Post on 24-Oct-2015
description
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecemasan
2.1.1. Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah respon psikologik terhadap yang mengandung
komponen fisiologis dan psikologis. Perasaan takut atau tidak tentang yang
sumbernya tidak dikenali. Kecemasan terjadi ketika seseorang terancam
baik fisik atau psikologis (Stuart dan Sudden, 2000).
Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan dan
memperhatikan adanya bahaya yang mengancam dan menunjukkan
seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut (Kaplan
& Saddock, 2010).
2.1.2 Etiologi kecemasan
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab terjadinya
gangguan kecemasan, yaitu : teori psikoanalitik, teori tingkah laku, teori
eksistensi, dan teori biologi (Kaplan & Saddock,2010).
1. Teori psikoanalitik
Sigmunde Freud menyatakan bahwa kecemasan merupakan sebagai
sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif
terhadap tekanan dalam diri, misal dengan menggunakan mekanisme
represi bila berhasil maka terjadi pemulihan keseimbangan psikologis
tanpa adanya gejala anxietas. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu
pertahanan, maka dipakai mekanisme pertahanan yang lain misalnya
konvensi, regresi, ini menimbulkan gejala anxietas.
6
7
2. Teori tingkah laku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon
yang dibiasakan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Contoh : seorang
dapat belajar untuk memiliki respon kecemasan internal dengan meniru
respon kecemasan orang tuanya.
3. Teori eksistensi
Konsep dan teori ini adalah bahwa seseorang menjadi menyadari
adanya kemampuan yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih
mengganggu dari pada penerapan tentang kenyataan kehilangan / kematian
seseorang yang tindakan dapat dihindari. Kecemasan adalah respon
seseorang terhadap kehampaan ekstensi tersebut.
Teori eksistensi tentang kecemasan memberikan model untuk
gangguan kecemasan umum, dimana tidak terdapat stimulus yang dapat di
identifikasi secara spesifik untuk perasaan kecemasan yang kronis.
4. Teori biologis
Teori biologis tentang kecemasan telah dikembangkan dari
penelitian praklinis dengan model kecemasan pada binatang dan
berkembangnya pengetahuan tentang neurologis dasar dan kerja obat
psikoterapiutik.
Teori biologis ini berhubungan dengan:
Neurotransmiter: tiga neurotrnasmiter utama yang berhubungan dengan
kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap
terapi obat yaitu: neuroepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid.
Secara patofisiologis, kecemasan diperkirakan berhubungan dengan
8
peningkatan availibilatas norepinefrin dan penurunan serotonin di dalam
otak (Idrus, 2006).
Norepinefrin disekresi oleh ujung neuron-neuron yang badan sel
atau somanya terletak dalam batang otak dan hipotalamus. Secara khas,
neuron-neuron penyekresi norepinefrin yang terletak dalam lokus seruleus
dalam pons akan mengirimkan serabut-serabut saraf ke daerah yang luas di
dalam otak dan akan membantu seluruh aktivitas dan perasaan, seperti
peningkatan kewaspadaan. Lokus seruleus adalah area kecil yang terletak
bilateral dan disebelah posterior pada sambungan pons dan mesensefalon.
Norepinefrin umumnya merangsang otak untuk melakukan peningkatan
aktivitas. Namun, norepinefrin memiliki efek inhibisi pada beberapa area
otak akibat adanya reseptor-reseptor inhibitor pada sinaps neuronal
tertentu. Sistem ini berperan penting dalam menyebabkan mimpi, jadi
menghasilkan tipe tidur yang disebut tidur rapid eye movement (tidur
REM).
Serotonin disekresi oleh nukleus yang berasal dari rafe nuklei
batang otak yang terletak di separuh bagian bawah pons dan medula.
Nuklei ini merupakan suatu lembaran tipis neuron khusus yang terletak
pada garis tengah. Serabut saraf dari nuklei menyebar setempat di fomasio
retikuler batang otak dan juga ke atas menuju talamus, hipotalamus,
sebagian besar daerah sistem limbik dan bahkan ke neokorteks serebri.
Selin itu, serabut-serabut ini juga menyebar ke bawah menuju medula
spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat serabut ini menghambat
sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri. Bila hewan diberi obat yang
9
bekerja sebagai penghambat dari pembentukan serotonin, hewan tersebut
seringkali tidak dapat tidur selama beberapa hari. Oleh karena itu serotonin
dianggap sebagai zat transmiter yang dihubungkan dengan timbulnya
keadaan tidur. Serotonin bekerja sebagai bahan penghambat jaras rasa
sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya sebagai penghambat di daerah
sistem saraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan
kehendak seseorang, bahkan juga dapat menyebabkan tidur. Bila pusat
tidur tidak diaktifkan, nuklei pengaktifasi retikuler di mesensefalon dan
pons bagian atas akan terbebas dari inhibisi, yang memungkinkan nuklei
retrikuler ini menjadi aktif secara spontan. Keadaan ini selanjutnya akan
merangsang korteks serebri dan sistem saraf perifer, yang keduanya
kemudian mengirimkan sinyal umpan balik positif kembali ke nuklei
retikuler yang sama agar sistem ini tetap aktif.
Kemudian, sesudah otak tetap aktif selama beberapa jam, neuron-
neuron itu sendiri dalam sistem aktivasi mungkin menjadi letih.
Akibatnya, siklus umpan balik positif di anatar nuklei retikuler
mesensefalon dan koters akan memudar dan pengaruh rangsangan tidur
dari pusat tidur akan mengambil alih. Dari peralihan keadaan otak yang
tetap aktif menjadi keadaan tidur juaga dapat menjelaskan timbulnya
keadaan insomnia.
Dopamin disekresi oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia
nigra. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia
basalis. Area ini terletak di sebelah anterior pada mesensefalon superior,
dan neuron-neuron tertama mengirimkan ujung-ujung saraf ke nukleus
10
kaudatus dan putamen serebrum, tempat nukleus kaudatus dan putamen
tersebut menyekresi dopamin. Dopamin diduga bekerja sebagai transmiter
inhibitor di ganglia basalis, tetapi pada beberapa area otak yang lain
kemungkinan malah mengeksitasi. Pada kerusakan neuron dopaminergik
di substansia nigra akan menyebabka keadaan tremor, rigiditas, gangguan
tidur, dan sebagainya (Guyton, 1997).
Kecemasan sendiri dapat berdampak pada gangguan tidur, hal ini
dikarenakan orang yang cemas akan membawa rasa cemasnya tersebeut
ketempat tidur sehingga ia susah untuk dapat tertidur. Hal ini juga
diperkuat dengan pernyataan dari Prayitno (2004), bahwa adanya
kecemasan menyebabkan kesulitan memulai tidur, masuk tidur
memerlukan waktu yang lebih dari 60 menit, timbulnya mimpi
menakutkan dan mengalami kesukaran bangun di pagi hari dan merasa
kurang segar.
Stres dan kecemasan merupakan bagian kehidupan manusia sehari-
hari. Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik
tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Response Fight or flight
(respon tahap awal) tubuh kita bila bereaksi terhadap stres akan
mengaktifkan sistem saraf simpatis dan hormon tubuh kita seperti
ketokolamin, epinefrin, norepinefrin, glukokortikid, kortisol dan kortison.
Sistem hipotalamus-puititary-adrenal axis (HPA axis) merupakan bagian
penting dalam sistem neuroendokrin yang berhubungan dengan terjadinya
stress, hormon adrenal berasal dari medula adrenal sedangkan
kortikosteroid dihasilkan oleh korteks adrenal. Stres kerja dalam
11
hubungannya dengan kecemasan melalui dua jalur penting, yaitu jalur
HPA axis (hiptalamus-putitary-adrenal axis) dan SAM axis (sympatho-
adrenal-medullary axis). Pada jalur HPA, hipotalamus akan
memerintahkan kelenjar puititari untuk merilis hormon
adrenocorticitropine hormone (ACTH) sehingga kadar hormon ACTH
dalam tubuh akan naik. ACTH akan merangsang adrenal kortek, sehingga
adrenal korteks adrenal akan mensekresi kelompok hormon yaitu
kortikosteroid yang terdari dari salah satu nya adalah glukokortikoid
(Dusek 2009).
Glukokortikoid utama adalah kortisol. Fungsi kortisol pada
kecemasan sangat berperan karena dapat menimbulkan keluhan gangguan
fisik dan kecemasan akan menyebabkan peningkatan ACTH (Guyton,
1997).
Kenaikan adrenalin dan kortisol yang lebih besar dari pada
peningkatan noradrenalin menunjukkan bahwa stres mental lebih besar
dari pada stres fisik. Sekresi adrenalin dipengaruhi aktivitas mental:
menyenangkan dan tidak menyenangkan, kortisol terutama distimuli oleh
kuatnya stres emosional negatif misalnya takut, cemas (Alihagen, 2005).
Jalur kedua adalah SAM axis, dimana yang dirangsang oleh stres
disini bukan hipotalamus namun medula adrenal yang secara fungsional
berkaitan dengan sistem saraf simpatis, akan meningkatkan sekresi
hormon-hormon serotonin, epinefrin, norepinefrin disekresikan oleh
serabut-serabut yang disebut serabut adrenergik suatu istilah yang berasal
dari kata adrenalin (Guyton, 1997).
12
2.1.3. Gejala
Gejala umum kecemasan dianataranya:
a. Gejala psikotik: tegangan, khwatir, panik, perasaaan tidak nyaman,
takut mati, takut “gila”, takut kehilangan kontrol dan sebagainya.
b. Gejala fisik: gemetar, berkeringant, jantung berdebar, kepala terasa
ringan, pusing, ketegangan otot, mual, sulit bernafas, diare, gelisah,
rasa gatal, gangguan di lambung dan lain-lain.
(Depatemen Kesehatan RI, 2006)
13
Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Kecemasan
Sistem tubuh Respon
Kardiovaskuler Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa
mau pingsan atau jatuh pingsan, tekanan darah menurun,
denyut nadi menurun, rasa terbakar pada jantung
Pernafasan Nafas cepat, pendek, dangkal, tekanan pada dada, sensasi
tercekik, terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan
Neuromuskuler Refleksi meningkat, reaksi terkejut, insomnia, mata
berkedip-kedip, tremor, rigiditas, gerakan yang janggal,
gelisah, wajah tegang, kelemahan umum
Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak makanan rasa tidak
nyaman pada abdomen, mual, diare
Traktus urinarius Tidak dapat menahan kencing, sering berkemih, wajah
kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan, seluruh
tubuh), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat
14
Tabel 2.2 Respon Perilaku, Kognitif, Dan Afektif
Sistem tubuh Respon
Perilaku Gelisah, gugup, tremor, ketegangan fisik, bicara cepat,
kurang koordinasi, cenderung mendapat cidera,
menarik diri dari hubungan interpersonal,
menghindari, menghalangi, melarikan diri dari
masalah
Kognitif Perhatian terganggu, hambatan berfikir, konsentrasi
buruk, pelupa, salah dalam memeberikan penilaian
preokupasi, bidang persepsi menurun, kreativitas dan
produktivitas menurun, bingung, sangat waspada,
keasadaran diri meningkat, kehilangan obyektivitas,
takut kehilangan kontrol, cedera atau kematian
Afektif Mudah, terganggu, tidak sabar, gelisah, alarm, teror,
gugup
2.2. Tingkat kecemasan
1. Tingkat ringan
a) Berhubungan dengan ketegangan hidup sehari-hari
b) Menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsi
c) Dapat memotipasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan kretifitas
2. Tingkat sedang
a) Memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain
15
b) Mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan
sesuatu yang lebih rendah
3. Tingkat berat
a). Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang
b). Cenderung memusatkan pada sesuatu yang spesifik dan tidak dapat
berpikir yang lain
c). Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan
d). Memerlukan banyak pengarahan
(Stuart & Sudden, 2000)
Respon adatif Respon maladatif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar 2.1 Rentangan Respon Kecemasan
Klasifikasi lain menurut (Hawari, 2001):
Klasifikasi kecemasan menurut Hamilton Anxiety Rate Scale (HARS).
Dengan menggunakan kriteria skoring skala HARS, kecemasan dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Kecemasan ringan (dengan skala) : < 17
2. Kecemasan sedang (dengan skala) : 18 – 24
3. Kecemasan berat (dengan skala) : 25 – 30
16
2.2.1 Unsur – unsur yang menetukan kadar kecemasan
1. Unsur keturunan
Beberapa sikap hati ditentukan oleh unsur genetika atau keturunan
seseorang lebih sensitif dikarenakan orangtuanya bertempramen
Sanguin – melankolik
2. Unsur sosiologis
Keadaan sosial potensial untuk membentuk kecemasan seseorang
perasaan aman dan puas dalam kehidupan sosial (social life)
menentukan besar kecilnya kadar kecemasan seseorang
3. Unsur fisiologis
Kondisi kesehatan tubuh menentukan kadar kecemasan. Seseorang yang
kurang sehat atau sakit – sakitan akan rentan terhadap perasaan cemas
yang berkepanjangan. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang
kerapkali cemas akan terganggu kesehatan.
4. Unsur teologis
Kadar iman seseorang menentukan kadar kecemasan, semakin tinggi
imannya semakin rendah kecemasannya
2.2.2 Prognosis
1. Prognosis pada umumnya tergantung pada awal dan lama
terjadinya kecemasan
2. Kepribadian sebelumnya (bila relatif stabil maka prognosisnya
baik)
3. Permulaannya (bila akut maka prognosa lebih baik)
4. Bila faktor pencetus mudah diatas maka prognosa baik
17
2.2.3 Diagnosa banding
Depresi beragitas (agitated depressiaon): pada depresi, dunia luar
dirasakan hampa, diri sendiri dirasakan tidak mempunyai arti apa-apa dan
hari depan suram, tidak ada harapan. Pada gangguan kecemasan dunia luar
dirasakan mengancam, dunia luar dirasakan mengancam, diri sendiri
dinilai tidak mampu dan masa depan tak menentu.
Permulaan skizofrenia: kecemasan mungkin merupakan gejala
penting skizofrenia yang baru dimulai, perlu dicari gejala-gejala lain
mengenai skizofrenia seperti otisme, gangguan proses berpikir dan
penyerapan, ambivalensia yang berat dalam hubungan antar manusia atau
pola hidup skizoid sebelumnya.
Permukaan sindroma otak organik: permulaan anterosklerosa otak
yang pelan-pelan sekali dapat mengakibatkan kecemasan karena kegagalan
tugas, frustasi dan ancaman terhadap rasa aman mengenai hari depan.
Ganggua sistemik yang lain: pada lambung dapat menyerupai
gejala-gejala ulkus lambung, pada jantung mengingatkan pada takikardi
paroximal atau penyakit koroner dengan angina, pada pernapasan dapat
menyerupai asthma bronchiale (Maramis, 2010).
2.3. Tidur
2.3.1. Definisi
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bahwa sadar dimana
seseorang dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik
atau dengan lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma yang
merupakan keadaan bawah sadar dimana orang tersebut tidak dapat
18
dibangunkan seperti halnya tidur (Guyton, 1997). Berdasarkan teori
restroactive, tidur merupakan waktu restorasi dan tumbuh bagi badan dan
otak. Didapatkan juga bahwa hormon pertumbuhan (growth hormone)
terutama dilepas waktu tidur, terutama saat tidur yang dalam.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo medulla oblongata yang disebut
sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi atau desinkronisasi terdapat pada bagian rostal medulla
oblongata disebut sebagai pusat penggagah atau aurosal stage (Japardi,
2002).
2.3.2. Fase tidur
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4
stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian anatara 4-7 kali siklus
semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12
jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun
dan kira – kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa (Japardi, 2002).
a. NREM (Non R0apid Eye Movement)
Disebut juga sebagai fase tidur singkat (fase tidur – S). Merupakan
keadaan tidur dengan gerakan mata tidak cepat. Sebagian besar fungsi
fisiologis jelas menurun. Dalam keadaan tidur NREM terjadi perubahan
fisiologis tubuh, dianataranya respirasi lebih teratur, kecepatan denyut
jantung lebih lambat 5 – 10 denyut permenit dibawah tingkat terjaga
penuh dan sangat teratur, tekanan darah cenderung rendah dengan sedikit
19
variasi dari menit ke menit, resting membrane potensial dari otot menjadi
rendah sehingga terjadi penurunan tonus otot (kaplan, 2010). Fase NREM
terdiri dari dari 1 – 4 stadium. Kedalaman tidur NREM yang terdalam (3-
4) umunya terjadi pada tengah malam. Kadang-kadang mimpi terjadi
pada fase NERM dalam. Bila dibangunkan pada fase tidur dalam ini
maka akan terjadi disorientasi dan disorganisasi proses berpikir (Kaplan
& Saddock, 2010).
Fase NERM dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
tidak didapatkan aktivitas bola mata yang cepat, tonus otot berkurang dan
tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya
berlangsung 3 – 5 menit dan mudah sekali di bangunkan. Gambaran EEG
biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha, dan kadang
gelombang theta denga amplitudo yang rendah.
Pada stadium ini terjadi penurunan respon terhadap rangsang dan
ketajaman intelektual. Stadium ini terdapat pada keadaan mengantuk atau
tidur ringan.
Stadium II
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot
masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran
EEG terdiri dari gelombang theta simetris.
20
Stadium III
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG
terdapat lebih banyak gelombang delta simetirs antara 25 – 50 %.
Stadium IV
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran
EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50%. Fase tidur NERM,
ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu
akan masuk ke fase REM (Japardi, 2002).
b. REM (Rapid Eye Movement)
Disebut juga fase tidur disinkronisasi (fase - D) atau nama lainnya
fase tidur paradoksial. Fase ini ditandai dengan gerakan mata yang cepat.
Tidur REM (Rapid Eye Movement ) berbeda secara kualitatif yang
ditandai oleh tingkat aktivitas otak dan fisiologis yang aktif, hampir mirip
dengan keadaan terjaga.
Fase tidur REM meliputi 15 – 25% dari siklus tidur yang biasanya
terjadi lebih sering pada dini hari menjelang pagi. Perubahan fisiologis
yang terjadi pada fase ini berupa pernapasan tidak teratur sehingga
timbul vasokonstriksi pembuluh darah peningkatan denyut nadi dan
tekanan darah sistemik, ereksi penis pada laki-laki walaupun tonus
dibagian lain dalan kondisi relaksasi yang dalam. Pada fase ini dipastikan
terjadi mimpi yang dalam (Kaplan & Saddock, 2010).
21
2.4. Insomnia
2.4.1. Definisi
Insomnia merupakan keluhan seseorang karena tidak mampu
mempertahankan tidur baik itu kesulitan unutk memulai tidur, kesulitan
untuk memulai tidur setelah terbangun di tengah malam, maupun tidak
dapat tidur kembali setelah bangun lebih awal (Allen, 2004).
Insomnia adalah kesuliatan untuk memulai tidur atau
mempertahankan tidur. Gangguan ini merupakn keluhan tidur yang
paling lazim ditemukan dan dapat bersifat sementara atau menetap
(Kaplan & Saddock, 2010).
2.4.2. Etiologi
Ada beberapa yang menunjukkan bahwa faktor etiologi dari
insomnia sering majemuk dan merupakan kombinasi dari beberapa
faktor. Jarang ditemukan hanya satu faktor saja yang menyebabkan
insomnia. Faktor penyebab insomnia anatara lain:
1. Faktor Biologi dan Fisik
Timbulnya gejala insomnia dipengaruhi oleh sistem
neurotransmiter terutama serotonin, norepinefrin, melatonin dan
dopamin. Pada keadaan terjadinya insomnia maka akan terjadi penurunan
dari kadar serotonin, melatonin dan peningkatan hormon norepinefrin
(adrenalin) dan kadar hormon dopamin.
Pada keadaan jaga atau bangun dan tidur sangat dipengaruhi oleh
sistem ARAS (Ascending Raticulery Activity System) dimana sistem ini
sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter sperti sistem
22
serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik. Pada sistem
serotninergik, hasil dari serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil
metabolisme asam amino tryptopan yang merupakan prekursor dari
serotonin. Dengan bertambahnya jumlah triptopan, maka jumlah
serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan
mengantuk/tidur. Bila serotonin dari triptopan terhambat
pembentukannya, maka akan terjadi defisiensi yang dapat menimbulkan
keadaan tidak bisa tidur/jaga, hal ini juga dipengaruhi adanya sekresi
melatonin dari pemecahan serotonin. Menurut beberapa penilitian, sistem
serotonergik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang
mana terdapat hubungan aktifitas serotonin di nukleus raphe dorsalis
dengan tidur REM.
Pada sistem Adrenergik, neuron-neuron yang terbanyak
mengandung norepinefrin terletak di badan sel nukleus ceruleous di
batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus ceruleous akan
merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktifitas dan sangat
mempengaruhi penurunan atau hilangnya tidur REM. Pada sistem
kolinergik membuktikan dengan pemberian prostigmin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidru REM. Stimulasi jalur kholinergik ini,
mengakibatkan gambaran EEG seperti keadaan jaga. Gangguan aktifitas
kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat
pada orang yang mengalami kecemasan sehingga terjadi pemendekan
latensi tidur REM (Japardi, 2002).
23
Selain itu reeadapat pula hormon yang berperan besar dalam
membantu kualitas tidur, mengatasi penyimpangan-penyimpangan,
depresi dan sistem kekebalan tubuh, yaitu hormon melatonin. Penelitian
menunjukkan bahwa hormon ini membantu orang tidur lebih nyenyak,
mengurangi jumlah bangun mendadak di malam hari serta meningkatkan
kualitas tidur. Hormon melatonin sebagian besar dibuat oleh kelenjar
pineal dan produksinya ditentukan oleh jumlah cahaya yang diterima.
Produksi hormon ini dapat dipacu oleh gelap dan hening serta dihambat
oleh sinar yang terang maupun medan elektromagnetik. Selama tidur
malam, tingkat melatonin dalam tubuh naik, mencapai puncak antara jam
11 malam dan jam 2 pagi, dan kemudian turun secara dramatis saat hari
menjelang fajar. Penelitian juga menunjukkan bahwa melatonin juga
memberikan pengaruh psikologis positif terhadap mood seseorang.
Beberapa gejala yang dapat timbul berkaitan dengan perubahan
metabolisme hormon melatonin, antara lain, sukar tidur (insomnia),
gangguan pada irama sirkardian, jet lag, serta berbagai gejala laian
seperti depresi (Pengayoman, 2008).
Proses tidur dan bangun saling berhubungan dan diatur oleh sistem
bangun (arousal system) dan sistem tidur (hynagogic system) yang
terdapat dalam otak. Kedua sistem bangun dan tidur bersama-sama
bekerja untuk mencapai keseimbangan yang wajar. Namun, pada
beberapa individu terdapat predisposisi, yaitu adanya sistem bangun yang
lebih peka atau sistem hypnagogik yang kurang sempurna, sehingga ada
kecenderungan untuk bangun pada rangsangan yang sedikit saja, seperti
24
pada insomnia kronik. Insomnia kronik ditandai dengan hiperaktivitas
sistem hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA axis). Terdapat peningkatan
Adrenocorticotropic hormon (ACTH) dan sekresi kortisol pada insomnia
kronik. Hiperaktivitas HPA axis dapat meningkatkan risiko gangguan
psikiatrik misalnya gangguan tidur dan kecemasan.
Disamping ini, terdapat juga kondisi – kondisi fisik yang mengatur
tidur antara lain :
a). Rasa nyeri yang hebat dan terus menerus
Seperti pada penyakit neuritis post-herpes, tumor pada organ
dalam, luka atau infeksi post operasi, dan sebagainya dapat
mencetuskan keadaan gangguan tidur pada seseorang.
b) Kelelahan fisik
Secara umum dapat diartikan sebagai perubahan dari keadaan lebih
kuat ke keadaan yang lebih lemah. Kelelahan fisik adalah keadaan
berkurangnya kemampuan fisik dan mental yang dapat mempengaruhi
keadaan otot tubuh, viscera atau sistem saraf pusat sebagai akibat dari
penggunaan berlebih pada fisik, mental atau emosional yang juga
dapat mengurangi hampir seluruh kemampuan fisik termasuk
kekuatan, kecepatan, koordinasi, dan pengambilan keputusan atau
keseimbangan.
c) Ganguuan fisik
Perubahan kondisi yang pada awalnya merasa dalam keadaan
sehat, lebih kuat dari sebelumnya kemudian tiba-tiba atau sudah lama
merasa terjadi gangguan fisik seperti merasakan nyeri yang sangat
25
hebat dan terus-menerus, batuk dan flu yang tidak berhenti, demam,
dan sebagainya yang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor
seperti faktor kekebalan tubuh yang lemah, kerja yang berlebihan,
tidak melakukan kegiatan pola hidup sehat, jarang berolahraga, dan
sebagainya (Musadik, 2004).
d). Apnoe sewaktu tidur
Yaitu kondisi dimana sewaktu tidur sesorang mendadak
berhenti bernapas. Bisa disebabkan karena adanya obstruksi atau
sumbatan jalan nafas. Dapat diperberat dengan adanya kegemukan
yang berlebihan atau kelainan – kelainan endokrin seperti hipertiroid
dan akromegali.
e). Mioklonus noctural
Diatandai dengan adanya kontraksi-kontraksi otot mendadak,
berulang yang biasanya terjadi pada kaki atau lengan. Lama kontraksi
ini tidak melibihi 10 detik dan dapat berulang-ulang beberapa puluh
kali selama beberapa menit sampai beberapa jam. Kontraksi-kontraksi
ini hanya terjadi selama tidur. Bila sewaktu jaga terjadi kontraksi
sejenis juga, maka perlu dipikirkan adanya gangguan lain. Dalam
keadaan ini pun penderita tidak dapat mencapai fase tidur yang dalam
karena sering terbangun.
2). Faktor diet
Salah satu penyebab insomnia adalah malnutrisi. Dalam
keadaan malnutrisi, zat – zat penting dalam tubuh tidak dalam
26
keadaan keseimbangan yang optimal, sehingga dapat mempengaruhi
metabolisme neurotransmiter dalam otak.
3). Faktor gangguan psikis berat lain
Dalam kategori ini dapat dimasukkan problem psikologik yang
menjadi dasar timbulnya insomnia. Seperti penderita kecemasan
biasanya sukar masuk tidur, sedangkan mereka yang menderita
depresi seringkali terbangun ditengah malam dan tidak dapat tidur
lagi, atau bangun terlalu pagi dengan perasaan tidak segar. Disamping
itu beberapa gangguan jiwa yang serius dapat pula menyebabkan
terjadi gangguan tidur, seperti gangguan kepribadian dan skizofrenia.
4). Faktor penyalahgunaan zat stimulan / obat adiktif
Penderita insomnia biasanya sering berusaha untuk mengobati
dirinya sendiri menggunakan alkohol atau obat – obat penenang, yang
berakibat ketergantungan terhadap obat – obat tersebut. Alkohol dapat
menginduksi tidur tetapi seringkali menyebabkan terbangun di malam
hari. Sehingga pada pagi harinya sering terbangun dengan perasaan
kurang segar.
Ada pula oabt – obat tertentu yang dapat menyebabkan
insomnia, seperti amfetamin, kafein, nikotin, kokain, MAO inhibitors
seperti barbiturat, benzodiazepin, dan sebagainya.
5). Faktor lingkungan
Keadaan timbulnya suatu masalah yang tidak diinginkan atau
tidak disengaja misalnya bermaslah dengan kedua orang tua,
teman,orang lain, atau kehilngan barang atau benda yang dimiliki,
27
tempat tidur yang kurang nyaman, kamar tidur terlalu terang atau
terlalu berisik, iklim yang terlalu panas, dan sebagainya dapat
mempengaruhi aktivitas seseorang dalam kehidupannya sehari-
harinya sehingga memungkinkan untuk terjadinya gangguan tidur
pada orang yang memiliki keadaan lingkungan yang kurang nyaman.
6). Faktor pola hidup
Alkohol dan zat stimulan seperti nikotin dan kafein dapat
menyebabkan tidur singkat. Insomnia dapat terjadi karena penggunaan
bahan – bahan seperti kopi yang mengandung kafein atau tembakau
yang mengandung nikotin. Perokok biasanya sulit tidur dan tidur lebih
sedikit dari yang bukan perokok, demikian juga peminum kopi, karena
zat yang terdapat dalam keduanya akan mempengaruhi fase tidur
sesorang (Holbrook, 2000 dan Kaplan, 2010).
2.4.3. Klasifikasi Insomnia
2.4.3.1 Berdasarkan penyebabnya
a) insomnia primer
insomnia primer erat kaitannya dengan gangguan neurokimia
atau kelainan struktural meliputi jaringan neuronal yang mengatur
siklus tidur-bangun. Diagnosis insomnia primer ditegakkan bila tidak
berhubungan dengan gangguan mental organik, gangguan psikiatri
dan obat – obatan.
28
b) Insomnia sekunder
Gejala insomnia yang timbul dari penyakit medis primer,
gangguan mental (kecemasan, depresi, atau stres yang hebat),
pengguanaan obat – obatan dan gangguan tidur yang lain (Rowley,
2005).
2.4.3.2 Berdasarkan waktu terjadinya
a) Initial insomnia
Yaitu kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya terdapat pada
pasien gangguan jiwa dengan kecemasan.
b) Middle insomnia
Ditandai dengan seringnya terbangun di tengah malam dan
kesulitan untuk tidur kembali. Biasanya terdapat pada pasien depresi.
c) Late insomnia (terminal insomnia)
Yaitu sering bangun terlalau pagi dan tidak dapat tidur kembali.
Biasanya diketemukan pada pasien depresi (Rowley, 2005).
2.4.3.3 Berdasarkan Lamanya
a) Transient insomnia / insomnia sekilas
Yaitu insomnia yang terjadi antara 2 sampai 3 hari dan dapat
disebabkan oleh faktor eksternal (jet lag, jam kerja dan kebisingan).
b) Short term insomnia
Yaitu insomnia yang terjadi selama beberapa minggu, tetapi
kurang dari 3 minggu dan sering dihubungkan dengan stress
situasional (duka cita, kehilangan orang yang dicintai, menghadapi
ujian atau wawancara pekerjaaan dan penyakit fisik).
29
c) Long term insomnia / insomnia kronik
Dapat diartikan sebagai insomnia jangka panjang yang terjadi
selama 3 minggu atau lebih (biasanya disebabkan gangguan psikiatri,
pengguna obat– obatan dan alkohol, dan juga penyakit kronis) (Allen,
2005).
2.4.3.4 Berdasarkan Berat – Ringannya
a) Mild Insomnia
Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur,
tanpa atau sedikit mengalami penuruna kualitas hidup.
b) Moderate Insomnia
Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur
beberapa malam. Penderita insomnia jenis ini akan mengalami
penurunan kualitas hidup yang relatif sedang.
c) Severe insomnia / insomnia berat
Yaitu kesulitan memulai dan mempertahankan tidur disepanjang
malam dan hampir di setiap hari. Biasanya diikuti dengan penurunan
berat kualitas hidup (Doghrmaji, 2006).
2.3.4.5 Berdasarkan Insomnia Rating Scale
a) Insomnia ringan (dengan skala) : 8 – 13
b) Insomnia sedang (dengan skala) : 13 – 18
c) Insomnia berat (dengan skala) : > 18
30
2.3.4.6 Faktor resiko insomnia
Adapun faktor beberapa insomnia adalah sebagai berikut :
1). Jenis kelamin
Secara keseluruahan, insomnia lebih sering terjadi pada
wanita dari pada laki – laki, meskipun laki – laki pernah
mengalaminya juga. Efisiensi tidur memburuk sama pada pria dan
wanita ketika mereka sudah tua. Perubahan hormon yang terjadi
selama menstruasi, kehamilan, dan menopause menyebabkan
perempuan lebih sering mengalami insomnia. Perempuan juga lebih
rentan menderita gangguan kecemasan dan depresi, yang
menyebabkan insomnia di bandingkan laki – laki.
2). Usia
Insomnia lebih sering terjadi pada lansia dari pada orang yang
lebih muda. Ketika seseorang bertambah tua, pola tidur berubah.
Lansia dan orang dewasa cenderung sering bangun di malam hari,
bangun lebih awal, dan melaporkan terbangun dengan perasaan tidak
segar. Orang tua lebih cenderung untuk memiliki kondisi medis yang
menyebabkan rasa askit atau penderita malam hari dari pada orang
yang lebih muda. Kondisi ini termasuk radang sendi, gangguan
pencernaan, sering buang air kecil, penyakit paru-paru, dan kondisi
jantung. Kondisi neurologis, seperti Parkinson ad Alzheimer juga
dapat mempengaruhi pola tidur.
3).Shift worker
31
Shift worker berada pada resiko cukup besar untuk insomnia.
Lebih dari separuh shif worker melaporkan satu atau lebih tanda
insomnia selam beberapa malam dalam seminggu. Pekerja di atas usia
50 tahun dan pergeseran mereka yang selalu berubah sangat rentan
terhadap insomnia. Pekerja shift malam beresiko untuk jatuh tertidur
saat bekerja paling tidak sekali seminggu, membuktikan bahwa jam
internal mereka tidak menyesuaikan diri untuk bekerja penuh. Mereka
juga memiliki resiko yang jauh lebih tinggi dari pada pekerja lain,
untuk kecelakaan mobil karena mengantuk dan masalah kesehatan.
4). Masalah kejiwaan dan keluhan fisik
Faktor resiko paling kuat untuk insomnia adalah masalah
kejiwaaan, khususnya depresi, dan keluhan fisik, seperti sakit kepala
dan sakit kronis, yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya (disebut
gejala somatik). Sekitar 90% dari oaring-orang dengan deprsi
mengalami insomnia.
Selain itu, insomnia dan depresi sering kali bertepatan dengan
gejala somatik,terutama nyeri kronis. Bahkan insomnia pada orang
yang mengalami sakit kronis akan memburuk (Rowley, 2005).
2.3.4.6 Dampak Insomnia
1) Gangguan fungsi mental
Insomnia dapat mempengaruhi konsentrasi, memori, dan dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan tugas – tugas
sehari – hari. Beberapa ahli melaporkan bahwa kurang tidur dapat
32
menggangu kemampuan otak memproses informasi dan pikiran
mereka.
2) Kecelakaan
Insomnia membahayakan keselamatan publik yaitu dapat
menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan industri. Berbagai penilitian
telah menunjukkan bahwa kelelahan memainkan peran utama dalam
kecelakaan mobil dan kerja. Sebanyak 100.000 kecelakaan mobil dan
1.500 kematian akibat kecelakaan disebabkan oleh mengantuk akibat
insomnia pada malam hari.
3) Sters dan depresi
Perubahan sederhana dalam pola tidur – bangun dapat memiliki
efek yang signifikan pada suasana hati seseorang. Dalam beberapa
kasus, insomnia yang menetap dapat menimbulkan gangguan
emosional. Insomnia meningkatkan aktivitas hormon dan jalur
neurotransmiter di otak yang menyebabkan stres, dan perubahan
dalam pola tidur telah terbukti secara signifikan mempengaruhi
suasana hati atau mood berkelanjutan adalah gejala dari depresi.
4) Sakit kepala
Sakit kepala yang terjadi pada malam hari atau pagi hari bisa
berhubungan dengan insomnia.
5) Resiko penyakit
Insomnia dapat meningkatkan resiko penyakit diabetes,
hipertensi, dan penyakit jantung (Rowley, 2005)