Post on 15-Apr-2022
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ATAS TANAH DAN ORANG ASING
2.1 Hak – Hak Atas Atas Tanah
2.1.1 Pengertian Hak atas Tanah
Hak-hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah Hak-hak
perseorangan atas tanah, adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum)
untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil
manfaat dari bidang tanah tertentu. Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai
arti penting karena berfungsi ganda, yaitu sebagai social asset yang merupakan
sarana pengikat kesatuan social di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup
dan kehidupan serta tanah sebagai capita asset yang merupakan tanah sebagai
modal dalam pembangunan sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi1.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 53 Undang- Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang dikelompokan menjadi
3 (tiga) bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru, contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan. 2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
.1 Achmad Rubaei, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, cetakan pertama, Kerjasama Pusderankum dan Bayumedia, Malamng, hal 1
19
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah perorangan dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu
a. Hak atas tanah yang bersifat primer Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macamhak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna BangunanAtas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Tanah Negara
b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macamhak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah pertanian2. Hak-hak atas tanah tersebut kemudian memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA. Hak atas
tanah dijelaskan sebagai hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai
hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya3.
Menurut Sudikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak
atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Wewenang umum Yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lain yang lebih tinggi. 2. Wewenang khusus Pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak
2 Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal 64. 3 Sudiko Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika- Universitas Terbuka, Jakarta,hal. 4.
Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/untuk mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah tanah hanya untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakannya hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan4. Ketentuan Pasal 28 huruf (H) Ayat 4 UUD 1945 setelah amandemen ke empat,
yang menyatakan merupakan komitmen negara dalam mengakui dan
menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Namun
hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak
sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam
kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak
atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar.Jika
ditilik dari konstitusi, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan
dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga
mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak
masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah
yang ada di masyarakat.5
Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas
tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan
MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada 4 Ibid, hal 45 5 Sulasi Rongiyati, 2007, Parlementaria (Majalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia); Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Sengketa Pertanahan, Agustus, hal 23.
pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan,
penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang
semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara
berkelanjutan.
Walaupun semua hak atas tanah yang disebut diatas memberikan kewenangan
untuk mempergunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan
penggunaan tanah dan batas waktu penguasaanya merupakan dasar perbedaan
antara hak atas tanah yang satu dengan yang lain. Selain itu pemegang hak atas
tanah juga dibebani berberapa kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat. Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pemegang hak atas tanah
adalah :6
1. Tanah mempunyai fungsi sosial, yaitu apapun jenis dari hak atas tanah yang dikuasai, seseorang tidak diperbolehkan mempergunakan atau tidak memperpergunakan tanah semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi kalau hal tersebut menimbulkan kerugian bagi masyakat lain.
2. Kewajiban memelihara tanah yang dihaki, memelihara tanah, termasuk mengusahakan tingkat kesuburan tanah serta mencegah perbuatan yang mengakibatkan kerusakan pada tanah. 3. Karena kewajiban untuk mengelola tanah secara aktif, setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.
4. Kewajiban untuk membayar pajak, para pemilik tanah yang mengusahakan tanah diwajibkan membayar Pajak bumi Bangunan (PBB) sesuai dengan peraturan Undang-undang perpajakan yang berlaku. 5. Kewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah, untuk memperoleh kepastian hukum dan memperoleh alat bukti yang kuat dalam bentuk sertifikat hak atas tanah harus melakukan pendaftaran tanah dikantor pertanahan setempat. Hak atas tanah yang wajib didaftarkan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa. Diluar UUPA, Hak Tanggungan Yang diatur dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 wajib juga untuk didaftarkan.
6 Sudharyo Soimin, 1996, Status Hak dan pembebasan Tanah., Sinar Grafika, Jakarta, hal. 14.
1.1.2 Dasar Hukum Hak Atas Tanah
Pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA (Pasal 1
ayat 2) memberi wewenang kepada negara untuk : mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum
(UUPA, Pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 9 UUPA, ditentukan bermacam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, Tanah dapat diberikan dan dimiliki
oleh perseorangan maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Di Pasal 6 juga ditegaskan
bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Setiap
warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Di Pasal 9 juga dinyatakan bahwa hak-
hak atas tanah apapun yang dipunyai oleh seseorang, kelompok, badan hukum, dll
harus berfungsi sosial. Maksudnya, Hak atas tanah apa pun yang ada pada
seseorang, tidak dapat dibenarkan akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat dari hak atas tanah tersebut, sehingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun masyarakat dan
Negara. Kalau diihat dari ketentuan ini bukan lantas berarti kepentingan
perseorangan akan terdesak oleh kepentingan umum (masyarakat), karena UUPA
juga memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok :
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 Tentang Pendaftaran Tanah,
yang menyatakan bahwa Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA.
1.1.3 Jenis Jenis Hak Atas Tanah
Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam
mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas
tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak,
artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang
hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka
pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang
lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa
bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi
acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga
mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak
masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah
yang ada di masyarakat.7
Dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –
Pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) menyebutkan
a. Hak Milik, b. Hak Guna Usaha, c. Hak Guna Bangunan, d. Hak Pakai, e. Hak Sewa, f. Hak Membuka Tanah, g. Hak Memungut Hasil Hutan, h. Hak – hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang – undang serta hak – hak yang sifatnya sementara. Walaupun semua hak atas tanah yang disebut diatas memberikan kewenangan
untuk mempergunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan
penggunaan tanah dan batas waktu penguasaanya merupakan dasar perbedaan 7 Op Cit, Sulasi Rongiyati, hal 26.
antara hak atas tanah yang satu dengan yang lain. Selain itu pemegang hak atas
tanah juga dibebani berberapa kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat.
Penjelasan dan pengertian dari hak hak atas tanah tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut :
a. Hak Milik
Hak Milik adalah hak yang "terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas
tanah.Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak,
tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat. Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu
bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak
atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter"(artinya : paling)
kuat dan terpenuh
Pasal 20 Undang – Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok –
Pokok Agraria (UUPA), menyatakan bahwa :
1 Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapatdipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam 2 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 21 UUPA, menyatakan bahwa:
1 Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. 2 Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. 3 Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 4 Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini. Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas
tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan
MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada
pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan,
penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang
semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara
berkelanjutan.
b. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha (disingkat HGU) merupakan hak-hak baru guna memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan
tidak terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang
lain8.
HGU dalam pengertian Hukum Barat sebelum dikonversi berasal dari Hak
Erfpacht yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 720 KUHPerdata adalah
“suatu hak kebendaan untuk mengenyam kenikmatan yang penuh (volle genot)
atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban
8 AP. Parlindungan, 1998, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta : CV. Mandar Maju, hal. 160.
membayar pacht (canon) tiap tahun, sebagai pengakuan eigendom kepada yang
empunya, baik berupa uang/hasil in natura”9.
Hak Guna Usaha menurut Subekti dan R. Tjitrosudibio, adalah suatu hak
kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari
sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau
penghasilan tiap-tiap tahun10.
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
(UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996,
pengertian Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun,
yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha
pertanian,perkebunan, perikanan atau peternakan, dengan luas paling sedikit 5 Ha.
c. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut “HGB”) adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu
20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 35 dan Pasal 39 UUPA).
Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian HGB adalah menyangkut
adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberiannya. Sehubungan
dengan pemberian perpanjangan jangka waktu apabila HGB telah berakhir, maka
9 Sri Soedewi Masjchsoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, Yogyakarta : Liberty, hal. 21. 10 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta Pradnya Pramita, hal. 189.
HGB atas tanah Negara atas permintaan pemegang haknya dapat diperpanjang
atau diperbarui dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 sebagai berikut :
a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; d. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. Permohonan perpanjangan jangka waktu HGB atau pembaharuannya diajukan
selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGB
tersebut atau perpanjangannya. Selanjutnya perpanjangan atau pembaharuan HGB
tersebut dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan (Pasal 27 UUPA).
HGB walaupun termasuk dalam kategori hak primer, tetapi memiliki jangka
waktu sebagai masa akhir pemilikan hak atau masa hapusnya hak tersebut. Dalam
Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dinyatakan HGB hapus
karena:
a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana waktu ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjiannya; b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang HPL atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena : (1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32 atau; (2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian HGB antara pemegang HGB dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau; (3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya; e) ditelantarkan; f) tanahnya musnah; g) ketentuan Pasal 20 ayat (2).
Sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) UUPA, maka yang dapat memiliki HGB adalah :
(1) Warga Negara Indonesia. (2) Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa :
“Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat” Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain yang memperoleh HGB jika ia
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut
ketentuan ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Terjadinya HGB berdasarkan asal tanahnya adalah sebagai berikut11 :
1. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4, Pasal 9, dan Pasal 14 Peraturan Menteri Negara Agraia/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan prosedur terjadinya Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 48 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku tanah, sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat (Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996) 2. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan Hak Guna Bangunnan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul pemegang HPL, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan prosedur terjadinya Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah, sebagai tanda bukti diterbitkannya
11 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal. 106-107.
Sertipikat Hak Guna Bangunan (Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). 3. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut “PPAT”). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah (Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). HGB dapat diberikan atas hak milik atau hak pengelolaan atau tanah Negara,
dengan ketentuan apabila hak guna bangunan hapus, maka hak atas tanahnya
kembali kepada penguasa asalnya. HGB atas tanah HPL dapat diperpanjang atau
diperbaharui haknya atas permohonan pemegang hak setelah mendapat
persetujuan dari pemegang HPL.
d. Hak Pakai,
Hak atas tanah berikutnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
adalah Hak Pakai. Rumusan umum mengenai Hak Pakai sebagai hak atas tanah
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria, yang
menyatakan sebagai berikut:
(1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undangundang ini. (2) Hak Pakai dapat diberikan: a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Dari rumusan yang diberikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak
untuk mengunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.
Perkataan ”menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa
Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan
perkataan ”memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa
Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya
pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan12.
e. Hak Sewa,
Yang dimaksud adalah hak sewa untuk bangunan. Menurut pasal 44 dan 45
pengertian hak sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang untuk
sewa. Tujuannya adalah untuk mempergunakan untuk bangunan. Asalnya yaitu
tanah yang berasal dari tanah hak perorangan karena Negara tidak bisa
menyewakan tanah .
Ciri-ciri Hak Sewa
a. Waktu terbatas dan tergantung perjanjian
b. Sifatnya pribadi, tidak dapat dialihkan kecuali dengan ijin pemiliknya
melalui perjanjian
c. Dapat berakhir dengan matinya penyewa
d. Jika dialihkan hubungan sewa tidak putus
e. Tidak dapat dijaminkan
12 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso II), hal. 119.
f. Tidak dapat didaftarkan
g. Dapat dilepaskan secara sukarela
f. Hak Membuka Tanah
Dalan Pasal 46 ayat (1) Undang Undang Pokok Agrariaa, menyebutkan bahwa :
“Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh
warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Hak membuka hutan yakni memanfaatkan hutan dan penggunaan kawasan hutan
oleh seluruh warga negara Indonesia dan memiliki hak untuk pembukaan kawasan
hutan.
Hal- hal yang mesti diperhatikan dalam Pengunaan Hak Membuka Hutan:
1. Hutan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap warga negara Indonesia adalah
semua hutan, kecuali yang masuk hutan kawasan.
2. Pastikan jika membuka dan memanfaatkan hutan, maka hutan tersebut tidak
masuk dalam status hutan kawasan.
3. Status hutan kawasan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh warga negara
Indonesia yakni hutan lindung, suaka dan hutan konservasi.
Hak Mengambil Hasil Hutan:
1. Orang atau perorangan warga negara Indonesia
a. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh
warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Perundang- undangan (Pasal
46 UU Pokok Agraria).
b. Masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Masyarakat adat
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat bersangkutan
g. Hak Memungut Hasil Hutan
Dalan Pasal 46 ayat (2) Undang Undang Pokok Agrariaa, menyebutkan bahwa :
“Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu”.
Merupakan perwujudan yang diangkat dari hak ulayat/ hak adat. Orangnya tidak
otomatis menguasai dan memiliki tanah tersebut, bisa menjadi hak atas tanah
dengan proses tertentu .
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 1999 Tentang pengusahaan dan
pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, menyebutkan bahwa :
“Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dilaksanakan berdasarkan asas
rasionalitas, optimalitas serta kelestarian hutan dan keseimbangan fungsi
ekosistem dengan memperhatikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat”.
Subyek Hukumnya Warga Negara Indonesia (WNI) dengan syarat:
a. Ijin dari kepala adat desa untuk yang kurang dari 2 ha
b. Ijin dari bupati/kantor kepala pertanahan untuk tanah 2-10 ha
c. Ijin dari gubernur untuk tanah yang lebih dari 10 ha-50 ha.
h. Hak – hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan undang – undang serta hak – hak yang
sifatnya sementara.
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena
hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu dimiliki oleh
orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sementara dapat dialihkan kapan saja si
pemilik berkehendak. Terhadap beberapa hak, hak atas tanah yang bersifat
sementara memiliki jangka waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak
Usaha bagi hasil. Kepemilikan terhadap hak atas tanah hanya bersifat sementara
saja.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai
hakhak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
1) Hak Gadai. 2) Hak Usaha Bagi Hasil. 3) Hak Menumpang. 4) Hak Menyewa atas Tanah Pertanian13. 1.2 Pengertian Orang Asing
Globalisasi perdagangan membuat kehadiran orang asing di Indonesia
merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Sekalipun demikian perangkat
hukum yang ada untuk mengatur kehadiran warga negara asing di Indonesia tidak
secara tegas mendefinisikan pengertian warga negara asing. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya
disebut UU Kewarganegaraan) tidak memberikan pengertian mengenai Warga
Negara Asing (WNA) secara gamblang. Dalam Pasal 7 UU Kewarganegaraan
hanya disebutkan bahwa, “setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia
diperlakukan sebagai orang asing.” Sementara itu pengertian WNI dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan yang menyebutkan bahwa,
“Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.”
13 Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 64.
Selanjutnya penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa, “Warga Negara
Indonesia asli adalah orang yang berdasarkan tempat kelahiran dan kehendak
orang itu hanya menerima satu kewarganegaraan yaitu Warga Negara Indonesia.”
Sedangkan mengenai pengertian orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara tidak dijelaskan. Hanya saja diisyaratkan
apabila ada orang asing yang akan menjadi Warga Negara Indonesia harus
memenuhi persyaratan yang berlaku dan disahkan oleh Undang- Undang.
Sehingga orang yang berada diluar kententuan dalam Pasal 2 dan penjelasannya
adalah bukan Warga Negara Indonesia atau orang asing.
Kriteria seseorang dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia ditentukan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yaitu : Warga Negara
Indonesia adalah :
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang dikui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; h. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
i. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; j. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; k. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; l. anak dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Selain yang telah ditentukan dalam Pasal 7 tersebut, yang juga dapat digolongkan
sebagai orang asing adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kehilangan
kewarganegaraannya. Dengan demikian, apabila tidak dipenuhi kreteria di atas,
maka orang tersebut dikaterogikan sebagai orang asing, yang hak dan
kewajibannya terutama dalam mendapatkan hak atas tanah diadakan perbedaan
yang tegas.