Post on 11-Nov-2020
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Balai Pemasyarakatan
2.1.1 Pengertian Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit
pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi
penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan.19 Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertian bahwa
“Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah
pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan “.
Pengertian Klien Pemasyarakatan sendiri menurut Pasal 1 ayat (9)
Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah
“Seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS”20
Balai Pemasyarakatan menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
M.02- PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan
adalah :
“Unit kerja pelaksana teknis pemasyarakatan yang menangani
pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat,
narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat dan cuti menjelang
bebas serta anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau
diserahkan kepada keluarga asuh, serta anak Negara yang oleh hakim
diputus dikembalikan kepada orang tuanya.”21
19Pasal 1 angka 24 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
20Undang-undang Nomor 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 9
21A.IHSANIAH. 2008.”Pengawasan dan Pembinaan Narapidana Yang Memperoleh
Pembebasan Bersyarat dibalai pemasyarakatan Makassar”. Skripsi tidak diterbitkan. Malang.
Skripsi Universitas Hasanuddin. Hal 14.
17
Balai Pemasyarakatan yang disingkat BAPAS pada awalnya disebut
dengan Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan pengentasan Anak ( Balai
BISPA) adalah
“Unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana
bersyarat (dewasa dan anak), narapidana yang mendapat pembebasan
bersyarat dan cuti menjelang bebas, serta Anak Negara yang mendapat
pembebasan bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak Negara
yang oleh Hakim diputus dikembalikan kepada orang tuanya.”22
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa Balai
Pemasyarakatan merupakan salah satu unit yang berada diluar lembaga
pemasyarakatan dimana tugas dan fungsinya ialah melakukan
pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap klien
pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat (dewasa dan anak),
narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas,
serta Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau diserahkan
kepada keluarga asuh.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan , terdapat
beberapa tahap yang harus dilakukan, yakni terdapat dalam:
Pasal 10:23
(1) Pembinaan Tahap Awal
(2) Pembinaan Tahap Lanjutan
(3) Pembinaan Tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal.9 ayat
(3) yang meliputi :
a. Perencanaan program Integrasi
b. Pelaksanaan program Integrasi
c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan Tahap akhir
22Wagiati Soetodjo,2005. “Hukum Pidana Anak”. Bandung : Refika Aditama.. Hal.49
23Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan,Pasal.10
18
Dilanjutkan dengan penjelasan yang terdapat dalam
Pasal 11 :24
(1) Pembinaan Tahap awal dan Tahap lanjutan dilaksanakan di Lapas
(2) Pembinaan Tahap akhir dilaksanakan di Luar Lapas oleh Bapas
Dapat diketahui bahwa Balai Pemasyarakatan memiliki peran dalam
Pembinaan Tahap akhir ,meliputi perencanaan program integrasi,
pelaksanaan program integrasi dan pengakhiran pelaksanaan pembinaan
tahap akhir.
2.1.2 Tugas pokok ,fungsi ,proses pelaksanaan bimbingan, dan Kedudukan Balai
Pemasyarakatan sebagai pembimbing kemasyarakatan
Setiap kegiatan tentu ada pelaku atau personil yang melaksanakan
aktivitas di dalam organisasi atau kelembagaan seperti halnya di Balai
Pemasyarakatan (Bapas). Bapas memiliki Pembimbing Kemasyarakatan
yang memiliki tugas khusus dalam proses penegakan hukum. Pembimbing
Kemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari sistem tata peradilan
pidana, seperti halnya Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02-
PR.07.10 tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kehakiman RI, menetapkan tugas, kewajiban dan syarat-syarat bagi
pembimbing kemasyarakatan, yaitu:
1. Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
a. Melakukan penelitian kemasyarakatan untuk; 1) membantu tugas
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal; 2)
menentukan program pembimbingan narapidana di LAPAS dan anak
didik pemasyarakatan di LAPAS anak; 3) menentukan program
perawatan tahanan di Rutan; dan 4) menentukan program
24Ibid, pasal.11
19
pembimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi klien
pemasyarakatan.
b. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi
klien pemasyarakatan.
c. Memberikan pelayanan bagi instansi lain dan masyarakat yang
meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu.
d. Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang
melaksanakan tugas pembimbingan.
e. Melaksanakan pengawasan terhadap narapidana anak yang dijatuhi
pidana pengawasan; anak didik pemasyarakatan yang diserahkan
kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh yang diberi tugas
pembimbingan.
2. Pembimbing Kemasyarakatan berkewajiban:
a. menyusun laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang telah
dilakukannya.
b. Mengikuti sidang tim pengamat pemasyarakatan guna memberikan
data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan
yang telah dilakukannya.
c. Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal
guna memberikan penjelasan, saran dan pertimbangan kepada hakim
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan anak nakal yang
kasusnya sedang diperiksa di pengadilan berdasarkan hasil penelitian
kemasyarakatan yang telah dilakukannya.
d. Melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala BAPAS.
Sedangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor: M.01-PK.04.10 Tahun 1998, menetapkan tugas,
kewajiban dan syarat-syarat bagi pembimbing kemasyarakatan yaitu:
1. Melakukan penelitian kemasyarakatan untuk: a) membantu tugas
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal; b)
menentukan program pembinaan narapidana di LAPAS dan anak didik
pemasyarakatan di LAPAS anak; c) menentukan program perawatan
tahanan di RUTAN; dan d) menentukan program bimbingan dan atau
bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan.
2. Melakukan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien
pemasyarakatan.
3. Melakukan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana
pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada
orangtua, wali atau orangtua asuh dan orangtua wali dan orangtua asuh
yang diberi tugas pembimbingan.
4. Kewajiban pembimbing kemasyarakatan meliputi: a) menyusun laporan
atas hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang telah dilakukannya;
b) mengikuti sidang tim Pengamat Kemasyarakatan (TPP) guna
20
memberikan data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan
pengamatan yang telah dilakukannya; c) mengikuti sidang pengadilan
yang memeriksa perkara anak nakal guna memberikan penjelasan, saran
dan pertimbangan kepada hakim mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan anak nakal yang sedang diperiksa di pengadilan
berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukannya; serta
d) melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala BAPAS.
Adapun fungsi pembimbing kemasyarakatan diantaranya :
a. Penyajian Laporan Penelitian Kemasyarakatan
Setelah Balai Pemasyarakatan menerima Surat Permintaan
Pembuatan laporan penelitian baik dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan Negeri, Lembaga Kemasyarakatan atau instansi yang lain,
ditunjuk Pembimbing Kemasyarakatan untuk melakukan penelitian
kemasyarakatan yang melakukan usaha-usaha :
1) Mengumpulkan data dengan cara memanggil atau mendatangi/
mengunjungi rumah klien dan tempat-tempat lain yang ada
hubungan dengan permasalahan klien.
2) Setelah memperoleh data, Pembimbing Kemasyarakatan
menganalisis, menyimpulkan, memberikan pertimbangan, saran,
sehubungan dengan permasalahan, selanjutnya dituangkan dalam
Laporan Penelitian Kemasyarakatan.
3) Keikutsertaan dalam persidangan, setelah membuat laporan
penelitian pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan harus
dapat mempertanggung jawabkan isi Laporan Penelitian
Kemasyarakatan tersebut, baik dalam menentukan pidana, maupun
dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga
21
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan untuk menentukan
rencana pembinaan terhadap klien baik di Lembaga
Pemasyarakatan, dan Balai Pemasyarakatan.25
b. Pembimbingan Kemasyarakatan Sebagai Pekerja Sosial
Seiring berkembangnya zaman yang semakin pesat dan juga
kebutuhan hidup yang semakin meningkat, sedangkan sumber daya
yang ada terbatas maka manusia berlomba-lomba untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat.. Dalam menjalankan tugasnya, Pembimbing
Kemasyarakatan langsung berhadapan dengan masyarakat yang
bermasalah atau pelanggar hukum.
c. Penelitian Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan identik dengan Pekerja Sosial,
yang dalam melaksanakan tugasnya menghadapi manusia dan
permasalahannya. Pembimbing Kemasyarakatan, harus bersikap dan
berperilaku tidak menyinggung perasaan orang lain, cakap dalam
mengadakan relationship, berkomunikasi dan dapat menerima
individu apa adanya. Dalam mengadakan penelitian kemasyarakatan
Pembimbingan Kemasyarakatan perlu menjaga dan memelihara
hubungan baik dengan klien. Terjadinya hubungan yang baik antara
Pembimbingan Kemasyarakatan dengan klien, diharapkan klien dapat
25 Maidin Gultom,2006 ,”Perlindungan Hukum Terhadap Anak”. Bandung: Refika Aditama.
Hal. 148-150.
22
mengemukakan masalahnya dengan terus terang tanpa curiga terhadap
Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan harus
dapat memahami dan menjunjung tinggi harkat dan martabat klien
sebagai manusia. Pembimbingan Kemasyarakatan tidak boleh
memojokkan atau memberi suatu putusan, artinya Pembimbing
Kemasyarakatan harus non judgemental mengenai baik atau buruk
tindakan maupun kejadian yang baru dialami oleh klien. Pembimbing
Kemasyarakatan setidak-tidaknya telah dididik sebagai pekerja sosial,
ditambah pengetahuan tentang hukum, sosial dan hal-hal yang
diperlukan dalam melakukan bimbingan kepada klien
pemasyarakatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 pasal 40 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
menerangkan proses pelaksanaan bimbingan sebagai berikut:26
1) Pembimbingan tahap awal meliputi:
a. penerimaan dan pendaftaran Klien;
b. pembuatan penelitian kemasyarakatan untuk bahan pembimbingan;
c. penyusunan program pembimbingan;
d. pelaksanaan program pembimbingan; dan
e. pengendalian pelaksanaan program pembimbingan tahap awal.
2) Pembimbingan tahap lanjutan meliputi:
a. penyusunan program pembimbingan tahap lanjutan;
b. pelaksanaan program pembimbingan; dan
c. pengendalian pelaksanaan program pembinaan tahap lanjutan.
3) Pembimbingan tahap akhir meliputi:
a. penyusunan program pembimbingan tahap akhir;
b. pelaksanaan program pembimbingan tahap akhir;
c. pengendalian pelaksanaan program pembimbingan tahap lanjutan.
26Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan.
23
4) Pembimbingan tahap akhir meliputi:
a. penyusunan program pembimbingan tahap akhir;
b. pelaksanaan program pembimbingan tahap akhir;
c. pengendalian pelaksanaan program pembimbingan.
d. penyiapan Klien untuk menghadapi tahap akhir pembimbingan
dengan mempertimbangkan pemberian pelayanan bimbingan
tambahan; dan
e. pengakhiran tahap pembimbingan Klien dengan memberikan surat
keterangan akhir pembimbingan oleh Kepala BAPAS.
Sedangkan Pada Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
menjelaskan bahwa:
1) Pembimbingan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf a bagi Klien, dimulai sejak yang bersangkutan berstatus
sebagai Klien dengan 1/4 (satu per empat) masa pembimbingan.
2) Pembimbingan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf b bagi Klien, dilaksanakan sejak berakhir pembimbingan
tahap awal sampai dengan 3/4 (tiga per empat) masa pembimbingan.
3) Pembimbingan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) huruf c bagi Klien, dilaksanakan sejak berakhirnya tahap
pembimbingan lanjutan sampai dengan berakhirnya masa
pembimbingan.
4) Tahapan dalam proses pembimbingan Klien Pemasyarakatan ditetapkan
melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan BAPAS.27
2.2 Tinjauan tentang Reintegrasi Sosial
2.2.1 Pengertian Reintegrasi Sosial
Integrasi yakni membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan
yang bulat dan utuh. Integrasi sosial berarti membuat masyarakat menjadi
satu keseluruhan yang bulat,28 sedangkan reintegrasi merupakan suatu
proses penyatuan kembali individu/kelompok ke dalam masyarakat luas
untuk melangsungkan kehidupannya secara umum agar sukses bergabung
27Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan. Pasal 39.
28D.Hendropuspito OC,1989,”Sosiologi Sistematik”, Yogyakarta: Kanisius, hal.374
24
kembali kedalam masyarakat dan menghindari mereka terjerat kembali
dalam tindak kriminal.29
Proses Reintegrasi ini harus disetujui semua pihak yang bersangkutan
demi keberhasilan dilakukannya proses Reintegrasi ,untuk membuat semua
pihak setuju tidak semudah yang dibayangkan karena ini menyangkut pola
pikir individu, kenyamanan individu dan trauma atas apa yang pernah
dirasakan di masa lalu akibat perbuatan seseoarng yang akan di integrasika
kembali kepadanya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Hak Asasi
Manusia No.3 tahun 2019 :30
“Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak
ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan.”
Reintegrasi adalah upaya yang bertujuan untuk membaurkan kembali
si- pelaku dalam lingkungan sosialnya baik pribadi, anggota keluarga
maupun anggota masyarakat.31.
Menurut Sakidjo , Reintegrasi sosial yaitu proses pembentukan norma-
norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga
pemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.32 Sebenarnya Reintegrasi
29United Nations,2012,” Introductory Handbook on the Prevention of Recidivism and The
Social Reintegration of Offenders”,(New York: United Nation Office on Drugs and Crime) hal.6
30Pasal 1 ayat (6) ,Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia No. 3 Tahun 2018
Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat
31J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Kartini Kartono), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002, h. 101.
32Sakidjo,dkk,2002 “Uji Coba Pola Pemberdayaan Masyarakat dalam Peningkatan Integrasi
Sosial di Daerah Rawan Konflik”,Jakarta :Departemen Sosial RI,Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial, hal8-9.
25
dan Resosialisasi hampir sama, yakni sama-sama menekankan
pengembalian seseorang yang pernah melanggar norma dan nilai sosial
untuk menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat.
Berdasarkan teori retributive yang memahami tujuan pidana adalah
pembalasan, dimana hukum yang dilihat sebagai cara untuk memuaskan
nafsu karena kerugian dan derita orang yang dirugikan. Demikian juga teori
utilitarian dengan pencegahan (yang memandang hukuman sarana
mencegah kejahatan). Rehabilitasi sebagai suatu teori yang cenderung tidak
menginginkan pembalasan dan terkesan “manusiawi” ternyata menimbulkan
masalah, karena munculnya sikap masyarakat yang dapat menerima proses
pembinaan narapidana, karena masyarakat merasa tidak cukup melihat
terpidana itu disengsarakan. Dari semua itu munculah teori integrative
.Falsafah pidana ini muncul seiring dengan tidak puasnya atas hasil yang
dicapai teori-teori sebelumnya. Teori integrative (teori gabungan)
sebagaimana dikatakan Muladi mengkategorikan tujuan pemidanaan ke
dalam empat tujuan, yaitu :33
a. Pencegahan (Umum dan Khusus)
Salah satu tujuan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah
atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang lain yang
mungkin punya maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan semacam
karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut.
b. Perlindungan Masyarakat
33Pandjaitan ,2007,”Petrus dan Samuel Kikilaitely,”Pidana Penjara Mau
Kemana”,Jakarta:CV.Indhill Co, hal.27-28
26
Sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas,
karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara
sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk
mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari
bahaya pengulangan tindak pidana.
c. Memelihara solidaritas masyarakat
Pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan
mencegah balas dendam perorangan.
d. Pidana bersifat pengimbalan atau pengimbangan
Tujuan pemidanaan integrative sebagaimana dikemukakan di atas,
memberikan gambaran bahwasannya pidana itu seperti pedang bermata
dua, sisi yang satu menggambarkan keadilan, yaitu keadilan bagi pelaku
dan adil bagi masyarakat, sisi yang lain menunjukkan adanya
perlindungan, bagi pelaku dari tindakan balas dendam masyarakat begitu
pula masyarakat terlindung dari perbuatan yang tidak adil dimana pelaku
menerima pidana atas perbuatannya.34
Sebagai suatu teori yang mengedepankan baik buruknya suatu hukuman
yang diterima pelaku kejahatan, maka menurut Muladi35, Teori Integrative
tentang tujuan pemidanaan itu haruslah didasarkan atas alasan-alasan :
a. Yang bersifat sosiologis, bahwa pidana harus sesuai dengan masyarakat
dan kondisi bangsa Indonesia, yang mengutamakan keseimbangan,
34Ibid, hal.28-29
35Gregorius,Aryadi,1995 “Putusan Hukum dalam Perkara Pidana”,Jakarta :Universitas
Atmajaya,hal.25
27
keserasian, keharmonisan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara
perorangan dengan manusia seluruhnya sebagai satu kesatuan.
b. Alasan secara ideologis, pemidanaan bertujuan memelihara ketertiban,
keamanan dan perdamaian berdasarkan Pancasila yang menempatkan
manusia kepada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan, makhluk pribadi dan makhluk sosial.
c. Alasan secara yuridis filosofis, dua tujuan pemidanaan adalah pengenaan
penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan
Teori integrative menempatkan pidana itu bukan semata-mata sebagai
sarana dalam menanggulangi kejahatan, dalam hal ini fungsi pidana harus
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya antara lain pidana untuk
melindungi kepentingan hukum, masyarakat dan Negara. Dalam hal ini,
praktek penerapan hukum pidana tidak harus dengan pemanfaatan pidana
sebagai sarana efektif menjerakan pelaku.
Reintegrasi sosial menurut Sakidjo yaitu proses pembentukan norma-
norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga
kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.36
Dalam pelaksanaan Reintegrasi sosial ini seringkali mengalami kendala
di masyarakat, seperti cap/label yang diberikan kepada para mantan
Narapidana disini. Ini berkaitan dengan Teori Labelling.Teori ini dipelopori
oleh Edwin M.Lemert. Menurut Lemert, seseorang menjadi penyimpang
karena proses labeling-pemberian julukan, cap,etika merek- yang diberikan
36Sakidjo,dkk,2002 “Uji Coba Pola Pemberdayaan Masyarakat dalam Peningkatan Integrasi
Sosial di Daerah Rawan Konflik”,Jakarta :Departemen Sosial RI, Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial) hal.8-9.
28
kepadanya. Mula-mula seseorang melakukan suatu penyimpangan primer.
Akibat dilakukannya penyimpangan tersebut, misalnya pencurian, penipuan,
pelanggaran, asusila, perilaku aneh, si penyimpang lalu diberi cap pencuri,
penipu , pemerkosa, perempuan bakal, orang gila. Sebagai tanggapan
terhadap pemberian cap oleh orang lain, maka si pelaku penyimpangan
primer kemudian mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang dan
mengulangi lagi perbuatan menyimpangnya melakukan penyimpangan
sekunder ,sehingga mulai menganut suatu gaya hidup yang menyimpang
yang menghasilkan suatu karir yang menyimpang .37
Pendekatan teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian :38
1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap
atau label
2. Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
Persoalan labeling ini, memperlakukan labeling sebagai dependent
variable atau variable tidak bebas dan keberadaannya memerlukan
penjelasan. Labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari reaksi
masyarakat.
Persoalan labeling kedua (efek labeling) adalah bagaimana labeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label atau cap. Persoalan ini
memperlakukan labeling sebagai variable yang independen atau variable
bebas/mempengaruhi. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses bagaimana
37Sunarto,Kamanto,2004,”Pengantar Sosiologi”,Jakarta :Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, hal.179
38Atmasasmita,Romli,2010,”Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”,Bandung:PT.Refika
Aditama,hal.50
29
labeling mempengaruhi seseorang yang terkena cap/label untuk melakukan
penyimpangan tingkah lakunya.Pertama, cap/label tersebut menarik
perhatian pengamat dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya
dan kemudian seterusnya cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.
Kedua ,label/cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan mempengaruhi
dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu
diberikan padanya oleh si pengamat.
Salah satu dari kedua proses diatas dapat memperbesar penyimpangan
tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karakter criminal seseorang.
Seorang yang telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi
perhatian orang-orang disekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau
perhatian orang-orang disekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud
sehingga kejahatan kedua dan selanjutnya akan mungkin terjadi lagi.39
2.2.2 Syarat berhasilnya Reintegrasi Sosial
Syarat berhasilnya reintegrasi sosial menurut Meyer Nimkoff dan
William F. Ogburn dalam buku karya Nniniek Seri Wahyuni dan Yusniati
yang berjudul Manusia dan Masyarakat adalah :40
1. Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi kebutuhan antara
satu dengan yang lainnya.
2. Tercapainya konsensus (kesepakatan) mengenai nilai dan norma-norma
sosial.
3. Norma-norma berlaku cukup lama dan konsisten.
39Ibid,hal.50
40Wahyuni,Niniek Sri dan Yusniati ,2007,”Manusia dan Masyarakat”,Jakarta: Ganeca Exact,
30
Dalam pelaksanaan Reintegrasi sosial terhadap narapidana ini harus
memenuhi beberapa persyaratan.Pemberian Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, dapat dilaksanakan
apabila telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif sebagai
berikut :
Pasal 6 :41
1. Syarat substantif
Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang harus
dipenuhi oleh Narapidana dan Anak Pidana adalah:
a) telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana;
b) telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang
positif;
c) berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan
bersemangat;
d) masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana
dan Anak Pidana yang bersangkutan;
e) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat
hukuman disiplin untuk:
1) Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir;
2) Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang-
kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; dan
3) Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir;
f) masa pidana yang telah dijalani untuk:
1) Asimilasi, 1/2 (setengah) dari masa pidananya;
2) Pembebasan Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya,
dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak
kurang dari 9 (sembilan) bulan;
3) Cuti Menjelang Bebas, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan
jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6
(enam) bulan;
4) Cuti Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka
waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan dengan ketentuan apabila
selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama
di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana;
41 Pasal 6, “Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat”
31
2. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh Narapidana atau
Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
Pasal 7 :42
a) kutipan putusan hakim (ekstrak vonis);
b) laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing
Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana
dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali
Pemasyarakatan;
c) surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang
bersangkutan;
d) salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib
yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama
menjalani masa pidana) dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
e) salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi,
remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
f) surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga,
sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh
Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala
desa;
g) bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan
syarat tambahan:
1) surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing
yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-syarat
selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat;
2) surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai
status keimigrasian yang bersangkutan.
2.3 Tinjauan Umum tentang Pidana dan Pemidanaan
2.3.1 Pengertian Pidana dan Jenis-jenis Pidana
Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk :43
42Pasal 7, “Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat”
32
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentubagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Simons, hukum pidana adalah :44
a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana, dan
c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.
Berdasarkan pasal 10 KUHP , jenis-jenis dari pidana terbagi menjadi
dua, yaitu pidana pokok dan tambahan. Tetapi berdasarkan undang-undang
tanggl 31 Oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24,
hukum pidana Indonesia telah mendapatkan satu macam pidana pokok yang
baru yakni disebut dengan pidana tutupan.45
43Tongat, 2012,”Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan”,
UMM Pressm;Malang. Hal.13
44Ibid,hal.15
45Prodjohamidjojo,Martiman,1997 “Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana
II,”Jakarta:Pradnya Paramita hal.60
33
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
Untuk pidana mati ini diatur dalam pasal 11 KUHP. Pidana mati
adalah pidana yang terberat, karena pidana ini berupa pidana terberat
yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi
manusia yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan.
Pidana mati ini kana diberikan oleh hakim apabila kemanan Negara
memang benar-benar telah mengehendakinya dengan kata lain
kemanan Negara terancam
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan keterbatasan
bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup
orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan
mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua peraturan tata tertib
yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan
dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut.46
3. Pidana kurungan
Pidana kurungan merupakan jenis pidana pokok yang berupa
pembatasan kebebasan bergerak yang dijatuhkan oleh hakim bagi
orang-orang yang telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang
46Ibid, hal.69
34
telah diatur dalam Buku ke III KUHP. Lamanya pidana kurungan ini
sekurang-kurangnya adalah satu hari dan selama-lamanya satu tahun.
4. Pidana denda
Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana
oleh pengadilan untuk membayar sejumlah uang dengan jumlah
tertentu akibat dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.47
5. Pidana tutupan
Dasar hukum dari pidana tutupan adalah pasal 5 UU No.20 tahun
1946 yang , menyatakan bahwa :
1) Tempat untuk menjalani pidana tutupan, cara melakukan pidana itu
dan segala sesuatu yang perlu menjalankan undang-undang ini
diatur di dalam peraturan pemerintah.
2) Peraturan tata usaha atau tata tertib untuk menjalankan pidana
tutpan diatur oleh Menteri Kehakiman dengan pesetujuan Menteri
Pertahanan.
Berlainan dengan pidana penjara, pada pidana tutupan hanya dapat
dijatuhkan apabila (Rancangan KUHP), yaitu :48
1. Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi
pidana tutupan.
2. Terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati.
47Adami Chazawi,1999,”Stelsel Pidana Indonesia”,BKBH Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya,Malang,hal.49
48Bambang waloyo,2004,”Pidana dan Pemidanaan”, Sinar Grafika, Jakarta,hal.18
35
b. Pidana Tambahan ,terdiri dari :
1) Pidana Pencabutan hak-hak tertentu.
Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang
yang dapat mengakibatkan kematian perdata (burgerlijk daad) tidak
diperkenakan (3 BW). UU hanya memberikan kepada wewenang
(melalui alat/lembaganya) melakukan pencabutan hak tertentu saja,
yang menurut pasal 35 ayat 1 KUHP.
Perlu diperhatikan bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana
pencabutan hak-hak tertentu apabila secara tegas diberi wewenang
oleh Undang-undang yang diancamkan pada rumusan tindak pidana
yang bersangkutan.
2) Pidana perampasan Barang-barang tertentu
Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenakan atas
barang-barang tertentu saja tidak diperkenakan untuk semua barang
.UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan. Menurut
pasal 39 KUHP, barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-
barang yang merupakan barang-barang hasil kejahatan (corpor delicti)
dan barang-barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
(instrumental delicti)
3) Pidana pengumuman keputusan hakim
Dalam hal ini diatur dalam pasal 10 huruf b angka 3 KUHP, yang
maksudnya agar putusan dari hakim yang berisi suatu penjatuhan
pidana bagi seseorang terpidana itu menjadi diketahui oleh orang
36
secara luas dengan tujuan-tujuan yang tertentu . Dalam pidana
pengumuman putusan hakim ini, dapat dilakukan dengan cara
diumumkan melalui surat kabar,melalui plakat yang ditempel pada
papan pengumuman, melalui media radio maupun televise, yang
pembiayaannya dibebankan kepada terpidana.
2.3.2 Tujuan Pemidanaan Terhadap Narapidana
Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menerapkan suatu
sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai
apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk
menegakkan berlakunya norma. Hal ini dimaksudkan supaya dalam
memberikan suatu sanksi terhadap suatu perbuatan pidana dapat diterapkan
secara adil, artinya tidak melebihi dengan yang seharusnya dijadikan sanksi
terhadap suatu perbuatan pidana tersebut.
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
ke dalam tiga kelompok dan berbagai teori tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut49:
1. Teori Absolut / Retribusi
Menurut Christiansen, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccantum
est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar
49Muladi,1998, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”, PT.Alumni Bandung, hal.10
37
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya pidana itu
sendiri.50
Menurut Imamanuel Kant ,dasar pembenaran terletak
didalam“Kategorische Imperatif” yaitu yang menghendaki agar setiap
perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Keharusan menurut
keadilan dan menurut hukum tersebut merupakan keharusan mutlak,
sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata
didasarkan pad suatu tujuan itu harus dikesampingkan. 51
Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga
memberikan pendapat sebagai berikut :
“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan
untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu
sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana
secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu
memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.52
2. Teori Tujuan / Relatif
Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang
dapat digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan
dengan orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar,
misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah
penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.53
Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena
50Ibid, hal.10
51Ibid , .hal.10
52Samosir, Djisman. 1992. “Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia”.
Bina Cipta. Bandung.
53Muladi. 2002 “Lembaga Pidana Bersyara”. Alumni. Bandung
38
orang membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang
jangan melakukan kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini
berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.54
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa
dibedakan menjadi dua istilah, yaitu :
a. Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan Khusus
Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana
prevensi khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan
memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik
dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.
b. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum
Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.
Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya
dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan
kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya
untuk tidak melakukuan tindak pidana.
3. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolute dan teori
relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pidana selalu membalas
54Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005.” Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.” Alumni.
Bandung
39
kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak
boleh melampaui batas pembalasan yang adil.55
Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang
mempengaruh, yaitu :
a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi
sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan
dalam bukunya “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana
adalah suatu sanksi yang memiliki ciri- ciri tersendiri dari sanksi
lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut
karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan
kaidah- kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.
b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib
masyarakat. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya
adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.
c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan
pertahanan tata tertib masyarakat.56
2.3.3 Tujuan Pembinaan Terhadap Narapidana
Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya dapat
dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan atau
dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan tindak pidana.57
Menurut Hulsman dalam buku Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia karangan Dwi Priyatno, hakikatnya mempunyai dua tujuan utama,
yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinloeding) dan
penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik dapat terdiri
55Ibid
56Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi.
Pradya Paramita. Jakarta.
57Sudarto,1990,”Hukum Pidana I”. Semarang: FH Universitas Diponegoro ,hal.5
40
dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang
dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.58
Pada awalnya pembinaan narapidana di Indonesia menggunakan sistem
kepenjaraan.Model pembinaan seperti ini sebenarnya sudah dijalankan jauh
sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum atau Undang-undang yang
digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah Reglemen penjara, aturan ini
telah digunakan sejak tahun 1917.59 Bisa dikatakan bahwa perlakuan
terhadap narapidana pada waktu itu adalah seperti perlakuan penjajah
Belanda terhadap pejuang tertawan. Mereka diperlakukan sebagai obyek
semata yang dihukum kemerdekaannya, tetapi tanaga mereka seringkali
dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan fisik. Ini menjadikan sistem
kepenjaraan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Dengan demikian tujuan diadakannya penjara sebagai tempat
menampungnya para pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk membuat
jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu peraturan-peraturan
dibuat keras, bahkan sering tidak manusiawi.60
Konsepsi sistem baru pembinaan narapidana menghendaki adanya
penggantian dalam undang-undang, menjadi undang-undang
pemasyarakatan. Undang-undang ini akan menghilangkan keseluruhan bau
liberal-kolonial.
58Pryatno,Dwi.2007,”Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia” Bandung: Refika
Aditama,hal.8-9
59Harsono H.s,CI.1995,”Sistem Baru Pembinaan Narapidana”, Jakarta,Djambatan,hal.8
60Ibid, hal.9-10
41
Sistem pemasyarakatan menurut pasal 1 ayat 2 Undang-undang no.12
tahun 1995 adalah ;
“Suatu tatanan mengenai arahan dan batasan serta cara pembinaan
warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembinaan ,yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan,memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara
yang baik dan bertanggung jawab.”
Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan pada pasal
14 ayat (1), sangat jelas mengatur hak-hak seorang narapidana selama
menghuni Lembaga Pemasyarakatan yaitu :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan
orang dan harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada
empat komponen penting dalam membina narapidana, yaitu :61
61Ibid, hal.48-50
42
a. Diri sendiri ,yaitu narapidana itu sendiri.
b. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat.
c. Masyarakat, adlah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada
saat masih diluar Lembaga Pemasyarakatan / Rutan, dapat masyarakat
biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.
d. Petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara,petugas keagamaan,
petugas sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan, BAPAS, hakim
dan lain sebagainya.
Berbeda dari sistem kepenjaraan maka, dalam sistem baru pembinaan
narapidana tujuannya adalah meningkatkan kesadaran narapidana akan
eksistensinya sebagai manusia. Menurut Harsono, kesadaran sebagai tujuan
pembinaan narapidana, cara pencapaiannya dilakukan dengan berbagai
tahapan sebagai berikut :62
a. Mengenal diri sendiri. Dalam tahap ini narapidana dibawa dalam suasana
dan situasi yang dapat merenungkan, menggali dan mengenali diri
sendiri.
b. Memiliki kesadaran beragama, kesadaran terhadap kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa,sadar sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai
keterbatasan dan sebagai makhlu yang mampu menentukan masa
depannya sendiri.
c. Mengenal potensi diri, dalam tahap ini narapidana dilatih untuk
mengenali hal yang positif dalam diri sendiri. Mampu mengembangkan
potensi diri, mengembangkan hal-hal yang positif dalam diri sendiri,
memperluas cakrawala pandang, selalu berusaha untuk maju dan selalu
berusaha untuk mengembangkan sumber daya manusia.
d. Mengenal cara memotivasi adalah mampu memotivasi diri sendiri kearah
yang positif
e. Mampu memiliki kesadaran yang tinggi, baik untuk diri sendiri, keluarga
dan kelompiknya
f. Memiliki kepercayaan diri yang kuat,narapidana yang telah mengenal
diri sendiri, diharapkan memiliki kepercayaan diri yang kuat.Percaya
akan Tuhan,percaya bahwa diri sendiri mapu merubah tingkah laku,
tindakan dan keadaan diri sendiri untuk lebih baik lagi.
62Ibid, hal.60
43
Dalam melakukan pembinaan diperlukan prinsip-prinsip dan bimbingan
bagi para narapidana. Menurut Sahardjo ada sepuluh prinsip dana
bimbingan bagi narapidana antara lain sebagai berikut :63
a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga Negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari Negara.
c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan
bimbingan.
d. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk darpda sebelum ia
masuk penjara.
e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak ,narapidana harus dikenal
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau Negara
saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan
Negara.
g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.
h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat.
i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
Secara formal, peran masyarakat dalam ikut serta membina narapidana
atau mantan narapidana tidak terdapat dalam Undang-undang.Namun secara
moral peran serta dalam membina narapidana atau bekas narapidana sangat
diharapkan.64
2.4 Tinjauan tentang Klien Pemasyarakatan
Penjelasan mengenai Klien Pemasyarakatan termuat di dalam Undang-
undang no.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 1 angka 9 yang
menyebutkan sebagai berikut “ Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS”.
63Ibid ,hal.71
64Ibid, hal 71-72
44
Orang yang ada dalam bimbingan Bapas yang dimaksud adalah sebagai
berikut :65
a. Terpidana bersyarat ;
b. Narapidana ,Anak pidana dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial ,dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan bimbingannya dikembalikan
kepada orang tua atau walinya.
Klien pemasyarakatan terdiri dari dua jenis yatu:
1. Klien Pemasyarakatan Dewasa, yaitu klien pemasyarakatan yang sudah dewasa
2. Klien Pemasyarakatan Anak, yaitu untuk klien yang masih anak-anak
berdasarkan Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang Peradilan Anak.
Meskipun nama mereka berubah dari “narapidana” menjadi “klien
pemasyarakatan” pada dasarnya mereka juga tetap narapidana hanya saja mereka
menjalani pembinaan diluar tembok LAPAS dengan bimbingan BAPAS.
Klien yang dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan disini ialah seseorang
yang telah melalui proses peradilan atau proses hukum dan telah diputus oleh
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan putusan pengadilan
itulah Balai Pemasyarakatan berwenang dan berkewajiban melaksanakan
bimbingan pada klien pemasyarakatan.
Kewajiban-kewajiban klien adalah sebagai berikut :
a. Mematuhi semua peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam proses
pembimbingan
65Undang-undang no.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 42.
45
b. Wajib mengikuti semua program pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan
Sedangkan yang menjadi Hak-hak Klien adalah sebagai berikut:
a. Perlakuan non-diskriminasi
b. Perlindungan HAM
c. Tidak dianiaya, disiksa, atau dihukum secara tidak manusiawi
d. Tidak dirampas kebebasannya secara melawan hokum
e. Diperlukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana
f. Hak atas bantuan hukum, untuk membela diri dan memperoleh keadilan yang
bebas dan tak memihak
g. Proposionalitas perlakuan terhadap klien dengan perbuatannya
h. Mendapatkan pembinaan diluar lembaga (non-institutional treatment)
2.5 Tinjauan tentang Efektifitas Hukum
2.5.1 Teori Efektifitas Hukum
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah
populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna
atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif
adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak
dimulai berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.66
66 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 284.
46
Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan
untuk memantau.67 Jika dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan
“dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu polisi. Kata efektifitas
sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang
dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti
efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau
dikehendaki dari perbuatan itu.
Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam
pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya
sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi
hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya
untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan
terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di
dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai
a tool of social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana
pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah
pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam
pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivikasi hukum merupakan
proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka
kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh
sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan
67 Ibid
47
mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun
demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap
masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena
seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada
kepentingannya.68
Faktor-faktor yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum
antara lain:69
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari
orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih
mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan
(mandatur).
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan
sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,
memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya
memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif
akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan
dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target
diberlakukannya aturan tersebut.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidak aparat penegak hukum
untuk menegakkan aturan hukum tersebut.
68 Achmad Ali. 2009. “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).” Jakarta. Penerbit
Kencana. Hal. 375.
69 Ibid,hal.376
48
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga
mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di
dalam masyarakat.
Sedangkan Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur efektivitas
dalam penegakan hukum pada lima hal yakni :
1. Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam
praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum
sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak
sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum
setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah
semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.70
2. Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Selama ini ada
kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan
hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan
dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya
dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap
atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan
lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum.
Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum
tersebut71
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, Menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak hukum
tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan
kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu,
sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang actual.72
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum. Persoalan yang timbul
70Ibid hal.8
71Ibid hal.21
72 Ibid hal.37
49
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi,
sedang, atau kurang.Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsikonsepsi yang
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa
yang dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia
merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping
itu berlaku pula hukum tertulis (perundangundangan), yang dibentuk oleh
golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar
hukum perundangundangan tersebut dapat berlaku secara aktif.73
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi
hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas
penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor
penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan
oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya
pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri
juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.74
73Iffa Rohmah. 2016. Penegakkan Hukum. http://pustakakaryaifa.blogspot.com. Diakses :
Pukul 12.00 WIB, Tanggal 5 Desember 2018.
74Ibid.hal.53