Post on 22-Nov-2015
description
0
STUDI KASUS 1 MODUL EMG
SEORANG LAKI-LAKI YANG MENGELUH SERING
MERASA SEMUTAN
KELOMPOK VI
0302009040 Ayunda Afdal
0302009041 Ayunda Shinta N.
0302009042 Azizah Chairiani
0302009043 Azmi Ikhsan Azhary
0302009044 B. Bonia Sari
0302009045 Bayu Permana
0302009046 Bellinda Paterasari
0302009048 Boy sandy Sunardhi
0302009051 Charisha Nadia
0302009052 Chaterine Grace Tauran
0302009053 Christopher R. P. Siagian
0302009054 Citra Indah Puspita Sari
0302009055 Claudia Marisca
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
19 JULI 2011
1
B A B I
P E N D A H U L U A N
Topik diskusi
Seorang laki-laki yang mengeluh sering merasa semutan
Tutor diskusi I
Dr. Hartoto
Diskusi I sesi 1 Diskusi I sesi 2
Tanggal : 19 September 2011 21 September 2011
Waktu : 13:00 14:00 08:00 09:00
Durasi : 1 jam 1 jam
Ketua diskusi : B. Bonia Sari Charisha Nadia
Sekertaris : Christopher R. P. Siagian Boy sandy Sunardhi
Jumlah peserta : 13 orang 13 orang
Perilaku peserta dan perjalanan diskusi:
Peserta diskusi dapat mengikuti arahan tutor dengan baik. Tutor juga memberikan
learning issue kepada peserta untuk dibahas pada hari diskusi selanjutnya. Tutorial berjalan
dengan baik.
2
B A B I I
L A P O R A N K A S U S
A. REKAM MEDIS TN. HADI
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Hadi
Umur : 42 tahun
Alamat : -
Pekerjaan : -
Status nikah : -
ANAMNESIS
Keluhan utama : sering merasa kesemutan
Selain keluhan utama pasien mengeluh badannya semakin gemuk akibat kurang
berolahraga. Pasien cepat merasa lelah dan sering sakit kepala terutama pagi hari saat bangun
tidur. Tn. Hadi tampak gemuk dengan perut membuncit. Pada kelopak mata sebelah kiri
tampak benjolan kekuningan sebesar kacang hijau.
Pada anamnesis tambahan, nyeri dipangkal ibu jari kaki kirinya sejak 3 hari yang lalu,
tetapi sekarang sudah membaik.
MASALAH HIPOTESIS ALASAN
1. Kesemutan a. Defisiensi vit. B12 b. Tanda stoke ringan
c. DM d. Alkoholisme
Pada seluruh hipotesis dapat
menyebabkan kesemutan
2. Sakit kepala a. Hipoglikemi b. Tumor otak
3. BB meningkat Obesitas
4. Gula darah 120/dl DM
5. TD 140/100 mmHg Hipertensi stage 1
6. Perut buncit Obesitas Pada pria yg obesitas
3
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
I. Keadaan Umum
1. Tingkat kesadaran : Kesadaran pasien masih baik (compos mentis).
2. Kesan Sakit : Pasien tidak menunjukkan kesan tanda sakit. Pasien
tampak gemuk dengan perut membuncit.
3. Status Antropometri : Diketahui pasien dengan Berat Badan 85 Kg dan
dengan Tinggi Badan 160 Cm, BMI (Body Mass Index) pada pasien ini adalah
33,2 yang berarti lebih dari 30, pasien ini dikategorikan termasuk ke dalam
obesitas. Untuk perhitungan BMI, dengan menggunakan rumus berikut,
Rumus BMI = berat badan (kilo gram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (meter)
= satuannya kg/ m2.
Kriteria BMI menurut World Health Organization (WHO)1:
Indeks BMI KATEGORI
< 18,5 Under weight (berat badan kurang)
18,5 24,9 Normal
25 29,9 Overweight (berat badan berlebih)
> 30 Obese (gemuk)
penumpukan lemak terjadi di
perut, jika pada wanita terjadi
di bokonng
7. Kelopak mata bengkak (xanthelasma)
Dislipidemia Jaringan pada kelopak mata
adalah jaringan ikat longgar
sehingga lebih mudah terjadi
penumpukan lipid
8. Nyeri pankal ibu jari
kaki
Gout Gout menyerang sendi-sendi
kecil terutama MCP1
4
II. Tanda Vital
Status Lokalis
Kepala : Pada kelopak mata atas sebelah kiri tampak benjolan
kekuningan sebesar kacang hijau.
Mata : Tidak diketahui
Telinga : Tidak diketahui
Hidung : Tidak diketahui
Mulut : Tidak diketahui
Tenggorokan : Tidak diketahui
Leher : Tidak ada pembesaran Tiroid dan kelainan getah bening leher.
Thorax
Paru-paru:
- Inspeksi : Normal
- Palpasi : Normal
- Perkusi : Normal
- Auskultasi : Normal
Jantung:
- Inspeksi : Normal
- Palpasi : Normal
- Perkusi : Normal
- Auskultasi : Normal
Hasil Normal
Suhu C 36,5 - 37,2 C
Denyut nadi 88x/menit 60-100 X/mnt
Irama denyut Regular teratur(reguler)
Tekanan darah 145/100mmHg 120/80 mmHg(optimal)
Pernafasan 24x/menit 14-18 x/mnt
5
Abdomen
- Inspeksi : Abdomen tampak membuncit, lingkar perut 114 cm
- Palpasi : Nyeri tekan (-), shifting dullness (-)
a. Hepar : Teraba 1 jari dibawah arcus costae, kenyal, tepi tajam,
permukaan licin, nyeri tekan (-)
b. Lien : Tidak teraba.
- Perkusi : Tidak diketahui
- Auskultasi : Tidak diketahui
Punggung : Tidak diketahui
Genitalia eksterna : Tidak diketahui
Ekstremitas : Terdapat pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki
kiri dan masih tampak sedikit kemerahan, tidak ada
pembengkakan pada sendi-sendi lain, edema -/-.
Hipotesis
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien yang obesitas, ditunjang pula dengan
pengukuran lingkar perutnya yang besar. Selain itu terdapat hipertensi dan hiperpnoe pada
pemeriksaan tanda vital. Pada inspeksi didapatkan benjolan pada kelopak mata. Hal ini
mengarah kepada diagnosis dislipidemia. Pada ekstremitas, didapatkan adanya
pembengkakakan pada sendi pangkal ibu jari kaki. Hal ini mengarah kepada diagnosis gout
akut yang disebabkan oleh hiperurisemia. Hipotesis lainnya ialah adanya sindroma metabolik
pada pasien. Hal tersebut ditunjang oleh adanya dislipidemia, hipertensi, dan hiperurisemia.
Juga, ditunjang oleh pemeriksaan lalu, tingginya kadar gula darah sewaktu.
6
PEMERIKSAAN LABORATORIUM2
Hitung Darah Lengkap : Parameter Nilai pasien Nilai normal
Hemoglobin 11,5 g%* 13,5-18
Leukosit 6200/mm3 5000-10000/mm
3
Trombosit 212.000 150-350(ribu)
LED 45 mm/jam* 0-15 mm/jam
Nilai Normal Serum : SGOT 78 u/L* 5-40 u/L
SGPT 86 u/L* 0-40 u/L
GD Sewaktu 210 mg/dl 110 mg/dl
GD Puasa 145 mg/dl* 70-110 mg/dl
HBA1C 8%*
7
sebelumnya. Hal ini terkait pula dengan adanya eritrosit dan leukosit dalam urin yang
menandakan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal bisa menjadi
komplikasi kronis diabetes melitus.
B. PENGKAJIAN
Pasien datang dengan keluhan sering merasa kesemutan. Kesemutan (paresthesia)
adalah sensasi sentuh abnormal, seperti rasa terbakar, tertusuk, sering kali tanpa adanya
rangsangan luar. Kesemutan merupakan sebuah gejala gangguan pada fungsi saraf atau aliran
darah seseorang. Pada kasus ini, kelompok kami mengambil beberapa hipotesa yang dapat
menyebabkan gejala kesemutan tersebut, yaitu:
Neuropati diabetika
Alkoholisme
Defisiensi vit. B12
Tanda stroke ringan
Hipotesa stroke ringan dihapus karena pada anamnesa lanjutan tidak disebutkan bahwa pasien
juga mengalami rasa baal. Untuk hipotesa alkoholisme dan defisiensi vit. B12 perlu
ditanyakan kepada pasien dalam anamnesis tambahan bagaimana kebiasaan/gaya hidup pasien
ini. Kesemutan pada hipotesa neuropati diabetika dapat dijelaskan lewat teori Polyol
Pathway.3
Hipotesa neuropati diabetika pada kasus didukung oleh anamnesis lanjutan dimana
pasien mengatakan bahwa BB-nya semakin bertambah. Dari perhitungan hasil pemeriksaan
fisik didapatkan BMI pasien adalah 33,2 (Obesitas kelas II) dan TD pasien yang termasuk
dalam hipertensi stage II. Obesitas dan hipertensi merupakan 2 faktor resiko terjadinya DM
tipe 2. Adanya neuropati dicetuskan oleh keluhan pasien yang sering merasa semutan.
Kaitannya ialah hiperglikemia menyebabkan peningkatan glukosa pada sel saraf (neuron)
8
sehingga terjadi konversi glukosa menjadi sorbitol oleh enzim aldose reductase. Sorbitol
kemudian akan menurunkan kadar myoinositol dan fosfoinositol yang akan menurunkan
kadar diasilgliserol, protein kinase C, dan Na+ K+ ATP-ase sehingga menyebabkan
demyelinisasi sel saraf. Demyelinisasi sel saraf menyebabkan perlambatan konduksi saraf
sehingga terjadi paraesthesia pada pasien. Selain itu peningkatan enzim aldose reductase
menjadi inhibitor kompetitif nitrit oksida. Penurunan kadar nitrit oksida kemudian akan
menurunkan aliran darah vasa nervorum.
Selain itu, telah terjadi nefropati diabetikum ditandai dengan adanya peningkatan
kadar ureum dan kreatinin darah, hematuria, dan piuria. Nefropati diabetikum disebabkan
oleh karena keadaan hiperglikemia persisten yang kemudian menyebabkan
glomerulosklerosis. Mekanisme yang bertanggung jawab akan terjadinya glomerulosklerosis
ialah glikosilasi protein struktur glomerulus. Glikosilasi membran basalis dan protein
mesangial dapat menjadi faktor utama yang bertanggung jawab dalam peningkatan matriks
mesangial dan perubahan permeabilitas membran yang kemudian akan menyebabkan
proteinuria.3,4
Pasien mengeluh sering merasa cepat lelah. Hal ini dapat dikaitkan dengan resistensi
insulin pada DM tipe 2, dimana karena terjadi penurunan kepekaan sel-sel sasaran terhadap
insulin maka fungsi insulin untuk meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh
menjadi menurun sehingga sel kurang mendapatkan energi dan pasien menjadi mudah lelah.
Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin,
maka kadar glukosa dalam plasma darah akan meningkat sehingga terjadi hiperglikemia,
dimana pada kasus ini ditunjukkan melalui GD sewaktu pasien yang mencapai 210 mg/dl
(yang juga dapat menjadi Kriteria diagnostic DM yaitu kadar glukosa darah sewaktu 200
mg/dl).
9
Untuk keluhan sakit kepala terutama ketika bangun tidur, kelompok kami mempunyai
2 hipotesis yaitu sleep apnea dan akibat perubahan postur yang diperburuk adanya
aterosklerosis. Pasien yang mengalami obesitas dapat mengalami sleep apnea yaitu masa
dimana pernapasan berhenti sebentar selama tidur. Akibat lemak yang menekan jalan napas,
supply oksigen ke otak menurun sehingga otak mengalami hipoksia. Untuk kompensasi
tubuh, terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak untuk meningkatkan supply oksigen dan
mengatasi hipoksia, vasodilatasi arteri inilah yang menyebabkan timbulnya sakit kepala.
Hipoperfusi jaringan otak juga dapat terjadi karena perubahan posisi dari berbaring ke posisi
bangun. Ini diperparah bila terdapat aterosklerosis pada pembuluh darah (berdasarkan faktor
resiko obesitas dan DM) yang dapat mengurangi suplai darah ke otak sehingga otak
mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala sakit kepala.3
Perut pasien yang membuncit menunjukkan tempat simpanan cadangan lemak yang
berada di perut. Akibat intake karbohidrat (KH) yang banyak membuat lipogenesis
meningkat. Hal ini menyebabkan lemak yang tidak digunakan sebagai energi disimpan
sebagai cadangan, pada pria terutama di bagian abdomen.
Benjolan kuning di kelopak mata pasien disebut xanthelasma yang merupakan
timbunan kolesterol (akibat hipertrigliseridimia, LDL yang tinggi) pada jaringan dibawah
kulit. Infiltrasi dan deposit lipoprotein pada jaringan, tidak terbatas pada pembuluh darah,
lipoprotein dapat masuk ke kulit, jaringan subkutan dan tendon, akumulasi tersebut dapat
mengakibatkan xanthomata. Xanthelasma palpebrarum merupakan bentuk tersering dari
xanthoma. Dislipidemia selain dari asupan dan gaya hidup, juga dipengaruhi oleh resistensi
insulin yang akan dibicarakan nanti. Resistensi insulin meningkatkan lipolisis di jaringan
adiposa yang menghasilkan free fatty acid (FFA). FFA akan diuptake ke hati dan
menyebabkan pembentukan VLDL yang akan berisi banyak trigliserida. Selain itu, banyaknya
10
FFA di hati menyebabkan terjadinya fatty liver yang ditandai dengan adanya peningkatan
SGOT/SGPT.5
Pada anamnesa lanjutan dimana pasien mengeluh terdapat nyeri dipangkal Ibu jari
kaki kiri sejak 3 hari yang lalu, ditambah hasil pemeriksaan asam urat: 8,5 mg/dl, maka kami
menyimpulkan pada kasus ini Tn. Hadi juga mengalami serangan gout akut. Gout ini dapat
diakibatkan dari kebiasaan makan pasien yang buruk (jeroan, kacang-kacangan, dll) yang
dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan mengendap di sendi. Selain karena
kebiasaan makan, pada kasus ini, gout tersebut dapat kita kaitkan pula dengan DM yang
diderita karena pada DM tipe 2 dimana terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat di ginjal
yang dapat menyebabkan hiperuricemia.
Patofisiologi Gout
Asam urat diketahui berfungsi sebagai antioksidan dan mungkin antioksidan yang
paling penting dalam plasma dengan kontribusi sampai 60% dari seluruh aktivitas
pembersihan radikal bebas dalam serum manusia. Namun demikian asam urat juga bersifat
prooksidatif pada kondisi tertentu, khususnya bila antioksidan lain berada dalam level yang
rendah. Asam urat merangsang produksi sitokin dari leukosit dan kemokin dari otot polos
pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adesi platelet dan
pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stres oksidatif.
Dari sini diduga terdapat peranan potensial asam urat atau xantin oksidase bagi
terjadinya disfungsi endotel dan dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya
bermuara pada terjadinya resistensi insulin dan cardiovascular events. Efek ensimatik xantin
oksidase adalah produksi reactive oxygen species (ROS) dan asam urat. Hal ini akan
menimbulkan stres oksidatif dan memicu terjadinya resistensi insulin baik secara langsung
maupun akibat peningkatan aktivitas Protein Kinase C (PKC).5
11
Studi pada tikus percobaan yang diberi makanan fruktosa, memperlihatkan perbaikan
sebagian besar gambaran sindroma metabolik seperti hiperinsulinemia, hipertensi,
hipertrigliseridamia dan berat badan, setelah konsentrasi asam urat diturunkan.
Studi pada manusia juga mendapatkan asam urat sebagai predictor poten adanya
hiperinsulinemia dan obesitas, hal ini diduga akibat kemampuan asam urat dalam
menghambat fungsi endotel melalui gangguan dalam produksi nitric oxide.
Hubungan yang positif antar asam urat dengan resistensi insulin sebagian disebabkan
karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, sebagai akibatnya
kemampuan ginjal mengekresikan sodium dan asam urat menurun dan hasil akhirnya
konsentrasi asam urat serum meningkat.
Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar asam urat
dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya sangat rendah sehingga
cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam
bentuk kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui.
12
Pada pemeriksaan tanda vital pernafasan didapatkan pasien mengalami tachypnoe, hal
ini dapat disebabkan oleh obesitas yang membuat lemak pada bagian abdomen pasien
menekan diafragma sehingga ketika expirasi maupun inspirasi, diafragma tidak dapat
mengembang sempurna. Hal ini mengakibatkan kompensasi berupa nafas yang cepat sebagai
usaha untuk mengambil cukup oksigen dan untuk mengeluarkan CO2.
Hasil pemeriksaan lab dimana menunjukkan SGOT dan SGPT yang meningkat 2x
normal membuat kelompok kami menduga bahwa pada pasien ini terjadi fatty liver. Untuk
menegakkan diagnosa, kami mengajukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa USG
hepar.3
Resistensi insulin pada pasien dibuktikan dengan peningkatan gula darah sewaktu dan
gula darah puasa. Selain itu juga dapat dilihat dari adanya peningkatan trigliserida, hipertensi,
dan hiperurisemia. Mekanisme penyebab molekular dari resistensi insulin masih belum terlalu
jelas. Penyebab yang paling mungkin ialah adanya defek pada fosforilasi/defosforilasi
regulasi insulin. Contohnya ialah defek pada PI-3 menyebakan penurunan daya translokasi
dari GLUT4 menuju ke membran plasma. Selain itu, teori lain menyatakan adanya
abnormalitas dari akumulasi lipid di miosit yang kemudian menyebabkan terganggunya
fosforilasi oksidatif di mitokondria dan menurunkan produksi ATP untuk stimulasi insulin di
mitokondria.
13
Resistensi insulin pada kasus menyebabkan pasien mengidap diabetes melitus tipe 2. Diabetes
melitus tipe 2 ialah keadaan hiperglikemia dimana sel tidak bisa menggunakan glukosa secara
normal yang disebabkan oleh resistensi insulin. Pasien didiagnosis sebagai diabetes melitus
tipe 2 karena telah memenuhi kriteria diagnosis dari American Diabetes Association (ADA),
2007 yaitu :7
Gejala diabetes dan gula darah sewaktu > 200 mgdl atau
Gula darah puasa > 126 mg/dl atau
Gula darah post-prandial > 200 mg/dl
Selain itu, gejala-gejala lain yang menunjang diagnosis ialah keluhan pasien cepat lelah,
peningkatan LED (biasanya pada penyakit kronis), dan peningkatan kadar HbA1C.
HBA1C merupakan hemoglobin yang telah mengalami glikosilasi. Molekul ini
terbentuk secara lambat oleh tubuh akibat tinggi nya kadar glukosa dalam darah. Tingi nya
molekul ini menunjukan level gula pasien yang tinggi telah berlakungsung minimal 3 bulan
sebelumnya. HBA1C pasien yang meningkat menandakan pasien ini menuju diabetes melitus
(pra diabetes).2
LED bukan merupakan alat bantu diagnostik, tetapi nilainya dapat menunjukan
adanya perjalanan penyakit yang kronis (pada pasien ini). Selain itu, nilai LED dipengaruhi
oleh viskositas darah. Dimana pada pasien ini ditemukan tingginya kadar glukosa darah yang
menyebabkan viskositas darah meningkat yang diikiti meningkatnya LED pasien ini.
Hiperurisemia juga merupakan akibat dari adanya resistensi insulin. Resistensi insulin
berakibat di sekresikannya banyak insulin oleh sel b pankreas yang kemudian menyebabkan
hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia menyebabkan menurunnya pengeluaran asam urat di
ginjal, sehingga kelebihannya tidak bisa dibuang. Kemudian terjadi hiperurisemia. Pada
kasus, pasien menyebutkan keluhannya yaitu nyeri dipangkal ibu jari, dan pada pemeriksaan
14
fisik ditemukan pembengkakan dan kemerahan pada ibu jari tersebut. Diduga hiperurisemia
pada pasien telah menyebabkan penyakit Gout, yaitu adanya deposit urat pada sendi-sendi
yang dimulai dari ibu jari kaki. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan gout, yaitu
dengan aspirasi dari deposit tophi, yang kemudian dilihat adanya kristal urat.
Untuk pemeriksaan urinalisis dimana didapatkan eritrosit dan leukosit yang
meningkat, hipotesa kami ini berhubungan dengan laju perkembangan penyakit DM yang
dialami pasien, yaitu menuju ke arah adanya nefropati diabetikum, namun belum sampai pada
stadium lanjut jika dilihat dari GFR dan faal ginjal yang belum terganggu. Hipotesa kami
yang lain, eritrosit dan leukosit tersebut adalah akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh
batu asam urat di t. urinarius yang berkaitan dengan gout yang dialami pasien. Dan hipotesa
kami yang terakhir mengenai hasil pemeriksaan sedimen urin ini adalah adanya Infeksi
Saluran Kemih yang biasa diderita oleh pasien DM. Untuk mengetahui penyebab pasti, kami
mengajukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa pemeriksaan BNO atau USG ginjal
untuk melihat adanya urolithiasis, dan kultur urin untuk memastikan adanya ISK.
C. DIAGNOSIS
Sindroma Metabolik dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dan Gout artritis
15
Sindroma metabolik didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis dari National
Cholesterol Education Program (NCEP) : Adult Treatment Panel (ATP) III 2001 yaitu :
3 atau lebih dari :
Obesitas sentral : lingkar pinggang >102 cm untuk pria.
Hipertrigliseridemia : Trigliserida > 150 mg/dl
Rendahnya kadar kolesterol HDL : 130/85 mm/Hg
Yang mana pasien pada kasus memiliki keempat point tersebut.
Selain itu, pasien juga telah memenuhi kriteria diagnosis dari Internation Diabetes
Foundation yaitu :
Lingkar pinggang > 90 cm
Dan 2 atau lebih dari :
Trigliserida > 150 mg/dl
Kolesterol HDL < 40 mg/dl
Tekanan darah > 130/85
Gula darah puasa >100 mg/dl atau sebelumnya didiagnosis diabetes melitus tipe 2
Sindroma metabolik pada pasien mencakup resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan
hiperurisemia.
D. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan fisik tambahan:
Pemeriksaan retina
Pemeriksaan tekanan darah orthostatik
Pemeriksaan kaki
o Neuropati perifer
16
o Kalus
o Infeksi jamur
o Kuku
o Refleks ankle
o Deformitas kaki (potensial terjadi ulkus), misal : Hammer/claw toes,
Charcot foot, dll.
Tekanan nadi perifer
Pemeriksaan saraf sensoris
o Getar
o Sentuh
o Pin-prick test
Pemeriksaan gigi dan gusi
Pemeriksaan penunjang
1. Sedimen Urin Kristal Asam Urat.
Kami menyarankan pemeriksaan ini atas indikasi kecurigaan adanya nefopati
akibat hiperurecemia. Pemeriksaan ini juga dapat mendukung adanya Kristal
asam urat yang bertanggung jawab atas penemuan eritrisit dan leukosit.
2. OGTT
Pemeriksaan ini merupakan alternatif dari pemeriksaan kadar insulin dalam
darah.
3. Kadar Insulin dalam darah.
Pemeriksaan ini kami sarankan untuk indikasi pengobatan Diabetes Melitus
(Tipe 1 atau 2). Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membantu kita
menyusun penatalaksanaan yang tepat untuk seorang pasien.
17
4. Glukosa darah post prandial
Pemeriksaan ini kami anjurkan untuk menguji respons penderita terhadap
asupan tinggi karbohidrat 2 jam setelah makan.
5. USG
Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa ginjal dan hati. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kita akan mencari tanda-tanda dari fatty liver pada hati dan
urolithiasis pada ginjal.
6. Kultur urin
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kecurigaan kita terhadap
infeksi saluran kemih (ISK) yang bertanggung jawab ditemukannya eritrosit
dan leukosit. Kelompok kami berharap tidak ditemukan infeksi ISK Karena
melihat tanda vital pasien yang tidak memperlihatkan gejala infeksi.
7. EKG
Untuk memantau keadaan kardiovaskuler pasien. Kadar gula darah yang tinggi,
terlebih bila disertai dengan faktor risiko lain seperti dislipidemia (gangguan
kadar lipid/lemak), hipertensi dan kegemukan, dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah koroner jantung hingga aliran darah yang
memberikan suplai darah pada otot jantung menjadi tertutup. Akibatnya, dapat
terjadi serangan jantung akut yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
8. Screening: microalbuminuria. Jika ada resiko PJK dilakukan cardiac stress
test.
9. Pemeriksaan C-peptide untuk mengetahui diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2.
E. RENCANA PENATALAKSANAAN
Tindakan awal
18
Pasien yang datang dengan berbagai keluhan, harus kita lakukan tindakan awal untuk
meringankan penderitaan pasien dengan memberikan penatalaksanaan berupa terapi
simtomatik sebagai berikut :
1. Analgesik seperti asam mefenamat atau paracetamol dapat diberikan untuk meringankan
sakit kepala yang diderita oleh pasien sewaktu bangun tidur pada pagi hari.
2. Untuk nyeri di pangkal ibu jari kaki kiri yang diduga pasien ini menderita gout akut
diberikan NSAID untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi.
3. Untuk kesemutan bisa diberikan rubonsia berupa vitamin B kompleks jika frekuensi
kesemutan yang diderita pasien bertambah sering dan parah. Vitamin B kompleks
diberikan guna membantu demyelinisasi pada saraf.
Tindakan terapeutik definitif
Tindakan ini dilakukan guna memberikan pengobatan terhadap penyakit utama yang
diderita pasien. Tindakan yang dilakukan berupa terapi kausatif sebagai berikut :
1. Edukasi kepada pasien kondisi tubuh serta komplikasi yang akan terjadi jika pasien tidak
menuruti program terapi dengan baik.
2. Diet dan perubahan lifestyle
Untuk dislipidemia : diet rendah kolesterol
19
Sore / Malam hari 25%
Selingan 10%
Untuk Hipertensi : restriksi sodium yang berlebih, makan banyak sayur dan buah-
buahan.
Untuk Gout akut : hindari makanan yang mengandung purin seperti bayam, brokoli,
jeroan, serta kacang-kacangan dan perbanyak minum air putih karna kristal asam urat
dapat larut dalam air dan diekskresikan melalui ginjal.
3. Aktivitas fisik dilakukan dengan metode CRIPE (Continuously, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance). Aktivitas yang paling baik untuk dilakukan adalah berjalan
(jogging atau treadmill). Pentingnya aktivitas guna untuk menurunkan berat badan
(deposit lemak di tubuh) serta memaksimalkan penggunaan karbohidrat sehingga insulin
dapat dirangsang dengan baik. Aktivitas fisik dilakukan setiap hari dengan interval yang
tetap sampai tubuh mencapai badan yang ideal.
4. Medikamentosa diberikan jika dengan diet dan aktivitas fisik pasien tidak mengalami
perubahan kea rah yang lebih baik.
Untuk DM tipe 2 : metformin merupakan obat pilihan untuk merangsang reseptor
terhadap insulin di jaringan.
Untuk Gout : diberikan alopurinol setelah melewati masa akut untuk mengatasi
hiperuricemia yang diderita pasien.
Untuk Dislipidemia : menggunakan obat golongan statin untuk menurunkan kadar
LDL dan trigliserida dalam darah serta mencegah terjadinya aterosklerosis pada
pembuluh darah pasien. Selain itu dapat mengurangi pertumbuhan xantelasma yang
diderita pasien. Xanthelasma dapat dihilangkan dengan bedah, tetapi bianya akan
timbul kembali.
Untuk Hipertensi : dengan obat golongan ACE I atau ARB
20
Dari penjelasan penatalaksanaan diatas, bisa di dilihat secara khusus:
Penatalaksanaan sindroma metabolik :
1. Diet
a. Diet rendah lemak jenuh : < 7% kalori, sedikit mungkin lemak trans, dan
kolesterol harian < 200 mg tujuan : menurunkan kolesterol LDL
b. Restriksi sodium, asupan sayur dan buah, serta produk susu rendah lemak.
tujuan : menurunkan tekanan darah
2. Aktivitas fisik
3. Obat-obatan
a. Golongan statin. Tujuan : menurunkan kolesterol LDL dan meningkatkan
kolesterol HDL jika tidak berhasil dengan diet.
b. Golongan asam fibrat. Tujuan : menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL.
c. Metformin. Tujuan : mengurangi resistensi insulin.
d. Antihipertensi (ACE inhibitor). Tujuan : menurunkan tekanan darah.
Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 :
Tujuan :
Mengurangi gejala akibat hiperglikemia
Mengurangi resiko komplikasi mikro dan makrovaskular
Meningkatkan kualitas hidup pasien senormal mungkin
21
1. Edukasi
a. Bagaimana monitor gula darah
sendiri
b. Bagaimana aplikasi dan
penggunaan insulin
c. Panduan manajemen diabetes
selama sakit
d. Manajemen hipoglikemia
e. Perawatan kaki dan kulit
2. Diet
a. Buah-buahan, sayur-sayuran, dan susu rendah lemak
3. Aktivitas fisik
Manfaat : mengurangi resiko penyakit jantung, menurunkan tekanan darah,
pengaturan massa tubuh, menurunkan lemak tubuh, menurunkan berat badan,
menurunkan gula darah, dan meningkatkan sensitivitas insulin.
Menurut rekomendasi American Diabetes Association, lakukan olahraga aerobik 150
menit/minggu distribusikan dalam 3 hari.
22
4. Obat-obatan
23
F. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
Komplikasi bagi diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori mayor: 1. Komplikasi
metabolik akut, 2. Komplikasi vascular jangka panjang.10
Komplikasi metabolik akut:
1. DKA
Diakibatkan oleh perubahan yang relative akut dari konsentrasi glukosa plasma. Pada
DM tipe 1 komplikasi paling serius adalah ketoasidosis diabetic (DKA). DKA terjadi karena
terjadi peningkatan lipolisis, peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan
benda keton. Peningkatan keton dalam plasma menyebabkan ketosis. Hal ini mengakibatkan
asidosis metabolic. Selain itu terjadi pula ketonuria. Pada keadaan lanjut, ketoasidosis ini bisa
mengganggu sel-sel otak dan menyebabkan kematian.
2. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
Sering terjadi pada diabetes tipe 2 dengan usia yang lebih tua. Hiperglikemia muncul
tanpa ketosis dan menyebabkan hiperosmolalitas, dieresis osmotic dan dehidrasi berat. Pasien
dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani
Komplikasi kronik jangka panjang:
1. Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
(retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati
diabetik), otot-otot serta kulit. Dari sudut histologi lesi-lesi ini ditandai dengan penimbunan
glikoprotein. Contoh, manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina.
Akibatnya perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan
kebutaan. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
neuron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Neuropati
disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan
insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa serta kadar mioinositol menurun yang
24
menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan
metabolic sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik
akan berkurang pada tahap dini neuropati.
2. Makroangiopati
Gambaran histopatologis terdapat aterosklerosis. Akibat penumpukan plak-plak
karena gangguan biokimia oleh insufisiensi insulin maka terjadi penyumbatan vaskuler. Jika
mengenai arteri perifer dapat terjadi klaidikasio intermitten, gangrene pada extremitas,
insufisiensi serebral serta stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka
dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
G. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad Bonam
Kelompok kami menyimpulkan prognosis ini dikarenakan pada pasien ini belum
terjadi kerusakan organ-organ vital yang serius terlihat dari tanda-tanda vital yang masih
dalam parameter normal.
Ad functionam : dubia ad Bonam
Pada pasien ini belum terjadi organ damage sehingga apabila dapat diberi terapi yang
baik serta control yang ketat terhadap makanan baik kualitas dan kuantitas akan terjadi
perbaikan pada organ yang secara akut mungkin terjadi penurunan fungsi seperti ginjal dan
hepar pada pasien ini.
Ad sanationam : ad Malam
Dikarenakan sudah terjadi defek baik itu pada pancreas (DM tipe 1) ataupun reseptor insulin
(DM tipe 2) maka kekambuhan penyakit ini resikonya akan tinggi sekali jika pasien tidak
mengupayakan untuk mengatur kadar glukosa dalam darahnya melalui berbagai usaha seperti
diet ketat dan olahraga.
25
B A B I I I
P E M B A H A S A N
Berikut kami sajikan tinjauan pustaka mengenai sindrom metabolik yang kami
tegakan sebagai diagnosis pada kasus ini:
SINDROM METABOLIK
PENDAHULUAN
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien
dengan resistansi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom
resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik.
Resistansi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi
sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit
diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau
sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular
lebih tinggi pada individu tersebut. Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa
keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral
paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan
sindrom, namun secara umum penatalaksanaan sindrom metabolik sejauh ini masih
merupakan penatalaksanaan masing-masing komponennya.
26
KRITERIA
Perlu diketahui bahwa untuk menegakkan diagnosis sindroma metabolik dapat
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria rujukan seperti kriteria NCEP-ATP III (National
Cholesterol Education ProgramThe Adult Treatment Panel III), kriteria WHO (World
Health Organozation), AHA (American Heart Association), dan juga IDF (International
Diabetes Federation). kriteria terkini yaitu berdasarkan kriteria dari IDF tahun 2005 sebagai
berikut:7
PATOFISIOLOGI
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik
penting untuk diketahui agar dapat menentukan rencana terapi.
Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas senralk yang digambarkanm oleh lingkar perut lebih sensitif
dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut
27
menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan viseral. Meski dikatakan bahwa lemak
sentral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih
kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular.
Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular
dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi
insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes.
Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai
faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adinopektin, TNF , IL-6 dan resistin.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini
belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan
glukosa plasma puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya
dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran HOMA (Homeostasis Model Assesment)
dan QUICKI (Quantitative Insulin Sensitivity Check Index) dibuktikan berkolerasi erat
dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.
Bila melihat patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem
kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan
insulin perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis
belum disarankan maupun disepakati.
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi
28
trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga
terjadi peningkatan produksi trigliserida. Peningkatan trigliserida juga bersifat multifaktorial
dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan
trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post
prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-
1 (Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolsereol HDL. Peran
sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil lipid pada
subyek dengan resistensi insulin.
Peran sistem imunitas pada resistensi insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker
inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein
(CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek
wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur
diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan
fibrinolisis dalam memprediksi risiko kardiovaskular.
Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada patogenesis hipertensi. Insulin merangsang
sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation
dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut
29
dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi
akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek presor dan depresor.
TERAPI
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah memiliki
sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen
sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan
penatalaksanaan dari masing-masing komponennya.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko DM tipe 2 pada pasien yang belum diabetes.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat
badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral
Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peranan
otak dalam pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan
klinik. Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom
metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan
asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang
sindrom metabolik. Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat
dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari ditunjang dengan
aktifitas fisik yang sesuai. Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau lebih
setiap hari. Untuk subyek dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan
evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olahraga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa
pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah sibutramin dan
30
orlistat. Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin
dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping
yang mungkin timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi
melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah
berat badan turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan namun
juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik,
sebagai efek dari penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang
disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol
HDL. Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko serius
akibat obesitasnya.
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga
mengakibatkan mikroalbuminuria yang dipakai sebagai indikator independen morbiditas
kardiovaskular pada pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda
antara subyek dengan DM dan tanpa DM. pada subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target
tekanan darah adalah < 130/80 mmHg, sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg.
Untuk mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet
dan aktifitas fisik. Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya
penurunan berat badan, berolahraga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak
mengkonsumsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu
mengendalikan tekanan darah maka dibutuhkan pendekatan medikamentosa untuk mencegah
komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan stroke.
Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama pada
penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensis
Receptor Blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibitor.
31
Meski pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa,
namun pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih
bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.
Gangguan Toleransi Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat
menjadi awal suatu DM. Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang
kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada sindrom
metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif
dapat menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki
glukosa 2 jam post prandial dan konsentrasi insulin.
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan
konsentrasi asam lemaj bebas. Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin
dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan
obesitas.
Dislipidemia
Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan
medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup
berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan untuk memberikan obat bersama dengan
perubahan gaya hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol LDL sudah mencapai target,
sasaran berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida 200mg/dl,
maka target terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi
dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna dapat
menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan
32
trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang
sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan
konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida,
kolesterol HDL dan LDL.
Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukkan apoB
lebih baik dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan
kolesterol non HDL sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian,
ATP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai target terapi mengingat di
beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.
Apabila konsentrasi trigliserida 500 mg/dl, maka target terapi pertama adalah
menurunkan trigliserida untuk mencegah timbulnya pankreatitis akut. Pada konsentrasi
trigliseria < 500 mg/dl, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL
dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL, untuk kolesterol HDL tidak
ada target terapi tertentu, hanya dinaikkan saja.
Dapat disimpulkan, sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang
keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan DM.
Obesitas sentral memiliki korelasi paling erat dengan sindrom metabolik dibandingkan
dengan komponen yang lain. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap
komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang berbeda bila dibandingkan dengan
komponen secara individual.
33
B A B I V
D A F T A R P U S T A K A
1. World Health Organization. Global database on body mass index: BMI classification.
[http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html, accessed on April 2,
2011].
2. Fischbach FT, Dunning MB. A manual of laboratory and diagnostic tests. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 7th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004.
4. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons
principles of internal medicine. 16th
ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
5. Emedicine. Xanthelasma. [http://emedicine.medscape.com/article/1213423-overview,
Eccessed on September 22, 2011].
6. Wisesa IBN, Suastik K. Hubungan antara konsentrasi asam urat serum dengan
resistensi insulin pada pendudul Bali asli di Dusun Tenganan Pegringsingan
Karangasem. J Peny Dalam. Vol 10.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.1741-66.
8. Prodia. Occupational Health Institute. Sindroma metabolik.
[http://prodiaohi.co.id/en/articles/9-sindroma-metabolik.html, accessed on Sept 21, 2011].
9. Medicastore. Obesitas. [http://medicastore.com/penyakit/42/Obesitas.html, Accessed
on September 11, 2011].
10. Price SA.. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6.th Jakarta: EGC;
2005. p.1259-69.
34
B A B V
P E N U T U P D A N U C A P A N T E R I M A K A S I H
Sekian penjelasan kami menganai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan
menilai makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk
diskusi, pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari dapat
berguna.