Post on 09-Mar-2019
13
BAB II
UKHUWAH ISLAMIAH
A. Pengertian Ukhuwah Islamiah
1. Secara Etimologi (kebahasaan)
Dari segi bahasa, kata ukhuwah berasal dari kata dasar akhun (اخ ).
Kata akhun (اخ ) ini dapat berarti saudara kandung/seketurunan atau dapat
juga berarti kawan. Bentuk jamaknya ada dua, yaitu ikhwat ( وة untuk (إخ
yang berarti saudara kandung dan ( وان untuk yang berarti kawan.1 Jadi (إخ
ukhuwah bisa diartikan “persaudaraan”.
Sedangkan ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai
“persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
memperhatikan. Makna asal kata ini memberi kesan bahwa persaudaraan
mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang bersaudara.
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya
persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna
tersebut kemudian berkembang dan pada akhirnya ukhuwah diartikan
sebagai setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik
persamaan keturunan, dari segi ibu bapak, atau keduanya maupun dari segi
persusuan secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup
persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi dan perasaan.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang
membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan anti teman akrab atau
sahabat.2
2. Secara Terminologi
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Ukhuwah Islamiah adalah
ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan
1 Louis Ma’luf al Yasui, Kamus al Munjid fi al Lughah wa al A’lam, (Beirut: Dar al
Masyriq), Cet. XXVIII, 1986, hlm. 5. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 486.
14
kelembutan, cinta dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama
diikat dengan akidah Islamiah, iman dan takwa. 3
Ukhuwah Islamiah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat
menyatukan hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka
berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di
umat Islam senantiasa terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu
bangunan umat yang kokoh.4
Terhadap ukhuwah (persaudaraan) ini, al Ghazali, menegaskan
bahwa persaudaraan itu harus didasari oleh rasa saling mencintai. Saling
mencintai karena Allah Swt dan persaudaraan dalam agama-Nya
merupakan pendekatan diri kepada Allah Swt.5
Adapun maksud Ukhuwah Islamiah menurut Dr. Quraish Shihab
dalam bukunya Wawasan Al-Quran diuraikan bahwa :
“Istilah Ukhuwah Islamiah perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim, sehingga dengan demikian kata lain “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat, kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai ajektifa, sehingga Ukhuwah Islamiah berarti persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”.6
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ukhuwah
Islamiah merupakan suatu ikatan jiwa yang kuat terhadap penciptanya dan
juga terhadap sesama manusia karena adanya suatu kesamaan akidah,
iman dan takwa. Adapun dari pendapat ketiga dapat disimpulkan bahwa
ukhuwah Islamiah merupakan suatu persaudaraan antar sesama orang
3 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 5.
4 Musthafa Al Qudhat, Mabda’ul Ukhuwah fil Islam, terj. Fathur Suhardi, Prinsip Ukhuwah dalam Islam, (Solo: Hazanah Ilmu, 1994), hlm. 14.
5 Al Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 152-154. 6 M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 486-487.
15
Islam, bukan karena keturunan, profesi, jabatan dan sebagainya melainkan
karena adanya persamaan akidah.
B. Dasar Ukhuwah Islamiah
Ukhuwah Islamiah merupakan salah satu ajaran Islam yang harus kita
laksanakan, sebagaimana ajaran yang lain, Ukhuwah Islamiah juga
mempunyai atau berdasarkan firman-firman Allah Swt dan juga sabda
Rasulullah Muhammad saw. Dalam al-Quran kata akh (saudara) dalam bentuk
tunggal ditemukan sebanyak 52 kali.7 Kata ini dapat berarti :
1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang
berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang
tertentu, misalnya :
خو كماتمعو كماتوأخو كماتنبو كماتهأم كمليع تمرح كملت )23: النساء (وبنات األخ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki…(Q. S. An Nisa’ : 23)8
2. Saudara yang dijalin dengan ikatan keluarga, seperti bunyi doa Nabi Musa
a.s. yang diabadikan dalam al-Quran :
)30-29: طه( هارون أخي .واجعل لي وزيرا من أهليDan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku” (Q. S. Thaahaa : 29-30). 9
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama, seperti dalam
firman-Nya :
)65: األعراف (وإلى عاد أخاهم هوداDan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka, Hud.” (Q. S. al-A’raf : 65) 10
7 Ibid, hlm. 487. 8 H. A. Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 23. 9 Ibid, hlm. 478. 10 Ibid, hlm. 232.
16
4. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham
ن هذا أخي له تسع وتسعون نعجة ولي نعجة واحدة فقال أكفلنيها إ )23: ص ( وعزني في الخطاب
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.(Q. S. Shaad : 23)11
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda saw :
انصر أخاك ه قال رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم عن أنس رضى اهللا عن 12)رواه البخاري (ظاملاأو مظلوما
Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya.
Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang
yang menganiaya, beliau menjawab
13تأخذ فوق يديه Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya.
5. Persaudaraan seagama
Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q. S, Al Hujurat ayat 10 :
)10: احلجرات ( إنما المؤمنون إخوةSesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. (Q. S. Al Hujurat : 10)14
C. Sejarah Ukhuwah Pada Zaman Nabi Muhammad Saw
11 Ibid, hlm. 735. 12 Imam Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kitab Al-
Ilmiah, 1992), hlm. 138. 13 Ibid. 14 Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 486.
17
Kehidupan umat yang dicita-citakan oleh Islam ialah satu umat yang
hidup dalam kerukunan, sejahtera damai dan kompak seperti sebatang tubuh.
Banyak anjuran yang termuat dalam sumber ajaran Islam yang menghendaki
agar umat Islam bersatu, bersandar dalam, kebersamaan, bermusyawarah yang
berasaskan persamaan, keadilan dan kebenaran, saling menasehati, saling
tolong-menolong dan sebagainya. Kehidupan seperti ini pernah terwujud
dalam kehidupan generasi pertama dalam masa dakwah Islamiah (zaman
Nabi).15
Pada waktu Nabi Muhammad saw mulai membangun masyarakat
muslim di Madinah, maka ukhuwah ini menjadi salah satu di antara catur
darmanya: 1) membangun masjid, 2) menggalang ukhuwah Islamiah, 3)
membuat piagam Madinah bersama golongan Yahudi Nasrani, 4) menyusun
garda Nasional/pasukan keamanan.16 Puncak hubungan sosial ini dapat
digambarkan dalam masyarakat Islam yang pertama yaitu persaudaraan kaum
Anshor dan Muhajirin yang dibangun atas dasar cinta yaitu ikatan hidup yang
mengikat masyarakat bagaikan satu bangunan yang kokoh.
Persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Anshar ini bukan hanya
sekedar kolektif, tetapi juga secara individual (semacam saudara angkat)
sehingga diantara mereka mengira dapat saling mewarisi. Disamping antara
mereka terbentuk solidaritas sosial yang selama ini belum pernah mereka
rasakan.17 Mereka telah mengaplikasikan nilai-nilai yang tinggi itu (ukhuwah)
sehingga mereka dapat mencapai menara gading kegemilangan dan
kesempurnaan. Hal ini tidak lain karena mereka selalu berpegang teguh pada
tali keilmuan yang Allah ikatkan di hati mereka. Selain itu mereka juga
menentang siswa yang tidak selaras dengan nilai-nilai keimanan mereka.
Namun apa yang terlihat dalam lintasan sejarah umat Islam setelah Nabi saw
wafat, ialah suatu fenomena yang menggambarkan wajah umat Islam yang
terpcah belah dan bermusuhan satu sama lain.
15 Musthafa al-Qudhaf, Op. Cit., hlm. 24. 16 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis),
(Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia, 2002), hlm. 98. 17 Ibid.
18
Nabi wafat dengan hanya meninggalkan petunjuk bagaimana
seharusnya kaum muslimin hidup dalam bermasyarakat dan bernegara secara
umum. Tidak ada penjelasan terperinci yang berupa wasiat bagaimana
masyarakat dan negara dikelola setelah beliau wafat, ini merupakan masalah
besar umat Islam. Karena tidak ada petunjuk terperinci inliah maka ketika
Nabi wafat, belum lagi jenazahnya disemayamkan di persada bumi, kaum
muslimin sudah terpecah dalam dua ide politik: demokrasi dan hereditary.18
Pada paruhan kedua masa pemerintahan Ustman bin Affan yang
berusia dua belas tahun, gejala perpecahan mulai muncul, lahir kelompok
oposan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang beliau ambil. Tanpa
memperhatikan maksud dan tujuan dari kebijaksanaan khalifah, mereka
menolak pengangkatan pejabat-pejabat negara yang berasal dari satu klan dan
khalifah. Mereka menuduh Utsman menganut nepotismen dan menggunakan
uang negara untuk mendapat dukungan politik. Ustman tewas diujung pedang
kelompok penentang.
Kewafatan ustman melahirkan tiga kelompok kaum muslimin yang
berdiri saling berhadapan. Pertama mendukung Ali bin Abi Thalib. Kedua,
mendukung muawiyah Ibn Abu Sufyan. Ketiga namakanlah kelompok Jamal
terdiri dari penduduk Madinah di bawah pimpinan Aisyah, Thalhah dan Az-
Zubeir. Pertentangan Ali dan Mu’awiyah mengulang kembali sejarah lama
yakni perang antara Byzantium dengan Persia di masa pra Islam.
Tahkim Shuffin yang merupakan hasil perundingan di Adruh selama
enam bulan antara pihak Ali dan pihak Mu’awiyah melahirkan perpecahan di
kubu Ali yang berakibat lahir pula kelompok politik baru. Denan terjadinya
perpecahan di kubu Ali, maka muncullah ide politik yakni Syiah, Khawarij
dan Dinasti (pendukung Mu’awiyah) ketiga kelompok ini antara satu sama
lain slaing bermusuhan dan berbunuh maka sejarah pun mencatat begitu
banyak darah kaum muslim tertumpah membahasi bumi, hanya karena
18 Nouruzzaman Ash-Shidqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 166.
19
perbedaan pandangan politik. Satu tragedy yang berakibat panjang, sampai
sekarang. Ukhuwah Islamiah makin dilupakan.
Dinasti Umaiyah yang berkedudukan di Damaskus bertahan hidup
hanya satu abad. Dia diganti oleh dinasti Abasiyah yang berkedudukan di
Baghdad. Dinasti Abasiyah walaupun pada segi perkembangan budaya
memperlihatkan prestasi cemerelang sehingga mampu menempatkan diri
sebagai pemegang obor penerang dunia, namun mereka tetap tidak mampu
melahirkan ukhuwah.19
Dengan terjadinya keberagaman dalam ide politik dan perbedaan-
perbedaan dalam apa yang dianggap sebagai kepentingan nasional, maka
benturan-benturan yang terjadi adalah hal yang sukar terelakan. Ini memang
suatu hal yang tragis dan sangat menyedihkan, namun adalah suatu kenyataan.
Sekarang timbul pertanyaan apakah terhadap hal ini belum ada pemikiran atau
upaya-upaya menemukan jalan keluarnya. Jawabannya, sudah. Namun hasil
yang menggembirakan belum menampakkan diri.
Untuk melahirkan kerukunan sesama muslim demi tegaknya persatuan,
ada enam langkah atau upaya yang layak dikerjakan. 1) menghilangkan sikap
fanatisme golongan, 2) menghindari sengketa masalah cabang agama
(furu’iyah), 3) mengutamakan persatuan, 4) menumbuhkan rasa kebersamaan,
5) mencegah lahirnya berbagai macam fatwa sebagai hasil ijtihad, maka
sebaiknya dilakukan secara kolektif, dan 6) pengertian tentang umat Islam,
harus mencakup semua orang yang mengaku dirinya muslim tanpa
memperhatikan sikap dan pandangan politiknya.20
D. Tujuan Ukhuwah Islamiah
Agama Islam sebagai Dienullah yang hak bagi seluruh manusia. Nilai-
nilai ajarannya meliputi dan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia
yang sangat kompleks. Kesempurnaan ajarannya Islam mampu memberikan
respon positif terhadap seluruh persoalan dalam aspek kehidupan manusia
dan masyarakat.
19 Ibid. 20 Ibid. hal. 172-173.
20
Pada hakikatnya, setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat
berkeinginan untuk hidup dengan damai, aman, tenteram, penuh kebahagiaan
dan sejahtera. Kondisi seperti ini, sebagaimana dicita-citakan Islam,
melukiskan gambaran masyarakat ideal yang diibaratkan organ tubuh
manusia. Banyak anjuran yang termuat dalam al-Quran menghendaki agar
manusia bersatu dalam kebersamaan dan permusyawaratan yang berazaskan
kebersamaan, keadilan dan kebenaran, saling tolong-menolong, saling
menasihati dan sebagainya.
Salah satu di antara landasan pokok Islam, di samping azas persamaan
dan keadilan ialah azas persaudaraan yang dalam istilah Islam biasa disebut
ukhuwah. Ukhuwah/persaudaraan itu dapat didukung oleh bermacam-macam
tali dan ikatan. Adakalanya karena pertalian darah dan keturunan (biologis,
karena hubungan perkawinan, ikatan keluarga, budaya adat dan lain-lain).
Berbeda dengan persaudaraan Islam, tali yang menghubungkannya
yakni akidah, persamaan kepercayaan yang diperkuat pula oleh ruh dan
semangat ketaatan yang sama kepada pencipta alam semesta ini.
Adapun salah satu tampilan yang menjadi ciri khas muslim sejati yakni
cintanya kepada sesama saudara seiman. Sebuah cinta yang tidak ternoda oleh
kecenderungan-kecenderungan duniawi atau hasrat-hasrat yang tersembunyi.
Ini merupakan cinta persaudaraan sejati yang kemurniannya diturunkan dari
cahaya petunjuk Islam. Pengaruhnya terhadap perilaku manusia sangat unik
dalam sejarah hubungan manusia. Ikatan yang menghubungkan seorang
muslim dengan saudaranya, tanpa memandang ras, warna kulit atau bahasa
merupakan ikatan iman kepada Allah.
Persaudaraan karena iman merupakan ikatan yang kuat antara hati dan
pikiran. Tidak mengherankan perasaan persaudaraan/ukhuwah ini akan
melahirkan perasaan-perasaan mulia dalam jiwa seorang muslim dan
membentuk sikap positif serta menjauhkan sikap-sikap negatif.
21
Adapun akhlak terhadap sesama muslim yang diajarkan oleh syariat
Islam secara garis besarnya menurut K.H. Abdullah Salim sebagai berikut : 21
1. Menghubungkan tali persaudaraan 2. Saling tolong-menolong 3. Membina persatuan 4. Waspada dan menjaga keselamatan bersama 5. Berlomba mencapai kebaikan 6. Bersikap adil 7. Tidak boleh mencela dan menghina 8. Tidak boleh menuduh dengan tuduhan fasiq atau kafir 9. Tidak boleh bermarahan 10. Memenuhi janji 11. Saling memberi salam 12. Menjawab bersin 13. Melayat mereka yang sakit 14. Menyelenggarakan pemakaman jenazah 15. Membebaskan diri dari suatu sumpah 16. Tidak bersikap iri dan dengki 17. Melindungi keselamatan jiwa dan harta 18. Tidak boleh bersikap sombong 19. Bersifat pemaaf
Sifat-sifat dan akhlak yang harus dipelihara dan yang harus
disingkirkan di atas dimaksudkan untuk membina persaudaraan dan
persahabatan juga untuk memelihara persatuan ukhuwah Islamiah.
E. Macam-macam Ukhuwah Islamiah
Dilihat dari segi bentuknya, bahasa tentang ukhuwah Islamiah dalam
al-Quran muncul dalam dua bentuk, yaitu jamak dan tunggal. Bentuk tunggal
dengan memakai kata akh (saudara laki-laki) dan kata ukht (saudara
perempuan). Adapun bentuk jamaknya memakai kata ikhwan, akhwat dan
ikhwat.
Ukhuwah pada mulanya berarti persamaan dan keserasian dalam
banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan
persaudaraan dan persamaan dalam sifat-sifat mengakibatkan persaudaraan.22
21 Abdullah Salim, Akhlak Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta: Media
Dakwah, 1994), hlm. 123-153. 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Mizan: Bandung, 1995), hlm. 358.
22
Contoh beberapa ayat di depan yang mengisyaratkan bentuk atau jenis
“persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan
bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam
persaudaraan.23 Adapun empat macam ukhuwah tersebut adalah :
1. Ukhuwah Ubudiyah
Ukhuwah Ubudiyah atau saudara kesemakhlukan dan
kesetundukan kepada Allah yaitu bahwa seluruh makhluk adalah
bersaudara dalam arti memiliki persamaan.24
2. Ukhuwah Insaniyah
Ukhuwah Insaniyah atau saudara sekemanusiaan adalah dalam arti
seluruh manusia adalah bersaudara. Karena mereka semua bersumber dari
ayah ibu yang satu yaitu Adam dan Hawa.25 Hal ini berarti bahwa manusia
itu diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Q.S. Al
Hujurat : 13).26
Demikian al-Quran memandang semua manusia mengisyaratkan
adanya Ukhuwah Insaniyah sebab dalam persaudaraan ini juga tidak
memandang perbedaan agama, bahkan persaudaraan ini merupakan
persaudaraan dalam arti yang umum sehingga tidak dibenarkan adanya
saling menyakiti, mencela atau perbuatan buruk lainnya.
3. Ukhuwah Wathaniyah Wa Nasab
Ukhuwah Wathaniyah Wa Nasab yaitu persaudaraan dalam
kebangsaan dan keturunan. Ayat-ayat macam ini banyak dan hampir
mendominasi semua ukhuwah. Sebagaimana dikemukakan oleh Quraish
Shihab tentang macam-macam makna akh (saudara) dalam al-Quran yaitu
dapat berarti :
a. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti ayat yang berbicara tentang warisan atau keharaman menikahi orang-orang tertentu.
b. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga
23 TIM Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Sukorejo Situbondo, Fiqh
Rakyat : Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm, 14. 24 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 358. 25 Ibid. 26 R. H. A. Soenarjo, Al-Quran… Op. Cit., hlm. 847.
23
c. Saudara dalam arti sebangsa walaupun tidak seagama. d. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham. e. Saudara seagama.27
Sebenarnya jika dilihat lebih jauh saudara seketurunan dan
saudara sebangsa ini merupakan pengkhususan dari persaudaraan
kemanusiaan. Lingkup persaudaraan ini dibatasi oleh suatu wilayah
tertentu. Baik itu berupa keturunan, masyarakat ataupun oleh suatu bangsa
atau negara.
4. Ukhuwah fi Din al Islam
Ukhuwah fi Din al Islam adalah persaudaraan antar sesama
muslim. Lebih tegasnya bahwa antar sesama muslim menurut ajaran Islam
adalah saudara. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurat ayat 10 :
ا الممونإنمحرت لكملع قوا اللهاتو كميوأخ نيوا بلحة فأصوون إخمنؤ )10:احلجرات(
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.28
Ukhuwah fi Din al Islam mempunyai kedudukan yang luhur dan
derajat yang tinggi dan tidak dapat diungguli dan disamai oleh ikatan
apapun.29 Ukhuwah ini lebih kokoh dibandingkan dengan ukhuwah yang
berdasar keturunan, karena ukhuwah yang berdasarkan keturunan akan
terputus dengan perbedaan agama, sedangkan ukhuwah berdasarkan
akidah tidak akan putus engan bedanya nasab.30 Konsep ukhuwah fi Din al
Islam merupakan suatu realitas dan bukti nyata adanya persaudaraan yang
hakiki, karena semakin banyak persamaan maka semakin kokoh pula
persaudaraan, persamaan rasa dan cita. Hal ini merupakan faktor dominan
yang mengawali persaudaraan yang hakiki yaitu persaudaraan antar
27 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 487-488. 28 R. H. A. Soenarjo, Al-Quran… Op. Cit., hlm. 846. 29 Nashir Sulaiman al-Umar, Tafsir Surat al Hujurat : Manhaj Pembentukan Masyarakat
Berakhlak Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994), hlm. 249. 30 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh al Ukhuwah fi al Islam, Terj. Hawn Murtahdo, Merajut
Benang Ukhuwah Islamiah, (Solo: Era Intermedia, 2000), hlm. 14.
24
sesama muslim. Dan iman sebagai ikatannya. Implikasi lebih lanjut adalah
dalam solidaritas sosialnya bukan hanya konsep take and give saja yang
bicara tetapi sampai pada taraf merasakan derita saudaranya.31
Kaum muslimin tidak dapat mencapai tujuan-tujuannya, yaitu
mengaplikasikan syariat Allah ditengah-tengah manusia kecuali jika
mereka bekerja sama dalam amalnya. Persaudaran disini bukan hanya
berarti kerja sama, saling mengenal atau saling dekat, karena persaudaraan
dalam Islam lebih kuat dari segala pengertian saling mengenal, saling
mengerti, saling membantu dan solidaritas. Makna-makna ini hanya dapat
diperkuat dan ditingkatkan dengan persaudaraan dalam Islam mendorong
tercapainya keharmonisan dan menghilangkan persaingan dan permusuhan
pada diri manusia dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Karena,
persaudaraan ini mengharuskan adanya rasa cinta dan kebencian karena
Allah, yaitu cinta kepada orang yang memegang kebenaran, kesabaran dan
ketakwaan serta membenci orang yang memegang kebatilan, mengikuti
hawa nafsu serta berani melanggar keharaman yang telah digariskan
Allah.32
Seorang mukmin haruslah menyadari dan memahami makna
tentang persaudaraan ini, sehingga mengakui orang mukmin lainnya
sebagai saudaranya. Dari sini akan timbul suatu kerja sama dan gotong
royong sehingga terciptalah suatu masyarakat muslim yang serasi dan
harmonis.
Akhirnya terbentuklah suatu masyarakat yang ideal, yaitu sosok
masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas sosial yang tinggi, rasa
persaudaraan yang solid antar manusia. Sebagaimana dalam sejarah
manusia. Masyarakat seperti ini pernah eksis dalam masyarakat madani
yang dibina Rasul saw. Sesama warganya terjalin cinta, semangat gotong
royong dan kebersamaan yang tinggi.
31 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 491. 32 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas : Tanggung Jawab Muslim dalam
Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 140.
25
F. Faktor-faktor Penunjang Persaudaraan
Ukhuwah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, merupakan suatu
kondisi saling berhubungan dan saling keterikatan dengan dasar saling
mencintai diantara dua orang, atau dalam hal ini antara orang-orang mukmin
karena keimanan mereka. Maka diantara mereka harus saling mencintai dan
seorang mukmin hendaknya memperlakukan mukmin lain selayaknya saudara
sendiri dan melaksanakan hak-hak yang ada di antara mereka.
Ukhuwah (persaudaraan) tidak lahir begitu saja. Lahirnya ukhuwah
disebabkan adanya suatu faktor penunjang, yaitu faktor persamaan. Misalnya,
persamaan keturunan, suku, bangsa, ideologi, keyakinan (agama) dan
sebagainya. Oleh karena itu, semakin banyak faktor persamaan yang ada maka
akan semakin memperkokoh ukhuwah tersebut.
Seseorang yang lebih terikat dalam ikatan ukhuwah itu akan
mempunyai rasa cinta saudaranya dan ia akan merasakan derita saudaranya.
Dia juga akan dengan suka dan rela mengulurkan tangannya untuk membantu
saudaranya meskipun dirinya sendiri dalam keadaan serba kekurangan.33
Dalam hal ini, faktor penunjang lahirnya ukhuwah adalah persamaan
iman (akidah). Persamaan iman antar mukmin itu menjadikan mereka
bersaudara. Di antara mereka terdapat tali Allah (hablullah) yang mengikat
erat. Mereka telah disadarkan agar supaya jangan merusak persaudaraan itu
dengan percerai-beraian karena alasan apapun.34 Keimanan merupakan unsur
pengikat dalam rangka upaya menumbuhkan dan membina ukhuwah tersebut.
Ikatan akidah itu lebih kuat daripada ikatan darah dan keturunan. Ikatan ini
merupakan pondasi yang kokoh bagi suatu bangunan yang dinamakan
Ukhuwah Islamiah.35 Bagi setiap mukmin, ukhuwah merupakan suatu
konsekuensi logis daripada keimanan mereka. Iman dan ukhuwah merupakan
dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Seorang mukmin seharusnya menyadari sepenuh hati bahwa muslim
lain merupakan saudaranya sendiri. Adapun mereka berbeda sebagai bangsa,
33 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 34 Ali Yafie, Op. Cit., hlm. 195. 35 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1993), hlm, 231.
26
warna kulit, bahasa dan adat istiadat, itu tidak akan menghilangkan sifatnya
sebagai saudara. Persaudaraan Islam didasarkan pada tali agama dan
kesamaan iman serta penyerahan diri kepada Allah Swt. Persatuan umat Islam
diikat dengan semangat tolong menolong saling menghormati persamaan hak
dan kewajiban, cinta kasih dan sebagainya. Ukhuwah Islamiah tidak
memandang perbedaan bangsa dan keturunan, warna kulit, pangkat derajat
atau kekayaan.36 Mereka harus saling menjaga hubungan diantara mereka agar
terbina ukhuwah yang harmonis. Mereka harus mencintai saudaranya yang
seiman itu sebagaimana halnya dia mencintai dirinya sendiri. Keimanan itu
mampu menumbuhkan cinta kasih yang mendalam, yang kemudian
diwujudkan dalam beberapa bentuk sikap dan perilaku luhur dan positif yang
sarat dengan akhlakul karimah dan solidaritas sosial yang mendalam.37
Adanya sikap saling mencintai akan tercipta suatu tatanan kehidupan
sosial yang harmonis dan dinamis di kalangan umat mukmin khususnya dan
dikalangan masyarakat umumnya.
G. Petunjuk Al-Quran untuk Memantapkan Ukhuwah
Guna memantapkan ukhuwah tersebut pertama kali al-Quran
menggarisbawahi bahwa perbedaan merupakan hukum yang berlaku dalam
kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Illahi. Juga
demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk
dipentas bumi. Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya
diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak
bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena
hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Seorang muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan
pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak
mungkin berada diluar kehendak Illahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat
memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu
36 Moedjono Sosrodirdjo, Ungkapan dan Istilah Agama Islam, (Jakarta: Pradnya Paramita,
t.t.), hlm. 134 37 Sahal Mahfudh, Op. Cit., hlm. 231.
27
tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati” atau memaksa orang
lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan mereka.
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt
memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang
diperintahkan. Adapun petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan
persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam, sebagai
berikut:38
1. Untuk memantapkan persaudaraan dalam arti umum, Islam
memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai
khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara,
membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan
tujuan penciptaannya. Karena itu Nabi Muhammad saw. juga melarang
memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang
sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi
Muhammad saw juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan
segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal istilah “Penaklukan alam”, karena secara tegas al-Quran
menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah.
Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia
tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas
penundukan Illahi.39
Selain tugas khalifah manusia harus membina peradaban dan
kebudayaan diatas bumi sesuai dengan petunjuk Allah, atau dengan istilah
mu’amalah ma’allah dan mu’amalah ma’al khalqi. Sesungguhnya tugas
khalifah manusia adalah juga merupakan tugas ibadah dalam arti luas.
karena penunaian khalifah itu merupakan kebaktian juga kepada Allah.40
Pengangkatan manusia sebagai khalifah Allah (khalifatullah)
memang dikehendaki-Nya. Untuk memahami kehendak-Nya, diperlukan
telaah, fakta, faktor, fungsi dan peran. Kenyataannya, peran khalifah itu
38 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 491-492. 39 Ibid, hlm. 492-493. 40 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1973), hlm. 144-145.
28
memerlukan syarat-syarat tertentu yaitu seluruh nama-nama benda. Yang
karena sistem penamaan itu tenaga (malaikat) menjadi sujud (sistematik)
kecuali iblis yang enggan sujud karena ia tertutup oleh kesombongan diri
ke-akuan-nya. Dalam hal ini dapat dilihat kegagalan iblis membedakan
fakta, faktor, fungsi dan peran. Iblis merasa superior dari asal usulnya,
karena ia berasal dari api sedangkan Adam berasal dari tanah. Padahal,
yang Allah wajibkan untuk disujudi adalah Adam yang memerankan
peran “ketuhanan” yaitu yang agendanya, sistem naitnya, sepenuhnya
tumbuh dengan iradahnya. Jadi bukanlah Adam himself melainkan Adam
yang bismillah, yang illah, billah, yang ikhlas.41
Sebagai penguasa di bumi, manusia berkewajiban membudayakan
alam ini guna menyiapkan kehidupan yang bahagia. Tugas dan kewajiban
itu merupakan ujian Tuhan pada manusia. Siapa diantaranya yang paling
baik menunaikan amanah itu. Dalam pelaksanaan kewajiban dan amanah,
semua adalah sama berdasar bidang masing-masing.
Semua manusia diciptakan dari satu asal yang sama. Tidak ada
kelebihan yang satu dari yang lainnya, kecuali yang paling baik dalam
menunaikan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di bumi, yang lebih banyak
manfaatnya bagi kemanusiaan, dan yang paling takwa kepada Allah Swt.
Perbedaan ras, dan bangsa hanya sebagai pertanda dan identitas dalam
pergaulan Internasional.
Demikian Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia.
Atas dasar prinsip persamaan itu maka setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Islam tidak memberikan hak-hak istimewa bagi
seseorang atau golongan lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun
dalam bidang politik sosial dan ekonomi. Setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam kehidupan masyarakat dam masyarakat mempunyai
kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Karenanya
41 Machendrawaty, M. Ag., & Agus Ahmad Safei, M. Ag., Pengembangan Masyarakat
Islam Dari Ideologi Strategi Sampai Tradisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 150.
29
Islam menentang setiap bentuk diskriminasi karena keturunan, maupun
karena warna kulit, kesukuan, kebangsaan dan kekayaan.42
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam
memperkenalkan ajaran
)6: الكافرون ( لكم دينكم ولي دينUntukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku43
Al-Quran juga mengajurkan agar mencari titik singgung dan titik
temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi
sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing
mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.44
Dalam bahasa al-Quran, titik persamaan itu adalah kalimah sawa’.
Diantara titik persamaan tersebut adalah penciptaan sesuatu kehidupan
bermoral yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam segala
aspek kehidupan manusia. Sesuai blue print Tuhan yang diberikan kepada
manusia melalui teks-Nya yang disampaikan oleh Isa as dan Muhammad
saw.45
Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan
umatnya untuk menyampaikan kepada agama lain, setelah kalimat sawa’
(titik temu) tidak dicapai.
Jalinan persaudaraan antara seorang muslim dan non muslim sama
sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak
kaum muslim. Dalam monoteisme, kekuatan supranatural itu dipandang
sebagai Tuhan pencipta alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Ini
mengandung arti bahwa manusia seluruhnya merupakan makhluk Tuhan.
Manusia sebenarnya bersaudara. Manusia seluruhnya adalah bersaudara,
dalam arti bahwa sesungguhnya mempunyai keyakinan agama yang
42 Nasruddin Razak, Op. Cit., hlm. 27-28. 43 Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 1112. 44 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 493. 45 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 117.
30
berlainan, mereka tetap bersaudara dipandang dari sudut asal, mereka
sama-sama makhluk Tuhan.46
Islam bersikap toleran terhadap agama-agama monoteisme lain,
terutama agama Yahudi dan Kristen. Dengan kedua agama ini Islam
mempunyai hubungan yang erat. Islam mengakui bahwa kedua agama ini
berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran dasar yang
disampaikan kepada Yesus adalah sama dengan ajaran yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad. Ajaran dasar yang dimaksud ialah Islam, yaitu
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Bukti bahwa Islam bersifat toleran terhadap agama lain yaitu
diperbolehkannya pria Islam mengikat perkawinan dengan wanita Yahudi
dan Kristen dengan tidak disyaratkan harusnya wanita yang bersangkutan
mengubah agamanya. Islam memperbolehkan umatnya mengadakan
bukan hanya hubungan persaudaraan, malahan hubungan yang lebih erat
lagi, yaitu hubungan perkawinan.47
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada
agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama yang lain.
Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam
agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas
dari jalan yang salah dan sesat. Terserahlah kepada manusia memilih jalan
yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan yang akan membawa
kepada keselamatan dan mana jalan yang salah yang akan membawa pada
kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya.
Manusia telah dewasa dan mempunyai akal, tidak perlu dipaksa, selama
kepadanya telah dijelaskan perbedaan antara jalan salah dan jalan benar.
Kalau ia memilih jalan salah ia harus berani menanggung resikonya yaitu
kesengsaraan kalau ia takut pada kesengsaraan, harusla ia memilih jalan
benar.
46 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 493-494. 47 Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 272-273.
31
Dalam hubungan ini ayat 29 surat al-Kahfi mengatakan :
kebenaran telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya, percayalah dan
siapa yang tak mau janganlah ia percaya. Ayat ini memberikan
kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad dari tidak percaya kepada-Nya. Manusia tidak dipaksa untuk
percaya kepada-Nya.48
3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama muslim. Al-Quran
pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap
lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan antar mereka.
Al-Quran menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan Islah (perbaikan hubungan) jika
seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang (kelompok) kaum
muslim.
Manusia marah terhadap manusia lain adalah wajar, tetapi
kemarahan yang berlarut-larut merupakan pelanggaran terhadap ajaran
agama. Kalau dikatakan bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa,
maka berarti setiap manusia pasti mempunyai kesalahan dan kelalaian.
Seorang yang marah terhadap kesalahan orang lain, kecuali orang lain itu
secara berulang-ulang dan sengaja membuat kesalahan, merupakan orang
yang sombong, seakan-akan dirinya tidak pernah salah. Oleh karena itu,
Islam mengajarkan apabila ada seorang muslim bermarahan kepada
sesamanya, tidak boleh lebih tiga hari.49
Al-Quran juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari
prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta
menggunjing, yang diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri
yang telah meninggal dunia.
Purbasangka merupakan satu sikap jiwa yang senantiasa diliputi
oleh sakwasangka atau curiga. Akibat purbasangka itu dapat meruntuhkan
suatu bangunan yang telah lama dibina dengan susah payah. Umpamanya,
48 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 494-495. 49 Abdullah Salim, Akhlaq : Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta:
Media Dakwah), hlm. 138-139.
32
jika seorang suami atau seorang isteri ataupun kedua-duanya dihinggapi
oleh penyakit tersebut, maka hilanglah kerukunan dan ketenangan dalam
rumah tangga. Akhirnya, timbullah disharmoni, kericuhan dan
pertengkaran, dan kemudian terjadi perceraian dengan segala akibat-
akibatnya yang menghancurkan.
Demikian halnya dalam hubungan pribadi dengan pribadi. Dalam
kehidupan bertetangga, bermasyarakat dan lain-lain. Selama penyakit yang
demikian masih terlingkung dalam hubungan pribadi dengan pribadi,
maka akibatnya hanyalah dirasakan oleh orang-orang yang bersangkutan
saja, atau paling tinggi oleh keluarga-keluarga yang terdekat, seumpama
istri, anak dan lain-lain. Tapi jika purbasangka itu hinggap ke lingkungan
yang lebih luas, maka ia akan menjelma menjadi semacam penyakit
kanker yang akan merusak keseluruhan tubuh masyarakat.
Akibat purbasangka itu dapat menghilangkan hak-hak manusia,
mengenyampingkan perasaan kemanusiaan, memperkosa keadilan,
meruntuhkan kebenaran, menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan.50
Menarik untuk diketengahkan bahwa al-Quran dan hadits Nabi
saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwah), tetapi yang
ditempuhnya adalah memberikan contoh praktis. Pada umumnya contoh-
contoh tersebut berkaitan dengan sikap kewajiban. Misalnya melarang
mengolok-olok orang lain.
Semua itu wajar karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap
lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang
berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Inipun
dimengerti bukan saja karena at takhliyah (menyingkirkan yang jelek)
harus di dahulukan daripada at tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan),
melainkan juga karena melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan
lawannya, demikian pula sebaliknya.
50 M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup 3, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 188-189.
33
Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw. yang
berbicara tentang interaksi antar manusia pada akhirnya bertujuan untuk
memantapkan ukhuwah.
H. Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah
Persamaan dalam bidang akidah dan toleransi dalam bidang furu’
apabila dipahami secara benar, pasti akan dapat mengantarkan kepada
pemantapan ukhuwah Islamiah, baik toleransi tersebut didasari oleh :51
a. Konsep tanawwu’ al ibadah (keragaman cara beribadah)
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi
Muhammad saw. dalam bidang pengalaman agama, yang mengantakankan
pada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama
semuanya itu merujuk kepada Rasulullah saw. Anda tidak perlu
meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini,
agama tidak menggunakan pertanyaan, berapa hasil 5 + 5 ?’, melainkan
yang dipertanyakan adalah jumlah sepuluh itu merupakan hasil
penambahan berapa tambah berapa ?”
b. Konsep al mukhti’I fi al-ijtihad lahu ajr (yang salah dalam berijtihad pun
(menetapkan hukum) mendapatkan ganjaran).
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa. Bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah
Swt., walaupun penentuan yang benar dan salah bukan wewenang
makhluk, tetapi wewenang Allah Swt yang perlu digaris bawahi, bahwa
yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti
haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah
melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum)
setelah mempelajari dengan seksama dalil-dalil keagamaan (al-Quran dan
sunnah).
51 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 359.
34
c. Konsep al hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum
menetapkan suatu hukum sebelum ijtihad dilakukan oleh seorang
mujtahid).
Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah
bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda.
Sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan oleh tuan rumah
mempersilahkan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia
di atas meja dan mengisi gelasnya penuh atau setengah. Sesuai dengan
selera dan kehendak pengisi. Jangan mempermasalahkan seseorang yang
mengisi gelasnya dengan kopi, dan andapun tidak wajar dipersalahkan jika
memilih setengan air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
Menurut al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. tidak
selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah
Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu
sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-
Quran dan sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor antara lain
lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan tentu saja tingkat kecerdasan dan
pemahaman masing-masing mujtahid.
Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati
dengan menyebutnya, “pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru dan
pendapat anda menurut hemat kami keliru tetapi mungkin saja benar.”
Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa
sebagai manusia mereka mempunyai keterbatasan dan dengan demikian,
tisdak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan
bahwa interpretasinyalah yang paling benar.52
52 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran…Op. Cit., hlm. 497-498.