PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS)
PADA MAHASISWA FKIK UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN
KUESIONER EPWORTH SLEEPINESS SCALE (ESS)
SERTA FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHINYA
PADA TAHUN 2013
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Nadia Entus Nasrudin Tubagus
NIM : 1110103000097
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
v
KATA PENGANTAR
Asslamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa penulis
junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan
Laporan Penelitian yang berjudul “Prevalensi Excessive Daytime Sleepiness (EDS) pada
Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Menggunakan
Epworth Sleepiness Scale (ESS) serta faktor risiko yang mempengaruhinya pada Tahun
2013”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan banyak menemui hambatan
baik yang datang dari faktor luar diri penulis maupun dari dalam penulis. Mengatasi
hambatan yang ditemui, penulis banyak mendapat dukungan, motivasi, dan saran dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Kepala Program Studi dan Pendidikan
Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL sebagai dosen pembimbing I penelitian dan
Ratna Pelawati, S.Kp, M.Biomed sebagai dosen pembimbing II penelitian, yang
telah banyak menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan
kepada penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini.
4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab riset Program
Studi Pendidikan Dokter 2010 dan atas motivasinya kepada penulis terhadap
penyelesaian penelitian.
vi
5. Keluarga besar penulis, terutama ayah bunda penulis Entus Nasrudin dan
Lathifah yang selalu ikhlas mendoakan, dan mendukung penulis selama
penelitian ini, serta kaka-kaka dan adik tercinta yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis.
6. Sahabat penulis Dhea Rachmawati, Mutia Oktavia, Ratu Qurroh ’Ain, Siti
Yayah U., Fitria Luluk M., Uswatun Hasanah PSB, Adinda Shofiatunnisa,
Meliansari, Fifin Fitriyani, Fitri F. dan teman kelompok riset Dhea Rachmawati,
Yahya Kholid, Idzkar Ramadhan dan Latansa Dina yang selalu memberikan
motivasi dan bantuan disaat penulis membutuhkannya serta teman sejawat PSPD
2010.
7. Firman Khairul Hakim, S.S atas bantuannya dalam revisi abstrak bahasa inggris,
Muhammad Yasin, Irwan Hanafi atas bantuannya dalam peminjaman alat THT,
Pak. Richard (alm) atas bantuannya dalam peminjaman referensi di perpustakaan
THT UI, Tri Bayu P. Atas bantuan statistik yang ia berikan, Muflikhah Mayazi,
Sari Dewi A., Cut Firza Humaira serta Muhammad Hafif yang selalu memberi
bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.
8. Responden penelitian ini yang bersedia untuk mengikuti semua prosedur
penelitian.
9. Terakhir, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dan menyelesaikan laporan penelitian ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Semoga dengan selesainya Laporan Penelitian ini dapat menambah
pengetahuan kita semua terutama mengenai Excessive Daytime Sleepiness.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 09 September 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
Nadia Entus Nasrudin Tubagus. Program Studi Pendidikan Dokter. Prevalensi Excessive
Daytime Sleepiness (EDS) pada Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan Menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS) serta Faktor Risiko yang
Mempengaruhinya pada Tahun 2013.
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan masalah yang serius pada proses bernapas
saat tidur sehingga menyebabkan timbulnya beberapa gejala terutama Excessive
Daytime Sleepiness (EDS). EDS adalah kondisi seseorang mengalami rasa mengantuk
pada siang hari sehingga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada individu.
Di Indonesia belum tercatat data mengenai prevalensi EDS pada suatu populasi dan
kaitannya dengan faktor risiko OSA. Penetapan keadaan EDS dilakukan dengan
pengisian dan penghitungan skor kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan
pengisian kuesioner demografi serta dilakukan pemeriksaan fisik THT untuk
identifikasi pengaruh faktor risiko. Dengan kriteria tersebut, maka ditemukan bahwa
dari 140 responden yang diberikan kuesioner ESS terdapat sekitar 55% yang secara
skoring mengalami kondisi EDS dan pada laki-laki presentasenya lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Pada analisa bivariat faktor risiko tidak menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan dengan EDS (P> 0,05).
Kata Kunci : OSA, EDS, ESS, mallampati score
ABSTRACT
Nadia Entus Nasrudin Tubagus. Medicine Study Program. Prevalence of Excessive
Daytime Sleepiness (EDS) in the Student of PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, by Using Epworth Sleepiness Scale Questionnaire (ESS) and the Affecting Risk
Factors, Jakarta 2013
Obstructive Sleep Apnea (OSA) is a serious problem of breathing process while
someone is sleeping which can causes a various symptoms, especially Excessive
Daytime Sleepiness (EDS). EDS is one of the sleep disorders where the patient on
drowsiness during daytime and it causes a several morbidities and mortalities. In
Indonesia there has not recorded data about prevalence of EDS in population and the
risk factors that can be related to. Diagnostic of EDS condition is by using the scoring
system of Epworth Sleepiness Scale Questionnaire and demographic questionnaire with
physical examinations of ENT for identification of the risk factors. By using these
criteria, it was found the results from 140 respondents showed that 55% is diagnosed by
EDS that men is higher than women. However, in this research the risk factors did not
show the statistically significant correlation.
Keywords: OSA, EDS, ESS, mallampati score
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL......................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.............................................................................. iv
KATA PENGANTAR................................................................................................... v
ABSTRAK......................................................................................................................
ABSTRACT...................................................................................................................
vii
vii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................
DAFTAR BAGAN.........................................................................................................
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
1.3. Pertanyaan Penelitian............................................................................................. 2
1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................................... 2
1.4.1. Tujuan Umum.............................................................................................. 2
1.4.2. Tujuan Khusus............................................................................................. 2
1.5. Manfaat Penelitian................................................................................................... 3
1.5.1. Bagi Peneliti.................................................................................................
1.5.2. Bagi Universitas...........................................................................................
1.5.3. Bagi Keilmuwan...........................................................................................
3
4
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5
2.1 Struktur Jalan Napas Atas…............................................................................... 5
2.2 Organisasi Sistem Respirasi............................................................................... 5
2.3 Gangguan Napas saat Tidur............................................................................ 8
2.3.1. Siklus Tidur dan Sadar............................................................................ 9
2.4 Definisi Sleep Apnea..........................................................................................
2.5 Epidemiologi.........................................................................................................
2.6 Obstructive Sleep Apnea..................................................................................
2.7 Excessive Daytime Sleepiness...............................................................................
2.8 Kerangka Teori......................................................................................................
2.9 Kerangka Konsep..................................................................................................
2.10 Definisi Operasional..............................................................................................
11
13
13
26
28
29
30
BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................................... 31
3.1 Desain Penelitian................................................................................................... 31
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................................ 31
3.3 Populasi Penelitian................................................................................................. 31
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi................................................................................. 31
3.5 Besar Sampel..................................................................................................... 32
ix
3.6 Cara Pengambilan Sampel................................................................................... 32
3.7 Cara Kerja Penelitian............................................................................................
3.8 Alur Penelitian.......................................................................................................
3.9 Pengumpulan dan Penyajian Data.........................................................................
3.10 Rencana Analisis Data...........................................................................................
3.11 Etika Penelitian......................................................................................................
3.12 Organisasi Penelitian.............................................................................................
32
33
34
34
34
34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 35
4.1 Distribusi Demografi.............................................................................................
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian....................................................................
4.1.2. Analasis Univariat........................................................................................
4.2 Analisis Bivariat....................................................................................................
4.3 Pembahasan...........................................................................................................
4.3.1. Hubungan Jenis Kelamin dengan EDS........................................................
4.3.2. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan EDS..............................................
4.3.3. Hubungan Hipertrofi Tonsil dan Tonsilektomi dengan EDS.......................
4.3.4. Hubungan Kebiasaan Merokok dan Olahraga dengan EDS........................
4.3.5. Hubungan Ukuran Lidah dan Mallampati Score dengan EDS....................
4.3.6. Hubungan Deviasi Septum dan Hipertrofi Konka dengan EDS...................
35
35
35
38
43
43
44
46
47
48
49
4.4 Keterbatasan Penelitian......................................................................................... 49
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN…............................................................... 50
5.1 Simpulan.......................................................................................................... 50
5.2 Saran.................................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 51
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori International Sleep Disorder........................................... 12
Tabel 2.2 Gejala Klinis OSA.......................................................................... 15
Tabel 2.3 Faktor predisposisi OSA................................................................. 18
Tabel 2.4 Sistem Staging Friedman................................................................ 20
Tabel 2.5 Pemeriksaan Fisik pada OSA......................................................... 21
Tabel 2.6 Epworth Sleepiness Scale............................................................... 23
Tabel 4.1 Sebaran Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.......... 35
Tabel 4.2 Sebaran Demografi Responden.............................................. ……. 36
Tabel 4.3 Sebaran Demografi Pemeriksaan Fisik Responden........................ 37
Tabel 4.4 Prevalensi EDS............................................................................... 38
Tabel 4.5 Hubungan Jenis Kelamin dengan EDS........................................... 39
Tabel 4.6 Hubungan IMT dengan EDS.......................................................... 39
Tabel 4.7 Hubungan Keadaan Tonsil dengan EDS......................................... 40
Tabel 4.8 Hubungan Kebiasaan Merokok dan Olahraga dengan EDS........... 41
Tabel 4.9 Hubungan Ukuran Lidah dan mallampati score dengan EDS........ 42
Tabel 4.10 Hubungan Deviasi Septum dan Hipertrofi Konka dengan EDS..... 43
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Sistem Respirasi………………………………………... 6
Gambar 2.2 Komponen Sistem Respirasi……………………………………... 7
Gambar 2.3 Struktur Rongga Hidung dan Mulut……………………………... 8
Gambar 2.4 Respirasi dan Tidur pada Obstructive dan Central Apnea………. 12
Gambar 2.5 Obstructive Apnea berulang dan Saturasi O2................................ 15
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1. Patofisiologi OSA………………………………………………... 16
Bagan 2.8. Kerangka Konsep………………………………………………... 28
Bagan 2.9. Kerangka Teori…………………………………………………... 29
Bagan 3.8. Alur Penelitian………………………………………………...…. 33
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ……………………………………………………………………. 55
Lampiran 2 ……………………………………………………………………. 56
Lampiran 3 ……………………………………………………………………. 57
Lampiran 4 ……………………………………………………………………. 59
Lampiran 5
Lampiran 6
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….
62
74
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tidur merupakan proses fisiologis yang dibutuhkan oleh tubuh manusia
untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari, namun tidur dengan gejala
mendengkur menurunkan kualitas tidur sehingga timbul hipersomnolensi pada
siang hari yang disebut Excessive daytime sleepiness (EDS). EDS adalah masalah
yang paling sering timbul dan dikeluhkan oleh banyak individu termasuk
mahasiswa dalam aktifitas sehari-hari. Selain itu, Gejala EDS sendiri merupakan
gejala utama dari keadaan obstruksi pada saluran napas saat tidur yang disebut
Obstructive sleep apnea.1
Obstructive sleep apnea (OSA) pertama kali ditemukan oleh Sidney
Burwell pada tahun 1956 yang merupakan suatu kondisi gangguan pernapasan
saat tidur akibat terhambatnya aliran udara. Hal tersebut akan menimbulkan EDS
pada individu sehingga dapat menurunkan kualitas aktifitas sehari-hari dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada individu. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Jamie dkk, disebutkan bahwa prevalensi OSA yang berkaitan
dengan penurunan kualitas tidur sekitar 3-7% pada laki-laki dan 2-5% pada
perempuan di populasi umum. Sihombing telah melaporkan pada penelitiannya
bahwa OSA terjadi sebanyak 30-40% pada populasi supir taxi di Indonesia.
Keadaan OSA dapat menyebabkan gangguan tidur yang akan menimbulkan
beberapa kondisi berupa gangguan konsentrasi pada anak sekolah dan mahasiswa
sehingga mempengaruhi aktifitasnya saat belajar. Diagnosis OSA dapat dilakukan
melalui pemeriksaan polisomnografi dan pemberian kuesioner khusus untuk
penentuan gejala dari OSA pada pasien seperti Epworth sleepiness scale.2-6
Epworth sleepiness Scale merupakan salah satu kuesioner yang digunakan
untuk menilai tingkat hipersomnolensi seseorang pada siang hari. Nilai 10 atau
lebih menunjukkan bahwa seorang mengalami hipersomnolensi sehingga dapat
dikatakan bahwa individu tersebut memiliki gejala EDS dan memerlukan
konsultasi dokter mengenai keluhannya.7
1
2
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, dirasakan bahwa perlu dilakukan
penelitian ini yang dapat menggambarkan prevalensi Excessive daytime sleepiness
(EDS) pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta faktor
risiko yang mempengaruhinya dengan menggunakan kuesioner Epworth
Sleepiness Scale (ESS). Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk
identifikasi penyebab dari EDS dan cara menghindarinya sehingga dapat
menurunkan gejala hipersomnolensi pada mahasiswa serta aktifitas perkuliahan
sehari-hari menjadi lebih efektif.
1.2. Rumusan Masalah
Dampak dari EDS cukup besar dalam mempengaruhi aktifitas perkuliahan
sehingga dirasakan bahwa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi
EDS pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
menggunakan kuesioner ESS sebagai alat ukur serta faktor risiko yang dapat
mempengaruhinya.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana prevalensi Excessive daytime sleepiness (EDS) pada mahasiswa
PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan kuesioner
Epworth Sleepiness Scale (ESS) pada tahun 2013?
1.4. Tujuan Penelitian
a) Tujuan Umum
Diketahuinya prevalensi EDS pada mahasiswa PSPD FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013.
b) Tujuan Khusus
Diketahui hubungan obesitas dengan EDS sebagai faktor risiko
pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Diketahui hubungan jenis kelamin dengan EDS pada mahasiswa
PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3
Diketahui hubungan hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi pada
individu dengan EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Diketahui hubungan kebiasaan merokok dan olahraga pada
individu dengan EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Diketahui hubungan ukuran lingkar leher dengan EDS sebagai
faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Diketahui hubungan makroglosi dan skor mallampati dengan EDS
sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Diketahui hubungan hipertrofi konka dan deviasi septum dengan
EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.5. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini mendapatkan berbagai manfaat bagi berbagai
pihak:
a) Bagi Peneliti
- Mengetahui prevalensi kejadian EDS pada mahasiswa.
- Mengidentifikasi obesitas sebagai faktor risiko terjadinya EDS.
- Mengetahui perbedaan prevalensi EDS pada jenis kelamin yang
berbeda.
- Mengetahui pengaruh kebiasaan hidup individu seperti olahraga
dan merokok terhadap EDS.
- Mengetahui pengaruh hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi
pada individu terhadap EDS.
- Mengetahui pengaruh ukuran lidah dan skor mallampati terhadap
EDS.
4
- Menjadikan penelitian ini sebagai syarat kelulusan sarjana
kedokteran.
b) Bagi Universitas
- Dapat menambah kepustakaan penelitian di UIN.
- Memberi informasi tentang tingkat kejadian EDS pada mahasiswa
UIN.
- Mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi EDS.
- Meningkatkan ilmu pengetahuan mahasiswa UIN.
c) Bagi Keilmuan
- Memberikan pengetahuan mengenai EDS dan faktor risiko dari
EDS.
- Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti yang tertarik
dalam bidang ini.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi sistem respirasi
Sistem respirasi memiliki lima fungsi dasar, yaitu; memberi permukaan
yang luas untuk pertukaran gas antara udara luar dan sirkulasi darah, memasukkan
dan mengeluarkan udara dari paru, melindungi permukaan sistem respirasi dari
keadaan dehidrasi, invasi patogen dan perubahan suhu, produksi suara untuk
komunikasi, dan memfasilitasi deteksi berbagai macam bau oleh reseptor-reseptor
olfaktori yang berada pada bagian superior dari nasal cavity. Selain itu, kapiler
paru secara tidak langsung dapat meregulasi volume dan tekanan darah melalui
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.8,9
2.2. Organisasi sistem respirasi
Sistem respirasi dapat dibagi dari segi anatomi dan fungsi. Secara anatomi,
sistem respirasi dibagi menjadi sistem respirasi atas dan sistem respirasi bawah.
Sistem respirasi atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring.
Jalur ini berfungsi sebagai penyaring, penghangat dan pelembab udara yang
masuk, serta melindungi permukaan saluran napas bawah. Sistem respirasi bawah
meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus paru.8,9
Secara fungsi, sistem respirasi dibagi menjadi zona konduksi dan zona
respiratori. Zona konduksi meliputi berbagai ruang dan saluran yang
menghubungkan antara lingkungan luar dan paru seperti hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, bronkiolus, dan terminal bronkiolus. Zona respiratori meliputi
jaringan-jaringan dalam paru yang berfungsi untuk pertukaran gas seperti
bronkiolus, duktus alveolus, sakus alveolus, dan alveolus yang merupakan bagian
utama untuk pertukaran gas antara udara dan darah.8
5
6
Gambar 2.1. Struktur sistem respirasi.(9)
Hidung
Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu; bagian dalam dan bagian
luar. Bagian luar adalah bagian yang terlihat pada wajah dan diliputi oleh jaringan
penunjang berupa tulang keras dan kartilago yang ditutupi oleh otot, kulit dan
membran mukosa. Tulang-tulang yang menyusun bagian luar dari hidung adalah
tulang frontalis, nasalis dan maksilaris sedangkan kartilago yang menyusun
bagian tersebut adalah kartilago septum nasalis pada bagian anterior, kartilago
nasalis lateralis pada bagian inferior dan kartilago alaris yang membentuk nostril.9
Struktur inferior dari bagian luar hidung memiliki tiga fungsi: 1)
Menghangatkan, melembabkan dan memfiltrasi udara yang masuk; 2) Deteksi
stimulus olfaktori; dan 3) Modifikasi vibrasi suara.9
Bagian dalam hidung merupakan rongga yang luas dan terletak inferior
dari tulang nasal dan superior dari mulut. Batas anteriornya adalah hidung bagian
luar serta bagian posterior berbatasan dengan faring melalui dua pembukaan
disebut choanae. Septum nasal membagi rongga hidung menjadi dua bagian
kanan dan kiri. Ketika udara masuk melalui nostril, udara akan difiltrasi oleh
rambut yang menutupi mukosa hidung dari debu dan partikel lain.9
Hidung
Rongga nasal
Rongga mulut
Laring
Trakea
Faring
Bronkus primer kanan
Paru
7
Gambar 2.2. Komponen sistem respirasi.(8)
Tiga bagian yang terletak pada dinding lateral dari kedua sisi hidung
disebut konka. Konka terbagi menjadi tiga yaitu; konka nasalis superior, medial
dan inferior. Setiap konka akan bermuara ke dalam sinus dan membentuk meatus
bergantung dari konka; meatus nasi superior, inferior dan medial. Struktur dari
konka dan meatus akan memperluas permukaan area hidung dalam dan mencegah
terjadinya dehidrasi dengan menangkap droplet air saat ekshalasi.9
Faring
Faring merupakan saluran dengan panjang sekitar 13 cm yang dimulai dari
nares interna hingga kartilago cricoid. Faring terletak posterior dari rongga hidung
dan mulut, superior dari laring dan anterior dari vertebra servikalis. Dinding
saluran ini ditutupi oleh otot-otot skelet dan membran mukosa. Kontraksi otot-otot
ini berfungsi untuk proses menelan. Fungsi dari faring sebagai saluran untuk
udara dan makan.9
Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; nasofaring, orofaring dan
laringofaring. Nasofaring merupakan bagian superior dari faring. Rongga nasal
dipisahkan dari rongga mulut oleh palatum molle. Tonsil faringeal berada pada
Sinus frontal
Konka nasalis: superior, medial
dan inferior
Lidah
Tulang hioid
Laring
Trakea , bronkus
Bronkiolus
Rongga hidung
Sinus sfenoid
Nares internal
Faring
Esofagus,
klavikula
Tulang kostae Diafragma
Paru
kanan
Paru
kiri
Saluran napas atas
Saluran napas bawah
8
dinding posterior dari nasofaring. Orofaring adalah bagian yang meluas dari
palatum molle hingga dasar lidah pada tingkat tulang hioid. Laringofaring
merupakan bagian inferior faring yang meluas dari tulang hioid hingga perbatasan
laring dan esofagus.8,9
Gambar 2.3.Struktur rongga hidung dan mulut.(8)
Udara yang dihirup melalui hidung menuju ke faring akan melalui muara
yang sempit yang disebut glottis sehingga dapat masuk ke laring. Glottis yang
merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah dimana glottis ini terbentuk
dari sepasang lipatan membran mukosa yaitu adalah plica vocalis yang terdapat di
laring.8
2.3. Gangguan Napas saat Tidur
Tidur dan bernapas merupakan suatu proses fisiologik yang terjadi untuk
kelangsungan kehidupan manusia. Jika proses pernapasan ini terganggu atau
berhenti saat tidur dalam beberapa detik hingga beberapa menit, maka dapat
berakibat fatal pada kehidupan manusia.10
Sinus frontalis
Konka nasi superior
Konka nasi media
Konka nasi inferior
Vestibuli nasi
Nares eksterna
Palatum durum
Rongga mulut
Lidah
Palatum molle
Tonsil palatina
Mandibula
Tonsil lingua
Os.hyoid
Kartilago tiroid
Kartilago krikoid
Trakea
Kelenjar tiroid Esofagus
Plica vocalis
Glotis
Epiglotis
Nasofaring
Orofaring
Laringofaring
Tonsil faringeal
Tuba eustachius
Nares interna
Rongga nasal
9
2.3.1. Siklus Tidur dan sadar
Manusia dalam 24 jam akan melalui proses tidur sebagai irama
sirkadian. Mekanisme ini diatur oleh nukleus suprakiasmatik dari
hipotalamus. Tidur merupakan suatu kondisi fisiologik dan perilaku yang
reversibel ditandai dengan penurunan kesadaran dan respon terhadap
stimulus eksternal, tetapi individu yang tidur tetap sadar terhadap keadaan
internal. Walaupun kesadaran menurun, orang yang tidur dapat dibangunkan
dengan stimulus seperti alarm. 9,11,12
Orang dewasa biasanya membutuhkan 7-8 jam untuk tidur setiap
malam, tetapi waktu, durasi dan pola tidur akan berbeda pada setiap orang
tergantung usianya. Pada usia lanjut dan bayi biasanya memiliki siklus tidur
yang berbeda dengan orang dewasa. Pengaturan siklus tidur setiap hari
memiliki dua prinsip sistem saraf. Prinsip pertama adalah proporsi tidur
tergantung dari durasi keadaan sadar (homeostatis tidur), sedangkan prinsip
kedua adalah pengaturan rhythmic siklus tidur dan sadar melalui beberapa
fase selama 24 jam per hari (jam biologis).13
Siklus tidur yang normal memiliki dua fase : fase NREM (non-rapid
eye movement) yang terjadi sebanyak 70-80% dari seluruh siklus tidur dan
meliputi 4 stadium, serta fase REM (rapid-eye movement) dengan
presentase 20-25% dari seluruh siklus tidur yang terjadi dalam 2 stadium.
Pada dewasa normal, dua stadium dari siklus tidur ini terjadi secara siklus
semireguler yang berlangsung selama 90-120 menit dan berulang sebanyak
3-4 kali per malam.11
Tidur NREM (non-rapid eye movement)
Pada dewasa normal, tidur NREM dapat dibagi menjadi 4 stadium
yaitu; stadium I (NI) yang merupakan masa transisi dari kondisi sadar ke
kondisi tidur. Stadium ini berlangsung selama 1-7 menit dan terjadi
sebanyak 2-5% dari seluruh proses tidur yang ditandai dengan relaksasi
seluruh tubuh dan penurunan kesdaran namun saat individu dibangunkan
10
pada stadium ini, ia akan menyangkal bahwa ia tertidur. Pada
elektroensefalogram akan terlihat bahwa gelombang theta meningkat
sedangkan gelombag alpha menurun. 9,11
Stadium II (N2) terjadi sebanyak 45-55% dari seluruh proses tidur
dan ditandai dengan penurunan tonus otot serta mata yang bergerak ke
kanan dan ke kiri. Selain itu, Individu yang sudah masuk ke stadium ini
akan mengalami proses bermimpi dan sulit untuk dibangunkan sehingga
disebut dengan light sleep/true sleep. Pada gambaran EEG akan terlihat
gambaran K-kompleks.9,11
Stadium III (N3) terjadi sebanyak 3-8% dari seluruh proses tidur dan
timbul 20 menit setelah individu tertidur. Stadium ini disebut moderate deep
sleep yang ditandai dengan penurunan suhu tubuh dan tekanan darah.9,11
Stadium IV (N4) terjadi sebanyak 10-15% dari seluruh proses tidur
yang disebut deepest level of sleep. Pada stadium ini metabolisme otak akan
menurun secara signifikan dan juga suhu tubuh, tetapi sebagian besar refleks
tubuh akan tetap intak dan tonus otot hanya sedikit berkurang. Stadium 3
dan 4 ini merupakan bagian dari proses tidur yang paling efektif dan dengan
bertambahnya usia individu presentase stadium ini semakin berkurang dari
seluruh proses tidur.9,11
Tidur REM (rapid eye movement)
Tidur rapid eye movement merupakan bagian terbesar dari seluruh
proses tidur yang berlangsung sekitar 7-8 jam dan berulang 3-5 episode
selama tidur. Tahap ini akan terbagi menjadi dua stadium; stadium tonik dan
stadium fasik. Stadium tonik ditandai dengan gambaran asinkronisasi dan
kehilangan tonus pada EEG sedangkan stadium fasik ditandai dengan
pergerakan mata yang cepat dengan frekuensi jantung dan respirasi yang
tidak teratur. Episode pertama dari REM berlangsung 10-20 menit dan
kemudian diikuti oleh episode NREM. Periode REM biasanya berulang
setiap 90 menit hingga periode terakhir yang berlangsung hanya 50 menit.
11
Pada orang dewasa, total tidur REM 90-120 menit selama proses tidur
berlangsung.9,11
Dengan bertambahnya usia individu total proses tidur akan
berkurang dan presentase tidur REM juga berkurang. Walaupun fungsi
spesifik tidur REM belum diketahui secara pasti, namun presentase yang
tinggi dari fase REM sangat penting untuk maturasi otak. Aktifitas saraf,
aliran darah dan O2 saat tidur REM lebih tinggi daripada saat sadar.9
Pada penderita OSA dengan gejala utama EDS diketahui bahwa
stadium N3 dan N4 dari tidur NREM mengalami gangguan sedangkan
stadium tersebut adalah stadium yang paling baik untuk tubuh agar
mendapatkan istirahat yang cukup.13
2.4. Definisi Sleep Apnea
Sleep Apnea merupakan suatu kondisi terjadinya abnormalitas pada
frekuensi napas secara episodik saat tidur akibat penyempitan saluran napas atas
yang ditandai dengan berkurangnya ventilasi (hypopnea) atau henti napas
(apnea).10
Terdapat tiga tipe apnea / hipopnea; yaitu: tipe obstructive, tipe sentral dan
tipe campuran. Tipe obstructive yakni OSA menurut American Academy of Sleep
Medicine merupakan tipe yang paling sering terjadi akibat obstruksi saluran
napas atas berulang baik secara parsial maupun komplit saat tidur karena relaksasi
otot-otot saluran napas. Hal ini mengakibatkan aliran udara yang masuk ke dalam
tubuh berkurang secara parsial (hypopnea) atau komplit (apnea) saat inspirasi
yang berlangsung sekurangnya 10 detik setiap episode. 4,10,14
Tipe sentral yang ditandai dengan penurunan frekuensi ventilasi atau henti
napas paling sedikit 10 detik atau lebih yang disebut abnormal jika terjadi
sebanyak 5 kali per jam. Hal tersebut terjadi akibat adanya kegagalan sistem saraf
pusat dalam mengendalikan sistem kardiorespirasi selama tidur. Pada keadaan ini
sistem saraf pusat tidak dapat mengirim sinyal ke otot diafragma dan pernapasan
untuk melakukan proses bernapas.10
12
Tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSA) adalah tipe yang dimulai
dengan central sleep apnea dan diikuti dengan OSA. 10
Tabel 2.1. Kategori International Sleep Disorder (11)
Kategori Subtipe Contoh
Dissomnia Intrinsik
Ekstrinsik
Gangguan ritme jantung
Insomnia, narkolepsi, OSA
Poor sleep hygiene
Gangguan fase tidur cepat atau
terlambat
Parasomnia Disorder of arousal
Gangguan transisi tidur-sadar
Gangguan REM
Lain
Sleep walking, sleep terrors
Sleep talking, nocturnal leg
cramps
Mimpi buruk
Bruksisme, infant sleep apnea
Gangguan akibat
obat-psikiatri
Gangguan mental
Gangguan neurologi
Lain
Psikosis, gangguan cemas
Demensia, insomnia fatal familial
insomnia
COPD, sleep-related GERD
Proposed Tidur hiperhidrosis, sleep-related
laryngospasm
American Sleep Disorder Association mengderajatifikasikan gangguan
tidur dalam International Sleep Disorder menjadi 4 kategori; yaitu: dyssomnias,
Gambar 2.4. Respirasi dan tidur pada obstructive dan central
apnea (14)
Aliran
udara
Gerakan
abdominal
SaO2
Bangun
&tidur
Central apnea(cyene-stokes
respiration)
Obstructive apnea
13
parasomnias, sleep disorder associated with medical-psychiatric disorders dan
proposed sleep disorders yang dapat dilihat pada tabel 2.1.11
2.5. Epidemiologi
American Academy of Sleep Medicine menyebutkan bahwa individu yang
mengalami gejala gangguan pernapasan dari OSA pada populasi dewasa sekitar
24%, dan 80-90% merupakan individu yang belum terdiagnosis dengan OSA.
Astuti dkk, pada penelitiannya menyebutkan bahwa prevalensi OSA di RS
Persahabatan sekitar 19,8% berdasarkan kuesioner Berlin dan sekitar 8,9%
berdasarkan polisomnografi. Pada penelitian tersebut, walaupun subjek
perempuan lebih banyak daripada laki-laki tetapi prevalensi OSA pada laki-laki
lebih tinggi dibandingkan perempuan.
OSA dapat terjadi pada semua kelompok usia tetapi risikonya lebih
meningkat pada usia pertengahan dan usia tua karena pada anak-anak prasekolah
dan sekolah hanya sekitar 7-9% mengalami OSA. 4,11,14,15
2.6. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah hilangnya napas yang spontan saat
tidur. Normalnya, apnea dapat terjadi pada semua individu saat tidur, namun pada
orang dengan sleep apnea terjadi lebih sering dengan frekuensi 300-500 kali per
malam dan durasinya berlangsung sekitar 10 detik atau lebih. Penyebab
terjadinya obstructive sleep apnea adalah adanya obstruksi pada saluran napas
atas terutama faring.16,17
Otot-otot faring secara normal tetap terbuka untuk menjaga aliran udara
tetap masuk ke dalam paru saat inspirasi. Walaupun saat tidur otot-otot faring
akan mengalami relaksasi, tetapi saluran napas tetap dalam keadaan terbuka untuk
memungkinkan pengaliran udara ke dalam paru. Pada beberapa individu yang
mengalami penyempitan saluran napas akan terjadi penutupan saluran ini secara
lengkap akibat relaksasi otot-otot tersebut sehingga udara tidak dapat mengalir ke
dalam paru dan terjadi apnea. Jika terjadi apnea, tubuh akan memberi sinyal
14
singkat ke otak untuk mengembalikan tonus otot-otot faring sehingga
memungkinkan udara masuk.16,17
Penderita OSA sering mengalami gejala berupa mendengkur dan kesulitan
dalam bernapas segera setelah tidur. Dengkuran yang terjadi biasanya diikuti
dengan periode tidak bernapas yang cukup lama (apnea). Penderita sleep apnea
biasanya akan mengalami kekurangan fase slow wave sleep dibandingkan dengan
fase pertama dari tidur NREM.16,17
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah bentuk gangguan
napas saat tidur yang berat dan sering menimbulkan gejala tidak nyaman. OSAS
ini ditandai dengan hipoventilasi alveolar kronik, obesitas, hiperapnea (PaCO2 >
45 mmHg) dan sering berkaitan dengan hipertensi pulmonal dan gagal jantung
kanan.11
Dilaporkan oleh Young dkk, bahwa prevalensi OSAS terjadi sebesar 4%
pada laki-laki dewasa dan 2% pada perempuan. Prevalensi meningkat sebanyak
30-40% pada pasien yang memiliki keluhan mendengkur, obesitas, akromegali,
asma, diabetes dan kelainan kraniofasial.1
Gejala dan Tanda OSA
Gejala yang timbul pada siang hari seperti rasa mengantuk terus menerus
(hipersomnolensi) yang berat menunjukkan adanya gangguan tidur seperti tidur
tersedak (sleep choking), mendengkur keras (snoring), gerakan abnormal saat
tidur, nokturia, dan henti napas saat tidur yang mengakibatkan terjadinya
hipoksemia berulang. Aliran udara yang berkurang akan menyebabkan saturasi O2
dalam darah mengalami penurunan hingga 68% jika obstruksi berulang dalam 3
menit. 4,10,14
15
Selain timbulnya hipersomnolensi pada penderita OSA, akan timbul juga
gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari, enuresis, gangguan intelektual,
gangguan personalitas, depresi serta penurunan libido. Keadaan OSA yang kronik
akan menyebabkan hipertensi, kecelakaan saat menyetir, penyakit jantung
iskemik, aritmia dan stroke. Insidensi gejala yang terjadi pada OSA dapat dilihat
pada tabel 2.2.6,10,11
Tabel 2.2. Gejala Klinis OSA (6)
Gejala Klinis Insidensi (%) Nokturnal (N)/ Daytime (D)
Restless sleep 99 D
Mental abnormal 58
Perubahan kepribadian 48 D
Impotensi 40
Sakit kepala 35 D
Nokturia 30 N
Enuresis Tidak diketahui N/D
Nocturnal Choking Tidak diketahui N
Mendengkur 95 D
Mengantuk 75 D
Gambar 2.5. obstructive apnea berulang dalam 3 menit
dengan saturasi oksigen menurun hingga 68%(14)
Aliran udara
dari oro-nasal
Saturasi O2 (%)
16
Patogenesis dan patofisiologi OSA
Patogenesis dari OSA bersifat multifaktorial yang berawal dari
mendengkur saat tidur dan berakhir dengan sindrom obesitas hiperventilasi seperti
halnya pada sleep-disordered breathing yang lain. OSA merupakan suatu keadaan
yang timbul akibat penyempitan saluran napas bagian atas selama tidur.10,11
Bagan 2.1. Patofisiologi OSA (11)
Bagian saluran napas atas yang sering menjadi penyebab dari OSA adalah
antara lain hipertrofi konka, rinitis, polip nasalis, deviasi septum, kelainan panjang
uvula dan palatum molle serta orofaring. Patensi saluran napas atas dapat diatur
oleh otot-otot faring yang dibagi menjadi dua: 1. Otot fase inspirasi, misalnya
m.genioglossus yang mengatur dan menyesuaikan gerakan pernapasan. Tonus otot
inspirasi ini akan diatur selama tidur; 2. Otot yang memiliki tonus ritmik yang
konstan, misalnya m.palatinus tensi yang tonusnya bersifat konstan dan dapat
menurun pada keadaan tidur.10
Resistensi pada saluran napas atas akan meningkat secara bermakna
selama periode tidur dan akan lebih meningkat bila terdapat faktor-faktor
predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan saluran napas atas. Bila
tekanan negatif dari otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot
Mendengkur Resistensi saluran
napas atas
Hipopnea Obstructive
sleep apnea
Sindrom
obesitasitas
hiperventilasi
17
yang berfungsi untuk memperluas saluran napas atas, maka akan terjadi kolaps
pada saluran ini.10
Periode apnea yang terjadi biasanya berakhir dengan bentuk terbangun
secara mendadak dari tidur (arousal) sehingga otot-otot ini dapat berfungsi lagi
dengan cara berdilatasi dan aliran udara kembali normal. Proses arousal ini yang
akan menyebabkan periode tidur mengalami fragmentasi sehingga pasien kadang
terbangun secara mendadak. Akibat obstruksi yang terjadi, maka saturasi O2
dalam tubuh akan mengalami penurunan hingga 4-3% atau lebih. Kebanyakan
pasien akan mengalami keadaan apnea ini 20-30 kali per jam dan dapat terjadi
lebih dari 200 kali per malam. Kondisi ini yang mengakibatkan hipersomnolensi
pada pasien-pasien OSA.10
Faktor predisposisi OSA
Faktor predisposisi OSA adalah: obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia
lanjut, pemakaian obat depresan sistem saraf pusat seperti alkohol dan sedatif,
diameter saluran napas yang kecil seperti mikrognathia dan retrognathia,
hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan familial.6,10
Selain faktor predisposisi yang telah disebut diatas, OSA dapat terjadi
karena adanya beberapa kelainan pada struktur saluran napas atas dan leher;
antara lain: polip nasi, hipertrofi konka, hipertrofi tonsil, hipertrofi adenoid,
deviasi septum nasalis, lingkar leher yang besar, kelainan sendi
temporomandibular, makrognatia, makroglosi, dan kelainan palatum. Faktor-
faktor predisposisi ini dapat dilihat pada tabel 2.3.6
Akibat beberapa faktor predisposisi yang mungkin dapat memperberat
atau mempercepat kondisi OSA, maka diperlukan perhatian pasien dan dokter
untuk menegakkan diagnosis OSA yang tepat dan cepat. Jika diagnosis telah
ditetapkan, maka kualitas hidup pasien dan aktifitas sehari-hari juga meningkat.
18
Tabel 2.3. Faktor predisposisi OSA(6)
Faktor-faktor predisposisi yang berperan pada OSA
Umum - Obesitas (IMT >30 kg/m2)
- Jenis kelamin (pria > wanita)
- Riwayat OSA pada keluarga
- Pasca menopause
Genetik atau kongenital - Sindrom Down
- Sindrom Pierre Robin
- Sindrom Marfan
Abnormalitas hidung/faring - Rinitis
- Polip nasi
- Hipertrofi tonsil atau adenoid
- Deviasi septum nasi
Penyakit lain - Akromegali
- Hipertiroidisme
Kelainan struktur saluran napas atas - Lingkar leher > 40 cm
- Abnormalitas sendi temporomandibular
- Abnormalitas Palatum
- Mikrognatia
- Retrognatia
- Makroglosia
- Kraniosinostosis
Diagnosis OSA
OSA dapat didiagnosis dengan adanya gejala OSA pada individu. Gejala
yang sering timbul adalah mendengkur keras (loud snoring), tidur yang kurang
efektif (restless sleep) dan hipersomnolen pada siang hari. Selain ketiga gejala
yang telah disebut, terdapat beberapa gejala lain seperti rasa tersedak (choking),
Excessive daytime sleepness (EDS), kelelahan pagi hari, gangguan memori,
penurunan fungsi kognitif, depresi, perubahan mood dan kepribadian, impotensi,
pusing pagi hari (nocturnal headache), nocturnal sweating dan nocturnal
enuresis.18
19
Pemeriksaan fisik
Selain keluhan dan gejala pasien, pemeriksaan fisik merupakan hal yang
penting dalam penegakan diagnosis OSA yaitu:
1. Evaluasi sistemik : Obesitas dan hipertensi merupakan hal yang paling
sering ditemukan pada penderita OSA dan keduanya berkaitan dengan
tingkat keparahan dari OSA. Studi telah membuktikan bahwa terdapatnya
hubungan antara OSA dan individu dengan IMT > 27,8 kg/m2 pada laki-
laki dan IMT > 27,3 kg/m2 pada perempuan. Begitupun individu dengan
lingkar leher > 17 inci (43.18 cm) pada laki-laki dan > 15 inci (38.1 cm)
pada perempuan, maka oleh karena itu, diperlukan pengukuran lingkar
leher dan IMT pada individu untuk mengetahui faktor predisposisi.11,18
Prevalensi OSA meningkat pada penderita hipertensi, penyakit
jantung koroner, gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskular dan
diabetes melitus. Demikian, sangat diperlukan pengukuran tekanan darah
dan kadar gula untuk menentukan adanya salah satu dari penyakit yang
merupakan faktor risiko OSA.18
Selain itu, dapat dilihat tanda-tanda tiromegali atau tanda kulit
kering, coarse rambut, atau miksedema yang menunjukkan diagnosis
hipotiroid atau adanya gejala depresi. Kedua diagnosis tersebut akan
menyebabkan individu mengalami hipersomnolensi terus menerus dan
kelelahan, maka diperlukan penyingkiran diagnosis tersebut terlebih
dahulu. 11
2. Pemeriksaan kepala dan leher : dapat dilakukan pemeriksaan posisi dan
ukuran mandibula serta maksila. Pada leher dievaluasi ukuran leher, posisi
hioid, dan posisi rahang. 11,18
3. Pemeriksaan hidung : perlu dievaluasi deformitas hidung, tipptosis, nostril
asimetris dan obstruksi katup internal. Pemeriksa dapat melakukan Cottle
maneuver untuk dilatasi katup nasal dan mengetahui tingkat pernapasan.
Dapat dilihat pada rongga nasal: ukuran konka, tanda-tanda polip, massa,
20
rinitis, purulensi dan posisi septum nasal. Nasofaringoskopi dapat
digunakan untuk evaluasi konka posterior, orifisium tuba eustachius, katup
velofaringeal dan adenoid. Selain itu, velofaring dapat di observasi
langsung melalui Muller maneuver. 11,18
4. Pemeriksaan rongga mulut : pada rongga mulut dilakukan observasi
ukuran dan posisi lidah, panjang palatum dan uvula, ukuran tonsil,
modified Mallmapati score, dan orofaring.18
5. Pemeriksaan hipofaring : hipofaring dapat di evaluasi dengan
nasofaringoskopi untuk melihat dasar lidah, tonsil lingua, masa obstruksi
di supraglottis, glotis, subglottis laring. Kelainan vallecula, epiglottis,
dinding lateral faring dan obstruksi umum akibat lidah dapat juga
mengakibatkan kolaps hipofaringeal saat tidur. 11,18
6. Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome Score (OSAHS score) :
sistem skoring ini telah diciptakan untuk mempermudah staging dari OSA
pada individu. Skoring mengandung 3 komponen penilaian; yaitu: a)
ukuran tonsil, b) rongga mulut, dan c) BMI. 11
Tabel 2.4. Sistem staging Friedman(11)
Stage Friedman Palate
Position
Ukuran Tonsil BMI
I 1
2
3,4 <40
<40
II 1,2
3,4
1,2
3,4
<40
<40
III 3
4
0,1,2
0,1,2
<40
<40
IV 1,2,3,4 0,1,2,3,4 >40
21
Tabel 2.5. Pemeriksaan fisik pada OSA.(18)
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Obstruksi nasal
- Deviasi septum
- Hipertrofi konka
- Kolaps katup nasal
- Hipertrofi adenoid
- Polip atau tumor nasal
Obstruksi Orofaringeal
- Palatum molle yang besar
- Hipertrofi tonsil palatina
- Posterior pharyngeal wall banding
- Makroglosia
- Large mandibular tori
- Narrow skeletal arch
Obstruksi hipofaringeal
- Kolaps dinding lateral faring
- Omega-shaped epiglottis
- Tumor hipofaringeal
- Hipertrofi tonsil lingual
- Retrognathia dan mikrognathia
Obstruksi laring
- Paralisis true vocal cord
- Tumor laring
Obstruksi leher umum
- Lingkar leher yang besar
- Redundant cervical
adipose tissue
Habitus tubuh umum
- Obesitas
- Achondroplasia
- Chest wall deformity
- Marfan’s syndrome
Tanda kardiovaskular
- Hipertensi arterial
terutama hipertensi pagi
hari
- Edema perifer
Pemeriksaan radiologi
Fiberoptic nasopharyngoscopy merupakan salah satu teknik yang dapat
digunakan untuk evaluasi jalan napas dan menentukan tingkat obstruksi: nasal,
retropalatal atau retrolingual. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan berbagai
posisi saat bangun dan tidur.18
Pemeriksaan radiologi dapat juga dilakukan untuk identifikasi letak dan
keparahan dari obstruksi saluran napas bagian atas atau kolaps pada OSA. Teknik-
teknik radiologi ini hanya dapat dilakukan pada individu yang sadar, maka
obstruksi jalan napas selama tidur tidak dapat di identifikasi. Cephalometric
radiograph adalah pemeriksaan radiologi yang sering digunakan untuk evaluasi
penderita OSA. Pencitraan ini dapat memberikan informasi mengenai tulang dan
22
jaringan lunak. Pada beberapa penelitian telah membuktikan dengan cephalometry
bahwa penderita OSA mengalami inferior displacement pada tulang hioid, ruang
posterior jalan napas yang sempit dan palatum molle yang panjang namun
cephalometry tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA secara
signifikan.18
Computed tomograph (CT) memberi detail anatomi tulang dan jaringan
lunak yang sangat baik namun sensitifitasnya untuk diagnosis OSA rendah.
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat membedakan antara berbagai jaringan
lunak namun MRI ini mahal dan penggunaannya terbatas. Kedua pencitraan ini
walaupun sangat baik untuk mendeteksi kelainan anatomi, tetapi tidak dapat
membedakan anatara OSA dan non-OSA.17
Fluoroscopy merupakan alat pemeriksaan jalan napas yang dinamik untuk
mengevaluasi letak obstruksi. Somnofluoroscopy adalah pemeriksaan yang
dilakukan saat tidur yang mendukung keadaan uvulopalatopharyngoplasty
sehingga dapat mengidentifikasi letak dari obstruksi awal namun pemeriksaan ini
memerlukan waktu yang lama dan radiasi yang tinggi.18
Pemeriksaan khusus
Selain pemeriksaan penunjang dengan pencitraan, terdapat beberapa
pemeriksaan khusus untuk diagnosis OSA, diantaranya:
1. Multiple sleep latency testing : tes ini merupakan tes yang objektif dalam
evaluasi tidur saat beraktifitas dan berapa kali tertidur yang diulang setiap
2 jam. Normal sleep latency adalah 10-20 menit, sedangkan pasien dengan
EDS biasanya memiliki sleep latency 5 menit atau kurang. 11,18
2. Polisomnografi (PSG) : alat ini merupakan alat ukur yang definitif untuk
evaluasi OSA sepanjang malam karena melakukan perekaman langsung
aktifitas otak pasien selama tidur. PSG merekam durasi tidur dan gejala
yang terjadi saat tidur (mendengkur, hipopnea, apnea, thoracoabdominal
excursion, pergerakan ekstremitas dll). Selain dapat mendiagnosis OSA,
PSG juga dapat menentukan tingkat keparahan OSA dan membedakan
23
antara OSA, central sleep apnea dan gangguan lain yang menyebabkan
hipersomnolensi.11,18
3. Drug-induced sleep endoscopy : pemeriksaan ini dilakukan dengan
pemberian sedatif untuk mengetahui obstruksi dinamik selama tidur. 11,18
4. Tes subjektif : tes-tes subjektif dapat dilakukan oleh pasien sendiri untuk
menilai keadaan hipersomnolensi yang terjadi pada individu saat
beraktifitas. Uji yang digunakan adalah : Functional Outcomes of Sleep
Questionnaire (FOSQ) dan Stanford Sleepness Scale (SSS). FOSQ menilai
kecukupan tidur untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan SSS
menanyakan seberapa pasien saat ini merasa mengantuk. Selain itu,
kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) yang merupakan skala
internasional dalam penentuan daytime sleepiness. OSA kemungkinan
terjadi pada individu dengan nilai ESS lebih dari 10.11,18
Tabel 2.6. Epworth sleepness scale (6)
Komplikasi
Sekitar 20% penderita OSA sering tertidur saat mengendarai mobil dan hal
ini meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Telah dilaporkan dari beberapa
studi korelasi antara OSA dan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi. Studi
mengatakan bahwa penderita OSA yang berat memiliki faktor risiko penyakit
hipertensi sebanyak 1,5 pada laki-laki dan 1,17 pada perempuan.11
24
Talaksana OSA (Obstructive sleep apnea)
Tatalaksana pada OSA dapat dibagi menjadi dua yaitu: tatalaksana non
bedah dan tatalaksana bedah.
Talaksana non-bedah
- Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi yang
sering digunakan pada OSA. CPAP dapat menurunkan terjadinya
dengkuran yang keras dan apnea serta dapat mengatasi EDS. Terapi
dengan CPAP sangat efektif dalam menurunkan gejala OSA hingga 90-
95% dengan penggunaan 4-5 jam/malam. Penelitian belum mempelajari
durasi reguler penggunaan CPAP untuk menurunkan dan mengeliminasi
gejala sisa (sequelae) jangka panjang. Penderita OSA yang menggunakan
CPAP biasanya mengalami claustrophobia, pusing, rinitis, iritasi wajah
dan hidung, aerophagia. 11
- Oral appliances dapat digunakan pada pasien dengan dengkuran yang
primer, OSA ringan sampai sedang dan pasien yang tidak ingin
menggunakan CPAP. Titratable mandibular repositioning devices adalah
alat yang paling sering digunakan. Alat ini dapat menurunkan gejala OSA
dan efektifitasnya sama seperti CPAP. Kerugian dari penggunaan alat ini
adalah nyeri pada sendi temporomandibular, sakit kepala dan salivasi
berlebihan. 11
- Penurunan berat badan : pasien overweight harus didukung untuk
melakukan penurunan berat badan sehingga dapat menjadikan diameter
saluran napas lebih luas dan meningkatkan fungsinya. 11
- Modifikasi gaya hidup : pasien di edukasi agar tidak menggunakan obat-
obat sedatif, alkohol, nikotin dan kafein pada sore hari karena zat tersebut
akan mempengaruhi tonus otot-otot saluran napas dan mekanisme sentral
pernapasan. 11
- Terapi posisi : beberapa pasien mengalami OSA pada posisi tertentu
seperti pada pasien dengan primery supine-dependent obstructive,
biasanya di beritahukan agar tidur dalam posisi lateral dekubitus untuk
mencegah terjadinya obstruksi. Terapi lain adalah eksternal nasal dilator
25
dan obat efedra-efedrin merupakan pengobatan yang populer untuk
mengatasi dengkuran dan OSA. Walaupun beberapa obat ini dapat
mengurangi gejala mendengkur pada pasien dengan rinitis kronik atau
obstruksi nasal, namun produk ini belum terbukti memberikan keuntungan
yang signifikan dalam mengatasi primary snoring atau OSA.11
Talaksana bedah
- Persiapan pre-operasi : penatalaksanaan operatif dilakukan tergantung dari
letak kelainan individu yang menyebabkan terjadinya OSA dengan tujuan
mengoptimalkan efektifitas dari operasi dan meminimalkan morbiditas.
Evaluasi ulang dilakukan 4-6 bulan setelah operasi untuk mengetahui efek
dari terapi bedah tersebut pada pasien OSA. Prosedur-prosedur
pembedahan akan dilakukan setelah pemeriksaan fisik, endoskopi dengan
maneuver Muller, sefalometri dan PSG. Pembedahan ini memiliki dua fase
yaitu fase 1 dan fase 2 operasi. 11,18
- Operasi fase 1: operasi ini dilakukan pada pasien OSA tipe 1 anatomi
saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dengan
uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), tipe 2 anatomi saluran napas atas
seperti obstruksi orofaringeal dan hipofaringeal dengan UPPP dan
genioglossus advancement dengan atau tanpa hyoid myotomy, dan tipe 3
anatomi saluran napas atas seperti obstruksi hipofaringeal dengan
genioglossus advancement tanpa operasi palatum. Semua pasien yang
akan menjalani fase 1 pembedahan akan dilakukan anastesi umum dan
harus diberitahukan kemungkinan risiko dari anastesi, nyeri postoperasi,
infeksi, perdarahan, dan insufisiensi velopharyngeal jangka panjang dan
pendek pada pasien UPPP. 11,18
- Pembedahan fase 2 (maxillary-mandibulae osteotomy) : dilakukan pada
pasien yang tidak membaik dengan operasi fase 1 setelah di evaluasi 6
bulan kemudian. 11,18
- Selain yang telah disebut, terdapat beberapa tindakan bedah dalam
penatalaksanaan OSA tergantung pada letak kelainannya seperti: laser-
26
assisted uvuloplasty (LAUP), ablasi radiofrekuensi, operasi basis lidah,
trakeostomi, implant palatal. 11,18
2.7. Excessive Daytime Sleepiness (EDS)
Excessive Daytime Sleepiness (EDS) salah satu komponen dari kelainan
hipersomnia yang didefinisikan berdasarkan International Classification of Sleep
Disorders (ICSD) sebagai kondisi individu yang jatuh tidur termasuk kesulitan
dalam mengendalikan keadaan sadar penuh dan secara tidak sadar jatuh tidur.19
Pada praktik klinik, keluhan EDS ini biasanya di interpretasikan sebagai
perasaan mengantuk, penurunan tenaga, dan kelelahan serta rasa kantuk yang
tidak dapat di kontrol. Secara klinis, terjadi kesulitan dalam membedakan antara
EDS yang sebenarnya dari kondisi kelelahan yang biasa. Kevin R. telah
melaporkan prevalensi EDS berkisaran antara 3% hingga 20% yang dipilih secara
random pada orang usia lanjut dan sebanyak 22.6% pada orang yang mengalami
EDS dengan kecelakaan kerja. 19
Penyebab dari EDS bervariasi seperti insufisiensi tidur, tidur yang tidak
adekuat akibat konsumsi obat-obat tertentu dan kondisi kesehatan yang serius.
Sekitar 65 penyakit tidur primer dapat menyebabkan EDS. OSA salah satu kondisi
yang paling sering dikaitkan dengan keadaan EDS pada individu dengan skor
apnea-hypopnea 5 atau lebih. Kevin R. menduga bahwa EDS diderita oleh 2%
dari populasi perempuan dan 4% dari populasi laki-laki. 19
Untuk menilai keadaan EDS dimulai dari riwayat individu secara klinis
untuk identifikasi EDS dari keadaan kelelahan umum. Riwayat ini meliputi jadwal
tidur, perilaku tertentu saat tidur, faktor risiko dari penyakit napas saat tidur atau
narkolepsi, dan riwayat keluarga. Kemudian dilakukan penilaian secara subjektif
oleh individu tersebut dengan menggunakan kuesioner khusus untuk menilai
keadaan EDS seperti kuesioner Stanford Sleepiness Scale dan Epworth Sleepiness
Scale. Walaupun ESS ini tidak tervalidasi pada pasien yang banyak namun
kuesioner ini paling sering digunakan karena singkat, mudah digunakan dan di
interpretasikan, serta dapat digabungkan dengan kuesioner lain untuk diagnosis
penyakit-penyakit tidur. 19
27
Selain itu, salah satu penyebab primer dari EDS adalah kekurangan durasi
tidur pada malam hari. Di beberapa negara masalah kekurangan tidur timbul
akibat adanya tekanan ekonomi dan sosial. Gangguan sirkadian pada individu
dapat menjadi salah satu penyebab dasar dari gejala EDS. siklus sirkadian normal
dapat diatur oleh nukleus supra-kiasmatikus dari hipotalamus sehingga lokasi
tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa aktifitas fisik terutama
sinar lingkungan. EDS juga sering dialami oleh shift-workers yang memiliki
durasi tidur lebih sedikit dalam 24 jam.20
28
2.8. Kerangka Teori
Gangguan pernapasan saat tidur
Saturasi O2 dalam darah berkurang
Pasien terbangun mendadak
(arousal) pada malam hari
Proses tidur tidak efektif (tidur
NREM stadium 3&4 terganggu)
Abnormalitas frekuensi napas
episodik saat tidur
Obstructive Central Campuran
Otot-otot faring
relaksasi
Resistensi sal. Napas
atas meningkat
Kegagalan Sistem
saraf pusat
SSP tidak mengirim
sinyal ke otot penapasan
Aliran udara yang
masuk menurun
Tidak bernapas
Aliran udara
berkurang
Kegagalan SSP
Sistem kardiorespirasi
tidak terkendali
Ganggauan
pernapasan
Gangguan pada otot-
otot pernapasan
Resistensi sal. Napas
atas meningkat
Aliran udara
berkurang
Mendengkur keras saat tidur dan
Hipersomnolensi siang hari
Excessive daytime
sleepiness (EDS)
Obstructive sleep
apnea (OSA)
Gangguan
napas berat
Hipoventilasi
alveolar kronik,
hiperkapnea
Faktor risiko:
obesitasitas, usia
lanjut, hipertensi,
ganggguan jantung
Kelainan palatum,
makroglosia,
retrognatia,
mikrognatia, lingkar
leher > 40 cm,
hipertrofi tonsil,
rinitis, polip nasal,
deviasi septum nasi
29
2.9. Kerangka Konsep
Keterangan :
: area penelitian
Kelainan otot faring
Ukuran leher yang
besar
Jenis kelamin
Indeks massa tubuh
Riwayat tonsilektomi
Riwayat merokok
Makroglosi
Kebiasaan olahraga
Gangguan pernapasan saat tidur
Gejala utama : mendengkur keras
dan hipersomnolensi
Pemeriksaan subjektif : Epworth
sleepness scale (ESS)
Excessive daytime sleepness
(EDS)
Obstructive sleep apnea (OSA)
Obstruksi jalan napas atas
Rongga nasal
Naso-orofaring
Hipofaring
Deviasi septum
Hipertrofi konka
Tonsil
Palatum
Dasar lidah
Rhinitis alergi
30
2.10. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala
Excessive Daytime
Sleepness (EDS)1
Timbulnya rasa mengantuk
pada siang hari
Epworth Sleepiness Scale (ESS) Mahasiswa mengisi kuesioner
ESS kemudian dari hasil
pengisian skornya akan
ditotalkan dan di interpretasikan
1. Nilai < 10 tidak mengalami
EDS
2. Nilai ≥ 10 mengalami EDS
Nominal
Indeks Massa Tubuh
(IMT)1
Skala pengukuran berat
badan sesuai tinggi badan
IMT didapat dengan mengetahui
berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) responden
IMT = BB/ (TB)2 1. < 18.5 kg/cm2
(underwieght)
2. 18.5-22.9 kg/cm2 (Normal)
3. ≥ 23 kg/cm2 (Overwieght)
4. ≥ 25 kg/cm2 (Obesitas)
Ordinal
Lingkar Leher1 Besaran lingkar leher Kaliber merk seca Pengukuran dilakukan setinggi
tulang krikoid dan kemudian
mengelilingi seluruh leher
1. < 43 cm
2. > 43 cm
Nominal
Olahraga Frekuensi olahraga setiap
minggu
Kuesioner demografi Mengisi kuesioner demografi
untuk frekuensi olahraga
1. Frekuensi 1x/minggu
2. Frekuensi 2x/minggu
3. Frekuensi ≥ 3x/minggu
Ordinal
Merokok Individu yang sedang
memiliki kebiasan merokok
Kuesioner demografi Pemberian kuesioner demografi 1. Merokok
2. Tidak merokok
Nominal
Makroglosi Besaran lidah terhadap
rongga mulut
Tongue edge crenation
Mallampati score
Pemeriksaan fisik THT 1. Terdapat Tongue edge
crenation dan tidak
terdapat tongue edge
crenation
2. Mallampati Class I, II,III,
IV
Ordinal
Tonsilektomi Individu dengan riwayat
pembedahan tonsil
Kuesioner demografi
Spaltel togue
Pemberian kuesioner demografi
dan pemeriksaan THT
1. T0
2. Tidak T0
Nominal
Deviasi septum Pergeseran septum dari garis
tengah pada rongga hidung
Rinoskopi anterior Pemeriksaan THT 1. Deviasi septum
2. Tidak deviasi
septum
Nominal
Hipertrofi konka Pembengkakan dari konka
inferior pada dinding lateral
nasal
Rinoskopi anterior Pemeriksaan THT 1. Hipertrofi konka
2. Eutrofi konka
Nominal
Hipertofi tonsil1 Pembesaran tonsil faringeal Spaltel tongue Pemeriksaan THT 1. T1
2. > T1
Nominal
31
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain
potong lintang (cross sectional)
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Bulan Februari 2013-
september 2013 di kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.3. Populasi Peneltian
3.3.1. Populasi Target
Populasi target untuk penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau untuk penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1. Kriteria Inklusi
Mahaiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.2. Kriteria Eksklusi
- Mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan klinik (2007, 2008, 2009)
31
32
- Mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan
farmasi, keperawatan dan kesehatan masyarakat
- Mahasiswa yang menolak mengikuti pemeriksaan fisik
THT.
3.5. Besar Sampel
3.5.1. Perhitungan Besar Sampel
Jumlah Sampel :
n = jumlah sampel
Zα = deviat baku alfa (2,576)
Untuk alfa = 1%, uji dua arah
P = proporsi total (30-40%, Sihombing CR, 2008)
Q = 1-P
d = persisi (10%)
3.6. Cara Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa
preklinik dengan metode pemilihan sampel simple random sampling.
3.7. Cara Kerja Penelitian
1. Dilakukan penyebaran kuesioner pada mahasiswa angkatan
preklinik PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah
33
memberi keterangan kepada mahasiswa mengenai cara pengisian
kuesioner.
2. Kuesioner dinilai total skor yang didapatkan pada masing-masing
responden.
3. Dilakukan penghitungan prevalensi EDS yang terdapat pada
mahasiswa.
4. Data yang diperoleh akan dilakukan analisis bivariat dengan SPSS-
16
3.8. Alur Penelitia
Persiapan penelitian
Pembagian kuesioner
Epworth sleepiness scale
Jenis kelamin Pengukuran IMT
Anamnesis
Analisis hubungan obesitasitas, jenis kelamin,
tonsilektomi, olahraga, makroglosi, deviasi septum,
hipertrofi tonsil, hipertrofi konka, riwayat merokok, dan
lingkar leher dengan EDS
Penghitungan score ESS
ESS<10 ESS≥10
Pemeriksaan
fisik
Analisis data
Lingkar leher
Makroglosi
Riwayat rokok
Riwayat
tonsilektomi
Tonsilektomi Olahraga
Hipertrofi konka
Hipertrofi tonsil
Deviasi septum
34
3.9. Pengumpulan dan Penyajian Data
Semua penelitian akan dicatat dalam formulir yang telah
ditentukan dan kemudian dilakukan pengelolaan dengan
menggunakan program SPSS-16. Hasil penelitian akan dilaporkan
dalam bentuk teks, tabel atau grafik. Laporan hasil penelitian akan
dituangkan dalam bentuk tulisan dan disajikan dalam sidang ilmiah di
hadapan penguji.
3.10. Rencana Analisis Data
Untuk latar belakang responden akan dianalisis secara
deskriptif dan kemudian dari data yang telah diisi oleh responden
dapat diketahui faktor risiko yang mempengaruhi keadaan EDS
seperti; obesitasita, jenis kelamin, riwayat tonsilektomi, merokok,
olahraga, makroglosi, hipertrofi konka, tonsil, deviasi septum dan
lingkar leher.
3.11. Etika Penelitian
Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu diajukan
persetujuan penelitian. Semua informasi yang diambil akan tetap
dirahasiakan.
3.12. Organisasi Penelitian
Peneliti : Nadia Entus Nasrudin Tubagus
Pembimbing I : dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL
Pembimbing II : Ratna Pelawati, S.Kp, M.Biomed
35
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Distribusi Demografi
4.1.1. Karakteristik demografi responden
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai agustus 2013 dan
hasil penelitian diperoleh dari 140 responden yang telah didapat dengan
menggunakan metode simple random sampling. Peneliti mendata mahasiswa
preklinik berdasarkan nomor induk mahasiswa di PSPD FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan kemudian di lakukan simple random pada nomor
induk mahasiswa ketiga angkatan. Penelitian ini dilakukan dengan pembagian
kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS), kuesioner demografi dan
pemeriksaan lengkap telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), lingkar leher,
dan pemeriksaan kuesioner pada setiap responden.
Tabel 4.1. Sebaran Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini jumlah
mahasiswa perempuan lebih banyak (68.6%) dibandingkan mahasiswa laki-
laki (31.4%) sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran jenis kelamin
didominasi oleh jenis kelamin perempuan.
4.1.2. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi masing-
masing variabel independen dan variabel dependen yang diteliti.
Karakteristik Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin:
Laki-laki
Perempuan
44
96
31.4
68.6
35
36
Selanjutnya distribusi responden penelitian dan hasil analisisnya dapat
dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Sebaran Demografi responden
Karakteristik Demografi Jumlah Persentase (%)
Indeks massa tubuh:
Underweight
Normal
Overweight
Obesitas
12
81
24
23
8.6
57.9
17.1
16.4
Riwayat tonsilektomi
Positif
Negatif
10
130
7.1
92.9
Riwayat merokok:
Merokok
Tidak merokok
7
133
5
95
Olahraga
1x/minggu
2x/minggu
≥ 3x/minggu
Tidak olahraga
52
23
23
42
37.1
16.4
16.4
30
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 4.2 dari 140
responden yang diteliti, jumlah mahasiswa dengan IMT underweight adalah
sebanyak 12 orang (8.6%), normal sekitar 81 orang (57.9%), overweight
sebanyak 24 orang (17.1%), dan yang obesitas sebanyak 23 orang (16.4%).
Dapat diketahui juga bahwa jumlah mahasiswa dengan riwayat tonsilektomi
adalah sebanyak 10 orang (7.1%) dan yang tidak pernah dilakukan operasi
tonsilektomi sekitar 130 orang (92.9%). Riwayat merokok terdapat pada 7
orang (5%) dan 133 orang (95%) mengakui tidak merokok sedangkan riwayat
olahraga diakui oleh 52 orang (37.1%) dengan frekuensi 1x/minggu, 23 orang
37
(16.4%) dengan frekuensi 2x/minggu, 23 orang (16.4%) dengan frekuensi
≥3x/minggu, serta 42 orang (30%) tidak melakukan aktifitas olahraga yang
rutin.
Tabel 4.3. Sebaran Demografi Pemeriksaan Fisik Responden
Karakteristik Demografi Jumlah Persentase (%)
Ukuran Lidah
Normoglosi
Makroglosi
117
23
83.6
16.4
Lingkar leher:
<43 cm
>43 cm
140
-
100
-
Deviasi Septum
Deviasi
Tidak Deviasi
75
65
53.6
46.4
Hipertrofi Konka
Eutrofi
Hipertrofi
72
68
51.4
48.6
Hipertrofi Tonsil
T1
T2
T3
T4
94
23
13
1
67.1
16.4
9.3
0.7
Mallampati Score
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
Derajat 4
46
68
16
10
32.9
48.6
11.4
7.1
Tabel 4.3. di atas menunjukkan bahwa pada pemeriksaan fisik
ditemukan bahwa lingkar leher responden tidak ada yang melebihi 43 cm
38
sehingga 140 orang (100%) dengan lingkar leher <43 cm. Pemeriksaan lidah
untuk identifikasi ukuran lidah menunjukkan bahwa sekitar 117 orang
(83.6%) dengan keadaan normoglosi dan 23 orang (16.4%) yang mengalami
makroglosi. Pada pemeriksaan rongga mulut ditemukan bahwa sekitar 46
orang (32.9%) derajat 1, 68 orang (48.6%) derajat 2, 16 orang (11.4%) derajat
3, dan 10 orang (7.1%) derajat 4 sedangkan keadaan tonsil pada 94 orang
(67.1%) ditemukan T1, 23 orang (16.4%) dengan T2, 13 orang (9.3%) dengan
T3, dan 1 orang (0.7%) dengan T4.
Tabel 4.4. Prevalensi EDS
Dari 140 responden pada penelitian ini ditemukan sebanyak 77
mahasiswa (55%) yang mengalami EDS dengan penilaian ESS ≥10,
sedangkan jumlah yang tidak mengalami EDS sebanyak 63 mahasiswa (45%)
dengan skor ESS <10.
4.2. Analisis Bivariat
1. Jenis analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa bivariat
komparatif kategorik yang akan dilakukan pada setiap variabel.
2. Mengingat bahwa lingkar leher merupakan data yang konstan sehingga
tidak dapat dilakukan analisis statistik.
Pada tabel 4.5. dibawah tentang hubungan jenis kelamin dengan
EDS didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yang positif EDS yaitu
sebanyak 27 orang (61.3%) dan pada perempuan sekitar 50 orang (52%).
Karakteristik Jumlah Persentase (%)
Hasil kuesioner ESS:
EDS
Non EDS
77
63
55
45
39
Tabel 4.5. Hubungan jenis kelamin dengan EDS
Keterangan : *uji chi-square
Pada tabel 4.6. dibawah tentang hubungan indeks massa tubuh
dengan EDS dapat dilihat bahwa mahasiswa yang mengalami EDS dengan
kategori IMT underweight terdapat sebanyak 5 orang (41.6%) dan
mahasiswa dengan IMT normal terdapat sebanyak 48 orang (59.2%),
sedangkan pada mahasiswa dengan kategori IMT overweight ditemukan
sebanyak 11 orang (45.8%) serta mahasiswa yang obesitas terdapat sekitar
13 orang (56.5%) yang positif EDS.
Tabel 4.6. Hubungan IMT dengan EDS
Keterangan : *chi-square
Tabel 4.7. di bawah tentang hubungan riwayat tonsilektomi dan
hipertrofi tonsil dengan EDS menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang
mengalami EDS dengan riwayat tonsilektomi adalah 5 orang (50%)
sedangkan jumlah mahasiswa tanpa riwayat tonsilektomi adalah 72 orang
(55.3%) namun yang tidak mengalami EDS pada mahasiswa dengan
Jenis
Kelamin
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Laki-laki
Perempuan
27 (61.3%)
50 (52%)
17 (38.6%)
46 (47.9%)
0,306*
Indeks Massa Tubuh
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Underweight
Normal
Overweight
Obesitas
5 (41.6%)
48 (59.2%)
11 (45.8%)
13 (56.5%)
7 (58.3%)
33 (40.7%)
13 (54.1%)
10 (43.4%)
0,514*
40
riwayat tonsilektomi terdapat 58 orang (44.6%) serta yang tidak pernah
melakukan operasi tonsilektomi sekitar 5 orang (50%).
Pada keadaan hipertrofi tonsil mahasiswa dengan ukuran tonsil T1
terdapat sebanyak 49 orang (52.1%), ukuran tonsil T2 sebanyak 14 orang
(60.8%) dan 10 orang (76.9%) dengan ukuran T3 yang mengalami EDS.
Selain itu, mahasiswa yang tidak mengalami EDS pada ukuran tonsil T1
terdapat 45 orang (47.8%), T2 terdapat 9 orang (39.1%), T3 terdapat 3
orang (23%) dan ukuran T4 hanya terdapat 1 orang.
Tabel 4.7. Hubungan keadaan tonsil dengan EDS
Keterangan : *Fisher’s Exact test 1 sided
**Fisher’s Exact test 2 sided
***Kolmogorov-Smirnov Z
Dari tabel 4.8. dibawah tentang hubungan riwayat merokok dan
olahraga dengan EDS dapat terlihat bahwa jumlah yang mengalami EDS
dengan riwayat merokok adalah 5 orang (71.4%) dan yang tidak merokok
72 orang (54.1%) sedangkan pada mahasiswa yang tidak mengalami EDS
dengan adanya kebiasaan merokok terdapat 2 orang (28.5%) serta yang
tidak merokok terdapat 61 orang (45.8%)
Keadaan Tonsil
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Riwayat tonsilektomi:
Positif
Negatif
5 (50%)
72 (55.3%)
5 (50%)
58 (44.6%)
0,754*
0,496**
Hipertorfi tonsil:
T1
T2
T3
T4
49 (52.1%)
14 (60.8%)
10 (76.9%)
0
45 (47.8%)
9 (39.1%)
3 (23%)
1 (100%)
0,620***
41
Mahasiswa EDS dengan frekuensi olahraga 1x/minggu terdapat
sebanyak 23 orang (44.2%), frekuensi 2x/minggu sebanyak 16 orang
(69.5%), dan frekuensi ≥ 3x/minggu sebanyak 15 orang (65.2%) serta
yang tidak olahraga terdapat sebanyak 23 orang (54.7%). Pada mahasiswa
yang tidak mengalami EDS dapat terlihat bahwa sekitar 29 orang (55.7%)
dengan frekuensi 1x/minggu, sebanyak 7 orang (30.4%) dengan frekuensi
2x/minggu, dan 8 orang (34.7%) dengan frekuensi ≥ 3x/minggu serta 19
orang (45.2%) yang tidak berolahraga.
Tabel 4.8. hubungan kebiasaan merokok dan olahraga dengan EDS
K
Keterangan : *Fisher’s test 1 sided
**Fisher’s test 2 sided
***Chi-Square
Dari tabel 4.9. dibawah tentang hubungan ukuran lidah dan
mallampati score dengan EDS dapat terlihat bahwa yang mengalami EDS
dengan makroglosi terdapat sebanyak 11 orang (47.8%) sedangkan yang
normoglosi sebanyak 66 orang (56.4%). Mahasiswa non EDS dengan
ukuran lidah normal terdapat sebanyak 51 orang (43.5%) sedangkan yang
memiliki lidah besar terdapat sebanyak 12 orang (52.1%).
Selain itu, ditemukan bahwa mahasiswa dengan EDS pada
klasifikasi mallampati score terdapat sebanyak 24 orang (52.1%) untuk
Variabel
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Merokok:
Positif
Negatif
5 (71.4%)
72 (54.1%)
2 (28.5%)
61 (45.8%)
0,458*
0,311**
Riwayat olahraga:
1x/minggu
2x/minggu
≥ 3x/minggu
Tidak olahraga
23 (44.2%)
16 (69.5%)
15 (65.2%)
23 (54.7%)
29 (55.7%)
7 (30.4%)
8 (34.7%)
19 (45.2%)
0,146***
42
derajat I, 39 orang (57.3%) untuk derajat II, 9 orang (56.2%) untuk derajat
III, serta 5 orang (50%) pada derajat IV sedangkan mahasiswa non EDS
terdapat sebanyak 22 orang (47.8%) pada derajat I, 29 orang (42.6%) pada
derajat II, 7 orang (43.7%) pada derajat III, dan 5 orang (50%) pada
derajat IV.
Tabel 4.9. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score dengan EDS
Keterangan : *Chi-square
**Kolmogorov-Smirnov Z
Dari tabel 4.10. dibawah tentang hubungan deviasi septum dan
hipertrofi konka dengan EDS dapat terlihat bahwa mahasiswa yang
mengalami EDS dengan deviasi septum terdapat sebanyak 42 orang
(56.7%) sedangkan EDS dengan hipertrofi konka terdapat sebanyak 37
orang (54.4%).
Pada keadaan non EDS ditemukan bahwa jumlah mahasiswa
dengan hipertrofi konka adalah 31 orang (45.5%) dan 32 orang (43.2%)
yang mengalami deviasi septum.
Variabel
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Ukuran lidah
Normoglosi
Makroglosi
66 (56.4%)
11 (47.8%)
51 (43.5%)
12 (52.1%)
0,449*
Mallampati score
Class I
Class II
Class III
Class IV
24 (52.1%)
39 (57.3%)
9 (56.2%)
5 (50%)
22 (47.8%)
29 (42.6%)
7 (43.7%)
5 (50%)
0,221**
43
Tabel 4.10. hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS
Keterangan : *Chi-square
4.3. Pembahasan
4.3.1. Hubungan jenis kelamin dengan EDS
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi EDS
pada mahasiswa PSPD ketiga angkatan sekitar 55% dari 140 responden.
Angka kejadian EDS ini yang cukup tinggi tidak hanya karena adanya
kelainan pada saluran napas atas secara struktural tetapi dapat juga
dipengaruhi oleh faktor keadaan fisik dan mental mahasiswa dengan
kondisi jadwal yang padat dan tingkat stress yang cukup tinggi. National
Sleep Foundation 2000 Omnibus Sleep in America telah melaporkan
bahwa sekitar 43% dari populasi dewasa mengalami EDS beberapa hari
dalam satu bulan dan 20% mengalami hal yang sama beberapa hari dalam
satu minggu.20
Kondisi EDS pada penelitian ini didominasi oleh populasi laki-laki
dengan presentase 61.3% dibandingkan dengan perempuan yang memiliki
presentase 52%. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kondisi EDS dengan
nilai p = 0,306. Tan dkk, telah melaporkan pada penelitiannya bahwa
prevalensi EDS pada berbagai macam RAS Asia adalah 10.8% yang
Variabel
ESS p-value
EDS
n (%)
Non EDS
n (%)
Deviasi septum
Deviasi
Tidak deviasi
42 (56.7%)
35 (53%)
32 (43.2%)
31 (46.9%)
0.658*
Hipertrofi konka
Eutrofi
Hipertrofi
40 (55.5%)
37 (54.4%)
32 (44.4%)
31 (45.5%)
0,892*
44
sering mengalami rasa mengantuk namun hanya 9% diantaranya yang
diklasifikasikan sebagai penderita EDS sedangkan penelitian yang
dilakukan pada populasi Brazil oleh Rocha dkk, melaporkan bahwa
prevalensi EDS sekitar 16.8% dari populasi tersebut dan ditemukan pada
populasi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.21
Bixler dkk, pada penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi EDS
adalah 8.7% dengan presentase yang sama pada laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Punjabi pada studi yang ia lakukan mencatat bahwa prevalensi
Obstructive Sleep Apnea yang berkaitan dengan keadaan EDS sekitar 3%-
7% pada laki-laki dan 2%-5% pada perempuan di populasi umum. Pada
penelitian ini, prevalensi EDS sangat tinggi melebihi setengah dari
populasi target dibandingkan dengan pelaporan penelitian sebelumnya.
Hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain pada mahasiswa dengan usia
produktif (16-23 tahun) seperti kelelahan fisik akibat aktifitas pada saat
kuliah dan durasi tidur malam yang minim. Walaupun perbedaan jenis
kelamin tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara
statistik namun terlihat bahwa pada laki-laki angka kejadian EDS lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan yang menunjang studi dari Punjabi
namun bertolak dengan studi Bixler dan Rocha. Ketidaksesuaian ini terjadi
karena adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keadaan EDS
seperti keadaan insomnia yang tercatat pada studi yang dilakukan oleh
Subramanian dkk, cukup tinggi pada populasi perempuan (62%)
dibandingkan laki-laki (53%). Diperlukan studi pada populasi lebih luas
sehingga dapat dianalisa secara statistik. 22-25
4.3.2. Hubungan indeks massa tubuh dengan EDS
Berdasarkan analisis statistik ditemukan pada penelitian ini bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dan kondisi EDS
dengan nilai p = 0,514. Gunes dkk, pada penelitiannya telah melaporkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan keadaan
EDS (p = 0,01) dan rata-rata IMT yang mengalami EDS adalah >27.6
kg/m2. Gunes telah menganalisis nilai OR pada IMT terhadap EDS yang
45
memiliki nilai 1.145 yakni; obesitas berpengaruh sebesar 53.3% terhadap
EDS. Hal tersebut diperkuat oleh studi Resta dkk, yang menyatakan bahwa
prevalensi OSA pada populasi obesitas melebihi 50% dengan rata-rata
IMT 40 kg/m2
dan presentase EDS secara signifikan meningkat pada
populasi obesitas dibandingkan dengan populasi non obesitas (p < 0.001).
Penelitian Haglow juga mendukung hasil studi sebelumnya dengan
menyatakan bahwa IMT akan mulai memberikan hubungan yang
signifikan dengan keadaan EDS adalah IMT 25 kg/m2 (p = 0.001)
sedangkan Bixler mengatakan bahwa prevalensi EDS terlihat meningkat
secara signifikan pada IMT 28 kg/m2. Selain itu, Slater dkk, melaporkan
dalam studinya bahwa rata-rata nilai ESS 12.9 pada populasi obesitas
dibandingkan yang non obesitas dengan nilai rata-rata ESS 10.4 sehingga
obesitas dinyatakan berkaitan dengan keadaan EDS pada 15.7% dari
populasi.23,26-29
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan
antara IMT dan EDS secara statistik namun dapat dilihat bahwa dari 23
orang dengan kategori obesitas terdapat 13 orang yang mengalami EDS
dibandingkan 10 orang yang non EDS sehingga ini menunjukkan secara
klinis adanya pengaruh obesitas terhadap keadaan EDS. Hal ini terjadi
dikarenakan populasi obesitas pada mahasiswa tidak banyak sehingga
diperlukan populasi lebih luas dalam menghubungkan antara EDS dan
obesitas. Hasil statistik dari penelitian ini tidak sesuai dengan literatur
karena pada beberapa literatur yang dilakukan di luar indonesia kategori
obesitas berbeda dengan kategori Asia Pacific. Oleh karena itu, populasi
pada penelitian ini dengan kategori obesitas disamakan dengan kategori
overweight di luar Indonesia sehingga IMT overweight tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan EDS. Selain itu, perlu dipertimbangkan
kondisi lingkar leher dan faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS
seperti keadaan mental dan penyakit metabolik. Pada individu yang
memiliki lingkar leher yang besar dapat mempengaruhi proses bernapas
sehingga saluran napas menjadi lebih sempit dan udara sulit untuk
dialirkan. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Bixler dkk, melaporkan
46
bahwa keadaan mental seperti depresi dan penyakit metabolik seperti
diabetes dapat mempengaruhi keadaan EDS dengan nilai OR (95% CI) 1.9
yang berarti sekitar 60% keadaan tersebut dapat menyebabkan EDS.23
4.3.3. Hubungan hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi terhadap
EDS
Berdasarkan hasil analisis statistik dapat dilihat bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat tonsilektomi dan
keadaan EDS dengan nilai p = 0,754 untuk 1 sided dan p = 0,496 untuk 2
sided sedangkan hasil analisis statistik hipertrofi tonsil menunjukkan tidak
ada hubungan bermakna dengan kondisi EDS pada nilai p = 0,620. Mu
pada penelitiannya telah melaporkan hipertrofi adenotonsilar sebagai
faktor risiko dari OSAS. Prevalensi OSAS sekitar 3.2% - 12.1% dengan
hipertrofi tonsil pada usia 2 sampai 8 tahun. Hasil studi Ungkanont dan
Areyasathiodmon memperkuat pernyataan Mu dengan mengatakan bahwa
terdapat korelasi yang signifikan antara ukuran tonsil dengan OSA-18
score (p = 0,034) sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Ia
mengderajatifikasikan ukuran tonsil dan mencari besar korelasinya
terhadap kualitas hidup. Pada ukuran T3 dan T4 ditemukan bahwa hal
tersebut dapat menurunkan kualitas hidup sebesar 78.2% (OR 3.6)
sedangkan pada T1 dan T2 kualitas hidup dapat menurun sekitar 41.1%
(OR 0.7). 30-31
Zonata melaporkan hasil yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya yaitu bahwa tidak terdapatnya korelasi antara ukuran tonsil
dengan keadaan OSA (p > 0,05). Pada studi yang dilakukan oleh Nakata
menyebutkan bahwa dengan operasi tonsilektomi sederhana dapat
mengurangi indeks apnea hipopnea. Delapan dari 13 pasien tidak lagi
menggunakan CPAP setelah menjalani operasi tonsilektomi sederhana
sehingga gejala dari OSA berupa EDS dapat menghilang. Selain itu,
dilaporkan bahwa penggunaan CPAP telah menurun secara signifikan
setelah operasi tonsilektomi dilakukan ( p < 0,05). 32-33
47
Hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa riwayat tonsilektomi tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan EDS baik secara statistik
maupun secara klinis. Hal tersebut dikarenakan jumlah responden dengan
riwayat tonsilektomi tebatas hanya 10 orang sehingga untuk analisa
statistik tidak mencukupi untuk menimbulkan signifikansi sedangkan
secara klinis tidak terlihat pengaruh yang cukup tehadap EDS akibat
adanya beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS selain riwayat
tonsilektomi. Pada individu dengan tonsilektomi namun ia memiliki faktor
risiko lain seperti obesitas dan ukuran lidah yang besar akan tetap ada
gejala EDS.
Pada literatur menyatakan adanya hubungan operasi tonsilektomi
dengan menurunkan EDS tetapi bukan menghilangkan gejala tersebut.
Selain itu, ukuran tonsil yang besar dinyatakan bahwa dapat mengganggu
saluran napas sehingga proses bernapas tidak baik. Secara statistik
memang tidak terdapat hubungan yang signifikan namun dapat dilihat
secara klinis bahwa prevalensi mahasiswa yang mengalami EDS dengan
ukuran tonsil T2 dan T3 lebih tinggi daripada yang non EDS sehingga
perlu dilakukan studi ini pada populasi yang lebih luas. Terdapat satu
kasus dengan ukuran T4 yang tidak mengalami EDS dan hal tersebut
berbeda dengan pernyataan pada penelitian sebelumnya. Pada satu kasus
tersebut kemungkinan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi proses
bernapasnya lebih baik walaupun ukuran tonsilnya besar seperti lidah yang
kecil, rongga mulut yang luas ataupun IMT yang normal. Selain itu,
pengisian kuesioner ESS juga bersifat subjektif sehingga mendiagnosis
keadaan OSA dan identifikasi faktor penyebabnya.
4.3.4. Hubungan kebiasaan merokok dan olahraga terhadap EDS
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat merokok dan olahraga dengan
EDS. Nilai p = 0,458 untuk 1 sided dan p = 0,311 untuk 2 sided pada
variabel kebiasaan merokok dan nilai p = 0,148 pada variabel kebiasaan
olahraga. Celik dkk, pada penelitiannya telah melaporkan bahwa individu
48
yang merokok dapat mempengaruhi keadaan EDS dan OSAS sehingga
didapatkan bahwa jumlah orang yang merokok dengan OSAS sekitar 52
orang dari 799 responden (6.5%) dan 24 orang (3%) yang mengalami
OSAS dan EDS. Kumar dkk, melaporkan dalam penelitiannya bahwa 40%
individu merokok yang mengalami EDS. Haglow memiliki pendapat yang
berbeda pada penelitiannya yang menunjukkan bahwa kebiasaan merokok
tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap EDS tetapi lebih
berhubungan dengan keadaan fatigue. Secara statistik kebiasaan merokok
memang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan EDS namun
terlihat dari hasil analisis bivariat bahwa dari 7 mahasiswa yang memiliki
kebiasaan merokok terdapat sebanyak 5 mahasiswa (71.4%) diantaranya
yang positif EDS. Presentase 71.4% pada mahasiswa dengan kebiasaan
merokok dan EDS cukup tinggi dan diperlukan studi analitik pada
populasi lebih besar dari orang yang merokok sehingga dapat dianalisa
korelasinya secara statistik. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil
penelitian sebelumnya dengan nilai signifikansi > 0,05 karena keadaan
EDS tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kebiasaan merokok. 28,34-35
Haglow dkk, pada penelitiannya menyatakan bahwa aktifitas fisik
dan olahraga tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan EDS.
Hal yang sama dikatakan oleh Butner dkk, pada studi yang ia lakukan
bahwa olahraga dan aktifitas fisik tidak memiliki pengaruh terhadap OSA
ataupun EDS. Pada penelitian ini ditemukan bahwa prevalensi EDS pada
mahasiswa yang tidak berolahraga adalah 68.8% yang merupakan angka
cukup tinggi sehingga kemungkinan pengaruh olahraga terhadap EDS
besar, maka diperlukan penelitian selanjutnya yang dapat mengkaitkan
antara kebiasaan olahraga secara spesifik dengan EDS dan OSA pada
populasi yang luas.28,36
4.3.5. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score terhadap EDS
Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara ukuran lidah (p = 0,449) dan mallampati
score (p = 0,221) dengan keadaan EDS. Rodrigues dkk, melaporkan pada
49
studi yang ia lakukan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara
mallampati score yang tinggi dengan indeks apnea hipoapnea dengan nilai
p = 0,0227 dan OR = 5.053, 95% yakni pengaruh mallampati score pada
OSA sebesar 83.4%. Pada penelitian ini, hasil kedua variabel ini dapat
terlihat bahwa presentase normoglosi dan mallampati score derajat II
dengan keadaan EDS lebih tinggi. Lowe pada penelitiannya telah
menyatakan bahwa indeks apnea hipoapnea berhubungan dengan keadaan
makroglosi dengan menggunakan Computed Tomographic sebagai alat
ukur. Hasil tersebut berbeda dengan literatur dan penelitian sebelumnya
dikarenakan adanya faktor lain yang berpengaruh pada keadaan EDS
seperti individu dengan makroglosi namun perbandingan bagian rongga
mulutnya cukup besar maka tidak timbul kesulitan dalam bernapas.37,38
4.3.6. Hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS
Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara deviasi septum (p = 0.658) dan hipertrofi
konka (p = 0.892) dengan keadaan EDS. Pada beberapa literatur
disebutkan bahwa kedua variabel tersebut menjadi salah satu faktor risiko
dari kondisi OSA yang ditandai dengan gejala EDS namun belum ada
penelitian sebelumnya yang menyebutkan seberapa besar pengaruh
hipertrofi konka dan deviasi septum terhadap EDS. Rodrigues dkk, pada
penelitiannya menyatakan bahwa hubungan obstruksi nasal dengan OSA
tidak bermakna dengan nilai p = 0,667. Penelitian ini tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan tetapi terlihat bahwa dari 73 orang dengan
hipertrofi konka terdapat sekitar 43 orang (58.9%) yang positif EDS
dibandingkan yang non EDS. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara
klinis kemungkinan timbul gejala EDS namun belum terbuktikan secara
statistik.37
4.4. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian adalah jumlah sampel, keterbatasan alat-alat untuk
pemeriksaan fisik, serta waktu pemeriksaan yang tidak sesuai dengan responden.
50
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa prevalensi EDS pada
mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan
penilaian Epworth Sleepiness Scale adalah 55% dari seluruh populasi. Analisa
bivariat pada faktor risiko yang mempengaruhi EDS sebagai gejala utama dari
OSA yaitu; jenis kelamin, IMT, kebiasaan olahraga, merokok, riwayat
tonsilektomi, hipertrofi tonsil, makroglosia, mallampati score, hipertrofi konka
dan deviasi septum tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p
>0,05) karena beberapa dari faktor tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya
dan keadaan ini merupakan hal yang multifaktorial.
5.2. Saran
Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya diperlukan :
1. Jumlah sampel yang lebih luas untuk dilakukan penelitian lanjutan
mengenai EDS.
2. Penelitian lanjutan yang menghubungkan antara variabel-variabel lain
selain yang terdapat pada penelitian ini dengan menggunakan alat ukur
yang berbeda.
3. Penelitian lanjutan mengenai faktor risiko EDS pada populasi yang
berbeda.
4. Kategorisasi ukuran lingkar leher yang dapat mempengaruhi keadaan
EDS pada remaja di Indonesia.
50
51
Daftar Pustaka
1. Sihombing CR. Prevalensi Obstructive sleep apnea pada pengemudi taxi
“X” di Jakarta yang mendengkur dan faktor-faktor yang berhubungan.
Jakarta: FKUI; 2008. P. 133-135
2. Rahman UB, Handoyo, Rahadi P. Hubungan obesitas dengan risiko
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada remaja. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan 2012 Febrauari; 8(1): 44-48
3. Lam CM. Jamie, Sharma SK, Lam B. Obstructive sleep apnoea:
definition, epidemiology & natural history. Indian J Med Res 131 2010
Fabruary: 165-168
4. Epstein LJ, Kristo D, Strollo PJ, Friedman N, Malhotra A, Patil SP. et al.
Clinical guideline for the evaluation, management and long-term care of
obstructive sleep apnea in adult. Journal of clinical sleep medicine 2008
March; 5(3): 263-264
5. Astuti P, Yunus F, Antariksa B. Prevalensi dan gejala obstructive sleep
apnea (OSA) pada pasien asma. J Indon Med Assoc 2011 Juli; 61(7): 273-
275
6. Cahyono A, Hermani B, Mangunkusumo E, Perdana RS. Hubungan
obstructive sleep apnea dengan penyakit sistem kardiovaskuler. Jakarta :
FKUI; 2011. P. 2-8
7. Smyth C. The Epworth Sleepiness Scale (ESS). New York: MW Johns;
2012
8. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamental of Anatomy &
Physiology. 9th ed. USA: Pearson; 2012. p. 814-819
9. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed.
USA: Wiley; 2009. p. 875-879
10. Sumardi, Hisjam B, Ryanto BS, Budiono E. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2347-2348.
11. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 3ed ed. USA: McGraw Hill; 2010. p. 557-565
52
12. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. 7th ed. USA:
Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010. p. 167-171
13. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-
Hill; 2012
14. Makela M, Kristensin FB, Morland B, Rehnqvist N. Obstructive Sleep
Apnoea Syndrome: A systemic literature review. Iceland: National board
of health; 2007. p. 31-37
15. Supriyanto B, Deviani R. Obstructive sleep apnea syndrome pada Anak.
Sari Pediatri 2005 September; 7(2): 77-83
16. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Philadelphia: Elevier Saunders; 2006. p. 522-523
17. Barrett KE, Barman SM, Boitano S. Ganong’s Review of Medical
Physiology. 23rd Ed. USA: McGraw Hill; 2010
18. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins
KT, et al. Cummings Otolaryngology: Head & Neck Surgery. 5th Ed.
Volume 1. Pheladelphia: Elsevier; 2010. p. 250-258
19. Ruggles K, Hausman N. Evaluation of Excessive Daytime Sleepiness.
Wisconsin Medical Journal 2003; 102(1): 21-23
20. Gulleminault C, Brooks SN. Excessive daytime sleppiness a challenge for
the practising neurologist. Oxford University 2001 April; 124: 1482-1491
21. Ng TP, Tan WC. Prevalence and Determinants of Excessive Daytime
Sleepiness in an Asian Multi-Ethnic Population. Singapore: National
University of Singapore, National University Hospital, Department of
Physiological Medicine. diunduh pada tanggal 3 September 2013.
Available from: URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16271696
22. Hara C, Lopes Rocha F, Lima-Costa MF. Prevalence of Excessive
Daytime Sleepiness and Associated Factors in a Brazilian Community: the
Bambui study. Brazil: Institute of social security of the civil servants of
Minas Gerais, Medical Residency of Psychiatry-psychopharmacology
Course. diunduh pada tanggal 3 September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14725824
53
23. Bixler EO, Vgontzas AN, Calhoun SL, Kales A, Bueno A. Excessive
Daytime Sleepines in a General Population Sample: the role of sleep
apnea, age, obesitasity, diabetes, and depression. Volume 90 no. 8.
Pennsylvania: The Journal of Endocrinology & Metabolisme. diunduh
pada tanggal 3 September 2013. Available from:
URL:http://jcem.endojournals.org/content/90/8/4510.long#T1
24. Punjabi NM. The Epidemiology of Adult Obstructive Sleep Apnea. Volume
5. Maryland: Johns Hopkins University, division of Pulmonary and critical
Care Medicine; 2008, pp 136-143
25. Subramanian S, Guntupalli B, Murugan T, Bopparaju S, Chanamolu S,
Casturi L, et al. Gender and Ethnic Differences in Prevalence of Self-
Reported Insomnia Among Patient with Obstructive Sleep Apnea. USA:
Baylor College of Medicine. diunduh pada tanggal 3 September 2013.
Available from: URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20953842
26. Gunes Z, Sahbaz M, Tugrul E, Gunes H. Prevalence and Risk Factors for
Excessive Daytime of Sleepiness in Rural Western Anotolia (Turkey): the
Role of Obesity and Metabolic Syndrome. Adnan Menderes University
2012; 43(3): 747-754
27. Resta O, Foschibno MP, Legari G, Talamo S, Bonfitto P, Palumbo A, et
al. Sleep-realted Breathing Disorders, Loud Snoring and Excessive
Daytime Sleepiness in Obese Subjects. Italy: University of Bari. diunduh
pada tanggal 3 September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11360149
28. Haglow JT, Lindberg E, Janson C. What are the Important Risk Factors
for Daytime Sleepiness and Fatigue in Women?. Uppsala University 2009;
29(6): 751-756
29. Slater G, Pengo MF, Kosky C, Steier J. Obesity as an Independent
Predictor of Subjective Excessive Daytime Sleepiness. London: Guy’s
Campus. diunduh pada tanggal 3 September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11360149
30. Shu-Chi Mu, et al. Concise Indication for Adenioctomy-Tonsillectomy in
Children with Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Taiwan: Taiwan
Society of Pediatric Pulmonology; 2013
31. Kitirat U, Suththipol A. Factors Affecting Quality of Life of Pediatric
Outpatients with Symptoms Suggestive of Sleep-Disordered Reathing.
USA: Elsevier; 2006
54
32. Zonato AI, Bittencourt LR, Martinho FL, Santos JF, Gregorio LC, Tufik
S. Association of Systematic Head and Neck Physical Examination With
Severity of Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome. Philadelphia:
The American Laryngological; 2003
33. Nakata S, Noda A, Yanagi E, Suzuki K, Yamamoto H, Nakashima T.
Tonsil Size and Body Mass Index are Important Factors for Efficacy of
Simple Tonsillectomy in Obstructive Sleep Apnoea Syndrome. Japan:
Nagoya University Graduate School of Medicine. diunduh pada tanggal 3
September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16441801
34. Celik AO, Isik AU, Ural A, Arslan S, Bahadir O, Imamoglu M.
Prevalence and Risk Factors of Snoring, Obstructive Sleep Apnea
Symptoms, and Excessive Daytime Somnolence in Trabzon. Turkey:
Karadeniz Teknik Universitesi Tip Fakultesi; 2010
35. Kumar J, Kumar S, Pradhan R. Studies on Excessive Daytime Sleepiness
(EDS) and Alkaline Fosfatase Activity in Smoker and Alcoholic Person.
India: World Journal of Science and Technology; 2011
36. Butner K, Hargens T, Herbert W. Association of Obstructive Sleep Apnea
Severity with Excessive Capacity and Health Related Quality of Life.
USA: North American Journal of Medicine Sciences. diunduh pada
tanggal 4 September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3731867/
37. Rodrigues M, Dibbern R, Goulart C. Nasal Obstruction and High
Mallampati Score as Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea. Brazil:
Braz J Otorhinolaryngol; 2010
38. Lowe AA, Fleetham JA, Adachi S, Ryan CF. Cephalometric and
Computed Tomographic Predictors of Obstructive Sleep Apnea Severity.
Canada: University of British Columbia. diunduh pada tanggal 4
September 2013. Available from:
URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7771363
55
Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Mahasiswa yang terhormat,
Saat ini saya Nadia Entus N. TB. sebagai peneliti di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian mengenai
“prevalensi Excessive daytime sleepness (EDS) pada mahasiswa PSPD FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”.
Sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan di universitas kami, maka
anda akan menjalani penelitian ini dengan pengisian kuesioner dan pemeriksaan
fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala
dan tanda mengantuk pada siang hari (EDS).
Setelah mengikuti penelitian ini, data anda akan tetap dirahasiakan dan
digunaka untuk penelitian yang dilakukan oleh Dhea Rachmawati yang berjudul
“Hubungan Excessive Daytime Sleepiness dengan Kualitas Hidup pada
Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”
Anda berkesempatan untuk menanyakan segala hal yang berhubungan
dengan penelitian ini dan juga berhak menolak ikut serta dalam penelitian ini atau
sewaktu-waktu ingin berhenti dalam penelitian ini. Oleh karena penelitian ini
penting sekali, diharapkan agar anda dapat menjalani penelitian ini dengan jujur
dan sebaik-baiknya.
Peneliti,
Nadia Entus Nasrudin TB.
Mahasiswa Pendidikan Studi Program Dokter
Jl.X, Ciputat, Tangerang Selatan
Tlp. 085777564043
Lampiran 1
56
Surat Persetujuan untuk Mengisi Kuesioner
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama :
Usia :
NIM :
Alamat :
Nomer telp/Hp :
Menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang
diberikan oleh Nadia Entus N. dari PSPD UIN Jakarta, dan bersedia menjalani
penelitian mengenai “prevalense Excessive daytime sleepness (EDS) pada
mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013” dan
penelitian mengenai “Hubungan Excessive Daytime Sleepiness dengan Kualitas
Hidup pada Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013”.
Pernyataan ini dibuat dengan kesadaran penuh tanpa paksaan.
Jakarta,
Mengetahui,
Peneliti Peserta Penelitian
(Nadia Entus N.) ( )
Lampiran 2
57
Kuesioner
A. Epworth Sleepness Scale
Contoh : Jika pada saat duduk dan membaca di siang hari, anda sangat
mengantuk dan jatuh tertidur maka berikan nilai 3 pada baris
kegiatan duduk dan membaca.
Jika pada saat menonton televisi di siang hari, anda tidak pernah
mengantuk, maka berikan nilai 0 pada baris kegiatan menonton
televisi.
Kegiatan Nilai
- Duduk dan membaca
- Menonton televisi
0 1 2 3
0 1 2 3
Lingkari angka yang sesuai dengan apa yang anda rasakan di siang hari pada
masing-masing keadaan seperti tabel dibawah ini.
Berikan niali 0 jika anda tidak pernah mengantuk
Berikan nilai 1 jika anda sedikit mengantuk
Berikan nilai 2 jika anda cukup mengantuk
Berikan nilai 3 jika anda sangat mengantuk dan jatuh tertidur
Kegiatan Nilai
- Duduk dan membaca
- Menonton televisi
- Duduk diam di tempat umum (misalnya bioskop atau sedang rapat)
- Sebagai penumpang mobil selama satu jam tanpa istirahat
0 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3
Lampiran 3
58
- Rebahan untuk beristirahat di siang hari ketika keadaan memungkinkan
- Duduk dan berbicara dengan sesorang
- Duduk tenang setelah makan siang, tanpa minum alkohol
- Di dalam mobil dan mobil berhenti selama beberapa menit karena macet
0 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3
0 1 2 3
Nilai total
B. Kuesioner Demografi
Identitas
Nama :
NIM :
Usia :
Semester :
Angkatan :
Alamat :
Telpon/Hp :
Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita
Berat badan (kg) :
Tinggi badan :
IMT/BMI :
Riwayat tonsilektomi :
Kebiasaan olahraga :
Jika iya, Frekuensi olahraga/minggu :
Kebiasaan merokok :
Jika iya, Sejak kapan? :
Berapa batang/hari? :
59
PEMERIKSAAN THT
I. IDENTITAS
NAMA :
NIM :
USIA :
JENIS KELAMI : 1. Pria 2. Wanita
II. ANAMNESIS
Keluhan alergi Hidung : 1. Tidak ada 2. Bersin-bersin
3.Hidung tersumbat 4. Ingus encer, bening
Epworth Sleepiness Scale :
III. PEMERIKSAAN FISIK
Berat Badan (Kg) : Tinggi Badan (cm) :
Indeks Massa Tubuh (IMT) :
1. Underweight (<18,5 kg/m2)
2. Normal (18,5-22,9 kg/m2)
3. Overweight ≥23 kg/m2)
4. Obesitas (≥25 kg/m2)
Lingkar Leher (cm) :
a. Pemeriksaan hidung
- Os nasal
Anterior : 1. Ada deviasi 2. Tidak ada deviasi
Oblique : 1. Ada deviasi 2. Saddle nose 3. Hump nose
Lateral : 1. Ada deviasi 2. Saddle nose 3. Hump nose
Basal : 1. Ada deviasi tip nasi 2. Tidak ada deviasi tip nasi
Lampiran 4
60
b. Rhinoskopi anterior
Kanan Keterangan Kiri
Lapang / Sempit
Sekret
Kavum Nasi Lapang / Sempit
Sekret
Deviasi / tidak Septum Nasi Deviasi / tidak
Kering / sekret Meatus Inferior Kering / sekret
Hiperemis / Lifid
Eutrofi / hipertrofi
Konka Inferior Hiperemis / Lifid
Eutrofi / hipertrofi
c. Pemeriksaan Tenggorokan
- Bucal :
- Lidah :
- Mallampati Score :
- Palatum mole & uvula :
Keadaan diam : 1. Simetris 2. Tidak
Keadaan bergerak : 1. Simetris 2. Tidak
- Arkus faring : 1. Simetris 2. Tidak
- Tonsil :
Kanan Keterangan Kiri
T0 / T1 / T2 / T3 / T4 Ukuran T0 / T1 / T2 / T3 / T4
Normal / Melebar Kripta Normal / Melebar
Ada / Tidak Detritus Ada / Tidak
Ada / Tidak Membran Ada / Tidak
- Dinding faring posterior : Licin / Granul
- Post nasal drip :
61
d. Pemeriksaan Telinga
Kanan Keterangan Kiri
Inspeksi : Sinus / tag /
abses
Palpasi : Nyeri / tidak
Preaurikula Inspeksi : Sinus / tag /
abses
Palpasi : Nyeri / tidak
Inspeksi : Normal /
Mikrotia / Makrotia
Hematom / pseudokista /
selulitis / massa/ vesikel /
keloid
Palpasi : Nyeri saat
digerakkan
Aurikular Inspeksi : Normal /
Mikrotia / Makrotia
Hematom / pseudokista /
selulitis / massa/ vesikel /
keloid
Palpasi : Nyeri saat
digerakkan
Lapang / sempit
Isi (serumen, sekret, jar.
Granulasi, massa)
Liang Telinga Lapang / sempit
Isi (serumen, sekret, jar.
Granulasi, massa)
Inspeksi : Edema, abses,
fistel, sikatriks, massa
Palpasi : Nyeri
Retroaurikular Inspeksi : Edema, abses,
fistel, sikatriks, massa
Palpasi : Nyeri
e. Otoskopi
Kanan Keterangan Kiri
Lapang / Sempit
Sekret
Massa, hifa, furunkel,
edema difus
Liang Telinga Lapang / Sempit
Sekret
Massa, hifa, furunkel,
edema difus
Utuh / perforasi
Reflek cahaya :
Serumen :
Suram / hiperemis
Membran Timpani Utuh / perforasi
Reflek cahaya :
Serumen :
Suram / hiperemis
62
Lampiran 5
63
64
LINGKARLEHER
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < 43 CM 140 100.0 100.0 100.0
TONSILEKTOMI
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK
TONSILEKTOMI 130 92.9 92.9 92.9
TONSILEKTOMI 10 7.1 7.1 100.0
Total 140 100.0 100.0
ESS
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid NON EDS 63 45.0 45.0 45.0
EDS 77 55.0 55.0 100.0
Total 140 100.0 100.0
65
OLAHRAGA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1x/minggu 52 37.1 37.1 37.1
2X/minggu 23 16.4 16.4 53.6
>3x/minggu 23 16.4 16.4 70.0
tidak olahraga 42 30.0 30.0 100.0
Total 140 100.0 100.0
JENISKELAMIN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 44 31.4 31.4 31.4
PEREMPUAN 96 68.6 68.6 100.0
Total 140 100.0 100.0
BMI
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Underwieght 12 8.6 8.6 8.6
Normal 81 57.9 57.9 66.4
Overwieght 24 17.1 17.1 83.6
Obesitas 23 16.4 16.4 100.0
Total 140 100.0 100.0
MEROKOK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK MEROKOK 133 95.0 95.0 95.0
MEROKOK 7 5.0 5.0 100.0
Total 140 100.0 100.0
66
ESS * JENISKELAMIN Crosstabulation
JENISKELAMIN
Total
LAKI-LAKI PEREMPUAN
ESS NON EDS Count 17 46 63
Expected Count 19.8 43.2 63.0
EDS Count 27 50 77
Expected Count 24.2 52.8 77.0
Total Count 44 96 140
Expected Count 44.0 96.0 140.0
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.050a 1 .306
Continuity Correctionb .708 1 .400
Likelihood Ratio 1.057 1 .304
Fisher's Exact Test .362 .200
Linear-by-Linear
Association 1.042 1 .307
N of Valid Casesb 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,80.
b. Computed only for a 2x2 table
ESS * BMI Crosstabulation
BMI
Total underwieght normal overwieght obesitas
ESS NON EDS Count 7 33 13 10 63
Expected Count 5.4 36.4 10.8 10.4 63.0
EDS Count 5 48 11 13 77
Expected Count 6.6 44.6 13.2 12.6 77.0
Total Count 12 81 24 23 140
Expected Count 12.0 81.0 24.0 23.0 140.0
67
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 2.292a 3 .514
Likelihood Ratio 2.286 3 .515
Linear-by-Linear Association .000 1 .984
N of Valid Cases 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,40.
ESS * TONSILEKTOMI Crosstabulation
TONSILEKTOMI
Total
TIDAK
TONSILEKTOMI TONSILEKTOMI
ESS NON EDS Count 58 5 63
Expected Count 58.5 4.5 63.0
EDS Count 72 5 77
Expected Count 71.5 5.5 77.0
Total Count 130 10 140
Expected Count 130.0 10.0 140.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .109a 1 .742
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .108 1 .742
Fisher's Exact Test .754 .496
Linear-by-Linear Association .108 1 .742
N of Valid Casesb 140
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
68
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .109a 1 .742
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .108 1 .742
Fisher's Exact Test .754 .496
Linear-by-Linear Association .108 1 .742
N of Valid Casesb 140
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
b. Computed only for a 2x2 table
ESS * HIPERTROFI TONSIL Crosstabulation
HIPERTROFI TONSIL
Total T0 T1 T2 T3 T4
ESS NON EDS Count 5 45 9 3 1 63
Expected Count 4.0 42.3 10.4 5.8 .4 63.0
EDS Count 4 49 14 10 0 77
Expected Count 5.0 51.7 12.6 7.2 .6 77.0
Total Count 9 94 23 13 1 140
Expected Count 9.0 94.0 23.0 13.0 1.0 140.0
Test Statisticsa
HIPERTROFI
TONSIL
Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .016
Negative -.105
Kolmogorov-Smirnov Z .620
Asymp. Sig. (2-tailed) .837
a. Grouping Variable: ESS
69
ESS * MEROKOK Crosstabulation
MEROKOK
Total
TIDAK
MEROKOK MEROKOK
ESS NON EDS Count 61 2 63
Expected Count 59.8 3.2 63.0
EDS Count 72 5 77
Expected Count 73.2 3.8 77.0
Total Count 133 7 140
Expected Count 133.0 7.0 140.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .804a 1 .370
Continuity Correctionb .257 1 .612
Likelihood Ratio .837 1 .360
Fisher's Exact Test .458 .311
Linear-by-Linear Association .798 1 .372
N of Valid Casesb 140
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,15.
b. Computed only for a 2x2 table
ESS * OLAHRAGA Crosstabulation
OLAHRAGA
Total
1x/minggu 2X/minggu >3x/minggu tidak olahraga
ESS NON EDS Count 29 7 8 19 63
Expected Count 23.4 10.4 10.4 18.9 63.0
EDS Count 23 16 15 23 77
Expected Count 28.6 12.6 12.6 23.1 77.0
Total Count 52 23 23 42 140
Expected Count 52.0 23.0 23.0 42.0 140.0
70
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 5.379a 3 .146
Likelihood Ratio 5.455 3 .141
Linear-by-Linear Association 1.088 1 .297
N of Valid Cases 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 10,35.
ESS * MAKROGLOSI Crosstabulation
MAKROGLOSI
Total
TIDAK
MAKROGLOSI MAKROGLOSI
ESS NON EDS Count 51 12 63
Expected Count 52.6 10.4 63.0
EDS Count 66 11 77
Expected Count 64.4 12.6 77.0
Total Count 117 23 140
Expected Count 117.0 23.0 140.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .572a 1 .449
Continuity Correctionb .278 1 .598
Likelihood Ratio .570 1 .450
Fisher's Exact Test .497 .298
Linear-by-Linear Association .568 1 .451
N of Valid Casesb 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,35.
b. Computed only for a 2x2 table
71
ESS * MALLAMPATI SCORE Crosstabulation
MALLAMPATI SCORE
Total CLASS I CLASS II CLASS III CLASS IV
ESS NON EDS Count 22 29 7 5 63
Expected Count 20.7 30.6 7.2 4.5 63.0
EDS Count 24 39 9 5 77
Expected Count 25.3 37.4 8.8 5.5 77.0
Total Count 46 68 16 10 140
Expected Count 46.0 68.0 16.0 10.0 140.0
Test Statisticsa
MALLAMPATI
SCORE
Most Extreme Differences Absolute .038
Positive .014
Negative -.038
Kolmogorov-Smirnov Z .221
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. Grouping Variable: ESS
ESS * DEVIASI SEPTUM Crosstabulation
DEVIASI SEPTUM
Total
DEVIASI
SEPTUM
TIDAK DEVIASI
SEPTUM
ESS NON EDS Count 32 31 63
Expected Count 33.3 29.7 63.0
EDS Count 42 35 77
Expected Count 40.7 36.3 77.0
Total Count 74 66 140
Expected Count 74.0 66.0 140.0
72
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .196a 1 .658
Continuity Correctionb .074 1 .785
Likelihood Ratio .196 1 .658
Fisher's Exact Test .734 .393
Linear-by-Linear Association .194 1 .659
N of Valid Casesb 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29,70.
b. Computed only for a 2x2 table
ESS * HIPERTROFI KONKA Crosstabulation
HIPERTROFI KONKA
Total
HIPERTROFI
KONKA
TIDAK
HIPERTROFI
KONKA
ESS NON EDS Count 31 32 63
Expected Count 30.6 32.4 63.0
EDS Count 37 40 77
Expected Count 37.4 39.6 77.0
Total Count 68 72 140
Expected Count 68.0 72.0 140.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .018a 1 .892
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .018 1 .892
Fisher's Exact Test 1.000 .513
Linear-by-Linear Association .018 1 .892
N of Valid Casesb 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30,60.
73
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .018a 1 .892
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .018 1 .892
Fisher's Exact Test 1.000 .513
Linear-by-Linear Association .018 1 .892
N of Valid Casesb 140
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30,60.
b. Computed only for a 2x2 table
74
Riwayat Penulis
Identitas :
Nama : Nadia Entus Nasrudin Tubagus
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Buraidah, 19 Februari 1991
Agama : Islam
Alamat : Kp. Pamagersari, Pandeglang, Banten
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1996 – 2002 : الابتدائية الثانية
2002 – 2005 : المتوسطة الأولى
2005 – 2008 : الثانوية السابعة عشر
2010 – Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6
Top Related