Post on 10-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sinar ultra violet (uv) yang terdapat dalam sinar matahari merupakan
sumber radikal bebas berenergi tinggi (Youngson, 2005). Senyawa radikal bebas
dapat menimbulkan gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel dan penuaan dini.
Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu dengan penggunaan
antoksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi,
2007). Antioksidan atau antiaging diformulasikan menjadi bentuk sediaan berupa
sediaan peroral maupun topikal. Contoh sediaan yang ada di pasaran, yaitu soft
capsul Natur-E untuk peroral dan face cream Natur-E dengan kandungan d-alfa
tokoferol sebesar 100 I.U (Anonim, 2014).
Biji labu berasal dari biji Cucurbita moschata Duch ex. Poir memiliki
kandungan vitamin E yang tinggi pada pelarut petroleum eter, yaitu 1.234 mg/100g
(Bark, 2014). Studi menunjukkan bahwa vitamin E mempunyai aktivitas
antioksidan yang sangat aktif terhadap radikal bebas serta dapat melindungi kulit
terhadap sumber radikal bebas seperti sinar UV (Duval & Poelman, 1995).
Kandungan vitamin E dari ekstrak biji labu akan lebih mudah dimanfaatkan apabila
dibuat menjadi suatu bentuk sediaan. Pada penelitian ini ekstrak biji labu
diformulasikan menjadi sediaan semi padat, yaitu krim.
2
Pembuaatan sediaan krim dibutuhkan agen pengemulsi untuk
mendispersikan komponen yang dikehendaki (Jenkins dkk., 1957). Terdapat
berbagai macam tipe emulgator, dengan demikian pemilihan sistem emulgator yang
tepat sangat menentukan sifat fisik serta stabilitas fisik (Aulton, 2002). Pada
penelitian ini tipe emulsi yang dipilih adalah tipe minyak dalam air (m/a).
Kelebihan krim tipe m/a mudah dibersihkan, dioleskan, dan mudah menyebar
merata di kulit. (Siegel & Ecanow, 1984).
Krim bertipe m/a diformulasi dengan mengkombinasikan asam stearat dan
triethanolamin (TEA). Dipilih TEA sebagai emulgator karena TEA akan
membentuk suatu emulsi m/a yang sangat stabil apabila dikombinasikan dengan
asam lemak bebas. Asam lemak yang paling sesuai untuk dikombinasikan dengan
TEA adalah asam stearat karena asam stearat tidak mengalami perubahan warna
seperti halnya asam oleat (Jenkins dkk., 1957). Asam stearat bereaksi dengan TEA
secara insitu menghasilkan suatu garam, yaitu trietanolamin stearat yang berfungsi
sebagai emulgator untuk emulsi tipe m/a (Aulton, 2002). Garam yang terbentuk
merupakan hasil reaksi stoikiometri. Masing-masing komponen bereaksi dengan
perbandingan yang sesuai. Pada umumnya digunakan 2-4% dari TEA dan 5-15%
asam stearat tergantung dengan jumlah minyak yang akan diemulsi (Jenkins dkk.,
1957).
Tujuan dari penelitian ini menentukan perbandingan yang sesuai dari
komponen emulgator agar diperoleh formula optimum sehingga dapat dihasilkan
krim ekstrak biji labu dengan syarat kualitas fisik terbaik. Kombinasi dari asam
stearat dan TEA dioptimasi menggunakan metode Simpelx Lattice Design (SLD)
3
dalam software Design Expert® versi 9.1.5. Trial. Menurut Bolton (1997) Formula
optimum suatu campuran bahan dapat diperoleh dengan metode SLD. Untuk
mengetahui stabilitas krim dilakukan uji stabilitas dipercepat pada formula
optimum dengan metode thaw cycling test.
B. Rumusan Masalah
1. Berapakah perbandingan asam stearat dan TEA yang memenuhi kualitas fisik
krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan?
2. Apakah terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji labu
setelah uji stabilitas thaw cycling test?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbandingan asam stearat dan TEA yang memenuhi kualitas fisik
krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan.
2. Mengetahui adanya perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji
labu setelah uji stabilitas thaw cycling test.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai
penggunaan emulgator asam starat dan TEA untuk menghasilkan krim yang
memenuhi persyaratan kualitas fisik dan stabil pada penyimpanan.
4
E. Tinjauan Pustaka
1. Labu (Cucurbita moschata Duch ex. Poir)
Gambar 1. Cucurbita moschata Duch ex. Poir. (Anonim, 2012)
a. Klasifikasi Tanaman
Marga : Cucurbita
Jenis : Cucurbita moschata Duch ex. Poir
b. Biji Labu
Gambar 2. Biji Cucurbita moschata Duch ex. Poir.
Biji dari labu jenis Cucurbita moschata Duch ex. Poir mengandung
beberapa komponen, yaitu asam amino, asam lemak, tokoferol, karotenoid, dan β-
Sitosterol. Kandungan asam lemak yang paling dominan, yaitu asam oleat sebesar
31,34±0,12% dan asam linoleat 35,72±0,25% sedangkan komponen terbesar dari
5
tokoferol adalah γ-tokoferol sebesar 66,85±4,90 mg/kg (Kim dkk., 2012). Menurut
Imaeda dkk (1999) biji labu dapat digunakan sebagai antioksidan karena kandungan
vitamin E (γ-tokoferol) yang cukup tinggi. Ekstrak biji labu secara signifikan dapat
meningkatkan aktivitas superoksida dismutase dan glutation peroksidase pada
serosa dan hati mencit serta dapat menurunkan konsentrasi dari malonaldehid
(Dang, 2004).
Vitamin E adalah antioksidan larut dalam lemak yang melindungi kulit dari
stres oksidatif salah satunya photoaging. Photoaging adalah penuaan dini akibat
produksi radikal oksigen di kulit yang berasal dari sinar uv secara terus-menerus.
Banyak penelitian yang mendokumentasikan bahwa vitamin E menempati posisi
utama sebagai antioksidan dan fotoproteksi yang sangat efisien sehingga dapat
mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dari kejadian patologis di kulit
(Nachbar & Korting, 1995).
2. Kulit
Gambar 3. Penampang anatomi kulit dan apendiks (Djuanda, 1999)
6
Keterangan:
A. Epidermis :
a. Dermis
Faktor yang mempengaruhi penetrasi dan kecepatan penyerapan perkutan
vitamin E pada manusia sebagian besar belum diketahui. Secara umum diasumsikan
bahwa dengan konsentrasi vitamin E sebesar 0,1% dapat meningkatkan kadar
vitamin E pada kulit (Thiele dkk., 2007). Adanya penggunaan vitamin E secara
topikal dapat meningkatkan konsentrasi vitamin E dalam dermis. Hal tersebut
terjadi karena akumulasi vitamin E pada kelenjar sebasea (Traber dkk., 1998).
Kulit merupakan bagian luar tubuh yang menutupi organ-organ tubuh
manusia. Rentang pH yang dimiliki kulit, yaitu 4,5-6,5. Oleh sebab itu, salah satu
persyaratan utama sediaan topikal harus memiliki pH yang sesuai dengan pH
normal kulit untuk menghindari terjadinya iritasi dan kulit bersisik (Djajadisastra,
1998). Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam
gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah
1. Stratum korneum 2. Stratum lusidum 3. Stratum granulosum 4. Stratum spinosum 5. Stratum basale 6. Pars papilare 7. Pars retikulare 8. Melanosit 9. Badan Meissner 10. Sel Langerhans 11. Glandula sebasea 12. Rambut 13. Muskulus arektor pili 14. Badan Pacini
B. Dermis :
C. Subkutis D. Unit kelenjar apokrin E. Unit kelenjar ekrin F. Vaskularisasi dermal : - Pleksus superfisialis - Pleksus profunda
7
mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus
(keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi, pengaturan
suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk
melindungi kulit dari bahaya sinar uv (Djuanda, 1999).
Secara anatomis kulit tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan epidermis
Lapisan epidermis terdiri dari beberapa lapisan, yaitu stratum korneum
(lapisan tanduk), stratum lusidum, stratum granulosum (lapisan keratohialin),
stratum spinosum (stratum malphigi), dan stratum basale.
b. Lapisan dermis
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari
pada epidermis. Secara garis besar lapisan dermis dibagi menjadi dua, yaitu pars
papilare dan pars retikulare.
c. Lapisan subkutis
Jaringan subkutis merupakan lapisan yang langsung di bawah dermis.
Lapisan subkutis terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
3. Radikal Bebas
Radikal bebas memiliki sifat reaktif dan tidak stabil sehingga untuk
mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan
molekul sel tubuh dengan cara mengikat suatu elektron (Youngson, 2005). Radikal
bebas ini akan menyerang pertumbuhan sel termasuk Deoxy Nucleic Acid (DNA)
dan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Reaksi antara radikal bebas dengan
PUFA akan menimbulkan reaksi berantai yang mendorong terbentuknya reaksi
8
radikal bebas dalam jumlah yang banyak. Reaksi berantai ini akan terus menerus
berlangsung dalam tubuh, apabila tidak segera dicegah dapat merusak sel-sel
penting dalam tubuh (Astuti, 1995). Salah satu sumber radikal bebas adalah sinar
uv yang berasal dari sinar matahari. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan
radikal bebas yang dihasilkan akibat paparan sinar uv. Akumulasi dari ROS
menyebabkan berbagai macam tanda-tanda terjadinya penuaan (Pillai dkk., 2005).
Penuaan dini yang terjadi pada kulit merupakan hasil iradiasi sinar uv secara
terus-menerus. Peradangan dan hasil penumpukan ROS menyebabkan perubahan
biosintesis pada komponen matrik jaringan ikat dan menurunkan produksi kolagen
pada kulit yang mengalami photoaging (Tanaka dkk., 1993). Paparan sinar uv
menginisiasi dan mengaktifkan kaskade komplek dari reaksi biokimia pada kulit
manusia. Sinar uv adalah penyebab terjadinya penipisan antioksidan dan enzim
antioksidan, yaitu Superoxide Dismutase (SOD), menginisiasi kerusakan DNA, dan
menyebabkan peningkatan sintesis serta pelepasan mediator inflamasi dari berbagai
sel kulit. Terlepasnya mediator inflamasi dapat meningkatkan permeabilitas
sehingga neutrofil dapat bermigrasi ke dalam kulit. Hal tersebut merupakan faktor
pemicu terjadinya inflamasi dan terbentuknya radikal bebas. Peradangan dan ROS
menyebabkan kerusakan pada protein, lemak dan karbohidrat yang akan
terakumulasi pada dermis dan epidermis. Secara histologis, kulit menua ditandai
dengan perubahan pada jaringan elastin, epidermis menipis, perubahan pigmen
kulit, dan perubahan jaringan ikat kulit (Pillai dkk., 2005).
Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada
dasarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen. Namun, jika senyawa radikal
9
bebas berlebih di dalam tubuh atau melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan
seluler maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen
untuk menetralkan radikal yang terbentuk (Andayani dkk., 2008). Strategi yang
digunakan untuk menghindari kerusakan kulit akibat paparan sinar uv dengan
menggunakan tabir surya untuk mencegah penetrasi sinar uv dan menggunakan
antioksidan untuk mengkap ROS serta menghambat aktivasi neutrofil pada kulit
(Pillai dkk., 2005). Penggunaan antioksidan alfa tokoferol dapat mencegah
terjadinya perubahan kolagen yang diinduksi oleh ROS (Tanaka dkk., 1993).
4. Vitamin E (Tokoferol)
O
R'
HO
R''
CH3CH3
CH3
CH3 CH3 CH3
O
R'
HO
R''
CH3CH3
CH3
CH3 CH3 CH3
Tocopherols
Tocotrienols
Gambar 4. Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol
Vitamin E yang terdapat di alam berwujud sebagai tokoferol dan
tokotrienol. Tokoferol dan tokotrienol merupakan molekul amfipati dan larut dalam
lemak yang sangat mudah teroksidasi apabila terkena panas, cahaya, dan pada
kondisi basa (Kamal-Eldin dan Appelqvist, 1996) (Eitenmiller dan Lee, 2004).
Kedua zat tersebut masing-masing memiliki 4 vitamer, yaitu alfa tokoferol, beta
α: R’ = CH3, R’’ = CH3
β: R’ = CH3, R’’ = H
ɤ: R’ = H, R’’ = CH3
δ: R’ = H, R’’ = H
10
tokoferol, gama tokoferol, delta tokoferol, alfa tokotrienol, beta tokotrienol, gama
tokotrionol, delta tokotrienol. Alfa tokoferol merupakan senyawa dengan
biopotensi terbesar sebagai vitamin E sedangkan pada beta, gama, delta tokoferol
dan alfa, beta tokotrienol sebesar 50%, 10%, 3%, 30% and 5% dari alfa tokoferol
(Bramley dkk., 2000) (Eitenmiller dan Lee, 2004).
Tokoferol berwujud cairan minyak kental yang jernih berwarna coklat
kekuningan atau tidak berwarna, tidak berbau dan dapat diabsrobsi oleh plastik.
Adanya oksigen, garam besi dan perak dapat mengoksidasi tokoferol menjadi
tokoferil, tokoferil kuinon, tokoferil hidrokuinone, dimer, dan trimer. Oleh sebab
itu, penggunaan tokoferol dalam bentuk ester akan lebih stabil terhadap oksidasi
daripada tokoferol bebas. Namun, aktivitas antioksidan pada tokoferol ester kurang
efektif. Tokoferol harus disimpan dalam gas inert, wadah kedap udara, terlindungi
dari cahaya, dan ditempat yang sejuk serta kering. Titik didih dan titik leleh dari
tokoferol sebesar 235ºC dan 2,5-3,5ºC dengan kelarutan praktis tidak larut dalam
air dan larut dalam aseton, etanol 95%, eter, minyak tumbuhan (Rowe dkk., 2009).
Tokoferol atau vitamin E merupakan antioksidan yang memiliki peran
penting dalam fotoproteksi dan melindungi kerusakan kulit akibat radikal bebas.
Mekanisme kerja vitamin E, yaitu bereaksi dengan spesies oksigen reaktif dan
menyerap sinar uv untuk mencegah terjadinya oksidasi lemak di membran sel
khususnya PUFA (Nachbar & Korting, 1995).
Pada manusia, kadar vitamin E dalam epidermis lebih tinggi dibandingkan
dermis dengan konsentrasi yang dominan, yaitu alfa tokoferol (Rhie dkk., 2001)
(Thiele dkk., 1998). Sebum yang kaya akan lemak digunakan sebagai perantara
11
vitamin E dalam fotoproteksi pada kulit. Sifat lipofilik dari sebum dimanfaatkan
vitamin E untuk berpenetrasi hingga seluruh lapisan yang mendasari kulit. Adanya
paparan dari sinar uv dan faktor usia dapat menurunkan kandungan vitamin E pada
kulit (Rhie dkk., 2001). Oleh sebab itu, tambahan sumber vitamin E melalui aplikasi
topikal dapat meningkatkan akumulasi vitamin E hingga matriks lipid ekstraseluler
dari stratum korneum (Weber dkk., 1997).
5. Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih
bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Depkes RI, 1995).
Krim memiliki sifat alir pseudolastik (Siegel dan Ecanow, 1984). Krim terdiri atas
dua fase cairan, yaitu fase bersifat air dan fase minyak. Terjadinya krim sistem
emulsi m/a dengan cara mendispersikan butiran fase minyak ke dalam fase air,
sebaliknya krim dengan tipe emulsi a/m dibuat dengan cara mendispersikan fase air
ke dalam fase minyak (Martin dkk., 1993).
Krim terbuat dari suatu emulsi sehingga sangat rentan untuk terjadi
ketidakstabilan. Berikut macam-macam fenomena yang berhubungan dengan
ketidakstabilan emulsi:
a. Flokulasi
Flokulasi merupakan kumpulan dari partikel-partikel dalam emulsi untuk
membentuk agregat yang lebih besar. Namun, masih dapat didispersikan kembali.
Reversibilitas flokulasi tergantung pada kekuatan interaksi antara droplet dan rasio
volume pemisahan (Im-Emsap & Siepmann, 2002).
12
b. Creaming
Creaming terjadi ketika droplet-droplet terdispersi atau flokul-flokul
terpisah dari medium pendispersi akibat pengaruh gaya gravitasi (Im-Emsap &
Siepmann, 2002). Terjadinya creaming dapat dihindari dengan cara memperkecil
ukuran droplet, menyamakan berat jenis dari kedua fase dan menambah viskositas
dari fase kontinyu (Martin dkk., 1993).
c. Koalesen
Koalasen terjadi ketika penghalang mekanik atau listrik tidak mampu untuk
mencegah pembentukan droplet menjadi lebih besar yang dapat memicu pemisahan
sempurna (breaking). Koalesen dapat dicegah dengan pembentukan lapisan
antarmuka yang tersusun dari makromolekul atau partikel padat (Im-Emsap dan
Siepmann, 2002).
a. Sifat Fisik Krim
1). Uji Organoleptis Krim
Organoleptis yang meliputi parameter warna, bau, tekstur, dan homogenitas
dapat digunakan sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik suatu sediaan
yang bersifat subyektif (Sulaiman dan Kushwahyuning, 2008). Homogenitas
berpengaruh terhadap efektivitas terapi karena berhubungan dengan kadar obat
yang seragam pada setiap pemakaian. Jika sediaan homogen maka kadar zat aktif
pada saat pemakaian atau pengambilan akan selalu sama. Krim adalah suatu sediaan
yang cara pemakaiannya dioleskan pada tempat terapi sehingga setiap bagian zat
aktif harus memiliki kesempatan yang sama untuk menempati tempat terapi.
Kondisi ini dapat tercapai bila sediaan krim homogen (Alissya dkk., 2013).
13
2). Uji Viskositas
Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viscotester. Viskositas
merupakan besaran yang menyatakan tahanan dari cairan untuk mengalir.
Viskositas juga sebagai perbandingan antara shear stress dan shear rate yang
dinyatakan dalam persamaan (Radebaugh, 1996):
Ƞ = σ / γ ....................................................................................................(1)
Keterangan: Ƞ = viskositas σ = shear stress γ = shear rate
Viskositas dipengaruhi oleh temperatur sehingga viskositas suatu cairan
akan menurun bila temperatur dinaikkan (Martin dkk., 1993). Penelitian shelf life
emulsi terhadap viskositas berhubungan dengan perubahan viskositas selama
penyimpanan. Viskositas yang menurun selama penyimpanan disebabkan karena
kenaikan ukuran tetesan emulsi. Hal tersebut merupakan salah satu tanda terjadinya
fenomena ketidakstabilan emulsi (Martin dkk., 1993).
3). Uji pH
Uji pH berguna untuk mengetahui pH krim yang telah dihasilkan. Keasaman
atau pH krim tidak boleh terlalu asam karena dapat mengiritasi kulit dan tidak
boleh terlalu basa karena dapat membuat kulit menjadi bersisik. Oleh sebab itu,
krim yang dihasilkan harus memiliki pH sesuai dengan pH normal kulit, yaitu 4,5-
6,5 (Djajadisastra 1988). Penurunan pH yang terjadi pada produk kemungkinan
karena pengaruh suhu dan adanya kandungan zat lain dalam sediaan yang dapat
ikut bereaksi (Dureja, 2010, Vasiljevic, 2005).
14
4). Uji Daya Sebar
Salah satu syarat sediaan krim adalah mudah dioleskan dan mudah merata.
Kemudahan dalam pengolesan tersebut dapat diketahui melalui uji daya sebar krim.
Daya sebar berkaitan dengan sifat penyebaran krim ketika digunakan pada sediaan
topikal. Dengan meningkatnya daya sebar maka luas permukaan kulit yang kontak
dengan krim akan semakin luas dan zat aktif akan terdistribusi dengan baik. Krim
yang baik memiliki daya sebar yang besar sehingga dapat diaplikasikan pada
permukaan kulit yang luas tanpa penekanan yang berlebihan (Alissya dkk., 2013).
Kemampuan daya sebar krim dilihat dari luas sebaran krim yang dihasilkan (Voigt,
1994).
5). Uji Daya Lekat
Krim harus dapat melekat pada kulit dalam waktu yang cukup untuk
memungkinkan terjadinya kontak dengan kulit. Waktu kontak yang cukup akan
memungkinkan krim bekerja efektif terhadap kulit sehingga kegunaan krim dapat
dirasakan sesuai yang diinginkan (Betageri dan Prabhu, 2002).
6). Uji Identifikasi Krim
Inversi dapat menyebabkan koalesen sehingga dianggap sebagai sumber
ketidakstabilan emulsi (Anief, 1999). Suatu emulsi dikatakan mengalami inversi
jika emulsi m/a berubah menjadi a/m atau sebalikanya (Swarbrick dkk., 2002). Tipe
emulsi digunakan sebagai parameter untuk mengetahui stabilitas krim selama
jangka waktu tertentu.
15
6. Emulgator
Emulgator merupakan bahan yang dapat menggabungkan fase dispers
dengan medium dispers. Secara termodinamik, penyebab emulsi bersifat tidak
stabil karena peningkatan energi permukaan akibat kombinasi antara luas
permukaan fase dispers dengan tegangan permukaan yang besar dan perbedaan
densitas dari dua fase. Agar emulsi dapat stabil selama periode waktu tertentu
diperlukan suatu bahan tambahan, yaitu emulgator (Naim, 2000). Emulgator pada
umumnya dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu zat dengan gugus hidrofil dan lipofil berjumlah
sama dalam molekulnya. Surfaktan menstabilkan sistem emulsi dengan cara
teradsorbsi pada antarmuka dua cairan. Gugus hidrofil akan berada di bagian cair
sedangkan gugus lipofil akan berada di bagian minyak. Berdasarkan muatan yang
dihasilkan ketika terhidrolisis dalam air, surfaktan dibagi menjadi empat golongan,
yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan amfoterik, dan surfaktan
nonionik. Contoh dari emulgator golongan surfaktan adalah Sodium lauril sulfat,
trietanolamin stearat dan potasium laurat (Swarbrick dkk., 2002).
b. Hidrokoloid
Hidrokoloid merupakan koloid yang memiliki afinitas terhadap air. Afinitas
adalah sifat yang dapat bereaksi dengan air, larut atau dapat mengembang.
Hidrokoloid lebih banyak digunakan sebagai emulgator pembantu atau zat
pengental. Prinsip mekanisme penstabilan emulsi dengan emulgator hidrokoloid,
yaitu:
16
1) Pembentukan lapisan film multimolekular pada permukaan minyak-air
Hidrokoloid tidak mampu mengurangi tegangan antar permukaan sehingga
efektifitasnya tergantung pada kemampuan untuk membentuk lapisan film
multimolekular yang kuat. Lapisan film multimolekular tersebut akan mengelilingi
tetesan fase dalam sehingga mencegah terjadinya koalesen.
2) Meningkatkan viskositas medium dispers
Contoh dari emulgator hidrokoloid yang dapat meningkatkan medium
dispers adalah gom arab, xanthan gum, alginat, gelatin, dan derivat selulosa
(Swarbrick dkk., 2002).
c. Zat padat halus yang terdispersi
Emulgator jenis padatan terdispersi merupakan padatan dengan ukuran
partikel lebih kecil daripada ukuran partikel fase dispers serta mempunyai sifat
pembasahan pada permukaan dua cairan. Zat terdispersi berkumpul pada batas fase
air dan minyak lalu membentuk lapisan padat untuk mencegah terjadinya koalesen
fase dalam (Mollet & Grubenmann, 2011). Contoh dari emulgator zat padat yang
terdispersi, yaitu magnesium hidroksida, bentonit, dan aluminium hidroksida
(Allen, 2002).
7. Thaw Cycling Test
Thaw Cycling Test dilakukan untuk menguji produk terhadap kemungkinan
mengalami kristalisasi atau berawan dan menguji krim sebagai indiaktor kestabilan
emulsi (Rieger, 2000). Pengujian dilakukan dengan menyimpan krim pada suhu 4ºC
dan suhu 40±2ºC selama 24 jam (Dewi dkk., 2014). Thaw cycling test maupun freeze
thaw digunakan sebagai parameter kestabilan sediaan terhadap kondisi tertentu
17
seperti penyimpanan dan shipping, tetapi tidak dapat digunakan untuk
memprediksikan shelf life suatu sediaan. Penyimpanan bergantian pada suhu yang
ekstrim akan memberikan stress condition (CTFA,2004). Perubahan fisik meliputi
organoleptis, pH, ada tidaknya pemisahan, kristalisasi, dan sifat fisik sediaan yang
diamati sebelum dan sesudah thaw cycling test.
8. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Menurut Goeswin (2007) hal yang harus diperhatikan dalam
pembuatan ekstrak antara lain:
a. Jumlah simplisia yang akan diekstraksi
Jumlah ini digunakan untuk perhitungan dosis obat.
b. Derajat kehalusan simplisia
Penting untuk proses ekstraksi dapat berjalan semaksimal mungkin. Kehalusan
menyangkut luas permukaan yang akan kontak langsung dengan penyari.
c. Jenis pelarut yang digunakan
Pelarut yang akan digunakan harus aman. Selain itu, pelarut menentukan efisiensi
proses penarikan zat berkhasiat dari tanaman obat.
d. Suhu penyari
Digunakan untuk menentukan jumlah dan kecepatan penyarian.
e. Lama waktu penyarian
Penting untuk menentukan jumlah bahan yang tersari.
18
f. Proses ekstraksi
Adanya bahan atau komponen ekstrak yang peka terhadap cahaya maka proses
ekstraksi harus terlindung dari cahaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000) beberapa metode ektraksi yang
sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain cara dingin dan cara panas.
Cara dingin terdapat dua mekanisme, yaitu maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah
proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan
sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan
secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat
pertama dan seterusnya disebut remaserasi. Sedangkan cara panas meliputi refluks,
digesti, sokletasi, infundasi, dan dekoktasi.
9. Pengukuran Aktivitas Antioksidan
Radikal bebas yang umumnya digunakan sebagai model dalam penelitian
antioksidan atau penangkap radikal bebas adalah radikal DPPH (1,1-Diphenyl-2-
Picrylhydrazyl). Metode DPPH secara luas digunakan untuk menguji kemampuan
senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau donor hidrogen
serta untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan dari makanan. Metode DPPH
merupakan metode yang akurat, cepat, dan mudah untuk mendeteksi aktivitas
penangkap radikal beberapa senyawa (Prakash dkk., 2001). DPPH adalah radikal
bebas yang stabil pada suhu kamar. Pada saat menerima elektron atau radikal
hidrogen, radikal DPPH akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil.
Interaksi antioksidan dengan DPPH secara transfer elektron maupun transfer
19
radikal hidrogen DPPH akan menetralkan radikal bebas dari DPPH agar dihasilkan
DPPH tereduksi. Jika semua elektron dalam radikal bebas DPPH telah berpasangan
maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang pada λmax 517 nm.
Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang
ditangkap oleh molekul radikal DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux,
2004).
Parameter yang digunakan untuk menentukan aktitivitas antioksidan adalah
Efficient Concentration (EC50) atau Inhibition Concentration (IC50), yaitu
konsentrasi senyawa antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%.
Semakin rendah nilai EC50 atau IC50 senyawa maka aktivitas antioksidan semakin
kuat (Brand-Williams, 1995). Suatu zat dikatakan mempunyai sifat antioksidan bila
nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Apabila nilai IC50 yang diperoleh 200-1000 ppm,
maka zat tersebut kurang aktif sebagai antioksidan. Namun, berpotensi untuk
menjadi antioksidan (Molyneux, 2004).
N
N
O2N NO2
NO2
N
NH
O2N NO2
NO2
A B
Gambar 5. Struktur DPPH, A)bentuk radikal bebas; B)bentuk tereduksi
20
10. Simplex Lattice Design (SLD)
Simplex Lattice Design (SLD) merupakan suatu metode yang digunakan
untuk menentukan formula optimum pada suatu formulasi. Dasar metode SLD,
yaitu adanya dua variabel bebas A dan B. Rancangan dibuat dengan memilih dua
kombinasi dari campuran dua variabel bebas dan setiap kombinasi diamati respon
yang diperoleh. Persyaratan yang dipenuhi adalah jumlah total variabel bebas harus
konstan (satu bagian). Hubungan antara respon dan komponen dapat digambarkan
dengan rumus :
Y = a [A] + b [B ] + ab [A] [B] ................................................................(2)
Keterangan : Y = respon yang diharapkan a, b, ab = koefisien yang didapat dari percobaan [A] [B] = fraksi (bagian) komponen
dengan persyaratan:
0 ≤ [A] ≤ 1, 0 ≤[B] ≤ 1 ................................................................................(3)
Nilai respon yang dihasilkan dari percobaan disubtitusikan ke dalam
persamaan 2 dan diperoleh nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai koefisien
tersebut diketahui maka respon (nilai Y) pada setiap variasi campuran A dan B
dapat dihitung. Dengan demikian, didapatkan gambaran profil dari campuran A dan
B (Bolton, 1997).
11. Monografi Bahan
a. Asam stearat
Asam stearat dalam sediaan topikal digunakan sebagai bahan pengemulsi.
Dalam pembuatan basis krim netral (nonionik) asam stearat dinetralisasi dengan
penambahan alkali. Zat ini mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida,
21
kloroform, dan eter; larut dalam etanol, heksan dan propilen glikol; praktis tidak
larut dalam air. Asam stearat tidak menyebabkan toksik atau iritasi serta memiliki
titik leleh: >54ºC. Dalam sediaan krim konsentrasi yang digunakan adalah sebesar
1-20% (Rowe dkk., 2009).
b. Trietanolamin (TEA)
Trietanolamin (TEA) dalam sediaan topikal dalam farmasetika digunakan
sebagai bahan pengemulsi anionik untuk menghasilkan emulsi m/a yang homogen
dan stabil. TEA sangat higroskopis, serta memiliki titik leleh 20-21ºC. Konsentrasi
yang umum digunakan sebagai emulgator 2-4% (Rowe dkk., 2009).
c. Setil Alkohol
Setil alkohol merupakan alkohol lemak yang berbentuk serpihan licin,
granul, atau kubus yang mengandung susunan kelompok hidroksil. Setil alkohol
banyak digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pengeras dalam sediaan krim.
Titik leleh dari setil alkohol sebesar 45-52 ºC. Bahan ini sangat mudah larut dalam
etanol 95% dan eter serta tidak larut dalam air. Kelarutan akan meningkat bila
suhunya dinaikkan. Konsentrasi umum digunakan sebagai pengeras adalah 2-10%
dan sebagai bahan pengemulsi maupun emolien adalah 2-5% (Rowe dkk., 2009).
d. Gliserin
Gliserin biasa digunakan sebagai emolien, humektan dan bahan pengawet
dalam sediaan formulasi topikal dan kosmetik. Fungsi gliserin sebagai humektan
untuk mempertahankan tingkat kandungan air dalam produk dengan cara
mengurangi penguapan air selama pemakaian sehingga pembentukan kerak dalam
wadah yang dikemas dapat dihindari. Gliserin sedikit larut dalam aseton, tidak larut
22
dalam benzena dan kloroform, dapat bercampur dengan etanol dan metanol, serta
tidak larut dalam minyak (Rowe dkk., 2009).
e. Adeps Lanae
Adeps lanae merupakan lemak bulu Ovis aries L. yang telah dimurnikan,
dibersihkan dan dihilangkan warna serta baunya. Mengandung air tidak lebih dari
0,25%. Pemerian dari Adeps lanae bermassa seperti lemak, lengket, warna kuning,
dan bau khas. Adeps lanae tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol
dingin, lebih larut dalam etanol panas, mudah larut dalam eter dan kloroform. Suhu
leburnya, yaitu antara 38ºC dan 44ºC (Rowe dkk., 2009).
f. Metil Paraben
Dalam sediaan farmasetika, produk makanan, dan kosmetik metil paraben
digunakan sebagai bahan pengawet. Zat ini dapat digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan jenis paraben lain. Efektifitas metil paraben pada rentang
pH 4-8. Kelarutan dalam etanol 95% (1:3) dan eter (1:10). Konsentrasi metil
paraben yang digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,02%-0,3% (Rowe dkk.,
2009).
g. Propil Paraben
Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet. Aktivitas antimikroba
ditunjukkan pada pH antara 4-8. Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet
dalam kosmetik, makanan dan produk farmasetika. Penggunaan kombinasi paraben
dapat meningkatkan aktivitas antimikroba. Konsentrasi propil paraben yang
digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,01%-0,6%. Propil paraben sangat larut
23
dalam aseton dan eter, mudah larut dalam etanol dan metanol, sangat sedikit larut
dalam air (Rowe dkk., 2009).
h. Air suling
Air suling adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air
murni adalah air yang diperoleh melalui proses distilasi, penukar ion, osmosis balik,
atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum
dan tidak mengandung zat tambahan lain. Pemerian air murni, yaitu cairan jernih,
tidak berwarna, dan tidak berbau (Depkes RI, 1995).
F. Landasan Teori
Pemilihan emulgator sangat menentukan sifat dan kegunaan krim (Aulton,
2002). Kombinasi agen pengemulsi digunakan untuk meningkatkan sifat fisik dan
stabilitas fisik suatu krim (Elfiyani dkk., 2013). Menurut Sharon dkk (2013)
penggunaan kombinasi emulgator asam stearat dan TEA dengan konsentrasi
12%:3% dapat menghasilkan krim antioksidan yang memenuhi stabilitas mutu
fisik. Oleh karena itu, untuk memperoleh formula optimum dibutuhkan
perbandingan emulsifying agent yang sesuai. Formula optimum suatu campuran
bahan dapat diperoleh dengan metode SLD (Bolton, 1997). Krim yang berasal dari
formula optimum memenuhi persyaratan kualitas fisik dan stabil selama
penyimpanan, terbukti tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada parameter
pengujian sebelum dan sesudah uji stabilitas (Pardede, 2014).
Metode uji stabilitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji stabilitas
dipercepat, yaitu thaw cycling test. Thaw cycling test digunakan untuk menguji
stabilitas emulsi produk kosmetik (Djajadisastra, 1988) pada perbedaan temperatur
24
yang ekstrim, yaitu pada 4ºC dan 40ºC (Elya dkk., 2013). Panas akan mempercepat
pemecahan emulsi karena temperatur yang tinggi berperan aktif dalam
mentidakstabilkan film yang rigid (Nofrizal dan Prashetya, 2011). Hal tersebut
mengakibatkan penurunan viskositas krim (Martin dkk., 1993). Pada keadaan
dingin akan terjadi pelepasan air pada sediaan. Namun, sistem emulsi akan tetap
stabil apabila film pengemulsi dapat bekerja kembali di bawah tekanan yang
diinduksi oleh kristal es sebelum koalesen (Juwita dkk., 2013). Jika sistem
emulgator pada krim mampu menjaga stabilitas krim selama thaw cycling test maka
tidak akan terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik sediaan krim.
G. Hipotesis
1. Metode SLD dapat menghasilkan perbandingan asam stearat dan TEA yang
memenuhi kualitas fisik krim ekstrak biji labu seperti yang sudah ditentukan.
2. Tidak terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik krim ekstrak biji labu
setelah uji stabilitas thaw cycling test.