PROBLEMATIKA KEABSAHAN KAWIN MISYAR MENURUT ULAMA
KONTEMPORER
Achmad Munif
201109009
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan (نكاح) zawad Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan .(زواج)
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja.”
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat
al-Ahzab ayat 37:
“Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.......”1
Perkawinan adalah hal kesepakatan sosial antara seorang laki-laki dan perempuan,
yang tujuannya adalah hubungan seksual, mushaharah (menjalin hubungan kekeluargaan
melalui perkawinan), meneruskan keturunan, memohon karunia anak, membentuk keluarga,
dan menempuh kehidupan bersama. Keadaan demikian dinamakan sebagai kehidupan suami
istri yang menyebabkan seorang perempuan menerima hukum-hukum maskawin, perceraian,
‘iddah dan waris.2
Pernikahan adalah hubungan kasih kemanusiaan yang paling suci dijaga oleh Islam.
Bahkan, Islam sangat menjaga tujuan pernikahan agar dapat mewujudkan satu perjanjian yang
suci murni untuk menjalankan hak-hak rumah tangga dan keluarga yang diberkati. Rasulullah 1 Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006. Cet. 1. Hlm. 35-362 DR. IR. Muhammad Shahrur. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Eslaq Press. 2004. Cet. Pertama. Hal. 436
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 1
salallahualaihi wasalam telah bersabda; ".. Perkawinan itu adalah sunnahku, barangsiapa
yang berpaling dari sunnahku maka bukanlah mereka dari golonganku ..".
Pernikahan yang memenuhi tujuan yang baik dan mulia serta persyaratan pernikahan
adalah sah di sisi syara '. Ini karena, rukun-rukun nikah dan persyaratannya saja yang dapat
membedakan antara akad nikah yang memenuhi syara 'dan akad nikah yang diharamkan
Islam.
Tujuan awal dilaksanakannya nikah adalah agar suami istri bisa hidup bersama,
malam dan siang hari, musim panas maupun musim dingin. Namun, banyak ditemukan
pasangan suami istri yang sering berpisah karena bepergian untuk tujuan bisnis atau karena
tugas-tugas lain yang tidak dapat ditinggalkan (dengan meninggalkan istrinya sampai
beberapa hari, bahkan sampai berbulan-bulan). Meskipun sudah tidak lagi memenuhi tujuan
inti pernikahan, bukan berarti menjadikan nikah mereka batal. Oleh karena itu, ada sebuah
madzhab yang mensyaratkan agar suami tidak meninggalkan istri lebih dari empat bulan dan
ada sebagian lagi yang berpendapat selama tidak melampaui enam bulan secara berturut-turut
kecuali darurat atau dengan izin istri.
Menjaga agar tidak melaksanakan perbuatan jahat adalah suatu nilai luhur yang
diajarkan oleh islam, karena inilah yang membedakan antara umat islam dan umat lainnya.
Dalam islam, nikah mempunyai tujuan lebih dari itu, nikah dijadikan sebagai wahana
agar spesies manusia terjaga, sebagai sarana untuk mencari ketenangan serta sebagai tempat
saling kasih dan menyayangi. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam masalah zawaaj an-Nahaariyaat (kawin yang hanya berlangsung untuk
beberapa hari atau beberapa malam). Ia berkata, “nikah seperti itu adalah bukan termasuk
nikah dalam perspektif islam (tidak termasuk nikah yang sempurna), karena sesuai dengan
hadits Nabi saw., ‘Tidaklah iman seorang mukmin dianggap sempurna, apabila tidak
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.’”3
Kebutuhan seorang laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya (kebutuhan
perempuan terhadap laki-laki) adalah sudah menjadi fitrah manusia yang diakui oleh islam
dengan mengatakan bahwa nikah adalah suatu fitrah yang telah diberikan Allah swt–ada yang
menganggap nikah adalah perbuatan jahat dan kotor.. oleh karena itu, syara’ harus
memberikan kemudahan dalam masalah nikah, supaya manusia tidak terjebak untuk
melakukan perbuatan haram. Terlebih pada zaman sekarabg ini, pintu perbuatan haram
terbuka lebar dengan menjamur dan tersebarnya tempat-tempat maksiat dimana-mana.
3 Ibid., Hal. 401
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 2
Islam tidak melarang mencari kenikmatan seks dan tidak pula mempersulit untuk
mendapatnya, kalau cara mendapatkannya dilakukan dengan jalur yang halal. Bahkan
Rasulullah saw. Telah bersabda,
“ Dan dalam farji istri-istri kamu ada nilai sedekah. “Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah dengan mengikuti syahwat, kita akan mendapatkan pahala?”Rasulullah
menjawab .“Bukankah kalau kamu menempatkannya pada perkara yang diharamkan akan
mendapatkan siksa? Begitu juga apabila kamu menempatkannya sesuai dengan apa yang
dianjurkan (agama), maka kamu akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).
Masyarakat barat kontemporer yang berbudaya kapitalis mencari jalan keluar dalam
masalah ini, dorongan seks yang sudah menjadi tabiat manusia. Yaitu tabiat yang dimiliki
oleh kaum laki-laki maupun perempuan secara bersama-sama dan keduanya sama-sama saling
menbutuhkan, dengan melepaskan kendali yang mengikat mereka.4
Sejalan dengan perkembangan zaman, muncullah bentuk perkawinan misyar, yaitu
pemberian keringanan terhadap suami dari kewajiban memenuhi tempat tinggal, nafkah dan
persamaan bagian antara istri kedua dan istri yang pertama, yang didasari dari sikap mengalah
istri kedua. Istri yang terakhir ini hanya menginginkan keberadaan laki-laki yang biasa
menjaga dan memeliharanya (dari kebutuhan biologis) dengan mengasihinya. Meskipun dia
tidak memberikan kewajiban pemenuhan materi dan tanggung jawab secara maksimal.
Namun, pemberian keringanan ini tidak menutup pada suami yang beristri satu.
Kawin misyar bukan merupakan suatu yang baru, tetapi merupakan fenomena yang
sudah masyhur dikalangan masyarakat sejak dahulu. Kawin misyar adalah dimana seorang
laki-laki pergi kepihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki dirumahnya
(laki-laki).
Pernikahan misyar berarti, suami tidak perlu memikul tanggung jawab memberi
nafkah lahir seperti uang dan pakaian, tetapi cukup hanya dengan memenuhi nafkah batin
terhadap istri. Pernikahan seperti ini banyak terjadi di kalangan wanita yang berkedudukan
tinggi dan berpenghasilan lumayan.
Misyar yang juga dikenal sebagai 'nikah musafir' adalah sebuah pernikahan yang
tidak membutuhkan pasangan tinggal sebumbung. Bukan itu saja, suami tidak memiliki
tanggung jawab secara finansial terhadap istrinya dan ada implikasi bahwa akan terjadi
perceraian.
Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap
istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah, memberikan hak yang
4 Yusuf al-Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer 3. 2001. Jakarta: Gema Insani Press. Cet 1. Hal. 402-404
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 3
sama dibanding istri yang lain (istri pertama). “Diskon” ini hanya diperoleh oleh seorang laki-
laki dari seorang wanita yang sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi
dan melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat diharapkan).
Pernikahan misyar diizinkan di Arab Saudi oleh fatwa yang diberikan oleh Sheikh
Abdul Azeez ibn Abdullaah ibn Baaz dan resmi diperundangkan di Mesir oleh Imam Sheikh
Muhammad Sayid Tantawy pada tahun 1999.
Di balik fatwa tersebut nikah misyar ditentang oleh ulama-ulama dari Universitas Al-
Azhar di Kairo. Maslahah untuk membenarkan praktek tersebut adalah karena banyak janda
dan gadis yang tidak menikah. Namun realitasnya di negara-negara Arab tidak demikian,
karena nikah misyar menjadi praktek di kalangan wanita-wanita yang berkedudukan tinggi
dan kaya-raya.
Nikah misyar ini tidak bisa memiliki batas waktu tertentu karena jika ada waktu yang
dijanjikan kepada istri untuk diceraikan, maka ia menjadi nikah Mut’ah yang tidak diizinkan
dalam Fiqh Sunnah.
Berangkat dari beberepa perbedaan pendapat mengenai kawin misyar, penulis
merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut, oleh karena itu penulis mengangkat judul
“PROBLEMATIKA KEABSAHAN KAWIN MISYAR MENURUT ULAMA
KONTEMPORER”
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah
apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam pengumpulan data,
penyusunan data serta menganalisis data sehingga penelitian dapat dilakukan secara
mendalam dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan.
Setelah dikemukakan alasan-alasan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam proposal ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan nikah misyar itu?
2. Bagaimana keabsahan serta status hukum kawin misyar menurut ulama kontemporer?
3. Bagaimana dasar penetapan Ulama’ kontemporer terhadap kasus kawin misyar?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Maksud dan tujuan dari penelitian ini untuk mencari jawaban atas masalah-masalah
sebagaimana terumuskan dalam rumusan masalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui maksud dari pernikahan misyar.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 4
2. Untuk mengetahui keabsahan serta status hukum kawin misyar menurut ulama
kontemporer.
3. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar penetapan Ulama’ kontemporer terhadap
kasus kawin misyar.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
Secara toritis atau keilmuan;
1. Memperkaya khazanah pemikiran hukum islam serta memberikan kontribusi keilmuan
dibidang fiqih, khususnya dalam kajian fiqih keluarga islam.
2. Bahan penyusun hipotesis bagi penelitian berikutnya.
Secara praktis;
Mengetahui penetapan status hukum dari permasalahan perkawinan misyar menurut
hukum islam.
D. Tinjauan Pustaka
Kaum muslimin sepakat bahwa, perkawinan merupakan salah satu sebab yang
mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan kekerabatan. Nafkah atas istri
ditetapkan nashnya dalam surat berikut ini:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.”
(QS. Al-Baqarah: 233)
Yang dimaksud para ibu di situ adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud ayah
adalah suami-suami.
Juga berdasarkan hadits yang berbunyi:
ح��ق الم��رأة على زوجه��ا أن يش��بع بطنه��ا, ويكس��و
جنبها وإن جهلت غفر لها.Hak seorang wanita atas suaminya adalah dikenyangkan perutnya, dan ditutupi badannya
(diberi pakaian). Kalau wanita tersebut tidak mengetahui hal itu, dia diampuni.5
Menurut DR. IR. Muhammad Shahrur dalam bukunya Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, beliau menganggap bahwa kawin misyar ini termasuk kawin yang berjangka
5 Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Jakarta: Lentera. 2000. Cet. 5. Hal. 400
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 5
waktu. Dalam kutipannya : “Syarat-syarat sahnya perkawinan kontrak (zawaj al-misyar)
adalah bukan seperti syarat-syarat perkawinan resmi pada umumnya, karena tujuannya
bukanlah menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan dan membina keluarga,
tetapi murni hubungan seksual, dan ia tidak termasuk kategori perkawinan resmi meskipun
pada saat yang sama ia tidak haram. Menurut kami, hal itu adalah salah satu kondisi/ kasus
milk al-yamin kontemporer, dan kami menyebutnya dengan nama ‘aqd ihsan (“perjanjian
integritas,” atau “perjanjian hubungan seks”) sebagai ganti dari istilah “perjanjian perkawinan
kontrak” (zawaj al-misyar) atau “perkawinan mut’ah” (zawaj mut’ah).”6
Di negara-negara Arab beberapa ulama termasuk Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam
Fatwa Muasharahnya berpendapat nikah misyar adalah sah. Mereka mengizinkan praktek
tersebut berdasarkan situasi mashlahat terjadinya banyak janda dan gadis yang tidak menikah.
Beliau juga berpendapat bahwa perkawinan Misyar adalah pernikahan yang seperti
kita selalu perhatikan. Cuma yang berbeda disini adalah istilah misyar yang
digunakan. Sesuatu hal itu bukanlah diambil hukumnya dari nama dan ibaratnya tetapi dilihat
kepada apakah yang terkandung dalam hal tersebut. Terkadang manusia ada menempatkan
nama yang lain dari nama tersebut. Kita mengetahui bahwa ada dikalangan para suami yang
menikah dengan istri yang kedua tanpa memberitahukan kepada istrinya yang pertama
berhubungan dengan pernikahan tersebut. Pernikahan seperti ini seolah-olah menyerupai
nikah urfi meskipun bukan secara keseluruhan. Ada juga sebagian dari para fuqaha yang
berpendapat bahwa si istri harus tidak menuntut hak kepada suami mereka seperti hak
bermalam dirumah mereka.
Dr. Yusuf al-Qaradawi berpendapat bahwa apabila ada seorang laki-laki menikahi
seorang wanita tanpa memberikan mahar atau maskawin, maka akadnya tetap sah, tetapi
wanita tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang disamakan).7 Dan, setelah
terpenuhinya empat perkara (ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya
mengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, perkawinannya tidak dibatasi
masanya, dan dipenuhinya mahar yang meskipun setelah akad nikah si istri
mengembalikannya), maka nikah tersebut menurut syara’ dianggap sah. Adapun ketika
dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan keringanan, yaitu dengan tidak
6 DR. IR. Muhammad Shahrur. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Eslaq Press. 2004. Cet. Pertama. Hal. 4367 Yaitu mahar yang menjadi hak seorang wanita ketika terjadi pisah antara dia dan suaminya. Dan, besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang diperoleh oleh seorang wanita yang sederajad dengannya.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 6
meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini tidak boleh ketika akad,
karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah, maka akad tersebut adalah batal.8
Seorang ahli fiqih tidak mempunyai hak untuk membatalkan akad nikah misyar
karena rukun dan syaratnya sudah terpenuhui atau menganggap pernikahan ini adalah bagian
dari zina, karena adanya tanazul. Karena, seorang wanita adalah seorang mukallaf yang tahu
kemashlahatan dirinya dan menurut pertimbangannya (dalam memandang segi positif dan
negatif) pernikahannya dengan laki-laki yang dia pilih, walaupun laki-laki tersebut hanya
menyisakan waktu baginya pada saat-saat tertentu dan terbatas saja, masih lebih baik dari
pada dia kesepian sepanjang tahun.
Dan di syaratkan bagi wanita yang melakukan tanazul agar mempunyai wali yang
terdiri dari : bapak, saudara laki-laki, dan orang-orang yang tidak rela melihat dia (wanita
tersebut) menjadi korban dari seorang laki-laki (bagi pengikut madzhab yang mensyaratkan
adanya wali dalam akad nikah, seperti yang terjadi disebagian besar negara-negara Teluk
yang bermadzhab Maliki dan Hambali).
Dr. Yusuf al-Qaradawi lebih setuju kalau tanazul ini tidak disebutkan dalam akad,
cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan memahami dengan sendirinya, walaupun
jika tanazul tersebut disebutkan dalam akad, hal itu tidak membatalkan akad. Menurut beliau,
memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh
Allah swt. Dan Rasul-Nya, yaitu agar kita memenuhi janji, sebagaimana disebutkan dalam
hadits, Nabi saw. Bersabda,
“Orang-orang muslim harus memenuhi syarat (janji) mereka.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits shahih lain, Nabi saw. Bersabda,
“Syarat-syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah syarat dalam pernikahan.”
Akan tetapi, kalau syarat ini sudah terlanjur disebutkan dalam akad maka tidak
membatalkan akad.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak layak
dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan hanya syarat-syaratnya
yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad dalam kitab al-Muqni’ dan lainnya.
Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu memberikan mahar
dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding istri lain (bagian lebih banyak atau
lebih sedikit). Akad seperti ini batal akan tetapi nikahnya tetap sah.
8 Meskipun begitu ada sebagian ulama yang mengatakan sahnya akd tersebut, seperti yang terdapat dalam kitab al-Mubda’ yang di tuturkan oleh Ibnu Taimiyah.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 7
Dalam al-Inshaaf disebutkan, “Begitu juga kalau salah satu mempelai mensyaratkan
untuk tidak senggama.”
Sebagaian ulama mengatakan nikahnya batal dan sebagian yang lain mengatakan
nikahnya batal jika didalam syarat dikatakan untuk tidak bersenggama.
Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufradat-nya, “Abu Bakar menyebutkan bahwa akad
yang didalamnya disebutkan syarat-syarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan
nafkah, atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil
kembali, masih tetap dianggap sah.”
Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya syarat
untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata.”Seumpama seorang suami kesulitan ekonomi dan
sang isrti menerima hal itu, maka sang istri tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah.” Ia
mengatakan bahwa akad akan batal jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar
mahar. Pendapat ini merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf dan (menurutnya
lagi) apabila disyaratkan untuk tidak bersenggama maka akadnya adalah sah.”9
Direktur Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, Prof Datuk Dr Mahmud
Zuhdi Abdul Majid menganyatakan, praktek pernikahan misyar bisa dilaksanakan jika
mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. `` Jika pihak istri menyetujui bahwa pria tidak
harus memberi nafkah lahir seperti menyediakan rumah, pakaian dan sebagainya, tetapi hanya
bertanggung jawab terhadap nafkah batin saja, maka ia tidak menjadi masalah,''
Alasan lain beliau menganggap misyar metode terbaik mengatasi masalah banyak
wanita tidak menikah selain mengurangi maksiat. Mahmud Zuhdi menyarankan pria diizinkan
mempraktekkan pernikahan misyar karena belakangan ini banyak wanita yang mementingkan
karier tidak menikah.
Berbeda dengan Halina Mohd Noor Perhimpunan Hukum Islam berbasis di Makkah.
Ia berpendapat bahwa Kawin misyar yang bertujuan sekadar menghalalkan hubungan seksual
tidak sesuai diterapkan karena dianggap menghina wanita dan bisa disamakan seperti'
pelacuran berbentuk halal 'yang hanya mempergunakan kesucian akad nikah.
Hal ini juga di kemukakan oleh Mufti Perak, Datuk Seri Harussani Zakaria
"Pernikahan misyar tidak bisa dihalalkan, maupun diterima masyarakat. Sepanjang
pengetahuan saya, belum pernah lagi berjumpa dengan praktek pernikahan seperti ini. Ia lebih
parah dari Mut’ah. "Bahkan, dalam al-Quran sendiri tidak disebutkan praktek misyar.
Konsultan Keluarga Islam, Prof Madya Noor Awang Hamat, mengatakan konsep
pernikahan misyar tidak berbeda dengan pelacuran ketika lelaki bebas menikahi mana-mana
9 Yusuf al-Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer 3. 2001. Jakarta: Gema Insani Press. Cet 1. Hlm. 396-399
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 8
wanita yang disukainya dan menceraikannya sesuka hati setelah beberapa hari
menikah. Begitu juga sebaliknya, wanita bisa menikahi lelaki manapun yang
disukainya. "Misyar bertentangan sekali dengan konsep asal pernikahan yang bertujuan
memelihara kesejahteraan wanita dan anak yang dilahirkan.
Dar al Ifta 'al Misriyyah (Dewan Fatwa Mesir) untuk memastikan bahwa pernikahan
misyar itu sah apabila:
Pertama: Adanya kerelaan yang tulus dari kedua pihak suami dan istri. Jika tidak, ia
merupakan kezhaliman yang akan menyebabkan kemudharatan dihadapi oleh kehidupan istri
dan anak-anaknya.
Kedua: Lafaz tujuan pernikahan tersebut mengandung maksud pernikahan yang
berkelanjutan dan menunjukkan bahwa ia tidak dibatasi oleh waktu-waktu tertentu.
Ketiga: Adanya wali yang bertanggung jawab pihak pengantin isteri.
Keempat: Pernikahan itu disaksikan oleh saksi yang melengkapi persyaratan
persaksian dan memenuhi kriteria sebagai saksi yang adil.
Kelima: Pernikahan itu dinyatakan kepada umum dengan cara yang beragam.
Jika lengkap persyaratan yang telah ditetapkan oleh syara' ini maka pernikahan
misyar dan apapun istilah nama pernikahan yang disandarkan kepadanya, maka ia adalah
pernikahan yang sah selama pernikahan ini tidak dibatasi pada waktu tertentu.
Namun, ketika pihak istri rela untuk menggugurkan hak-hak yang berhak untuk
diperoleh oleh si istri tersebut yang telah diberikan oleh syara' seperti nafkah, tempat tinggal
dan pembagian malam untuk suami bermalam di rumah istri yang bermadu, maka aborsi hak
tersebut adalah harus di sisi syara' seperti yang dilakukan oleh Sayyidatina Sa'udah
radhiallahu anha. Beliau telah menghadiahkan hari yang seharusnya Rasulullah salallahualaihi
wasalam bermalam di rumah beliau kepada Sayyidah Aisyah radhiallahu anha.
Keharusan nikah ini atas sebab-sebab berikut:
1. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjadikan risalah Nabi Muhammad saw ini sebagai
penutup segala risalah dan Allah telah menurunkan al Quran sebagai indikator kepada
kesejahteraan seluruh umat sehingga waktu di mana Allah akan mewarisi bumi ini dan
insan yang berada di dalamnya (hari kiamat). Oleh itu, tidak ada satupun hal yang
terjadi dalam kehidupan manusia melainkan manusia akan menemukan
penyelesaianya di dalam kitab kepada risalah Nabi Muhammad saw (al Quran). Allah
berfirman:
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 9
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al An `am
ayat 38)
2. Di sana hanya ada satu jalan saja tanpa ada jalan yang kedua yang memungkinkan
kepuasan seks dapat disalurkan. Jalan ini adalah pernikahan yang memenuhi syara'.
Oleh karena itu, selain dari pernikahan yang sah di sisi syara', maka ia adalah dilarang
oleh syariat-syariat Allah dalam semua agama bahkan syariat-syariat Allah Taala
menganggap jalan selain pernikahan adalah jalan-jalan yang mungkar. Firman Allah
Ta'ala:
".. Dan mereka yang menjaga kehormatannya. kecuali kepada istrinya atau hamba
sahayanya maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Kemudian, siapa yang di balik dari
yang demikian, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas .. "(Al Mukminun 5-7)
3. Seseorang istri itu memiliki hak di sisi syariat untuk menggugurkan hak-hak mereka
yang seharusnya mereka peroleh seperti memohon nafkah, tempat tinggal dan
pembagian malam untuk bersama dengan suami untuk istri yang bermadu. Hal ini
secara jelas telah ditampilkan oleh istri Rasulullah yaitu Sayyidah Saudah yang secara
rela telah memberikan hari yang seharusnya Rasulullah saw bersama dengannya ke
Saiyyidah Aisyah ra Seandainya kerelaan ini tidak sesuai syariah maka pasti
Rasulullah akan tidak setuju dengan tindakan Sayyidah Saudah.
Oleh karena itu, setiap Persyaratan yang dibuat tanpa menafikan tujuan dasar dan
maksud utama untuk pernikahan tidaklah sama sekali dapat mencacatkan akad nikah atau
membatalkannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam
bentuk perjanjian itu hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 10
lainnya; bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk
dilaksanakan.
Al-Syaukaniy menambahkan alasan lebih layaknya memenuhi persyaratan yang
berkenaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan perkawinan itu sesuatu yang menuntut
kehati-hatian dan pintu masuknya sangat sempit. (Nail al-Authar, VI: 280)10
Pandangan Fiqh Tentang Perletakkan Persyaratan Dalam Akad Nikah:
• Secara umum semua mazhab berpandangan jika persyaratan yang diletakkan adalah
bertepatan dengan tujuan dan maksud pernikahan maka ia dibolehkan.
• Jika persyaratan tersebut bertentangan dengan tujuan dan maksud pernikahan maka ia batal
dan Persyaratan tidak berlaku.
Pendapat dari Fadhilah al-Syaikh Dr. Ali Jum'ah Al-Syafi'i (Mufti Mesir)
Persyaratan pernikahan di dalam Islam adalah perlunya ada ijab dan qabul serta tidak
bertentangan dengan larangan syara' pada suami, istri, wali, dan saksi. Bila telah sempurna
ketentuan dengan akad di antara pria dan wanita, maka sempurnalah pernikahan
tersebut. Sebaliknya apabila tidak cukup syarat tersebut, maka pernikahan tersebut batal.
Orang Islam diminta untuk menunaikan Persyaratan yang telah dipersetujuinya. Oleh
itu seorang wanita diizinkan untuk menggugurkan hak yang berhak diperolehnya dalam
masalah kewajiban suami untuk bermalam dengan si istri karena Sayyidah Saudah Binti Zam
`ah telah tidak mengambil hak bermalam bersama Rasulullah SAW dan memberikan hak
tersebut kepada 'Aisyah RA Wanita juga diperbolehkan untuk mengembalikan maharnya atau
nafkah yang berhak diperolehnya karena Allah SWT berfirman di dalam surat An-Nisa 'ayat 4
yang artinya:
"Kemudian jika mereka dengan suka hatinya memberikan kepada kamu sebagian dari mas
kahwinnya maka makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang
lezat, lagi baik akibatnya"11
10 Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006. Cet. 1. Hlm. 14611 Dikutip dari sumber : www.halaqah.net. Rujukan asli adalah artikel dalam bahasa arab dari : www.islam online.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 11
A.Kerangka Teori
Kata misyar berasal dari sepuluh bentuk mubalaghah dalam bahasa Arab dan dua di
antaranya adalah dua kata ini - Zawwaq dan Mitlaq. (Lihat, al-Jurnani, Shaza al-'Arf fi fanal-
Sarf). Zawwaq yang berasal dari zauq atau rasa, memiliki arti banyak atau sering 'merasakan'
dengan pengertian selalu menikah sedangkan mitlaq yang berasal dari talaq memiliki arti
banyak atau selalu melakukan perceraian.
Asal kata Misyar dari pada perkataan arab sara, sira, sirah, tasayara, masar dan juga
masirah. Ia bermaksud, berjalan dan perjalanan. Ia juga boleh diertikan sebagai pemergian.
Perkataan misyar sebenarnya ialah satu perkataan dari pada bahasa dialek atau loghat (bahasa
ammiyah) atau boleh juga disebut sebagai bahasa pasar yang digunakan di beberapa negara
Teluk. Ia difahami sebagai: perjalanan dan tidak tinggal lama di sesuatu tempat (lihat: Yusuf
al-Qaradawi, Hawl Zawaj al-Misyar, Majallah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyyah, bil 1301,
26/5/1977, hlm. 31, Majallah al-Syariah, bil. 392, bertarikh: 8/8/1998.
Dari Sudut Terminologi/Istilah: Perkahwinan misyar ialah perkahwinan di mana
pengantin lelaki tinggal di rumah pengantin perempuan tetapi pengantin perempuan tidak pula
berpindah ke rumah pengantin lelaki. Berlaku pada isteri kedua kerana si lelaki mempunyai
isteri lain (isteri pertama) yang tinggal di rumah si lelaki dan menerima nafkah dari pada
lelaki tersebut. (lihat: al-Qaradawi, Hawl Zawaj al-Misyar), Ia juga disebut sebagai pergi
kepada si isteri tetapi tidak tinggal lama.
Menurut Ahmad al-Tamimi, misyar ialah perkahwinan seorang lelaki dengan
seorang perempuan dengan akad yang sah menurut syara’ dan memenuhi rukun-rukunnya,
tetapi pasangannya bertolak ansur dari segi tempat tinggal dan nafkah. (lihat: Usamah Umar
al-Ashqar, Mustajiddat Fiqhiyyah fi Qadhaya al-Zawaj dan al-Talaq, hlm. 163).
Menurut Ibn Mani’, ialah perkahwinan yang memenuhi semua syarat dan rukunnya,
tetapi kedua-dua pasangan ridha-meridhai dan bersetuju bahwa si isteri tidak mempunyai hak
berkelamin (yaitu hak pembahagian giliran bermalam). Sebaliknya, ia bergantung kepada si
suami, jika dia ingin menziarahi isterinya pada masa atau waktu tertentu.12
Perkawinan Misyar ini satu pernikahan dimana seorang wanita tidak mengambil
bagian dari hak-haknya. Pernikahan ini meskipun tidak menyampaikan keinginan dan maksud
pernikahan, namun pernikahan ini harus tetapi makruh dan tidak sepatutnya dilakukan kecuali
pada beberapa kondisi tertentu.
12 Di kutip dari sumber : www.drhasanah.com/2006/definisi-kahwin-misyar/
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 12
Menurut Prof Dr Wahbah Az-Zuhaily, Dosen Syariah di Universitas Damsyiq,
Suriah. "Pernikahan disyariatkan oleh Allah SWT untuk merealisasikan beberapa tujuan". Di
antaranya adalah:
1. Untuk menambah keturunan dan memelihara kelangsungan keturunan.
2. Adalah untuk mendatangkan kebahagiaan.
3. Memelihara diri dari terjebak ke kancah maksiat dan zina
4. Mewujudkan kerjasama dan keserasian hidup antara pria dan wanita untuk kehidupan
berumahtangga.
5. Pernikahan ini adalah untuk mewujudkan kebahagiaan, dan ketenangan di antara
suami dan istri selain bertujuan untuk mendidik anak-anak dengan didikan yang
sempurna.
Perkawinan Misyar juga merealisasikan sebagian dari tujuan-tujuan pernikahan
meskipun tidak semuanya. Istri tidak mengambil haknya di dalam nafkah, tempat tinggal, jika
suami memiliki isteri lain. Tujuan yang jelas dari pernikahan ini adalah untuk bersenang-
senang (melunasi fitrah batin istri) apakah si suami jelas mengambil manfaat dari harta istri
sedangkan si isteri dapat menikmati kehidupan berumah-tangga. Pada hemat saya, hukum
pernikahan misyar ini adalah sah jika cukup dan sempurna rukun-rukun dan ketentuan yang
ditetapkan oleh syariah yaitu kerelaan wali, saksi dan pemberitahuan kepada umum. Jika tidak
cukup salah satu dari ketentuan ini maka tidak sah di sisi para fuqaha’.
Tetapi, sebagai jaminan kepada isteri dan hak-haknya dalam jangka waktu yang
panjang, harus isteri tersebut berwaspada dengan mendaftarkan pernikahan tersebut ke
pendaftaran resmi dengan otoritas atau yang bertanggung jawab. Hal ini karena, jika si suami
meninggal dunia, dituntut dari si istri 'iddah dan berhak terhadap warisan harta pusaka
suami. Si istri juga telah berubah pikiran dan menuntut haknya di dalam nafkah atau bagian
yang wajib dari harta pusaka suami. Selagimana pernikahan ini tidak merealisasikan semua
tujuan dan motif pernikahan, kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam kondisi yang sempurna
dan optimal, maka saya memberikan peringatan dan tidak mendorong pernikahan ini dan
menghukumkan ia sebagai makruh.
Sesungguhnya pernikahan adalah bersendikan kepercayaan yang padu. Namun
begitu, jika sesuatu pasangan masih tetap ingin mendirikan rumah tangga mereka dengan
pernikahan jenis ini, maka diharuskan tetapi mereka berdua harus menanggung dampak dan
akibat dari pernikahan tersebut seperti salah seorang dari keduanya tidak adil dalam menjaga
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 13
hak-hak dan melaksanakan kewajiban khususnya di dalam hubungan suami istri. Pada kondisi
begini, ia menjadi haram meskipun aqad pernikahan tersebut sah.13
Kutipan Ceramah Nikah Misyar oleh Dr Asri Zainul Abidin Ulama 'Khilaf Di
Memungkinkan Pernikahan Misyar:
1) Mereka yang mengharamkan: Sheikh Nasiruddin al-Albani dan beberapa ulama
lain. Alasan mereka adalah karena tidak sampai maksud pernikahan yaitu kewajiban
suami kepada istri seperti nafkah, tempat tinggal dan lain-lain.
2) Tidak memberikan hukum: Ulama yang berpendapat seperti itu adalah Sheikh Shalil
al-Uthaimin.
3) Menghalalkan akan tetapi tidak menyarankannya. Dipegang oleh Dr. Yusuf al-
Qaradhawi dan beberapa ulama 'lainnya. Majma 'Fiqh Islam Sedunia
membenarkannya. Alasan mereka yang memungkinkan adalah:
1. Bukan suami yang mengambil hak istri, akan tetapi si istri yang menawarkan untuk
haknya ditarik. Sebagai contoh seorang wanita berkata kepada seorang pria bahwa pria
tersebut tidak perlu menanggung keuangannya, dan hanya tinggal bersamanya
beberapa hari saja. Dalam kasus ini wanita tersebut sendiri yang menawarkan haknya
untuk dikurangi. Ini sama seperti kasus istri Nabi Muhammad SAW, Ummul
Mukminin Saudah yang memberikan giliran harinya untuk bersama Rasulullah SAW
kepada Ummul Mukminin 'Aisyah RA.
2. Bukan suami yang meminta hak itu dikurangi, sebaliknya wanita tersebut yang
menawarkannya.
3. Seeloknya di siasat benarkah istri itu memang benar-benar sanggup menyerahkan
haknya atau hanya cakap saja ketika sedang kemaruk cinta. Misalnya, jika dia berkata
bahwa si pria tidak perlu menanggung keuangannya, maka perlulah bertanya benarkah
dia memang benar-benar mampu menanggung dirinya sendiri tanpa tanggungan
suami, dan benarkah dia memang rela untuk mengurangi haknya.
Pro dan Kontra:
Pro:
1) Pernikahan ini dapat mengurangi jumlah wanita yang tidak berkahwin.
13 Dikutip dari sumber : www.halaqah.net. Rujukan asli adalah artikel dalam bahasa arab dari : www.islam online.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 14
2) Meredakan tekanan emosi untuk wanita karir yang mau bersuami tetapi banyak pria yang
enggan karena takut untuk menanggung wanita berpenghasilan tinggi.
3) Mengurangi maksiat zina dan muqaddimah zina lebih-lebih lagi kepada golongan muda
seperti pelajar- mahasiswa, lebih-lebih lagi kebanyakan mereka sudah memiliki pasangan
masing-masing, becintan-cintun, dan ke hulu ke hilir dengan bukan mahram.
Kontra:
1. Takut-takut terjadi penindasan terhadap wanita.
2. Masalah jika si istri mengungkit- ungkit.14
Adapun mengenai pendapat para ulama, sebagian besar dari mereka mendukung
dilaksanakannya kawin misyar, namun hanya ada dua atau tiga yang menentang, meskipun
tidak sampai mengharamkan nikah ini.
Ketidak setujuan mereka terhadap dilaksanakannya kawin misyar merupakan bentuk
dari kekhawatiran. Menurut mereka boleh jadi kawin semacam ini akan menyebabkan
kehancuran dalam masyarakat. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak di inginkan,
meniadakannya adalah lebih baik.
Dapat di ambil kesimpulan bahwa pada awalnya hukum kawin ini (misyar) adalah
mubah (boleh), tetapi sesuatu yang mubah kalau dikhawatirkan akan menyebabkan kesusahan
dan kerusakan, maka mencegahnya bisa merubah menjadi perkara yang wajib atau minimal
sunnah. Dan hukumnya disesuaikan dengan kadar kesusahan yang ditimbulkannya.15
14 Di kutip dari sumber : www.kawinkawin.blogspot.com15 Yusuf al-Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer 3. 2001. Jakarta: Gema Insani Press. Cet 1. Hlm. 411-412
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 15
A. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian
terhadap penelitian sejarah hukum dengan menggunakan buku-buku atau kitab, dan
doktrin atau ajaran hukum untuk memahami problematika keabsahan kawin misyar
menurut ulama kontemporer.16
2. Sumber data
Adapun sumber data dalam penulisan ini meliputi:
a. Sumber primer, sumber yang berkenaan langsung dari masalah tentang kawin misyar,
dalam hal ini merujuk kepada buku-buku karya Ulama kontemporer yang antara lain.
Al-Qur’an
Hadits
Fatwa-fatwa ulama kontemporer
b. Sumber skunder, yaitu sumber yang mendukung pembahasan masalah berupa buku-
buku atau artikel yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menulis penelitian ini yaitu
dengan cara membaca, memahami dan mempelajari serta menganalisis dari data yang
dipandang relevan dengan pembahasan masalah. Kemudian data tersebut dikumpulkan
dengan mengelompokkan pada bab-bab sesuai dengan sifatnya masing-masing, guna
mempermudah dalam proses analisis data.17
4. Metode analisis data
Untuk menganalisis data yang ada maka sifat analisis data yang digunakan sebagai
berikut:
a. Sifat
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sifat analisis preskriptif, yaitu
memberikan argumentasi atas hasil penelitiannya untuk memberikan penilaian
mengenai benar atau salah.18
b. Pendekatan Penelitian Normatif
16 Dr. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, MH. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) hal. 31717 Suharsini Arikunto, Prosedur penelitian Suatu pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 20218 Dr. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, MH. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 184
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 16
Menggunakan pendekatan filsafat (philosophical approach), yaitu penulis
melakukan penelaahan tentang penelitian secara mendalam, mendasar, menyeluruh
dan spekulatif. Sehingga dapat dikupas isi hukum secara menyeluruh radikal dan
mendalam.19
B. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan proposal ini, sistematika yang kami coba
ketengahkan adalah sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan sistematika dari skripsi yang
terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian
yang mencakup jenis penelitian, data, sumber data, populasi dan sampel,
metode pengumpulan data, teknik pengolahan data, metode analisis data,
serta sistematika penulisan.
Bab kedua Merupakan data penelitian yang meliputi ketentuan umum
tentang perkawinan dalam islam, yang meliputi : Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukum
Perkawinan, Rukun-Rukun Perkawinan, Hak dan Kewajiban dalam Perkawinan, Perkawinan
yang diharamkan.
Bab ketiga pembahasan yang berisi tentang kajian atas kawin misyar
menurut Ulama kontemporer. Bab ini terdiri dari bebeapa sub bab, yaitu : Latar Belakang
Kawin Misyar, Pendapat Ulama kontemporer tentang Kawin Misyar, Pandangan hukum Islam
terhadap Kawin Misyar.
Bab keempat adalah analisis terhadap pendapat Ulama kontemporer
tentang kawin misyar. Yang terdiri dari analisis pendapat Ulama kontemporer
tentang kawin misyar dan metode Ulama kontemporer dalam menetapkan
hukum kawin misyar.
Bab kelima merupakan penutup dari penelitian yang terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran yang memberikan jawaban singkat atas
permasalahan yang diangkat dalam penelitian serta saran dan anjuran
yang berkaitan dengan hasil penelitian.
19 Dr. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, MH. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 109
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 17
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 18
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer . Jakarta: Gema Insani Press. 2001. Cet 1. Jilid.
1.
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. 2010. Cet. 4.
________________, www.drhasanah.com/2006 di akses pada hari Rabu, tanggal 4 april 2012
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana. 2010. Cet. 4.
Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali.
2000. Jakarta: Lentera. Cet. 5.
DR. IR. Muhammad Shahrur. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Eslaq Press.
2004. Cet. Pertama.
Suharsini Arikunto, Prosedur penelitian Suatu pendekatan Praktek. 1993. Jakarta : Rineka
Cipta.
Yusuf Al-Qardhawi, Permasalahan Pemecahan Dan Hikmah, Terjemah H. Abdurrahman Ali
Banzir, 1994 . Surabaya : Risalah Gusti.
________________, www.halaqah.net. Rujukan asli adalah artikel dalam bahasa arab dari :
www.islam online. Di akses pada hari Rabu, 03-05-2012
Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. 2006. Jakarta: Kencana. Cet.
Pertama.
Dr. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, MH. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Problematika Keabsahan Kawin Misyar Menurut ulama’ Kontemporer 19