Post on 20-Nov-2020
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Dari publikasi yang dibuat oleh I M Astika (2019), penelitian tentang
peningkatan kekerasan pada material Aluminium alloy Al-Cu 2024
yang telah melalui proses artificial aging dengan suhu solution
treatment sebesar 500 ⁰C selama satu jam, dan artificial aging pada
suhu 180 ⁰C dengan variasi waktu tahan 2 jam, 4 jam, dan 6 jam.
Didapatkan hasil pada raw material didapatkan kekerasan rata- rata
sebesar 58,6 HVN, pada saat holding time 2 jam, 4 jam, dan 6 jam
didapatkan nilai kekerasan rata- rata secara berturut- turut sebesar
63,4 HVN, 67,79 HVN, dan 71,38 HVN.
Tugas akhir dari Nur Imam Subagyo (2017), penelitian tentang
“analisis pengaruh artificial aging terhadap sifat mekanis pada
aluminium seri 6061”. Dari penelitian menyatakan hasil perlakuan
panas suhu 190˚C dengan variasi holding time 1 jam menghasilkan
kekerasan 53,8 HRB, variasi holding time 5 jam kekerasan yang
dihasilkan sebesar 79,6 HRB, variasi holding time 11 jam kekerasan
yang dihasilkan sebesar 50,4 HRB.
Dari tugas akhir yang dibuat oleh Anugerah Nuvrio Angga (2018),
dalam penelitiannya tentang “pengaruh aging 200˚C dengan waktu 1-
9 jam terhadap sifat mekanik pada Al-Cu 4,5% remelting” dari
penelitian menunjukkan hasil bahwa perlakuan aging pada paduan
Al-Cu dapat meningkatkan kekerasan. Peningkatan kekerasan terjadi
pada aging dengan waktu 3 jam sampai 6 jam yaitu nilai kekerasan
91,17 BHN menjadi 97,93 BHN. Namun ketika proses aging dengan
waktu 9 jam, kekerasannya menurun kembali hingga 90,52 BHN
6
Ditinjau dari tugas akhir Pranata, Muhammad Didi Endah., Alfirano.,
Jajat Mujiar (2016)., yang melakukan penelitian dengan judul Analisis
Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Pada Paduan AL 2014 Hasil Proses
Aging Dengan Variasi Temperatur dan Waktu Tahan. Dalam penelitian
ini menggunakan metode pemanasan artificial aging dengan proses
awal Solution Treatment dengan suhu sebesar 500⁰C selama 25
menit, selanjutnya dilakukan Pendinginan secara cepat (Quenching)
dengan menggunakan air biasa selama 12 detik yang setelahnya
diikuti dengan proses Artificial Aging dengan variasi temperatur 100,
400, 180, dan 220⁰C serta variasi waktu tahan (Holding Time) 4, 6, 8,
10 jam. Dari hasil proses heat treatment tersebut kemudian dilakukan
pengujian berupa uji struktur mikro dan uji kekerasan. Pada pengujian
struktur mikro material dengan variasi waktu tahan 4, 6, 8, dan 10 jam
menggunakan metode Vickers didapat hasil yang fluktuatif, pada
proses artificial aging dengan varian waktu tahan 4 jam didapatkan
kekerasan pada suhu 100⁰C, 14⁰C 0, 180⁰C, dan 220⁰C secara
berturut- turut sebesar 140,62 VHN, 117,69 VHN, 149,72 VHN,dan
124,64 VHN. Hal tersebut membuktikan bahwa kenaikan suhu pada
proses aritificial aging tidak selalu berbanding lurus dengan kekerasan
pada material.
Dari jurnal Radutoiu, Nicoleta dan Alexis (2019) yang melakukan
penelitian tentang pengaruh perlakuan over aging pada material
Aluminium paduan 2024. Metodenya dengan memanaskan material
dengan suhu 495ºC selama 1jam, diikuti dengan quenching, lalu diberi
perlakuan aging dengan 150ºC 36 hari, 175ºC 50 jam, dan 190ºC
24jam, kemudian dilakukan uji kekerasan vickers. Hasil dari penelitian
tersebut material sebelum melalui proses heat treatment nilai
kekerasannya sebesar. 149HV.,Setelah melalui proses aging nilai
kekerasannya menjadi 136 HV, 139HV dan 133HV. Namun disamping
itu terdapat titik optimal, dimana kekerasan berada pada posisi
puncak, yaitu pada suhu 150ºC, 175ºC dan 190ºC dengan waktu
7
tahan selama 28 hari. Yang berarti material dapat meraih kekerasan
puncak pada suhu yang kecil dalam waktu yang cukup lama
2.2 Landasan teori
2.2.1 Aluminium
Aluminium merupakan unsur logam terbanyak di muka bumi,
dimana hampir 8% berat dari kerak bumi adalah aluminium.
Aluminium ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada tahun 1809
sebagai suatu unsur, dan pertama kali direduksi sebagai suatu
logam oleh H.C. Oersted pada tahun 1955. Bijih bauksit adalah
bahan utama untuk pembuatan aluminium yang terdapat di
dalam batu-batu dalam kerak bumi. Di dalam bebatuan tersebut
aluminium masih berbentuk silikat dan komponen lain yang lebih
kompleks, karena komponen aluminium yang begitu komplek
tersebut maka diperlukan penelitian lebih dari 60 tahun untuk
menemukan cara yang ekonomis untuk membuat aluminium dari
bijih bauksit. (Surdia .T.,Saito,S., 1995)
Adapun aluminium merupakan bahan yang sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut dikarenakan
aluminum mempunyai sifatsifat yang sangat baik dan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan material lain.
Berikut ini merupakan sifat-sifat umum aluminium.
a. Ringan Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja,
atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri
transportasi seperti angkutan udara.
b. Tahan terhadap korosi Sifatnya durabel sehingga baik
dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur
8
seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik
di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.
c. Kuat,Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu
dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen
yang memerlukan kekuatan,tinggi seperti: pesawat terbang,
kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.
d. Mudah dibentuk Proses pengerjaan Aluminium mudah
dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material
lainnya dengan pengelasan, brazing, solder, adhesive
bonding, sambungan mekanis, atau dengan teknik
penyambungan lainnya.
e. Konduktor listrik Aluminium dapat menghantarkan arus listrik
dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga.
Karena Aluminium tidak mahal dan ringan, maka Aluminium
sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun
bawah tanah.
f. Konduktor panas Sifat ini sangat baik untuk penggunaan
pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat
memberikan penghematan energi.
g. Memantulkan sinar dan panas Aluminium dapat dibuat
sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan pantul yang
tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan
pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan Aluminium
sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas.
h. Non magnetik Aluminium sangat baik untuk penggunaan
pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain.
Dimana diperlukan faktor magnetisasi negatif.(Anonim, 2012)
9
Tabel 2.1 Karateristik dan Sifat Aluminium (Hans Orsted tahun 1825,
pertama kali diisolasi oleh Friedrich Wohler pada tahun 1827).
Sifat-sifat Kemurnian (Al)
Simbol Al
Nomor Atom 13
Berat Atom 26,981
Klasifikasi Pasca transisi
logam
Fase pada Suhu
Kamar
Padat
Kepadatan/Massa
Jenis
2,70 gram per cm3
Titik Leleh 660,32oC,
1220,58oF
Titik Didih 2519oC, 4566oF
2.2.2 Paduan Aluminium
Logam paduan Alumunium dapat diklasifikasikan dalam tiga
cara. Pertama berdasarkan klasifikasi atas paduan Alumunium
cor dan tempa. Kedua dengan berdasarkan perlakuan
panasnya diklasifikasikan atas paduan yang dapat diperlakukan
panas ( heat treatable alloy) dan yang tidak dapat diperlaku-
panaskan (not heat treatable alloy). Dan yang ketiga
berdasarkan unsur-unsur yang dikandungnya diklasifikasikan
atas beberapa nomor seri.
10
Rendy Saputra (2012) mengakatan bahwa paduan yang
paling penting untuk paduan Alumunium adalah tembaga (Cu),
Mangan (Mn), Silikon (Si), Magnesium (Mg), dan Seng (Zn).
Diagram fasa untuk masing-masing elemen paduan semuanya
mempunyai kesamaan. Elemen tersebut menunjukkan
kelarutan yang baik pada temperatur tinggi, tapi kelarutan yang
rendah pada temperatur kamar.
Tabel 2.2. Alumunium dan Paduannya Serta Kode Penamaan
Al
paduan
untuk
dimesin
Paduan
jenis tidak
dapat
diperlakukan
panas (non
heat
treatable)
Al murni (seri 1000)
Paduan Al-Mn (seri
3000)
Paduan Al-Si (Seri
4000)
Paduan Al-Mg (Seri
5000)
Paduan
jenis dapat
diperlakukan
panas (heat
treatable)
Paduan Al-Cu (seri
2000)
Paduan Al-Mg-Si
(Seri 6000)
Paduan Al-Mg (Seri
7000)
Al
paduan
untuk
coran
Non heat
treatable
alloy
Paduan Al-Mg
Heat
treatable
alloy
Paduan Al-Cu
Paduan Al-Mg-Si
11
Berikut ini adalah beberapa elemen paduan pada alumunium yang
memberikan efek baik maupun buruk.
1. Magnesium (Mg)
Menurut Budenski, K: Michael (1999) kandungan magnesium
(Mg) meningkatkan kekuatan dengan penguatan larutan padat
(Solid Solution Strengthening), dan dengan paduan sekitar 3%
akan terjadi pengerasan prestipitasi. Kandungan magnesium (Mg)
memberikan sifat-sifat yang baik terhadap ketahanan korosi,
kemampuan dilas dan kekuatan cukup baik. Sedangkan pengaruh
buruknya didapati pada saat pengecoran.
2. Tembaga (Cu)
Menurut Elwin L. Rooy (1997) pengaruh baik yang
ditimbulkan oleh unsur tembaga (Cu) dalam paduan alumunium
adalah berupa peningkatan kekerasan bahan, perbaikan kekuatan
tarik, dan mempermudah proses pengerjaan dengan mesin.
Paduan yang mengandung 4-6% Cu memberikan reaksi yang baik
terhadap perlakuan panas. Tembaga biasanya mengurangi
ketahanan terhadap korosi secara umum serta mengurangi
ketahanan terhadap hot tear dan mampu cor (castability).
Sedangkan pengaruh buruknya adalah menyebabkan turunnya
ketahanan korosi, mengurangi keuletan material.
3. Seng (Zn)
Menurut Budenski, K: Michael (1999) sifat mampu cornya
rendah, paduan seng yang tinggi cenderung mudah untuk retak
pada saat panas (hot cracking) dan penyusutan yang tinggi,
dengan prosentase 10% cenderung memproduksi tegangan retak
korosi (stress corrosion cracking), kombinasi seng dengan elemen
lain menaikkan kekuatan dengan sangat tinggi, konsentrasi
12
rendah pada paduan kembar (kurang dari 3%) menghasilkan efek
yang tidak berguna.
4. Mangan (Mn)
Menurut Budenski, K: Michael (1999) pengaruh baik yang
ditimbulkan unsur mangan (Mn) dalam paduan Alumunium adalah
meningkatkan kekakuan dengan penguatan larutan padat (Solid
Solution Strengthening), dan dengan paduan sekitar 3% (0,5%
dan ketahanan pada temperatur tinggi, meningkatkan ketahanan
korosi, dan mengurangi pengaruh buruk unsur besi. Sedangkan
pengaruh buruknya adalah menurunkan kemampuan penuaan
dan meningkatkan kekasaran butiran pertikel.
5. Besi (Fe)
Besi (Fe) Merupakan pengotor (impurity) yang paling
sering ditemukan di dalam aluminium. Besi memiliki kelarutan
yang cukup tinggi pada aluminium cair, dan mudah sekali
larut pada seluruh fasa aluminium Studi pengaruh fading. (Budi
Lesmana, FT UI, 2008).
Kelarutan besi dalam aluminium pada fasa padat sangat
rendah (~0.04%), dan kebanyakan keberadaan besi dalam
aluminium yang melebihi jumlah tersebut berupa fasa intermetalik
kedua yang berkombinasi dengan aluminium dan unsur
lainnya. Penambahan besi pada aluminium akan meningkatkan
ketahanan hot tear dan menurunkan kecenderungan penempelan
atau persambungan dengan cetakan die casting. Besi bereaksi
membentuk fasa-fasa tidak terlarut (insoluble) dalam leburan
paduan aluminium, yang umumnya berupa FeAl3,
FeMnAl6, dan AlFeSi. Fasa-fasa tak larut ini berpengaruh
pada peningkatan kekuatan, terutama pada kondisi kenaikan
temperatur. Unsur yang secara alami sebagai pengotor pada
13
aluminium ini dalam jumlah kecil juga akan mengurangi
kecenderungan retak panas (hot-cracking) dalam pengecoran.
Akan tetapi, adanya kadar besi pada paduan yang berlebihan
secara substansial yang kemudian membentuk kristal FeSiAl5
akan menurunkan sifat keuletan dan ketahanan korosi paduan Al-
Si dan mengakibatkan struktur butir yang kasar. Besi dengan
penambahan mangan pada komposisi sekitar eutektik akan
menghasilkan kekuatan dan keuletan pada temperatur ruang dan
mempertahankan kekuatannya pada temperatur tinggi. Hal ini
didasari pada kehalusan butir akibat fasa intermetalik yang
terdispersi halus dan merata.
Menurut Budenski, K: Michael (1999) pengaruh baik
mencegah terjadinya penempelan logam cair pada cetakan
selama proses penuangan dan pengaruh buruk yaitu penurunan
sifat mekanis, penurunan kekuatan tarik, timbulnya bintik keras
pada hasil coran,peningkatan cacat porositas.
6. Silikon (Si)
Menurut Budenski, K: Michael (1999) unsur silikon (Si) dalam
Alumunium paduan mempunyai pengaruh baik dan
mempermudah proses pengecoran meningkatkan mampu alir,
memperbaiki sifat-sifat atau karateristik coran, menurunkan
penyusutan dalam coran, meningkatkan ketahanan korosi.
Sedangkan pengaruh buruk yang ditimbulkan dalam unsur silikon
adalah penurunan keuletan material terhadap bahan kejut dan
coran akan rapuh jika kandungan terlalu tinggi.
Kelarutan seng pada 442°C bisa mencapai 88,8% .
penambahan unsur seng pada paduan Al-Si tidak akan memiliki
pengaruh yang signifikan. Namun , bila dipadu bersama dengan
tembaga (Cu) dan atau magnesium (Mg) dapat menghasilkan sifat
kekerasan dan kekuatan karena menghasilkan paduan head-
14
treadment dikarenakan terbentuk MgZn2 dan CuAl2. Namun,dalam
kadar yang berlebih, unsur Zn meningkatkan kegetasan,
menurunkan ketangguhan dan menurunkan ketahanan korosi.
Oleh karena itu, kandngan dibatasi kurang dari 1% sampai
dengan maksimal hanya 0,1%.
2.2.3 Jenis-jenis Paduan Alumunium
1. Paduan Alumunium – Tembaga (Al – Cu)
Menurut Avner, Sidney, H. (1974) kelarutan maksimum
dari tembaga pada Alumunium adalah 5,65% pada suhu
101,80F, sedangkan pada suhu 572°F. kelarutannya turun
menjadi 0,45%. Adapun paduan yang mengandung tembaga
2,5-5% dapat mengalami perlakuan panas dengan
pengerasan penuaan. Fasa theta ialah fasa menengah
paduan yang komposisinya mendekati senyawa CuAl2.
Perlakuan kelarutan denggan memanaskan paduan pada
daerah fasa tunggal kappa yang diikuti dengan pendinginan
secara cepat. Penuaan selanjutnya, baik alami mapun
buatan akan mengakibatkan presipitasi pada fasa theta
sehingga memperkuat paduan tersebut. Paduan ini mungkin
mengandung sejumlah kecil silikon, besi, mangan,
magnesium, dan seng.
15
Gambar 2.1. Diagram Fasa Al-Cu
(ASM Handbook Vol 4)
Gambar 2.2. Struktur Mikro Paduan Al-Cu
(Material Handbook 8th edition, Vol.7)
CuAl2
Al
16
2. Paduan Al-Si-Cu
Menurut Surdia (2000) bahwa paduan Aluminum –
Silikon – Tembaga dibuat dengan menambahkan 4-5 %
silikon pada paduan alumunium tembaga untuk memperbaiki
mampu cornya, paduan ini disebut “lautal”, ialah salah satu
dari paduan Alumunium yang terutama. Paduan ini dipakai
untuk bagian dari motor dan mobil, meteran dan rangka
utama dari katup-katup. Seperti gambar dibawah ini terlihat
bagian putih adalah Alumunium proetektik dan bagian hitam
yang berbentuk seperti jarum adalah CuAl2.
Gambar 2.3. Struktur Mikro Paduan Al-Si-Cu
(Surdia,T.;Chijiwa,K.,2000)
3. Paduan Al-Mg-Zn
Paduan ini, kelarutan menurun apabila temperatur turun
paduan sistem ini dapat dibuat keras sekali dengan
penuaan setelah perlakuan pelarutan, tetapi sejak lama tidak
dipakai karena memiliki sifat patah getas dan retakan korosi
tegangan. Di Jepang, pada pemulaan tahun 1940. Igarashi
dkk mengadakan penelitian dan berhasil dalam
pengembangan suatu paduan dengan penambahan kira-kira
0,3% Mn atau Cr, dimana butir kristal padat diperhalus dan
mengubah bentuk presipitasi serta retekan korosi tegangan
tidak terjadi. Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi
17
dibandingkan paduan-paduan lainnya. Penggunaan paduan
ini yang paling besar adalah untuk bahan kontruksi pesawat
udara.
Gambar 2.4. Diagram Fasa Al-Mg-Zn (Surdian, T.;
Saito,S., 1990)
Gambar 2.5. Struktur Mikro Paduan Al-Mg-Zn
(Surdian,T.;Saito,S.,1990)
4. Paduan Alumunium – Seng (Al – Zn)
Menurut Avner, Sidney, H., (1974) kelarutan Zn pada
Alumunium adalah 31,6% pada suhu 5270F, akan tetapi
turun menjadi 5,6% pada 2570F. Paduan Alumunium tempa
komersial mengandung Zn, Mg, dan Cu dengan sejumlah
kecil penambahan Mg dan Cr. Sedangkan paduan AlZn cor
18
dikenal sebagai 40E, mengandung 5,5% Zn ,0,6% Mg,0,5 %
Cr, dan 0,2% Ti, memberikan sifat-sifat mekanik tanpa
perlakuan kelarutan.
Gambar 2.6. Diagram Fasa Al – Zn (Avner,
Sidney, H., 1974)
Gambar 2.7. Struktur Mikro Paduan Al-Zn
5. Paduan Alumunium – Silikon – Magnesium (Al-Si-Mg)
Menurut Avner, Sidney, H., (1974) magnesium dan
silikon membentuk senyawa magnesium silicide (Mg2Si),
yang berubah bentuk sistem eutectic yang sederhana
dengan Alumunium. Presipitasi Mg2Si setelah penuaan
Zn Al
19
buatan dapat membuat paduan ini mencapai kekuatan
maksimum.
Gambar 2.8. Diagram Fasa Al – Si – Mg (Avner,
Sidney, H.,1974)
Gambar 2.9. Struktur Mikro Paduan Al-Si-Mg
6. Paduan Alumunium – Magnesium (Al-Mg)
Avner, Sidney, H., (1974) mengatakan walaupun garis
solvus menunjukkan penurunan yang sangat tajam pada
kelarutan magnesium dengan kenaikan temperatur paduan
Alumunium tempa pada kelompok ini mengandung
magnesium kurang dari, 5 % dan juga kandungan silikon
yang rendah.
20
Gambar 2.10 Diagram Fasa Al-Mg (Avner, Sidney,
H., 1974)
Gambar 2.11 Struktur Mikro Paduan Al – Mg
Pada gambar diatas menunjukkan struktur mikro dari
paduan Al 3,86% Mg, terlihat bahwa bagian putih
menunjukkan α – Al, sedangkan titik hitam menunjukkan
Mg2Si.
7. Paduan Alumunium – Mangan (Al-Mn)
Menurut Avner, Sidney, H., (1974) kelarutan maksimum
mangan pada kelarutan padat adalah 1,82% pada
temperatur eutektik 12160F. Walaupun kelarutan berkurang
dengan adanya penurunan temperatur secara umum paduan
21
pada kelompok ini tidak dapat mengalami pengerasan
penuaan. Dikarenakan keterbatasan kelarutan mangan tidak
dipergunakan sebagai elemen paduan utama pada paduan
paduan cor dan hanya dipergunakan pada beberapa paduan
tempa.
Gambar 2.12. Diagram Fasa Al – Mn (Avner,
Sidney, H., 1974)
8. Paduan Alumunium – Silikon (Al-Si)
Menurut Avner, Sidney, H., (1974) Paduan Al-Si ini
dibagi menjadi tiga daerah utama dalam diagram. Fasanya
yaitu komposisi hipoetektik dengan Si yang dipadukan +
11,7% sampai 12,2% dan hipetektik penambahan silikon
dengan kadar + diatas 12,2% seperti yang terlihat pada
gambar 2.12.
Gambar 2.13. Diagram Fasa Al – Si (Avner, Sidney, H.,
1974).
22
Gambar 2.14. Struktur Mikro Paduan Al-Si
Fasa utama dari tiga komposisi paduan ini adalah fasa α
– Al yang mengandung banyak Al. Perbedaan antara ketiga
daerah ini terletak pada fasa-fasa pendamping matriks α - Al
yaitu fasa silikon primer alumunium primer, maupun fasa
etektik. Pada komposisi hipeutektik, sesuai dengan diagram
fasanya, maka alumunium dari keadaan cair akan membeku
mengikuti garis lurus sesuai dengan penurunan temperatur
2.2.4 Heat Treatment
Proses perlakuan panas (Heat Treatment) adalah suatu proses
mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro
melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan
pendinginan dengan atau tanpa merubah komposisi kimia
logam yang bersangkutan. Tujuan proses perlakuan panas
untuk menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan.
Perubahan sifat logam akibat proses perlakuan panas dapat
mencakup keseluruhan bagian dari logam atau sebagian dari
logam.(Jaya, 2015)
23
Proses dalam heat treatment meliputi heating, holding, dan
cooling. Adapun tujuan dari masing-masing proses yaitu :
1. Heating : Proses pemanasan sampai temperatur tertentu
dan dalam periode waktu. Tujuannya untuk memberikan
kesempatan agar terjadinya perubahan struktur dari atom-atom
dapat menyeluruh.
2. Holding : Proses penahanan pemanasan pada temperatur
tertentu, bertujuan untuk memberikan kesempatan agar
terbentuk struktur yang teratur dan seragam sebelum proses
pendinginan.
3. Cooling : Proses pendinginan dengan kecepatan tertentu,
bertujuan untuk mendapatkan struktur dan sifat fisik maupun
sifat mekanis yang diinginkan. (Masgik, 2010)
Terdapat beberapa jenis proses perlakuan panas atau heat
tereatment yang dapat dilakukan, adapun jenis – jenis heat
treatment yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Annealing Proses annealing yaitu proses pemanasan
material sampai temperatur austenit lalu ditahan beberapa
waktu kemudian pendinginannya dilakukan perlahan-lahan di
dalam tungku. Keuntungan yang didapat dari proses ini adalah
sebagai berikut : Menurunkan kekerasan, menghilangkan
tegangan sisa, memperbaiki sifat mekanik, memperbaiki
mampu mesin dan mampu bentuk, menghilangkan terjadinya
retak panas, menurunkan atau menghilangkan ketidak
homogenan struktur, memperhalus ukuran butir,
menghilangkan tegangan dalam dan menyiapkan struktur baja
untuk proses perlakuan panas.
24
Proses Anil tidak dimaksudkan untuk memperbaiki sifat
mekanik baja perlitik dan baja perkakas. Sifat mekanik baja
struktural diperbaiki dengan cara dikeraskan dan kemudian
diikuti dengan tempering.(Anrinal, 2011)
b. Tempering Perlakuan untuk menghilangkan tegangan
dalam dan menguatkan baja dari kerapuhan disebut dengan
memudakan (tempering). Tempering didefinisikan sebagai
proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur
tempering (di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan
proses pendinginan. Baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh
dan tidak cocok untuk digunakan, melalui proses tempering
kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi
persyaratan penggunaan. Kekerasan turun, kekuatan tarik akan
turun pula sedang keuletan dan ketangguhan baja akan
meningkat. (Jaya, 2015)
c. Normalizing Proses normalizing atau menormalkan adalah
jenis perlakuan panas yang umum diterapkan pada hampir
semua produk cor, over-heated forgings dan produk-produk
tempa yang besar. Normalizing ditujukan untuk memperhalus
butir, memperbaiki mampu mesin, menghilangkan tegangan
sisa dan juga memperbaiki sifat mekanik baja karbon struktural
dan baja paduan rendah. (Anrinal, 2011)
d. Quenching Proses quenching melibatkan beberapa faktor
yang saling berhubungan. Pertama yaitu jenis media pendingin
dan kondisi proses yang digunakan, yang kedua adalah
komposisi kimia dan hardenbility dari logam tersebut.
Hardenbility merupakan fungsi dari komposisi kimia dan ukuran
25
butir pada temperatur tertentu. Selain itu, dimensi dari logam
juga berpengaruh terhadap hasil proses quenching
2.2.5 Perlakuan Panas Aluminium
. Perlakuan Panas (Heat Treatment) salah satu cara
perlakuan panas pada logam paduan aluminium adalah dengan
penuaan keras (age hardening). Melalui penuaan keras, logam
paduan aluminium akan memperoleh kekuatan dan kekerasan
yang lebih baik. Istilah penuaan keras (age hardening) telah
dibakukan dari istilah istiah sebelumnya tang sering digunakan
misalnya pemuliaan atau penemperan keras. Pada paduan
aluminium, age hardening dibedakan atas age hardening dalam
keadaan dingin dan age hardening dalam keadaan panas.
Penuaan keras (age hardening) berlangsung dalam tiga tahap
yaitu:
a. Tahap.Perlakuan Panas Pelarutan ( Solution Heat
Treatment )
Tahap pertama dalam proses age hardening yaitu solution
heat treatment atau perlakuan panas pelarutan. Solution
heat treatment yaitu pemasan logam aluminium dalam
dapur pemanas dengan temperatur 550ºC-560ºC dan
dilakukan penahanan atau holding sesuai dengan jenis dan
ukuran benda kerja (Schonmetz, 1990). pada tahap solution
heat treatment terjadi pelarutan fasa-fasa yang ada, menjadi
larutan padat. Tujuan dari solution heat treatment itu sendiri
yaitu untuk mendapatkan larutan padat yang mendekati
homogen.
26
b. Tahap Pengejutan Pendinginan ( Quenching )
Quenching dilakukan dengan cara mendinginkan logam
yang telah dipanaskan dalam dapur pemanas kedalam
media pendingin. Pendingin dilakukan secara cepat, dari
temperatur pemanas ke temperatur. yang lebih rendah,
pada umumnya mendekati temperatur ruang. Tujuan
dilakukan quenching adalah agar larutan padat homogen
yang terbentuk pada solution heat treatment dan kekosongan
atom dalam keseimbangan termal pada temperatur tinggi
tetap pada tempatnya. Pada tahap quenching akan
menghasilkan larutan padat lewat jenuh (Super Saturated
Solid Solution) yang merupakan fasa tidak stabil pada
temperatur biasa atau temperatur ruang. Pada proses
quenching tidak hanya menyebabkan atom terlarut tetap ada
dalam larutan, namun juga menyebabkan jumlah
kekosongan atom tetap besar. Adanya kekosongan atom
dalam jumlah besar dapat membantu proses difusi atom
pada temperatur ruang untuk membentuk Zona-Guinier-
Preston (Zona GP). Zona Guinier-Preston (Zona GP)
adalah kondisi didalam paduan dimana terdapat agregasi
atom padat atau pengelompokan atom padat. (Tata Surdia
dan Shinroku Saito, 1992).
c. Tahap Penuaan ( Aging )
Setelah solution heat treatment dan quenching tahap
selanjutnya dalam proses age hardening adalah aging atau
penuaan. Perubahan sifat-sifat dengan berjalanya waktu
pada umumnya dinamakan aging atau penuaan. Aging atau
penuaan pada paduan aluminium dibedakan menjadi dua,
yaitu penuaan alami ( natural aging ) dan penuaan buatan
(artificial aging ). Penuaan alami ( natural aging ) adalah
27
penuaan untuk paduan aluminium yang di age hardening
dalam keadaan dingin. Natural aging berlangsung pada
temperatur ruang antara 15ºC - 25ºC dan dengan waktu
penahanan 5 sampai 8 hari. Penuaan buatan (artifical aging)
adalah penuaan untuk paduan aluminium yang di age
hardening dalam keadaan panas. Artifical aging berlangsung
pada temperatur antara 100ºC - 200ºC dan dengan lamanya
waktu penahanan antara 1 sampai 24 jam. (Schonmetz,
1990). Pada tahap artificial aging dalam proses age
hardening dapat dilakukan beberapa variasi perlakuan yang
dapat mempengaruhi hasil dari proses age hardening. Salah
satu variasi tersebut adalah variasi temperatur artificial aging.
Temperatur artificial aging dapat ditetapkan pada temperatur
saat pengkristalan paduan alumunium (150ºC), di bawah
temperatur pengkristalan atau di atas temperatur
pengkristalan logam paduan alumunium.(Schonmetz,1990).
Penuaan buatan (artificial aging) berlangsung pada suhu
antara 100ºC – 200ºC. Pengambilan temperatur artificial
aging pada temperatur antara 100ºC-200ºC akan
berpengaruh pada tingkat kekerasan sebab pada proses
artificial aging akan terjadi perubahan-perubahan fasa atau
struktur. Perubahan fasa tersebut akan memberikan
sumbangan terhadap pengerasan.
28
Urutan perubahan fasa dalam proses artificial aging adalah
sebagai berikut :
Gambar 2.15 Tahap perubahan fasa proses aging
Gambar 2.16 Hubungan kekerasan dengan waktu
tahan terhadap fasa yang terbentuk
Larutan padat lewat jenuh (super saturated solid solution)
Zona (GP1)
Zona (GP2) atau Fasa θ”
Fasa θ’
Fasa θ
29
(a). Larutan Padat Lewat Jenuh (Super Saturated Solid
Solution α)
Setelah paduan alumunium melawati tahap solution heat
treatmen dan quenching maka akan didapatkan larutan
padat lewat jenuh pada temperatur kamar. Pada kondisi ini
secara simultan kekosongan atom dalam keseimbangan
termal pada temperatur tinggi tetap pada tempatnya.
Setelah pendinginan atau quenching, maka logam paduan
alumunium menjadi lunak jika dibandingkan dengan
kondisi awalnya.
(b). Zona [GP 1]
Zona [GP 1] adalah zona presipitasi yang terbentuk oleh
temperatur penuaan atau aging yang rendah dan dibentuk
oleh segregasi atom Cu dalam larutan padat lewat jenuh
atau super saturated solid solution α .( Smith, 1995) Zona
[GP 1] akan muncul pada tahap mula atau awal dari proses
artificial aging. Zona ini terbentuk ketika temperatur
artificial aging dibawah 100ºC atau mulai temperatur ruang
hingga temperatur 100ºC dan Zona [GP 1] tidak akan
terbentuk pada temperatur artificial aging yang terlalu tinggi.
Terbentuknya Zona [GP 1] akan mulai dapat meningkatkan
kekerasan logam paduan alumunium (Smith, 1995). Jika
artificial aging ditetapkan pada temperatur 100ºC, maka
tahap perubahan fasa hanya sampai terbentuknya zona
[GP 1] saja. Proses pengerasan dari larutan padat lewat
jenuh sampai terbentuknya zona [GP 1] biasa disebut
dengan pengerasan tahap pertama.
30
(c). Zona [GP 2] atau Fasa ϴ”
Setelah temperatur artificial aging melewati 100ºC ke atas,
maka akan mulai muncul fasa ϴ” atau zona [GP 2]. Pada
temperatur 130ºC akan terbentuk zona [GP2] dan apabila
waktu penahanan artificial agingnya terpenuhi maka akan
didapatkan tingkat kekerasan yang optimal (Smith, 1995).
Biasanya proses artificial aging berhenti ketika sampai
terbentuknya zona [GP 2] dan terbentuknya fasa antara
yang halus (presipitasi ϴ”), karena setelah melewati zona
[GP 2] maka paduan akan kembali menjadi lunak kembali.
Jika proses artificial aging berlangsung sampai
terbentuknya fasa ϴ” atau zona [GP 2], maka disebut
dengan pengerasan tahap kedua. Gambar 2.5.
menunjukkan terbentuknya kembali fasa keseimbangan
pada proses aging aluminium tembaga (Al-Cu) sehingga
paduan akan kembali ke fasa awal yaitu θ.
(d). Fasa ϴ’
Kalau paduan alumunium dinaikan temperatur aging atau
waktu aging diperpanjang tetapi temperaturnya tetap,
maka akan terbentuk presipitasi dengan struktur kristal
yang teratur yang berbeda dengan fasa ϴ’. Fasa ini
dinamakan fasa antara atau fasa ϴ’. Terbentuknya fasa ϴ’
ini masih dapat memberikan sumbangan terhadap
peningkatan kekerasan pada paduan alumunium.
Peningkatan kekerasan yang terjadi pada fasa ϴ’ ini
berjalan sangat lambat.
(e). Fasa ϴ
Apabila temperatur dinaikan atau waktu penuaan
diperpanjang, maka fasa ϴ’ berubah menjadi fasa ϴ. Jika
31
fasa ϴ terbentuk maka akan menyebabkan paduan
aluminium kembali menjadi lunak. Sementara waktu
penahanan dalam artificial aging merupakan salah satu
komponen yang dapat mempengaruhi hasil dari proses
age hardening secara keseluruhan. Seperti halnya
temperatur, waktu penahanan pada tahap artificial aging
akan mempengaruhi perubahan struktur atau perubahan
fasa paduan alumunium. Sehingga pemilihan waktu
penahan artificial aging harus dilakukan dengan hati-hati.
Gambar 2.17 Diagram Fasa perubahan mikrostruktur
paduan Al-Cu (Sumber: William K. Dalton:
259)
2.2.6 Pengujian
1. Komposisi Kimia
Alat pengujian komposisi kimia menggunakan alat
spectrometer, dimana alat ini digunakan untuk mentukan
jenis dan prosentase berbagai unsur kimia yang terkandung
dalam logam atau spesimen dengan spectrum emisi gas
argon dan pembacaan komputer. Spectrometer bekerja
dengan cara menambahkan elektroda pada spesimen atau
logam dengan bantuan gas argon, setelah itu sinar pantul
32
yang berasal dari spesimen akan melalui prisma spectrum
yang nantinya akan dibiaskan pada detector sehingga tampil
beberapa warna dengan intensitas yang berbeda. Tiap
warna dan intensitas cahaya menunjukkan jenis unsur dan
kandungannya, yang kemudian akan diterjemahkan dalam
bahasa program komputer menjadi tulisan.
Cara kalibrasi alat spectrometer, Metode pertama,
kalibrasi biner, mempekerjakan kurva kalibrasi yang
ditentukan dengan menggunakan sejumlah besar kemurnian
tinggi calibrants biner. Proses ini digunakan ketika ada
kebutuhan untuk menganalisis hampir seluruh bagian
paduan aluminium. Karena calibrants biner dapat merespon
secara berbeda dari calibrants paduan, yang terakhir
digunakan untuk meningkatkan akurasi dengan menerapkan
kemiringan dan / atau membatasi koreksi untuk pembacaan
yang diamati. Metode kedua, kalibrasi global,
mempekerjakan kurva kalibrasi yang ditentukan dengan
menggunakan berbagai calibrants paduan yang berbeda
dengan berbagai komposisi. Matematis perhitungan yang
digunakan untuk mengoreksi kedua perbedaan paduan dan
antar-elemen efek. Seperti metode di atas, spesifik paduan
calibrants dapat digunakan untuk menerapkan kemiringan
dan / atau koreksi mencegat untuk pembacaan diamati.
2. Pengujian Kekerasan Rockwell
Kekerasan (hardness) adalah salah satu sifat mekanik
(Mechanical of properties) dari suatu material. Kekerasan
suatu material merupakan ketahanan material terhadap gaya
penekanan atau deformasi dari material lain yang lebih
keras. Yang menjadi prinsip dalam suati uji kekerasan
33
adalah terletak pada permukaan material tersebut diberi
perlakuan penekanan sesuai dengan parameter (diameter,
beban, dan waktu). Berdasarkan mekanisme penekanan
yang dilakukan pada saat proses pengujian, metode
pengujian kekerasan dalam menentukan kekerasan suatu
material.
Di dunia teknik, umumnya pengujian kekerasan
menggunakan 3 macam, salah satu metode pengujian
kekerasan,yaitu pengujian kekerasan rockwell
Pengujian kekerasan dengan metode rockwell dilakukan
dengan tujuan menentukan kekerasan suatu material dalam
bentuk daya tahan material terhadap identor berupa bola
baja ataupun kerucut intan yang ditekankan pada permukaan
material uji tersebut. Adapun standar dari pengujian
kekerasan dengan metode rockwell ditunjukkan pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2.3 Skala Kekerasan Metode Pengujian Rockwell
(sumber : ASTM E18-15)
Pada pengujian kekerasan material metode rockwell
dikenal beberapa skala untuk menggambarkan besaran
34
kekerasan mulai dari skala A, B, C, D, E, dan lain-lain. Setiap
skala memiliki kriteria masing- masing dalam
penggunaannya, seperti contoh, pada skala B yang biasanya
diaplikasikan pada material yang lunak seperti paduan-
paduan tembaga, paduan aluminium, dan baja lunak,
dengan menggunakan indentor bola baja berdiameter 1/16”
dan beban total 100 kgf. Sedangkan skala C diaplikasikan
untuk material-material yang lebih keras, seperti besi tuang,
dan banyak paduan- paduan baja yang memakai kerucut
intan sebagai indentornya dengan beban total hingga 150
kgf.
Pertama – tama benda uji ditekan oleh identor dengan
beban (minor load F0) selanjutnya ditekan dengan beban
mayor (major load F1) pada langkah yang kedua dan pada
langkah ketiga beban mayor dilepas sehingga yang tersisa
adalah minor load dimana padad kondisi ketiga ini indentor
ditahan seperti kondisi pada saat total load F yang terlihat
pada gambar 2.17 dibawah ini.
Gambar 2.18 prinsip kerja metode pengukuran kekerasan
rockwell (sumber : Hadi 2011)
35
3. Struktur mikro
Alat uji yang digunakan untuk mengamati struktur mikro
menggunakan Olympus Metallurgycal Microscope (BH-2)
dan untuk pengambilan gambar digunakan Sofware
Optilab.. Alat ini berfungsi untuk mengamati dan mengambil
gambar struktur mikro pada permukaan logam atau
spesimen yang sebelumnya sudah dietsa. Larutan etsa yang
dipakai dalam proses ini adalah larutan NaOH atau Natrium
Hidroksida. Spesimen atau logam yang sudah dietsa
nentinya akan memantulkan kembali sinar yang dating dari
lensa mikroskop electron dengan warna yang berbeda pada
tiap bagian permukaan akibat pengikisan pada permukaan
spesimen, kemudian kamera yang tersambung dengan
monitor akan menangkap dan menyimpan gambar struktur
mikro.
Gambar 2.19 Proses pengamatan pada Struktur Mikro
(Arianata, 2017)