Ringkasan APBD 2016 Halaman 1
RINGKASAN
APBD 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 2
Ringkasan APBD 2016 Halaman 3
Daftar Isi
Daftar Isi ............................................................................................................................................................ 3
Executive Summary............................................................................................................................................ 4
BAB I .................................................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN.................................................................................................................................................. 5
1. Latar Belakang ....................................................................................................................................... 5
2. Gambaran Umum APBD 2016 ............................................................................................................... 5
BAB II ................................................................................................................................................................. 7
ANALISIS DESKRIPSI PENDAPATAN APBD .......................................................................................................... 7
1. Rasio Pajak Daerah ................................................................................................................................ 7
2. Rasio Ketergantungan Daerah ............................................................................................................. 10
3. Deviasi Alokasi Transfer ....................................................................................................................... 15
BAB III .............................................................................................................................................................. 21
ANALISIS DESKRIPSI BELANJA APBD ................................................................................................................ 21
1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja APBD ......................................................................... 21
2. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja APBD ............................................................................ 24
3. Rasio Belanja Barang Dan Jasa Terhadap Total Belanja Apbd ............................................................. 28
4. Rasio Belanja Hibah Dan Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Apbd ............................................. 32
BAB IV .............................................................................................................................................................. 35
Analisis Deskripsi Pembiayaan Daerah ............................................................................................................ 35
1. Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah .................................................................. 35
2. Daerah dengan Defisit Daerah yang Tidak Dapat Ditutup oleh Pembiayaan Daerah ......................... 38
3. Pembiayaan Daerah ............................................................................................................................. 39
4. Rasio SiLPA Tahun Sebelumnya terhadap Total Belanja Daerah ......................................................... 41
5. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah............................................................................ 44
6. Penyertaan Modal (Investasi) Daerah ................................................................................................. 46
BAB V ............................................................................................................................................................... 48
Efisiensi Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa , dan Belanja Modal Terhadap Perekonomian Daerah.. 48
Ringkasan APBD 2016 Halaman 4
Executive Summary
Dalam melakukan analisis pendapatan, terdapat dua rasio yang dilihat secara detail, yaitu rasio
pajak dan rasio ketergantungan fiskal. Rasio pertama menyoroti terkait pajak daerah sebagai
sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB, sedangkan rasio ketergantungan fiskal
membahas pengelolaan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya serta
kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan daerah dalam menghasilkan pendapatan
daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal.
Terkait dengan belanja daerah, terdapat empat rasio yang dijadikan sebagai alat analisis, yaitu
raio belanja pegawai, rasio belanja modal, rasio belanja barang dan jasa, dan rasio belanja hibah
dan bantuan sosial. Penggunaan keseluruhan rasio tersebut untuk melihat kecenderungan pola
belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang
terkait dengan erat dengan upaya peningkatan ekonomi seperti Belanja Modal atau untuk
Belanja yang sifatnya pendanaan aparatur seperti belanja pegawai.
Dari sisi pembiayaan daerah, terdapat beberapa rasio yang digunakan dalam melakukan analisis,
diantaranya adalah rasio defisit daerah dan rasio SiLPA Tahun Sebelumnya. Data menunjukkan
bahwa sebagian besar daerah cenderung menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Fenomena ini
menarik untuk dicermati mengingat sebenarnya secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi
defisit secara riil. Hal ini terbukti karena dalam realisasi pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian
besar daerah mengalami surplus. Defisit yang daerah anggarkan pada umumnya dapat ditutup
dengan sumber dana dari internal seperti SiLPA. Rasio SiLPA terhadap belanja, selain
menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada tahun sebelumnya, juga
menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran sebelumnya lebih besar dari yang
diproyeksikan.
Dalam menganggarkan belanja dalam APBD, pemerintah daerah tentunya memiliki tujuan yang
hendak dicapai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD). Salah satu tujuan utama yang hendak dicapai antara lain adalah untuk meningkatkan
kualitas belanja dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui pembangunan
infrastruktur dasar yang mendorong investasi, percepatan penyerapan belanja daerah,
peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pelaksanaan program pemberdayaan. Berdasarkan
hal tersebut, pemerintah daerah perlu mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya berupa
pendapatan daerah ke dalam belanja pemerintah daerah yang efisien.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 5
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam rangka memberikan gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah pada tahun
2016, diperlukan suatu deskripsi ringkas mengenai APBD 2016 secara agregatif, maupun terpisah
antara provinsi dengan kabupaten/kota. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal dari
APBD TA 2016 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Deskripsi APBD dilakukan
dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit, dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga
digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2016, realisasi
APBD tahun-tahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk
melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan
secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan
berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua).
2. Gambaran Umum APBD 2016
Rencana Pendapatan dan Belanja dalam APBD 2016 mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan dengan APBD Tahun 2015, namun pada sisi defisit terjadi penurunan dan
begitu juga pada pembiayaan netto. Rencana pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan rencana belanja mendorong terjadinya defisit, sehingga harus ditutupi dari pembiayaan.
Berturut-turut peningkatan/penurunan pendapatan, belanja, surplus/defisit, dan pembiayaan
netto di tahun 2016 mencapai 14,8%, 13,6%, -3,9%, dan -3,4% dari tahun 2015. Diharapkan
peningkatan besaran anggaran belanja daerah melalui APBD dapat meningkatkan perekonomian
daerah. Secara umum komposisi dari pendapatan dan belanja dalam APBD TA. 2016 adalah
sebagai berikut:
Ringkasan APBD 2016 Halaman 6
Ringkasan APBD 2016 Halaman 7
BAB II ANALISIS DESKRIPSI PENDAPATAN APBD
1. Rasio Pajak Daerah
a. Pengertian
Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak
daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Rasio pajak dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja
perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan
ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi potensi
penerimaan pajak di wilayah tersebut.
b. Rasio Pajak Daerah, Nasional dan per Daerah
Rasio pajak daerah terhadap PDRB secara agregat nasional adalah sebesar 1,4%, dengan
rincian untuk tingkat provinsi rasio tersebut adalah sebesar 1,7% dan untuk tingkat kabupaten
dan kota sebesar 0,9%
c. 5 Daerah dengan Rasio Pajak Daerah tertinggi, dan analisanya
Kab. Badung memiliki rasio pajak tertinggi. Kab. Badung sebagai bagian dari Provinsi Bali
terkenal sebagai tujuan wisata. Tingginya rasio pajak di Kab. Badung didukung dari
penerimaan pajak daerah yang tinggi, yang berasal dari pajak hotel, pajak restoran, BPHTB,
PBB dan pajak penerangan jalan. Daerah lain yang juga mendapatkan pemasukan pajak yang
cukup besar dari sektor pariwisata adalah Kab. Lombok Utara.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 8
d. 5 Daerah dengan Rasio Pajak Daerah terendah, dan analisanya
Secara garis besar, rasio pajak sebagian besar daerah berada dibawah rata-rata nasional.
Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Intan Jaya tidak menganggarkan pendapatan dari pajak
daerah dan retribusi daerah pada APBD tahun anggaran 2016.
e. Grafik Rasio Pajak Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota, dan analisanya
Secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota, Bali menjadi wilayah yang memiliki rasio pajak
tertinggi. Tingginya rasio pajak di Bali didukung oleh penerimaan pajak yang berasal dari
kabupaten/kotanya. Bali terkenal sebagai tujuan wisata, sehingga sumber penerimaan pajak
daerah di Bali banyak yang berasal dari pajak hotel, pajak restoran, BPHTB, PBB dan pajak
penerangan jalan. Daerah yang berkontribusi besar terhadap pendapatan pajak di Bali yaitu
Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 9
f. Grafik Rasio Pajak Daerah Kabupaten dan Kota dalam Provinsi, dan analisanya
Terlihat dalam grafik, dimana untuk agregat kabupaten dan kota, Bali menjadi wilayah dengan
rasio pajak daerah tertinggi. Wilayah memiliki rasio pajak daerah yang tidak terlalu tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah Bali.
g. Grafik Rasio Pajak Daerah Provinsi, dan analisanya
Terlihat dalam grafik, dimana untuk pemerintah tingkat Provinsi, DKI Jakarta menjadi provinsi
dengan rasio pajak daerah tertinggi. Provinsi lain yang juga memiliki rasio pajak daerah cukup
tinggi adalah Bali, Maluku dan Maluku Utara.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 10
69%
66%
63%
58%
64%
2012 2013 2014 2015 2016
Rasio Ketergantungan Daerah
2. Rasio Ketergantungan Daerah
a. Pengertian
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap
bantuan pihak eksternal seperti Pemerintah Pusat. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio dana
transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio yang dihasilkan, semakin
besar tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Sebaliknya, semakin
kecil angka rasio yang dihasilkan, semakin kecil tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak
eksternal.
Rasio kemandirian daerah menggambarkan tingkat kemampuan daerah untuk membiayai
kegiatan pemerintah daerahnya sendiri yang berasal dari perolehan pendapatan daerahnya
sendiri. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total
pendapatan. Semakin besar angka rasio yang dihasilkan, semakin besar kemampuan daerah
tersebut untuk membiayai kegiatannya sendiri. Sebaliknya, semakin kecil angka rasio yang
dihasilkan, semakin kecil kemampuan daerah tersebut untuk membiayai kegiatan daerahnya
sendiri.
b. Rasio Ketergantungan Daerah, Nasional dan per Daerah
Rasio ketergantungan daerah secara nasional adalah sebesar 64 persen.
Rasio kemandirian daerah secara nasional adalah sebesar 23 persen.
c. Perkembangan Rasio Ketergantungan Daerah 5 tahun terakhir, dan analisanya
Berdasarkan grafik di atas sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2015, rasio ketergantungan
daerah menurun setiap tahunnya. Rasio ketergantungan daerah secara nasional pada tahun
2012 sebesar 69 persen menjadi 58 persen ditahun 2015. Namun, pada tahun 2016
mengalami kenaikan sebesar 6 persen menjadi 64 persen.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 11
Kota Tomohon Kab.Halmahera
Tengah
Kab. PulauTaliabu
Kota Solok Kota TidoreKepulauan
92%92% 92%
91%91%
RASIO KETERGANTUNGAN DAERAH
20% 21%24%
26%23%
2012 2013 2014 2015 2016
Rasio Kemandirian Daerah
Berdasarkan grafik di atas sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2015, rasio kemandirian
daerah meningkat setiap tahunnya. Rasio kemandirian daerah secara nasional pada tahun
2012 sebesar 20 persen menjadi 26 persen di tahun 2015. Namun, pada tahun 2016
mengalami penurunan sebesar 3 persen menjadi 23 persen.
d. 5 Daerah dengan Rasio Ketergantungan Daerah, dan analisanya
Daerah yang memiliki tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat tertinggi adalah Kota
Tomohon, Kab. Halmahera Tengah, Kab. Pulau Talibu, Kota Solok, dan Kota Tidore Kepulauan
dengan rasio dana transfer terhadap pendapatan daerah di atas 90 persen. Adapun rasio
ketergantungan daerah dari Kota Tomohon, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kab. Pulau
Talibu sebesar 92 persen dan rasio ketergantungan daerah Kota Solok dan Kota Tidore
Kepulauan sebesar 91 persen.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 12
Daerah yang memiliki tingkat kemandirian tertinggi adalah Kab. Badung, Prov. Jawa Timur,
Prov. DKI Jakarta, Prov. Banten, dan Prov. Bali dengan rasio PAD terhadap pendapatan daerah
di atas 62 persen. Adapun rasio kemandirian daerah dari Kab. Badung sebesar 77 persen. Kab.
Badung merupakan daerah pariwisata sehingga sumber PAD terbesar diperoleh dari Pajak
Kabupaten seperti Pajak Hotel, Pajak Hiburan, PBB P2 dan BPHTB. Keempat daerah lainnya
merupakan daerah provinsi yang memiliki penduduk dalam jumlah besar sehingga sumber
PAD terbesar diperoleh dari Pajak Provinsi seperti Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
e. 5 Daerah dengan Rasio Ketergantungan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan
analisanya
Rasio ketergantungan daerah berdasarkan provinsi, kabupaten dan kota di dalam provinsi
tersebut, maka daerah yang memiliki rasio ketergantungan tertinggi adalah daerah di Maluku
Utara. Rasio ketergantungannya sebesar 81 persen. Selanjutnya, daerah di Sulawesi Barat
memiliki rasio ketergantungan daerah sebesar 80 persen. Ketiga daerah lainnya yang memiliki
rasio ketergantungan tertinggi adalah daerah di Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi
Tengah yang masing-masing rasio ketergantungannya adalah 79 persen.
Kab. Badung Prov. JawaTimur
Prov. DKIJakarta
Prov. Banten Prov. Bali
77%67% 67% 65% 63%
RASIO KEMANDIRIAN DAERAH
Prov. MalukuUtara
Prov. SulawesiBarat
Prov. Maluku Prov. NusaTenggara
Timur
Prov. SulawesiTengah
81%80%
79%79% 79%
RASIO KETERGANTUNGAN DAERAH DALAM PROVINSI
Ringkasan APBD 2016 Halaman 13
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
Pro
v. B
ali
Pro
v. B
ante
n
Pro
v. J
awa
Bar
at
Pro
v. J
awa
Ten
gah
Pro
v. J
awa
Tim
ur
Pro
v. A
ceh
Pro
v. D
I Yo
gyak
arta
Pro
v. K
ep
ula
uan
Ria
u
Pro
v. S
um
ater
a U
tara
Pro
v. S
ula
wes
i Sel
atan
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. L
amp
un
g
Pro
v. R
iau
Pro
v. P
apu
a B
arat
Pro
v. S
um
ater
a Se
lata
n
Pro
v. K
alim
anta
n U
tara
Pro
v. K
alim
anta
n T
imu
r
Pro
v. B
angk
a B
elit
un
g
Pro
v. P
apu
a
Pro
v. S
ula
wes
i Uta
ra
Pro
v. K
alim
anta
n B
arat
Pro
v. N
usa
Ten
ggar
a…
Pro
v. B
engk
ulu
Pro
v. J
amb
i
Pro
v. N
usa
Ten
ggar
a…
Pro
v. G
oro
nta
lo
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. S
ula
wes
i Te
nga
h
Pro
v. S
um
ater
a B
arat
Pro
v. S
ula
wes
i Te
ngg
ara
Pro
v. M
alu
ku
Pro
v. M
alu
ku U
tara
Rasio Ketergantungan Kab Kota dalam Provinsi
Rasio Ketergantungan Daerah Rata-rata Rasio Ketergantungan Kab Kota dalam provinsi
Rasio kemandirian daerah berdasarkan provinsi, kabupaten, dan kota di dalam provinsi,
daerah yang memiliki tingkat kemandirian tertinggi adalah Jakarta. Tingkat kemandiriannya
sebesar 67 persen. Jumlah penduduk yang besar mengakibatkan pendapatan daerah yang
berasal dari sektor pajak berkontribusi tinggi terhadap PAD Jakarta. Berikutnya, daerah objek
wisata seperti Bali juga memiliki rasio kemandirian yang tinggi yaitu sebesar 39 persen. Tiga
daerah berikutnya yang memiliki rasio kemandirian yang tinggi adalah Banten, Jawa Barat,
dan Bangka Belitung yang memiliki rasio ketergantungan sebesar 39 persen, 32 persen dan 28
persen.
f. Grafik Rasio Ketergantungan Daerah Kabupaten dan Kota dalam Provinsi, dan analisanya
Prov. DKIJakarta
Prov. Bali Prov. Banten Prov. JawaBarat
Prov. JawaTimur
67%
39% 39%32%
28%
RASIO KEMANDIRIAN DAERAH DALAM PROVINSI
Ringkasan APBD 2016 Halaman 14
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Pro
v. P
apu
a
Pro
v. M
alu
ku U
tara
Pro
v. M
alu
ku
Pro
v. K
alim
anta
n U
tara
Pro
v. S
ula
we
si B
arat
Pro
v. B
engk
ulu
Pro
v. S
ula
we
si T
engg
ara
Pro
v. K
alim
anta
n T
enga
h
Pro
v. P
apu
a B
arat
Pro
v. S
ula
we
si U
tara
Pro
v. N
usa
Ten
ggar
a Ti
mu
r
Pro
v. S
ula
we
si T
enga
h
Pro
v. K
alim
anta
n B
arat
Pro
v. L
amp
un
g
Pro
v. K
alim
anta
n T
imu
r
Pro
v. J
amb
i
Pro
v. K
alim
anta
n S
elat
an
Pro
v. A
ceh
Pro
v. S
um
ater
a B
arat
Pro
v. G
oro
nta
lo
Pro
v. S
um
ater
a Se
lata
n
Pro
v. S
um
ater
a U
tara
Pro
v. S
ula
we
si S
elat
an
Pro
v. R
iau
Pro
v. J
awa
Ten
gah
Pro
v. N
usa
Ten
ggar
a B
arat
Pro
v. J
awa
Tim
ur
Pro
v. K
epu
lau
an R
iau
Pro
v. D
I Yo
gyak
arta
Pro
v. B
ante
n
Pro
v. J
awa
Bar
at
Pro
v. B
angk
a B
elit
un
g
Pro
v. B
ali
Rasio Kemandirian Kabupaten Kota dalam Provinsi
Grafik di atas memberi potret rasio dana transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang
dikelompokkan per provinsi. Perhitungannya dilakukan dengan menjumlahkan dana transfer
seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk
wilayah yang sama. Rata-rata rasio ketergantungan kabupaten kota di setiap provinsi sebesar
74 persen. Terdapat 20 daerah yang memiliki rasio ketergantungan daerah di atas rata-rata
rasio ketergantungan kabupaten kota di setiap provinsi. Jika dilihat grafik di atas, daerah yang
memiliki rasio ketergantungan di atas rata-rata yaitu mulai dari kabupaten kota di Papua Barat
sampai dengan kabupaten kota di Sulawesi Barat.
Grafik di atas memberi potret rasio PAD terhadap pendapatan seluruh pemda yang
dikelompokkan per provinsi. Perhitungannya dilakukan dengan menjumlah PAD seluruh
pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah
yang sama. Rata-rata rasio kemandirian daerah di setiap provinsi sebesar 11 persen. Terdapat
10 daerah yang memiliki rasio kemandirian daerah di atas rata-rata rasio kemandirian daerah
di setiap provinsi. Jika dilihat dari grafik di atas, kabupaten kota yang memiliki rasio
kemandirian di atas rata-rata yaitu mulai dari kabupaten kota yang berada di Riau sampai
daerah di Bali.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 15
0%10%20%30%40%50%60%70%
Pro
v. P
apu
a B
arat
Pro
v. P
apu
a
Pro
v. M
alu
ku…
Pro
v. M
alu
ku
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. N
usa
…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. B
engk
ulu
Pro
v. A
ceh
Pro
v. G
oro
nta
lo
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. J
amb
i
Pro
v. B
angk
a…
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. L
amp
un
g
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. N
usa
…
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. R
iau
Pro
v. K
ep
ula
uan
…
Pro
v. J
awa
Ten
gah
Pro
v. D
I…
Pro
v. J
awa
Tim
ur
Pro
v. J
awa
Bar
at
Pro
v. B
ante
n
Pro
v. B
ali
Pro
v. D
KI J
akar
ta
Rasio Kemandirian Daerah Agregat Dalam Provinsi
Rasio Kemandirian Daerah Rata-Rata Rasio Kemandirian Daerah
g. Grafik Rasio Ketergantungan Daerah Dalam Provinsi, dan analisanya.
Rasio ketergantungan nasional sebesar 64 persen. Grafik di atas menunjukkan 22 daerah
dalam provinsi yang memiliki rasio ketergantungan di atas rasio ketergantungan nasional yaitu
mulai dari daerah yang berada di provinsi lampung sampai provinsi maluku utara.
Rasio kemandirian nasional sebesar 23 persen. Berdasarkan grafik di atas, terdapat 8 daerah
yang memiliki rasio kemandirian di atas rasio kemandirian nasional. Menurut grafik di atas,
daerah yang memiliki rasio kemandirian di atas rasio kemandirian nasional adalah daerah di
Kepulauan Riau sampai dengan daerah di Jakarta.
3. Deviasi Alokasi Transfer
a. Pengertian, urgensi, kegunaan, dan cara menghitung Deviasi Alokasi Transfer
Terlambatnya informasi alokasi transfer ke daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima
oleh daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan. Kepastian
jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang akan direncanakan oleh
pemerintah daerah.
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
Pro
v. D
KI J
akar
ta
Pro
v. B
ali
Pro
v. A
ceh
Pro
v. B
ante
n
Pro
v. J
awa
Tim
ur
Pro
v. J
awa
Bar
at
Pro
v. J
awa
Ten
gah
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. D
I Yo
gyak
arta
Pro
v. K
ep
ula
uan
…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. L
amp
un
g
Pro
v. P
apu
a B
arat
Pro
v. P
apu
a
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. R
iau
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. N
usa
…
Pro
v. J
amb
i
Pro
v. B
angk
a…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. B
engk
ulu
Pro
v. G
oro
nta
lo
Pro
v. S
um
ater
a…
Pro
v. K
alim
anta
n…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. N
usa
…
Pro
v. M
alu
ku
Pro
v. S
ula
wes
i…
Pro
v. M
alu
ku U
tara
Rasio Ketergantungan Daerah Dalam Provinsi
Rasio Ketergantungan Daerah Rasio Ketergantungan Nasional
Ringkasan APBD 2016 Halaman 16
Untuk mengatasi hal tersebut, informasi alokasi dana transfer ke daerah tahun 2016
dipublikasikan pada tanggal 17 November 2015 yaitu berupa informasi alokasi Dana Insentif
Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Fisik, dan Dana Alokasi Khusus Non Fisik.
Dana Bagi Hasil belum dapat diunggah karena masih menunggu data teknis dari
kementerian/lembaga teknis terkait. Kemudian pada tanggal 15 Januari 2016 ditampilkan
Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2015 tentang Rincian APBN Tahun 2016. Perpres
tersebut memuat seluruh alokasi Dana Transfer ke Daerah.
Untuk melihat apabila masalah keterlambatan informasi alokasi masih tetap ada, pada bagian
ini akan disajikan mengenai deviasi antara besaran Dana Transfer ke Daerah (DBH, DAU, dan
DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Transfer ke Daerah
sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif diperoleh jika besaran
alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari Kementerian Keuangan. Hal ini juga
berarti pemerintah bersikap pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya.
Sebaliknya, deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimistis.
b. 10 Daerah dengan Presentase Deviasi Positif dan Negatif terbesar
Nama Daerah Deviasi DAU
Negatif Persentase Deviasi
DAU
Kab. Pemalang (138.933.971.000) 12%
Kota Bitung (45.818.584.000) 9% Kab. Hulu Sungai Selatan (49.410.853.000) 9%
Kab. Langkat (100.994.709.000) 8%
Kab. Batubara (34.362.291.000) 6%
Kota Padangsidimpuan (25.851.815.000) 5%
Kab. Bener Meriah (22.346.629.226) 5%
Kab. Malang (81.722.883.000) 5%
Kab. Banyuwangi (59.041.045.112) 4% Kab. Seram Bagian Timur (16.351.921.000) 3%
Ringkasan APBD 2016 Halaman 17
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi negatif tertinggi. Kabupaten
Pemalang memiliki persentase deviasi DAU negatif tertinggi yaitu 12 persen kemudian diikuti
Kota Bitung dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang memiliki deviasi negatif sebesar 9
persen. Tujuh daerah lainnya persentase deviasi negatifnya di bawah 9 persen.
Nama Daerah Deviasi DAU
Positif Persentase Deviasi DAU
Kota Cimahi 616.893.834.000 105% Kab. Teluk Bintuni 158.605.726.000 29%
Kota Malang 10.683.315.034 1%
Kota Banda Aceh 600.000 0%
Kab. Rote Ndao 344.000 0% Kab. Barito Timur 4.000 0%
Kab. Merauke 5.000 0%
Kab. Takalar 2.000 0% Kab. Pulau Taliabu 1.000 0%
Kab. Tangerang 3.000 0%
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi DAU positif tertinggi. Kota
Cimahi memiliki persentase deviasi DAU positif tertinggi yaitu 105 persen kemudian diikuti
Kabupaten Teluk Bintuni sebesar 29 persen persen dan Kota Malang sebesar 10 persen. Tujuh
daerah lainnya persentase deviasi DAU positifnya sangat kecil mendekati 0 persen.
c. 10 Daerah dengan Presentase Deviasi Positif dan Negatif terbesar DBH
Nama Daerah Deviasi DBH
Negatif Persentase Deviasi DBH
Kab. Timor Tengah Utara (13.840.316.433) 86%
Kab. Teluk Bintuni (380.502.776.217) 84%
Kab. Sumbawa Barat (323.858.616.000) 79%
Kab. Sabu Raijua (5.724.665.000) 69%
Kab. Balangan (616.274.766.000) 65%
Kab. Lombok Utara (33.054.036.442) 64%
Prov. Nusa Tenggara Barat (322.261.265.192) 63%
Kab. Bolaang Mongondow (22.985.428.000) 57%
Kab. Jayawijaya (49.446.473.243) 56% Kota Bima (30.474.192.337) 56%
Ringkasan APBD 2016 Halaman 18
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi DBH negatif tertinggi.
Kabupaten Timor Tengah Utara memiliki persentase deviasi DBH negatif tertinggi yaitu 86
persen kemudian diikuti Kabupaten Teluk Bintuni sebesar 84 persen. Delapan daerah tertinggi
lainnya persentase deviasi negatifnya berada diantara 55 persen sampai dengan 80 persen.
Nama Daerah Deviasi DBH
Positif Persentase Deviasi
DBH
Kab. Nagan Raya
74.565.939.000 325%
Prov. Papua Barat
791.035.728.000 278%
Kota Tanjung Pinang
123.843.228.200 257%
Kab. Bungo
161.096.503.372 243%
Kab. Raja Ampat
112.643.830.000 237% Kab. Kepulauan Anambas
213.101.116.000 209%
Kab. Tulang Bawang
64.989.026.000 195%
Kab. Natuna
329.994.840.553 188%
Kab. Kudus
136.409.656.000 175%
Kab. Pasuruan
153.912.109.743 167%
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi DBH positif tertinggi.
Persentase deviasi kesepuluh daerah di atas lebih dari 100 persen. Kabupaten Nagan Raya
memiliki persentase deviasi DBH positif tertinggi yaitu 325 persen kemudian diikuti Provinsi
Papua Barat, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bungo, Kab. Raja Ampat, dan Kabupaten
Kepulauan Anambas yang deviasi positifnya berada di antara 200 sampai 280 persen. Empat
daerah lainnya yaitu Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kudus, dan
Kabupaten Pasuruan yang deviasinya di antara 166 sampai 196 persen.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 19
d. 10 Daerah dengan Presentase Deviasi Positif dan Negatif terbesar DAK
Nama Daerah Deviasi DAK
Negatif Persentase Deviasi
DAK
Prov. Jawa Timur (5.381.492.090.000) 97%
Prov. Sumatera Utara (2.996.960.296.000) 95%
Prov. Sumatera Selatan
(1.540.885.397.339) 91%
Kota Medan (568.632.648.660) 90%
Kota Bukittinggi (124.346.805.060) 89%
Kab. Tapanuli Selatan (1.119.080.132.792) 89%
Prov. Aceh (868.655.400.000) 85%
Kab. Malang (559.004.909.760) 84%
Prov. Kalimantan Barat
(954.721.627.301) 83%
Prov. Lampung (1.386.009.712.998) 83%
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi DAK negatif tertinggi.
Provinsi Jawa Timur memiliki persentase deviasi DAK negatif tertinggi yaitu 97 persen
kemudian diikuti Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan masing-masing
sebesar 97 persen dan 95 persen. Tujuh daerah lainnya memiliki persentase deviasi negatifnya
berada diantara 82 persen sampai dengan 92 persen.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 20
Nama Daerah Deviasi DAK Positif
Persentase Deviasi DAK
Kab. Sarolangun 38.478.000.000 22%
Kab. Luwu Utara 38.625.750.640 18%
Kab. Soppeng 29.366.359.238 10%
Kota Tidore Kepulauan 5.592.914.305 4%
Kab. Halmahera Tengah 5.006.396.775 4%
Kota Pontianak 8.086.548.093 3%
Kab. Batanghari 2.376.700.000 2%
Kota Tebing Tinggi 270.000.000 0%
Kota Subulussalam 40.000.250 0%
Kab. Lampung Selatan 627.411 0%
Tabel di atas menunjukkan sepuluh daerah yang memiliki deviasi DAK positif tertinggi.
Kabupaten Sarolangun memiliki persentase deviasi DAK positif tertinggi yaitu 22 persen
kemudian diikuti Kabupaten Lawu Utara dan Kabupaten Soppeng masing-masing sebesar 18
persen dan 10 persen. Empat daerah yang memiliki deviasi DAK positif tertinggi lainnya adalah
Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Pontianak, dan Kabupaten
Batanghari memiliki persentase deviasi positifnya masign-masing sebesar 4 persen, 4 persen,
3 persen dan 2 persen. Tiga daerah lainnya memiliki deviasi DAK positif mendekati 0 persen.
Walau demikian, terdapat 13 daerah yang tidak menganggarkan DAK di dalam APBD nya.
Daerah-daerah dimaksud adalah provinsi DKI Jakarta, provinsi Kalimantan Selatan, kabupaten
Banyuwangi, kabupaten Langkat, kabupaten Pemalang, kabupaten Hulu Sungai Selatan,
kabupaten Aceh Utara, kabupaten Kudus, kota Malang, kota Depok, kabupaten Labuhanbatu
Utara, kota Padangsidimpuan, dan kota Bitung.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 21
BAB III ANALISIS DESKRIPSI BELANJA APBD
1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja APBD
Rasio Belanja Pegawai terhadap total belanja daerah adalah sebuah rasio yang mengambarkan
tingkat atau alokasi APBD yang digunakan untuk keperluan belanja pegawai.
Besarnya belanja pegawai yang dialokasikan di dalam APBD, merupakan salah satu indikator untuk
melihat kualitas kebijakan penganggaran daerah
serta kemandirian suatu daerah. Semakin kecil porsi
APBD yang digunakan untuk belanja pegawai, maka
akan semakin besar APBD yang dapat digunakan
untuk belanja yang terkait dengan pelayanan
masyarakat.
Rasio belanja pegawai terhadap total belanja secara
nasional dalam 5 tahun terakhir walaupun masih
tinggi, namun memperlihatkan perkembangan yang
baik. Pada tahun 2012 rasio belanja pegawai
terhadap total belanja mencapai 44,10% menjadi
sebesar 38,54% pada tahun 2016 atau mengalami
penurunan sebesar 5,56% dalam kurun waktu 5
tahun.
Rata-rata rasio belanja pegawai agregat provinsi/
kabupaten/kota pada tahun 2016 adalah sebesar
36,73%. 16 daerah dibawah rata-rata nasional dan
18 daerah di atas rata-rata nasional. Rasio belanja
pegawai tertinggi berada di wilayah Nusa Tenggara
34.00%
36.00%
38.00%
40.00%
42.00%
44.00%
46.00%
2012 20132014
20152016
44.10%
41.93%
39.96% 40.23%38.54%
Rasio Belanja Pegawai terhadap APBD Tahun 2012 s.d 2016
(Konsolidasi)
Rasio Belanja Pegawai Terhadap
APBD Agregat
Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun 2016
46.33%
43.79%
43.12%
42.89%
42.83%
42.09%
42.01%
41.58%
40.92%
40.39%
40.02%
39.35%
38.92%
38.54%
38.03%
37.89%
37.73%
37.45%
36.73%
36.62%
35.61%
35.07%
34.82%
34.50%
34.23%
33.85%
33.75%
32.93%
32.67%
32.39%
31.95%
31.68%
28.18%
23.40%
23.14%
NTB
Sumatera Barat
Sumatera Utara
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Lampung
Jambi
Bengkulu
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Jawa Timur
Bali
Sulawesi Utara
NTT
Sulawesi Tengah
Jawa Barat
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Rata Rata
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Maluku
Sumatera Selatan
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
DKI Jakarta
Sulawesi Barat
Maluku Utara
Riau
Banten
Kalimantan Utara
Aceh
Kalimantan Timur
Papua
Papua Barat
Ringkasan APBD 2016 Halaman 22
Barat yaitu mencapai 46,33% dari total belanja APBD-nya. Besarnya rasio belanja tersebut
menunjukkan belanja APBD untuk wilayah Nusa Tenggara Barat tersebut sebagian besarnya
hanya diperuntukan untuk keperluan rutin belanja pegawai dan administrasi, lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Sedangkan Rasio belanja pegawai yang
terkecil adalah Papua Barat yaitu sebesar 23,14%
Rata rata rasio belanja pegawai terhadap total belanja pemerintah agregat kabupaten/kota
sebesar 42,73%, menunjukkan perbaikan dibanding dengan tahun 2015 yang mencapai 46,9%.
Sebanyak 17 daerah dibawah rata-rata dan sebanyak 17 diatas rata rata. 5 (lima) daerah
dengan rasio tertinggi adalah DI. Yogyakarta, NTB, Jawa tengah, Sumatera Barat dan Sumatera
Utara dengan rasio belanja pegawai masing masing sebesar 53,19%, 52,63%, 51,47%, 49,95%,
dan 49,51%. Sedangkan Rasio belanja agregat kabupaten/kota 5 (lima) terendah adalah Papua,
Papua Barat, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara, yaitu masing-masing
53.19%52.63%51.47%49.95%49.51%48.23%48.13%47.88%46.45%46.29%46.17%45.45%45.34%44.37%43.56%43.09%42.73%42.35%41.68%41.35%41.18%40.54%40.16%40.08%40.01%39.29%39.07%38.29%38.20%37.80%36.21%
33.71%31.03%
27.48%
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Jambi
Lampung
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Gorontalo
Sulawesi Selatan
Bengkulu
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Sulawesi Utara
Rata Rata
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Banten
Sumatera Selatan
Aceh
Kalimantan Barat
Riau
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Maluku
Kalimantan Utara
Maluku Utara
Kalimantan Timur
Papua Barat
Papua
33.85%
27.12%
23.56%
22.47%
21.80%
21.28%
21.23%
20.95%
20.68%
20.47%
20.22%
18.69%
18.39%
18.29%
17.89%
17.69%
17.48%
17.41%
17.28%
17.20%
16.72%
15.84%
15.73%
15.55%
15.26%
14.77%
14.07%
13.16%
12.34%
11.42%
10.56%
9.21%
8.31%
7.79%
7.21%
Prov. DKI Jakarta
Prov. Bengkulu
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. NTB
Prov. Maluku
Prov. Bangka Belitung
Prov. Gorontalo
Prov. Maluku Utara
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Jambi
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Bali
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan BaratProv. Lampung
Prov. Kepulauan Riau
Prov. NTT
Rata Rata
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Sumatera Barat
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Tengah
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Aceh
Prov. Papua
Prov. Banten
Prov. Jawa Barat
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Papua Barat
Rasio Belanja Pegawai Terhadap APBD Agregat Kabupaten/Kota
Tahun 2016
Rasio Belanja Pegawai Terhadap APBD Provinsi
Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 23
rasio belanja pegawainya terhadap total belanja APBD adalah 27,48%, 31,03%, 33,71%,
36,21%, dan 37,80%
Sedangkan untuk kategori provinsi, Rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total belanja
APBD sebesar 17,20% dibawah rata rata rasio belanja pegawai nasional yang mencapai
38,54%. Terdapat 15 daerah dibawah rata-rata dan 19 daerah di atas rata-rata. Rasio belanja
pegawai terbesar terdapat pada Provinsi DKI yaitu sebesar 33,85. Rasio belanja pegawai yang
terendah adalah adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 7,21%. Rendahnya rasio belanja pegawai
untuk provinsi dibandingkan dengan rasio belanja pegawai kabupaten/kota antara lain karena
tanggung jawab dan kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan fungsi pendidikan dan
kesehatan.
berdasarkan kategori wilayah, rata-rata rasio belanjanya adalah 35,20%. Terdapat 4 wilayah
diatas rata-rata dan 3 daerah dibawah rata-rata. Rasio belanja pegawai terhadap total belanja
paling besar adalah daerah yang berada di kepulauan Bali dan Nusa Tenggara yang mencapai
40,88%, dan yang terkecil adalah daerah daerah yang berada di wilayah Papua dan Papua
Barat yaitu sebesar 23,32%. Rendahnya rasio belanja pegawai yang dialokasikan dalam APBD
bagi daerah-daerah diwilayah Papua dan Papua Barat, sejatinya daerah tersebut dapat lebih
leluasa untuk mengalokasikan belanja APBD untuk kegiatan penyediaan sarana dan prasarana
baik dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat maupun untuk menciptakan
kantong kantong pertumbuhan ekonomi di pulau cendrawasih tersebut.
38.18% 38.73%40.88%
38.83%
32.33%34.12%
23.32%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
45.00%
Sumatera Jawa Bali & Nusra Sulawesi Kalimantan Maluku Papua & Papua Barat
Rasio Belanja Pegawai Terhadap APBD Tahun 2016 Berdasarkan Pulau
Ringkasan APBD 2016 Halaman 24
2. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja APBD
Salah satu ukuran kualitas perencanaan
belanja APBD yang baik dapat dilihat dari
porsi belanja APBD yang dialokasikan untuk
perbaikan dan penyediaan sarana dan
prasarana bagi pelayanan masyarakat dan
maupun untuk mendorong munculnya sentra
sentra ekonomi yang tercermin dalam
belanja modal di dalam APBD. Belanja modal
yang besar diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan bagi msayarakat serta
memberikan dampak yang positif bagi
pertumbuhan ekonomi di daerah, yang pada
akhirnya akan meningkatkan potensi-potensi
penerimaan daerah yang baru. Semakin
besarnya rasio belanja modal terhadap
keseluruhan belanja, maka kemampuan
keuangan daerah untuk mengalokasikan
belanjanya pada belanja modal semakin
besar.
Rasio belanja modal terhadap belanja APBD
dalam kurun waktu dari tahun 2012 sampai
dengan tahun 2016 belum menunjukkan
perbaikan yang cukup mengembirakan.
Keberpihakan belanja APBD terhadap
penyediaan infrastruktur di daerah yang
dicerminkan melalui belanja modal, dalam
kurun masih berkisar diangka 23,2% pada tahun 2012, dan menjadi sebesar 23,9% pada tahun
21.0%
22.0%
23.0%
24.0%
25.0%
26.0%
27.0%
2012 2013 2014 20152016
23.2%
24.8%
26.1%
24.7%
23.9%
32.84%
32.70%
30.14%
29.96%
29.94%
28.87%
27.68%
27.37%
27.10%
27.00%
26.74%
26.39%
25.05%
24.38%
24.25%
24.23%
24.15%
23.97%
23.94%
23.67%
23.33%
23.16%
23.14%
22.93%
22.84%
22.53%
21.90%
20.83%
18.70%
18.63%
18.58%
18.51%
18.08%
17.92%
16.55%
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
Sulawesi Barat
Maluku Utara
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Papua
Kalimantan Selatan
Maluku
DKI Jakarta
Papua Barat
Riau
Sumatera Selatan
Banten
Kalimantan Barat
Rata-Rata
NTT
Sulawesi Utara
Jambi
Bengkulu
Bangka Belitung
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Tengah
Aceh
Lampung
Gorontalo
Kepulauan Riau
NTB
Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Rasio Belanja Modal terhadap APBD Tahun 2012 s.d 2016
(Konsolidasi)
Rasio Belanja Modal Terhadap APBD Agregat Provinsi/Kabupaten/Kota
Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 25
Rasio Belanja Modal Terhadap APBD Agregat Kabupaten/Kota
Tahun 2016
Rasio Belanja Pegawai Terhadap APBD Provinsi
Tahun 2016
9.69%
12.40%
12.49%
12.94%
13.35%
13.47%
13.97%
14.04%
14.11%
16.45%
17.85%
19.24%
19.64%
19.91%
20.06%
21.12%
21.26%
21.31%
21.55%
21.66%
22.36%
22.61%
23.08%
23.63%
24.25%
24.32%
24.33%
26.96%
26.96%
27.00%
28.27%
28.97%
29.38%
31.83%
38.60%
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Barat
Prov. Sumatera Utara
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Bangka Belitung
Prov. Jawa Tengah
Prov. Bali
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. NTT
Prov. NTB
Prov. Banten
Prov. Lampung
Prov. Aceh
Rata Rata
Prov. Papua Barat
Prov. Papua
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Gorontalo
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Riau
Prov. Bengkulu
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sumatera Barat
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Maluku
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Jambi
Prov. Maluku Utara
Prov. Sulawesi Barat
15.93%
17.32%
18.56%
19.38%
20.06%
20.67%
20.80%
21.76%
22.39%
22.88%
23.18%
23.42%
23.68%
23.89%
24.00%
24.41%
25.06%
25.22%
25.28%
25.79%
26.17%
26.64%
26.94%
27.00%
27.14%
27.69%
28.82%
29.02%
29.45%
29.45%
29.71%
31.09%
33.51%
35.80%
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
NTB
Bali
Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Timur
Gorontalo
Jambi
Sumatera Barat
Lampung
Kepulauan Riau
Bengkulu
Sulawesi Utara
Aceh
Sulawesi Tengah
Rata-Rata
Sulawesi Selatan
NTT
Sumatera Selatan
Banten
Bangka Belitung
Kalimantan Barat
Sulawesi Barat
Maluku
Riau
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Papua Barat
Maluku Utara
Papua
Kalimantan Utara
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
2016. Pada tahun 2014 rasio belanja modal terhadap belanja APBD merupakan yang tertinggi
yaitu mencapai 26,1%, namun sayangnya pada tahun 2015 dan tahun 2016 mengalami
penurunan yaitu masing-masing menjadi 24,7% dan sebesar 23,9%
Rendahnya rasio belanja modal terhadap belanja APBD pada tahun 2016, bisa jadi disebabkan
oleh 2 faktor utama yaitu, yang pertama adanya kewajiban bagi pemerintah daerah yang akan
melaksanakan Pilkada pada tahun 2017 untuk mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan
Pilkada dalam APBD, yang kedua karena adanya ketidakpastian penerimaan daerah yang
bersumber dari DBH khususnya DBH Migas dan pertambangan, sehingga bagi daerah yang
mengandalkan sumber penerimaannya dari DBH, cenderung belum berani untuk
menggangarkan belanja modal yang besar di dalam APBDnya.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 26
22.83%
19.71%20.60%
25.33%
29.03% 28.37%27.42%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
Sumatera Jawa Bali & Nusra Sulawesi Kalimantan Maluku Papua & Papua Barat
Rata-rata rasio belanja modal dalam APBD tahun 2016 untuk agregat provinsi/kabupaten/kota
adalah sebesar 24,23%. Rasio alokasi belanja modal terhadap dengan total belanja ABPD
terbesar terdapat pada wilayah Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 32,84%, dan yang terendah
terdapat pada wilayah Jawa Tengah, yaitu sebesar 16,55% .
Untuk ageragat kabupaten/kota dalam satu provinsi rata-rata rasio belanja modalnya
sebesar25,06%, terdapat sebanyak 17 daerah di atas rata dan 17 daerah dibawah rata-rata.
Rasio alokasi belanja modal yang terbesar adalah wilayah Kalimantan Tengah yang
mengalokasikan belanja modal mencapai 35,80% dalam APBD tahun 2016. Adapun lima
wilayah yang cukup besar mengalokasikan belanja modal dibandingkan dengan daerah daerah
lainnya adalah wilayah Sulwesi Tenggara, Kalimantan Utara, Papua, dan Maluku Utara,.
Sedangkan yang paling dalam mengalokasikan belanja modalnya adalah wilayah DI. Yogyakrta,
Jawa tengah, NTB, Bali, dan Sumatera Utara, yang hanya mengalokasikan belanja modal
berkisar 15,93% s.d 20,06% jauh dibawa rasio belanja modal nasional sebesar 23,9%.
Apabila dilihat berdasarkan kategori provinsi, provinsi yang mempunyai rasio belanja modal
paling besar adalah Provinsi Sulwesi Barat yaitu mengalokasikan belanja modal dalam APBD
2016 mencapai 38,60% dari total belanja APBD. Cukup besarnya alokasi belanja modal dalam
APBD Provinsi Sulawesi Barat bisa jadi adalah adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
yang dicanangkan dalam RPJMN 2015-2019 Provinsi Sulawesi Barat sebesar 8,1 – 10,4. Salah
cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut dengan meningkatkan pembangunan
infrastruktur. 5 (lima) besar provinsi yang mempunyai rasio belanja modal besar adalah
Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Jambi, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan
Provinsi Kalimantan Tengah, dengan masing-masing rasio belanja modal terhadap total belanja
APBD adalah 38,60%, 3183%, 29,38%, 28,97, dan 28,27%.
Sedangkan rasio alokasi belanja modal yang paling kecil adalah Provinsi Jawa Timur yang hanya
mengalokasikan belanja modal sebesar 9,65% dari total belanja APBD Tahun 2016, kemudian
Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Selatan yang hanya mengalokasikan
belanja modal berkisar 12% di dalam APBD tahun 2016.
Rasio Belanja Modal Terhadap APBD Tahun 2016 Berdasarkan Pulau
Ringkasan APBD 2016 Halaman 27
Rasio belanja modal terhadap total belanja APBD tahun 2016 dilihat berdasarkan kategori
wilayah , wilayah yang terbesar ada di daerah yang berada di pulau Kalimantan, Maluku, serta
Papau dan Papua Barat. Rasio belanja modalnya untuk daearh di wilayah tersebut jauh lebih
besar dari rasio belanja modal nasional yaitu masing-masing mencapai 29,03%, 28,37% dan
27,42%. Tingginya rasio belanja modal yang dialokasikan di dalam APBD bagi daerah daerah
yang ada di ketiga pulau tersebut adalah untuk meningkatkan dan menambah infrastruktur
yang apabila dibandingkan dengan wilayah dipulau Jawa dan Sumatera masih jauh ketinggalan.
Alokasi rasio belanja modal yang rendah berdasarkan pulau adalan pulau Jawa dan Bali yang
hanya mengalokasikan belanja modal dalam APBD tahun 2016 sebesar 19,71% dan 20,60% dari
total belanja APBD.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 28
3. Rasio Belanja Barang Dan Jasa Terhadap Total Belanja Apbd
Belanja barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan
serta pengadaan barang dan jasa yang habis pakai seperti alat tulis kantor,
penggadaan/penggantian peralatan kantor yang nilainya tidak memenuyhi syarat nilai
kapitalisasi minimum, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran yang bersifat non fisik
dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi SKPD di pemerintah daerah.
Rasio Belanja Barang dan Jasa Terhadap Total Belanja Daerah adalah sebuah rasio yang
menggambarkan alokasi belanja APBD yang akan digunakan untuk belanja Barang dan Jasa.
Perlakuan akuntasi terhadap belanja barang
dapat dikelompokkan menjadi (1) Belanja
Pengadaan Barang dan Jasa, merupakan
belanja pengadaan barang yang tidak
memenuhi nilai kapitalisasi dalam laporan
keuangan, dikategorikan kedalam belanja
barang operasional dan belanja barang non
operasional, tidak termasuk Belanja
Pengadaan Jasa Konsultan; (2) Belanja
pemeliharaan yang dikeluarkan dan tidak
menambah dan memperpanjang masa
manfaat dan atau kemungkinan besar tidak
memberi manfaat ekonomi di masa yang akan
datang dalam bentuk kapasitas, mutu
produksi, atau peningkatan standar kinerja; (3)
Belanja perjalanan yang dikeluarkan tidak
untuk tujuan perolehan asset tetap
dikategorikan sebagai belanja perjalanan
dalam laporan keuangan.
19.5%
20.0%
20.5%
21.0%
21.5%
22.0%
22.5%
2012 2013 2014 2015 2016
20.7%20.9%
22.3%
22.0%
21.4%
Rasio Belanja Barang dan Jasa terhadap APBD Tahun 2012 s.d 2016
(Konsolidasi)
27.73%
26.76%
24.01%
23.92%
23.69%
23.52%
23.26%
22.72%
22.63%
22.14%
21.99%
21.98%
21.85%
21.66%
21.57%
21.51%
21.09%
20.99%
20.89%
20.88%
20.45%
20.21%
20.14%
20.05%
19.88%
19.32%
18.30%
18.08%
17.99%
17.88%
17.79%
17.69%
17.60%
15.96%
15.01%
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Papua Barat
Papua
Banten
Maluku
Riau
Maluku Utara
Bangka Belitung
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
DI Yogyakarta
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Rata-rata
Sulawesi Selatan
Aceh
Kalimantan Barat
Sulawesi Barat
Jawa Timur
Bengkulu
Sumatera Barat
Bali
Sumatera Utara
Jambi
NTB
Jawa Barat
NTT
Lampung
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Rasio Belanja Barang dan Jasa Terhadap APBD Agregat
Prov/Kabupaten/Kota Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 29
Rasio belanja Barang dan Jasa terhadap total belanja APBD dalam 5 tahun ini cendrung
mengalami kenaikan walaupun kenaikan berfluktuatif dan tidak terlalu tinggi. Pada tahun 2012
rasio belanja barang dan jasa terhadap total belanja adalah sebesar 20,7% dan mengalami
kenaikan pada tahun 2013 menjadi 20,9%. Kenaikan cukup besar terjadi pada tahun 2014 yaitu
mencapai 22,3% dan kemudian mengalami penurunan sehingga menjadi 21,4% pada tahun
2016.
Penurunan rasio belanja belanja barang dan jasa mulai tahun 2014 sampai dengan 2016,
walaupun tidak cukup tinggi, namun dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah sudah mulai
dapat melakukan efisiensi terhadap pengeluaran yang tidak bersentuhan langsung dengan
penyediaan pelayanan kepada masyarakat seperti belanja perjalanan serta penyediaan belanja
operasional perkantoran.
Rasio Belanja Barang dan Jasa Terhadap APBD Agregat
Kabupaten/Kota Tahun 2016
25.27%
24.96%
24.67%
23.20%
22.69%
22.64%
22.51%
22.25%
21.29%
21.18%
20.85%
20.78%
20.77%
20.76%
20.45%
20.29%
20.22%
20.20%
20.13%
19.90%
19.86%
19.62%
19.29%
19.25%
19.04%
18.84%
17.94%
17.85%
17.36%
17.07%
16.95%
16.71%
16.65%
15.20%
Banten
Papua
Kepulauan Riau
Papua Barat
Riau
Sumatera Selatan
Maluku
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
DI Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
Kalimantan Utara
Kalimantan Selatan
Jawa Barat
Rata-rata
Sulawesi Tengah
Bali
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Gorontalo
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Bengkulu
NTT
Jambi
Lampung
Jawa Tengah
Aceh
NTB
Sulawesi Tenggara
32.81%
30.93%
29.37%
28.66%
28.48%
27.99%
27.92%
27.73%
27.31%
27.15%
25.96%
25.63%
24.71%
24.37%
23.11%
22.64%
22.55%
22.50%
22.43%
21.52%
21.44%
20.81%
20.66%
20.17%
19.76%
19.72%
19.62%
19.51%
17.03%
16.82%
14.80%
13.94%
13.48%
12.77%
10.59%
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Aceh
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Maluku Utara
Prov. Maluku
Prov. Bangka Belitung
Prov. DKI Jakarta
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Papua Barat
Prov. Riau
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Barat
Prov. NTB
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sulawesi Utara
Rata Rata
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Jawa Timur
Prov. Papua
Prov. Jambi
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Sumatera Barat
Prov. Banten
Prov. Sumatera Selatan
Prov. NTT
Prov. Sumatera Utara
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bali
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Barat
Rasio Belanja Barang dan Jasa Terhadap APBD Provinsi
Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 30
Rata-rata rasio belanja dan jasa terhadap APBD agregat Provinsi/Kabupaten/Kota adalah
20,89%. Sebanyak 16 Daerah berada dibawah rata-rata dan serta sebanyak 18 daerah di atas
rata-rata. DKI mempunyai rasio belanja barang dan jasa paling besar dibanding dengan wilayah
lainnya yaitu mencapai 27,73%. Daerah yang mempunyai rasio belanja barang dan jasa yang
cukup besar berikutnya adalah Kepulauan Riau, Papua Barat, Papua dan Banten yaitu masing-
masing rasio belanja barang dan jasa terhadap total belanja sebesar 26,76%, 24,01%, 23,92%,
dan 23, 69%. Tinggi rasio belanja barang jasa terhadap total belanja bagi daerah daerah
tersebut di atas, khususnya bagi daerah daerah yang masih membutuhkan pendanaan untuk
penyediaan infrastuktur akan mengurangi kemandirian atau keleluasaan daerah dalam
penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat maupun
menciptakan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan daerah yang mempunyai rasio belanja barang dan jasa paling kecil untuk agregat
provinsi/kabupaten/kota adalah daerah daerah di wilayah Sulawesi Tengara, Jawa Tengah,
Lampung, NTT dan Jawa Barat yang mempunya rasio belanja barang dan jasa terhadap APBD
sebesar 15.01%, 15,96%, 17,60% , 17,69% dan 17,88%.
Rata rata rasio belanja barang dan jasa untuk agregat kabupaten/kota adalah sebesar 20,20%.
Sebanyak 16 daerah dibawah rata-rata dan sebanyak 18 daerah di atas rata-rata. Daerah
Banten mempunyai rasio belanja barang dan jasa yang besar dibandingkan dengan daerah
diwilayah lain yaitu mencapai 25,27%. Dan yang terkecil adalah wilayah Sulawesi Tenggara,
NTB, Aceg, Jawa Tengah dan Lampung mempunyai rasio belanja barang dan jasa sebesar
15,20%, 16,65%, 16,71%, 16,95%, dan 17,07%.
Rata rata rasio belanja barang dan jasa untuk Provinsi mencapai 22,43% , lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan rata-rata agregat kabupaten/kota sebesar 20,20%. Terdapat sebanyak 22
daerah propinsi yang rasio belanja barang dan jasanya di atas rata-rata.
Rasio belanja barang dan jasa yang terbesar adalah Provinsi Kepulauan Riau yaitu mencapai
32,81% jauh melampaui rasio belanja tertinggi agregat kabupaten/kota sebesar 25,27%.
Rasio belanja barang dan jasa terendah adalah Prov. Jawa Barat sebesar 10,59% , Provinsi Jawa
Tengah 12,77%, Provinsi Bali 13,48%, Provinsi Sulawesi Tenggara 13,94% dan Provinsi
Sumatera Urata 14,80%.
Rasio Belanja Barang dan Jasa Terhadap APBD Tahun 2016 Berdasarkan Wilayah
20.31% 19.95%17.95%
20.14% 21.32%23.16% 23.95%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
Sumatera Jawa Bali & Nusra Sulawesi Kalimantan Maluku Papua & Papua Barat
Ringkasan APBD 2016 Halaman 31
Rata rata rasio belanja barang dan jasa per wilayah adalah sebesar 20,97%. Wilayah
Kalimantan, Maluku, serta Papua dan Papua barat di atas rata-rata wilayah.
Rasio belanja barang dan jasa tertinggi terdapat diwilayah Papua dan Papua Barat yaitu
mencapai 23,93%, dan diikuti oleh wilayah Maluku yaitu sebesar 23,16% sedangkan yang
terendah adalah wilayah Sulawesi yaitu sebesar 17,95%.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 32
4. Rasio Belanja Hibah Dan Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Apbd
Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah
atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan
tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang
penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah
kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus
menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko
sosial.
Pemberian hibah dan bantuan sosial sangat penting sekali digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat individu maupun
kelompok terutama yang membutuhkannya,
sepanjang pengusulan dan pemberiannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Rasio Belanja hibah dan bantuan sosial merupakan
rasio yang mengambarkan seberapa tingkat alokasi
belanja APBD yang digunakan/dialokasikan untuk
belanja hibah dan bantuan sosial.
Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun, dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2016 rasio alokasi belanja
hibah dan bantuan sosial cendrung mengalami
penurunan didalam APBD yang sempat mengalami
kenaikan pada tahun 2013 yaitu sebesar 8,05% dari
sebelumnya sebesar 7,50% pada tahun 2012. Mulai
tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 terus
mengalami penurunan yaitu sebesar 6,71% tahun
2014 menurun pada tahun 2015 menjadi 6,51%
dan pada tahun 2016 mengalami penurunan
kembali menjadi 6,44%.
0.00%
5.00%
10.00%
2012 2013 2014 2015 2016
7.50% 8.05%6.71%
6.51% 6.44%
Rasio Belanja Hibah dan Bantuan Sosial Terhadap APBD
Tahun 2012 s.d 2016 (Konsolidasi)
9.80%
8.47%
7.36%
7.10%
6.85%
6.80%
6.74%
6.61%
6.60%
6.52%
6.34%
6.11%
5.83%
5.72%
5.70%
5.49%
5.42%
5.20%
4.90%
4.76%
4.68%
4.65%
4.64%
4.60%
4.44%
4.34%
4.33%
4.26%
4.15%
4.03%
4.02%
3.98%
3.73%
2.90%
2.67%
Jawa Barat
DKI Jakarta
Banten
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Bali
Jawa Timur
Sumatera Utara
NTT
Sulawesi Barat
Papua Barat
Kalimantan Barat
Papua
NTB
Lampung
Rata Rata
Gorontalo
Kepulauan Riau
Maluku
Sumatera Barat
Jambi
Riau
Kalimantan Timur
Aceh
Kalimantan Utara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Kalimantan…
Bangka Belitung
Sulawesi Tengah
Maluku Utara
Sulawesi Selatan
Kalimantan…
Bengkulu
Rasio Belanja Hibah dan Bantuan Soaial Terhadap APBD Agregat
Prov/Kabupaten/Kota Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 33
Rata rata rasio belanja hibah dan belanja bantuan sosial terhadap APBD agregat
Provinsi/Kabupaten/Kota sebesar 5,42%. Sebanyak 18 daerah di atas rata-rata dan sebanyak
16 daerah di bawah rata-rata. Rasio belanja hibah dan bantuan sosial terbesar adalah wilayah
Jawa Barat sebesar 9,80% yang diikuti oleh DKI Jakarta, Banten, Sumatera Selatan dan Jawa
Tengah masing-masing sebesar 8,47%, 7,36%, 7,10% dan 6,85%. Sedangkan yang terendah
adalah Bengkulu sebesar 2,67%.
Rata-rata agregat Kabupaten/Kota yaitu sebesar 1,71% jauh dibawa rata-rata nasional sebesar
6,44%. Sebanyak 20 daerah dibawah rata-rata dan sebanyak 14 daerah di atas rata-rata.
Daerah yang paling tinggi rasio belanja hibah dan bantuan sosialnya adalah daerah papua
sebesar 4,86% yang selanjutnya di ikuti oleh daerah papua barat sebesar 4,62%. Sedangkan
daerah yang paling rendah adalah daerah Bengkulu sebesar 0,48% selanjutnya diikuti oleh
daerah Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah , NTT, Sumatera Selatan dan
Gorontali yang mempunyai rasio belanja hibah dan bantusan sosial dibawah 1%.
4.86%
4.62%
2.67%
2.44%
2.39%
2.26%
2.11%
2.10%
2.03%
1.87%
1.84%
1.80%
1.79%
1.71%
1.69%
1.66%
1.66%
1.55%
1.54%
1.53%
1.43%
1.41%
1.34%
1.23%
1.22%
1.14%
1.10%
0.99%
0.93%
0.87%
0.80%
0.69%
0.52%
0.48%
Papua Barat
Papua
Kalimantan Utara
Maluku
Kalimantan Timur
Bali
Jawa Timur
Aceh
Kepulauan Riau
Kalimantan Barat
DI Yogyakarta
Sulawesi Barat
Riau
Rata-Rata
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Lampung
Banten
Jawa Tengah
NTB
Maluku Utara
Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Jambi
Sumatera Utara
Gorontalo
Sumatera Selatan
NTT
Sulawesi Tengah
Sumatera Barat
Sulawesi Selatan
Bengkulu
37.98%
36.30%
33.84%
30.38%
24.08%
23.92%
22.77%
22.70%
21.90%
21.66%
21.12%
21.10%
20.32%
19.72%
19.39%
18.60%
18.45%
18.31%
18.08%
18.07%
16.94%
15.00%
14.19%
13.53%
13.22%
11.88%
11.45%
11.09%
10.61%
10.03%
9.44%
9.17%
8.68%
8.65%
8.47%
Prov. NTT
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Jawa Barat
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatera Barat
Prov. Banten
Prov. NTB
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Lampung
Prov. Bali
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Barat
Prov. DI Yogyakarta
Rata-Rata
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Jambi
Prov. Maluku
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Maluku Utara
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Riau
Prov. Bangka Belitung
Prov. Bengkulu
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Aceh
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Papua
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Papua Barat
Prov. DKI Jakarta
Rasio Belanja Hibah dan Bantuan Soaial Terhadap APBD Agregat
Kabupaten/Kota Tahun 2016
Rasio Belanja Hibah dan Bantuan Soaial Terhadap APBD Provinsi
Tahun 2016
Ringkasan APBD 2016 Halaman 34
Sedangkan untuk propinsi rata rata rasio belanja hibah dan bantusan sosialnya jauh di atas
rata-taya nasional yaitu mencapai 18,31%. Sebanyak 17 propinsi di atas rata-rata dan sebanyak
17 daerah dibawah rata-rata.
Provinsi NTT yang mempunyai rasio belanja hibah dan bantuan sosial yang besar yaitu
mencapai 37,98% yang selanjutnya diikuti olh Provinsi Sumatera Selatan sebesar 36,20%,
Provinsi Jawa barat sebesar 33,84%, Provinsi Sumatera Utara sebesar 30,38% dan Provinsi
Jawa Tengah sebesar 24,08%. Besarnya angka Rasio belanja hibah dan bantuan sosial didalam
APBD masing-masing provinsi di atas sangat mengkwatirkan, apalagi kalau dibandingkan
dengan belanja APBD yang dialokasikan untuk belanja modal yang masih sangat minim sekali.
Rasio belanja hibah dan bantuan sosial bagi daerah provinsi yang terendahpun masih di atas
rata-rata nasional yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 8,47%, Provinsi Papua Barat sebesar
8,65%, Provinsi Kalimantan Utara sebesar 8,68%, Provinsi Papua 9,17%, dan Provinsi
Kalimantan Selatan sebesar 9,44%.
Rata-rata rasio belanja hibah dan bantuan sosial per wilayah adalah sebesar 5,48%. 3 (tiga)
wilayah di atas rata-rata dan 4 (empat) wilayah dibawah rata-rata. Wilayah yang mempunyai
rasio belanja hibah dan bantusan sosial terbesar adalah wilayah Bali dan nusa tengara yang
mencapai 7,83% dan yang terendah adalah wilayah Sulawesi sebesar 4,25%.
5.28%
7.83%
6.38%
4.25% 4.38% 4.41%
5.83%
0.00%
1.00%
2.00%
3.00%
4.00%
5.00%
6.00%
7.00%
8.00%
9.00%
Sumatera Jawa Bali & Nusra Sulawesi Kalimantan Maluku Papua & Papua Barat
Rasio Belanja Hibah dan Bantuan Sosial Terhadap APBD Tahun 2016
Berdasarkan Pulau
Ringkasan APBD 2016 Halaman 35
BAB IV Analisis Deskripsi Pembiayaan Daerah
1. Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Defisit daerah merupakan selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah dalam
tahun anggaran yang sama, dimana ditutup dengan penerimaan pembiayaan daerah yang
bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan,
hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman daerah, dan/atau penerimaan
pembiayaan lainnya.
Rasio ini digunakan untuk mengukur proporsi defisit daerah terhadap total pendapatan daerah
dalam rangka pengendalian batas maksimal kumulatif defisit APBD dalam batasan yang aman
secara nasional.
Semakin besar defisit daerah, semakin besar pula belanja daerah yang tidak dapat didanai oleh
pendapatan daerah, sehingga pemerintah daerah harus menganggarkan sumber-sumber
pembiayaan yang akan digunakan dalam menutup defisit tersebut.
Rasio defisit daerah terhadap total pendapatan daerah secara nasional pada kurun waktu 5
(lima) tahun terakhir relatif mengalami tren fluktuatif. Rasio defisit daerah pada tahun 2012
mencapai 7,4% dan kemudian meningkat menjadi 8,3% pada tahun 2013. Adapun pada tahun-
tahun berikutnya, rasio defisit terus mengalami penurunan menjadi sebesar masing-masing
7,7%, 7,3%, dan 6,1% pada tahun 2014, 2015, dan 2016. Penurunan rasio ini menunjukkan
bahwa secara umum daerah berhasil dalam mengendalikan batasan defisitnya secara aman.
Rasio Defisit Terhadap Total Pendapatan Daerah
Tahun 2012 s.d. 2016
Jika dilihat per agregat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota dalam provinsi), daerah dengan
rasio defisit tertinggi pada tahun 2016 adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Utara yang
mencapai 28,6% dari total pendapatan daerah. Sedangkan daerah dengan rasio defisit
terendah adalah daerah se-Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sebesar 0,7% dari total
pendapatan daerah.
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 36
Untuk kategori provinsi, rasio defisit tertinggi adalah Provinsi Riau dengan rasio sebesar 44,6%
dari total pendapatan daerah. Adapun provinsi dengan rasio defisit terendah adalah Provinsi
Nusa Tenggara Barat dengan rasio sebesar 0,0% dari total pendapatan daerah.
Untuk kategori kabupaten dan kota se-provinsi, kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan
Utara merupakan daerah dengan rasio defisit tertinggi secara nasional yakni sebesar 25,3%.
Lain halnya dengan kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat mempunyai rasio defisit
terendah secara nasional yakni mencapai 0,0%.
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total
Pendapatan Daerah, Agregat Provinsi,
Kabupaten, dan Kota
Tahun 2016
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total
Pendapatan Daerah, Pemerintah Provinsi
Tahun 2016
Sumber: DJPK, data diolah Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 37
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Tahun 2016
Namun demikian, jika dikelompokkan per wilayah, maka wilayah kalimantan memiliki rasio
defisit daerah tertinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Berdasarkan Wilayah
Tahun 2016
Sumber: DJPK, data diolah
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 38
2. Daerah dengan Defisit Daerah yang Tidak Dapat Ditutup oleh Pembiayaan Daerah
Berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa jumlah pembiayaan neto harus
dapat menutup defisit anggaran. Namun demikian, pada setiap tahun anggaran terdapat
beberapa daerah yang tidak dapat menutup keseluruhan nilai defisit dengan pembiayaan
daerah (neto) atau disebut daerah yang menganggarkan selisih kurang pembiayaan
anggaran (SiKPA).
Pada grafik di bawah ini, dapat dilihat perkembangan jumlah daerah dan jumlah nilai
kumulatif SiKPA pada periode tahun 2012 s.d. 2016.
Perkembangan Jumlah Daerah dan Kumulatif SiKPA
Tahun 2012 s.d. 2016
Jumlah daerah yang menganggarkan SiKPA pada periode tahun 2012 s.d. 2016 mengalami
tren fluktuatif yakni berkisar antara 5 (lima) hingga 22 daerah. Adapun nilai kumulatif SiKPA
berada pada kisaran Rp33,9 miliar hingga Rp725,8 miliar. Melihat kondisi dimaksud, perlu
kiranya diambil langkah strategis oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian
Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri) untuk memberikan pembinaan dan bimbingan
teknis kepada daerah yang menganggarkan SiKPA agar ke depan dapat menerapkan pola
penganggaran yang lebih realistis. Secara normatif, penganggaran SiKPA tidak layak
diterapkan karena akan menimbulkan ketidakpastian sumber pendanaan dalam belanja
daerah.
Berikut ini disajikan daftar daerah yang menganggarkan SiKPA pada tahun anggaran 2016.
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 39
Daerah yang Menganggarkan SiKPA pada Tahun 2016
No. Nama Daerah
SiKPA
(dalam juta
rupiah)
Persentase terhadap
Belanja Daerah
1 Kab. Lampung Timur -116.293,1 5,63%
2 Kab. Donggala -80.000,0 0,48%
3 Kota Ternate -52.205,1 0,03%
4 Kab. Pulau Morotai -19.848,5 0,15%
5 Kab. Cirebon -16.205,2 0,15%
6 Kota Semarang -6.368,4 0,01%
7 Kab. Tegal -4.000,0 0,00%
8 Kab. Konawe -3.000,0 6,31%
9 Kab. Bulukumba -801,8 0,06%
10 Kota Cirebon -500,0 0,20%
11 Kab. Banyuwangi -153,0 5,47%
12 Kab. Blitar -3,3 2,87%
Dari kedua belas daerah dimaksud, terdapat 1 (satu) daerah juga yang menganggarkan
SiKPA pada tahun 2015 yakni Kabupaten Pulau Morotai sebesar Rp23,4 miliar.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan Pembiayaan mencakup SiLPA tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana
cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah
dan obligasi daerah, serta penerimaan kembali pemberian pinjaman. Pada grafik di bawah
ini, dapat digambarkan penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota. Penerimaan
pembiayaan baik di provinsi maupun kabupaten/kota didominasi dari SiLPA tahun anggaran
sebelumnya. Di tingkat provinsi, SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencapai 96,6% dari
keseluruhan nilai penerimaan pembiayaan, sedangkan tingkat kabupaten/kota mencapai
93,3%.
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 40
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2016
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap Total Penerimaan Pembiayaan
Pengeluaran Pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal
(investasi) daerah, pembayaran pokok hutang, pemberian pinjaman daerah, pembayaran
kegiatan lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga. Secara umum, penyertaan
modal (investasi) daerah pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan komponen
terbesar dari pengeluaran pembiayaan. Porsi pengeluaran pembiayaan yang digunakan
untuk melakukan penyertaan modal (investasi) daerah mencapai 78,8% untuk tingkat
provinsi dan sebesar 48,1% untuk kabupaten/kota. Komponen selanjutnya yang mempunyai
nilai cukup signifikan adalah pembayaran pokok hutang, yang memiliki porsi sebesar 13,5%
di tingkat provinsi dan 39,8% di tingkat kabupaten/kota.
Sumber: DJPK, data diolah
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 41
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2016
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap Total Pengeluaran Pembiayaan
4. Rasio SiLPA Tahun Sebelumnya terhadap Total Belanja Daerah
Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya adalah selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran pada periode tahun sebelumnya. SiLPA terjadi jika
nilai total pendapatan daerah ditambah dengan penerimaan pembiayaan melebihi nilai
penjumlahan dari total belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan. Adapun faktor yang
mendorong terjadinya SiLPA antara lain pelampauan target pendapatan daerah dan
penyerapan belanja daerah yang kurang optimal. Nilai SiLPA pada tahun sebelumnya akan
digunakan dalam APBD tahun berjalan sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan
terbesar dalam rangka menutup defisit daerah.
Rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap total belanja daerah digunakan untuk mengukur
proporsi SiLPA tahun sebelumnya dalam mendanai belanja daerah pada tahun berjalan.
Rasio SiLPA yang besar mengindikasikan adanya kekurangcermatan daerah dalam proses
penyusunan APBD maupun munculnya kendala dalam pelaksanaan APBD, sehingga
Sumber: DJPK, data diolah
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 42
penyerapan anggaran belanja menjadi kurang optimal tahun anggaran sebelumnya. Kurang
optimalnya penyerapan anggaran belanja mengakibatkan adanya saldo (SiLPA) yang
merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan.
Rasio SiLPA Tahun Anggaran sebelumnya/total belanja daerah secara nasional pada kurun
waktu 5 (lima) tahun terakhir mengalami pasang surut. Pada periode 2012 s.d. 2014, rasio
SiLPA mengalami kenaikan yang artinya terdapat indikasi penyerapan belanja yang kurang
optimal di tahun 2011 s.d. 2013. Adapun pada tahun 2015 dan 2016, rasio SiLPA mengalami
penurunan sehingga dapat dikatakan penyerapan belanja pada tahun 2014 dan 2015
cenderung lebih baik dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Rasio SiLPA Tahun Anggaran Sebelumnya/Total Belanja Daerah
Tahun 2012 s.d. 2016
Jika dilihat per agregat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota dalam provinsi), daerah
dengan rasio SiLPA tertinggi pada tahun 2016 adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Utara
yang mencapai 25,2% dari total belanja daerah. Sedangkan daerah dengan rasio SiLPA
terendah adalah daerah se-Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sebesar 1,8% dari total
belanja daerah.
Untuk kategori provinsi, rasio SiLPA tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara dengan rasio
sebesar 33,0% dari total belanja daerah. Adapun provinsi dengan rasio SiLPA terendah
adalah Provinsi Sumatera Utara dengan rasio hampir mendekati nol persen dari total
belanja daerah.
Untuk kategori kabupaten dan kota se-provinsi, kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan
Utara merupakan daerah dengan rasio SiLPA tertinggi secara nasional yakni sebesar 22,3%.
Lain halnya dengan kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat mempunyai rasio SiLPA
terendah secara nasional yakni mencapai 1,6%.
Sumber: DJPK (2016), data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 43
Rasio SiLPA Tahun Anggaran
Sebelumnya/Total Belanja Daerah, Agregat
Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2016
Rasio SiLPA Tahun Anggaran
Sebelumnya/Total Belanja Daerah, Pemerintah
Provinsi Tahun 2016
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Tahun 2016
Sumber: DJPK (2016), data diolah Sumber: DJPK (2016), data diolah
Sumber: DJPK (2016), data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 44
Apabila dikelompokkan per wilayah, maka wilayah kalimantan memiliki rasio defisit daerah
tertinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Rasio SiLPA Tahun Anggaran Sebelumnya/Total Belanja Daerah
Berdasarkan Wilayah Tahun 2016
5. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
Pemerintah daerah dapat menganggarkan penerimaan pinjaman daerah dan obligasi
daerah sebagai salah satu sumber dalam menutup defisit APBD. Pinjaman daerah adalah
semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima
manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban
untuk membayar kembali. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, daerah
lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.
Secara umum, pinjaman daerah dan obligasi daerah belum menjadi sumber utama dalam
pembiayaan daerah, dimana jumlah daerah yang menganggarkan penerimaan pinjaman
dan obligasi daerah hanya mencapai 34 daerah atau 6,3% dari total pemerintah daerah.
Jika dilihat per agregat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota dalam provinsi), daerah
dengan nilai penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah terbesar adalah daerah se-
Provinsi Sulawesi Tenggaran yang mencapai Rp465,6 miliar.
Untuk kategori provinsi, Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya provinsi yang
menganggarkan penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah. Penerimaan pinjaman
daerah dan obligasi daerah ini merupakan bagian dari penerusan pinjaman luar negeri dari
pemerintah pusat yang diterima dari Jepang untuk pembangunan Mass Rapid Transit.
Adapun dari nilai total pinjaman luar negeri sebesar ¥125,2 miliar (setara Rp16,0 triliun),
sebanyak 49% (¥61,3 miliar setara Rp7,8 triliun) diteruskan dalam bentuk hibah kepada
Provinsi DKI Jakarta dan sisanya sebanyak 51% (¥63,9 miliar setara Rp8,2 triliun) atau
disalurkan dalam bentuk penerusan pinjaman luar negeri.
Untuk kategori kabupaten dan kota se-provinsi, kabupaten dan kota se-Provinsi Sulawesi
Tenggara merupakan daerah dengan nilai penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah
terbesar yakni mencapai Rp465,6 miliar.
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 45
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi
Daerah, Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Tahun 2016
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi
Daerah, Pemerintah Provinsi
Tahun 2016
Rasio Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Tahun 2016
Sumber: DJPK, data diolah
Sumber: DJPK (2016), data diolah
Sumber: DJPK, data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 46
6. Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
Komponen terbesar dari pengeluaran pembiayaan daerah adalah penyertaan modal
(investasi) daerah. Pada grafik di bawah ini, disajikan nilai penyertaan modal (investasi)
daerah pada periode 2012 s.d. 2016. Jika pada periode tahun 2012 hingga 2015, proporsi
penyertaan modal (investasi) daerah dari pengeluaran pembiayaan selalu mengalami
kenaikan masing-masing 58,0% (2012), 66,7% (2013), 78,7% (2014), dan 79,8% (2015), maka
pada tahun 2015, proporsinya menurun menjadi hanya sebesar 67,4% dari total
pengeluaran pembiayaan.
Penurunan proporsi ini ditengarai sebagai akibat dari adanya peningkatan pembayaran
pokok hutang daerah di tahun 2016. Jika pada tahun 2015, pembayaran pokok hutang
hanya mencapai Rp2,2 triliun, maka pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi Rp4,3
triliun (atau meningkat sebesar 97,9%). Peningkatan pembayaran pokok hutang berimbas
pada pengurangan anggaran yang digunakan untuk penyertaan modal (investasi) daerah.
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah pada Pengeluaran Pembiayaan
Tahun 2012 s.d. 2016
Jika dilihat per agregat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota dalam provinsi) maupun
untuk kategori provinsi maka daerah dengan nilai penyertaan modal (investasi) daerah
terbesar adalah Provinsi DKI Jakarta yang mencapai Rp7,2 triliun.
Adapun untuk kategori kabupaten dan kota se-provinsi, kabupaten dan kota se-Provinsi
Jawa Barat merupakan daerah dengan nilai penyertaan modal (investasi) daerah terbesar
yakni mencapai Rp409,6 miliar.
Sumber: DJPK (2016), data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 47
Grafik ....
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah,
Pemerintah Provinsi
Tah
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah,
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Tahun 2016
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah,
Pemerintah Provinsi Tahun 2016
Sumber: DJPK (2016), data diolah
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah,
Agregat Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Tahun 2016
Sumber: DJPK (2016), data diolah Sumber: DJPK (2016), data diolah
Ringkasan APBD 2016 Halaman 48
BAB V Efisiensi Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa , dan
Belanja Modal Terhadap Perekonomian Daerah
PDRB untuk mencapai output tertentu
Tingkat efisiensi tertinggi belanja pegawai, barang dan jasa, serta modal pada APBD Tahun 2016 terhadap capaian perkiraan Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) secara agregat, adalah Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Kep. Riau, Provinsi Gorontalo, dan Prov. DKI Jakarta. Tingkat efisiensi tersebut dinyatakan sebesar 100% dan menjadi acuan (benchmark) bagi pemerintah daerah lain dalam menghitung tingkat efisiensinya.
Tingkat Efisiensi terendah secara agregat atas belanja pegawai, barang dan jasa, serta modal pada APBD Tahun 2016, yaitu : Provinsi Papua dan Provinsi Aceh. Rata-rata tingkat efisiensi secara nasional adalah sebesar 67,3%.
Efisiensi yang ditinjau
dari bagaimana
pemerintah daerah
mengalokasikan sumber
daya yang dimilikinya
berupa pendapatan
daerah ke dalam belanja
pemerintah daerah
(Input Efficiency)
28.4%31.8%
42.5%44.3%47.3%48.4%
51.9%54.5%55.0%55.9%57.5%58.0%
62.2%62.4%64.2%64.5%66.9%67.1%
67.3%68.5%69.6%71.6%72.0%72.1%72.4%73.5%74.5%
80.2%87.2%89.9%
94.7%100.0%100.0%100.0%100.0%
0.0% 20.0% 40.0% 60.0% 80.0%100.0%120.0%
Provinsi Aceh
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Maluku
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Kalimantan Timur
Rata-Rata
Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Jambi
Provinsi Kalimantan Utara
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Barat
Pemerintah daerah dalam menganggarkan belanja dalam APBD, memiliki tujuan yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Tujuan yang hendak dicapai antara lain meningkatkan kualitas belanja dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui pembangunan infrastruktur dasar yang mendorong investasi, percepatan penyerapan belanja daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat secara terpadu.
Ringkasan APBD 2016 Halaman 49
Top Related