menyebabkan
Presiden akan susah untuk bernegosiasi atau
berkoalisi dengan oposisi jika dalam waktu
tertentu muncul masalah yang membutuhkan
penyelesaian.
Melalui sistem presidensil dapat
disimpulkan beberapa kewenangan Presiden
yang biasa dirumuskan dalam Konstitusi
berbagai negara, yang mencakup lingkup
kewenangan sebagai berikut:13
a) Kewenangan yang bersifat eksekutif atau
menyelenggarakan sistem pemerintahan
berdasarkan Konstitusi (to govern based
on the constitution). Bahkan dalam sistem
yang lebih ketat, semua kegiatan pe-
merintahan yang dilakukan oleh presiden
haruslah didasarkan atas perintah
konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sehingga
kecenderungan discretionary power
dibatasi sesempit mungkin wilayahnya;
b) Kewenangan yang bersifat legislatif atau
untuk mengatur kepentingan umum atau
publik (to regulate public affair based on
the law and the constitution). Dalam
sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power), kewenangan untuk mengatur
ini dianggap ada di tangan lembaga
perwakilan, bukan di tangan eksekutif.
Jika lembaga eksekutif merasa perlu
mengatur, maka kewenangan mengatur di
tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari
kewenangan legislatif. Artinya, Presiden
tidak boleh menetapkan suatu peraturan
yang bersifat mandiri;
c) Kewenangan yang bersifat judisial dalam
rangka pemulihan keadilan yang terkait
dengan putusan pengadilan, yaitu untuk
13 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 75-77.
mengurangi hukuman, memberikan
pengampunan, ataupun menghapuskan
tuntutan yang terkait erat dengan
kewenangan pengadilan. Dalam sistem
parlementer yang mempunyai kepala
negara, ini biasanya mudah dipahami
karena adanya peran simbolik yang
berada di tangan kepala negara. Tetapi
dalam sistem presidensil, kewenangan
untuk memberikan grasi, abolisi dan
amnesti itu ditentukan berada di tangan
Presiden;
d) Kewenangan yang bersifat diplomatik,
yaitu menjalankan perhubungan dengan
negara lain atau subjek hukum
internasional lainnya dalam konteks
hubungan luar negeri, baik dalam
keadaan perang dan damai;
e) Kewenangan yang bersifat adminstratif
untuk mengangkat dan mem- berhentikan
orang dalam jabatan- jabatan kenegaraan
dan jabatan-jabatan administrasi negara.
Hal ini disebabkan pula karena presiden
juga merupakan kepala eksekutif; dan
f) Kewenangan dalam bidang keamanan,
yakni untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang,
pertahanan negara, serta keamanan dalam
negeri.
Problematika sistem presidensial pada
umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan
dengan sistem multipartai, apalagi dengan
tingkat fragmentasi dan polarisasi yang
relatif tinggi. Presidensialisme dan sistem
multipartai bukan hanya merupakan
“kombinasi yang sulit”, melainkan juga
membuka peluang terjadinya deadlock
dalam relasi eksekutif dan legislatif yang
kemudian berdampak pada instabilitas
demokrasi presidensial.14 Sistem multipartai
14 Laurensius Arliman S, Lembaga-
Lembaga Negara (Di Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Deepublish,
Yogyakarta, 2016, hlm. 31.
[81]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
dewasa ini, ternyata gagal memberikan
sumbangan kepada negara karena tidak
mengkondisikan pembentukan kekuatan
oposisi yang diperlukan untuk menopang
rezim dan pemerintahan yang kuat, stabil,
dan efektif secara demokratik.15 Bersamaan
dengan itu, sistem multipartai tidak pula
berfungsi untuk melandasi praktik politik
check and balances, baik diantara lembaga
negara maupun fraksi pemerintah dengan
fraksi lainnya di lembaga perwakilan rakyat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian yaitu:
1. Bagaimana sistem pemerintahan dalam
lintasan konstitusi yang berlaku?
2. Bagaimana polemik sistem Presidensil
dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. Sistem Pemerintahan dalam Lintasan
Konstitusi yang Berlaku di Indonesia
Sistem Pemerintahan Periode 1945 –
1949 (18 Agustus 1945 – 27 Desember
1949)
Sistem pemerintahan yang dikehendaki
oleh UUD 1945 orisinil ini adalah
presidensial. Akan tetapi dua bulan setelah
penetapan UUD 1945 sebagai hukum dasar
negara Indonesia, sistem pemerintahannya
mengalami pergeseran menjadi parlementer.
Hal ini diakibatkan karena pada periode ini
kekuasaan pemerintahan cenderung
tersentralisasi. Hal yang demikian itu
dikarenakan lembaga-lembaga legislatif
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) ataupun Dewan Perwakilan Rakyat
15 Laurensius Arliman S, Keterbukaan
Keuangan Partai Politik Terhadap Praktik Pencucian
Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Cita
Hukum, Vol. 4, No. 2, 2016, doi: 10.15408/jch.v4i2.3
433.
(DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
belum dapat dibentuk. Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa
sebelum lembaga-lembaga seperti MPR,
DPR, atau DPA dibentuk, kekuasaannya
dipegang oleh Presiden yang dibantu oleh
komite nasional (KNIP). Inilah yang
menyebabkan kekuasaan Presiden pada saat
itu sangat besar.
Oleh karena itu, demi menghindari
absolutisme/kemutlakan kekuasaan presiden
maka dilahirkan kebijakan-kebijakan yang
memungkinkan pelaksanaan pemerintahan
negara tetap berjalan demokratis. Kebijakan-
kebijakan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut: a) Maklumat Pemerintah No. X
Tanggal 16 Oktober 1945 tentang Perubahan
Fungsi KNIP menjadi Fungsi Parlemen;16 b)
Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November
1945 mengenai Pembentukan Partai
Politik;17 dan c) Maklumat Pemerintah
Tanggal 14 November 1945 mengenai
Perubahan dari Kabinet Presidensial ke
16 Maklumat Pemerintah tersebut memuat
diktum yang intinya, sebagai berikut: a) Komite
Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR
(hasil pemilihan umum) diserahi kekuasaan legislatif
dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
dan b) Menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional
Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang
dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab
kepada Komite Nasional Pusat. Dengan lahirnya maklumat tersebut menegaskan bahwa kekuasaan
legislatif dipegang oleh KNIP. Hal tersebut tentunya
tidak lagi sejalan dengan amanah Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 yang menugasi KNIP sebagai
pembantu presiden. Dengan adanya maklumat ini
berarti pula kekuasaan presiden dalam bidang
legislatif berkurang. 17 Maklumat Pemerintah Tanggal 3
November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik
merupakan upaya pemerintah saat itu dalam
memberikan kesempatan rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan. Dengan lahirnya maklumat ini, ide
untuk mendirikan partai-partai politik sebagai bentuk
pemberian kesempatan partisipatif rakyat seluas-
luasnya melalui sistem multi partai mendapatkan
tempat.
[82]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
Kabinet Parlementer.18 Kontradiksinya,
sistem parlementer membawa konsekuensi
bahwa kekuasaan parlemen lebih kuat
daripada kekuasaan eksekutif, maka
penerapan demokrasi sulit untuk
berkembang.
Sistem pemerintahan Periode 1949 –
1950 (27 Desember 1949 – 15 Agustus
1950)
Undang-Undang Republik Indonesia
Serikat, Konstitusi Republik Indonesia
Serikat atau lebih dikenal dengan sebutan
Konstitusi RIS adalah konstitusi yang
berlaku di Republik Indonesia Serikat
(federasi) sejak tanggal 27 Desember 1949
(yakni tanggal diakuinya kedaulatan
Indonesia dalam bentuk RIS) hingga
diubahnya kembali bentuk negara federal
RIS menjadi negara kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
disahkan sebagai undang-undang dasar
negara berkaitan dengan pembentukan
Republik Indonesia Serikat oleh hasil
Konfrensi Meja Bundar, sejak 27 Desember
18 Selanjutnya, Maklumat Pemerintah
Tanggal 14 November 1945 mengenai Perubahan
Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer
membawa konsekuensi bahwa sistem
pertanggungjawaban Presiden yang semula kepada
MPR menjadi Presiden bersama-sama Menteri-
menteri bertanggungjawab kepada parlemen (KNIP).
Berdasarkan maklumat ini berarti sistem pemerintahan yang semula presidensial mengalami
perubahan menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Presiden tidak lagi merangkap jabatan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan melainkan hanya
kepala negara saja. Dari pernyataan tersebut sekali
lagi kekuasaan presiden mengalami pengurangan.
Gagasan pluralistik atau demokrasi yang pluralistik
terwakili oleh lahirnya Maklumat Pemerintah
Tanggal 14 Nopember 1945. Maklumat tersebut
secara mendasar telah merubah sistem ketatanegaraan
kearah pemberian porsi yang besar kepada peranan rakyat dalam partisipasinya menyusun kebijakan
pemerintahan negara. Lebih lanjut lihat dalam: Benny
Bambang Irawan, Perkembangan Demokrasi di
Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Dinamika
Masyarakat, Vol. 5 No.1, 2007 hlm. 54-64.
1949 berdasarkan poin pertama dan kedua.
Pemberlakuan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat tidak serta merta mencabut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena
perbedaan ruang lingkup penerapan.
Sistem Pemerintahan yang berlaku
pada konstitusi RIS adalah Parlementer
Semu (Quasi Parlementer). Dimana
berdasarkan pasal 118 ayat 2 menyebutkan
sebagai berikut “ Presiden tidak dapat
diganggu gugat. Tanggung jawab
kebijaksanaan pemerintah berada ditangan
menteri, tetapi apabila kebijakan
menteri/para menteri ternyata tidak dapat
dibenarkan oleh DPR, maka menteri/para
menteri-menteri itu harus mengundurkan
diri, atau DPR dapat membubarkan menteri-
menteri (kabinet) tersebut dengan alasan
mosi tidak percaya, jadi kedudukan kabinet
sangat tergantung pada parlemen (DPR).
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan
parlementer adalah sebagai berikut:
a) Badan legislatif atau parlemen adalah
satu-satunya badan yang anggotanya
dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Parlemen memiliki
kekuasaan besar sebagai badan
perwakilan dan lembaga legislatif;
b) Anggota parlemen terdiri atas orang-
orang dari partai politik yang
memenangkan pemiihan umum. Partai
politik yang menang dalam pemilihan
umum memiliki peluang besar menjadi
mayoritas dan memiliki kekuasaan besar
di parlemen;
c) Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas
para menteri dan perdana menteri sebagai
pemimpin kabinet. Perdana menteri
dipilih oleh parlemen untuk melaksakan
kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini,
kekuasaan eksekutif berada pada perdana
menteri sebagai kepala pemerintahan.
Anggota kabinet umumnya berasal dari
parlemen;
[83]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
d) Kabinet bertanggung jawab kepada
parlemen dan dapat bertahan sepanjang
mendapat dukungan mayoritas anggota
parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-
waktu parlemen dapat menjatuhkan
kabinet jika mayoritas anggota parlemen
menyampaikan mosi tidak percaya
kepada kabinet;
e) Kepala negara tidak sekaligus sebagai
kepala pemerintahan. Kepala
pemerintahan adalah perdana menteri,
sedangkan kepala negara adalah presiden
dalam negara republik atau raja/sultan
dalam negara monarki. Kepala negara
tidak memiliki kekuasaan pemerintahan.
Ia hanya berperan sebgai symbol
kedaulatan dan keutuhan negara; dan
f) Sebagai imbangan parlemen dapat
menjatuhkan kabinet maka presiden atau
raja atas saran dari perdana menteri dapat
membubarkan parlemen. Selanjutnya,
diadakan pemilihan umum lagi untuk
membentukan parlemen baru.
g) Pemerintah berhak atas kekuasaan
pembentukan Undang-Undang Darurat,
Undang-Undang Darurat mempunyai
kekuatan atas Undang-Undang Federasi.
Sistem pemerintahan Periode 1950 –
1959 (15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, atau dikenal dengan
UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku
di negara Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekret
Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama
Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal
14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini
dinamakan "sementara", karena hanya
bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituante hasil pemilihan umum yang
akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan
Umum 1955 berhasil memilih Konstituante
secara demokratis, tetapi Konstituante gagal
membentuk konstitusi baru hingga berlarut-
larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5
Juli 1959, yang antara lain berisi kembali
berlakunya UUD 1945.
Pemilihan Umum 1955 berhasil
memilih Konstituante secara demokratis,
namun Konstituante gagal membentuk
konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada 5
Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi
dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain:19 a)
Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950; b) Pembubaran
Konstituante; dan c) Pembentukan MPRS
dan DPAS. Dikeluarkannya dekrit presiden
ini diiringi dengan perubahan sistem
pemerintahan dari parlementer ke
presidensial.
Sistem Pemerintahan Periode 1959-
1966 (Orde Lama)
Pasca dikeluarkannya dekrit tersebut
munculah Demokrasi Terpimpin. Salah satu
isi dekrit adalah kembali berlakunya UUD
1945. Hal ini merupakan dampak positif
dengan adanya dekrit. Selain itu dekrit juga
mampu menyelamatkan negera dari
perpecahan dan krisis politik yang berlarut-
larut tidak kunjung selesai. Akan tetapi,
ternyata keluarnya dekrit juga menimbulkan
dampak negatif antara lain memberikan
peluang bagi militer untuk terjun ke dunia
politik dan kekuasaan presiden menjadi
semakin kuat, cenderung ke otoriter.
Pada masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1966), nampak sekali dominasi dari
19 Laurensius Arliman S, Ilmu Perundang-
Undangan Yang Baik Untuk Negara Indonesia,
Deepublish, Yogyakarta, 2016, hlm. 45.
[84]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
presiden. Presiden menafsirkan Demokrasi
Terpimpin, merupakan demokrasi yang
dipimpin oleh Presiden sendiri, maka
muncul atribut Pemimpin Besar Revolusi.20
Presiden menjabat berbagai jabatan penting,
antara lain ketua MPRS dan DPAS. Sistem
pemerintahan menjadi sistem pemerintahan
presidensil. Pada akhirnya Demokrasi
Terpimpin harus berakhir sekaligus
berakhinya kekuasaan presiden Soekarno
dan berganti dengan Soeharto.21 Pangkal dari
itu adalah peristiwa pembunuhan para
Jenderal oleh anggota PKI. Semenjak itu
wibawa presiden semakin merosot. Demo
hampir setiap hari dilakukan dan mencapai
puncaknya pada tanggal 12 Januari 1966
ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI) yang tergabung dalam
Front Pancasila, melakukan tiga tuntutan
rakyat. Tritura berisi pembubaran PKI dan
ormas-ormasnya, pembersihan kabinet
Dwikora dari unsur PKI serta penurunan
harga.
Karena semakin terpojok, maka
presiden mengeluarkan surat perintah
sebelas maret (Supersemar) kepada Soeharto
yang isinya memerintahkan kepada Letnan
Soeharto agar mengambil tindakan untuk
menjamin keamanan, ketenangan, dan
kestabilan jalannya pemerintahan, demi
keutuhan bangsa dan negara Republik
Indonesia. Sesuai ketetapan MPRS Np
XIII/MPRS/1966, Letnan Soeharto diangkat
sebagai pengemban Supersemar pada
tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet
Ampera. Hal ini menandakan bahwa
20 Laurensius Arliman S, Perlindungan
Hukum Bagi Anak dalam Perspektif Pancasila dan
Bela Negara, Jurnal Unifikasi, Vol. 5, No. 1, 2018, hlm. 67.
21 Laurensius Arliman S, Fungsi Badan
Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Padang, Jural Ilmiah Hukum De’Jure, Vol. 1, No. 2,
2017, hlm. 78.
Demokrasi Terpimpin berganti dengan
Demokrasi Pancasila.
Sistem Pemerintahan Periode 1966-
1998 (Orde Baru)
Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Pada 1968, MPR secara
resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan
5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Sistem pemerintahan Presidensial,
bentuk pemerintahan Republik dan UUD
1945 sebagai dasar konstitusi atau undang-
undang yang berlaku. Secara sistem,
pemerintahan Orde Baru tidak memiliki
perubahan berarti dari era sebelumnya.
Namun tetap ada beberapa perbedaan
mendasar dilihat dari masa orde baru yang
diubah karena dianggap sebagai
penyimpangan di masa orde lama.22
Sistem pemerintahan masa Orde Baru
mengubah tatanan kehidupan rakyat dan
negara dengan berlandaskan kemurnian
pelaksanaan Pancasila serta UUD 1945
untuk setiap kebijakan pemerintah. Beberapa
pokok sistem pemerintahan pada masa Orde
Baru yang tercantum pada Penjelasan UUD
1945 yaitu:
a) Kekuasaan negara tertinggi berada di
tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR)
b) Presiden adalah penyelenggara
pemerintahan negara tertinggi dan berada
di bawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR)
c) Menteri adalah pembantu Presiden dan
tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
d) Presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR
22 Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum
dalam Perspektif Hukum Islam, Soumatera Law
Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumla
w.v2i2.4136.
[85]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
e) Kekuasaan yang dimiliki Kepala Negara
atau Presiden tidak tak terbatas.
Pelaksanaan pemerintahan Orde Baru
pada prakteknya menyimpang dari pokok-
pokok awalnya. Kekuasaan dipegang penuh
oleh Presiden dan walaupun pada awalnya
kehidupan demokrasi di Indonesia
menunjukkan kemajuan, tetapi dalam
perkembangannya ternyata tidak jauh
berbeda prakteknya dengan masa Demokrasi
Terpimpin. Jika dulunya pemerintah
Indonesia pada masa Orde Baru berniat
menjalankan Demokrasi Pancasila dan
memutuskan sistem berdasarkan Trias
Politika, tetapi hal tersebut juga tidak
berjalan dengan baik.23
Hampir semua kewenangan Presiden
yang diatur menurut UUD 1945 dilakukan
tanpa keterlibatan pertimbangan dan
persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Sistem demikian bisa berdampak positif
dengan kendali di tangan Presiden maka
seluruh penyelenggaraan pemerintahan bisa
dikendalikan sehingga pemerintahan lebih
solid, stabil dan tidak mudah digoyahkan.
Akan tetapi tanpa adanya pengawasan dan
persetujuan DPR maka kewenangan
Presiden menjadi mudah disalahgunakan.
23 Hal ini bisa dilihat dari beberapa
peraturan berikut yang membuat UUD 1945 menjadi
konstitusi yang sangat sakral yaitu: a) Ketetapan
MPR nomor I/MPR/1983 menyatakan bahwa MPR
telah menetapkan untuk mempertahankan UUD 1945
dan tidak akan merubahnya; b) Ketetapan MPR
nomor IV/MPR/1983 mengenai Referendum yang
antara lain menyatakan bahwa apabila MPR hendak
mengubah UUD 1945 maka rakyat terlebih dulu
harus dimintai pendapat melalui referendu; c)
Undang-undang Nomor 5 tahun 1985 mengenai
Referendum yang menjadi suatu pelaksanaan dari Tap MPR sebelumnya; serta d) Silakukan perampingan
partai-partai politik sehingga hanya menjadi tiga
partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Perjuangan
Indonesia (PDI).
Sistem Pemerintahan Periode 1998 –
Amandemen ke-4 (Reformasi)
Salah satu ketentuan yang sangat
menandakan kuatnya sistem presidensil
dalam UUD 1945 tersirat dalam Pasal 7C,
yang menyatakan Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR.
Beberapa kondisi lain yang
menandakan semakin kuatnya menganut
sistem presidensil di Indonesia, yaitu:
a) Digunakannya istilah ‘Presiden’ sebagai
kepala pemerintahan sekaligus kepala
negara. Tidak dikenal adanya pemisahan
dua fungsi tersebut, sebagaimana
lazimnya dalam budaya demokrasi
parlementer;
b) Dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan,
sebagaimana dilihat dalam Pasal 1 ayat
(2), kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini
menandakan, tidak ada satu lembaga pun
yang lebih supreme dari lembaga lainnya.
Semua lembaga negara yang termasuk
main organ berada dalam kedudukan
yang setara dengan fungi masing-masing;
c) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dengan menggunakan sistem pemilih- an
langsung oleh rakyat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 6A. Format pemilihan umum
yang terpisah antara pemilu legislatif dan
Presiden dan Wapres turut menandakan
dianutnya sistem presidensil. Sebab, jika
pada pemilu legislatif salah satu partai
menguasai kursi parlemen (meskipun
tidak mayoritas), tidak otomatis
menjadikan pemimpin partai tersebut
menjadi seorang kepala pemerintahan.
Sebagaimana lazimnya dalam budaya
demokrasi parlementer;
d) Kewenangan Presiden dalam legislasi
yang hanya menjadi pengusul sebuah
RUU kepada DPR, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1). Hal ini berbeda
dengan format kewenangan legislasi yang
[86]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
sebelumnya diatur dalam UUD 1945 pra-
amandemen, di mana kekuasaan legislasi
pada dasarnya berada di tangan Presiden;
e) Pengangkatan dan pemberhentian menteri
merupakan hak prerogatif Presiden tanpa
perlu mekanisme per- setujuan dari DPR,
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
(2). Oleh karena itu, tanggung jawab
pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan Presiden;
f) Penggunaan “fixed tenure of office” untuk
Presiden dan Wakil Presiden yaitu 5
(lima) tahun. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 7;
g) Lama jabatan tersebut ditegaskan pula
dalam Pasal 3 ayat (3), yang menyatakan
bahwa, MPR hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD. Yang tidak lain adalah mekanisme
impeachment, sebagaimana diatur pula
dalam Pasal 7A.
h) Presiden tidak bertanggung jawab kepada
lembaga politik tertentu tetapi langsung
kepada rakyat pemilihnya. Sebagai
konsekuensi legal dan politis dari
dianutnya sistem pemilihan secara
langsung bagi Presiden dan Wakil
Presiden. Meskipun secara praktek,
Presiden pada setiap akhir tahun tetap
membacakan laporan kinerja di hadapan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun hal tersebut bukan merupakan
suatu mekanisme pertanggungjawaban
sebagaimana pemerintahan (eksekutif)
bertanggung jawab kepada parlemen
dalam sistem parlementer.
2. Polemik Sistem Presidensil dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di
Indonesia
Dari beberapa kondisi di atas maka
dapatlah dikatakan bahwa sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945
pasca amandemen adalah sistem presidensil
murni. Tetapi, kebenaran konsep di atas
hendaknya perlu diuji dalam tataran politik
praktis, sebab demokrasi pada hakekatnya
adalah merupakan konteks budaya politik
bukan hanya konteks penafsiran dan
pelaksanaan terhadap konsitusi.24
Sebagaimana dikatakan oleh Richard
Holder Williams bahwa, a constitution is a
legal document which contains “the rules of
the political game”. Selain itu, politik praktis
Indonesia yang berubah secara signifikan
salah satunya disebabkan oleh kemajuan dari
pemahaman dan praktik konsitutisionalisme
pasca amandemen UUD 1945. Hal ini
sebagimana diutarakan oleh Rosen, the form
in which the consitutition making process is
adopted may reveal the character of the
future political configuration, particularly if
the process takes place during a transition
from an authoritarian rule.25
Penerapan sistem presidensil di
Indonesia, setidaknya ada dua hal yang
menyebabkan tidak bertajinya penerapan
sistem teressbut, yaitu penegasan terhadap
sistem presidensil yang turut diiringi dengan
penguatan peran dan wewenang parlemen
dalam hubungannya dengan eksekutif, serta
sistem politik yang menggunakan sistem
multi partai.
Pelaksanaan sistem presidensil
Indonesia adalah dengan digunakannya
format multi partai dalam sistem politik
Indonesia. Dipandang dari sisi demokrasi,
penggunaan sistem multi partai memang
memberikan kesempatan yang luas kepada
setiap orang untuk ambil bagian dalam
pelaksa- naan hak-hak politiknya. Namun
24 Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas
Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana
Internasional, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3398.
25 Denny Indrayana, Indonesian
Contitutional Reform 1999-2002 an Evaluation of
Constitution Making in Transition, Kompas, Jakarta,
2008, hlm. 29.
[87]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
dipandang dari sisi efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan, sistem ini
malah memperlemah pelaksanaan sistem
presidensil. Pertaruhan politik antara DPR
dan Presiden kerap menyebabkan
pertentangan antara kedua lembaga negara
tersebut. Akibatnya, penyelenggaraan
pemerintahan lebih banyak diwarnai
persoalan politik daripada realisasi kebijakan
pemerintah terhadap masyarakat.
Atas hal tersebut sistem presidensial
yang berdasarkan sistem multipartai, bila
tidak ada partai politik yang meraih suara
mayoritas di parlemen, koalisi merupakan
suatu yang tidak bisa dihindari, karena itu
koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi
sistem pemerintahan presidensial yang
menganut sistem multipartai. Koalisi
pendukung presiden dalam sistem
presidensialisme tidak stabil, dikarenakan:26
a) Koalisi pemerintahan dan elektoral sering
berbeda. Dalam koalisi pemerintahan,
parpol tidak bertanggung jawab
menaikkan presiden dalam pemilu
sehingga parpol cenderung meninggalkan
presiden yang tidak lagi populer.
b) Pemilu presiden selalu ada di depan mata
sehingga partai politik berusaha sebisa
mungkin menjaga jarak dengan berbagai
kebijakan presiden, yang mungkin baik,
tetapi tidak populis.
c) Alasan ketidakcocokan, kemungkinan
akan menjatuhkan pemerintah secara
inkonstitusional. Besarnya peluang
pergantian pemerintah secara
inkonstitusional amat relatif karena dalam
sistem presidensialisme amat sulit
menurunkan presiden terpilih. Karena itu,
pihak-pihak yang tidak puas dengan
kinerja pemerintah cenderung
26 Meima, Penerapan Sistem Presidensial
Dalam Demokrasi Modern, Fakultas Hukum
Universitas Langlangbuana, Tidak Diterbitkan, 8-9.
menggunakan jalur inkonstitusional untuk
mengganti pemerintahan.
d) Akibat multi partai di Indonesia dapat
kita rasakan bersama, yaitu sulitnya
Presiden untuk membuat keputusan
berkaitan dengan masalah kehidupan
berbangsa dan negara yang strategis
meliputi aspek: politik, ekonomi,
diplomasi dan militer. Bila kita
mengamati secara fokus hubungan antara
Eksekutif dan Legislatif, Presiden
mengalamai resistansi karena peran
Legislatif lebih dominan dalam sistem
multi partai.
e) Sebenarnya posisi Presiden sangat kuat
karena presiden dipilih langsung oleh
rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi
dalam hal penerbitan dan pengesahan
perundang-undangan presiden perlu
dukungan DPR. DPR yang merupakan
lembaga negara, justru menjadi resistansi
dalam sistem pemerintahan kita, karena
mereka bias dengan kepentingan
primordial masing-masing. Menyamakan
visi dan misi dari partai-partai, dengan
ideologi dan kepentingan yang sangat
mendasar perbedaannya akan sangat sulit
dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai
oposisi yang selalu menentang
pemerintah.
Perlunya perubahan UUD 1945
mengenai penegasan sistem presidensial
supaya ada kejelasan dalam sistem
ketatanegaraan. Serta harus ada upaya
membatasi jumlah partai peserta pemilu agar
tidak terlampau banyak, sehingga sistem
check and balance menjadi terwujud atau
menjadi jelas. Pemerintahan ada baiknya
diisi beberapa wakil dari partai politik, tetapi
tidak tergabung dalam koalisi yang
permanen. Tidak ada lagi kata koalisi
ataupun oposisi yang mantap, karena akan
berkibat, terhadap kebijakan pemerintah
[88]
Muhakkamah Vol. 4 No. 2 November 2019 P-ISSN : 2528-651X E-ISSN : 2598-8042
acapkali ditolak oleh parpol yang notabene
punya wakil di kabinet.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Sesuai dengan pokok permasalahan
yang dibahas pada bab sebelumnya, maka
penulis menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
a) Sistem pemerintahan dalam lintasan
konstitusi yang berlaku adalah sebanyak 5
kali, hal ini terbagi dari: 1) Periode tahun
1945-1949 dengan memakai sistem
presidensil dengan berlandasakan pada
Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 2)
Periode tahun 1949-1959 dengan
memakai system Parlementer Semu
(Quasi Parlementer) berlandaskan pada
Konstitusi RIS; 3) Periode tahun 1950-
1959 dengan memakai sistem Parlementer
berlandaskan pada Undang-Undang Dasar
Sementara 1950; 4) Periode tahun 1959-
1998 dengan memakai sistem presidensil
dengan berlandasakan pada Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yang terbagi
pada orde lama dan orde baru; dan 5)
Periode tahun 1998-sekarang dengan
memakai sistem presidensil dengan
berlandasakan pada Undang-Undang
Dasar Tahun Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang telah diamandemen
sebanyak empat kali.
b) Polemik sistem Presidensil dalam
penyelenggaraan pemerintahan di
Republik Indonesia dilihat dari koalisi
pemerintahan dan elektoral sering
berbeda. Dalam koalisi pemerintahan,
parpol tidak bertanggung jawab
menaikkan presiden dalam pemilu
sehingga parpol cenderung meninggalkan
presiden yang tidak lagi popular. Pemilu
presiden selalu ada di depan mata
sehingga partai politik berusaha sebisa
mungkin menjaga jarak dengan berbagai
kebijakan presiden, yang mungkin baik,
tetapi tidak populis. Alasan ketidak
cocokan, kemungkinan akan menjatuhkan
pemerintah secara inkonstitusional.
Besarnya peluang pergantian pemerintah
secara inkonstitusional amat relatif karena
dalam sistem presidensialisme amat sulit
menurunkan presiden terpilih. Akibat
multi partai di Indonesia dapat kita
rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden
untuk membuat keputusan berkaitan
dengan masalah kehidupan berbangsa dan
negara yang strategis. Sebenarnya posisi
Presiden sangat kuat karena presiden
dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh
oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan
dan pengesahan perundang-undangan
presiden perlu dukungan DPR.
Daftar Pustaka
Arend Lijphart, Parliamentary versus
Presidential Government, Oxford
University Press, New York, 2002.
Arni Sabit, Perwakilan Politik Indonesia,
CV. Rajawali, Jakarta, 1985.
Benny Bambang Irawan, Perkembangan
Demokrasi di Negara Indonesia,
Jurnal Hukum dan Dinamika
Masyarakat, Vol. 5 No.1, 2007.
C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik
Modern, Nuansa Nusa Media,
Bandung, 2004.
Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas
Dalam Hukum Pidana Nasional Dan
Hukum Pidana Internasional,
Soumatera Law Review, Volume 1,
Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v
1i1.3398.
Denny Indrayana, Indonesian Contitutional
Reform 1999-2002 an Evaluation of
Constitution Making in Transition,
Kompas, Jakarta, 2008.
Dinoroy Marganda Aritonang, Penerapan
Sistem Presidensil Di Indonesia
[89]
Laurensius Arliman S : Penyelenggaraan Sistem Presidensil………………………………………….........….…77-89
Pasca Amandemen UUD 1945,
Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22,
Nomor 2, 2010.
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
2002.
Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem
Politik Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2005.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem
Pemerintahan Negara, Bina Aksara,
Yogyakarta, 1982.
Laurensius Arliman S, Ilmu Perundang-
Undangan Yang Baik Untuk Negara
Indonesia, Deepublish, Yogyakarta,
2016.
Laurensius Arliman S, Keterbukaan
Keuangan Partai Politik Terhadap
Praktik Pencucian Uang Dari Hasil
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Cita
Hukum, Vol. 4, No. 2, 2016, doi:
10.15408/jch.v4i2.3433.
Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga
Negara (Di Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945), Deepublish,
Yogyakarta, 2016.
Laurensius Arliman S, Fungsi Badan
Kehormatan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Padang, Jural
Ilmiah Hukum De’Jure, Vol. 1, No.
2, 2017
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum
Bagi Anak dalam Perspektif
Pancasila dan Bela Negara, Jurnal
Unifikasi, Vol. 5, No. 1, 2018.
Meima, Penerapan Sistem Presidensial
Dalam Demokrasi Modern, Fakultas
Hukum Universitas Langlangbuana,
Tidak Diterbitkan.
Miriam Budardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2009.
M Taufiqurahman, Peran Perancang
Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia dalam Pengawasan Produk
Hukum Daerah Melalui Executive
Preview, Soumatera Law Review,
Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.4341.
Rod Hague-et al, Comparative Government
and Politics, MacMillan Press,
London, 1998.
Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum dalam
Perspektif Hukum Islam, Soumatera
Law Review, Volume 2, Nomor 2,
2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4136.
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2006.
Top Related