PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SITI NURJANAH
NIM: 1110044100044
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN(Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk MemenuhiSalah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
SITI NURJANAHNIM: 1110044100044
Di Bawah Bimbingan:
W"Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA.
NIP: 197106301997032002
KONS ENTRA SIPERADILANAGAMAPROGRAM STT]DI HUKT]M KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMTJNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA1436 rV2015 M
1l
SURAT PERI\YATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Of$ Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02Marct2015
Siti Nurjanah
lll
PENGESAHAI\ PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Kctua Prodi Kamarusdiana. S.Ag.. MH.NIP. 1 972 0 22 4199 803t0 03
Sri Hidayati" S.Ag.. M.AsNIP" 1 971 0215t997 032002
:................ )
3" Pembimbing Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA.NIP. 19710 6301997 032002
Dr" I{i" dzizah. MA.l{IP. 19630409198902200 X
4. Penguji I
Abdurrauf" Lc." MA" *
NIP. 19731215200s01 1002
2, Sekretaris Prodi
xv
J akarta, 1 9 Maret 20 I 5
NIP. 19691
5. Penguji II
v
ABSTRAK
Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM MEDIASI
DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan
Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan mediasi dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi,
faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui apakah hakim yang
ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi tersebut dengan optimal.
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan
data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek yang diteliti. Sumber
data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data
yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan teknik
pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview.
Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun,
tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka
perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) terbatasnya
waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b) terbatasnya
kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam melaksanakan mediasi, c)
kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk terciptanya
perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk dilakukan.
Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian
Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA.
Daftar Pustaka: Tahun 1954 s.d 2014
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan
namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis.
Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak
dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan
waktu.
Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi
penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada semua pihak, Bapak dan Ibu:
1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.
3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli
dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran,
nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
vii
4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis
sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.
5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan, SH., MH. serta
bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu
dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis
angkat.
7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Warto
dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari
segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan ayah
dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga
ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. Tiada kata
yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu tiada tara dan
tak akan pernah terbalaskan.
8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku tercinta
Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut memberikan
motivasi serta doa yang tiada hentinya kepada penulis, yang tidak pernah lelah
viii
memberikan semangat dan selalu meluangkan waktunya untuk menemani hingga
terselesai nya skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama
angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya
Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga teruntuk sahabat
terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri Wulandari, Tri Prisca
Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah Hasan,
terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta inspirasinya, kalian
banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam
penyelesaian skripsi ini
Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh Allah
SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 02 Maret 2015
Siti Nurjanah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9
D. Metode Penelitian ............................................................................... 10
E. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA
PERCERAIAN
A. Perceraian ........................................................................................... 16
B. Mediasi ............................................................................................... 27
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian ......................................... 34
D. Mediasi Dalam Hukum Islam ............................................................. 41
E. Mediator ............................................................................................. 43
x
BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................... 59
B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat.......................................... 61
C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ............ 63
D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................ 65
E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................ 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ....................................................................................... 73
B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................................ 82
C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat .................................. 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 90
B. Saran .................................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 94
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath‟i, al-dhommu, al-
jam‟u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan,
berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad
yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan seorang wanita,
selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik
dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1
Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan
faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar
(sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah
sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab
Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk)
bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwiji; atau turunan
1 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
2
(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah
tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna
mendapatkan kesenangan (bersenang).2
Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3 :
“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-
menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban
masing-masing.”
Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh
Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah perjanjian
yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”.
2. Segi sosial dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting,
dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara
2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 45
3 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
3
perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi
pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan
mempergunakan nama Allah.4
UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya
dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga;
sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
5 Undang-Undang Perkawinan, di Himpun oleh Redaksi Sinar Grafika, Jakarta 2000, h. 1
4
keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga.
Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.6
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan
adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu
sendiri, sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), Cet.1, h.10 dan 22
5
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan.
5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.7
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri
penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan
bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suami-
istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali
kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu
7 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 7
6
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan
tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi
kasih sayang. 8
Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana
perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak
yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber
yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban
suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya
perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu
rumah tangga.
Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah
dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara
tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar
kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa
rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang
merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi
kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup berpasang-
pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia
sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9
8 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96
9Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Prenada Media, 2011), Cet. 2, h. 176
7
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat
dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami
realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang
mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan
antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis,
sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan
berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh
suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian
dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta
menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung
proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.10
Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan
dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat
mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi
yang tidak terlalu banyak.11
Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam
berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
181
11
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, h. 172
8
namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi
kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara
perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi.
Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa
yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih
menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator.
Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang
bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga
mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12
Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan
utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena
mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara
perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan
“selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan”.
Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara
perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIASI
DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Tahun 2012-2014)”
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 2, h. 3
9
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada masalah
peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014
2. Perumusan Masalah
Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah
bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah dilaksanakan
dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya mediasi
dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas.
Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah :
1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
dalam perkara perceraian ?
3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
10
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam perkara perceraian.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung
dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi
hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan
Agama.
2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan
dibahas pada permasalahan tersebut.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis sosiologis adalah:
suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau
kejadian yang dilapangan.13
Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normartif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2001), h. 26
11
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat diperoleh
kejelasannya di persidangan pengadilan.
2. Jenis Penelitian
Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif
dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang atau
perilaku orang.
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini ialah
secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data
seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk
menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun
2008.
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode
dokumentasi dan interview.
a. Data primer
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh
melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihak-
pihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
12
b. Data sekunder
Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah
umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut:
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen, agenda, dan
sebagainya.
b. Metode Interview
Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan skripsi
ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum, seperti
hakim dan pengamat hukum lainnya.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-press, 1986), Cet. 2, h. 12
13
E. Penelitian Terdahulu
Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu harmonis
seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama suami istri
bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa penelitian yang
penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang relefan. Di antaranya
sebagai berikut :
1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi
Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi Perma No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi). Skripsi
tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja yang menjadi
penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses mediasi
tersebut.
2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi
Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun
2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011, dari
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum,
14
prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga
putusannya.
Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang proses
pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor-faktor yang
penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari
masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai
berikut:
Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian mediasi, proses
mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan mediator.
Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya Pengadilan
Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat
bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi misi Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dan yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
15
Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan menjelaskan
tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam keberhasilan mediasi
dalam perkara perceraian.
Bab kelima penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau itlaq yang
artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1 Perceraian
menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah,
perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak” ialah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-
Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya.3
Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu
perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat
dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi
dipertahankan perkawinannya tersebut.
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 861
2 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261
3Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 192
17
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan
perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan bahwa talak
merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah ikatan
perkawinan.4
Dasar Hukum Perceraian
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan
sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan
diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul
tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan warahmah.
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi
dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang
tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum
makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya perceraian
atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5
4 Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 207
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 199
18
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan
jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan
jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam
tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah Swt
memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang
sangat dimurkai-Nya.
Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Swt.”(HR. Abu
Daud dan Hakim).
Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan
pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka Al-Qur‟an
menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada
umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menentukan
sikap.
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 231:
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma’ruf (pula).” (QS. Al-Baqarah: 231
19
“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Talaq: 2)
Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat:
a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh
hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli
istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar
kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu
memudaratkan istrinya.6
b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan
dirinya.
c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu si istri
dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah
dicampurinya dalam waktu suci itu.7
d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
manfaatnya juga ada kelihatannya.8
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
7 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
20
Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena
alasan atau alasan-alasan.9
2. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Rukun talak ada empat, sebagai berikut:
a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena
talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak
mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang
sah.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan:
1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang
dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal
karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena
sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya.
2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa
talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang
dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui
akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
9 Lihat, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama 2001, h. 16
21
3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini
ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu
dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.10
b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang
lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai
berikut:
1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri
yang menjalin masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh hukum Islam
dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, di
pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang
dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal
talak bai‟in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap
bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba‟in
itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas
suami.
2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti
akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah
dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan
bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami
10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
22
pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu berada
dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang
ada.
c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran),
baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun
dengan suruhan orang lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya
menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-
barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak.
Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-
angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami
tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga tidak dipandang
sebagai talak.11
d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk
maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak
dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak
kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata:
11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
23
“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah
talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12
3. Alasan-Alasan Perceraian
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan penyebab
atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan
disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:
a. Kematian salah satu pihak,
b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,
c. Keputusan Pengadilan.13
Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
dalam mendamaikan kedua belah pihak.14
Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan yang
dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:
12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
13
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74
14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 248
24
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.15
4. Akibat-Akibat Perceraian
Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian suci
antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus
atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya. Akan tetapi ada
akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.
Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena
perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki kosekuensi
hukum tersendiri.
15
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74-
75
25
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian
yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian
itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada
pasal-pasal berikut ini, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat
menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas
istri.16
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang
atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan
dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
Qobla al-Dukhul.
16
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 219
17
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1996, h. 149
26
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istrinya yang masih
dalam masa iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali
bila ia nusyyuz.
Pasal 156
a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
diganti oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
2) Ayah;
3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),
(c), dan (d).
27
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.18
Dalam Al-Qur‟an tidak ada yang menyuruh atau melarang eksistensi
perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang
menyuruh melakukannya.
Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga
pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita dapatkan baik
bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu perbuatan yang halal
tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak
itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus
kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga
itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat
bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan juga kepada anak
itu sendiri.19
B. Mediasi
1. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata
Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia kemudian lebih suka
mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya istilah-istilah lainnya,
18
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
109-200
28
yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan
litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah
penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara
mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang
berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi
berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan legal,
sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau
bernuansa spiritual.20
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare
yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah‟ juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa.21
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa
mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak yang
bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22
20
Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12
21
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2
22
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
1-2
29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.
Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau
lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-
pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan
tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.23
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan
pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa
untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah
dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan
menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan
para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum
sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan
mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan pengertian
mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi konflik.24
23
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
3 24
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
2-3
30
Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke Delapan
Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara.25
2. Prinsip-Prinsip Mediasi
Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari
diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan
kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam
menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi
lahirnya institusi mediasi.
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton
tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26
:
Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak
yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers oleh masing-
masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan
25
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradyana
Paramitha, 2004), h. 468
26
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 28
31
mediasi tersebut.27
Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali para pihak
menghendaki lain.28
Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela. Masing-
masing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan
mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-
pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa
orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar dari
persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan atas pilihan
mereka sendiri.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di
dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan
dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran
seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi
milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol
proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak
bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau
27
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
29
28
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
32
benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau
memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya
solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai standar legal,
tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi
mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak.
Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik yang
merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang
lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi terdapat
metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak ketiga
sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk
mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.29
3. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para
pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi dapat
mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen
dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan
kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenagkan
atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak
yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam
29
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 28
33
pengambilan keputusan.30
Mediator tidak memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga
proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka. Penyelesaian
sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para
pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka
secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal
pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah
dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses
mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan
mempersempit perselisihan diantara mereka.31
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan
antara lain:
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif
murah.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan
mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka.
c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan mereka.
30
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
24
31
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
25
34
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap proses dan hasilnya.
e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa.
f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang terjadi
antara para pihak.32
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap
pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam
menyelesaikan sengketa mereka.
1. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun
sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap
pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan berjalan
tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator melakukan
beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi
para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada
masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan
budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan,
32
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
24-26
35
kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah
pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33
Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh
terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal dalam
waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika
ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator harus
menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah pihak,
sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka.
Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila
mediasi mengalami kegagalan.
Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan
utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator
bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk menyusun
strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka penyelesaian
konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan sejelas
mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi, manfaat
mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para pihak.34
Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam pasal 7 ayat
(1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua
33
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
36
34
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
39
36
belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar terlebuh
dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama 2 hari
kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding
untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana Pasal 8 Perma
ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan jika hal
ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua Majelis yang akan
menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu penetapan.35
Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di tempuh
mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara tidak
langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka, dan
tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terseret
dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu mengarahkan
mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan yang
lebih baik dan damai.
Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu menciptakan
rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai. Para pihak
bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik, karena
mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih baik.
Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi menunjukan
sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh harapan
35
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 72
37
besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga kepada pihak
lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta tidak memiliki
penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari seorang
mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator harus
bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat langkah
yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa aman,36
yaitu:
a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum kedatangan para
pihak-pihak yang bertikai
b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi
c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan,
d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam memimpin
pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa yang
bertanggung jawab pada pertemuan tersebut.
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi
Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang
bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi. Tahap
mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses
mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja
setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat
36
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 43
38
didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat rahasia
dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan
penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang paling lama 14
hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat bahwa
kesepakatan akan tercapai.37
Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak
yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi.
Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan
permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan
opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan,
mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.38
Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran
tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi
juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh
hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan
hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.39
37
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 73
38
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 44
39
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
39
Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan
pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk
mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu.
Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah para hakim
tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk
berdamai dan rukun kembali.40
Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat diselamatkan.
Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak-
anak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut.
Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah
tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial
kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari
perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Upaya
mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan terpuji dan
lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di
bidang yang lain.41
Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para
pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban
yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa,
40
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164
41
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT.
Sarana Bakti Semesta, 1989) h. 49
40
mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya
mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara
optimal.42
Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa
adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar perceraian
tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan
perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke Pengadilan oleh
para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap ketentuan ini tidak
dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu ketentuan yang
melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, melarang salah
satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian itu
disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta
perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak
mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak mengajukan
gugatan baru.43
3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-
hasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu
42
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
43
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 103
41
perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan
komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44
D. Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan hakam.45
Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46
Perdamaian dalam syariat
Islam sangat dianjurkan. Karena dengan perdamaian akan terhindar dari
kehancuran tali silaturahmi dan permusuhan di antara para pihak yang
bersengketa dapat diakhiri. Dasar hukum perdamaian dapat dilihat dalam QS. An-
Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya :
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimkanlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.Hakam ialah juru pendamai. (QS. An-Nisa:
35).
Dalam ajaran Islam istilah Ishlah adalah memutuskan suatu
persengketaan, sedangkan menurut istilah Ishlah adalah suatu akad dengan
44
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) h. 53
45
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), h. 119.
46
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 789
42
maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang. Yang maksud disini
adalah mengakhiri suatu persengketaan dengan perdamaian karena Allah
mencintai perdamaian. Dengan demikian, pertentangan itu apabila
berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka Ishlah mencegah
hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang
membangkitkan fitnah pertentangan.47
Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berperkara
adalah sejalan dengan tuntutan ajaran Islam. Ajaran Islam memerintahkan agar
menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi diantara manusia sebaiknya
diselesaikan dengan jalan perdamaian (islah).48
Peran dalam mendamaikan para pihak-pihak yang bersengketa itu lebih
utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang
diadilinya. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu merupakan
perioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab
mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa
yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.49
Tentang hal yang berhubungan dengan perceraian dikemukakan dalam
Pasal 65 dan 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 Undang-
47
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 31
48
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 151
49
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 151
43
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975. Dalam Pasal-Pasal ini dikemukakan bahwa hakim wajib mendamaikan para
pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha hakim mendamaikan
para pihak-pihak yang berperkara itu dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan. Dalam upaya mendamaikan itu hakim wajib menghadirkan pihak
keluarga atau tetangga dekat pihak-pihak yang berperkara untuk didengar
keterangannya dan meminta bantuan mereka agar pihak-pihak yang berperkara
rukun kembali.50
E. Mediator
1. Peran dan Fungsi Mediator
Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses mediasi.
Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan
mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antara
para pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan,
menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai
suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh
mediator. 51
Mediator sebagai pihak ketiga yang netral melayani kepentingan para
pihak yang bersengketa. Mediator harus membangun interaksi dan
50
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 151
51
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 77
44
komunikasi yang positif. Tindakan seperti ini amat penting dilakukan
mediator dalam rangka mempertahankan proses mediasi. Komunikasi dan
interaksi dapat dilakukan mediator secara terbuka dan dihadiri bersama oleh
para pihak.
Dalam memimpin pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak,
mediator berperan mendampingi, mengarahkan dan membantu para pihak
untuk membuka komunikasi positif dua arah, karena lewat komunikasi yang
terbangun akan memudahkan proses mediasi selanjutnya. Pada peran ini
mediator harus menggunakan bahasa-bahasa yang santun, lembut dan tidak
menyinggung para pihak, sehingga para pihak terkesan rileks dalam
berkomunikasi satu sama lain. 52
Menurut Fuller, mediator memiliki beberapa fungsi yaitu, katalisator,
pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek, agen realitas.
Fungsi sebagai katalisator diperlihatkan dengan kemampuan mendorong
lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi diantara para
pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebar terjadinya salah pengertian dan
polarisasi di antara para pihak. Mediator berperan sebagai penerjemah,
mediator juga juga harus berusaha dalam menyampaikan dan merumuskan
usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa, atau
ungkapan yang enak di dengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi
maksud dan sasaran yang hendak dicapai.53
52
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 78
53
Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2011), h. 15
45
Dalam praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang
muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut, antara lain:
a. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak;
b. Menerangkan proses dan memndidik para pihak dalam hal komunikasi
dan menguatkan suasana yang baik;
c. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan;
d. Mengajar para pihak dalam proses keterampilan tawar-menawar; dan
e. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan
pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.54
Dengan adanya kewajiban untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa yang berada di pengadilan tingkat pertama, maka peran hakim
sebagai mediator sangat menentukan. Hakim mediator tidak saja harus
menguasai norma-norma yang tertulis dalam PERMA tentang mediasi.
Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif, namun dalam tugas
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, selama ini hakim bersifat pasif.
Tanggung jawab hakim yang tadinya hanya sekedar memutuskan perkara,
namun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi tersebut,
kini berkembang menjadi mediator yang mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara sebagai penengah.55
54
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 79
55
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 41
46
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai
dengan asas Hukum Acara Perdata, pasal 130 HIR menyebutkan apabila pada
hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim
berkewajiban untuk mendamaikan mereka.
Pasal 130 HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat
diintensifkan. Caranya dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur perkara. Dalam pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, mewajibkan hakim sebagai mediator dan
para pihak mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.Peran
hakim dalam pemeriksaan di Pengadilan tidak hanya harus menguasai norma-
norma yang tertulis dalam PERMA, tetapi jiwa PERMA itu sendiri.Hakim
pemeriksa harus bertanggung jawab menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam
PERMA, tidak hanya sekedar memenuhi syarat formal.56
Tugas hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator berdasarkan
PERMA, sebagai berikut: mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan
mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. Kemudian, mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi. Selanjutnya, apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus dan mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri,
menggali, kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian
yang terbaik bagi para pihak. Tujuan tersebut menjelaskan tugas-tugas
56
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, h. 41
47
mediator sehingga proses mediasi yang dipimpinnya dapat berjalan dengan
baik. Selain itu, dapat mendorong para pihak yang bersengketa untuk
mencoba menyelesaikan sengketa dengan damai sehingga tercapai suatu
kesepakatan bersama.57
Peran mediator ini hanya mungkin diwujudkan bila ia mempunyai
sejumlah keahlian (skill). Keahlian ini diperoleh melalui sejumlah pendidikan,
pelatihan (training) dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan konflik
atau sengketa. Mediator sebagai pihak yang netral dapat menampilkan peran
sesuai dengan kapasitasnya.
Mediator dapat menjalankan perannya mulai dari peran terlemah
sampai peran terkuat. Berikut akan dikemukakan sejumlah peran mediator
yang dikategorikan dalam peran lemah dan peran kuat. Peran-peran ini
menunjukan tinggi rendahnya kapasitas dan keahlian (skill) yang dimiliki oleh
seorang mediator.58
Mediator menampilkan peran yang lemah, bila dalam proses mediasi
ia hanya melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pertemuan;
b. Memimpin diskusi rapat;
c. Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan berlangsung
secara baik;
57
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, h. 41
58
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 80
48
d. Mengendalikan emosi para pihak; dan
e. Mendorong pihak/perundingan yang kurang mampu atau segan
mengemukakan pandangannya.59
Sedangkan mediator menampilkan peran kuat, ketika dalam proses
mediasi ia mampu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan;
b. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak;
c. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah sebuah
pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus
diselesaikan;
d. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah;
e. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah;
f. Membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu dalam rangka
penyelesaian sengketa.60
g. Mediator harus mampu berperan untuk menghargai apa saja yang
dikemukakan kedua belah pihak, dan mediator juga harus menjadi
pendengar yang baik dan mampu mengontrol kesan buruk sangka, mampu
59
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
81
60
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 81
49
berbicara netral.61
Peran-peran diatas harus diketahui secara baik oleh seorang yang akan
menjadi mediator dalam dalam penyelesaian sengketa. Mediator harus
berupaya melakukan yang terbaik agar proses mediasi berjalan maksimal,
sehingga para pihak merasa puas dengan keputusan yang mereka buat atas
atas bantuan mediator.62
2. Keterampilan dan Bahasa Mediator
a. Keterampilan Mediator
Keterampilan seorang mediator sangatlah diperlukan demi
keberhasilan mediasi yang dilakukannya. Mediator dalam menjalankan
mediasi harus memiliki keterampilan, yaitu keterampilan mendengarkan,
keterampilan membangun, keterampilan membangun rasa memiliki
bersama, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan meredam
ketegangan, dan keterampilan merumuskan kesepakatan.63
1) Keterampilan mendengarkan
Keterampilan mendengarkan amat penting bagi mediator dari
keterampilan mendengarkan inilah akan muncul kepercayaan dari para
pihak bahwa mediator benar-benar memahami dan mendalami
61
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara di Pengadilan, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 46
62
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 82
63
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
91
50
persoalan mereka.mediator akan diterima para phak sebagai juru
damai, karena ia mampu menunjukan keseriusan dan kemampuannya
memahami para pihak. Diterimanya mediator oleh para pihak, akan
memudahkan membangun kekuasaan sebagai mediator. Kekuasaan ini
bukan untuk mendominasi dan menekan para pihak akan tetapi
menerima tawaran solusi, tetapi menciptakan ruang yang aman dalam
membangun komunikasi konstruktif.
Keterampilan atau keahlian mendengar dibagi kedalam tiga
bagian yaitu keahlian menghadiri (attending skills), keahlian
mengikuti (following skills), dan keahlian merefleksi (reflecting skills).
Keterampilan menghadiri berkaitan erat dengan keberadaan mediator
dengan para pihak, baik secara fisik maupun psikologis.
Keterampilan mengikuti berkaitan dengan kemampuan
mediator memahami para pihak, yang tercermin dengan pemberian
isyarat, tidak memotong pembicaraan, memberikan dorongan,
membuat catatan, mengajukan pertanyaan dan sedikit menahan diri
dalam memberikan saran. Sedangkan keahlian merefleksi berkaitan
erat dengan kemampuan mediator memberikan tanggapan kepada
pembicara, dan mengulang kembali dengan bahasa lain.64
2) Keterampilan Membangun Rasa Memiliki Bersama
64
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
91
51
Keterampilan membangun rasa memiliki bersama dimulai dengan
sikap empati yang ditunjukan mediator terhadap persoalan yang
dihadapi para pihak. Mediator terhadap persoalan yang dihadapi para
pihak.Mediator harus mengetahui, mengidentifikasi, dan memahami
perasaan yang dialami oleh pihak yang bersengketa. Mediator
menumbuhkan rasa memiliki bersama dengan para pihak, guna
merumuskan berbagai solusi atas berbagai persoalan mereka.
Membangun rasa memiliki bersama dapat dilakukan mediator
dengan menjernihkan berbagai persoalan, mengidentifikasi
keprihatinan bersama, dan menitik beratkan pada kepentingan kedua
belah pihak.
3) Keterampilan Memecahkan Masalah
Keterampilan yang paling esensial dalam proses mediasi adalah
keterampilan memecahkan masalah. Karena inti dari mediasi adalah
menyelesaikan persengketaan yang terjadi antara para pihak. Dalam
memecahkan masalah mediator melakukan beberapa langkah penting
berupa; mengajak para pihak untuk fokus pada hal-hal positif, fokus
pada persamaan kepentingan dan kebutuhan, fokus pada penyelesaian
masalah untuk masa depan, memperlunak tuntutan, ancaman dan
penawaran terakhir, dan mengubah suatu permintaan atau posisi
absolute menjadi suatu bentuk penyelesaian.
4) Keterampilan Meredam Ketegangan
52
Dalam menjalankan proses mediasi mediator harus memahami
bahwa kemarahan merupakan hal alamiah yang tidak dapat
disembunyikan oleh para pihak, apalagi ketika keduanya berhadapan
satu sama lain. Menghadapi kondisi ini mediator harus mampu
meredam ketegangan, sehingga proses mediasi dapat berjalan kembali
sebagaimana mestinya.
Mediator dapat mengambil sejumlah tindakan yang merupakan
keterampilan dalam mengelola dan meredam kemarahan dari kedua
belah pihak yang bersengketa. Mediator harus memposisikan diri
sebagai penengah dan tempat para pihak menumpahkan
kemarahannya. Mediator harus mencegah pengungkapan kemarahan
tidak secara langsung ditunjukan kepada masing-masing pihak, tetapi
mereka harus menyatakan kemarahannya dihadapan mediator.65
Jadi, pengungkapan kemarahan para pihak harus ditanggapi
positif dan tenang oleh seorang mediator, karena melalui
pengungkapan kemarahan akan dapat ditemukan esensi atau penyebab
utama terjadi sengketa diantara para pihak.
5) Keterampilan Merumuskan Kesepakatan
Ketika para pihak sudah mencapai kedepakatan dalam mediasi,
maka tugas mediator adalah harus merumuskan kesepakatan tersebut
dalam bentuk tertulis. Dan mediator mengajak para pihak secara
65
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
99-100
53
bersama-sama memberi tanggapan, apakah kesepakatan tersebut sudah
sesuai dengan pembicaraan yang telah berlangsung, apakah sudah
mencakup hal yang esensial ataukah mereka bersedia untuk
melaksanakannya.
Bila para pihak telah memahami rumusan kesepakatan dengan
baik dan mereka akan melaksanakannya, maka kedua belah pihak
dapat membubuhkan tandatangannya. Dengan penandatanganan
kesepakatan tersebut, maka secara formal proses mediasi sudah
selesai.66
b. Bahasa Mediator
Dalam menciptakan jalannya mediasi dengan baik perlu
diperhatikan juga bahasa yang baik dari mediator. Mediator harus
memiliki keterampilan menggunakan bahasa yang baik dan sederhana
dalam memediasi kedua belah pihak. Bahasa yang baik adalah bahasa
mediator yang mampu membawa para pihak nyaman berkomunikasi
dengan mediator, sehingga para pihak merasakan kehadiran mediator
cukup penting di tengah-tengah mereka.
Ketidaktepatan bahasa yang digunakan mediator dapat mengancam
gagalnya mediasi. Bahasa-bahasa yang santun, lembut dan memelas pada
taraf tertentu sangat dibutuhkan, demi memperlancar kegiatan mediasi.
Kemampuan mediator memilih kata, kalimat, dan istilah-istilah yang
66
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
94
54
lazim dipakai para pihak yang bersengketa akan mempermudah mediator
membawa para pihak membuat kesepakatan-kesepakatan.
Kemampuan menyusun kalimat-kalimat netral memerlukan
pemikiran serius dan latihan yang terus-menerus, sehingga mediator peka
dan cepat tanggap untuk melakukan penyesuaian kalimat tersebut. Oleh
karena itu, training dan praktik simulasi akan sangat membantu mediator
dalam mempertajam kemampuannya dalam berkomunikasi dan
menetralkan pernyataan-pernyataan dari para pihak.67
c. Kewenangan dan Tugas Mediator
Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang mediator, mediator juga
mempunyai sejumlah kewenangan dan tugas-tugas dalam mediasi.
Mediator diberikan kewenangan oleh para pihak melakukan tindakan
dalam rangka memastikan bahwa mediasi sudah berjalan sebagai
mestinya. Mediator juga dibekali dengan sejumlah tugas yang harus
dilaksanakan mulai dari awal sampai akhir proses mediasi.
Kewenangan mediator terdiri atas:
1) Mengontrol proses dan menegaskan aturan dasar.
Mediator berwenang mengontrol proses mediasi sejak awal sampai
akhir. Mediator juga mengawasi sejumlah kegiatan tersebut melalui
penegakan aturan mediasi yang telah disepakati. Dan mediator
67
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
109
55
memiliki kewenangan untuk mengajak para pihak kepada kesepakatan
awal, jika salah satu pihak melanggar kesepakatan sebelumnya.
Misalnya, pada tahap pertemuan pertama disepakati bahwa para pihak
tidak akan melakukan interupsi (menyela), ketika salah satu pihak
melakukan interupsi/menyela, maka mediator berwenang menegaskan
aturan tersebut.
2) Mempertahankan struktur dan momentum dalam negoisasi
Mediator berwenang menjaga dan mempertahankan struktur dan
momentum dalam negoisasi. Esensi mediasi terletak pada negoisasi, di
mana para pihak diberikan kesempatan melakukan pembicaraan dan
tawar-menawar kepentingan, dan pilihan-pilihan yang mungkin
dicapai. Dalam hal ini mediator menjaga dan mempertahankan struktur
negosiasi yang dibangun tersebut.68
3) Mengakhiri proses bilamana mediasi tidak produktif lagi
Dalam proses mediasi sering ditemukan para pihak sangat sulit
berdiskusi secara terbuka. Mereka mempertahankan prinsip secara
ketat dan kaku, terutama pada saat negosiasi. Ketika mediator melihat
para pihak tidak mungkin lagi diajak kompromi dalam negosiasi, maka
mediator berwenang menghentikan proses mediasi. Mediator dapat
menghentikan proses mediasi untuk sementara waktu atau penghentian
68
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 83
56
untuk selamanya (mediasi gagal). Ada dua pertimbangan penghentian
mediasi yang dilakukan oleh mediator. Pertama, ia menghentikan
proses mediasi untuk sementara waktu, guna memberikan kesempatan
kepada para pihak memikirkan kembali tawar-menawar kepentingan
dalam menyelesaikan perkara. Kedua, mediator menghentikan proses
mediasi dengan pertimbangan hampir dapat dipastikan tidak ada celah
yang mungkin dimasuki untuk diajak negosiasi dari kedua belah
pihak.69
Adapun yang menjadi tugas seorang mediator adalah:
1) Melakukan diagnosis konflik
Tugas pertama yang dilakukan mediator adalah mendiagnosis konflik
atau sengketa. Mediator dapat mendiagnosis sengketa sejak
pramediasi, yang bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk
persengketaan, latar belakang penyebabnya dan akibat dari
persengketaan bagi para pihak. Atas dasar diagnosis sengketa,
mediator dapat menyusun langkah negosiasi, mencari alternatif solusi,
mempersiapkan pilihan yang mungkin ditawarkan kepada kedua belah
pihak dalam penyelesaian sengketa.
2) Mengidentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis
para pihak
Mediator juga mengarahkan para pihak untuk menyampaikan
kepentingan-kepentingan mereka dalam persengketaan tersebut.
69
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 86
57
Dalam prakteknya, para pihak menyampaikan secara sistematis dan
runtut pokok sengketa dan kepentingan masing-masing. Oleh karena
itu mediator bertugas mengidentifikasi dan menyusun secara
sistematis pokok persengketaan dan kepentingan masing-masing
pihak. Identifikasi dan sistematika ini sangat penting untuk menjadi
pedoman para pihak dalam proses mediasi. Sistematika ini juga akan
memudahkan mediator dalam menyusun sejumlah agenda.
3) Menyusun agenda
Dalam agenda mediasi memuat sejumlah hal antara lain: waktu
mediasi, durasi waktu tiap pertemuan, tempat mediasi, para pihak yang
hadir, mediator, metode negosiasi, persoalan pokok yang
dipersengketakan dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh kedua
belah pihak.
4) Memperlancar dan mengendalikan komunikasi
Mediator bertugas membantu para pihak untuk memudahkan
komunikasi mereka, karena dalam prakteknya banyak ditemukan para
pihak malu dan segan untuk mengungkap persoalan dan kepentingan
mereka. Sebaliknya, banyak juga para pihak yang terlalu berani
menyampaikan pokok sengketa dan tuntutannya, sehingga kadang-
kadang menyinggung pihak lain. Dan ini tentunya akan menghambat
proses mediasi, dan disinilah mediator harus mampu mengendalikan
komunikasi para pihak.
58
5) Mediator harus menyusun dan merangkaikan kembali tuntutan
(positional claim) para pihak, menjadi kepentingan sesungguhnya dari
para pihak.
6) Mediator bertugas mengubah pandangan egosentris masing-masing
pihak menjadi pandangan yang mewakili semua pihak.
7) Mediator bertugas menyusun proposisi mengenai permasalahan para
pihak dalam bahasa dan kalimat yang tidak mnonjolunsur emosional
dan ia juga dapat menyusun sejunlah pertanyaan yang dapat
meyakinkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka secara
adil dan terbuka.70
Mengenai tugas-tugas mediator ini dalam PERMA No.1 Tahun 2008
dalam pasal 15 yang dirangkum dalam 4 pasal yaitu:
1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi
kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan
dalam proses mediasi.
3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.71
70
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
86
71
PERMA No. 1 Tahun 2008, Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator
59
BAB III
PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Bermula dari surat ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda tanggal
12 Maret 1828 Nomor 17, khusus untuk Batavia dibentuk satu majlis distrik yang
berwenang menyelesaikan semua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan
warisan. Memang sangat mungkin Pengadilan Agama sudah ada jauh sebelum itu,
namun pengakuan pertama secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda adalah
pada tahun 1828 tersebut. Majlis distrik ini dipimpin oleh Komandan distrik
sebagai Ketua dibantu oleh para Penghulu dan Kepala Wilayah sebagai anggota.
Majlis distrik ini pulalah yang menandai awalnya berdirinya pengadilan
agama Jakarta sebagai badan peradilan yang terkait dan berada dalam sistem
pemerintahan dan ketata-negaraan secara formal dengan yuridiksi meliputi
seluruh wilayah Batavia, meestercornelis (Jatinegara), Bekasi dan Cikarang.1
Letak kantor Pengadilan Agama Jakarta, sejak awal didirikan, sampai saat
ini belum ada informasi yang pasti dan jelas bahwa sampai tahun 1942 dalam
dokumen tersebut yang tersimpan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Nama
Pengadilan Agama Jakarta menggunakan nama Raad Agama Meester Cornelis.
Dari dokumen ini pula dapat diperoleh informasi bahwa yuridiksi Raad Agama
Meester Cornelis meliputi kota Praja Meester Cornelis yang mewilayahi
1 http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
60
kawedanan Meester Cornelis sendiri, kewadenan Kebayoran, Kewadenan Bekasi
dan Kewadenan Cikarang serta seluruh wilayah Kota Praja Batavia.2
Pada tanggal 17 Januari 1967 dengan Keputusan Menteri Agama No. 4
Tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967, bernama Pengadilan Agama Istimewa
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah
Kekuasaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan sebagai sekaligus
Pengadilan Agama Jakarta Pusat, berkedudukan di Jalan K.H. Mas Mansur, Gg.
H. Awaludin II/2 Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pada awalnya, dahulu, Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis
Distrik sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh Kolonial Belanda pada
tahun 1828 yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau
Raad Agama berdasarkan stb 1882 no. 152.
Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang merupakan penerus
dan pelanjut bagi Pengadilan Agama Jakarta sebagaimana tersebut dalam
Keputusan Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1967, maka sejak tanggal 17 Januari
1967 Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Pengadilan Agama Istimewa
Daerah KhususIbu Kota Jakarta Raya sebagai Pengadilan induk yang memiliki
empat kantor cabang Pengadilan. Oleh karena Majelis Distrik didirikan
berdasarkan ketetapan komisaris Jendral Hindia Belanda No. 17 tanggal 12 Maret
1828, maka selayaknya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari kelahiran
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
61
Adapun para tokoh yang pernah memimpin Pengadilan Agama Jakarta
sebelum kemerdekaan sampai saat ini yang dapat diketahui adalah Presiden Raad
Agama periode 1920 sampaidengan 1946, yakni:
1. K.H. Abdul Aziz. dan,
2. H.H. Abdul Mutholib.
Hakim-hakim anggota terdiri dari K.H. Muhammad Enceng, K.H. Muhammad,
K. H. Abdul Halimdan K.H. Abdullah. Ketua Presiden (Ketua) Raad Agama dan
Para hakim Agama tersebut saat ini belum diketahui identitas lengkap dan riwayat
hidupnya. Oleh karena itu kepada siapa saja yang mengetahui, diharap dapat
menyampaikan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk diabadikan dalam
tulisan ini.3
B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Website
www.pa-jakartapusat.go.id, merupakan Website Resmi Pengadilan
Agama Jakarta Pusat yang berisi informasi umum tentang layanan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat terhadap para masyarakat pencari keadilan. Disini para
pihak yang berperkara dapat mendapatkan info perkara yang telah didaftarkan
berupa informasi jadwal sidang, infomasi perkara, akte cerai dsb.
2. Ruangan
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Pusat terdiridari 2 (dua) Lantai :
3 http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
62
Lantait.I terdapat 3 (tiga) Ruang Sidang, Ruang Tunggu, Meja
Informasi/Pengaduan, Ruang Pendaftaran, Ruang Kasir dan Pengembalian
Sisa Panjar, Ruang Posbakum, Ruang Mediasi, Meja Resepsionis, Ruang
Sekretariat, Ruang Wakil Sekretaris, Ruang Bendahara, Ruang Kepaniteraan,
Ruang Wakil Panitera.
Lt. II terdapat Ruang Ketua, Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera, Ruang
Sekretaris, Ruang Hakim, Ruang Panitera Pengganti, Ruang Jurusita, Ruang
Rapat, Ruang Serbaguna, Ruang Server dan Pantry.
3. Counter Bank Syariah Mandiri
Untuk mempermudah para pencari keadilan untuk membayar biaya perkara,
maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengadakan kerjasama dengan Bank
Syariah Mandiri Cabang Hasanuddin Jakarta.
4. Posbakum (Pos Bantuan Hukum)
Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap
pengadilan tingkat pertama untuk memberikan layanan hukum berupa
informasi, konsultasi, pencatatan dan pelaporan layanan hukum bagi
masyarakat yang kurang mampu dalam register yang dilakukan oleh petugas
Pengadilan. Pada setiap pengadilan berisi segala informasi dan data yang
berhubungan dengan permintaan dan pemberian layanan hukum bagi
masyarakat tidak mampu.4
4 www.google.com, pn-pariaman.go.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2015
63
5. Meja Informasi.
Meja informasi yang sejatinya merupakan unit layanan informasi bagi
masyarakat. adapun fungsi meja informasi sebagai komunikator, yakni orang
yang memberikan informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Pengadilan dan pencari keadilan. Dikaitkan dengan keberadaan meja
informasi di Pengadilan, petugas meja informasi akan memberikan penjelasan
kepada calon pencari keadilan kelengkapan berkas gugatan atau permohonan,
meneruskan berkas yang telah disiapkan oleh pencari keadilan, dan membantu
masyarakat yang membutuhkan informasi-informasi dari Pengadilan. Dan
kegunaan meja informasi juga dapat menginformasikan secara jelas kepada
masyarakat tentang penyampaian keluhan atau pengaduan serta bagaimana
keluhan tersebut akan ditangani oleh Pengadilan.5
C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Bagan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 19966
5 www.pa-batusangkar.go.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2015
6 http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
64
Hakim
Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH.
Dra. Hj. Saniyah KH.
Dra. Hj. Nurroh Sunah, SH.
Dra. Istiana, MH.
Dra. Hj. Taslimah, MH
Hj. Suciati, SH.
Drs. H. Azid Izuudin, MH.
Drs. H. Ahmad Manshur Noor
Drs. Sarnoto, MH.
Drs. H. Munadi, MH.
Kepala Urusan Kepegawaian
Jusriah Rieuwpasa, SHI.
Kepala Urusan Keuangan
Titi Khotimah, SH.
Nurwilis, SH.
Kepala Urusan Umum
Haryanti, SH.
Oebaydillah, S.Ag.
Hiram Sulistio, S. S.Kom.
Adi Praswara Ary, SH., MH.
Panitera Muda Gugatan
Nova Asrul Lutfi, SH.
Penitera Muda Permohonan
Bangbang SP, SH., SPI., MH.
Penitera Muda Hukum
Ruslan, SH., MH.
Panitera Pengganti
Dra. Mulyahefni
Muhamad Fahat, SH.
Ikbal Basry, SH.
Zaelani Azis, SH., MH.
Endang Bahtiar, SH., MH.
Susilowati, SH., MH.
Runie Handayani, SH., MH.
Susilowati, SH., MH.
Runie Handayani, SH., MH.
M. Yasin, SH.
Tratna Dewy SAT, SH., MH.
Moh. Dudi Wahyudi K, SH., MH.
Amrullah, SH.
Jurusita Pengganti
Sri Mahanum
Budi Sukirno
Magdalena Hutagaol
Muhammad Iqbal Yunus, SHI., MH.
Elik Korniawati, SH. MH.
Fita Alfiany ARP. S.Kom
Budy Setyo Rini, SH.
Nurhidayah Megawati, SH.
Achmad Fadli, A.Md.
Nyayu Asha DellaSati. A.Md.
Muhammad Muchram
Ruslani
Wakil Sekertaris
Suhendra, S.Sos., MM.
Wakil Panitera
Hj. Ghaizar Fau’ah, SH., MH.
Panitera/Sekertaris
Drs. H. Ujang, SH., MH.
Ketua
Dra. Hj.Rokhanah, SH., MH.
Wakil Ketua
Drs. H.M. Turchan Badri, SH., MH.
Juru Sita
Wadinah
65
D. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Visi Pengadilan Agama Jakarta Pusat :
“Mewujudkan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Yang Agung”
Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat:
1. Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparasi.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan dalam rangka
peningkatan pelayanan pada masyarakat.
3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien.
4. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif dan
efisien.
5. Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.7
E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Jakarta pusat
Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki wilayah yuridiksi relatif
yang meliputi 8 kecamatan dan 44 kelurahan antara lain :
a. Kecamatan Gambir
1) Kelurahan Gambir
2) Kelurahan Kebon Kelapa
3) Kelurahan Petojo Selatan
7 http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
66
4) Kelurahan Duri Pulo
5) Kelurahan Cideng
6) Kelurahan Petojo Utara
b. Kecamatan Tanah Abang
1) Kelurahan Bendungan Hilir
2) Kelurahan Karet Tengsin
3) Kelurahan Kebon Melati
4) Kelurahan Kebon Kacang
5) Kelurahan Kampung Bali
6) Kelurahan Petamburan
c. Kecamatan Menteng
1) Kelurahan Menteng
2) Kelurahan Pegangsaan
3) Kelurahan Cikini
4) Kelurahan Kebon Sirih
5) Kelurahan Gondangdia
d. Kecamatan Senen
1) Kelurahan Senen
2) Kelurahan Kwitang
3) Kelurahan Kenari
4) Kelurahan Paseban
5) Kelurahan Kramat
67
6) Kelurahan Bungur
e. Kecamatan Cempaka Putih
1) Kelurahan Cempaka Putih Timur
2) Kelurahan Cempaka Putih Barat
3) Kelurahan Rawasari
f. Kecamatan Johar Baru
1) Kelurahan Galur
2) Kelurahan Tanah Tinggi
3) Kelurahan Kampung Rawa
4) Kelurahan Johar Baru
g. Kecamatan Kemayoran
1) Kelurahan Gunung Sahari Selatan
2) Kelurahan Kemayoran
3) Kelurahan Kebon Kosong
4) Kelurahan Harapan Mulya
5) Kelurahan Cempaka Baru
6) Kelurahan Utan Panjang
7) Kelurahan Sumur Batu
8) Kelurahan Serdang
h. Kecamatan Sawah Besar
1) Kelurahan Pasar Baru
2) Kelurahan Gunung Sahari Utara
68
3) Kelurahan Mangga Dua Selatan
4) Kelurahan Karang Anyar
5) Kelurahan Kartini8
2. Yuridiksi (Kewenangan) Absolut Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Yuridiksi absolut yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan
jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam
pemberdaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan lainnya.9
Yuridiksi absolut Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 49 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 yang diamandemenkan dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 disebutkan:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shodaqoh dan, ekonomi syariah”.10
Perkara yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta
Pusat adalah perkara perceraian, hal ini dapat dilihat dari laporan rekapitulasi
perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tahun
2012- 2014 yakni :
8http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
9 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h.
139
10
www.google.com, digilib.uinsby.ac.id, diakses pada tanggal 26 Februari 2015
69
Tabel 3.1
Laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta
Pusat pada tahun 2012- 2014
No Bulan Jumlah Perkara
2012 2013 2014
1 Januari 91 Perkara 99 Perkara 115 Perkara
2 Februari 105 Perkara 118 Perkara 97 Perkara
3 Maret 231 Perkara 106 Perkara 127 Perkara
4 April 88 Perkara 113 Perkara 111 Perkara
5 Mei 111 Perkara 140 Perkara 117 Perkara
6 Juni 114 Perkara 99 Perkara 151 Perkara
7 Juli 110 Perkara 272 Perkara 104 Perkara
8 Agustus 88 Perkara 65 Perkara 100 Perkara
9 September 75 Perkara 93 Perkara 115 Perkara
10 Oktober 115 Perkara 218 Perkara 138 Perkara
11 November 118 Perkara 112 Perkara 121 Perkara
12 Desember 837 Perkara 878 Perkara 453 Perkara
Total 2120 Perkara 2313 Perkara 1749 Perkara
Grafik 3.1
Laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat
pada tahun 2012- 2014
Jumlah Perkara Tiap Tahun
2012
2013
2014
70
Dari tabel diatas bahwa perkara perceraian yang paling banyak
ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat tahun 2012-2014. Dan dapat
di rinci sesuai dengan jenis perkara, yaitu :
Tabel 3.2
Jenis perkara ditangani oleh Pengadian Agama Jakarta Pusat
Tahun 2012
No Jenis Perkara Jumlah Perkara
1 Perceraian 1124 Perkara
2 Isbat Nikah 943 Perkara
3 Kewarisan 14 Perkara
4 Dispensasi Kawin 8 Perkara
5 Penguasaan Anak 7 Perkara
6 Harta Bersama 5 Perkara
7 Izin Poligami 5 Perkara
8 Wali Adhal 4 Perkara
9 Pembatalan Perkawinan 1 Perkara
10 Nafkah Oleh Ibu 1 Perkara
11 Hibah 1 Perkara
12 Perwalian 7 Perkara
2120 Perkara
Tahun 2013
No Jenis Perkara Jumlah Perkara
1 Izin Poligami 4 Perkara
2 Pembatalan Perkawinan 5 Perkara
3 Perceraian 1176 Perkara
71
4 Harta Bersama 2 Perkara
5 Penguasaan Anak 8 Perkara
6 Perwalian 9 Perkara
7 Isbat Nikah 1088 Perkara
8 Dispensasi Kawin 4 Perkara
9 Wali Adhal 4 Perkara
10 Kewarisan 8 Perkara
11 Penetapan Ahli Waris 44 Perkara
12 Pengangkatan anak 1 Perkara
Total 2313
Tahun 2014
No Jenis Perkara Jumlah Perkara
1 Izin Poligami 4 Perkara
2 Pembatalan Perkawinan 1 Perkara
3 Perceraian 1309 Perkara
4 Harta Bersama 6 Perkara
5 Penguasaan Anak 6 Perkara
6 Perwalian 13 Perkara
7 Asal Usul Anak 1 Perkara
8 Isbat Nikah 347 Perkara
9 Dispensasi Kawin 7 Perkara
10 Wali Adhal 4 Perkara
11 Kewarisan 10 Perkara
12 Hibah 1 Perkara
13 Penetapan Ahli Waris 39 Perkara
14 Pengangkatan Anak 1 Perkara
Total 1749
72
Grafik 3.2
perkara perceraian Pengadian Agama Jakarta Pusat
Tahun 2012-2014
Tampak pada grafik di atas, Dapat disimpulkan, bahwa dari semua
perkara yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat
setiap tahunnya adalah perkara perceraian.
Chart Title
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat
Mediasi di Pengadilan Agama adalah suatu proses usaha perdamaian
antara suami dan istri yang telah mengajukan gugatan cerai, dimana mediasi ini
dijembatani oleh seorang Hakim yang ditunjuk di Pengadilan Agama. 1
Pada praktiknya, proses mediasi ini dilakukan jika salah satu pasangan
nikah ada yang tidak setuju untuk cerai. Jadi, jika yang mengajukan gugatan cerai
si istri, tapi si suami menyatakan ia tidak mau bercerai pada saat sidang pertama,
maka dilaksanakanlah acara mediasi tersebut.
Dalam proses pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
pada sidang pertama, majelis hakim akan melengkapi berkas-berkas yang
diperlukan dalam persidangan seperti, kelengkapan surat gugatan, surat kuasa,
surat panggilan para pihak, dan sebagainya. Selanjutnya hakim akan menjelaskan
bahwa sesuai prosedur dimana sebelum dijalankannya proses cerai maka para
pihak diwajibkan mengadakan mediasi. Kemudian Hakim bertanya apakah para
pihak mempunyai mediator ? jika tidak maka hakim akan menentukan seorang
mediator untuk memimpin mediasi para pihak. Majelis hakim selanjutnya
menentukan hakim lain untuk menjadi mediator dalam pelaksanaan mediasi
1 www.google.com, Mediasi, diakses pada tanggal Selasa, 27 January 2015
74
tersebut, mediasi dilakukan di ruang khusus di Pengadilan Agama. Mediator
menjelaskan kepada para pihak peran seorang mediator dalam mediasi tersebut.
Mediator membacakan identitas dari para pihak seperti nama, alamat, perkerjaan
usia dsb. Lalu mediator meminta para pihak untuk masing masing menjelaskan
apa permasalahan mereka sampai mereka datang ke Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. Setelah dari masing-masing para pihak memberikan keterangan tentang
permasalahan mereka kemudian mediator memberikan nasehat kepada para pihak
yang ingin bercerai untuk mengurungkan niatnya. Dan juga menjelaskan bahwa
sesungguhnya perceraian itu sangatlah di benci oleh Allah SWT. Umumya
mediasi dilakukan maksimal 2 kali. Dan bila dalam mediasi tersebut tidak
tercapai perdamaian/rujuk, maka barulah proses perceraian dapat dilaksanakan.2
Merujuk pada Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008 tahap pra mediasi yaitu :
1. Pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang
berperkara, dan Hakim mewajibkan para pihak agar lebih dulu menmpuh
mediasi.
2. Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong
para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
3. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
4. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada para
pihak yang bersengketa.
2 Hasil observasi penulis di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada tanggal 12 Januari 2015
75
Untuk tahap-tahap proses mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2008 yaitu :
1. Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, Hakim mewajibkan para
pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk
berunding guna memilih mediator, termasuk biaya yang mungkin timbul
akibat pilihan penggunaan mediator bukan Hakim.
2. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua Majelis Hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Ayat (5) dan (6).
3. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihak untuk dibahas dan disepakati.
4. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
5. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
bagi para pihak.3
Untuk perkara perceraian, apabila dalam usaha mendamaikan para pihak
yang bersengketa berhasil, gugatan harus dicabut. Namun, bila para pihak tidak
mencapai kesepakatan dalam masa 40 hari sejak para pihak memilih mediator,
maka mediator wajib menyampaikan dan menyatakan secara tertulis bahwa
mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada Hakim.
3 PERMA No. 1 Tahun 2008, Tentang Prosedur Mediasi
76
Dalam menjalankan proses mediasi, mediator diberikan kebebasan untuk
menciptakan sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak menemukan
kesepakatan yang dapat diakhiri sengketa mereka. Mediator harus sungguh-
sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang
dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan. Jika dalam proses mediasi
terjadi perundingan yang menegangkan, mediator dapat menghentikan mediasi
untuk beberapa saat, guna meredam suasana agak lebih kandusif. Bahkan Pasal 9
ayat (1) PERMA memberikan kesempatan bagi mediator untuk melakukan
kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa
dihadiri oleh pihak lainnya. Keputusan kaukus berada di tangan mediator, dan
sebaiknya kaukus ini juga harus mendapat persetujuan dari para pihak.4
Proses mediasi di Pengadilan Agama mampu diterapkan untuk mencapai
target dan tujuan secara maksimal. Kalau selama ini upaya mendamaikan pihak-
pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara, tetapi
sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada
mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.Untuk perkara perceraian
mediasi ini sebenarnya hanya sekedar formalitas saja, namun mediasi di
Pengadilan Agama harus tetap dilakukan, karena apabila tidak dilakukan mediasi
terlebih dahulu maka akan batal demi hukum.5
4 Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 323
5 Hasil Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
pada Tanggal Senin, 12 Januari 2015
77
Di pengadilan Agama Jakarta Pusat mediasi biasanya dilakukan hanya
memakan waktu 10-15 menit saja mediasi sudah selesai dilaksanakan.6 Untuk
waktu yang singkat dalam memediasi para pihak yang bersengketa ini sudah tentu
upaya perdamaian yang dilakukan tidak akan mendatangkan hasil yang maksimal
dan bermanfaat kepada kedua belah pihak yang bersengketa.7
Sehubungan dengan hal ini, para hakim harus terpanggil hati nuraninya
secara optimal untuk mengusahakan perdamaian, tidak hanya terjebak pada usaha
mencari fakta kualitas perselisihan itu sendiri sedangkan ia tidak mengetahui
faktor apa yang melatarbelakangi pertengkaran itu. Apalagi kalau para Hakim
dalam mengusahakan perdamaian itu dilakukan hanya sepintas saja.8
Mengupayakan damai merupakan tugas yang melekat pada seorang hakim
maupun mediator. Hakim melakukan upaya damai secara terus menerus dalam
setiap proses pemeriksaan perkara yang ia tangani. Hakim mediator ditunjuk oleh
Majelis Hakim atau oleh para pihak yang meminta untuk memediasikan perkara
mereka. Hakim harus bersedia menjadi mediator, bila ia diminta para pihak untuk
menyelesaikan perkara mereka melalui jalur mediasi.
Mediasi di Pengadilan Agama juga tidak bisa terlepas dari peran mediator
dalam mengupayakan perdamaian, untuk peran yang dimaksud di dalam PERMA
6 Hasil Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
pada Tanggal Senin, 12 Januari 2015
7 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 164
8 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 103
78
ini adalah mediator yang menjalankan tugasnya di Pengadilan, mediator yang
bertugas dipengadilan dapat saja berasal dari hakim Pengadilan atau mediator dari
luar Pengadilan, namun harus memiliki sertifikat sebagai mediator. Mediator yang
berasal dari hakim adalah para hakim yang memiliki keterampilan yang diperoleh
dengan melelui sejumlah training atau pelatihan, sedangkan mediator Non-Hakim
adalah mereka yang memiliki keterampilan mediasi dan juga telah memiliki
sertifikat dari Mahkamah Agung.9
Peran mediasi ini dalam perkara perceraian sangat penting dan
bermanfaat untuk tercapainya perdamaian, dan untuk peran mediator ini juga
diharapkan dapat membantu para pencari keadilan dalam menentukan sikap dan
keinginannya dalam penyelesaian perkara.10
Mediasi ini sangat bermanfaat bagi
para pihak yang bersengketa untuk mencapai perdamaian.11
Peran mediator juga
dalam persidangan sangat penting apabila mediasi gagal maka akan dilanjutkan,
dan apabila mediasi berhasil maka akan diputus berdasarkan kesepakatan.12
Dalam menampilkan perannya secara maksimal, sangat perlu mediator
harus terlebih dahulu menjelaskan proses mediasi dan peranan mediator.
9 Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 317
10
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
11
Hasil Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada
Tanggal 01 Oktober 2014
12
Hasil Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
pada tanggal 01 Oktober 2014
79
Meskipun salah satu atau kedua belah pihak cara kerja mediasi dan peranan
mediator, akan sangat bermanfaat apabila mediator menjelaskan semuanya di
hadapan kedua belah pihak dalam sebuah pertemuan. Penjelasan itu terutama
berkaitan dengan identitas dan pengalaman mediator, sifat netral mediator, proses
mediasi, mekanisme pelaksanaannya, kerahasiaannya dan hasil-hasil dari mediasi.
Bila para pihak sudah memahami dengan sempurna mekanisme kerja mediasi,
maka mediator akan lebih mudah menampilkan perannya secara lebih kuat dan
sempurna.13
Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat banyak yang berperan sebagai
hakim mediator yang belum mempunyai sertifikat dikarenakan belum ada
kesempatan, dan hanya mengikuti seminar pelatihan-pelatihan saja untuk menjadi
mediator.14
Dan untuk mempermudah para pihak yang bersengketa dapat memilih
hakim mediator, di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dipasang nama-nama hakim
mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yaitu:
13
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 82
14
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
80
Tabel 4.1
Daftar Mediator Hakim dan Non-Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.15
No Nama NIP No Sertifikat
1. Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH. 195009111976012001 Tidak Ada
2. Dra. Hj. Saniyah KH. 195109161982032001 Tidak Ada
3. Dra. Nurroh Sunah, SH. 195608301978032001 Tidak Ada
4. Dra. Isti’anah, MH. 196401011991032014 Ada
5. Drs. Azid Izuddin, MH. 196207131993031003 Tidak Ada
6. Dra. Hj. Taslimah, MH. 196803141993032005 Tidak Ada
7. Drs. Sarnoto, MH. 196712251994031005 Ada
8. Drs. H. ahmad Manshur Noor 195612161986031001 Tidak Ada
9. Drs. H. Imbalo, SH., MH. 196012311991031024 Tidak Ada
10. Hj. Suciati, SH. 195707141980032005 Tidak Ada
11. Drs. H. Zulkifli Rahman, SH., MH. Mediator Non-Hakim 42/8-P/BP4/XII/2010
12. Dra. Hj. Zubaidah Muchtar, MSi. Mediator Non-Hakim 15/IICT/TFP/2010
13. Drs. H. M. Noor Mediator Non-Hakim 32/8-P/BP4/I/2011
14. Dra. Hj. Sti Khodijah Jamal, MSi. Mediator Non-Hakim 52/I/BP4/I/2011
Dari nama-nama hakim mediator di atas, terdapat 14 hakim mediator,
10 diantaranya sebagai hakim mediator, dan 4 diantaranya mediator Non-Hakim
yang berada di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dan diantara 10 hakim mediator
hanya ada 2 hakim saja yang sudah memiliki sertifikat mediator, dan ada 8 hakim
mediator belum memiliki sertifikat dan mengikuti pelatihan yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung. Karena, belum ada kesempatan dan adanya pelatihan dari
Mahkamah Agung yang belum merata.16
Diantara mediator Non-Hakim yang bersertifikat dan telah melakukan
pelatihan mediator, namun pada kenyataannya keberhasilan dalam memediasi
15
Daftar Mediator, Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
16
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
81
tidak terkait dengan adanya sertifikat, tetapi berdasarkan kepada kemampuan
seseorang dalam mengupayakan perdamaian. Maka dari itulah seorang mediator
memerlukan proses yang panjang untuk menjadi negosiator. Negosiator juga
memerlukan sejumlah keahlian atau skill yang akan membantu para pihak dalam
benar-benar menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Skill tersebut dapat berupa
kemampuan komunikasi, kemampuan mengajak para pihak ke meja perundingan,
dan berbagai kemampuan lainnya.17
Dalam melakukan upaya perdamaian diantara kedua belah pihak yang
bersengketa yaitu, dengan cara memberikan penjelasan keharusan adanya
perdamaian. Khususnya bagi hakim mediator dapat melakukan tindakan untuk
memaksimalkan hasil mediasi, diantaranya:
1. Mendalami dan menggali masalah atau persoalan yang dialami oleh kedua
belah pihakyang bersengketa.
2. Mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah mereka agar
tercapainya perdamaian diantara mereka.
3. Diperlukan melibatkan keluarga dekat para pihak agar dapat membantu proses
mediasi.18
Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang
mediasi sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah
17
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 10
18
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
82
penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari
keadilan. Mediasi merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan
perkara di Pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa.
B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat
Penggunaan mediasi sebagai salah satu cara dalam penyelesaian sengketa
dengan damai (win-win solution)19
ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor dengan
adanya mediasi ini diharapkan dapat mengurangi menumpuknya perkara, dan
memaksimalkan fungsi lembaga peradilan.20
Sehingga dengan cara mediasi kepentingan dan keinginan para pihak
dapat terkompromikan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dapat
menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam masalah perceraian tidak mungkin harus menggunakan sistem
penyelesaian sengketa diluar pengadilan, para pihak tetap harus mengikuti
tahapan proses berperkara di persidangan pengadilan. Dalam perkara perceraian,
mediasi ditemukan sebagai forum untuk mempertimbangkan kemungkinan-
kemungkinan terjadinya ishlah diantara suami istri sehingga diharapkan diperoleh
19
Hasil Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada
Tanggal 01 Oktober 2014
20
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 311
83
suatu perubahan sikap diantara mereka dan perceraian sebagai alternatif
penyelesaian masalah rumah tangga dapat diurungkan.
Walaupun demikian dalam sengketa perceraian, kewajiban mendamaikan
para pihak bersifat imperatif, dan Majelis Hakim harus memberi kesempatan para
pihak untuk melakukan upaya damai di luar persidangan.21
Dalam hal perkara perceraian, maka apabila terjadi perdamaian tidak
perlu dibuat akta perdamaian yang dikuatkan dengan putusan perdamaian, karena
tidak mungkin dibuat suatu perjanjian/ketentuan yang melarang seseorang
melakukan perbuatan tertentu, seperti melarang salah satu pihak meninggalkan
tempat tinggal bersama, memerintahkan supaya tetap mencintai dan menyayangi,
tetap setia, dan lain sebagainya. Karena hal-hal tersebut apabila diperjanjikan
dalam suatu akta perdamaian dan kemudian dilanggar oleh salah satu pihak, maka
akta perdamaian tersebut tidak dapat dieksekusi, selain itu akibat dari perbuatan
itu dan tidak berbuatnya, tidak akan mengakibatkan terputusnya perkawinan,
kecuali salah satu pihak mengajukan gugatan baru untuk perceraiannya.22
Keberhasilan mediasi diukur dari jumlah perkara perceraian yang dicabut.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
21
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian,
diakses pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014, www.badilag.net
22
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 165
84
Jenis
Perkara
Produk
Mediasi Putusan/Penetapan Ukuran Keberhasilan
Non
Perceraian
Akta
perdamaian
Mentaati isi
perdamaian
Jumlah perkara yang
keluar akta perdamaian
Perceraian
Kesepakatan
rukun
Pencabutan Jumlah perkara yang
dicabut
Dari indikasi tersebut untuk mengetahui prosentase perkara perceraian
yang berhasil dimediasi dalam satu tahun menggunakan rumusan sebagai
berikut23
:
X 100%
Misalnya jumlah data yang diperoleh dari perkara perceraian yang
diputus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat selama tahun 2012 adalah 1124
perkara dan jumlah perkara perceraian yang berhasil dicabut adalah 90 perkara.24
Maka prosentasenya adalah:
X 100 % = 8 %
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat selama tahun 2012 adalah sebesar 8 % dari
semua perkara perceraian yang diputus. Pada tahun 2013 perkara perceraian yang
dicabut adalah 104, dan perkara perceraian yang diputus adalah 1176. Maka
23
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian, diakses
pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014, www.badilag.net
24
Sumber Data Diperoleh dari Situs Resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, www.pa-
jakartapusat.go.id Diakses Pada Tanggal 18 Februari 2015
85
prosentasenya sebesar 8 %. Dan pada tahun 2014 untuk perkara perceraian yang
dicabut adalah 92, dan perkara perceraian yang diputus adalah 1309. Maka
prosentasenya pada tahun 2014 sebesar 7 %.25
Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa hasil mediasi pada tahun 2012-
2014 di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengalami penurunan. Hal ini
menunjukan bahwa masih kurangnya penerapan mediasi yang bertujuan untuk
menekan angka perceraian sebagaimana yang disebutkan didalam PERMA No. 1
Tahun 2008.
Dalam hal ini hakim mediator memegang peranan penting dalam
mendamaikan para pihak yang sedang berperkara. Keberadaan mediasi di
pengadilan sangatlah diperlukan, karena:
1. Dapat mengurangi masalah penumpukan perkara.
2. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada
kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan, dan
3. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses litigasi.
Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan
menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk
mengupayakan seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang
25
Sumber Data Diperoleh dari Laporan Perkara Yang Diputus Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Tahun 2013-2014 Oleh Panitera Muda Hukum Bapak Ruslan
86
berperkara. Pada awalnya proses perdamaian dipengadilan dilakukan secara
khusus pada persidangan pertama, dan hasil yang diperolehpun tidak maksimal.26
Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130
HIR banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat
keberhasilan perdamaian di pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan
dalam menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena pihak
advokad atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri hakim yang lebih
mengedepankan sikap formalitas dari pada panggilan dedikasi dan seruan moral
sesuai dengan ungkapan yang mengatakan, keadilan yang hakiki diperoleh pihak
yang bersengketa melalui perdamaian.27
Memperhatikan kondisi tersebut Mahkamah Agung yang menaungi seluruh
peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para hakim untuk
menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR,
melalui mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Penerbit Peraturan
Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan
didorong oleh keberhasilan Negara-negara lain dalam menerapkan aturan
tersebut, seperti: Jepang, Amerika Serikat, Australia,Singapore, dan lain-lain28
.
26
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25
Desember 2014
27
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25
Desember 2014
28
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25
Desember 2014
87
Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat bisa dikatakan belum berhasil
guna dengan target yang ingin dicapai yaitu menekan jumlah perkara yang
dilitigasikan. Kemudian dari sisi ekonomis, mediasi ini justru dianggap tidak
ekonomis dan dianggap menambah biaya yang harus dikeluarkan para pihak
berperkara, karena bagi mereka ini hanyalah suatu syarat saja yang harus dilewati.
Karena kebanyakan dari mereka yang datang ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat
mereka datang sudah dengan tekad yang bulat untuk bercerai, sehingga sulit
untuk di mediasi. Khususnya dalam masalah perceraian ini sangat sulit untuk
dimediasi dikarenakan menyangkut masalah perasaan.
Akan tetapi dilihat dari keberhasilan mediasi dari 3 tahun terakhir
belakangan ini, yaitu tahun 2012, 2013, dan 2014, keberhasilan mediasi
mengalami penurunan, diharapkan bagi hakim mediasi dan mediator agar dapat
memperbaiki penurunan dalam mediasi tersebut, dan juga kinerja para hakim
serta mediator supaya lebih dioptimalkan dalam melaksanakan mediasi. sehingga
target dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 dapat
tercapai, yaitu mengendalikan perkara yang dilitigasi. Dengan begitu PERMA
mengenai mediasi tersebut dapat dikatakan efektif di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
C. Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Keberhasilan Mediasi Dalam
Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Dari banyaknya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, di
dominasi oleh perkara perceraian, dilihat dari kurun waktu selama 3 tahun
88
terakhir, yaitu pada tahun 2012, 2013, dan 2014, faktor penyebab tingginya angka
perceraian dari tahun ke tahun karena faktor ekonomi, tidak ada tanggung jawab,
dan tidak ada keharmonisan dalam berumah tangga.
Adapun faktor-faktor keberhasilan dalam memediasi atau melakukan upaya
perdamaian pada perkara perceraian khususnya, diantaranya adalah:
1. Faktor-Faktor keberhasilan dalam mediasi :
a. Adanya itikad baik dari para pihak dan adanya sikap yang kooperatif dari
para pihak yang mau berdamai.
b. Adanya bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan agar
terciptanya perdamaian.
c. Adanya tempat situasi yang nyaman untuk para pihak yang sedang
dimediasi agar para pihak bisa lebih relax dan tidak tegang.
d. Tentunya hakim mediator dengan kemampuan, keahlian dan
kepiawaiannya dalam menyelesaikan masalah dan hakim mediator bisa
dengan sabar memberikan nasehatdan waktu yang cukup untuk para pihak
dalam menguraikan masalahnya.
2. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat sehingga mediasi menjadi
tidak berhasil atau gagal adalah:
a. Tidak ada itikad baik dari para pihak yang mau berdamai.
Karena kebanyakan dari mereka yang datang ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat sudah dengan tekad yang bulat yaitu mereka ingin bercerai
sehingga ini sangat sulit untuk dimediasi.
89
b. Para pihak yang tidak bisa meredam amarah atau emosinya.
c. Salah satu pihak yang sudah tidak bisa memaafkan pihak lain.
Kendala atau hambatan yang dihadapi dalam memediasi perkara
perceraian para pihak yang bersengketa adalah salah satu pihak sudah
tidak bisa memaafkan pihak lain dikarenakan adanya WIL (wanita idaman
lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Sehingga perkara perceraian sangat
sulit untuk dimediasi.
d. Tidak ada yang mau bernegosiasi dan tetap pada ego dan prinsip masing-
masing yaitu mereka tetap ingin bercerai.29
29
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Azid Izzudin dan, Isti’anah Hakim
Mediator Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut penelitian yang penulis lakukan, berdasarkan hasil analisa proses
mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
kesimpulannya sebagai berikut :
1. Pelaksanaan dalam proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam mengupayakan perdamaian antara para pihak
sudah sesuai dengan apa yang diatur pada PERMA No. 1 Tahun 2008, dan
HIR. Dan pada PERMA Pasal 7 ayat 1 tentang Kewajiban Hakim
Pemeriksaan Perkara dan Kuasa Hukum adalah pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi. Para pihak yang berperkara tidak boleh menolak
pelaksanaan mediasi tersebut. Apabila para pihak tersebut menolak mengikuti
mediasi maka proses persidangan batal demi hukum dan tidak dapat
dilanjutkan. Pada sidang pertama, majelis hakim wajib memberitahukan
kepada para pihak untuk menempuh jalur mediasi. Disini hakim menjelaskan
bagaimana proses mediasi. Setelah para pihak mau untuk dimediasi oleh
hakim menyarankan nama mediator atas persetujuan kedua pihak yang
berperkara. Setelah itu di luar sidang para pihak yang berperkara mengadakan
pertemuan dengan mediator dan menentukan waktu pelaksanaan mediasi.
91
Mediasi berjalan selama 40 hari. Apabila berhasil gugatan akan dicabut dan
apabila gagal maka persidangan akan dilanjutkan. Dengan adanya PERMA ini
para hakim beranggapan bahwa pelaksanaan mediasi lebih terarah dan teratur,
sehingga para hakim merasa setelah dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun
2008 Tentang Mediasi sangat membantu para hakim dalam melakukan
tugasnya dan para hakim juga dapat diberikan pemahaman lebih tentang
mediasi.
2. Tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat, jika dilihat dari penerapan mediasinya sudah efektif dan sesuai
dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun untuk hasil dari mediasi yang
berhasil dilakukan oleh hakim mediator masih belum menunjukan hasil yang
maksimal khususnya pada perkara perceraian. Untuk para Hakim yang
ditunjuk sebagai hakim mediator dalam melakukan proses mediasi telah
dilakukan secara optimal. Meskipun belum adanya perubahan yang signifikan.
Mengenai upaya mediator dalam perkara perceraian demi memaksimalkan
hasil mediasi dengan berbagai cara, diantaranya : Melibatkan pihak keluarga
dekat seperti anak, ibu dan lain-lain untuk memudahkan mediasi, mencoba
menjadi pendengar yang baik dan berusaha bersifat netral artinya tidak
memihak pada siapa pun, dan berusaha mencari jalan keluar yang tepat untuk
para pihak agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
3. Faktor-faktor yang menjadi menghambat dalam mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat diantaranya, tidak ada itikad baik dari para pihak yang mau
92
berdamai, para pihak yang tidak bisa meredam amarah atau emosinya, salah
satu pihak yang sudah tidak bisa memaafkan pihak lain, misalnya adanya WIL
(Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain) sehingga ini sangat sulit
dimediasi dan tidak ada yang mau bernegosiasi dan tetap pada ego dan prinsip
masing-masing dan dari para pihak yang sudah bertekad untuk bercerai.
Adapun faktor-faktor keberhasilan dalam mediasi yaitu adanya itikad baik
dari para pihak itu sendiri yang mau berdamai, adanya bantuan dari pihak
keluarga dekat yang bisa mengarahkan terciptanya perdamaian, adanya tempat
yang nyaman untuk para pihak yang dimediasi, dan tentunya kemampuan,
keahlian dan kepiawaian hakim mediator dalam menyelesaikan masalah bisa
dengan sabar dalam menghadapi para pihak yang berperkara untuk
tercapainya perdamaian.
B. Saran
Diakhir penulisan skripsi ini, penulis ingin mengajukan saran-saran, yaitu:
1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar dapat mengevaluasi pelaksanaan
mediasi dalam penyelesaian sengketa khususnya dalam perkara perceraian,
sehingga untuk kedepannya hasil mediasi dalam perkara perceraian dapat
ditingkatkan, dan bisa mengurangi atau menekan angka perceraian.
2. Kepada Mahkamah Agung agar dapat memperluas dan meningkatkan
pelatihan mediasi, dan mewajibkan para hakim untuk mengikuti pelatihan
mediasi. Karena pada umumnya kebanyakan dari hakim di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat masih belum memiliki sertifikat mediator.
93
3. Untuk para pihak yang berperkara disarankan dapat mematuhi dan mengikuti
aturan-aturan Pengadilan yang telah ditentukan, sehingga tidak menghambat
dalam proses mediasi.
4. Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang
pengetahuan pernikahan dan perceraian, sehingga kasus perceraian semakin
meningkat.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional. Jakarta: Prenada Media, 2011.
AF, Hasanuddin. Perkawinan Dalam Perspektif Al-Qur’an Nikah, Talak, Cerai
Rujuk. Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Amriani, Nuraningsih. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. 1996.
Effendi M. Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Kontempore. Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakaha. Bogor: Kencana, 2003.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian.
diakses pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014. www.badilag.net
Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesi.,
(Jakarta: Prenada Media, 2004.
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
Rahmadi, Takdir. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah, 1954.
95
Salamah Yarotul Yayah. Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010.
Satria, Rio. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. www.badilag.net diakses pada
tanggal 25 Desember 2014.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normartif Suatu TinjauanSingkat. Jakarta:
Raja Grafindo, 2001.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradyana Paramitha, 2004.
Sukanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-press, 1986.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2008.
Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Jakarta, 01 Oktober 2014.
Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Jakarta, 12 Januari 2015.
Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Jakarta 01 Oktober 2014.
Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor. Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. Jakarta, 01 Oktober 2014.
Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat http://pa-jakartapusat.go.id, diakses
pada tanggal 03 Februari 2015.
www.google.com pn-pariaman.go.id diakses pada tanggal 10 Februari 2015.
www.google.com Mediasi, diakses pada tanggal Selasa, 27 January 2015.
96
www.google.com Somya, Putra. Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama. di akses
pada tanggal 16 Februari 2015.
www.pa-batusangkar.go.id diakses pada tanggal 10 Februari 2015.
^ /-1(-dAJ KEMENT'ERIAN AGAMAffi ",Tlli$ ?itr"Ti#r"IH",1T.'",HilI bltl I I FAKULTAS syAr(rAH DAN HUKUM---=\--"-
Te b. $2-21)747 11537,7401925 Fax. t62-21174g1821Jln. lr. H. Juanda No.95 CiputatJakartal'4l2, tndonesia WejUsliJ:wirw.ui"iit.i..iO i-matf , [email protected],_--*------
Nomor '. Un,01lF .4tPp .01 .jt5 6o1t2014Lampiran : -
Perihal : Mohon Kesediaan MeniadiPembimbinq Skripsi
Jrliar:ta, 2 Juli 2014
XepaOu Vang Terhormat,Hotnidah Nasution, MA.(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)Di-
JAKARTA
Assalamu' alaiku m W r. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkankesediaan Saudara untuk menjadr pembimbing skripsi mahasiswa :
Nama :SITINURJANAHNIM '.1110044100044
ProdiiKonsentrasi :PeradilanAgamaJudul Skripsi '. Peran Hakim MeCiasi Dalam Mewujudkan Perdamaian Di pengadilan
Agama iakafta Se/aian (Studi Pada Pengadilan Agama Jakarla Selatan
)
Beoerapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :
1. Topikbahasandanoutlinebiladianggapperludapatdilakukanperubahandanpenyempurnaan.2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta"
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih
Wassalamu' alarkttm W. W.
An, Del<an lrakr.rjtas Syariah dar.r FIul<um
Tembusa n :
1. Kasubag Akademik &kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum2, Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah3. Arsip
l.l(gJua Prodi Hul<unr l(eluarga
19500306 197603 1001,
r KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesiaTelp. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. (62-21) 7491821Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : syar_hukuin@yahoo,com
NomorLampiranHal
: Un.01/F4lKM.00.02/ deg/ Z0t+
: Permohonan Data/Wawancara
Kepada Yth,Ketua Pengadilan Agama Jakarta PusatdiTempat
As s alamu' alaikum Wr.W .
Dekan Fakultas Syariah danJakarta menerangkan bahwa:
]akarta, 15 September 2014
Hukum UIN Syarif Hidayatullah
NamaNomor PokokTempat/Tanggal LahirSemester
]urusan/KonsentrasiAlamat
Telp
Tembusan :
1.. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN jakarta
Siti Nurjanah11100441,000MTuking Gedong, 17 Maret1993IX (Sembilan)Peradilan Agama / Akhwalu AsyakhsiyyahJl. Kemang Utara G, RT 09 RW 01 No. 41
Kelurahan Bangka, Kecamatan MampangPrapatan Jakarta Selatan 12730083890807900
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN SyarifHidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
"PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DIPENGADILAN AGAMA IAKARTA PUSAT"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibudapat menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperolehdata guna penulisan skripsi dimaksud.
Atas kerjasama dan banfuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam,
Akademik
M.Ag r
PENGADILAT{ AGAMA JAKARTA PUSATJl. KH. Mas Mansyur/ Jl. H. Awaluddtnr72 Tanah Abang
Telp. 02 i -3 1927910 Fax. 02 tr -3 r61 1 l g v/ebsite: www"pa-jakartapusat.go.idJAKARTA PUSAT
SURAT KETERANGAT{Nomor : W9.A1t. tf 3gvipB.00/}.12AI4
Wakil Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat berdasarkan Surat dari wakil Dekanuniversitas trslarn Negeri tanggal 16 September 2014 Nornor : un.01/F.41KM.00.02 /669912014,dengan ini menerangkan bahwa mahasiswa yang tersebut di bawah ini:
Nama
NPM/ NRK
Judul Skripsi
: Siti Nudanah
:1110044100044
Peran Hakim Mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan
Agama Jaku'ta Pusat (Survei di pengadilan Agama Jakarta
Pusat).
Telah melakukan wawancara, penelitian atau permintaan data untuk memenuhi tugas sebagai
syarat memperoleh gelar sarjana. pada tanggal 30 Oktober 2014 di Pengadilan Agama Jakartapusat
serta telah menerima data/bahan-bahan yang diperlukan.
Demikian sulat keterangan ini dibuat untuk dapatdipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 30 Oktober 2014.
Wkl. Pa
97
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM
MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH.
NIP : 195009111976012001
Jabatan : Hakim Mediator
Usia : 64 Tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat ? sejak kapan ?
Ya, sejak bulan Januari 2011.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ?
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator ?
Belum, karena belum ada kesempatan, hanya ikut seminar dan pelatihan saja.
4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ?
Sangat perlu, agar hakim mediator lebih memiliki pengetahuan yang cukup luas
karena hakim mediator akan berhadapan kepada masyarakat banyak yang
membutuhkan nasehat.
5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ?
Mediasi adalah penyelesaian sengketa. Dan tujuannya adalah mencapai
kesepakatan bersama.
6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ?
Yang menjadi acuan adalah PERMA No. 1 Tahun 2008.
7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya
PERMA No. 1 Tahun 2008 ?
Bagus, karena sangat membantu hakim mediator dalam melakukan tugasnya
dalam memediasi.
8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ?
Pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA ini tentu lebih baik, karena sudah
terarah dan hakim mediator sudah tau akan tugasnya sebagai hakim mediator.
9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ?
Peran mediasi ini sangat bermanfaat untuk tercapainya perdamaian, dan peran
mediator juga dapat membantu para pencari keadilan dalam menentukan sikap
dan keinginannya dalam penyelesaian perkara.
98
10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi
berlangsung ?
Ya, tergantumg keadaan dan kasus yang dihadapi bila para pihak perlu
menambah waktu maka dilakukan mediasi berulang-ulang untuk meyakinkan
mereka.
11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan,
jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ?
Apabila menemui jalan buntu kadang-kadang dilakukan kaukus, di nasehati
secara sepihak, diberikan kesempatan untuk berfikir dengan jernih dan juga
keluarga dekat dari para bihak dapat membantu.
12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ?
a. Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ?
Ya pernah, bila dianggap perlu, pengaruh nya ada para pihak lebih terbuka
dalam menyampaikan masalahnya.
13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ?
Faktor yang mendukung adalah mereka punya itikad baik, dan ada bantuan dari
pihak keluarga dekat dalam mediasi tersebut.
14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi
sehingga tercapainya perdamaian ?
- Pertama, para pihak tidak punya itikad baik.
- Kedua, dari hakim mediator sendiri tidak adil dalam memberikan waktu
kepada para pihak dan mereka merasa dilecehkan, dan apa yang diinginkan
para pihak tidak dapat diterima oleh hakim mediator.
15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ?
- Pertama, para pihak punya itikad baik.
- Kedua, hakim mediator dengan sabar memberikan nasehatnya dan waktu
yang cukup kepada para pihak.
- Ketiga dan ada bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan
sehingga terciptanya perdamaian.
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ?
Dari para pihak memang sudah tidak ada itikad baik dari pertama untuk
berdamai, dan juga faktor keluarga yang tidak mendukung, dan ego dari masing-
99
masing para pihak.
17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu
anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal ?
a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ?
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ?
Dianggap baik tetapi belum ideal, karena belum ada ruangan khusus untuk
memediasi dan belum ada peralatan yang lengkap.
Jakarta, 01 Oktober 2014
Pihak Yang Diwawancarai Pewawancara
(Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH.) (Siti Nurjanah)
100
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM
MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Drs. H. Aziz Izuddin, MH.
NIP : 196207131993031003
Jabatan : Hakim Mediator
Usia : 52
Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat ? sejak kapan ?
Iya, sejak bulan Januari 2014.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ?
Yang menunjuk saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator ?
Tidak punya.
4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ?
Perlu, alasannya, sebab ini menentukan berhasil tidaknya mediasi orang yang
berperkara.
5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ?
Mediasi adalah mendamaikan para pihak. Dan tujuannya adalah agar mereka
dapat menyelesaikan masalahnya dengan melalui kesepakatan bersama.
6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ?
Yang menjadi acuan adalah PERMA No. 1 Tahun 2008.
7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya
PERMA No. 1 Tahun 2008 ?
Dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini ya harus dilaksanakan.
8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ?
Pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA lebih teratur dan terarah, sehingga
101
dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini jadi para hakim diberikan
pemahaman lebih tentang mediasi.
9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ?
Sangat penting, terutama unuk terciptanya perdamaian. Dan peran mediator juga
dalam persidangan sangat penting apabila mediasi gagal maka akan dilanjutkan,
dan apabila mediasi berhasil maka akan diputus berdasarkan kesepakatan,
mediasi/perkara dicabut apabila tidak jadi cerai.
10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi
berlangsung ?
Ya, waktunya paling lama 40 hari, tapi boleh ditambah 15 hari.
11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan,
jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ?
Kalau sudah menemui jalan buntu, maka akan dibuatkan laporan bahwa mediasi
gagal.
12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ?
a. Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ?
Pernah, adanya keterbukaan dari para pihak.
13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ?
Faktor yang mendukung dari dalam adalah para pihak sendiri ada keterbukaan
perkara secara damai, yang mendukung dari luar adalah dari segi kenyamanan
para pihak tersebut.
14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi
sehingga tercapainya perdamaian ?
Yang menjadi penghambat ya dari para pihak sendiri, karena pihak sendiri tidak
mau berdamai.
15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ?
- Adanya sikap kooperatif dari para pihak yang mau berdamai dan mengerti
arti perdamaian.
- Adanya itikad baik dari para pihak.
102
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ?
Dari para pihak yang tidak bisa meredam emosinya sehingga pihak penggugat
tidak bisa memaafkan lagi, dan hanya dengan bercerailah semua bisa
tersalurkan.
17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu
anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal ?
a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ?
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ?
Sudah cukup baik, ada meja yang dibuat agar para pihak dalam menyampaikan
masalahnya dengan hakim mediator lebih santai dan tenang, serta ada lukisan
dan gambar sebuah keluarga yang harmonis, untuk mengispirasi para pihak yang
bersengketa.
Jakarta, 01 Oktober 2014
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. H. Aziz Izuddin, MH.) (Siti Nurjanah)
103
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM
MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Drs. Isti’anah, MH.
NIP : 196401011991032014
Jabatan : Hakim Mediator
Usia : 49
Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014
1. Apakah Bapak/Ibubertuga ssebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat ? sejak kapan ?
Ya, sejak bulan Januari 2014.
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ?
Yang menetapkan saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat tmediator ?
Ya, punya.
4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ?
Perlu, karena supaya para hakim mediator lebih professional dalam melakukan
mediasi.
5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ?
Mediasi adalah mencari penyelesaian sengketa yang terbaik dari permasalahan
kedua belah pihak. Dan tujuannya adalah untuk mencapai win-win solution, atau
mengakhiri permasalahan/persengketaan secara damai.
6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ?
Yang menjadiacuanadalah PERMA No.1 Tahun 2008.
7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusa tmengenai dikeluarkannya
PERMA No. 1 Tahun2008 ?
Menurut saya, peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi
ini sudah cukup bagus dan modern, dan karena PERMA ini sudah dikeluarkan
104
maka harus dilaksanakan dengan baik.
8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun2008 ?
Untuk pelaksanaanya semua perkara yang mengandung sengketa wajib di
mediasi.
9. Bagaimanaperanmediasidalamperkaraperceraian ?
Sangat bermanfaat, terutama untuk tercapainya perdamaian.
10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi
berlangsung ?
Ya, untuk perceraian mediasi dilakukan secara tertutup, dan maksimal 40 hari
dilangsungkannya mediasitersebut.
11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan,
jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ?
Apabila kita menemui jalan buntu dalam mendamaikan para pihak, kita
melakukan kaukus.
12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ?
Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ?
Ya, pernah. Pengaruhnya terhadap para pihak, para pihak tersebut lebih terbuka
dan jelas dalam mengutarakan masalahnya.
13. Menurut Bapak/Ibu factor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ?
Yang mendukung proses mediasi adalah kejujuran dan itikad baik dari para
pihak.
14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi
sehingga tercapainya perdamaian ?
Yang menjadi penghambat dalam memediasi adalah kurangnya rasa kooperatif
dari para pihak sendiri, dan diantara para pihak permasalahan/persengketaan
mereka sudah sangat memuncak.
15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ?
Proses yang mendukung keberhasilanya itu tadi, sikap dari para pihak yang mau
berdamai.
105
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ?
Tidak ada yang mau bernegoisasi dari para pihak, dan tetap pada prinsipnya
masing-masing.
17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu
anggap baik dan cukup sebagai tempa tmediasi yang ideal ?
a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ?
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ?
Ya sudah cukup baik, ada meja yang berbentuk bulat, sehingga tidak terkesan
sangat serius antara para pihak dan hakim mediator, ada juga lukisan atau
gambar yang menunjang terciptanya keharmonisan rumah tangga.
Jakarta, 01 Oktober 2014
Pihak yang diwawancarai Pewawancara
(Drs. Isti’anah, MH.) (Siti Nurjanah)
106
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM
MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Dr. Sarnoto, MH.
NIP : 196712251994031005
Jabatan : Hakim Mediator
Usia : 47 Tahun
Hari/Tanggal : Senin, 12 Januari 2015
1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat ? sejak kapan ?
Ya, sejak tahun 2011
2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ?
Yang menunjuk saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
3. ApakahBapak/Ibumemilikisertifikatmediator ?
Ya, sejak tahun 2009 saya sudah punya sertifikat.
4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan
mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ?
Sangat perlu, alasannya dengan adanya pelatihan tersebut agar mediator punya
kemampuan yang baik dalam memediasi, dan agar bias lebih kooperatif dalam
mediasi.
5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dar imediasi ?
Mediasi adalah mencari titik temu dari permasalahan yang dihadapi para pihak
yang bersengketa, dan tujuannya adalah supaya memperoleh hasil yang sesuai
dengan keinginan para pihak.
6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ?
Yang menjadi acuan adalah PERMA No.1 Tahun 2008 dan norma-norma hukum
islam yang terkait dengan bagaimana mendamaikan suatu perkara.
7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya
PERMA No. 1 Tahun2008 ?
PERMA sudah di keluarkan oleh Mahkamah Agung ya harus atau wajib
107
dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar.
8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun2008 ?
Untuk pelaksanaanya sudah sesuai dengan tahapan mediasi itu sendiri, untuk
waktu mediasi perkara perceraian yang dilakukan itu relatif sesuai dengan
kehendak para pihak, biasanya 10-15 menit sudah selesai mediasi.
9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ?
Sangat bermanfaat, terutama untuk tercapainya perdamaian tersebut.
10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi
berlangsung ?
Ya, untuk perceraian mediasi dilakukan secara tertutup, dan proses mediasi itu
berlangsung ya itu tadi 10 sampai 15 menit biasanya sudah selesai paling lama 1
jam.
11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan,
jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ?
Apabila kita menemui jalan buntu kaukus akan dilakukan oleh para pihak.
12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedu rmediasi di
pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ?
Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ?
Ya pernah, dan pengaruhnya terhadap para pihak adalah para pihak itu sendiri
bisa menjelaskan semua masalah yang dihadapi secara terbuka.
13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ?
Yang mendukung proses mediasi adalah itikad baik dan adanya sikap kooperatif
dari para pihak dalam memediasi.
14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi
sehingga tercapainya perdamaian ?
Yang menjadi penghambat dalam memediasi adalah ego masing-masing dari
para pihak.
15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ?
Proses yang mendukung keberhasilan mediasi adalah:
1. Itikad baik dari para pihak.
108
2. Adanya kesadaran dari mereka bahwa penting adanya perdamaian.
3. Keterampilan dari mediator juga dapat mempengaruhi dalam melakukan
mediasi.
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ?
Sudah tidak ada titik temu untuk berdamai.
17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu
anggap baik dan cukup sebagai tempa mediasi yang ideal ?
a. Bilaya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ?
b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ?
Kalau ideal belum, namun untuk standar minimal sudah terpenuhi.
Jakarta, 12 Januari 2015
\'-IjI
aej
=
p.,1f
;'f iu;
ii{:6A-L,2
(r)
5N
o:1 ,*Ci{'z'-.,(sr./
= | <tr l4z
EiuPT.lJ\A-\lJCJ
"\:9, L-g'bih
gEF
Go,gctoY
q
(!
-,a 1r)(0 ao
(\lt\
(0ro g, r0g)
(.oF ro
@@t @
co(')co
N(D q)@
zsdUJUuIJJA
6-x.ttJFo
l/.J
zuJIx.oFXlrv.oFvL
ulPl - u!E-l N
uPsluouJeqal epP Iepll o $na
FN No) t-
NoG}
oN
NN o(\l roF'
t\g, N Nm
eOrlal IEqrd uen66ueg (o (\t 6 o @ N @ @ if (') (t) o
sllllod
l6ololq leoe3 0
unlnq!o s
ct!Eot!
.=
.v,(!
C)
E
leluohl ueuelaloy
!uEqou ueuBfolay o
.rnurn qel^eqrp u!A ey o
ivF
qocE
e^ ef 6un66uEl EpB IBp|I 6 o) lf, NGI
oN
6N
oN
oN
€ at oN N
6 (0r)N
!urouoIS N G' at(\a
co t- NN(oN
co tt co F N o Nol
ESXed Ul/v\ey a
;o
=
nJnqur9c t !t N r0 6 N rt N ro \t (., tatt
{elqIe slsuy o
leqos Iepll lurE6llod
NV'tn8 Ndf
-,
trfuoultr
FuJx,
E
Jao. llJ
=
z:)
Jf
.nfFoDoa
trtuo=uJFo-IUU'
x,tlJooFVo
tult0EIJJo-o
tlrJoEuloIUo
JFo
o N gt t 6 (l) F GO o) o N
tr)
Yt
z
tLUotrll.' T:o-6mf<o-c0<ulb:3tUJ AFo. 1d* 4tt)X =tov <=E 3Hf rHt J-e ?5v or< fi2tJ- o-.;
Faf0-
s .'j
E2(=Y eegEI< =0.E Sc6 *E<- f 6z i--< 6q)O 9!< +<
-z =9.6O-
=F
voN
(E.
GU)
(gL0)
0)Y
o
6
E
-)
a @F
Fro
o)F. N tt
ao(tF.
<0t- or+ N
N(r, @o m6c{N
z
x.UJotrtiJo-
zo-)tlJlFoolu
zulouoFYTL
uoFvt!
utel - u!s-l N rtc) c\| () <tt o o t
Nro la, o rt @
uEs!uouueqal EpE IEpII o F. o{ @ N C.) t @ ro ttb
eOrlal leqld uen66uEg () o) (r)N { @ tf
lr,
s!lllod
r6ototq lEceO
ulnlnq!0 N
(!
o(!
.v6
0)
=
leluol/\l ueulelalax
ruEqou ueu,lefalay o
Jn urn qE/v\Eqlp ul/v\Ey o o
o
;I
o
E
B/Y\e[ 6un66uEl BPE XePll € tlN
NCt
otN 1..(.t o.')
$o @ N (t @ @Nrt(\a
!urouolf N o @ ao N o (0GO (r' co llt g)
o)
EsIed ul/$ey o
r!Lo
=
nJnqula3 c) N v
IelqIE slslry (o v o
leq06 IBpll lulE6llod
Nv'1 ns N&tz5
t:'troLIJI
Futx.
=
Je,o- ul
E D-)-JD
ofFU)
o
Eu.lglEIJJF(LulU'
tl!ooFYo
g.lrJt0EuJIoz
tuJd)
=lrJ.nlrJo
JFoF
(\l s t t{) (l, F @ o) o N
L1
Yd
z
tlrlotrlu t:^<.-ac0f,<Gm<UJb> t.fi XRo_ 1Ee 4vJ. = =loy <EF t'1 tilY A(/)
4 rH' oa J-P RTq lildtL o.-i
FU)lL<dF.;t-z(=v_<!s< =0.5 {ofi <E
JEK? €€O =E7
=E.6O =F
radJI\<
oz-f-4
cD
o(\ILo)aE(,ar,oo
;(f.s b.
:- N .:i
E-:o-l [LthLo+.-J-
HVAI,UVAS ll'IONOYI
F(t<=oFJ3 O- c.rD-z-6FRoEez>ws3g4=ft*6?fi<p='< 3#dePS-5fr
.L
FU):)oaEF=cro-{*s-o(Es=i(96i<E'Ezv>={'cO-i3oI-I (JJ
(960.zct=H=8
qEIa{
oc{LoicEQ)o.orl
eo.}}-
oz3
rlit
U
o? z,:)s,F3fC-!ifL;-oF-;io* vZJUJf=gS=E3eH=(9,fi<;:<3<=zdo<?6-Jfr
d
Fu))€o-(6
Eo-S*c=rn+.-A(Eg:*1c-<6(,filj-O)fZU1 ={'cId f;E<>aEr9ftO-z.d.trH-b
ileM'dpqrsf rdnu
Top Related