BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu kesehatan sangatlah fleksibel dengan mengikuti perkembangan
zaman. Itu dapat dilihat dengan perkembangan penyakit dan cara mengatasinya.
Penyakit sangatlah berbahaya bagi tubuh manusia, apalagi yangdapat
mengganggu jawa manusia. Karena itu ketika penyakit dapat membahayakan
maka secepat mungkin harus dicari cara mengatasinya atau pengobatan terhadap
penyakit yang diderita, dimikian pula penyakit struma nodosa yang menyebabkan
pembengkakan pada leher.(1)
Struma nodosa atau strauma endenomatosa terutama di temukan didaerah
pegunungan kerena defisiensi iodium dan merupakan salah satu masalah gizi di
Indonesia. Struma nodosa di temukan secara incidental atau pada keluarga
tertentu. Etiologinya umumnya multifaktoria, biasanya tiroid sudah membesar
sejak usia mudah dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.(2)
Deregenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma
karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur hingga struma menjadi
besar tanpa gejalah kecuali benjolan di leher, sebagian penderita dengan strauma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa adanya gangguan. Struma nodosa
merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16%
perempuan dan 4% laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang
telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan. Untuk itu haruslah tanggap dalam
menghadapi penyakit ini dengan melihat kondisi pada penderita. Penyembuhan
penyakit ini dilakukan dengan pengobatan dan terapi TSH oleh tiroksin serta
pembedahan dilakukan apabila srtuma menjadi besar.(2)
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti
tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut
struma.(3)
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.
Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.(3)
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang
letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid
lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal.
Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid
janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intrauterin.(3)
2
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid.(3)
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak.(4)
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari
a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular.(4)
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan.(4)
3
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk
lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin
(BM 650.000).(4)
Fisiologi Hormon Tyroid
Bahan dasar untuk sintesis hormone tiroid adalah tirosin dan iodium, yang
keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan
kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain, iodium yang diperlukan untuk
sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan. Pembentukan,
penyimpanan, dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-langkah berikut:
1. Semua langkah sintesis hormone tidroid berlangsung di molekul
tiroglobulin di dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh
kompleks Golgi/reticulum endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu
ke dalam molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar ini diproduksi.
Setelah diproduksi, tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari
sel folikel ke dalam koloid melalui eksositosis.
4
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam
koloid melalui suatu pompa iodium yang sangat aktif atau “iodine-
trapping mechanism” protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan
energi yang terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua iodium di
tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid
untuk mensintesis hormon tiroid. Selain untuk sintesis hormone tiroid,
iodium tidak memiliki manfaat lain di tubuh.
3. Di dalam koloid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam
molekul tiroglobuli. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan
monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT).
4. Kemudian terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin
beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua DIT
(masing-masing mengandung dua atom iodium) menghasilkan
tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan
empat iodium. Penggabungan satu MIT (dengan satu iodium) dan satu
DIT (dengan dua iodium) menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan
tiga iodium) penggabunga tidak terjadi antara dua molekul MIT.(5)
Metabolisme T3 dan T4
Sekitar 90% produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid adalah
dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktifitas biologis sekitar empat kali lebih
poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian diubah
menjadi T3, atau diaktifkan melalui proses pengeluaran satu iodium di hati dan
ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami
proses pengeluaran iodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah
bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel. Walaupun tiroid
mengeluarkan lebih banyak T4.(5)
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik
dengan cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormone bebas dari keseluruhan
5
hormone tiroid memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan mampu menimbulkan
suatu efek.(5)
Terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan hormone
tiroid: globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin) yang secara selektif
mengikat hormone tiroid 55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi, walaupun
namanya hanya menyebutkan secara khusus “tiroksin” (T4); albumin yang secara
nonselektif mengikat banyak hormon lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35%
dari T3; dan thyroxine-binding prealbumin yang mengikat sisa 35% T4.(5)
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-
reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis
juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan
hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid.(4)
Efek metabolisme Hormon Tyroid :
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
6
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,
tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.(4)
Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.(6)
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-
gejala hipertiroid.
7
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang
sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi
sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada
preexisting penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative
dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis,
lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet,
singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon
kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa
kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.(6)
2. Struma Non Toxic Diffusa(7)
Etiologi :
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium,
dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
8
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi
hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-
stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid(7)
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan
fibroblast growth factor.(8)
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab
pastinya.(9)
9
Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan
perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH
reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis,
seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu
kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar
tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.(7)
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.(7)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.
Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar
hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di
kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.(7)
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN(10)
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis
yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
10
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa
adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :(10)
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus
okuli waktu melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
11
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid,
tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan
simetri atau nodular.(10)
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau
adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium.
Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia
lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk
12
involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan
foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.(10)
Manifestasi klinis(10)
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal:
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin,
nodul hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang
dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan
pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data
juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun,
1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam
nodul.
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya
suara parau (Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada
leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada
kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil.
13
Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase
karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994).(10)
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau
macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah
penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita
(struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher
bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah
ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma
tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).(10)
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai:(10)
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian
depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah.
Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan
atau keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam
sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
14
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin
ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah
satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).(10)
Pemeriksaan penunjang meliputi:
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini
pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik
tiroid dibedakan 3 bentuk :
o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang
dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya.
Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa
bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau
jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
15
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap
cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul.
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar,
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu
tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o
C dan dingin apabila <>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada
yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan
spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak
rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.(10,11)
Penatalaksanaan(10,13)
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang
terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua
lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar
getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau
16
deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan
luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen
juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah
karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga
ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada
karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet
Dosis : 3x75 Ug/hari p.o
STRUMA TOKSIK
Struma difus toksik (Grave’s Disease)
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s
terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang
merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.(10)
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan.(12)
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun,
sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan
17
kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan
konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel
mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata),
okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.(12)
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi
pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-
kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang
cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada
wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran
tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut
Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)
meningkat.(10)
Penatalaksanaan(11,12)
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid
yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak
jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang
dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat
yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia18
5. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
2. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons
terhadap obat antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat
antitiroid dosis besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima
yodium radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih
nodul19
Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease. Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular
kronik.(11)
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti
penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter
multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid
difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan
mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian,
tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada
penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa
goiter terletak di retrosternal.(11)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang
meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan.(11)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi
gejala tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves.
Radioterapi tidak efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah
dan karena penderita ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul
yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena
kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi
dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan.(11)
20
PENYAKIT TIROID YANG LAIN
Tiroiditis
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.
Klasifikasi:(10)
1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk
khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab
antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan
Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung
dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktus
tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau
tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise,
demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher
dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda
radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan
nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif
biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan
kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan
lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar
melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan
drainage.(10)
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai
antibodi autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke
telinga, demam, malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada
pameriksaan fisik ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya
disertai takikardi berkeringat, demam, tremor dan tanda-tanda lain
hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium sering di jumpai leukositosis,
laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi
karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi kelenjar tiroid oleh
proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri sehingga
21
pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal
untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan
glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.(10)
3. Menahun
1. limfositik (Hashimoto)
merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma
limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita
berumur 30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat,
tidak terlalu besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada
nyeri spontan dan nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan
jarang hipertiroid. Kelainan histopatologisnya antara lain infiltrasi
limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis
hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis melalui
biopsi.
Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan
pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena kelenjar
tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut.
2. Non spesifik.
3. Fibrous-invasif (Riedel).(10)
22
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : Ny. S. D
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Pinapalangkow, 2 September 1962
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Desa Pinapalangkaw, Tareran, Minahasa selatan.
Tanggal MRS : 21 Mei 2012
Anamnesis
23
Keluhan utama: Benjolan di leher.
Benjolan di leher dialami sejak + 29 tahun yang lalu. Awalnya benjolan muncul
berukuran + 2 x 2 cm atau sebesar kelereng lama kelamaan membesar hingga saat
dilakukan pemeriksaan benjolan berukuran + 9 x 8 cm. Benjolan tidak disertai
nyeri, hiperemis tidak ada, konsistensi kenyal, mudah digerakkan. Pasien
sebelumnya sudah berobat ke dokter ahli bedah dan diberikan obat minum, pasien
juga disarankan untuk dilakukan operasi tapi pasien menolak dengan alasan
keuangan. Nafsu makan biasa, buang air besar dan buang air kecil biasa.
Riwayat penyakit dahulu : Mioma uteri sejak + 2 bulan yang lalu, pernah dirawat
RSU Prof R.D. Kandou selama 3 minggu.
Pemeriksaan Fisik
KU: tampak sakit, Kes: CM
Tekanan darah: 110/60 mmHg Nadi : 70 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit Suhu : 36,6 0C
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung: septum deviasi (-), secret (-)
Mulut : bibir sianosis (-), deviasi lidah (-)
Telinga: sekret (-)
Leher : Inspeksi : Terlihat benjolan dengan ukuran + 9 x 8 cm pada region colli
sinistra, hiperemis (-), warna kulit seperti warna kulit di
sekitarnya.
Palpasi : Teraba benjolan dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan (-).
24
trakea letak tengah, pembesaran KGB (-), benjolan ukuran + 9 x 8 cm konsistensi
kenyal, hiperemis (-), nyeri tekan (-).
Thoraks : inspeks: simetris kiri = kanan
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
Perkusi: sonor kiri = kanan
Auskultasi : Suara pernapasan bronkovesikuler, Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Abdomen: inspeksi: datar
Palpasi: lemas, Hepar dan Lien tidak teraba.
Perkusi: Timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status lokalis : Regio colli sinistra: benjolan ukuran + 9 x 8 cm, konsistensi
kenyal, mobile, nyeri tekan tidak ada, ikut terangkat saat menelan.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 22/5-20112
Hb 11,8 g/dL (12 – 16 g/dL)
Eritrosit 4,94 x 106 / mm3 (4,25 x 106/ mm3 - 5,40 x 106/ mm3)
Leukosit: 9900/ mm3 (4000 – 10.000/ mm3)
Hematokrit 36,7 % (37% – 47%)
Trombosit 309.000 mm3 (150.000 – 450.000 mm3)
SGOT 46 U/L (0 – 33 U/L)
SGPT 49 U/L (0 – 43 U/L)
25
Natrium 151 mmol/L (135 – 153 mmol/L)
Kalium 3,15 mmol/L (3 – 5 mmol/L)
Klorida 100,6 mmol/L (98 – 109 mmol/L)
GDS 82 mg/dL
Ureum 31 mg/dL (20 – 40 mg/dL)
Kreatinin 1,2 mg/dL (0,6 – 1,1 mg/dL)
Albumin 3,3 mg/dL
2. EKG
Kesan: Dalam batas normal
3. Foto thorax
Kesimpulan: Massa daerah leher (Struma?)
4. Hasil immunoassay (endokrin)
TSHs 0,98 µIU/L
FT4 1,07 ng/dL
FT3 218 pg/mL
Diagnosis
Struma uninodosa non toksik
Terapi
Rencana Isthmolobectomy
Follow up
Tanggal 21 Mei 2012
26
S: benjolan di leher
O: T: 120/60 mmHg, N: 70 x/m, R: 20 x/m, S: 36,6 oC
A: Struma uninodosa non toksik
P: Rencana isthmolobectomy tunggu jadwal
Tanggal 22 Mei 2012
S: benjolan di leher
O: T: 120/80 mmHg, N: 84 x/m, R: 20 x/m, S: 36,6 oC
A: Struma uninodosa non toksik
P: Pemeriksaan laboratorium lengkap, EKG, Foto thorax
Tanggal 23 Mei 2012
S: benjolan di leher
O: T: 110/80 mmHg, N: 80 x/m, R: 20 x/m, S: 36,8 oC
A: Struma uninodosa non toksik
P: Rencana Isthmolobectomy tunggu jadwal.
27
BAB IV
DISKUSI
Pada kasus ini akan dibahas diagnosis, etiologi, penanganan dan
prognosis.
Diagnosis
Pasien didiagnosis dengan Struma uninodosa non toksik. Pada anamnesis
ditemukan pasien seorang perempuan berusia 49 tahun, mengalami benjolan di
leher sejak + 29 tahun yang lalu. Awalnya benjolan timbul di sebelah kiri dengan
ukuran + 2 x 2 cm atau sebesar kelereng. Lama-kelamaan benjolan semakin
membesar dengan ukuran + 9 x 8 cm. Nyeri pada benjolan tidak pernah dirasakan
oleh pasien, saat menelan pasien juga tidak merasakan sakit. Tidak terdapat tanda
– tanda hipertiroidisme seperti jantung berdebar, sulit tidur, hiperaktif, penurunan
berat badan walau nafsu makan meningkat,
28
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tanda – tanda vital dalam batas
normal. Pemeriksaan fisik leher: trakea letak tengah, pembesaran KGB tidak ada,
benjolan ukuran + 9 x 8 cm konsistensi kenyal, tidak hiperemis, nyeri tekan tidak
ada. Pembesaran kelenjar tiroid teraba sebagai suatu nodul berbatas jelas.(4)
Etiologi
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toksik adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang
sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
A. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi
sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hypothyroidism dan cretinism.
B. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative
dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis,
lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet,
singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama
masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan
maligna.(6)
Penanganan
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan isthmolobectomy dengan
tujuan untuk mengurangi besar yaitu dengan cara mengangkat satu sisi lobus
29
kelenjar tiroid pada pasien ini dilakukan pada lobus kiri (sinistra) karena pada
pasien ini pembesaran tiroid hanya satu nodul dan hanya pada sebelah kiri, operasi
ini juga dilakukan mengingat struma yang ada bersifat non toksik.(10)
Prognosis
Pasien dengan struma uninodosa non toxic dengan hasil pemeriksaan
laboratorium (endokrin) yang menunjukan hasil eutiroid memiliki prognosis dubia
ad bonam. Karena pada pasien ini tidak disertai tanda – tanda hipertiroid. Pada
pasien ini rencananya akan dilakukan isthmolobektomi, kemudian dilakukan
pemeriksaan histopatologi. Prognosis dapat berubah apabila pada pemeriksaan
histopatologi didapatkan adanya tanda-tanda keganasan.(10)
Lampiran foto
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Artikel: ”Struma”. Diunduh dari: http://widodo-sarono.blogspot.com
/2010/12/struma.html. Diakses pada: Desember 2010.
2. Artikel: ”Struma Nodosa Non Toksik”. Diunduh dari: http://mangsholeh.
wordpress.com/2009/03/04/struma-nodosa-nontoxic/. Diakses pada: Maret
2010.
3. Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan
Terapi., Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
4. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan
Faalnya., Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.
31
5. Sherwood Lauralee, 2002, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi II,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm.
7. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm.
8. Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic920.htm.
9. Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic917.htm.
10. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita
Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta.
11. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2.,
7th Ed., McGraw-Hill., Newyork.
12. Kaplan, Edwin. L, Thyroid and Parathyroid, in Principles of Surgery, New
York, 1994, page : 1611-1621.
13. Pasaribu E.T. Pembedahan pada Kelenjar Tiroid. Divisi Onkologi
Departemen Ilmu Bedah
14. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara–RS H. Adam Malik.
Medan : 2007
32
Top Related