BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya
adalah peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis.
Meningitis merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua
orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang
mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Di Inggris, dilaporkan bahwa
3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik dewasa maupun anak-anak.
Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita meningitis akan
meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan.
Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya
infeksi virus, bakteri, dan jamur. Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan
obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak
dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak,
pikiran bahkan kematian.
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Anatomi
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningens yang melindungi
struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis
cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningens terdiri dari tiga lapis, yaitu:
Piamater : yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum
tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan
menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.
Arachnoid mater: Merupakan selaput halus yang memisahkan piamater dan
dura meter.
Duramater : Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat.
Mater artinya “ibu”, menunjukkan peran protektif dan supportif membran ini.
2
2.2 Fisiologi
Meninges terdiri dari pada tiga jaringan ikat membran yang terletak di bagian
luar organ sistem saraf pusat. Fungsi dari lapisan selaput otak ini adalah:
1. Melapisi dan memberikan proteksi kepada struktur organ sistem saraf pusat
(otak dan medula spinalis).
2. Memberikan proteksi pembuluh darah yang terdapat di otak dan menutupi
sinus venosus.
3. Mengandung likour serebrospinalis
4. Membentuk partisi/ bagian bagian dari otak..
3
Duramater
Duramater adalah pembungkus inelastik kuat yang terdiri dari dua lapisan
(dura artinya “kuat”). Lapisan-lapisan ini biasanya melekat tetapi dibeberapa
tempat keduanya terpisah untuk membentuk rongga berisis darah, sinus dural
atau rongga yang lebih besar , sinus venosus. Darah vena yang berasal dari
otak mengalir ke sinus ini untuk dikembalikan ke jantung. Cairan
serebrospinal juga masuk kembali ke darah di salah satu sinus ini.
Arahnoid mater
Merupakan lapisan halus yang kaya akan pembuluh darah. Ruang antara
arahnoid dan piamater “ruang subarahnoid” terisi oleh CSS. Penonjolan
jaringan arahnoid, vili arahnoid menembus celah-celah di dura atasnya dan
menonjol ke dalam sinus dura. CSS direabsobsi menembus permukaan vilus-
vilus ini untuk masuk ke sirkulasi darah di dalam sinus
Piamater
Merupakan daerah yang rapuh. Lapisan ini memiliki banyak pembuluh
darah dan melekat erat ke permukaan otak dan medulla spinalis,mengikuti
setiap lekukan dan tonjolan.
4
BAB III
MENINGITIS TUBERKULOSA
3.1 Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
3.2 Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing
dan protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab
lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh
bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada
golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh
E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5
tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.
Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20
tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus,
Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai
prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab
meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan
Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan enterovirus
jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
5
3.3 Epidemiologi
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi
pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk
sempurna.
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di
negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di
Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau
sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat,
kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.
Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun
penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan
jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju.
3.4 Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
6
3.5 Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di
organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen
sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,
Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus
dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-
neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri.
Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai
dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial,
yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak
(barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien
meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
7
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps
sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom
Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan
nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
Meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
penyumbatan vena dan memblok aliran cairan serebrospinal yang dapat berakhir
dengan hidrosefalus, peningkatan intrakranial, dan herniasi.
3.6 Manifestasi Klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif,
dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a. kaku leherUpaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena
adanya spasme otot-otot eksentor leher.
b. Tanda kernik positip
c. Tanda brudzinki
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
8
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia: demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata
8. meningitis yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai dengan gejala
anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat.
9. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan
sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai
dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas.
10. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi
vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut
timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri
punggung.
11. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel
muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam
ringan, badan terasa kaku, dan terjadinya gangguan kesadaran seperti
tangan membuat gerakan tidak beraturan
9
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak
dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan
rotasi kepala.
b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
10
d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.
Pemeriksaan Penunjang Meningitis
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat,
kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur
biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
Tabel interpretasi
Tes MeningitisBakterial
MeningitisVirus
Meningitis TBC
TekananLPWarnaJumlah SelJenis selProteinGlukosa
MeningkatKeruh≥1000 mlPredominan PMNSedikit meningkatNormal/menurun
BiasanyaNormalJernih< 100/mlPredominanMNNormal/meningkatBiasanya normal
BervariasaiXanthochromi
BervariasiPredominan MNMeningkatRendah
11
Gambar : Lumbal pungsi
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi
bakteri)
5. Elektrolit darah : Abnormal.
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah
pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat
ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi
10. Tes Tuberkulin
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis
yang paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji
tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%.
3.7 Penatalaksanaan
Antibiotik empiris
Pengobatan antibiotik sesuai dengan bakteri terisalasi. Vancomycin adalah
antibiotik empiris yang terpilih karena banyaknya bakteri S.pneumoniae yang
resisten terhadap antibiotik β-lactam. S. pneumoniae, N. meningitidis, and H.
12
influenzae type b sensitif terhadap Ceftriaxone dan Cefotaxime
(Cephalosporin golongan 3).
Chloramphenicol (100 mg/kg/hari, q6h) diberikan kepada pasien yang
berumur lebih dari satu bulan dan alergi terhadap antibiotik β-lactam.
Terapi definitif meningitis bakterial
Antibiotik diberikan sesuai hasil kultur cairan serebrospinal, yaitu:
1. Meningitis S. pneumoniae tanpa komplikasi yang sensitif terhadap
penicillin dapat diberikan Cephalosporin generasi ketiga atau Penicillin
IV (400,000 U/kg/hari, dapat diberikan 4-6 kali/ hari, selama 10-14
hari.
2. Meningitis S. pneumoniae yang resisten terhadap Penicillin dan
Cephalosporin generasi ketiga dapat diberikan vancomycin selama 10-
14 hari.
3. Meningitis N. Meningitidis tanpa komplikasi dapat diberikan Penicillin
IV (400,000 U/kg/hari, diberikan 4-6 kali/ hari, selama 5-7 hari.
4. Meningitis H. influenzae type b tanpa komplikasi dapat diberikan
Cephalosporin generasi ketiga selama 7-10 hari.
5. Meningitis E.coli atau P. aeruginosa (Gram negatif) dapat diberikan
Cephalosporin generasi ketiga selama 2-10 hari lalu dilanjutkan selama
2-3 minggu setelah kultur cairan serebrospinal tidak ditemukan
pertumbuhan (steril).
Pengobatan meningitis tuberkulosis
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku
tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi
dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga
12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:
13
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis
harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg
/ hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.
Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama,
yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak,
biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10
mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan
dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/
kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
14
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal.
Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya
adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya
tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg .
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,
maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi
dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
15
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat .
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas
utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga
seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol
dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total
Regimen : RHZE / RHZS
Nama Obat DOSIS
INH Dewasa : 10-15 mg/kgBB/hari
+ piridoksin 50 mg/hari
Anak : 20 mg/kgBB/hari
16
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari i.m selama 3 bulan
Etambutol 25 mg/kgBB/hari p.o selama 2 bulam pertama
Dilanjutkan 15 mg/kgBB/hari
Rifampisin Dewasa : 600 mg/hari Anak 10-20
mh/kgBB/hari
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan-
perlekatan antara araknoid dan otak. Bukti klinis mendukung penggunaan steroid
pada meningitis tuberkulosis dan bakteri sebagai terapi ajuvan. Penggunaan
steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan mengobati edema otak
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Dosis steroid :
Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan. Prednison dengan
dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan
dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen.
3.8 KOMPLIKASI
17
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf
otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan.Gangguan
intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya
mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal.
Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh.
Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan
hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi
ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.
3.8 PROGNOSIS
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis
dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-
anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat
menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami
sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan
kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan
mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian
meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita
mencari pengobatan.
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Penderita meningitis
karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan,penurunan
kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih
18
baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan
yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.
BAB IVKESIMPULAN
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
Manifestasi klinis Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering),
Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma, Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda kaku leher upaya untuk
fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot eksentor
leher, tanda kernik positip, tanda brudzinki, Mengalami foto fobia, atau sensitif
yang berlebihan pada cahaya, Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan
peningkatan TIK. akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda
perubahan karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan
bradikardi), pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis
meningokokal.
meningitis yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai dengan gejala
anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
Penentuan terapi pengobatan meningitis harus tepat dan adekuat, koreksi
gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus
segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis.
19
REFRENSI
Prof. Dr. S.M. Lumbantobing, Neurologi Klinik ; Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Prof.Dr Marjano. Mahar.dkk, Neurologi Klinis Dasar. Edisi 6.
Dewanto, George, dr.Sp.S Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Saraf, EGC
Meningitis Meningococcus.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
20