Download - Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Transcript
Page 1: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Sajak sajak Abidah el Khalieqy

KIDUNG SIMALAKAMA

Aku berdiri di bawah khuldi saat senja menyamar seperti iblis tanpa diundang berbilah racun bersarung pedang menusuk lambungku di langit terang

Aku berdiri menangkar sunyi bumi sendiri menerbangi titik niskala menyusupkan jiwa ke puncak tahta cahaya Cinta

Tak ada waktu membayang merekah dan mengaku kalah jengkal tanah selalu begitu menghisap semua bunga sekaligus putiknya

Hawa menembang lagu merdu serupa kidung simalakama

2003

INTA WAHDAH (Dikau Saja)

Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil bukan pula Cleopatra Aphrodite atau Zulaikha

Cukup sudah cinta! Tak usai Hawa ngembara menyelami airmata pohon apa bakal tumbuh jika Layla abadi koma di barak kumuh dan luka

Wahai Majnun di puncak resah!

Sudah kuhafal kata kata bijak huruf batu dari kaum botak namun kosa kata cinta baru ketemu kamusnya saat matamu purnama dan subuh menderu memanggil ruh di tubuh

Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku juga ombak yang timbul tenggelam bagai iman samudra jiwaku

Dan malam menggelombang karna bintang berjumpaan di pangkuan kasih dan cinta mendesirkan sukma semilir jiwaku bukan perempuan bukan lelaki bukan budak atau tuan jika ingin menakarku kecuali mummi sedang menimbang diri sendiri

Burung burung terbang tinggi menguntai tasbih langit abadi rindu rumah di syurga Rabi'ah asing dan sunyi

2005

……………………………

Page 2: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Putri Sang   Pemimpi

Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 23 Januari 2011)

MENJEJAK tanahmu, lama aku termangu. Inikah bumi yang kaukisahkan itu. Yang menyimpan pundi-pundi karun dunia. Namun sengsara karena ribu-ribu mata terus mengawas dan ribu-ribu tangan terus mengeruk. Tak ada habisnya.

“Ini tumpah darahku, Nona. Jangan sembarang bicara.”

Aku membisu. Melangkah bersama kerinduan. Mata asing namun ramah, menyalamiku dengan senyum dan nyanyian. Kuhikmati embusan angin, jalan raya dan rindang pepohonan. Kulihat juga sekilas gunung-gunung menjulang tinggi, diam, dan kembali tertutup kabut.

Terbayang pula dalam kabut itu, aku bergegas mencari cermin. Paling besar dan lebar. Ingin kupastikan seberapa acak diriku kini. Benarkah katamu, model sisiran rambutku yang bergaya sedikit punk ini, atau gaun yang sedang kukenakan ini memang sedikit kedodoran. Padahal, aku tengah mencoba gaun para putri model Abad Pertengahan yang berumbai-rumbai, dan bermanik-manik pula. Model kuku pun kubentuk seperti kepala kucing, dan kugambari dengan mata dan kumis lengkap dengan sepasang taring menyeringai. Hikhik.

Andai saja engkau tahu dan mengerti tentang gaya, tentang fashion, pasti tak perlu merisaukan penampilanku yang agak asing ini. Karena demikianlah tradisi sebuah gaya, temperamen sebuah citra. Seperti lukisan surealis Salvador Dali, tak masalah judulnya Perempuan Cantik, tapi yang ditampilkan kursi terbalik. Ini seni. Ekspresi jiwa tinggi. Memiliki citarasa yang kuhikmati dengan sepenuh hati. Termasuk selera untuk dan dalam bermimpi.

“Jangan bermimpi, di sini!,” katanya mantap. Haqqul yakin.

“Tapi orang-orang besar pernah bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Apa itu bukan mimpi menurutmu?”

“Bukan. Karena kita bukan orang besar. Titik!”

“Kalau bulat dan bundar pasti, hihihi….”

“Juga bukan. Tapi segi delapan!”

Page 3: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Ah! Percuma ngomong sama manusia skeptis begitu. Membiarkan diri tak punya mimpi. Tak punya cita-cita. Mungkin saja kenyataan hidupmu demikian pahit dan berat, jadi tak ada lagi ruang untuk bermimpi dan menggantungkan cita-cita sampai ke langit tujuh. Kasihan benar engkau itu. Masak, mimpi saja tak boleh. Betapa kering dan gersang hidup ini tanpa mimpi. Tanpa jalan setapak menuju multidunia. Dunia warna pelangi.

Rupanya, tak banyak yang tahu bahwa para ilmuwan kaliber dunia juga suka bermimpi. Para pengarang besar amat menyukai mimpi. Para ratu dan raja-raja demikian tergila-gila pada mimpi. Para konglomerat dan teroris dan penambang timah dan penjahit dan ibu-ibu arisan dan batita playgroup dan para caleg dan para ustaz dan sutradara film dan artis-artis, semuanya berumbai-rumbai mimpi. Jangan katakan bahwa para petani, para istri diplomat, para gubernur, para veteran, para mahasiswa itu tanpa mimpi. Semuanya berkuyup dengan mimpi.

“Lagi pula, pernahkah Anda tidur tanpa mimpi?”

“Aku tak mau mimpi. Tak suka mimpi. Bahkan dalam tahap tertentu, membenci mimpi. Menjauhkan hidup dari mimpi. Tak ingin bertemu dengan mimpi.”

“Ah!”

“Ow! Kalau aku lebih suka meniru Nabi Yusuf,” kataku menyentil.

“Dia Nabi dan kita umat Muhamad.”

“Betul. Tapi mimpi Nabi Yusuf direkam Kitab Suci. Berikut takwilnya.”

Dan kulihat dahimu mengernyit, mempertegas tato sujud alias dua tanda hitam di kening, yang biasa dianggap sebagai kuatnya sembahyang pada malam-malam berbintang. Ahli sujud ini meragukan mimpi Nabi Yusuf dan takwilnya. Kurang validkah rekaman Kitab Suci?

“Bukan begitu maksudku. Mimpi yang terberi itu wallahua’lam. Tapi aku tak mau bermimpi. Bahaya!”

“Ah! Masak sih?”

“Iya. Kaulihat kan di televisi. Para caleg yang bugil di arak massa karena edan gara-gara mimpi jadi anggota dewan tapi tak kesampaian. Kaudengarkan cerita mahasiswa S-3 tiba-tiba shalat menghadap selatan gara-gara mimpi jadi doktor tapi gagal. Kaulihatkah tante ganjen tetanggamu tiba-tiba perutnya menggelambir mengerikan gara-gara mimpi bertubuh langsing bak peragawati tapi gagal operasi sedot lemak. Kaulihat kan?”

Aku merinding membayangkan semua contoh yang keluar dari mulutmu. Benar juga, pikirku. Pantas saja alergi mimpi. Satu alasan yang masuk akal. Terlalu berat risiko mimpi yang gagal. Tapi bagaimana kalau ternyata mimpi itu berubah jadi kenyataan?

Page 4: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Sesekali pergilah ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana kau akan menemukan bahwa hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang yang gagal meraih impian!”

“Oya? Kau sudah pernah bertandang ke sana?”

“Secara spiritual dan intelektual, sudah.”

“Berarti secara fisik belum?”

“Suatu saat nanti. Karena RSJ akan lebih afdal jika aku bertandang secara jiwa juga.”

Ha! Mantap benar kau ini. Tegas sekali pilihan hidupmu.

Jangan sekali-sekali bermimpi, karena hidup adalah rantai kenyataan. Bukan lompatan impian apalagi khayalan. Itukah alasan mengapa engkau sukses dan berkecukupan? Hidup tenang karena tak digelayuti utang. Tak diganduli hantu sebagaimana kaum pemimpi yang suka awut-awutan. Ya seperti diriku ini. Karena siang malam bermimpi jadi istri diplomat, segala akses menuju sana kuriset satu demi satu. Termasuk tentang kemungkinan gagal dan segala macam kendala. Orang-orang harus kudekati. Teknik-teknik yang mesti kupraktikkan sendiri.

Tentu saja secara intens, aku juga selalu membayangkan kalau calon suamiku itu seorang duta besar untuk negara paling makmur di seantero jagad ini. Kalau hanya negara macam Somalia atau Bangladesh atau Palestina, aku ogah. Paling tidak, calon suamiku mestilah seorang duta dari negara macam Swedia atau Kuwait atau Prancis atau mungkin Saudi yang bertumpuk dinar dan riyal. Hehe.

Akan kugantung cita-citaku di langit itu! Yang penting logis. Masuk akal. Seorang mahasiswi nyaris doktor begini, berparas lumayan aristokrat begini, dari keluarga yang menjunjung arti genetika dan makna perjuangan (termasuk perjuangan mendapatkan jodoh), dengan usia yang cukup siap menerima pinangan, kurang syarat bagaimanakah diriku untuk bermimpi tentang laki-laki diplomat semacam itu?

Masuk akal kan impianku? Bukankah juga, dari impian seperti ini aku dapat merancang masa depan dan menguatkan artikulasi doa-doa. Dan jika doa-doaku terkabul, mimpi itu akan jadi kenyataan. Dream comes true!

“Masalahnya jika gagal, impian tinggal impian, apa yang bakal kau lakukan?”

“Ah! Biasa. Aku cukup berbesar hati untuk menerima kekalahan, termasuk jika impianku hanya tergantung di langit, tak mau turun ke bumi. Itu nasib namanya. Bagian hidup yang sudah digariskan.”

“Baguslah jika masih mampu menerima takdir dengan lapang dada dan luas hati. Aku hanya khawatir, baru bermimpi saja kondisimu sudah awut-awutan begini, entahlah apa yang akan terjadi jika gagal. Semoga arak-arakan si bugil di televisi adalah berita terakhir untukmu.”

Page 5: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Aku ini putri sang pemimpi, tauk!”

Aku tegaskan diri sekali lagi. Agar aku masih bisa mengintip berbagai wajah gemawan yang indah dan selalu tak terduga. Membawa agenda tersendiri setiap perjalanan udara. Karena wajah awan yang kulalui tak pernah serupa. Berbeda-beda. Persis dengan wajah-wajah para penumpang, selalu berganti dan beraneka. Tak peduli penumpang domestik atau bukan, jika boleh mengabsen, akan kutunjukkan nama baru yang berbeda-beda dalam setiap perjalanan.

Pertama adalah Bu Menteri dengan dua stafnya. Duduk paling depan di kelas eksekutif. Berturut-turut di belakangnya, Keluarga Kerajaan, Para Pengusaha, Para Turis Bule, Para Anggota Legislatif, Para Artis, dan lain sebagainya.

Seperti ibu di sampingku dalam pesawat tadi, tertawa-tawa serakah membisik temannya. “Rupanya kita semua ketagihan negeri ini. Lalu pulang dan kembali lagi. Lagi. Lagi.” Matanya berkilau seperti benda yang melingkar di kedua pergelangan tangannya. Emas murni seberat duka lara para yatim di Ajun. Begitu besar gelang itu, aku belum pernah melihat yang serupa.

Kupikir benda itu hanya pas dipakai para pemain lenong atau ketoprak. Dengan bangganya, ternyata ibu itu berkali-kali menepuk pundak temannya, mungkin biar gemerincing gelang itu sampai ke telingaku, juga telinga semua penumpang. Ah!

Terbayang juga di benak ketika aku menaiki tangga pesawat internasional dengan hati penuh. Mengembang senyuman. Ringan kakiku melangkah mendaki satu demi satu. Usai penantian yang panjang di ruang tunggu, aku lega telah duduk berjajar penumpang yang lain. Merapat jendela karena memperoleh nomor istimewa. Itulah seat number yang selalu kuimpikan. Sebelah jendela. Karena dengan itu, aku bisa melongok gumpalan awan raya nan jelita.

“Inikah penyulingan raksasa milik Tuhan, yang mendaur air dari masa ke masa hingga kiamat tiba?” bisikku dalam hati sendiri.

Pesawat terbang di atas 27 ribu kaki. Kusaksikan keindahan awan yang bergugus-gugus, kadang seperti piramida putih, untaian biru gemunung raksasa. Semesta yang mengerucut, sempurna dalam takbir dan tasbih pada-Nya.

“Hai, jangan melamun, Nona. Tugas kita masih panjang.”

“Ah! Kau ini pelupa rupanya. Aku ini putri sang pemimpi!”

“Sebentar lagi, listrik di sini akan padam.”

“Bukan padam, tapi kematian. Kegelapan mesti ditata ulang, kampung-kampung sekarat diremajakan. Aspal usang penuh korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik mati memberi jeda bagi manusia untuk refleksi, keluar dari rasa pengap tipu muslihat, dunia busuk penuh kotoran.”

“Kau bermimpi, Nona. Ini negeri memang banyak cela. Sarat cacat dan mudarat.”

Page 6: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Oya? Seberapa cacat jika dibanding mimpi-mimpiku?”

“Cacat negeri menghancurkan, cacat mimpimu meleburkan rindu.”

“Ah!”

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik kesimpulan yang harus kupinggir.

Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, Kawan! Lalu ingatanmu mengembara pada baju-baju dan kendaraan dan rumahmu. Juga kampungmu, para janda dan yatim piatu. Ini negeri telah dipenuhi gedung-gedung pertunjukan, banyak dalang dan sutradara yang dikorbankan. Bertahun-tahun, berpuluh tahun membangun, hanya pikun berarak. Peristiwa demi peristiwa digulung bencana. Hati berjuta bengkak-bengkak.

“Jangan melamun, Nona. Ini bandara, bukan taman hiburan.”

“Ah! Kau memang sungguh pelupa”.

“Apalagi jika berada di sisi sang pemimpi, hik hik hik….”

Sepasang kakimu melangkah pasti. Coba menggandengku dengan sentuhan jemari. Padahal kau tahu, sudah sejak dulu aku menghindar dari hal seperti ini. Walau itu di negerimu, dan aku sedang sendiri. (*)

Yogyakarta, 2010

Page 7: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Pulang tanpa   Alamat

Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 5 September 2010)

USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan dilekati keharuman yang sama.

“Kau ini mau ke mana, Tap?”

“Mudik!”

“Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?”

“Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di kampung ini.”

“Haa…!?”

Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu, keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap, melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium, selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.

Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu, Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu, disalaminya sepenuh hati.

Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus miliknya, karena jari itu

Page 8: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan. Mengunci gerak lengan para korban.

Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu pun masih harus fitnes selama satu tahun.

Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.

Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ, semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres digenggamnya.

Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan, tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan, persaingan atau perseteruan.

Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.

“Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?”

“Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat padamu, apalagi bibimu itu.”

“Kalau Melinda, bagaimana?”

“Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik…!”

Page 9: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar kayu agar tidak menjadi arang atau abu.”

Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.

Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri. Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi, kecuali Yang Maha Abadi.

“Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.”

“Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat.” Segap menegur sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.

“Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.”

Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.

“Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?”

“Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.”

“Siapa pun di sana, aku rindui semua.” Segap melotot mata. “Ah! Lama kali kau ini. Aku tinggal sajalah.”

“Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau belum?”

Page 10: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu, bertemu Melinda, hahaha….”

“Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!”

Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam, lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam. Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan. Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang ngelindur.

“Aku mau pulang, Gap!”

“Ya. Kita memang mau pulang.”

“Gelap. Ada lorong berliku-liku.”

“Mimpi kali?”

“Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.”

“Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.”

Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.

Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur dan syukur jika terbangun esok hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.

Lindap. Kantuk pun nguap.

Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal. Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.

Page 11: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Gelap, Gap. Gelap….”

“Hah! Apa?”

“Jubah hitam datang lagi.”

“Hah! Apa?”

“Aku pulang….”

Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi. Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.

Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan, nyanyian jangkrik dan belalang hutan.

Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam, tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.

Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa. Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang. Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.

Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa terpencil di pulau seberang.

Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja, siapa tahu malah kena.

Page 12: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit parah tak bisa jalan!/

Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi, bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.

Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.

“Sakit apa, Gotap?” tanya Jodil.

“Tak usah tanya.” Segap berdiri dan menjawab pelan. “Gotap mati di tengah jalan, di atas laut semalam.”

“Mati?” Serempak empat kawan mendelong.

“Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?”

Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata curiga, jika mata itu ada.

“Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga tahunan sejak Gotap ke ibu kota.”

“Terus, dibawa ke mana ini mayat?”

“Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.”

“Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?”

“Ah, aku juga tak tahu,” jawab Segap sedikit bingung, “kita lihat saja KTP-nya.”

Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian darah dengannya.

Page 13: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.

Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap. Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan, atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?

Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai, Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.

“Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?”

“Aku setuju.”

“Bagaimana menurutmu, Jos?”

“Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?”

“Tak ada pilihan lain.”

“Ada. Kita lihat KTP-nya.”

Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman, ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.

“Sudah nasibmu, Kawan!”

Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap. Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku harus pulang nanti? (*)

 

 

Ramadhan, 2010

Page 14: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Perempuan   Hajar

Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 4 Juli 2010)

SEMINGGU belakangan, Putri Angin benar benar bingung. Mau merampungkan kuliah S3 atau balik cepat-cepat ke kampung halaman. Sisa uang tinggal cukup untuk hidup seminggu dan bayar tiket pulang. Tak ada pihak mana pun yang bakal menjamin keuangan dan nasib hidup selanjutnya. Tak ortu tak juga sebuah founding di mana pun. Ia benar-benar terdesak untuk segera memilih, jadi gelandangan di negeri orang atau pulang kampung dinikahkan dengan laki-laki bukan pilihan.

Hari gini menyerahkan masa depan dipelukan laki-laki asing yang tak dikenal? Bukan hanya menyebalkan, tapi mengerikan sekaligus menggelikan. Aku telah susah payah mendaki takdir indah setahap demi setahap. Telah kujejak ribu-ribu kerikil. Di bawah kakiku yang lembut dan kokoh, terus kunaiki Lembah Shafa, kudaki bukit Bukit Marwah. Aku Hajar yang berlarian menahan air mata. Sudah kucium aroma zamzam dari balik sabar dan tulusnya hati ini. Mengapa harus menyerah?

Tidak! Aku mesti kuat. Tinggal setapak lagi, Putri Angin!

“Yanti, aku butuh uang. Jika ada, please! Berapa pun!”

“Aduh, Put. Kebetulan sama-sama krisis nih. Beribu maaf.”

Sudah tujuh teman dikontak dan gagal. Apa mesti kujual laptop ini? Lalu dengan apa mengetik disertasi? Masa tiap hari pergi ke rental? Lagipula tak bisa fokus dan mesti gotong-gotong buku referensi yang berat dan bertumpuk. Sudah melamar jadi guru privat bahasa, jadi penjaga perpustakaan kampus (dengan harapan masih tetap bisa membaca sembari kerja), jadi penjaga toko buku di kopma (dengan harapan yang sama, tetap bisa membaca sembari kerja), bahkan juga melamar jadi presenter acara “budaya dan iptek” di sebuah stasiun televisi lokal (karena bakat orasiku lumayan kenes dibanding para ibu yang bergunjing di acara arisan bulanan di kampung).

Semua gagal. Ada saja alasan kurang mutu yang dikemukakan untukku. Agaknya nasib lagi tak berpihak padaku. Putri Angin membatin sendu. Lagipun sudah berdoa siang malam, ditambah puasa sunah Senin Kamis. Ingin juga rasanya menjalani puasa sunah Nabi Daud alaihissalam, yang dulu sering kulakukan, terutama saat deraan hidup tak tertahankan. Hingga kehidupan

Page 15: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

mencair dan cahaya langit turun meliputi hari-hari penuh kemudahan dan kesuksesan. Embun surga yang netes dan resap ke dasar jiwa, memberi keseimbangan pada hidup dan gejolaknya.

/Pulanglah, anakku. Kau ini perempuan. Sudah 28 tahun usiamu. Untuk apa pula sekolah terus tak rampung-rampung. Ilmumu sudah cukup untuk bekalmu dunia akhirat. Ayo pulanglah/

Ibunya di kampung sudah gelisah. Banyak pertanyaan dialamatkan untuk putri sulungnya. Putri Angin yang smart dan berwajah cantik pula. Dirindui kawan lama dan karib-karibnya di kampung, selalu ditanyakan para orangtua yang punya anak laki-laki dewasa. Sudah terlalu lama tak pulang karena tak ada dana. Namun Putri Angin kian keras niatnya untuk menyeleseikan S3. Meski tak ada satu pihak pun yang mendukung kecuali dirinya sendiri.

/Tinggal beberapa saat lagi, Bu. Kumohon doa ibu tak habis-habis untukku/

Sebenarnya ia ingin bilang, aku pada masa paling sulit dan butuh pertolongan. Namun semuanya tak terucapkan. Ia telan sendiri nasib pahit dan suntuk puasa dari kemilau dunia. Bahkan senja ini, azan magrib hampir kumandang, namun tak ada serupiah pun di tangan. Niatnya sudah bulat untuk menggadaikan handphone. Ia berjalan ke arah sebuah kedai yang biasa menerima ponsel gadaian di dekat pertigaan kota. Bibir keringnya basah asmaul husna.Ya Razzaq ya Rahman ya Rahim. Ya Razzaq ya Rahman ya Rahim. Saking suntuknya, Putri Angin tak sadar menabrak seseorang yang tengah membuka pintu mobil di parkiran pertokoan.

“O maaf maaf. Maafkan saya tak sengaja.”

“Lho!? Ini Putri Angin kan?”

Putri Angin terlongong mendelong ke arah laki-laki yang bernama Hasbi itu.

“Hasbi kan? Kau ada disini?”

“Hanya kebetulan. Lagi ada acara. Wah ternyata kita ketemu di sini setelah hampir berapa tahun ya, terpisah oleh waktu. Apa kabarmu, Put? Masih kuliah atau sudah….”

“Hampir lulus insya Allah! Tapi beratnya segunung, Has. Rasa-rasanya hampir terjungkal aku menang gungnya hehe. Dan kabarmu?”

Page 16: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Anakku sudah dua, istri satu saja hehe. Oh ya Put, sebenarnya aku masih ingin cerita banyak denganmu tapi kebetulan lagi terburu nih. Boleh tahu nomor hapemu? Sekalian nomor rekeningmu ya.”

“Untuk apa?” Putri terlonjak.

“Sudahlah. Boleh tahu tak? Maaf lo aku terburu.”

Tanpa pikir panjang karena memang tak ada kesempatan untuk berpikir, Putri menyebutkan nomor handphone yang bakal masuk ruangan gadai dan nomor rekeningnya. Hasbi mengetik segera di ponselnya dan berlalu.

Putri Angin terlongong. Azan magrib berkumandang dari segenap penjuru menara masjid. Aku mesti bersegera ke kedai untuk menggadaikan ponsel sengsara ini dan membeli minuman untuk berbuka. Eh ternyata kedai itu tutup. Lampu di depannya saja padam. Putri Angin demam.

Ia mencoba bertahan dan balik lagi dengan limbung ke arah masjid. Namun masjid terlalu jauh rasanya. Badannya mulai gemetaran, namun ia coba terus menguatkan diri untuk tetap tegak. Ia coba bersandar di pagar sebuah kantor bank untuk meraih energi langit sejenak. Lalu bibirnya yang kian kering, basah kembali dengan asmaul husna. Ya Razzaq ya Rahman ya Rahim. Air mata netes entah tak sengaja. Lalu lalang kendaraan di jalan raya kian memadat. Tak ada satu pihak pun peduli pada orang lain. Ia tengadah langit. Tinggal sisa-sisa warna jingga.

Ia tengok dompetnya dan membukanya. Tak ada serupiah pun. Hanya ada KTP dan Kartu ATM yang diselipkan di ruas-ruas dalamnya. Lalu ponselnya mendering. Sebuah pesan masuk.

/Put, aku dah sukses transfer sejumlah rupiah untukmu. Coba dicek ya. Hasbi/

Putri Angin mendelik tak percaya. Ia baca ulang dan berulang kali, pesan dari kawan lama bernama Hasbi. Masih tak percaya. Jantungnya mendegup kaget dan bahagia. Atau entah. Ia kembali tengadah langit. Rabbi la tadzarni fardan. Allah! Jangan biarkanku sendiri. Lalu ia masuk ke pojok halaman bank di belakangnya, di sana berjajar ATM box menunggu para nasabah memasukkan kartu-kartunya. Ia tekan nomor dan membuka saldo akhir. Sepuluh juta!

Ditundanya rasa gemetar oleh bahagia, karena menyadari banyak pihak di belakang punggungnya tengah mengantri. Namun hatinya terus bersujud syukur dan air mata itu tak lagi bisa dibendung arusnya. Ia ambil sejumlah lembaran warna biru dan pergi ke warung makan untuk segera buka puasa. Sepanjang perjalanan pulang dari warung sampai rumah kost, ia nengok arah dtadi Hasbi tertabrak langkah kakinya yang kurang hati-hati karena suntuk berzikir. Benarkah dia Hasbi?

Page 17: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Kalau benar, untuk apa pula mentransfer uang sejumlah itu untukku yang hanya kawan lama, tak pernah ada kontak silaturahim, tak ada hubungan khusus yang terjalin, bahkan tak ada kenangan istimewa saat dulu samasama di bangku SMU. Bahkan pula, tadi aku hampir lupa kalau namanya Hasbi. Namun entah, seakan ada suara membisik di kupingku kalau nama laki-laki itu Hasbi. Putri Angin terus mengingati peristiwa aneh yang barusan dialaminya, sampai lupa belum kasih respons apa pun pada Hasbi.

/Eh Has, aku sudah cek hadiahmu yang tak diduga. Entah dengan apa bisa kuucapkan rasa terima kasih ini. Aku menabrakmu dan kau malah kasih hadiah tak terkira. Jazakallah bi alf jaza. Tengkyu/

/Aku yang harus terima kasih atas tabrakanmu yang indah itu he he. Sebab tanpa itu, aku tak tahu mesti gimana mencarimu di bumi Tuhan yang luas ini/

/Lho, memangnya kau sedang mencariku tadi?/

/Tepatnya, aku tengah mencari orang dalam mimpiku semalam, mimpi aneh yang membuatku sulit tidur sebelum menemukanmu. Eh kau tabrak aku! Thank‘s berat deh!/

Putri Angin kian digelayuti tanya. Ingin bertanya pada Hasbi, isi dari mimpi yang membuatnya sulit tidur. Mungkin sebaiknya telepon saja. Tapi ponsel sudah nyaris habis pulsanya. Perlu isi ulang yang agak tinggi nominalnya.

“Has. Maaf lagi sibuk ya. Aku masih penasaran dengan isi mimpimu. Seperti apa sih kalau boleh tahu?”

“Jangankan dikau, Put. Aku yang mimpi aja juga penasaran, kenapa mimpiku seperti itu.”

“Jadi seperti apa mimpinya?”

“Entahlah, Put. Tiba tiba si Jubah Putih itu datang ke restoranku dan bilang ‘Nak, sudah tiga kali kau naik haji, jadi untuk apa lagi? Kalau mau ke Baitullah, carilah gadis itu (si Jubah Putih menunjuk sosokmu seperti dalam film hidup) dan transfer sejumlah uang untuknya. Insya Allah pahalamu lebih dari naik haji ke-empatmu’. Aku ingin tanya, di mana gadis itu? Eh keburu dia lenyap. Untungnya aku masih ingat wajah yang ditunjuk itu. Wajahmu. Sepertinya tempat kita

Page 18: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

tabrakan tadi, itu juga tempatmu dalam mimpiku. Entahlah. Tapi apa pun, kuharap hadiah itu menjadi berkah untuk kita. Aku ikhlas lillahi ta’ala.”

Putri Angin sujud syukur di atas sajadah merahnya. Jadi benar itu uang hadiah? Tuhan telah mengirim sejumlah yang dibutuhkan untuk merampungkan disertasinya. Jika dikalkulasi, itulah jumlah paling standar untuknya.

Untuk perempuan Hajar berangkat kembali mendaki Bukit Marwah. (*)

Yogyakarta, 2010

Page 19: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Menari di Padang   Prairi

Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 16 Mei 2010)

OKE! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

“Salam. Aku datang lagi…!”

“Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

“Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

“Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

“Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

“But love is country with map.”

“Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

“Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

“Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

“Jadi?”

“Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Page 20: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

“Datang lagi aku, hallow…!”

“Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

“Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

“Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

“Jurang mawar atau jurang berduri?”

“Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

“Tak berarti kau mengancamku kan?”

“Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

“Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

“Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

“Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

“Tapi ke mana kita akan menuju?”

“Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

“Dasar kurang kerjaan!”

Page 21: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

“Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

“Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

“Kayak kamu dong!”

“Terima kasih sudah dinilai.”

“Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

“Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

“Ge-er!”

“Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

“Hek! Miring, Lu!”

“Hingga miring pun! Bahagia aku.”

“Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

“Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

“Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

“Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

“Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

Page 22: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. “Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

“…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

“Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

“Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

“Kau mengancamku. Mau makar?”

“Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

“Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

“Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

“Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

“Huaha…. Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

“Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

“Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

“Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

Page 23: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

“Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

“Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

“Haha… curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

“Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

“Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

“Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

“Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

“Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

“Haha… sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

“Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

Page 24: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

“Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

“Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

“Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

“Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

“Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Page 25: Sajak Sajak Abidah El Khalieqy

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

“Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan….” Topan terus saja menghadang.

“Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

“Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

“Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

“Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!” Topan meradang.

“Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

“Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

“Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. (*)

 

Jogjakarta, 2010