Post on 11-Jul-2015
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
1
KRITIK TERHADAP
METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN HASSAN HANAFI
Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin Lc.1
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini, diskursus seputar Al-Qur’an ramai diperbincangkan. Teori
penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh
sebagian kalangan pemikir muslim kontemporer.2
Tafsir klasik dianggap sudah tidak
relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat islam saat ini.3
Maka dibutuhkan sebuah
metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman.4
Teori tersebut adalah
hermeneutika.5
Salah satu pemikir muslim kontemporer yang menggunakan metode
hermeneutika dalam teori penafsiran Al-Qur’an adalah Hassan Hanafi. Ia adalah doktor
1Peserta Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor Angkatan Ke-III, Utusan Pondok Pesantren
Darussalam Sindang Sari kersamanah Garut Jawa Barat Indonesia.2
Diantara pemikir muslim kontemporer itu adalah: Hassan Hanafi, Fazlurrahman, MohamedArkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Farid Esack dll. (Lihat,
Adnin Armas MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al-Qur'an" dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425. Hal. 38)
3Sebagai contoh, Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta menulis kata pengantar untuk sebuah
buku Hermeneutika Al-Qur'an, sebagai berikut: ”Metode penafsiran Al-Qur'an selama ini senantiasa
hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks Al-Qur'an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentinganaudiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para mufassir klasik lebih menganggap
tafsir Al-Qur'an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikianharus bersih dari kepentinganmufassirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang
pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dashat pada masa-masa awal Islam. Terlepas darialasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas
dalam kehidupan umat Islam." (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
4 Para pemikir muslim kontemporer beranggapan, bahwasannya saat ini ada sebuah metodologi penafsiran yang bisa dijadikan alternatif untuk menafsirkan Al-Qur'an agar bisa sesuai dengan realita yang
terjadi pada zaman sekarang ini. Sebuah metodologi penafsiran yang telah dilakukan oleh pemikir Barat pada Bible. Metode itu adalah Hermeneutika.
5Istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno (Greek) “τα έρμενευτικα (dibaca: ta
hermeneutika), yaitu bentuk jamak dari perkataan: τα έρμενευτικον (to hermeneutikon)” yang bermakna:
‘perkara-perkara yang berkenaan dengan pemahaman atau penerjemahan suatu pesan. Diambil dariinfinitif: έρμενεύειν, Kedua kata ini merupakan derivat dari kata “Hermes” (‘Eρμες ). Mulai abad ke-17
istilah ‘hermeneutics’ dipakai untuk menunjuk suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan,karya atau teks. Sejak itu, istilah ‘hermeneutics’ dikontraskan dengan ‘exegesis’ (εξεγησις ), sebagaimana
‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’. Lebih tepatnya, hermeneutika adalah ilmu menafsirkan Bibel.
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
2
bidang filsafat di Universitas Kairo Republik Arab Mesir yang menyelesaikan studi dan
mendapatkan gelar Doktoralnya dari universitas Sorbon Paris. Dalam pemikirannya
mengenai konsep hermeneutika Al-Qur’an, Hassan Hanafi dapat disejajarkan dengan
tokoh pemikir Islam yang lain seperti Mohammed Arkoun, Abid Al-Jabiry, Nasr Hamid
Abu Zaid, Fazlurrahman dan lain-lain.
Hanafi menawarkan pendekatan sosial dalam menafsirkan Al-Qur’an (al-manhaj
al-ijtimā’ī fī at-tafsīr). dengan metode tafsir Al-Qur’an seperti ini, menurut Hanafi,
seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna
dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.
Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan
meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.6
Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah
mapan dan disepakati para ulama terdahulu. Yaitu, realita mendeduksi makna dari teks.7
Lebih lanjut, Hanafi mengembangkan teori hermeneutikanya melalui
pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl.
Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir dalam melakukan
penafsiran Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, wahyu diletakan
dalam ”tanda kurung” (epoche),8 tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu
lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an, apakah ia dari Tuhan atau dari
pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa
mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.9 Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana
layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan
sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua
6Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 1467
Dr. Fathi Muhammad Gharib, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-Azhar University, 2007) Hal. 109-111
8Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan
diri dari keyakinan tertentu”.9
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-148
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
3
teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama.10
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau
benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadapteks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Keempat, Tidak ada
penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh
perbedaan pemahaman penafsir. teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia.
Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Terakhir,
Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio politik dan bukan konflik teoritis. Setiap
penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.11
Langkah-langkah penafsiran yang dikemukakan oleh Hanafi merupakan
implikasi dari teori reduksi dalam Fenomenologi Husserl. Yang mana menurut Husserl,
untuk mencari hakikat yang esensial dari suatu realitas adalah dengan membiarkan
fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presuppositionlessness).12
menurut Husserl, Supaya dapat menangkap hakekat obyek-
obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua
hal yang mengganggu. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif.
Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. kedua:menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari
sumber lain. ketiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan oleh orang lain untuk sementara harus dilupakan. Apabila reduksi-
reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri.13
Dari pemaparan diatas, ada dua tema besar mengenai teori penafsiran Al-Qur’an
yang diusung oleh Hassan Hanafi akan penulis ungkap dalam tulisan ini. Pertama, teori
tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas, yang mana menurut
Hanafi, makna teks Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya,
dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Kedua, penggunaan
10Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo: Dār
Qubā, 1997) Hal. 23-3011
Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Miṣr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111
12Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008) hal. 144-146
13Herry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 117
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
4
fenomenologi dalam penafsiran Al-Qur’an. Pemahaman fenomenologi menurut Hanafi
bertujuan untuk mencapai makna yang objectif dari sebuah teks, tanpa ada otoritas dari
pemilik pendapat.14
B. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN HANAFI
Hassan Hanafi lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya
para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas
Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung,
tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir
memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi,
Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.
Ia merupakan filusuf hukum Islam dan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas
Kairo.
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian
Madrasah Tsanawiyah ”Khalil Agha”, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama di
Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi al-Ikhwān al-Muslimūn,15
dari kegiatannya inilah pemikiran Hanafi berkembang, selain itu, ia juga mempelajari
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan keislaman.
Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat
Universitas kairo, selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda,
14Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal.
1715
Al-Ikhwān Al-Muslimūn berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri
Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, FuadIbrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Al-Ikhwān Al-Muslimūn merupakan
sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaahyang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh,
bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual (shalat, puasa, haji, zakat, dll) saja. Tujuan Al- Ikhwān Al-Muslimūn adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami,
bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam,menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera
jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Al- Ikhwān Al-Muslimūn menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
5
kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil
konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern.16
Hanafi
menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan tesis berjudul
Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension
Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel
de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux.17
Karir akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor,
kemudian lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di
Jurusan Filsafat Universitas kairo. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah di
beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang.
Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan
menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987.
Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiyah dan
kemasyarakatan. Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat
Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan
menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.18
Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode
berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis kesadaran
pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang sekaligus
bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar fenomenologi dari
Husserl. Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental mewarnai pemikiran
Hanafi dalam membaca teks-teks keagamaan. Fenomenologi Edmund Husserl inilah
yang mendasari karya-karya akademisnya L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat
actuel de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux, Les
Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu
16Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī
Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 331-33217
Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika
Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 15718
Ibid, Hal. 158
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
6
Ushul Fiqh, dan La Phenomenologie d L’Exegese: essai d’une hermeneutique
existentielle a parti du nouvea Testanment.19
Persentuhannya dengan berbagai metodologi diatas, mendorong Hanafi untuk
mempersiapkan sebuah proyek pembaharuan pemikiran Islam yang menyeluruh (al-
manāhij al-islāmī al-’Amm. Hanafi memulai proyeknya ini sekembalinya ke Mesir
dengan mulai menggarap at-Turāts wa at-Tajdīd (tradisi dan modernisasi).
Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd berdasarkan tiga agenda
yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan
interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah
klasik” (mawqifunā min al-qadīm). Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas
kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap
Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun
sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi
kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi
ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap
realitas” (mawqifunā minal-wāqī).20
Dari hasil penelusuran penulis terhadap literatur Hanafi, penulis tidak
menemukan satupun karya tafsir yang dihasilkan oleh Hanafi. Hanafi hanya meletakan
premis-premis, metodologi penafsiran serta karakteristik penafsiran yang harus
dihasilkan dari proses penafsiran.
C. AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN HANAFI
Berbeda dengan pemikir kontemporer yang lain, Hanafi tidak
mempermasalahkan keabsahan dan keaslian teks Al-Qur’an. Menurut Hanafi, dari
sekian banyak kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, hanya Al-Qur’an yang bisa
dijamin keasliannya saat ini. Dalam hal ini Hanafi sepakat dengan para ulama terdahulu.
19 ofcit 332
20Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan
Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 71-75
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
7
Hanafi menyatakan bahwasannya, Allah Swt menurunkan Al-Qur’an secara
vertikal kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Dalam proses vertikal ini,Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bertindak sebagai passive transmitters. Keduanya
bertindak sebagai recorders sepenuhnya, sehingga wahyu Allah bersifat verbatim.
Sebagai passive transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad
menyampaikan apa adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai contoh, ada
beberapa surat Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf-huruf muqaṭṭa’ah seperti Nūn,
Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya, kemudian terdapat pula ayat yang mengkritik Nabi
Muhammad seperti yang terdapat pada awal surat Abbasa. Keberadaan ayat-ayat
semacam ini merupakan bukti internal bahwa Al-Qur’an otentik, terbebas dari campur
tangan Nabi Muhammad.21
Menurut Hanafi, Al-Qur'an sebagai "wahyu" memiliki tiga keistimewaan yang
tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain selain Al-Qur'an. Pertama, ia merupakan fase akhir
perkembangan wahyu dalam sejarah sejak Nabi Adam AS. hingga Nabi Muhammad
SAW. Dengan demikian Al-Qur'an merupakan wahyu yang tersempurnakan dalam
bentuknya yang terakhir, yang dapat diambil sebagai syari'at tanpa menunggu
perubahan, penggantian dan penghapusan. Kedua, ia terjaga, sehingga bebas dari bahaya
perubahan yang telah menimpa Kitab-kitab suci lain. Ketiga, Al-Qur'an sebagai kitab
suci yang tidak diturunkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Wahyu yang diturunkan
sesuai dengan tuntutan kondisi dan kebutuhan manusia. Setiap turun sebagai
penyelesaian atas situasi, ayat-ayat itu kemudian terakumulasi selama 23 tahun dan
menjadi Al-Qur'an seperti yang ada sekarang ini.22
1. Konsep teks dan Membaca teks
Dalam pandangan Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan proses
memahaminya, adapun yang menjadi objek pemahamannya adalah teks. Dalam hal ini
Hanafi mensejajarkan antara membaca teks dengan teori pengetahuan dalam filsafat
21Yudian Wahyudi dalam pengantar Hermeneutika Al-Qur’an? Dr. Hassan Hanafi (Yogyakarta,
Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal. vi-viii22
Hassan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur'an?, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010) Hal. 3-4
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
8
skolastik yang ditandai dengan relasi subjek-objek. Maka, jika pembaca adalah subjek,
yang menjadi objeknya adalah teks.23
Menurut Hanafi, membaca yang berarti memahami dengan sendirinya juga
berarti menafsirkan dan menakwilkannya. Tafsir berada pada level kedua dalam proses
pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung tidak dimungkinkan. Instrumen
pemahaman dalam tafsir adalah logika bahasa dan orientasi teks (tawjīh an-nash) atau
konteks sosial dan spirit zaman. Jika penafsiran dengan logika bahasa menemui jalan
buntu, sementara signifikansi teks, kebutuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat,
maka yang terjadi adalah proses ta'wil. Sementara syarh mencakup tiga hal sebelumnya
yakni: qirā’ah, penafsiran dan ta’wīl. Dalam kedudukannya sebagai bangunan
pengetahuan yang komprehensip, syarh mencakup hubungan antara proses membaca
dan teks dalam relasi subjek-objek.24
Lebih lanjut Hanafi menjelaskan, pembacaan suatu teks dapat menjadi kegiatan
yang bercorak pribadi dan dapat pula mencerminkan dialektika sosial. Bentuk yang
pertama terjadi ketika seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari kebudayaan
yang sama, sementara yang kedua adalah apabila seseorang melakukan pembacaan teks
pada kebudayaan yang berbeda. Pembacaan teks yang dilakukan dalam dua bentuk ini,
tidak dapat dianggap sebagai tafsir , ta'wil dan syarh belaka terhadap objeknya.
Melainkan harus dianggap juga sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut
persepsi pembaca. Didalamnya tercakup pembacaan, analisis, kritik dan "rekonstruksi"
untuk menyempurnakan struktrur dan penyingkapan aturan-aturan teks. Pada sisi lain,
pembacaan teks bukanlah seni, tapi ilmu praktis yang bersifat kumulatif guna
menyingkap struktur dasar suatu teks, baik yang terbentuk dalam rentang waktu yang panjang atau dalam periode yang singkat.
25
23Hassan Hanafi, Dirāsāt Falsafiyyāt (Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1988) Hal. 526
24Ibid, Hal 527
25Ibid, Hal 528-529
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
9
2. Hakikat teks
Secara sederhana, teks adalah perubahan kehendak dari oral menuju tulis.
Menurut Hanafi, teks bukanlah dokumen yang lebih dekat kepada timbunan atau catatan
kuno, tetapi adalah realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang akan terbangkit
melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam berbagai bentuk.
Teks adalah koodifikasi semangat zaman melalui pengalaman pribadi dan
kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Tujuan mengkoodifikasi sejarah adalah untuk
mewariskan pengalaman setiap generasi kepada generasi selanjutnya, demi membimbing
dan mengorientasikannya menuju masa depan. Sasaran daripada teks menurut hanafi
adalah untuk mendokumentasi situasi dan menkodifikasikannya demi transformasi dari
diversitas menuju kesatuan, dari perbedaan menuju kesepakatan. Dalam pengertian ini
teks berarti menghilangkan keberagaman dimasa kini dan mendahulukan kesatuan masa
depan, mempersempit masakini dan membentang kedalam masa depan, sehingga
semangat tetap dalam sejarah.26
Dalam pandangan Hanafi, teks bukan hanya semata-mata pendokumentasian
untuk melestarikan dan mencatat, melainkan mencerminkan otoritas pengorentasian,
koodifikasi dan penetapan hukum.27
Lebih lanjut Hanafi menyatakan bahwasannya teks merupakan mayat hidup yang
lebih menyerupai nenek moyang. Hal ini terjadi dalam setiap peradabanketika terjadi
perpindahan dari zaman lisan ke zaman penulisan. Jadi menurut Hanafi, teks bukanlah
semata-mata pendokumentasian untuk melestarikan dan mencatat, tetapi mencerminkan
otoritas pengorientasian, kodifikasi dan penempatan hukum.
28
D. Kritik Terhadap Tafsir Klasik
Berangkat dari ketidakpuasan Hanafi terhadap hasil interpretasi dari Tafsir
Klasik, maka Hanafi melakukan kritik terhadaf teori tafsir klasik yang telah dibangun
26Hassan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur'an?, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010) Hal. 80-81
27Ibid Hal 83
28Ibid Hal 81-82
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
10
oleh ulama Tafsir. Menurut Hanafi, tafsir klasik tidak memiliki teori solid yang memiliki
prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, sebab tafsir klasik tidak melampaui fase syarah (komentar), tafsīl (detailisasi), tikrār (pengulangan) dan penjelasan tentang apa
yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya. Disisi lain ia mengabaikan kehidupan,
problem, beban dan kebutuhan manusia. Sebagai akibatnya, teks keagamaan berkutat
pada dirinya sendiri, karena berlandaskan pada makna-maknanya dari jangkauan dalam
makna awal ayat.29
Hanafi menjelaskan, ada dua kelemahan dalam tafsir klasik yang
dianggap krisis dan sangat berpengaruh besar, dua krisis kelemahan yang menjadi
sasaran kritik Hanafi adalah krisis orientasi dan krisis epistemologis.
a. Krisis Orientasi
Upaya memahami wahyu adalah upaya yang melibatkan pembacaan sekaligus
pemahaman terhadapnya. Sementara pemahaman terhadap Al-Qur’an, menurut Hanafi,
adalah perbincangan mengenai teori penafsiran (naẓariyyah at-tafsīr) yang mampu
mengungkapkan kepentingan masyarakat, kebutuhan muslim dan isi-isu kontemporer.30
Hanafi menginginkan teoretisasi penafsiran yang meletakan kembali Al-Qur’an
sebagai sumber dan objek pengetahuan secara simultan dihadapan rasionalitas sebelum
melakukan kegiatan keilmuan lainnya, atau sebelum membangun ilmu-ilmu keislaman
apa pun, baik usul fiqih, tasawwuf, fiqih, filsafat dan lain sebagainya.31
Dalam pandangan Hanafi, tafsir Al-Qur’an klasik tidak pernah melakukan
perbincangan teoritis semacam ini secara tuntas. Akibatnya, tafsir klasik tidak otonom,
namun terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin keilmuan klasik Islam. Al-
Qur’an lebih banyak digunakan sebagai sumber justifikasi dalam menguatkan posisikeilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an lebih banyak
digunakan untuk memapankan disiplin lain, setelah itu baru digunakan kembali untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan bagi Hanafi, Al-Qur’an bukan sama sekali buku
29Ibid Hal. 5
30Hasan hanafi, Qadhāya Mu’āshirah Fī Fikrinā al-Mu’ashir Vol. 2 (Beirut: Dār at-Tanwīr,
1983) Hal. 175 , ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7
(Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 78 31
Opcit, Hal. 176
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
11
panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, mistik, buku pengetahuan, atau panduan
sosial-politik atau buku tentang metafor.32
Menurut Hanafi, Tafsir klasik terjebak dalam corak penafsiran disipliner diatas,
kemudian bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan tafsir analitik (at-tafsīr at-
tahlīlī) dalam konsep hanapi, tafsir ini disebut dengan at-tafsīr at-tūlā, suatu kegiatan
penafsiran yang bertele-tele. Tafsir yang menguraikan teks-teks Al-Qur’an dari mulai
surah al-fātihah sampai surah an-nās di akhir al-Qur’an. Metode penafsiran semacam
ini, menurut Hanafi, hanya akan melahirkan penafsiran yang parsial, bercampur baur
antara satu tema dengan yang lainnya. Bahkan hanya akan mengulan-ngulang tema yang
diperbincangkan. Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur tema yang rasional dan riil
yang bisa menyajikan argumennya dari dalam dan bukan dari luar. Dengan kata lain
Hanafi menyatakan, metode tafsir ini kehilangan ideologi yang koheren, pandangan
dunia yang bersifat global dan tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan
masyarakat kontemporer.33
Kritik Hanafi lebih dalam ketika melihat hasil tafsir Al-Quran dari para ulama
tafsir saat ini, Hanapi melihat adanya dualisme antara teks keagamaan (ilmu-ilmu Al-
Qur’an dan Hadits) dan dunia nyata (realitas kekinian). Untuk menjembatani dualisme
antara teks dan realitas model ini maka diperlukanlah sebuah methode penafsiran baru.
Metode itu adalah hermeneutika.34
Orientasi tafsir klasik, menurut Hanafi, mempunyai tiga kelemahan. Pertama,
teori tafsir klasik lebih bersifat teosentris daripada antroposentris. Artinya, teori ini
diarahkan untuk menegaskan wujud Allah dengan membahas esensi, sifat dan
perbuatannya, sekaligus mempertegas bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan
diminta pertanggungjawaban. Tafsir ini juga merupakan tafsir dogmatis teologis,
32Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī
Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 79-10133
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 139-140
34Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal.
7-8
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
12
padahal tafsir yang diinginkan oleh Hanafi adalah, setelah menegaskan wujud Allah,
keterciptaan alam dan kebertanggungjawaban manusia dan keyakinan lainya, mufassir
harus menegakan teori tentang wujudmanusia individu dan sosial dengan menjelaskan
berbagai situasi yang berkaitan dengan orang lain dan alam. Kedua, selalu terikat dengan
kondisi lokal Islam tempat dulu Islam lahir, khususnya dari segi sosial dan ekonomi.
Tafsir klasik juga tidak menggunakan nilai spiritual sebagai sarana untuk memenangkan
manusia. Ketiga, tidak pernah memulai dengan mengkritik, menyerukan perbaikan dan
perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya selalu
mengekor dan mengukuhkan setiap perbaikan dan perubahan yang dimulai dari luar teks
keagamaan.35
b. Krisis Epistemologi
Menurut Hanafi, khazanah pemikiran klasik tidak pernah memiliki suatu teori
penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang mengarah pada
kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir klasik menurut Hanafi, hanya
menjelaskan masalah-masalah yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan
masyarakat. Adapun ciri-cirinya adalah mengulang-ngulang pendapat klasik dalam
mempormulasikan berbagai argumen.36
Penafsiran diatas, dianggap Hanafi terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-
Qur’an, yakni linguistik (lughawy) dan sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an (asbāb an-
nuzūl). Padahal menurut hanafi, keduanya reduktif terhadap makna.
Metode Linguistik hanya membatasi penentuan makna teks Al-Qur’an
berdasarkan pada prinsip linguistik yang spesifik, seperti hakekat dan majaz, muhkamdan mutasyabih, mujmal dan mubayyan, zahir dan muawwal, muqayyad dan mutlak,
’am dan khas yang dilakukan untuk menjamin kebenaran makna. Padahal menurut
Hanafi, metode linguistik ini menghipotesakan bahwa makna teks itu haruslah tidak
jelas, sehingga dibutuhkan keseriusan ekstra untuk memahami maknanya. Lagi pula,
35Ibid, Hal. 8-10
36Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 140-141
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
13
metode ini melupakan pengalaman hidup yang dijelaskan oleh teks, yang semestinya
dirasakan oleh mufassir sebagai bagian dari umat secara keseluruhan.37
Adapun penafsiran klasik yang dilakukan melalui pendekatan sebab-sebab
turunnya ayat Al-Qur’an, menurut Hanafi, hanya membatasi sekedar pada kasus-kasus
spesipik yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Meskipun pendekatan seperti ini
dapat mengungkap peristiwa pertama dari teks, namun Hanafi memandang peristiwa
pertama ini merupakanpengalaman hidup orang-orangdimana ayat itu diturunkan,
sekaligus merupakan pengalaman hidup yang terulang-ulang dalam kehidupan orang
lain. Sebagai akibatnya, pemahaman ayat dilakukan dengan cara menunjukannya pada
pengalamannya, yang hidup dalam kesadaran mufassir dalam kehidupan pribadi maupun
sosial. Asbāb an-nuzūl klasik berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir, dimana
pemahaman ayat dilakukan secara langsung dengan melihat kejadian yang ditunjuk oleh
ayat itu sendiri.38
E. METODE HERMENEUTIKA HANAFI
Didalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih spesifik adalah didalam
pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats wa at-Tajdid) Hanafi menyatakan
bahwa mega proyek daripada Tradisi dan Modernisasi adalah upaya rekonstruksi
peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya dalam wahyu, atau
reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada realitas kontemporer dan
tradisi klasik. Tujuan akhirnya adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan
yang komprehensif.39
Untuk kepentingan diatas, Hanafi merencanakan sebuah
hermeneutika yang mencakup berbagai teori interpretasi, baik atas teks maupun terhadap
realitas.
Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks
atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika,
37Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal. 6
38Ibid. Hal. 7
39Hasan Hanafi, At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo: Al-
Markaz Al-‘Arabī, 1980) Hal. 213
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
14
dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan
tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutikaadalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.40
Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi
menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ia rumuskan
melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika
sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih tepatnya metode tafsir tematik (at-
tafsīr al-maudhū’ī). Dengan hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi,
seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna
dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.
Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi
sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia
menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. Karena tafsir
tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu, kesadaran dan alam.41
Menafsirkan dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari objek.
menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks. Menafsirkan
menurut Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap isi terdalam dari teks
yang berhubungan dengan kesadaran yang paling dalam.42
Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi
meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Al-
Qur’an. Premis-premis itu adalah:
40Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika
Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 160-16141
Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 14642
Ibid Hal. 147
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
15
Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche),43
tidak diafirmasi,
tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-
Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis, bahkan sebagian
cendikiawan muslim kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad
Arkoun,44
apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran
dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.
Menurut Hanafi, dalam tahap interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi
relevan, karena teks adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau
manusiawi, sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks
merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi teks
tersebut.45
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya
sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki
kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan
yang sama. Baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-ur’an.Al-Qur’an menurut
Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa manusia, sebagaimana halnya juga
hadits Nabi.46
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah.
Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan
kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi mencerminkkan pertentangan
43Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan
diri dari keyakinan tertentu”.44 Dalam pandangan Nashr hamid Abu Zaid, keabsolutan AL-Qur'an yang sakral sebatas dalam
bentuknya yang metafisis atau saat berada di lawh mahfudz yang tidak diketahui hakekatnya dan tidak
dapat dibuktikan melainkan hanya sekedar cerita dari Al-Qur'an saja. Kemudian Al-Qur'an yang absolutdan sakral tersebut menjadi pudar, relatif dan nisbi saat diwahyukan kepada Nabi dan dipahami oleh
ummat Islam. Hal ini karena keabsolutan dan kesakralan Al-Qur'an telah hilang saat berada dalam akal pembacaan manusia yang bercampur dengan pewarnaan dan kepentingan masing-masing penafsir. Maka
kesimpulannya, menurut Abu Zaid, Al-Qur'an yang absolut dan sakral sudah tidak ada lagi di dunia ini.Sumber: Henri Shalahuddin M.A. Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)
45Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-14846
Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah Vol. II (kairo:Dār Qubā, 1997) Hal. 23-30
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
16
kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa selalu berubah-ubah.
Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap
teks hanyalah preposisi formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum
keserupaan. Menurut Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang
menyebabkan teori keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.
Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran
yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks hanyalah alat kepentingan,
bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam
masa mereka.
Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan
konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok epistemologis. Setiap
penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir. Penafsiran menurut Hanafi,
merupakan senjata ideologis yang banyak digunakan oleh kekuatan sosio-politik, baik
dalam rangka mempertahankan keuasaan atau merubahnya.47
Dari lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari penafsiran
yang bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa karakteristik dalam
penafsiran Al-Qur'an.
Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-
juz'i) yaitu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Qur'an bukannya menafsirkan seluruh
ayat-ayat Al-Qur'an.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu'i)
karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang dibutuhkan.
Ketiga, bersifat temporal, (at-tafsir az-zamani). Penafsiran tidak diarahkan
kepada pencarian makna universal, melainkan diarahkan untuk menelusuri makna sesuai
yang diinginkan Al-Qur'an untuk generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan
47Hassan Hanafi, Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I
(Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995) Hal. 417-418
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
17
dengan masa lalu atau masa yang akan datang, melainkan dikaitkan dengan realitas
kontemporer dimana ia muncul.
Keempat, berkarakter realistik (at-tafsir al-waqi'i). Yaitu memulai penafsiran
dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanyakrisis dank
kesengsaraan yang mereka hadapi.
Kelima, beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan
teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu pada dasarnya memiliki
tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan masyarakat dan hal-hal yang
menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan natural.
Keenam, bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang sesuai dengan
kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
Ketujuh, perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi Hanafi, Mufassir tidak
dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian dan penelitian yang
mendalam atas masalah-masalah kehidupan.
Terakhir, posisi sosial mufassir ditentukan secara sosial sekaligus menentukan
corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran merupakan bagian dari struktur sosial,
baik itu bagian dari golongan atas, menengah atau bawah.48
Setelah meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran, kemudian
Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung hermeneutika Al-Qur'an
yang ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika menafsirkan
Al-Qur'an.
Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir bukanlah seorang yang
netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis dalam masanya. Ia
48Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī
Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
18
terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir tanpa komitmen tertentu, sebab
hilangnya komitmen berarti tidak memiliki komitmen apa-apa.
Kedua, mencari sesuatu. Seorang mufassir tidak memulai penafsiran dengan
tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Menurut
Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu sendiri. Sementara hikmah yang dikandung
asbab an-nuzul merupakan gambaran dari prioritas realitas atas teks.
Ketiga, seorang mufassir berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema-tema tertentu. Setiap ayat yang berhubungan satu sama lain dalam tema-tema
tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca dan dipahami berulang-ulang secara seksama
dan simultan sehingga orientasi umum dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan.
Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi, bahasa merupakan
bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam makna.
Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi
orientasi makna, mufassir berusaha membangun suatu strukturberangkat dari suatu
makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah sisi koin yang sama. Keduanya
adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.
Keenam, analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema sebagai struktur
ideal, mufassir menggabungkandan menghubungkannya dengan situasi nyata, untuk
mengetahui status kuantitatif masalah. Menurut Hanafi, diagnosa sosial adalah cara lain
untuk memahami makna sebagai dinamika teks dalam dunia nyata.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil. setelah proses
membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta sosial memberi
status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir membandingkan struktur
ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi faktual yang diinduksi olek statistik
dalam ilmu-ilmu sosial.
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
19
Terakhir , deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya kesenjangan
antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan langkah berikutnya dari proses interpretasi. Mufassir mentransformasikan diri dari teks ke aksi, dari teori ke
praktek dan dari pemahaman ke perubahan.49
F. TANGGAPAN ATAS TEORI HERM ENEUTIKA HANAFI
Teori penafsiran yang dibangun Hanafi diatas, bercorak hermeneutika sosial
yang lebih mengedepankan realitas kontemporer yang terjadi saat Al-Quran itu
ditafsirkan. Hal ini terkait dengan latar belakang turunnya (asbāb an-nuzūl) ayat atau
surat Al-Qur'an. Menurut Hanafi, tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar
belakang pewahyuan (asbāb an-nuzūl). Latar belakang ini menurut Hanafi, harus
dipahami dalam pengertian yang luas, asbāb an-nuzūl dapat berupa kondisi, peristiwa,
atau lingkungan yang didalamnya sebuah ayat atau surat diturunkan. Setiap latar
belakang tercermin dalam kuantitas surat. Surat yang panjang menggambarkan suatu
peristiwa yang besar adapun surat pendek menggambarkan sebaliknya.50
Dengan pendapat seperti ini, Hanafi membangun teori Hermeneutika sosial yang
bersifat antroposentris karena berbasis realitas yang terjadi pada manusia dan alam
sekitar manusia serta menghilangkan unsur-unsur teosentris (ilāhiah) yang tidak
memihak manusia seperti yang telah dipaparkan diatas. menurut Hanafi, seorang
mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari
teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan
sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus
menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima
makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.51
49Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 151-15350
Hassan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi': Dirasat fi asbab an-nuzul, (Nadwah mauqif al-Islam
wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana dikutip oleh Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 64
51Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 146
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
20
Pendapat Hanafi bahwa semua ayat dan surat Al-Qur'an ada asbab an-nuzul nya
sangat bertentangan dengan teori asbāb an-nuzūl yang telah dikoodifikasikan denganmapan oleh ulama-ulama 'ulūm Al-Qur'an terdahulu yang sangat menguasai 'ulūm Al-
Qur'an seperti as-Suyuti dan al-Wahidi.
Dalam pandangan as-Suyuti dan Al-Wahidi, teks Al-Qur'an ayang diturunkan
oleh Allah SWT terbagi kedalam dua bagian. Pertama , ayat-ayat yang Allah turunkan
berkenaan dengan kejadian dan sebab-sebab tertentu. Kedua, Ayat-ayat yang Allah
turunkan langsung tanpa ada kejadian dan sebab-sebab tertentu. Bagian kedua adalah
bagian yang terbanyak. Menurut Al-Wahidi dari sekitar 6236 ayat Al-Qur'an yang ada
latar belakang turunnya berjumlah 472 ayat, sedangkan menurut as-Suyuti berjumlah
888 ayat. Dari penelitian inilah mereka berdua menyimpulkan bahwa teks Al-Qur'an
lebih dahulu ada dari realitas itu sendiri. Jadi dalam penafsiran Al-Qur'an Realitas
tunduk terhadap Teks Al-Qur'an.52
Dalam konteks ini hanafi mengikuti teori yang dikembangkan oleh golongan
Mu’tazilah yang membangun teori penafsiran Al-Qur’an diatas pokok yang lima (al-
ushūl al-khams),53 maka dari itu, teori penafsiran yang mereka bangun adalah,
menjadikan teks mengikuti apa yang mereka kehendaki sesuai dengan pokok-pokok
yang lima diatas. Begitupula teori yang dikembangkan Hanafi, dengan dalih untuk lebih
membumikan Teks Al-Qur'an supaya lebih humanis (antroposentris), Maka Hanafi
mengedepankan realitas, lalu mencari ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan realitas
itu. Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah
disepakati para ulama terdahulu. Yang mana, dalam konsep teori penafsiran ulama
tedahulu adalah, realita mendeduksi makna dari teks, bukan sebaliknya.
54
52Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf
(kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 6853
Pokok-pokok yang lima itu adalah: at-tauhīd, al-’adl, al-wa’du wa al-wa’īd, al-manzilah bainaal-manzilatain, dan al-amr bi al-ma’rūf wa an-nahy ’an al-munkar
54Dr. Fathi Muhammad Gharib, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-Azhar
University, 2007) Hal. 109-111
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
21
Lebih lanjut Hanafi, mengembangkan teori hermeneutikanya melalui
pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl.Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir dalam melakukan
penafsiran Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, wahyu diletakan
dalam ”tanda kurung” (epoche),55
tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak
perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an, apakah ia dari Tuhan
atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa
mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.56
Langkah penafsiran Al-Qur'an yang
dilakukan oleh Hanafi jelas sekali merupakan implikasi dari teori fenomenologi Husserl
yaitu dengan melakukan epoche atau dikenal juga dengan teori reduksi. Yang mana bagi
Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat
fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa
memanipulasinya. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah
metode fenomenologis.57
Untuk merealisasikan pandangannya, menurut Husserl reduksi pertama-tama di
perlukan, oleh sebab dalam sikap alamiah orang beranggapan bahwa apa yang kita alami
adalah suatu dunia yang berdiri pada diri sendiri. Padahal bagi orang yang berfikir
jelaslah bahwa dunia sebagaimana dimengerti manusia adalah hasil kegiatan subyek.
Dapat dikatakan bahwa dunia dikonstituir artinya oleh subyek. Lagipula reduksi
diperlukan oleh sebab dunia asli yang kita cari artinya sudah tidak ada lagi. Dunia selalu
sudah diubah artinya karena pengaruh ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Arti ilmiah
dan kultural yang kita berikan kepada dunia harus lepas.58
55 Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkandiri dari keyakinan tertentu”.
56Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-14857
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Hal. 118 – 119. Menurutfilusuf pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus diamati dengan indra, sebab fenomen
dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera. Juga fenomen tidak perlu suatu peristiwa. Menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah apa yang menampakkan diri
dalam dirinya, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas dihadapan kita, lihat HarunHadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24, 1980) Hal. 140.
58Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius,
cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228.
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
22
Dalam usaha melihat hakekat intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan
reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala
pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intusi dilakukan. Reduksi juga
dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl
adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung.59
Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis.
Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersifat netral. Tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang ada dalam hal ini diberi
kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.60
Agar mencapai hakekat obyek,
diperlukan tiga tahap reduksi yang fungsinya adalah menyingkirkan semua hal
pengganggu. Reduksi Fenomenologis, reduksi kedua Reduksi Eidetis dan reduksi ketiga
Transendental.61
Reduksi Fenomenologis merupakan tahap penyaringan terhadap semua
pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang
semurni-murninya.62
Singkatnya ini merupakan reduksi dari pengalaman sehari-hari
tentang dunia yang dicampuri pengertian ilmiah dan kultural, guna memandang kembali
dunia dalam arti aslinya.63 Atau dengan kata lain, reduksi ini adalah “pembersihan diri”
dari segala subyektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.64
Sedangkan reduksi eidetis merupakan penyaringan atau penempatan dalam tanda
kurung segala hal yang bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena), inti sari atau
realitas fenomena. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil penomena yang
hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah
59Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke dua,
2005) Hal. 180.60
Ibid 61
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 11762
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993) Hal. 34063
Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius,cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228 – 229.
64Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke dua,
2005) Hal. 181
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
23
mennggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek
dan profil yang tiada terhingga.65
Terakhir adalah reduksi transendental, Dalam reduksi transendental yang harus
ditempatkan di antara tanda kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada
hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang
sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode
fenomenologi itu diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada
kesadaran yang murni.66
Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau
fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri pada kesadaran. Reduksi ini
merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam
kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi adalah aktus kesadaran
sendiri. Kesadaran disini bukan pula kesafadan empiris lagi, bukan kesadaran bukan
berarti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran
yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada
bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut aku “transendental”67
Tujuan dari reduksi-reduksi diatas, menurut Husserl adalah menemukan
bagaimana objek dikonstitusi sebagaimana fenomena asli dalam kesadaran manusia.
Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat
dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya
terjerumus pada idealisme transendental seperti digambarkan diatas. Dan diceritakan
bahwa hal ini bertentangan dengan tujuan semula.
Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif
tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun
ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri
mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai, tetapi bermuatan
nilai. Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang
65 Ibid hal. 182
66Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993) Hal. 340
67 Ofcit, Hal. 183
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
24
tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi
menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku
sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh
pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.68
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra,
teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan
istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama.69
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada
hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan
kepentingan dan motivasi. Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi
pluralaritas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks
hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi
sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan
konflik sosio politik dan bukan konflik teoritis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-
politik penafsir.70
Langkah-langkah penafsiran yang dikemukakan oleh Hanafi merupakan
implikasi dari teori reduksi dalam Fenomenologi Husserl. Yang mana menurut Husserl,
untuk mencari hakikat yang esensial dari suatu realitas adalah dengan membiarkan
68Gadamer menyatakan bahwa walaupun penafsir memiliki jarak terhadap fenomena budaya
tertentu, penafsir tersebut sebenarnya tidak bekerja dengn “tangan kosong:, penafsir tersebut “telahmembawa sesuatu” yang oleh Heidegger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia liat)
dan vorgriff (apa yang digagas kemudian). Dalam memberi pemaknaan seorang penafsir terikat aspek, pertama tidak ada titik nol yang absolut sebagai awal penafsiran. Kedua tidak ada pandangan yang bersifat
total untuk memahami suatu objek dalam sekejap, ketiga tidak ada penafsiran secara total sehinga tidak ada pula situasi yang mutlak membatasi, keempat peluang memadukan antara fenomena, karena fenomena
yang diamati manusia pada hakekatnya tidak bersifat tertutup. Lihat Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga, 200
7) Hal. 4069
Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo: Dār Qubā, 1997) Hal. 23-30
70Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī
Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
25
fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presuppositionlessness).71
Menurut Husserl, Supaya dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka
dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang
mengganggu. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap
kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. kedua:
menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari
sumber lain. ketiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan oleh orang lain untuk sementara harus dilupakan. Apabila reduksi-
reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri.72
F. KESIMPULAN
Teori hermeneutika yang dibangun Hanafi sebagaimana penulis paparkan diatas,
bukanlah hal baru. Jauh sebelum Hanafi, para orientalis telah memasarkan teori-teori
Hermeneutika sebagai metodologi study Al-Qur'an.
Hanafi menyusun metodologi penafsiran Al-Qur'an bukan dengan teori 'ulūm Al-
Qur'ān yang selama ini telah mapan dan banyak dipergunakan oleh ulama-ulama Islam
dalam menafsirkan Al-Qur'an, melainkan dengan pendekatan filsafat. Sehingga lahirlah
Hermeneutika sosial yang lebih mengutamakan realitas daripada wahyu itu sendiri.
Ayat-ayat Al-Qur'an menginduksi makna dari realitas yang ada dan berkembang saat
penafsiran Al-Qur'an.
Hanafi juga mencoba untuk menghilangkan otoritas para ulama yang telah
berjasa mengkoodifikasikan aturan-aturan bagi seorang mufassir. Hal ini Hanafi lakukan
dengan mengadopsi teori fenomenologi Husserl. Sehingga penafsiran dapat dilakukan
oleh semua orang.
71Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008) hal. 144-146
72Herry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 117
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
26
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ashi, M. Salim, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf
(kairo: Daar al-Bashair, 2003)
Armas, Adnin MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al-Qur'an" dalam Jurnal
Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425.
Gharib, Fathi Muhammad, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-
Azhar University, 2007)
Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983)
Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24,
1980)
Hanafi, Hasan, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri
ad-Dīnī Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989)
_________, At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo: Al-
Markaz Al-‘Arabī, 1980)
_________, Dirasat Falsafiyyah. (Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1988)
_________, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009)
_________, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo:
Dār Qubā, 1997)
_________, Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I
(Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995)
_________, Qadhāya Mu’āshirah Fī Fikrinā al-Mu’ashir Vol. 2 (Beirut: Dār at-Tanwīr,
1983)
Huijbers, Teo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat
Kanisius, cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228.
Muslih, Muhammad , Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, cetakan kelima, 2008)
Praja, Juhaya S, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke
dua, 2005)
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)
5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha
27
Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga,
2007)
Saenong, Ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut
Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
Shalahuddin, Henri, Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)
Sholeh, Ahmad Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika
Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003)
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993)