Download - Syed Muhammad Naquib Al

Transcript
Page 1: Syed Muhammad Naquib Al

Syed Muhammad Naquib al-AttasDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas (Bogor, 5 September 1931) adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.

[sunting] Pendidikan dan masa kecilSyed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Indonesia. Ia menempuh pendidikan dasar pada usia 5 tahun di Johor, Malaysia, namun saat pendudukan Jepang ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar Bahasa Arab di Madrasah Al-`Urwatu’l-wuthqa di Sukabumi.

Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya. Ia tertarik dan mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, al-Attas menulis Rangkaian Ruba`iyat, sebuah karya literatur, dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Dari sini ia melanjutkan studi ke the Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Al-Attas menyelesaikan studi pasca sarjana di sini dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri.

In 1987, Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.

[sunting] Tulisan Al-Attas

(1970) The Correct Date of the Terengganu Inscription, Kuala Lumpur Museum Department.

(1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq: A Refutation, Kuala Lumpur Museum Department.

(1978) Islam and Secularism ISBN 983-99628-6-8 (1980) The Concept of Education in Islam (1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the

`Aqa’id of al-Nasafi (1989) Islam and the Philosophy of Science, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)

Page 2: Syed Muhammad Naquib Al

(1990) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990) On Quiddity and Essence (1990) The Intuition of Existence (1992) The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (1993) The Meaning and Experience of Happiness in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC,

1998) (1994) The Degrees of Existence (1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental

Elements of the Worldview of Islam

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas"

ISLAMISASI SAINS NAQUIB AL ATTAS

Oleh: Hadi Purwanto, S.Pd.I

Makalah ini disampaiakan pada perkuliahan S2 IAIN Antasari Banjarmasin

Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pembimbing Mujiburrahman, Ph.D

 

A. Pendahuluan

Agama Islam merupakan agama yang berisi semua nilai-nilai kemanusiaan, sosial, budaya bahkan pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada ayat pertama yang diturunkan oleh Allah adalah berisi tentang pendidikan. Perkembangan pendidikan di dunia Islam berkembang pesat dimulai pada masa Daulah Abbasiyah dengan didirikannya Bait al-Hikam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1970-an perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam mengarah kepada pemikiran Islamisasi Sains. Kajian dalam Islamisasi Sains ini dapat dinilai sebagai manifestasi dari perkembangan intelektualisme yang berkembang secara global di kawasan dunia Islam.

Gagasan Islamisasi Sains ini merupakan kelanjutan dari gagasan Seyyed Husein Nasr pada tahun 1968 dengan karyanya The Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian menjadi bahan pembicaraan yang penting dalam konfrensi Dunia I tentang Pendidikan Muslim (World Conference on Muslim Education) di Makkah pada tahun 1977.

Salah satu gagasan dalam konfrensi tersebut dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education, yang kemudian dijadikan salah satu bab dari bukunya yang berjudul Islam and Secularism.

Page 3: Syed Muhammad Naquib Al

Al-Attas dalam makalahnya menyebutkan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman sekarang ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.

Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang gagasan-gagasan Syed Naquib Al-Attas dalam kajian Islamisasi Sains. Agar penulisan makalah ini lebih terarah maka penulis akan membatasi pembahasan kepada: (1) Biografi dan Karya Naquib Al-Attas, (2) Sains Menurut naquib Al-Attas, (3) Islamisasi sains Naquib Al-Attas.

B. Biografi Dan Karya Naquib Al Attas

Naquib Al-Attas mempunyai nama lengkap Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas merupakan seorang cendikiawan muslim asal Indonesia-Malaysia. Al-Attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas berasal dari Saudi Arabia dan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus merupakan kerabat Raja Sunda Sukapura, Jawa Barat.

Sejak berumur 5 tahun Al-Attas tinggal di Johor Malaysia dan memulai masa pendidikannya ketika ia masuk ke Ngee Neng English Premary School. Ketika jepang menduduki Malaysia ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah Al-Urwatul Ustqa di Sukabumi.

Pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Malaysia dan belajar lagi di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English College Johor Baru. Setamat dari sekolah Al-Attas masuk dinas tentara hingga mencapai pangkat Letnan. Namun ia keluar dari dinas ketentaraan karena merasa tidak sesuai dengan bidangnya dan masuk kuliah ke Universitas Malaya, kemudian melanjutkan ke Mc.Gill University, Montreal kanada sampai mendapat gelar MA. Dan mendapatkan gelar Ph.D di School of Oriental and African Studies University of London.

Sepulang dari pendidikannya Al Attas mengabdikan dirinya sebagai dosen di Universitas Malaya dan juga termasuk sebagai pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia. Selanjutnya pada tahun 1978 Al-Attas berhasil mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) dan ia sebagai direkturnya.

Karya-karya Al-Attas sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu rujukan tentang pendidikan islam. Karya-karya Al-Attas sebagai berikut: The Mysticism of Hamzah Fansuri (1969), Raniri and the Wujudiyah of 17th century Acheh, Sufism as understood and Practiced Among the Malays (1966), The Origin of the Malay Sha’ir (1968), Concluding Postcript to origin of the Malay Sha’ir (1971), Islam in the History and Culture of the Malays (1972), Comment on the Re-examination of al-Rainiri’s Hujjatul Siddiq: a refutalion, islam: the cncept of religion and the foundation of ethics and morality (1975), Rangkaian Ruba’iyyat (1959), Some Aspect of Sufism an Understood and Practiced Among the Malays (1963), Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (1969), The Correct date of the Trengganu Inscription (1971), Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (1976) Tejemahan berjudul Tantangan Islam,

Page 4: Syed Muhammad Naquib Al

Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education (1977), Islam and Secularism (1978) Terjemahan berjudul Islam dan Sekularisme, dan juga dengan judul Dilema Kaum Muslim, The Concepts of Education in Islam: A Franework for an Islamis Philosophy of Education (1980), Terjemahan berjudul Islam dan Filsafat Sains, A Comentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniry (1986), The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi (1988), Islam and the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990), On Quiddity and Essence (1990), The Intuition of Existence (1990), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), The Degrees of Existence(1994), Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995), Risalah untuk Kaum Muslimin (2001), Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (2007).

C. Sains Menurut Naquib Al-Attas

Sains merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu science. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia sains mempunyai tiga pengertian: (1) ilmu pengetahuan pada umumnya; (2) pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya botani, fisika, kimia, geologi, zoology dan sebagainya (ilmu pengetahuan alam); (3) pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian dan uji coba yang mengarah kepada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari dan sebagainya.

Secara bahasa Sains (science) menurut Al-Attas adalah ilmu sedangkan knowledge berarti pengetahuan. Hal ini juga didukung oleh penerjemahan Jujun S. Suriasumantri yang berdasarkan bahwa knowledge merupakan terminology generic dan science adalah anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut.

Sumber-sumber ilmu menurut Al-Attas adalah sebagai berikut:

1.      Indera-indera lahir dan batin.

Yang bertentangan dengan filsafat dan sains modern adalah dalam hal sumber dan metode ilmu. Al-attas memandang bahwa ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh melalui saluran indera yang sehat. Yang dimaksud dengan indera yang sehat ini mengacu kepada persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indera lahiriyah, yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar. Adapun indera batin adalah indera umum (common sence), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi.

2.      Akal dan intuisi

Mengenai akal yang sehat (sound reason), kita memaksudkannya dalam artian tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi, atau pada bagian mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi atau yang mengubah data pengalaman inderawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstrkasi. Sedangkan intuisi adalah pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran, menurut Al-Attas

Page 5: Syed Muhammad Naquib Al

intuisi datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakikat relitas ini, dan atas kehendak Tuhan ia akan mendapat intuisi tersebut.

3.      Otoritas

Dalam hal otoritas ada dua macam otoritas yang dapat dijadikan sumber ilmu, yaitu pertama otoritas yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuawan, dan orang yang berilmu pada umumnya yang dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Sedangkan yang kedua adalah otoritas juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum tetapi bersifat mutlak.

D. Islamisasi Sains Menurut Naquib Al-Attas

Pengertian Islamisasi menurut bahasa adalah pengislaman, sehingga Islamisasi Sains merupakan pengislaman sains. Lebih jauh lagi Al-Attas menerangkan tentang islamisasi yaitu pembebasan manusia dari unsur magic, mitologi, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan mitilogis. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistimologi dalam rangka membangun peradaban Islam. Bukan maslah “labelisasi” seperti islamisasi teknologi, yang secara peyoratif dipahami sebagai islamisasi pesawat terbang, telekomunikasi dan sebaginya. Bukan pula islamisasi dalam dalam arti konversi yang terdapat dalam pengertian Kristenisasi.

Munculnya Islamisasi Sains karena Sains yang berkembang di dunia barat saat ini hanya berdasarkan pada rasio dan panca indera, jauh dari wahyu dan tuntunan Tuhan. Sehingga walaupun menghasilkan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia namun juga menimbulkan bencana yang sangat dasyat. Sebagai contoh teknologi pesawat terbang sangat membantu manusia dalam transportasi namun dengan teknologi pesawat terbang pulalah pemboman terjadi dimana-mana.

Pada ide Islamisasi Sains Al-attas hanya membatasi pada ilmu-ilmu kontemporer, tidak termasuk ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang dibangun oleh para sarjana (ulama) zaman dahulu. Karena menurut sebagian ulama turast islami tidak termasuk dalam proses islamisasi sebab ia tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat yang sebenarnya dan sumber segala ilmu.

Menurut Al-Attas proses Islamisasi Sains tidak akan bisa berjalan dengan cara menerima pengetahuan barat sekarang ini seperti apa adanya dan lalu berharap akan mengislamkannya dengan hanya mencangkokkan atau transplantasi dengan ilmu-ilmu atau prinsip-prinsip Islam. Hal ini akan mengakibatkan hasil-hasil yang bertentangan yang kesemuanya tidak bermanfaat.

Islamisasi yang tepat menurut Al-attas adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti itu untuk kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah hingga tingkat atas dalam gradasinya masing-masing yang didesain sedemikian agar sesuai dengan standar untuk masing-masing tingkat.

Page 6: Syed Muhammad Naquib Al

Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, menurut Al-attas setiap cabang harus diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari semua cabangnya. Pembuangan unsur-unsur asing dari semua cabang ilmu tersebut mengacu terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan, meski juga harus diperhatikan bahwa dalam ilmu-ilmu alam dan terapan khususnya serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penafsiran fakta-fakta dan perumusan teori, proses pembuangan juga harus dilakukan.

Pada pengetahuan-pengetahuan ini harus ditambahkan dengan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan:

1.      Perbandingan agama dari sudut pandang Islam.

2.      Kebudayaan dan peradaban barat. Disiplin ini harus dirancang sebagai sarana bagi orang-orang muslim untuk memahami Islam sehubungan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lain, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa akan datang yang akan berbentrokan dengan Islam.

3.      Ilmu-ilmu linguistik, seperti bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, Leksokografi dan Literatur.

4.      Sejarah Islam, seperti pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat dan sains Islam dan Islam sebagai sejarah dunia.

 

Akhirnya dengan mengacu pada ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis serta pengisolasian dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing yang telah tersusupkan ke dalamnya, maka unsur-unsur dan konsep-konsep asing harus dikenali. Menurut Al-Attas unsur dan konsep asing tersebut berasal dari tradisi keagamaan dan intelektual Barat, unsur-unsur tersebut adalah:

1.      Konsep dualisme yang mencakup cara pandang mereka tentang hakikat dan kebenaran.

2.      Dualisme antara jiwa dan jasad, pemisahan antara intellectus dan ratio serta penekanan meraka atas validitas ratio. Perpecahan metodologis mereka berkenaan dengan rasionalisme dan empirisme.

3.      Doktrin humanism mereka dan ideology sekulernya.

4.      Konsep tragedy mereka, terutama dalam kesustraan.

Semua proses pengisolasian konsep-konsep kunci ini dari semua cabang ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis merupakan proses dari islamisasi sains.

 

E. Penutup

Page 7: Syed Muhammad Naquib Al

Dari uraian makalah di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Naquib Al-Attas adalah seorang cendikian muslim yang sangat produktif, dimana dapat dilihat dari buku-bukunya hingga tahun 2007 mencapai puluhan. Adapun kajian utama dari berbagai literaturnya adalah tentang pendidikan Islam.

2.      Secara bahasa Sains (science) menurut Al-Attas adalah ilmu sedangkan knowledge berarti pengetahuan.

3.      Islamisasi sains dianggap perlu oleh Naquib Al-Attas karena melihat perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang tidak hanya memberikan manfaat bagi manusia, namun juga memberikan bencana.

 

Setelah melihat islamisasi sains menurut Naquib Al-Attas dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, penulis ingin mendiskusikan tentang:

1.      Bagaimana posisi Madrasah (MI, MTs, MA dan PTAI) dengan Islamisasi sains?

2.     Kenapa kebanyakan Madrasah-madrasah memiliki mutu lebih rendah dibanding dengan sekolah umum? Bagaimana memecahkan permasalahan tersebut?

KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*

Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk.Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ?Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya.

Page 8: Syed Muhammad Naquib Al

Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang  kurang tepat.Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban).Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-

Page 9: Syed Muhammad Naquib Al

perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”.Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.

Proposal Skripsi S.M.N   Al-Attas BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membentuk manusia menjadi masyarakat modern. Hal ini didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditaklukan oleh kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berproses pada rasionalitas. Jagad raya beserta isinya yang oleh doktrin-doktrin agama memiliki keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta, kini hanya dianggap sebagai benda otonom yang tak ada keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta.

Dunia materi dan non-materi difahami secara terpisah, sehingga dengan demikian masyarakat modern merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi memerlukan intervensi Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia ini. Karena dengan kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi segala hal dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan dari Tuhan. Dengan demikian manusia modern semakin yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai orbit dunia dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mengumandangkan nilai-nilai rasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (Budaya primitif).[1]

Memang diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi kelangsungan kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan

Page 10: Syed Muhammad Naquib Al

dan teknologi tersebut telah menimbulkan krisis global yang sangat serius. Kalau krisis ini didaftar secara detail, maka akan ditemukan daftar krisis yang amat panjang. Misalnya krisis lingkungan mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Disamping itu, yang tak kalah serius adalah terjadinya dekadensi moral di berbagai belahan dunia benar-benar telah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Kejujuran, keadilan, kebenaran, tolong-menolong dan kasih sayang sudah tereliminasi oleh tindak penipuan, penyelewengan, penindasan dan saling merugikan.[2] Terjadinya krisis yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat menurut Gregory Bateson tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat.[3]

Akibat epitemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan ‘segala sesuatu’, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Di kalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut yang diformulasikan berdasarkan Alquran dan Assunnah sebagai wahyu Tuhan. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respons kreatif terhadap tantangan-tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat.[4]

Sejalan dengan itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan kekeliruan epistemologi Barat, karena Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, Barat juga telah menjadikan skeptisisme ke tingkat tinggi sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional.

Bertolak dari krisis yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan Barat di atas, sebagian kalangan intelektual Muslim merasa kuatir apabila ilmu pengetahuan Barat tersebut diterapkan di dunia Muslim apa adanya (taken for granted). Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya krisis di dunia Muslim, maka ilmu pengetahuan kontemporer sebelum diterapkan harus diislamkan terlebih dahulu.

Islamisasi ilmu merupakan usaha mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistik, sekularistik, evolusioneristik, dan karena pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam.[5]

Perlunya menampilkan pemikiran teologis yang berlandaskan Alquran adalah untuk menghilangkan kesan yang selama ini muncul bahwa pendidikan Islam itu adalah tidak lebih dari pendidikan Barat yang ‘terislamkan.’ Paradigma filosofis yang digunakan tidak sepenuhnya berlandaskan paradigma Qur’ani, tetapi menjiplak paradigma Barat yang memang mendominasi pemikiran Islam.

Page 11: Syed Muhammad Naquib Al

Akibatnya, seperti yang disinyalir oleh Abdul Munir Mulkhan, dunia pemikiran Islam, termasuk pendidikan Islam, masih dihinggapi semacam ‘kekeliruan semantik’ atau bahkan ‘kepalsuan semantik’. Diterimanya prinsip dikotomi adalah diantara indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam. Dikotomi ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan Islam dengan segala variasi dan implikasinya dalam membentuk wawasan intelektual dan keagamaan umat dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaannya.[6]

Untuk keluar dari situasi itu, maka rekonseptualisasi pendidikan Islam yang lebih bermakna sungguh sangat diperlukan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menawarkan sebuah problem solving dengan mengedepankan konsep tauhid yang menjadi oase dalam gersangnya pendidikan Islam dewasa ini. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka sangat menarik untuk mendalami jalan pikiran al-Attas ini, melalui pemahaman ajaran-ajarannya tentang pedagogik Islam.

Syed Muhamamd Naquib al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya yang telah diindonesiakan, seperti Islam dan sekularisme, terbitan Pustaka Bandung, yang sangat populer pada tahun 80-an, Islam dan Filsafat Sains terbitan Mizan, atau Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenalnnya. Namun, sisi penting sosok al-Attas sebagai pemikir Muslim terkemuka dan pembaharu pemikiran Islam tidak dapat ditangkap hanya dari karya-karya yang telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaharu di Dunia Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi[7] dan disalahfahami atau dipolitisasi banyak orang. Gagasannya bukan tanpa konsep, melainkan justru merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian dikumpulkan dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysich of Islam. Bahkan, yang lebih menarik lagi, karena kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya diimplementasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional.[8] Inilah substansi dari skripsi yang penulis tuangkan ini, yakni mengungkap pemikiran-pemikiran cemerlang al-Attas tentang pendidikan Islam dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

Selain pemikiran al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, skripsi ini juga akan membahas kerangka berpikir al-Attas tentang pedagogik yang lain misalnya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, dan Ide dan Realitas Universalitas Islam.

Studi ini berangkat dari konsep utama ‘pedagogik”. Pedagogic secara lughawi berarti ilmu yan berusaha menyelidiki tentang perbuatan mendidik.[9] Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah.[10]

Meskipun istilah paedogogos (sekarang pedagogic) pada mulanya digunakan untuk konotasi rendah (pelayan, bujang) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat. Paedagoog (sekarang pedagog) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam

Page 12: Syed Muhammad Naquib Al

pertumbuhan ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa Arab disebut Mu’allim, Mudarris atau Murabbi.

Menurut al-Khukli, kata pedagogic (Inggris) diberi padanannya dalam bahasa Arab dengan kata tarbawy atau ta’limi. Al-Khukli mengartikan pedagogic sebagai “ilmu usul al-Tadris, Fannu al-Tadris.” Artinya ilmu tentang dasar-dasar mendidik atau ilmu tentang kiat mendidik.[11]

Secara lughawi memang tidak dibedakan antara pedagogy dan pedagogic, akan tetapi dalam konteks kependidikan, kedua istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecendrungan makna praktek dan cara mengajar (applied); sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu mendidik. Soerganda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:

1. Praktek, cara mengajar2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; prinsip-prinsip,

metode-metode membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan.[12]

Di negeri Belanda orang membuat perbedaan. Ilmu pengetahuan mengenai pendidikan seperti yag dimaksud dalam poin b adalah pedagogic. Sedangkan pelaksanaan pendidikan tersebut disebut pedagogi.[13] Dalam studi ini, kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Pedagogic digunakan dalam konteks teoritik. Sedangkan pedagogi digunakan dalam konteks aplikatif. Menurut H.M Said di negeri Belanda tidak dikenal istilah filsafat pendidikan. Yang ada ialah ‘pedagogik seek’ dan ’opvoedkunde’, juga di Jerman tidak di kenal istilah filsafat pendidikan yang ada hanya istilah ‘pedagogik’ dan ’erzie lungswisenchaft’. Judul-judul pendidikan Jerman juga menggunakan istilah ‘pedagogiek’ dan ‘erzie lungswissenchaft.’[14]

Pedagogi dalam literatur Islam ekwifalen dengan al-Tarbiyah atau al-Ta’lim. Ibnu Khaldun– sebagaimana kebanyakan para ahli sebelum dan semasa dengannya- menggunakan istilah al-Ta’lim yang diterjemahkan oleh Frans Rosenthal ke dalam bahasa Inggris instruction.[15] Syed Muhammad Naquib Al-Attas –dengan mengemukakan alasan-asalan leksikal- menggunakan istilah al-Ta’dib. Al-Attas mengatakan, mereka yang menggunakan istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah besar, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Padahal pendidikan menurut Islam ialah sesuatu yang khsusus hanya untuk manusia. Tarbiyah mencakup juga untuk binatang. Lagi pula tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada pemilikan, seperti pemilikan orang tuanya, dan biasanya para orang tua pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah.[16]

Dalam bahasa Inggris istilah education diartikan dengan pedagogi. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang tepat adalah pendidikan. Abd. Al-Qadir mendefinisikan pedagogi dalam arti umum ialah, ’semua aktivitas yang berasal dari manusia dengan tujuan mengembangkan kapasitas dan abilitas yang berkenaan dengan fisik, akal budi dan rasa’.[17] Noeng Muhadjir merumuskan sebagai upaya terprogram dari pendidik-pendidik pribadi membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara/jalan yang normatif pula.[18] Demikian pula yang penulis maksudkan dalam skripsi ini, yakni semua usaha yang dilakukan

Page 13: Syed Muhammad Naquib Al

dalam proses pendidikan, mencakup prinsip dan metode mengajar, metode membimbing dan seluk-beluk pengajaran Islam.

Di dalam perkembangan pedagogik yang pesat menuju sebuah ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Dr. H. Muh. Said mengutip pernyataan Herman Rohrs dalam algemeine Erziehungswissenschsftlicen Aufgaben Und Methoden, bahwa yang mula-mula sekali memakai istilah ilmu pendidikan ialah J.C. Greling yang menulis dalam bukunya, ”tentang tujuan akhir dari pendidikan dan tentang dalil dasar pertama dari ilmu pengetahunnya”. Bahwa; ”ilmu pendidikan berbeda dari seni mendidik sebagai umumnya teori dan praktek.”[19]

Untuk melihat apakah kontribusi pemikiran pedagogik Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat dipandang sebagai teori yang acceptable dan applicable dalam pedagogi Islami dan kontemporer, maka dalam mengulasnya digunakan pendekatan filosofik, yaitu suatu sudut tinjau –sesuai dengan objek formalnya- yang menempatkan objek secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka metode yang ditempuh dalam hal ini, adalah deskriptif, komparatif dan analisis-sintesis. Dari uraian ini kemudian penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul, “KONSTELASI PEMIKIRAN PEDAGOGIK SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MODERN.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian singkat di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib Al-Attas?2. Konstelasi pemikiran pedagogik apa saja yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-

Attas? Dan apa sajakah yang dilakukan Al-Attas untuk merealisasikan ide-ide pedagogiknya?

3. Adakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi Al-Attas dalam mewujudkan ide-ide pedagogiknya dan cara mengatasinya?

4. Bagaimana pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan yang diusung Al-Attas dalam rangka mengatasi dualisme ilmu dewasa ini yang melanda negeri-negeri Muslim dan Barat?

5. Secara umum, bagaimana pengaruh dan relevansi pemikiran pedagogik Al-Attas terhadap pendidikan Islam modern?

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diteliti lebih terarah dan tidak keluar dari jalur pembahasan, karena sepengetahuan penulis, pemikiran-pemikiran Al-Attas itu cukup beragam terutama dalam bidang tasawuf, hal itu bisa dilihat dari banyak karya-karyanya diantaranya The Mysticism of Hamzah Fansuri, Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Aceh, dan A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry. Selain itu, beliau juga terkenal ahli dalam bidang teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Oleh karena itu, penulis memberi batasan masalahnya sebagai berikut:

Page 14: Syed Muhammad Naquib Al

1. Mengenal sosok Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.

2. Menguraikan pemikiran pedagogik Al-Attas diantaranya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, Ide dan Realitas Universalitas Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahaun.

3. Menelaah epistemologi pemikiran pedagogik Al-Attas dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan utama yang tersimpul dalam rumusan masalah. Lebih rinci tujuan itu dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib al-Attas.2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pemikiran pedagogik apa

saja yang diwacanakan al-Attas dan relevansinya untuk pendidikan Islam modern.3. Membangun kembali jembatan yang telah hancur dalam tradisi intelektual –dengan

merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya untuk mengantisipasi timbulnya kesimpangsiuran— dan dengan demikian, bisa mengangkat kembali pemikiran konseptual yang autentik dan jelas dalam berbagai persoalan penting umat Islam, seperti masalah pendidikan Islam.

4. Sebagai wacana untuk membawa pemikiran al-Attas ke permukaan, khususnya islamisasi ilmu pengetahuan, dan mengeliminasi sikap dualistik yang keliru dan destruktif, yang sekarang sedang tren di kalangan politikus, birokrat, teknokrat, bahkan akademisi dan mahasiswa Muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah:

1. Memberikan gambaran yang lebih utuh dan imbang tentang kontroversi pendapat sarjana kontemporer mengenai tesis-tesis Al-Attas.

2. Melalui gambaran yang utuh dan imbang itu, maka dengan aman kita dapat mengatakan bahwa Al-Attas telah menghadirkan sebuah paradigma dalam kajian ilmu dan pendidikan yang layak untuk diterapkan kaum Muslim di dunia.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai kajian literatur, metode yang dipakai dalam penelitian ini lebih bersifat eklektis, berbaur antara kualitatif dengan analisa isi. Metode semacam ini diajukan dengan pertimbangan bahwa kajian pendidikan Islam, apalagi yang sedikit banyaknya bermuatan pemikiran filosois, tidak hanya ditembus dengan satu metode saja. Bila satu metode saja, sudah pasti akan memiskinkan bobot analisisnya. Sejarah dan pemikiran manusia begitu kompleks, berdimensi banyak. Setiap dimensi punya daya tarik tersendiri, jika orang pandai melihatnya melalui kacamata yang serius dan kritis.

Page 15: Syed Muhammad Naquib Al

Begitu juga dalam penelitian skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat kontemporer dengan sudut pandang filsafat pendidikan. Data yang dipakai bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pemikiran Al-Attas dan pendidikan. Rujukan utama (primer) adalah karya-karya yang ditulis Al-Attas. Sementara rujukan sekunder adalah karya-karya intelektual mengenai pemikiran Al-Attas. Untuk karya-karya lain yang terkait dijadikan sebagai data pendukung.

Adapun metode yang digunakan adalah metode Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Disamping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990). Metode ini dipakai untuk mengevaluasi secara kritis pemikiran Al-Attas; kekuatan dan kelemahan.

Data-data yang telah terkumpul, kemudian penulis ramu untuk memberikan hasil yang seobjektif mungkin dan mencoba memberikan sesuai dengan tendensi teks. Selanjutnya menuangkannya baik dalam bentuk kutipan murni atau langsung maupun dalam bentuk kalimat yang penulis bahasakan sendiri, tanpa mengurangi esensi dari pendapat-pendapat atau teks yang dikutip.

1. F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I : Merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi masalah dan perumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.

Bab III : Konstelasi pemikiran pedagogik Al-Attas yang terdiri dari konsep pendidikan Islam, kurikulum dan metode pendidikan, makna dan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengetahui, ide dan realitas universalitas Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Serta telaah kritis epistemologi pemikiran Al-Attas perspektif pendidikan Islam modern.

Bab V : Penutup. Merupakan akhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat kesimpulan dan saran.

[1] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet ke-1 h 98

Page 16: Syed Muhammad Naquib Al

[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet ke-1 h 95

[3] Ziaudin Sardar, Masa Depan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Salman, 1987), Cet ke-1 h 88

[4] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h 103

[5] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Misi Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal Studi-studi Islam, Dzulhijjah Awwal 1412/Juli-Oktober 1991, h 96

[6] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet ke-1, h 2

[7] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada 1986. Sebagai seorang ilmuan, ia banyak sekali melahirkan karya ilmiah yang bermutu. Ia menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisannya, pemikiran al-Faruqi mampu tersebar ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Diantara buku-bukunya yang penting adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religious of the World, Trialogue of Abrahamic Faith, The Cultural atlas of Islam, Islamization For Thought And Life, dan Islam And Culture. Harun Nasution (ed.), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Jembatan, 1992), h. 242-243

[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h 15

[9] Dapat dibedakan antara pedagogic. Pedagogic cenderung bersifat keilmuan teoritik aktifitas mendidik, sedangkan pedagogi berarti aktifitas mendidik itu sendiri.

[10] www.rezaervani.com – http://groups.yahoo.com/group/rezaervani, ditulis oleh Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd dan diakses pada 11 November 2009.

[11] Muhammad Ali al-Khukli, Qamus al-Tarbiyah, (Libanon: Dar al’Ilm li al Malayin, 1981), h 345

[12] Soegarda Peorbakawadja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h 212

[13] ibid

[14] H.M Said dalam IAIN Jakarta, Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN, 1983) h. 82

[15] Penerjemahan al-Ta’lim dengan instruction, bukan hanya melemahkan ruh pendidikan yang berwawasan Islam, tetapi juga menafikan sifat normatif dari pendidikan itu sendiri. Instruction cenderung mempunyai makna pengisian otak atau intelek dan performance dan objektif di samping penempatan intelek dan skill.

Page 17: Syed Muhammad Naquib Al

[16] Disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (alih bahasa Haidar Baqir), (Bandung: Mizan, 1987), h 65-67

[17] Hamid Abd. Al-Qadir, Manhaj al-Hadits fi Usul al-Tarbiyah wa Turuk al-Tadris, (Mesir: Matba’ah al-Nahdah, 1957)

[18] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin Press, 1987), Edisi IV, Cet 1, h 10

[19] Prof. Dr. H. Muh. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h. 6

Biografi Syed Muhammad Naquib   Al-Attas

MENGENAL SOSOK SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTASSyed Muhammad Naquib Al-Attas adalah sedikit dari segelintir intelektual Muslim kontemporer yang intelektualitasnya berakar kuat pada tradisi Islam. Al-Attas menggunakan istilah-istilah yang telah mapan dalam tradisi keilmuan Islam. Hal ini —selain menunjukan penghormatan yang mendalam pada tradisi Islam di satu sisi— juga merujuk pada kematangan intelektual di sisi lain, mengingat pendidikan yang dijalaninya tidak hanya di lembaga-lembaga milik umat Islam. Dalam skripsi ini, penulis akan mencoba memaparkan secara singkat biografi Al-Attas, mulai dari latar belakang keluarga, masa pendidikan dan karya-karyanya.

Pemaparan sejarah hidup seorang tokoh, sekalipun dengan singkat, menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam penulisan pemikirannya, karena hal itu erat berkelindan dengan pemikiran yang dituangkan dan aktifitas yang dijalani tokoh itu kemudian. Kontribusi konkrit Al-Attas dalam bidang pemikiran pendidikan sangat perlu dipaparkan, mengingat hal ini akan membuktikan bahwa ide-ide yang dituangkan Al-Attas dalam buku-bukunya bukanlah ide utopis yang tidak bisa dicapai dalam realitas.

Berikut ini adalah biogafi singkatnya:

1. Latar Belakang Keluarga

Nama lengkapnya Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas, beliau dilahirkan pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi[1] di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Ibunda Syed Muhammad Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘Aydarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.

Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah

Page 18: Syed Muhammad Naquib Al

aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah untuk yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al-Attas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.[2] Beliau, mendapat gelar ‘sayyed’ yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari keturunan Nabi Muhammad SAW.[3]

2. Masa Pendidikan dan Pengalaman

Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Al-Attas. Dari keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang sangat bermanfaat baginya dalam mengembangkan dasar-dasar bahasa, sastra, dan kebudayaan Melayu.

Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Pada masa pendudukan Jepang, dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa, Sukabumi (1941-1945)[4] selama lima tahun[5], sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.

Di tempat ini, al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsyabandiyah.[6] Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zarah School kemudian di English College (1946-1951).[7]

Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia, al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Japang. Dalam bidang kemiliteran ini al-Attas telah menunjukan kelasnya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu dari peserta pendidikan militer yang lebih tinggi.[8] Al-Attas dipilih oleh Jenderal Sir Gerald Templer, ketika itu menjabat sebagai British High Commissioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer, pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955).

Selain mengikuti pendidikan militer, Al-Attas juga sering pergi ke negara-negara Eropa lainnya (terutama Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya.

Setamatnya dari Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di

Page 19: Syed Muhammad Naquib Al

hutan. Namun, dia tidak lama di sini. Minatnya yang dalam untuk menggeluti dunia ilmu pengetahuan mendorongnya untuk berhenti secara sukarela dari kepegawaiannya kemudian membawanya ke Universitas Malaya, ketika itu di Singapura, pada 1957-1959. [9]

Al-Attas telah menulis dua buku ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya. Buku yang pertama adalah Rangkaian Ruba’iyat, termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada 1959. Buku kedua, yang sekarang menjadi karya klasik, adalah Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays, yang diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963. Selama menulis buku yang terakhir ini dan demi memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, Al-Attas pergi menjelajah ke seluruh negeri Malaysia dan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar bisa mengetahui ajaran dan praktik tasawuf mereka.[10]

Berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, McGill, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan praktek sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep Wujudiyyah al Raniry. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.[11]

Di Universitas McGill, dia berkenalan dengan beberapa orang sarjana terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazrul Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Al-Attas mendapat gelar M.A. dari Universitas McGill pada 1962 setelah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

Setahun kemudian, atas dorongan beberapa orang sarjana dan tokoh-tokoh orientalis yang terkenal, seperti Profesor A.J. Arberry (Cambridge), Sir Mortimer Wheeler (Akademi Inggris), Sir Richard Winstedt (Akademi Inggris), dan pimpinan Royal Asiatic Society, Al-Attas pindah ke SOAS (School of Oriental and African Studies) Universitas London, untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Di sini, dia belajar di bawah bimbingan Profesor Arberry dan Dr. Martin Lings. Pada 1965, dia memperoleh gelar Ph.D setelah dua jilid disertasi doktoralnya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. [12]

Tahun 1965, al-Attas kembali ke Malaysia. Dia langsung ditunjuk menjadi Ketua Jurusan Sastra dan selanjutnya Dekan Fakultas Sastra di Universitas Malaya. Tahun 1970, dalam kapasitasnya sebagai salah satu pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia, al-Attas berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu. Dia juga pendiri sekaligus Rektor International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),[13] Kuala Lumpur, Malaysia. Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, meliputi; teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Beberapa karyanya, baik berupa lukisan kaligrafi, seni bangunan/arsitektur yang dirancangnya, juga karya ilmiah yang disusunnya telah dinikmati banyak kalangan. Tak lebih kiranya hingga ia sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari kalangan Barat maupun Asia.[14]

Page 20: Syed Muhammad Naquib Al

3. Karya-Karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas

A. Buku dan Monograf

Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Jepang, India, Korea, dan Albania. Karya-karyanya tersebut adalah:

1. Rangkaian Ruba’iyat, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kuala Lumpur, 1959.

2. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays, Malaysian Sociological Research Institute, Singapura, 1963.

3. Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No.111, Singapura, 1966.

4. The Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1968.

5. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.

6. The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970.

7. Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1971.

8. The Correct Date of the Trengganu Inscription, Museums Department, Kuala Lumpur, 1972.

9. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972. Sebagian isi buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Prancis. Buku ini juga telah hadir dalam versi bahasa Indonesia.

10. Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf yang belum diterbitkan, 286 h., ditulis antara Februari-Maret 1973. (buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001).

11. Comments on the Re-examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq: A Refutation, Museums Department, Kuala Lumpur, 1975.

12. Islam: The Concept of the Religion and the Foundation of Ethics and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Jepang, dan Turki.

13. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur, 1977. Versi bahasa Melayu buku No. 12 di atas.

Page 21: Syed Muhammad Naquib Al

14. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.

15. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdulaziz University, London: 1979. Diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.

16. The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia, dan Arab.

17. Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London dan New York, 1985.

18. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.

19. The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of Al-Nasafi, Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988.

20. Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.

21. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

22. The Intuition of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

23. On Quiddity and Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

24. The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Turki, dan Jerman.

25. The Degress of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

26. Prologonema to the Metephysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Proposal Skripsi S.M.N Al-Attas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Page 22: Syed Muhammad Naquib Al

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membentuk manusia menjadi masyarakat modern. Hal ini didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditaklukan oleh kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berproses pada rasionalitas. Jagad raya beserta isinya yang oleh doktrin-doktrin agama memiliki keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta, kini hanya dianggap sebagai benda otonom yang tak ada keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta.

Dunia materi dan non-materi difahami secara terpisah, sehingga dengan demikian masyarakat modern merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi memerlukan intervensi Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia ini. Karena dengan kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi segala hal dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan dari Tuhan. Dengan demikian manusia modern semakin yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai orbit dunia dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mengumandangkan nilai-nilai rasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (Budaya primitif).[1]

Memang diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi kelangsungan kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan krisis global yang sangat serius. Kalau krisis ini didaftar secara detail, maka akan ditemukan daftar krisis yang amat panjang. Misalnya krisis lingkungan mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Disamping itu, yang tak kalah serius adalah terjadinya dekadensi moral di berbagai belahan dunia benar-benar telah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Kejujuran, keadilan, kebenaran, tolong-menolong dan kasih sayang sudah tereliminasi oleh tindak penipuan, penyelewengan, penindasan dan saling merugikan.[2] Terjadinya krisis yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat menurut Gregory Bateson tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat.[3]

Akibat epitemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan ‘segala sesuatu’, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Di kalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut yang diformulasikan berdasarkan Alquran dan Assunnah sebagai wahyu Tuhan. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respons kreatif terhadap tantangan-tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat.[4]

Sejalan dengan itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan kekeliruan epistemologi Barat, karena Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, Barat juga telah menjadikan skeptisisme ke tingkat tinggi sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler

Page 23: Syed Muhammad Naquib Al

yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional.

Bertolak dari krisis yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan Barat di atas, sebagian kalangan intelektual Muslim merasa kuatir apabila ilmu pengetahuan Barat tersebut diterapkan di dunia Muslim apa adanya (taken for granted). Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya krisis di dunia Muslim, maka ilmu pengetahuan kontemporer sebelum diterapkan harus diislamkan terlebih dahulu.

Islamisasi ilmu merupakan usaha mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistik, sekularistik, evolusioneristik, dan karena pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam.[5]

Perlunya menampilkan pemikiran teologis yang berlandaskan Alquran adalah untuk menghilangkan kesan yang selama ini muncul bahwa pendidikan Islam itu adalah tidak lebih dari pendidikan Barat yang ‘terislamkan.’ Paradigma filosofis yang digunakan tidak sepenuhnya berlandaskan paradigma Qur’ani, tetapi menjiplak paradigma Barat yang memang mendominasi pemikiran Islam.

Akibatnya, seperti yang disinyalir oleh Abdul Munir Mulkhan, dunia pemikiran Islam, termasuk pendidikan Islam, masih dihinggapi semacam ‘kekeliruan semantik’ atau bahkan ‘kepalsuan semantik’. Diterimanya prinsip dikotomi adalah diantara indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam. Dikotomi ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan Islam dengan segala variasi dan implikasinya dalam membentuk wawasan intelektual dan keagamaan umat dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaannya.[6]

Untuk keluar dari situasi itu, maka rekonseptualisasi pendidikan Islam yang lebih bermakna sungguh sangat diperlukan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menawarkan sebuah problem solving dengan mengedepankan konsep tauhid yang menjadi oase dalam gersangnya pendidikan Islam dewasa ini. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka sangat menarik untuk mendalami jalan pikiran al-Attas ini, melalui pemahaman ajaran-ajarannya tentang pedagogik Islam.

Syed Muhamamd Naquib al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya yang telah diindonesiakan, seperti Islam dan sekularisme, terbitan Pustaka Bandung, yang sangat populer pada tahun 80-an, Islam dan Filsafat Sains terbitan Mizan, atau Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenalnnya. Namun, sisi penting sosok al-Attas sebagai pemikir Muslim terkemuka dan pembaharu pemikiran Islam tidak dapat ditangkap hanya dari karya-karya yang telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaharu di Dunia Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi[7] dan disalahfahami atau dipolitisasi banyak orang. Gagasannya bukan tanpa konsep, melainkan justru merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian dikumpulkan dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysich of Islam. Bahkan, yang lebih menarik lagi, karena kepeduliannya yang sangat kuat

Page 24: Syed Muhammad Naquib Al

terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya diimplementasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional.[8] Inilah substansi dari skripsi yang penulis tuangkan ini, yakni mengungkap pemikiran-pemikiran cemerlang al-Attas tentang pendidikan Islam dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

Selain pemikiran al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, skripsi ini juga akan membahas kerangka berpikir al-Attas tentang pedagogik yang lain misalnya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, dan Ide dan Realitas Universalitas Islam.

Studi ini berangkat dari konsep utama ‘pedagogik”. Pedagogic secara lughawi berarti ilmu yan berusaha menyelidiki tentang perbuatan mendidik.[9] Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah.[10]

Meskipun istilah paedogogos (sekarang pedagogic) pada mulanya digunakan untuk konotasi rendah (pelayan, bujang) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat. Paedagoog (sekarang pedagog) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa Arab disebut Mu’allim, Mudarris atau Murabbi.

Menurut al-Khukli, kata pedagogic (Inggris) diberi padanannya dalam bahasa Arab dengan kata tarbawy atau ta’limi. Al-Khukli mengartikan pedagogic sebagai “ilmu usul al-Tadris, Fannu al-Tadris.” Artinya ilmu tentang dasar-dasar mendidik atau ilmu tentang kiat mendidik.[11]

Secara lughawi memang tidak dibedakan antara pedagogy dan pedagogic, akan tetapi dalam konteks kependidikan, kedua istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecendrungan makna praktek dan cara mengajar (applied); sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu mendidik. Soerganda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:

1. Praktek, cara mengajar2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; prinsip-prinsip, metode-metode membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan.[12]

Di negeri Belanda orang membuat perbedaan. Ilmu pengetahuan mengenai pendidikan seperti yag dimaksud dalam poin b adalah pedagogic. Sedangkan pelaksanaan pendidikan tersebut disebut pedagogi.[13] Dalam studi ini, kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Pedagogic digunakan dalam konteks teoritik. Sedangkan pedagogi digunakan dalam konteks aplikatif. Menurut H.M Said di negeri Belanda tidak dikenal istilah filsafat pendidikan. Yang ada ialah ‘pedagogik seek’ dan ’opvoedkunde’, juga di Jerman tidak di kenal istilah filsafat pendidikan yang ada hanya istilah ‘pedagogik’ dan ’erzie lungswisenchaft’. Judul-judul pendidikan Jerman juga menggunakan istilah ‘pedagogiek’ dan ‘erzie lungswissenchaft.’[14]

Pedagogi dalam literatur Islam ekwifalen dengan al-Tarbiyah atau al-Ta’lim. Ibnu Khaldun– sebagaimana kebanyakan para ahli sebelum dan semasa dengannya- menggunakan istilah al-Ta’lim yang diterjemahkan oleh Frans Rosenthal ke dalam bahasa Inggris instruction.[15] Syed

Page 25: Syed Muhammad Naquib Al

Muhammad Naquib Al-Attas –dengan mengemukakan alasan-asalan leksikal- menggunakan istilah al-Ta’dib. Al-Attas mengatakan, mereka yang menggunakan istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah besar, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Padahal pendidikan menurut Islam ialah sesuatu yang khsusus hanya untuk manusia. Tarbiyah mencakup juga untuk binatang. Lagi pula tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada pemilikan, seperti pemilikan orang tuanya, dan biasanya para orang tua pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah.[16]

Dalam bahasa Inggris istilah education diartikan dengan pedagogi. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang tepat adalah pendidikan. Abd. Al-Qadir mendefinisikan pedagogi dalam arti umum ialah, ’semua aktivitas yang berasal dari manusia dengan tujuan mengembangkan kapasitas dan abilitas yang berkenaan dengan fisik, akal budi dan rasa’.[17] Noeng Muhadjir merumuskan sebagai upaya terprogram dari pendidik-pendidik pribadi membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara/jalan yang normatif pula.[18] Demikian pula yang penulis maksudkan dalam skripsi ini, yakni semua usaha yang dilakukan dalam proses pendidikan, mencakup prinsip dan metode mengajar, metode membimbing dan seluk-beluk pengajaran Islam.

Di dalam perkembangan pedagogik yang pesat menuju sebuah ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Dr. H. Muh. Said mengutip pernyataan Herman Rohrs dalam algemeine Erziehungswissenschsftlicen Aufgaben Und Methoden, bahwa yang mula-mula sekali memakai istilah ilmu pendidikan ialah J.C. Greling yang menulis dalam bukunya, ”tentang tujuan akhir dari pendidikan dan tentang dalil dasar pertama dari ilmu pengetahunnya”. Bahwa; ”ilmu pendidikan berbeda dari seni mendidik sebagai umumnya teori dan praktek.”[19]

Untuk melihat apakah kontribusi pemikiran pedagogik Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat dipandang sebagai teori yang acceptable dan applicable dalam pedagogi Islami dan kontemporer, maka dalam mengulasnya digunakan pendekatan filosofik, yaitu suatu sudut tinjau –sesuai dengan objek formalnya- yang menempatkan objek secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka metode yang ditempuh dalam hal ini, adalah deskriptif, komparatif dan analisis-sintesis. Dari uraian ini kemudian penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul, “KONSTELASI PEMIKIRAN PEDAGOGIK SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MODERN.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian singkat di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib Al-Attas?2. Konstelasi pemikiran pedagogik apa saja yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas? Dan apa sajakah yang dilakukan Al-Attas untuk merealisasikan ide-ide pedagogiknya?3. Adakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi Al-Attas dalam mewujudkan ide-ide pedagogiknya

Page 26: Syed Muhammad Naquib Al

dan cara mengatasinya?4. Bagaimana pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan yang diusung Al-Attas dalam rangka mengatasi dualisme ilmu dewasa ini yang melanda negeri-negeri Muslim dan Barat?5. Secara umum, bagaimana pengaruh dan relevansi pemikiran pedagogik Al-Attas terhadap pendidikan Islam modern?

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diteliti lebih terarah dan tidak keluar dari jalur pembahasan, karena sepengetahuan penulis, pemikiran-pemikiran Al-Attas itu cukup beragam terutama dalam bidang tasawuf, hal itu bisa dilihat dari banyak karya-karyanya diantaranya The Mysticism of Hamzah Fansuri, Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Aceh, dan A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry. Selain itu, beliau juga terkenal ahli dalam bidang teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Oleh karena itu, penulis memberi batasan masalahnya sebagai berikut:

1. Mengenal sosok Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.2. Menguraikan pemikiran pedagogik Al-Attas diantaranya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, Ide dan Realitas Universalitas Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahaun.3. Menelaah epistemologi pemikiran pedagogik Al-Attas dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan utama yang tersimpul dalam rumusan masalah. Lebih rinci tujuan itu dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib al-Attas.2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pemikiran pedagogik apa saja yang diwacanakan al-Attas dan relevansinya untuk pendidikan Islam modern.3. Membangun kembali jembatan yang telah hancur dalam tradisi intelektual –dengan merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya untuk mengantisipasi timbulnya kesimpangsiuran— dan dengan demikian, bisa mengangkat kembali pemikiran konseptual yang autentik dan jelas dalam berbagai persoalan penting umat Islam, seperti masalah pendidikan Islam.4. Sebagai wacana untuk membawa pemikiran al-Attas ke permukaan, khususnya islamisasi ilmu pengetahuan, dan mengeliminasi sikap dualistik yang keliru dan destruktif, yang sekarang sedang tren di kalangan politikus, birokrat, teknokrat, bahkan akademisi dan mahasiswa Muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah:

Page 27: Syed Muhammad Naquib Al

1. Memberikan gambaran yang lebih utuh dan imbang tentang kontroversi pendapat sarjana kontemporer mengenai tesis-tesis Al-Attas.2. Melalui gambaran yang utuh dan imbang itu, maka dengan aman kita dapat mengatakan bahwa Al-Attas telah menghadirkan sebuah paradigma dalam kajian ilmu dan pendidikan yang layak untuk diterapkan kaum Muslim di dunia.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai kajian literatur, metode yang dipakai dalam penelitian ini lebih bersifat eklektis, berbaur antara kualitatif dengan analisa isi. Metode semacam ini diajukan dengan pertimbangan bahwa kajian pendidikan Islam, apalagi yang sedikit banyaknya bermuatan pemikiran filosois, tidak hanya ditembus dengan satu metode saja. Bila satu metode saja, sudah pasti akan memiskinkan bobot analisisnya. Sejarah dan pemikiran manusia begitu kompleks, berdimensi banyak. Setiap dimensi punya daya tarik tersendiri, jika orang pandai melihatnya melalui kacamata yang serius dan kritis.

Begitu juga dalam penelitian skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat kontemporer dengan sudut pandang filsafat pendidikan. Data yang dipakai bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pemikiran Al-Attas dan pendidikan. Rujukan utama (primer) adalah karya-karya yang ditulis Al-Attas. Sementara rujukan sekunder adalah karya-karya intelektual mengenai pemikiran Al-Attas. Untuk karya-karya lain yang terkait dijadikan sebagai data pendukung.

Adapun metode yang digunakan adalah metode Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Disamping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990). Metode ini dipakai untuk mengevaluasi secara kritis pemikiran Al-Attas; kekuatan dan kelemahan.

Data-data yang telah terkumpul, kemudian penulis ramu untuk memberikan hasil yang seobjektif mungkin dan mencoba memberikan sesuai dengan tendensi teks. Selanjutnya menuangkannya baik dalam bentuk kutipan murni atau langsung maupun dalam bentuk kalimat yang penulis bahasakan sendiri, tanpa mengurangi esensi dari pendapat-pendapat atau teks yang dikutip.

1. F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I : Merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi masalah dan perumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Page 28: Syed Muhammad Naquib Al

Bab II : Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.

Bab III : Konstelasi pemikiran pedagogik Al-Attas yang terdiri dari konsep pendidikan Islam, kurikulum dan metode pendidikan, makna dan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengetahui, ide dan realitas universalitas Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Serta telaah kritis epistemologi pemikiran Al-Attas perspektif pendidikan Islam modern.

Bab V : Penutup. Merupakan akhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat kesimpulan dan saran.[1] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet ke-1 h 98

[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet ke-1 h 95

[3] Ziaudin Sardar, Masa Depan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Salman, 1987), Cet ke-1 h 88

[4] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h 103

[5] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Misi Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal Studi-studi Islam, Dzulhijjah Awwal 1412/Juli-Oktober 1991, h 96

[6] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet ke-1, h 2

[7] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada 1986. Sebagai seorang ilmuan, ia banyak sekali melahirkan karya ilmiah yang bermutu. Ia menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisannya, pemikiran al-Faruqi mampu tersebar ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Diantara buku-bukunya yang penting adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religious of the World, Trialogue of Abrahamic Faith, The Cultural atlas of Islam, Islamization For Thought And Life, dan Islam And Culture. Harun Nasution (ed.), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Jembatan, 1992), h. 242-243

[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h 15

[9] Dapat dibedakan antara pedagogic. Pedagogic cenderung bersifat keilmuan teoritik aktifitas mendidik, sedangkan pedagogi berarti aktifitas mendidik itu sendiri.

[10] www.rezaervani.com – http://groups.yahoo.com/group/rezaervani, ditulis oleh Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd dan diakses pada 11 November 2009.

[11] Muhammad Ali al-Khukli, Qamus al-Tarbiyah, (Libanon: Dar al’Ilm li al Malayin, 1981), h 345

Page 29: Syed Muhammad Naquib Al

[12] Soegarda Peorbakawadja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h 212

[13] ibid

[14] H.M Said dalam IAIN Jakarta, Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN, 1983) h. 82

[15] Penerjemahan al-Ta’lim dengan instruction, bukan hanya melemahkan ruh pendidikan yang berwawasan Islam, tetapi juga menafikan sifat normatif dari pendidikan itu sendiri. Instruction cenderung mempunyai makna pengisian otak atau intelek dan performance dan objektif di samping penempatan intelek dan skill.

[16] Disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (alih bahasa Haidar Baqir), (Bandung: Mizan, 1987), h 65-67

[17] Hamid Abd. Al-Qadir, Manhaj al-Hadits fi Usul al-Tarbiyah wa Turuk al-Tadris, (Mesir: Matba’ah al-Nahdah, 1957)

[18] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin Press, 1987), Edisi IV, Cet 1, h 10

[19] Prof. Dr. H. Muh. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h. 6 Diposkan oleh ISAMAH di 01:43

Syed Naquib Al AttasPosted by admin ⋅ 15 Februari 2007 ⋅ 6 Komentar  2 Votes

Pengantar

Page 30: Syed Muhammad Naquib Al

Peradaban barat dipengaruhi oleh 2 ide besar yaitu filsafat Yunani dan agama Kristen. Zaman pertengahan di barat sangat kental dengan upaya untuk memberikan suatu landasan filosofis bagi agama Kristen. Hal ini dapat kita lihat bagaimana filsuf-filsuf Kristen memcoba memberikan jawaban atas doktrin-doktrin gereja yang sangat mendominasi segala bidang pada zaman itu.

Beranjak dari itu timbul pertanyaan: mengapa Gereja Kristen merasa perlu untuk memberikan landasan filosofis dalam ajaran mereka?. “Bapa-bapa gereja menemukan bahwa mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak punya jawaban yang jelas dalam kitab suci. Bagaimana Yesus menjadi Allah sekaligus manusia?, apa yang menjadi bahan Allah menciptakan dunia, materi yang ada sebelumnya atau ketiadaan? Dan bapa-bapa gereja harus melihat filsafat Yunani untuk menolong mereka”(Smith, Linda; 21-22).

Bapa-bapa gereja yang sangat punya andil dalam hal ini diantaranya Agustinus (354-430 M) yang terinspirasi oleh Neoplatonisme (Mahzab filsafat yang sangat konsen, memberikan tafsir baru dan mencoba meneruskan filsafat Plato dan Ambrosius (seorang Uskup Milan). Dimana ia mencoba untuk mendamaikan antara akal dan iman Kristen. mendekati satu abad setelah Agustinus, lahir Thomas Aquinas ( 1225-1274 M) dengan ajarannya yang terkenal dengan “Lima jalan menuju Tuhan”.

Meskipun gereja Kristen telah berupaya untuk memperkuat dogma-dogmanya dengan cara ini, namun tetap gereja tetap “kaku”. Dan awal dari pecahnya pemberontakkan terhadap ketertutupan gereja adalah ketika Nicollas Copernicus (1473-1543 M) membantah bahwa teori geosentris yang dipegang gereja, yang berujung pada dihukum matinya Bruno (murid Copernicus) karena,

Page 31: Syed Muhammad Naquib Al

menyebarkan ajaran ini (semasa Copernicus hidup ia berwasiat agar pendapatnya tentang Heleosentris tidak dipublikasikan).

Semenjak itulah banyak orang-orang banyak sangat benci dengan Kristen yang terwujud melalui symbol kewenangan-wenangan gereja. Maka berjalanlah antara ilmu pengetahuan dan agama secara sendiri-sendiri. Dan penegasan dari itu diperkuat oleh “cogito ergo sum” Rene Descartes. Sampai hari ini pergulatan itu terus berlanjut.

Sejarah Islam kontemporer mencoba untuk menjawab tantangan “sekularisme” yang terjadi di Barat dengan konsep “Islamisasi Ilmu”. Tokoh-tokohnya antara lain, Ismael Faruqi, Hussein Nasr, Naquib Al-Attas dan Ziauddin Sardar. Namun pada kesempatn kali ini kita hanya membicarakan satu tokoh saja yaitu Syed Naquib Al-Attas karena banyak hal yang menarik untuk dikaji dari pemikiran-pemikiran beliau.

A. Riwayat Hidup

Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjawab sebagai Menteri Besar Johor.

Pendidikan formal beliau dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Universitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu social (1057-1959). MA dari Mc Gill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan Disertasi “The Mysticism of Hamzah Fansuri”

B. Pemikiran Naqib Al-Attas

1. Islamisasi ilmu.

Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban barat. Sementara peradaban Barat sendiri telah melahirkan kebinggungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kekacauan dalam Tiga Kerajaan Alam, kehilangan kedamaian serta keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.

Kebenaran dan realitas dalam panadangan Barat tidal diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia , sebagai makhluk fisik dan makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana diperoleh dari

Page 32: Syed Muhammad Naquib Al

pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktekkan Islam. Pengetahuan barat tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.

Naquib Al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian :

a. ilmu-ilmu agama1. Al-Qur’an: qiraat, tafsir dan ta’wil.2. Hadist: sirah Nabawi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif.3. Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek Islam.4. Teologi: tauhid (tentang Tuhan, wujudNya, sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya).5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology.6. Ilmu-ilmu linguistic, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraan.

b. ilmu-ilmu rasional1. Ilmu-ilmu kemanusiaan2. Ilmu-Ilmu alamiah3. Ilmu-ilmu terapan4. Ilmu-ilmu teknologi.

Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci lalu dimasuki unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsure-unsur dan unsure-unsur pokok, yang membentuk kebudayaan barat, dan ilmu-ilmu yang dkembangkan; kemudian memasukan unsure-unsur dan konsep-konsep Islam.

Islamisasi awal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa Islam yang dimaksud beliau adalah bahasa Arab yang baru. Karena bahasa Arab yang lama mengunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa Arab yang baru adalah bahasa Alquran yang mengubah sruktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.

Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu umat muslim sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” bukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurcholis Madjid.

Tentang surat Al-Maidah ayat 3, tentang kesempurnaan agama Islam, beliau pahami sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah menjadi suatu tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan dan perkembangan.

2. Sekularisasi

Page 33: Syed Muhammad Naquib Al

Istilah secular berasal dari kata latin “saeculum” yang bermakna dua konotasi waktu dan lokasi: waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan lokasi menunjuk pada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang menunjukkan kepada peristiwa-peristiwa di dunia ini. Sekularisasi berarti pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudin dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.

Komponen-komponen interal dalam dimensi sekularisasi:

a. penidak-keramatan alam, yaitu pembebasan alam dari nada-nada keagamaan (penghalauan roh-roh animistis, tuhan-tuhan dan magic dari dunia yang alami, memisahkan dari Tuhana dan membedakannya dari manusia) sehingga manusia tidak lagi memandang alam sebagai wujud yang didewa-dewakan, boleh berbuat bebas terhadap alam dan memanfaatkan alam menurut kebutuhan-kebutuhan serta rencana-rencananya.

b. Desakaralisasi politik, yaitu penghapusan legitimasi sacral kekuasaan politik yang merupakan prasyarat perubahan politik dan oleh karena juga perubahan sosial yang memungkinkan terjadinya proses sejarah.

c. Dekonsekrasi, yaitu pemberian makna sementara dan relative kepada semua karya-karya budaya dan setiap sistem nilai termasuk agama serta pandangan-pandangan hidupyang bermakna mutlak dan final, sehingga sejarah dan hari depan menjadi terbuka untuk perubahan dan manusiapun bebas menciptakan perubahan-perubahan serta menceburkan dirinya ke dalam proses “evolusioner”.

Agama Kristen Barat beranjak dari meninggalkan wahyu yang asli dan ajaran-ajaran sejati Isa Ibnu Maryam. Kristen barat tidak memiliki hukum yang diwahyukan (syari’ah) .melalui sunnah-sunnah nabi Isa ‘Alaihi wa sallam, karena maksud tujuan agama Kristen bukanlah untuk itu. Maka, Kristen secara berangsur-angsur mengembangkan sistem ritual dengan mengasimilasi kebudayaan-kebuadayaan dan tradisi-tradisi lain, disamping merumuskan sendiri. Secara bertahap juga Kristen mulai merumuskan kepercayaan-kepercayaannya. Karena tidakmpunyai hukum yang yang diwahyukan maka Kristen harus mengasimilasi hukum-hukum Romawi. Disebabkan tidak punya pandangan dunia dalam wahyu, maka harus meminjam pikiran-pikiran Yunani Romawi dan kemudian membangun suatu teologi dan metafisika yang dikerjakan secara teliti dan seksama. Secara berangsur pula terciptalah kosmologi Kristen yang khas, serta seninya yang berkembang dalam suatu pandangan semesta dan dunia yang khas Kristen.

Sementara Islam, dari namanya saja telah ditetpkan wahyu. Wahyu sendiri dilengkapkan pada masa hidup nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menafsirkan hukum-hukum melalui pola hidup beliau. Hukum wahyu itu beliau polakan dalam ajaran, ucapan dan perbuatan. Para sahabat dan orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau berlaku dengan ilham ilahi sehingga dapat dijadikan standard a criteria bagi masa akan datang.

C. Penutup

Sebagai penutup tulisan ini saya ketengahkan pernyataan Syed Naquib Al-Attas tentang konsep tauladan. Barat memiliki konsep “manusia sekuler” (animal rational) yang tidak punya ruh, bagai

Page 34: Syed Muhammad Naquib Al

lingkaran tanpa titik pusat. Hanya Islam yang memiliki figur manusia universal yaitu pribadi nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian tulisan yang singkat ini, sekadar penambah wawasan kita di tengah lautan ilmu yang masih sedikit kita renguk.

Oleh : Anggun Gunawan (mahasiswa filsafat UGM angkatan 2002)

(Makalah ini disampaikan dalam acara “bedah buku” sabtu 15 april 2006 IMM UGM)

« Konsep Para Filsuf tentang   Manusia

I.   PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.[1] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami, maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami.

Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal.[2] Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.

Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.

Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu.[3] Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.

B. Rumusan Masalah

Page 35: Syed Muhammad Naquib Al

Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep ilmu dan pertimbangan nilai perspektif filsafat, dan agar kajiannya terarah dan sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :

1. Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?

2. Bagaimana aksiologi dalam pandangan aliran-aliran filsafat ?

3. Bagaimana sumbangan aksiologi terhadap ilmu pengetahuan ?

II. PEMBAHASAN

A. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)

Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu).[4] Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.

Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu.[5] Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa سكون يقتضى العلم

ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang) ] 6 [ ماتناوله الى العالمalim terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-Gazali bahwa ] 7 [  القلب فى المث��ال حصول هو العلم (ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati). Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة  yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البطنية البصيرة   yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.[8] Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara konprehensif.

Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish

Page 36: Syed Muhammad Naquib Al

Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa,

Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral.  Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya.[9]

Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[10] Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).[11] Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.

Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.[12] Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.

Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.[13] Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.[14] Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.[15] Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.

Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral.[16] Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.

Page 37: Syed Muhammad Naquib Al

Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat

Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :

1.  Pandangan Aksiologi Progresivisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey.[17] Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.

2. Pandangan Aksiologi Essensialisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909).[18] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.

a. Teori nilai menurut idealisme

Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

b. Teori nilai menurut realisme

Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu

Page 38: Syed Muhammad Naquib Al

tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.[19]

3. Pandangan Aksiologi Perenialisme

Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.[20] Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.

4.      Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme

Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.

C. Sumbangan Aksiologi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan sumber daya manusia. SDM ini merupakan derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, perolehan ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.

Telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai, dan hal tersebut menyebabkan banyak penilaian terhadap ilmu pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan aksiologi memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai aliran filsafat terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai berikut[21] :

Page 39: Syed Muhammad Naquib Al

1. Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.

2. Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.

3. Aliran perenialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.

4. Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.

Dengan demikian implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan secara praktis dan  tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.

Konsekuensi dari segi aksiologi adalah ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam

Page 40: Syed Muhammad Naquib Al

perspektif Islam. Bentuk sumbangannya antara lain dapat dilihat dengan adanya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi  Syed M. Naquib al-Attas yang telah lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam di Barat, menegaskan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.[22] Dari kajiannya yang sistematis, maka tokoh ini menawarkan agar ilmu pengetahuan yang telah rusak itu, harus dibenahi secara fundamental yang kemudian dia istilahkan dengan “Islamisasi Sains”[23] Terkait dengan itu, maka berikut ini dikemukakan beberapa proposisi tentang kemungkinan islamisasi sains, yakni ;

1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur.  Bila alam dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.  “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang emban dari Tuhan.

2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya.  Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.

3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.

Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan Islam.  Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltans-chauung (pandangan dunia), mendudukkan weltanschau-ung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung Islami.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.

Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah

Page 41: Syed Muhammad Naquib Al

untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.

Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan nilai (aksiologi) memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran filsafat yang disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konsep islamisasi sains dewasa ini. Dengan demikian, secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.

Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Drijakarta SJ, N. Percikan Filsafat. Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan, 1981.

Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III. Kairo: al-Bab  al-Isa al-Halabi, 1975.

Ibn Faris Zakariyah, Abu Husayn Muhammad. Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz III Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1971.

Indar, Djuberansyah. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994.

Al-Jabbar, Al-Qadhi ‘Abd. Al-Ma’na fi Abwab al-Tawhid, jilid XII. KAiro: Muassasah al-Mi¡riyah al-Ammah li al-Nasyr, 1972.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997.

Kattsoff, Louis O.  Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

Mudhafir, Ali. “Pengenalan Filsafat” dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.

Page 42: Syed Muhammad Naquib Al

Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Sahabuddin. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat.  Ujung Pandang: Program Pascasarjana IKIP, 1997.

Sarwan HB, Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Suhartono, Suparlan. Dasar-dasar Filsafat. Cet. I; Yogyakarta: al-Russ, 2004.

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Cet. IX; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.

Titus, Harold H. et. al., The Living Issues of Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Ziman, John. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam dalam C.A. Qadir (ed) “Ilmu Pengathuan dan Metodologinya”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia., 1998.

[1]Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 317.

[2]Harold H. Titus, et. al., The Living Issues of Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 254.

[3]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Cet. IX; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 2.

[4]Abu Husayn Muhammad bin Faris Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz III (Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1971), h. 90. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 965.

[5]Lihat John Ziman, Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam dalam C.A. Qadir (ed) “Ilmu Pengathuan dan Metodologinya” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia., 1998), h. 10.

[6]Al-Qadhi ‘Abd. Jabbar, Al-Ma’na fi Abwab al-Tawhid, jilid XII (Kiro: Muassasah al-Mi¡riyah al-Ammah li al-Nasyr, 1972), h. 13.

[7]Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III (Kairo: al-Bab  al-Isa al-Halabi, 1975), h. 12.

[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 324.

Page 43: Syed Muhammad Naquib Al

[9]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 268-269.

[10]Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.

[11]Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.  22.

[12]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997), h. 69.

[13]N. Drijakarta SJ, Percikan Filsafat (Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), h. 36.

[14]Louis O. Kattsoff,  op. cit., h. 332.

[15]Lihat kembali uraiannya lebih lanjut dalam ibid., h. 327. Bandingkan dengan Ali Mudhafir “Pengenalan Filsafat” dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), h. 19.

[16]Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat (Cet. I; Yogyakarta: al-Russ, 2004), h. 164.

[17]Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 70-71.

[18]Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), h. 136.

[19]Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 87.

[20]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 15

[21]Uraian-uraian ini dissdur dari Louis O. Kattsof, op. cit., h. 326-343. Abdullah Idi, op. cit., h. 96-98. SahabuddinFilsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat (Ujung Pandang: Program Pascasarjana IKIP, 1997), h. 191-196.

[22]Demikian yang ditegaskan oleh al-Attas dalam Wan Mohd. Nor Wan Daud, op. cit., h. 34

[23]Ibid.

PROF. Wan Mohd Nor Wan Daud saat ini adalah Felo Peneliti Utama, Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia. Sosoknya sebagai pakar pemikiran Islam dikenal di berbagai belahan dunia Islam melalui karya-karyanya yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Berikut ini petikan kunci pemikiran Islam Prof. Wan yang kami tambahi, tentang masalah ”kebebasan” dengan doktor lulusan Chicago University yang bulan ini meluncurkan sebuah buku berjudul ”Knowledge,

Page 44: Syed Muhammad Naquib Al

Language, Thought and The Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib al-Attas”. Beliau sangat layak bicara tentang Prof. Al-Attas, sebab sejak awal diberi tugas bersama Prof. aL-Attas untuk mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization).

Lahir di Kelantan pada 23 Desember 1955, Prof. Wan Daud menyelesaikan sarjana mudanya jurusan Ilmu Biologi dan masternya jurusan pendidikan di Notthern Illinois University, AS. Gelar PhD-nya diraih di The University of Chicago. Selama studi di Amerika, ia aktif dalam kegiatan mahasiswa Islam.  Ia pernah menjadi “President of the National Malaysian Islamic Study Group” dan “President of  Muslim Student Association of USA and Canada”.

Profesor ini adalah tipe orang yang mudah  diajak berbincang dengan para mahasiswa.  Di kamar kerjanya sekarang, ATMA-UKM –setelah lebih lima tahun terpaksa meninggalkan ISTAC— hampir tiap hari ia menerima tamu. Mulai dari yang memberi pertanyaan, mengadukan masalah atau yang ingin silaturrahim untuk berdiskusi. Tamu yang datang pun bervariasi, mulai dari profesor, doktor, mahasiswa biasa atau tokoh-tokoh ketua perhimpunan mahasiswa.

Selain banyak berdiskusi dan membimbing para mahasiswa, Prof Wan juga kini sibuk menulis.  Ia kini sedang mempersiapkan tiga buku, yang diharapkan dapat terbit tahun ini atau tahun depan.  Yaitu buku tentang tanggapan/tulisan para tokoh atau murid-murid tentang Prof Naquib Al Attas, buku tentang aliran-aliran filsafat yang menghancurkan ilmu pengetahuan dan buku tentang syarah ar Raniri, Aqaid an Nasafi.

Wan Mohd Nor, bisa dikatakan salah satu ilmuwan yang sempat berguru secara serius kepada dua ilmuwan besar abad ke-20 yang berbeda secara prinsipil dalam memahami dan mempelejari Islam, yaitu Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Fazlur Rahman bukan nama asing bagi banyak cendekiawan Muslim di Indonesia. Murid-muridnya pun banyak dikenal luas, seperti Prof. Nurcholish Madjid dan Prof. A. Syafii Maarif.  Di Indonesia, beberapa pemikiran Fazlur Rahman sering dijadikan rujukan utama oleh para pemikir liberal. Namanya identik dengan gerakan neo-modernisme.

 Pada sisi lain, guru kedua Prof Wan yang telah berhasil mencerahkan dan memantapkan kembali pemikiran Islam yang benar, adalah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemikir Islam besar yang juga sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an. Berbeda dengan Fazlur Rahman, sosok al-Attas sudah identik dengan pemikir yang sangat kritis terhadap paham sekularisme dan pelopor dalam gerakan Islamisasi Ilmu melalui universitas Islam internasional di dunia Islam. Pada awal 1980-an, bukunya, “Islam and Secularism”, sudah diterbitkan di Indonesia.

Page 45: Syed Muhammad Naquib Al

Perjumpaan Wan Mohd Nor dengan Fazlur Rahman bisa dikatakan tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah menamatkan program S-2 di bidang Northern Illinois University (NIU), De Kalb, Illinois, USA, ia disarankan oleh seorang seniornya agar melanjutkan kajian Islam ke University of Chicago. Saat itu, ia belum mengenal pemikiran Fazlur Rahman, dan belum tahu bahwa Fazlur Rahman cukup kontroversial di Pakistan dan dikecam keras oleh para ulama dan Jamaat Islami pimpinan Abul Ala Mawdudi,  sehingga terpaksa melarikan diri ke Chicago karena pemikiran liberalnya dalam memahami ajaran-ajaran Islam.

Sebelum berjumpa dengan Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor sudah menjadi aktivis mahasiswa Muslim. Setelah di Chicago pun, ia menjabat President of the Muslim Students’ Association of US and Canada. Saat pertama menelepon Fazlur Rahman, ia ditanya tentang kemampuannya dalam bahasa Arab. Kata-kata Fazlur Rahman yang dia ingat adalah saat ia memberikan apresiasi terhadap karyanya Islam and Modernity.  Fazlur Rahman malah balik mengingatkan:  “Muhammad Nur, you must be critical…ask what are the meaning of things.”

Di Chicago itulah, Wan Mohd Nor harus menjalani kegiatan akademik yang ketat. Kursus bahasa Arab sampai tahap advanced, diselesaikan dalam 3 tahun. Dua tahun ia belajar bahasa Parsi. Sempat juga ia lulus kelas intensif bahasa German dan Perancis untuk pelajar pasca-sarjana.    Kepada Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor mengambil mata kuliah Islamic Political Thought, Islamic Modernism, Islamic Family Law, dan  Islamic Theology and Philosophy, dan juga Readings in the Qur’an, Readings in Kitab al-Tauhid of Maturidi. Semua kursus Fazlur Rahman hanya diikuti 7-15 mahasiswa. Malah kelas bacaan teks Sya’ir Muhammad Iqbal dalam bahasa Parsi, yang mengambil hanya dua orang, dirinya dan Ahmad Syafi’i Maarif.  Wan Mohd Nor lulus Ph.D. dengan disertasi berjudul "The Concept of Knowledge in Islam and Its Implications for Education in the Malaysian Context".

Meskipun sama-sama dari Malaysia, Wan Mohd Nor baru mengenal Prof.al-Attas saat ia di Chicago. Suatu ketika, Fazlur Rahman meneleponnya, memberitahukan bahwa seorang “prominent scholar from Malaysia, Prof SMN al-Attas” akan datang ke universitas tersebut selama beberapa bulan untuk melakukan penyelidikan dan menggunakan perpustakaan Regenstine. Ia diharapkan bisa membantunya. Fazlur Rahman pernah bercerita pada Wan Mohd Nor bahwa al-Attas sebagai seorang genius.

Menurut Wan Mohd Nor, Fazlur Rahman berhasil menanamkan semangat pada sebagian mahasiswanya untuk terus mengembangkan ilmu yang tinggi, dan menghormati para sarjana serius.  Kritikan tajam al-Attas terhadap beberapa ide Fazlur Rahman, menurutnya, dibuat dengan rasa hormat dan bertanggungjawab, bukan kerana mengikut kebencian pribadi, atau karena dengki.

Page 46: Syed Muhammad Naquib Al

Saat Fazlur Rahman wafat tahun 1988 itu, al-Attas meminta Wan Mohd Nor menelpon istri Fazlur Rahman  untuk menyampaikan takziah darinya dan keluarganya sambil menyatakan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) berminat membeli seluruh perpustakaanya untuk memperkaya koleksi perpustakaan ISTAC dan mengekalkan nama tokoh Pakistan ini. “Saya diutus segera ke Naperville untuk menjayakan tugas itu, yang dibantu oleh Muhammad Zainiy yang masih di Chicago pada saat itu,” papar Wan Mohd Nor.

Paling tidak di Malaysia, selain Prof Wan, ada lagi cendekiawan Islam Malaysia lain yang sempat belajar dengan Prof.Fazlur Rahman, yang kedua adalah Dr.Muhammad Zainiy Uthman. Yang menarik untuk dicermati dan diambil “pelajaran” adalah bahwa hasil didikan dan pengarahan dari Prof. Al-Attas ini telah berhasil mencerahkan kembali pemikiran Islam yang benar dari kontaminasi pemikiran Islam liberal yang diajarkan dari pengaruh kuat gurunya Prof. Fazlur Rahman. Simaklah apa pernyataan kedua cendekiawan Islam Malaysia tentang kedua Profesor ini.

Pada majalah “Al-Hikmah” edisi khusus satu dekade Ultah ISTAC (Bil.2 Tahun 5 1999), dalam artikel menarik “Dari University of Chicago ke International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Dr. Muhammad Zainy Uthman merasakan bahwa apa yang diajarkan oleh Prof Fazlur rahman di Chiocago adalah sebaliknya dari apa yang diajarkan oleh Prof. Al-Attas, dimana disana (University of Chicago) yang diajarkan adalah "*disintegrated atomistic interpretation of Islam*". Setiap profesor menekankan keilmiahan masing-masing, tanpa ada usaha sistimatis untuk menyatu padukan komponen kunci yang satu dengan yang lainnya. Terpulang pada mahasiswanya untu berusahan sendiri menyimpulkannya. Bahkan falsafah sering digambarkab bertentangan dengan kalam dan tasawuf.

Falsafah dalam Islam sering digambarkan bertentangan dengan kalam dan tentunya tasawuf. Pernah almarhum Prof. Fazlur Rahman menerangkan tentang sesuatu faham martabat wujud yang diajukan oleh Muhy al-Din Ibn Arabi, dan beliau menyebut betapa tidak rasionalnya faham martbat wujud ini. Kajian Abu al-Barakat Baghdadi, Musa bin Maymun, al-Farabi dan Ibnu Sina dan tulisan beberapa tokoh falsahan lainnya dibaca dan dikaji dengan apresiasi yang tinggi akan semangat kefalsafahan mereka. Pernah Dr. Muhammad Zainy Uthman mengambil kursus membaca satra Parsi “*Mathnavi-yi Ma’navi*” karangan seorang ahli sufi Jalal al-Din al-Rumi. Peenekanannya lebih berat pada aspek kesusateraanya yaitu gaya bahasanya, dan sedikit sekali mendalami faham tasawufnya. Oleh karenya ia sungguh dikendalikan oleh sang Profesor/dosen, dan bukan Islamnya.

Sehingga akibatnya yang sangat fatal adalah motif-motif kunci yang merupakan pesan  penting ke-Islamnan dalam bait-bait “Mathnavi-yi Ma’navi” ini tidak dikupas secara mendalam. Apalagi sindiran yang dibuat oleh Rumi terhadap

Page 47: Syed Muhammad Naquib Al

ilmu akal yang dikatakannya “*membebankan akal”* berbeda dengan ilmu naqli yang “memperluas-dalamkan lagi dan memberikan kebebasan akal” dan sanubari insane yang melimpahkan keyakinan insane tanpa hentinya. Contoh lain kata Dr. Uthman, pengajian tentang moral dan akhlaq yang dibaca dalam Qabus Namah (Bahasa Parsi) hanya menekankan pada aspek peranan budaya orang Parsi, dan bukannya dipahami sebagai kesan pembudayaan baru natijah dari kedatangan Islam ketanah Parsi. Mendalami aliran-aliran tafsir dengan membaca beberapa contoh tafsiran yang dibuat oleh beberapa ulama tafsir terkenal seperti al-Qurtubi, Ibn Kathir dan al-Razi diantaranya, penekanan dibuat kepada perbedaan tafsirannya, dan bukannya kepada kepelbagain tafsirnya yang menyatakan kekekayaan dan keluasan faham yang tersurat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Perbedaan ini dipahami pula sebagai ketidak seragaman dikalangan mufassirin Islam dan kononnya menyatakan betapa Al-Qur’an itu telah berubah fahamnya dari satu zaman ke satu zaman yang lain. Maka kajian sejaran suatu disiplin ditekannkan tetapi kebanyakan dari mereka yang mengajar di Chicago tidak sampai atau tidak berani menyatakan apakah tafsiran Islam terhadap suatu disiplin. Dan tentunya tidak mungkin dosen-dosen yang bukan Islam itu dapat menyatakan pendirian Islam berkenan hal ikwal yang sedemikian dengan yakin karena mereka tidak yakin bahwa Islam adalah al-Dien yang relevan dalam hal ilmiah, pemikiran tingkat tinggi dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini.

Prof. Wan sering menyampaikan kepada para mahasiswa Indonesia kandidat Phd di ISTAC, dengan ungkapan ringkas yang menarik bahwa apa yang diajarkan tentang kajian Islam oleh Prof. Fazlur Rahman di Chicago University adalah ibarat mengajarkan “*Islam sebagai titik-titik yang berserakan yang tidak ada hubungannya satu sama lain*”. Sedangkan di ISTAC, Prof Al-Attas mengajarkan Islam ibarat kumpulan titik-titik tersebut diikat dihimpun dalam satu kesatuan sistimatis yang harmonis. “*Islamisasi ilmu pengetahuan*” dan ‘*worldview tauhidi*” menjadi tema sentral dalam mengikat semua kajian Islam yang beragam. Kajian Islam, ilmu, amal, dan adab diajarkan dan dididik sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah dalam wacana akademik, terasa menyatu dalam satu kesatuan niat dan tujuan untuk membangun “Peradaban Islam”. Seluruh lingkungan ISTAC berrsama dengan para pengajarnya dalam melakukan pendidikan dan pengajaran adalah sebagai usaha untuk mendalami faham Islam sebagai “Al-Dien” yang menyatukan segala cabang ilmu yang menggambarkan satu pandangan hidup (worldview) yang lengkap dan utuh.

Dalam edisi majalah “al-Hikmah” yang sama, Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi memberikan penjelasan yang sangat tajam yang perlu umat Islam perhatikan secara serius bahwa pusat pengajian Islam dibanyak negeri Barat adalah sangat kental sekali bernuansa Barat dan Orietalisme. Islam cenderung dikaji dan dipahami secara Barat atau dibentangkan dalam perspektip yang tidak bertentangan dengan pemikiran atau worldview Barat. Artinya aktifitas penkajian Islam di-Barat tidaklah untuk tujuan membangun kejayaan peradaban Islam. Dalam hal inilah banyak pengkajian Islam di Barat secara diametric

Page 48: Syed Muhammad Naquib Al

bertolak belakang dengan misi dan visi ISTAC didirikan. Di ISTAC umat Islam diajarkan bahwa pemikiran Barat khususnya tentang ‘Islam”, tidak hanya berbeda dari pandangan Islam, tetapi bahkan “salah”.

Seluruh pengajaran Prof. Al-Attas adalah untuk mencapat tujuan yang diantaranya disebutkan sebagai : *“To conceptualize, clarify, elaborate and define Islamic key concept relevant to the cultural, educational, scientific and epistemological problems encountered by Muslims in the present age. To provide an Islamic response to the intellectual and cultural changes of the modern world and various school of thought, religioin and ideology”.*

* *

Salah satu persoalan internal pemikiran Islam yang sangat serius sepanjang sejarah dan masih berkembang sampai saat ini adalah pada kuatnya fenomena pertentangan antara pemikiran ilmu kalam (ushulludien) dengan falsafah, tasawuf bahkan juga dengan ilmu pengetahuan modern. Sungguh suatu pekerjaan peradaban dan keilmuan yang sangat berat atau kompleks untuk dapat menyatukan empat disiplin itu semuanya dalam sebuah sistim framework pendidikan dan pengajaran dakwah Islam yang kokoh ditingkat universitas. Dibawah arsitektur pengarahan Prof. Al-Attas, di ISTAC telah berhasil dirangkum ke-empat displin pemikiran Islam tersebut dalam bidang yang saling terkait dan intim, tanpa bercerai dan bertentangan satu sama lain dalam bingkai integrasi komprehensip konsep "world Islam Taudi" melalui pendekatan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai program utamanya.

Menurut Prof.Dr. Ferid Muhic, ISTAC adalah ibarat “Alhambra di Timur”. Bahkan Javid Iqbal, naka pemikiran besar Islam dari Pakistan tentang ISTAC yang ddiidrikan oleh Prof. Al-Attas, mengatakan bahwa idea besar Allama Muhammad Iqbal ternyata diteruskan dan dikembangkan bukan dinegara Pakistan tetapi disebuah Negara Islam, diujung benua Asia, di Kuala Lumpur. Idea tersebut adalah untuk mengkaji ulang pemikiran filsafat modern Barat dengan konsep pemikiran Islam. Bahkan ISTAC bukan saja meneruskan idea besar Iqbal, sebab ISTAC lebih besar lagi dari itu, yaitu sebuah institute yang dibentuk untuk melanjutkan kesinambungan tradisi keilmuan yang telah terputus sejak beberapa abad yang lampau, sejak dari Baghdad, Cordova, Melaka, Aceh, Ampel yang dikembangkan memlalui sistim pendidikan tradisional Islam yaitu sistim pondok pesantren yang lebih mengutamakan kesatu paduan antara iman, ilmu dan akhlak (Muhammad Arifin Ismail, kandidat Phd ISTAC dalam majalah Al-Hikmah, edisi ISTAC satu dekade).

Bertitik tolak dari uraian diatas, khususnya akan pentingnya makna konsep “worldview”, maka pokok pokok pikiran Islam Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud pun, Insya Allah dapat dipahami dalam menjelaskan arti dan makna “kebebasan”. Penjelasan selanjutnya akan menggambarkan pemikiran Islam beliau tersebut.

Page 49: Syed Muhammad Naquib Al

*Apa beda konsep ”Kebebasan” dalam Islam dan dalam konsep kaum Sekular?*

Semua penafsiran konsep-konsep kunci dan amalan yang terlahir darinya mencerminkan sesuatu worldview (pandangan alam). Kebebasan adalah konsep yang amat penting dalam worldview sekuler, tetapi tidak begitu penting dalam worldview berbasis agama, terutama agama Islam, kecuali jika worldview berbasis agama itu sudah dipengaruhi oleh worldview sekuler.

Masalahnya, apakah kerangka atau prinsip-prinsip utama worlview sekuler ini? Berdasarkan rumusan sarjana Barat dan seperti yang terbukti dari pengalaman kebudayaan dan tamadun (peradaban) mereka, bisa dipahami :* *

*Pertama *bagi mereka, alam jagad raya -- yaitu universe -- ini adalah satu-satu alam yang ada. Dalam pandangan mereka, jagad raya ini juga tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada syurga, neraka. Cuma ada jagad raya atau universe ini; bukan saja terbatas kepada jagad raya yang berputar mengelilingi matahari kita. Malah setiap bintang itu adalah matahari dan pusat bagi universenya sendiri. Kononnya, hampir tak terhitung jumlahnya. Prinsip-prinsip lain dalam pandangan alam mereka, semua terlahir dari yang pertama ini.

*Kedua*, dalam pandangan-alam sekular, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Ketiga, kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan kehidupan dalam dunia ini, tiada tujuan ukhrawi. Malah kegiatan keagamaan dibenarkan dan dikembangkan untuk men-capai kesejahteraan dan kejayaan duniawi. Keempat, alat bagi mencapai kesejahteraan dalam hidup duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka. Dalam konteks ini, ilmu sains, perekonomian,perubatan dan teknologi adalah yang paling dibutuhkan.

* *

* *

*Bagaimana peradaban Barat dapat me-miliki pandangan alam seperti itu?*

Prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melalui pengalaman yang amat me-milukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini ke-mudiannya digeneralisasikan sebagai satu hukum tabii perkembangan manusia, seperti yang diuraikan oleh Max Weber dan lain-lain. Maksudnya, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, me-reka amat memerlukan worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama bagi menghuraikan segala fenemona alam dan memaknakan jatuh-bangun roda kehidupan yang tidak menentu.

Page 50: Syed Muhammad Naquib Al

Dari sini semua orang Islam yang berakal sehat, walaupun tidak berpendidikan formal tinggi, sudah dapat memahami perbedaan mendasar antara konsep kebebasan dalam Islam dan dalam worldview sekular. Begitu juga dengan konsep-konsep kunci lain seperti konsep pembangunan, kepimpinan, pendidikan, kemajuan, kebahagiaan dan lain-lain.

”Kebebasan” dalam Islam ialah pelepasan dari segala ikatan rohani, akli, nafsu, dan sosial agar manusia berupaya mencapai potensinya sebagai abid, makhluk terbaik (ahsanal taqwin), sebagai khalifah Allah di bumi, untuk mencapai keridhaan Allah di dunia dan akhirat. Pemahaman dan penghayatan ini adalah konsekuensi worldview Tauhidi yang menjadi prinsip dasar dalam akidah Islam. Sedangkan ”kebebasan” dalam worldview sekuler ialah pelepasan dari segala ikatan yang dapat menghalang manusia mencapai kesenangan dan kejayaan pribadi dan sosial di dunia ini.

*Ada yang mengatakan, bahwa negara sekuler yang netral agama lebih baik dan lebih adil berbanding dengan negara yang berbasis satu agama?*

Bergantung pada agama mana yang di-maksudkan itu. Memang terdapat keadilan

dalam pelbagai sistem bernegara, sama saja apakah negara sekular atau berbasis agama. Sejarah penindasan terhadap wanita, terhadap Yahudi dan Islam, serta terhadap sains di Eropa, penghancuran bangsa-bangsa Indian di Amerika Utara dan Selatan memang lebih teruk (parah) dalam sejarah, ketika agama Kristen mendominasi.

Tetapi, negara yang “netral agama” di Barat juga membunuh lebih banyak orang dalam pelbagai peperangan di Eropa, terutama dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua, dalam Perang Vietnam dan Korea, di Iraq dan Afghanistan. Begitu juga rezim Komunis yang menolak agama, terutama di bawah Stalin, Mao Zedong dan Pol Pot melakukan pelbagai kezaliman dan membunuh jutaan rakyat mereka sendiri.

Sepanjang sejarah Islam, tidak pernah berlaku pembunuhan atas dasar agama atau demokrasi atau negara yang begitu kejam dan berjumlah begitu besar, walau pun memang terdapat sejumlah khalifah, sultan dan petinggi negara yang zalim dan jahat.

*Kenapa orang-orang Barat memilih untuk bernegara secara “netral”agama?*

Karena pengalaman pahit mereka sendiri selama sekian lama dan dalam semua bidang kehidupan. Malah sekarang ini pun, otoritas kaum agamawan di Eropa, AS dan Australia semakin terancam, ketika semakin banyak orang yang diperkosa oleh petinggi gereja seperti pendeta yang menuntut keadilan setelah sekian lama menderita batin dan ditutup oleh hirarki gereja. Bahkan, banyak pelakunya adalah petinggi gereja yang senior. Kebanyakan korban ini

Page 51: Syed Muhammad Naquib Al

adalah anak-anak lelaki yang datang dan aktif di gereja. Orang-orang Barat yang sinis kemudian berkata, jika kami tidak bisa mempercayakan keselamatan anak-anak kami kepada kalian, apa jaminan kami boleh mempercayai kesejahteraan roh kami di hari akhirat melalui tuan-tuan yang mewakili Tuhan? Sekali lagi, di kalangan petinggi agama Islam-pun ada yang korup, tetapi kadarnya amat rendah, dan bentuknya amat berbeda.

Dalam konteks Negara Cina di bawah Mao Zedong, mereka melihat agama tradisional Cina sebagai sebab kemiskinan dan penderitaan rakyat terbanyak dan feodalisme bangsa se-lama ribuan tahun. Pandangan mereka itu tidak tepat seluruhnya, tetapi mempunyai alasan-alasan yang menyakinkan sebahagian golongan cendekiawan yang serius.

Bagi kita, kaum Muslim, yang lebih penting bagi kita ialah untuk memancarkan nilai dan worldview Islam dalam semua bi-dang kehidupan berbangsa, tetapi haruslah dihuraikan dan diamalkan dengan bijak, adil serta moderat. Kita harus menolak extremisme dalam semua hal.

*Apakah pengalaman-pengalaman sejarah orang-orang Barat itu dapat diterapkan kepada seluruh manusia?*

Kejayaan penerapan sesuatu pengalaman atau nilai asing ke dalam sesuatu budaya atau bangsa lain, tidak semestinya bergantung kepada nilai hakiki pengalaman atau nilai itu sendiri. Ini juga banyak bergantung kepada kekuatan pengaruh pihak pengekspor dan kelemahan dalam diri pihak pengimpor. Apabila pihak pengekspor itu kuat pengaruh-nya, kegagalan dan kerusakan nyata hasil dari penerapan pengalaman dan nilai yang tidak sesuai atau yang salah, tidak akan diakui. Bahkan, kerusakan itu akan disebut sebagai tantangan-tantangan yang wajib dilalui untuk menjadi maju dan bertamadun. Sebaliknya, karena kekuatan pihak pengekspor paham mereka, maka potensi dan kekuatan internal pihak pengimpor, akan didiamkan. Bahkan, yang akan dibesar-besarkan adalah kelemahan-kelemahan pihak pengimpor paham tersebut. Ini untuk menimbulkan rasa tidak percaya diri dan ragu terhadap kekuatan-kekuatan yang telah terbukti berjaya sekian lama.

  Kritik Prof. Al-Attas terhadap worldview Barat Opsi

Terlalu banyak topik di grup ini yang ditayangkan lebih dulu. Untuk membuat topik ini muncul pertama, hapus opsi ini dari topik yang lain. Terjadi masalah saat memproses permintaan Anda. Coba lagi. Tampilan standar   Tampilan pohon

id /group/muslim-kl/b 7730a5b0b3f2d4

Page 52: Syed Muhammad Naquib Al

Lebar teks serasi   Lebar teks tetap Kirimi saya pembaruan lewat email

 1 pesan - Ciutkan semua  -  Terjemahkan semua ke bahasa Terjemahan (Tampilkan semua aslinya)

Grup tempat Anda mengeposkan pesan adalah grup Usenet. Pesan yang diposkan ke grup ini akan membuat alamat email Anda tampak oleh pengguna internet.Pesan balasan Anda belum terkirim.Pengeposan berhasilBatal

Kirim  Buang

Dari:Kepada:

Cc:

Tindak lanjuti ke:

Tambahkan Cc | Tambahkan Tindak Lanjut ke | Edit PerihalPerihal:

Validasi: Untuk maksud verifikasi, ketik karakter yang Anda lihat dalam gambar di bawah atau angka yang Anda dengar dengan mengklik ikon aksesibilitas.

77d612b0c960e9 w indow s-1252 0 0 id 1

Page 53: Syed Muhammad Naquib Al

Kirim  Buang

Ahmad Nurhono Tampilkan profil    Opsi lainnya 30 Jul 2010,

23:41 Dari: Ahmad Nurhono <[email protected]>Tanggal: Sat, 31 Jul 2010 00:41:41 +0800Lokal: Jum 30 Jul 2010 23:41Perihal: Kritik Prof. Al-Attas terhadap worldview Barat

Cetak | Tampilkan sendiri | Perlihatkan aslinya | Laporkan pesan ini | Cari pesan dari penulis ini

Assalamu’alaikum wr wb,

Yth. Sahabat2 Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah SWT. dimanapun itu berada dimuka bumi,

Untuk bacaan Jumaat hari ini sampai akhir pekan, maka disarikan secara ringkas pemikiran besar Prof. Dr. Naquib Al-Attas dalam kaitannya dengan pandangan hidup/alam (worldview) Barat, berjudul : "Kritik Prof. al-Attas terhadap worldview Barat"

Semoga bermanfaat dalam mencerahkan pemikiran umat Islam untuk membangun kembali peradaban Islam agung dimasa depan, dimulai dari diri kita masing-masing, berkembang pada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara kita yang tercinta Indonesia.

Selamat membaca !

Wassalamu' alaikum wr wb,

A.Nurhono

* *

*Kritik Prof. Al-Attas Terhadap Pandangan Alam (Worldview) Barat*

* *

*Syed Muhammad Naquib Al-Attas* adalah seorang intelektual Muslim yang ulung pada abad ini karana telah berhasil membongkar kepincangan filsafat Barat dan menanggapinya secara kritis dan cerdas. Melalui karya-karyanya tentang metafisika Islam, beliau juga telah berhasil membawa pemikiran Islam ke

Kritik Prof. Al-Atta 30 Jul 2010, 23:4 Ahmad Nurhono < Muslim-KL

Page 54: Syed Muhammad Naquib Al

tahap yang lebih tinggi. Salah satu sumbangan besar beliau dapat dilihat melalui sebuah karya yang bertajuk Islam and Secularism yang diterbitkan pada tahun 1978. Dalam buku ini beliau telah mengkaji dan membedah inti peradaban Barat dan pandangan alamnya, menunjukkan kepincangan-kepincangan yang ada padanya, kekeliruan dan bencana yang diakibatkannya, dan menyediakan bagi umat Islam solusi dalam menghadapi krisis keilmuan ini. Keagungan karya al-Attas diakui bukan saja oleh para pengikut dan muridnya tetapi oleh banyak cendekiawan Muslim dan beberapa pemikir Barat, seperti terlihat dalam *Cranlana Programme,*[2] dalam usaha mereka untuk memahami sumbangan pemikir-pemikir dunia dalam menciptakan masyarakat dan peradaban yang unggul.

Dunia hari ini dipenuhi dengan kekacauan (*chaos*) dalam hampir semua bidang kehidupan. Kekacauan dapat kita lihat dalam sistem ekonomi dunia hari ini yang telah menjamin kesejahteraan kelompok kecil manusia tetapi memberi kesengsaraan kepada mayoritas penduduk dunia; sistem politik kontemporer juga seringkali gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah dan membela nasib rakyat kecil; universitas-universitas seringkali gagal melahirkan manusia-manusia yang beradab dan maju dalam arti kata yang sebenarnya; sains dan teknologi yang gagal menjadikan dunia lebih layak dihuni oleh manusia. Segala kekacauan yang timbul hari ini menurut al-Attas bermula dari krisis keilmuan yang datang dari Barat. Bagi al-Attas krisis keilmuan adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat manusia di zaman ini, karena bangunan ilmu (*epistemic construct*) ini yang akan menentukan bagaimana sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan institusi pendidikan dibangun. Korpus ilmu yang hari ini banyak diwarnai oleh peradaban Barat telah dirusakkan oleh paham-paham sekular dan liberal. Maka terjadilah kerusakan pada ilmu (*the corruption of knowledge*). Paham sekular-liberal ini memiliki framework pemikiran dan konsepsi yang keliru tentang ilmu, manusia, agama, wahyu, Tuhan dan kata kunci lainnya yang mendefinisikan pandangan alam sesuatu peradaban. Kekeliruan dalam epistemologi inilah yang menyebabkan Barat gagal mengenali hakikat sebenarnya akan realitas kehidupan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sepatutnya.

Sebelum dapat melihat kepincangan pandangan alam Barat, al-Attas terlebih dahulu mendalami filsafat dan pemikiran Barat seperti rasionalisme, empirisisme, positivisme dan pragmatisme. Beliau menyerang sikap Barat yang terlalu mengagungkan ilmu sains sebagai satu-satunya cabang ilmu yang dapat memberikan kepastian dan keyakinan tentang realitas.[3] Oleh karena itu menurut al-Attas Barat telah ”membatasi pandangan alam pada alam yang dialami oleh indera jasmani serta dibentuk oleh akal rasional ”.[4] Dengan menggunakan kaidah rasionalisme dan empirisisme, bagi mereka hakikat hanyalah alam empirik. Dari kajian yang mendalam terhadap* worldview* Barat ini al-Attas menyimpulkan bahawa ilmu itu tidak netral. Karena baginya ilmu “bukan hanya suatu sifat yang dimiliki akal manusia, bukan juga hanya hasil

Page 55: Syed Muhammad Naquib Al

pengolahan sifat itu tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempertimbangkan kesahihan pendapatnya”.[5] Yang kita anggap ilmu tidak berdiri sendiri sebagai fakta dan informasi tanpa cara pandang dan * worldview* tertentu. Seseorang mestilah memiliki kerangka pemikiran dan * worldview* tertentu sebelum ia dapat mencerna fakta-fakta dan informasi tersebut. Pandangan al-Attas ini tidak diterima oleh beberapa cendekiawan Muslim sendiri, seperti Fazlur Rahman[6] dan Pervez Hoodboy[7], yang terpengaruh dengan *worldview* Barat dan mengatakan bahawa ilmu itu value-free (bebas nilai). Mereka melihat bahawa ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh Barat tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan pandangan alam Islam. Pandangan al-Attas bahawa ilmu itu sarat nilai (value laden) sejajar dengan banyak ilmuwan lain seperti Thomas S. Kuhn dalam bukunya *The Structure of Scientific Revolution*[8] dan Edward Said dalam bukunya *Orientalism dan Culture and Imperialism*.[9] Tinjauan lebih mendalam akan mendapati bahwa pandangan seperti ini hanya dimiliki oleh beberapa cendekiawan yang mandiri dan berani melihat peradaban Barat secara kritis.

Al-Attas meneliti secara mendalam sumber kekeliruan dalam pemikiran Barat. Beliau menjelaskan bahawa latar belakang filsafat Barat banyak mennggambarkan pandangan alam Barat. Beliau melihat bahwa pandangan alam Barat dimasuki berbagai unsur dari filsafat Yunani dan Romawi, ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, unsur-unsur kepercayaan orang Latin, German, Celtic dan Nordik telah menimbulkan kekeliruan dan bukan suatu paduan yang baik. Bahkan menurutnya Islam juga telah menyumbang ke arah kematangan pemikiran Barat melalui semangat rasionalisme dan saintifik. Namun campuran berbagai sumber tersebut, walaupun ada di antaranya yang baik, karena tidak diletakkan di tempatnya masing-masing telah menggiring peradaban Barat ke arah dualisme dan tragedi.[10] Al-Attas menolak tesis Harvey Cox bahwa sekularisasi mempunyai akarnya dalam Bible.[11] Beliau menegaskan bahawa akar sekularisasi bukan pada Bible tetapi pada pentafsiran Bible oleh manusia Barat.[12] Maka yang berlaku sebenarnya adalah bukan peng-kristenan masyarakat Barat tetapi pembaratan agama Kristen oleh masyarakat Barat.[13]

Kerusakan pada ilmu bermula daripada dualisme. Menurut al-Attas dualisme menjadi karakter worldview dan sistem nilai peradaban Barat. Dualisme berlaku apabila dua perkara dilihat bertentangan, terpisah dan tidak dapat disatukan secara harmoni. Bibit-bibit pemisahan berlaku dalam agama Kristian apabila dipisahkan antara sacred (suci) dan *profane* (tidak suci). Kemudian dalam sekularisme berlaku pemisahan antara spirit (ruh) dan matter (benda).[14] Malah menurut al-Attas pandangan alam sekular telah menjadikan alam empiris (benda) ini* qadim*.[15] Seterusnya berlaku pemisahan antara wahyu (*revelation*) dan akal (*reason*) dan antara tradisi dengan modernitas. Dari pemisahan ini maka manusia sekular yang telah mengagungkan ilmu sains dan membataskan hakikat pada alam empiris, akan cenderung memilih

Page 56: Syed Muhammad Naquib Al

akal daripada wahyu, benda daripada ruh, dunia daripada akhirat, modernitas daripada tradisi. Maka dengan tepat al-Attas menyimpulkan bahwa peradaban Barat telah berpegang sepenuhnya kepada akal rasional manusia dalam menguraikan segala persoalan.[16] Dan ini menurut beliau adalah satu bentuk*deification of human being *(pendewaan manusia). Dan tentunya manusia yang diagungkan di sini adalah manusia sekular dan manusia sekular yang tulen semestinya adalah manusia Barat.[17] Proses ini mengukuhkan lagi tesis beliau bahwa telah berlaku westernisasi ilmu, maka untuk itu diperlukan dewesternisasi ilmu.

Dibandingkan epistemologi Islam yang menekankan keyakinan dan kepastian. Epistemologi Barat mengangkat keraguan (*doubt, shakk*) menjadi kaidah epistemologi yang melaluinya segala ilmu dan kebenaran diperoleh.[18] Oleh karenanya seringkali epistemologi seperti ini berakhir kepada kekeliruan dan skeptisisme. Tidak heranlah jika agnotisme, ateisme, utilitarianisme dan evolusionisme mulai bermunculan setelah rasionalisme Barat diperkenalkan oleh Descartes pada abad ke-17.[19] Akibat daripada epistemologi yang keliru ini maka selalu terjadi perombakan dalam epistemologi Barat. Modernisme yang menegaskan objektivisme kini dirombak oleh pascamodenisme yang mengagungkan relativisme dan subjektivisme. Bertrand Russell menegaskan pandangan falsafah Barat terhadap ilmu dengan mengatakan bahawa “*All knowledge is more or less uncertain and more or less vague*”.[20] Malah Russell berkesimpulan bahwa ilmu adalah produk keraguan.[21] Kerana keraguan menjadi asas pencarian ilmu ini maka manusia dalam falsafah Barat tidak akan dapat mencapai kepastian. Kerangka epistemologi yang sekular ini menyebabkan sesuatu yang dianggap ilmu dalam kerangka pemikiran Barat tidak semestinya ilmu dalam arti kata yang sebenar tetapi boleh dikatakan sebagai pseudo knowledge (ilmu yang palsu). Ketidakpastian ini berlaku disebabkan oleh peminggiran sumber ilmu yang utama, yaitu wahyu, dan karena itu manusia tidak lagi dapat mengetahui perkara-perkara yang pasti. Dan ketidakpastian menjadi satu realitas dalam ilmu Barat. Sebaliknya sesuatu yang dianggap pasti dan tetap kini menjadi tidak pasti dan berubah-rubah. Seharusnya relativisme dan subjektivisme juga dilihat sebagai sesuatu yang tidak pasti. Namun ternyata pomodernis mengecualikan relativisme dan subjektivisme daripada ketidakpastian yang menjadi ciri filsafat Barat.

Ketidakpastian ini juga yang menggiring pemikiran Barat kepada konsep tragedi. Tragedi adalah konsep ketidaksampaian (*unattainment*) dalam segala usaha manusia. Tragedi menjadi ciri peradaban Barat dan merupakan realiti yang mesti diterima dalam kehidupan manusia sehingga banyak film dan teater berakhir dengan tragedi dan kesudahan yang dramatik. Manusia dianggap makhluk yang malang. Malang kerana harus menanggung dosa warisan (o*riginal sin*) dan harus bergantung dengan keupayaan sendiri, akal rasional, untuk mencapai kebenaran. Sedangkan pada hakikatnya ia adalah makhluk yang paling beruntung kerana diberikan karunia yang tidak terhingga oleh Allah SWT. Dan

Page 57: Syed Muhammad Naquib Al

Allah telah memberikannya banyak fakultas termasuk akal yang berfungsi untuk mengenal Allah dan mengenali dirinya. Sikap negatif manusia sekular terhadap kehidupan ini kemudian diimbangi dengan sikap keterlaluan dalam mengapresiasi kehidupan duniawi. Manusia dihakimi hanya hidup sekali maka selama hidup ini manusia harus mencari kepuasan dan kesenangan sebanyak mungkin. Sedangkan dalam pandangan Islam kehidupan dunia ini adalah ujian, jembatan, dan tempat berbekal. Di dunia manusia terikat dengan hutang kewujudan (the debt of existence) dan bukan original sin. Setelah mati manusia akan dihidupkan. Ia akan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan di dunia dan menjalani kehidupan abadi sesuai dengan takdirnya.

Masalah yang paling besar dalam ilmu kontemporer adalah sikap Barat terhadap agama yang dicirikan oleh ketidakpercayaan (*disenchantment towards religion *). Hal ini berkaitan erat dengan sikap sarjana Barat yang menganggap bahawa Tuhan dan agama hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh manusia. Tuhan tentunya bukan sama sekali khayalan, mitos, yang berubah seiring perubahan zaman. Bagi al-Attas Tuhan adalah hakikat semata-mata.[22] Di sinilah berlakunya pertentangan antara pandangan alam sekular dengan pandangan alam yang berasaskan kepada tanzil (wahyu). Pertentangan ini bermuara pada perbedaan “agama dan filsafat, dan sains sekular ialah cara dan kaidah kita dalam memahami arti sumber dan kaidah ilmu”.[23] Akibat dari peminggiran agama dalam kehidupuan maka realitas keruhanian dan kebenaran pada zaman modern dicirikan dengan ketidakpastian. Hal ini berlaku seiring dengan kecenderungan masyarakat modern yang kehilangan minat terhadap agama (Kristen) dan bertumpu kepada ilmu-ilmu sains. Sikap terhadap agama inilah yang menyebabkan masyarakat Barat, menurut al-Attas, mendewakan manusia dan memanusiakan Tuhan (man is deified and Deity humanized).[24] Selanjutnya akibat daripada ketidakpercayaan ini maka segala konsepsi terhadap alam realitas menjadi sekular dan materialistik. Maka konsep pembangunan (* development*), kemajuan (*progress*) dan perubahan (*change*) akhirnya tidak terlepas dari kerangka sekular dan materialistik tersebut.

Semua kekeliruan dalam pandangan alam Barat dapat disimpulkan oleh al-Attas kepada lima perkara yang juga mendefinisikan peradaban Barat: pertama, kepercayaan mutlak pada akal (rasional) sebagai panduan dalam kehidupan; kedua, pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran; ketiga, penerimaan aspek ke-disinikini-an sehingga memancarkan pandangan alam yang sekular; keempat, penerimaan doktrin humanisme; kelima, menjadikan drama dan tragedi sebagai kenyataan dan sangat berpengaruh kepada hakikat manusia dan kejadian:

* *

*Reliance upon the powers of human reason alone to guide man through life;

Page 58: Syed Muhammad Naquib Al

adherence to the validity of the dualistic vision of reality and truth; affirmation of the reality of the evanescent-aspect of existence projecting a secular worldview; espousal of the doctrine of humanism; emulation of the allegedly universal reality of drama and tragedy in the spiritual, or transcendental, or inner life of man, making drama and tragedy real and dominant elements in human nature and existence—these elements altogether taken as a whole, are, in my opinion, what constitute the substance, the spirit, the character and personality of Western culture and civilization* .[25]

* *

*Sekularisasi dan Desekularisasi* Sekularisasi, menurut Harvey Cox, adalah ”pembebasan manusia dari bimbingan agama dan metafisika, menukar tumpuan manusia dari alam akhirat ke alam dunia”.[26] Pembebasan ini katanya untuk kepentingan manusia, karena pemikir-pemikir Barat umumnya melihat bahwa agama adalah penghalang pada kemajuan manusia.

Sejak kemunculan sekularisme, bidang yang pertama mendapat akibatnya adalah bidang politik. Karena tujuan sekularisme juga adalah supaya agama dan gereja tidak campurtangan dalam urusan keduniaan. Oleh itu urusan keduniaan diserahkan sepenuhnya kepada penguasa politik. Sedangkan agama dibatasi pada ruanglingkup ritual dan spiritual. Kesilapan besar yang dilakukan oleh sekularisme antara lain seperti disebutkan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pembebasan alam dari unsur-unsur keagamaan (disenchanment of nature), beliau mengatakan:

* *

*By the ‘disenchanment of nature…[the Western philosopher-scientist] mean…the freeing of nature from its religious overtones; and this involves the dispelling of animistic spirits and gods and magic from the natural world, separating it from God and distinguishing man from it, so that man may no longer regard nature as a divine entity, which thus allows him to act freely upon nature, to make use of it according to his needs and plans.[27]*

* *Kritik al-Attas terhadap sekularisme cukup jelas. Beliau mengecam pemisahan antara materi dan spiritual yang akhirnya mengangkat manusia sebagai penguasa mutlak di alam ini:

Page 59: Syed Muhammad Naquib Al

*”…effected a final dualism between matter and spirit in a way which left nature open to the scrutiny and service of secular science, and which set the stage for man being left only with the world on his hands.”[28]*

* *Oleh itu, akar permasalahan politik kontemporer sebenarnya terletak pada kerancuan dalam pandangan alam (*worldview*) sekular. Pandangan alam sekular telah membuang segala yang bersifat transenden dan mengalihkan perhatian manusia kepada segala yang bersifat keduniaan dan kekinian. Dengan demikian ciri utama filsafat-filsafat Barat modern dan postmodern adalah immanentisme. Filsuf-filsuf Barat telah meminggirkan agama, petunjuk Tuhan dan nilai-nilai moral. Apa yang disebut sebagai tradisi ini telah digantikan dengan rasionalisme sekular, kemajuan material (material progress) dan kebebasan individu.

Setelah pemisahan agama dan negara dilakukan maka apa yang berlaku tiadanya panduan dan bimbingan terhadap peranan manusia dalam kehidupan. Kebenaran sesuatu ditentukan sepenuhnya oleh akal fikiran manusia yang subjektif. Empirisisme, positivisme dan saintisme dicipta untuk menjadi panduan dalam menentukan sepenuhnya benar salah, baik buruk sesuatu perkara. Akan tetapi keangkuhan modernisme Barat ini lalu digugat oleh postmodernisme yang lahir dari rahim modernisme sendiri. Maka apa yang terjadi sebenarnya setelah melepaskan diri dari agama, manusia sekular berada dalam putaran ganas relativisme dan nihilisme hasil ciptaan manusia sekular sendiri.

Mengenai kesesatan sekularisme, al-Attas mengatakan bahawa dengan membuang unsur-unsur transenden, sekularisme telah mendewakan manusia:

*The reduction of man of his transcendent nature as spirit emphasizing his humanity and physical being, his secular knowledge and power and freedom, which led to his deification, and so to his reliance upon his own rational efforts of inquiry into his origins and final destiny, and upon his own knowledge thus acquired which he now sets up as the criterion for judging the truth or falsehood of his own assertions.”*[29]

Dalam mengritik sekularisme, Prof. Wan Mohd Nor menekankan bahwa bukan kemajuan material dan pembangunan yang ditentang tetapi kecenderungan sekularisme menjadikan realitas dan kebenaran ditentukan sepenuhnya oleh akal rasional dan empiris dengan demikian telah menolak bimbingan agama yang benar: *”what we critical of is the removal of spiritual meanings from human consciousness and activities, and from nature; the reduction of all truth and reality to what is only empirically and rationally verifiable and unaided by valid religious guidance.”* Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi menegaskan: “pengikisan agama dari politik berarti mengikisnya nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan

Page 60: Syed Muhammad Naquib Al

ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikawal oleh unsur-unsur kejahatan.”[30]

Pembebasan alam kejadian (*nature*) dari unsur-unsur keagamaan oleh sekularisme diikuti dengan desakralisasi politik (*desacralization of politics*) dengan memisahkan agama dari politik. Sekularisme melakukan desakralisasi politik dengan memutuskan kekuasaan dunia dari kekuasaan transenden. Hal ini dilakukan atas alasan bahwa pemerintahan agama akan menghalangi perubahan dan kemajuan. Yang menjadi pencetus kepada pemisahan ini adalah kesalahan gereja dalam menghakimi bahwa mereka berkata atas nama Tuhan. Sehingga apa saja yang diutarakan oleh gereja adalah dari Tuhan padahal ini adalah dakwaan palsu. Justru itu yang seharusnya diruntuhkan adalah dakwaan berkomunikasi dengan Tuhan dan bukan peranan agama secara keseluruhannya.

Pemikiran sekular telah memisahkan antara wahyu dengan akal, agama dengan sains. Sekularisme berasumsi bahawa dua perkara yang dilihat bertentangan ini tidak dapat bersatu, keduanya dilihat secara dikotomis. Dengan dualisme ini sekularisme telah menempatkan manusia dan Tuhan sebagai entitas yang berlawanan dan terpisah. Inilah yang dimaksudkan dengan desakralisasi politik. Maka sejak zaman *Renaissance* telah terjadi pemisahan antara negara dan agama. Yang menjadi masalah pada hari ini adalah tanpa bimbingan Tuhan, manusia mengatur alam kehidupan mengikut hawa nafsu dan kepentingan sesaat (pragmatisme). Maka dalam berpolitik kepentingan peribadi dan kepentingan masing-masing golongan akan menjadi keutamaan berbanding kepentingan bersama atau kepentingan rakyat. Baik dan buruk tidak lagi bersifat universal tetapi relatif dan subjektif bergantung sepenuhnya kepada keinginan manusia sekular. Maka manusia sekular, karena hanya mempertimbangkan hal-hal keduniaan yang bersifat sementara dan dekat di mata kasar, sebenarnya bersandarkan kepada pemikiran yang dangkal, yang tidak mencerminkan kebijaksanaan tetapi ’kebijaksinian’.

Semua premis yang dikemukakan di atas membawa al-Attas kepada kesimpulan bahawa dewesternisasi dan desekularisasi terhadap ilmu-ilmu kontemporer adalah satu kemestian. Atas dasar inilah al-Attas membangun gagasan Islamisasi ilmu yang seringkali dikaitkan dengan ide dewesternisasi dan desekularisasi. Al-Attas telah membuktikan bahawa dualisme yang menjadi ciri khas pandangan alam Barat menyebabkan kekeliruan dalam memahami realitas dan kebenaran. Ia berawal dari kegagalan memahami kedua perkara tersebut dengan tepat dan keliru dalam meletakkan kedua perkara tersebut pada tempat yang sewajarnya. Pendewaan terhadap akal rasional (rasionalisme dan empirisisme) terjadi seiring dengan peminggiran yang sistematik terhadap agama dan metafisika. Al-Attas juga membongkar kelemahan konsepsi Barat tentang banyak perkara yang dicirikan dengan kepincangan dan ketidaksempurnaan. Konsepsi Barat tentang manusia, ilmu, pembangunan, kebahagiaan, agama, Tuhan, dan

Page 61: Syed Muhammad Naquib Al

lain-lain adalah mengelirukan dan merusak. Sehingga siapa saja yang menerimanya akan ikut mengalami bencana dan malapetaka yang besar, yang akan sedikit demi sedikit meruntuhkan peradaban manusia.

Berdasarkan pemahaman dan kajian kritis Prof Al-Attas tentang rusaknya pandangan hidup (worldview) Barat diatas inilah, maka program mega proyekpun dirintis secara sistimatis, berkesimabungan dengan masterplan jauh kemasa depan yang jelas dan kokoh, yaitu dengan menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Seluruh hidupnya, ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.

Seluruh daya upaya itu telah dan terus dilakukan oleh Syed Naquib Al-Attas, intelektual yang di masa kini menjadi salah satu menara keilmuan Islam modern. Proyek besarnya itu dikemasnya dalam 'Islamisasi Ilmu Pengetahuan' melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan, yakni International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.

Rujukan: Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. *Islam and Secularism*, diterbitkan oleh ABIM pertama kali pada 1978. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993. ________. *Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam*. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. ________. “*The Worldview of Islam: An Outline” dalam Islam and The Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Contexts*, Sharifah Shifa al-Attas (ed.). Kuala Lumpur: ISTAC, 1996. ________. *The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education*, Kuala Lumpur: ABIM, 1980. ________. *Risalah untuk Kaum Muslimin*, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. ________. *Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam*. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007. Cox, Harvey. *The Secular City*. New York: Collier Book, 1965. Kuhn, Thomas S. *The Structure of Scientific Revolution*. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996. Lyotard, Jean-Francois. *The Postmodern Condition: A Report on Knowledge*. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984. Al-Qaradawi, Yusuf. *al-Din wa al-Siyasah*. Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007. Rahman, Fazlur. *“Islamization of Knowledge: A Response”* dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988. Pp.3-11. Russell, Russell. *The Problems of Philosophy*. Oxford: Oxford University Press, 1959. Said, Edward. *Orientalism*. New York: Vintage Books, 1979. Smart, Barry. *Postmodernity: Key Ideas*. London: Routledge, 1993.

Page 62: Syed Muhammad Naquib Al

Wan Mohd Nor Wan Daud, “*An Islamic Philosophy of Education: From Conceptualization to Realization*”. Kertas kerja yang dibentangkan pada persidangan: Islamic Education for Transformation, dianjurkan oleh Islamic Unity Convention di Capetown, Afrika Selatan pada 27 June 1997. ________.* The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization*. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998. ________. *Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi*, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005. ________. *Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa*. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. 9

________________________________________ [2] Lihat Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Melbourne: the Cranlana Programme, 2002). Buku ini menghimpunkan pemikiran dan sumbangan 45 ilmuwan dan pemikir besar sepanjang sejarah manusia bermula daripada Plato sehingga John Rawls. Maklumat ini diberikan oleh Prof. Wan Mohd Nor, penulis ingin merakamkan penghargaan kepada beliau atas banyak tunjuk ajar yang diberikan. [3] S.M.N. al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Penerbit USM, 2006), 9. Setelah ini diringkas sebagai Peri Ilmu dan Pandangan Alam. [4] Ibid., 16. [5] Ibid., 15. Lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 306. [6] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response” dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988, pp. 3-11. [7] Pervez Hoodboy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (London: Zed Book, 1992). Daripada tulisan terkininya kita dapati beliau menerima sepenuhnya worldview Barat, seperti katanya: “Just as important, the practice of religion must be a matter of choice for the individual, not enforced by the state. This leaves secular humanism, based on common sense and the principles of logic and reason, as our only reasonable choice for governance and progress”. Lihat “Science and the Islamic world—The quest for rapprochement”, di http://ptonline.aip.org/journals/doc/PHTOAD-ft/vol_60/iss_8/49_1.shtml [8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996), 4-5. [9] Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 204. [10] Al-Attas, Islam and Secularism, 134.

Page 63: Syed Muhammad Naquib Al

[11] Harvey Cox, The Secular City (New York: Collier Book, 1965), 15. [12] “Secularization has its roots not in biblical faith, but in the interpretation of biblical faith by Western man”. Lihat Al-Attas, Islam and Secularism, 20. [13] Ibid., 20, 22. [14] Ibid., 33. [15] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 3. Qadim bermakna tidak bermula dan tidak berakhir. [16] Al-Attas, Islam and Secularism, 137. [17] Ibid., 25. [18] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam,5. [19] Al-Attas, Islam and Secularism, 22. [20] Encyclopedia Brittanica, The Theory of Knowledge. [21] Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1959), 156. [22] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 2 [23] Ibid., 2. [24] Al-Attas, Islam and Secularism, 136. [25] Ibid.,137. [26] Harvey Cox, The Secular City, 15. [27] Al-Attas, Islam and Secularism, 18. [28] Ibid., 33. [29] Ibid., 38. [30] Yusuf al-Qaradawi, al-Din wa al-Siyasah (Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007), 82.

makalah: ISLAMISASI ILMU PENGETAHUANBY: Aid Wizdan Alfaid ( presentasi MK.IPI Pasca Sarjana UIN SGD Bandung)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setelah Abad 15 M umat islam mengalami kemunduran yang sangat parah ditandai dengan hancurnya dinasti Abbasiyah sebagai simbol kejayaan umat islam. Kemudian diikuiti dengan semangat bangsa Erofa yang dengan Renaisance nya membawa keharuman bangsa tersebut menuju puncak keemasan yang pernah di raih umat islam sebelumnya. Dari titik kesadaran yang diraih bangsa Erofa tersebut

Page 64: Syed Muhammad Naquib Al

mampu menemukan berbagai inovasi dalam teknologi industri konsumtif; mesin, listrik, teknologi pemintalan dll. Setelah waktu berjalan penemuan inovasi ini tidak diimbangi raw material yang dimiliki bangsa Erofa sehingga memunculkan revolusi industri, yang mengakibatkan krisis kemanusiaan; Misalnya pengangguran, perbudakan, pemberontakan sebagai akibat kaum Borjuist yang sudah tidak memerlukan lagi tenaga manusia.

Barangkali untuk keduakalinya islam harus belajar dari keterpurukan Erofa pada saat itu, mereka sangat cepat mengatasi hal itu dengan mengembalikan seluruhnya pada tatanan filsafat, misalnya mereka mempelajari Teori Galileo Galilei yang mengatakan Bumi itu bulat serta teori-teori ilmu bumi lainnya sehingga lahirlah Christopher Colombus, Vasco de Gama dan Magellan yang menemukan Dunia baru dan jalan laut[1] yang kemudian bangsa Erofa berhasil menaklukan dan menguras kekayaan daerah baru tersebut dan dibawa kembali kenegera mereka untuk diolah tanpa memperdulikan nasib rakyat yang di jajah, sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang sarjana timur Abdurrahman Kawakibi yang telah meneliti sifat-sifat orang Barat, ia mengemukakan bahwa orang barat “keras kepala, keras hati, materialis, pendengki, mementingkan diri sendiri, dan pendendam[2]. Inilah awal mula sejarah terjadinya penjajahan di muka bumi islam yang kaya akan sumber energi. Selain menguras harta kekayaan bumi islam mereka pun mencemari budaya lokal dengan budaya Barat bahkan mulai masuknya misi kristen yang sejalan dengan faham liberal dan sekuler.

Usaha-usaha Barat yang berusaha menggerus akidah sebenarnya dapat ditangkal artinya usaha meraka tidak seluruhnya berhasil hingga mencabut keimanan, malah kalangan masyarakat muslim semakin kuat untuk melawan penjajah dengan munculnya oragnisasi-organisasi keislaman sebut saja Hamas di Palestina, SI di Indonesia. Setelah usaha-usaha yang dilakukan gagal kaum Erofa mulai mencari dan menyelidiki jalan yang lebih rumit. Mereka beranggapan bahwa eksistensi kekuatan umat merupakan hasil dari akidah dan al-din al-islam itu sendiri. Sehingga mereka berusaha secara intensif berpropaganda untuk melemahkan kekuatan dan ikatan umat melalui al-din al-islam; menukar pemahaman dan pengamalan syariah yang menjadi prinsip-prinsip islam yang kukuh dan aktif, bermotivasi, penuh dengan nilai-nilai positif kepada bentuk yang kaku dan tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan jiwa serta mengarahkan kehidupan umat islam.

Inilah yang dikenal sebagai penaklukan intelektual, Sebuah proses yang menggunakan konsepsi filosofis dan metafisis (dibawah lindungan logika, kebiasaan, dan pragmatik) yang akan menimbulkan kontroversi berkelanjutan, rumit serta penuh dengan unsur penipuan.Hasilnya adalah kehancuran Umat buktinya adalah timbulnya sekte-sekte dalam agama yang akan lebih melemahkan umat dan menghancurkan kesatuannya serta mengalihkan pedoman para ulamanya atas sumber-sumber yang sahih bagi islam, al-Qur’an dan Sunnah[3].

Penjajah Barat beserta para Orientalisnya memulai propagandanya dengan mengubah pemikiran serta kesusilaan ajaran islam agar dicemarkan, memisahkan Islam dari kehidupan keseharian dan memutarbalikan menjadi kepercayaan yang aneh, sehingga keruntuhan intelektual islam mulai runtuh dan tidak mimilki keyakinan diri untuk mempertahankan pribadi bahkan negaranya.

Usaha – usaha Barat tersebut menyebabkan kondisi umat islam berada pada posisi terbawah; umat islam di intervensi, dikhianati, dijajah, dieksploitir, dibunuh dipaksa menukar agamanya.

Page 65: Syed Muhammad Naquib Al

Dimedia massa islam digambarkan konvensional; agresif, pemusnah, tidak mempunyai undang-undang, bangsa yang ganas, tidak berperadaban, fanatik, kolot, serta kuno. Umat islam digambarkan sebagai pusatnya peperangan, perpecahan, pergolakan dan pertentangan antar sesama, kemiskinan dll. Intinya dunia Islam sedang “Sakit”.

Dari kegalauan itu semua ada sebuah ide dari golongan muda yang terhimpun dalam Perhimpunan Ilmuwan Sosial Muslim yang mensponsori berdirinya Institut Pemikiran Islam International (IIIT) yang berdiri pada abad 14 H tepatnya tahun 1402 H/1982 mereka beranggapan bahwa untuk merubah keterpurukan islam adalah dengan merubah sistem pendidikan yang ada sekarang[4]. Dimana dikotomi antara ilmu pengetahuan dengan islam begitu lebar. Mereka percaya dengan penyatuan kedua elemen tersebut bisa menjadi “titik balik” dunia islam menuju “Golden age” yang pernah diraih islam sebelumnya.

Agar lebih jelas penulis akan membatasi permasalahan Islamisasi ilmu pengetahuan dalam

1. Latar belakang munculnya Islamisasi Ilmu Pengethuan

2. Pengertian Islamisasi ilmu Pengetahuan

3. Prokontra dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan

4. Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan

PEMBAHASAN

1. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan islamisasi Ilmu Pengetahuan perlu kirannya memperhatikan pendapat para pakar agar batasan pembahsan ini lebih jelas arahnya.

Menurut kalangan akademisi di UIN Malang, ada bebrbagai pendapat atau versi tentang pemahaman Islamisasi Ilmu Pengetahuan[5], yaitu:

1. Versi pertama beranggapan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi).

2. Kedua, mengatakan bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya.

3. Ketiga, Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di UIN Malang dengan mempelajari dasar metodologinya.

4. keempat, memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab. Dengan berbagai pandangan dan pemaknaan yang muncul secara beragam ini perlu kiranya untuk diungkap dan agar lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.

      Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan oleh al-Attas, yaitu:

Page 66: Syed Muhammad Naquib Al

Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi[6].

Ini artinya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari belengu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya.

Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.[7] Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.

Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekuler pun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman [8].

Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).” [9]

Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.

Selain kedua tokoh di atas, ada beberapa pengembangan definisi dari Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya [10].Progam ini menekankan pada keselarasan antara Islam dan sains modern tentang sejauhmana sains dapat bermanfaat bagi umat Islam.

Page 67: Syed Muhammad Naquib Al

Dan M. Zainuddin menyimpulkan bahwa Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan worldviewnya sendiri (Islam) [11].

Dari pengertian Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional – empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.

Maraknya kajian dan integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini dengan center didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji’ Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Ia misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Walaupun sudah muncul pada tahun 70-an konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan versi al Faruqi  pertama kali di sosialisasikan secara internasional dalam seminar Om Islamization Of Knowledg di Islamabad, Pakistan 4-9 Januari /82. seminar ini terlaksana atas kerja sama National Hijra Centenery celebration Commiteee Pakistan, The Instute of Education, Islamic University, Islamabad Pakistan, dan IIIT. Seminar itu dihadiri oleh sarjana terkemuka dari Negara-negara muslim.

Komposisi seminar tersebut memperlihatkan bahwa pada masa awal perkembangannya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat dukungan dari beberapa negara Muslim terutama Saudi Arabia, Pakistan , dan Malaysia. Beberapa sarjana terkemuka tersebut tidak hanya mendukung akan tetapi terlibat langsung dalam proses diseminasi konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.Mereka berperan dalam proses pendidrian Universitas Islam Internasional (International Islamic University ) di Jedah, Kuala Lumpur, dan Karachi. Proyek pendidikan tinggi Keislaman pertama yang direkomendasi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Di Kuala Lumpur, tahun1983 didirikan International Islamic University Malaysia (IIUM), demikian halnya di Jeddah dan Karachi. Pendirian universitas –universitas tersebut sangat kental dengan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan  baik dalam filsafatnya, Visi dan Misi, serta tujuannya.

Di  Indonesia, dukungan kuat terhadap konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan al-Faruqi dimulai pada tahun 1990-an dimulai dengan  didirikannya Institut For Science and Teknology Studies (ISTECS), yang bertujuan untuk menyemarakkan Islamisasi sains di Indonesia oleh sekelompok ilmuwan muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Dan puncaknya ditandatanganinya piagam berdirinya International Islam Forum for Science, Teknology And Human Rescource Development (IIFTIHAR) di depan ka’bah oleh Prof. Dr. B.J Habibie (saat Itu Menristek dan ketua ICMI) dan Habibi menjabat sebagai ketuannya[12].

2. Pro Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Page 68: Syed Muhammad Naquib Al

Munculnya gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan disambut dengan berbagai tanggapan, satu pihak menyambut dengan sangat antusias di lain pihak ada yang menganggap hanya sebuah lontaran kalangan ilmuwan islam untuk mengobati sakitnya dunia islam.

Rosnani Hashim membagi pihak yang berseteru ini kedalam empat golongan, yaitu:[13]

1. Pertama golongan yang menerima Program Islamisasi Ilmu Pengetahuan secara teori dan konsep dan berusaha untuk merealisasikannya dalam bentuk sebuah karya yang sejalan dengan program.

2. Golongan kedua sepakat pada tatanan teori dan konsep tetapi tidak dilakukan secara praktis

3. Golongan ketiga adalah yang tidak sepakat bahkan mencemooh gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

4. Golongan keempat yang tidak mempunyai pendirian terhadap gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Golongan yang menerima gagasan diantaranya dari Syed Hossein Nasr yang mengatakan bahwa program ini bukan hanya untuk dipikirkan tetapi perlu dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu[14].Selain ilmuwan inggris muslim Zainudin Sardar  sedikit berbeda dengan al-Faruqi yang terlalu mengedepankan ilmu modern yang kemudian direlevansikan terhadap islam, hal ini akan membentuk westernisasi islam seharusnya menurut beliau adalah mengedepankan terlebih dahulu islam untuk direlevansikan terhadap ilmu Barat yang bersifat sekuler. Ia mengajak bahwa Islamisasi ilmu bagaimanapun juga harus bertitik tolak dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam. Al-Attas juga meng”amini” pendapat tersebut. Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat. Inilah yang menjadi alasan al-Attas bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam tradisional hanya diteliti sekedar untuk melihat sejauhmana penyimpangannya dari tradisi Islam tapi bukan untuk direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan Barat.[15] Di Indonesia sendiri tokoh yang mendukung gagasan tersebut adalah A.M. Saefudin dan Hanna Djumhana Bastaman

Golongan kedua adalah golongan yang merasa sangsi atas gagasan tersebut karena menurut mereka Ilmu Pengetahuan itu bersifat Universal, tidak ada yang memiliki, bukan milik islam, Kristen atau Hindu dan Budha.Menurut Fazlur Rahman tidak ada yang salah dalam Ilmu Pengetahuan hanya yang menggunakannya saja yang membawa ilmu pengetahuan kepada hal-hal yang membahayakan umat islam, baik dan buruk tergantung kepada si pemakaianya ia mengibaratkan sebuah pisau ditangan manusia.[16]

Page 69: Syed Muhammad Naquib Al

Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban[17]. Menurutnya “tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam (Islamisasi ilmu pengetahuan, pen.) merupakan pekerjaan sia-sia.”

Abdul Karim Soroush juga mengkritik gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dengan mengemukakan bahwa metode dan kebenaran tidak bisa diislamkan ia mengatakan bahwa mettode metafisis atau empiris logis bersifat independen dan kebenaran itu adalah kebenaran[18]

Gagasan Islamisasi ini juga mendapat tantangan dari Usep Fahrudin, karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya[19].

Dari uraian golongan yang menolak Islamisasi Ilmu Pengetahuan diatas penulis berkesimpulan bahwa mereka terlalu pesimis terhadap islam dengan mengajukan berbagai argumentasi. Bukankah manusia memiliki fitrah yaitu mencari sebuah kebenaran, kebenaran itu ada didalam sebuah agama yang fitrah pula yaitu islam bukan dalam Ilmu Pengetahuan karena definisi Ilmu Pengetahuan itu sendiri adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum yang berlaku dalam alam semesta;kemudian pemahamannya termaksud dengan metode tertentu yang disusun dalam satu system (disistemakan)[20]. Sehingga Ilmu Pengetahuan hanya mempelajari fenomena alam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan semua pertanyaan manusia yang memilki fitrah untuk mencari kebenaran tadi. Kita tidak dapat hidup dengan mengandalkan kebenaran ilmu pengetahuan yang empiric dan filsafat semata yang bersifat spekulatif. Sehingga Islam yang merupakan sumber kebenaran yang mutlak perlu dikaji lebih dalam agar permasalahan yang sedang dirundung umat islam segera hilang.

Kedua Islam harus mempelajari Kaum Erofa yang sebenarnya kecemerlangannya bisa berhenti hanya sampai dua abad saja ketika terjadi revolusi industry dan Revolusi Perancis. Tetapi mereka tidak berpangku tangan mereka ubah pemikiran secara global dengan mengembalikan persoalan seluruhnya pada tatanan Filsafat yang akhirnya mereka bisa meraih kembali kemajuan sampai abad sekarang. Mereka bekerja dengan keras atas dasar kesamaan persepsi dan menjauhkan sikap arogansi demi kemajuan Erofa raya.

Seharusnya kaum muslim sadar gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan bisa menjadi titik balik dunia islam menuju kecemerlangan sebut saja gagasan ini mirip dengan renaisancenya Erofa atau mungkin bisa kita sebut tajaddud, tidak perlu adanya kontroversi.       Walaupun demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi

Page 70: Syed Muhammad Naquib Al

pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan [21].

Mudah ditebak sebenarnya mengapa sulit terlaksana karena institusi yang ada terutama Perguruna tinggi sampai sekolah masih kekurangan dana sehingga bergantung kepada pemerintah, ujungnya harus mengikuti program pemerintah yang notabene mengadopsi paradigma sekuler karena umumnya Negara yang mayoritas muslim masih bergantung pada Barat sehingga dengan mudah Barat mendikte usaha – usaha Negara agar menjauhkan dari bau islamisasi.Kemudian belum bersatunya Negara-negara muslim secara utuh, persatuan yang sekarang ada hanya berbentuk oragnisasi yang berurusan dengan permasalahan keduniaan semata.

Sehingga yang sangat diperlukan sekarang adalah keberanian dari sebuah Negara untuk berusaha agar menjauhkan praktik-praktik budaya luar terutama Barat, memiliki kepercayan diri dan bekerjasama diantara sesama muslim baik local maupun internasional untuk berjuang keras agar persoalan keterpurukan dunia islam segera hilang dari muka bumi. Setidaknya gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan menjadi batu loncatan sehingga dari gagasan ini akan muncul gagasan yang lebih baik dan dapat diterima oleh kalangan muslim dunia.

Untuk merubah paradigma sekulerisme di dunia islam al-Faruqi meletakan “prinsip tauhid” sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi menjadi lima macam kesatuan[22], yaitu         

(1) Kesatuan Allah

Ilmu Pengetahuan bersifat absolute sehingga kebenarannya terputus hanya sebatas materi, oleh karena itu harus diarahkan kepada kebenaran yang mutlak. Sehingga seluruh tujuan ilmu pengetahuan harus bermuara pada kehendak Allah, termasuk maksud dan tujuan setiap individu sehingga sluruh tujuan itu akan menjadi kesatuan yang utuh. Pengetahuan islam mengakui bahwa tidak ada kehidupan , kebenaran, dan masalah yang sulit semua berasal dan berakhir pada Allah SWT. Apa saja yang dipahami, dinilai di luar ketentuan Ilahi sangat abstrak, palsu, tidak bebas nilai dan sangat terbuka kemungkinan untuk salah.

(2) Kesatuan Alam Semesta

Kebutuhn manusia telah tersedia di alam dan alam sendiri menerima kelebihan manusia, manusia mampu memanfaatkan alam untuk dirubah ataupun dibiarkan alam itu sia-sia, manusia mampu menyuburkan alam atau menghancurkannya[23]. Kehidupan di alam tidak luput dari Hubungan sebab akibat sehingga perlu adanya sebuah usaha untuk menyeimbangkan antara makhluk hidup dengan lingkungan sekitar. Tentunya manusia tidak akan berinovasi untuk mengubah dunia bila dikaitkan dengan hubungan sebab akibat karena manusia akan kehilangan gairah untuk bekerja jika tidak kaitkan dengan tujuan yang telah digariskan Allah SWT.

(3) Kesatuan kebenaran dan Pengetahuan

Page 71: Syed Muhammad Naquib Al

Kebenaran akal sudah barang tentu mempunyai ilusi, penyimpangan, dan keraguan. Kesanggupan mengintrospeksi diri tidak saja memberikannya perlindungan yang baik tetapi juga berhubungan dengan kebenaran dan realitas tertinggi,karena manusia berhadapan dengan bahaya yang memerlukan legitimasi kebenaran dari wahyu[24].Dalam hal ini berarti apabila akal sudah tidak dapat menjangkau kebenaran maka perlu kembali kepada keimanan yang dapat memberikan kepastian yang utuh.Sehingga islam paling tepat yang dapat menjelaskan kesatuan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Karena ada tiga prinsip yang menjadi asas ilmu pengetahuan islam yaitu:

Pertama, Unifikasi kebenaran dirumuskan berdasarkan wahyu,firman-firmanNya tidak mungkin bertentangan dengan kenyataan, jika terjadi perbedaan seorang muslim harus mengkaji ulang pemahamannya terhadap wahyu.

Kedua, Unifikasi kebenaran menyatakan bahwa tidak ada pertentangan, perbedaan ataupun deviasi antara keyakinan akal dan wahyu.

Ketiga, Unifikasi kebenaran ataupun identitas hukum-hukum alam dengan pola-pola Maha Pencipta yang terumuskan tidak ditemukan adanya pemecahan masalah

(4) Kesatuan kehidupan,

Kehidupan manusia harus senantiasa diisi dengan ruh keislaman yakni menerapkan ajaran islam dalam setiap perkara kehidupan keseharian manusia. Dalam hal yang amat sederhana, al-qur’an banyak memberikan pengajaran “pelaksanaan secara lembut” kepada manusia agar diamalkan dalam setiap aktiitasnya[25]. Corak hidup yang diajarkan oleh al-Qur’an dan sunnah perlu diredefinisi agar dapat diaktualisasi kembali secara lebih tegas dalam konteks modernitas

(5) Kesatuan kemanusiaan

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berbeda – beda baik warna, ras, suku dan bahasa tetapi tujuan penciptaan itu adalah untuk saling berkomunikasi dan bersosialisasi seperti firman Allah:

“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat diatas mengingatkan kepada kita bahwa semua manusia itu sama dalam pandangan tuhan, sehingga tidak perlu adanya assabiyah (kesukuan) yang dapat menghancurkan tatanan masyarakat sehingga terjadi kelompok-kelompok. Sehingga persatuan dan kesatuan umat islam sangat diperlukan.

3. Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Page 72: Syed Muhammad Naquib Al

Untuk merealisasikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan maka International Institut of Islamic Thought (IIIT) yang dipimpin oleh Ismail Raji Alfaruqi merencanakan gagasan tersebut dalam berbagai langkah diantaranya[26]:

1). Menguasai dan mahir dalam disiplin ilmu pengetahuan modern

Individu islam terutama sarjana yang beragama islam harus menguasai ilmu pengetahuan modern yang berkembang saat ini, baik prinsip, konsep, metodologi, masalah, dan tema[27]. Pengetahuan modern yang diserap secara mentah oleh setiap individu islam akan mengaburkan kembali tujuan gagasan islamisasi dalam ilmu pengetahuan. Karena ilmu modern yang berkembang saat ini berada di tangan bangsa sekuler sehingga kita perlu mengetahui prinsip konsep, metodologi, masalah, dan tema ilmu pengetahuan itu mengajarkan kepada ketauhidan atau tidak. Bila mengajarkan kepada sekuler dan atheis maka kita luruskan kembali karena ada benarnya sebuah pendapat yang mengatakan ilmu pengetahuan itu bersifat universal. Maka disinilah tugas utama seorang muslim agar sadar yang walaupun pada saat sekarang “kita” masih mengekor kepada ilmu Barat. Tidak ada salahnya melakukan seperti itu[28] karena saat ini islam dalam keadaan tidur belum menemukan teori dan ilmu baru dari ilmu yang ada. Dalam perjalanannya pasti akan ditemukan teori baru yang diciptakan oleh umat islam yang memilki konsep dan prinsip tauhid dan hal ini sudah terbukti dengan bermunculannya ilmuwan islam saat ini.

2). Tinjauan disiplin Ilmu Pengetahuan

Langkah ini diupayakan untuk mengetahui disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini yang kemudian dikaji dalam bentuk karya ilmiah yang menuliskan tentang asal-usul, perkembangannya dan metodologi, serta keluasan cakrawala visi dan sumbangan pemikiran para tokoh utamanya.salah satu syarat proses pengkajian ini adalah rujukannya harus bernilai yang berurutan dari buku dan artikel primer[29]. Sehingga secara tidak langsung akan ditemukan sumber asli ilmu pengetahuan tersebut.

3). Menguasai Warisan Islam

Gagasan islamisasi Ilmu Pengatahuan menjadi kurang bermakna apabila tidak dikaitkan masalah warisan islam yang menyumbangkan ilmu pengetahuan yang sangat besar. Namun sumbangan intelektual muslim tradisional tentang disiplin ilmu pengetahuan modern tidak mudah didapat, dibaca, dan dipahami oleh seorang intelektual muslim saat ini alasannya[30]:

a. Ilmu pengetahuan modern tidak terdapat padanannya dalam khazanah intelektual islam.

b. Para sarjana muslim terutama yang mendapatkan pendidikan Barat (sekuler) sering gagal memahami khazanah warisan islam yang mengaanggap warisan islam tidak memiliki kekuatan apapun terhadap disiplin ilmu yang dipelajarinya.

c. Para sarjana muslim tidak memiliki waktu atau usaha untuk meneliti khazanah warisan islam yang amat kaya dan luas.

Page 73: Syed Muhammad Naquib Al

Sebaliknya para sarjana muslim yang dididik secara tradisional sebagai otoritas pemilik khazanah warisan islam tidak dapat memecahkan maupun menetapkan keterkaitan warisan tersebut dengan disiplin ilmu pengetahuan modern.oleh karena itu perlu memperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada sarjana pewaris ilmu pengetahuan islam tradisional begitu pula sebaliknya.yang selanjutnya warisan islam tersebut dianalisis berdasarkan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia secara jelas.

4). Penentuan Penyesuaian Islam Yang khusus terhadap disiplin-disiplin Ilmu Pengetahuan

Dari ketiga langkah yang sudah disebutkan perlu ditekankan bahwa disiplin ilmu pengetahuan modern beserta metodologi-metodologi dasar, prinsip, masalah, tujuan dan harapan, kejayaan dan batasan-batasannya, semuanya harus dikaitkan dan kepada warisan islam[31] serta disesuiakan dengan islam. Sehingga ada tiga pertanyaan dalam hal ini yaitu:

a. Apa yang telah disumbangkan islam mulai dari al-Qur’an hingga pendukung modernitas atas permasalahan dalam ilmu pengetahuan ?

b. Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan barat?

c. Bagaimana usaha umat islam yang harus dijalankan dalam mengisi kekurangan,merumuskan kembali permasalahan dan memperluas cakrawala visi disiplin ilmu pengetahuan tersebut?

5). Penilaian Kritis terhadap disiplin ilmu pengetahuan Modern

Hubungan antara islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah tegas akibat telah dikuasai, ditinjau dan dianalisis sehingga perlu ada penilaian kritis yang merupakan suatu langkah utama dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan agar disiplin yang dihasilkan tidak ada kekurangan, , kemustahilan, sebaliknya harus ada kesesuaian dengan ketetapan dasar dengan Rukun Islam yang Lima[32].

6). Penilaian Kritis terhadap warisan Islam

Yang dimaksud warisan islam disini adalah bukan Al-qur’an dan Sunnah melainkan karya manusia yang berdasrkan kedua sumber tersebut.Hal ini disebabkan karya manusia ini tidak lagi memainkan peran yang dinamis dalam kehidupan umat islam saat ini. Hal ini perlu kaji secara kritis agar warisan tersebut tetap eksis bukan diselewengkan.

7). Kajian Masalah Utama umat Islam

umat islam pada saat sekarang mengahadapi berbagai masalah baik dari segi politik, sosial, ekonomi, intelektual, kebudayaan, moral, dan spiritual. Hal ini memerlukan perenungan dan langkah yang nyata untuk keluar dari semua permasalahan tersebut sehingga diperlukan kajian yang serius dan mendalam. Agar solusi permasalahan tersebut dapat diketahui sehingga jalan untuk melaksanakan gagasan islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat terwujud.

8). Melakukan analisis kreatif dan sintesis

Page 74: Syed Muhammad Naquib Al

Setelah memahami, menguasai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu-ilmu pengetahuan islam tradisional, menilai kekuatan dan kelemahan keduanya, menetukan kaitan islam dengan bidang-bidang pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin ilmu –ilmu pengetahuan modern; memastikan dan memahami masalah secara komferhensif yang dihadapi oleh umat manusia dari sudut pandang islam di mana kaum muslimin diperintahkan untuk menjadi syuhada ‘ala al-nas dalam sejarah umat manusia, kini tiba saatnya untuk membentuk sebuah lompatan yang kreatif yang bernafaskan islam yaitu suatu metodologi baru harus dicetuskan untuk mengembalikan supremasi islam di dunia sebagai pendongkrak dan penyelamat peradaban manusia. Jurang pemisah antara ilmu-ilmu islam tradisional dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern dapat dijembatani dengan sebuah sintesa kreatif antarkeduanya. Warisan-warisan islam harus berkesinambungan dengan pencapaian ilmu-ilmu modern dan harus menggerakan batasan ilmu pengetahuan ke arah cakrawala lebih jauh dari apa yang telah digambarkan oleh disiplin ilmu-ilmu pengetahuan modern.

9). Membentuk kembali disiplin ilmu modern dalam kerangka kerja islam dengan menulis kembali Buku teks agar visi-visi baru tentang pengertian islam serta pilihan-pilihan kreatif sebagai realisasi gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Karena gagasan dengan sebuah buku teks meskipun berkualitas tidak akan mungkin terlaksana sehingga dibutuhkan sejumlah buku-buku teks agar kebutuhan dasar kaum muslimin akan intelektualitas dapat terpenuhi. Secara tidak langsung ilmuwan muslim dituntut untuk selalu menghasilkan teori dan ide baru tengang ilmu pengetahuan yang berbasis islam.

10). Pendistribusian Ilmu Yang telah diislamkan

Akan menjadi sia-sia jika sebuah ilmu hanya disimpan sebatas koleksi pribadi, lebih malang lagi jika ilmu itu hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, atau hanya digunkan dilingkungan pendidikan atau negeri mereka saja. Apapun yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim untuk mendapatkan keridhoan Allah merupakan milik seluruh umat islam. Meskipun akan mendapat royalti tetapi tidak sewajarnya dihakciptakan atau dimonopoli oleh suatu golongan untuk mendapat sebuah keuntungan.oleh karena itu hasil karya tersebut harus terbuka untuk umum. Semua itu untuk membangkitkan, memberi petunjuk dan memperkayakan umat islam serta untuk menyebarkan visi islam. Hasil kerangka kerja Islam tersebut harus diberikan secara resmi kepada pusat-pusat pendidikan tinggi dunia islam dengan pertimbangan menjadi bacaan wajib[33].

Untuk memprcepat proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan tersebut maka IIIT menganjurkan untuk melakukan :

a. Konferensi dan seminar

Hal ini penting untuk merancang kembali apa yang diperlukan oleh umat islam serta mengevaluasi dari hasil yang telah ditemukan oleh kalangan ilmuwan serta yang paling penting adalah mengenalkan terutama kepada dunia islam mengenai gagasan Islamisai Ilmu Pengetahuan.

b. Lokakarya untuk pembinaan para pegawai

Page 75: Syed Muhammad Naquib Al

Para pakar yang telah menguasai konsep, metode, masalah mengenai gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau pun metodologi baru yang menganut gagasan tersebut harus ditularkan kepada orang lain agar tujuan dan gagasan ini tetap berlanjut.

langkah – langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan diatas merupakan rencana kerja secara makro artinya rencana kerjanya harus melibatkan berbagai institusi bahkan dengan sistem pemerintahan sehingga memerlukan waktu dan tenaga yang besar untuk melaksanakan kearah tersebut, mengingat sistem pendidikan yang digunakan sekarang masih terjadi dikotomi dan dualisme. Oleh karena itu perlu langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan oleh seorang praktisi pendidikan terutama guru disekolah untuk mengembangkan kembali gagasan islamisasi pendidikan, mengingat peluang-peluang untuk melaksanakan gagasan tersebut semakin jelas misalnya pemerintah kita menggagas untuk membentuk Pendidikan Berkarakter, yang sebelumnya kurikulum diserahkan pelaksanaannya pada tingkat sekolah yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ini merupakan peluang yang sangat besar bagi kalangan pendidik khususnya Guru Pendidikan Agama Islam untuk berperan lebih aktif dalam proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Pendidikan Berkarakter sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ahmad Tafsir mengatakan pada tingkatan filosofis pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia menjadi manusia. Artinya pendidikan harus ditujukan untuk mendidik kalbu karena didalam kalbu adanya iman seseorang secara otomatis kalbu lah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi dengan iman[34]. Mengingat iman itu bersifat labil “kadang berkurang kadang bertambah” maka pendidikan iman harus diberikan secara kontinyu bukan sebatas pada pendidikan agam islam di sekolah namun pelajaran keimanan harus nyangkut dimata pelajaran apapun, disekolah, dilingkungan masyarakat dan keluarga.

Sedangkan Asyaibani Mengatakan bahwa pendidikan pendidikan harus diarahkan pada tiga sasaran yaitu Jasmani, Akal dan Ruhani[35]. Sehingga pendidikan seharusnya mengarah pada Ruhani siswa.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil

Page 76: Syed Muhammad Naquib Al

dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill[36]. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Sehingga Keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Merupakan core dari pendidikan sekarang tidak salah jika Ahmad Tafsir dan Asyaibani mengatakan tujuan pendidikan kita sekarang harus diarahkan pada keruhanian.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal[37], yaitu:

a. pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;

b. kedua, kemandirian dan tanggungjawab;

c. ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis;

d. keempat, hormat dan santun;

e. kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;

f. keenam, percaya diri dan pekerja keras;

g. ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;

h. kedelapan, baik dan rendah hati, dan;

i. kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan[38].

Page 77: Syed Muhammad Naquib Al

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP[39], yang antara lain meliputi sebagai berikut:

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja; 2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam

lingkup nasional; 6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain

secara logis, kritis, dan kreatif; 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang

dimilikinya; 9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan

sehari-hari; 10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 13. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan

baik; 16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;

Menghargai adanya perbedaan pendapat; 18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; 19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Bila dilihat dari komponen pendidikan karakter dan standar kompetensi lulusan sejalan dengan dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam yang dapat dijadikan acuan untuk melaksanakan gagasan Islamisasi Ilmu Pengengetahuan dimana dasar dalam penyusunan kurikulum harus: berdasarkan agama, dasar falsafah, dasar psikologi, dasar social, dasar organisatoris[40]. Dasar agama menjadi nilai bagi seluruh materi yang ada pada kurikulum, dasar filoosfis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Sedangkan dasar sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara dasar organistoris berfungsi memberikan dasar-dasardalam bentuk bagaimana bahan ajar itu disusun dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran. Selanjutnya dasar psikologis berperan memberikan berbagai prinsip tentang perkembangan peserta didik dalam berbagai aspeknya,

Page 78: Syed Muhammad Naquib Al

serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicernadan dikuasai oleh peserta didiksesuai tahap perkembangannya[41].

Sehingga dalam kurikulum terdapat orientasi pelestarian nila-nilai ilahiah dan nilai insaniyah yang akan membentuk norma – norma atau kaidah – kaidah kehidupan yang dianut dan melembaga pada masyarakat yang mendukungnya.

Prinsip penyusunan kurikulum harus diwarnai dengan asas-asas yang bernafaskan agama dan akhlak islam, maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan, dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga – lembaga pendidikan harus berdasarkan pada agama dan akhlak islam. Selain itu prinsip penyusunan harus terintegrasi antar mata pelajaran; relevansi yang berarti adanya kesesuaian pendidikan dengan lingkungan hidup murid, masa sekarang dan akan datan; fleksibilitas, artinya terdapat ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak; Efisiensi, artinya kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, dana dan sumber lain secara cermat, tepat, memadai dan memnuhi harapan; kontinuitas dan kemitraan artinya harus berhubungan dan berkelanjutan dengan kurikulum lainnya; individualitas yaitu harus mengarahkan pada pribadi siswa; kesamaan memperoleh kesempatan dan demokratis yaitu kurikulum dapat memberdayakan semua peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sangat diutamakan; kedinamisan artinya kurikulum tidak statis tetapi dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan social; keseimbangan, yaitu kurikulum harus mengembangnkan sikap potensi peserta didik secara harmonis; efektifitas, yaitu kurikulum dapat menunjang efektivitas guru dalam mengajar dan peserta didik yang diajar[42].

Untuk lebih jelasnya pelaksanaan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam skala mikro dengan menerapkan pendidikan berkarakter disekolah dapat dilihat salah satu contoh dalam Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter dibawah ini:

1. PENDAHULUAN

Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru:

a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti prosespembelajaran;

b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan

sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;

c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;

d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

Contoh alternatif :

a. Guru datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)

Page 79: Syed Muhammad Naquib Al

b. Guru mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (contoh nilai yang ditanamkan: santun, peduli)

c. Berdoa sebelum membuka pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: religius)

d. Mengecek kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, rajin)

e. Mendoakan siswa yang tidak hadir karena sakit atau karena halangan lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: religius, peduli)

f. Memastikan bahwa setiap siswa datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)

g. Menegur siswa yang terlambat dengan sopan (contoh nilai yang ditanamkan:disiplin, santun, peduli)

h. Mengaitkan materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan karakter

i. Dengan merujuk pada silabus, RPP, dan bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan selain yang terkait dengan SK/KD

2. KEGIATAN INTI

Sesuai permen 41 tahun 2007 Pembelajaran melalui 3 tahapan yakni :

a. Eksplorasi (peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa)

1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)

2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)

3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)

4) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)

5) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)

Page 80: Syed Muhammad Naquib Al

b.Elaborasi (peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam.)

1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugastugas tertentu yang bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)

2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun)

3) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah,dan bertindak tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri,kritis)

4) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)

5) Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras,menghargai)

6) Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)

7) Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri,kerjasama)

Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)

9) Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)

c. Konfirmasi (peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa)

1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)

2) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)

3) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan kekurangan)

Page 81: Syed Muhammad Naquib Al

4) Memfasilitasi peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru:

a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, santun);

b) membantu menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);

c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis);

d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan

e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).

3. PENUTUP

Dalam kegiatan penutup, guru:

a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kritis, logis);

b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, mengetahui kelebihan dan kekurangan);

c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis);

d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif selama tahap penutup.Selain kesimpulan yang terkait dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik

a. difasilitasi membuat pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut.

Page 82: Syed Muhammad Naquib Al

b. Penilaian tidak hanya mengukur pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada perkembangan karakter mereka.

c. Umpan balik baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa.

d. Karya-karya siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain dan rasa percaya diri.

e. Kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan,layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga kepribadian.

f. Berdoa pada akhir pelajaran.

Faktor lain yang perlu diperhatikan:

1. Guru harus merupakan seorang model dalam karakter. Dari awal hingga akhir pelajaran, tutur kata, sikap, dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkannya.

2. Guru harus memberikan reward kepada siswa yang menunjukkan karakter yang dikehendaki dan pemberian punishment kepada mereka yang berperilaku dengan karakter yang tidak dikehendaki. Reward dan punishment yang dimaksud dapatberupa ungkapan verbal dan non verbal, kartu ucapan selamat (misalnya classroom award) atau catatan peringatan, dan sebagainya. Untuk itu guru harus menjadi pengamat yang baik bagi setiap siswanya selama proses pembelajaran.

3. Hindari mengolok-olok siswa yang datang terlambat atau menjawab pertanyaan dan/atau berpendapat kurang tepat/relevan. Pada sejumlah sekolah ada kebiasaan diucapkan ungkapan Hoo … oleh siswa secara serempak saat ada teman mereka yang terlambat dan/atau menjawab pertanyaan atau bergagasan kurang diterima.Kebiasaan tersebut harus dijauhi untuk menumbuhkembangkan sikap bertanggung jawab, empati, kritis, kreatif, inovatif, rasa percaya diri, dan sebagainya.

4. Guru memberi umpan balik dan/atau penilaian kepada siswa, guru harus mulai dari aspek-aspek positif atau sisi-sisi yang telah kuat/baik pada pendapat, karya, dan/atau sikap siswa.

5. Guru menunjukkan kekurangan-kekurangannya dengan ‘hati’.Dengan cara ini sikap-sikap saling menghargai dan menghormati, kritis, kreatif, percaya diri, santun,dan sebagainya akan tumbuh subur.

KESIMPULAN

Page 83: Syed Muhammad Naquib Al

Dari uraian diatas penulis berkesimpulan bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan perlu ditindaklanjuti karena sesuai dengan konsep, prinsip metodologi yang jelas yaitu berlandaskan ketahuidan dan keimanan serta memiliki rencana kerja mengingat keterpurukan dunia islam saat ini ditingkat yang paling parah. Sehingga perlu adanya pembaharuan salah satunya adalah dibidang pendidikan. Dimana pendidikan kita harus diarahkan pada keimanan yang merupakan core dari gagasan tersebut yang menyebutkan lima kesatuan yaitu kesatuan tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan kemanusiaan. Yang kemudian diaplikasikan dengan berbagai langkah-langkah secara global salah satunya adalah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern dan menguasi kembali warisan islam yang selanjutnya harus di kaji diteliti dan dikritisi agar terpisah ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat sekuler dan atheis sehingga akan telihat jelas bahwa ilmu yang dihasilkan bersumber dari islam. selanjutnya diharapkan muncul ilmu-ilmu pengetahuan baru yang berparagidma islam.

Namun masih terkendala dengan konsep kesatuan manusia dimana Penggagasnya menyarankan umat islam bersatu di bawah kepemimpinan yang satu. Hal ini masih banyak ditentang terutama oleh kelompok demokrasi.

Langkah sederhana yang dapat menunjang terlaksana gagasan tersebut adalah dengan menerapkannya di sekolah-sekolah karena peluang untuk mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan terbuka lebar dengan muncul nya KTSP dan pendidikan berkarakter.

Yang perlu diperhatikan adalah kompetensi dan kemauan individu sebagai pendidik yang akan bisa melaksanakan program tersebut mengingat system pendidikan kita masih terdapat dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan serta sumber daya manusia yang masih berparadigma barat. Inilah sebuah tantangan besar buat seorang Guru Pendidikan Agama Islam agar bisa menjadi core bagi guru lainnya dalam rangka melaksnakan proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifudin., Kuliah Al-Islam, (Jakarta: CV Rajawali,1980)

Bakar, Osman., Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)

Daud, Wan Mohd Nor Wan., The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 1998)

Djakfar, Muhammad., Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Peluang dan Tantangan UIN Malang, dalam M.Zainuddin dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004)

Fahmi, Asma Hasan., Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang)

Hashim, Rosnani., Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005)

Page 84: Syed Muhammad Naquib Al

International Instiutut of Islamic Thought, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemhan (Jakarta: Lontar Utama,2000)

Nadwi, Abul Hasan Ali., Islam dan Dunia, (Bandung : Angkasa,2008)

Ramayulis., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)

R, Topik., Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22 Th. 2005.

Shopan, Mohammad., Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Logos: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.4 No.1 Januari 2005

Tafsir, Ahmad., Perkuliahan Filsafat Pendidikan Islami, hari selasa tgl 15 maret 2011

——————, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: Rosdakarya, 2010)

Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005,

Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bina Aksara,1988)

Zainuddin, M., Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam (Malang: Bayu Media, 2003)