ANALISA PERBEDAAN POLA PENGAJARAN KATA KERJA BENTUK -TE DALAM BAHASA JEPANG OLEH PENGAJAR
BAHASA JEPANG DI MAKASSAR
Abstrak: Pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk -te yang
diterapkan oleh pengajar bahasa Jepang di Makassar ada tiga, yaitu ①
terlebih dahulu melalui tahapan pengajaran kata kerja bentuk-masu
kemudian mengajarkan perubahan kata kerja bentuk-te, ② terlebih
dahulu mengajarkan kata kerja bentuk-masu, setelah itu mengajarkan
perubahan kata kerja bentuk kamus lalu mengajarkan perubahan kata
kerja bentuk –te, ③ terlebih dahulu mengajarkan kata kerja bentuk
kamus, lalu mengajarkan perubahan kata kerja bentuk –masu, setelah
itu mengulangi kembali mengajarkan kata kerja bentuk kamus sebelum
mengajarkan perubahan kata kerja bentuk –te. Ketiga pola pengajaran
tersebut dikaji berdasarkan efektifitas dan efesiensi waktu yang
digunakan di kelas, sistematika pengajaran dan metode pengajaran
yang tidak membebani pembelajar. Pentingnya standarisasi pola
pengajaran kata kerja bentuk –te untuk memaksimalkan pemahaman
pembelajar dalam mengaplikasikan tata bahasa secara tertulisa dan
lisan.
Kata kunci: pengajaran, perubahan, kata kerja bentuk –te
I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1997, perkembangan bahasa Jepang di Sulawesi
Selatan mengalami peningkatan yang signifikan. Besarnya minat
masyarakat terhadap bahasa Jepang berdampak positif di bidang
pendidikan bahasa Jepang. Dibeberapa universitas atau akademi,
bahasa Jepang telah menjadi mata kuliah pokok, seperti di Universitas
Hasanuddin dan mata kuliah pilihan seperti di UMI Makassar, LP3i, dan
1
AKPAR Makassar, dengan jumlah pembelajar rata-rata 20-40 orang per
kelas.
Bahkan dewasa ini, beberapa SMU sederajat telah menetapkan
bahasa Jepang sebagai muatan lokal layaknya di SMU I Barana di Toraja,
SMUN I Sidrap, SMUN I Enrekang, SMUN I Makassar, SMU
Muhammadiyah Makassar, SMU 17 Makassar, SMU Rajawali, SMK 4 dan
SMK 6 Makassar, SMK Kartika dan lain-lain serta di beberapa tempat
kursus bahasa Jepang di Makassar.
Seiring dengan perkembangan tersebut, timbul masalah-masalah
di bidang pembelajaran bahasa Jepang, seperti tipe pembelajar yang
bervariasi, latar belakang pendidikan pengajar bahasa Jepang, belum
adanya kesatuan paham tentang pengajaran bahasa Jepang yang ideal
untuk pembelajar.
Tipe pembelajar yang relativ bervariasi yaitu pembelajar bahasa
Jepang yang mengikuti pembelajaran di lembaga informal atau tempat
kursus, rata-rata berasal dari kalangan siswa SD, SMP, SMU sederajat,
dan pembelajar kalangan umum seperti pegawai, karyawan, ibu rumah
tangga, dan lain-lain.
Dari segi latar belakang pendidikan pengajar bahasa Jepang di
Makassar sangat beragam, antara lain pengajar yang berlatar belakang
pendidikan magang di Jepang selama beberapa bulan atau tahun,
lulusan Diploma Tiga Bahasa Jepang dari berbagai universitas serta
sangat sedikit pengajar yang berlatar belakang pendidikan sarjana
bahasa Jepang atau kependidikan bahasa Jepang. Keseluruhan jumlah
pengajar bahasa Jepang di Makassar berkisar 30 orang, sungguh jumlah
yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah pembelajar bahasa
Jepang yang berjumlah ribuan orang setiap tahunnya.
Selain itu, masalah yang tak kalah penting adalah belum adanya
keseragaman dalam pengajaran bahasa Jepang yang diterapkan baik di
2
universitas, akademi, dan SMU sebagai lembaga formal dan lembaga
informal di Makassar terutama pada pengajaran perubahan kata kerja
bentuk – te atau – te kei. Terdapat perbedaan dalam pengajaran
perubahan kata kerja bentuk – te oleh beberapa pengajar bahasa Jepang
di Makassar. Oleh karena itu penulis tertarik meneliti pola pengajaran
perubahan kata kerja bentuk –te serta efektifitas dan efesiensinya
terhadap kemampuan pembelajar.
2. Metode-Metode Pengajaran Perubahan Kata Kerja Bentuk – te
dalam Bahasa Jepang
Beberapa buku panduan pengajaran bahasa Jepang dasar
maupun dasar lanjutan menuliskan beberapa metode yang digunakan
oleh pengajar bahasa Jepang, antara lain:
1). Berikut ini salah satu contoh metode pengajaran perubahan kata
kerja bentuk – te menurut 基礎表現50との教え方:
a. Pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te dimulai dengan
memberikan defenisi dari bentuk kata kerja – te, misalnya bentuk
kata kerja – te digunakan untuk mengekspresikan suatu aktivitas
yang berurutan dalam suatu waktu.
b. Selanjutnya memberikan beberapa contoh kalimat yang
menggunakan bentuk kata kerja – te. Contoh: 私は、毎朝、7時に起き
て、歯を磨いて、顔を洗って、朝ごはんを食べて、新聞を読んで、8時に家
を出ます。
c. Mengajarkan poin-poin penting dalam mengubah kata kerja bentuk –
te dengan memberi latihan mengubah beberapa kata kerja I, II dan III
dalam bentuk kata kerja kamus atau futsuu kei, lalu ke dalam
3
perubahan bentuk kata kerja - te. Contoh: 書く➜書いて yang berarti
menulis.
d. Memandu pembelajar mengubah bentuk kata kerja – masu ke dalam
perubahan bentuk kata kerja – te, dilakukan dengan menggunakan
kata kerja yang muncul pada bab tersebut atau yang telah mereka
pelajari.
e. Mengubah kata kerja bentuk – te, melalui pola kata kerja bentuk –
masu maupun pola pengajaran kata kerja bentuk kamus tidak cukup
tanpa penggunaan alat peraga gambar maupun contoh kalimat-
kalimat yang tepat.
Contoh:
わたしは、毎朝、8時にうちをでます。うちの近くでバスにのります。学校の前でバスを降ります。8時半ごろ学校へきます。
Pembuatan contoh kalimat sebaiknya sesuai dengan situasi serta
memberikan contoh kalimat dengan subyek yang sama agar
memudahkan pembelajar memahami arti dan bentuk kata kerja
tersebut, serta mengurangi kesalahan dalam penggunaan bentuk
kata kerja – te. (2002 : 35)
2). Berikut ini salah satu contoh metode pengajaran perubahan kata kerja
bentuk -te dalam 日本語の教え方 ABC adalah:
a. Dalam memberikan contoh bentuk kata kerja –te, dimulai dengan
memperlihatkan kartu-kartu kata kerja dengan bentuk – masu. Kata
kerja yang dipersiapkan adalah kata kerja I, II,III. Contoh 書きます➜書
いて.
b. Dalam memberikan contoh kata kerja, pengajar sebaiknya
menggunakan kata kerja yang biasa dipergunakan dalam kelas. Di
4
mulai dengan kata kerja I,II,III kemudian mulai memberi latihan
secara lisan yakni pembelajar mengubah kata kerja bentuk – masu ke
dalam kata kerja bentuk – te, dengan menyebut perubahannya. Hal
ini bertujuan untuk membiasakan bunyi perubahan kata kerja bentuk
– te kepada pembelajar.
c. Untuk menyimpulkan pengajaran kata kerja bentuk – te, maka di
akhir latihan pengajar mengeluarkan latihan-latihan secara tertulis.
Demikian, dua pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk-te dalam
bahasa Jepang yang terdapat pada buku panduan pengajaran.
3. Analisa Perbedaan Pola Pengajaran Kata Kerja Bentuk-te dalam Bahasa Jepang oleh Pengajar Bahasa Jepang di Makassar
a. Pola Pengajaran Perubahan Kata Kerja Bentuk – Te oleh Pengajar Bahasa Jepang di Makassar
Dari hasil penelitian pengumpulan angket dan
wawancara/interview dengan beberapa pengajar bahasa Jepang di
Makassar, diketahui bahwa saat ini di Makassar terdapat 3 pola
pengajaran kata kerja bentuk – te dalam bahasa Jepang yang diterapkan
oleh pengajar bahasa Jepang, yaitu :
1. Pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te diajarkan melalui
pengajaran kata kerja – masu kei terlebih dahulu kemudian
mengajarkan perubahan kata kerja- te kei.
Ilustrasi:
2. Pengajaran perubahan kata kerja bentuk –te diajarkan melalui
pengajaran kata kerja – masu kei kemudian mengajarkan lansung
perubahan kata kerja kamus (jisho kei) terlebih dahulu, lalu
5
Kata kerjaBentuk ~ masu
書きます
Kata kerja Bentuk ~ te書いて
mengajarkan perubahan kata kerja kata kerja bentuk– te.
Illustrasi:
3. Pengajaran perubahan kata kerja bentuk –te dimulai dengan
mengajarkan terlebih dahulu perubahan kata kerja kamus (jisho kei),
lalu mengajarkan kata kerja – masu kei, lalu mengulang kembali
perubahan bentuk kata kerja kamus (jisho kei) sebelum mengajarkan
perubahan kata kerja bentuk – te.
Illustrasi:
Berdasarkan ketiga pola pengajaran di atas, tergambar bahwa
standarisasi pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te dalam bahasa
Jepang belum terlaksana dengan baik. Hal ini terjadi karena perbedaan
persepsi dan kebijakan masing-masing pengajar dalam menentukan pola
pengajaran serta masalah yang timbul ketika mengajar perubahan kata
kerja bentuk –te di kelas.
Penerapan pola pengajaran kedua dan ketiga lebih banyak
digunakan oleh pengajar bahasa Jepang di suatu SMU dan kejuruan serta
lembaga informal seperti tempat kursus. Para pengajar berpendapat:
1. Pembelajar sering bertanya tentang “ asal muasal” kata kerja bentuk
– masu. Sehingga pengajar tersebut mengambil keputusan untuk
mengajarkan terlebih dahulu perubahan kata kerja bentuk kamus
(njisho kei).
2. Pengajar berpendapat “harus membiasakan pembelajar pemula
untuk menggunakan kamus bahasa Jepang”.
6
Kata Kerja Ben uk Kamus
( Jisho kei )書くKata KerjaBentuk ~masu書きます Kata Kerja
Bentuk ~ Te ( Te Kei )書いて
Kata Kerja Bentuk ~ te ( te kei ) 書いて
Kata Kerja Bentuk Kamus ( jisho kei ) 書く
Kata Kerja Bentuk ~ masu ( masu kei ) 書きます
3. Di lingkungan informal seperti tempat kursus bahasa Jepang,
pengajar lebih tertarik menitik beratkan penggunaan “kata kerja
kamus (jisho kei) dalam berkomunikasi bahasa Jepang”.
4. Adanya kecenderungan pengajar tidak ingin direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyaan pembelajar tentang arti suatu kata kerja.
Apakah alasan-alasan di atas dapat membuat pengajaran
perubahan kata kerja bentuk – te dapat terlaksana dengan baik?
Jawabannya tidak semudah itu. Dalam hal ini, pengajar seyogianya
menitikberatkan pada kemampuan dan penguasaan tata bahasa dan
prakteknya dalam kalimat sederhana baik secara tertulis maupun lisan,
serta kemampuan pengajar mengoptimalkan waktu mengajar 導入、文型、
応 用 練 習 secara efektif, efesien dan mempertimbangkan sistematika
pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te.
Faktor “kepercayaan diri” yang tinggi, yang dimiliki oleh pengajar
tentang pengetahuan pengajaran kata kerja bentuk -te, haruslah
diimbangi dengan memperkaya khazanah pengetahuan tentang metode
dan tekhnik pengajaran ( 教 授 法 ) sehingga tidak terkungkung dengan
praktek mengajar yang bertahun-tahun diterapkan di kelas, atau
semacam pengetahuan pengajaran yang diperoleh secara turun
temurun dari pengajar sebelumnya. Oleh karena itu kajian atau
penelitian tentang efektifitas dan efesiensi pengajaran perubahan kata
kerja bentuk –te menjadi mutlak diperlukan untuk memperbaiki tekhnik
dan metode pengajaran sebelumnya.
Di beberapa universitas dan akademi yang mengajarkan bahasa
Jepang, terdapat beberapa buku panduan mengajar namun belum
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan adanya kendala
kemampuan membaca “huruf kanji” dalam buku panduan tersebut. Di
SMU dan kejuruan juga terdapat buku ajar dan panduan mengajar dari
The Japan Foundation yang ditulis dalam bahasa Indonesia, namun
7
kenyataannya sebagian pengajar di tingkat SMU dan kejuruan kesulitan
mengaplikasikan buku tersebut. Pengajar, merasa perlu
mengkombinasikannya dengan buku ajar Japanese For Young People dan
buku ajar yang lain seperti Minna No Nihongo untuk memperbanyak
latihan-latihan bagi pembelajar bahasa Jepang di tingkat sekolah
menengah umum dan kejuruan.
Kecenderungan ini nampaknya tidak disertai dengan “ketepatan”
pemilihan buku pendamping bagi pembelajar atau bahkan terkadang
tidak sesuai dengan jurusan atau kualifikasi si pembelajar itu sendiri.
Contohnya mahasiswa jurusan sekertaris menggunakan buku 日本語の基
礎 1 AOTS, yang dianggap kurang tepat dengan kualifikasi program
sekertaris yang sebaiknya menggunakan buku-buku yang berhubungan
dengan perkantoran atau bisnis bahasa Jepang.
b. Dampak Positif dan Negatif Pada Pola Pengajaran Perubahan
Kata Kerja Bentuk-te yang Diterapkan Oleh Pengajar Bahasa
Jepang di Makassar
Pengajaran kata kerja dalam bahasa Jepang, pada umumnya diajarkan
setelah pembahasan kalimat sederhana yaitu Subyek wa Predikat Kata
Benda Desu. Hal ini dapat di lihat dari daftar buku-buku ajar yang digunakan
dalam pembelajaran bahasa Jepang, sebagai berikut:
号 形式 例文 みん・新
初歩 学友会 JFYP
新文化 東外大
1 マス形 パーティーにいきますか。 1 1.3 1 17 1 12 テ 形 31
~てください ここに名前を書いてください。 14 10 9 32 9 10
~ている動作の継続
田中さんがレストランで仕事をしている。
14 8 16 34 10 *
~てもいい このペンを使ってもいいですか 15 16 26 33 9 14
~てはいけない この部屋に入ってはいけません 15・* 16 26 * 9 14
~てから 歯をみがいて寝ます 16 8 13 * 11 11
~て並立。比較
この部屋はひろくて、新しいです
16 4 6 * 7 7
~て 今日は家へ帰って寝ます 16 8 13 * 9 11
8
継起。時間~て以来
お願い、窓をあけて 20 * * * 25 *
3 辞書形 パーティーに行く 20 * 34 40 25 28
4 ~たことがない 私は大きな病気にかかったことがなかった
19 13 25 * 22 19
~たことがある 私はアメリカへ行ったことがあります。
19 13 25 * 22 19
Dari daftar di atas dapat di lihat urutan-urutan pengajaran tata
bahasa yang dimulai dengan pengajaran kata kerja masu-kei kemudian
pengajaran kata kerja te-kei dan pengajaran kata kerja kamus ( jisho
kei )
Berdasarkan pada referensi di atas, penulis menganalisa dampak
yang ditimbulkan dalam penggunaan pola-pola pengajaran perubahan
kata kerja bentuk - te :
1. Pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk –te dimulai dari
kata kerja bentuk– masu
Beberapa keuntungan dengan menggunakan metode pengajaran
perubahan kata kerja ke bentuk ~ te atau ~ te kei melalui kata kerja
bentuk ~ masu atau ~ masu kei:
1. Mahasiswa/pembelajar tidak mengalami kesulitan untuk
memahami/mengerti perubahan bentuk kata kerja ~ te atau ~ te kei,
karena mereka telah mengenal dan memahami kata kerja bentuk ~
masu atau ~ masu kei yang telah diajarkan sebelumnya.
2. Mahasiswa lebih terfokus pada perubahan kata kerja ke bentuk ~ te
atau ~ te kei beserta penerapannya dalam bentuk kalimat, contoh
kalimat, dan percakapan pendek.
3. Untuk merubah kata kerja ke bentuk~ te atau ~ te kei,
mahasiswa/pembelajar hanya melalui dua tahap saja yaitu pertama
mengingat kembali kata kerja bentuk ~ masu atau ~ masu kei dan ke
9
dua mengingat rumus perubahan kata kerja ke bentuk ~ te atau ~ te
kei ( lihat hal.13)
4. Pengajar dapat lebih berkonsentrasi untuk menuntun
mahasiswa/pembelajar untuk mengetahui dan memahami perubahan
kata kerja ke bentuk ~ te atau ~ te kei tanpa harus menjelaskan
pelajaran yang sebenarnya belum diajarkan pada saat itu.
5. Pengajaran pola-pola kalimat lebih sistematis atau diajarkan
berdasarkan bab per bab.
6. Pemahaman perubahan kata kerja ke bentuk ~ te atau ~ te kei
secara benar akan memantapkan tata bahasa yang menggunakan
perubahan ke bentuk ~ te atau ~ te kei, seperti ~ te kudasai, ~ te
mo ii desu, ~ te wa ikemasen dan sebagainya.
7. Sebagai pembelajar non native, sangat dianjurkan kepada
pembelajar agar lebih terfokus pada kata kerja bentuk sopan atau –
masu kei, yang dapat digunakan pada percakapan dalam situasi
sopan ataupun formal.
8. Pola ini menjadi standarisasi oleh The Japan Foundation dalam
pengajaran kata kerja ~te kei.
Pada pola pengajaran kata kerja-masu ke kata kerja bentuk -te-
kei, tidak banyak mempunyai kekurangan. Namun, pembelajar belum
dapat menggunakan kamus bahasa Jepang dengan baik, karena mereka
belum diajarkan kata kerja bentuk kamus atau jisho kei. Dengan
demikian kemampuan atau perbendaharaan kata kerja yang dimiliki oleh
pembelajar, hanya sebatas pada kata kerja yang terdapat pada buku
pelajaran bahasa Jepang.
Sependapat dengan hal ini, Hayashi Oki dalam 日本語教育ハンドブ
ック , yang menuliskan bahwa pada tingkat pemula/dasar, penggunaan
kamus bahasa Jepang harus dihindari. Hal ini dimaksudkan agar tidak
memberi kesan memaksa pembelajar yang susah mendapatkan kamus
10
untuk orang asing yang tepat karena akan memberikan tekanan
psikologis kepada pembelajar. (1990: 62)
Keharusan pembelajar tingkat pemula menggunakan kamus
bahasa Jepang, mengakibatkan mereka lebih memilih membeli ‘ pocket
kanji ‘ dengan harga yang terjangkau tetapi kebenaran isi kamus belum
dapat diyakini dan cenderung lebih banyak menggunakan huruf romaji,
tanpa adanya contoh kalimat. Hal ini cenderung mengakibatkan jumlah
kesalahan penafsiran dan pemilihan kata yang tidak tepat menjadi lebih
banyak.
Contoh :
彼は弟の宿題をたすけてくれました。
“ Dia menolong mengerjakan pekerjaan rumah adik.”
seharusnya
彼は弟の宿題をてつだってくれっました。
’Dia wa otouto no shukudai wo tetsudattekuremashita.’
“ Dia membantu mengerjakan pekerjaan rumah adik.”
Untuk mengefektifkan pola pengajaran perubahan kata kerja
bentuk – te ke kata kerja bentuk - masu, maka pengajar hendaknya
memperbanyak variasi kata-kata kerja dalam penggunaan kartu kata
kerja dan pembuatan contoh kalimat melalui referensi kata-kata baru
yang dapat dilihat dari daftar kata kerja baru yang muncul di setiap bab
mata pelajaran bahasa Jepang. Oleh karena penggunaan contoh kata
kerja yang monoton, akan membuat pembelajar tidak terbiasa dengan
kata kerja yang baru atau yang tidak lazim mereka pergunakan.
Dalam penelitian ini, diperoleh hasil kata kerja yang jarang
digunakan oleh pembelajar dapat menimbulkan kebingungan,
ketidakbiasaan sehingga rawan terjadi kesalahan dalam menentukan
golongan kata kerja maupun perubahan kata kerja I, II dan III ke dalam
bentuk –te.
11
Penggunaan contoh kata kerja bentuk – te dalam kalimat secara
bervariasi dapat menambah perbendaharaan kosa kata kerja serta dapat
membiasakan pembelajar menggunakan kata kerja tersebut dalam
kalimat.
Meskipun demikian, penggunaan contoh kata kerja baru secara
berlebihan harus dihindari agar pembelajar tidak terlalu terbebani
dengan kata-kata kerja tersebut.
2. Pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te dari kata kerja bentuk– masu ➜ kata kerja kamus ( jisho kei ) ➜ kata kerja bentuk – te
Selain pengajaran kata kerja bentuk - masu ke kata kerja bentuk –
te , pada kenyataannya, beberapa pengajar bahasa Jepang,
mengajarkan kata kerja bentuk ~te dengan terlebih dahulu
memperkenalkan/mengajarkan kepada pembelajar bentuk kata kerja
kamus atau jisho kei.
Hal ini disebabkan karena beberapa pengajar menyepakati
bahwa dengan mengajarkan kata kerja kamus terlebih dahulu,
diharapkan mahasiswa/pembelajar dapat memahami perubahan kata
kerja bentuk ~ te atau ~te kei dan kata kerja bentuk kamus atau jisho
kei sekaligus.
Pada pola pengajaran ini, pembelajar dapat mengetahui kata
kerja kamus ( jisho kei ) terlebih dahulu, sehingga pembelajar akan
berkonsentrasi pada kata kerja kamus terlebih dahulu. Sebenarnya
penerapan pengajaran perubahan kata kerja ke bentuk ~ te atau ~ te
kei dengan menggunakan metode ini, pernah dilakukan oleh beberapa
pengajar di Diploma Tiga Pariwisata Bahasa Jepang Universitas
Hasanuddin tahun 1995 sampai dengan tahun 1999 dan di beberapa
tempat-tempat kursus di Makassar hingga kini.
12
Namun pada kenyataannya, penerapan teknik mengajar ini
banyak mengalami masalah seperti :
1. Pembelajar sangat terbebani karena harus menghafal perubahan dua
kata kerja sekaligus yaitu perubahan kata kerja kamus dan
perubahan kata kerja bentuk -te, akibatnya pembelajar tidak dapat
memahami perubahan kata kerja ke bentuk -te dengan efektif dan
efesien.
2. Penerapan pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk -te melalui
kata kerja kamus, membingungkan pembelajar. Pembelajar
cenderung akan terfokus pada berbagai pertanyaan tentang
penggunaan kata kerja kamus itu sendiri. Akibatnya pengajar asyik
dengan pengajaran tata bahasa perubahan kata kerja kamus dan
kata kerja bentuk - te, dan melupakan latihan pembuatan kalimat
maupun konversasi.
3. Untuk merubah kata kerja ke bentuk -te, pembelajar akan terbiasa
mengingat 3 tahap kata kerja yaitu pertama, kata kerja bentuk -
masu lalu, kata kerja kamus atau jisho kei kemudian kata kerja
kebentuk - te sehingga tidak efektif dan efesien.
4. Dengan menggunakan pola mengajar seperti ini, maka pengajar
mempunyai tambahan tugas yaitu memperkenalkan perubahan kata
kerja kamus atau jisho kei yang terlalu dini diajarkan.
5. Pengajaran pola-pola kalimat menjadi tidak sistematis menurut buku
ajar.
6. Pemahaman perubahan kata kerja ke bentuk -te yang kurang optimal
akan menyebabkan terhambatnya pembelajaran kata kerja yang
menggunakan bentuk –te seperti -te mo ii desu, -te wa ikemasen, -te
kudasai dan sebagainya.
3. Pola Pengajaran Perubahan Kata Kerja Te-Kei dari Kata Kerja
13
Kamus (Jisho Kei)➜Kata Kerja Bentuk - Masu ➜Kata Kerja Kamus (Jisho Kei) ➜ Kata Kerja Bentuk - te
Pola pengajaran ini, sebenarnya sama saja dengan pola pengajaran
kata kerja bentuk – te di atas. Yang membedakan dengan pola
pengajaran di atas adalah sebelum pengajaran pola kata kerja bentuk –
masu , pengajar mengajarkan terlebih dahulu kata kerja kamus ( jisho
kei ) kepada pembelajar.
Pada pola pengajaran ini, pembelajar akan terbiasa menggunakan
kamus bahasa Jepang. Pembelajar yang tidak mengetahui kata kerja
dalam bahasa Indonesia maupun sebaliknya dapat langsung membuka
kamus. Dengan kata lain, pembelajar lebih mandiri dalam menggunakan
kamus. Namun cara ini tidak efektif bagi pemula, yang belum
memahami penggunaan kata secara tepat dalam kalimat. (Nihongo
Kyouiku Handobukku, 1990: 62)
Pada pola ini, terjadi pengulangan pengajaran bentuk kamus
(jishokei), karena pada waktu mengajar kata kerja bentuk – te, pengajar
harus mengulangi kembali pengajaran kata kerja bentuk kamus (jisho
kei) sebelum mengajar kata kerja bentuk – te. Hal ini berdampak pada
penggunaan waktu yang tidak efesien dan cenderung mengabaikan
mata pelajaran inti (kata kerja bentuk – te) sehingga pengajaran pola
kalimat dengan kata kerja bentuk – te menjadi tidak maksimal.
4. SIMPULAN
Seiring dengan pertambahan jumlah peminat bahasa Jepang di
Makassar, maka banyak institusi pemerintah maupun swasta yang
bergelut dalam bidang pendidikan memasukkan mata pelajaran/mata
14
kuliah bahasa Jepang seperti di sekolah menengah umum/sederajat dan
kejuruan, universitas/akademi dan kursus dengan beragam pola
pengajaran yang “dianut” berdasarkan pertimbangan pengajar masing-
masing institusi.
Beberapa masalah dalam pengajaran bahasa Jepang, misalnya pola
pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te. Di Makassar, pola
pengajaran ini terbagi atas tiga yaitu:
1. Pola pengajaran kata kerja bentuk- te yang dimulai dari pengajaran
kata kerja -masu ➜ kata kerja bentuk -te .
2. Pola pengajaran kata kerja bentuk- te yang dimulai dari pengajaran
kata kerja -masu ➜ kata kerja bentuk kamus ➜ kata kerja bentuk -te .
3. Pola pengajaran kata kerja bentuk -te yang dimulai dari kata kerja
bentuk kamus ➜ pengajaran kata kerja -masu ➜ kata kerja bentuk
kamus ➜ kata kerja bentuk -te .
Ketiga jenis pola pengajaran perubahan kata kerja bentuk –te,
memiliki dampak positif dan negatif. Namun berdasarkan analisa
penulis, pola pengajaran bagian pertama (1) lah yang memiliki dampak
positif yang lebih banyak selain dapat dijadikan standarisasi penerapan
pengajaran kata kerja bentuk-te dalam bahasa Jepang.
Perlunya standarisasi pengajaran perubahan kata kerja bentuk – te,
dipandang bersifat penting agar tujuan pembelajaran tidak hanya
menitik beratkan pada penjelasan tata bahasa yang “monoton”, namun
juga implikasinya dalam kalimat tulisan maupun lisan. Mengingat jumlah
pembelajar yang sangat banyak dan tidak berimbang dengan jumlah
pengajar maka keefektifan, keefesienan penggunaan waktu penciptaan
suasana kelas yang menyenangkan, serta pola pengajaran yang
sistematis sangat menentukan pencapaian tujuan pembelajaran bahasa
Jepang di tingkat pemula yang lebih menyenangkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Alfonso. 1980. Japanese Language Patterns Volume 1 & 2. Tokyo Sophia University. L.L. Center of Applied Linguistic. Japan.
Hajime Takamizawa. 2004. 新はじめての日本語教育基本用語辞典. Japan.
Hayashi Oki.1992. 日本語教育ハ ン ド ブ ッ ク . Tokyou Taishuukan Shoute. Nihongo Kyouiku Gakkai. Japan.
Isao, Iori. Dkk. 2000. 初級を教える人のための日本語文法ハンドブック . Tokyo : 3A Corporation. Japan.
Kimura, Muneo. 1988. Dasar-dasar Metodologi Pengajaran Bahasa Jepang. Bandung.
みんなの日本語初級 I 教え方の手引き . 2000. 3A Network. Japan.
The Japan Foundation Japanese Language Institute. 1992. 外国教師のための日本語教授法日本語国際センター研修用教材. Japan.
Tomita Takayuki . 1998. 基礎表現50とその教え方 .Bonjinsha. Japan
Tereda Kazuko . 1998. 日本語の教え ABC. Aruku. Japan.
16
17