Post on 03-Mar-2019
BIOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN POTENSI PARASITOID
TELUR Trissolcus sp. PADA Chrysocoris javanus Westw., HAMA
TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)
YULIUS DIKA CIPTADI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRAK
YULIUS DIKA CIPTADI. Biologi, Siklus Hidup, dan Potensi Parasitoid Telur
Trissolcus sp. Pada Chrysocoris javanus Westw., Hama Tanaman Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.). Dibimbing oleh DHAMAYANTI ADIDHARMA.
Beberapa tahun terakhir, jarak pagar (Jatropha curcas L.) mulai diusahakan
dalam skala luas dan ditanam secara monokultur karena potensinya sebagai
sumber bahan bakar nabati. Cara budi daya seperti ini dapat menyebabkan
perubahan keadaan agroekosistem yaitu pengurangan keanekaragaman hayati
sehingga menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan hama. Salah
satunya adalah hama Chrysocoris javanus. Hama ini menyerang buah sehingga
menyebabkan buah rusak dan tidak dapat dipanen. Musuh alami seperti parasitoid
telah ditemukan menyerang telur C. javanus. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui biologi, siklus hidup dan potensi Trissolcus sp. sebagai
parasitoid telur pada inang C. javanus. Telur C. javanus direkatkan pada pias
kertas dengan menggunakan gom arab kemudian dimasukkan ke dalam tabung
gelas yang telah berisi parasitoid betina. Penelitian tentang bentuk, ukuran, warna,
dan ciri-ciri lain setiap stadium pradewasa dilakukan dengan membedah telur
setiap 24 jam kecuali stadia larva setiap 12 jam dan diamati menggunakan
mikroskop stereo. Penelitian tentang biologi, siklus hidup dan potensi Trissolcus
sp. sebagai parasitoid telur pada inang C. javanus dilakukan tanpa pembedahan
telur dan pengamatan dilakukan terhadap keperidian, produksi telur harian,
potensi produksi telur, lama hidup parasitoid, lama perkembangan, kemunculan
imago, nisbah kelamin dan lama masa reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa telur parasitoid Trissolcus sp. bertipe stalked, larva instar pertama bertipe
teleaform, larva instar ketiga bertipe hymenopteriform. Lama stadium telur
Trissolcus sp. satu hari, larva empat hari, prapupa satu hari, pupa lima hari, lama
hidup imago jantan 23,70 ± 9,49 hari dan betina 17,40 ± 7,38 hari. Keperidian
95,70 ± 18,34 butir, produksi telur harian 15,76 ± 2,63 butir, potensi produksi
telur 129,30 ± 25,96 butir, lama masa reproduksi 6,10 ± 0,88 hari, nisbah kelamin
1 : 3,83. Tingkat parasitisasi 19,14 ± 3,67 % dan keberhasilan hidup mencapai
86,71 ± 3,77 %. Parasitoid telur Trissolcus sp. berpotensi dikembangkan sebagai
parasitoid telur untuk mengendalikan kepik jarak pagar C. javanus.
Kata kunci: Jatropha curcas L, Chrysocoris javanus Westw, Trissolcus sp.
BIOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN POTENSI PARASITOID
TELUR Trissolcus sp. PADA Chrysocoris javanus Westw., HAMA
TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)
YULIUS DIKA CIPTADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Biologi, Siklus Hidup, dan Potensi Parasitoid Telur Trissolcus sp.
Pada Chrysocoris javanus Westw., Hama Tanaman Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.)
Nama : Yulius Dika Ciptadi
NIM : A34070044
Disetujui,
Pembimbing
Dhamayanti Adidharma, Ph.D
NIP. 19481006 197903 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc
NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 16 Maret 1989. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Stefanus Padmono
Ciptadi dan Henrica Lastyandari. Tahun 2007 penulis menyelesaikan
pendidikannya di SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan dan pada tahun yang
sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Penulis mengambil mayor Proteksi Tanaman dan Minor
Agronomi dan Hortikultura.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan
Mahasiswa Proteksi Tanaman (Himasita) tahun 2009/2010 sebagai staf divisi
PSDM. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum kuliah agama Katolik sejak
tahun 2008 hingga sekarang.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang
berjudul Biologi, Siklus Hidup dan Potensi Parasitoid Telur Trissolcus sp.
Pada Chrysocoris javanus Westw., Hama Tanaman Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.).
Penulis sangat menyadari bahwa tidak dapat berbuat maksimal dalam
menyelesaikan tugas akhir ini tanpa bimbingan, dukungan, dan bantuan dari
berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dhamayanti Adidharma, Ph.D sebagai pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tugas akhir
2. Dr. Ir. Gede Suastika, MSc. selaku dosen penguji tamu atas
masukkannya dalam skripsi ini
3. Dr. Ir. Nina Maryana, Msi. selaku moderator seminar dan atas
bantuannya dalam identifikasi parasitoid
4. Keluarga di Cianjur yang telah memberikan kasih sayang, perhatian,
nasehat dan doa
5. Anggota laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator: mbak Adha,
mbak Nita, kak Putri, kak Ai, kak Eldy, Gama
6. Teman-teman seperjuangan HPT’ers 44: eter, latip, harwan, taher, lutfi,
doli, sista, anik, sherli, mia, osmond, iky, sanny, nelly dan semua yang
tidak bisa disebutkan satu persatu
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga
tugas akhir ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum maupun perkembangan
IPTEK khususnya dalam bidang proteksi tanaman.
Bogor, Desember 2011
Yulius Dika Ciptadi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ............................................ 4
Hama Chrysocoris javanus Westw. ........................................................ 5
Parasitoid Trissolcus sp. .......................................................................... 6
Tahap Perkembangan Parasitoid Famili Scelionidae .............................. 6
Telur .................................................................................................... 6
Larva ................................................................................................... 7
Prapupa dan Pupa ................................................................................ 7
Imago .................................................................................................. 8
BAHAN DAN METODE ........................................................................... 9
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 9
Metode Penelitian .................................................................................... 9
Survei Awal Bioekologi C. javanus dan Trissolcus sp. ...................... 9
Perbanyakan C. javanus ...................................................................... 9
Perbanyakan Parasitoid Telur Trissolcus sp. ...................................... 10
Penelitian Biologi dan Siklus Hidup Parasitoid Trissolcus sp. pada
Inang C. javanus ................................................................................. 11
Penelitian Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada
Inang C. javanus ................................................................................. 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 15
Parasitoid yang ditemukan di Lapang ..................................................... 15
vii
Biologi dan Siklus Hidup Parasitoid Trissolcus sp. pada Inang
C. javanus ................................................................................................ 15
Telur .................................................................................................... 16
Larva ................................................................................................... 16
Prapupa................................................................................................ 18
Pupa ..................................................................................................... 18
Imago .................................................................................................. 20
Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada Inang
C. javanus ................................................................................................ 22
Lama Perkembangan ........................................................................... 22
Keberhasilan Hidup............................................................................. 23
Parameter Kehidupan Parasitoid ......................................................... 24
Kemunculan Imago Trissolcus sp. ...................................................... 26
Nisbah Kelamin................................................................................... 27
Kemampuan Reproduksi ..................................................................... 28
Persentase Parasitisasi ......................................................................... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 32
Kesimpulan ............................................................................................. 32
Saran ........................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 33
LAMPIRAN ................................................................................................ 37
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Parasitoid yang ditemukan di lapang ............................................ 15
Tabel 2 Lama perkembangan parasitoid Trissolcus sp. ............................. 20
Tabel 3 Jumlah imago Trissolcus sp. jantan dan betina yang muncul ....... 23
Tabel 4 Keberhasilan hidup imago Trissolcus sp. ..................................... 24
Tabel 5 Parameter kehidupan imago betina Trissolcus sp. ........................ 25
Tabel 6 Nisbah kelamin keturunan F1 dari imago betina Trissolcus sp. ... 28
Tabel 7 Kemampuan reproduksi imago betina Trissolcus sp. ................... 29
Tabel 8 Persentase parasitisasi Trissolcus sp. ............................................ 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Lahan jarak pagar di Leuwikopo .............................................. 9
Gambar 2 Perbanyakan C. javanus ........................................................... 10
Gambar 3 Mikroskop stereo dengan kamera digital tipe OLYMPUS 11D,
digunakan untuk pemotretan semua stadia Trissolcus sp......... 12
Gambar 4 Penelitian di laboratorium ........................................................ 14
Gambar 5 Telur Trissolcus sp. .................................................................. 16
Gambar 6 Larva Trissolcus sp................................................................... 17
Gambar 7 Prapupa Trissolcus sp. .............................................................. 18
Gambar 8 Pupa Trissolcus sp. ................................................................... 19
Gambar 9 Imago Trissolcus sp. ................................................................. 21
Gambar 10 Kemunculan imago Trissolcus sp. ........................................... 27
Gambar 11 Reproduksi harian imago betina Trissolcus sp. ........................ 30
Gambar 12 Persentase parasitisasi berdasarkan umur imago
Trissolcus sp. ............................................................................ 31
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel
Halaman
Tabel Lampiran 1 Ukuran pradewasa dan imago Trissolcus sp. ............... 38
Gambar
Halaman
Gambar Lampiran 1 Perbanyakan C. javanus .......................................... 38
Gambar Lampiran 2 Imago parasitoid Trissolcus sp. ............................... 39
Gambar Lampiran 3 Telur C. javanus terparasit ....................................... 40
Gambar Lampiran 4 Telur dan larva C. javanus tidak terparasit .............. 41
Gambar Lampiran 5 Serangga Famili Scelionidae ................................... 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia saat ini cukup tinggi. Konsumsi
energi terbesar adalah minyak bumi yang mencapai 54,4 % (Krisnamurthi 2005).
Menurut data Direktorat Lalu Lintas Angkutan Jalan – Ditjen Perhubungan Darat
tahun 2009, kebutuhan solar mencapai 12.382.242 liter per hari dan jumlah
kendaraan akan mencapai 110 juta kendaraan pada tahun 2020. Sedangkan
cadangan energi fosil hanya akan bertahan kurang lebih 18 tahun (Krisnamurthi
2005).
Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya tindakan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar minyak dan menanggulangi masalah harga
minyak yang makin meningkat dan cadangan yang makin menipis. Pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi
alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Presiden Indonesia juga
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan
pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai energi alternatif.
Hambali (2005) menyatakan salah satu sumber minyak nabati yang sangat
prospektif sebagai bahan baku biodiesel adalah biji jarak pagar yang bernama latin
Jatropha curcas Linn. Program pemerintah untuk mensubtitusi 5% minyak bumi
sampai tahun 2025 dapat memacu penanaman jarak pagar dalam skala luas,
monokultur dan intensif. Cara budi daya seperti ini dapat menyebabkan perubahan
keadaan ekosistem yaitu berkurangnya keanekaragaman hayati. Kondisi ini akan
menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan hama (Dadang 2005).
Jarak pagar dikenal sebagai tanaman yang beracun dan mempunyai sifat
sebagai insektisida, tetapi beberapa hama dilaporkan dapat menyerang tanaman
ini (Mahmud 2006). Beberapa hama utama jarak pagar seperti yang telah
diidentifikasi oleh Karmawati dan Rumini (2009) adalah thrips (Selenothrips
rubrocinctus), kepik Chrysocoris javanus, kutu putih (Ferrisia virgata dan
Planococcus minor), dan tungau.
2
Kepik C. javanus menjadi salah satu hama penting pada pertanaman jarak
pagar karena menyerang tanaman jarak fase generatif yaitu pada saat
pembungaan, menjelang pembentukan buah dan saat pembentukan buah. C.
javanus menyerang tanaman dengan cara menghisap buah jarak sehingga
menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang berkembang. Gejala yang
ditimbulkan pada buah jarak pagar yaitu adanya bekas tusukan pada buah dan
buah berwarna coklat kehitaman kemudian membusuk dan mengering (Rumini
dan Karmawati 2007; Qodir 2010). Berbeda dengan di Indonesia, serangga
anggota famili Scutelleridae yang menyerang jarak pagar di India adalah
Scutellera nobilis Fabr. Sedangkan Pachycoris klugii Burmeister dan Agonosoma
trilineatum Fabr. menyerang jarak pagar di Nicaragua. Serangga ini dilaporkan
dapat menyebabkan gugurnya bunga, aborsi buah dan kerusakan benih. (Shanker
dan Dhyani 2006). Bahkan A. trilineatum menjadi agens hayati untuk
mengendalikan gulma famili Euphorbiaceae, Jatropha gossypiifolia (Bebawi et al.
2007; Heard et al. 2009).
Pengendalian hama pada pertanaman jarak pagar dapat dilakukan dengan
beberapa strategi, salah satunya dengan pemanfaatan musuh alami berupa
parasitoid (Dadang 2006). Musuh alami merupakan komponen penting dalam
pengendalian hama terpadu (PHT) karena berjalan secara alami dan berkelanjutan.
Tiga jenis parasitoid telah ditemukan menyerang telur C. javanus yaitu
Anastatus sp. (Hymenoptera : Eupelmidae), Epiterobia sp. (Hymenoptera :
Pteromalidae) dan Trissolcus latisulcus (Hymenoptera : Scelionidae) (Rumini dan
Karmawati 2007; Rider 2009; Qodir 2010). Parasitoid famili Scelionidae menjadi
parasiotid yang selalu ditemukan menyerang C. javanus pada pertanaman jarak
pagar (Qodir 2010). Pengendalian C. javanus dengan memanfaatkan parasitoid
Trissolcus sp. mempunyai prospek yang baik namun kajian potensi parasitoid
tersebut terhadap inang C. javanus belum banyak dilakukan sehingga informasi
tentang biologi parasitoid ini masih diperlukan. Oleh karena itu perlu penelitian
mengenai biologi dan siklus hidup parasitoid telur Trissolcus sp. sehingga dapat
menambah informasi dalam implementasi pengendalian hama terpadu tanaman
jarak pagar.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui biologi, siklus hidup, dan potensi
parasitoid telur Trissolcus sp. pada inang C. javanus.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai dasar untuk mengetahui potensi
Trissolcus sp. sebagai musuh alami dan sebagai dasar untuk merancang metode
pembiakan dan pelepasan Trissolcus sp.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) termasuk dalam famili
Euphorbiaceae merupakan salah satu tanaman yang baik sebagai sumber bahan
bakar nabati (Prihandana dan Hendroko 2006; Hambali et al. 2007). Jarak pagar
berasal dari Amerika Tengah dan didistribusikan oleh pelaut Portugis melalui
pulau Cape Verde ke berbagai negara di Afrika dan Asia (Hambali 2005). Jarak
pagar mempunyai 4 varietas, yaitu varietas Cape Verde, Nicaragua, Ife-Nigeria,
dan varietas tidak beracun Mexico. Varietas Cape Verde merupakan varietas yang
umum terdapat di seluruh dunia dan bersifat toksik karena mengandung senyawa
lektine dan ester forbol (Henning 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih 2007).
Meskipun jarak pagar dikenal sebagai tanaman yang beracun dan
mempunyai sifat sebagai insektisida, beberapa hama telah dilaporkan menyerang
tanaman ini sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan ekonomis pada
perkebunan jarak yang sedang dikembangkan (Mahmud 2006). Organisme
penggangu tanaman (OPT) yang menyerang tanaman jarak pagar adalah
Exopholis hypoleuca Wied dan Leucopholis rorida F. ( Coleoptera: Scarabaeidae),
Agrothis spp. (Lepidoptera: Noctuidae), Spodoptera litura (Lepidoptera:
Noctuidae), Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae), Valanga nigricornis
(Orthoptera: Acrididae), Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), Chrysocoris
javanus (Hemiptera: Scutelleridae), Ferrisia virgata (Hemiptera:
Pseudococcidae), Nipaecoccus viridis (Hemiptera: Pseudococcidae), Leptocorisa
oratorius (Hemiptera: Alydidae), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae),
Selenothrips rubrocinctus (Thysanoptera: Thripidae), Lagocheirus undatus
(Coleoptera: Cerambycidae), Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae), Chalcocelis
albiguttata, Parasa lepida (Lepidoptera: Limacodidae), dan Tungau
(Tarsonemidae dan Eriophyidae). (Dadang 2006; Priyanto 2007; Nurcholis dan
Sumarsih 2007; Rumini dan Karmawati 2007; Chandra 2008).
5
Hama Chrysocoris javanus Westw.
C. javanus memiliki nama umum kepik buah jarak (Sosromarsono et al.
2007). Tubuhnya berbentuk perisai yang khas dengan skutelum yang berkembang
dengan baik menutupi abdomen, warna tubuh imago cerah dan mencolok dengan
elitra berwarna merah dan corak hitam. Serangga ini memiliki antena tiga ruas,
lebih panjang dari kepala (Dadang 2006; Kalshoven 1981). Telur berbentuk
silinder seperti drum, bagian bawah datar sedangkan bagian atas cembung. Telur
berdiameter 1,24 mm dan tinggi 1,34 mm. Telur yang baru diletakkan berwarna
krem terang dan ada yang berwarna agak kehijauan. Telur diletakkan secara
berkelompok di bawah permukaan daun, pada batang atau ranting dan pada
permukaan buah jarak pagar saat pagi hingga menjelang siang. Nimfa tubuhnya
berwarna hitam dengan bintik merah, kuning, dan hijau mengkilat, sementara
bagian dorsal toraks berwarna hijau metalik. Ukuran tubuh imago betina relatif
lebih besar dari pada imago jantan, yaitu panjang 17,65 mm dan lebar 9,55 mm
sedangkan ukuran tubuh jantan panjang 15,95 mm dan lebar 8,1 mm. Kemampuan
reproduksi cukup tinggi, satu kelompok telur terdiri dari 28 sampai 126 butir
dengan rerata 84,80 butir (Qodir 2010). Siklus hidupnya berkisar 60-80 hari
(Rumini dan Karmawati 2007).
C. javanus selain menyerang tanaman jarak pagar (Jatropha) juga
ditemukan pada tanaman jarak kepyar (Ricinus communis) serta Croton spp.
(Kalshoven 1981). Serangga ini menyerang jarak pagar selain pada saat
pembungaan dan menjelang pembentukan buah juga dapat menyerang daun.
Serangga ini menghisap nutrisi dalam buah sehingga menimbulkan kerusakan
pada kapsul buah yang sedang berkembang. Bunga atau buah yang terserang akan
menjadi kering dan berwarna coklat kehitaman. Bunga yang terserang tidak bisa
menjadi buah sedangkan buah menjadi rusak dan tidak dapat dipanen (Dadang
2006; Sodiq 2006; Rumini dan Karmawati 2007). Pengendalian hama dapat
dilakukan secara mekanis dengan mengumpulkan dan memusnahkan telur, nimfa
dan imago; kultur teknis dengan tidak menanam tanaman inang lain seperti padi,
jagung, kacang-kacangan, dan tanaman Solanaceae di sekitar areal pertanaman;
pengendalian hayati dengan musuh alami yaitu parasitoid Anastatus sp. dan
Epiterobia sp.; insektisida nabati seperti ekstrak mimba; dan menggunakan
6
insektisida berbahan aktif imidaklorpid dan karbamat (Dadang 2006; Mahmud
2006; Rumini dan Karmawati 2007).
Parasitoid Trissolcus sp.
Trissolcus sp. merupakan parasitoid yang termasuk ke dalam Superfamili
Platygastroidea Famili Scelionidae Subfamili Telenominae (Rajmohana 2006).
Semua spesies yang telah diketahui dalam famili ini merupakan parasitoid telur
dan hidup pada berbagai habitat (Hagen 1973; Austin et al. 2005; Driesche et al..
2008). Trissolcus sp. telah menjadi spesies yang penting dalam penelitian maupun
praktek pengendalian hayati serangga hama khususnya serangga ordo Hemiptera
(Awan et al. 1990; Weber et al. 1996; Justo et al. 1997; Koçak dan Kilinçer 2003;
Arakawa et al. 2004; Tohir 2004; Laumann et al. 2008)
Tahap Perkembangan Parasitoid Famili Scelionidae
Parasitoid famili Scelionidae terbagi pada tiga kelompok subfamili yaitu
Scelioninae, Telesinae, dan Telenominae (Krombein 1979; Masner 1993).
Parasitoid ini dapat menyerang telur serangga ordo Lepidoptera, Hemiptera,
Orthoptera, Diptera (Tabanidae) dan Arachnida. Adakalanya beberapa spesies
menyerang telur serangga ordo Coleoptera dan Neuroptera (Clausen 1940).
Imago parasitoid famili Scelionidae hidup secara soliter (Clausen 1940),
umumnya berada pada lingkungan terbuka dan terpapar sinar matahari seperti
padang rumput, gurun pasir, hutan, tanah, dan air (Masner 1993).
Telur
Menurut Clausen (1940) dan Hagen (1973) ada enam jenis tipe telur
serangga ordo Hymenoptera yaitu acuminate, hymenopteriform, microtype,
pedicelate, stalked, dan encyrtiform. Semua telur spesies serangga dari famili
Scelionidae yang telah dideskripsikan memiliki bentuk yang seragam yaitu tipe
stalked atau memiliki tangkai. Bagian tubuh utama telur berbentuk oval hingga
seperti gelendong dengan tangkai berbentuk runcing atau silinder yang berukuran
0,5 sampai 1,5 lebih panjang daripada tubuh utama.
7
Larva
Hagen (1973) menyatakan hampir semua parasitoid yang meletakkan telur
dan berkembang di dalam inang mengalami perkembangan hipermetamorfosis.
Artinya, larva instar awal memiliki perbedaan bentuk dengan larva instar akhir.
Jumlah instar larva sangat beragam antar genus dan spesies. Pada larva ektoparasit
terdapat lima instar dan pada larva endoparasit kurang dari lima instar.
Clausen (1940) menyebutkan ada 14 tipe larva instar awal pada parasitoid
dari ordo Hymenoptera. Larva instar awal memiliki variasi bentuk yang terbesar
dalam perkembangan pradewasa parasitoid. Tipe larva instar awal tersebut adalah
sacciform, hymenopteriform, caudate, vesiculate, encyrtiform, mandibulate,
teleaform, microtype, mymariform, planidium, agriotypiform, polypodeiform,
eucoiliform dan cyclopiform.
Larva instar pertengahan tidak memilki perbedaan karakteristik yang
mendasar dari bentuk larva instar awalnya (Hagen 1973). Bentuk sebenarnya dari
larva instar kedua serangga famili Scelionidae masih dalam perdebatan. Pada
beberapa spesies hanya ditemukan dua instar larva, ini ditentukan berdasarkan
persamaan bentuk antara larva instar kedua dan ketiga (Clausen 1940). Larva
instar akhir pada parasitoid dari ordo Hymenoptera adalah hymenopteriform
(Hagen 1973).
Prapupa dan Pupa
Masa prapupa diawali ketika larva instar akhir telah berhenti makan dan
hampir tidak menunjukkan pergerakan tubuh. Saat itulah terjadi perubahan
struktural yang cepat pada tubuh larva (Hagen 1973). Stadium prapupa parasitoid
dari ordo Hymenoptera terdiri dari dua tahap yaitu eonymph dan pronymph. Larva
yang memasuki tahap eonymph, bentuknya masih menyerupai larva instar terakhir
namun lebih mengembang atau menggelembung tetapi kurang terlihat menonjol
dibandingkan tahap pronymph dan seringkali ditandai perubahan warna larva dari
putih kekuningan menjadi putih buram. Tahap pronymph ditandai dengan
kemunculan bakal mata dan adanya batas yang jelas antara toraks dan abdomen.
Pada tahap ini, sudah tidak ada pergerakan sama sekali (Morris 1937 dalam
Hagen 1973).
8
Pupa serangga ordo Hymenoptera bertipe eksarata dengan embelan bebas
(Borror et al. 1996). Serangga ordo Hymenoptera khususnya parasitoid berpupa di
dalam inang. Seringkali larva parasitoid berpupa di dalam kokon atau puparium
inang atau berpupa di dalam terowongan yang dibuat inang dimana inang tersebut
terlindungi. Parasitoid yang hidup di pada inang yang tersembunyi biasanya tidak
berkokon (Hagen 1973).
Imago
Panjang tubuh serangga dari Famili Scelionidae berkisar dari 1 samapai 2,5
mm, ukuran tubuh paling kecil adalah 0,5 mm dan paling besar mencapai 10 mm
(Masner 1993). Menurut Qodir (2010) panjang tubuh imago jantan dari famili
Scelionidae yaitu 1,30 ± 0,05 mm dan lebar tubuhnya 0,68 ± 0,05 mm sedangkan
panjang tubuh imago betina 1,34 ± 0,04 mm dan lebar tubuhnya 0,69 ± 0,06 mm.
Tubuh berwarna hitam, kepala ditutupi rambut-rambut halus. Mata majemuk
relatif besar, tidak menutupi seluruh bagian kepala. Antena terdiri dari 10 ruas
flagelum. Sayap dengan rambut-rambut halus, sayap depan dengan venasi
submarginal mencapai sisi anterior. Koksa dan trokhanter berwarna hitam
berbentuk segitiga. Femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Tungkai
memiliki rambut-rambut halus. Tibia mempunyai taji, tarsus terdiri dari 5 ruas
dengan 1 kuku tarsus. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk
antenanya, ruas flagelomer antena jantan membulat, sedangkan antena betina
tidak.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi
Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor,
pada bulan Mei sampai Agustus 2011.
Metode Penelitian
Survei Awal Bioekologi C. javanus dan Trissolcus sp.
Survei awal tentang bioekologi serangga uji parasitoid Trissolcus sp dan C.
javanus dilakukan di kebun jarak pagar di Kebun Percobaan IPB desa Leuwikopo,
kecamatan Darmaga, kabupaten Bogor. Informasi tentang cara hidup, perilaku dan
tempat peletakkan telur serangga uji ini diperlukan sebagai dasar dalam teknik
perbanyakannya.
Gambar 1 Lahan jarak pagar di Leuwikopo
Perbanyakan C. javanus
Sampel nimfa dan imago C. javanus dikumpulkan dari pertanaman jarak
pagar di desa Leuwikopo, Darmaga dan desa Lulut, Citeureup. Bagian tanaman
seperti daun dan buah yang terserang C. javanus diambil dan dimasukkan kantong
plastik yang sudah diberi lubang udara, dibawa ke laboratorium untuk
perbanyakan. Nimfa dan imago yang dikumpulkan dari lapang dipelihara pada
10
tanaman jarak pagar dalam polibag berukuran 18 cm x 25 cm dengan media tanah
dan selanjutnya dimasukkan ke dalam sangkar berkerangka kayu berdinding kain
kasa dengan ukuran 45 cm x 45 cm x 60 cm. Setiap hari tanaman disiram untuk
menjaga kesegaran tanaman. Sebagai pakan C. javanus, buah jarak pagar segar
digantungkan pada tanaman jarak. Pada setiap kaki-kaki sangkar diberi alas
wadah plastik yang diisi oli untuk mencegah semut dan serangga lain masuk
kedalam sangkar. Telur-telur C. javanus yang dihasilkan diambil setiap hari
sebagai bahan penelitian.
Gambar 2 Perbanyakan C. javanus, (a) sangkar pemeliharaan nimfa dan imago,
(b) kelompok telur C. javanus yang diletakkan di bawah permukaan daun tanaman jarak pagar dalam sangkar.
Perbanyakan Parasitoid Telur Trissolcus sp.
Parasitoid Trissolcus sp. diperoleh dengan cara mengumpulkan kelompok
telur kepik C. javanus terparasit dari pertanaman jarak pagar di desa Leuwikopo,
Darmaga dan desa Lulut, Citeureup. Telur-telur C. javanus diambil beserta tempat
melekatnya telur-telur tersebut (daun, ranting atau buah), dimasukkan ke dalam
kantung plastik dan diberi label keterangan asal telur dan waktu pengambilan. Di
laboratorium, telur tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi berukuran 0,5 cm
x 10 cm yang ditutup kapas. Imago parasitoid yang keluar dipelihara dengan
diberi pakan larutan madu 10% yang dioleskan pada permukaan dinding dalam
tabung. Imago-imago yang baru muncul tersebut akan digunakan untuk
perbanyakan.
Telur C. javanus umur satu hari sebanyak 20 butir diambil dari pembiakan
massal direkatkan pada pias kertas karton ukuran 0,5 x 2 cm dengan perekat gom
arab kemudian pias dimasukkan ke dalam tabung gelas yang telah berisi sepasang
11
parasitoid Trissolcus sp. berumur satu hari dan telah mengalami kopulasi. Telur
inang yang telah terparasit dipindahkan ke dalam tabung reaksi lainnya. Imago
parasitoid yang keluar dipelihara dengan diberi pakan larutan madu 10% yang
dioleskan pada permukaan dinding dalam tabung. Tabung-tabung tersebut disusun
rapi diatas papan kayu yang ditopang wadah plastik yang diisi oli untuk mencegah
semut dan serangga lain mencapai tabung. Seluruh tabung disimpan dalam
ruangan dengan suhu 28,18 ± 0,59 0C dan kelembaban relatif 56,33 ± 4,27 %.
Imago-imago yang baru muncul tersebut akan digunakan untuk penelitian.
Penelitian Biologi dan Siklus Hidup Parasitoid Trissolcus sp. pada Inang
C. javanus
Telur C. javanus umur satu hari sebanyak 5 butir yang diambil dari
pembiakan massal direkatkan pada pias kertas karton ukuran 0,5 x 2 cm dengan
perekat gom arab. Pias ini dimasukkan ke dalam tabung gelas yang berisi
sepasang parasitoid Trissolcus sp. berumur satu hari dan sudah mengalami
kopulasi. Jumlah lima butir telur C. javanus yang digunakan dimaksudkan untuk
mendapatkan waktu peletakan telur yang bersamaan sehingga mendapatkan
perkembangan pradewasa yang sama tiap harinya. Parasitoid diberi pakan madu
10% yang dioles pada dinding tabung gelas yang ditutup dengan kapas. Tabung-
tabung tersebut disusun rapi diatas papan kayu yang ditopang wadah plastik yang
diisi oli untuk mencegah semut dan serangga lain mencapai tabung. Seluruh
tabung disimpan dalam ruangan dengan suhu 28,18 ± 0,59 0C dan kelembaban
relatif 56,33 ± 4,27 %.
Telur C. javanus yang diduga terparasit dibedah dengan menggunakan
jarum mikro dan diamati di bawah mikroskop stereo. Pembedahan dilakukan
setiap 24 jam sesuai umur perkembangan parasitoid mulai dari stadia telur, larva
dan pupa. Khusus untuk stadium larva pembedahan dilakukan setiap 12 jam
karena diduga umur instar larva kurang dari 24 jam. Pengamatan dilakukan
terhadap bentuk, ukuran, warna, dan ciri-ciri lain setiap stadium pradewasa.
Kemudian dilakukan pemotretan terhadap parasitoid Trissolcus sp. semua stadia
dengan menggunakan mikroskop stereo dengan kamera digital tipe OLYMPUS
11D.
12
Gambar 3 Mikroskop stereo dengan kamera digital tipe OLYMPUS 11D,
digunakan untuk pemotretan semua stadia Trissolcus sp.
Penelitian Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada Inang
C. javanus
Telur C. javanus berumur satu hari disterilkan dalam lemari pendingin
dengan suhu 50C selama 24 jam agar telur yang tidak terparasit tidak menetas
menjadi nimfa. Sebanyak 50 telur C. javanus yang telah disterilkan direkatkan
pada pias kertas karton ukuran 0,5 x 2 cm dengan perekat gom arab yang
selanjutnya disebut sebagai pias. Kemudian pias dimasukkan dalam tabung reaksi
berukuran panjang 10 cm dan diameter 1 cm. Pada masing-masing tabung
dimasukkan satu parasitoid Trissolcus sp. betina dewasa yang telah berkopulasi
dan pada bagian dinding tabung diolesi madu 10 % sebagai pakan parasitoid.
Imago jantan dipelihara pada tabung terpisah untuk mengamati lama hidup.
Tabung-tabung tersebut disusun rapi diatas papan kayu yang ditopang wadah
plastik yang diisi oli untuk mencegah semut dan serangga lain mencapai tabung.
Seluruh tabung disimpan dalam ruangan dengan suhu 28,18 ± 0,59 0C dan
kelembaban relatif 56,33 ± 4,27 %. Setiap hari pias diganti dengan pias yang baru
sampai imago betina Trissolcus sp. berhenti meletakkan telur dan diberi pakan
madu sampai imago betina tersebut mati. Imago betina Trissolcus sp. yang telah
mati kemudian dibedah dan dihitung jumlah telur yang masih ada di dalam ovari.
Percobaan diulang sebanyak 10 kali (10 pasang parasitoid). Pengamatan
13
dilakukan terhadap keperidian dan produksi telur harian, potensi produksi telur,
lama hidup, lama perkembangan, jumlah imago Trissolcus sp. yang muncul,
nisbah kelamin dan lama masa reproduksi.
Keperidian dan Produksi Telur Harian. Keperidian dihitung dari jumlah
total telur yang diletakkan oleh imago betina Trissolcus sp. selama masa hidupnya
dalam telur inang C. javanus. Produksi telur harian dihitung berdasarkan jumlah
telur yang dihasilkan oleh imago Trissolcus sp. betina setiap harinya selama masa
oviposisi.
Potensi Produksi Telur. Potensi produksi telur merupakan total jumlah
telur yang dihasilkan dan sisa telur dalam ovari Trissolcus sp.
Lama Hidup. Lama hidup Trissolcus sp. diamati mulai dari hari pertama
imago muncul sampai imago tersebut mati.
Lama Perkembangan. Lama perkembangan dihitung dari hari pertama
Trissolcus sp. meletakkan telur sampai waktu pemunculan imago.
Nisbah Kelamin. Perbandingan jumlah imago jantan dan betina Trissolcus
sp. dihitung dari total seluruh imago keturunan F1 yang muncul.
Lama Masa Reproduksi. Masa reproduksi dihitung mulai hari pertama
imago betina Trissolcus sp. meletakkan telur sampai hari terakhir imago betina
meletakkan telur.
Persentase Parasitisasi. Persentase parasitisasi diketahui dengan cara
menghitung banyaknya telur inang yang terparasit dengan menggunakan rumus
berikut :
Persentase Keberhasilan Hidup. Keberhasilan hidup Trissolcus sp.
diketahui dengan cara menghitung banyaknya imago yang muncul dari kelompok
telur terparasit dengan menggunakan rumus :
Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.
14
Gambar 4 Penelitian di laboratorium; (a) telur C. javanus, (b) pias yang berisi
telur C. javanus, (c) tabung tempat parasitisasi, dan (d) tabung berisi
telur C. javanus terparasit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parasitoid yang ditemukan di Lapang
Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang
tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa parasitoid famili Scelionidae selalu ditemukan pada
kelompok telur C. javanus yang terparasit. Hasil ini menunjukkan bahwa
parasitoid ini cukup dominan di lapang. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Qodir (2010) yaitu bahwa parasitoid ini selalu ditemukan di setiap pengamatan
dan selalu berperan dalam memarasit telur C. javanus. Oleh karena itu
pemahaman biologi, siklus hidup dan potensi parasitoid Trissolcus sp. dari famili
Scelionidae ini penting untuk membangun strategi pengelolaan hama C. javanus
yang efektif.
Tabel 1 Parasitoid yang ditemukan di lapang
Kelompok Telur Eupelmidae Pteromalidae Scelionidae
1 0 0 43
2 22 0 23
3 10 24 11
Jumlah 32 24 77
Biologi dan Siklus Hidup Trissolcus sp. pada Inang C. javanus
Trissolcus sp. merupakan parasitoid pada telur serangga ordo Hemiptera.
Parasitoid ini merupakan endoparasitoid soliter primer yang bersifat idiobiont
(Masner 1993; Austin et al. 2005). Parasitoid yang bersifat idiobiont setelah
memarasit akan membuat inang berhenti mengalami perkembangan lebih lanjut
(Gordh dan Headrick 2001; Driesche et al. 2008). Perkembangan Trissolcus sp.
termasuk dalam hipermetamorfosis. Larva berubah bentuk pada setiap instarnya
dan berkembang hingga menjadi imago di dalam inang. Imago yang telah
berkembang sempurna kemudian keluar dari dalam inang dengan cara menggigit
kulit telur inang menggunakan mandibel sehingga terbentuk lubang bergerigi.
16
Telur
Telur Trissolcus sp. dalam ovari berbentuk lonjong, berwarna putih susu
berukuran panjang 0,25 – 0,34 mm dan lebar 0,05 – 0,12 mm sedangkan telur
Trissolcus sp. yang ditemukan pada telur C. javanus yang dibedah berbentuk bulat
telur, warna telur putih susu dengan ukuran panjang 0,35 - 0,43 mm dan lebar
0,15 - 0,2 mm. Pada kedua telur, terdapat tangkai (stalk) berbentuk lonjong
meruncing dengan panjang 0,14 ± 0,01 mm pada salah satu ujungnya (Gambar 5).
Menurut Clausen (1940) telur tersebut bertipe stalked.
Gambar 5 Telur Trissolcus sp.; (a) dalam ovari, (b) 12 jam setelah peletakkan
telur (SPT).
Larva
Larva Trissolcus sp. dijumpai pada hari pertama setelah telur diletakkan.
Perkembangan larva dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran. Larva instar
pertama memiliki abdomen berbentuk bulat seperti bola hingga agak lonjong
menyerupai buah pir, berwarna putih keruh agak transparan, aktif bergerak, dan
memilki mandibel besar berbentuk seperti kait yang mengarah ke bagian ventral
(Gambar 6a, 6b, dan 6c). Segmen tubuh tidak terlihat jelas namun pembagian
tubuh larva menjadi dua bagian terlihat jelas. Mandibel terdapat pada bagian
anterior yang disebut kepala (Henriksen, Bakkendorf dan Pagden 1934 dalam
Clausen 1940) atau cephalothorax (Noble dan Kamal dalam Clausen 1940). Larva
instar pertama berukuran panjang 0,37 - 0,85 mm dan lebar 0,14 - 0,57 mm. Umur
larva instar pertama adalah 36 jam. Clausen (1940) menggolongkan larva ini ke
dalam tipe teleaform.
Perkembangan larva instar kedua Trissolcus sp. ditandai oleh mulai
menghilangnya mandibel dan bertambahnya ukuran tubuh larva (Gambar 6d dan
17
6e). Bentuk tubuh larva instar kedua bulat, berwarna putih keruh agak
kekuningan. Perubahan bentuk, warna dan ukuran terjadi pada 72 jam setelah
peletakkan telur (SPT). Larva berukuran panjang 0,85 - 1,23 mm dan lebar 0,57 -
1,08 mm. Umur larva instar kedua adalah 24 jam. Larva instar kedua parasitoid
dari ordo Hymenoptera biasanya menyerupai bentuk larva instar akhirnya yaitu
bagian kepala dan mandibel menghilang (Hagen 1973). Pada famili Scelionidae
bentuk larva instar kedua yang sebenarnya masih dalam perdebatan (Clausen
1940).
Gambar 6 Larva Trissolcus sp.; (a) 24 jam SPT, mandibel terlihat jelas, (b) 36
jam SPT, (c) 48 jam SPT (d) 60 jam SPT mandibel mulai menghilang,
(e) 72 jam SPT mandibel menghilang (f) 84 jam SPT, (g) 96 jam SPT,
dan (h) 108 jam SPT.
Larva instar ketiga ditemukan pada pengamatan 84 jam setelah telur
diletakkan, bentuk larva bulat dengan warna putih kekuningan, mandibel tidak
terlihat lagi dan ukuran yang semakin besar (Gambar 6f). Perubahan warna dan
struktur terlihat memasuki umur 96 jam setelah telur diletakkan (Gambar 6g).
Permukaan tubuh larva terlihat mengerut dan warnanya lebih kuning
dibandingkan 12 jam sebelumnya. Pada pengamatan 108 jam setelah peletakkan
telur, warna larva semakin menguning dan strukturnya mulai mengeras (Gambar
6h). Pada saat pembedahan, larva sudah memenuhi seluruh inang dan masih ada
pergerakan larva yang teramati ketika inang akan dibedah. Larva instar ketiga
memilki panjang 1,25 - 1,46 mm dan lebar 1 - 1,31 mm. Umur larva instar ketiga
adalah 36 jam. Larva instar akhir pada parasitoid dari ordo Hymenoptera adalah
hymenopteriform (Hagen 1973). Pada beberapa spesies, hanya terdapat dua instar
larva, ini berdasarkan adanya persamaan antara instar kedua dan ketiga (Clausen
18
1940). Stadia larva berlangsung selama empat hari (Tabel 2). Memasuki hari ke 5
setelah peletakkan telur, larva parasitoid berkembang menjadi prapupa.
Prapupa
Prapupa dijumpai pada pembedahan 120 jam setelah peletakkan telur
(Gambar 7). Stadium ini dimulai ketika larva instar akhir telah berhenti makan
dan hampir tidak menunjukkan pergerakan tubuh. Tubuh prapupa Trissolcus sp.
berwana putih susu agak kekuningan, segmen tubuh terlihat dan struktur tubuh
tidak selunak stadium larva. Tubuh prapupa Trissolcus sp. memilki ukuran
panjang 1,15 - 1,38 mm dan lebar 0,85 - 1,08 mm. Pada saat pengamatan, larva
memasuki fase eonymph dengan ciri-ciri bentuknya masih menyerupai larva instar
terakhir namun lebih mengembang atau menggelembung, dan seringkali ditandai
perubahan warna larva dari putih kekuningan menjadi putih buram (Morris 1937
dalam Hagen 1973). Stadium prapupa berlangsung selama satu hari (Tabel 2).
Gambar 7 Prapupa Trissolcus sp.; (a) lateral, (b) ventral.
Pupa
Pupa Trissolcus sp. yang baru terbentuk berwarna putih keruh agak
kecokelatan. Pupa ditemukan pada pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur.
(Gambar 8a, 8b dan 8c). Pada tahap ini sudah tidak ada pergerakan sama sekali
(Morris 1937 dalam Hagen 1973). Bagian tubuh seperti mata, tungkai, antena, dan
ruas abdomen sudah terbentuk dan terlihat jelas. Pupa Trissolcus sp. pada
pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur memiliki panjang 1,31 - 1,38 mm
dan lebar 0,8 - 0,85 mm.
19
Gambar 8 Pupa Trissolcus sp. 144 jam SPT (a) lateral (b) ventral (c) dorsal; 168
jam SPT (d) lateral (e) ventral (f) dorsal; 192 jam SPT (g) lateral (h)
ventral (i) dorsal; 216 jam SPT (j) lateral (k) ventral (l) dorsal; 240
jam SPT (m) lateral (n) ventral (o) dorsal.
Pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur, hanya sedikit perubahan
yang terjadi pada pupa Trissolcus sp. yaitu warna mata pupa berubah menjadi
merah agak kecoklatan (Gambar 8d, 8e, dan 8f). Bagian tubuh lainnya seperti
tungkai, antena, sayap dan ruas abdomen semakin jelas terlihat. Panjang pupa
20
Trissolcus sp. pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur 1,31 - 1,38 mm
dan lebar 0,85 - 0,88 mm.
Pupa Trissolcus sp. mulai berubah warna menjadi hitam 192 jam setelah
peletakkan telur. Perubahan warna dimulai dari bagian kepala dan torak yang
semula putih keruh menjadi hitam namun bagian abdomen belum berwarna hitam
(Gambar 8g, 8h, dan 8i). Organ tubuh sudah lengkap dan bakal sayap mulai
terlihat jelas. Pupa berukuran panjang 1,37 - 1,38 mm dan lebar 0,91 - 0,92 mm.
Pada pengamatan 216 jam setelah peletakkan telur, tubuh pupa Trissolcus
sp. mulai menghitam hingga bagian abdomen (Gambar 8j, 8k, dan 8l). Tungkai
dan antena berwarna putih bening, sayap berwarna putih keruh dan warna mata
menjadi merah kehitaman. Pupa berukuran panjang 1,37 - 1,40 mm dan lebar 0,91
- 0,92 mm.
Warna tubuh pupa Trissolcus sp. menghitam sempurna 240 jam setelah
peletakkan telur (Gambar 8m, 8n, dan 8o). Mata berwarna hitam. Femur, tibia dan
tarsus berwarna coklat terang. Sayap belum terbentuk sempurna dan masih
berwarna putih keruh. Pupa masih belum bergerak namun sudah memasuki fase
akhir perkembangan. Pupa berukuran panjang 1,45 - 1,46 mm dan lebar 0,69 -
0,71 mm. Stadium pupa berlangsung selama lima hari (Tabel 2).
Tabel 2 Lama perkembangan parasitoid Trissolcus sp.
Stadia Perkembangan Lama Stadium (hari)
Telur 1
Larva 4
Prapupa 1
Pupa 5
Imago
Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus
sebagai inangnya. Imago jantan keluar mulai hari ke-10 sampai ke-15 sedangkan
imago betina keluar mulai hari ke 11 sampai ke-18 setelah telur diletakkan.
Imago betina dan jantan berwarna hitam sedangkan femur, tibia dan tarsus
berwarna coklat terang. Perbedaan kedua imago tersebut terletak pada bentuk
antena dan ukuran tubuhnya. Pada antena jantan, ruas flagelomernya membulat
sedangkan pada antena betina tidak (Gambar 9). Imago jantan memiliki ukuran
21
panjang 1,33 ± 0,06 mm dan lebar 0,69 ± 0,03 mm, lebih kecil dibandingkan
dengan imago betina yang berukuran panjang 1,51 ± 0,06 mm dan lebar 0,73 ±
0,03 mm (Tabel lampiran 1).
Gambar 9 Imago Trissolcus sp. betina (a) lateral (b) ventral (c) dorsal;
jantan (d) lateral (e) ventral (f) dorsal.
Setelah keluar dari telur inang, imago Trissolcus sp. jantan akan berputar-
putar di sekitar telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar
(Gambar Lampiran 2a). Imago jantan tersebut juga akan mengusir imago jantan
lain yang mendekati telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar.
Segera setelah imago betina keluar, imago jantan akan menghampiri dan
melakukan kopulasi. Kopulasi berlangsung sangat singkat hanya sekitar 2 – 3
detik (Gambar Lampiran 2b).
Perilaku imago betina setelah kopulasi meliputi pemilihan telur, oviposisi
dan menandai telur. Pemilihan telur inang oleh imago betina dilakukan dengan
cara menggerakan dan menyentuhkan antena pada telur inang sambil mengelilingi
telur inang. Menurut Doutt et al. (1989) dan Weber et al. (1996), perilaku seperti
ini dimaksudkan untuk membedakan telur inang yang sudah terparasit dan belum
terparasit. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kepunahan keturunan akibat
superparasitisme atau multiparasitisme. Setelah menemukan inang yang sesuai,
imago betina akan melakukan oviposisi (Gambar Lampiran 2c dan 2d). Oviposisi
dilakukan pada bagian atas telur untuk telur yang berada di tengah kelompok dan
22
dibagian dinding samping telur untuk telur yang berada di pinggir kelompok.
Trissolcus sp. juga teramati melakukan penandaan telur yang telah diparasit.
Tanda dibuat dengan cara menyentuhkan ovipositor pada permukaan telur. Tanda
yang dibuat berupa pola yang menyerupai angka delapan. Perilaku ini juga
teramati pada spesies Trissolcus yang digunakan Weber et al. (1996) sebagai
materi penelitian. Penempelan ovipositor pada telur inang yang terparasit
bertujuan untuk menempelkan senyawa berupa feromon penanda inang (host
marking pheromone). Senyawa ini disekresikan oleh kelenjar aksesoris yaitu
kelenjar Dufour (Rosi et al. 2001).
Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada Inang C. javanus
Lama Perkembangan
Lama perkembangan Trissolcus sp. ditentukan berdasarkan waktu yang
diperlukan untuk perkembangan sejak telur diletakkan sampai imago parasitoid
muncul. Hasil pembedahan terhadap inang terparasit digunakan untuk
menentukan lama stadium telur, larva, prapupa dan pupa. Hasil penelitian
menunjukkan lama perkembangan jantan 11,91 ± 0,73 hari sedangkan betina
12,66 ± 1,22 hari (Tabel 3). Hasil penelitian Awan et al. (1990) menyatakan
perkembangan T. basalis dari tiga daerah geografis yang berbeda pada inang N.
viridula berkisar 9 sampai 12 hari. Lama perkembangan dapat dipengaruhi oleh
suhu udara. Hasil penelitian Torres et al. (2002) menunjukkan pada suhu yang
berfluktuasi antara 20 – 300 C dengan rerata suhu 25,83
0 C, waktu yang
dibutuhkan T. brochymenae untuk berkembang menjadi imago dalam inang
Podisus nigrispinus adalah 13,3 ± 0,2 hari untuk betina dan 12,3 ± 0,2 hari untuk
jantan. Suhu tinggi dapat meningkatkan kecepatan perkembangan pradewasa
Trissolcus grandis (Iranipour et al. 2010) dan Telenomus isis (Chabi-Olaye et al.
2001).
23
Tabel 3 Jumlah imago Trissolcus sp. jantan dan betina yang muncul
Hari ke- Jumlah imago jantan
(individu)
Jumlah imago betina
(individu)
10 3,00 0
11 39,00 74,00
12 106,00 272,00
13 20,00 201,00
14 3,00 62,00
15 1,00 29,00
16 0 10,00
17 0 6,00
18 0 5,00
Total (individu) 172,00 659,00
Lama perkembangan (hari) 11,91 ± 0,73 12,66 ± 1,22
Lama perkembangan Trissolcus sp. berkaitan dengan banyaknya generasi
yang dapat dihasilkan. Parasitoid yang efektif memiliki lama perkembangan
pradewasa yang singkat dan keperidian yang tinggi (Doutt dan DeBach 1973).
Semakin singkat waktu perkembangan Trissolcus sp., semakin banyak generasi
yang dihasilkan dalam suatu kurun waktu tertentu. Informasi tersebut penting
untuk mengetahui perkembangan populasi parasitoid, perbanyakan di
laboratorium dan pelepasan di lapangan. Lama perkembangan jantan dan betina
juga dapat mempengaruhi keturunan selanjutnya karena perbedaan waktu
perkembangan antara jantan dan betina akan membuat peluang terjadinya kopulasi
semakin besar. Jantan yang telah muncul terlebih dahulu dapat mengawini betina
yang baru muncul. Informasi lama perkembangan parasiotid juga dapat dijadikan
dasar dalam penentuan waktu pelepasan di lapangan. Pelepasan parasitoid
Trissolcus sp. ke lapang dapat dilakukan pada hari ke-9 setelah telur C. javanus
terparasit atau pada saat parasitoid memasuki stadium pupa.
Keberhasilan Hidup
Data pada tabel 4 menunjukkan rata-rata persentase keberhasilan hidup
Trissolcus sp. pada inang C. javanus adalah 86,71 ± 3,77 %. Tingginya persentase
keberhasilan hidup Trissolcus sp. dapat menunjukkan bahwa C. javanus
24
merupakan inang yang sesuai bagi perkembangan Trissolcus sp. Oleh sebab itu,
Trissolcus sp. mempunyai potensi yang besar untuk perbanyakan massal maupun
pelepasan di lapangan.
Tabel 4 Keberhasilan hidup imago Trissolcus sp.
Ulangan Telur terparasit
(butir)
Imago yang muncul
(individu)
Persentase keberhasilan
hidup (%)
1 102,00 91,00 89,22
2 105,00 90,00 85,71
3 106,00 93,00 87,74
4 104,00 91,00 87,50
5 95,00 82,00 86,32
6 123,00 107,00 86,99
7 57,00 49,00 85,96
8 98,00 79,00 80,61
9 93,00 88,00 94,62
10 74,00 61,00 82,43
Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 83,10 ± 16,78 86,71 ± 3,77
Kematian pradewasa Trissolcus sp. tidak diketahui penyebabnya secara
pasti namun berdasarkan pengamatan terlihat bahwa sejumlah imago yang telah
berkembang tidak bisa menggigit kulit telur sehingga imago tersebut tidak bisa
keluar dari inang. Jenis inang (Kivan dan Kilic 2002) dan suhu (Chabi-Olaye et al.
2001) juga mempengaruhi keberhasilan hidup parasitoid.
Parameter Kehidupan Parasitoid
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama hidup parasitoid Trissolcus sp.
betina 17,40 ± 7,38 hari. Sedangkan parasitoid jantan 23,70 ± 9,49 hari (Tabel 5).
Menurut Arakawa et al. (2004) T. mitsukurii betina yang muncul dari inang N.
viridula dapat hidup selama 11,0 ± 0,5 hari. Hasil penelitian Awan et al. (1990)
menunjukkan T. basalis betina mampu hidup hingga 34,4 hari pada inang Nezara
viridula sedangkan imago jantan hidup lebih lama. Lama hidup dapat dipengaruhi
oleh ketersediaan makanan berupa madu. Rahat et al. (2005) menemukan bahwa
lama hidup imago T. basalis dipengaruhi oleh jenis tanaman penghasil nektar.
Lama hidup juga dipengaruhi oleh suhu, baik saat penyimpanan imago dalam
25
suhu rendah (Foerster dan Doetzer 2006) maupun saat kondisi normal (Chabi-
Olaye et al. 2001; Iranipour et al. 2010).
Tabel 5 Parameter kehidupan imago betina Trissolcus sp.
Ulangan
Masa
oviposisi
(hari)
Masa
oviposisi
(hari)
Masa
pascaoviposisi
(hari)
Lama Hidup (hari)
Betina Jantan
1 0 6,00 8,00 14,00 26,00
2 0 6,00 9,00 15,00 28,00
3 0 7,00 9,00 16,00 33,00
4 0 6,00 31,00 37,00 36,00
5 0 6,00 11,00 17,00 27,00
6 0 8,00 13,00 21,00 27,00
7 0 6,00 5,00 11,00 3,00
8 0 5,00 11,00 16,00 19,00
9 0 6,00 8,00 14,00 15,00
10 0 5,00 8,00 13,00 23,00
Rerata ±SD 0 6,10 ± 0,88 11,30 ± 7,26 17,40 ± 7,38 23,70 ± 9,49
Rendahnya lama hidup betina dibandingkan jantan disebabkan oleh aktifitas
oviposisi yang dilakukan oleh betina. Alasan yang dikemukakan oleh Godfray
(1994) adalah dibutuhkannya energi dan usaha yang lebih besar dari induk untuk
persiapan nutrisi pada jumlah keturunan yang banyak hingga lama hidupnya jadi
lebih pendek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina Trissolcus sp.
meletakkan telur pada hari pertama setelah kemunculannya dan rata-rata jumlah
telur yang dihasilkan dapat mencapai 35,50 butir. Kondisi ini menguntungkan
karena segera setelah parasitoid betina keluar dari telur inang dapat langsung
memarasit inangnya, sehingga pengaruh faktor-faktor luar seperti suhu dan
kelembaban terhadap potensi parasitisasi dapat diperkecil.
Masa oviposisi Trissolcus sp. berlangsung hanya selama 6,10 ± 0,88 hari
(Tabel 5). Hasil ini menunjukkan umur Trissolcus sp. yang dapat digunakan untuk
perbanyakan maksimal 6 hari. Hasil penelitian Iranipour et al. 2010 menunjukkan
masa oviposisi Trissolcus grandis pada inang Eurygaster integriceps Puton
26
(Hemiptera: Scutelleridae) berkisar antara 4,7 – 22,4 hari tergantung suhu
lingkungan dan asal populasi parasitoid.
Masa pascaoviposisi Trissolcus sp. mencapai 11,30 ± 7,26 hari (Tabel 5).
Menurut Awan et al. (1990) masa pascaoviposisi T. basalis dapat mencapai 21,1
hari pada inang N. viridula. Hasil penelitian Iranipour et al. (2010) menunjukkan
bahwa masa pascaoviposisi T. grandis pada inang E. integriceps dapat mencapai
30 hari. Sedangkan T. semistriatus pada inang E. integriceps hanya 5,7 hari
(Kivan dan Kilic 2006). Hasil ini mengindikasikan bahwa Trissolcus sp.
merupakan serangga pro-ovigenic. Serangga seperti ini memiliki cadangan telur
untuk seumur hidupnya dan dapat meletakkannya pada berbagai inang (Driesche
et al. 2008). Informasi siklus hidup parastoid diperlukan untuk mengetahui
potensi parasiotoid dalam mengendalikan hama sebagai inangnya. Siklus hidup
Trissolcus sp. 11,91 - 12,66 hari lebih pendek dari C. javanus yaitu 60 – 80 hari.
Kemunculan Imago Trissolcus sp.
Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus.
Kemunculan imago jantan dimulai pada hari ke-10 dan mencapai puncaknya pada
hari ke-12 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur. Hari ke-15 adalah
hari terakhir kemunculan imago jantan. Imago betina muncul pada hari ke-11 dan
mencapai puncaknya pada hari ke 12 setelah imago Trissolcus sp. betina
meletakkan telur. Kemunculan imago betina terakhir pada hari ke-18 setelah
imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur (Gambar 17). Puncak kemunculan
imago jantan dan betina terjadi pada hari yang sama namun imago jantan muncul
terlebih dahulu. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi parasitoid
Trissolcus sp. untuk berkopulasi. Selain itu imago jantan memiliki waktu
perkembangan pradewasa yang lebih cepat dibandingkan dengan betina sehingga
memperbesar kemungkinan terjadinya kopulasi. Kopulasi sangat penting bagi
parasitoid karena telur yang tidak dibuahi akan berkembang secara partenogenesis
menjadi serangga jantan sedangkan yang dibuahi menjadi serangga jantan dan
betina. Reproduksi parasitoid seperti ini termasuk ke dalam tipe arenotoki atau
haplodiploid (Doutt 1973; Driesche et al. 2008).
27
Gambar 10 Kemunculan imago Trissolcus sp.
Nisbah Kelamin
Sebagian besar Hymenoptera parasitoid memilki tipe reproduksi arenotoki
atau haplodiploid (Doutt et al. 1989; Driesche 2008). Telur yang tidak dibuahi
akan berkembang secara partenogenesis menjadi serangga jantan sedangkan yang
dibuahi menjadi serangga betina. Imago betina dan jantan berwarna hitam dan
mudah dibedakan, terutama dari ukuran tubuh dan bentuk antenanya. Imago
betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Pada antena jantan, ruas
flagelomernya membulat sedangkan pada antena betina tidak.
Hasil penelitian pada tabel 6 menunjukkan adanya keragaman dan fluktuasi
nisbah kelamin yaitu 1 : 3,83 dimana jumlah imago betina cenderung lebih
banyak. Hasil penelitian Awan et al. (1990) menunjukkan nisbah kelamin
beragam menurut asal daerah geografis T. basalis pada inang N. viridula berkisar
dari 1: 0,94 sampai 1: 1,79. Kivan dan Kilic (2002) menemukan bahwa nisbah
kelamin Trissolcus semistriatus bervariasi menurut jenis inang. Doutt (1973)
menyatakan bahwa keragaman dan fluktuasi nisbah kelamin adalah karakteristik
utama reproduksi halplodiploid. Persentase imago Trissolcus sp. betina yang lebih
banyak akan menguntungkan karena imago betina menentukan perkembangan
suatu populasi dibandingkan jantan, semakin banyak imago Trissolcus sp. betina
akan semakin banyak keturunan yang dihasilkan.
0,00
40,00
80,00
120,00
160,00
200,00
240,00
280,00
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Ju
mla
h i
mago y
an
g m
un
cul
(in
div
idu
)
Hari kemunculan
Jantan
Betina
28
Tabel 6 Nisbah kelamin keturunan F1 dari imago betina Trissolcus sp.
Ulangan
Jumlah
keturunan F1
(individu)
Jantan
(individu)
Betina
(individu)
Nisbah
Kelamin
1 91,00 17,00 74,00 1 : 4,35
2 90,00 11,00 79,00 1 : 7,18
3 93,00 27,00 66,00 1 : 2,44
4 91,00 4,00 87,00 1 : 21,75
5 82,00 8,00 74,00 1 : 9,25
6 107,00 17,00 90,00 1 : 5,29
7 49,00 6,00 43,00 1 : 7,17
8 79,00 15,00 64,00 1 : 4,27
9 88,00 28,00 60,00 1 : 2,14
10 61,00 39,00 22,00 1 : 0,56
Rerata ± SD 83,10 ± 16,78 17,20 ± 11,13 65,90 ± 20,60 1 : 3,83
Kemampuan Reproduksi
Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan bahwa parasitoid Trissolcus sp.
betina mampu menghasilkan telur sebanyak 95,7 ± 18,34 butir, produksi telur
harian sebanyak 15,76 ± 2,63 butir. Hasil pembedahan ovari betina yang telah
mati ditemukan 33,60 ± 10,97 butir telur sehingga potensi produksi telur
Trissolcus sp. mencapai 129,30 ± 25,96 butir per betina. Kemampuan reproduksi
dapat mempengaruhi jumlah keturunan dan menentukan seberapa cepat
perkembangan populasi parasitoid tersebut (Doutt 1973).
Keperidian yang tinggi merupakan salah satu indikator penting dalam
kesuksesan pembiakan massal di laboratorium. Namun, keperidian parasitoid di
laboratorium tidak selalu menjadi indikator penting terhadap keefektifan
parasitoid di lapang. Karakteristik lain yang diperlukan parasitoid untuk bisa
menekan populasi hama di lapang adalah kemampuan mencari inang, menempati
habitat inang, kekhususan inang (Doutt dan DeBach 1973), dan kemampuan
memilih inang (Doutt 1973).
29
Tabel 7 Kemampuan reproduksi imago betina Trissolcus sp.
Ulangan Keperidian
(butir)
Produksi telur
per hari
(butir)
Sisa telur
dalam ovari
(butir)
Potensi
produksi telur
(butir)
1 102,00 17,00 32,00 134,00
2 105,00 17,50 42,00 147,00
3 106,00 15,14 36,00 142,00
4 104,00 17,33 55,00 159,00
5 95,00 15,83 27,00 122,00
6 123,00 15,38 36,00 159,00
7 57,00 9,50 26,00 83,00
8 98,00 19,60 25,00 123,00
9 93,00 15,50 41,00 134,00
10 74,00 14,80 16,00 90,00
Rerata ± SD 95,70 ± 18,34 15,76 ± 2,63 33,60 ± 10,97 129,30 ± 25,96
Pada hari pertama kemunculannya, Trissolcus sp. betina mampu meletakkan
35,30 ± 7,13 butir telur. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi yang dapat
dihasilkan oleh imago Trissolcus sp. betina selama masa hidupnya. Hasil ini
menunjukkan bahwa Trissolcus sp. efektif mengendalikan C. javanus karena
Trissolcus sp. dapat segera meletakkan telur artinya parasitisasi lebih cepat terjadi.
Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah telur yang mampu dihasilkan
T. basalis pada inang N. viridula yang mencapai 65 butir pada hari pertama
kemunculannya (Awan et al. 1990). Namun demikian kedua spesies ini
menunjukkan pola reproduksi yang sama. Jumlah telur yang dihasilkan semakin
menurun seiring dengan bertambahnya umur parasitoid hingga tidak meletakkan
telur pada hari ke-9 (Gambar 11).
30
Gambar 11 Reproduksi harian imago betina Trissolcus sp.
Persentase Parasitisasi
Hasil penelitian pada tabel 8 menunjukkan rata-rata persentase parasitisasi
Trissolcus sp. adalah 19,14 ± 3,67 % lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-
rata tingkat parasitisasi T. basalis inang N. viridula mencapai 41,8 - 72 % (Awan
et al. 1990). Hasil penelitian Kivan dan Kilic (2002) menunjukkan persentase
parasitisasi Trissolcus semistriatus mencapai 24,0 % pada inang Eurydema
ornatum (Hemiptera : Pentatomidae) dan 94,8 % pada inang Graphosoma
lineatum (Hemiptera : Pentatomidae).
Tabel 8 Persentase parasitisasi Trissolcus sp.
Ulangan Telur terparasit
(butir)
Telur tidak terparasit
(butir)
Persentase parasitisasi
(%)
1 102,00 398 20,40
2 105,00 395 21,00
3 106,00 394 21,20
4 104,00 396 20,80
5 95,00 405 19,00
6 123,00 377 24,60
7 57,00 443 11,40
8 98,00 402 19,60
9 93,00 407 18,60
10 74,00 426 14,80
Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 404,30 ± 18,34 19,14 ± 3,67
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pro
du
ksi
tel
ur
hari
an
(b
uti
r)
Umur Imago betina (hari)
31
Persentase parasitisasi harian Trissolcus sp. tertinggi terjadi pada hari
pertama kemunculan imago betina yang mencapai 70,60 % (Gambar 12). Hasil ini
dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan imago betina yang harus
dilepaskan di lapang.
Gambar 12 Persentase parasitisasi berdasarkan umur imago Trissolcus sp.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pre
sen
tase
Para
siti
sasi
(%
)
Umur imago betina (hari)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Siklus hidup Trissolcus sp. meliputi fase telur (satu hari) , larva (empat hari)
yang terdiri tiga instar, prapupa (satu hari), pupa (lima hari) dan dewasa. Lama
hidup imago jantan 23,70 ± 9,49 hari dan betina 17,40 ± 7,38 hari. Telur
parasitoid Trissolcus sp. bertipe stalked, larva instar pertama bertipe teleaform,
dan larva instar ketiga bertipe hymenopteriform.
Parasitoid telur Trissolcus sp. berpotensi dikembangkan sebagai parasitoid
telur untuk mengendalikan kepik jarak pagar C. javanus ditinjau dari:
i) Lama perkembangan yang relatif singkat (10 - 12 hari)
ii) Nisbah kelamin (1 : 3,83)
iii) Kemampuan reproduksi (95,7 butir/betina selama masa hidupnya)
iv) Masa praoviposisi yang singkat (<1 hari)
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pemanfaatan Trissolcus sp. sebagai
parasitoid telur untuk mengendalikan C. javanus di lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Arakawa R, Miura M, Fujita M. 2004. Effects of host species on the body size,
fecundity, and longevity of Trissolcus mitsukurii (Hymenoptera:
Scelionidae), a solitary egg parasitoid of stink bugs. Appl. Entomol. Zool. 39
(1): 177–181.
Austin AD, Johnson NF, Dowton M. 2005. Systematics, evolution, and biology
of scelionid and platygastrid wasps. Annu. Rev. Entomol 50: 553–582.
Awan MS, Wilson LT, Hoomann MP. 1990. Comparative biology of three
geographic populations of Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae).
Environ. Entomol. 19(2): 387-392.
Bebawi FF, Lockett CJ, Davis KM, Lukitsch BV. 2007. Damage potential of an
introduced biological control agent Agonosoma trilineatum (F.) on
bellyache bush (Jatropha gossypiifolia L.). Biological Control 41: 415–422.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Brotowidjoyo M D, penyunting.
Yogyakarta: UGM-Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of
Insects, Sixth edition.
Chabi-Olaye A, Schulthess F, Poehling HM, Borgemeister C. 2001. Factors
affecting the biology of Telenomus isis (Polaszek) (Hymenoptera:
Scelionidae), an egg Parasitoid of cereal stem borers in West Africa.
Biological Control 21: 44–54.
Chandra D. 2008. Inventarisasi hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar
(Jatropha curcas Linn.) di Lampung dan Jawa Barat. [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Clausen CP. 1940. Entomophagus Insect. New York: McGraw Hill Book
Company Inc.
Dadang. 2005. Pengendalian hama dan penyakit tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas Linn.) Dalam : Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar
(Jatropha curcas Linn.) untuk Biodiesel dan Minyak Bakar. Prosiding.
Bogor, 22 Desember 2006. Bogor: Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi, hlm 90-103.
Dadang. 2006. Pengendalian terpadu hamatanaman jarak pagar (Jatropha curcas
Linn.). Dalam : Workshop Hama dan Penyakit Tanaman Jarak (Jatropha
curcas Linn.) : Potensi Kerusakan dan Teknik Pengendaliannya. Bogor,5-6
Desember 2006. Bogor: Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, hlm 17-
22.
Doutt, RL. 1973. Biological characteristic of enthomophagous adults. Di dalam:
DeBach P,editor. Biological Control of Insect Pest and Weeds. London:
Chapman and Hall Ltd. hlm 145-167.
34
Doutt RL, DeBach P. 1973. Some biological control concepts and question. Di
dalam: DeBach P,editor. Biological Control of Insect Pest and Weeds.
London: Chapman and Hall Ltd. hlm 118-142.
Doutt RL, Annecke DP, Tremblay E. 1989. Biologi dan hubungan hospes
parasitoida. Di dalam: Huffaker CB, Messenger PS,editor. Teori dan
Praktek Pengendalian Biologis. Mangoendiharjo S,penerjemah. Untung
K,pendamping. Jakarta: UI-press. Terjemahan dari: Theory and Practice of
Biological Control.
Driesche RV, Hoddle M, Center T. 2008. Control of Pests and Weeds by Natural
Enemies: an Introduction to Biological Control. Singapore: Blackwell
Publishing.
Foerster LA, Doetzer AK. 2006. Cold storage of the egg parasitoids Trissolcus
basalis (Wollaston) and Telenomus podisi Ashmead (Hymenoptera:
Scelionidae). Biological Control 36: 232–237.
Godfray HCJ. 1994. Parasitoids, Behavioral and Evolutionary Ecology. New
Jersey: Princeton University Press.
Gordh G, Headrick D. 2001. A Dictionary of Entomology. UK: CABI Publishing.
Goulet H, Huber JT,editor. 1993. Hymenoptera of the World: An Identification
Guide to Families. Kanada: Agriculture Canada Publication.
Hagen KS. 1973. Developmental stages of parasites. Di dalam: DeBach P,editor.
Biological Control of Insect Pest and Weeds. London: Chapman and Hall
Ltd. hlm 168-246.
Hambali E. 2005. Kontribusi perguruan tinggi dan lembaga litbang untuk
pengembangan jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) menjadi biodiesel dan
minyak bakar). Dalam : Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar
(Jatropha curcas Linn.) untuk Biodiesel dan Minyak Bakar. Prosiding.
Bogor, 22 Desember 2006. Bogor: Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi, hlm 6-24.
Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Reksowardojo IK, Rivai M,
Ihasanur M, Suryadarma P, Tjitrosemito S, Soerawidjaja TH, Prawitasari T,
Prakoso T, Purnama W. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel
Cet ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya.
Heard TA, Chan RR, Senaratne KADW, Palmer WA, Lockett C, et al. 2009.
Agonosoma trilineatum (Heteroptera: Scutelleridae) a biological control
agent of the weed bellyache bush, Jatropha gossypiifolia (Euphorbiaceae).
Biological Control 48: 196–203.
Iranipour S, Nozadbonab Z, Michaud JP. 2010. Thermal requirements of
Trissolcus grandis (Hymenoptera: Scelionidae), an egg parasitoid of sunn
pest. Eur. J. Entomol. 107: 47–53.
Justo Jr. HD, Shepard BM, Elsey KD. 1997. Dispersal of the egg parasitoid
Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae) in Tomato. J. Agric. Entomol
14(2): 139-149.
35
Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Van Der Laan PA,
penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Karmawati E, Rumini W. 2009. Dinamika populasi dan pengendalian hama
utama jarak pagar. Warta Penelitian dan pengembangan Pertanian 31(5):
12-14.
Kementerian Perhubungan. 2009. Perhubungan Darat dalam Angka 2009.
Jakarta: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Kivan M, Kilic N. 2002. Host preference: parasitism, emergence and development
of Trissolcus semistriatus (Hymenoptera: Scelonidae) in various host eggs.
J. Appl. Ent 126: 395-399.
Kivan M, Kilic N. 2006. Age-specific fecundity and life table of Trissolcus
semistriatus, an egg parasitoid of the sunn pest Eurygaster integriceps.
Entomological Science 9: 39-46.
Koçak E, Kilinçer N. 2003. Taxonomic studies on Trissolcus sp. (Hymenoptera:
Scelionidae), egg parasitoids of the sunn pest (Hemiptera: Scutelleridae:
Eurygaster sp.), in Turkey. Turk J Zool 27: 301-317.
Krisnamurthi B. 2005. Pengembangan biofuel berbahan baku “jarak pagar”
sebagai bagian dari kebijakan diversifikasi energi nasional. Dalam : Seminar
Nasional Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) untuk
Biodiesel dan Minyak Bakar. Prosiding. Bogor, 22 Desember 2006. Bogor:
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, hlm 1-5.
Krombein KV, Hurd,Jr. PD, Smith DR, Burks BD. 1979. Catalog of Hymenoptera
in America North of Mexico. Washington DC: Smithsonian Institution Press.
Laumann RA, Moraes MCB, Pareja M, Alarcão GC, Botelho AC, Maia AHN,
Leonardecz E, Borges M. 2008. Comparative biology and functional
response of Trissolcus spp. (Hymenoptera: Scelionidae) and implications for
stink bugs (Hemiptera: Pentatomidae) biological control. Biological Control
44: 32–41.
Mahmud Z. 2006. Budi daya jarak pagar untuk sumber energi masa depan.
Dalam: Warta Penelitian dan pengembangan Pertanian 28(4): 1-3.
Masner L. 1993. Superfamily Platygastroidea. Di dalam: Goulet H, Huber JT,
editor. Hymenoptera of The World: an Identification Guide to Families.
Ottawa: Canada Communication Group. hlm 558 – 620.
Nurcholis M, Sumarsih S. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodisel, Seri Budi
Daya. Yogyakarta: Kanisius.
Prihandana R, Hendroko R. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Tangerang:
Agromedia Pustaka.
Priyanto U. 2007. Menghasilkan Biodisel Jarak Pagar Berkualitas. Jakarta:
Agromedia.
Qodir HA. 2010. Pengamatan parasitoid telur pada Chrysocoris javanus Westw.
(Hemiptera: Scutelleridae) di beberapa wilayah pertanaman jarak pagar
36
(Jatropha curcas Linn.) di Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rahat S, Gurr GM, Wratten SD, Mo J, Neeson R. 2005. Effect of plant nectars on
adult longevity of the stinkbug parasitoid, Trissolcus basalis. International
Journal of Pest Management 51(4): 321-324.
Rajmohana K. 2006. A checklist of the Scelionidae (Hymenoptera:
Platygastroidea) of India. Zoos Print Journal 21(12): 2506-2613.
[RI] Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Jakarta: RI.
[RI] Presiden Republik Indonesia. 2006. Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar
Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: RI.
Rider DA. 2009. Hymenoptera parasitoid records list by Pentatomoid species.
Department of Entomology. North Dakota State University.
http://www.ndsu.nodak.edu [21 Mei 2011].
Rosi MC, Isidoro N, Colazza S, Bin F. 2001. Source of the host marking
pheromone in the egg parasitoid Trissolcus basalis (Hymenoptera:
Scelionidae). Journal of Insect Physiology 47: 989–995.
Rumini W, Karmawati E. 2007. Hama pada tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas). Dalam: Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Prosiding. Lokakarya II Jarak Pagar. Bogor, 29 Nopember 2006. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, hlm 302 – 306.
Shanker C, Dhyani SK. 2006. Insect pests of Jatropha curcas L. and the potential
for their management. Current Science 91(2): 162-163.
Sodiq A. 2006. Inventarisasi hama dan penyakit tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas Linn.) di Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Sosromarsono S, Wardojo S, Adisoemarto S, Suhardjono YR. 2007. Nama Umum
Serangga. Ed ke-2. Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Tohir AM. 2004. Teknik pembiakan massal parasitoid telur pengisap polong
kedelai Trissolcus basalis Wollaston (Hymenoptera: Scelionidae). Buletin
Teknik Pertanian 9(2): 66-69.
Torres JB, Musolin DL, Zanuncio JC. 2002. Thermal requirements and parasitism
capacity of Trissolcus brochymenae (Ashmead) (Hymenoptera: Scelionidae)
under constant and fluctuating temperatures, and assessment of development
in field conditions. Biocontrol Science and Technology 12: 583-593.
Weber CA, Smilanick JM, Ehler LE, Zalom FG. 1996. Ovipositional behavior
and host discrimination in three scelionid egg parasitoids of stink bugs.
Biological Control 6: 245–252.
LAMPIRAN
38
Tabel Lampiran 1 Ukuran pradewasa dan imago Trissolcus sp.
Stadia Perkembangan Rerata ± SD
Panjang (mm) Lebar (mm)
Telur 0,38 ± 0,03 0,17 ± 0,02
Larva instar pertama 0,66 ± 0,19
1,03 ± 0,18
1,34 ± 0,07
0,35 ± 0,17
0,82 ± 0,24
1,13 ± 0,10
Larva instar kedua
Larva instar ketiga
Prapupa 1,32 ± 0,09 0,97 ± 0,10
Pupa 1,38 ± 0,05 0,84 ± 0,08
Imago jantan 1,33 ± 0,06 0,69 ± 0,03
Imago betina 1,51 ± 0,06 0,73 ± 0,03
Gambar Lampiran 1 Perbanyakan C. javanus; (a) sangkar pemeliharaan imago,
(b) tanaman jarak dalam sangkar, (c) imago mendapatkan
nutrisi dari buah jarak yang digantungkan, dan (d) imago
berkumpul di bawah permukaan daun.
39
Gambar Lampiran 2 Imago parasitoid Trissolcus sp.; (a) jantan menunggu
kemunculan betina, (b) kopulasi sesaat betina muncul dari
inang, (c) dan (d) betina melakukan oviposisi.
Jantan
40
Gambar Lampiran 3 Telur C. javanus terparasit; (a) 1 – 3 hari SPT, (b) 4 – 5 hari
SPT, (c) 6 hari SPT, (d) 7 hari SPT, (e) 8 – 9 hari SPT, (f)
jantan muncul pada 10 hari SPT , (g) parasitoid pada hari ke-
11 SPT menjelang keluar dari telur inang, dan (h) kulit telur
inang yang telah kosong pada hari ke-12 SPT.
41
Gambar Lampiran 4 Telur dan larva C. javanus tidak terparasit; (a) telur yang
akan menetas, (b) nimfa yang baru menetas, (c) kulit telur
yang telah kosong dengan pinggiran pecahan yang teratur,
dan (d) nimfa menghisap telur lain yang belum menetas.
42
Gambar Lampiran 5 Serangga Famili Scelionidae (Goulet & Huber 1993).