Post on 27-Jan-2021
Tinjauan Pustaka
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL
DAN GANGGUAN JIWA
LELY SETYAWATI KURNIAWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
1
Daftar Isi
Daftar Isi ii
Bab I Pendahuluan 1
Bab II Kecerdasan Emosional 4
2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional 4
2.2. Hal-hal yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 5
Bab III Gangguan Jiwa 7
3.1. Pengertian Gangguan Jiwa 7
3.2. Penyebab Gangguan Jiwa 8
3.3. Berbagai Jenis Gangguan Jiwa 10
Bab IV Hubungan Gangguan Jiwa dan Kecerdasan Emosional 14
Bab V Kesimpulan 22
Daftar Pustaka 23
2
Bab I
Pendahuluan
Kecerdasan intelektual atau yang biasa dikenal dengan IQ (Intelligence
Quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang
mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa,
dan belajar. Kecerdasan intelektual erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang
dimiliki oleh individu.
Kecerdasan intelektual seseorang juga sering dihubungkan dengan
kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan. Jika seseorang memiliki
kecerdasan atau intelektual yang tinggi maka ia juga akan dianggap memiliki
peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi. Nyatanya, banyak kasus dimana
seseorang yang memiliki kecerdasan yang lebih tinggi tidaklah lebih sukses daripada
orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang lebih rendah. Dengan demikian
disimpulkan bahwa IQ tidak menjamin keberhasilan dan kebahagiaan kehidupan
seseorang.
Intelligence Quotient merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan
manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari
Perancis pada awal abad ke-20. IQ dianggap takkan berubah sampai seseorang
dewasa, baik dikembangkan ataupun mengalami penurunan, kecuali bila terdapat
kemunduran fungsi otak seperti proses penuaan, penyakit dan kecelakaan.
Sedangkan manusia terus dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-
perubahan yang ia alami dalam setiap masa di kehidupannya.
3
Sebuah teori kecerdasan lainnya, yaitu kecerdasan emosi (Emotional
Quotient), yang ditemukan oleh seorang profesor dari Universitas Harvad, Daniel
Goleman, menunjukkan bahwa ternyata kemampuan seseorang dalam mengelola
emosinya dapat mendukung kemampuan mereka dalam melakukan adaptasi dan
menuntunnya meraih kesuksesan. Kecerdasan ini dapat terus dikembangkan seumur
hidup melalui pembelajaran dan pengalaman, menggunakan 4 kemampuan utama
yaitu: pengamatan, penggunaan, pemahaman, dan managemen emosi.
Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) didefinisikan sebagai
sekumpulan kemampuan dalam mengkonsepkan sesuatu, penilaian, ekspresi,
managemen emosi, serta pemanfaatan emosi. Konsep umum dari kecerdasan emosi
awalnya ditemukan oleh Thorndike (1920) menggunakan ide Social Intelligence and
Gardner’s dalam teori intelegensi ganda (contohnya intelegensi intrapersonal dan
interpersonal). Pembahasan tentang Kecerdasan Emosional (KE) telah banyak
dibahas dalam berbagai literatur. Pada tahun 1990, Salovey dan Mayer melakukan
penelitian yang berfokus pada kemampuan emosional. Sampai saat ini masih
terdapat kontroversi metode yang paling tepat untuk mengukur Kecerdasan Emosi
(Masoumeh, et al. 2014).
Daniel Goleman menyebutkan bahwa, kecerdasan emosional menyangkut
banyak aspek penting, yaitu: empati (memahami orang lain secara mendalam),
kemampuan untuk mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan
amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, memecahkan masalah antar
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat kepada orang
lain. Seluruh aspek tersebut mendukung keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan
diri terhadap kehidupan, mencapai kebahagiaan, serta memiliki jiwa yang sehat atau
dengan kata lain tidak terganggu.
4
Sampai hari ini istilah ‘gangguan jiwa’ ini masih menjadi stigma yang besar
di masyarakat. Berbagai jenis gangguan jiwa serta penggolongannya dapat dilihat
dari DSM-V dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3
(PPDGJ – III) yang merupakan terjemahan dari ICD-X. Gangguan jiwa yang terjadi
pada seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selain faktor biologis dan
genetik, gangguan jiwa juga erat kaitannya dengan stresor yang dialaminya (berasal
dari lingkungan) dan respon psikologis seseorang dalam menghadapi stresor
tersebut.
Kemampuan seseorang dalam memunculkan respon psikologis tersebut tentu
akan dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola emosi dalam dirinya. Untuk
melihat keterkaitan antara KE dengan gangguan jiwa yang dialami oleh seseorang,
maka tulisan ini akan membahasnya lebih lanjut. Sampai sejauh mana KE
berpengaruh terhadap gangguan jiwa tersebut, dapatkah dideteksi lebih awal
sehingga tidak membawa dampak buruk dalam kehidupan seseorang. Apakah
gangguan jiwa akan menurunkan KE atau sebaliknya KE rendah mempermudah
gangguan jiwa?
5
Bab II
Kecerdasan Emosional
2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman kecerdasan emosional (Emotional Quotient) adalah
sekumpulan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan
diri, daya tahan dalam menghadapi suatu masalah, kemampuan mengendalikan
impuls, memotivasi diri, mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan
membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000).
Peran kecerdasan emosional dalam pencapaian prestasi lebih besar dari peran
IQ yang hanya berpengaruh sekitar dua puluh persen saja. Meskipun demikian IQ
yang tinggi memudahkan seseeorang untuk belajar dan memahami berbagai ilmu. IQ
normal berkisar 90 - 110, di atas itu digolongkan sebagai superior dan genius.
PPDGJ-III khusus membahas gangguan kecerdasan yang memiliki IQ kurang dari
70 atau yang disebut sebagai Retardasi Mental, dikelompokkan sebagai Retardasi
Mental ringan, sedang, berat dan sangat berat (Goleman, 2000; PPDGJ-III).
Kecerdasan emosional (KE) memegang peranan yang penting dalam banyak
aspek kehidupan. Kecerdasan emosional juga memiliki efek pada kualitas hubungan
antara manusia. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih mudah
sukses karena mereka lebih mengetahui cara untuk mengenali emosi, mengaturnya,
dan mengintegrasikan pada kehidupan. Hal ini akan menimbulkan empati,
pengontrolan diri, kewaspadaan diri, manajemen stres, optimisme, dan hubungan
interpersonal yang baik. KE juga berkaitan dengan produktivitas seseorang dalam
bekerja, bekerjasama dalam tim dan menjadi pemimpin yang baik, serta memiliki
hubungan yang baik dengan teman, keluarga dan pasangan (Masoumeh, et al. 2014).
6
Goleman juga mengatakan bahwa orang yang mampu mengenali gejolak
emosinya akan lebih jernih melihat kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan
diri, dengan demikian dia akan lebih terarah mengambil langkah-langkah untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi (Goleman, 2000). Oleh karena itu EQ
mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal), seperti
self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation
(mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy,
kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang
dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik.
2.2. Hal - hal yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosional, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak
emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks,
sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan
mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat
secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau
sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya
media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa
satelit.
Goleman (2000), juga menyatakan bahwa kecerdasan emosi dapat
dipengaruhi oleh proses pembelajaran individu terhadap lingkungannya, yaitu:
7
a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam
mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua
adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang
pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kehidupan emosi
yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian
hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab,
kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan
anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam
menghadapi permasalahan.
b. Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan
lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pengembangan kecerdasan emosi dapat
ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah
pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang
lainnya.
8
Bab III
Gangguan Jiwa
3. 1. Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh
seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya
tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Gangguan jiwa adalah
gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective),
tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran sosial. Secara lebih rinci, gangguan jiwa bisa dimaknai sebagai suatu kondisi
medis dimana terdapat gejala atau terjadinya gangguan patofisiologis yang
menganggu kehidupan sosial, akademis dan pekerjaan.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh
dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah,
serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease
penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6%
untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi
gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau
sekitar 400.000 orang.
9
3.2. Penyebab Gangguan Jiwa
Sampai hari ini para ahli meyakini bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh
berbagai macam faktor, mulai dari faktor genetik, biologi, berbagai stressor
psikologis dan permasalahan lingkungan sosial masyarakat. Upaya untuk mengenali
dan menganalisa faktor penyebab merupakan suatu langkah penting dalam
psikoterapi. Hal ini akan menentukan pemilihan prosedur terapi yang akan diambil
dalam penanganan gangguan jiwa.
Faktor genetik juga ikut berpengaruh dalam terjadinya gangguan jiwa,
meskipun faktor genetik ini hanya menyumbang sekitar 10 - 20%. Hal ini terbukti
pada anak yang memiliki orang tua dan atau sanak keluarga dengan gangguan jiwa.
Selain itu, studi anak kembar baik monozygote maupun dizygote juga dapat
membuktikan peranan faktor genetik terjadinya gangguan jiwa. Beberapa gangguan
jiwa seperti Skizofrenia dan Bipolar dapat terjadi dapat terjadi pada kedua anak
kembar meskipun mereka tinggal terpisah (Saddock, 2007).
Studi tentang infant-psychiatry juga mengungkap hasil ternyata janin yang
ada di dalam kandungan sudah dapat mengalami berbagai permasalahan jiwa, yang
seringkali dimulai dari gangguan perkembangan otak. Hal ini tentu saja dapat
menimbulkan gangguan jiwa kelak di kemudian hari.
Selain faktor genetik, gangguan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa
masalah dalam kehidupan atau lingkungan sehari – hari, atau yang disebut sebagai
stresor psikososial. Seperti misalnya permasalahan ekonomi, tekanan mental, sosial
dan budaya dalam suatu masyarakat tertentu.
Aksi bullying yang dialami sejak masa kanak-kanak sampai mereka yang telah
dewasa ternyata merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jiwa. Kritikan, kata-
kata kasar dan caci-maki yang diucapkan oleh orang-orang dekat di sekeliling
10
korban akan membuat konsep dirinya terganggu, harga diri dan egonya terluka,
sehingga membuatnya sulit bergaul dan semakin sulit lagi diterima oleh
lingkungannya. Tanpa terduga mereka bisa saja melakukan tindakan kriminal yang
ekstrim terhadap seseorang yang sering membully dirinya.
Berbagai penyakit kronis yang diderita seseorang juga dapat menjadi faktor
risiko terjadinya gangguan kejiwaan. Misalnya mereka yang menderita stroke,
diabetes, gangguan ginjal, jantung, kanker dan sebagainya, selain berbagai jenis
narkotika dan napza yang akhir-akhir ini merenggut banyak korban.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – III
terdapat diagnosis Gangguan Mental dan Perilaku akibat penggunaan zat (F10),
yang dirinci satu persatu jenis zatnya. Seringkali gangguan jiwa tersebut tidak
hilang, dan justru menjadi gangguan yang permanen meskipun penggunaan zat nya
telah dihentikan. Hal ini memunculkan pertanyaan benarkah zat tersebut yang
menyebabkan gangguan jiwa, ataukah sebenarnya sudah ada gangguan jiwa dalam
diri seseorang sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mencari dan
mengkonsumsi berbagai macam zat berbahaya tersebut (PPDGJ-III, 2004).
Teori pendukung untuk menerangkan hubungan antara zat dan gangguan
jiwa diungkapkan oleh beberapa penelitian dekade terakhir, misalnya tentang
Biochemical Factors, yang mengungkap Dopamine Hypothesis, Serotonin,
Norepinephrine, Acetylcholine, GABA, nicotine dan berbagai neurotranmiter
lainnya. Formulasi hipotesis dopamine menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan
oleh aktivitas dopamin yang terlalu tinggi. Observasi yang dilakukan adalah tentang
efikasi dan potensi dari banyak obat anti-psikotik yang ternyata berhubungan dengan
reseptor antagonis dopamine (DRAs) yang bekerja sebagai antagonis reseptor
11
Dopamin tipe 2 (D2). Selain itu terbukti bahwa cocain dan amphetamine memiliki
efek mirip psikotik (psychotomimetic) (Sadock, 2007).
3.3. Berbagai Jenis Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa bervariasi dari mulai gangguan ringan sampai yang berat,
mulai dari gangguan kepribadian, gangguan cemas, berbagai gangguan neurosis,
depresi dan psikosis akut sampai yang paling kronis Skizofrenia. Gangguan
kepribadian borderline didefinisikan sebagai pola pervasif dari ketidakstabilan
emosi, suasana hati dan hubungan interpersonal, dengan komorbiditas antara
gangguan kepribadian tipe ini dan gangguan depresi.
Bentuk gangguan yang cukup sering terjadi tetapi dipandang remeh oleh
masyarakat adalah gangguan cemas. Gangguan ini sering dianggap identik sebagai
sebuah kelemahan diri seseorang, serta kurangnya rasa percaya diri. Gangguan
cemas dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan variasi gejala, seperti insomnia,
fobia, cemas perpisahan, cemas menyeluruh, panik dan somatisasi. Istilah
‘psikosomatis’ yang cukup sering diucapkan oleh banyak orang, merupakan sebuah
keadaan dimana seseorang menderita berbagai macam keluhan sakit pada tubuhnya,
sementara pemeriksaan oleh dokter menunjukkan tak satupun organ tubuhnya
terganggu.
Goleman menulis dalam bukunya bahwa kecemasan akan melumpuhkan
nalar seseorang. Dalam pekerjaan yang rumit, banyak menuntut pikiran, dan penuh
tekanan, bila seseorang menderita kecemasan kronis yang parah, hampir dapat
diramalkan bahwa pada akhirnya dia akan gagal, baik dalam pendidikan atau dalam
pekerjaannya di lapangan. Orang yang cemas lebih mudah gagal sekalipun memiliki
12
skor tinggi dalam tes-tes kecerdasan, sebagaimana ditemukan dalam sebuah studi
terhadap 1790 peserta pengendali lalu-lintas udara (Goleman, 2000).
Penelitian pada remaja di Iran yang dilakukan oleh Masoumeh
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan agresi secara signifikan berhubungan
negatif. Itu berarti remaja dengan faktor agresi yang tinggi akan menunjukkan
kecerdasan emosi yang kurang. Variable agresi dan kecerdasan emosi juga memiliki
hubungan negatif yang signifikan, hal ini menyatakan bahwa apabila kecerdasan
emosional menurun, maka agresi akan meningkat. Dengan demikian terbukti bahwa
terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara agresi dan kecerdasan
emosi (Masoumeh, et al. 2014).
Sebaliknya orang dengan KE yang rendah ternyata memiliki moral yang
buruk pula. Remaja dengan agresi umumnya mengalami gangguan seperti depresi
(Roland, 2002), cemas (Salmon, 1998), menyendiri (Crick dan Ladd, 1993) dan
keinginan untuk bunuh diri (Roland, 2002). Penelitian dari Liau tahun 2003 dan
Parker dkk tahun 2008 mengindikasikan masalah kepribadian pada remaja
berhubungan dengan kecerdasan emosi yang rendah (Harris dan Ogbonna, 2002).
PPDGJ-III secara khusus membahas gangguan kecerdasan sebagai salah satu
gangguan jiwa, yaitu apabila mereka memiliki IQ kurang dari 70 atau yang disebut
sebagai Retardasi Mental. IQ normal berkisar 90 - 110, di atas itu digolongkan
sebagai superior dan genius. Retardasi Mental dikelompokkan sebagai Retardasi
Mental ringan jika IQ 50-69, Retardasi Mental sedang dengan IQ 40-49, , Retardasi
Mental berat dengan IQ 30-39 dan , Retardasi Mental sangat berat dimana IQ kurang
dari 30.
Gangguan depresi didapati sekitar 10% dari populasi masyarakat, dengan
dominasi terbanyak pada wanita, jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan
13
pria. Gangguan ini dimasukkan dalam kelompok gangguan mood. Selain depresi,
masyarakat juga mulai mengenal gangguan Bipolar, dimana pasien secara
berfluktuatif memiliki mood yang berubah-ubah antara manik dan depresi.
Masyarakat awam sering menyebutnya sebagai kepribadian ganda. Survei terakhir
yang dilakukan untuk mendata gangguan jiwa non-psikotik di seluruh wilayah
Indonesia dapat dilihat pada Riskesdas 2013, dimana gangguan jiwa non-psikotik
terbanyak terdapat di wilayah Jawa Barat.
Skizofrenia memiliki ciri khas gangguan pada proses berpikir seseorang.
Penderita Skizofrenia memiliki bentuk pikir yang non realistis, dengan arus pikir
yang terganggu dari mulai membisu, perlambatan sampai yang sangat cepat
(logorrhea) serta isi pikir yang penuh dengan ide-ide aneh sampai pada taraf waham.
Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit
yang luas, serta sejumlah akibat yang signifikan. Pada umumnya ditandai dengan
penyimpangan yang fundamental dan karakterisitik dari pikiran, persepsi, afek yang
tidak wajar, dengan kemampuan intelektual yang tetap terpelihara, meskipun bisa
saja terjadi hendaya kognitif di kemudian hari.
Gangguan Kepribadian merupakan gangguan jiwa tersendiri yang disoroti
oleh para ahli. Saat seseorang hanya memiliki kecenderungan atau trait tertentu,
mereka akan dikelompokkan ke dalam suatu ciri kepribadian, tetapi jika ciri-ciri
yang mereka miliki tersebut mulai menimbulkan berbagai ketidak-nyamanan atau
gangguan terhadap diri sendiri dan orang lain, maka mereka dikelompokkan sebagai
orang dengan gangguan kepribadian. Salah satu ciri kepribadian yang sering
menimbulkan masalah di masyarakat adalah gangguan kepribadian disosial (= Anti
Sosial = Psikopatik). Mereka dengan gangguan disosial akan memperlihatkan
beberapa simptoms seperti: bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain,
14
memiliki sikap yang sangat tidak bertanggung-jawab, tidak peduli dengan norma,
peraturan dan kewajiban sosial, tidak mampu memelihara suatu hubungan baik,
toleransi terhadap frustasi dan ambang kemarahan sangat rendah, sehingga mudah
menjadi agresif dan melakukan tindak kekerasan; cenderung menyalahkan orang
lain atau menawarkan rasionalisasi yang dianggap masuk akal.
Gangguan kepribadian borderline (GKB), atau sering disebut sebagai
Gangguan kepribadian didefinisikan sebagai pola pervasif dari ketidakstabilan
emosi, suasana hati dan hubungan interpersonal. GKB ini sering memiliki
komorbiditas dengan gangguan depresi. Pada Gangguan Kepribadian Ambang tipe
Impulsif seseorang memiliki pola hubungan inter-personal yang tidak stabil ataupun
berlebihan, terdapat perilaku yang impulsif (langsung bertindak tanpa
mempedulikan konsekuensinya), memiliki mood atau suasana perasaan yang tidak
stabil dan sulit untuk mengendalikan diri termasuk mengontrol kemarahan
(Jahangard, et al. 2012).
15
Bab IV
Hubungan Gangguan Jiwa dan Kecerdasan Emosional
Hubungan antara gangguan jiwa dan kecerdasan emosional seseorang saat ini
mulai banyak diteliti. Penelitian Fazel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
Gangguan Bipolar erat kaitannya dengan tindak kekerasan. Dari 314 pasien dengan
Gangguan Bipolar 8,4% dari mereka melakukan tindak kejahatan, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan 1312 orang kontrol sebagai pembanding, hanya 3,5% saja
yang menjadi pelaku kejahatan. Systematic-review pada 8 studi sebelumnya dengan
heterogenitas yang tinggi antar penelitian tersebut memperlihatkan odds ratio
anatara 2 sampai 9 kali lebih besar (Fazel et al, 2010).
Pada gangguan kepribadian narsisistik terungkap bahwa konsekuensi dari
narsisisme ternyata cukup banyak, seperti perilaku agresi, self enhancement, distorsi
kognitif, terganggunya hubungan interpersonal dan berbagai perilaku internalisasi
ataupun eksternalisasi yang maladaptive (Miller et al, 2010). Sebuah kunci
kompetensi untuk keberhasilan pengelolaan hubungan interpersonal adalah
kecerdasan emosional (KE). Mengingat rendahnya KE pada pasien yang menderita
Gangguan kepribadian borderline (GKB), peneliti Jahangard berupaya untuk melatih
kecerdasan emosional pada pasien dengan GKB dan gangguan depresi. Tujuannya
untuk menyelidiki efek KE dan depresi (Jahangard, et al. 2012).
Sebanyak 30 pasien rawat inap dengan GKB dan GD (53% perempuan; usia
rata-rata 24,20 tahun) turut ambil bagian dalam studi ini. Pasien ditentukan secara
acak baik untuk kelompok pengobatan ataupun kelompok kontrol. Pre- dan post-
testing yang dilakukan 4 minggu kemudian, melibatkan penilaian ahli tentang
gangguan depresi dan kecerdasan emosional yang dilaporkan oleh pasien sendiri.
16
Kelompok perlakuan mendapatkan 12 sesi pelatihan yang termasuk dalam
komponen kecerdasan emosional. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, KE
meningkat signifikan pada kelompok perlakuan dari waktu ke waktu. Gejala depresi
menurun signifikan dari waktu ke waktu pada kedua kelompok, meskipun
peningkatan lebih besar dalam kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol.
Untuk pasien rawat inap yang menderita GKB dan GD, melatih KE secara
teratur dapat berhasil dilaksanakan dan mengarah ke perbaikan baik dalam KE dan
depresi. Hasil penelitian menunjukkan adanya efek tambahan dari pelatihan KE
tidak hanya pada perbaikan KE namun juga menurunkan GD (Jahangard, et al.
2012).
Untuk menjelaskan etiologi GKB, banyak penelitian telah menekankan
adanya peran yang berbahaya dan merugikan seperti penganiayaan traumatis saat
masa kanak-kanak (baik itu secara emosional, fisik, dan seksual), penelantaran,
pemisahan dan kehilangan (Sadock, 2007; Fitzmaurice et al., 2011).
Prognosis untuk pengobatan biasanya tidak menentu karena ketidakstabilan
pasien yang sifatnya kronis dan masalah yang sudah berlangsung lama. Pengobatan
biasanya mempertimbangkan untuk menggunakan terapi biologis dan psikologis,
dimana berbagai perawatan psikoterapi dan psikososial tampaknya lebih bermanfaat
daripada pilihan farmakologis (Fitzmaurice et al., 2011). Secara umum, intervensi
psikoterapi fokus pada mengubah emosi, pikiran dan perilaku pasien, dan terdapat
banyak bukti bahwa psikoterapi yang diterapkan secara intensif dapat menyebabkan
perilaku yang baik dan perubahan neurobiologis (Grawe, 2004; Schiepek, 2010).
Secara spesifik, untuk pasien yang menderita GKB, tujuan utama psikoterapi adalah
untuk memperkuat harga diri pasien (Jacob, 2010), termasuk sikap dan interaksi
sosial pasien.
17
Faktor kunci untuk kesehatan fisik dan psikologis terlihat dari pengalaman
interaksi sosial yang baik disertai dengan persepsi yang memadai, regulasi dan
ekspresi emosi seseorang (Salovey, 2005), yang juga disebut sebagai kecerdasan
emosional (KE). Salovey mendefinisikan KE sebagai kemampuan seseorang untuk
mengidentifikasi, mengenali, memahami dan mengatur emosi dan menggunakannya
dalam kehidupan. Lebih spesifik lagi, Salovey menjelaskan KE sebagai jenis
kecerdasan yang meliputi persepsi yang dimiliki seseorang dan emosi orang lain,
perbedaan antara mereka dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan perilaku (Salovey, 2005).
Kecerdasan emosional dapat diukur, fleksibel, mudah beradaptasi dan sangat
rentan terhadap adanya peningkatan, dan dapat mempengaruhi gangguan mental
lainnya (Salovey, 2005; Schutte, 2001; Schutte, 2002; Trull, 1997). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa KE berkorelasi positif baik dengan kepuasan hidup maupun
dengan memiliki berbagai macam hubungan sosial, sementara itu KE berkorelasi
negatif dengan tekanan psikologis dan depresi (Zarean et al., 2007).
Yang paling penting, penelitian telah menunjukkan bahwa pertama, KE
adalah keterampilan yang dapat dipelajari, dan kedua, bahwa pelatihan komponen
KE dapat meningkatkan kesehatan mental (Schutte, 2007; Jain & Sinha, 2005).
Misalnya, Ciarrochi et al. menekankan peran kecerdasan emosional dalam
penyesuaian psikologis dalam beberapa bentuk salah satunya KE dapat
mengimunisasi seseorang dari stres dan menyebabkan penyesuaian yang lebih baik;
misalnya, kemampuan untuk mengendalikan emosi berkorelasi positif dengan
kecenderungan untuk mempertahankan suasana hati yang positif dan menghindari
depresi (Ciarrochi, 2001). Selain itu, Hallahan dan Moos telah melaporkan korelasi
yang baik antara KE, fleksibilitas mental dan berkurangnya gejala depresi (Hallahan
18
& Moos, 1991). Selain itu, Zarean et al. menemukan korelasi positif dan signifikan
antara KE dan kesehatan umum dan juga gaya seseorang dalam memecahkan suatu
masalah (Zarean et al., 2007).
Untuk pasien yang menderita GKB, Kaplan telah mengklaim bahwa
psikoterapi yang intensif dan pelatihan keterampilan menyeluruh dalam KE dapat
secara baik mempengaruhi hasil. Hal tersebut merupakan terapi yang efektif dari
perilaku impulsif dan melukai diri sendiri (Sadock, 2007). Dalam nada yang sama,
Bar-on mencatat bahwa pasien dengan GKB mengalami kesulitan mengatasi emosi
seperti kecemasan dan kemarahan, dan cenderung memperlihatkan perilaku bunuh
diri dan impulsive (Bar-on, 2000). Selain itu, ada bukti yang menganggap bahwa
orang yang menderita GKB menunjukkan kesulitan dalam memahami keadaan
mental diri sendiri dan orang lain yang disebut juga sebagai kesulitan dalam
mentalization (Fonagy & Bateman, 2006). Djzobek et al. menunjukkan bahwa
pasien yang menderita GKB menunjukkan defisit baik dalam menyimpulkan
keadaan mental orang lain dan menyelaraskan emosinya dengan orang lain. Selain
itu, pasien dengan GKB tampaknya memiliki kemampuan yang kurang dalam
mengkoordinasikan emosi positif dan negatif dan cenderung memiliki reaksi yang
lebih parah terhadap emosi negatif, dibandingkan dengan kontrol yang sehat
(Djzobek et al., 2001; Petrides et al., 2004). Selain itu, jika dibandingkan dengan
kontrol yang sehat, pasien dengan GKB memiliki kesulitan baik dalam mengartikan
dan menterjemahkan emosi mereka dan menyesuaikan keadaan emosional mereka
untuk konteks psikososial saat ini (Beblo et al., 2010; Bohus et al., 2004). Dyck et
al. menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol sehat, pasien yang menderita
GKB memiliki kesulitan dalam mendiskriminasi ekspresi emosi negatif dan netral
secara cepat dan langsung. Namun, sebaliknya, Fertuck et al. menunjukkan bahwa
19
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, pasien yang menderita GKB menunjukkan
peningkatan skor dalam mendeteksi emosi dalam ekspresi wajah (Fertuck et al.,
2009). Di samping itu, Preissler et al., menunjukkan bahwa pasien menderita GKB,
dalam mendeteksi emosi dalam ekspresi wajah (gambar), memiliki skor setinggi
yang orang normal lakukan, sedangkan, pada pasien GKB kinerjanya menurun
sebagai fungsi kompleksitas konteks (film) dan saat yang bersamaan dapat
menimbulkan gangguan kejiwaan lebih lanjut dan riwayat trauma seksual (Preissler
et al., 2010). Terakhir, Domes et al. mengemukakan, dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, pada pasien yang menderita GKB, peningkatan ketegangan emosional
dapat mengganggu proses kognitif seseorang dalam mengenali emosi wajah, yang
mungkin menyebabkan pola bias tertentu dalam pengenalan emosi yang berubah
(Domes et al., 2009).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pasien yang menderita GKB
memiliki kesulitan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Di sisi lain,
ada juga bukti bahwa kecerdasan emosi dan kompetensi sosial adalah keterampilan
yang dapat dipelajari dengan bantuan intervensi psikoterapi kognitif-perilaku.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memastikan efektivitas dari pelatihan dalam
komponen-komponen KE seperti kemampuan interpersonal, kemampuan
memecahkan masalah, gaya mengatasi stres untuk pasien rawat inap dengan
gangguan kepribadian borderline (GKB) dan gangguan depresi (GD), dibandingkan
dengan pasien rawat inap yang tidak menerima intervensi psikoterapi. Kami percaya
bahwa pasien yang menderita GKB dan GD bisa membaik secara signifikan setelah
diberikan pengobatan dalam waktu yang singkat.
Sebanyak 37 pasien rawat inap di Farshchian Psychiatric Center of Hamadan
(Iran) diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan antara April
20
2008 dan September 2009. Dari jumlah tersebut, semua memenuhi kriteria inklusi
seperti yang diuraikan di bawah, dan semua setuju untuk berpartisipasi di penelitian,
tujuh orang (18.9%) dikeluarkan tanpa penjelasan lebih lanjut. Oleh karena itu, total
30 pasien rawat inap yang menderita baik GKB dan GD ikut ambil bagian dalam
studi ini.
Tiga puluh pasien rawat inap secara acak dipilih untuk masuk ke grup
perlakuan atau grup kontrol. Tabel I menampilkan data demografi daripada sampel.
Pengobatan terdiri dari 12 sesi yang mengajarkan kecerdasan emosional dalam
sebuah grup selama empat minggu berturut-turut, dengan setidaknya tiga sesi per
minggu, masing-masing berlangsung minimal 45 menit. Pada awal dan akhir dari 4
minggu pelatihan, kecerdasan emosional dan gejala depresi dinilai dengan
menggunakan alat yang diuraikan di bawah ini.
Sarana penilaian yang dipakai adalah Hamilton Depression Rating Scale
(HDRS) dan Emotional Quotient Inventory (EQ-I). Hamilton Depression Rating
Scale adalah skala untuk menilai pasien dengan gangguan depresi. Skala ini terdiri
dari 21 item, dan jawaban yang diberikan dengan menggunakan 3 – 5 point skala
Likert. Semakin tinggi skor, semakin tinggi gejala depresi, dengan kategori : jika
skor ≤7 mencerminkan tidak ada gangguan depresi, skor 8-14 mencerminkan
gangguan depresi moderat, dan skor ≥ 15 mencerminkan gangguan depresi berat.
Penilaian kecerdasan emosional menggunakan Emotional Quotient Inventory
(EQ-I) dimana terdiri dari 133 pernyataan. Responden diminta untuk menunjukkan
sejauh mana pernyataan tersebut menggambarkan diri mereka. Jawaban yang
diberikan menggunakan skala 5-point dengan poin 1 = tidak benar/tidak
menggambarkan diri mereka dan point 5 = menggambarkan diri mereka; semakin
tinggi skor, semakin tinggi kecerdasan emosional secara keseluruhan (termasuk
21
dimensi kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kemampuan adaptasi,
manajemen stres, dan suasana hati; Cronbach’s alpha untuk skala keseluruhan =
0.91).
Intervensi Psikoterapi diberikan kepada kelompok perlakuan. Intervensi
psikoterapi ini diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan emosional. Isi daripada
edukasi yang diberikan didasarkan pada beberapa komponen seperti kesadaran
emosional diri, meningkatkan keterampilan komunikasi dan keterampilan
interpersonal, kemampuan untuk mengatasi kesulitan, keterampilan dan kemampuan
memecahkan masalah.
Tabel 2. Hasil kecerdasan emosional (KE) dan gangguan depresi (GD) dari waktu ke
waktu pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Secara keseluruhan skor untuk kecerdasan emosional meningkat dari waktu
ke waktu pada kedua grup. Tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kontrol, namun jika dilihat dari hasil time by group
interaction mencerminkan adanya peningkatan yang lebih besar dalam kecerdasan
22
emosional pada grup perlakuan dari waktu ke waktu dibandingkan pada kelompok
control.
Gejala depresi secara signifikan menurun dari waktu ke waktu. Tidak ada
perbedaan hasil yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kontrol, namun jika
dilihat dari hasil time by group interaction menunjukkan berkurangnya gejala
depresi yang lebih banyak pada grup perlakuan dibandingkan pada kelompok
kontrol (Gambar 2).
Gambar 1. Skor peningkatan kecerdasan emosional yang signifikan dari waktu ke
waktu pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Gambar 2. Gejala depresi yang menurun dari waktu ke waktu pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol.
23
Bab V
Kesimpulan
Penemuan yang penting dari penelitian ini adalah pelatihan kecerdasan
emosional dapat memperbaiki kecerdasan emosional dan gejala depresi pada pasien
rawat inap dengan gangguan kepribadian borderline dan depresi setelah selama 4
minggu diberikan intervensi psikoterapi yang sifatnya intensif dibandingkan pasien
rawat inap yang tidak diberikan intervensi psikoterapi. Selain itu, intervensi
psikoterapi intensif menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap gejala
depresi, mengindikasikan bahwa intervensi yang awalnya ditargetkan pada
kecerdasan emosional juga memiliki efek bermanfaat pada gejala depresi.
Pelatihan kecerdasan emosional dapat memperbaiki kecerdasan emosional
dan gejala depresi pada pasien rawat inap dengan gangguan kepribadian borderline
dan depresi setelah selama 4 minggu diberikan intervensi psikoterapi yang intens
dibandingkan pasien rawat inap yang tidak diberikan intervensi psikoterapi. Selain
itu, intervensi psikoterapi intensif menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap
gejala depresi, mengindikasikan bahwa intervensi yang awalnya ditargetkan pada
kecerdasan emosional juga memiliki efek bermanfaat pada gejala depresi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Aminian, L., Madadi, S., Amini, Z. 2015. Study The Relationship Between
the Dimentions of Emotional Quotient with Mental Health of Students.
Indian Journal of Fundamental & Applied Life Science, Vol 5: 801-805.
Eslami, A. A., Hasanzadeh A., and Jamshidi, F. 2014. The relationship between
emotional intelligence health and marital satisfaction: A comparative study. J
Educ Health Promot, 3: 24.
Fazel, S., Lichtenstein, P., Granu, M., Guy M., Goodwin, and Lȃngstrȍm, N. 2010.
Bipolar Disorder and Violent Crime, New Evidence From Population – Based
Longitudinal Studies and Systematic Review. Arch Gen Psychiatry, 67(9):
931-938.
Goleman, Daniel, 1999. The Inner Rudder. Working with Emotional Intelligencce,
Bantam Book, New York.
Goleman, Daniel, 2000. Emotional Intelligence, PT. Gramedia, Jakarta.
Jahangard L., Haghighi, M., Bajoghli, H. 2012. Training emotional intelligence
improves both emotional intelligence and depressive symptoms in inpatients
with borderline personality disorder and depression. International Journal of
Psychiatry in Clinical Practice, 16: 197–204.
Kartono, K. 2011. Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Masoumeh, H., Mansor, M. B., Yaacob, S. N. 2014. Emotional inteligence and aggression
among adolescents in Teheran, Iran. In Life Science Journal, 11(5): 506-511.
Miller J, Thomas A., Widiger, and Campbell, W. K. 2010. Narcissistic Personality
Disorder and The DSM – V. Journal of Abnormal Psychology, Vol. 119. No.
4, 640-649.
Pirkhaefi A., Mohammadzadeh A., Najafi M., Jangju M. 2015. Predicting of
borderline personality according to components of emotional
intelligence. Journal of Fundamentals of Mental Health, Jan-Feb, 17(1): 7-12.
Sadock, B. J., Sadock, V. A., 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
Lestari, S., 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Hasanzadeh%20A%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Jamshidi%20F%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3977397/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3977397/